Teori Keterlibatan Kerja Lengkap
-
Upload
gatra-dyah-christianti -
Category
Documents
-
view
70 -
download
2
description
Transcript of Teori Keterlibatan Kerja Lengkap
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KETERLIBATAN KERJA
1. Definisi Keterlibatan Kerja
Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003) mendefinisikan keterlibatan kerja
sebagai internalisasi nilai-nilai tentang kebaikan pekerjaan atau pentingnya
pekerjaan bagi keberhargaan seseorang. Keterlibatan kerja sebagai tingkat sampai
sejauh mana performansi kerja seseorang mempengaruhi harga dirinya dan tingkat
sampai sejauh mana seseorang secara psikologis mengidentifikasikan diri
terhadap pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan dalam gambaran diri totalnya.
Individu yang memiliki keterlibatan yang tinggi lebih mengidentifikasikan dirinya
pada pekerjaannya dan menganggap pekerjaan sebagai hal yang sangat penting
dalam kehidupannya.
Rabinowitz dan Hall (dalam Kanungo, 1982) mendefinisikan keterlibatan
keja ke dalam dua kategori. Pertama, keterlibatan kerja dipandang sebagai suatu
“performance self-esteem contingency,” dimana menurut definisi ini, keterlibatan
kerja adalah tingkat sampai sejauh mana harga diri (self-esteem) individu
dipengaruhi oleh tingkat performansinya ketika bekerja. Sehingga, keterlibatan
kerja yang lebih rendah atau yang lebih tinggi menunjukkan harga diri yang lebih
rendah atau yang lebih tinggi yang diperoleh ketika bekerja. Kedua, keterlibatan
kerja sebagai suatu identifikasi psikologis dengan pekerjaan seseorang. Menurut
Lawler dan Hall (dalam Kanungo, 1982), keterlibatan kerja merujuk pada
11
Universitas Sumatera Utara
identifikasi psikologis dengan pekerjaan seseorang atau tingkat dimana situasi
kerja merupakan pusat dari identitasnya.
Brown (dalam Muchinsky, 2003) mengatakan bahwa keterlibatan kerja
merujuk pada tingkat dimana seseorang secara psikologis memihak kepada
organisasinya dan pentingnya pekerjaan bagi gambaran dirinya. Ia menegaskan
bahwa seseorang yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi dapat terstimulasi
oleh pekerjaannya dan tenggelam dalam pekerjaannya.
Robbins (2001) menambahkan bahwa karyawan yang memiliki tingkat
keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan bidang
pekerjaan yang mereka lakukan. Seseorang yang memiliki keterlibatan kerja yang
tinggi akan melebur dalam pekerjaan yang sedang ia lakukan. Tingkat keterlibatan
kerja yang tinggi berhubungan dengan organizational citizenship behavior dan
performansi kerja. Sebagai tambahan, tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dapat
menurunkan jumlah ketidakhadiran karyawan (Robbins, 2009).
Hiriyappa (2009) mendefinisikan keterlibatan kerja sebagai tingkat sampai
sejauh mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan pekerjaannya, secara
aktif berpartisipasi di dalamnya, dan menganggap performansi yang dilakukannya
penting untuk keberhargaan dirinya. Tingkat keterlibatan kerja yang tinggi akan
menurunkan tingkat ketidakhadiran dan pengunduran diri karyawan dalam suatu
organisasi. Sedangkan tingkat keterlibatan kerja yang rendah akan meningkatkan
ketidakhadiran dan angka pengunduran diri yang lebih tinggi dalam suatu
organisasi.
12
Universitas Sumatera Utara
Saleh dan Hosek (dalam Kanungo, 1982) mengatakan bahwa orang-orang
akan terlibat dengan pekerjaannya; 1) ketika baginya pekerjaan adalah pusat
hidupnya, 2) ketika ia secara aktif berpartisipasi dalam pekerjaannya, 3) ketika ia
mempersepsikan performansi yang ia tunjukkan sebagai pusat dari harga dirinya,
dan 4) ketika ia mempersepsikan bahwa performansinya konsisten dengan konsep
dirinya.
Patchen (dalam Srivastava, 2005) menyatakan bahwa seseorang yang
memiliki keterlibatan kerja yang tinggi akan menunjukkan perasaan solidaritas
yang tinggi terhadap perusahaan dan mempunyai motivasi kerja internal yang
tinggi. Individu akan memiliki keterlibatan kerja yang rendah jika ia memiliki
motivasi kerja yang rendah dan merasa menyesal dengan pekerjaannya. Artinya,
individu yang memiliki keterlibatan kerja yang rendah adalah individu yang
memandang pekerjaan sebagai bagian yang tidak penting dalam hidupnya,
memiliki rasa kurang bangga terhadap perusahaan, dan kurang berpartisipasi dan
kurang puas dengan pekerjaannya.
Berdasarkan dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa
keterlibatan kerja merupakan komitmen seorang karyawan terhadap pekerjaannya
yang ditandai dengan karyawan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap
pekerjaan, adanya perasaan terikat secara psikologis terhadap pekerjaan yang ia
lakukan, dan keyakinan yang kuat terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan
pekerjaan.
13
Universitas Sumatera Utara
2. Karakteristik Keterlibatan Kerja
Ada beberapa karakteristik dari karyawan yang memiliki keterlibatan kerja
yang tinggi dan yang rendah, antara lain:
a. Karakteristik karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi:
1) Menghabiskan waktu untuk bekerja
2) Memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pekerjaan dan perusahaan
3) Puas dengan pekerjaannya
4) Memiliki komitmen yang tinggi terhadap karier, profesi, dan organisasi
5) Memberikan usaha-usaha yang terbaik untuk perusahaan
6) Tingkat absen dan intensi turnover rendah
7) Memiliki motivasi yang tinggi
b. Karakteristik karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang rendah:
1) Tidak mau berusaha keras untuk kemajuan perusahaan
2) Tidak peduli dengan pekerjaan maupun perusahaan
3) Tidak puas dengan pekerjaan
4) Tidak memiliki komitmen terhadap pekerjaan maupun perusahaan
5) Tingkat absen dan intensi turnover tinggi
6) Memiliki motivasi kerja yang rendah
7) Tingkat pengunduran diri yang tinggi
8) Merasa kurang bangga dengan pekerjaan dan perusahaan
14
Universitas Sumatera Utara
3. Dimensi Keterlibatan Kerja
Menurut Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003), keterlibatan kerja
memiliki dua dimensi, yaitu:
a. Performance self-esteem contingency
Keterlibatan kerja merefleksikan tingkat dimana rasa harga diri seseorang
dipengaruhi oleh performansi kerjanya. Aspek ini mencakup tentang seberapa
jauh hasil kerja seorang karyawan (performance) dapat mempengaruhi harga
dirinya (self-esteem). Vroom (dalam Kanungo, 1982) mengatakan bahwa
keterlibatan kerja muncul ketika performansi yang baik meningkatkan harga
diri seseorang. Harga diri didefinisikan sebagai suatu indikasi dari tingkat
dimana individu mempercayai dirinya mampu, cukup, dan berharga (Harris &
Hartman, 2002).
b. Pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri total individu
Dimensi ini merujuk pada tingkat sejauh mana seseorang mengidentifikasikan
dirinya secara psikologis pada pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan bagi
gambaran diri totalnya (Lodahl & Kejner dalam Kanungo, 1982). Dubin
(dalam Kanungo, 1982) mengatakan bahwa orang yang memiliki keterlibatan
kerja adalah orang yang menganggap pekerjaan sebagai bagian yang paling
penting dalam hidupnya. Ini berarti bahwa dengan bekerja, ia dapat
mengekspresikan diri dan menganggap bahwa pekerjaan merupakan aktivitas
yang menjadi pusat kehidupannya. Karyawan yang memiliki tingkat
keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan
bidang pekerjaan yang mereka lakukan (Robbins, 2009).
15
Universitas Sumatera Utara
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan Kerja
Keterlibatan kerja dapat dipengaruhi oleh dua variabel, yaitu variabel
personal dan variabel situasional (Kanungo, 1982).
a. Variabel personal
Variabel personal yang dapat mempengaruhi keterlibatan kerja meliputi
variabel demografi dan psikologis. Variabel demografi mencakup usia,
pendidikan, jenis kelamin, status pernikahan, jabatan, dan senioritas.
Cherrington (dalam Kanungo, 1982) mengatakan bahwa karyawan yang
usianya lebih tua cenderung untuk memiliki keterlibatan kerja lebih tinggi
dibandingkan dengan karyawan yang umurnya lebih muda. Moynihan dan Pandey
(2007) juga menemukan bahwa usia memiliki hubungan yang positif dan
signifikan dengan keterlibatan kerja, dimana karyawan yang usianya lebih tua
cenderung lebih puas dan terlibat dengan pekerjaan mereka, sedangkan karyawan
yang usianya lebih muda kurang tertarik dan puas dengan pekerjaan mereka.
Siegal dan Ruh (dalam Kanungo, 1982) menemukan bahwa karyawan dengan
tingkat pendidikan yang lebih tinggi menunjukkan keterlibatan kerja yang lebih
tinggi dibandingkan dengan karyawan dengan tingkat pendidikan yang lebih
rendah. Selanjutnya, pria menunjukkan keterlibatan kerja yang lebih tinggi
dibandingkan wanita.
Hickling (2001) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk mengukur
pengaruh variabel demografi dan status karyawan (part-time atau full-time)
menemukan bahwa variabel demografi dan status karyawan memiliki hubungan
dengan keterlibatan kerja. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa karyawan
16
Universitas Sumatera Utara
full-time dan part-time berbeda dalam karakteristik demografi, dimana wanita
memiliki tingkat absen yang lebih tinggi daripada pria, yang mengindikasikan
bahwa wanita memiliki keterlibatan kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan
pria. ia juga menemukan bahwa karyawan yang bekerja full-time lebih terlibat
dalam pekerjaannya dibandingkan dengan karyawan yang bekerja part-time.
Westhuizen (2008) dalam penelitiannya menambahkan bahwa variabel-variabel
demografi lainnya seperti gaji memiliki hubungan dengan keterlibatan kerja.
Sedangkan variabel psikologis mencakup intrinsic/extrinsic need strength,
nilai-nilai kerja, locus of control, kepuasan terhadap karakteristik/hasil kerja,
usaha kerja, performansi kerja, absensi, dan intensi turnover.
Yaktiningsih (1994) dalam studinya mengenai makna bekerja dan
hubungan antara makna bekerja dengan keterlibatan kerja pada karyawan
perusahaan industri, konstruksi, dan manufaktur milik negara di lini manajerial
dan lini nonmanajerial menemukan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari
makna bekerja dengan keterlibatan kerja seseorang.
Bazionelos (2004) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara trait
kepribadian dengan keterlibatan kerja pada manajer menemukan bahwa ada
hubungan antara trait kepribadian dengan keterlibatan kerja ditinjau dari teori 5
Faktor, dimana tipe kepribadian extraversion, openness, agreeableness
berhubungan dengan keterlibatan kerja. Ia menemukan bahwa manajer yang
memiliki karakteristik aggreableness yang rendah menunjukkan keterlibatan kerja
yang tinggi. Selain itu, ia juga menemukan bahwa ada hubungan yang negatif
antara extraversion dan openness dengan keterlibatan kerja.
17
Universitas Sumatera Utara
b. Variabel situasional
Variabel situasional yang dapat mempengaruhi keterlibatan kerja
mencakup pekerjaan, organisasi, dan lingkungan sosial budaya. Variabel
pekerjaan mencakup karakteristik/hasil kerja, variasi, otonomi, identitas tugas,
feedback, level pekerjaan (status formal dalam organisasi), level gaji, kondisi
pekerjaan (work condition), job security, supervisi, dan iklim interpersonal. Mehta
(dalam Srivastava, 2005) mengatakan bahwa faktor-faktor seperti otonomi,
hubungan pertemanan, perilaku pengawas, kepercayaan, dan dukungan menuntun
pada keterlibatan kerja yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas.
Dollah (1994) dalam penelitiannya mengenai keterlibatan kerja pegawai
sektor awam menemukan bahwa karakteristik pekerjaan dapat mempengaruhi
keterlibatan kerja seseorang, dimana pekerjaan yang memberikan otonomi bagi
karyawannya dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut akan meningkatkan
keterlibatan kerja pegawai.
Dollah (1994) juga menemukan bahwa persepsi terhadap penyelia
memiliki hubungan yang positif dengan keterlibatan kerja, dimana semakin positif
persepsinya terhadap penyelia, semakin tinggi keterlibatan kerjanya. Irawan
(2010) dalam penelitiannya tentang hubungan antara gaya kepemimpinan
demokratis dengan keterlibatan kerja juga menemukan bahwa ada hubungan
positif yang signifikan antara gaya kepemimpinan demokratis dengan keterlibatan
kerja. Artinya, apabila persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan
demokratis positif, maka keterlibatan kerja karyawan tinggi.
18
Universitas Sumatera Utara
Variabel organisasi mencakup iklim organisasi (partisipatif/mekanistik),
ukuran organisasi (besar/kecil), struktur organisasi (tall/flat), dan sistem kontrol
organisasi (jelas/tidak jelas).
Karia dan Asaari (2003) mengatakan bahwa praktek continuous
improvement dan pencegahan terhadap masalah secara signifikan berkorelasi
positif dengan keterlibatan kerja, kepuasan kerja, kepuasan karier, dan komitmen
organisasi.
Hao, Jung, dan Yenhui (2009) dalam penelitiannya mengenai faktor-faktor
penting dari keterlibatan kerja personil layanan finansial menemukan bahwa
dukungan sosial dan hubungan teman sebaya memiliki hubungan langsung yang
signifikan dengan keterlibatan kerja. Mishra dan Shyam (2005) dalam
penelitiannya mengenai hubungan antara tipe-tipe dukungan sosial dengan
keterlibatan kerja pada sipir penjara juga menemukan bahwa ketiga tipe dukungan
sosial yang diukur (appraisal, tangible, dan belonging support) berhubungan
positif dengan keterlibatan kerja.
Variabel lingkungan sosial budaya mencakup ukuran komunitas,
rural/urban, budaya etnis, dan agama.
Kaur dan Chadha (dalam Srivastava, 2005) menemukan bahwa bagi
pekerja white-collar, stres yang tinggi menuntun pada keterlibatan kerja yang
rendah, sedangkan bagi pekerja blue-collar, stres yang tinggi menuntun pada
keterlibatan kerja yang tinggi.
19
Universitas Sumatera Utara
Dollah (1994) menemukan bahwa konflik peran berpengaruh terhadap
keterlibatan kerja, dimana semakin tinggi konflik peran semakin tinggi pula
keterlibatan kerjanya.
Ada beberapa penelitian lainnya yang dilakukan mengenai keterlibatan
kerja. Penelitian mengenai kepuasan kerja dan keterlibatan kerja menunjukkan
hubungan positif antara keduanya. Makvana (2008) menemukan bahwa karyawan
yang memiliki tingkat keterlibatan kerja yang tinggi menunjukkan tingkat
kepuasan kerja yang tinggi. Brown (dalam Mantler & Murphy, 2005) juga
menambahkan bahwa orang-orang dengan keterlibatan kerja yang tinggi
cenderung puas dengan pekerjaannya dan memiliki komitmen yang tinggi
terhadap karier, profesi, dan organisasi mereka.
Menurut Brown (1996), keterlibatan kerja dapat lebih dipengaruhi oleh
faktor personal (etika kerja, motivasi internal, dan harga diri) daripada faktor
situasional (kepuasan gaji, supervisor, promosi, dan kepuasan terhadap rekan
kerja). Ia juga mengatakan bahwa terdapat perbedaan faktor-faktor yang
mempengaruhi keterlibatan kerja karyawan yang bekerja di organisasi swasta dan
negeri, dimana karyawan yang bekerja di perusahaan swasta lebih sensitif
terhadap karakteristik pekerjaan dan situasional yang memfasilitasi performansi
mereka, dengan kata lain bahwa keterlibatan mereka lebih dipengaruhi oleh faktor
situasional dibandingkan dengan karyawan yang bekerja di organisasi negeri.
20
Universitas Sumatera Utara
B. QUALITY OF WORK LIFE
1. Definisi Quality of Work Life
Quality of work life merujuk pada seberapa efektif lingkungan kerja dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai personal dari karyawan (Kossen,
1987). Walton (dalam Walker, 1980) mengatakan bahwa quality of work life
mencakup seberapa efektif lingkungan kerja mampu memenuhi kebutuhan-
kebutuhan dan nilai-nilai personal karyawan ketika ia bekerja, yaitu tingkat
dimana anggota dari suatu organisasi kerja mampu untuk memuaskan kebutuhan
personal mereka yang penting melalui pengalaman mereka dalam suatu
organisasi.
Quality of work life karyawan merupakan salah satu tujuan penting dalam
memenuhi kebutuhan dan keinginan pegawai (Cascio, 1986). Cascio (1986)
mengatakan bahwa quality of work life dapat didefinisikan sebagai persepsi
karyawan tentang kesejahteraan mental dan fisiknya ketika bekerja. Ada dua
pandangan mengenai maksud dari quality of work life. Pertama, quality of work
life adalah sejumlah keadaan dan praktek dari organisasi (contoh: pengayaan
penyelia yang demokratis, keterlibatan pekerja, dan kondisi kerja yang aman).
Sementara yang kedua, quality of work life adalah persepsi karyawan bahwa
mereka ingin rasa aman, mereka merasa puas, dan mendapatkan kesempatan
untuk tumbuh dan berkembang sebagai layaknya manusia (Cascio, 1986).
Berdasarkan defenisi yang telah diuraikan diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa quality of work life adalah persepsi seorang karyawan mengenai
kesejahteraan, suasana dan pengalamannya di tempat kerja, yang ditandai dengan
21
Universitas Sumatera Utara
kemampuan lingkungan kerja dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadinya
di tempat kerja.
2. Komponen Quality Of Work Life
Menurut Walton (dalam Kossen, 1987), quality of work life memiliki 8
kategori, antara lain:
a. Kompensasi yang mencukupi dan adil
Mencakup apakah gaji karyawan cukup untuk mempertahankan standard
kehidupannya dan apakah gaji yang diterimanya sebanding dengan jumlah
gaji karyawan lain yang memiliki jabatan yang sama.
b. Kondisi kerja yang aman dan sehat
Mencakup apakah lingkungan kerja bebas dari bahaya yang dapat melukai dan
membuat karyawan menjadi sakit.
c. Kesempatan untuk berkembang dan menggunakan kapasitas manusia
Mencakup bagaimana pekerjaan berhubungan dengan harga diri karyawan,
apakah pekerjaan mengizinkan karyawan untuk menggunakan dan
mengembangkan kemampuan dan pengetahuannya, dan apakah karyawan
merasa terlibat dan tertantang oleh pekerjaannya.
d. Kesempatan untuk pertumbuhan berkelanjutan dan rasa aman
Mencakup apakah ada kesempatan untuk promosi atau kenaikan pangkat, atau
apakah pekerjaan dipandang sebagai suatu jalan buntu, dan apakah pekerjaan
menyediakan rasa aman pada karyawan dan pendapatannya.
22
Universitas Sumatera Utara
e. Perasaan memiliki (sense of belonging)
Mencakup apakah karyawan merasa sebagai bagian dari kelompok atau
terisolasi dari kelompok, apakah rekan kerja saling bersifat suportif atau
sedang berada dalam situasi konflik berkepanjangan, dan apakah lingkungan
kerja bebas dari prasangka yang merusak (destruktif).
f. Hak-hak karyawan
Mencakup apa hak-hak yang karyawan miliki, apa saja standard dari privasi
personal, sikap terhadap ketidaksepakatan, persamaan dalam pemberian
reward, dan akses terhadap prosedur keluhan.
g. Pekerjaan dan ruang hidup total
Mencakup bagaimana pekerjaan mempengaruhi peran karyawan dalam
kehidupan personalnya, dan apakah tuntutan lembur, dinas keluar kota, dan
pemindahan tugas dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan.
h. Tanggung jawab sosial dalam kehidupan kerja
Mencakup apakah karyawan memandang bahwa organisasi bertanggung
jawab secara sosial, apakah organisasi menghasilkan produk atau layanan
yang berkontribusi pada rasa harga diri atau kebanggaan karyawan, apakah
karyawan terlibat dalam aktivitas yang tidak etis, dan apa-apa saja praktek
kerja organisasi.
23
Universitas Sumatera Utara
C. HUBUNGAN ANTARA QUALITY OF WORK LIFE DENGAN
KETERLIBATAN KERJA
Berhasil tidaknya suatu perusahaan menghadapi persaingan yang ketat
sangat ditentukan oleh sumber daya manusia yang ada di dalamnya (Kreitner &
Kinicki, 2003). Oleh karena itu, sumber daya manusia harus dikelola dengan baik
untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi (Hariandja, 2009). Salah
satu aspek perilaku manusia dalam bekerja yang diketahui dapat menentukan
efektivitas organisasi dan produktivitas dalam organisasi atau perusahaan adalah
keterlibatan kerja (Brown, 1996).
Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003) mendefinisikan keterlibatan kerja
sebagai internalisasi nilai-nilai tentang kebaikan pekerjaan atau pentingnya
pekerjaan bagi keberhargaan seseorang. Keterlibatan kerja sebagai tingkat sejauh
mana performansi kerja seseorang mempengaruhi harga dirinya dan tingkat sejauh
mana seseorang secara psikologis mengidentifikasikan diri terhadap pekerjaannya
atau pentingnya pekerjaan dalam gambaran diri totalnya. Robbins (2001)
menambahkan bahwa keterlibatan kerja mengukur tingkat sejauh mana individu
secara psikologis memihak pekerjaan mereka dan menganggap penting tingkat
kinerja yang dicapai sebagai bentuk penghargaan diri. Karyawan yang memiliki
tingkat keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan
bidang pekerjaan yang mereka lakukan.
Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003) mengatakan bahwa individu yang
memiliki keterlibatan kerja yang tinggi adalah orang yang memandang pekerjaan
sebagai bagian yang sangat penting dalam kehidupannya dan orang yang sangat
24
Universitas Sumatera Utara
dipengaruhi secara personal oleh situasi kerjanya. Patchen (dalam Srivastava,
2005) menambahkan bahwa seseorang yang memiliki keterlibatan kerja yang
tinggi akan menunjukkan perasaan solidaritas yang tinggi terhadap perusahaan
dan mempunyai motivasi kerja internal yang tinggi.
Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003) mengatakan bahwa individu
dengan keterlibatan kerja yang rendah tidak memandang pekerjaan sebagai bagian
yang penting dalam kehidupan psikologisnya. Minatnya tidak terletak pada
pekerjaan yang ia miliki dan ia juga tidak terpengaruh oleh jenis pekerjaan apa
yang sedang ia lakukan ataupun seberapa baik ia melakukan pekerjaan tersebut.
Patchen (dalam Srivastava, 2005) menambahkan bahwa seseorang yang
keterlibatan kerjanya rendah memiliki motivasi kerja yang rendah, dan merasa
menyesal dengan pekerjaannya. Artinya, individu dengan keterlibatan kerja yang
rendah adalah individu yang memandang pekerjaan sebagai bagian yang tidak
penting dalam hidupnya, merasa kurang bangga dengan perusahaannya, kurang
berpartisipasi dan kurang puas dengan pekerjaannya. Selanjutnya, Patchen (dalam
Srivastava, 2005) mengatakan bahwa keterlibatan kerja yang rendah akan
berhubungan negatif dengan kondisi yang negatif individu sebagai karyawan,
yaitu rendahnya semangat kerja, prestasi kerja, kuantitas dan kualitas kerja, serta
bertambahnya tingkat absensi dan turnover.
Keterlibatan kerja dipengaruhi oleh dua faktor, salah satunya adalah faktor
situasional yang terdiri dari faktor pekerjaan, organisasi, dan lingkungan sosial
budaya. Seperti yang telah dikemukan sebelumnya bahwa beberapa hasil
penelitian yang dilakukan mengenai keterlibatan kerja ditemukan bahwa
25
Universitas Sumatera Utara
keterlibatan kerja dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti status karyawan,
gaji, dukungan organisasi, continuous improvement, persepsi terhadap penyelia,
dan karakteristik pekerjaan. Faktor-faktor tersebut merupakan aspek-aspek yang
membentuk quality of work life seorang karyawan (Kossen, 1987).
Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya bahwa salah satu usaha yang
dilakukan oleh pihak perusahaan dalam meningkatkan keterlibatan kerja
karyawannya adalah melalui quality of work life.
Schuler (1987) mengatakan bahwa quality of work life bertujuan untuk
menghasilkan keterlibatan kerja yang lebih baik pada karyawan. Dubin (dalam
Kondalkar, 2009) menekankan bahwa keterlibatan kerja individu ketika bekerja
merupakan petunjuk yang baik dari quality of work life yang dialami di tempat
kerja. Winardi (2001) menambahkan bahwa kualitas kehidupan kerja (quality of
work life) seorang individu telah dikaitkan dengan banyak macam perilaku di
tempat kerja. Perbaikan-perbaikan dalam kualitas kehidupan kerja dapat
menyebabkan timbulnya perasaan yang lebih positif terhadap diri sendiri
(penghargaan diri meningkat), terhadap pekerjaan yang dilaksanakan
(meningkatnya kepuasan kerja dan keterlibatan), dan terhadap organisasi
(komitmen lebih kuat terhadap tujuan-tujuan organisasi). Kossen (1987) juga
menambahkan bahwa quality of work life mencakup seberapa efektif lingkungan
kerja mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai personal karyawan
ketika ia bekerja.
Quality of work life dapat dilihat melalui pengalaman-pengalaman
karyawan di dalam organisasi berdasarkan faktor-faktor pembentuknya. Faktor-
26
Universitas Sumatera Utara
faktor pembentuk tersebut mencakup kompensasi yang mencukupi dan adil,
kondisi kerja yang aman dan sehat, kesempatan untuk berkembang dan
menggunakan kapasitas manusia, kesempatan untuk pertumbuhan berkelanjutan
dan rasa aman, perasaan memiliki, hak-hak karyawan, pekerjaan dan ruang hidup
total, dan tanggung jawab sosial dalam kehidupan kerja (Walton dalam Kossen,
1987).
Dari beberapa penelitian yang dilakukan terhadap quality of work life
ditemukan bahwa meningkatnya quality of work life memiliki dampak yang
positif terhadap meningkatnya performansi dan efektivitas suatu organisasi, dan
terhadap perilaku karyawan ketika bekerja. Jadi melalui persepsinya, individu
akan melihat jika quality of work life baik dan cenderung dapat memenuhi
kebutuhan dan kesejahteraannya ketika bekerja maka ia akan meningkatkan
keterlibatannya dalam pekerjaannya. Individu akan melarutkan dirinya pada
pekerjaannya dan umpan balik dari perilaku kerjanya akan menimbulkan suatu
kepercayaan bahwa pekerjaan adalah bagian terpenting dan utama bagi dirinya.
D. HIPOTESIS PENELITIAN
Adapun hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah ada
hubungan yang positif antara quality of work life dengan keterlibatan kerja.
Artinya, semakin tinggi tingkat quality of work life maka semakin tinggi pula
keterlibatan kerja seorang karyawan. Sebaliknya, semakin rendah tingkat quality
of work life, maka semakin rendah pula tingkat keterlibatan kerja.
27
Universitas Sumatera Utara
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian sangat menentukan suatu penelitian karena menyangkut
cara yang benar dalam mengumpulkan data, analisa data, dan pengambilan
kesimpulan penelitian serta dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat
dipertanggungjawabkan hasilnya (Hadi, 2000).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional.
Tujuan metode penelitian korelasional adalah untuk menyelidiki sejauh mana
variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel
lain berdasarkan koefisien korelasi (Azwar, 2007).
A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang melibatkan dua
variabel penelitian yaitu variabel bebas dan variabel tergantung. Yang menjadi
variabel bebas maupun variabel tergantung adalah:
Variabel tergantung : keterlibatan kerja
Variabel bebas : quality of work life
B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN
1. Keterlibatan Kerja
Keterlibatan kerja adalah komitmen seorang karyawan terhadap
pekerjaannya yang ditandai dengan karyawan memiliki kepedulian yang tinggi
28
Universitas Sumatera Utara
terhadap pekerjaan, adanya perasaan terikat secara psikologis terhadap pekerjaan
yang ia lakukan, dan keyakinan yang kuat terhadap kemampuannya dalam
menyelesaikan pekerjaan. Alat ukur keterlibatan kerja dikembangkan berdasarkan
dimensi-dimensi dari keterlibatan kerja menurut Lodahl dan Kejner (dalam Cohen,
2003), yaitu performance self-esteem contingency dan pentingnya pekerjaan bagi
gambaran diri total individu.
Tingkat keterlibatan kerja dapat dilihat skor rata-rata yang diperoleh
subjek dalam memberikan respon pada setiap aitem dari alat ukur keterlibatan
kerja. Semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi pula tingkat
keterlibatan kerja subjek. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh, maka
semakin rendah pula keterlibatan kerja subjek.
2. Quality of Work Life
Quality of work life adalah persepsi seorang pegawai mengenai
kesejahteraan, suasana dan pengalamannya di tempat kerja, yang ditandai dengan
kemampuan lingkungan kerja dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadinya
di tempat kerja.
Alat ukur quality of work life dikembangkan berdasarkan komponen-
komponen dari quality of work life yang mencakup kompensasi yang mencukupi
dan adil, kondisi kerja yang aman dan sehat, kesempatan untuk berkembang dan
menggunakan kapasitas manusia, kesempatan untuk pertumbuhan berkelanjutan
dan rasa aman, perasaan memiliki, hak-hak karyawan, pekerjaan dan ruang hidup
29
Universitas Sumatera Utara
total, dan tanggung jawab sosial dalam kehidupan kerja (Walton dalam Kossen,
1987).
Tingkat quality of work life dapat dilihat dari skor rata-rata yang diperoleh
subjek dalam alat ukur quality of work life. Semakin tinggi skor, maka semakin
tinggi tingkat quality of work life. Sebaliknya, semakin rendah skor, semakin
rendah pula tingkat quality of work life subjek tersebut.
C. POPULASI, SAMPEL DAN TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL
1. Populasi Penelitian
Populasi adalah seluruh objek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi
adalah objek, gejala atau kejadian yang diselidiki terdiri dari semua individu
untuk siapa kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari sampel penelitian itu akan
digeneralisasikan (Hadi, 2000). Populasi dalam penelitian ini adalah semua
pegawai yang bekerja di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Medan Polonia
yang berjumlah 91 orang. Adapun yang menjadi karakteristik dalam populasi ini
adalah pegawai tetap, semua jabatan, dan telah bekerja setidaknya selama 2 tahun
dengan asumsi bahwa pegawai telah cukup memahami aturan-aturan dan nilai-
nilai yang ada dalam organisasi.
2. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih melalui cara tertentu yang
mewakili karakteristik tertentu, jelas, dan lengkap yang dianggap mewakili
populasi. Sampel yang baik harus memenuhi dua syarat, yaitu representatif dan
30
Universitas Sumatera Utara
memadai. Sampel dikatakan representatif jika ciri-ciri sampel yang berkaitan
dengan tujuan penelitian sama atau hampir sama dengan ciri-ciri populasinya.
Sampel dikatakan memadai jika ukuran sampel cukup untuk meyakinkan
kestabilan ciri-cirinya (Arifin, 2008).
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik pengambilan sampel probabilitas (probability sampling). Salah satu jenis
teknik pengambilan sampel ini adalah convenience sampling (accidental
sampling), dimana peneliti memilih individu terdekat untuk dijadikan sebagai
sampel penelitian sampai ukuran sampel yang diinginkan tercapai dan memilih
individu yang ada di tempat dan dapat diakses selama waktu penelitian (Cohen,
Manion, & Morrison, 2007).
3. Jumlah Sampel Penelitian
Tidak ada jawaban yang jelas mengenai ukuran sampel yang benar.
Ukuran sampel dapat bergantung pada sifat populasi penelitian, jenis analisa yang
digunakan, taraf signifikansi, dan jenis penelitian. Borg dan Gall (dalam Cohen
dkk., 2007) menyatakan bahwa penelitian korelasi membutuhkan ukuran sampel
tidak kurang dari 30.
Selanjutnya, menurut Istijanto (2010), jumlah sampel yang ditarik dari
populasi perlu memperhatikan tingkat homogenitas populasi, dimana semakin
homogen populasi, maka jumlah sampel yang digunakan juga dapat diperkecil,
sedangkan untuk populasi yang semakin heterogen, jumlah sampel yang
diperlukan semakin banyak. Menurut Azwar (2007), secara tradisional, statistika
31
Universitas Sumatera Utara
menganggap jumlah sampel yang lebih dari 60 orang sudah cukup. Dalam
penelitian ini, jumlah sampel yang digunakan adalah 60 orang.
D. METODE PENGUMPULAN DATA
Alat ukur yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan tujuan penelitian
dan bentuk data yang akan diambil dan diukur (Hadi, 2000). Data penelitian ini
diperoleh dengan menggunakan metode skala. Skala adalah suatu prosedur
pengambilan data yang merupakan suatu alat ukur aspek afektif yang merupakan
konstruk atau konsep psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu
(Azwar, 2007). Penelitian ini menggunakan penskalaan adaptasi dari model
Likert. Adaptasi penskalaan model Likert ini dikategorikan ke dalam skala
interval (Istijanto, 2010).
1. Skala Keterlibatan Kerja
Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui tingkat keterlibatan kerja
didasarkan pada dua dimensi keterlibatan kerja yang dikemukakan oleh Lodahl
dan Kejner (dalam Cohen, 2003) yang terdiri dari:
a. Performance self-esteem contingency, direpresentasikan melalui sejauh
mana harga diri (rasa bangga) individu dipengaruhi oleh kinerja yang ia
tunjukkan.
b. Pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri total individu, direpresentasikan
melalui sejauh mana pegawai merasa bahwa pekerjaan merupakan aspek
penting dalam hidupnya dan merepresentasikan gambaran tentang dirinya.
32
Universitas Sumatera Utara
Model skala yang digunakan merupakan penskalaan model Likert yang
dimodifikasi yang terdiri atas aitem sebelum uji coba dengan menggunakan 4
kategori jawaban, yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan
Sangat Tidak Sesuai (STS). Bentuk pernyataan dari setiap butir terdiri dari aitem
yang favourable dan aitem yang unfavourable. Aitem yang favourable adalah
aitem yang bersifat mendukung pernyataan, sedangkan aitem unfavourable
bersifat kebalikannya. Penilaian yang diberikan kepada masing-masing jawaban
responden pada tiap-tiap aitem dalam skala ditentukan oleh sifat aitemnya.
Penilaian aitem yang favourable diberikan untuk tiap jawaban SS adalah 4,
untuk jawaban S adalah 3, untuk jawaban TS adalah 2, dan 1 untuk jawaban STS.
Sedangkan untuk aitem yang unfavourable, subjek yang menjawab SS adalah 1,
jawaban S adalah 2, jawaban TS adalah 3, dan jawaban STS adalah 4.
Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Keterlibatan Kerj
No
a
Dimensi Keterlibatan Kerja
Aitem Total Bobot
(%) Favourable Unfavourable 1. Performance self-
esteem contingency 1, 6, 10, 15, 18, 22, 25, 30, 35, 37
4, 7, 11, 16, 20, 23, 27, 31, 34, 38
20 50
2. Pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri total individu
2, 8, 9, 14, 17, 24, 29, 32, 36, 40
3, 5, 12, 13, 19, 21, 26, 28, 33, 39
20 50
Total 20 20 40 100
2. Skala Quality Of Work Life
Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui quality of work life
didasarkan pada komponen-komponen yang dikemukakan oleh Walton (dalam
Kossen, 1987), yaitu:
33
Universitas Sumatera Utara
a. Kompensasi yang mencukupi dan adil, diindikasikan oleh penghasilan yang
diterima cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari dan penghasilan
yang diterima sesuai dengan beban tugas (adil).
b. Kondisi kerja yang aman dan sehat, diindikasikan oleh apakah lingkungan
kerja bebas dari bahaya yang dapat melukai dan membuat karyawan menjadi
sakit.
c. Kesempatan untuk berkembang dan menggunakan kapasitas manusia,
diindikasikan oleh bagaimana pekerjaan mengizinkan karyawan untuk
menggunakan dan mengembangkan kemampuan dan pengetahuannya, dan
karyawan merasa terlibat dan tertantang oleh pekerjaannya.
d. Kesempatan untuk pertumbuhan berkelanjutan dan rasa aman, diindikasikan
oleh karyawan mendapatkan kesempatan untuk promosi atau kenaikan
pangkat, dan karyawan merasa aman dengan pekerjaan dan pendapatannya.
e. Perasaan memiliki (sense of belonging), diindikasikan oleh karyawan merasa
rekan kerjanya saling bersifat suportif atau sedang berada dalam situasi
konflik berkepanjangan, dan apakah lingkungan kerja bebas dari prasangka
yang merusak (destruktif).
f. Hak-hak karyawan, diindikasikan dengan apa hak-hak yang karyawan miliki,
apa saja standard dari privasi personal, sikap terhadap ketidaksepakatan,
persamaan dalam pemberian reward, dan akses terhadap prosedur keluhan.
g. Pekerjaan dan ruang hidup total, diindikasikan dengan bagaimana pekerjaan
mempengaruhi peran karyawan dalam kehidupan personalnya, dan apakah
34
Universitas Sumatera Utara
tuntutan lembur, dinas keluar kota, dan pemindahan tugas dianggap sebagai
sesuatu yang berlebihan.
h. Tanggung jawab sosial dalam kehidupan kerja, diindikasikan oleh apakah
karyawan memandang bahwa organisasi bertanggung jawab secara sosial dan
apakah organisasi menghasilkan produk atau layanan yang berkontribusi pada
rasa harga diri atau kebanggaan karyawan terhadap organisasi.
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur quality of work life merupakan
adaptasi penskalaan model Likert yang dimodifikasi dengan menggunakan 4
kategori jawaban yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan
Sangat Tidak Sesuai (STS). Setiap dimensi-dimensi di atas akan diuraikan ke
dalam sejumlah pernyataan favorabel dan unfavorabel. Penilaian aitem yang
favourable diberikan untuk tiap jawaban SS adalah 4, untuk jawaban S adalah 3,
untuk jawaban TS adalah 2, dan 1 untuk jawaban STS. Sedangkan untuk aitem
yang unfavourable, subjek yang menjawab SS adalah 1, jawaban S adalah 2,
jawaban TS adalah 3, dan jawaban STS adalah 4.
Tabel 3. Distribusi Aitem Skala Quality of Work Lif
No
e
Komponen Quality of Work Life
Aitem Total Bobot
(%) Favourable Unfavourable 1. Kompensasi yang
mencukupi dan adil 1, 21, 31, 51 13, 42, 58, 64 8 12,5
2. Kondisi kerja yang aman dan sehat
2, 17, 26, 41 9, 32, 49, 57 8 12,5
3. Kesempatan untuk berkembang dan menggunakan kapasitas manusia
12, 25, 39, 52 3, 23, 45, 60 8 12,5
4. Kesempatan untuk pertumbuhan berkelanjutan dan rasa aman
11, 27, 36, 55 4, 18, 33, 47 8 12,5
35
Universitas Sumatera Utara
5 Perasaan memiliki 5, 22, 40, 53 14, 34, 48, 61 8 12,5
6 Hak-hak karyawan 10, 29, 46, 62 6, 19, 38, 56 8 12,5
7 Pekerjaan dan ruang hidup total
16, 28, 35, 63 7, 24, 43, 54 8 12,5
8 Tanggung jawab sosial dalam kehidupan kerja
8, 15, 30, 50 20, 37, 44, 59 8 12,5
Total 32 32 64 100
E. UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR
1. Uji Validitas
Azwar (2007) mendefinisikan validitas tes atau validitas alat ukur adalah
sejauh mana tes itu mengukur apa yang dimaksudkannya untuk diukur, artinya
derajat fungsi mengukurnya suatu tes atau derajat kecermatan suatu tes. Untuk
mengkaji validitas alat ukur dalam penelitian ini, peneliti melihat alat ukur
berdasarkan arah isi yang diukur yang disebut dengan validitas isi (content
validity). Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian
terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgment.
Validitas isi mengukur sejauh mana aitem-aitem dalam tes mencakup keseluruhan
kawasan isi objek yang hendak diukur atau sejauh mana isi tes mencerminkan ciri
atribut yang hendak diukur.
2. Uji Daya Beda Aitem
Uji daya beda aitem dilakukan untuk melihat sejauh mana aitem mampu
membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki atribut
dengan yang tidak memiliki atribut yang akan diukur (Azwar, 2004). Komputasi
ini menghasilkan koefisien korelasi aitem total yang dapat dilakukan dengan
36
Universitas Sumatera Utara
menggunakan formula koefisien korelasi Pearson Product Moment (Azwar,
2004). Uji daya beda aitem ini akan dilakukan pada alat ukur yang dalam
penelitian ini adalah skala keterlibatan kerja dan quality of work life. Setiap butir
pernyataan pada alat ukur ini akan dikorelasikan dengan skor total alat ukur.
Prosedur pengujian ini menggunakan taraf signifikansi 5% (p<0,05).
Besarnya koefisien korelasi aitem total bergerak dari 0 sampai dengan
1,00 dengan nilai positif dan negatif. Semakin baik daya diskriminasi aitem maka
koefisien korelasinya semakin mendekati angka 1,00 (Azwar, 2004). Batasan nilai
indeks daya beda aitem (rix) dalam penelitian ini adalah 0.3, sehingga setiap aitem
yang memiliki nilai rix≥0,3 saja yang akan digunakan dalam pengambilan data
yang sebenarnya.
3. Uji Reliabilitas
Pengujian reliabilitas terhadap hasil skala dilakukan bila aitem-aitem yang
terpilih lewat prosedur analisis aitem telah dikompilasi menjadi satu. Sebuah alat
ukur dikatakan reliabel ketika skor yang dihasilkan dari alat ukur tersebut bebas
dari kesalahan pengukuran (Kaplan & Saccuzzo, 2005). Menurut Anastasi dan
Urbina (1997), reliabilitas merupakan konsistensi skor yang dihasilkan seseorang
ketika ia kembali mengisi alat ukur yang sama pada waktu yang berbeda, atau
dengan alat ukur yang berbeda dengan aitem yang ekivalen, atau di bawah kondisi
pengujian variabel yang lain. Suatu alat ukur yang digunakan dalam penelitian
dasar sudah dapat dikatakan reliabel dan akurat jika memiliki koefisien α sebesar
0.7 – 0.8 (Kaplan & Saccuzzo, 2005). Uji reliabilitas alat ukur ini menggunakan
37
Universitas Sumatera Utara
pendekatan Cronbach’s alpha coefficient. Penghitungan koefisien reliabilitas
dalam uji coba dilakukan dengan menggunakan program SPSS version 16.0 For
Windows.
F. HASIL UJI COBA ALAT UKUR
Tujuan dilakukannya uji coba alat ukur adalah untuk mengetahui sejauh
mana alat ukur dapat mengungkap dengan tepat apa yang diukur dan seberapa
jauh alat ukur menunjukkan keadaan sebenarnya (Azwar, 2007). Setelah alat ukur
disusun, maka tahap selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan uji coba alat
ukur. Uji coba alat ukur penelitian dilakukan terhadap 50 orang subjek penelitian
yang dianggap memiliki kesamaan karakteristik dengan subjek yang diinginkan.
1. Hasil Uji Coba Skala Keterlibatan Kerja
Sebelum melakukan pengambilan data sebenarnya, terlebih dahulu
dilakukan uji coba alat ukur penelitian yang bertujuan untuk mengetahui kualitas
masing-masing aitem dalam mengukur keterlibatan kerja. Berdasarkan uji coba
skala keterlibatan kerja yang dilakukan menghasilkan 30 dari 40 aitem yang telah
memenuhi syarat yaitu memiliki indeks diskriminasi ≥ 0,3.
Pengolahan hasil uji coba skala dilakukan sebanyak dua tahap. Berdasarkan
hasil estimasi daya beda aitem dan reliabilitas tahap pertama diperoleh nilai α=0,9,
dan terdapat 10 aitem yang gugur karena memiliki nilai rix<0,3, nilai rix dari aitem
yang memenuhi syarat indeks daya beda aitem bergerak dari 0,343 – 0,739.
Kemudian dari hasil tersebut dilakukan tahap estimasi yang kedua. Pada tahap ini
diperoleh nilai α=0.937 dan tidak terdapat aitem yang gugur dengan nilai indeks
38
Universitas Sumatera Utara
diskriminasi aitem bergerak dari batas rix=0.359 hingga rix=0.761. Setelah aitem-
aitem yang gugur dibuang diperoleh 30 aitem yang akan digunakan untuk
pengambilan data penelitian. Distribusi aitem setelah uji coba dapat dilihat pada
tabel 4 berikut ini:
Tabel 4. Distribusi Aitem Skala Keterlibatan Kerja Setelah Uji Cob
No
a
Dimensi Keterlibatan Kerja
Aitem Total Bobot
(%) Favourable Unfavourable 1. Performance self-
esteem contingency 6, 10, 15, 18, 22, 25, 30, 35
4, 7, 16, 23, 27 13 43,3
2. Pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri total individu
2, 8, 9, 14, 17, 24, 29, 32, 40
3, 13, 19, 21, 26, 28, 33, 39
17 56,7
Total 17 13 30 100
Blue print skala keterlibatan kerja yang digunakan dalam penelitian dapat
dilihat pada tabel 5 berikut ini:
Tabel 5. Distribusi Aitem Skala Keterlibatan Kerja Untuk Penelitia
No
n
Dimensi Keterlibatan Kerja
Aitem Total Bobot
(%) Favourable Unfavourable 1. Performance self-
esteem contingency 1, 7, 11, 16, 20, 23, 25, 27
3, 5, 9, 13, 18 13 43,3
2. Pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri total individu
2, 6, 10, 14, 17, 21, 26, 28, 30
4, 8, 12, 15, 19, 22, 24, 29
17 56,7
Total 17 13 30 100
2. Hasil Uji Coba Skala Quality of Work Life
Sebelum melakukan pengambilan data sebenarnya, terlebih dahulu
dilakukan uji coba alat ukur penelitian yang bertujuan untuk mengetahui kualitas
masing-masing aitem dalam mengukur quality of work life. Berdasarkan uji coba
39
Universitas Sumatera Utara
skala quality of work life yang dilakukan menghasilkan 35 dari 64 aitem yang
telah memenuhi syarat yaitu memiliki indeks diskriminasi ≥ 0,3.
Pengolahan hasil uji coba skala dilakukan sebanyak empat tahap. Berdasarkan
hasil estimasi daya beda aitem dan reliabilitas tahap pertama diperoleh nilai
α=0,889, dan terdapat 13 aitem yang gugur karena memiliki nilai rix<0,3, nilai rix
dari aitem yang memenuhi syarat indeks daya beda aitem bergerak dari rix=0,343
hingga rix=0,739. Kemudian dari hasil tersebut dilakukan tahap estimasi yang
kedua. Pada tahap ini diperoleh nilai α=0,914, dan masih terdapat 2 aitem yang
gugur dengan nilai indeks diskriminasi aitem bergerak dari rix=0,312 hingga
rix=0,672. Kemudian dari hasil tersebut dilakukan tahap estimasi yang ketiga,
pada tahap ini diperoleh nilai α=0,914 dan terdapat 1 aitem yang gugur dengan
nilai indeks diskriminasi aitem bergerak dari rix=0,325 hingga rix=0,686. Pada
tahap estimasi yang keempat, diperoleh nilai α=0,914 dan tidak terdapat aitem
yang gugur dengan nilai indeks diskriminasi aitem bergerek dari rix=0,304 hingga
rix=0,701. Setelah aitem-aitem yang gugur dibuang diperoleh 35 aitem yang akan
digunakan untuk pengambilan data penelitian. Distribusi aitem setelah uji coba
dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini:
Tabel 6. Distribusi Skala Quality of Work Life Setelah Uji Cob
No
a
Komponen Quality of Work Life
Aitem Total Bobot Favourable Unfavourable (%)
1. Kompensasi yang mencukupi dan adil
1, 31, 51 42, 64 5 14,28
2. Kondisi kerja yang aman dan sehat
26, 41 57 3 8,57
3. Kesempatan untuk berkembang dan menggunakan kapasitas manusia
12, 25, 52 23, 45, 60 6 17,14
40
Universitas Sumatera Utara
4. Kesempatan untuk pertumbuhan berkelanjutan dan rasa aman
27, 36, 55 18, 33 5 14,28
5 Perasaan memiliki 22 14, 48, 61 4 11,42
6 Hak-hak karyawan 10, 46 38 3 8,57
7 Pekerjaan dan ruang hidup total
16, 28, 63 24 4 11,42
8 Hubungan sosial dalam kehidupan kerja
30, 50 20, 44, 59 5 14,28
Total 19 16 35 100
Blue print skala quality of work life yang digunakan dalam penelitian dapat
dilihat pada tabel 7 berikut ini:
Tabel 7. Distribusi Skala Quality of Work Life untuk Penelitia
No
n
Komponen Quality of Work Life
Aitem Total Bobot
(%) Favourable Unfavourable 1. Kompensasi yang
mencukupi dan adil 12, 25, 35 7, 30 5 14,28
2. Kondisi kerja yang aman dan sehat
6, 24 14 3 8,57
3. Kesempatan untuk berkembang dan menggunakan kapasitas manusia
2, 9, 22 15, 27, 33 6 17,14
4. Kesempatan untuk pertumbuhan berkelanjutan dan rasa aman
1, 18, 29 10, 23 5 14,28
5 Perasaan memiliki 8 16, 28, 32 4 11,42
6 Hak-hak karyawan 13, 20 3 3 8,57
7 Pekerjaan dan ruang hidup total
5, 17, 21 31 4 11,42
8 Hubungan sosial dalam kehidupan kerja
11, 34 4, 19, 26 5 14,28
Total 19 16 35 100
41
Universitas Sumatera Utara
G. PROSEDUR PENELITIAN
Dalam rangka pelaksanaan penelitian ini ada beberapa hal yang perlu
dipersiapkan oleh penelitian, antara lain:
1. Pembuatan Alat Ukur Penelitian
Peneliti menyiapkan alat ukur yang akan digunakan untuk uji coba alat
ukur. Alat ukur penelitian terdiri dari dua buah skala yaitu skala keterlibatan kerja
dan skala quality of work life. Skala keterlibatan kerja dan skala quality of work
life dibuat dalam bentuk lembaran menggunakan kertas HVS ukuran A4. Skala ini
terdiri dari empat alternatif jawaban sehingga memudahkan subjek dalam
memberikan jawaban.
2. Permohonan Izin
Pada tahap ini, peneliti mengurus beberapa persyaratan administrasi
berupa surat izin penelitian yang diberikan kepada pihak Kantor Wilayah Dirjen
Pajak Medan. Kemudian pihak kantor wilayah menetapkan salah satu Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) yang ada di kota Medan, yaitu KPP Pratama Medan
Polonia yang berlokasi di Jalan Diponegoro No. 30 Medan, yang dijadikan
sebagai tempat mendapatkan data penelitian. Informasi mengenai instansi
diperoleh melalui wawancara informal terhadap seorang karyawan dan kepala
subbagian.
42
Universitas Sumatera Utara
3. Uji Coba Alat Ukur
Uji coba ini dilakukan untuk melihat apakah aitem-aitem yang peneliti
buat telah mengukur apa yang ingin peneliti ukur. Uji coba dilaksanakan pada
tanggal 24 Januari 2011 hingga 4 Febuari 2011 kepada pegawai kantor pajak.
Total skala yang disebar berjumlah 54 eksemplar dan yang kembali dan terisi
dengan lengkap berjumlah 50 eksemplar.
4. Revisi Alat Ukur
Setelah peneliti melakukan uji coba alat ukur yang dilakukan pada 50
subjek, peneliti menguji reliabilitas skala keterlibatan kerja dan quality of work
life dengan menggunakan koefisien reliabilitas alpha cronbach dengan bantuan
aplikasi program SPSS 16.0 for windows. Setelah diketahui aitem–aitem yang
reliabel, peneliti kemudian menjadikan aitem-aitem tersebut sebagai skala yang
akan digunakan untuk mengambil data penelitian.
5. Pelaksanaan Penelitian
Pengambilan data penelitian dilakukan di KPP Pratama Medan Polonia,
yang dilaksanakan pada tanggal 14 Febuari 2011 sampai dengan 23 Febuari 2011.
Total skala yang disebar berjumlah 60 eksemplar kepada 60 orang pegawai yang
diberikan oleh peneliti kepada setiap subjek.
43
Universitas Sumatera Utara
6. Tahap Pengolahan Data
Setelah skala terkumpul, maka data hasil penelitian dari skor skala
keterlibatan kerja dan quality of work life kemudian diolah dan dianalisis dengan
bantuan program aplikasi SPSS 16.0 for windows.
H. METODE ANALISA DATA
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan analisa statistik.
Pertimbangan penggunaan statistika dalam penelitian ini adalah (Hadi, 2000);
1. Statistika bekerja dengan angka
2. Statistika bersifat objektif
3. Statistika bersifat universal, artinya dapat digunakan hampir pada semua bidang
penelitian.
Azwar (2007) menyatakan bahwa pengolahan data penelitian yang sudah
diperoleh dimaksudkan sebagai suatu cara mengorganisasikan data sedemikian rupa
sehingga dapat dibaca (readable) dan dapat ditafsirkan (interpretabel).
Metode analisa data yang digunakan untuk melakukan uji hipotesis dalam
penelitian ini adalah dengan metode analisis koefisien korelasi pearson product
moment yang bertujuan untuk melihat korelasi atau hubungan antara variabel
independen (quality of work life) dan variabel dependen (keterlibatan kerja).
Analisa data dilakukan dengan menggunakan bantuan aplikasi program SPSS 16.0
for windows. Sebelum melakukan uji hipotesis dilakukan uji asumsi yang meliputi
uji normalitas dan uji linieritas.
44
Universitas Sumatera Utara
1. Uji Normalitas
Uji normalitas adalah pengujian untuk mengetahui apakah skor variabel
yang diteliti mengikuti distribusi normal atau tidak (Hadi, 2000). Kaidah yang
dipakai adalah jika p>0,05 sebaran normal, sebaliknya jika p≤0,01 sebaran tidak
normal. Uji normalitas menggunakan uji z dari one sample kolmogorov-smirnov.
Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan bantuan aplikasi program SPSS
16.0 for windows.
2. Uji Linearitas
Uji linearitas ini digunakan untuk mengetahui bentuk hubungan antara
variabel bebas dengan variabel tergantung. Uji linieritas dilakukan terhadap
variabel quality of work life dengan variabel keterlibatan kerja. Untuk mengetahui
kedua variabel linier atau tidak, maka digunakan uji linieritas dengan uji F.
Kaidahnya dengan melihat p pada tabel linieritas, dimana jika p≤0,05 untuk
linierity dan jika p>0,05 untuk deviation for linierity maka dikatakan kedua
variabel memiliki hubungan yang linier. Uji linearitas dilakukan dengan
menggunakan bantuan aplikasi program SPSS 16.0 for windows.
45
Universitas Sumatera Utara