Teraju - Republika, 10 Oktober 2011

3
SENIN, 10 OKTOBER 2011 23 FOTO-FOTO CINAHISTORYFORUM.COM Oleh Teguh Setiawan D alam sebuah tulisan berta- juk Merkwürdigkeitenyang diterbitkan tahun 1751 di Heilbronn, Jer- man—Georg Bernhard Schwarz bertutur, “Saya membunuh satu keluarga Tionghoa di Batavia saat terjadi kerusuh- an dan Pembantaian 1740. Keluarga Tionghoa itu tetangga saya dan saya tidak punya masalah pribadi dengan mereka.” Seorang penulis Belanda bertutur, “Terdengar jerit ketakutan di seluruh ko- ta, lalu terlihat pemandangan memilukan. Perampokan dan pembantaian terjadi di sekujur kota. Perempuan hamil dan se- dang menyusui tak luput dari tebasan pe- dang dan moncong senapan. Ratusan orang yang lari dan tertangkap disembe- lih. Sejumlah orang Cina kaya lari ke ru- mah pemukim Eropa untuk meminta per- lindungan. Orang-orang Eropa merampas barang-barang mereka dan menyerahkan pemiliknya ke tangan pembantai.” Dua cuplikan tersebut telah lebih dari cukup untuk membawa kita ke situasi 8, 9, dan 10 Oktober 1740—ketika VOC di bawah Gubernur Jenderal Adriaan Valc- kenier membantai hampir seluruh pemu- kim Tionghoa di dalam kastil Batavia. Kisah tentang pembantaian itu telah banyak ditulis sejarawan Belanda, Tiong- hoa, dan Indonesia. Remy Silado pernah mengangkat kisah ini dalam drama. Tahun lalu, sejumlah masyarakat etnis Tionghoa di Glodok menggelar rekon- struksi pembantaian. Bagi pemerhati sejarah, Tragedi Angke—demikian beberapa penulis menamakan peristiwa itu—tetaplah menarik untuk dibaca kembali, dikaji kembali dengan berbagai pendekatan; sosial, ekonomi, politik, dan dijadikan ba- han diskusi. Namun, ada satu hal yang tetaplah tak terjawab, yaitu apakah pem- bantaian itu adalah kejahatan terpaksa akibat evolusi tak terhindarkan? Pertanyaan serupa juga mengemuka ketika sejarawan Filipina dan Spanyol mengkaji Pembantaian Manila 1603, 1640, 1662, dan 1686—dengan jumlah ko- rban mencapai lebih dari 70 ribu. Léonard Blussé, sejarawan Belanda, mengatakan, tidak ada kejahatan ter- paksa akibat evolusi, yang ada adalah peristiwa tragis di luar kewajaran. Korupsi, hilangnya wibawa Banyak sarjana Barat, termasuk Raf- fles, berusaha menjelaskan penyebab pembantaian dan menarik kesimpulan, tapi pendapat mereka tidak pernah sama. Mereka melakukan tindakan sia- sia ketika berusaha mencari data hubungan antara komplotan di luar dan dalam kastil Batavia. Blusse menempuh pendekatan lain. Ia melihat ke belakang, jauh sebelum pembantaian terjadi dan peran kapten Tionghoa dalam mengendalikan masyarakat yang berada di luar ben- teng. Ia sampai pada kesimpulan pem- berontakan yang terjadi akibat merosotnya martabat kapten di depan rakyatnya dan penguasa VOC. Segalanya bermula dari gula. Ketika VOC bermain di pasar gula internasional, mereka mendorong orang-orang kaya Cina agar berinvestasi dengan membuka perkebunan tebu di Ommelandan, kawasan selatan Batavia. Ini bukan perkara mudah, karena kebanyakan pedagang Cina saat itu lebih suka menikmati hidup dari perdagangan. VOC tak kehabisan akal. Mereka mena- warkan insentif berupa pembebasan pajak badan, pembelian hasil produksi, dan ke- bebasan membuka hutan bagi perkebun- an. Orang Cina tertarik. Mereka merekrut sebanyak mungkin kuli dari daratan Cina untuk dipekerjakan di perkebunan. Sejak 1637, VOC mulai menjual gula ke Eropa sebanyak 10 ribu pikul per tahun. Namun, semua itu tidak berlang- sung lama. Edi Cahyono dalam Industri Gula di Jawa menyebutkan, penetrasi pasar itu tidak didukung oleh kemam- puan berkompetisi. Ketika Inggris mema- sok gula dari perkebunan tebu di India ke Eropa, VOC tak mampu bersaing dan menarik diri dari pasar. Blusse mempunyai pandangan lain. Pekerja Cina mulai mengeluhkan tidak adanya perlindungan keamanan bagi mereka yang bekerja di Ommelanden. Akibatnya, ketika terjadi pecah perang dengan Banten, para buruh meninggalkan perkebunan tebu pada 1656. Tiga tahun kemudian, ketika Formosa jatuh ke tangan Laksamana Cheng Ch’eng Kung, panglima Dinasti Ming yang men- dirikan pemerintahan sendiri di Taiwan, industri tebu Ommenlanden mulai hidup lagi. Namun, VOC tidak lagi terlibat. Orang-orang kaya Cina sepenuhnya men- gontrol produksi dan memasoknya ke pasar Eropa. VOC hanya tertegun ketika gula Om- melanden kembali Berjaya di Eropa mu- lai 1710. Saat itu, jumlah penggilingan mencapai 130, dengan produksi rata-rata per penggilingan mencapai 300 pikul. Se- banyak 79 pengusaha Cina terlibat di dalamnya. Belanda hanya empat dan hanya ada satu pribumi. Pejabat VOC jengkel. Ini terlihat dari pernyataan Gubernur Jenderal Van der Lijn pada 1659. “Orang-orang Belanda tidak berminat terjun di perkebunan, mereka hanya memikirkan bagaimana cepat kaya dan pulang ke tanah air untuk menghabiskan harta,” ujarnya. Namun, sejumlah usahawan Belanda menanggapi pernyataan ini dengan posi- tif. Abraham Pittavin, Isaac de St Martin, dan Pieter van Hoorn, misalnya, terjun ke perkebunan. Mereka bahkan mengajukan gagasan Batavia sebagai koloni yang di- topang industri pertanian. Sukses ketiganya memicu banyaknya orang Belanda yang membuka perkebun- an. Terlebih, ketika VOC dan Banten ber- damai. Belanda merekrut banyak orang Jawa. Tauke-tauke Cina lebih banyak mendatangkan orang dari negeri mereka. Di dalam kastil Batavia, kekuatan ekonomi orang-orang Cina mulai terasa. Mereka seolah berbagi kekuasaan dengan VOC. Blusse menulis, “Pengangkatan kapten Cina dilakukan bersamaan den- gan pelantikan gubernur jenderal. Pen- gangkatan wijkmeester atau kepala kam- pung sering dilakukan dengan pelantikan pejabat VOC. Pada 1680, Batavia mengalami kelebi- han penduduk (overpopulated). Solusinya adalah mendorong pemukim Cina ke luar Batavia dan mendiami Ommelanden. Na- mun, tindakan ini tidak disertai pemban- gunan infrastruktur politik dan hukum yang memadai. Ommelanden tidak ubah- nya kawasan liar dengan dua landdrost sama dengan sheriff di AS . Cornelis Chastelein, tuan tanah yang dikenang sebagai pembangun Depok, mengimbau agar VOC serius mengurus penduduk dan membuat sistem pemerin- tahan di Ommelanden. Menurutnya, penegakan hukum di wilayah sebesar itu tidak bisa dijalankan oleh dua sheriff. Chastelein mengusulkan sistem lurah Belanda. VOC menampiknya dan lebih suka membentuk komisaris politik yang tugasnya menjalin hubungan dengan pembesar pribumi—Jawa dan Bali, tapi tidak dengan orang Cina. Saat itu, orang Bali dan Jawa sama banyak dengan orang Cina. Sampai 1715, orang Cina tetap terasing dari masyarakat induk dan pemimpinnya di kota. VOC di bawah Gubernur Jenderal Diederik Durven justru melihat masyarakat Cina di Ommelanden sebagai tambang emas. Ia bersama kaki tangan- nya memeras penduduk Cina di Omme- landen, sampai akhirnya terhenti setelah Heren XVII mengakhiri kekuasaannya pada 1732. Pendepakan Durven tidak serta-merta menghapus kebencian penduduk Cina di Ommelanden terhadap VOC. Di sisi lain, kapten Cina dan letnan-letnannya tidak lagi didengar. Pothia, orang Cina pen- gusaha gula, harus membayar pajak badan para buruhnya. Mereka tidak menyerahkan pajak itu ke kapten Cina, tapi bermain mata dengan sheriff. Sheriff melaporkan sekehendak hatinya kepada VOC. Berikutnya, kapten dan para letnannya juga terlibat dalam industri dan mema- nipulasi pembayaran pajak badan para buruhnya. Nie Hoe Kong, kapten Cina yang dituduh menggerakkan pem- berontakan, memiliki 14 penggilingan tebu yang disewakan. Situasi ini relatif masih bisa dikenda- likan ketika industri gula tidak benar-be- nar jatuh. Bahkan, sama sekali tidak terasa ketika penggilingan-penggilingan tebu terus bekerja menghasilkan produksi lebih banyak lagi. Penduduk Cina di Batavia kian makmur dan perkebunan tebu terus meluas. Booming industri gula Ommelanden dan Batavia memicu migrasi besar-be- saran para kuli dari Cina daratan pada 1730. VOC merespons dengan menerap- kan peraturan 1690, bahwa setiap orang Cina yang masuk harus membawa bukti administrasi. Jika tidak, VOC mempunyai alasan menjebloskan mereka ke penjara. Migrasi paksa Tidak sulit bagi para orang kaya Cina, terutama yang butuh tenaga di perkebun- an, mengatasi hal ini. Mereka tahu peja- bat VOC ingin cepat kaya dalam waktu singkat dan bersedia melakukan apa saja. Praktik suap merajalela. Bahkan, orang Cina yang datang sebagai orang bebas pun bisa menyuap jika membawa bekal yang cukup dari tanah kelahiran. Para buruh akan langsung dibawa ke Ommelanden dan dipekerjakan. Mereka tidak terdaftar, sehingga para majikan tidak perlu membayar pajak mereka ke- pada VOC. Tapi, para sheriff tahu. Terjadi saling tekan. Sheriff menekan majikan agar memberi dana tutup mulut. Para majikan menekan buruh agar bekerja se- baik mungkin dan tidak macam-macam jika tidak ingin dilaporkan ke VOC. Ketika gula kembali menjadi prima- dona di Eropa. VOC tergiur untuk kem- bali menjadi pedagang. Mereka meng- haruskan produsen menjual hasil pro- duksinya kepada pemerintah. Tidak ingin rugi, VOC menerapkan politik harga. Pothia tidak mempunyai pilihan, se- lain mengikuti keinginan sang penguasa. Ketika pasaran gula sedang bagus, pro- dusen menikmati harga yang tinggi. Na- mun, ketika permintaan pasar menurun, VOC memberikan harga seenaknya. Tercatat, gula Batavia menjadi pri- madona pada kurun waktu 1712 sampai 1716, setelah itu merosot lagi. Gula Ben- gala memasuki pasar dengan harga jauh lebih murah. Situasi ini semakin sulit ketika terjadi pergantian kekuasaan di Persia. VOC kehilangan pelanggan terbe- sarnya. Situasi menjadi rumit ketika pengusa- ha gula Ommelanden saling caplok. Di sisi lain, pabrik-pabrik gula kecil sangat bergantung pada pinjaman para rentenir Cina di Batavia untuk membiayai pro- duksinya. Ketika pasaran gula merosot, mereka tidak mampu membayar pinja- man dan bunganya serta menggaji para buruhnya. VOC, akibat kejatuhan pasar gula, berusaha mencari pendapatan lain. Mere- ka mengenakan pajak terhadap semua usaha milik orang Cina di Ommelanden, termasuk pajak warung makan. Akibat- nya, para buruh yang tak mempunyai pekerjaan harus membayar makanannya lebih mahal dari biasanya. Pertengahan 1740, skandal penjualan izin tinggal yang dilakukan pejabat VOC terbongkar. Pemerintah merespons den- gan sangat radikal. Bahwa untuk menun- taskan masalah Cina, haruslah dengan tindakan migrasi paksa. Yaitu, meng- hafalkan pekerja Cina di Ommelanden dan Kota Batavia ke Sri Lanka. Tidak ada pilihan bagi para buruh Cina yang miskin selain melawan. Ter- lebih, muncul kabar bahwa mereka yang dibawa ke Sri Lanka tidak pernah sampai ke tujuan, karena diceburkan ke laut. Para bandit—yang terpaksa merampok demi sesuap nasi—buruh lapar dan ma- jikan yang menjadi papa oleh lintah darat bersatu. Mereka merencanakan penyeran- gan ke Kota Batavia. Mereka yakin, akan mendapat dukungan saudara seetnik yang berada di dalam kastil, saat seran- gan dilancarkan. Buruh pribumi juga terlibat dalam pemberontakan ini, meski jumlahnya sa- ngat sedikit. Mereka menyerang pasukan VOC di luar kota dan sukses. Baron van Imhoff merespons dengan mengirim pasu- kan lebih besar dan pasukan bayaran asal Bugis. Van Imhoff sempat kalah, tapi pada 8 Oktober memperoleh kemenangan besar. Malam hari, kota dikepung pem- berontak Cina dengan kekuatan luar bi- asa. Mereka membakar semua kubu dan rumah di luar kota, serta berusaha mema- suki gerbang kota. Di dalam kota, Nie Hoe Kong tidak melakukan apa-apa, ke- cuali panik. Ia tidak mungkin men- gatakan tidak tahu akan ada penyeran- gan, karena pemberontakan diorganisasi di salah satu perkebunan tebu miliknya. Di kalangan orang pemukim Belanda, terjadi ketakutan akan kemungkinan pe- mukim Cina menahan mereka dari be- lakang saat pasukan mempertahankan kota. Tidak ingin hal itu terjadi, mereka mendahului dengan menyerang orang Cina di dalam kota. Namun, jumlah mereka terlalu sedikit. Saat itu, penduduk Cina di Batavia men- capai 5.000 lebih. Penduduk kulit putih hanya 1300 orang. VOC tidak kehabisan akal. Mereka memprovokasi pelaut dan permukim lain—mestizo, mardijker, dan orang-orang Asia non-Cina—untuk ikut dalam pembantaian. Pembantaian berlangsung sepekan. Setelah semua Cina di dalam kota bersih. VOC mengejar pemberontak yang masih berada di pinggir kota dan memban- tainya. Inilah yang menyebabkan banyak sejarawan yakin jumlah korban mencapai 10 ribu orang. Mayat-mayat Cina dibiarkan tergele- tak di jalan-jalan atau dibuang ke Kali Besar. Menimbulkan bau busuk tak ter- peri selama berhari-hari. Tak lama kemu- dian, wabah kolera menjangkiti pen- duduk di dalam dan luar kastil Batavia. Satu hal yang menarik adalah Kapten Nie Hoe Kong berhasil lolos dari pemban- taian di dalam kota dan memimpin ratu- san pasukan dan meneruskan perjuangan sampai ke Jawa Tengah. Ia tertangkap dan tewas dalam penjara di Ambon. Gula, Korupsi, dan Pembantaian Cina 1740 Ketika VOC bermain di pasar gula internasional, mereka mendorong orang-orang kaya Cina agar berinvestasi dengan membuka perkebunan tebu di Ommelandan, kawasan selatan Batavia. Tera j u REPUBLIKA SEJARAH PEMBANTAIAN 1740: Gambar pembantaian Tionghoa di Batavia pada 1740. Pembantaian terjadi di sepanjang Kali Besar. PEMBANTAIAN 1740: Salah satu lukisan pembantaian China tahun 8 dan 9 Oktober 1740 yang masih tersimpan di Belanda.

description

Gula, Korupsi, dan Pembantaian Cina 1740

Transcript of Teraju - Republika, 10 Oktober 2011

Page 1: Teraju - Republika, 10 Oktober 2011

SENIN, 10 OKTOBER 2011 23FOTO-FOTO CINAHISTORYFORUM.COM

Oleh Teguh Setiawan

Dalam sebuah tulisan berta-juk Merkwürdigkeiten—yang diterbitkan tahun1751 di Heilbronn, Jer-man—Georg BernhardSchwarz bertutur, “Sayamembunuh satu keluarga

Tionghoa di Batavia saat terjadi kerusuh -an dan Pembantaian 1740. KeluargaTionghoa itu tetangga saya dan saya tidakpunya masalah pribadi dengan mereka.”

Seorang penulis Belanda bertutur,“Terdengar jerit ketakutan di seluruh ko -ta, lalu terlihat pemandangan memi lukan.Perampokan dan pembantaian terjadi disekujur kota. Perempuan hamil dan se -dang menyusui tak luput dari tebasan pe -dang dan moncong senapan. Ratusanorang yang lari dan tertangkap disembe-lih. Sejumlah orang Cina kaya lari ke ru -mah pemukim Eropa untuk meminta per-lindungan. Orang-orang Eropa merampasbarang-barang mereka dan menyerahkanpemiliknya ke tangan pembantai.”

Dua cuplikan tersebut telah lebih daricukup untuk membawa kita ke situasi 8,9, dan 10 Oktober 1740—ketika VOC dibawah Gubernur Jenderal Adriaan Valc -kenier membantai hampir seluruh pemu -kim Tionghoa di dalam kastil Batavia.Kisah tentang pembantaian itu telahbanyak ditulis sejarawan Belanda, Tiong-hoa, dan Indonesia. Remy Silado pernahmengangkat kisah ini dalam drama.Tahun lalu, sejumlah masyarakat etnisTionghoa di Glodok menggelar rekon-struksi pembantaian.

Bagi pemerhati sejarah, TragediAngke—demikian beberapa penulismenamakan peristiwa itu—tetaplahmenarik untuk dibaca kembali, dikajikembali dengan berbagai pendekatan;sosial, ekonomi, politik, dan dijadikan ba-han diskusi. Namun, ada satu hal yangtetaplah tak terjawab, yaitu apakah pem-bantaian itu adalah kejahatan terpaksaakibat evolusi tak terhindarkan?

Pertanyaan serupa juga mengemukaketika sejarawan Filipina dan Spanyolmengkaji Pembantaian Manila 1603,1640, 1662, dan 1686—dengan jumlah ko-rban mencapai lebih dari 70 ribu.Léonard Blussé, sejarawan Belanda,mengatakan, tidak ada kejahatan ter-paksa akibat evolusi, yang ada adalahperistiwa tragis di luar kewajaran.

Korupsi, hilangnya wibawaBanyak sarjana Barat, termasuk Raf-

fles, berusaha menjelaskan penyebabpembantaian dan menarik kesimpulan,tapi pendapat mereka tidak pernahsama. Mereka melakukan tindakan sia-sia ketika berusaha mencari datahubungan antara komplotan di luar dandalam kastil Batavia.

Blusse menempuh pendekatan lain.Ia melihat ke belakang, jauh sebelum

pembantaian terjadi dan peran kaptenTionghoa dalam mengendalikanmasyarakat yang berada di luar ben-teng. Ia sampai pada kesimpulan pem-berontakan yang terjadi akibatmerosotnya martabat kapten di depanrakyatnya dan penguasa VOC.

Segalanya bermula dari gula. KetikaVOC bermain di pasar gula internasional,mereka mendorong orang-orang kayaCina agar berinvestasi dengan membukaperkebunan tebu di Ommelandan,kawasan selatan Batavia. Ini bukanperkara mudah, karena kebanyakanpedagang Cina saat itu lebih sukamenikmati hidup dari perdagangan.

VOC tak kehabisan akal. Mereka me na - warkan insentif berupa pembebasan pa jakbadan, pembelian hasil produksi, dan ke-bebasan membuka hutan bagi per kebun -an. Orang Cina tertarik. Mereka me rekrutsebanyak mungkin kuli dari da ratan Cinauntuk dipekerjakan di perkebunan.

Sejak 1637, VOC mulai menjual gulake Eropa sebanyak 10 ribu pikul pertahun. Namun, semua itu tidak berlang-sung lama. Edi Cahyono dalam IndustriGula di Jawa menyebutkan, penetrasipasar itu tidak didukung oleh kemam-puan berkompetisi. Ketika Inggris mema-sok gula dari perkebunan tebu di India keEropa, VOC tak mampu bersaing danmenarik diri dari pasar.

Blusse mempunyai pandangan lain.Pekerja Cina mulai mengeluhkan tidakadanya perlindungan keamanan bagimereka yang bekerja di Ommelanden.Akibatnya, ketika terjadi pecah perangdengan Banten, para buruh meninggalkanperkebunan tebu pada 1656.

Tiga tahun kemudian, ketika Formosajatuh ke tangan Laksamana Cheng Ch’engKung, panglima Dinasti Ming yang men -dirikan pemerintahan sendiri di Taiwan,industri tebu Ommenlanden mulai hiduplagi. Namun, VOC tidak lagi terlibat.Orang-orang kaya Cina sepenuhnya men-gontrol produksi dan memasoknya kepasar Eropa.

VOC hanya tertegun ketika gula Om-melanden kembali Berjaya di Eropa mu-lai 1710. Saat itu, jumlah penggilinganmencapai 130, dengan produksi rata-rataper penggilingan mencapai 300 pikul. Se-banyak 79 pengusaha Cina terlibat didalamnya. Belanda hanya empat danhanya ada satu pribumi.

Pejabat VOC jengkel. Ini terlihat daripernyataan Gubernur Jenderal Van derLijn pada 1659. “Orang-orang Belandatidak berminat terjun di perkebunan,mereka hanya memikirkan bagaimanacepat kaya dan pulang ke tanah air untukmenghabiskan harta,” ujarnya.

Namun, sejumlah usahawan Belandamenanggapi pernyataan ini dengan posi-tif. Abraham Pittavin, Isaac de St Martin,dan Pieter van Hoorn, misalnya, terjun keperkebunan. Mereka bahkan mengajukangagasan Batavia sebagai koloni yang di-topang industri pertanian.

Sukses ketiganya memicu banyaknyaorang Belanda yang membuka perkebun -an. Terlebih, ketika VOC dan Banten ber -damai. Belanda merekrut banyak orangJawa. Tauke-tauke Cina lebih banyakmendatangkan orang dari negeri mereka.

Di dalam kastil Batavia, kekuatanekonomi orang-orang Cina mulai terasa.Mereka seolah berbagi kekuasaan denganVOC. Blusse menulis, “Pengangkatankapten Cina dilakukan bersamaan den-gan pelantikan gubernur jenderal. Pen-gangkatan wijkmeester atau kepala kam-pung sering dilakukan dengan pelantikanpejabat VOC.

Pada 1680, Batavia mengalami kelebi-han penduduk (overpopulated). Solusinyaadalah mendorong pemukim Cina ke luarBatavia dan mendiami Ommelanden. Na-mun, tindakan ini tidak disertai pemban-gunan infrastruktur politik dan hukumyang memadai. Ommelanden tidak ubah-nya kawasan liar dengan dua landdrost –sama dengan sheriff di AS .

Cornelis Chastelein, tuan tanah yangdikenang sebagai pembangun Depok,mengimbau agar VOC serius menguruspenduduk dan membuat sistem pemerin-tahan di Ommelanden. Menurutnya,penegakan hukum di wilayah sebesar itutidak bisa dijalankan oleh dua sheriff.

Chastelein mengusulkan sistem lurahBelanda. VOC menampiknya dan lebihsuka membentuk komisaris politik yangtugasnya menjalin hubungan denganpembesar pribumi—Jawa dan Bali, tapitidak dengan orang Cina. Saat itu, orangBali dan Jawa sama banyak dengan orangCina. Sampai 1715, orang Cina tetapterasing dari masyarakat induk danpemimpinnya di kota.

VOC di bawah Gubernur JenderalDiederik Durven justru melihatmasyarakat Cina di Ommelanden sebagaitambang emas. Ia bersama kaki tangan-nya memeras penduduk Cina di Omme-landen, sampai akhirnya terhenti setelahHeren XVII mengakhiri kekuasaannyapada 1732.

Pendepakan Durven tidak serta-mertamenghapus kebencian penduduk Cina diOmmelanden terhadap VOC. Di sisi lain,kapten Cina dan letnan-letnannya tidaklagi didengar. Pothia, orang Cina pen-gusaha gula, harus membayar pajakbadan para buruhnya. Mereka tidakmenyerahkan pajak itu ke kapten Cina,tapi bermain mata dengan sheriff. Sheriffmelaporkan sekehendak hatinya kepadaVOC.

Berikutnya, kapten dan para letnannyajuga terlibat dalam industri dan mema-nipulasi pembayaran pajak badan paraburuhnya. Nie Hoe Kong, kapten Cinayang dituduh menggerakkan pem-berontakan, memiliki 14 penggilingantebu yang disewakan.

Situasi ini relatif masih bisa dikenda-likan ketika industri gula tidak benar-be-nar jatuh. Bahkan, sama sekali tidakterasa ketika penggilingan-penggilingan

tebu terus bekerja menghasilkan produksilebih banyak lagi. Penduduk Cina diBatavia kian makmur dan perkebunantebu terus meluas.

Booming industri gula Ommelandendan Batavia memicu migrasi besar-be-saran para kuli dari Cina daratan pada1730. VOC merespons dengan menerap-kan peraturan 1690, bahwa setiap orangCina yang masuk harus membawa buktiadministrasi. Jika tidak, VOC mempunyaialasan menjebloskan mereka ke penjara.

Migrasi paksaTidak sulit bagi para orang kaya Cina,

terutama yang butuh tenaga di perkebun -an, mengatasi hal ini. Mereka tahu peja-bat VOC ingin cepat kaya dalam waktusingkat dan bersedia melakukan apa saja.Praktik suap merajalela. Bahkan, orangCina yang datang sebagai orang bebaspun bisa menyuap jika membawa bekalyang cukup dari tanah kelahiran.

Para buruh akan langsung dibawa keOmmelanden dan dipekerjakan. Merekatidak terdaftar, sehingga para majikantidak perlu membayar pajak mereka ke -pada VOC. Tapi, para sheriff tahu. Terjadisaling tekan. Sheriff menekan majikanagar memberi dana tutup mulut. Paramajikan menekan buruh agar bekerja se-baik mungkin dan tidak macam-macamjika tidak ingin dilaporkan ke VOC.

Ketika gula kembali menjadi prima -dona di Eropa. VOC tergiur untuk kem-bali menjadi pedagang. Mereka meng-haruskan produsen menjual hasil pro-duksinya kepada pemerintah. Tidak inginrugi, VOC menerapkan politik harga.

Pothia tidak mempunyai pilihan, se-lain mengikuti keinginan sang penguasa.Ketika pasaran gula sedang bagus, pro-dusen menikmati harga yang tinggi. Na-mun, ketika permintaan pasar menurun,VOC memberikan harga seenaknya.

Tercatat, gula Batavia menjadi pri-madona pada kurun waktu 1712 sampai1716, setelah itu merosot lagi. Gula Ben-gala memasuki pasar dengan harga jauh

lebih murah. Situasi ini semakin sulitketika terjadi pergantian kekuasaan diPersia. VOC kehilangan pelanggan terbe-sarnya.

Situasi menjadi rumit ketika pengusa-ha gula Ommelanden saling caplok. Disisi lain, pabrik-pabrik gula kecil sangatbergantung pada pinjaman para rentenirCina di Batavia untuk membiayai pro-duksinya. Ketika pasaran gula merosot,mereka tidak mampu membayar pinja-man dan bunganya serta menggaji paraburuhnya.

VOC, akibat kejatuhan pasar gula,berusaha mencari pendapatan lain. Mere-ka mengenakan pajak terhadap semuausaha milik orang Cina di Ommelanden,termasuk pajak warung makan. Akibat-nya, para buruh yang tak mempunyaipekerjaan harus membayar makanannyalebih mahal dari biasanya.

Pertengahan 1740, skandal penjualanizin tinggal yang dilakukan pejabat VOCterbongkar. Pemerintah merespons den-gan sangat radikal. Bahwa untuk menun-taskan masalah Cina, haruslah dengantindakan migrasi paksa. Yaitu, meng-hafalkan pekerja Cina di Ommelandendan Kota Batavia ke Sri Lanka.

Tidak ada pilihan bagi para buruhCina yang miskin selain melawan. Ter-lebih, muncul kabar bahwa mereka yangdibawa ke Sri Lanka tidak pernah sampaike tujuan, karena diceburkan ke laut.

Para bandit—yang terpaksa merampokdemi sesuap nasi—buruh lapar dan ma-jikan yang menjadi papa oleh lintah daratbersatu. Mereka merencanakan penyeran-gan ke Kota Batavia. Mereka yakin, akanmendapat dukungan saudara seetnikyang berada di dalam kastil, saat seran-gan dilancarkan.

Buruh pribumi juga terlibat dalampem berontakan ini, meski jumlahnya sa -ngat sedikit. Mereka menyerang pasukanVOC di luar kota dan sukses. Baron vanImhoff merespons dengan mengirim pasu -k an lebih besar dan pasukan bayaran asalBugis. Van Imhoff sempat kalah, tapi pada8 Oktober memperoleh kemenangan besar.

Malam hari, kota dikepung pem-berontak Cina dengan kekuatan luar bi-asa. Mereka membakar semua kubu danrumah di luar kota, serta berusaha mema-suki gerbang kota. Di dalam kota, NieHoe Kong tidak melakukan apa-apa, ke-cuali panik. Ia tidak mungkin men-gatakan tidak tahu akan ada penyeran-gan, karena pemberontakan diorganisasidi salah satu perkebunan tebu miliknya.

Di kalangan orang pemukim Belanda,terjadi ketakutan akan kemungkinan pe-mukim Cina menahan mereka dari be-lakang saat pasukan mempertahankankota. Tidak ingin hal itu terjadi, merekamendahului dengan menyerang orangCina di dalam kota.

Namun, jumlah mereka terlalu sedikit.Saat itu, penduduk Cina di Batavia men-capai 5.000 lebih. Penduduk kulit putihhanya 1300 orang. VOC tidak kehabisanakal. Mereka memprovokasi pelaut danpermukim lain—mestizo, mardijker, danorang-orang Asia non-Cina—untuk ikutdalam pembantaian.

Pembantaian berlangsung sepekan.Setelah semua Cina di dalam kota bersih.VOC mengejar pemberontak yang masihberada di pinggir kota dan memban-tainya. Inilah yang menyebabkan banyaksejarawan yakin jumlah korban mencapai10 ribu orang.

Mayat-mayat Cina dibiarkan tergele-tak di jalan-jalan atau dibuang ke KaliBesar. Menimbulkan bau busuk tak ter-peri selama berhari-hari. Tak lama kemu-dian, wabah kolera menjangkiti pen-duduk di dalam dan luar kastil Batavia.

Satu hal yang menarik adalah KaptenNie Hoe Kong berhasil lolos dari pemban-taian di dalam kota dan memimpin ratu-san pasukan dan meneruskan perjuangansampai ke Jawa Tengah. Ia tertangkapdan tewas dalam penjara di Ambon. ■

Gula, Korupsi, danPembantaian

Cina 1740Ketika VOC bermain di pasar gula internasional,mereka mendorong orang-orang kaya Cina agar

berinvestasi dengan membuka perkebunan tebu diOmmelandan, kawasan selatan Batavia.

TerajuREPUBLIKA

SEJARAH

PEMBANTAIAN 1740: Gambar pembantaian Tionghoa di Batavia pada 1740. Pembantaian terjadi

di sepanjang Kali Besar.

PEMBANTAIAN 1740: Salah satu lukisan pembantaian

China tahun 8 dan 9 Oktober 1740 yang masih tersimpan di

Belanda.

Page 2: Teraju - Republika, 10 Oktober 2011

REPUBLIKA SENIN, 10 OKTOBER 2011 24TerajuFOTO-FOTO CINAHISTORYFORUM.COM

Oleh Teguh Setiawan

ndonesia bukan satu-satunya negara yangmemiliki sejarah pembantaian etnis Tiong-hoa. Catatan Cinahistory Forum menun-jukkan, Filipina memiliki sejarah palingkelam dalam hubungannya denganHoakiao—atau masyarakat Cina peran-

tauan. Setidaknya, 74 ribu pemukim Cina tewas diManila sepanjang kurun waktu 1603 sampai 1640.Ribuan lainnya diyakini menemui ajalnya dipertengahan abad ke-18. Namun, setelah kek-erasan anti-Cina terakhir pada 1763, relatif tidakada lagi kerusuhan skala besar di Filipina.

Pembantaian, lebih tepatnya kekerasan, ter-hadap etnis Cina juga terjadi di Thailand, Vietnam,Malaysia, dan Singapura. Jauh dari Asia Tenggara,AS juga mengalami beberapa tragedi yang meli-batkan etnis Cina sebagai korban.

Tidak sulit mengidentifikasi berbagai pemban-taian ini. Di Filipina, pembantaian kerap dipicupersaingan dagang dan ketakutan kolonialisSpanyol akan dominasi Hoakiao di tanah jajahanmereka. Situasi serupa juga terjadi di Indonesiapada peristiwa 1740 dan perebutan konsesi per-tambangan di Kalimantan Selatan tahun 1823.

Sedangkan, aksi pembantaian di Thailand danVietnam lebih disebabkan konflik politik. Pem-berontakan sekelompok Cina di Thailand mem-berikan legitimasi bagi Raja III melakukan pem-bantaian untuk menekan populasi Hoakiao.

Di Vietnam, keterlibatan etnis Cina dalam poli-tik—dengan memihak ke salah satu penguasa saatitu—memancing penguasa lainnya merasa perlume lakukan pembantaian untuk melemahkan posisilawannya.

Perang Dunia II dan persaingan ideologis yangmewarnai Asia Tenggara sepanjang pertengahanabad ke-20, turut memicu pembantaian etnisTionghoa. Inggris mempersenjatai kelompok ko-munis Cina untuk melawan Jepang di Malaysiadan Singapura. Tindakan serupa juga dilakukanAS dengan mempersenjatai Hukbong Bayan Lapansa Hapon (Hukbalahap)—pasukan rakyat anti-Jepang yang berideologi komunis—sebelum Jen-deral Douglas McArthur meninggalkan Filipina.

Komunis di Singapura dan Malaysia serta Huk-balahap di Filipina melancarkan perang gerilya se-lama pendudukan Jepang. Setelah Jepanghengkang, Inggris memerangi pasukan Cina komu-nis yang dibentuknya. AS juga melakukan halserupa di Filipina.

Spanyol, Belanda, Inggris, dan AS tidak sendirianmelakukan pembantaian terhadap Tionghoa. Mere-ka memprovokasi pribumi. Pemukim dan prajuritSpanyol yang berjumlah sekian ribu tidak mungkinmenghadapi puluhan ribu pendatang Cina.

Di Batavia, Gubernur Jenderal Adriaan Valcke-nier memprovokasi para kelasi kapal-kapal asingyang sedang berlabuh, penduduk setempat, danpribumi dari luar benteng untuk bersamamelakukan pembantaian terhadap Tionghoa. Iaharus melakukan cara ini karena tidak mungkinkekuatan pasukannya sanggup menghadapi be-lasan ribu penduduk Cina di dalam kota.

Di Sarawak, Raja Brooke menggunakan pa-sukan Dayak untuk mengalahkan Liu Shanbang.Orde Baru menggunakan Dayak untuk menghan-curkan PGRS/Paraku yang didominasi etnis Cinadan memburu sisa-sisa PKI. Ketika perang ber -langsung, hampir semua etnis di Kalimantan Baratmenjadi sasaran pembunuhan Lasykar Pang-suma—milisi Dayak bentukan Oevaang Oeray.

Jamie S Davidson dan Douglas Kammen, dalamIndonesia Unkhown War and Lineages of Violencein West Kalimantan, menulis pembantaian ini jugadipicu motif ekonomi, yaitu pembangunan zonaekonomi Anjungan–Mandor–Menjalin, denganDayak sebagai etnis dominan di dalamnya.

Di Malaysia, populasi Cina yang signifikanmembuat Melayu kesulitan membentuk pemerinta-han dominan. Di Kuala Lumpur dan Selangor, par-tai Cina memenangkan pemilihan umum 1969.Kerusuhan etnis tak terhindarkan.

Meski tidak sehebat di Asia Tenggara, AS jugapunya sejarah pembantaian etnis Cina. Bahkan, ma -syarakat kulit putih AS sempat dihinggapi ketaku-tan akan Bahaya Kuning yang memicu penyeranganterhadap warga bertaucang sepanjang 1890-an. ■

1603 - MANILA, FILIPINA

Khawatir akan dominasi Cina, Spanyol membantai 24 ribu

Mandarin yang datang ke negeri kepulauan itu pada era Di-

nasti Ming.

1662 - MANILA, FILIPINA

Sebanyak 30 ribu penduduk Cina dihalau keluar Filipina

lewat laut. Mereka yang tertangkap di luar Parian, gheto

Cina Minila, dipenggal.

1639-1640 - MANILA, FILIPINA

Sebanyak 20 ribu tewas dalam kerusuhan anti-Cina.

1686 - MANILA, FILIPINA

Kekerasan anti-Cina.

1740 - BATAVIA, HINDIA-BELANDA

VOC memaksa orang-orang Cina menaiki kapal untuk

dibuang ke Sri Lanka. Muncul isu, mereka yang dibawa ke

Sri Lanka ditenggelamkan ke laut. Kapten Nie Hoe Kong

memprovokasi pemberontakan Cina di dalam Kota

Batavia. VOC merespons dengan keras. Sebanyak 10 ribu

orang Cina terbunuh dalam peristiwa itu.

1763 - MANILA, FILIPINA

Kekerasan anti-Cina.

1792 - CHOLON, VIETNAM (HO CHI MINH CITY)

Sebanyak 10 ribu orang Cina dibantai saat Gerakan Tay

Son mengambil alih Cholon dari kekuasaan Nguyen Anh

dan memproklamasikan diri sebagai penguasa baru

wilayah selatan Vietnam. Catatan Nguyen menyebutkan,

seorang pembantu dekat Nguyen Nhac dibunuh oleh pa-

sukan Nguyen Anh yang kebetulan berasal dari etnis Cina.

Nhac marah dan melakukan aksi balas dendam dengan

membunuh etnis Cina—anak-anak dan wanita. Spekulasi

yang beredar menyebutkan, tindakan itu bertujuan meng-

hancurkan monopoli dagang etnis Cina.

1823 – KALIMANTAN BARAT

Sekitar 10 ribu sampai 20 ribu Cina terbunuh ketika pe-

nambang Hakka menolak meninggalkan wilayah konsesi

pertambangan emas. Para sultan secara sepihak menjual

semua wilayah konsesi pertambangan yang dikelola orang-

orang Hakka ke Belanda.

1824-1851 RAJA RAMA III - THAILAND

Sekelompok pemberontak Cina merebut dan menjarah

Kota Chachengsao. Penduduk mayoritas Siam mening-

galkan kota. Pemerintahan Raja Rama III merespons den-

gan mengirim pasukan untuk mengambil alih kota. Setelah

terjadi beberapa pertempuran, sejumlah pemimpin pem-

berontak membelot dan memimpin pasukannya mengejar

pentolan pemberontak lainnya. Sisa pemberontak

melarikan diri dari kota dan terkepung. Penduduk asli

Siam kembali dan melakukan aksi balas dendam; mem-

bunuh semua etnis Cina yang dijumpai di kota itu. Banyak

etnis Cina melarikan diri dengan menyamar sebagai biksu,

tapi gagal. Banyak yang gantung diri untuk menghindari

penyiksaan sampai mati.

1857 - SARAWAK, KALIMANTAN UTARA

Liu Shanbang, pemimpin masyarakat Hakka, mengerahkan

600 penambang bersenjata dari Bau Lama menyerang

Kuching, Ibu Kota Sarawak, pada 18 Februari 1857. Ia

berhasil menguasai Kuching, tapi gagal membunuh James

Brooke—penguasa Sarawak yang biasa disebut Raja

Brooke. Shanbang menjadi Rajah of Sarawak, tapi hanya

lima hari, yaitu dari 19 sampai 23 Februari. Tuan Muda

Charles Brooke, anak James Brooke, mengerahkan keku-

atan Dayaknya dari divisi kedua untuk memulihkan

kekuasaan. Liu Shanbang mundur. Charles Brooke memer-

intahkan pengejaran. Liu Shanbang terbunuh di Jugan

pada 24 Februari. Seluruh keluarga dan orang-orangnya

juga dibunuh atau mati lemas di kawasan Mau San dan

Goa Hantu. Lainnya melarikan diri ke wilayah Hindia-Be-

landa.

1871 - LOS ANGELES, CALIFORNIA, AS

Seorang pekerja Cina tanpa sengaja membunuh penduduk

kulit putih. Warga kulit putih Los Angeles mengamuk dan

membantai 19 orang Cina.

1877 - CHICO, CALIFORNIA, AS

Kerusuhan anti-Cina.

1885 - ROCK SPRINGS, WYOMING, AS

Kerusuhan anti-Cina.

1887 - SNAKE RIVER, OREGON, AS

Sebanyak 31 penambang Cina terbantai dalam dua hari

pesta kekerasan.

1890-AN - SAN FRANCISCO & SEATTLE, AS

Ribuan orang Cina diserang dalam peristiwa yang dikenal

sebagai ‘pesta potong taucang’ yang dilakukan penganggur

kulit putih sebagai akibat ketakutan akan Bahaya Kuning.

1942 - SINGAPURA (OPERASI SOOK CHING)

Lebih 70 ribu orang Cina disiksa atau terbunuh dalam Op-

erasi Sook Ching yang dilakukan Kampeitai, pimpinan

Kolonel Tsuji Masanobu. Operasi Sook Ching adalah tin-

dakan pemurnian atau pembersihan etnis Cina yang men-

dukung RRT melawan invasi Jepang.

1942 - MALAYSIA (OPERASI SOOK CHING)

Operasi Sook Ching juga berlangsung di Malaysia. Di

negeri ini, Kampeitai membunuh kira-kira 40 ribu etnis

Cina.

1946 - MALAYSIA

Penarikan pasukan Jepang menimbulkan kevakuman

kekuasaan di Malaysia. Malayan People’s Anti-Japanese

Army (MPAJA)—kelompok perlawanan yang didominasi

etnis Cina keluar dari hutan dan menyebut diri sebagai

wakil sekutu yang memenangkan perang. Mereka men-

gaku, mendapat restu dari Inggris untuk memasuki kota

dan desa dan memulihkan kekuasaan dan menerapkan

undang-undang sebelum kedatangan kembali Inggris.

Yang terjadi adalah aksi balas dendam terhadap kolab-

orator Jepang dan personel polisi yang kebanyakan orang

Melayu. Jepang menganakemaskan Melayu dan menying -

kirkan Cina. Konflik terpolarisasi antara Cina dan Melayu.

Orang Melayu, di bawah pimpinan Kiai Saleh, memben-

tuk Red Band dan mengobarkan perang sabil. Sisa tentara

Jepang, yang marah oleh aktivitas MPAJA selama pen-

dudukan, bergabung dengan orang Melayu di Batu Pahat—

kawasan negara bagian Johor. Mereka membersihkan kota

dari elemen Cina.

Pertempuran meluas ke seluruh semenanjung Malaya.

Kontak senjata terhebat berlangsung di utara negara

bagian Johor dan Perak. Ribuan orang dari kedua pihak

tewas dalam pertempuran ini, tapi seluruh kawasan

berhasil dibebaskan dari pemukim Cina. Sisa-sisa MPAJA

melarikan diri ke kota-kota besar.

Sekilas tentang MPAJA, tahun 1941, Inggris memben-

tuk Oriental Mission di Singapura untuk merencanakan

dan mengoperasikan aktivitas subversif di wilayah yang

akan diduduki Jepang. Inggris melatih 13 ribu penduduk

Cina. Ketika Jepang datang, pasukan terlatih ini masuk

hutan dan melancarkan perang gerilya. Tahun 1943, ke -

lompok ini menyebut diri MPAJA dan mengadopsi ideologi

komunis. Setelah Inggris datang, MPAJA masuk hutan lagi

dan melancarkan perang gerilya melawan sang tuan.

1948 - BATANG KALI, MALAYSIA

Sebanyak 14 tentara Inggris yang mencari gerilyawan ko-

munis memasuki Batang Kali, desa yang didominasi etnis

Cina. Mereka menembak seorang pria tak bersenjata dan

membakar desa.

1965-1966 - INDONESIA

Lebih 500 ribu orang tewas dalam kekerasan antikomunis.

Ribuan dari mereka adalah etnis Cina setempat dan lain-

nya yang tergabung ke dalam Partai Komunis Indonesia

(PKI) hanya karena tertarik dengan program partai. Banyak

korban tak berdosa dalam kekerasan ini.

1969 - KUALA LUMPUR, MALAYSIA

Kelompok politik Cina memenangkan pemilu di daerah

pemilihan Selangor dan Kuala Lumpur yang mengaki-

batkan sulitnya membentuk pemerintahan negara bagian

dengan dominasi Melayu. Koalisi partai-partai Melayu

juga gagal menguasai dua pertiga kursi di parlemen yang

biasa memicu terjadinya perubahan konstitusi tanpa refer-

endum. Kerusuhan etnis tak terhindarkan. Korbannnya

adalah 1500 sampai 2.000 etnis Cina.

1998 - JAKARTA, INDONESIA

Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak 1997

berubah menjadi krisis multidimensi. Presiden Soeharto

gagal mengendalikan keadaan yang berakibat pada aksi

kerusuhan pada Mei 1998 di sejumlah kota. Ribuan

rumah dan toko milik etnis Tionghoa menjadi sasaran pen-

jarahan dan pembakaran. Terjadi eksodus etnis Tionghoa

besar-besaran, yang bertahan mempersenjatai diri untuk

melawan. ■

PEMBANTAIAN DAN PEMBUNUHAN CINA

Pada 1890-an,masyarakat AS sempat dihinggapi ketakutan Bahaya Kuning.

OPERASI SOOK CHING:Pembersihan etnis yang di-

lakukan serdadu Jepang di Singapura.

Page 3: Teraju - Republika, 10 Oktober 2011

REPUBLIKA SENIN, 10 OKTOBER 2011 25Teraju

Oleh Teguh Setiawan

Ketika Jan Pieterzoon Coenmemutuskan memban-gun kota baru di atas pu-ing-puing Jayakarta, gu-bernur jenderal VOC itumerayu Sou Beng Kong—pemimpin komunitas Ci -

na di Banten – untuk pindah dan mem-bawa semua keluarga dan kerabatnya.Coen memukimkan mereka di Batavia,berbaur dengan penduduk Belanda.

Tidak cukup hanya mengambilorang-orang Sou Beng Kong, Coenmemerintahkan penculikan terhadaporang-orang di desa-desa pantai Cina,memaksa pemukim Tionghoa di sepan-jang pantai utara Jawa untuk pindahdan memanjakan mereka denganberbagai fasilitas. Masih belum cukup,Coen meminta Sou Beng Kong men-garahkan jung-jung dari Tiongkokyang membawa pekerja migran merap-at di Batavia. Sebuah kota baru, den-gan komunitas Cina sedemikian besardi dalamnya, muncul.

Pedagang Cina meramaikan pela -buh an. Kontraktor mendapat pekerja -an membuat kanal dan gedung-gedung,yang seluruhnya dikerjakan buruh mi-gran asal Tiongkok. Penduduk Cinalainnya mendirikan percetakan danpembakaran batu bata dan genteng takjauh dari kota.

Seluruh biaya pembangunan puriditanggung Belanda, sedangkan bebanpembangunan benteng kota sepenuh-nya diserahkan ke orang Cina. Cara -nya, dengan membayar pajak dan bek-erja. Jika pembayaran pajak jauh lebihbesar, orang Cina dibebaskan daripekerjaan pembangunan.

Tidak hanya benteng kota, orangCina juga membayar pajak untuk pem-buatan gedung balai kota jauh lebihbanyak dari penduduk lainnya.

Semula, Coen didesak mendatang kanBurgher Belanda. Burgher adalah ke lom -pok etnis minoritas Eurasia yang berasaldari Sri Lanka. Mereka lahir da ri rahimwanita-wanita lo kal yang me ni kah den-gan orang-orang Eropa; keba nyak anPortugis, Belanda, Inggris, Jerman. Adapula Burgher Swedia dan Norwegia.

Informasi lain menyebutkan, Coenenggan mendatangkan banyak BurgherBelanda ke koloni barunya. ParaBurgher cenderung akan kembali ketempat asalnya setelah menjadi kayaraya. Mereka bukan pemukim.Kalaupun mereka menikah denganwanita lokal dan memiliki anak, kelakmereka akan pulang ke kampung hala-mannya dengan membawa keluarga.

Leonard Blusse mengatakan, Coen le -

bih menyukai orang Cina. Imigran Ci nalebih bisa diandalkan karena ter kenalsebagai pekerja yang rajin dan ulet, ser-ta pedagang yang cerdik. Lebih dari itu,orang Cina lebih mudah dikendalikan.

Bagaimana dengan lelaki Belanda,ter utama prajurit, yang kali pertamada tang dan bermukim. Heren XVII me -ngusulkan agar dikirim wanita-wa nitadari rumah-rumah yatim piatu. Dihara-pkan, kelak, mereka yang akan menjadiistri-istri lelaki Belanda di Ba tavia. Pe-jabat VOC di Batavia tidak setuju.

Heren XVII, dewan tertinggi VOC,tetap pada keputusannya. Mereka inginmenjadikan Batavia sebagai koloni Be-landa. Artinya, penduduk Belandaharus menjadi bagian terbesar, bukanCina atau etnis lainnya.

Kedatangan para wanita itu disam-but ratusan lelaki Belanda dipelabuhan. Mereka, para lelaki Belan-da itu, tak ubahnya serigala lapar yangsiap menerkam tatkala melihat wanita-wanita itu turun dari kapal. HerenXVII mengamati semua itu.

Sesuatu terjadi. Seorang wanitamuda yang bekerja di rumah Coendiperkosa seorang tentara. PejabatVOC segera mengambil keputusan.Heren XVII juga memperbaiki keputu-sannya dengan menginstruksikan paraserdadu Belanda menikahi penduduklokal.

Coen tidak melakukan segregasi et-nis dengan memisahkan pemukim Be-landa dan Cina di dalam kota. Ia lebihsuka semua etnis berbaur meski setiapkelompok etnis menjalankan sistemhukum masing-masing.

Coen tidak menggunakan cara yangdilakukan Spanyol saat membangunManila, Ibu Kota Filipina saat ini.Miguel Lopez de Legazpi membangunManila tidak ubahnya kota benteng (in-tramuros), tanpa orang asing di dalam-nya. Jelasnya, intramuros hanya dihunisekitar seribu orang Spanyol. Di seke-lilingnya adalah perkampungan orangCina yang disebut Parian.

Di Batavia, Coen juga membangunpuri—atau rumah benteng—tapi hanyasebagai markas besar tentara. Pe-mukim Belanda yang bukan tentaraberbaur dengan orang-orang Cina.Mereka hidup bertetangga dan salingberniaga.

Model yang dikembangkan Coenmungkin lebih menarik meski agakaneh. Setidaknya, VOC dapat denganmudah menarik pajak dan mengontrolperdagangan yang dilakukan orang-orang Cina agar tidak ada penyelewen-gan dalam setiap transaksi. Di Manila,segregasi menciptakan ketegangan an-tara penduduk Spanyol dan Cina sejakawal pembentukan kota itu.

Pembantaian TondoHanya 30 tahun setelah pembangun -

an Manila, politik segregasi Spanyolmem perlihatkan dampak buruknya. Pe -mukim di Parian terus membengkak, se -dangkan program kristenisasi terha dapSangley—demikian orang Spanyol me -nyebut orang Cina—tidak berjalan baik.

Saat itu, Sangley yang dikristenkanakan ditempatkan di Tondo dan Spany-ol mengangkat salah satu dari merekasebagai pemimpin. Namun, ketika Pari-an membengkak, sulit bagi misionarisKatolik menambah jumlah konvertis diTondo.

Tidak ada jaminan Sangley yangtelah memeluk Katolik akan taat kepa-da kolonialis Spanyol. Ini terlihat keti-ka pemukim Parian yang beragamaKatolik menolak permintaan Spanyoluntuk memasuki kota, sedangkan diTondo, saat keadaan mulai memanas,Juan Bautista de Vera—Sangley yangtelah menjadi Katolik dan diangkat se-bagai pemimpin permukiman itu—mempersiapkan perang.

Spanyol juga tidak benar-benarmempercayai Sangley yang telah men-jadi Katolik. Ketika De Vera melapor -kan situasi yang sedang terjadi di Pari-an dan Tondo, gubernur jenderal Spa -nyol saat itu menjebloskannya ke pen-jara. Pedro de Acuña, gubernur jender-al Spanyol saat itu, yakin De Vera ber -sekongkol dengan para pemberontak.

Secara militer, tindakan Acuna samasekali tidak keliru. Di sisi lain, ketikaDe Vera tak kembali, orang Cina mulaimeragukan kesetiaan Sangley Katolik.Mereka akhirnya membunuh Juan Un-tae—anak baptis De Vera yang sempatditunjuk sebagai pemimpin di Tondo—untuk meminimalisasi kemungkinanterjadinya pengkhianatan.

Sangley Katolik menjadi serbasalah. Mereka dianggap pengkhianatoleh Spanyol dan Cina, serta menjadisasaran pembantaian kedua kubu yangbertikai. Spanyol meminta bantuan ko-rps pasukan Jepang. Cina hampir tanpasekutu. Mereka menang jumlah, tapiminim persenjataan.

Mulai 8 sampai 20 Oktober 1603,Spanyol—dengan bantuan penduduksetempat dan Jepang—memburuorang-orang Cina yang lari ke pedala-man Luzon. Mereka membunuh semuaorang Cina yang ditemui. Yang selamatdari pembantaian akan mati kelaparandi dalam hutan, sedangkan De Vera di-hukum mati.

Sejumlah sumber menyebutkan, 20ribu orang tewas dalam peristiwa ini.Lainnya memperkirakan, jumlah yangtewas mencapai 25 ribu. Sumber-sum-ber Cina menyebutkan, korban tewas

di Gunung Tallun, pertahanan terakhirSangley, mencapai 10 ribu. Ribuanlainnya, terutama yang lari ke lembah,mati kelaparan.

Saat peristiwa ini berlangsung, Di-nasti Ming sedang menikmati pemerin-tahan stabil. Anehnya, tidak ada re-spons diplomatik apa pun. Bahkan, ku-rang enam bulan setelah peristiwa itu,13 kapal besar Cina tiba di Manila dankembali berdagang.

Spanyol melakukannya lagi tahun1639, 1662, 1686, 1762, dan 1819. Na-mun, dibanding peristiwa 1603, limaperistiwa berikutnya dipicu perasaaniri terhadap kemakmuran yang dicip-takan masyarakat Cina lewat perda-gangan. Pemicu lainnya adalahkekhawatiran masyarakat Cina akanmenggusur minoritas Spanyol yangberkuasa.

Kemesraan yang janggalDi Batavia, kemesraan yang janggal

antara Belanda dan Cina berlangsungselama lebih 120 tahun. Selama periodeitu, petinggi-petinggi VOC seolah ber -bagi kemakmuran secara adil. Orang-orang Cina menikmati kebebasan ber -dagang, pejabat VOC menarik berbagaipajak dari pemukim Tionghoa.

Politik nonsegregasi tidak memperli-hatkan dampak buruknya selama lebihsatu abad, sampai akhirnya terjadi pe -misahan penduduk secara alami yangdiakibatkan oleh booming gula danpem bukaan lahan perkebunan tebu diluar kota. Penyebab lain segregasi alamiadalah banjir pendatang baru dari Cina.

Belanda memukimkan pekerja dikawasan perkebunan. Seiring banyak -nya pembukaan lahan baru, kian ba -nyak pula buruh Cina yang harus di -mukimkan sedemikian jauh dari kota.Akibatnya, kekuasaan VOC tak mampumenjangkau mereka. Di sisi lain, paraburuh amat bergantung pada kegiatanbisnis gula di Batavia yang berfluktuasi.

Buruh, perlahan tapi pasti, menjadikaum proletar, mereka yang hanya pu -nya anak cucu kurang makan. Di sisilain, para penguasa VOC dan majikanTionghoa mereka di dalam kota masihmenikmati kemakmuran dan rasa aman.

Tidak ada jalan lain bagi para buruhselain memberontak dan berupaya me -ng ambil kemakmuran yang dinikmatimasyarakat di dalam benteng. Peristi-wa Oktober 1740 pun terjadi.

VOC, dengan keunggulan senjatadan kekuatan dana untuk membeliprajurit bayaran, berupaya memperta-hankan kota. Situasi menjadi pelikketika mereka dihadapkan pada keny-ataan bahwa di dalam kota terdapat5.000 lebih penduduk Cina.

Tidak ada jaminan penduduk di

dalam kota, yang relatif masih beradadi bawah kendali Kapten Nie HoeKong dan enam letnannya, tidak mem-bokong dari belakang saat prajuritVOC menahan gempuran pasukan bu-ruh di luar benteng. Menariknya lagi,VOC tahu serangan ke kastil Bataviadiorganisasi di salah satu perkebunanmilik Nie Hoe Kong.

Fakta lain, sebelum penyerbuan,pemimpin pemberontak di Omme-landen—kawasan selatan Batavia—mengirim surat ke Pemerintah VOC.Isinya, mereka yakin penduduk Cina didalam kota akan membantu upayamereka menduduki kota.

VOC tampaknya tidak inginmengambil risiko dibokong dari be-lakang. Ketika serangan malam 8 Ok-tober mereda, mereka berbalik mem-bantai penduduk Cina di dalam kota.Nie Hoe Kong meloloskan diri dengansejumlah pendekar kungfu. Pembanta-ian menjadi tidak terkendali danberlangsung sampai keesokan hari.Setidaknya sampai 99 persen pen-duduk Cina terbunuh.

Asumsi VOC bahwa merekakhawatir dibokong dari belakangternyata berlebihan sebab saat itu,tidak ada penduduk Cina—saat seran-gan berlangsung—mempersenjatai diri,apalagi mengorganisasi diri untukmelakukan perlawanan dari dalam.

Yang menarik adalah setelahkerusuhan mereda, VOC menerapkanpolitik segregasi etnis. Orang Cinadikeluarkan dari kota dan dimukimkandi sekitar Glodok. VOC, belakanganPemerintah Hindia-Belandamelakukan hal serupa, tetap mengis-timewakan Cina dibanding etnis lain.

Politik segregasi ini bertahan sampai150 tahun. Tidak hanya itu, segregasime mungkinkan tidak terjadinya kolab-orasi antaretnis yang bisa mengancamkelangsungan kekuasaan Belanda diBatavia.

Di Manila, politik segregasi hilangdengan sendirinya ketika terbentukmasyarakat campuran, Spanyol danCina (mestizo de sangley), yang mantapbeberapa tahun setelah Kerusuhan1819. Bersamaan dengan itu, kris-tenisasi di kalangan etnis Cina diManila relatif sukses.

Batavia dan Manila adalah cerminankota metropolitan yang dibangun kolo-nial dengan perjalanan sejarahnyayang berlumur darah. Kedua kota inidibangun oleh visi kolonial yang berbe-da; Spanyol yang datang dengan se-mangat gold, glory, and gospel, danVOC yang sekadar ingin berdagang,membanjiri pasar Eropa dengan pro-duk tertentu dan menciptakan kemak-muran bagi setiap individu. ■

& Di Manila, politik segregasi berujung pada pem-bantaian berulang-ulang. Di Batavia, pembantaian1740 membuat VOC merasa perlu menerapkanpolitik segregasi.

FOTO-FOTO CINAHISTORYFORUM.COM