Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi...

27
Teman Kami Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa kau harus bekerja apa- apa seumur hidupmu. Kau sudah punya sebuah mobil yang nilainya hampir dua ratus juta mata uangmu, kau berhasil menikahi perempuan cantik itu (tadinya ia benci padamu, tentu saja, dan selalu mengerutkan alisnya tiap kali kau muncul di depan pagar rumahnya, tapi kami punya cara untuk membujuknya, mengisiki hatinya dengan tipu daya), dan kini kau punya dua rumahbesar dan terletak di lokasi yang bagus, meskipun tidak megah. Kau berkecukupan tanpa harus berusaha, karena perempuanmu yang bekerja seumur hidupnya hingga kalian punya semua itu. Ia cantik, serba-bisa, dan pintar, ia yang bekerja membanting tulang di sebuah bank asing selama dua puluh lima tahun sementara tugasmu hanya menjemputnya setiap sore di kantornya. Itu pun kau selalu mengeluh. Kau marah-marah, memukulkan kepalan tanganmu ke klakson mobil, memaki-maki pengendara lain saat jalanan macet. N

Transcript of Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi...

Page 1: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

Teman Kami

Cerpen Dias Novita Wuri

AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi

permintaan-permintaanmu. Kami datang saat

kau panggil, dan kami sudah membantu

membuatmu kaya tanpa kau harus bekerja apa-

apa seumur hidupmu. Kau sudah punya sebuah mobil yang

nilainya hampir dua ratus juta mata uangmu, kau berhasil

menikahi perempuan cantik itu (tadinya ia benci padamu, tentu

saja, dan selalu mengerutkan alisnya tiap kali kau muncul di depan

pagar rumahnya, tapi kami punya cara untuk membujuknya,

mengisiki hatinya dengan tipu daya), dan kini kau punya dua

rumah—besar dan terletak di lokasi yang bagus, meskipun tidak

megah. Kau berkecukupan tanpa harus berusaha, karena

perempuanmu yang bekerja seumur hidupnya hingga kalian punya

semua itu. Ia cantik, serba-bisa, dan pintar, ia yang bekerja

membanting tulang di sebuah bank asing selama dua puluh lima

tahun sementara tugasmu hanya menjemputnya setiap sore di

kantornya. Itu pun kau selalu mengeluh. Kau marah-marah,

memukulkan kepalan tanganmu ke klakson mobil, memaki-maki

pengendara lain saat jalanan macet.

“N

Page 2: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

“Jadi sekarang biarkan kami berbuat semau kami padamu.”

Saat usianya menginjak lima puluh lima, pelan-pelan kami

membuatnya gila. Kami membuat dunianya tampak tak lagi masuk

akal di matanya. Kami mengosongkan otaknya, mengacaukan

segala sistem di tubuhnya. Kami menjadikannya boneka kami.

Awalnya hanya serangan-serangan tak berarti yang para dokter

artikan sebagai “stroke ringan”: ia kehilangan kendali akan otot-

otot di kaki dan tangannya, menjatuhkan gelas saat sedang

memegangnya, lupa arah dan menerobos lampu-lampu merah saat

mengemudi. Pelan-pelan kami membuat semua itu memburuk. Ia

mulai berteriak-teriak karena hal-hal sepele. Kemudian ia juga

kehilangan kemampuannya bicara. Ia tidak lagi dapat memahami

dan dipahami.

Ini rahasia. Kalian tidak perlu tahu keberadaan kami. Namun,

jika kalian cukup mampu, kalian akan bisa melihat kami di sana,

mengelilinginy

a. Kami duduk

ketika ia

duduk, berdiri

ketika ia

berdiri,

berbaring

ketika ia

mengistirahatk

an tubuhnya

yang kian lama

kian kami buat

renta, tubuh yang dagingnya menyusut dari hari ke hari seberapa

pun banyaknya ia makan. Kami ada bersamanya ketika ia dikunci

dalam kegelapan kamarnya, di atas kasur kapuk yang telah

mengeras dengan seprai yang bercak-bercak air seni dan liur,

hanya ditemani sebuah televisi kecil yang menayangkan saluran

belanja-dari-rumah yang tak ada habis-habisnya, dua puluh empat

jam sehari.

Page 3: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

Kami menyenangi rumahnya. Tempat itu dipadati berbagai

patung kayu dan lukisan: kesukaaan kami adalah sesosok dewi

berkepala dan sayap burung rajawali tapi bertubuh manusia.

Kadang kami akan berkerumun saja di sekitar dewi burung itu

untuk mengagumi sepasang payudara bulat montok pada dada

telanjangnya. Itu, dan lukisan gadis sedang memandangi lilin,

dinaungi bayangannya sendiri. Oh, bagaimana kami bisa tidak

senang. Ada alat-alat musik juga, segala yang berdenting dan

bergemerincing. Tempat itu bagaikan surga bagi kami.

Kalau kalian bisa melihat kami, temukan kami di sudut

tergelap dari sebuah ruangan yang gelap.

ETIAP pagi, sebelum semua orang bangun, kami akan

menyuruhnya buang air besar. Ia selalu menurut. Sama

sekali tidak pernah melawan. Kami memilihkan tempat

terbaik untuk melakukannya. “Dapur,” kami berkata. “Tahukah

kamu, di dapurmu itu kita bisa menemui seorang teman. Ia

kadang-kadang ada di sana. Ia jiwa yang penuh dendam, yang suka

mewujud menjadi seorang kakek tua berlumuran darah di mata

mereka yang mampu melihat. Dapur juga tempat istrimu

memasak berbagai makanan, menanak nasi, dan merebus air.

Sana, pergi dan kotori tempat itu.”

Setiap pagi ia ke sana dan memelorotkan celana kolornya, lalu

celana dalamnya, lalu berjalan berkeliling sambil melaksanakan

hajat. Ceprot-ceprot-ceprot. Tahinya yang encer berair pun

berjtuhan di mana-mana dan kami bersorak kegirangan. “Lagi.

Lebih banyak lagi! Ambil tahi itu dengan tanganmu, lalu usapkan

tanganmu ke bajumu.” Ia melakukannya. Lebih banyak lagi tahi

berjatuhan. Seperti bom, atau seperti buah masak yang jatuh ke

tanah dari tangkainya. Tak lupa ia bermain-main dengan tahinya

sendiri dan mengusapkan tangannya ke bajunya.

Lalu bau tajam akan menguar membangunkan istrinya. Ia

keluar dari kamarnya sendiri—bukan, tentunya bukan dari kamar

yang dulu ia bagi denganmu, Teman, sekarang istrimu telah

membangun sarangnya sendiri jauh darimu—mengenakan daster

S

Page 4: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

dan melangkah tergopoh-gopoh dengan sisa-sisa mimpi masih

menyelubungi pikirannya (dan mimpinya kebetulan sebuah mimpi

aneh yang indah, nanti akan ia ceritakan ke anak perempuannya).

Namun ia selalu tahu itu ulah suaminya, karena ini merupakan

skenario sehari-hari. Kami mengamati wajahnya yang kini

berkeriput dan pucat, gelung rambutnya longgar menyentuh

tengkuk. Tiga puluh tahun yang lalu, ia merupakan kembang desa

di kampung halamannya di Pati. Ia membuat pria-pria tak

terhitung banyaknya bertekuk lutut di kakinya, kemudian

mematahkan hati mereka semua. Dua puluh lima tahun yang lalu

ia datang ke kota metropolitan ini untuk mencari pekerjaan. Dua

puluh tahun yang lalu ia bertemu dengan teman kami yang gila ini.

“Papa!” ia berseru. Benaknya yang gusar bertanya-tanya

mengapa ia masih bisa merasa marah, teramat sangat marah,

padahal ia mengalami kejadian ini setiap hari. Suaminya hanya

berdiri menatapnya, seperti biasa dengan kedua bahu yang kini

telah bungkuk. Kami beri tahu kalian, bahu itu membungkuk

sedemikian rupa karena ia harus memanggul kami, bukan? Ya, ia

memanggul kami selama ini.

“Sana, Papa minggir dulu,” ujar si istri di antara gigi yang

terkatup beradu. Gigi itu berfungsi sebagai penahan

kemarahannya, yang sudah menggelak ingin menyembur keluar.

Tapi suaminya gila. Mana mungkin orang yang masih waras punya

hak untuk memarahi orang tak waras? Lagi pula tidak ada

gunanya. “Masuk kamar lalu pakai celana yang bersih. Tunggu,

tunggu. Langsung masuk kamar mandi, nanti aku mandikan

sehabis aku kelar membersihkan kotoranmu.” Tapi semua itu tidak

pernah dilakukan. “Lepaskan bajumu. Keluar ke halaman tanpa

baju,” kata kami. Itulah yang dilakukannya.

Kami gembira menyaksikan istrinya kalang-kabut, dikerjai,

merasakan hatinya yang tersayat perlahan. “Kalau besok begini

lagi, Pa,” ancamnya, “nanti Papa dikirim ke rumah sakit jiwa.

Mau?” Wah, itu sudah pernah terjadi, tapi tidak bertahan lama

Karena tahukah kalian berapa biaya rumah sakit jiwa per harinya?

Jadi kemudian istrinya pun harus menghadapi hal ini setiap hari

Page 5: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

di rumah, tanpa kami berikan jeda. Kami gembira menyaksikan

kedua tangannya yang dulu indah kini pelan-pelan menguning dan

kering. Karena air pel, usia tua, dan tahi.

Setiap siang kami menurunkan sedikit tenaga teman kami itu.

Tiap kali ia diberi makan, kami akan melipatgandakan rasa

laparnya. Kami ikut makan, jadi ia tak pernah merasa kenyang.

Kami membuatnya berkeliling mencari wadah-wadah makanan

yang disembunyikan, lalu ia akan mengobok-obok makanan dalam

wadah-wadah itu dengan jari gilanya yang kotor. Kesukaan kami

adalah kembang sepatu mentah (istrinya punya persediaan

kembang sepatu untuk dimasak jadi kimlo), juga gula pasir, dan

sisa-sisa kopi bekas menyuguhi tamu, dan terutama makanan

dalam wadah-wadah yang disembunyikan.

ETELAH setengah tahun, pelan-pelan kami membuatnya

semakin sakit. Kali ini para dokter bisa dengan percaya diri

memberikan diagnosis yang bukan lagi hasil meraba-raba

seperti “stroke ringan” senjata pamungkas mereka yang dulu itu.

Kali ini “pecah pembuluh darah otak”, “level kolesterol mendekati

titik bahaya”, dan ia pun dilarikan ke Unit Gawa Darurat rumah

sakir anyar milik sebuah universitas. Hari itu sudah lewat tengah

malam, istri dan anak laki-lakinya tampak duduk menemani

teman kami di dalam mobil ambulan. Tentunya kami juga ikut

berada di sana, kami duduk dengan leluasa di antara orang-orang

yang saling berdesakan. Si anak perempuan ditinggal di rumah

untuk menjaga rumah. Di dalam ambulan, kami bersenang-senang

dengan ikut berguncang-guncang kapan pun roda mobil masuk ke

gerowong di aspal atau melewati gundukan polisi tidur. Si istri

mengenakan dasternya lagi. Si anak laki-laki tampak tegar dan

kokoh menyerupai laki-laki dewasa (tanpa disadarinya, sudah

lama ia menjadi kepala keluarga).

Malam itu teman kami mengalami koma, tapi ia kembali lagi.

Kami tahu ia belum akan mati. Semua ada waktunya. Malam demi

malam terlewati, keluarganya menunggui di rumah sakit itu

kecuali si anak perempuan teman kami yang membencinya. Ia tak

S

Page 6: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

pernah memunculkan batang hidungnya, ia menetap di benteng

kamarnya di malam hari dan bekerja keras mengurus rumah di

pagi hari sampai suatu ketika ibunya memaksanya datang. “Kalau

Papa meninggal, nanti kamu menyesal.” Jadilah si anak

perempuan pun muncul hari itu dengan berat hati, ditemani

kawan laki-lakinya. “Mama pulang ya, ganti kamu jaga Papa di

sini,” kata ibunya, dan si anak perempuan tak berkomentar apa-

apa.

Malam itu kami menggoda si anak perempuan. Kami bisikkan

di telinga teman kami, “Bangun, mari kita berkeliling. Bangun, kau

harus buang air besar. Bangun, kau harus buang air kecil tapi tidak

melalui selang goblok itu. Kau cabut selang itu.” Anak

perempuannya sedang tidur meringkuk di lantai yang beralaskan

sajadah untuk sembahyang dan berselimut sehelai sarung, ketika

teman kami terbangun dan mulai mencabuti keteter air seni

hingga air kuning pesing berceceran di lantai. Noda tahi tertinggal

di seprai. Makanan rumah sakit di atas nampan berjatuhan. “Papa

mau ke mana?” seru si anak perempuan. “Jalan-jalan,” jawab

ayahnya dengan bahasa yang tak jelas. “Nggak boleh, Pa, lagian

mau jalan-jalan ke mana? Papa mesti di tempat tidur, nggak boleh

ke mana-mana!”

Tapi tentu saja ia tak mendengarkan. Anak perempuannya

menahannya, tapi kami sangat kuat. Kami buat dia menyambar

tangan kurus milik anak perempuannya, memuntir tangan itu,

menggigit tangan itu hingga berdarah-darah. Si anak perempuan

menjerit-jerit, perawat berdatangan ke dalam kamar itu. Kami

tertawa puas sekali, seluruh peristiwa ini lucu sekali. Lalu si anak

perempuan berdiri di sudut, menyaksikan para perawat dan kawan

lelakinya menangani ayahnya yang mengamuk, menangis sedikit

tapi segera meraih kain serbet yang dibawa dari rumah dan mulai

membersihkan kencing yang tercecer di lantai.

Kami ulangi kesenangan itu beberapa kali dalam minggu itu,

kami buat anak perempuannya hancur hingga kebencian di

hatinya berakar semakin kokoh, tidak tergoyahkan.

Page 7: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

ETELAH setengah tahun lagi, kami tahu perjalanan teman

kami ini akan segera berakhir.

Hari itu berlangsung sebagaimana biasanya baginya

(karena setiap hari selalu berlangsung sebagaimana biasanya

baginya). Kami menghabiskan waktu-waktu terakhir itu dengan

berbaring bersamanya di ranjang, semua lampu dimatikan, televisi

menyala dengan suara keras, kasur berbau ompol, semua jendela

dan pintu ditutup. Keluarganya sedang tidak ada, hanya ada anak

laki-lakinya, tetapi ia sedang tidur pulas (istrinya pergi

mengunjungi salah satu sahabat karibnya yang sakit, anak

perempuannya sedang pergi ke bandara untuk mengantar

pacarnya kembali ke Jogjakarta). Hari itu ia tidak tampak betul-

betul sakit ataupun sepenuhnya gila. Hanya biasa-biasa saja.

Tetapi, ia akan mati.

Kami mendampinginya.

“Tahukah kau,” kata kami dengan mendayu-dayu, mendesikan

dongeng menjelang tidur abadi ke telinganya yang kisut, “tahukah

kau, di depan rumahmu ada sesosok jiwa. Ia berdiam di tiang

listrik, terkadang ia akan memanjat dan bertengger di puncak,

terkadang ia akan duduk saja di tanah. Ia juga jiwa yang penuh

dendam, yang suka mewujud menjadi gadis pucat berbokong tipis

di mata mereka-mereka yang mampu melihat. Ketika ia sangat

marah, ia akan mengaburkan penglihatan manusia-manusia yang

berkendara melewatinya hingga mereka terjatuh dan menabrak

tiang listrik tempatnya berdiam. Lalu manusia-manusia itu akan

terluka parah, kaki mereka patah, kepala mereka pecah. Belum ada

yang mati, tapi itu akan terjadi suatu saat nanti.

“Tahukah kau, kami datang dari kerajaan yang besar di dasar

samudera. Kami tertarik dengan panggilanmu dan dedaunan yang

kau bakar di atas tungku, dengan jampi-jampi yang kau lantunkan

dan garam kasar yang kau tebar, mantra-mantra yang kau simpan

di dalam dompetmu. Kami tertarik dengan busuk di dasar hatimu

dan bagian belakang kepalamu. Kami mencintai dirimu ketika

muda, dan karena itulah kami menyertaimu hingga tua.

S

Page 8: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

“Kau tidak punya teman lain, tidak ada yang lain kecuali kami.

Tapi sekarang kami harus meninggalkanmu karena tugas kami

sudah usai.”

Ia memandangi kami dengan matanya yang kuyu dan merah

berurat-urat.

“Bagaimana perasaanmu, Teman?” tanya kami. “Seumur

hidupmu kau bukanlah siapa-siapa.”

Perlahan-lahan, satu per satu dari kami melepaskan diri

darinya. Kami terbang ke langit seraya memandanginya meregang

nyawa. Apakah kami merasa sedih? Ia memandangi kami, dan

kami merasa sedih karena ia tampak begitu bahagia telah lepas

dari kami, begitu lega karena ia akan mati.

Kemudian kami beterbangan untuk mencari petualangan baru

di tempat baru, dan terutama, teman yang baru.(*)

Dias Novita Wuri lahir di Jakarta, 11 November 1989.

Lulus dari Program Studi Rusia, Universitas Indonesia.

Ia tinggal di Jakarta.

(Dimuat di Koran Tempo, 28 Juli 2013)

(Gambar oleh Yuyun Nurrachman)

Page 9: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

Penembak Jitu

Cerpen Liam O’Flaherty

(Diterjemahkan oleh An. Ismanto)

ETANG bulan Juni yang panjang telah pudar menjadi

malam. Selain redup sinar bulan, yang menerobos

bongkah-bongkah awan putih lembut dan menyiramkan

berkas-berkas pucat di jalanan dan perairan gelap di

sekitar Liffey, hanya kegelapan yang menyelimuti Dublin. Di

sekitar Four Courts yang terkepung, senjata berat meletup-letup.

Di seluruh penjuru kota itu, senapa mesin dan bedil mencabik-

cabik kesunyian malam tanpa henti seperti anjing yang menyalak-

nyalak di sebuah peternakan terpencil. Kaum pendukung Republik

dan Free State masih sengit bertempur.

Seorang penembak jitu Republik berjaga di atap sebuah

gedung dekat Jembatan O’Bridge. Senapan teronggok di sisinya

dan tali teropong terkulai di atas bahunya. Wajahnya adalah wajah

seorang mahasiswa yang tirus dan mirip pertapa, namun dengan

tatapan seorang fanatik yang berkilat-kilat di matanya. Mata itu

dalam dan bijak, mata seorang lelaki yang telah terbiasa menatap

kematian.

P

Page 10: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

Ia tengah makan sandwich dengan lahap. Perutnya belum

kemasukan apa-apa sejak pagi. Ia terlalu gugup untuk makan. Ia

menandaskan sandwich, mengambil sebotol wiski dari sakunya,

dan meneguk sekali. Ia terdiam sejenak, menimbang-nimbang

apakah ia berani mengambil risiko dengan merokok. Sangat

berbahaya. Kerlip api dapat terlihat dalam kegelapan dan banyak

musuh sedang berjaga di luar sana. Ia memutuskan untuk

mengambil risiko itu.

Setelah menjepitkan sebatang rokok di antara bibirnya, ia

menyalakan sebatang korek api, menghisap asap cepat-cepat dan

mematikan korek. Hampir seketika itu juga, sebutir peluru

menghantam dinding pembatas atap. Si penembak jitu menghisap

rokok sekali lagi lalu mematikannya. Ia memaki dengan suara

pelan dan merayap ke kiri.

Dengan hati-hati, ia mendongak dan mengintip melalui

dinding kecil

pembatas atap.

Kerlipan api

terlihat lalu

sebutir peluru

mendesing di

atas kepalanya.

Cepat-cepat ia

tiarap. Ia telah

melihat kerlipan

api di seberang

jalan itu.

Ia berguling ke arah cerobong di bagian belakang atap lalu

pelan-pelan berlindung di balik cerobong hingga matanya sejajar

dengan bagian atas dinding kecil pembatas atap. Tak terlihat apa

pun—hanya garis tepi atap rumah seberang yang tampak kabur

berlatar langit biru. Musuhnya tersembunyi.

Sebentar kemudian, sebuah mobil lapis baja melintasi

jembatan dan melaju pelan di jalan. Mobil itu berhenti di

Page 11: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

seberang, sekitar lima puluh yard dari si penembak jitu. Ia dapat

mendengar deru mesin mobil itu.

Jantungnya berdetak lebih keras. Itu mobil musuh. Ia ingin

menembak, namun ia tahu akan sia-sia saja. Pelurunya tak akan

pernah sanggup mengoyak lempengan baja yang melapisi monster

abu-abu itu.

Lalu, dari sudut sebuah gang, muncul seorang wanita tua

berkerudung selendang compang-camping. Ia berbicara kepada

tentara yang bersiap di menara senjata mobil itu. Ia menunjuk-

nunjuk atap tempat si penembak jitu tiarap. Seorang informan.

Menara senjata terbuka. Kepala dan bahu seorang lelaki

tampak dan menatap ke arah si penembak jitu. Si penembak jitu

membidik dan menembak. Kepala itu tersentak ke dinding menara

senjata. Si wanita tua lari tergopoh-gopoh ke seberang jalan. Si

penembak jitu kembali menembak. Wanita tua itu terhuyung

sebentar lalu roboh seraya mengerang di selokan.

Tiba-tiba dari atas gedung seberang jalan sebuah letusan

terdengar dan si penembak jitu melemparkan senapannya seraya

menyumpah-nyumpah. Senapannya terlempar dengan suara

berisik di atap. Si penembak jitu berpikir bunyi gaduh itu bisa

membangkitkan orang mati. Ia berkisar untuk meraih senapan itu

tetapi ia tak mampu mengangkatnya. Lengannya tak terasa. “Aku

tertembak,” gumamnya.

Tiarap di atap, ia merangkak kembali ke dinding kecil

pembatas atap. Dengan tangan kirinya, ia meraba lengan

kanannya yang terluka. Darah mengucur membasahi lengan

bajunya. Tak ada rasa sakit—hanya sensasi tanpa rasa, seolah-olah

lengan itu telah terpotong.

Cepat-cepat ia menghunus belati dari saku, membukanya di

dinding pembatas atap, lalu mengoyak lengan bajunya. Sebuah

lubang menganga di tempat peluru itu masuk. Di sisi lainnya tidak

ada lubang. Peluru itu bersarang dalam tulang.

Tulangnya pasti sudah hancur. Ia menekuk siku di bawah luka

itu. Sikunya terkulai begitu saja. Ia mengertapkan gigi untuk

mengatasi rasa sakit.

Page 12: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

Lalu, setelah mengeluarkan perban, ia menyobek bungkusan

itu dengan belati. Ia membuka leher botol yodium dan menuang

cairan dingin itu pada lukanya. Rasa perih yang hebat meluapi

sekujur tubuhnya. Ia meletakkan kapas di atas lukanya. Rasa perih

yang hebat meluapi sekujur tubuhnya. Ia meletakkan kapas di atas

luka dan melilitkan perban di atasnya. Ia menyimpulkan perban

itu dengan giginya.

Lalu ia tiarap tanpa bergerak di samping dinding kecil

pembatas atap dan, setelah memejamkan mata, ia menghimpun

tekad untuk mengatasi rasa sakit.

Di bawah sana, jalan sepi sekali. Mobil lapis baja telah

mundur dengan sigap ke jembatan, dengan kepala penembak

senapan mesin terkulai tanpa nyawa di menara senjata. Mayat

wanita tua itu masih teronggok di selokan.

Selama beberapa saat, si penembak jitu tetap bertiarap untuk

merawat lengannya yang terluka dan menyusun rencana untuk

meloloskan diri. Dia tidak boleh tetap di atap dalam keadaan

terluka saat pagi tiba. Musuh di atap gedung seberang pasti

menutup setiap jalan keluar. Ia harus membunuh musuh itu,

namun ia tak bisa menggunakan senapannya. Ia hanya dapat

menggunakan revolver. Lalu sebuh rencana terbersit di

pikirannya.

Ia melepaskan topi lalu meletakkannya di moncong senapan.

Lalu ia mendorong senapan itu perlahan-lahan ke atas dinding

kecil pembatas atap sehingga topi dapat terlihat dari gedung di

seberang jalan. Hampir seketika itu juga terdengar letusan, dan

sebutir peluru mengoyak topi itu. Si penembak jitu memiringkan

senapannya ke depan. Topi terjatuh ke jalan. Lalu, sambil

memegang bagian tengah senapan, si penembak jitu menjatuhkan

tangan kirinya di atap dan membiarkannya menggelantung tanpa

bergerak. Sejenak kemudian, ia melepaskan senapannya ke jalan.

Lalu ia merayap mundur di atas atap seraya menarik tangannya.

Seraya berdiri dengan cepat, ia mengintip dari sudut atap.

Siasatnya berhasil. Penembak jitu musuh itu, karena melihat topi

dan senapan yang jatuh, mengira ia telah berhasil membunuh

Page 13: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

sasarannya. Sekarang ia berdiri di depan barisan cerobong,

menatap ke arah seberang, dengan kepala yang membentuk siluet

terlihat dengan jelas berlatar langit barat.

Penembak jitu Republik itu tersenyum dan mengangkat

revolvernya ke tepi dinding kecil pembatas atap. Jaraknya sekitar

lima puluh yard—tembakan yang sulit dalam cahaya remang dan

lengan kanannya sakit bukan kepalang. Ia membidik. Tangannya

gemetar karena gembira. Seraya mengatupkan bibir, ia menghela

napas melalui hidung dan menembak. Ia hampir tuli oleh bunyi

letupan itu dan lengannya bergetar oleh rekoil.

Lalu, saat asap menyisih, ia mengintip dan berseru gembira.

Musuhnya tertembak. Lelaki itu terhuyung-huyung sekarat di

dinding kecil pembatas atap. Ia berjuang untuk berdiri, namun

dengan pelan ia terhuyung ke depan seperti dalam mimpi.

Senapan terlepas dari tangannya, membentur dinding kecil

pembatas atap, terpelanting membentur tiang sebuah kios tukang

cukur di bawah dan kemudian berderak di trotoar.

Si penembak jitu melihat musuhnya terjatuh dan ia menggigil.

Gairah pertempuran dalam dirinya telah padam. Ia tercekam

penyesalan. Butir-butir keringat mengucuri keningnya. Lemah

karena luka dan puasa yang panjang di hari musim panas dan

berjaga di atap, ia mengalihkan pandangan dari jasad remuk

musuhnya yang telah mati itu. Giginya gemeretak, ia mulai

meracau, mengutuk perang, mengutuk dirinya sendiri, mengutuk

semua orang.

Ia menatap revolver yang masih berasap di tangannya, lalu

seraya memaki ia melemparkan revolver itu ke atap. Suara letupan

menyusul jatuhnya revolver itu dan peluru mendesing di samping

kepala si penembak jitu. Terkejut, ia kembali merasakan

ketakutan. Syarafnya kembali tenang. Kabut ketakutan

berhamburan dari pikirannya dan ia tertawa.

Setelah mengambil botol wiski dari sakunya, ia mengosongkan

botol itu dengan sekali teguk. Ia merasa nekat karena pengaruh

minuman keras itu. Ia memutuskan untuk meninggalkan atap

sekarang dan melapor kepada komandan kompinya. Sepi ada di

Page 14: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

mana-mana. Tidak berbahaya jika menyeberang jalan. Ia meraih

revolver dan menyarungkannya lagi. Lalu ia merangkak menuruni

jendela loteng rumah di bawahnya.

Saat mencapai gang yang sejajar dengan jalan, tiba-tiba si

penembak jitu merasa ingin tahu identitas penembak jitu musuh

yang baru saja dibunuhnya. Ia menganggap musuhnya itu cukup

jitu, siapa pun dia. Ia bertanya-tanya apakah ia mengenal

musuhnya itu. Mungkin mereka pernah satu kompi sebelum

pemisahan Angkatan Darat. Ia memutuskan untuk mengambil

risiko dengan memeriksa musuhnya itu. Ia mengintip dari sudut

Jalan O’Connell. Ada tembak-menembak sengit di hulu jalan,

namun di sekitar sini hanya ada kesunyian.

Si penembak jitu melesat menyeberangi jalan. Sebuah

senapan mesin menghamburkan peluru yang mencabik-cabik

tanah di sekitarnya namun ia berhasil lolos. Cepat-cepat ia

bertiarap di samping mayat itu. Senapan mesin telah sepi.

Lalu si penembak jitu membalikkan mayat itu dan melihat

wajah kakak laki-lakinya sendiri.(*)

Liam O’Flaherty (1896-1984) adalah penulis novel dan cerita

pendek Irlandia. Ia pernah bertempur di pihak Republik dalam

Perang Saudara Irlandia yang berlangsung sebelas bulan, tak lama

setelah Irish Free State didirikan pada 6 Desember 1922. Irish Free

State mencakup seluruh Irlandia, termasuk daerah yang kini

dikenal sebagai Republik Irlandia Utara. Irish Free State resmi

dibubarkan pada 29 Desember 1937. Cerita pendek di atas

diterjemahkan oleh An. Ismanto.

(Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2013)

(Gambar oleh Yuyun Nurrachman)

Page 15: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

Sangkar di Atas Leher

Cerpen Adi Zamzam

KAN kuceritakan kepadamu tentang keanehan yang

kualami sejak empat hari kemarin, yang terus saja

menyiksaku hingga detik ini. Adalah kicauan seekor

burung terdengar seperti permintaan tolong dan kadang

terdengar pula seperti ratapan. Kicauan itu terus bergema dalam

kepalaku. Tak henti-henti. Ya, di dalam kepalaku!

Saat kicauan itu berdenging di telinga kiriku, segera saja

kusumpal lubang telinga kiriku. Pun ketika kicauan itu meriuhi

telinga kananku, segera saja kusumpal lubang telinga kananku.

Tapi semua itu sia-sia belaka. Kicauan itu justru kemudian

meloncat ke atas.

Lalu, setelah kugetok-getok ubun-ubunku, kicauan itu pun

menghindar ke bawah.

Seperti ada seekor burung dalam kepalaku. Dan ia tengah riuh

mencari pintu keluar. Kicaunya membuatku serasa memiliki

sangkat di atas leher. Sekarang kau tentu dapat mengukur kadar

siksaan yang tengah menderaku.

Aku telah mencoba berbagai cara untuk mengusir burung

yang terkurung dalam kepalaku itu. Pernah kedua telinga

A

Page 16: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

kusumpal dengan headset telepon genggam. Kicau itu memang

segera tersingkir. Namun itu hanya sementara karena aku takut

jika gendang telingaku rusak karenanya.

Aku juga pernah hampir seharian hanya tidur dan tidur. Dua

kali aku melakukannya. Suara kicau itu hanya hilang saat aku

terlelap. Tapi begitu aku bangun, burung itu ikut bangun juga.

Cara ini akhirnya kuakhiri karena hanya membuang-buang waktu.

Hanya akan

membuatku semakin

tertekan saja.

AH,

saran

apa?

Apa kau sudah

menceritakannya

kepada Toto?” ujar

Rani ketika

kuceritakan perihal

kicau burung dalam

kepala yang amat

menyiksa itu.

“Belum. Aku

dikurungnya di

rumah, dan dia begitu

terobsesi dengan

pekerjaan. Sedikit

sekali waktu yang disisakannya untukku.” Kuhela napas berat

sambil memandang foto si kecil Nia yang terpajang manis di dalam

bulet di ruang tamu. Terasa ada yang menyumpal dalam dadaku.

“Jika kau butuh teman, datang saja ke rumah Mami,” Rani

menatapku erat. Mungkin dia coba memahami keadaanku.

“Kau pasti berpikir bahwa aku sedang tertekan,” aku balas

menatapnya lekat. Mencoba melawan prasangkanya.

“W

Page 17: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

“Tidaklah. Aku hanya ingin memberi tahu, sekarang di sana

sudah banyak perubahan. Tidak seperti dulu lagi. Siapa tahu itu

bisa memberi hawa segar buatmu. Siapa tahu jika ketemu dengan

kawan-kawan lama itu bisa mengendapkan masalahmu.”

Aku coba mendengar bujukan Rani.

“Ayolah, Mami masih sering menanyakanmu. Kau dulu murid

kesayangannya. Kaulah yang paling berbakat di antara kami,”

cerocos Rani lagi, yang seperti sepoi angin saja di telingaku.

Aku tertegun sejenak. Kesadaranku tersedot ke sebuah

imajinasi masa depan. Andai aku kembali ke tempat Mami lagi.

Menari. Setiap hari menari. Merentangkan sayap. Kembali

menikmati kebebasan. Kembali merasai gairah ketika

mendapatkan tepuk tangan dari penonton. Tapi sepertinya itu

amat mustahil. Aku bukan Rani. Suamiku juga tak seperti suami

Rani.

Ingatanku tiba-tiba kembali ke sebuah peristiwa ganjil suatu

pagi. Sebuah kejadian tak disengaja, namun membuatku terganggu

hingga kini. Membangunkan sesuatu yang telah cukup lama

tertidur dalam dada.

Itu terjadi ketika aku pulang dari toko perlengkapan bayi.

Langkahku terhenti di sebuah kerumunan yang riuh. Semuanya

lelaki. Dan kemudian aku tahu, pusat dari kerumunan itu adalah

seekor burung mungil yang dilelang oleh pemiliknya. Aku tidak

tahu itu burung apa. Mungil. Terlihat begitu cantik. Warnanya

adalah perpaduan kuning, hijau tua, dan sedikit merah. Membuat

burung itu tampak tiada duanya. Baru kali ini aku tersihir oleh

seekor burung. Juga oleh kicauannya.

Tapi inilah yang kemudian terjadi dalam pandanganku. Ia

hanya burung kecil yang malang. Di telingaku, kicaunya yang riuh

justru terdengar seperti minta tolong.

Orang-orang riuh menawar harganya. Sementara aku sibuk

menyandarkan diri sendiri. Sepanjang perjalanan pulang, suara

kicau burung itu tak mau pergi dari dalam kepalaku. Seolah

kepalaku telah menjadi sangkarnya. Bahkan hingga detik ini,

ketika semuanya aku ceritakan kepada Rani, juga kepadamu.

Page 18: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

“Baiklah. Kapan-kapan aku akan kembali ke sana. Titip salam

buat Mami ya,” ujarku, meski tak yakin. Wajah Toto membayang

ganjil.

Rani menepuk pundakku.

AK semudah yang kubayangkan. Bahkan hanya untuk

sekadar menengok rumah Mami demi mengobati rindu.

Tujuh tahun adalah waktu yang lebih dari cukup untuk

membuat kaku semua persendianku. Meski ternyata kurang lama

untuk mengikis rindu kepada suara musik yang menghentak-

hentak. Tubuhku bahkan masih panas-dingin tiap kali

menyaksikan para penari bermunculan. Mereka tampak selalu

muda, segar, dan lincah sekali. Mereka terlihat begitu menikmati

kebebasannya. Dan siksaan ringan semacam itu kini bertambah

dengan adanya burung malang yang meratap dalam kepalaku.

“Burung kecil? Yang mana? Lihat, di sini banyak sekali burung

kecil,” ujar lelaki yang kulihat pernah melelang burung kecil itu

tempo hari. Melihat puluhan burung yang terkurung dalam

sangkar, aku semakin tersiksa saja. Membuatku ingin bergegas ke

tempat Mami. Melemaskan seluruh persendian tubuh.

Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Lalu membebaskan

semua burung itu.

“Yang memiliki warna perpaduan kuning, hijau tua, dan

sedikit merah. Yang kemarin kau lelang di depan banyak orang.”

“Oh, yang itu,” katanya sambil menyemprot seekor burung

dalam salah satu sangkar dengan semprotan kecil. Kicaunya yang

begitu riuh, serta loncatannya yang tak terkendali, menjadi seperti

siksaan di mataku. Meski lelaki itu terlihat senang.

“Sudah dibeli orang, Mbak.”

“Boleh saya tahu siapa orangnya?”

“Memang ada apa, Mbak?” Keningnya berlipat oleh rasa

heran.

“Apa kau punya alamatnya?”

“Mbak mau membelinya?” Ia menatap tak percaya.

“Aku serius.”

T

Page 19: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

Lelaki itu malah tertawa. “Sungguh, baru kali ini saya

mendapati penggemar burung yang seorang perempuan,”

suaranya terdengar nakal. “Burung satu itu memang raja di

berbagai lomba. Tapi lihat-lihatlah dulu, di sini juga masih banyak

yang kicaunya bisa dipertandingkan.”

“Beri aku alamatnya.” Tak kupedulikan ocehannya yang tak

penting itu.

“Baiklah, catatlah alamatnya baik-baik. Tapi dengarkanlah

saranku. Sebaiknya jangan kau perlihatkan hasratmu di depannya.

Itu akan dipakainya untuk menaikkan harga semau-maunya.”

Itu nasihat yang sama sekali tak berguna bagiku.

ANG terpenting bagiku adalah ketika akhirnya mendapati

burung malang itu. Suaranya terdengar semakin menyayat-

nyayat dada. Semakin membuat kepalaku berdenyut hebat.

Aku pun langsung menawarkan harga di atas harga

keuntungannya.

“Baru saja beberapa hari yang lalu saya memilikinya. Saya

belum berniat menjualnya. Maaf,” ujarnya ringan.

Kepalaku bertambah pening. Pandangan mataku mengabur.

Kutatap tajam wajah lelaki itu. Aku melihat Toto di sana.

“Apa kau tak lihat? Dia rindu kebebasan. Apa kau ingin dia

merelakan seluruh hidupnya untukmu. Sampai kapan kau akan

mengurungnya?” kusemburkan semua yang menyumpal dalam

dada ke wajah Toto itu.

“Maksud anda?” Dahinya mengernyit. Pura-pura tak

mengerti.

“Kau ingin menghargainya berapa?”

“Sudah saya bilang saya belum berniat menjualnya. Saya baru

beberapa hari memilikinya.”

Kedua tanganku gemetar. Aku tahu ini ilusi. Aku tak tahu apa

yang membuat mataku jadi seperti ini. Aku melihat burung itu

menjelma seorang perempuan mungil dalam sangkar. Ia

melompat ke sana-ke mari demi mencari pintu keluar. Riuh

kicaunya berubah seperti riuh suara kesedihanku sendiri!

Y

Page 20: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

“Jika kau tak membebaskannya, perlahan-lahan dia akan mati

dalam sangkar,” rahangku mengeras.

Raut lelaki itu mulai menunjukkan rasa khawatir.

“Bebaskanlah. Berikan padaku. Berapa pun harganya,” ujarku

mendesak.

AAF, Mbak. Buat apa Mbak membawa sangkar

burung ke mall ini?” tanya seorang satpam.

“Pintu atap? Buat apa Mbak membawa

sangkar burung itu ke atap gedung?” tanya seorang pramuniaga.

Dari tempatku berdiri sekarang, angin begitu suka-suka

mempermainkan rambut dan pakaianku. Udara kehilangan bau

apa pun—bau bensin, makanan, manusia, bahkan debu. Dunia

terlihat begitu datar, lapang, seolah tak bertepi. Menggoda

hasratku untuk segera membebaskan diri.

Hawa kebebasan telah berembus kuat dalam kepala. Suara

kicau burung yang beberapa hari lalu menyesaki kepala kini telah

sirna entah ke mana. Saat pintu sangkar di tangan kananku

kubuka lebar-lebar, pintu dalam kepalaku juga ikut terbuka lebar.

Membuat penghuninya terbang keluar entah ke mana. Dan kini

aku hanya menyisakan kekosongan yang paling kosong.

“Terbanglah. Ayo, bebaskan dirimu!” kuangkat tinggi-tinggi

sangkar di tangan kananku. Berharap si burung kecil segera

membebaskan diri. Terbang sesuka hati ke mana pun ia mau.

Ya, lelaki itu akhirnya memang bersedia melepasnya, meski

aku harus menebusnya dengan harga lima kali lipat.

Dan burung kecil itu akhirnya terbanglah. Menuju awan.

Menuju kebebasan. Aku pun bisa merasakannya. Ada sayap yang

tumbuh di punggungku. Lalu tubuhku tiba-tiba saja menjadi

ringan, begitu ringan.

Semenit, dua menit, tiga menit...

Kubiarkan angin meniup keras-keras semua yang berkecamuk

dalam dadaku. Alangkah lega rasanya. Semua yang menyesak

dalam dada langsung menguap. Rani yang membujuk aku untuk

kembali kepada Mami, Toto yang membuang semua kostum

“M

Page 21: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

penariku, Toto yang membuat rumah jadi sangkar dengan sepatah

kalimat “demi si kecil Nia”—semuanya berlesatan satu per satu.

Dan aku semakin ke tepi. Merentangkan sayap.

“Lia, ini aku, Lia. Lihat aku, Lia,” sebuah suara yang amat

kukenal tiba-tiba menyeruak ke telinga. Membuatku menoleh.

Toto! Sementara di sampingnya, beberapa pasang mata

menatapku dengan cemas.

Adakah makhluk yang bernama Lia di sini? Adakah burung

yang dipanggil Lia di sini? Tapi tak ada burung lain selain aku.

“Ke sini lah, Lia. Ayo pulang. Demi Nia,” ujar lelaki itu lagi.

Siapa Lia? Siapa Nia? Lelaki itu pasti sudah gila. Aku tak kenal

mereka. Aku seekor burung sekarang. Aku ingin bebas!(*)

Adi Zamzam tinggal di Desa Banyuputih di kawasan Jepara,

Jawa Tengah.

(Dimuat di Koran Tempo, 14 Juli 2013)

(Gambar oleh Yudha AF)

Page 22: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

Pintu

Cerpen Yudhi Herwibowo

INTU itu ada di ujung halaman belakang. Mengusam

karena waktu. Tersembunyi di antara pohon-pohon

besar yang tak henti membayanginya, seakan sengaja

menyatukan kegelapan. Tanaman rambat yang entah

berakar di mana kemudian membuatnya semakin sempurna tak

terlihat.

Tak mengherankan bila mata gadis kecil itu mendapatinya, ia

akan selalu merasa takut. Pintu itu seperti mampu menarik

dirinya. Padahal sejak dulu, ia selalu teringat teriakan ayah dan

ibunya bila ia muai bermain bersama teman-temannya, “Jangan

sampai melewati pintu itu!” Dan ia selalu menurut.

Pintu itu memang seakan menakutkannya. Menatapnya saja

membuat bulu kuduknya berdiri. Bahkan bayang-bayang yang

terbentuk dari pohon-pohon di sekitarnya, seperti bisa

menghentikan jantungnya untuk beberapa saat.

P

Page 23: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

Namun entah kenapa, perlahan-lahan gadis kecil itu semakin

merasa tertarik pada pintu itu. Mungkin karena hanya di dekatnya

ia bisa merasakan rasa ingin tahu yang tak biasa. Terlebih

semenjak pohon besar di dekat pintu itu rubuh terkena petir, pintu

itu semakin mudah tertangkap oleh matanya.

Sejak itulah muncul berulangkali pertanyaan di kepalanya:

apa yang ada di balik pintu itu?

Ini memang terasa berlebihan. Saat teman-temannya datang,

ia memang akan melupakan sejenak pertanyaan itu. Ketika teman-

temannya itu pulang, ia akan kembali lagi mengalihkan

pandangannya ke arah pintu itu.

Pernah suatu kali, gadis kecil itu bertanya pada Bi Ijah,

pembantu di

keluarganya yang

asli orang desa. Bi

Ijah hanya

mengangkat bahu

dengan enggan,

“Kata orang-orang,

di situ rumah para

lelembut. Ada peri-

peri jahat yang

suka menculik

anak-anak!”

Gadis itu

terkesiap. Peri-

peri? Entah kenapa

begitu saja

terbayang olehnya

makhluk-makhluk kecil bersayap rapuh yang kerap dilihatnya di

film-film. Sosok-sosok yang beterbangan dengan jejak cahaya.

Tapi tentu saja ia tak puas dengan jawaban itu. Ia pikir para

peri tak akan membuatnya ketakutan. Maka ia kemudian

menanyakan pada ayah salah satu temannya, yang kebetulan

rumahnya bersebelahan dengan rumahnya.

Page 24: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

Konon, puluhan tahun lalu, tepat di belakang rumah ini

adalah sebuah kuburan tua. Itulah yang membuat pemilik rumah

sebelumnya membangun tembok tinggi untuk menghalangi

pandangan para penghuninya ke arah situ.

Ini jawaban yang lebih masuk akal bagi otaknya yang masih

terlalu belia. Ketakutannya selama ini pada pintu itu pun jadi

beralasan.

Maka ia tak lagi bertanya-tanya soal pintu itu dan apa yang

ada di baliknya. Ia akan bermain saja di teras belakang. Bila

teman-teman belum datang, ia akan bermain sendiri tanpa

memperhatikan pintu itu.

Seperti hari ini. Gadis kecil itu masih menunggu teman-

temannya datang sambil memainkan bola bekelnya sendiri. Ia

memantulkan, meraup, menangkap, memantulkan lagi, meraup

lagi, menangkap bola itu lagi. Tapi hari ini ada sekali ia luput

menangkap bola bekel itu.

Bola itu memantul jauh.

Gadis kecil itu mencoba mengejarnya. Namun bola bekel itu

terus memantul dengan sempurna di batu-batu di halaman

belakang rumah ini. Arahnya menjadi tak menentu. Semakin jauh,

dan begitu saja mengarah pada pintu itu.

Lalu bola bekel itu hilang ke salah satu celah pintu itu!

Gadis itu terkesiap. Tiba-tiba saja ia mendapati dirinya sudah

berdiri di depan pintu itu sedemikian dekat. Ia menelan ludah. Ia

pastilah sempat berpikir kalau ia harus pergi saja. Ayah dan ibunya

tentu bisa membelikannya bola bekel yang baru. Tapi entah

mengapa, ia seperti tak rela kehilangan miliknya.

Maka dengan tangan gemetar ia meraih gagang pintu itu.

KU lebih baik mati di sini!

Kebosanan telah sampai pada puncaknya. Tak ada

artinya lagi hidup di sini. Kesepian telah merasuk ke dalam

diriku dari tahun ke tahun.

Telah ratusan tahun aku hidup di sini. Telah sepanjang hidup,

aku menemani tubuh-tubuh yang dikuburkan di sini.

A

Page 25: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

Ya, tanah ini awalnya memang penuh dengan tubuh-tubuh

yang pergi dengan doa dan tangisan. Namun itu dulu. Dulu sekali.

Sebelum tanah ini ditinggalkan. Sekian lama kurasakan

kesendirian, tak terusik selama puluhan tahun. Kesendirian yang

mengundang burung-burung untuk bersarang di pucuk-pucuk

ranting, juga ular-ular berbisa di liang-liang akar.

Kupikir aku akan mati dalam suasana seperti itu. Tua dan

terlupakan. Namun ternyata beberapa tahun lalu, semuanya

berubah. Ini diawali dengan datangnya beberapa orang yang

membuat sebuah lubang besar di sini. Mereka bekerja hampir

sehari penuh, seperti mengusir burung-burung dan ular-ular itu.

Kau tahu, sebuah lubang biasanya berarti awal kehidupan.

Aku ingat ketika orang-orang menanam pohon-pohon di sini.

Mereka mengawalinya dengan membuat lubang-lubang di

hamparan tanah ini. Aku pun menebak bahwa lubang itu pun

sebuah awal kehidupan. Tentu aku tak berpikir bahwa mereka

akan menanam sebuah pohon raksasa. Tidak. Yang kubayangkan,

mereka akan membuat sebuah kolam besar yang nantinya penuh

dengan ikan-ikan beraneka rupa.

Tapi dugaanku salah! Beberapa hari kemudian, segerombolan

orang kembali datang dalam dua truk besar. Satu kelompok yang

berseragam dan memegang senjata, tampak memerintah

kelompok lainnya yang terikat tangannya. Mereka dijejerkan di

pinggir lubang. Lalu tanpa banyak bicara, seseorang yang

tampaknya pemimpin kelompok berseragam itu menembaki

mereka satu demi satu.

Tubuh-tubuh itu langsung jatung ke dalam lubang.

Sejak itulah, suasana di sini menjadi berbeda. Entahlah, telah

puluhan tahun aku berakar di sini, di atas tubuh-tubuh manusia

yang mati, namun baru kali ini aku mendengar suara-suara dari

dalam tanah. Raungan menyayat. Teriakan minta tolong. Ratapan

berkepanjangan. Sepanjang hari. Sepanjang bulan. Sepanjang

tahun. Tempat ini benar-benar tumbuh menjadi lebih mengerikan

daripada sebelumnya.

Namun itu belum selesai.

Page 26: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

Beberapa tahun kemudian, ada sekelompok laki-laki menarik

seorang gadis kecil ke sini. Mereka orang-orang tak bertuhan,

sehingga mereka mengabaikan keberatan kami. Deru angin yang

mengencang, guguran daun yang menerpa wajah mereka, desis

ular dari dalam tanah, semuanya mereka sepelekan.

Mereka menyumpal mulut gadis kecil itu dan melucuti

bajunya dan bergiliran mengerjainya. Lalu, setelah semuanya

selesai, salah satu dari mereka mencekik leher gadis itu hingga ajal

menjemputnya. Jenazah gadis kecil itu mereka tinggalkan begitu

saja.

Gadis kecil itu menangis di sampingku. Memandangi

tubuhnya yang tergeletak tak lagi bergerak. Mula-mula air

matanya hanyalah air mata biasa.

Namun, sewaktu ia melihat tubuhnya semakin membusuk dan

hancur, air matanya pun bercampur dengan tetesan darah.

Aku mencoba menghiburnya. Mengatakan padanya bahwa

banyak sekali musibah terjadi tiba-tiba tanpa terelakkan. Ia tak

mau mendengar ucapanku. Untunglah, waktu selalu bisa

menyembuhkan luka. Beberapa tahun kemudian, aku mulai

mendengar suara senandungnya. Aku tahu, sebenarnya ia gadis

periang. Awalnya ia hanya menyanyikan lagu-lagu sedih. Namun,

setelah ia tahu kami semua mendengarkannya di sini, ia mulai

menyanyikan lagu-lagu riang.

Aku suka suaranya. Dan ternyata, tak hanya aku yang

menyukainya. Rusa, ular, kera, dan beberapa binatang lainnya

mulai berdatangan padanya. Ini membuatnya semakin gembira. Ia

kini tak hanya sekadar menyanyi, ia juga menari. Tampaknya ia

telah dapat melupakan apa yang terjadi padanya.

Namun itu tak berlangsung lama. Sewaktu orang-orang dari

desa menemukan tubuhnya dan membacakan doa untuknya,

sosoknya lenyap dari sisiku, menyatu dengan udara.

Sungguh, aku terus berharap ia muncul kembali. Ia telah

membuat suasana hutan belukar ini menjadi lebih gembira. Tapi

inilah yang kemudian terjadi: sebuah rumah besar dibangun di

Page 27: Teman Kami€¦ · Cerpen Dias Novita Wuri AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa

tanah yang terbentang di depan kami. Sebuah tembok bata yang

sisi luarnya tak disemen didirikan menutupi wilayah kami.

Sejak itu aku tak lagi bisa melihat ke depan. Hanya sebuah

pintu berwarna kusam di dinding itu yang selalu memunculkan

harapan bagiku. Namun itu pun ternyata harapan yang sia-sia.

Sampai bertahun-tahun, pintu itu tak pernah terbuka.

Aku sungguh tak habis pikir, bagaimana mungkin sebuah

pintu dibuat tanpa pernah dibuka?

Hingga akhirnya aku benar-benar merasa lelah. Kesendirian

ini membuatku ingin mati saja. Namun di puncak keinginan inilah

tiba-tiba saja dari sebuah celah pintu itu sesuatu memantul ke

arah kami. Sebuah bola karet kecil.

Kulihat gagang pintu mulai bergerak pelan.

Napasku seakan berhenti. Angin menepi. Daun-daun berhenti

bergerak. Kicau burung dan desis ular lenyap. Suara-suara

teriakan itu pun tak terdengar. Semua mendadak senyap.

Lalu seorang gadis kecil kulihat muncul dari balik pintu.

Sungguh, ia begitu mirip dengan gadis kecil yang dulu pernah

datang ke mari. Wajahnya cantik, dengan mata berbinar dan

rambut panjang yang terkuncir dua.

Aku tahu wajahnya penuh ketakutan saat memandangi kami

semua. Tapi bola karet kecil yang tak berhenti memantul itu

seakan membuat ketakutannya lenyap.

Ah, gadis kecil, kemarilah! Jangan takut!

Sungguh, aku dan semua yang ada di sini telah siap

menyambutmu di langkah pertamamu di tanah kami.(*)

Yudhi Herwibowo giat di buletin sastra Pawon, Solo.

(Dimuat di Koran Tempo, 7 Juli 2013)

(Gambar oleh Yuyun Nurrachman)