Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten ...ditemukan 60 jenis ikan karang dari 7 suku ikan...
Transcript of Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten ...ditemukan 60 jenis ikan karang dari 7 suku ikan...
-
MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA
COREMAP CTI KABUPATEN SIKKA
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jakarta - 2015
Pusat Penelitian Oseanogra Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Monitoring Terumbu Karang dan Ekosistem terkait
di Kabupaten WakatobiCOREMAP CTI
Tahun 2015
Editor : Prof. Dr. Suharsono
-
i
PRAKATA
Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki sumberdaya alam yang sangat kaya.
Hal ini memang cukup membanggakan, namun menuntut adanya tanggung jawab yang sangat
besar berupa usaha untuk menjaga keseimbangan antara kelestarian fungsi (ekologis) dan
kelestarian manfaat (ekonomis) dari sumberdaya alam ini. Ketidakarifan manusia dalam
memanfaatkan sumberdaya yang ada menimbulkan kerusakan di beberapa ekosisem yang erat
hubungannya dengan kehidupan manusia.
Fungsi dan manfaat ekosistem laut dangkal yang erat hubungannya dengan aktivitas manusia
sangat beragam, oleh karena itu ancaman pemanfaatan atas kelestariannya juga diasumsikan
meningkat. Program COREMAP Fase III yang diberi nama COREMAP-CTI ini bertujuan
menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait seperti ekosistem
lamun dan ekosistem mangrove untuk dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara
berkesinambungan. Hasil akhirnya tidak lain adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pesisir yang hidup di wilayah tersebut.
Laporan ini merupakan hasil penelitian monitoring Kesehatan Ekosistem Terumbu Karang dan
Ekosistem terkait lainnya di perairan Maumere untuk bidang ekologi yang dilaksanakan pada
tahun 2015. Terlaksananya kegiatan dan laporan ini melibatkan berbagai pihak. Untuk itu, kami
ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah terlibat dalam penelitian ini serta
sumbangan pikiran dan tenaga demi tersusunnya laporan ini.
Akhir kata, kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna walaupun kami telah
berusaha sebaik mungkin. Semoga informasi yang disajikan ini dapat dijadikan sebagai acuan
bagi berbagai pihak yang memerlukan. Untuk itu kritik dan saran membangun sangat kami
harapkan demi penyempurnaan laporan ini.
Jakarta, November 2015
Penyusun
Dra. Sasanti R. Suharti, MSc
Monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya KABUPATEN SIKKA 20015 @CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Deasin sampul & Tata letak : Indra S. Hermana Data: Coral Reef Information and Training Center (CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Coral Reef Information and Training Center Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, 2015 Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta 14430 Telp. 021-64713850 Fax. 021-64711948
-
MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA
KABUPATEN SIKKA
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jakarta - 2015
-
i
PRAKATA
Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki sumberdaya alam yang sangat kaya.
Hal ini memang cukup membanggakan, namun menuntut adanya tanggung jawab yang sangat
besar berupa usaha untuk menjaga keseimbangan antara kelestarian fungsi (ekologis) dan
kelestarian manfaat (ekonomis) dari sumberdaya alam ini. Ketidakarifan manusia dalam
memanfaatkan sumberdaya yang ada menimbulkan kerusakan di beberapa ekosisem yang erat
hubungannya dengan kehidupan manusia.
Fungsi dan manfaat ekosistem laut dangkal yang erat hubungannya dengan aktivitas manusia
sangat beragam, oleh karena itu ancaman pemanfaatan atas kelestariannya juga diasumsikan
meningkat. Program COREMAP Fase III yang diberi nama COREMAP-CTI ini bertujuan
menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait seperti ekosistem
lamun dan ekosistem mangrove untuk dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara
berkesinambungan. Hasil akhirnya tidak lain adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pesisir yang hidup di wilayah tersebut.
Laporan ini merupakan hasil penelitian monitoring Kesehatan Ekosistem Terumbu Karang dan
Ekosistem terkait lainnya di perairan Maumere untuk bidang ekologi yang dilaksanakan pada
tahun 2015. Terlaksananya kegiatan dan laporan ini melibatkan berbagai pihak. Untuk itu, kami
ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah terlibat dalam penelitian ini serta
sumbangan pikiran dan tenaga demi tersusunnya laporan ini.
Akhir kata, kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna walaupun kami telah
berusaha sebaik mungkin. Semoga informasi yang disajikan ini dapat dijadikan sebagai acuan
bagi berbagai pihak yang memerlukan. Untuk itu kritik dan saran membangun sangat kami
harapkan demi penyempurnaan laporan ini.
Jakarta, November 2015
Penyusun
Dra. Sasanti R. Suharti, MSc
Monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya KABUPATEN SIKKA 20015 @CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Deasin sampul & Tata letak : Indra S. Hermana Data: Coral Reef Information and Training Center (CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Coral Reef Information and Training Center Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, 2015 Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta 14430 Telp. 021-64713850 Fax. 021-64711948
-
i
i
PRAKATA
Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki sumberdaya alam yang sangat kaya.
Hal ini memang cukup membanggakan, namun menuntut adanya tanggung jawab yang sangat
besar berupa usaha untuk menjaga keseimbangan antara kelestarian fungsi (ekologis) dan
kelestarian manfaat (ekonomis) dari sumberdaya alam ini. Ketidakarifan manusia dalam
memanfaatkan sumberdaya yang ada menimbulkan kerusakan di beberapa ekosisem yang erat
hubungannya dengan kehidupan manusia.
Fungsi dan manfaat ekosistem laut dangkal yang erat hubungannya dengan aktivitas manusia
sangat beragam, oleh karena itu ancaman pemanfaatan atas kelestariannya juga diasumsikan
meningkat. Program COREMAP Fase III yang diberi nama COREMAP-CTI ini bertujuan
menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait seperti ekosistem
lamun dan ekosistem mangrove untuk dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara
berkesinambungan. Hasil akhirnya tidak lain adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pesisir yang hidup di wilayah tersebut.
Laporan ini merupakan hasil penelitian monitoring Kesehatan Ekosistem Terumbu Karang dan
Ekosistem terkait lainnya di perairan Maumere untuk bidang ekologi yang dilaksanakan pada
tahun 2015. Terlaksananya kegiatan dan laporan ini melibatkan berbagai pihak. Untuk itu, kami
ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah terlibat dalam penelitian ini serta
sumbangan pikiran dan tenaga demi tersusunnya laporan ini.
Akhir kata, kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna walaupun kami telah
berusaha sebaik mungkin. Semoga informasi yang disajikan ini dapat dijadikan sebagai acuan
bagi berbagai pihak yang memerlukan. Untuk itu kritik dan saran membangun sangat kami
harapkan demi penyempurnaan laporan ini.
Jakarta, November 2015
Penyusun
Dra. Sasanti R. Suharti, MSc
Monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya KABUPATEN SIKKA 20015 @CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Deasin sampul & Tata letak : Indra S. Hermana Data: Coral Reef Information and Training Center (CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Coral Reef Information and Training Center Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, 2015 Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta 14430 Telp. 021-64713850 Fax. 021-64711948
-
ii
ii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kabupaten Sikka dengan ibukota Maumere secara administratif merupakan bagian dari wilayah
Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di Daratan Flores. Wilayah Kabupaten ini
merupakan daerah kepulauan dengan total luas daratan 1.731,91 km2. Terdapat 18 pulau baik
yang didiami ataupun tidak didiami. Seiring dengan diberlakukan UU Otonomi daerah terjadi
pemekaran wilayah kecamatan dari 12 Kecamatan menjadi 21 Kecamatan (BPS 2012). Dari 21
kecamatan, enam diantaranya masuk kedalam lokasi stasiun penelitian.
Kekayaan sumberdaya kawasan pesisir di Kabupaten Sikka antara lain mangrove, padang
lamun dan terumbu karang. Ekosistem perairan tersebut mampu memberikan tempat kepada
biota-biota lain untuk tempat hidup dan berkembang di dalamnya, terutama biota ekonomis
penting.
Studi kesehatan terumbu karang di perairan Maumere telah dilakukan tahun 2006 untuk
pengambilan data dasar (baseline data). Pemantauan berikutnya di lokasi yang sama yang
telah dibuat permanen telah dilakukan berturut-turut pada tahun 2007, 2009, 2010, 2011 dan
2013. Pada tahun 2013 ada penambahan bidang kajian penelitian dalam monitoring kesehatan
terumbu karang yakni penelitian lamun dan mangrove sebagai ekosistem terkait. Penelitian
monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait COREMAP III CTI pada tahun
2015 ini telah melakukan penelitian di lokasi yang sama seperti pada tahun 2013.
Sebagian terbesar dari wilayah terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya di perairan Sikka
Flores masuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten SIKKA. Fungsi dan
manfaat ekosistem pesisir tersebut sangat beragam, oleh karena itu ancaman pemanfaatnya
atas kelestariannya juga diasumsikan meningkat. Program COREMAP I, COREMAP II hingga
COREMAP III CTI mengambil peran penting dalam pengelolaan atas kawasan terumbu karang
dan ekosistem terkait lainnya tersebut. Monitoring adalah bagian terpenting dari pengelolaan,
yang tujuannya menyediakan data dan informasi untuk menilai kondisi terkini dari objek yang
diamati. Informasi ini penting untuk memprioritaskan kegiatan dan strategi konservasi
Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan data terbaru dari ekosistem terumbu karang dan
ekosistem terkait lainnya, sehingga data ini dapat digunakan untuk menilai dan mengelola
wilayah pesisir di perairan Sikka.
ii
-
iii
ii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kabupaten Sikka dengan ibukota Maumere secara administratif merupakan bagian dari wilayah
Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di Daratan Flores. Wilayah Kabupaten ini
merupakan daerah kepulauan dengan total luas daratan 1.731,91 km2. Terdapat 18 pulau baik
yang didiami ataupun tidak didiami. Seiring dengan diberlakukan UU Otonomi daerah terjadi
pemekaran wilayah kecamatan dari 12 Kecamatan menjadi 21 Kecamatan (BPS 2012). Dari 21
kecamatan, enam diantaranya masuk kedalam lokasi stasiun penelitian.
Kekayaan sumberdaya kawasan pesisir di Kabupaten Sikka antara lain mangrove, padang
lamun dan terumbu karang. Ekosistem perairan tersebut mampu memberikan tempat kepada
biota-biota lain untuk tempat hidup dan berkembang di dalamnya, terutama biota ekonomis
penting.
Studi kesehatan terumbu karang di perairan Maumere telah dilakukan tahun 2006 untuk
pengambilan data dasar (baseline data). Pemantauan berikutnya di lokasi yang sama yang
telah dibuat permanen telah dilakukan berturut-turut pada tahun 2007, 2009, 2010, 2011 dan
2013. Pada tahun 2013 ada penambahan bidang kajian penelitian dalam monitoring kesehatan
terumbu karang yakni penelitian lamun dan mangrove sebagai ekosistem terkait. Penelitian
monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait COREMAP III CTI pada tahun
2015 ini telah melakukan penelitian di lokasi yang sama seperti pada tahun 2013.
Sebagian terbesar dari wilayah terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya di perairan Sikka
Flores masuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten SIKKA. Fungsi dan
manfaat ekosistem pesisir tersebut sangat beragam, oleh karena itu ancaman pemanfaatnya
atas kelestariannya juga diasumsikan meningkat. Program COREMAP I, COREMAP II hingga
COREMAP III CTI mengambil peran penting dalam pengelolaan atas kawasan terumbu karang
dan ekosistem terkait lainnya tersebut. Monitoring adalah bagian terpenting dari pengelolaan,
yang tujuannya menyediakan data dan informasi untuk menilai kondisi terkini dari objek yang
diamati. Informasi ini penting untuk memprioritaskan kegiatan dan strategi konservasi
Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan data terbaru dari ekosistem terumbu karang dan
ekosistem terkait lainnya, sehingga data ini dapat digunakan untuk menilai dan mengelola
wilayah pesisir di perairan Sikka.
ii
-
iv
iv
bervariasi dari kondisi kategori rendah hingga kategori sedang (1,8 - 34,47%).
Persentase tutupan karang batu tertinggi terdapat di stasiun MMRL 69 (34,47%) dan
yang terendah di stasiun MMRL74 (1,87%). Kondisi tutupan karang kategori sedang (25,00 - 49,9%) terdapat pada stasiun MMRL 75, MMRL 47A dan 69. Sedangkan yang
masuk dalam kategori jelek (< 25,0%) terdapat pada stasiun MMRL 74, MMRL 88,
MMRL 21, MMRL 13, MMRL 80, MMRL 79, MMRL 37, MMRL 06, MMRL 65, MMRL 78
dan MMRL 55.
Hasil sensus visual pada transek sabuk seluas 350 m2 untuk seluruh lokasi stasiun
ditemukan 60 jenis ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting dari kategori
herbivore dan karnivora, yaitu suku yang dianggap berpengaruh langsung dan signifikan
pada proses resiliensi terumbu karang karena fungsinya dalam jejaring makanan.
Jumlah jenis terendah 7 spesies dijumpai pada stasiun MMRL 13 dan MMRL 21 dan
jumlah jenis tertinggi 26 dan 27 spesies ditemukan masing-masing pada stasiun MMRL
47a, MMRL 78, MMRL 79 dan MMRL 80. Untuk kelompok ikan pemakan karang
(Coralivores) yang diwakili oleh satu suku yakni Chetodontidae, ditemukan sedikitnya
ada 22 spesies. Rata-rata kepadatan ikan karang yang termasuk dalam 7 suku ikan
ekonomis penting adalah 228 ekor/m2 atau setara dengan 0,65 ekor/m2. Dari hasil
analisa data diketahui bahwa rata-rata biomassa atau sediaan ikan karang dari 7 suku
ikan ekonomis penting adalah 906 kg/ha.
Dari hasil pengamatan di 14 lokasi monitoring ditemukan 8 jenis megabenthos target.
Total terdapat 534 individu megabenthos target
Secara umum, kondisi lamun pada perairan Kabupaten Sikka berada pada status kaya
atau sehat, dimana 6 dari 8 stasiun monitoring memiliki persentase penutupan berkisar
antara 63.76 % - 72.25 %, sedangkan hanya 2 stasiun yaitu stasiun 1 dan 2 (Nangahure
dan Wailiti) memiliki kondisi lamun kurang kaya atau kurang sehat yaitu 53.00% dan
53.44%
Persentase tutupan kanopi mangrove di wilayah KKPD Teluk Maumere secara
keseluruhan tergolong dalam kategori sedang dengan persentase tutupan 64.59 ±
23.93%. Persentase tutupan terendah diperoleh pada stasiun MMRM01 dengan tutupan
38.82 ± 26.89% dan tertinggi pada stasiun MMRM02 87.50 ± 5.20%.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
Citra landsat 8 berresolusi 15 x 15 meter telah mampu dipergunakan dalam pemetaan
substrat dasar perairan yang didukung dengan data ground truth yang memadai. Akan
iii
Metode yang digunakan dalam penelitian ini tergantung dari bidang yang dikaji. Untuk Sitem
Informasi Geografi (SIG) adalah ground truth yang dipakai untuk Pemetaan Habitat. Sedangkan
untuk penelitian karang pengambilan data menggunakan metode UPT (Underwater Photo
Transect) pada kedalaman dimana karang umum dijumpai, yaitu pada kedalaman sekitar 4-7
meter. Untuk mengetahui persentasi tutupan dihitung dengan rumus:
Untuk ikan karang pengambilan data dilakukan dengan sensus visual pada transek sabuk
dengan luas area sensus 70 m x 5 m. Untuk menghitung kepadatan ikan karang yang diamati
dengan menggunakan rumus:
Sedangkan untuk menghitung biomassa ikan karang digunakan rumus: W = a x Lb
Metode pengambilan data untuk megabentos menggunakan metode “Reefefcheck –
Invertebrate Belt Transect” pada garis transek sepanjang 70 meter dengan area pengamatan 1
meter di kanan dan kiri transek. Sedangkan untuk penelitian lamun digunakan metoda transek
kuadrat yang dimodifikasi dari metode Seagrass Watch. Persentase tutupan mangrove dihitung
dengan menggunakan metode Hemispherical Photography.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh informasi untuk
Peta habitat laut dangkal dapat dikelompokkan menjadi 4 kelas seperti dalam tabel
berikut ini.
Habitat Luas (Ha)
Karang 3747,19
Pasir 3342,59
Lamun 994,10
Mangrove 480,16
Untuk penelitian karang hasil analisa dengan menggunakan CPCe versi 4.1. (Coral
Point Count with Excel extension) diperoleh nilai persentase tutupan karang batu
-
v
iv
bervariasi dari kondisi kategori rendah hingga kategori sedang (1,8 - 34,47%).
Persentase tutupan karang batu tertinggi terdapat di stasiun MMRL 69 (34,47%) dan
yang terendah di stasiun MMRL74 (1,87%). Kondisi tutupan karang kategori sedang (25,00 - 49,9%) terdapat pada stasiun MMRL 75, MMRL 47A dan 69. Sedangkan yang
masuk dalam kategori jelek (< 25,0%) terdapat pada stasiun MMRL 74, MMRL 88,
MMRL 21, MMRL 13, MMRL 80, MMRL 79, MMRL 37, MMRL 06, MMRL 65, MMRL 78
dan MMRL 55.
Hasil sensus visual pada transek sabuk seluas 350 m2 untuk seluruh lokasi stasiun
ditemukan 60 jenis ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting dari kategori
herbivore dan karnivora, yaitu suku yang dianggap berpengaruh langsung dan signifikan
pada proses resiliensi terumbu karang karena fungsinya dalam jejaring makanan.
Jumlah jenis terendah 7 spesies dijumpai pada stasiun MMRL 13 dan MMRL 21 dan
jumlah jenis tertinggi 26 dan 27 spesies ditemukan masing-masing pada stasiun MMRL
47a, MMRL 78, MMRL 79 dan MMRL 80. Untuk kelompok ikan pemakan karang
(Coralivores) yang diwakili oleh satu suku yakni Chetodontidae, ditemukan sedikitnya
ada 22 spesies. Rata-rata kepadatan ikan karang yang termasuk dalam 7 suku ikan
ekonomis penting adalah 228 ekor/m2 atau setara dengan 0,65 ekor/m2. Dari hasil
analisa data diketahui bahwa rata-rata biomassa atau sediaan ikan karang dari 7 suku
ikan ekonomis penting adalah 906 kg/ha.
Dari hasil pengamatan di 14 lokasi monitoring ditemukan 8 jenis megabenthos target.
Total terdapat 534 individu megabenthos target
Secara umum, kondisi lamun pada perairan Kabupaten Sikka berada pada status kaya
atau sehat, dimana 6 dari 8 stasiun monitoring memiliki persentase penutupan berkisar
antara 63.76 % - 72.25 %, sedangkan hanya 2 stasiun yaitu stasiun 1 dan 2 (Nangahure
dan Wailiti) memiliki kondisi lamun kurang kaya atau kurang sehat yaitu 53.00% dan
53.44%
Persentase tutupan kanopi mangrove di wilayah KKPD Teluk Maumere secara
keseluruhan tergolong dalam kategori sedang dengan persentase tutupan 64.59 ±
23.93%. Persentase tutupan terendah diperoleh pada stasiun MMRM01 dengan tutupan
38.82 ± 26.89% dan tertinggi pada stasiun MMRM02 87.50 ± 5.20%.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
Citra landsat 8 berresolusi 15 x 15 meter telah mampu dipergunakan dalam pemetaan
substrat dasar perairan yang didukung dengan data ground truth yang memadai. Akan
-
vi
v
tetapi lamun yang terpetakan menggunakan pendekatan teknologi penginderaan jauh
hanya hamparan lamun yang mempunyai tingkat kerapatan > 40%,
Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di perairan Kabupaten Sikka dalam kondisi
kurang baik (17,98%) meskipun ada beberapa lokasi memiliki kondisi yang cukup baik.
Keragaman jenis di tiap-tiap stasiun secara umum berkisar antara 13 - 50 spesies,
sementarakKepadatan ikan karang untuk 7 suku dari kelompok ikan ekonomis penting
pada masing-masing lokasi stasiun di bawah 400 ekor/350 m2 dimana variasi kepadatan
juga cukup tinggi antar lokasi. Potensi sediaan ikan karang adalah 0,9 ton/ha untuk ikan
dari 7 suku ikan ekonomis.
Megabenthos pada perairan Kabupaten Sikka, Maumere sangat beragam namun
kebanyakan di dominasi oleh bulu babi.
Lamun pada perairan Kabupaten Sikka umumnya berstatus kaya atau sehat yang
didukung oleh kondisi perairan yang baik pula.
Persentase tutupan kanopi mangrove di KKPD Teluk Maumere bervariasi antara jarang:
38.82 ± 26.89% (MMRM01) – padat: 87.50 ± 5.20% (MMRM02) dengan rata-rata
keseluruhan 64.59 ± 23.93 (sedang).
-
vii
vi
DAFTAR ISI
PRAKATA …………………………………………………………………………………… i
RINGKASAN EKSEKUTIF ………………………………………………………………. iii
DAFTAR ISI ………………..……………………………………………………………... vii
DAFTAR GAMBAR …………….…………………………………..………………………. ix
DAFTAR TABEL ……………….………………………………..…………………………. xi
BAB I. PENDAHULUAN ……..……………………………………………………………. 1
TUJUAN PENELITIAN ……………………………………………………………. 1
LINGKUP PENELITIAN ………...…………………………………………………. 2
LOKASI PENELITIAN …………..…………………………………………………. 2
WAKTU PENELITIAN ………..……………………………………………………. 3
PELAKSANA PENELITIAN ……….………………………………………………. 3
BAB II. METODE DAN ANALISIS DATA ……..……………….…………………………. 3
PEMETAAN HABITAT ……………….……………………………………………. 3
Pengolahan dan Analisa Data ……………………………………………… 3
KARANG ……………………………………….…………………………………… 4
Pengolahan dan Analisa Data ……………………………………………… 5
IKAN KARANG ……………………...……………………………………………… 6
Analisis Data ……………………..…………………………………………… 7
MEGA BENTOS …………………………………………………………………… 7
LAMUN ……………………………………………………………………………… 8
Analisis Penutupan Lamun ………………………………………………… 8
MANGROVE ………………………………….…………………………………… 9
Analisis Data ……………………………………..………………………… 10
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN ……..………………….…………………………. 11
SIG …………………………………………………………………………………. 11
Pra Pemrosesan …………..…………………………………….…………. 11
Peta Habitat Perairan Dangkal …………………………………………… 13
KARANG ……………………………………………………..……………………… 15
Tutupan Karang …………………………………….……………………… 15
Kondisi Umum Lokasi ………………………...……………………………… 16
IKAN KARANG ………………………..……………………………………………. 23
Jumlah Jenis …………………………………………………………………. 23
v
tetapi lamun yang terpetakan menggunakan pendekatan teknologi penginderaan jauh
hanya hamparan lamun yang mempunyai tingkat kerapatan > 40%,
Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di perairan Kabupaten Sikka dalam kondisi
kurang baik (17,98%) meskipun ada beberapa lokasi memiliki kondisi yang cukup baik.
Keragaman jenis di tiap-tiap stasiun secara umum berkisar antara 13 - 50 spesies,
sementarakKepadatan ikan karang untuk 7 suku dari kelompok ikan ekonomis penting
pada masing-masing lokasi stasiun di bawah 400 ekor/350 m2 dimana variasi kepadatan
juga cukup tinggi antar lokasi. Potensi sediaan ikan karang adalah 0,9 ton/ha untuk ikan
dari 7 suku ikan ekonomis.
Megabenthos pada perairan Kabupaten Sikka, Maumere sangat beragam namun
kebanyakan di dominasi oleh bulu babi.
Lamun pada perairan Kabupaten Sikka umumnya berstatus kaya atau sehat yang
didukung oleh kondisi perairan yang baik pula.
Persentase tutupan kanopi mangrove di KKPD Teluk Maumere bervariasi antara jarang:
38.82 ± 26.89% (MMRM01) – padat: 87.50 ± 5.20% (MMRM02) dengan rata-rata
keseluruhan 64.59 ± 23.93 (sedang).
-
viii
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta stasiun monitoring di perairan Maumere, Sikka, 2015 ……….………… 2
Gambar 2. Ilustrasi pengambilan foto dengan metode UPT …………………..…………... 5 Gambar 3. Skema Transek Kuadrat ………………………..………………………….……. 8 Gambar 4. Peta sebaran stasiun permanen untuk pemantauan ekosistem
mangrove COREMAP-CTI di KKPD Kabupaten Sikka ………..…… 10
Gambar 5. Citra dasar perairan laut dangkal perairan sekitar Pulau Besar sebelum dilakukan proses penajaman citra.
………… 12
Gambar 6. Citra dasar perairan laut dangkal perairan sekitar Pulau Besar setelah dilakukan proses penajaman citra menggunakan algoritma Lyzenga (1981).
…..… 13
Gambar 7. Peta habitat perairan laut dangkal dan mangrove kawasan perairan Maumere, Kab. Sikka, Nusa Tenggara Timur
………..……… 14
Gambar 8. Peta persentase tutupan karang hidup di masing- masing stasiun ………… 16 Gambar 9. Persentase tutupan biotik dan abiotik di masing-masing stasiun
pengamatan ……..……… 16
Gambar 10. Peta persentasi tutupan karang di stasiun monitoring di perairan Maumere, Sikka, 2015
…………… 22
Gambar 11. Variasi jumlah jenis ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting yang berhasil ditemukan selama sensus visual berdasarkan lokasi atau stasiun penelitian di perairan terumbu karang Sikka, Flores, 2015
………… 23
Gambar 12. Jumlah jenis ikan karang dari 7 suku ekonomis penting di stasiun penelitian
………… 24
Gambar 13. Jumlah jenis ikan kepe-kepe dari kelompok suku Chaetodontidae menurut lokasi penelitian di perairan Sikka, Flores, 2015
…..…… 25
Gambar 14. Tingkat kepadatan ikan karang dari 7 suku ekonomis penting menurut lokasi penelitian di perairan terumbu karang Sikka, Flores, 2015
…… 26
Gambar 15. Biomassa ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting berdasarkan lokasi penelitian di perairan terumbu karang Teluk Sikka, Flores, 2015
…………..…… 28
Gambar 16. Peta biomassa ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting di stasiun monitoring di perairan Maumere, Kabupaten Sikka, 2015
……..…… 28
Gambar 17. Diagram perbandingan jumlah individu megabenthos di perairan Sikka -Maumere
……..…… 29
Gambar 18. Grafik Persentase Penutupan Lamun pada Stasiun Monitoring ……….…… 36 Gambar 19. Daun Sonneratia alba, yang digunakan sebagai pakan
ternak (kiri); media sosialisasi Peraturan Desa tentang perlindungan kawasan pesisir di Desa Darat Pantai (kanan)
…………..…… 38
vii
Kepadatan Ikan Karang ……………………………………………………. 26
Biomassa Ikan Karang ……………………….……………………………. 26
MEGA BENTOS ……………………..……………………………………………. 29
Komposisi Jenis dan Kepadatan Mega Bentos …………...……………… 30
LAMUN ………………..…………………………………………..………………. 34
MANGROVE ………………..…………………………………………..…………… 36
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………..………………. 39
Kesimpulan ………………………………………………………..………………. 39
Saran …………………………………………...…………………...………………. 40
DAFTAR PUSTAKA …………………………………...…………………..………………. 41
LAMPIRAN …..………………………………………...…………………..……………… 43
-
ix
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta stasiun monitoring di perairan Maumere, Sikka, 2015 ……….………… 2
Gambar 2. Ilustrasi pengambilan foto dengan metode UPT …………………..…………... 5 Gambar 3. Skema Transek Kuadrat ………………………..………………………….……. 8 Gambar 4. Peta sebaran stasiun permanen untuk pemantauan ekosistem
mangrove COREMAP-CTI di KKPD Kabupaten Sikka ………..…… 10
Gambar 5. Citra dasar perairan laut dangkal perairan sekitar Pulau Besar sebelum dilakukan proses penajaman citra.
………… 12
Gambar 6. Citra dasar perairan laut dangkal perairan sekitar Pulau Besar setelah dilakukan proses penajaman citra menggunakan algoritma Lyzenga (1981).
…..… 13
Gambar 7. Peta habitat perairan laut dangkal dan mangrove kawasan perairan Maumere, Kab. Sikka, Nusa Tenggara Timur
………..……… 14
Gambar 8. Peta persentase tutupan karang hidup di masing- masing stasiun ………… 16 Gambar 9. Persentase tutupan biotik dan abiotik di masing-masing stasiun
pengamatan ……..……… 16
Gambar 10. Peta persentasi tutupan karang di stasiun monitoring di perairan Maumere, Sikka, 2015
…………… 22
Gambar 11. Variasi jumlah jenis ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting yang berhasil ditemukan selama sensus visual berdasarkan lokasi atau stasiun penelitian di perairan terumbu karang Sikka, Flores, 2015
………… 23
Gambar 12. Jumlah jenis ikan karang dari 7 suku ekonomis penting di stasiun penelitian
………… 24
Gambar 13. Jumlah jenis ikan kepe-kepe dari kelompok suku Chaetodontidae menurut lokasi penelitian di perairan Sikka, Flores, 2015
…..…… 25
Gambar 14. Tingkat kepadatan ikan karang dari 7 suku ekonomis penting menurut lokasi penelitian di perairan terumbu karang Sikka, Flores, 2015
…… 26
Gambar 15. Biomassa ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting berdasarkan lokasi penelitian di perairan terumbu karang Teluk Sikka, Flores, 2015
…………..…… 28
Gambar 16. Peta biomassa ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting di stasiun monitoring di perairan Maumere, Kabupaten Sikka, 2015
……..…… 28
Gambar 17. Diagram perbandingan jumlah individu megabenthos di perairan Sikka -Maumere
……..…… 29
Gambar 18. Grafik Persentase Penutupan Lamun pada Stasiun Monitoring ……….…… 36 Gambar 19. Daun Sonneratia alba, yang digunakan sebagai pakan
ternak (kiri); media sosialisasi Peraturan Desa tentang perlindungan kawasan pesisir di Desa Darat Pantai (kanan)
…………..…… 38
vii
Kepadatan Ikan Karang ……………………………………………………. 26
Biomassa Ikan Karang ……………………….……………………………. 26
MEGA BENTOS ……………………..……………………………………………. 29
Komposisi Jenis dan Kepadatan Mega Bentos …………...……………… 30
LAMUN ………………..…………………………………………..………………. 34
MANGROVE ………………..…………………………………………..…………… 36
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………..………………. 39
Kesimpulan ………………………………………………………..………………. 39
Saran …………………………………………...…………………...………………. 40
DAFTAR PUSTAKA …………………………………...…………………..………………. 41
LAMPIRAN …..………………………………………...…………………..……………… 43
-
x
-
xi
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kode masing-masing biota dan subtrat …………………………...………… 6
Tabel 2. Pengelompokkan kondisi terumbu karang berdasarkan nilai persentase tutupan karang hidup
………… 6
Tabel 3: Kategori tutupan lamun ………….…………………..………………………. 9
Tabel 4. Posisi geografis dan tipe substrat stasiun permanen pemantauan mangrove di wilayah KKPD Kabupaten Sikka
……………… 10
Tabel 5. Substrat dasar perairan yang dikelompokkan dalam 4 klas …………… 14
Tabel 6. Luasan habitat perairan laut dangkal dan mangrove perairan Maumere, Kab. Sika, Nusa Tenggara Timur.
………….… 14
Tabel 7. Jumlah individu, kepadatan dan jumlah jenis ikan kepe-kepe menurut stasiun penelitian di perairan Sikka, Flores, 2015
……..……… 25
Tabel 8. Komposisi jenis ikan karang dari 7 suku terpilih ……………………………. 27
Tabel 9. Pola kehadiran megabenthos pada setiap stasiun pengamatan ………… 29
Tabel 10. Pola kehadiran spesies megabentos pada setiap stasiun di perairan Kabupaten Kabupaten Sikka, Maumere
……………… 30
Tabel 11. Penyebaran Jenis Lamun pada Stasiun Monitoring ………………….…… 34
Tabel 12. Persentase Penutupan Lamun pada Stasiun Monitoring …………….…… 35
Tabel 13. Jumlah jenis dalam plot permanen, persentase tutupan kanopi dan jenis yang mendominasi pada 13 stasiun pemantauan mangrove COREMAP CTI di wilayah KKPD Teluk Maumere.
……….… 37
-
xii
1
BAB I. PENDAHULUAN
Kegiatan COREMAP Fase III kali ini yang diberi nama COREMAP CTI yang direncanakan
berlangsung selama 5 tahun (2015-2019), dilakukan di 15 lokasi COREMAP. Pada COREMAP
CTI ini ada penambahan lokasi baru yang sebelumnya tidak ada di COREMAP fase II. Lokasi
lokasi baru yang ditambahkan adalah lokasi perairan Kawasan Konservasi Perairan Nasional
(KKPN) yang pengelolaannya ada dibawah Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Salah satu lokasi COREMAP adalah Kabupaten Sikka dengan Ibukota Maumere yang terletak di
sebelah timur Pulau Flores Wilayah Kabupaten Sikka yang luasnya 7.553,24 km². Wilayahnya
terdiri dari laut yang luasnya mencapai 5.821,33 km² atau 77,07 % merupakan perairan laut.
Didalamnya terdapat 17 buah pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 444,50 km.
(www.sikkakab.go.id). Luas terumbu karang di kabupaten ini ± 104,92 km2 yang terdiri dari
terumbu karang tepi (fringing reef) yang terdapat di pesisir daratan pulau utama (Pulau Flores)
maupun di pesisir (Winardi & Manuputty, 2007).
Ekosistem terumbu karang, padang lamun, serta mangrove merupakan ekosistem yang memiliki
peranan penting sebagai sumber nutrisi serta tempat hidup bagi banyak biota laut. Oleh karena itu,
ketiga ekosistem tersebut dijadikan panduan didalam pengelolaan laut dan pesisir (Dahuri, 1996).
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil juga mengatur pemanfaatan yang tidak merusak serta perlindungan terhadap ketiga
ekosistem tersebut. Keanekaragaman ekosistem pesisir dan laut yang terdapat di perairan Sikka
merupakan sumberdaya yang penting untuk dilindungi mengingat besarnya ketergantungan
masyarakat terhadap ekosistem tersebut.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data awal (baseline study) mengenai
kesehatan terumbu karang yang meliputi penelitian karang, ikan karang dan mega bentos, serta
data awal mengenai ekosistem terkait yakni ekosistem padang lamun dan ekosistem mangrove di
perairan Sikka untuk COREMAP CTI.
-
1
1
BAB I. PENDAHULUAN
Kegiatan COREMAP Fase III kali ini yang diberi nama COREMAP CTI yang direncanakan
berlangsung selama 5 tahun (2015-2019), dilakukan di 15 lokasi COREMAP. Pada COREMAP
CTI ini ada penambahan lokasi baru yang sebelumnya tidak ada di COREMAP fase II. Lokasi
lokasi baru yang ditambahkan adalah lokasi perairan Kawasan Konservasi Perairan Nasional
(KKPN) yang pengelolaannya ada dibawah Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Salah satu lokasi COREMAP adalah Kabupaten Sikka dengan Ibukota Maumere yang terletak di
sebelah timur Pulau Flores Wilayah Kabupaten Sikka yang luasnya 7.553,24 km². Wilayahnya
terdiri dari laut yang luasnya mencapai 5.821,33 km² atau 77,07 % merupakan perairan laut.
Didalamnya terdapat 17 buah pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 444,50 km.
(www.sikkakab.go.id). Luas terumbu karang di kabupaten ini ± 104,92 km2 yang terdiri dari
terumbu karang tepi (fringing reef) yang terdapat di pesisir daratan pulau utama (Pulau Flores)
maupun di pesisir (Winardi & Manuputty, 2007).
Ekosistem terumbu karang, padang lamun, serta mangrove merupakan ekosistem yang memiliki
peranan penting sebagai sumber nutrisi serta tempat hidup bagi banyak biota laut. Oleh karena itu,
ketiga ekosistem tersebut dijadikan panduan didalam pengelolaan laut dan pesisir (Dahuri, 1996).
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil juga mengatur pemanfaatan yang tidak merusak serta perlindungan terhadap ketiga
ekosistem tersebut. Keanekaragaman ekosistem pesisir dan laut yang terdapat di perairan Sikka
merupakan sumberdaya yang penting untuk dilindungi mengingat besarnya ketergantungan
masyarakat terhadap ekosistem tersebut.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data awal (baseline study) mengenai
kesehatan terumbu karang yang meliputi penelitian karang, ikan karang dan mega bentos, serta
data awal mengenai ekosistem terkait yakni ekosistem padang lamun dan ekosistem mangrove di
perairan Sikka untuk COREMAP CTI.
-
2
3
WAKTU PENELITIAN
Penelitian dilakukan di perairan Sikka pada 5-13 Juni 2015. Penelitian ini merupakan penelitian
awal (baseline study) di 3 ekosistem yaitu Ekositem karang yang meliputi Penelitian Karang,
Ikan Karang dan Megabentos, Ekosistem Lamun dan ekosistem Mangrove serta Pemetaan
habitat
PELAKSANA PENELITIAN
Pelaksanaan penelitian dilakukan oleh para peneliti dan pembantu peneliti di lingkungan P2O
LIPI di bidang SIG, karang, ikan karang, megabentos, dan mangrove. Sedangkan untuk bidang
lamun dibantu dengan peneliti dari Universitas Pattimura, Ambon dan 3 staf lokal dan 3 tenaga
lokal dari Dinas Kelautan dan Perikanan Sikka, Bappeda dan Lembaga Swadaya Masyarakat.
BAB II. METODE DAN ANALISIS DATA
PEMETAAN HABITAT/SIG
Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah GPS Trimble Juno, kamera bawah air
dan catatan lapangan, sedangkan wahana penelitian adalah perahu yang memungkinkan
menembus perairan dangkal dan penjelajahan lapangan (tanpa wahana perahu) yang hanya bisa
dilakukan pada saat laut sedang surut. Metode yang dipergunakan adalah ground truth, yakni
mendiskripsi secara visual jenis substrat dasar perairan meliputi komposisi persentase material
penyusun pada bentangan 15 m x 15 m, sedangkan posisi geografis dicatat menggunakan GPS
dalam format derajad, desimal berdasar datum WGS 84.
Pengolahan dan Analisis Data
Metode analisis dilakukan menggunakan metode penginderaan jauh. Bahan yang digunakan
untuk memetakan habitat perairan dangkal dan mangrove di perairan Maumere dan sekitarnya
adalah citra satelit LANDSAT 8 path/row 112/66 perekaman 5 Mei 2015. Pemetaan habitat
perairan dangkal dilakukan melalui proses penajaman citra dan klasifikasi multispektral.
Penajaman citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh gangguan kolom air, sehingga objek
dasar perairan dangkal dapat terlihat lebih jelas. Teknik penajaman yang digunakan adalah
transformasi citra dengan menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Lyzenga (1981) dan
Principal Component Analysis (PCA) untuk menghasilkan beberapa citra yang tidak berkorelasi
2
LINGKUP PENELITIAN
Ruang lingkup dalam rangka melakukan penelitian ini meliputi beberapa tahapan yakni:
1. Tahap persiapan, yakni melakukan komunikasi dengan instansi terkait di wilayah lokasi penelitian, kegiatan administrasi dan persiapan peralatan serta transportasi yang dibutuhkan
dalam penelitian.
2. Pengumpulan Data, yakni melakukan pengambilan data yang dibutuhkan secara langsung di lapangan sesuai dengan tujuan kegiatan penelitian.
3. Analisa data, yaitu pengolahan data yang telah diperoleh agar data dapat tersaji dan dipahami.
4. Pelaporan yakni membuat laporan sementara dan laporan akhir sebagai bentuk pertanggung jawaban dari kegiatan yang telah dilakukan.
LOKASI PENELITIAN
Lokasi penelitian dilakukan di 14 stasiun pengamatan yang (Gambar 1).
Gambar 1. Peta stasiun monitoring di perairan Maumere, Sikka, 2015
-
3
3
WAKTU PENELITIAN
Penelitian dilakukan di perairan Sikka pada 5-13 Juni 2015. Penelitian ini merupakan penelitian
awal (baseline study) di 3 ekosistem yaitu Ekositem karang yang meliputi Penelitian Karang,
Ikan Karang dan Megabentos, Ekosistem Lamun dan ekosistem Mangrove serta Pemetaan
habitat
PELAKSANA PENELITIAN
Pelaksanaan penelitian dilakukan oleh para peneliti dan pembantu peneliti di lingkungan P2O
LIPI di bidang SIG, karang, ikan karang, megabentos, dan mangrove. Sedangkan untuk bidang
lamun dibantu dengan peneliti dari Universitas Pattimura, Ambon dan 3 staf lokal dan 3 tenaga
lokal dari Dinas Kelautan dan Perikanan Sikka, Bappeda dan Lembaga Swadaya Masyarakat.
BAB II. METODE DAN ANALISIS DATA
PEMETAAN HABITAT/SIG
Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah GPS Trimble Juno, kamera bawah air
dan catatan lapangan, sedangkan wahana penelitian adalah perahu yang memungkinkan
menembus perairan dangkal dan penjelajahan lapangan (tanpa wahana perahu) yang hanya bisa
dilakukan pada saat laut sedang surut. Metode yang dipergunakan adalah ground truth, yakni
mendiskripsi secara visual jenis substrat dasar perairan meliputi komposisi persentase material
penyusun pada bentangan 15 m x 15 m, sedangkan posisi geografis dicatat menggunakan GPS
dalam format derajad, desimal berdasar datum WGS 84.
Pengolahan dan Analisis Data
Metode analisis dilakukan menggunakan metode penginderaan jauh. Bahan yang digunakan
untuk memetakan habitat perairan dangkal dan mangrove di perairan Maumere dan sekitarnya
adalah citra satelit LANDSAT 8 path/row 112/66 perekaman 5 Mei 2015. Pemetaan habitat
perairan dangkal dilakukan melalui proses penajaman citra dan klasifikasi multispektral.
Penajaman citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh gangguan kolom air, sehingga objek
dasar perairan dangkal dapat terlihat lebih jelas. Teknik penajaman yang digunakan adalah
transformasi citra dengan menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Lyzenga (1981) dan
Principal Component Analysis (PCA) untuk menghasilkan beberapa citra yang tidak berkorelasi
-
4
5
menggunakan metode UPT (Underwater Photo Transect) (Giyanto et al., 2010; Giyanto, 2012a;
Giyanto, 2012b) untuk mengetahui kondisi terumbu karang di masing-masing stasiun penelitian.
Adapun teknis pelaksanaan metode UPT di lapangan adalah sebagai berikut:
Pada masing-masing stasiun penelitian, pita meteran (roll meter) sepanjang 50 meter sebagai
garis transek diletakkan sejajar garis pantai pada kedalaman dimana karang umum dijumpai,
yaitu pada kedalaman sekitar 4-7 meter. Saat melakukan peletakan pita meteran, posisi daratan
pulau berada di bagian kiri. Selanjutnya dilakukan pemotretan sepanjang garis transek mulai
meter ke-1 hingga meter ke-50 dengan jarak antar pemotretan sepanjang 1 meter. Pemotretan
pada meter ke-1 (frame 1), meter ke-3 (frame 3) dan frame-frame berikutnya dengan nomer ganjil
dilakukan disebelah kanan garis transek, sedangkan untuk frame-frame dengan nomer genap
(frame 2, frame 4, dan seterusnya) dilakukan di sebelah kiri garis transek. Untuk setiap
pemotretan dilakukan pada jarak sekitar 60 cm dari dasar substrat sehingga luas bidang setiap
frame pemotretan sekitar 2500 m2. Ilustrasi pengambilan foto ditampilkan pada gambar 2.
Gambar 2. Ilustrasi pengambilan foto dengan metode UPT.
Pengolahan dan Analisis Data
Analisis foto berdasarkan foto hasil pemotretan dilakukan menggunakan komputer dan piranti
lunak (software) CPCe (Kohler & Gill 2006). Sebanyak 30 sampel titik acak dipilih untuk setiap
frame foto, dan untuk setiap titiknya diberi kode sesuai dengan kode masing-masing kategori dan
biota dan substrat yang berada pada titik acak tersebut (Tabel 1).
Selanjutnya dihitung persentase tutupan masing-masing kategori biota dan substrat untuk setiap
frame foto menggunakan rumus:
4
karena data citra multispektral seringkali berkorelasi tinggi antar tiap piksel pada saluran (band)
yang berbeda (Richards, 1999). Klasifikasi multispektral dilakukan untuk mengelompokkan piksel
citra yang memiliki karakteristik yang hampir sama menjadi beberapa kelompok berdasarkan
objek yang di amati, dalam hal ini adalah objek dasar perairan dangkal. Teknik klasifikasi yang
digunakan adalah klasifikasi multispektral terbimbing dengan algoritma maximum likelihood.
Saluran panjang gelombang yang digunakan untuk pemetaan perairan dangkal adalah saluran
biru (saluran 2), saluran hijau (saluran 3), saluran merah (saluran 4), dan saluran inframerah
dekat (saluran 5). Saluran biru, hijau, dan merah merupakan spektrum tampak. Spektrum tampak
memiliki kemampuan yang baik untuk berpenetrasi ke dalam kolom air, sehingga dapat
digunakan untuk membedakan objek sebatas pada perairan dangkal (Campbell, 1996). Saluran
inframerah dekat, digunakan untuk membatasi wilayah daratan dan perairan karena spektrum
tersebut diserap oleh air sehingga pada citra berwarna gelap (hitam). Perbedaan warna yang
kontras tersebut (gelap dan terang) memudahkan pembedaan wilayah daratan dan perairan pada
citra satelit.
Pembedaan objek vegetasi mangrove dengan vegetasi lainnya dilakukan dengan memanfaatkan
komposit citra RGB 562. Saluran 5 merupakan saluran inframerah dekat (0,8646 um) yang peka
terhadap pantulan spektral vegetasi yang berhubungan dengan struktur internal daun. Pada
saluran ini vegetasi mangrove dapat diidentifikasi berdasarkan diversivitasnya (keanekaragaman
jenis). Hal ini terkait dengan adanya perbedaan struktur internal dari vegetasi mangrove. Saluran
inframerah tengah (1,6090 um) memiliki karakteristik pancaran vegetasi yang dipengaruhi oleh
serapan air sehingga tumbuhan mangrove akan memberikan warna dan rona yang gelap. Hal ini
disebabkan karena tumbuhan mangrove pada umumnya mengandung air dalam jumlah yang
besar (Sato, 1996 dalam Hudaya, 2004).
Survei lapangan digunakan untuk mengetahui kenampakan sebenarnya dilapangan yang
terekam oleh citra satelit. Pengambilan titik pengamatan dilakukan secara sistematis dengan
membuat jalur transek mulai dari garis pantai hingga ujung terumbu atau tubir. Pengamatan
dilakukan menggunakan teknik snorkeling serta berhenti sejenak untuk mencatat ketika terjadi
perubahan kenampakan didasar perairan. Setiap titik pengamatan dicatat lokasinya
menggunakan alat receiver GPS.
KARANG
Pengamatan visual secara bebas mulai dari bagian pinggir pantai hingga ke bagian terumbu
tempat dilakukannya transek di masing-masing stasiun penelitian dilakukan untuk mendapatkan
gambaran umum tentang stasiun penelitian. Selain itu juga dilakukan pengambilan data
-
5
5
menggunakan metode UPT (Underwater Photo Transect) (Giyanto et al., 2010; Giyanto, 2012a;
Giyanto, 2012b) untuk mengetahui kondisi terumbu karang di masing-masing stasiun penelitian.
Adapun teknis pelaksanaan metode UPT di lapangan adalah sebagai berikut:
Pada masing-masing stasiun penelitian, pita meteran (roll meter) sepanjang 50 meter sebagai
garis transek diletakkan sejajar garis pantai pada kedalaman dimana karang umum dijumpai,
yaitu pada kedalaman sekitar 4-7 meter. Saat melakukan peletakan pita meteran, posisi daratan
pulau berada di bagian kiri. Selanjutnya dilakukan pemotretan sepanjang garis transek mulai
meter ke-1 hingga meter ke-50 dengan jarak antar pemotretan sepanjang 1 meter. Pemotretan
pada meter ke-1 (frame 1), meter ke-3 (frame 3) dan frame-frame berikutnya dengan nomer ganjil
dilakukan disebelah kanan garis transek, sedangkan untuk frame-frame dengan nomer genap
(frame 2, frame 4, dan seterusnya) dilakukan di sebelah kiri garis transek. Untuk setiap
pemotretan dilakukan pada jarak sekitar 60 cm dari dasar substrat sehingga luas bidang setiap
frame pemotretan sekitar 2500 m2. Ilustrasi pengambilan foto ditampilkan pada gambar 2.
Gambar 2. Ilustrasi pengambilan foto dengan metode UPT.
Pengolahan dan Analisis Data
Analisis foto berdasarkan foto hasil pemotretan dilakukan menggunakan komputer dan piranti
lunak (software) CPCe (Kohler & Gill 2006). Sebanyak 30 sampel titik acak dipilih untuk setiap
frame foto, dan untuk setiap titiknya diberi kode sesuai dengan kode masing-masing kategori dan
biota dan substrat yang berada pada titik acak tersebut (Tabel 1).
Selanjutnya dihitung persentase tutupan masing-masing kategori biota dan substrat untuk setiap
frame foto menggunakan rumus:
-
6
7
Identifikasi jenis ikan menggunakan beberapa buku petunjuk bergambar/field guide ikan karang
(Allen et al. 2009; Allen & Steene, 1996; Kuiter & Tonozuka, 2001). Pendekatan yang digunakan
dalam menaksir panjang ikan dalam air adalah metode “sticks” (Wilson & Green, 2009), yaitu
mencoba untuk menaksir panjang total ikan dari mulai ujung mulut ikan sampai ujung sirip ekor
dan jumlah ikan yang tersensus dikelompokan ke dalam panjang taksiran (cm) dengan kelipatan
5.
Analisis Data
Keanekaragaman jenis adalah jumlah spesies ikan karang yang teridentifikasi selama
penyelaman.
Kepadatan (D) adalah jumlah individu seluruh spesies ikan karang per luas area pengamatan.
Berikut ini rumus jumlah individu seluruh spesies ikan karang per luas area pengamatan
Biomassa ikan diperoleh melalui penggunaan rumus hubungan panjang berat, dimana dengan
menyiapkan konstanta “a” dan ‘b” dari setiap species, maka melalui jalan subsitusi nilai panjang
pada rumus W = a x Lb akan didapat data berat ikan. Nilai “a” dan “b” dapat dicari di situs web
“fishbase” untuk setiap jenis ikan target Froese & Pauly (2014).
Sediaan ikan dalam satuan biomassa (B) adalah berat individu ikan target (W) per luas area
pengamatan. Rumus berat individu ikan ekonomis penting (W) per luas area pengamatan
MEGA BENTOS
Metode pengambilan data menggunakan metode “Reefefcheck – Invertebrate Belt Transect”
pada garis transek sepanjang 70 meter dengan area pengamatan 1 meter di kanan dan kiri
transek. Metode pengambilan data megabenthos hanya menargetkan 8 biota yang menjadi target
pendataan, yaitu: Kima (Tridacna spp.), Bintang Bulu Seribu (Acanthaster planci), Bulu babi
(Echinoids), Teripang (Holothurians), Keong Drupela (Drupella spp.), Lola (Trochus spp.), Lobster
(Panulirus spp.) dan Bintag laut (Linchia Spp).
6
Tabel 1. Kode masing-masing biota dan subtrat
Berdasarkan nilai persentase tutupan karang hidup dapat ditentukan kondisi kondisi terumbu
karang seperti pengelompokan yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Oseanografi – Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (Puslit Oseanografi-LIPI) (Tabel 2).
Tabel 2. Pengelompokkan kondisi terumbu karang berdasarkan nilai persentase tutupan karang hidup.
Tutupan Karang Hidup (%) Kriteria Penilaian
75 – 100
50 – 74,9
25 – 49,9
0 – 24,9
Sangat baik
Baik
Cukup
Kurang
IKAN KARANG
Pengambilan data dilakukan dengan sensus visual (English et al., 1994), dengan menggunakan
alat selam (SCUBA) pada transek sabuk dengan luas area sensus 70 m x 5 m. Unit analisis
mencakup kelompok Coralivore (Chetodontidae) dan kelompok ikan ekonomis penting. Data
yang dikumpulkan adalah jumlah jenis, panjang ikan (dalam centimeter) dan jumlah individu.
Jenis, jumlah individu ikan dan perkiraan panjang ikan dicatat dalam data sheet kedap air.
-
7
7
Identifikasi jenis ikan menggunakan beberapa buku petunjuk bergambar/field guide ikan karang
(Allen et al. 2009; Allen & Steene, 1996; Kuiter & Tonozuka, 2001). Pendekatan yang digunakan
dalam menaksir panjang ikan dalam air adalah metode “sticks” (Wilson & Green, 2009), yaitu
mencoba untuk menaksir panjang total ikan dari mulai ujung mulut ikan sampai ujung sirip ekor
dan jumlah ikan yang tersensus dikelompokan ke dalam panjang taksiran (cm) dengan kelipatan
5.
Analisis Data
Keanekaragaman jenis adalah jumlah spesies ikan karang yang teridentifikasi selama
penyelaman.
Kepadatan (D) adalah jumlah individu seluruh spesies ikan karang per luas area pengamatan.
Berikut ini rumus jumlah individu seluruh spesies ikan karang per luas area pengamatan
Biomassa ikan diperoleh melalui penggunaan rumus hubungan panjang berat, dimana dengan
menyiapkan konstanta “a” dan ‘b” dari setiap species, maka melalui jalan subsitusi nilai panjang
pada rumus W = a x Lb akan didapat data berat ikan. Nilai “a” dan “b” dapat dicari di situs web
“fishbase” untuk setiap jenis ikan target Froese & Pauly (2014).
Sediaan ikan dalam satuan biomassa (B) adalah berat individu ikan target (W) per luas area
pengamatan. Rumus berat individu ikan ekonomis penting (W) per luas area pengamatan
MEGA BENTOS
Metode pengambilan data menggunakan metode “Reefefcheck – Invertebrate Belt Transect”
pada garis transek sepanjang 70 meter dengan area pengamatan 1 meter di kanan dan kiri
transek. Metode pengambilan data megabenthos hanya menargetkan 8 biota yang menjadi target
pendataan, yaitu: Kima (Tridacna spp.), Bintang Bulu Seribu (Acanthaster planci), Bulu babi
(Echinoids), Teripang (Holothurians), Keong Drupela (Drupella spp.), Lola (Trochus spp.), Lobster
(Panulirus spp.) dan Bintag laut (Linchia Spp).
-
8
9
Tabel 3: Kategori tutupan lamun
Penentuan Status Padang Lamun
Kriteria status padang lamun
MANGROVE
Persentase tutupan mangrove dihitung dengan menggunakan metode Hemispherical
Photography. Pemantauan persentase tutupan kanopi mangrove dilakukan dalam 13 stasiun
permanen di area KKPD Teluk Maumere. Sebaran dan deskripsi stasiun penelitian disajikan
dalam Tabel 4. Stasiun permanen terdiri dari tiga plot (total 39 plot) dibuat berdasarkan
persyaratan dalam Dharmawan & Pramudji (2014). Setiap plot dibagi menjadi 4-9 kuadran
dimana setiap kuadran diambil satu kali foto berdasarkan persyaratan yang sudah ditentukan.
Pengambilan foto dilakukan dengan menggunakan kamera 5 megapixel Himax Polymer
Octacore.
8
LAMUN
Metode yang digunakan adalah transek kuadrat yang dimodifikasi dari metode Seagrass Watch.
Pengambilan data dilakukan pada tiga transek dengan jarak antar transek 50 m. Transek
pertama dicatat posisi koordinatnya dan ditandai dengan patok besi yang dipasang pelampung.
Transek nomor 2 dan 3 ditentukan ke arah sebelah kanan dengan posisi pengamat menghadap
ke laut. Jarak antar kuadrat pada masing-masing transek adalah 10 m, dan kuadrat yang
digunakan adalah ukuran 50 x 50 cm atau 0.25 m2 (Gambar 3).
Kesehatan lamun ditentukan berdasarkan persentase penutupan lamun pada kuadrat ukuran
0.25 m2 yang dibagi lagi menjadi 4 kotak kecil. Penilaian penutupan lamun dalam kotak kecil
berdasarkan Saito and Atobe, (1970) dalam English et al., (1994) yang dimodifikasi.(Tabel 3).
Pada masing masing kuadrat diamati juga substrat dan biota yang berasosiasi dengan lamun.
Gambar 3. Skema Transek Kuadrat
Analisis Penutupan Lamun
Penutupan lamun dalam satu kuadrat dihitung dengan menjumlahkan nilai tutupan lamun pada
setiap kotak kecil (4 kotak), dan hasilnya kemudian dikali dengan 100. Rumus penutupan lamun
(%) adalah sebagai berikut:
-
9
9
Tabel 3: Kategori tutupan lamun
Penentuan Status Padang Lamun
Kriteria status padang lamun
MANGROVE
Persentase tutupan mangrove dihitung dengan menggunakan metode Hemispherical
Photography. Pemantauan persentase tutupan kanopi mangrove dilakukan dalam 13 stasiun
permanen di area KKPD Teluk Maumere. Sebaran dan deskripsi stasiun penelitian disajikan
dalam Tabel 4. Stasiun permanen terdiri dari tiga plot (total 39 plot) dibuat berdasarkan
persyaratan dalam Dharmawan & Pramudji (2014). Setiap plot dibagi menjadi 4-9 kuadran
dimana setiap kuadran diambil satu kali foto berdasarkan persyaratan yang sudah ditentukan.
Pengambilan foto dilakukan dengan menggunakan kamera 5 megapixel Himax Polymer
Octacore.
-
10
11
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN
SIG
Pra-pemrosesan
Citra yang digunakan merupakan citra LANDSAT 8 level 1T, artinya citra tersebut sudah
dikoreksi geometrinya dengan memasukkan posisi atau koordinat geografis yang
mempertimbangkan juga pergeseran yang diakibatkan oleh bentuk relief permukaan bumi
(Orthorectified). Jika dibandingkan dengan peta dasar sebagai acuan yaitu peta Rupabumi
Indonesia, citra yang digunakan sudah memiliki geometri yang baik. Hal tersebut ditunjukkan
dengan kesesuaian posisi koordinat antara objek di citra maupun di peta dasar.
Kualitas resolusi spasial citra LANDSAT multispektral dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan
saluran pankromatik. Saluran pankromatik LANDSAT 8 memiliki resolusi spasial 15 meter x 15
meter, sedangkan multispektralnya hanya 30 meter x 30 meter. Teknik pan-sharpening dengan
algoritma Gram-Schmidt digunakan untuk proses tersebut. Algoritma tersebut memiliki akurasi
yang lebih baik dibandingkan dengan algoritma pan-sharpening lainnya, serta direkomendasikan
untuk berbagai aplikasi/pemanfaatan (Laben et al., 2000). Hasil dari proses tersebut adalah citra
satelit multispektral dengan resolusi spasial 15 meter x 15 meter.
Koreksi radiometri citra dilakukan untuk menghilangkan efek gangguan atmosfer seperti kabut
atau awan tipis. Gangguan tersebut menyebabkan nilai digital (DN) citra tidak bernilai “0” pada
objek tergelap seperti bayangan awan dan laut dalam. Koreksi radiometri citra dilakukan untuk
menghilangkan efek gangguan atmosfer seperti kabut atau awan tipis. Gangguan tersebut
menyebabkan nilai digital (DN) citra tidak bernilai “0” pada objek tergelap seperti bayangan awan
dan laut dalam. Hal tersebut dapat diatasi dengan cara mengurangi DN seluruh liputan citra
dengan DN minimum. Metode tersebut dikenal dengan dark substraction. DN minimum
didapatkan dari analisis histogram citra diliputan laut dalam. Hasil analisis pada tahapan tersebut
disajikan pada Gambar 5.
10
Tabel 4. Posisi geografis dan tipe substrat stasiun permanen pemantauan mangrove di wilayah KKPD Kabupaten Sikka.
Analisis Data
Foto dianalisis dengan menggunakan software ImageJ dan Microsoft Excel untuk dihitung
persentase tutupannya. Kondisi rata-rata tutupan mangrove dikategorikan menjadi tiga kelompok,
yaitu padat (>75%); sedang (antara 50 – 75%) dan jarang (
-
11
11
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN
SIG
Pra-pemrosesan
Citra yang digunakan merupakan citra LANDSAT 8 level 1T, artinya citra tersebut sudah
dikoreksi geometrinya dengan memasukkan posisi atau koordinat geografis yang
mempertimbangkan juga pergeseran yang diakibatkan oleh bentuk relief permukaan bumi
(Orthorectified). Jika dibandingkan dengan peta dasar sebagai acuan yaitu peta Rupabumi
Indonesia, citra yang digunakan sudah memiliki geometri yang baik. Hal tersebut ditunjukkan
dengan kesesuaian posisi koordinat antara objek di citra maupun di peta dasar.
Kualitas resolusi spasial citra LANDSAT multispektral dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan
saluran pankromatik. Saluran pankromatik LANDSAT 8 memiliki resolusi spasial 15 meter x 15
meter, sedangkan multispektralnya hanya 30 meter x 30 meter. Teknik pan-sharpening dengan
algoritma Gram-Schmidt digunakan untuk proses tersebut. Algoritma tersebut memiliki akurasi
yang lebih baik dibandingkan dengan algoritma pan-sharpening lainnya, serta direkomendasikan
untuk berbagai aplikasi/pemanfaatan (Laben et al., 2000). Hasil dari proses tersebut adalah citra
satelit multispektral dengan resolusi spasial 15 meter x 15 meter.
Koreksi radiometri citra dilakukan untuk menghilangkan efek gangguan atmosfer seperti kabut
atau awan tipis. Gangguan tersebut menyebabkan nilai digital (DN) citra tidak bernilai “0” pada
objek tergelap seperti bayangan awan dan laut dalam. Koreksi radiometri citra dilakukan untuk
menghilangkan efek gangguan atmosfer seperti kabut atau awan tipis. Gangguan tersebut
menyebabkan nilai digital (DN) citra tidak bernilai “0” pada objek tergelap seperti bayangan awan
dan laut dalam. Hal tersebut dapat diatasi dengan cara mengurangi DN seluruh liputan citra
dengan DN minimum. Metode tersebut dikenal dengan dark substraction. DN minimum
didapatkan dari analisis histogram citra diliputan laut dalam. Hasil analisis pada tahapan tersebut
disajikan pada Gambar 5.
-
12
13
nilai ki/kj yang diperoleh yakni dengan melihat besarnya nilai R2. Idealnya nilai tersebut
mendekati 1 atau umumnya 0.999. Namun demikian mengingat sulit nya mencari habitat pasir
yang homogin dalam suatu citra, kadang hasil analisis tidak setajam yang diharapkan. Gambar 6
adalah citra hasil analisis menggunakan algoritma Lyzenga (1981).
Gambar 6. Citra dasar perairan laut dangkal perairan sekitar Pulau Besar setelah dilakukan proses penajaman citra menggunakan algoritma Lyzenga (1981).
Peta Habitat Perairan Dangkal
Berdasarkan hasil analisis citra dan dibantu dengan uji/cek lapangan, dapat dibuat peta
habitat perairan dangkal sementara sebaran mangrove di delineasi secara manual menggunakan
citra komposit RGB 562. Habitat perairan dangkal dilakukan menggunakan klasifikasi nearest
likelyhood berdasar panduan data observasi lapangan. Substrat dasar perairan dapat
dikelompokkan atas 4 klas yang disajikan pada Tabel 5, luas masing masing klas disajikan pada
Tabel 6, sedangkan peta habitat perairan laut dangkal yang terbentuk, disajikan pada Gambar 7.
12
Gambar 5. Citra dasar perairan laut dangkal perairan sekitar Pulau Besar sebelum dilakukan proses penajaman citra.
Tahapan selanjutnya mempertajam citra oleh pengaruh indeks kedalaman menggunakan
algorima sebagai mengambil nilai piksel yang menggambarkan substrat pasir dari lokasi yang
dianggap paling dalam, berturut turut menuju ke arah payang dikemukakan oleh Lyzenga (1981)
dengan persamaan sebagai berikut:
Keterangan: σii, jj: varian band i, atau band j σij : covarian band ij Li : Nilai digital pada band i. Lj : Nilai digital pada band j. ki/kj : Rasio koefisien atenuasi pada pasangan band i dan j.
Nilai ki/kj diperoleh dengan pengambilan nilai piksel pasir pada kedalaman yang berbeda.
Material pasir mudah dikenali pada citra komposit true color secara visual, yaitu berwarna cyan
atau biru muda untuk pasir pada air dangkal, serta berangsur-angsur warna biru muda menjadi
lebih gelap untuk pasir pada air yang lebih dalam. Nilai logaritmik piksel yang terrekam pada
saluran 2 (B2), 3 (Band 3) dan 4 (Band 4) di plot dalam suatu grafik. Dalam menguji ketelitian
-
13
13
nilai ki/kj yang diperoleh yakni dengan melihat besarnya nilai R2. Idealnya nilai tersebut
mendekati 1 atau umumnya 0.999. Namun demikian mengingat sulit nya mencari habitat pasir
yang homogin dalam suatu citra, kadang hasil analisis tidak setajam yang diharapkan. Gambar 6
adalah citra hasil analisis menggunakan algoritma Lyzenga (1981).
Gambar 6. Citra dasar perairan laut dangkal perairan sekitar Pulau Besar setelah dilakukan proses penajaman citra menggunakan algoritma Lyzenga (1981).
Peta Habitat Perairan Dangkal
Berdasarkan hasil analisis citra dan dibantu dengan uji/cek lapangan, dapat dibuat peta
habitat perairan dangkal sementara sebaran mangrove di delineasi secara manual menggunakan
citra komposit RGB 562. Habitat perairan dangkal dilakukan menggunakan klasifikasi nearest
likelyhood berdasar panduan data observasi lapangan. Substrat dasar perairan dapat
dikelompokkan atas 4 klas yang disajikan pada Tabel 5, luas masing masing klas disajikan pada
Tabel 6, sedangkan peta habitat perairan laut dangkal yang terbentuk, disajikan pada Gambar 7.
-
14
15
KARANG
Tutupan Karang
Hasil analisa dengan menggunakan CPCe versi 4.1. (Coral Point Count with Excel extension)
diperoleh nilai persentase tutupan karang batu bervariasi dari kondisi kategori rendah hingga
kategori sedang (1,8 - 34,47%). Persentase tutupan karang batu tertinggi terdapat di stasiun
MMRL 69 (34,47%) dan yang terendah di stasiun MMRL74 (1,87%). Kondisi tutupan karang
kategori sedang (25,00 - 49,9%) terdapat pada stasiun MMRL 75, MMRL 47A dan 69. Sedangkan yang masuk dalam kategori jelek (< 25,0%) terdapat pada stasiun MMRL 74, MMRL 88, MMRL 21, MMRL 13, MMRL 80, MMRL 79, MMRL 37, MMRL 06, MMRL 65, MMRL 78 dan
MMRL 55. Hasil pengamatan kondisi karang hidup dengan metode CPCe pada masing-masing
stasiun di perairan Kabupaten Sikka dan sekitarnya disajikan dalam Gambar 8. Nilai persentase
tutupan karang batu yang dicatat pada setiap stasiun merupakan gabungan jenis-jenis karang
dari kelompok Acroporan dan Non-Acropora (Gambar 9.). Terumbu karang perairan Kabupaten
Sikka dan sekitarnya merupakan tipe terumbu karang tepi yang memiliki keragaman jenis karang
dan luas tutupan yang cukup variatif. Luas tutupan karang hidup sangat tergantung dari perilaku
manusia dalam memanfaatkan sumberdaya laut.
Dari kategori abiotik lainnya, tutupan DCA (dead coral with algae) dan rubble dominan,
persentase tutupan DCA tertinggi ada di stasiun MMRL 37 (53,87%) dan terendah di stasiun
MMRL 13 (10,13%). Hasil pengamatan substrat dan komponen biotik lainnya dengan metode
CPCe pada setiap stasiun di perairan Kab. Sikka dan sekitarnya disajikan dalam Gambar 4).
Sedangkan persentase tutupan tertinggi dari Rubble (patahan karang) terdapat di stasiun MMRL
74 (12,00%). Tingginya nilai persentase tutupan karang mati dapat saja disebabkan oleh faktor
alam maupun akibat aktivitas manusia. Akibat dari faktor alam adalah berupa ombak besar atau
badai sedangkan kerusakan yang disebabkan oleh ulah manusia berupa penggunaan bom dalam
menangkap ikan. Kegiatan seperti ini masih sering ditemui pada beberapa lokasi (daerah) di
perairan Indonesia.
Secara keseluruhan lokasi monitoring kab. Sikka memiliki perairan yang jernih, namun kondisi
persentase tutupan karang batu disemua stasiun pengamatan berada dalam kondisi yang rendah
hingga sedang (1,80% - 34,47%). Tutupan karang yang cukup variatif, komponen abiotik lainnya
serta substrat yang beragam memberi peluang (tempat) yang cukup besar bagi kehadiran ikan
maupun biota megabentos lainnya.
14
Tabel 5. Substrat dasar perairan yang dikelompokkan dalam 4 klas.
Tabel 6. Luasan habitat perairan laut dangkal dan mangrove perairan Maumere, Kab. Sikka, Nusa Tenggara Timur.
Gambar 7. Peta habitat perairan laut dangkal dan mangrove kawasan perairan
Maumere, Kab. Sikka, Nusa Tenggara Timur
-
15
15
KARANG
Tutupan Karang
Hasil analisa dengan menggunakan CPCe versi 4.1. (Coral Point Count with Excel extension)
diperoleh nilai persentase tutupan karang batu bervariasi dari kondisi kategori rendah hingga
kategori sedang (1,8 - 34,47%). Persentase tutupan karang batu tertinggi terdapat di stasiun
MMRL 69 (34,47%) dan yang terendah di stasiun MMRL74 (1,87%). Kondisi tutupan karang
kategori sedang (25,00 - 49,9%) terdapat pada stasiun MMRL 75, MMRL 47A dan 69. Sedangkan yang masuk dalam kategori jelek (< 25,0%) terdapat pada stasiun MMRL 74, MMRL 88, MMRL 21, MMRL 13, MMRL 80, MMRL 79, MMRL 37, MMRL 06, MMRL 65, MMRL 78 dan
MMRL 55. Hasil pengamatan kondisi karang hidup dengan metode CPCe pada masing-masing
stasiun di perairan Kabupaten Sikka dan sekitarnya disajikan dalam Gambar 8. Nilai persentase
tutupan karang batu yang dicatat pada setiap stasiun merupakan gabungan jenis-jenis karang
dari kelompok Acroporan dan Non-Acropora (Gambar 9.). Terumbu karang perairan Kabupaten
Sikka dan sekitarnya merupakan tipe terumbu karang tepi yang memiliki keragaman jenis karang
dan luas tutupan yang cukup variatif. Luas tutupan karang hidup sangat tergantung dari perilaku
manusia dalam memanfaatkan sumberdaya laut.
Dari kategori abiotik lainnya, tutupan DCA (dead coral with algae) dan rubble dominan,
persentase tutupan DCA tertinggi ada di stasiun MMRL 37 (53,87%) dan terendah di stasiun
MMRL 13 (10,13%). Hasil pengamatan substrat dan komponen biotik lainnya dengan metode
CPCe pada setiap stasiun di perairan Kab. Sikka dan sekitarnya disajikan dalam Gambar 4).
Sedangkan persentase tutupan tertinggi dari Rubble (patahan karang) terdapat di stasiun MMRL
74 (12,00%). Tingginya nilai persentase tutupan karang mati dapat saja disebabkan oleh faktor
alam maupun akibat aktivitas manusia. Akibat dari faktor alam adalah berupa ombak besar atau
badai sedangkan kerusakan yang disebabkan oleh ulah manusia berupa penggunaan bom dalam
menangkap ikan. Kegiatan seperti ini masih sering ditemui pada beberapa lokasi (daerah) di
perairan Indonesia.
Secara keseluruhan lokasi monitoring kab. Sikka memiliki perairan yang jernih, namun kondisi
persentase tutupan karang batu disemua stasiun pengamatan berada dalam kondisi yang rendah
hingga sedang (1,80% - 34,47%). Tutupan karang yang cukup variatif, komponen abiotik lainnya
serta substrat yang beragam memberi peluang (tempat) yang cukup besar bagi kehadiran ikan
maupun biota megabentos lainnya.
-
16
17
mangrove. Subtrat rataan terumbu berupa pasir putih dan pecahan karang yang ditumbuhi algae.
Rataan karang memiliki luas antar 50-100m yang dilanjutkan dengan rataan tubir yang berupa
karang gundus (rampart reef). Lokasi transek berada di kedalaman 12 m dengan jarak pandang
sekitar 10 m. Substrat dasar berupa pasir berseling dengan karang mati yang ditumbuhi oleh
alga. Lokasi transek berada pada rataan dengan tingkat kemiringan 20O.Beberapa karang yang
sering dijumpai pada lokasi ini adalah dari keluarga Acroporidae dan Poritidae. Namun
persentase tutupan karang pada kategori jelek (12,20%) Persentase tutupan ”DCA” sebesar
43,47 % . Persentase tututpan algae 0,27%, biota lain (other biota) 2,6%. Untuk kategori abiotik,
dicatat persentase tutupan :rubble” 2,20% dan pasir 32,33%. Kondisi tutupan pasir yang cukup
luas dapat mengurangi daya recoveri dari karang. Hal ini dikarenakan subtrat dasar pasir tidak
cukup kokoh digunakan sebagai inisiasi pertumbuhan karang. Kaki karang pada lokasi ini
mencapai kedalaman 30m. Karang keras yang sering dijumpai pada lokasi pengamatan dari
marga Porites lutea, Acropora latistella dan Montipora sp.. Pada lokasi ditemukan juga karang
lunak dari marga Sinularia spStasiun.
Stasiun MMRL 13
Lokasi pengamatan terletak di pesisir P. Flores tapatnya di desa Wailiti, Kec. Alok Barat dekat
dengan resort. Pesisir terdiri dari pasir putih dengan vegetasi berupa pohon kelapa dan
tumbuhan asosiasi mangrove. Terumbu karang merupakan tipe terumbu karang tepi dan terdapat
goba yang berkembang baik. Rataan karang sampai ke tubir kurang lebih 100-200m dengan
pertumbuhan karang berupa “patches” dari marga Acroporidae dan Poritidae. Daerah tubir
didominasi oleh karang dari keluarga Acroporidae dan Fungiidae. Lokasi transek berada di
kedalaman 15 m dengan jarak pandang sekitar 5 m. Substrat dasar berupa pecahan karang mati
dengan pasir berwarna coklat. Lokasi transek berada pada dengan tingkat kemiringan 20O.
Secara umum tutupan karang hidup pada lokasi ini dapat dikategori “jelek” (7,8%). Persentase
tutupan karang lunak 0,27% , sponge 1,73% dan makroalgae 0,07%. Untuk kategori abiotik
dicatat “rubble” 2,20% dan pasir 0,07%. Karang keras yang sering dijumpai pada lokasi
pengamatan adalah Acropora clathrata, Fungia danai dan Oxypora glabra.
Stasiun MMRL 21
Lokasi pengamatan di pesisir P. Flores tepatnya berada pada Desa Waiara, Kec. Kewapante.
Pantai terdiri pasir dan pecahan karang mati. Vegetasi daratan berupa pohon kelapa dan
semak.Rataan terumbu karang terdiri dari pecahan karang yang telah ditumbuhi oleh alga.
Pertumbuhan karang berupa “patches” dari keluarga Poritidae. Rataan terumbu cukup luas
kurang lebih mencapai 100-200m. Lokasi pengamtan berada sekitar 100m dari pantai di sebelah
16
Gambar 8. Peta persentase tutupan karang hidup di masing-masing stasiun
Gambar 9. Persentase tutupan biotik dan abiotik di masing-masing stasiun pengamatan.
Kondisi Umum Lokasi
Stasiun MMRL 06
Lokasi pengamatan terletak desa Hewuli, Kecamatan Alok, pesisir P. Flores . Lokasi berada pada
gosong sekitar 500 m dari daratan. Vegetasi daratan ditemui beberapa pohon kelapa dan
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
100.00
MMRL06
MMRL13
MMRL21
MMRL37
MMRL47A
MMRL55
MMRL65
MMRL69
MMRL74
MMRL75
MMRL78
MMRL79
MMRL80
MMRL88
Pers
enta
se (%
)
CORAL (HC)
RECENT DEAD CORAL (DC)
DEAD CORAL WITH ALGAE (DCA)
SOFT CORAL (SC)
SPONGE (SP)
FLESHY SEAWEED (FS)
OTHER BIOTA (OT)
RUBBLE (R)
SAND (S)
SILT (SI)
ROCK (RK)
-
17
17
mangrove. Subtrat rataan terumbu berupa pasir putih dan pecahan karang yang ditumbuhi algae.
Rataan karang memiliki luas antar 50-100m yang dilanjutkan dengan rataan tubir yang berupa
karang gundus (rampart reef). Lokasi transek berada di kedalaman 12 m dengan jarak pandang
sekitar 10 m. Substrat dasar berupa pasir berseling dengan karang mati yang ditumbuhi oleh
alga. Lokasi transek berada pada rataan dengan tingkat kemiringan 20O.Beberapa karang yang
sering dijumpai pada lokasi ini adalah dari keluarga Acroporidae dan Poritidae. Namun
persentase tutupan karang pada kategori jelek (12,20%) Persentase tutupan ”DCA” sebesar
43,47 % . Persentase tututpan algae 0,27%, biota lain (other biota) 2,6%. Untuk kategori abiotik,
dicatat persentase tutupan :rubble” 2,20% dan pasir 32,33%. Kondisi tutupan pasir yang cukup
luas dapat mengurangi daya recoveri dari karang. Hal ini dikarenakan subtrat dasar pasir tidak
cukup kokoh digunakan sebagai inisiasi pertumbuhan karang. Kaki karang pada lokasi ini
mencapai kedalaman 30m. Karang keras yang sering dijumpai pada lokasi pengamatan dari
marga Porites lutea, Acropora latistella dan Montipora sp.. Pada lokasi ditemukan juga karang
lunak dari marga Sinularia spStasiun.
Stasiun MMRL 13
Lokasi pengamatan terletak di pesisir P. Flores tapatnya di desa Wailiti, Kec. Alok Barat dekat
dengan resort. Pesisir terdiri dari pasir putih dengan vegetasi berupa pohon kelapa dan
tumbuhan asosiasi mangrove. Terumbu karang merupakan tipe terumbu karang tepi dan terdapat
goba yang berkembang baik. Rataan karang sampai ke tubir kurang lebih 100-200m dengan
pertumbuhan karang berupa “patches” dari marga Acroporidae dan Poritidae. Daerah tubir
didominasi oleh karang dari keluarga Acroporidae dan Fungiidae. Lokasi transek berada di
kedalaman 15 m dengan jarak pandang sekitar 5 m. Substrat dasar berupa pecahan karang mati
dengan pasir berwarna coklat. Lokasi transek berada pada dengan tingkat kemiringan 20O.
Secara umum tutupan karang hidup pada lokasi ini dapat dikategori “jelek” (7,8%). Persentase
tutupan karang lunak 0,27% , sponge 1,73% dan makroalgae 0,07%. Untuk kategori abiotik
dicatat “rubble” 2,20% dan pasir 0,07%. Karang keras yang sering dijumpai pada lokasi
pengamatan adalah Acropora clathrata, Fungia danai dan Oxypora glabra.
Stasiun MMRL 21
Lokasi pengamatan di pesisir P. Flores tepatnya berada pada Desa Waiara, Kec. Kewapante.
Pantai terdiri pasir dan pecahan karang mati. Vegetasi daratan berupa pohon kelapa dan
semak.Rataan terumbu karang terdiri dari pecahan karang yang telah ditumbuhi oleh alga.
Pertumbuhan karang berupa “patches” dari keluarga Poritidae. Rataan terumbu cukup luas
kurang lebih mencapai 100-200m. Lokasi pengamtan berada sekitar 100m dari pantai di sebelah
-
18
19
Stasiun MMRL 55
Lokasi pengamatan terletak di P. Flores sebelah timur. Secara administrasi masuk kedalam desa
Wailamung, Kec. Talibura Pada saat pengamatan cuaca cerah dengan kondisi permukaan laut
yang cukup tenang. Lokasi berada pada sekitar 100 m dari daratan berpasir putih. Vegetasi
daratan ditemui beberapa pohon kelapa dan disamping lokasi ada lokasi pembudidayaan kerang
mutiara. Lokasi transek berada di kedalaman 15 m dengan jarak pandang sekitar 15 m. Substrat
dasar berupa pasir putih berseling dengan pecahan karang mati. Lokasi transek berada pada
rataan dengan tingkat kemiringan 20O. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA” sebesar 27,8 %
yang diikuti dengan tutupan ”Rubble” sebesar 5,87 % dan karang lunak 4,67 %. Tutupan karang
hidup pada lokasi ini sebesar 21,2 % masuk dalam kondisi “kurang”. Karang keras yang sering
dijumpai pada lokasi pengamatan dari jenis Porites lutea, Seriatopora hystrix dan Favites sp..
sementara karang lunak yang sering dijumpai adalah Dendronepthia sp.
Stasiun MMRL 65
Lokasi pengamatan terletak di P. Babi sebelah timur. Pada saat pengamatan cuaca cerah
dengan kondisi permukaan laut yang cukup tenang. Secara administrasi masuk kedalam desa
Pemaan, Kec. Alok Timur. Lokasi berada pada sekitar 100 m dari daratan. Vegetasi daratan
ditemui beberapa pohon lamtoro. Lokasi transek berada di kedalaman 12 m dengan jarak
pandang sekitar 15 m. Substrat dasar berupa pasir putih berseling dengan pecahan karang.
Lokasi transek berada pada rataan dengan tingkat kemiringan 20O. Dari hasil transek tercatat
tutupan ”DCA” sebesar 13,2 % yang diikuti dengan tutupan ”Rubble” sebesar 44,27 %. Tutupan
karang hidup pada lokasi ini sebesar 14,2 % masuk dalam kondisi “kurang”. Karang keras yang
sering dijumpai pada lokasi pengamatan dari jenis Montipora stellata, Montipora undata dan
Seriatopora caliendrum.
Stasiun MMRL 69
Lokasi pengamatan terletak disebelah selatan P. Besar desa Ujung Karang, Kec. Alok Timur.
Pada saat pengamtan cuaca cerah dengan kondisi permukaan laut yang cuku tenang, Berada
sekitar 200m dari pantai. Pantai berpasir putih dengan vegetasi dominan adalah pohon kelapa. Di
sebelah timur pantai terdapat sekolahan. Pengambilan data dilakukan pada kedalaman 9 m ,
subtrat pasir, pecahan karang, karang mati yang telah ditumbuhi alga. Air cukup keruh dengan
jarak pandang ±5 m. Karang tumbuh berupa spot-spot yang mengelompok. Karang lunak
didominasi oleh jenis Lobophytum sp. dan Sinularia sp. dengan tutupan sebesar 2,93 %. Kategori
bentik ”DCA” tercatat sebesar 42,27 %. Tutupan karang hidup pada lokasi ini mencapai 34,47%
18
timur pantai terdapat mushola dan 2 menara BTS. Pengambilan data dilakukan pada kedalaman
8 m dengan jarak pandang sekitar 10 m. Subtrat dasar berupa pecahan karang dan karang mati
yang telah ditumbuhi alga diselingi dengan pasir. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA”
sebesar 43,4 % yang diikuti dengan tutupan ”Rubble” sebesar 23,4 %. Tutupan karang hidup
pada lokasi ini sebesar 6,93% masuk dalam kondisi “jelek”. Karang keras yang sering dijumpai
pada lokasi ini adalah Porites lutea, Porites lobata dan Coeloseris sp.
Stasiun MMRL 37
Lokasi terletak di pesisir utara P. Flores tepatnya berada di desa Weigete, Kec. Kewapante .
Lokasi berada pada gosong sekitar 100 m dari daratan. Vegetasi daratan ditemui beberapa
pohon kelapa dengan tower BTS dibelakang vegetasi pohon kelapa. Lokasi transek berada di
kedalaman 6-9 m dengan jarak pandang sekitar 10 m. Substrat dasar didominasi oleh karang
mati yang ditumbuhi oleh alga. Lokasi transek berada pada rataan dengan tingkat kemiringan 5O.
Rataan karang mencapai luas hingga 100m dengan pertumbuhan karang berupa “patches”
diselingi dengan pasir. Pada area tubir karang keras yang sering dijumpai pada lokasi
pengamatan dari keluarga Faviidae dan Poritidae. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA”
sebesar 53,87 % yang diikuti dengan tutupan ”Rubble” sebesar 11,93 % dan karang lunak 2,47
%. Tutupan karang hidup pada lokasi ini sebesar 10,2% masuk dalam kondisi “jelek”. Karang
keras yang mendominasi lokasi ini adalah Favites sp., Porites lutea, dan Porites cylindrica.
Stasiun MMRL 47A
Lokasi pengamatan diubah dikarenakan pada lokasi tahun sebelumnya laju sedimentasi cukup
tinggi. Lokasi pengamatan terletak di P. Flores berada dekat dengan selat antara P. Flores dan
P. Dambilah. Secara administrasi masuk kedalam desa Darat Pantai, Kec. Talibura. Lokasi ini
merupakan salah satu dive spot di Kab. Sikka. Lokasi berada sekitar 300 m dari pelabuhan
tradisional dengan vegetasi mangrove di bibir pantai. Perairan dekat pantai bersubstrat dasar
pasir dengan bulu babi yang jumlahnya cukup banyak. Kondisi cuaca pada saat pengamatan
cerah dengan angin yang tidak begitu kuat. Lokasi trasek berada pada kedalaman 6-9 m dengan
jarak pandang mencapai 10 m. Substrat dasar berupa pasir diselingi dengan pecahan karang
mati. Lokasi transek berada pada slope dengan tingkat kemiringan 50O. Karang keras yang
sering dijumpai pada lokasi pengamatan dari marga Acropora sp., Seriatopora sp. dan Montipora
sp. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA” sebesar 27,8 % yang diikuti dengan tutupan
”Rubble” sebesar 18,53 % dan karang lunak 4,2 %. Tutupan karang hidup pada lokasi ini sebesar
32,13% masuk dalam kondisi “cukup”.
-
19
19
Stasiun MMRL 55
Lokasi pengamatan terletak di P. Flores sebelah timur. Secara administrasi masuk kedalam desa
Wailamung, Kec. Talibura Pada saat pengamatan cuaca cerah dengan kondisi permukaan laut
yang cukup tenang. Lokasi berada pada sekitar 100 m dari daratan berpasir putih. Vegetasi
daratan ditemui beberapa pohon kelapa dan disamping lokasi ada lokasi pembudidayaan kerang
mutiara. Lokasi transek berada di kedalaman 15 m dengan jarak pandang sekitar 15 m. Substrat
dasar berupa pasir putih berseling dengan pecahan karang mati. Lokasi transek berada pada
rataan dengan tingkat kemiringan 20O. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA” sebesar 27,8 %
yang diikuti dengan tutupan ”Rubble” sebesar 5,87 % dan karang lunak 4,67 %. Tutupan karang
hidup pada lokasi ini sebesar 21,2 % masuk dalam kondisi “kurang”. Karang keras yang sering
dijumpai pada lokasi pengamatan dari jenis Porites lutea, Seriatopora hystrix dan Favites sp..
sementara karang lunak yang sering dijumpai adalah Dendronepthia sp.
Stasiun MMRL 65
Lokasi pengamatan terletak di P. Babi sebelah timur. Pada saat pengamatan cuaca cerah
dengan kondisi permukaan laut yang cukup tenang. Secara administrasi masuk kedalam desa
Pemaan, Kec. Alok Timur. Lokasi berada pada sekitar 100 m dari daratan. Vegetasi daratan
ditemui beberapa pohon lamtoro. Lokasi transek berada di kedalaman 12 m dengan jarak
pandang sekitar 15 m. Substrat dasar berupa pasir putih berseling dengan pecahan karang.
Lokasi transek berada pada rataan dengan tingkat kemiringan 20O. Dari hasil transek tercatat
tutupan ”DCA” sebesar 13,2 % yang diikuti dengan tutupan ”Rubble” sebesar 44,27 %. Tutupan
karang hidup pada lokasi ini sebesar 14,2 % masuk dalam kondisi “kurang”. Karang keras yang
sering dijumpai pada lokasi pengamatan dari jenis Montipora stellata, Montipora undata dan
Seriatopora caliendrum.
Stasiun MMRL 69
Lokasi pengamatan terletak disebelah selatan