TERLELAP DI DAMAINYA SESAR LEMBANG - …...... 2011 dan M 3.3 SR pada tanggal 30 Agustus 2011....
Transcript of TERLELAP DI DAMAINYA SESAR LEMBANG - …...... 2011 dan M 3.3 SR pada tanggal 30 Agustus 2011....
Edisi 23 | Juli - Desember 2015
catastrophe newsletter
NANOTEKNOLOGI
SESAR LEMBANGT ER LE LAP D I DAMA IN YA
Your Reliable Partner in Catastrophe Risk Transfer
EDITORIALKita sering mendengar bahwa “Tanah Pasundan diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum”. Negerinya elok,
penduduknya ramah dan rupawan. Namun di bawah kedamaiannya, ada potensi bencana alam yang bisa datang kapan sa ja di masa depan. Di bawah sejuknya halimun pegunungan di sekitar Bandung, bersemayam Sesar
Lembang. Studi paleoseosmologi menunjukkan bahwa sesar ini pernah menghasilkan gempa dengan magnitudo hingga M 6.8. Bila itu terjadi lagi, apa yang akan terjadi dengan Bandung yang semakin hari semakin padat dan
ramai penduduknya? WASPADA 23 mencoba mengulas hal itu untuk Pembaca.
Hal lain yang dibawa oleh WASPADA 23 ini adalah perihal nanoteknologi. Mungkin hal ini masih asing untuk sebagian besar Pembaca, namun ternyata nanoteknologi tidaklah begitu jauh dari bisnis yang sehari-hari kita
geluti. Gempa Tohoku, Jepang, 9.0 SR yang diikuti dengan tsunami setinggi 20 meter ternyata tidak berhenti di kerusakan material, ada katastrofe sekunder yang hadir dengan hancurnya instalasi pembangkit listrik tenaga
nuklir di Fukushima. Radiasi radioaktif dari pembangkit ini mencapai daerah dalam radius 80 km. Kita, agaknya, perlu mulai memperhatikan kemajuan teknologi yang bisa berimplikasi ke industri asuransi. Sehingga kita
semakin baik dalam menghitung risiko apapun yang akan hadir di masa depan.
Semoga Pembaca dapat menikmati WASPADA edisi 23 ini. Selamat tahun baru, semoga senantiasa sukses di 2016.
daftar IsI
ESTIMASI KERUGIAN DI KOTA BANDUNG AKIBAT
GEMPA SESAR LEMBANG DAN POTENSI ASURANSINYA
ANALISA KARAKTERISTIK SESAR LEMBANG
NANOTEKNOLOGI
1
5
9
221
2
ANALISA KARAKTERISTIK SESAR LEMBANG
GEMPA NEPAL
2
Sesar adalah retakan atau sistem retakan sepanjang batuan yang telah mengalami pergerakan (Keller dan Pinter, 1996). Sekumpulan sesar yang saling berhubungan disebut
zona sesar. Segmentasi sesar dapat dikenal dari perubahan morfologi zona sesar, geometri seismik/kegempaan dan aktivitas kegempaan masa lalu (Keller dan Pinter, 1996).
analisa karakteristik sesar lembang
eomorfologi tektonik mengungkapkan sebuah pandangan
Groman topografi yang dapat dipakai sebagai indikator dari
corak, kekuatan, dan rata-rata atau pergerakan tektonik
(tectonic movement). Neotektonik dicerminkan oleh morfotektonik,
yaitu geomorfologi/bentang alam yang menjadi karakter tektonik
zaman sekarang.
hingga menghilang di Cisarua Barat. Pada bagian barat ini, gawir sesar
ditutupi endapan- endapan gunungapi yang lebih muda.
Hasil interpretasi kelurusan sesar lembang menunjukan adanya
segmentasi dari morfologi Sesar Lembang tersebut. Untuk mengetahui
tingkat aktivitas kegempaan di Sesar Lembang
perlu dikajikan sejarah kegempaan dan seismisitas. Data gempa
terakhir yang terjadi di sekitar Sesar Lembang adalah pada tanggal 22
Juli 2011 dengan magnitudo 2,9 SR dan pada tanggal 30 Agustus 2011
dengan magnitudo 3.3 SR. Dari dua data tersebut sangat sulit
untuk mendapatkan adanya displacement di permukaan.
Ruben Damanik, M. Haikal Sedayo
Morfotektonik mempelajari tentang segala hal menyangkut hubungan
antara struktur geologi dengan bentuk lahan atau lebih spesifik lagi
hubungan antara struktur neotektonik dan bentuk lahan (Stewart dan
Hancock, 1994). Morfotektonik akan dipengaruhi oleh kondisi
morfologi dan proses tektonik yang terjadi pada masa lalu,
karena morfologi memiliki dimensi ruang dan tektonik mempunyai
dimensi waktu. Bentuk lahan tektonik akan mengekspresikan
bentukan topografi yang dapat dijadikan indikator telah terjadinya
pergerakan tektonik atau tektonik aktif. Bentuk topografi yang telah
mengalami perpindahan/ pergerakan dapat terlihat dan teramati melalui
foto udara yang memberikan kenampakan morfotektonik berupa pola
aliran sungai, perpindahan perbukitan, pembelokan sungai, kelurusan,
gawir sesar, serta kenampakan teras sungai.
Hasil interpretasi kelurusan dari citra Lidar dan SRTM dengan sangat
jelas memperlihatkan adanya kelurusan sesar lembang yang berarah
barat-timur. Secara morfologi Sesar Lembang ini terekspresikan
sebagai gawir sesar (fault scrap) dengan dinding gawir menghadap ke
arah utara. Bagian Sesar Lembang yang dapat dilihat, baik dari peta
topografi terutama dari foto udara ataupun citra satelit, mempunyai
panjang 20 km.
Dari arah timur ke barat, beda elevasi maksimum dari gawir sesar yang
mencerminkan besarnya pergeseran sesar (loncatan vertikal/throw)
adalah sekitar 500 meter di daerah Gunung Pulusari. Ketinggian ini
semakin tinggi akibat adanya penyayatan vertical (incise) endapan-
endapan gunungapi pada kakinya. Pada bagian barat Sesar Lembang
beda elevasi menjadi menurun sekitar 40 meter di daerah Cisarua,
Gambar 1. Peta Lidar Sesar Lembang memperlihatkan morfologi yang sangat jelas yaitu perbedaan tinggi gawir sesar antara bagian timur dan bagian barat.
Gambar.2 Kenampakan kelurusan sesar lembang menggunakan data lidar dari arah timur (atas) di Gunung Pulusari dengan beda elevasi sekitar 500 m dan dari arah barat (bawah)
yang dilihat di Cisarua dengan beda elevasi sekitar 40 m.
3
analisa karakteristik sesar lembang
4
Kendala dalam perekaman historikal data gempa di sekitar Sesar
Lembang sangatlah sedikit hingga memberikan hambatan dalam
menggambarkan keaktifan kondisi tektonik di kawasan tersebut.
Dengan menggunakan data Geodesi dan penelitian Geologi maka dapat
dilakukan analisis seismic moment dari Sesar Lembang sebagai berikut.
Jika dengan asumsi terjadi pelepasan energi pada sepanjang Sesar
Lembang, maka secara empirik besarnya magnitudo gempa yang
mungkin terjadi yakni sebesar 5.32 Mw dengan menggunakan
persamaan deformasi dari moment seismic:
Mo = μLWD (Aki and Richards, 1980)
Besarnya deformasi maksimum dengan mekanisme parameter sumber
gempa pada sesar lembang sebesar 10 cm. Penelitian paleoseismologi
menunjukkan bahwa pada 500-2000 tahun yang lalu, sesar Lembang
menghasilkan gempa dengan Magnitudo 6.6-6.8 (Yulianto, 2011).
Hal ini menunjukkan bahwa daerah sekitar Sesar Lembang memiliki
risiko guncangan gempa yang lebih besar dari pada gempa 30 Agustus
2011 yang 'hanya' memberikan kerusakan ringan pada 103 rumah.
REFERENSI
Aki, K. and P. G. Richards, Quantitative seismology, theory and
methods, W. H. Freeman, San Francisco, 1980.
Edi Hidayat, Analisis Morfotektonik Sesar Lembang, Master Theses,
Institut Teknologi Bandung, Bandung, 2009.
Keller, E.A. and Pinter N, Active Tectonics (Earthquake, Uplift and
Landscape), Prentise Hall, Upper Saddle River, New Jersey 07458,
1996.
Meilano, I., Abidin, H.Z., Andreas, H., Gumilar, I., Sarsito, D., Hanifa,
R., Rino., Harjono, H., Kato, T., Kimata, F., Fukuda, Y, Slip Rate
Estimation of the Lembang FaultWest Java from Geodetic Observation,
Journal of Disaster Research Vol.7 No.1, 2012.
Stewart, L.S., and Hancock, P.L, Continental Deformation
Neotectonics, First Edition, Pegamon Press, London, pp 370-409,
1994.
Yulianto E, Understanding the Earthquake Threat to Bandung from the
Lembang fault, Australia-Indonesia Facility for Disaster Reduction
(AIFDR) Project Report, Jakarta, 22 pp, 2011.
Gambar.3 Peta lokasi hipocenter gempa M 2.9 SR pada tanggal 22 Juli 2011 dan M 3.3 SR pada tanggal 30 Agustus 2011. Titik-titik hitam merupakan sebaran rumah rusak akibat gempa M 3.3. (Meilano dkk, 2012)
Sesar Panjang Lebar-
Lembang (Km) Irwan et all,2012
(Km)
Lebar - Mw- Mw-
USGS Irwan et all,2012 USGS
(Km) Segmen 1 3.37 15 30 4.61 4.81
Segmen 2 2.21 15 30 4.48 4.68
Segmen 3 3.34 15 30 4.60 4.80
Segmen 4 10.8 15 30 4.94 5.14
Total 19.72 15 30 5.12 5.32
Tabel.1 Geometri Bidang Sesar Lembang
6
esar Lembang yang terletak di Utara kota Bandung merupakan
Ssumber gempa yang mendapatkan perhatian dari berbagai
kalangan di Indonesia. Hal ini tidak mengherankan, mengingat
posisinya yang sangat dekat dengan kota Bandung yang merupakan
salah satu kota besar di Indonesia yang menurut data BPS pada tahun
2013 memiliki populasi penduduk 2.48 juta jiwa. Gempa yang
bersumber dari sesar ini dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas
kota Bandung baik secara sosial maupun finansial.
Pergeseran pertama dari sesar Lembang diperkirakan dari bagian timur
bertepatan dengan pembentukan kaldera setelah letusan dahsyat
gunung sunda purba sekitar 100.000 tahun yang lalu, sementara bagian
barat bergeser pada 24.000 tahun yang lalu (Nossin, 1996).
Walaupun sebagian kalangan masih beranggapan bahwa Sesar
Lembang bukan merupakan patahan yang aktif, bukti ilmiah
menunjukkan hal sebaliknya. Pengamatan geodetik membuktikan
bahwa sesar Lembang adalah sesar aktif, pergerakannya didominasi
mekanisme sesar geser mengiri dengan kecepatan 3 mm/tahun
(Meilano, 2009). Pengamatan kegempaan dengan menggunakan
jaringan stasiun pengamatan gempa milik BMKG yang berada di sekitar
Lembang juga menunjukkan aktivitas kegempaan yang membuktikan
bahwa Lembang merupakan sesar aktif; pernah bergerak dalam 10.000
tahun terakhir (Keller & Pinter, 1996).
Meskipun aktivitas kegempaan Sesar Lembang dapat digolongkan
rendah, namun studi paleoseismologi menunjukkan bahwa antara 500-
2000 tahun yang lalu mampu menghasilkan gempa dengan skala M6.6-
M6.8 (Yulianto, 2011).
Kota Bandung terletak pada basin (cekungan) dengan sedimen yang
memiliki kecepatan rambat gelombang geser yang rendah. Gelombang
gempa dapat mengalami penguatan ketika melalui medium yang
memiliki sifat seperti ini, sehingga efek kerusakan yang ditimbulkan
dapat menjadi lebih besar di bandingkan medium yang menghantarkan
gelombang geser dengan lebih cepat. Salah satu parameter teknik yang
sering digunakan untuk memperkirakan efek dari kondisi ini adalah
kecepatan rata-rata gelombang geser hingga kedalaman 30 meter
(Vs30). menunjukkan sebaran spasial Vs30 di wilayah Bandung dan
sekitarnya.
Persamaan atenuasi sering digunakan untuk memperkirakan sebaran
dampak dari guncangan gempa. Persamaan ini umumnya disusun
secara empiris berdasarkan data pengamatan dari banyak kejadian.
Jika magnitudo 6.8 dari hasil penelitian paleoseismologi digunakan
sebagai parameter skenario maksimum untuk gempa yang berasal dari
sesar Lembang, maka sebaran dari kekuatan guncangan berdasarkan
salah satu persamaan atenuasi (Boore & Atkinson, 2008). Sebagian
besar kota Bandung diperkirakan akan mengalami percepatan puncak
sekitar 0.21 – 0.25 g atau setara dengan MMI VI-VII. Bangunan dengan
desain dan konstruksi yang sangat baik diperkirakan tidak akan
mengalami kerusakan yang berarti, sementara bangunan dengan
konstruksi standar diperkirakan dapat mengalami kerusakan ringan
hingga tingkat kerusakan sedang, namun bangunan dengan konstruksi
yang buruk dapat mengalami kerusakan berat.
Estimasi Kerugian di Kota Bandung Akibat Gempa Sesar Lembang dan Potensi Asuransinya
7
M. Haikal Sedayo
Gambar 1. Posisi sesar Lembang (Afnimar, 2014)
Gambar 2. Kejadian gempa di sekitar sesar Lembang dalam rentang Mei 2010 - Desember 2011 (Afnimar, 2015)
Beberapa penelitian mengenai potensi kerugian dari kerusakan
bangunan di kota Bandung akibat gempa sesar Lembang dengan
skenario maksimal (M6+) memberikan estimasi kerugian sebesar
kurang lebih 4 triliun rupiah (Wira, 2010 & Widjaja, 2012). Berdasarkan
peta tata guna lahan, 52% dari luas total kota Bandung yang mencapai
88 km2 adalah bangunan. Jika asumsi harga bangunan rata-rata per
meter persegi sebesar Rp. 3,574,223.64 (Dinas Pekerjaan Umum,
2014), maka estimasi nilai bangunan di kota Bandung dapat mencapai
314.7 triliun rupiah. Estimasi kerugian sebesar 4 triliun rupiah atau
hanya sekitar 1.3% dari nilai total dinilai terlalu kecil untuk skala VI-VII
MMI. Penelitian terakhir mengenai potensi kerugian kerusakan
bangunan akibat gempa dengan skenario maksimum di sesar Lembang
yang mana menggunakan estimasi nilai eksposur total sebagaimana
disebutkan di atas, memberikan perkiraan kerugian rata-rata sebesar 61
triliun rupiah dengan standar deviasi ± 20.93 triliun rupiah
(Sedayo,2015). Nilai ini jauh lebih besar dari estimasi penelitian
sebelumnya. Berdasarkan data akumulasi eksposur asuransi gempa
bumi, kota Bandung hanya memberikan kontribusi 0.87% (on risk as at
Estimasi Kerugian di Kota Bandung Akibat Gempa Sesar Lembang dan Potensi Asuransinya
8
September 2015) memberikan kontribusi 0.87% (on risk as at
September 2015) atau sekitar 804 milyar rupiah. Hanya 54% dari total
eksposur tersebut atau setara dengan 434.16 milyar yang merupakan
risiko kerusakan bangunan. Angka ini menyiratkan masih besar sekali
potensi asuransi gempa yang belum tergarap di kota Bandung.
Meningkatnya kesadaran masyarakat atas risiko gempa akhir-akhir ini
seharusnya juga dijadikan momentum yang baik bagi perusahaan
asuransi di Indonesia untuk meraih peluang memasarkan produk-
produk terbaiknya yang tentu saja harus juga dibarengi dengan
memberikan pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat tentang
manfaat berasuransi.
REFERENSI
Afnimar et al, 2015, Geological And Tectonic Implication Obtained
From First Seismic Activity Investigation Around Lembang Fault,
Geosains Letter, 2:4.
BPS, 2010, Survei Penduduk 2010, BPS, Jakarta.
Boore and Atkinson, 2008, Ground-Motion Prediction Equations For
The Average Horizontal Component Of PGA, PGV, And 5%-Damped
PSA at Spectral Periods Between 0.01 S and 10.0 S,Earthquake
Spectra, Volume 24, No.1, pp. 99-138.
Keller E.A. & Pinter N, 1996, Active tectonics: Earthquakes, Uplift and
Landscapes, Prentice Hall, New Jersey.
Meilano, 2009, Slip-rate Estimation from Crustal Deformation
Observation, Workshop Peta Zonasi Gempa Indonesia Terpadu untuk
Membangun Kesiapsiagaan Masyarakat.
Nossin JJ, Voskuil RPGA, Dam RMC, 1995, Geomorphologic
Development of �The Sunda Volcanic complex, West Java, Indonesia,
Proceedings of the International Association of Geomorphologist
Southeast Asia Conference, Singapore.
Sedayo, 2015, Simulasi Ground Motion Dan Perhitungan Risiko
Kerugian di Bandung Akibat Gempa Sesar Lembang, ITB, Bandung.
Widjaja, 2012, Estimasi Hazard Dan Risiko Bangunan Untuk Wilayah
Bandung Raya Dengan Sumber Sesar Lembang, ITB, Bandung.
Wira et al, 2010, Is the Lembang Fault a Potential Threat to Bandung?,
Proceeding HAGI 2010, Bali.
Yulianto E, 2011, Understanding the Earthquake Threat to Bandung
from the Lembang fault, Australia-Indonesia Facility for Disaster
Reduction (AIFDR) Project Report, Jakarta, 22 pp.
Gambar 3. Sebaran Vs30 di wilayah kota Bandung dan sekitarnya (Sedayo, 2015).
Gambar 4. Distribusi PGA M6.6 menggunakan fungsi atenuasi Boore & Atkinson, 2008. Skala dalam satuan standard gravity (g) (Sedayo, 2015).
Gambar 5. Akumulasi eksposur asuransi gempa bumi di Indonesia per 25 September 2015.
9
nANOTEKNOLOGIKata nano berasal dari bahasa Yunani, “nanos” yang memiliki arti kerdil. Dalam bahasa sains modern, nano merupakan suatu besaran, yang sedemikan rupa menunjukkan 1 per miliar meter, 1 per sejuta milimeter dan seterusnya. Jika kubus dengan panjang 1 cm diibaratkan sebagai satu material berukuran 1 nano, maka luas permukannya diperkirakan mencapai sepuluh kali lipat dari luas lapangan bola .
10
anoteknologi digunakan pertama kali sebagai istilah dalam
Nkomunitas ilmiah di tahun 1974, dimana istilah tersebut
menggambarkan proses produksi dan penggunaan material
dalam skala nanometer. Organization for Economic Co-operation and
Development (OECD) mendefinisikan nanoteknologi secara lebih
komprehensif, yakni “seperangkat teknologi yang memungkinkan
terjadinya proses manipulasi struktur atau suatu sistem yang sangat
kecil (biasanya berukuran >100 nm). Teknologi ini akan menghasilkan
material, perangkat atau produk baru dengan karakteristik kualitas yang
berbeda dengan jenis lainnya”. Jika manipulasi yang dilakukan sesuai
dengan pemanfaatannya, maka sifat-sifat baru yang muncul dapat
mendorong terjadinya inovasi, khususnya di industri. Pembentukan
struktur ini dapat tersusun dari berbagai jenis material seperti: karbon,
perak, tembaga dan titanium, namun ukurannya tidak akan lebih
panjang dari suatu molekul. Dalam skalanya yang sangat kecil itu pula,
masih terdapat berbagai jenis morfologi dari struktur material nano
(nanomaterial), seperti nanopartikel, nanotub, nanobelt, mesoporous
dan lain sebagainya (lihat pada Gambar 2).
Nanoteknologi masih tergolong fenomena baru , namun
pertumbuhannya diprediksi akan bergerak sangat cepat. Linda Breggin
dan Leslie Carothers (Institut Hukum Lingkungan, Environmental law
Institute-ELI) memprediksi bahwa kecanggihan nanoteknologi ini akan
menjalani 4 (empat) tahap sebelum mencapai tahun 2020. Tahap
pertama, yang dimulai tahun 2000, merupakan tahap pengembangan
nanostruktur yang relatif pasif, yakni memliki struktur dan fungsi tetap,
serta sudah menjadi bagian kecil dari suatu produk. Tahap kedua, di
tahun 2005, terfokus pada nanostruktur aktif yang tidak hanya dapat
diubah ukuran dan bentuknya, tetapi juga memiliki karakteristik
tertentu saat digunakan. Tahun 2010 menjadi tahap ketiga dari evolusi
nanoteknologi. Di tahap ini akan terus dikembangkan kemampuan dari
sistem nanostruktur yang mengarah pada sejumlah komponen
advanced dengan tujuan tertentu. Tahun 2015 hingga tahun 2020,
bidang ini akan diperluas hingga mencakup sistem nano molekul,
dimana stuktur molekul/supramolekul yang dihasilkan memiliki fungsi
spesifik pada suatu perangkat canggih.
nanoteknologi
11
Shofianina Dwi Ananda Putri, Fiza Wira Atmaja
Gambar 1. Perbandingan untuk skala nano (sumber: http://ywang13.myweb.usf.edu/nanotech/jeffers/nano.html)
Gambar 2. Struktur Nanomaterial dengan berbagai morfologi (sumber: http://pubs.rsc.org/services/images/)
LINGKUP PENGAPLIKASIAN NANOTEKNOLOGI
Nanoteknologi telah digunakan di hampir ribuan produk, seperti krim
tabir surya, desinfektan, kacamata, peralatan olahraga dan perangkat
elektronik (Scholar, 2007). Keberagaman potensi sifat unggul yang
mungkin dihasilkan, menjadikan penelitian-penelitian tentang produk
nanomaterial terus berkembang dan diantisipasi memiliki dampak yang
signifikan di hampir setiap bidang industri. Sebagai contoh, dalam
industri kesehatan, produk nanomaterial digunakan untuk
mengidentifikasi dan menjadi medium pengobatan kanker (Boutin,
2005) . Kemudian, di industri tekstil digunakan untuk menghasilkan
produk tahan air, anti kerut dan anti noda. Penerapan nanoteknologi juga
sudah merambah industri makanan, seperti dalam tahap pemrosesan,
pewarnaan dan penambahan cita rasa dengan menggunakan
nanocapsule. Nanocapsule ini berperan sebagai pembawa kandungan
nutrisi makanan. Hal diatas mengindikasikan bahwa pengaplikasian
nanoteknologi di masa depan diperkirakan semakin meningkat (Allianz
Group, 2015). Beberapa hal lainnya yang merupakan keuntungan
pengaplikasian nanoteknologi dan nanomaterial adalah sebagai berikut
(Segalla & Hanna, 2009):
Ÿ Material kimiawi - efisiensi energi yang dapat mengurangi polusi, medan magnet untuk vakum dan pelumas
Ÿ Farmasi - produk kesehatan, obat-obatan, proses regenerasi jaringan, pengganti bagian tubuh.
Ÿ Elektronik - komunikasi penyimpanan data, efisiensi dayaŸ Teknologi rekayasa – baterai, sel surya, bahan bakar yang aman,
small circuitŸ Pengontrol polusi - material untuk mengurangi polusi dan proses
daur ulang, dan lain sebagainya.
The Project of Emerging Nanotechnologies di Washington D.C tahun
2010 melaporkan angka pertumbuhan produk yang menggunakan
pemanfaatan nanoteknologi mencapai 521% dari tahun 2006 dengan
jumlah 212 bertambah menjadi 1,317 pada tahun 2010, dan update
terakhir di tahun 2013 sudah mencapai 1,628 produk konsumen
(Galizzi, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa inovasi dan meluasnya
pengaplikasian nanoteknologi cukup memicu terjadinya revolusi
teknologi di industri.
RISIKO YANG MUNGKIN DARI PENERAPAN
NANOTEKNOLOGI
Karakteristik unggul dari produk-produk baru berbasis nanoteknologi
memang memberikan banyak kecanggihan dan pengembangan yang
menjanjikan ke depannya. Namun, beberapa sumber menyebutkan
bahwa pengembangan teknologi ini masih belum diimbangi dengan
pengetahuan dan kesadaran akan dampak serta bahaya dari
penerapannya. Hasil surveI tahun 2011 (seperti terlihat pada Gambar 8)
menunjukkan hampir 65% perusahaan nanoteknologi di US masih
belum mengetahui risiko nanoteknologi, baik risiko lingkungan
maupun risiko bagi pekerja (Galizzi, 2011).
nanoteknologi
12
Gambar 3. Produk konsumen berbasis nanoteknologi
Gambar 4. Grafik jumlah produk berdasarkan kategori
Gambar 5. Jumlah produk per sub kategori, untuk kategori kesehatan dan kebugaran
Gambar 6. Jumlah produk berdasarkan negara produksi
Gambar 7. Jumlah produk berdasarkan material spesifik yang digunakan
Ahli kesehatan dan keselamatan kerja menyatakan bahwa standar data
secara toksikologi dari nanomaterial yang diproduksi dan digunakan di
industri masih tergolong rendah (Baublyte, Mullins, Murphy, & Tofail,
2014). Padahal, hasil studi menyatakan bahwa nanomaterial berpotensi
memicu kanker dan mengandung racun. Hal ini perlu menjadi perhatian
khusus karena seluruh produk berbahan nanomaterial tersebut tidak
hanya diproses oleh pekerja industri, tetapi juga didistribusikan ke
pasar, bahkan digunakan oleh konsumen. Sedangkan, sistem regulasi
dari proses produksi, labeling, peringatan atau tata cara penggunaan
nanomaterial masih tergolong rendah (Baublyte, Mullins, Murphy, &
Tofail, 2014). Beberapa industri manufaktur dilaporkan masih gagal
dalam menguji keamanan produknya. Terlebih, hasil pengujian terbaru
menunjukan timbulnya risiko, seperti melumpuhnya sel otak dan
kerusakan sel genetik. Produk tersebut dapat menembus kulit dan
menyebar ke seluruh tubuh, namun efeknya masih belum dapat dikenali
secara pasti (Insurance, 2013).
MENGAPA PERLU MEMULAI KAJIAN RISIKO
NANOTEKNOLOGI?
Isu risiko nanoteknologi sendiri belum terlalu meledak di Indonesia,
ditambah lagi, informasi yang sudah berkembang hampir 20 tahun
inipun masih tegolong menjadi pengetahuan baru bagi masyarakat
umum. Jika kita mengikuti alur informasi yang mengalir di dunia, isu ini
sudah ramai diperbincangkan sejak lama. Beberapa perusahaan
asuransi telah mempublikasikan hasil kajian mereka terkait risiko
nanoteknologi, seperti:
1. Nanotechnology, Small Matter Many Unknowns 2. Nanotechnology-The Smallest and Biggest Emerging Issue Facing Casualty Insurers (Gen Re, 2011) 3. Focus on: Nanotechnology (Munich Re, 2012) 4. Opportunities and Risk of Nanotechnology (Allianz dan OECD, 2015)
Dari hal tersebut perlu diperhatikan bahwa informasi tentang bahaya,
respon dosis dan paparan dari nanomaterial masih tergolong rendah.
Selain itu nanomaterial memiliki struktur ultrafine yang mirip dengan
partikulat udara yang bisa menjadi media utama penyebaran asbestosis.
Merujuk pada kasus klaim asbestosis yang terjadi pada tahun 1970,
dimana jumlah klaim yang disebut-sebut bernilai fantastis telah
menyebabkan lebih dari 70 perusahaan asuransi di U.S mengalami
kebangkrutan. Kasus asbestosis ini masih menjadi hal besar yang harus
dihadapi beberapa perusahan asuransi di U.S dan U.K. Besarnya
kerugian yang di-cover oleh industri asuransi U.S khusus untuk klaim
asbestos bisa mencapai $85 miliar, sedangkan di U.K, kelompok
pekerja konstruksi bernama Union of Construction, Allied Trades and
Technicians (UCATT) memperkirakan klaim asbestos berada pada
rentang £6 - £8 milyar (Asbestos Liability in the UK, 2008) . Fitch juga
menyatakan bahwa hingga tahun 2013 klaim asbestos yang dibayarkan
sudah mencapai USD 53 miliar, dengan simpanan cadangan sebesar
USD 23 miliar dan estimasi dari maksimum kerugian industri sebesar
USD 85 miliar (CNBC News, 2014).
Potensi lain yang mungkin adalah bahwa penerapan teknologi bisa
menjadi salah satu risiko sekunder bencana. Sebagai contoh,
pengembangan teknologi nuklir di Jepang yang dimulai sejak tahun
1954 ternyata juga menimbulkan risiko katastrofe sekunder sebagai
imbas dari terjadinya gempa berkekuatan 9.0 SR dan gelombang
tsunami setinggi 20 meter (Welle, 2013). Kejadian tersebut
menyebabkan kebocoran reaktor nuklir dengan penyebaran radiasi
radioaktif mencapai radius 80 km (Nuclear Risk Insurance, 2015) . Total
kerugian ekonomi dilaporkan USD 574 miliar. Besarnya nilai kerugian
bencana tersebut juga disebabkan oleh kegagalan penerapan teknologi
nuklir. Untuk itu, pengembangan nanoteknologi juga perlu diwaspadai
karena bahayanya dapat dengan mudah menyebar melalui perantara air
dan udara.
Perkembangan industri yang menerapkan nanoteknologi dilaporkan
beberapa tahun terakhir terus menerus bergerak secara eksponensial.
Cepat atau lambat cukup mungkin mempengaruhi perkembangan
industri di Indonesia. Indonesia harus mulai memberikan perhatian
khusus dan bersiap terhadap efek katastrofe yang mungkin timbul
akibat penerapan nanoteknologi.
Informasi terakhir terkait survei Kementerian Riset dan Teknologi
(KEMENRISTEK) dan Kementerian Perindustrian (KEMENPERIN)
di tahun 2014 menyatakan sudah hampir 35% industri yang
menerapkan nanoteknologi di Indonesia, ditambah lagi sudah semakin
banyak bermunculan produk nanoteknologi yang juga dihasilkan
peneliti Indonesia (LIPI, 2014).
PELUANG BISNIS NANOTEKNOLOGI DALAM INDUSTRI
ASURANSI
Pertumbuhan pengembangan nanoteknologi yang diproyeksikan akan
terus meningkat merupakan potensi bagi industri asuransi. Dalam
menjalankan fungsinya sebagai enabler, industri asuransi dapat
berperan dalam membantu pergerakan teknologi yang lebih maju.
Dengan harapan tidak hanya menghasilkan manfaat yang besar tetapi
juga bersifat aman, baik secara ekonomi maupun sosial. Jika ditinjau
dari sisi kerugiannya maka produk nano yang dihasilkan harus sesuai
dengan upaya penurunan eksposur, misalnya pembuatan mobil yang
lebih ringan dan lebih kuat, bangunan yang lebih fleksibel dan tidak
rentan terhadap cuaca, dan obat-obatan yang tidak mahal dan lebih
efektif (Munich Re, 2012).
Forum RCO, yang merupakan organisasi internasional manajemen
risiko profesional, menyatakan bahwa penilaian eksposur
nanoteknologi masih tergolong sulit (Munich Re, 2012). Hasil kajian
teknis menyatakan belum ada tolak ukur yang relevan untuk proses
underwriting asuransi. Namun bisa jadi tanpa disadari industri asuransi
menganggap risiko nanoteknologi sudah menjadi risiko sehari-hari.
International Risk Management Institute (IRMI) menyarankan agar
industri asuransi mulai mengumpulkan data-data dan tinjauan ilmiah
terkait nanomaterial berpotensi bahaya dan digunakan oleh
tertanggung. Selanjutnya, data tersebut dibuktikan dan diverfikasi
tingkat bahayanya, guna memproteksi bisnis mereka sendiri dan
menghindari kesalahan dalam penetapan eksposur yang ditanggung.
Faktanya, dalam standar polis Commercial General Liability (CGL),
risiko yang cukup signifikan dari pihak ketiga untuk klaim kerusakan
properti/kecelakaan kerja belum memperhitungkan risiko
nanoteknologi akibat minimnya informasi.
Gambar 8. Hasil Survey di U.S mengenai pengetahuan akan risiko penerapan nanoteknologi di industri.
13
nanoteknologi
Untuk itu, diperlukan penelitian mandiri yang mengkaji eksposur dan
efek nanoteknologi bagi manusia dan lingkungan, mengembangkan
skema dan data klasifikasi risiko, serta mulai memfokuskan perbaikan
proses underwriting (Allianz Group, 2015). Sebagai tambahan,
diperlukan pula pengkajian khusus kegagalan nanoteknologi yang
mungkin terjadi akibat bencana alam.
REFERENSI
Allianz Group, A. (2015). Small Sizes that Matter: Opportunities and
Risk of Nanotechnology.
http://www.allianz.com/migration/images/pdf/saobj_796424_allianz_
study_nanotechnology_engl.pdf.
Asbestos Liability in the UK. (2008). The Actuary,
http://theactuary.com/archive/old-articles/part-6/asbestos-liability-in-
the-uk/.
Baublyte, L., Mullins, M., Murphy, F., & Tofail, S. A. (2014).
Insurance Market Perception of Nanotechnology and Nanomaterial
Risks. Risk Management, 9-14.
Binion, R. (2008). Insurance Coverage, Nanotechnology, and
Emerging Liability Issues. Coverage, 19-23.
Boutin, C. (2005). Purdue Scientist Treat Cancer with RNA
Nanotecnology. Perdue New Service,
http://www.purdue.edu/UNS/html4ever/2005/050914.Guo.nanopartic
les.html.
CNBC News, N. (2014). Insurers short up to $9 billion for asbestos
claims: Fitch. CNBC, http://www.cnbc.com/2014/04/10/insurers-
short-up-to-9-billion-for-asbestos-claims-fitch.html.
Earthquake Report. (2012). One Year Summary of Losses in the
Japanese Earthquake/Tsunami of March 11th 2011. http://earthquake-
report.com/2012/03/10/japan-366-days-after-the-quake-19000-lives-
lost-1-2-million-buildings-damaged-574-billion/.
Galizzi, M. (2011). Firm's Perceptions of Health and Environmental
Hazard and Regulations: Evidence from a Survey of U.S
Nanotechnology Companies. Journal of Applied Businnes and
Economics , 70-82.
Insurance, J. (2013). Managing Nanotechnology and Other Emerging
Risk.
http://www.insurancejournal.com/magazines/features/2013/10/21/30
8187.html.
LLOYD's. (2007). Nanotechnology Recent Development, Risks, and
Opportunities. Risks : LLOYD's Emerging Risk and Team Report.
Munich Re, M. (2012). Focus on: Nanotechnology.nanostart. (2015). the term "nano" and what it means.Nuclear Risk Insurance. (2015). Liability for Nuclear Damage. World
Nuclear Association, http://www.world-nuclear.org/info/Safety-and-
Security/Safety-of-Plants/Liability-for-Nuclear-Damage/.
Progress in Nanotechnology. (2010). Canada: John Wiley & Sons.
Rai, H. S., Bhattacharyya, M., Singh, J., Bansal, T. K., & Vats, U. B.
(2005). Critical Reviews in Environmental Science and Technology,
219-238.
Roco, M. C. (2006). Nanotechnology's Future.Scholar, W. W. (2007). Project on Emerging Nanotechnologies: A
Nanotechnology Consumer Products Inventory.
www.nanotechproject.org/consumerproducts.
Science, D. o. (2002). Small Wonders, Endless Frontiers: A Review
of the National Nanotechnology Initiative. Washington DC: National
Research Council.
Tabel 1. Estimasi kerugian ekonomi
Gambar 11. Wilayah yang rusak akibat gempa dan tsunami Fukushima 2011. Sumber:http://assets.nydailynews.com/polopoly_fs/1.1496644!/img/httpImage/image.jpg_
gen/derivatives/article_970/correction-japan-quake.jpg
Gambar 10. Terjadinya Gempa berkekuatan 9.0 SR dan tsunami yang berimbas pada kebocoran reaktor nuklir (Fukushima, 2011). Sumber: http://nuclear-
energy.net/media/accidentes_nucleares/fukushima/accidente-central-nuclear-fukushima-explosion.jpg
Gambar 9. Akumulasi kerugian terbayar dan cadangan klaim asbestos
14
nanoteknologi
Buletin WASPADA
PT Reasuransi MAIPARK Indonesia Multivision Tower 8th Floor Jl. Kuningan Mulia Blok 9B JakartaIndonesia - 12920 (+62) 21 2938 0088 [email protected] www.maipark.com
Pelindung Yasril Y. Rasyid
Tim Redaksi Arniz DwifahdithiaHengki Eko PutraJyesta Amaranggana
Kredit Gambarsampul, hal. 1, 2 “Lembah Berkabut Sesar Lembang” karya Budi Brahmantyo, pernah juga dimuat di Geomagz Vol. 4 No. 3, September 2014hal 6, 7 diambil dari sesuai izin dari Pemilik. www.yourbandung.comhal. 9 diambil bebas dari http://www.nature.com/nmat/journal/v5/n4/images/nmat1615-f2.jpg
16