TERAPI ANTIOXIDAN

55
Journal Reading TERAPI ANTIOKSIDAN: SEBUAH PENDEKATAN FARMAKOLOGI BARU DALAM SHOK, INFLAMASI, DAN ISKEMIA/INJURI REPERFUSI Oleh : Freddy Ferdian G 0007073 Chichi Februwati G 0006190 Pembimbing : dr. Purwoko, Sp. An KEPANITERAAN KLINIK ANESTHESIOLOGI DAN REANIMASI

description

Banyak bukti tidak langsung yang melibatkan radikal bebas turunan oksigen (terutama superoksida dan radical hidroksil) dan oksidant energi tinggi (seperti peroxinitrit) sebagai mediator inflamasi, shok, dan iskemia/injuri reperfusi.tujuan dari riview ini untuk mendeskripsikan perkembangan di bidang riset oksidatif stress. Bagian awal dari review ini fokus pada peran dari reactive oxygen species (ROS) pada shok, inflamasi, dan iskemia/injuri reperfusi. Bagian kedua dari review ini membahas penemuan baru menggunakan identifikasi farmakologi terkini (seperti peroxynitrite decomposition catalyst dan selektif superoksida dismutase mimetik (SODm) pada shok, inflamasi, dan iskemik/injuri reperfusi. 1) Peran dari ROS terdiri dari bukti imunohistokemikal dan biokemikal yang mendemonstrasikan produksi dari ROS pada shok, inflamasi, dan iskemia/injuri reperfusi. ROS dapat menginisiasi sebuah reaksi toksik oksidatif yang luas. Hal ini termasuk inisiasi dari lipid peroksidase, inhibisi direk dari rangkaian enzim respirasi mitokondria, inaktifasi dari gliceraldehid 3 fosfat dehidrogenase, inhibisi aktuvutas membran Na/K ATPase, inaktivasi dari saluran Na membran, dan modfikasi oksidatif lain dari protein. Sluruh toksisitas ini sangat mungkin untuk berperan dalam patofisiologi shok, inflamasi, dan iskemik/injuri reperfusi. 2) Terapi dengan peroxynitrite decomposition catalyst, yang menghambat peroxynitirte secara selektif, atau dengan SODm, yang me-mimik efek secara selektif aktivitas dari enzim human superoxide dismutase, menunjukan pencegahan in vivo dekompensasi vaskular delay dan kegagalan energetik dari seluler yang berkaitan dengan shok , inflamasi, dan iskemik/ injuri reperfusi. ROS (misalnya: superoksida, peroksinitrit, radikal hidroksil, dan hidrogen peroksida) semuanya adalah reaktan potensial yang dapat menginisiasi pemisahan DNA single strand, dengan aktivitas lanjutan dari enzim nukleus poli (ADP-ribose) sintetase, menuju pada keadaan deplesi energi berat dari sel dan kematian sel tipe nekrosis. Terapi antioksidan menghambat aktivitas dari poli (ADP ribose) sintetase dan mencegah organ injuri berkaitan dengan shok, inflamasi, dan iskemia/reperfusi.

Transcript of TERAPI ANTIOXIDAN

Page 1: TERAPI ANTIOXIDAN

Journal Reading

TERAPI ANTIOKSIDAN: SEBUAH PENDEKATAN FARMAKOLOGI

BARU DALAM SHOK, INFLAMASI, DAN ISKEMIA/INJURI

REPERFUSI

Oleh :

Freddy Ferdian G 0007073

Chichi Februwati G 0006190

Pembimbing :

dr. Purwoko, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTHESIOLOGI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD Dr. MOEWARDI

SURAKARTA

2011

Page 2: TERAPI ANTIOXIDAN

ABSTRAK

Banyak bukti tidak langsung yang melibatkan radikal bebas turunan oksigen

(terutama superoksida dan radical hidroksil) dan oksidant energi tinggi (seperti peroxinitrit)

sebagai mediator inflamasi, shok, dan iskemia/injuri reperfusi.tujuan dari riview ini untuk

mendeskripsikan perkembangan di bidang riset oksidatif stress. Bagian awal dari review ini

fokus pada peran dari reactive oxygen species (ROS) pada shok, inflamasi, dan iskemia/injuri

reperfusi. Bagian kedua dari review ini membahas penemuan baru menggunakan identifikasi

farmakologi terkini (seperti peroxynitrite decomposition catalyst dan selektif superoksida

dismutase mimetik (SODm) pada shok, inflamasi, dan iskemik/injuri reperfusi. 1) Peran dari

ROS terdiri dari bukti imunohistokemikal dan biokemikal yang mendemonstrasikan produksi

dari ROS pada shok, inflamasi, dan iskemia/injuri reperfusi. ROS dapat menginisiasi sebuah

reaksi toksik oksidatif yang luas. Hal ini termasuk inisiasi dari lipid peroksidase, inhibisi

direk dari rangkaian enzim respirasi mitokondria, inaktifasi dari gliceraldehid 3 fosfat

dehidrogenase, inhibisi aktuvutas membran Na/K ATPase, inaktivasi dari saluran Na

membran, dan modfikasi oksidatif lain dari protein. Sluruh toksisitas ini sangat mungkin

untuk berperan dalam patofisiologi shok, inflamasi, dan iskemik/injuri reperfusi. 2) Terapi

dengan peroxynitrite decomposition catalyst, yang menghambat peroxynitirte secara selektif,

atau dengan SODm, yang me-mimik efek secara selektif aktivitas dari enzim human

superoxide dismutase, menunjukan pencegahan in vivo dekompensasi vaskular delay dan

kegagalan energetik dari seluler yang berkaitan dengan shok , inflamasi, dan iskemik/ injuri

reperfusi. ROS (misalnya: superoksida, peroksinitrit, radikal hidroksil, dan hidrogen

peroksida) semuanya adalah reaktan potensial yang dapat menginisiasi pemisahan DNA

single strand, dengan aktivitas lanjutan dari enzim nukleus poli (ADP-ribose) sintetase,

menuju pada keadaan deplesi energi berat dari sel dan kematian sel tipe nekrosis. Terapi

antioksidan menghambat aktivitas dari poli (ADP ribose) sintetase dan mencegah organ injuri

berkaitan dengan shok, inflamasi, dan iskemia/reperfusi.

I. Introduksi

A. Radikal Oksigen

Suatu radikal bebas didefinisikan sebagai suatu atom atau molekul yang mempunyai

elektron tidak berpasangan. Molekul oksigen, O2 adalah suatu biradikal dengan dua elektron

yang tidak berpasangan. Radikal bebas turunan oksigen adalah superoksida anion (O2-),

perhidroksil radikal (protonated superoxide, HO2-), radikal hidroksil (HO.), dan radikal bebas

Page 3: TERAPI ANTIOXIDAN

nitrit oksida (NO.). Reduksi satu elektron dari oksigen (misalnya penambahan satu elektron

pada oksigen molekul) menghasilkan pembentukkan O2-. (dikenal juga sebagai radikal

superoksida), sedangkan reduksi dua elektron oksigen, jika terprotonasi penuh, membentuk

hidrogen peroksida (H2O2). Jenis ketiga dari oksigen teraktivasi, dikenal sebagai oksigen

singlet, dikenal sebagai kontributor yang mungkin pada mahkluk hidup. Singlet oksigen

adalah keadaan elektron-spin berpasangan dioksigen berenergi tinggi yang kira-kira memiliki

energi 1 eV lebih tinggi daripada keadaan awal (ground-state) oksigen triplet dan mampu

mengoksidasi banyak molekul biologi. Akhirnya, produk reduksi tambahan dari oksigen,

HO., adalah yang paling reaktif dan paling tidak selektif dari semua agen radikal oksi

pengoksidasi.

Awalnya dipercaya jika toksisitas yang disebabkan oleh radikal superoksida

disebabkan oleh interaksi langsung antara superoksida dan target biologi. Kini jelas bahwa

banyak efek jaringan terhadap O2- dihasilkan dari pembentukan sekunder dari radikal oksigen

yang lain disamping reaksi direk dari superoksida (atau asam konjugasinya) pada target

biologi, seperti lipid-lipid (Aikens and Dix, 1991; Dix and Aikens, 1993), catecholamines

(Misra and Fridovich, 1972; Heikkila and Cohen, 1973; Rao and Hayon, 1975; Macarthur et

al., 2000), dan DNA (Dix et al., 1996). Superoksida pada media aqueous menghasilkan reaksi

spontan second-order dengan sendirinya, reaksi dismutase yang menghasilkan satu molekul

tiap H2O2 dan oksigen (lihat reaksi 1, tabel 1) pada reaksi yang relatif lambat dalam pH 7,4

(laju konstanta second-order adalah 104,5) dibandingkan dengan laju pada superoksida atau

HO2- dapat mengambil sebuah atom H dari target biologi seperti katekolamin atau allylic CH

pada lipid yang mana laju konstanta second-order melebihi 107.

Walaupun dismutasi akan terjadi spontan pada pH fisiologis dalam konsentrasi tinggi

superoksida, konsentrasi dari superoksida mendekati 10 µM (fisiologis) karena reaksi sendiri

melambat dan lifetime-nya memanjang menjadi beberapa detik. Akibatnya, alam telah

mengubah kelas enzim-enzim superoksida dismutase (SOD2) untuk menghilangkan radikal

bebas biproduk dari metabolisme oksigen. Enzim-enzim ini dapat bereaksi cepat terhadap

superoksida (laju mendekati atau melebihi 109) dan dismutase radikal pada produk

Page 4: TERAPI ANTIOXIDAN

nonradikal, O2 dan H2O2, lebih cepat daripada superoksida dapat bereaksi dengan target

biologis potensial lainnya. Waktu paruh yang pendek sebaiknya tidak disalahinterpretasikan

sebagai mitigasi reaktivitas potensial O2- karena waktu paruh sebenarnya cukup lama

berkaitan dengan fenomena koefisien difusi dari radikal. Mengingat superoksida dapat

berinteraksi dengan berbagai target molekul biologi, reaksi dengan enzim secara nyata dapat

menghentikan produksi superoksida menjadi H2O2 dan oksigen. Karenanya, dipercayai bahwa

keberadaan in vivo dari enzim aktif SOD yang tinggi akan meningkatkan konsentrasi lokal

dari H2O2.

Oksi radikal yang paling reaktif adalah HO2-. Diperkirakan beberapa tahun lalu bahwa

zat ini dapat dibentuk dari interaksi O2- dan H2O2 melalui proses kimia yang dikenal sebagai

reaksi Haber-Weiss (reaksi 2, tabel 1). Meskipun studi detail menunjukkan reaksi ini tidak

dapat terjadi pada kondisi fisiologis. Sebuah penjelasan alternatif, yang kini diterima luas,

menyebutkan bahwa sejumlah kecil ion-ion metal, terutama ion ferrous, bereaksi dengan

H2O2 dalam reaksi Fenton terkatalasi besi untuk memproduksi radikal hidroksil. Normalnya,

ion ferrous tidak ada in vivo, tetapi diproduksi oleh aksi superoksida pada ion ferric (reaksi 3

dan 4, tabel 1) yang terjadi pada protein-protein penyimpan besi. Ada perdebatan apakah ion-

ion metal yang terikat protein (misalnya laktoferrin, hemoglobin, dan lain sebagainya)

mengkatalisasi reaksi menjadi derajat yang besar. Pengukuran yang sensitif dari konsentrasi

besi bebas dalam jaringan, seperti cairan sinovial, telah dilaporkan untuk menunjukkan

konsentrasi yang cukup untuk mengkatalisasi reaksi 3 dan 4 pada sendi yang mengalami

infalamasi. Akhirnya, perhatian tertuju pada apa yang disebut pembentukan hidroksi radikal

“spesifik lokasi” (“site-spesific”) (Czapski et al., 1983), dimana sebuah ion besi berikatan

dengan sebuah makromolekul mengkatalisasi pembentukkan HO. Pada lokasi sesungguhnya

dari substrat dimana pembelahan berlangsung.

Sebagai kesimpulan, toksisitas jaringan dari pembentukan superoksida jaringan

nampaknya berasal dari reaktivasi direk dari sejumlah tipe molekul biologi (lipid, DNA,

RNA, katekolamin, steroid, dan lain-lain) dan dari dismutase untuk membentuk H2O2 dan

reduksi konkomitan dari ion ferri dan ferrous; reaksi dari kedua produk ini menghasilkan

radikal hidroksil yang sangat toksik yang mungkin dapat membelah ikatan kovalen pada

protein dan karbohidrat, menyebabkan peroksidase lipid, dan kerusakan membran sel. Ada

tiga strategi yang ada untuk “detoksifikasi” atau mencegah pembentukan dari radikal oksigen

lokal: 1) mengirim SOD atau sebuah SODm pada area tersebut; 2) mengirim katalase atau

peroksida scavenger, atau 3) kelasi (dan inaktivasi) sejumlah besi yang mengkatalis reaksi

tersebut.

Page 5: TERAPI ANTIOXIDAN

B. Spesies Nitrogen

NO. disintesis dari grup guanidino dari L-arginin oleh sekelompok enzim yang

disebut NO. sintetase (MOSs). Tiga isoform telah dijelaskan dan dikembangkan: endotelial

sel NOS (ecNOS atau tipe 3), NOS otak/ brain NOS (bNOS, nNOS, atau tipe 1), dan tipe

indusibel makrofag NOS (iNOS atau tipe 2). Semua isoform NOS ini dapat diinhibisi dalam

derajat yang bervariasi oleh N-substituted L arginine analogs (misalnya N-metil L-arginin).

Pembentukkan NO. berkaitan dengan penyatuan O2 ke dalam molekul. Semua isoform NOS

tergantung pada NADPH dan calmodulin. Pada iNOS, calmodulin ada pada ikatan yang kuat,

karena itu iNOS memproduksi NO. dengan cara yang lama pada kondisi cukup substrat

(Geller and Billiar, 1998; Marletta, 1993; Stuehr, 1997). Banyak aksi biologis dai NO.

dimediasi melalui sistem guanylyl cyclase/cyclic GMP (cGMP). NO ., sebuah molekul kecil

yang lipofilik, berdifusi ke sel-sel yang berdekatan dan siap memasuki sitosol, dimana akan

mengaktifkan soluble guanyl cyclase dengan berikatan dengan besi pada komponen heme-

nya, oleh karen itu mengeluarkan besi dari cincin porfirinnya. Peningkatan jumlah dari cGMP

memicu reduksi dari konsentrasi kalsium dengan meningkatkan pengeluaran kalsium dan

sekuesterasinya ke dalam penyimpanan intraseluler. Penurunan kalsium konsentrasi di

intraseluler bertanggung jawab pada relaksasi vaskular dan otot polos nonvaskuler yang

termediasi NO., inhibisi dari pelekatan dan aggregasi platelet, inhibisi kemotaksis netrofil,

dan transduksi sinyal pada sistem saraf pusat dan perifer (Ignarro, 1991; Moncada et al.,

1991; Dusting, 1995). Kini telah ditetapkan dengan baik bahwa NO . memiliki aksi tergantung

cGMP tertentu. Efek sitotoksik dari NO. (dalam konsentrasi tinggi) meliputi inhibisi dari

enzim-enzim besi-sulfur mitokondria, termasuk NADH: ubiquinon oksidoreduktase, NADH:

suksinat oksidoreduktase, dan akonitase (Nathan, 1992). Aktivitas enzim-enzim tergantung

cGMP dari NO., seperti cyclooksigenase, telah dijelaskan. Aksi ini mungkin berkaitan dengan

reaksi NO. dengan pusat heme besi pada sisi aktif enzim –enzim (Salvemini and Masferrer,

1996). NO. menginhibisi aktivitas enzim-enzim cytochrome P-450 (Khatsenko et al., 1993)

NO. mungkin memodulasi transkripsi dan translasi gen: pada endotelial sel, hal ini

mengaktifkan c-fos (Felley-Bosco et al., 1994), sedangkan di neuron hal ini mempotensiasi

efek kalsium pada ekspresi gen berkaitan dengan promoter c-fos (Peunova and Enikolopov,

1993). Banyak kondisi-kondisi inflamasi berkaitan dengan produksi jumlah yang cukup besar

dari NO., yang diproduksi oleh iNOS, pertama kali diidentifikasi dalam makrofag, dapat

diekspresi dalam sel jenis apapun secara esensial. Walaupun ekspresi konstitutif dari iNOS

telah terlokalisasi di ginjal, intestinum, dan epitel bronkial, iNOS diekspresikan terutama

Page 6: TERAPI ANTIOXIDAN

sebagai respon dari stimuli imunologikal dan memproduksi nanomole, dibandingkan

picomole, dari NO..sekali diproduksi pada konsentrasi lokal yang tinggi, NO. dapat bertindak

sebagai molekul sitostatik dan sitotoksik bagi fungal, bakterial, helinthes, dan organisme

protozoa, juga pada sel-sel tumor. Bakterial lipopolisakarida dan berbagai sitokin

proinflamasi juga menginduksi ekspresi iNOS dalam jumlah sel-sel nonhematopoietik dan

nonvaskuler (Nathan, 1992). iNOS memproduksi sejumlah besar NO . dalam waktu yang

lama. Ekspresi dari iNOS didiatur baik di tingkat transkripsi dan di tingkat stabilisasi mRNA

iNOS. Mekanisme induksi iNOS dapat dihambat oleh banyak agen, meliputi glukokortikoid,

thrombin, makrofag, deaktivasi faktor, TGF-β, platelet derivat growth factor, IL-4, 8, 10, dan

IL-13. Induksi dari iNOS dapat berupa efek toksik maupun protektif, faktor-faktor yang

tampak mendiktat keberlangsungan ekspresi iNOS meliputi tipe dari insult, tipe jaringan,

tingkat dan durasi ekspresi iNOS, dan mungkin status redox jaringan. Banyak perhatian telah

difokuskan pada toksisitas iNOS. Contohnya, induksi dari iNOS pada sel endothelial

menghasilkan kerusakan endothelial (Palmer et al., 1992). Induksi dari iNOS telah

menunjukkan penghambatan respirasi seluler pada makrofag dan otot polos vaskuler; proses

ini menyebabkan disfungsi sel dan kematian sel. Proses seperti ini, ketika terjadi dalam sel

otot polos vaskuler, memegang peran penting pada patogenesis dari hiporeaktivitas vaskuler

dan dekompensasi vaskuler progresif terkait dengan berbagai bentuk shok sirkulasi (Szabo,

1995). Dalam perbandingan yang jelas, ekspresi iNOS di sel hati mensupresi endotoksin dan

toksisitas yang diinduksi TGF-α (Kim et al., 1997; Ou et al., 1997). Overekspresi dari iNOS

oleh transfer gen juga membatasi lipopolisakarida (LPS) pada sel-sel endotelial (Tzeng et al.,

1997).

Pembentukan simulatan dari NO. dan O2- menambah produksi dari produk reaksi

toksik, anion peroksinitrit (ONOO-)(Beckman et al., 1990), dan produk ini dapat terdiri dari

efek-efek penghilangan terkait dengan produksi NO .. Reaksi pembentukan peroksinitrit ini

telah menunjukkan difusi terkontrol (kobs’= 6,7 x 109 M-1s-1), menginduksikan kompetisi dari

NO. dengan SOD untuk superoksida dapat dibentuk (Huie & Padmaja. 1993)

Beckaman mencatat bahwa produksi peroiksinitrit meningkat karena pangkat kuadrat

dari prekursor ini . Bahkan, bentuk tertentu dari enzim SOD diinaktivasi oleh reaksi dengan

peroksinitrit dan hal ini dapat menghasilkan umpan balik positif dengan pembentukan

ONOO-(Ischiropoulos et al., 1992a; Beckman et al., 1994a). Karenanya, sangat beralasan

untuk menyimpulkan bahwa overproduksi dari peroksinitrit dapat terjadi in vivo. Sekali dekat

atau di dalam sel, ONOO- dapat merusak atau menghabiskan komponen vital (misal: DNA by

strand scission (King et al., 1992; Groves & Mark, 1995, Groves et al., 1996), lipid oleh

Page 7: TERAPI ANTIOXIDAN

peroksidasi (Radi et al., 1991a; Rubbo et al., 1994), akonitase (gastro et al., 1994; Hausladen

dan Fridovich, 1994) dan availabilitas antioksidan (Van der Vlief et al., 1994; Vasquez Vivar

et al., 1996).

Bagian yang dipertimbangkan dari efek toksik NO. atau O2- sendiri sesungguhnya

dapat dimodulasi oleh peroksinitrit (tabel 2). Hasil oksidatif stress dapat menyebabkan

kematian sel dan kerusakan jaringan yang mengkarakterisasi sejumlah kondisi penyakit pada

manusia, kelainan neurologi dan stroke , penyakit inflamasi usus, arthritis, shok toksik, dan

akut injuri reperfusi. Nyatanya, studi saat ini menyebutkan peroksinitrit dan bukannya NO .,

yang mungkin adalah jenis ultimate sitotoksik dalam beberapa kondisi (Gastro et al., 1994;

Haus Laden & Fridovich, 1994; Szabo et al., 1996a).

Dalam sel-sel yang terekspose pada peroksinitrit eksogen atau pada senyawa yang

secara simultan menghasilkan NO. dan superoksida, meningkatkan perubahan pada tingkat

energetik seluler dan integritas DNA terjadi. Contohnya, pada sel pulmoner tipe II, inhibisi

dari Natrium uptake oleh peroksinitrit telah dilaporkan ( Hu et al., 1994). Respirasi

mitokondria diinhibisi oleh peroksinitrit di sel-sel neuron dan sel glia (Bolanos et al., 1995),

dan kultur otot polos dari tikus (Szabo et al., 1996b). Walaupun penurunan aktivitas suksinat

sitokrom c reduktase dan sitokrom c oksidasi ditemukan di neuron yang terekspos

peroksinitrit, hanya sitokrom c oksidase yang terpengaruh peroksinitrit pada mitokondria

yang terisolasi. Penemuaan ini menyarankan kontribusi dari jalur seluler sekunder dari

toksisitas peroksinitrit (Bolanos et al., 1995). Inaktivasi dari enzim-enzim mitokondria

meningkatkan jumlah produksi H2O2 oleh mitokondria (Radi et al., 1994), yang dapat

mengkontribusi kerusakan seluler yang lebih jauh, dalam pola adisi atau sinergis.

Secara serupa, pada makrofag (Szabo & Salzman, 1995), sel otot polos (Szabo et al.,

1996b) dan neuron-neuron (Heaks et al., 1994), imunostimulasi menghasilkan inhibisi

respirasi mitokondria. Inhibisi ini lebih karena peroksinitrit, daripada pembentukan NO .

Page 8: TERAPI ANTIOXIDAN

“murni”, karena supresi dari respirasi sel dapat diperbaiki baik oleh inhibitor NOS dan oleh

superoksida atau peroksinitrit scavenger.

Walaupun paparan peroksinitrit konsentrasi tinggi menghasilakan kematian sel

berkaitan dengan energetik cepat yang tidak terkendali, konsentrasi yang rendah dari

peroksinitrit dapat, setelah beberapa jam, menghasilkan apoptosis sel (Bonfoco et al., 1995;

Estevez et al., 1995, Salgo et al., 1995). Pada isolasi jaringan dan organ, peroksinitrit

memulai berbagai perubahan. Infus peroksinitrit menyebabkan reduksi pada kontraktilitas

miokardial pada jantung terperfusi yang diisolasi (Schulz et al., 1995) dan menginduksi

kelainan kemampuan relaksan yang tergantung endothelium (Villa et al., 1994). Penemuan

bahwa perkembangan dari disfungsi endotelial dapat dicegah oleh donor NO. (Villa et al.,

1994) mendukung keyakinan bahwa efek akut tiksik adalah karena ONOO- (Moro et al.,

1994, 1995).

II. Kerusakan DNA

Reaksi yang diinduksi radikal bebas dapat menyebabkan perubahan pada DNA

(misalnya nicking, mutasi,pasangan basa, rearrangement, delesi, inversi, dan amplifikasi

urutan). Reaksi endogen yang mungkin berkonsentrasi pada kerusakan DNA yang sedang

terjadi adalah oksidasi, metilasi, depurinasi, dan deaminasi (Totter, 1980; Ames, 1989). NO

atau, lebih mungkin, produk-produk reaktif turunannya, seperti NO2-, ONOO-, N2O3, dan

HNO2, adalah agen-agen mutagenik, dengan kemampuan untuk memproduksi nitrasi,

nitrosasi, dan deaminasi reaksi-reaksi pada basa-basa DNA (Rout Ledge et al., 1994).

Metilasi dari sitosin-sitosin pada DNA penting untuk regulasi ekspresi gen, dan pola normal

metilasi dapat diubah selama karsinogenesis (Weitzman et al., 1994). Konversi dari guanin ke

8-hidroksiguanin, hasil yang sering dari serangan reaktif oksigen spesies (ROS) (Halliwell &

Aruoma, 1991; Dizdaroglu, 1993; Box et al., 1995), telah ditemukan mengubah metilisasi

terkatalisasi enzim dari sitosin-sitosin yang berdekatan (Weitzman et al., 1994)—karenanya

menyediakan hubungan antara kerusakan DNA oksidatif dan perubahan pola metilasi.

Kimiawi dari kerusakan DNA oleh ROS terutama dapat dikarakterisasi in vitro

(Steenken, 1989; Dizdaroglu, 1993; Epe, 1993; Box et al., 1995), walaupun dibutuhkan

informasi spesifik tentang perubahan produksi oleh peroxyl (RO2-), alkoxyl (RO.), ozon (O3),

dan reaktif nitrogen spesies (RNS) tertentu (misal: ONOO-) berkurang. ROS yang berbeda

mempengaruhi DNA dengan cara yang berbeda (misal: H2O2 tidak bereaksi dengan basa

DNA sama sekali (Halliwell & Aruoma, 1991; Dizdaroglu, 1993), sedangkan HO .

Membentuk multiplisitas dari produk-produk dari keempat basa –basa DNA, dan pola ini

Page 9: TERAPI ANTIOXIDAN

tampaknya merupakan “sidik jari” daignostik dari serangan HO. (Halliwell & Aruoma, 1991).

Sebagai perbedaan, O2- menyerang guanin secara selektif (Epe, 1993; Van der Akher et al.,

1994). Lesi basa yang paling sering diproduksi, dan yang paling sering diukur sebagai index

kerusakan DNA oksidatif, adalah 8-hidroksiguanin. Zat ini kadang-kadang diukur sebagai

nukleosida, 8-hidroksideoksiguanosin (Floyd et al., 1986; Ames, 1989). Metode esensi ini

telah direview dengan detail (Floyd et al., 1986; Halliwell & Aruoma, 1991; Halliwell &

Dizdaroglu, 1992; Dizdaroglu, 1993).

Kerusakan pada DNA oleh ROS/RNS tampak muncul secara alamiah, dalam tingkat

rendah yang menetap dari produk-produk kerusakan basa yang telah dideteksi di DNA

nukleus dari sel-sel manusia dan jaringan-jaringan (Floyd et al., 1986; Ames, 1989; Halliwell

& Dizdaroglu, 1992; Ritcher, 1992; Musariat & Wani, 1994). Pola kerusakan basa purin dan

pirimidin menyimpulkan bahwa setidaknya beberapa kerusakan terjadi oleh serangan HO .,

menyimpulkan bahwa HO. Dibentuk di nukleus in vitro (Halliwell & Dizdaroglu, 1992).

ROS/RNS dapat juga merusak DNA mitokondria, dan kerusakan seperti ini telah disimpulkan

penting pada penyakit manusia tertentu dan pada proses penuaan (Harman, 1992; Shigenaga

et al., 1994), mitokondria sering disebut sebagai sumber ROS intraseluler yang paling

penting, tetapi sulit mengkonfirmasi tanpa ambigu pernyataan ini (Halliwell & Gutteridge,

1985). Walaupun nampaknya sangat mungkin jika rantai transpor elektron miokondria

membentuk ROS in vivo (Ambrossio et al., 1993; Guidot et al., 1993) dan DNA mitokondria

tersebut dirusak oleh ROS tersebut. Peran bahwa ROS dan RNS berperan dalam kerusakan

DNA belum sepenuhnya jelas. Hal ini nampaknya meningkatkan net kerusakan DNA

oksidatif di DNA mitokondria dibandingkan DNA nukleus karena peroksinitras dari DNA

mitokondria pada pembentukan ROS selama transpor elektron, kekurangan dari protein-

protein histon untuk memproteksi DNA terhadap serangan, atau perbaikan yang tidak efisien,

menjadikan kerusakan basa terakumulasi di tingkat yang lebih tinggi.

Kerusakan DNA dapat diperbaiki oleh aksi dari serangkaian enzim-enzim (Demple &

Harrison, 1994). Meskipun, DNA dari sel-sel manusia dan jaringan-jaringan terdiri dari

sejumlah kecil produk-produk kerusakan basa DNA (Ames, 1989; Malins & Haimanot, 1991;

Halliwell & Dizdaroglu, 1992; Bashir et al., 1993; Jaruga et al., 1994; Adachi et al., 1995),

menyimpulkan bahwa enzim-enzim ini tidak mendapat pengangkutan sempurna dari basa-

basa yang termodifikasi, mungkin karena enzim-enzim tersebut beroperasi pada kapasitas in

vivo dekat dengan maksimum. Kerusakan DNA oleh ROS/RNS dapat menyebabkan lesi

multipel, termasuk penghancuran rantai tunggal dan ganda, lokasi apurinik/apirimidin dan

modifikasi pirimidin dan purin. Perbaikan dari lesi-lesi ini muncul terutama oleh perbaikan

Page 10: TERAPI ANTIOXIDAN

eksisi basa, walaupun perbaikan eksisi nukleotida dapat termasuk. Sistem perbaikan untuk

lokasi abasik, apurinik/apirimidinik yang diproduksi oleh depurinasi spontan juga ada. Area

yang diminati saat ini meliputi peran dari poli (ADP-ribose) polimerase (PARP) pada

penghubungan kembali dari pemisahan rantai DNA, meliputi yang terinduksi oleh ROS

(Satoh et al., 1993; Satoh & Lindahl, 1994).

III. Poli (ADP-ribose) Sintetase

Poli (ADP-ribosa) sintetase (PAPS) [juga dikenal sebagai PARP atau poli (ADP-

ribose) transferase] adalah protein enzim pemodifikasi dan pemolimerisasi nukleotida yang

terdapat banyak di nukleus (Althaus & Ritcher, 1987; De Murica & Memissier—De Murica,

1994). Pemicu obligat dari aktivasi PARS adalah nick dan memecah rantai DNA, yang dapat

diinduksi oleh berbagai stimuli lingkungan dan serangan radikal bebas (atau oksidan).

Termasuk di dalamnya oksidan-oksidan seperti HO2-, HO., dan ONOO-, radiasi pengionisasi,

dan agen-agen genotoksik, seperti N-metil-N’-nitro-N-nitrosoguanidin. Fungsi fisiologis dari

PARS dan poli (ADP-ribosilasi) masih dalam perdebatan. Dari studi menggunakan inhibitor

farmakologi dari PARS, poli (ADP-ribosilasi) telah disimpulkan mengatur ekspresi gen dan

amplifikasi gen, diferensiasi seluler dan transformasi malignan, pembelahan seluler, dan

replikasi DNA, juga apoptosis sel (Althus & Ritcher, 1987; Lautier et al., 1993; De Murica &

Menisser—De Murica, 1994; Lindahl et al., 1995; Wang et al, 1995; Simbulan-Rosenthal et

al., 1996). Walaupun, studi saat ini menggunakan sel-sel dari tikus-tikus PARS (-/-) telah

gagal untuk mendemonstrasikan peran dari PARS pada proses apoptosis yang diinduksi oleh

berbagai sinyal –sinyal apoptosis, seperti Fas ligan atau dexametason (De Murica et al., 1997;

Morrison et al., 1997; Wang et al., 1995, 1997).

Pada tahun 1980-an, Berger dan Okamoto telah mengobservasi deplesi cepat dari

NAD+ karena aktivasi PARS, yang mengakibatkan deplesi ATP seluler, dan perubahan

fungsional dari sel, dengan diakhiri kematian sel tipe nekrosis. Pemicu sitotoksik utama yang

dipakai dalam studi in vitro ini adalah agen-agen alkilasi, radiasi, dan H2O2, sedangkan yang

paling sering dipakai sebagai PARS inhibitor adalah nikotinamid, 3-aminobenzamid, dan

benzamid.

Penelitian dalam peran “bunuh diri” dari PARS mendapatkan momentum baru pada

pertengahan tahun 1990-an karena observasi in vitro bahwa NO. dan peroksinitrit dapat

memicu pemecahan DNA rantai tunggal dan aktivasi PARS (Radons et al., 1994; Eliasson et

al., 1997; Szabo et al., 1996b). NO. dan peroksinitrit dapat juga menghambat respirasi

mitokondria dan mendorong efek sitotoksik dengan sendirinya. Karenanya, sangat mungkin

Page 11: TERAPI ANTIOXIDAN

bahwa terdapat hubungan sinergetik antara jalur termediasi PARS dan jalur tidak tergantung

PARS dari supresi metabolik seluler (Gambar 1). Lebih lagi, observasi bahwa NO . dan

peroksinitrit adalah mediator-mediator kerusakan seluler yang penting di berbagai jenis

inflamasi dan kerusakan reperfusi menyimpulkan bahwa bunuh diri terkait jalur PARS

mungkin memegang peran dalam berbagai kondisi patofisiologis in vivo (Gambar 2).

Page 12: TERAPI ANTIOXIDAN

IV. Kepentingan Relatif dari Reaksi Gluthation dengan Nitrit Oksida, Oksiradikal,

dan Peroksinitrit dalam Endotoksik Shok dan Inflamasi

Glutation adalah oksiradikal scavenger yang diketahui (Darley-Usmar & Halliwell,

1996). Bahkan, glutation dapat bereaksi dengan NO. membentuk S-nitrosoglutation, sebuah

senyawa vasodilator (Simon et al., 1993). Karenanya, secara teori, mekanisme dari perubahan

vaskuler yang teramati dalam sel-sel yang dipretreat dengan BSO, dan jaringan-jaringan

mungkin berkaitan dengan peroksinitrit, oksiradikal, NO., atau kombinasi dari semua itu. Dari

data literatur, nampaknya tidak mungkin reaksi glutation-NO. memegang peranan dalam

peruabahan-perubahan yang diamati. Kesimpulan ini berdasarkan pada pertimbangan-

pertimbangan seperti: 1) berdasarkan studi sebelumnya (Jia & Furchgott, 1993; Stamler,

1995), kami menemukan tidak ada beda dalam efek relaksan tidak tergantung endothelium

dari S-nitroso-N-asetil-DL-penisilinamin dalam kontrol dan hewan-hewan yang diterapi

BSO, menyimpulkan bahwa reduksi dari endogen glutation tidak mempengaruhi respon

relaksasi terinduksi NO; dan 2) studi in vitro dalam makrofag dan tipe sel lain telah

menegakkan bahwa glutation endogen hanya memproteksi terhadap fluktuasi yang sangat

tinggi dari NO.(relefansi farmakologi), tetapi tidak terhadap tingkat NO. yang rendah, seperti

yang terkait kondisi in vitro dan in vivo dari eksperimen kami (Sakanashi et al., 1991; Walker

et al., 1995). Pada sisi lain, kemungkinan peningkatan dari sitotoksik pada sel-sel yang

diterapi BSO atau jaringan setelah terapi LPS berhubungan, sebagian, dengan peningkatan

efek sitotoksik terkait oksiradikal adalah sangat mungkin. Data mendukung deplesi dari

glutation endogen meningkatkan efek sitotoksi dari H2O2 dan oksiradikal, dan kami telah

mengobservasi penoingkatan dari toksisitas H2O2 pada sel-sel endothelial dan sel-sel otot

polos (Cuzzocrea et al., 1998c). Pada penelitian yang meliputi sstimulasi LPS, meyakinkan

bahwa lebih banyak inhibisi dari respirasi mitokondria oleh radikal bebas turunan oksigen

dan oksidan-oksidan dapat memicu disfungsional elektron transfer, dengan produksi lebih

banyak superoksida dari mitokondria. Siklus umpan balik positif ini juga akan meningkatkan

produksi peroksinitrit, dengan peningkatan sitotoksisitas. Sebagai catatan produksi

superoksida, bukannya produksi NO., yang mencerminkan faktor batas laju dari produksi

peroksinitrit selama endotoksemia (Szabo & Salzman, 1995).

Page 13: TERAPI ANTIOXIDAN

Harus diingat bahwa, dalam sel-sel yang terimunostimulasi, produksi dari berbagai

radikal bebas turunan oksigen dan nitrogen dan oksidan muncul secara simultan. Oleh karena

itu, dapat dipercaya bahwa interaksi penting terjadi antara berbagai jenis ini di saat potensial

oksidatif dan sitotoksisitas. Sebagai contoh, sebagai tanggung jawab dari kerusakan oksidatif

terinduksi peroksinitrit, telah ditegakkan bahwa rasio dari NO. dan superoksida menentukan

kapasitas oksidan, dan NO. yang berlebih menurunkan proses oksidatif terkait peroksinitrat

(Rubbo et al., 1994; Szabo dan Salzman, 1995; Petit et al., 1996). H2O2, di lain pihak,

memperpanjang waktu paruh dari peroksinitrit (Miles et al., 1996), dan sinergis degan

peroksinitrit dalam memicu sitotoksisitas. Karenanya, mungkin bahwa efek sitotoksik yang

kami amati sebagai respon dari imunostimulasi mencerminkan penjumlahan dari kompleks

interaksi antara berbagai radikal dan oksidan turunan oksigen dan nitrogen. Walaupun,

berdasarkan kesamaan efek antara peroksinitrit yang ditambah secara eksogen dan terapi

LPS, dan mengingat efek simultan protektif dari N-metil-L-arginin dan tetrakis-(4-asam

benzoat) porfirin (MnTBAP) melawan kegagalan vaskuler sebagai respon dari paparan LPS

Page 14: TERAPI ANTIOXIDAN

(lihat di atas), kami memperkirakan bahwa peroksinitrit, atau oksidan turunan peroksinitrit,

berkontribusi pada oksidasi protein sebagai respon dari imunostimulasi.

Studi terkini mendemonstrasikan bahwa glutation endogen memegang peran penting

dalam menurunkan hiporeaktivitas vaskuler dan disfungsi endothel sebagai respon dari

peroksinitrit dan shok endotoksik, juga inflamasi akut. Sebenarnya kami telah melihat bahwa

tikus-tikus yang diterapi BSO menghasilkan efek inlamasi yang signifikan, dibandingkan

dengan tikus dengan sistem glutation normal. Penemuan ini sama dengan penemuan

sebelumnya bahwa glutation memegang peran penting dalam mem-blok kerusakan akibat

oksidan dan, secara spesifik, mem-blok kerusakan akibat peroksinitrit (Karoui et al., 1996;

Cuzzocrea et al., 1998c). Berbagai addisi dan sinergi sitotoksisitas yang dipicu peroksinitrat

mungkin berkontribusi pada akut dan delay sitotoksisitas, dan deplesi dari glutation dapat

juga mengganggu jalur ini. Poin-poin ini penting untuk keintakan glutathione pools, karena

mekanisme protektif melawan kegagalan vaskuler dibawah kondisi stess oksidan, shok, dan

inflamasi. Ada banyak cara meningkatkan glutation dan/atau mengganti simpanan glutation.

Misalnya, analog glutation yang permeabel sel telah dijelaskan (Morris et al., 1995). Strategi

ini dapat mewakili pendekatan alternatif atau tambahan pada pendekatan lain pada

pencegahan patensi vaskuler pada shok dan inflamasi.

V. Superoksida Dismutase

Dalam kondisi normal, pembentukan O2- (produk reduksi satu elektron dari oksigen)

disimpan dalam kontrol yang ketat dari enzim SOD. Termasuk enzim Mn pada mitokondria

(SOD2) dan enzim Cu/Zn muncul di sitosol (SOD1) atau permukaan ekstraseluler (SOD3).

Pentingnya SOD2 disoroti, berbeda dibandingkan SOD1 (Reaume et al., 1996) dan SOD3

(Carlson et al., 1995), SOD2 knouckout adalah lethal pada tikus (Lebovitz et al., 1996; Melov

et al., 1999). Pada inflamasi akut dan kronik, produksi O2- meningkat melebihi kapasitas

proteksi enzim endogen SOD. Ketidakseimbangan ini menghasilkan kerusakan . Sebuah

dugaan bahwa O2- terkait secara dekat dengan respon inflamasi muncul di awal tahun 1970-an

melalui kerja McCord dan Fridovich (McCord & Fridovich , 1969). Beberapa peran

proinflamasi dari O2- (Gambar 3) meliputi kerusakan sel endotelial dan peningkatan

permeabilitas mikrovaskuler (Droy-Lefaix et al., 1991; Haglind et al., 1994), pembentukan

dari faktor kemotaksis seperti leukotrien B4 (Fantone & Ward, 1982; Deitch et al., 1990),

perekrutan dari netrofil di lokasi inflamasi (Boughton-Smith et al., 1993; Salvemini et al.,

1996a, 1999), peroksidasi lipid dan oksidasi, kerusakan DNA rantai tunggal (Dix et al.,

1996), dan pembentukan dari ONOO-(Beckman et al., 1990; Salvemeni et al., 1998, 1999)

Page 15: TERAPI ANTIOXIDAN

kebanyakan pengetahuan yang didapat berkaitan peran superoksida pada penyakit telah

dikumpulkan melalui penggunaan enzim SOD alami dan, lebih kini, data yang didapat dari

hewan transgenik yang mengoverekspresi enzim manusia (Huber et al., 1980; Uematsu et al.,

1994; Fridovich, 1995).

VI. Pembentukan Radikal

A. Pada Iskemia/Reperfusi

Mengikuti iskemia, superoksida dibentuk selama fase reperfusi, dan secara cepat

beraksi dengan NO. membentuk ONOO-. Hal ini diperlihatkan di jantung (Mathias et al.,

1992; Naseem et al., 1995; Schulz & Warnbolt, 1995), liver (Ma et al., 1995), ginjal ( Yu et

al., 1994), intestinum (Szabo et al., 1995a), otak (Cazevielle et al., 1993; Fagni et al., 1994;

Gunasekar et al., 1995), dan paru (Ischiropoulus et al., 1995; Kooy et al., 1995). Di bawah

kondisi ini, pencegahan dari pembentukan ONOO- oleh inhibisi NO. biosintesis menurunkan

kerusakan reperfusi, seperti ditunjukkan oleh peroksidasi lipid pulmoner (Ischiropoulus et al.,

1995) atau peningkatan aktivitas mekanik miokardial (Schulz & Warnbolt, 1995).

Perkembangan mendukung dari peran ONOO- dan reaktif spesies lain pada kerusakan

neuronal terkait dengan iskemia/injuri reperfusi pada sistem saraf pusat. Proposisi alami

(Beckman, 1991), bahwa ONOO- (dan tidak NO. atau O2- secara bebas) adalah mediator

sitotoksik utama dari injuri neuronal selama stroke dan aktivasi reseptor N-metil-D-aspartik

acid (NMDA), adalah berdasarkan pertimbangan teori dan bukti sebelumnya bahwa injuri

sistem saraf berkaitan dengan aktivasi reseptor NMDA, yang memicu produksi NO . dan O2-.

Sekarang ada bukti tidak langsung menunjukkan bahwa aktivasi reseptor NMDA berkaitan

dengan kenaikan aktivitas seperti HO. Pada otak (blok oleh inhibisi dari NOS), yang sangat

Page 16: TERAPI ANTIOXIDAN

mungkin karena pembentukan ONOO-(Hammer et al., 1993). Peranan dari O2- dan efek

proteksi dari strategi penetralan O2- (Cazevielle et al., 1993; Dawson et al., 1993; Lafon-Cazal

et al., 1993; Fagni et al., 1994; Beal et al., 1995; Crow & Beckman, 1995; Dawson, 1995;

Gunasekar et al., 1995)sebagaimana peranan NO. dan efek proteksi dari inhibisi dari efek

proteksi NOS (Huang et al., 1994; Smith et al., 1994; Schulz et al., 1995; Zielasek et al.,

1995) telah ditegakkan da;am berbagai bentuk injuri sistem saraf pusat.

Serupa dengan inflamasi dan shok, mekanisme dari kerusakan seluler terinduksi

ONOO- pada iskemia/reperfusi masih dalam investigasi, tetapi sangat mungkin meliputi

mekanisme multipel. Baik bukti in vivo ataupun in vitro jelas menyimpulkan peranan PARS

pada kerusakan neuron berkaitan dengan produksi NO.(atau ONOO-) sebagai respon dari

aktivasi reseptor NMDA (Wallis et al., 1993; Cosi et al., 1994; Zhang et al., 1994, 1995).

Sel-sel endotelial nampak menjadi regulator utama dari netrofil, mengatur proses dari

kemoattraksi dari neutrofil, adesi, dan migrasi dari jaringan vaskulatur. Selama fase awal dari

reperfusi, P-selektin dilepaskan secara cepat pada permukaan sel dari pool penyimpanan

setelah paparan pada stimuli tertentu—seperti H2O2, histamin, atau komplemen—dan

menyebabkan leukosit melingkupi pada endotelium (Geng et al., 1990). ICAM-1, yang

diekspresi pada permukaan sel endothel, kemudian terkait dengan adesi neutrofil (Geng et al.,

1990; Farhood et al., 1995). Sel endotelial yang hipoksik menghasilkan sitokin

proinflamatori, yang membuat up-regulasi dari ekspresi endothelial dari adesi molekul

ICAM-1 melalui pola autocrine (Shreeniwas et al., 1992). Ekspresi dari P-selektin dan

ICAM-1 berkaitan dengan induksi perekrutan neutrofil, yang maksimal dalam jam pertama

reperfusi, dan menetap pada jumlah yang rendah dalam fase lanjut reperfusi (Clark et al.,

1995). Berdasarkan penemuan ini, ditunjukkan bahwa iskemia dan reperfusi diinduksi oleh

keberadaan P-selektin pada endotelial vaskuler dan ekspresi up-regulasi dari ICAM-1 pada

sel endotelial. Karenanya, telah dihipotesis bahwa kerusakan oksidatif dan nitrosatif pada

iskemia/reperfusi dan shok membutuhkan keberadaan ROS, yang terutama diproduksi dari

infiltrasi masif neutrofil (Cuzzocrea et al., 1998c).

B. Pada Shok dan Inflamasi

Konsekuensi yang penting dari shok sirkulasi meliputi penurunan keresponan dari

arteri dan vena terhadap agen-agen vasokonstriktor eksogen dan endogen, difungsi

miokardial, dan terganggunya proses energetik seluler. Studi terkini membuktikan

kesimpulan ini berdasarkan hasil yang didapat dari penggunaan inhibitor NOS, tetapi tidak

dapat membedakan efek dari NO. dibandingkan efek ONOO-. Data terkini

Page 17: TERAPI ANTIOXIDAN

mendemonstrasikan ONOO- mampu menutupi banyak perubahan kardiovaskuler terkait shok

(endothelial disfungsi, hiporeativitas vaskular, kegagalan miokardial, dan kegagalan

energetik seluler)(lihat atas). Dalam shok sirkulasi, sitokin proinflamasi mendukung respon

pleiotropik seluler, termasuk stimulasi dari radikal bebas dengan pusat oksigen, seperti O2-.

Mayoritas dari NO. yang diproduksi oleh makrofag diubah menjadi ONOO-(Ischiropoulus et

al., 1992b). Produksi dari ONOO-(dibuktikan oleh peningkatan nitrotirosin imunoreaktiviti

atau peningkatan oksidasi dari floresen probe dihidrordamin 123 menjadi rhodamin 123)

telah menunjukkan shok endotoksik dan shok hemoragik (Wizemann et al., 1994; Szabo et

al., 1995b).

Sejumlah besar dari studi menunjukkan efek protektif dari SOD pada berbagai model

shok endotoksik dan hemoragik dan oklusi arteri sphlankik/reperfusi injuri (McKechnie et al.,

1986; Wang et al., 1990; Rhee et al., 1991; Youn et al., 1991; McCord, 1993; Kapoor &

Prasad, 1995; Salvemini et al., 1999). Bahkan, terdapat sejumlah bukti menunjukkan bahwa

produksi dari reaktif spesies seperti O2-, H2O2, dan HO. muncul di lokasi inflamasi

berkontribusi pada kerusakan jaringan (Salvemini et al., 1996a; Cuzzocrea et al., 1997).

Inhibitor dari aktivitas NOS menurunkan keparahan dari inflamasi dan mendukung peran NO .

dalam patofisiologis terkait berbagai model inflamasi (Tracey et al., 1995; Wei et al., 1995;

Salvemini et al., 1996b; Cuzzocrea et al., 1997). Di samping NO ., ONOO- dalam kondisi ini

sangat dianjurkan diukur langsung. Misalnya, pada arthritis, peningkatan jumlah nitrotirosin

pada plasma dan cairan sinovial (Kaur & Halliwell, 1994). Pada ileitis (Miller et al., 1995)

dan inflamasi intestinal terinduksi endotoksin (Chamulitat et al., 1996), terdapat dokumentasi

imunositokemikal (peningkatan imunoreaktivitas nitrotirosin pada jaringan yang terinflamasi)

dari penambahan produksi ONOO- (Gambar 4).

Peran patofisiologis dari NO. dan ONOO- pada kerusakan gastrointestinal yang

dihasilkan oleh endotoxin atau inflamasi kronik telah menjadi subjek dari berbagai

investigasi detail. Kemampuan dari autentik ONOO- dalam menyebabkan inflamasi kolon

yang berat telah didokumentasikan (Rachmilewitz et al., 1993). Produksi dari ONOO- pada

kolitis dapat lebih menonjol karena paralel down-regulasi dari SOD (Seo et al., 1995), yang

membuat availabilitas O2- berpasangan dengan NO..desferioksamin, sebuah peroksinitrit

scavenger (Denicola et al., 1995) atau SOD memproteksi terhadap kerusakan gastrik yang

dihasilkan oleh donor NO., mendukung pandangan bahwa peroksinitrit (dan bukan NO per

se) adalah jenis sitotoksik dalam model ini (Lamarque & Whittle, 1995). Investigasi terkini

telah menyimpulkan inhibisi dari PARS mendorong efek menguntungkan pada shok (Szabo

et al., 1997), reperfusi injuri (Zhang et al., 1994; Zingarelli et al., 1996; Cuzzocrea et al.,

Page 18: TERAPI ANTIOXIDAN

1997; Thiemermann er al., 1997), dan inflamasi (Szabo et al., 1997, 1998; Cuzzocrea et al.,

1998a,b).

VII. Intervensi Farmakologi dalam mengurangi generasi ROS pada Syok, Inflamasi

dan Iskemia

Intervensi yang menggunakan pengurangan generasi ROS memiliki manfaat pada

kondisi inflamasi dan syok. Terapi ini antara lain antioksidan serupa vitamin E, SODm, dan

katalisator dekomposisi ONOO- . Manfaat SOD sendiri pada hewan percobaan dengan

inflamasi sistemik, perdarahan, dan syok masih merupakan kontroversi. Beberapa

kemungkinan efek SOD pada jaringan yang rusak akibat inflamasi lokal maupun sistemik

antara lain : 1) SOD berperan dalam metabolime O2 menjadi H2O2, tanpa adanya

pengurangan jumlah yang efisien dari H2O2, H2O2 bisa diubah menjadi HO- yang sifatnya

toksik. SOD kemungkinan sebagai prooksidan dengan mengkatalisasi perubahan H2O2

menjadi HO- seperti pada kasus sindrom Down. 2) Baik SOD maupun O2 mudah melewati

membran. Adanya penambahan jumlah SOD ekstraseluler tidak memiliki efek pengurangan

jumlah O2 pada intraseluler. Fase dini proses inflamasi berhubungan dengan produksi

Page 19: TERAPI ANTIOXIDAN

histamin, leukotrien, faktor aktivasi platelet (PAF factor) dan kemungkinan adanya produk

siklo-oksigenasi, yang mana adanya keterlambatan fase inflamasi berkaitan dengan infiltrasi

neutrofil, dan produksi dari ikatan neutrofil radikal bebas, dan oksidan seperti H2O2, O2, dan

HO-.

A. Dekomposisi katalis Peroksinitrit sebagai agen anti-inflamasi

Adanya formasi patologis pada peroksinitrit diduga berkaitan dengan level reaktan

(NO dan O2) dan produknya (ONOO-). SOD dan atau tanpa NOS dapat mengurangi respon

inflamasi akut ataupun kronik pada hewan percobaan.

Bentuk anion peroksinitrit dijelaskan dalam gambar dibawah, sebagian melewati

oksidasi NO, fotolisis, dan radiolisis garam nitrat. Dengan catatan, kombinasi radikal NO dan

O2 cukup menguntungkan seperti kombinasi NO2 dan HO. Proses sintesis peroksinitrit

terdiri dari 1) Rute asli yang mana NO+ dari kondisi dehidrasi asam nitrat terikat oleh

peroksid 2) serangan nukleofilik peroksid pada alkali nitrit 3) terjadinya ozonisasi 4) fotolisis

dan radiolisis pada garam nitrat. Hasil observasi spektrofotometri, adanya anion ditunjukkan

dengan warna kuning.

Gambar 5. Reaksi kemungkinan terjadinya peroksinitrit

Peroksinitrat stabil dalam solusi alkalin, namun asam konjugasinya tidak stabil dan

tidak berwarna, adanya isomerisasi yang cepat dengan nitrat, membuatnya lebih stabil.

Peroksinitrit dan asam konjugasinya merupakan oksidan yang kuat dan sebagian peroksinitrat

terdiri dari molekul aromatik dan organosulfur, seperti asam amino bebas dan peptida. Sistein

dan glutation merupakan tempat penyimpanan komponen antioksidan yang diubah menjadi

disulfida. Metionin berubah menjadi sulfoksida atau fragmentasi etilen dan dimetildisulfid.

Dimetil sulfoksida dioksidasi menjadi formaldehid. Metil akrilat di polimerisasi. Satu

elektron tirosin dan triptofan mengalami oksidasi menjadi kation, yang bersaing dengan

Page 20: TERAPI ANTIOXIDAN

hidroksilat, nitrat dan dimerisasi. Pada umumnya, bentuk nitrotirosin menguntungkan dan

sampel produk biologisnya dapat digunakan sebagai alat diagnostik adanya pemaparan

peroksinitrit. Basa purin mudah teroksidasi dan berubah bentuk.

Reaksi peroksinitrit berkaitan dengan jumlah enzim yang mengandung besi. Hal ini

bisa dinon aktifkan sebagai superoksida oleh pemisahan besi labil dari kluster induk, dan

kemungkinan adanya enzym SOD dari proses nitrasi. Peroksinitrit dianjurkan untuk

menurunkan regulasi neuron NOS dengan oksidasi yang membutuhkan kofaktor. Kelompok

heme sitokrom dan peroksidase merupakan hasil dari oksidas peroksinitrit yang reversibel.

Peroksinitrit dapat mengeluarkan ion besi dari bentuk aktif enzym lainnya.

Proses oksidasi substrat oleh peroksinitrit cukup kompleks. Saat pH larutan

disesuaikan dengan keadaan fisiologis yang relevan, maka peroksinitrit dan asam

konjugasinya berada di rasio yang sesuai, yang dapat diamati dari tingkat oksidasi substrat

dan kehilangan peroksinitrit. Hal ini terkait dengan adanya isomerisasi peroksinitrit untuk

meningkatkan konsentrasi substrat, namun batas signifikan belum ditemukan. Konsentrasi

substrat yang cukup tinggi, misalnya beberapa milimolar askorbat sering diperlukan untuk

mencapai tingkatan pertama.

Reaksi peroksinitrit dengan methionin pada pH 7.4, 25°C, merupakan contoh

prototipe yang prosesnya hampir mirip dengan askorbat. Pada konsentrasi metionin yang

tinggi, sulfoksida dibentuk dari dua elektron hasil oksidasi peroksinitrit; diamati dari proses

pengurangan peroxynitrite pertama pada metionin, tetapi ekstrapolasi yang terjadi akibat

tidak adanya metionin lebih cepat dari laju isomerisasi intrinsik peroxynitrite. Pada

konsentrasi metionin yang lebih rendah, diamati dari peningkatan etilen dari hasil oksidasi

yang menghasilkan satu elektron.

Pendekatan batas nol ditandai dengan adanya peningkatan

substrat yang menunjukkan bahwa zat aktif dibentuk secara reversibel di antara peroksinitrit/

asam peroksinitrat yang merupakan oksidan kuat. Selanjutnya, tingkat isomerisasi dan batas

nol proses oksidasi biasanya sama, yang menunjukkan bahwa proses sesuai jalur dan

perantara yang ada.

Pengaruh sifat alamiah yang dimiliki oleh zat aktif masih dalam perdebatan. Beberapa

peneliti mendukung perumusan pasangan radikal antara HO dan NO2, yang mana dapat

melanjutkan proses oksidasi atau rekombinasi sebagai nitrat. Sebagai contoh,

HOz dan NO2 secara radikal akan bergabung kembali untuk membentuk peroksinitrit

sebagai produk utama yang bersifat reversibel. Produk radikal lainnya, terutama

dihidroksilasi aromatik dilaporkan dapat membentuk tapi hasilnya relatif terhadap

Page 21: TERAPI ANTIOXIDAN

peroksinitrit.

Jadi laju isomerisasi menjadi nitrat tidak tergantung pada viskositas rekombinasi radikal.

Perumusan bentuk aktif sebagai trans-isomer tampaknya masuk akal dari teori

struktural dan sudut pandang. Isomer trans-menjadi nitrat diperkirakan akan lebih lancar

daripada isomer cis. Namun, laporan pengamatan eksperimental langsung dari efek trans-

isomer belum dapat dijabarkan.

Beberapa proses biokimia peroksinitrat-oksidatif melalui beberapa rute telah

disarankan. Salah satu kemungkinan tersebut adalah siklus redoks yang membentuk radikal

hidroksil beracun dari besi adventif ion dan H2O2, atau, oksidasi nitrit menjadi ClNO2 oleh

hipoklorit. Nitrat klorida telah menunjukkan efek nitrasi tirosin in vitro, yang digunakan

sebagai biomarker untuk paparan peroksinitrit.

Kemungkinan reaksi peroksinitrit yang terjadi diringkas dalam gambar1. Dua

gagasan penting muncul, pertama, pembentukan hasil oksidasi tergantung pada

keadaan-dasar peroksinitrit, terutama karena anion. Kedua, hambatan kinetik yang ada

tergantung oksidasi,nitrat dengan isomerisasi yang cukup; reaksi tersebut mungkin dapat

digunakan untuk katalisis selektif. Poin inilah yang menjadi strategi untuk memblokir proses

biokimia yang buruk dari peroksinitrit.

Strategi tersebut bertujuan untuk mengurangi masa intrinsik peroksinitrit tersebut.

Langkah-langkah yang diambil seperti: 1) penyumbatan pembentukan peroksinitrit dengan

membatasi ketersediaan NO dan O2, baik melalui penghambatan NOS atau percepatan dari

dismutasi superoksida; 2) Memberikan zat yang kompetitif terhadap peroksinitri atau 3)

pemberian katalisis peroksinitrit. Semua tiga pendekatan kemungkinan dapat digunakan

untuk intervensi farmakologis, tetapi yang terakhir sangat menarik. Identifikasi katalitik akan

memfasilitasi penghancuran banyak peroksinitrit sesuai interval waktu dalam dosis obat.

Percobaan eksperimental awal katalisis peroksinitrit melaporkan penambahan

kompleks porfirin besi dapat mengurangi masa peroksinitrit pada kondisi fisiologis yang

relevan (pH 7,4, 37°C). Para kompleks porfirin yang sangat kuat dan mampu mencapai

isomerisasi peroxynitrite di konsentrasi mikromolar, bahkan pada konsentrasi peroksinitrit

lebih dari 100 mM. Kualitas ini cukup luar biasa, dan diprediksi katalis sebagai obat cukup

berpotensi dilihat dari sudut pandang murni kimia.

Siklus katalitik diilustrasikan pada gambar 6. Sesuai dengan hasil skema,

hasil katalis yang teroksidasi dan masa hidup peroksinitrit bergantung secara nonlinear

dengan konsentrasi peroksinitrit; semakin tinggi saturasi katalis dalam keadaan teroksidasi

Page 22: TERAPI ANTIOXIDAN

semakin meningkatkan masa peroksinitrit. Penambahan antioksidan, seperti askorbat,

termasuk agen kompetitif menengah dan mempercepat katalisis.

Gambar 6. Siklus katalisis

Kelompok heme teroksidasi oleh peroxynitrite misalnya reaksi myeloperoksidase

diketahui memiliki kecepatan yang sama seperti katalis sintetik. Hal ini mungkin karena

adanya enzim peroksidase, yang memiliki fungsi tambahan sebagai endogen peroksinitrit

isomerasi. Misalnya, myeloperoksidase diekskresikan oleh neutrofil, dan dapat menggunakan

OONO2 dalam respon imun inflamasi. Hipotesis ini didukung oleh percobaan yang

menunjukkan bahwa mamalia heme haloperoksidase adalah zat aktif sebagai porfirin sintetik.

Oleh karena itu, obat aktif akan menduplikasi peroksidase reaktif di lokasi tertentu di mana

enzim ini tidak dalam jumlah yang optimal. Sintetis kompleks porfirin juga memiliki

keuntungan terhadap enzim endogen dalam bereaksi lebih baik dengan antioksidan, yang

mana menurunkan aktivitas isomerase dan masa hidup peroksinitrit. Identifikasi katalis

peroksinitrit menawarkan kesempatan ilmiah yang menarik untuk menambah pemahaman

kita tentang peran peroksinitrit. Selain itu,menjadi satu terobosan baru dalam memahami

patofisiologi pentingnya molekul ini.

B. Antioksidan Katalis

SOD dan katalase merupakan suatu metaloprotein yang efisien digunakan pada reaksi

dismutasi untuk mendetoksifikasi ROS. Reaksi dismutasi melibatkan serangkaian satu-atau

dua-elektron transfer, di mana elektron diterima dari satu O2 atau H2O2. Reaksi ini efisien

sehingga tidak mengurangi keseimbangan dan tidak memerlukan energi dari sel untuk

beroperasi. Ekspresi enzym yang berlebih pada kultur sel dan pada hewan telah memberikan

Page 23: TERAPI ANTIOXIDAN

perlindungan terhadap efek stres oksidatif yang merugikan. Penggunaan SOD dan katalase

sebagai agen terapi untuk menipiskan ROS-diinduksi pada kasus cedera telah sukses

dibuktikan. Keterbatasan utama produk-produk alami ini adalah ukuran yang besar, yang

membatasi permeabilitas sel, sirkulasi pendek, bersifat antigen, dan biaya. Tindakan

membuat berat molekul SODm menjadi lebih rendah telah dikembangkan untuk mengatasi

beberapa keterbatasan yang ada.

C. Metalloporphyrins

Mangan berbasis metalloporphyrin kompleks telah terbukti memiliki setidaknya

empat sifat antioksidan berbeda. Ini termasuk pengikatan radikal bebas O2-, H2O2, ONOO-,

dan radikal lipid peroksida. Fungsi superoksida dismutase mangan mimesis dalam reaksi

dismutasinya dengan O2- dengan reduksi dan oksidasi dari perubahan alternatif di antara

valensi Mn(III) dan Mn(II), nampak seperti SOD asli. Aktivitas katalase dari

metalloporphyrins dapat dikaitkan dengan sistem cincin terkonjugasi mereka yang luas yang

mengalami oksidasi satu elektron reversibel, seperti kelompok heme prosthetik dari katalase

endogen dan peroksidase. Secara umum, metaloporphyrin dengan aktivitas SOD tinggi

memiliki aktivitas katalase lebih besar. Perlu dicatat bahwa aktivitas katalase pada kompleks

seperti itu kurang dari 1% dari katalase asli. Namun, meskipun seperti itu, mangan porfirin

masih mampu melindungi sel-sel dari H2O2 beracun. Mekanisme metalloporphyrins yang

mengikat gugus ONOO- kompleks diduga melibatkan formasi okso-Mn(IV) yang dapat

dengan mudah direduksi dengan oksidasi menjadi Mn(III) yang dilakukan oleh berbagai

antioksidan endogen (contohnya, askorbat dan glutation) dan bahkan oleh O2. Mekanisme

sebenarnya bagaimana metalloporphyrins menghambat peroksidasi lipid tidak begitu

diketahui, tetapi diperkirakan proses itu mirip dengan proses penggambaran pengikatan

kompleks gugus ONOO-.

1. Efek Metalloporphyrins pada Reaksi Inflamasi.

Dalam model in vitro, stres oksidatif telah banyak memiliki manfaat, baik dalam hal

konfirmasi aktivitas antioksidan metalloporphyrins dalam sistem bebas sel dan memprediksi

penggunaan mereka sebagai model antioksidan in vivo dalam penyakit-penyakit manusia

yang jelas lebih kompleks. Metalloporphyrins telah terbukti melindungi berbagai macam

model in vitro stres oksidatif, yang melibatkan generasi O2-, H2O2, ONOO- secara sendiri-

sendiri atau secara bersamaan. Pada tingkat mikromolar, mereka tampaknya tidak beracun

dan melindungi sel-sel kultur terhadap toksisitas O2- generator dan pyocyanin, H2O2 generator

Page 24: TERAPI ANTIOXIDAN

dan ONOO- diproduksi oleh endotoksin atau oleh ONOO- sendiri Metalloporphyrins juga

merupakan inhibitor poten dari peroksidasi lipid.

Respon inflamasi yang diinduksi oleh injeksi carrageenan ke dalam footpad atau

ruang pleura paru-paru telah diteliti dengan baik dan termasuk produksi histamin, leukotrien

dan platelet-activating factor dan influx dari neutrofil. Edema tungkai yang diinduksi oleh

carrageenan merupakan suatu model dari peradangan akut. Kedua iron III tetrakis-(2,4,6-

trimetil-3 ,5-disulfonatophenyl) porfirin dan ironIII tetrakis-(N-metil-4-pyridinium il) porfirin

menyebabkan pengurangan dosis-tergantung dalam pembengkakan pada jaringan kaki.

Dalam model tikus yang mengalami inflamasi via pleura paru-parunya, pengobatan

intraperitoneal dengan MnTBAP sebelum pemberian karagenan ternyata dapat menekan

respon inflamasi dalam dosis-tergantung. Efek yang paling mendalam MnTBAP adalah

menekan proses masuknya neutrofil (neutrophyl influx) dan mengurangi pembentukan

nitrotyrosine, penanda pembentukan ONOO- dalam peradangan.

2. Pengaruh Metalloporphyrins dalam Syok Endotoksik dan Syok Haemoragik.

Sebuah komplikasi umum dari sepsis bakteri adalah fenomena yang disebut sebagai

syok endotoksik yang mengakibatkan kerusakan jaringan oksidatif yang dihasilkan dari

pembentukan beberapa gugus ONOO-. MnTBAP melindungi terhadap beberapa dampak

buruk yang terkait dengan syok endotoksik, termasuk kontraktilitas pembuluh darah dan

defisit energi seluler. MnTBAP juga memberikan efek perlindungan yang sama dalam model

syok hemoragik pada tikus. Efektivitas MnTBAP dalam model ini mungkin terkait dengan

pengikatan gugus radikal ONOO- disamping aktivitasnya yang mengikat gugus O2-.

3. Keterbatasan Metalloporphyrins.

Meskipun MnTBAP telah terbukti sangat efektif dalam berbagai paradigma yang

begitu luas dari stres oksidatif, kami telah menemukan bahwa potensi dan khasiat dari

MnTBAP dapat cukup bervariasi. Salah satu keterbatasan utama dari MnTBAP adalah sangat

minimnya permeabilitasnya terhadap sawar otak dimana hal ini mempersulit penggunaannya

dalam penyakit-penyakit neurodegeneratif dan jelas membutuhkan pengembangan senyawa

baru untuk mengatasi kendala ini. Masalah umum dari SOD mimetic ini adalah bahwa

mereka dapat bereaksi dengan berbagai macam ROS. Hal ini terasa cukup membingungkan

saat digunakan dalam literatur untuk menunjukkan peran khusus pengikatan radikal gugus

Page 25: TERAPI ANTIOXIDAN

O2-. Akhirnya, karena ROS / RNS memiliki peran dalam proses pensinyalan sel maka,

sebagai akibatnya, peran dalam mengendalikan ekspresi gen dan dalam fungsi pertahanan

tubuh, terapi antioksidan sangat mungkin memiliki dampak pada proses-proses fisiologis ini.

D. Sintetis Enzim Rasional Baru: Mangan(II) Superoksida Dismutase Mimetics (SODm)

Peran proteksi dan manfaat dari SOD telah dibuktikan dalam berbagai macam

penyakit secara luas, baik preklinik maupun klinik. Orgotein (bovine Cu, ZnSOD)

menunjukkan hasil yang menjanjikan sebagai terapi pada manusia dalam kondisi penyakit

akut maupun kronis, termasuk rheumatoid arthritis dan osteoarthritis, sebaik efek samping

yang ditimbulkan oleh pengobatan menggunakan kemoterapi dan terapi radiasi. Ada

kekurangan dan masalah yang terkait dengan penggunaan enzim asli sebagai agen terapeutik

(misalnya, ketidakstabilan campuran, imunogenisitas enzim non-manusia, kurva dosis respon

yang bell-shaped (berbentuk lonceng), serta kerentanan tinggi terhadap pencernaan

proteolitik) dan sebagai alat farmakologis (misalnya, sifat mereka yang tidak menembus sel-

sel atau di sawar darah-otak sehingga membatasi superoksida dismutase hanya untuk ruang

atau kompartemen ekstraseluler).

Gambar 7.

Struktur

kompleks

Mn(II)

Untuk mengatasi keterbatasan yang terkait dengan sifat-sifat asli enzim ini, kelompok

Salvemini telah mengembangkan sebuah tiruan SOD yang selektif dalam mengkatalisir

dismutase O2-, yang kemudian disebut sebagai Super Oksida Dismutase Mimetics (SODm)

(Gambar 7). Sebuah sifat yang penting dan unik dari SODm ini adalah bahwa mereka stabil

untuk pemisahan dan oksidasi terhadap Mn(II) dan selama proses siklus katalitik untuk

dismutation superoksida tersebut, SODm tidak mereduksi Mn(III) menjadi Mn(II)

Page 26: TERAPI ANTIOXIDAN

sebagaimana hal ini terjadi pada kompleks Mn(III) porfirin. Hal ini sesuai dengan oksidan

biologis (ROS), yang tidak bereaksi dengan kompleks Mn(II),yakni I, termasuk NO-, OONO-

H2O2, O2-, dan OCl-. Sifat ini tidak dimiliki oleh kelas-kelas lain dari SODm atau pengikat

lain, termasuk beberapa metalloporphyrins seperti tetrakis-(N-etil-2-piridil) porfirin dan

MnTBAP, karena mereka telah terbukti dapat berinteraksi dengan berbagai macam oksidan,

termasuk diantaranya ONOO- dan H2O2. Meskipun agen-agen ini termasuk agen anti-

inflamasi, tidak jelas pada tahap ini bagaimana pentingnya eliminasi superoksida dalam

konteks respon inflamasi karena kurangnya selektivitasnya terhadap superoksida. Lebih jauh,

golongan SOD mimetics baru ini tidak dinonaktifkan oleh ONOO- ataupun H2O2 (Riley, hasil

tidak dipublikasikan). Ini merupakan keuntungan tambahan dari enzim SOD mangan asli

(MnSOD), karena enzim asli dapat dinitrasi dan dinonaktifkan oleh ONOO-

1.Karakterisasi Aktivitas Superoksida Dismutase.

Penemuan enzim SOD dan aktifitasnya pertama kali dilaporkan oleh Fridovich dan

McCord menggunakan uji sitokrom c. Dalam tes ini, ferricytochrome c direduksi dengan

menggunakan superoksida untuk memberikan bentuk tereduksi dari sitokrom c, yang

memberikan perubahan spektrofotometri. Penghambatan reduksi sitokrom c ini diambil

sebagai ukuran aktifitas dari SOD. Sejak saat itu, tes sitokrom c dan tes tidak langsung

lainnya telah digunakan oleh peneliti untuk menilai aktivitas enzim SOD dan SOD putatif

mimesis. Kesulitan pada pelaksanaan tes tidak langsung ini sangat mungkin timbul dari

berbagai macam sumber. Misalkan saja, sebuah agen pembawa dengan aktivitas SOD diduga

dapat mengoksidasi sitokrom terreduksi (dapat menghasilkan false-positif untuk aktifitas

SOD), mereduksi ferricytochrome c (berpotensi menyebabkan false-negatif), atau bereaksi

secara stoichiometris, tidak secara katalitik, dengan superoksida (misalkan, superoksida

skavenger). Tes tidak langsung tidak membedakan antar proses-proses tersebut dan tidak

memberikan informasi tambahan mengenai mekanisme aktifitas dari SODm putatif.

Untuk mengatasi keterbatasan tes tidak langsung, Riley dkk. telah menggunakan

analisis aliran henti-kinetik sebagai suatu teknik langsung yang dapat memantau kinetika

peluruhan superoksida melalui jejak spektrofotometri superoksida pada 245 nm. Dari jenis

analisis ini, sebuah peluruhan superoksida tak terkatalisir (kinetika orde kedua) dapat

dibedakan dari peluruhan yang dikatalisis superoksida (kinetika orde pertama) dalam

munculnya superoksida dalam jumlah yang sangat besar yang cukup kompleks yang

terpantau. Laju konstan katalitik orde kedua (kcat) dapat diperoleh dari agen dengan aktivitas

katalitik SOD yang sebenarnya. Penentuan langsung dari kcat yang benar ini dapat digunakan

Page 27: TERAPI ANTIOXIDAN

secara langsung untuk membandingkan dan menghitung aktifitas SOD dari enzim dan / atau

mimetics di bawah seperangkat kondisi tertentu (misalnya, pH dan suhu ditentukan). Tidak

ada perbandingan langsung yang dapat dibuat antara nilai kcat dan aktivitas yang diperoleh

dari pengujian sitokrom c atau tes-tes tidak langsung lainnya.

2. Katalisator / Desain Obat.

Upaya awal berfokus pada sintesis kompleks Mn dasar menjadi SOD mimetik yang

memiliki berat molekul serendah mungkin yang dapat berfungsi sebagai katalis SOD yang

selektif dan aktif. Keputusan untuk membuat kompleks Mn ini terutama didasarkan pada

pertimbangan toksisitasnya. Dikenal dari tiga logam (Fe, Mn dan Cu) untuk mengkatalisis

O2-, H2O2 dan oksigen, mangan kurang beracun untuk sistem tubuh mamalia dimana ia

bertingkah sebagaimana ion logam bebas dalam air dan juga logam inilah dari ketiga

bentukan ion M2+ yang paling akhir bereaksi dengan H2O2 untuk menghasilkan HO- (Fenton

chemistry). Meskipun Mn berbasis kompleks desferal, quinolol, cyclam, dan Salen telah

dilaporkan memiliki aktivitas SOD yang didasarkan pada metodologi tidak langsung yang

telah dijelaskan sebelumnya, analisis dari kompleks ini dengan menggunakan metodologi

kinetik henti-aliran menunjukkan bahwa kompleks ini tidak memiliki aktivitas katalitik SOD

terdeteksi. Lebih mungkin, kompleks Mn ini bereaksi secara stoikiometris dengan

superoksida yang kemudian menampakkan hasil nyata dalam uji tidak langsung.

Dalam upaya pada desain awal, kelompok Riley fokus pada sintesis dan penyaringan

kompleks Mn (II), yang dapat memiliki energi kimia yang cukup tinggi dan stabilitas

termodinamika. Alasan untuk ini adalah jelas, namun kebutuhan di bidang farmasi adalah

untuk mendapatkan kompleks yang stabil yang tidak akan menghasilkan timbunan redoks ion

logam aktif bebas dalam kompartemen biologis, yang dapat berinteraksi secara biokimia

lokal dengan cara yang tidak lazim. Situasi seperti ini jelas mampu menyebabkan masalah

toksisitas. Akibatnya, upaya sintetik berfokus pada kompleks Mn (II) dengan ligan

makrosiklik sehingga stabilitas yang diinginkan tersebut dapat tercapai dengan

menggabungkan peningkatan stabilitas kinetik yang terukur dengan semacam ligan siklik.

Dengan meggunakan analisis aliran henti kinetik sebagai alat utama pemantau

aktivitas SOD, ditemukan bahwa turunan kompleks Mn(II) dasar diperoleh dari I, yang berisi

ligan simetris [15] aneN5 makrosiklik (dengan r = H, kompleks 1), secara efisien

mengkatalisir dismutasi superoksida (kcat = 4,13 x 107 M-1 s-1 at pH 7,4 and 21°C untuk 1).

Dari studi aktifitas struktur, kami menemukan bahwa peningkatan ukuran dari cincin

kompleks untuk cincin ke 16-anggota (kompleks 2) menghasilkan suatu kerugian besar dari

Page 28: TERAPI ANTIOXIDAN

aktivitas SOD dengan nilai kcat sebesar 1,0 x 106 M-1 s-1 . Lebih jauh, peningkatan ukuran

macrocycle pada cincin ke 17-anggota (kompleks 3 atau 4) menunjukkan tak ada deteksi

aktivitas SOD (kcat < 5 x 105 M-1 s-1) seperti yang ditunjukkan dalam analisis henti-aliran.

Yang penting, ditemukan bahwa, secara umum, meningkatnya substitusi pada rantai

karbon dari cincin makrosiklik mengakibatkan Mn (II) kompleks sangat meningkat

stabilitasnya dalam pemisahan sementara pada umumnya aktivitas SOD dipertahankan.

Selain itu, sejumlah besar kompleks dibuat dengan memiliki substituen ligan metil dalam

berbagai kombinasi posisi dan stereokimia untuk menyelidiki bagaimana posisi, stereokimia,

dan jumlah substituen mempengaruhi aktivitas katalitik SOD. Studi kinetik juga

mengungkapkan bahwa unsur-unsur struktural tertentu bertindak secara sinergis yang secara

substansial memperkuat aktifitas kompleks SOD dan meningkatan stabilitasnya [misalnya,

kompleks Mn(II) mengandung kelompok trans-cyclohexano (kompleks 5 dan 6)]. Kompleks

5 dengan kelompok trans-cyclohexano memiliki nilai kcat yakni 9,09 x 10-7 M-1 s-1 pada pH

7,4 dan kompleks 6 dengan dua kelompok trans-cyclohexano (kedua R, R) memiliki nilai k cat

yakni 1,21 x 108 M-1 s-1 pada pH 7,4 (kcat untuk semua isomer bayangan cermin S identik

dengan kompleks 6, sedangkan R, R,S, S-isomer, 7, tidak memiliki aktivitas katalitik).

Dengan analisis resonansi spin elektron (ESR), kami telah membuktikan bahwa kompleks 8

memiliki stabilitas tinggi secara invivo dan lebih besar dari 90% utuh dalam hati tikus 30

menit setelah injeksi intravena.

3. Aktivitas Anti-inflamasi Superoxide Dismutase Mimetics (SODm).

Mimetics SOD 1 dan 5 telah diuji untuk kemampuan mereka untuk menghambat

neutrofil-termediasi pada cedera sel endotel aorta manusia secara in vitro. Neutrofil manusia

teraktifasi untuk menghasilkan superoksida dengan paparan Tumor Necrosis Factor-α (TNF-

α) dan komponen pelengkap C5a. Tingkat cedera pada sel endotel, yang diukur dengan

tingkat pelepasan 51Cr-terlabel kromat dari sel prelabeled, adalah secara linear tergantung

pada jumlah superoksida yang diproduksi. Banyak dari SOD tiruan kami telah terbukti

melemahkan neutrofil-termediasi cedera pada sel endotel. Studi fluoresen pada neutrofil

saluran pernafasan yang terbakar menunjukkan bahwa SODm tidak mencegah turunan dari

superoksida oleh aktifasi neutrofil. SODm juga melindungi cedera sel endotel terhadap

perlukaan/cedera yang disebabkan oleh xanthine / xantin oksidase, suatu sistem biokimia

yang menghasilkan superoksida. Sifat dari katalitik dismutasi dari superoksida oleh SODm

muncul untuk membandingkan efek protektif mimetics SOD dengan kurangnya efek

perlindungan struktural terkait pada Mn(II) kompleks 9 yang tidak memiliki aktivitas SOD

Page 29: TERAPI ANTIOXIDAN

terdeteksi. Selain itu, katalase pengikat H2O2, chelator besi desferrioxamine dan serin

protease inhibitor tidak melindungi terhadap cedera yang dimediasi oleh neutrofil. Hasil ini

konsisten dengan superoksida yang memediasi luka-terinduksi neutrofil dalam sel endotel

aorta manusia; demikian, SODm berbasis Mn(II) dapat menjadi agen yang layak untuk

mencegah kerusakan oksidatif karena neutrofil. Bovine eritrosit Cu, ZnSOD melindungi sel

endotel dalam ketergantungannya pada konsentrasi neutrofil yang tergantung cedera, tetapi

hasilnya tetap tidak konsisten. Pada aktivitas dasar SOD, sebagaimana dinilai dalam analisis

aliran henti, enzim SOD kurang efektif dalam melindungi sel endotel daripada SODm.

Efektivitas SODm dalam pengentasan cedera yang termediasi neutrofil mungkin dipengaruhi

kemampuannya untuk memasuki ruang intraseluler. Kami telah mensintesis SODm berbasis

Mn(II) dengan berbagai lipofilisitas yang luas (nilai Log P antara -4 sampai +2) sehingga hal

ini dapat memungkinkan kontrol tingkat penetrasi intraseluler yang lebih. Pada dosis tinggi,

enzim SOD kehilangan beberapa efisiensinya untuk memblokir neutrofil yang tergantung

cedera pada sel endotel. Bentukan kurva bell-shaped (lonceng) pada dosis-respons

merupakan karakteristik umum dari enzim SOD, dan dosis tinggi dari enzim SOD

menunjukkan efek proinflamasi. Efek proinflamasi enzim SOD belum diketahui sepenuhnya

dengan baik, tapi secara spekulatif, hal ini dikarenakan oleh adanya reaksi yang terjadi

dengan produk-produk dismutation dari H2O2 untuk menghasilkan radikal HO- melalui reaksi

kimia Fenton. Kecilnya kurva bellshaped dosis-respon pada mimetics SOD mungkin

berhubungan dengan reaktivitas selektifnya terhadap superoksida dan ketidakmampuan

kompleks SODm untuk bereaksi dengan H2O2.

Pretreatment tikus dengan SODm 1, 10, atau 11 mengakibatkan pelemahan cedera

inflamasi yang diinduksi oleh asam asetat encer berair seperti yang ditunjukkan oleh

penurunan kerusakan epitel dan tidak ada kolonisasi bakteri. Yang paling menarik, kompleks

1 menghambat infiltrasi neutrofil dalam dosis-tergantung, sebagaimana dinilai oleh aktivitas

myeloperoxidase enzimatik (penanda enzim terhadap munculnya neutrofil teraktifasi),

dengan dosis efektif median (ED50) yakni 10mg/kg. Aktifitas myeloperoxidase nampaknya

berkorelasi dengan skor bias (blinded score) beratnya peradangan dan munculnya histologis

jaringan usus. Struktural terkait Mn (II)-berdasarkan kompleks 2 dan 3 dengan tidak adanya

aktivitas SOD terdeteksi tidak menghambat infiltrasi neutrofil dari peradangan atau cedera

yang disebabkan oleh pengobatan intracolonic tikus dengan asam asetat encer berair. Hasil

ini konsisten dengan peran superoksida dalam mediasi inflamasi dan infiltrasi neutrofil.

Bovine eritrosit Cu, ZnSOD, tapi tidak dengan MnSOD Escherichia coli, melemahkan

cedera inflamasi usus besar tikus yang diberikan asam asetat encer berair. Analisis henti-

Page 30: TERAPI ANTIOXIDAN

aliran kinetik menunjukkan bahwa bovine eritrosit Cu, ZnSOD efektif mengkatalisasi

superoksida dismutase (kcat = 2,3 x 109 M-1 s-1 pada pH 8,1 dan 21° C), sedangkan MnSOD E.

coli yang kami uji tidak memiliki aktifitas SOD terdeteksi (kcat < 5 x 105 M-1 s-1) (Furchgott

dan Vanhoutte, 1989). Sekali lagi, penting untuk menguji enzim SODm putatif dan enzim

SOD dengan metode langsung dari analisis untuk aktivitas SOD sebagai metode tidak

langsung (yang dinamakan uji sitokrom c). Ini dapat menunjukkan bahwa kedua enzim

memiliki aktivitas SOD yang sebanding.

Ketika diberikan secara intravena, SODm 1 dapat menahan inflamasi terinduksi asam

asetat encer pada tikus dengan ED50 dosis 10 mg/kg, yang setara dengan ED50 bilamana

diberikan intracolonically (Weiss et al., 1996). Sebaliknya, bovine eritrosit Cu, ZnSOD gagal

melindungi terhadap cedera inflamasi ketika diberikan intravena, hal ini mungkin disebabkan

karena pendeknya waktu paruh enzim ini secara in vivo. SODm 1 juga efektif dalam

menghambat radang dan infiltrasi neutrofil yang disebabkan oleh pemberian intradermal dari

leukotrien chemoattractant neutrofil. Hasil ini konsisten dengan peran superoksida dalam

mediasi cedera jaringan teroksidasi dan infiltrasi neutrofil. Hasil ini menunjukkan bahwa

SODm terbukti mampu berperan sebagai novel agen anti-inflamasi untuk pengobatan dalam

kondisi termediasi, yang dalam hal ini, dilakukan oleh superoksida yang dihasilkan oleh

leukosit polimorfonuklear teraktifasi (neutrofil).

4. Atenuasi Cedera Iskemik / Reperfusi Miokard oleh Superoksida Dismutase Mimetics.

Reperfusi dari miokardium iskemik dapat terjadi pada ledakan produksi superoksida

seperti yang telah ditunjukkan oleh studi perangkap spin ESR. Superoksida diproduksi

sebagai hasil dari reperfusi jaringan yang mengalami iskemik telah diusulkan untuk menjadi

perantara cedera reperfusi miokard. Kami mengevaluasi efek cardioprotective SODm

berbasis Mn(II) dalam jantung yang telah terisolasi yang telah disiapkan sebelumnya dan

dalam model cedera iskemia miokard / reperfusi in vivo. Ketika diinfuskan pada konsentrasi

20 µM, SODm 1 menghambat pelepasan creatine kinase dan kalium intraseluler dalam

perfusi Langendorff jantung kelinci yang terisolasi selama 30 menit sehingga mengalami

iskemia global yang diikuti oleh reperfusi 45 menit. Dalam model yang sama, kompleks 1

juga menurunkan kerusakan permanen di dalam reperfusi iskemik jantung seperti yang

ditunjukkan oleh hasil yang diperoleh dari kadar protein myosin intraseluler terlabel yang

telah dilakukan antibodi monoklonal. SODm 1 juga melindungi terhadap cedera iskemia-

reperfusi miokard pada primata jantung yang telah terisolasi.

Page 31: TERAPI ANTIOXIDAN

SOD mimesis 1 melindungi terhadap cedera miokard 90 menit awal karena sumbatan

arteri koroner kiri sirkumfleksa, diikuti oleh 18 jam reperfusi pada anjing yang dibius (Black

et al, 1994.). Ukuran miokard infark berkurang dari 44,2±5,6% menjadi 25,7±4.3% oleh

SODm saat diberikan intravena pada dosis total 16 mg/kg. Parameter hemodinamik tidak

terpengaruh, kecuali untuk efek hipotensi transien yang akan dikomentari di dalam bagian

berikutnya dalam TIDAK ADA potensiasi. Pada dosis yang sama, kompleks 9, yang mana

tidak memiliki aktivitas SOD terdeteksi gagal melindungi terhadap cedera iskemik reperfusi

miokardium pada anjing, menunjukkan bahwa cedera itu dimediasi oleh superoksida.

Selanjutnya, studi iskemia miokard/ reperfusi telah dihubungkan juga dengan kucing, hal ini

dimaksudkan untuk mengevaluasi mekanisme perlindungan SODm. SOD mimetics 5 kucing

melindungi miokardium dari nekrosis sebagai hasil dari periode 75 menit iskemia yang

diikuti oleh 4.5 jam periode reperfusi. Perlindungan ini sangat tergantung dosis dan sebuah

pengurangan statistik yang signifikan pada persentase nekrosis sebagai persentase daerah

beresiko (AAR) (9,9 ± 2,8% dengan 5 dibandingkan dengan 29,0 ± 3,8% pada kontrol)

diamati pada dosis intravena sebesar 5µmol/kg. Pengeluaran kreatine kinase dan infiltrasi

neutrofil ke dalam miokardium juga dihambat oleh kompleks 5.

Sebuah dosis-tergantung, dengan kurva yang tidak bell-shaped (tidak berbentuk

lonceng), kurva dosis-respon, dilihat dengan SODm 5 dalam model dari iskemia

miokard/reperfusi seekor kucing. Dengan SODm 5, jumlah yang sama dalam perlindungan

terhadap nekrosis diamati dalam dosis 50µmol/kg (9,3 ± 5,6% nekrosis dalam AAR)

sebagaimana dilakukan pada dosis 5 µmol/kg (9,9 ± 2,8% nekrosis dalam AAR). Namun

ternyata, sebagaimana yang disebutkan di atas, enzim SOD tetap memiliki kurva dosis-respon

berbentuk lonceng dalam model cedera iskemia/reperfusi kucing. SODm 6, yang memiliki

kcat lebih tinggi (aktivitas SOD lebih tinggi) dan lebih lipofilik dari kompleks 5, secara

signifikan menghambat nekrosis miokard dengan dosis 2 µmol/kg. Kompleks 6 juga

melemahkan pelepasan kreatin kinase dan infiltrasi neutrofil dalam konsentrasi yang

tergantung. Studi stabilitas ESR pada jantung kelinci terisolasi menunjukkan bahwa SODm 6

memiliki derajat stabilitas yang lebih tinggi dalam kondisi iskemik miokard. Studi ESR juga

menunjukkan bahwa kompleks 6 dapat dibagi ke dalam miokardium dan secara dramatis bisa

menipiskan ledakan radikal superoksida yang terjadi saat reperfusi. Seperti dalam studi

anjing, kompleks 9 yang tidak aktif tidak menghambat nekrosis akibat reperfusi iskemik

miokardium kucing, hal ini menunjukkan bahwa superoksida adalah mediator dari cedera.

Mn(II) klorida tidak melindungi cedera reperfusi, ini mengindikasikan bahwa kompleks 1

tidak meminimalisir cedera reperfusi karena pelepasan Mn (II). Berdasarkan studi-studi in

Page 32: TERAPI ANTIOXIDAN

vitro dan in vivo dengan SODm ini, kami dapat menyimpulkan suatu peran penting dari

superoksida dalam mekanisme cedera reperfusi iskemik miokardium. Dengan mengkatalisasi

superoksida dismutase, SODm sangat mungkin terbukti berperan sebagai agen terapi untuk

meminimalisir terjadinya cedera iskemia-reperfusi miokard yang mana terjadi setelah infark

miokard.

IX. Kesimpulan

Pada penelitian ini, peneliti menemukan bahwa superoksida bekerja sebagai

‘inaktivator’ dari NO, diketahui pula SOD dapat memperpanjang masa paruh waktu NO.

Berdasarkan konsep ini, disarankan bahwa NO dapat membatasi efek sitotoksik superoksida.

Di sisi lain, reaksi antara NO dan superoksida menghasilkan peroksinitrit, sebuah zat oksidan

reaktif, dan sebuah mediator kerusakan sel yang penting pada kondisi inflamasi dan stres

oksidan. Sebuah bukti menunjukan bahwa reaksi No dan superoksida, pada berbagai kondisi

dapat menambah potensial sitotoksik sebagai prekursornya. Secara jelas, ratio NO dan

superoksida sangat penting sebagai inaktivator aktivitas biologis peroksinitrit. Penemuan

sebelumnya menjelaskan bahwa peroksinitrit bisa dibentuk dari kombinasi superoksida

dengan NO yang memproduksi ecNOS pada kondisi patofisiologis, seperti pada kondisi fase

awal syok dan cedera reperfusi, patut untuk didiskusikan. Pada penelitian sebelumnya,

mendemonstrasikan efek yang dapat menghambat pembentukan bentuk NOS di endotelium

(ecNOS) dan sistem saraf pusat (bNOS), diketahui bahwa dampak toksisitas bertanggung

jawab dalam memperkuat formasi NO dengan enzim pembentuk tersebut.Walaupun hal

tersebut merupakan salah satu kemungkinan, penjelasan yang lain perlu untuk dipikirkan,

sebut saja secara simultan generasi superoksida menambah potensial toksisitas No dan

menghambat pembentukan aktivitas NOS dalam mencegah pembentukan peroksinitrit.

Dengan mengetahui pembentukan peroksinitrit dapat dibentuk dari superoksida dan NO

yang diproduksi ecNOS, teori terdahulu yang mengatakan bahwa NO dalam jumlah kecil

lebih berguna daripada NO dalam jumlah besar yang memiliki efek toksik perlu diperbaiki.

Pada penelitian terbaru, NO dalam jumlah besar mungkin dapat menahan reaktivasi oksidasi

peroksinitrit. Walaupun demikian sebuah aksi memainkan peran penting dalam efek proteksi

dalam donor NO pada berbagai kondisi patofisiologis (seperti iskemia/ cedera reperfusi dan

berbagai bentuk syok perlu untuk dijelaskan lebih lanjut). Dapat dijelaskan bahwa toksisitas

peroksinitrit dan ROS pada berbagai kondisi patofisiologis tergantung oleh status antioksidan

endogen (kadar glutation, vitamin E, vitamin C, SOD, dll). Menurut konsep yang ada, jumlah

kecil peroksinitrit diproduksi secara basal pada kondisi fisiologis.Adanya kemungkinan

Page 33: TERAPI ANTIOXIDAN

sistem antioksidan endogen berguna dalam menetralisir produksi peroksinitrit dalam jumlah

kecil. Penghambat farmakologi selektif iNOS pada syok dan inflamasi diduga mempunyai

keuntungan terapi yang signifikan, sejak ditemukannya fungsi fisiologis ecNOS ( seperti pada

pemhambatan adesi platelet dan leukosit, mempertahan vasodilatasi dll), dengan menghambat

generasi konsentrasi sitotoksik NO. Namun saat ini, belum diketahui bagaimana cara

mengeliminasi pembentukan peroksinitrit, terutama selama fase reperfusi atau resusitasi

cairan. Selain itu, penghambat selektif non isoform NOS, mempunyai potensi untuk

mengeliminasi generasi peroksinitrit, walaupun mempunyai efek samping pada sel itu sendiri,

untuk menghilangkan ecNOS.

Pemahaman mekanisme tranduksi sinyal yang menggunakan radikal bebas dalam

memodifikasi sumber penyakit penting untuk intervensi farmakologik pada masa depan.

Dijelaskan berat molekul enzym SOD yang rendah akan membantu sebagai alat yang kuat

untuk farmakologik dalam mengetahui mekanisme pemakaian O2 dan efeknya. Mn(II)

berdasarkan tiruan I SOD menggambarkan contoh unik dalam pengembangan enzim sebagai

obat masa depan. Pada beberapa kasus di mana enzim merupakan obat yang potensial malah

tidak memiliki zat terapeutik, bersifat sintetis, adanya enzim tiruan bermolekul kecil dapat

digunakan untuk terapi. Tiruan SOD adalah obat katalisis ( adalah suatu bahan yang tidak

termasuk interaksi stoikiometri dengan target biologi, seperti reseptor, walapun rata-rata

pembentukan konversi superoksida menjadi O2 dan H2O2 tanpa harus memakai kompleks

sendiri). Tiruan SOD mempunyau karakteristik yang mirip dengan aktivitas SOD dengan

analisis kinetik stopped-flow. Kemampuan tiruan SOD untuk membersihkan superoksida

secara in vivo juga ditunjukan dengan penelitian ESR. Penelitian in vitro dan in vivo

menunjukan bahwa tiruan SOD mempunyai efek anti inflamasi yang poten, mengurangi

kejadian iskemik miokard/ cedera reperfusi dan memperpanjang masa paruh waktu NO,

antitrombolitik dan relaksasi vaskular. Selain itu, tiruan SOD mungkin mempunyai kegunaan

klinis untuk mempengaruhi suatu penyakit, terutama superoksida (Gambar 8).

Page 34: TERAPI ANTIOXIDAN

Gambar 8. Klinis pada penyakit terkait dengan mediasi superoksida

Penelitian sebelumnya yang berpendapat negatif mengenai enzym SOD seharusnya

tidak mengahalangi kegunaan klinis dari tiruan SOD karena tiruan SOD mempunyai banyak

keuntungan seperti enzim, termasuk kurva normal respon dosis, membran permeabilitas,

stabilitas, harga dan kekurangan imunogenetik, seperti aktivitas oral potensial. Peran kritis

superoksida pada berbagai penyakit dan signal seluler yang terbaru memiliki enzyme yang

poten yang memiliki kemampuan potensial dalam terapi berbagai penyakit, baik akut atau

kronik inflamasi yang terjadi pada syok dan iskemik atau cedera reperfusi.