terapi cairan pd fraktur
-
Upload
ucuphilmirocks -
Category
Documents
-
view
159 -
download
17
description
Transcript of terapi cairan pd fraktur
TERAPI CAIRAN DAN ELEKTROLIT BAB I
PENDAHULUAN
Keseimbangan cairan dan elektrolit melibatkan komposisi dan perpindahan berbagai
cairan tubuh. Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air dan zat terlarut. Elektrolit
adalah zat kimia yang menghasilkan partikel-partikel bermuatan listrik yang disebut ion jika
berada dalam larutan. Cairan dan elektrolit masuk ke dalam tubuh melalui makanan,
minuman, dan cairan intravena (IV) dan didistribusi ke seluruh bagian tubuh. Keseimbangan
cairan dan elektrolit berarti adanya distribusi yang normal dari air tubuh total dan elektrolit ke
dalam seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit saling bergantung satu
dengan lainnya; jika salah satu terganggu, maka demikian pula lainnya.1
Karena cairan dan elektrolit yang menciptakan lingkungan intraseluler dan
ekstraseluler bagi semua sel dan jaringan tubuh, maka ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit dapat terjadi pada semua golongan penyakit. 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. FISIOLOGI CAIRAN TUBUH
Komponen tunggal terbesar dari tubuh adalah air. Air adalah pelarut bagi semua zat
terlarut dalam tubuh baik dalam bentuk suspensi maupun larutan. Air tubuh total (TBW, total
body water), yaitu persentase dari berat air dibandingkan dengan berat badan total, bervariasi
menurut jenis kelamin, umur dan kandungan lemak tubuh. Air membentuk sekitar 60% dari
berat seorang pria dan sekitar 50% dari berat badan wanita. Pada orangtua, TBW sekitar 45%
sampai 50% dari berat badannya (Maxwell dan Kleeman, 1987). Karena lemak pada dasarnya
bebas air, maka makin sedikitnya lemak akan mengakibatkan makin tingginya persentase air
dari berat badan orang itu. Sebaliknya, jaringan otot memiliki kandungan air yang tinggi.
Oleh karena itu dibandingkan dengan orang kurus, orang gemuk mempunyai TBW yang
relatif lebih kecil dibandingkan berat badannya. Secara proporsional, wanita umumnya
mempunyai lebih banyak lemak, dan lebih sedikit otot jika dibandingkan dengan pria,
sehingga kandungan airnyapun lebih kecil dibandingkan dengan berat badannya. Orang yang
lebih tua juga mempunyai persentase lemak tubuh yang lebih tinggi jika dibandingkan orang
muda. Akhirnya TBW paling tinggi pada bayi baru lahir, yaitu 75% dari berat badan totalnya.
Persentase ini akan cepat menurun sampai menjadi sekitar 60% pada akhir tahun pertama,
dan kemudian berangsur-angsur turun sampai mencapai proporsi orang dewasa pada usia
menjelang dewasa. 1
Bermacam-macam membran (kapiler, sel) memisahkan cairan tubuh total ke dalam
dua bagian utama. Pada orang dewasa kira-kira 40% berat badannya atau dua pertiga dari
TBW-nya berada di dalam sel atau disebut sebagai cairan intraseluler (ICF). Sisanya yaitu
sepertiga TBW atau 20% dari berat badan, berada di luar sel, disebut sebagai cairan
ekstraseluler (ECF). Bagian cairan ekstraseluler dibagi lagi menjadi bagian cairan interstitiel-
limfe (ISF) yang terletak diantara sel (15%) dan cairan intravaskuler (IVF) atau plasma (5%).
Selain ISF dan IVF, sekresi khusus seperti cairan serebrospinal, cairan intraokuler, dan
sekresi saluran cerna, membentuk sebagian kecil (1% sampai 2% dari berat badan) dari cairan
ekstraseluler yang disebut sebagai cairan transeluler. 1
B. PATOFISIOLOGI CAIRAN TUBUH
Tiga kategori umum dari perubahan yang menjelaskan abnormalitas cairan tubuh
adalah: volume, osmolalitas, dan komposisi. Meskipun gangguan-gangguan pada ketiga hal
ini saling berhubungan, tapi sesungguhnya masing-masing merupakan bagian yang terpisah.
PATOFISIO
Ketidakseimbangan volume terutama mempengaruhi cairan ekstraseluler (ECF) dan
menyangkut kehilangan atau bertambahnya natrium dan air dalam jumlah yang relatif sama,
sehingga berakibat kekurangan atau kelebihan volume ECF. Misalnya, kehilangan cairan
ECF isotonik yang mendadak, seperti yang terjadi pada diare, diikuti dengan penurunan yang
bermakna pada volume cairan intraseluler (ICF). Cairan tidak akan berpindah dari ICF ke
ECF selama osmolalitas pada kedua kompartemen tetap sama. Gangguan volume ECF
umumnya diketahui dari gejala dan tanda klinis. 1
Ketidakseimbangan osmotik terutama mempengaruhi ICF dan menyangkut
kehilangan atau bertambahnya natrium dan air dalam jumlah yang relatif tidak seimbang. Jika
hanya air saja yang hilang, atau bertambahnya air yang berasal dari ECF, maka konsentrasi
partikel-partikel yang aktif secara osmotik akan berubah. Ion natrium merupakan 90% dari
partikel-partikel yang aktif secara osmotik pada ECF, dan umumnya mencerminkan
osmolalitas dari kompartemen cairan tubuh. Jika konsentrasi natrium pada ECF menurun,
maka air berpindah dari ECF ke ICF (menyebabkan pembengkakan sel) sampai tercapainya
kembali keseimbangan osmolalitas pada kedua kompartemen. Sebaliknya jika konsentrasi
natrium pada ECF naik, maka air akan berpindah dari ICF ke ECF (menyebabkan
pengkerutan sel), sampai tercapai kembali keseimbangan osmolalitas pada kedua
kompartemen. Gangguan osmotik umumnya berkaitan dengan hiponatremi dan hipernatremi,
sehingga nilai natrium serum penting untuk mengenali keadaan ini. 1
Kekurangan volume ECF atau hipovolemia didefinisikan sebagai kehilangan cairan
tubuh isotonik, yang disertai kehilangan natrium dan air dalam jumlah yang relatif sama.
Kekurangan volume isotonik seringkali disalahartikan sebagai dehidrasi. 1
Kekurangan volume cairan adalah keadaan yang umum terjadi pada berbagai keadaan
dalam klinik. Keadaan ini hampir selalu berkaitan dengan kehilangan cairan tubuh melalui
ginjal atau diluar ginjal. Penurunan volume cairan lebih cepat terjadi jika kehilangan cairan
tubuh yang abnormal disertai dengan penurunan asupan. 1
Penyebab tersering kekurangan volume cairan adalah kehilangan sebagian dari sekresi
saluran cerna (total 8L/ hari). Kehilangan yang bermakna dapat terjadi pada muntah yang
berkepanjangan, penyedotan nasogastrik, diare berat, fistula, atau perdarahan. Karena
konsentrasi natrium pada cairan ini tinggi, maka kehilangan cairan ini merupakan gabungan
dari kekurangan natrium dan air. Sekresi lambung juga mengandung ion kalium dan hidrogen
dalam jumlah besar, maka kekurangan volume di atas sering disertai alkalosis dan
hipokalemia. Kehilangan sekresi saluran cerna bagian bawah, yang mengandung banyak
bikarbonat selain natrium dan kalium, sering mengakibatkan kekurangan volume cairan yang
disertai asidosis metabolik dan hipokalemia. 1
Penyebab-penyebab kekurangan volume cairan lain yang sering terjadi adalah
tersimpannya cairan pada cedera jaringan lunak, luka bakar berat, peritonitis atau obstruksi
saluran cerna. Terkumpulnya cairan di dalam ruang non ECF dan non-ICF disebut
penempatan pada ruang ketiga. Yang dimaksud adalah distribusi cairan yang hilang ke ruang
tertentu dimana tidak mudah terjadi pertukaran dengan ECF. Pada prinsipnya cairan menjadi
terperangkap dan tidak dapat dipakai oleh tubuh. Penumpukan volume cairan yang cepat dan
banyak pada ruang-ruang seperti itu berasal dari volume ECF sehingga dapat mengurangi
volume sirkulasi darah efektif. 1
C. CAIRAN INTRAVENA
Pembagian cairan intravena berdasarkan komposisi:
1. Cairan kristaloid
- mengandung zat dengan Berat Molekul rendah (<8000 dalton)
- dengan atau tanpa glukosa
- tekanan onkotik rendah à cepat terdistribusi ke seluruh ruang ekstraseluler
- efek volume interstisiel lebih baik daripada koloid
- lebih sering menyebabkan sembab perifer dibandingkan dengan cairan koloid
- potensial menyebabkan sembab paru sama dengan cairan koloid
- mudah didapat, mudah dalam penyimpanan, murah, tidak toksik
- contoh: Ringer Laktat, NaCl 0,9%, Dekstrosa 5%
2. Cairan koloid
- mengandung zat dengan berat molekul tinggi (>8000 dalton), seperti: protein, glukosa
berpolimer besar
- tekanan onkotik tinggi à sebagian menetap di ruang intravaskuler
- menetap lebih lama di ruang intravaskular dibandingkan cairan kristaloid
- lebih jarang menyebabkan sembab perifer dibandingkan cairan kristaloid
- koloid biasanya dilarutkan dalam NaCl isotonik à dapat menyebabkan hperchloremia
metabolic acidosis
- mahal
- resiko pada pemberian albumin: hepatitis, AIDS, edema paru, reaksi anafilaksis
- risiko pada pemberian koloids sintetik: reaksi alergi dan anafilaktoid, efek pada hemostatik,
gagal ginjal akut, dll
- contoh: albumin, produk darah, fraksi protein plasma, koloid sintetik (dextran, HES)
3. Cairan kombinasi
D. SYOK HIPOVOLEMIK
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan
metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang
adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh
yang serius seperti perdarahan yang masif, trauma atau luka bakar yang berat (syok
hipovolemik), infark miokard luas atau emboli paru (syo kardiogenik), sepsis akibat bakteri
yang tidak terkontrol (syok septik), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik)
atau akibat respons imun (syok anafilaktik). 2
1. Etiologi
Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari volume darah
dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat perdarahan yang masif atau
kehilangan plasma darah. 1
Syok hipovolemik disebabkan oleh turunnya volume intravaskuler lebih dari 15-20%.
Perdarahan adalah penyebab tersering dari syok hipotensif tetapi defisit volume darah dapat
juga disebabkan oleh kehilangan protein plasma, garam, dan air. Keadaan-keadaan klinik
yang biasanya berkaitan dengan syok hipovolemik mencakup trauma, luka bakar, peritonitis,
pankreatitis, muntah berat, diare, fistula dan diuresis. 3
Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler,
misalnya terjadi pada:
a. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang mengalir keluar tubuh
seperti hematotoraks, ruptura limpa, dan kehamilan ektopik terganggu.
b. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah yang besar.
Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 500–1000 ml perdarahan atau fraktur femur
menampung 1000–1500 ml perdarahan.
c. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein plasma
atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:
(1) Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis.
(2) Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison.
(3) Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis. 4
2. Patofisiologi Syok
Proses patofisiologi yang umum pada syok dapat diterapkan pada syok hipovolemik.
Pada dasarnya kerusakan sel-sel diakibatkan oleh gangguan mikrosirkulasi akibat adanya
penurunan curah jantung. Mekanisme kompensasi mencakup otoregulasi pembuluh darah
organ dan adanya kenaikan pelepasan simpatoadrenal. Kenaikan katekolamin yang beredar
berakibat rangsangan terhadap debar jantung dan kontraktilitas serta vasokonstriksi.
Konstriksi terjadi di arteriole dan pembuluh vena kapasitans, sehingga ini merupakan upaya
untuk mengembalikan tekanan darah dan memelihara venous return. Vasokonstriksi pada
mulanya bermanfaat oleh karena darah dialirkan dari organ-organ yang kurang vital (kulit,
ginjal, usus) ke organ-organ yang lebih vital seperti otak dan jantung. 3
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran
darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam jaringan.
Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme
anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam
laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton (Stene-Giesecke, 1991). Yang penting dalam
klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis
adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera
dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan
prioritas utama. 4
Pada awal syok terjadi hiperventilasi karena adanya rangsangan terhadap
kemoreseptor dan adanya asidosis metabolik. Frekuensi pernapasan meningkat kadang-
kadang sampai 3 kali normal, tetapi volume tidal sering turun. Banyak ventilasi yang menjadi
percuma oleh karena aliran pembuluh paru menurun. Kenaikan ventilasi dead space
dibarengi oleh kenaikan ventilasi: ketidakseimbangan perfusi. Shunt yang sebenarnya
meningkat kemudian, sebagai akibat adanya edema paru dan atelektasis. 3
Sebagai akibat dari hipotensi dan hipovolemi cairan bergerak cepat ke dalam sirkulasi
dan ruang interstisiel. Vasokonstriksi lebih besar pada arterioral (prekapiler) dibandingkan
dengan tahanan (resistance vessels) venular (post kapiler) dari pada anyaman kapiler. Jadi
tahanan kapiler rata-rata menurun dan cairan berpindah ke ruang vaskuler dengan cara
osmosis.3
Proses yang sebaliknya terjadi pada syok akhir (late shock) ketika konstriksi naik,
sehingga cairan berpindah ke dalam ruang jaringan. Kehilangan cairan dari sirkulasi juga
didorong oleh berkumpulnya metabolit-metabolit zat vasoaktif yang menaikkan permeabilitas
kapiler. Hemokonsentrasi dan hipovolemi terjadi akibat kehilangan cairan intravaskuler. 3
Zat-zat vasoaktif yang dilepaskan ke dalam sirkulasi pada syok meliputi histamin,
kinin, dan prostaglandin. Sebagian kinin terjadi dari enzim-enzim proteolitik yang dilepaskan
oleh pemecahan lysosomes. Zat-zat vasoaktif bertanggung jawab terhadap vasodilatasi,
kenaikan permeabilitas kapiler dan efek-efek lain yang meluas terhadap otot-otot halus,
jantung dan mikrosirkulasi disebabkan oleh agregasi platelet dan eritrosit. Pengentalan ini
menaikkan viskositas, menurunkan aliran darah di pembuluh darah kecil dan bisa menjadi
predisposisi untuk DIC. 3
Penurunan perfusi jaringan menghambat metabolisme sel. Metabolisme anaerob
menyebabkan laktic asidosis, hiperglikemia, dan kegagalan sodium pump. Akibatnya sel-sel
rusak oleh influks Na dan air, dan K berdifusi keluar cairan ekstrasel. 3
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata dan
menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan penurunan curah
jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan menimbulkan beberapa kejadian
pada beberapa organ:
a. Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung menurun, tahanan vaskuler sistemik akan berusaha untuk meningkatkan
tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan otak melebihi
jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus gastrointestinal. Kebutuhan energi
untuk melaksanakan metabolisme di jantung dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu
tidak mampu menyimpan cadangan energi. Sehingga keduanya sangat bergantung akan
ketersediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang sangat berat
untuk waktu yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial
rata-rata (mean arterial pressure/ MAP) jatuh hingga ≤ 60 mmHg, maka aliran ke organ akan
turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu.
b. Neuroendokrin
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan kemoreseptor
tubuh. Kedua reeptor tersebut berperan dalam respon autonom tubuh yang mengatur perfusi
serta substrat lain.
c. Kardiovaskuler
Tiga variabel seperti: pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi) ventrikel dan
kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume sekuncup. Curah jantung,
penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali dari volume sekuncup dan frekuensi
jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang pada akhirnya
menurunkan volume sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat
namun memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung.
d. Gastrointestinal
Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi peningkatan absorpsi
endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang mati dalam usus. Hal ini memacu
pelebaran pembuluh darah serta peningkatan metabolisme dan bukan memperbaiki nutrisi sel
dan menyebabkan depresi jantung.
e. Ginjal
Gagal ginjal akut adalah salah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi, frekuensi terjadinya
sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang banyak terjadi kini adalah
nekrosis tubuler akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan pemberian obat yang
nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras angiografi. Secara fisiologi, ginjal
mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam dan air. Pada saat aliran darah di
ginjal berkurang, tahanan arteiol aferen meningkat untuk mengurangi laju filtrasi glomerulus,
yang bersama-sama dengan aldosteron dan vasopresin bertanggungjawab terhadap
menurunnya produksi urin. 2
3. Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non perdarahan atau
perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok.
Respon fisiologi yang normal adalah mempertahankan perfusi terhadap otak dan jantung
sambil memperbaiki volume darah dalam sirkulasi dengan efektif. Disini akan terjadi
peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, pelepasan hormon
stress serta ekspansi besar guna pengisian volume pembuluh darah dengan menggunakan
cairan interstisiel, intraseluler dan menurunkan produksi urin. 2
Hipovolemia ringan (<20% volume darah) menimbulkan takikardia ringan dengan
sedikit gejala yang tampak, terutama pada penderita muda yang sedang berbaring. Pada
hipovolemia sedang (20-40% dari volume darah) pasien menjadi lebih cemas dan takikardia
lebih jelas, meski tekanan darah bisa ditemukan normal pada posisi berbaring, Namun dapat
ditemukan dengan jelas hipotensi ortostatik dan takikardia. Pada hipovolemia berat maka
gejala klasik syok akan muncul, tekanan darah menurun drastis dan tak stabil walau dalam
posisi berbaring, pasien menderita takikardia hebat, oliguria, agitasi atau bingung. Perfusi ke
susunan saraf pusat dipertahankan dengan baik sampai syok bertambah berat. Penurunan
kesadaran adalah gejala penting. Transisi dari syok hipovolemik ringan ke berat dapat terjadi
bertahap atau malah sangat cepat, terutama pada pasien usia lanjut dan yang memiliki
penyakit berat dimana kematian mengancam. Dalam waktu yang sangat pendek dari
terjadinya kerusakan akibat syok maka dengan resusitasi agresif dan cepat.2
4. Penatalaksanaan.
a. Resusitasi
Kalau kesadaran berkabut/ menurun, jalan napas yang bebas harus diamankan. Oksigen
diberikan melalui suatu semi-rigid mask dengan laju aliran tinggi. Terapi oksigen adalah
keharusan pada semua penderita syok. Bila ventilasi tidak baik, intubasi dan ventilasi
terkontrol dilaksanakan. Kanula intravena yang besar dipasang dan masalah primer diatasi
dimana diperlukan (misalnya menghentikan perdarahan).
b. Terapi cairan
Jenis cairan yang dibutuhkan untuk mengganti kekurangan cairan intravaskuler akan
tergantung pada situasi klinis. Secara umum, plasma diperlukan pada luka bakar, peritonitis,
dan obstruksi usus, sedangkan cairan kristaloid diperlukan pada kehilangan cairan melalui
kehilangan gastrointestinal, diuresis dan dehidrasi akibat berkeringat.
Darah dibutuhkan bila perdarahan melebihi 25% dari volume darah. Bila kehilangan darah
lebih sedikit ini dapat diatasi dengan cairan kristaloid atau plasma ekspander oleh karena
mekanisme kompensasi sangat efektif sampai hematokrit turun di bawah 0,2. Cairan
kristaloid terutama garam fisiologik merupakan suplemen yang bermanfaat terhadap transfusi
darah pada syok hemorhagik, tetapi dibutuhkan volume yang setara dengan 3 kali volume
darah yang hilang, oleh karena akan terjadi distribusi ke jaringan, yang dapat meningkatkan
risiko timbulnya edema paru. Karenanya larutan koloid (plasma ekspander) sebaiknya
digunakan dengan kristaloid. Hematokrit sebesar 0,3, yang optimal untuk transportasi
oksigen, sebaiknya dipertahankan.
c. Monitoring
Monitoring rutin harus meliputi debar dan irama jantung, tekanan darah, pernapasan,
keluaran urin, dan suhu. Penggantian cairan diawasi dengan CVP dan dimana ada indikasi,
dengan menentukan tekanan wedge kapiler paru. Hematokrit serial, gas darah, dan penentuan
kadar elektrolit membantu menilai manfaat terapi.
d. Tindakan-tindakan suportif
1. terapi elektrolit dan asam basa
Kebanyakan problem asam basa pada syok hipovolemik membaik dengan spontan bila
dilakukan penggantian cairan dan perbaikan ventilasi. Asidosis metabolik berat yang menetap
merupakan tanda prognostik yang jelek dan merupakan indikasi/ pemberian bikarbonat.
Gangguan elektrolit harus dikoreksi bersamaan dengan pemberian cairan.
2. obat-obat inotropik
Stimulan jantung diberikan bila keadaan syok tetap ada meskipun pemberian cairan yang
cukup, yang dinilai CVP dan PCWP, telah diberikan. Dopamin adalah obat pilihan, dan
diberikan dengan takaran 5-30 ug/kgBB/menit melalui infus.
3. diuretik
Kalau oliguri tetap ada meskipun volume darah cukup, harus diberikan furosemid 10 mg iv.
Bila tidak ada respon, harus dibedakan adanya kegagalan prerenal atau nekrosis tubular akut
dengan memberikan manitol dan dosis tinggi furosemid.
4. steroid
Penggunaan kortikosteroid pada syok hipovolemik adalah kontroversial. Tidak ada bukti-
bukti yang kuat, Namun steroid dosis tinggi yang diberikan seawal mungkin bermanfaat
melalui efek vasodilatasi, inotropik, lysosime-stabilizing, dan efek metabolisme seluler.
Dosisnya adalah 150 mg hidrokortison/kg (atau ekivalennya), diulangi setiap 4-6 jam selama
24-48 jam. 3
E. RESUSITASI CAIRAN PADA SYOK HIPOVOLEMIK
Ada dua tindakan yang dilakukan dalam mengatasi keadaan hipovolemia yaitu
menanggulangi penyakit yang mendasari dan penggantian cairan yang hilang. Untuk
mengetahui jumlah cairan yang akan diberikan perlu diketahui prediksi cairan yang hilang
dari tubuh. Pada hipovolemia, cairan yang hilang berasal dari cairan ekstraseluler
(intravaskuler dan interstisium) oleh karena cairan yang hilang adalah cairan isotonik. Dalam
keadaan normal, osmolaritas cairan interstisium dan intravaskuler adalah sama, maka
penghitungan cairan yang hilang didasarkan pada persen berkurangnya plasma (cairan
intravaskular). 2
Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi
elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah dikembangkan
menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus
merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan
pasien. 5
Bila perdarahan sebaiknya diganti dengan darah juga. Bila persediaan darah tidak ada,
dapat diberikan cairan koloid atau cairan kristaloid seperti NaCl isotonis atau cairan ringer-
laktat. Cairan koloid tetap tertahan dalam intravaskuler, sedangkan cairan kristaloid akan
masuk sebanyak dua pertiganya ke cairan interstisium. Bila cairan keluar dari saluran
intestinal (diare atau muntah), jenis cairan pengganti dapat berupa NaCl isotonis atau ringer-
laktat. Pada diare lebih dianjurkan pemberian ringer-laktat oleh karena potensi terjadinya
asidosis metabolik pada diare berat. 2
Perlu diingat bahwa volume plasma adalah sebesar 6% dari berat badan orang
dewasa. Sebagai contoh, deplesi volume ringan (20%) pada orang dewasa seberat 60 kg,
volume cairan yang hilang sebesar 20% dari 3,6L adalah 0,72L (720mL). Kecepatan
pemberian cairan tergantung pada keadaan klinis yang terjadi. Pada deplesi volume yang
berat, kecepatan cairan diberi dalam waktu yang cepat hingga terjadi perbaikan takikardia
dan tekanan darah. 2
Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter larutan
isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk
resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah pada pasien
kombustio 18--24 jam sesudah cedera luka bakar. 5
Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid,
koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan
cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan
reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat
berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah. 5
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan
hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis
yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam
jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik,
kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai
cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel. 5
Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme
laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme
pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan
Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi
hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat
membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat. 5
Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti
kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian. 5
Pada dehidrasi:
1. Tentukan defisit
2. Atasi syok
- Cairan infus 20-40 ml/kg secepatnya
- Dapat diulang
3. Sisa defisit
- 50% dalam 8 jam pertama + maintenance
- 50% dalam 16 jam berikutnya + maintenance
Pada perdarahan:
1. Tentukan Blood Loss (ada 3 cara)
Tabel 1
ESTIMASI BLOOD LOST
% EBV
GEJALA – TANDA
10 – 15 % minimal
15 – 25 % Preshock, akral mulai dingin
25 - 35 % Shock, perfusi menurun, T < 90, N > 120
> 35 – 50% Shock berat, perfusi sangat buruk, tensi tak terukur,
nadi tak teraba dan gangguan kesadaran
Tabel 2
Class Lost EBV Tekanan Darah Nadi Tanda LainI < 15 %
(<10 ml/kg)Masih normalHipotensi Postural +
< 100 Agak gelisahNapas 14-20
II 15 – 30 %(10-20 ml/kg)
Sistolik + tetapTek. Nadi menurunHipotensi postural
> 100 Agak gelisahNapas 20 – 30
III 30 – 40 %(20-30 ml/kg)
Sistolik turun > 120 Cap. Refill lambatOliguriaGelisah, bingungNapas : 30 – 40
IV > 40 %( >30 ml/kg)
Sistolik sangat turun >140 Kulit dingin keabu-abuanAnuriaBingung lethargy
Klasifikasi dari Stene-Gieseck (1991) & ACS (1993)
Tabel 3
KELAS I KELAS II KELAS III KELAS IVKehilangan darah sp > 750 cc
Sp 15% EBV750 cc – 1500 cc15-30 % EBV
1500- 2000 cc30-40% EBV
> 2000 cc> 40% EBV
Denyut nadi < 100 x/m > 100 x/m > 120 x/m > 140 x/mTekanan darah Normal Mulai
menurunSangat menurun
Tak terukur
Tekanan nadi Normal Menurun Sangat menurun
Sangat menurun ....
Frequensi pernapasan 14 – 20 20 – 30 5 – 15 > 40Produksi urine( ml/jam )
> 30 20 – 30 5 - 15 Tidak ada
Kesadaran Sedikit cemas
Cemas Cemas-bingungKesadaran mulai menurun
Lesu – coma
Replacement therapy Kristaloid Kristaloid Kristaloid + darah
Kristaloid + darah
Sumber : ATLS
2. mengatasi syok
n Cairan infus 20-40 ml/kg secepatnya
n Dapat diulang
F. CONTOH KASUS
1. Datang seorang pasien An. B, 8 tahun, BB= 30 kg pada tanggal 4 April 2008 pukul
19.45 WIB dengan keluhan panas sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, pagi hari pukul
09.30 WIB. Panas muncul mendadak tinggi, terus-menerus, badan terasa pegal, nyeri kepala,
nyeri sendi, badan lesu dan nafsu makan menurun. Tiga belas jam sebelum masuk rumah
sakit pasien merasa badan lemas dan seluruh kaki dan tangan terasa dingin. Buang air kecil
terakhir 12 jam sebelum masuk rumah sakit kurang lebih setengah gelas belimbing, warna
kuning jernih. Buang air besar terakhir 3 hari sebelum masuk rumah sakit, warna coklat,
konsistensi lunak, lendir(-), darah (-).
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, kompos mentis, gizi kesan lebih,
tekanan darah 120/100 mmHg, nadi 112x/menit, isi dan tegangan kurang, frekuensi napas
24x/menit, suhu per aksiler 36,0 C, uji rumple leed (+).
Pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb: 14,8 gr/d1, Hct: 45,9 vol %, AE: 5,48 x
106/ µL , AL: 3,1 x 103/ µL, AT: 82.000 /mm3, pada pemeriksaan radiologi Right Lateral
Decubitus didapatkan efusi pleura.
Diagnosa Kerja
Dengue Hemorhagic Fever grade III
Penatalaksanaan
Resusitasi penderita di IGD :
O2 2 liter/menit
IVFD RL 20 cc/kgBB/secepatnya
300 cc/jam » 68 tpm ------- jam 20.00 WIB
» 600 cc/jam
300 cc/jam » 68 tpm
evaluasi ------------------ jam 20.30 WIB
KU : lemah, apatis
Tensi : 120/100 mmHg
Nadi : 119 x/menit, isi dan tegangan kurang
RR : 28 x/menit
Suhu : 36°C
a. dorsalis pedis lemah, CRT= 2”
IVFD RL 20 cc/kgBB/secepatnya---------jam 20.30
300 cc/jam » 68 tpm
» 600 cc/jam
300 cc/jam » 68 tpm
evaluasi ------------------ jam 21.00 WIB (syok teratasi)
KU : lemah, CM
Tensi : 120/90 mmHg
Nadi : 100 x/menit, isi dan tegangan cukup
RR : 24 x/menit
Suhu : 36°C
a. dorsalis pedis kuat, CRT< 2”
IVFD RL 10 cc/kgBB/jam
38 tpm
» 300 cc/jam » 75 tpm
38 tpm
Terapi :
O2 2 liter/menit
Diet Makan Biasa 2500 kkal/hari
Infus RL 10 cc/kgBB/jam
injeksi Ampicillin 750 mg/6 jam IV
Paracetamol 300 mg kalau panas
Monitoring
KU dan VS per jam
Balance cairan per 6 jam
Diuresis per 6 jam
Hct, AT per 8 jam
Tanda-tanda syok dan perdarahan GIT, dan saluran nafas
Rencana Pemeriksaan
Feses dan urin rutin
Edukasi
Menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit yang diderita pasien, pemeriksaan yang
dilakukan, pengobatan dan komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien
Istirahat
Banyak minum
2. Seorang laki-laki, 23 tahun, datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSCM pada 1 Agustus
2000, pukul 13.16 WIB dengan keluhan utama terkena ledakan bom setengah jam sebelum
masuk rumah sakit. Pasien terkena ledakan bom saat sedang berjaga di depan rumah duta
besar Filipina. Pasien terjatuh dan menderita luka bakar pada wajah, kedua lengan, dan kedua
tungkai. Pasien tidak sadarkan diri sejak kejadian serta mengeluarkan darah melalui hidung
dan telinga kiri. Pasien langsung dibawa ke RSCM.
Pada survei primer ditemukan airway: gurgling. Dilakukan suctioning, keluar darah, dan
pemasangan oropharyngeal airway. Dicoba untuk melakukan intubasi orotracheal, tapi tidak
berhasil karena posisi mulut menggigit. Dilakukan intubasi dengan muscle relaxant pada
pukul 14.00 WIB. Suctioning dilakukan secara terus-menerus, perdarahan tetap berlangsung.
Breathing: spontan, frekuensi 38 kali per menit, dinding toraks simetris pada statis dan
dinamis. Dilakukan oksigenasi dengan O2 10 liter per menit dan bagging secara manual.
Sirkulasi: frekuensi nadi 130 kali per menit, kecil, akral dingin, tekanan darah 80 per palpasi.
Akses vena perifer hanya dapat dilakukan dengan satu jalur. Dilakukan vena seksi dan
berhasil. Resusitasi cairan inisial dengan ringer laktat (RL) sebanyak 2 liter dan dipersiapkan
darah sebanyak 1500 cc. Ditegakkan diagnosis syok hemoragik derajat III, estimasi
kehilangan darah 1500 cc (7% x 70 x 30%). Frekuensi nadi pasca resusitasi cairan inisial 120
kali per menit, akral masih dingin, dan tekanan darah 90/60 mmHg. Resusitasi dengan cairan
RL diteruskan sambil menunggu darah. Disability: unresponsive, kedua pupil bulat, isokor,
pin point, refleks cahaya pada kedua pupil menurun, dan terdapat lateralisasi ke kiri. Glasgow
Comma Scale (GCS) 4, E1 M2 V1.
Pada survei sekunder, ditemukan jejas pada kepala regio temporal kiri berupa hematom
ukuran 8x6x0.5 cm, dan teraba krepitasi. Konjungtiva tampak pucat, kedua pupil pin point
dengan penurunan refleks cahaya, dan terdapat lateralisasi ke kiri. Terdapat perdarahan dari
telinga kiri dan hidung. Pemeriksaan toraks menunjukkan tidak adanya jejas, simetris statis
dan dinamis, sonor, suara napas bronkovesikular, simetris kanan dan kiri, serta terdengar
ronki pada seluruh lapang paru. Hasil pemeriksaan abdomen ditemukan abdomen datar, tidak
tampak jejas, lemas, tidak ada defans muskular, dan bising usus normal. Ekstremitas akral
dingin dan sianosis. Pada pemeriksaan colok dubur ditemukan ampula tidak kolaps dan tidak
ada darah. Ditemukan luka bakar derajat II dan III seluas 33% pada wajah, keempat
ekstremitas.
Ditegakkan diagnosis: kontusio paru, syok hemoragik derajat III-IV, dan cedera kepala berat.
Pasien ditatalaksana dengan suctioning berkala, bagging dan O2 10 liter per menit, continuos
monitoring frekuensi nadi, EKG dan tekanan darah, pemasangan central venous pressure
line, pemeriksaan darah perifer lengkap, analisis gas darah, elektrolit, pemasangan kateter
urin dan nasogastric tube, serta konsul neurologi dan lapor bedah plastik.
Walaupun usaha resusitasi terus dilakukan, pasien meninggal pada pukul 15.05 WIB. Selama
resusitasi, sejak pukul 13.20--15.05 WIB telah dilakukan suctioning, namun tetap
mengeluarkan darah yang masif dan terus-menerus. Resusitasi dengan cairan RL masuk
sebanyak 6000 cc. Tekanan darah tetap 90/60 mmHg, frekuensi nadi 115--120 kali per menit,
akral dingin, dan sianosis. Produksi urin 6 cc dalam 45 menit.
Lampiran
PENATALAKSANAAN KASUS DENGUE SHOCK SYNDROME ATAU DBD
DERAJAD III DAN IV (Bagan 4)
DAFTAR PUSTAKA
1. Silvia A. Price, orraine M. Wilson.1995. Gangguan Cairan dan Elektrolit dalam
Patofisiologi konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
2. Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti
Setiati, 2006. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta:FKUI
3. Muhardi, Indro Mulyono, Adji Suntoro, O.E. Tampubolon. 1989. Syok Hipovolemik
dalam Penatalaksanaan Pasien di Intensive Care Unit. Jakarta:FKUI. Hal:79-82
4. Harnawatiaj, 2008. Terapi Cairan Intravena (Kristaloid) pada Syok Hipovolemik
dalam
http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/04/16/terapi-cairan-intravena/
5. Toni Ashadi, 2008. Terapi Cairan Intravena (Kristaloid) pada Syok Hipovolemik
dalam http://www.tempointeraktif.com/medika/arsip/012001/sek-1.htm
Posted 9th July 2011 by CITAM WIYONO
CITAM WIYONO
PENUTUP, BEKAM SOLUSI ALTERNATIF BAGI KITA
PENELITIAN ILMIAH TERHADAP BEKAM, BEKAM SOLUSI ALTERNATIF BAGI KITA
KISAH NYATA SEPUTAR BEKAM, BEKAM SEBAGAI SOLUSI ALTERNATIF BAGI KITA
TEKNIK BEKAM, BEKAM SOLUSI ALTERNATIF BAGI KITA
SEJARAH BEKAM, BEKAM SOLUSI ALTERNATIF BAGI KITA
PENDAHULUAN BEKAM SOLUSI ALTERNATIF BAGI KITA
PILOT PROJECT PENINGKATAN KUALITAS LULUSAN SMA N 4 SURAKARTA
NEW ENTRY2
NEW ENTRY
CITAM WIYONO DIHAKIMI RAME-RAME DIREKSI RS MOEWARDI
UNS MOLECULAR MEDICINE INSTITUTE
List of Food a Diabetic can Eat
Food/Diet Therapy for Hypertension
Definition and Classification/Staging System for Acute Kidney Injury (AKI)
NKF Definition of Chronic Kidney Disease
Framingham Criteria for Congestive Heart Failure
Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus and its Complications
Definition of Metabolic Syndrome
Hypertension CriteriaAka
GASTROENTERITIS AKUT (GEA) + CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
From Rome to Los Angeles -- The Rome III Criteria for the Functional GI Disorders
Jejak Pemikiran Mahatma Gandhi
International Postgraduate Research Scholarships at University of Western Sydney, Australia 2012
ESPID Bursaries in Paediatric Infectious Diseases at University of Oxford, UK 2011
Gates Cambridge Scholarships at University of Cambridge, UK 2011
PENUTUP, BEKAM SOLUSI ALTERNATIF BAGI KITA
BAB VI PENUTUP
Bekam adalah satu teknik pengobatan menggunakan sarana gelas, tabung, atau bambu yang prosesnya di awali dengan melakukan pengekopan (membuat tekanan negatif dalam gelas, tabung, atau bambu) sehingga menimbulkan bendungan lokal di permukaan kulit dengan tujuan agar sirkulasi energi Qi[7] dan Xue meningkat, menimbulkan efek analgetik, anti bengkak, mengusir patogen angin dingin maupun angin lembap, mengeluarkan racun, serta oxidant dalam tubuh. Pada teknik bekam basah, setelah terjadi bendungan lokal, terapis lanjutkan prosesnya dengan penyayatan permukaan kulit memakai pisau bedah atau penusukan jarum bekam agar darah kotor bisa dikeluarkan. [8]
Penelitian lain menunjukkan bekam pada titik tertentu dapat menstimulasi kuat syaraf permukaan kulit yang akan dilanjutkan pada cornu posterior medulla spinalis melalui syaraf A-delta dan C, serta traktus spinothalamicus kearah thalamus yang akan menghasilkan endorphin. Sedangkan sebagian rangsang lainnya akan diteruskan melalui serabut aferen simpatik menuju ke motor neuron dan menimbulkan reflek intubasi nyeri.[9]
Berbekam merupakan metode pengobatan klasik yang telah digunakan dalam mengobati berbagai kelainan penyakit seperti hemophilia, hipertensi, gout, reumatik arthritis, sciatica, back pain (sakit punggung), migraine, vertigo, anxietas (kecemasan) serta penyakit umum lainnya baik bersifat fisik maupun mental.[10].
Tidak ada catatan resmi mengenai kapan metode ini masuk ke Indonesia, diduga kuat pengobatan ini masuk seiring dengan masuknya para pedagang Gujarat dan Arab yang menyebarkan agama Islam.[14]. Metode ini dulu banyak dipraktekkan oleh para kyai dan santri yang mempelajarinya dari “kitab kuning” dengan tehnik yang sangat sederhana yakni menggunakan api dari kain/kapas/kertas yang dibakar untuk kemudian ditutup secepatnya dengan gelas/bekas botol. Waktu itu banyak dimanfaatkan untuk mengobati keluhan sakit/pegal-pega di badan, dan sakit kepala atau yang dikenal dengan istilah “masuk angin”.[15].
Tren pengobatan ini kembali berkembang pesat di Indonesia sejak tahun 90-an terutama dibawa oleh para mahasiswa/pekerja Indonesia yang pernah belajar di Malaysia, India dan Timur Tengah. Kini pengobatan ini dimodifikasi dengan sempurna dan mudah pemakaiannya sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah dengan menggunakan suatu alat yang higienis, praktis dan efektif.[16].
Terapi bekam cukup populer di banyak negara Eropa dan Amerika, di perguruan tinggi-perguruan tinggi dan akademi-akademi yang mengajarkan kurikulum pengobatan alternatif dan pengobatan pelengkap, serta di banyak pusat pengobatan dengan berbagai sarananya. Pengobatan bekam menduduki posisi yang menonjol di antara berbagai sarana pengobatan ini, baik dilihat dari sisi pengajaran maupun praktiknya.
Hasil-hasil penelitian sungguh mencengangkan, mencerminkan banyak kondisi kesembuhan yang luar biasa. Semua itu merupakan bukti keagunan ilmu Nabi dan mukjizat
besar yang dibawa oleh “guru pertama”, Rosulullah Muhammad Shallaahu ‘alaihi wasallam, yang kemudian disampaikan kepada kita oleh ilmuwan besar Arab, Muhammad Amin Syaikhu.