TEMA-TEMA LAKON PEWAYANGAN DALANG KI ENTHUS...
Transcript of TEMA-TEMA LAKON PEWAYANGAN DALANG KI ENTHUS...
TEMA-TEMA LAKON PEWAYANGAN
DALANG KI ENTHUS SUSMONO
DI KABUPATEN TEGAL JAWA TENGAH
TAHUN 2013-2017
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Oleh
Rizka Putri Fauziah
NIM. 1113022000081
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Rizka Putri Fauziah
NIM : 1113022000081
Program Studi : Sejarah dan Peradaban Islam
Judul Skripsi : Tema-Tema Lakon Pewayangan Dalang Ki Enthus
Susmono di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah Tahun
2013-2017
Dengan ini menyatakan bahwa, skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri
yang merupakan hasil penelitian, pengolahan, dan analisis sendiri serta bukan
bentuk plagiarisme maupun replikasi dari hasil penelitian atau karya orang lain.
Apabila terbukti bahwa karya ini bukan hasil saya sendiri atau hasil
plagiarisme dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian surat ini saya buat, dengan segala akibat yang timbul di kemudian
hari menjadi tanggung jawab pribadi.
iii
TEMA-TEMA LAKON PEWAYANGAN
DALANG KI ENTHUS SUSMONO
DI KABUPATEN TEGAL JAWA TENGAH
TAHUN 2013-2017
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Oleh
Rizka Putri Fauziah
NIM. 1113022000081
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018M
iv
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul Tema-Tema Lakon Pewayangan Dalang Ki Enthus
Susmono di Kabupaten Tegal Jawa Tengah Tahun 2013-2017 ini telah
diujikan dalam sidang skripsi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 12 Maret 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.) pada Program Studi
Sejarah dan Peradaban Islam.
Ciputat, 12 Maret 2018
v
DEDIKASI
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
Kedua orang tua penulis, Abi Sobirin (alm.) dan Umi Siti Julaekha, serta kedua
adik penulis, Qotrunnada Salsabila dan Faiq Fachrurrozy Abdillah. Kalianlah
yang menjadi penyemangat bagi penulis untuk terus berjuang menyelesaikan
skripsi ini.
vi
ABSTRAK
Studi ini menjelaskan tentang tema-tema lakon wayang di Kabupaten Tegal,
dengan dalang Ki Enthus Susmono yang masih melestarikan kesenian wayang,
dan tidak mengurangi kegiatan Ki Enthus sebagai Bupati Tegal. Ki Enthus
merupakan anak dari keturunan dalang. Wayang yang lekat dengan budaya Jawa
ini telah ada sejak zaman animisme. Ki Enthus merupakan dalang wayang golek
dan wayang kulit, di tangan Ki Enthuslah boneka-boneka dari kulit kerbau dan
kayu Leme atau Albasiah ini menjadi pagelaran yang ditunggu-tunggu pentasnya
oleh masyarakat. Tidak hanya menghibur masyarakat Tegal, Ki Enthus juga
pentas di luar pulau Jawa. Metode yang penulis gunakan adalah metode analisis
dengan deskriptif data (kualitatif), dengan cara observasi langsung ke tempat
penelitian dan melakukan wawancara kepada narasumber terkait skripsi. Dan
metode dokumentasi dengan pengumpulan artikel serta video-video terkait tema-
tama lakon pagelaran Ki Enthus. Temuan peneliti adalah bahwa Ki Enthus
merupakan dalang kontemporer, tema-tema yang Ki Enthus gunakan merupakan
tema-tema keseharian, kenabian, isu-isu yang sedang hangat diperbincangkan oleh
masyarakat. Karena Ki Enthus merupakan Bupati di Kabupaten Tegal, maka
dunia perpolitikan ia masukan ke dalam tema lakon pagelarannya, untuk
mengkritisi para penguasa. Selain tema yang bersifat politik, Ki Enthus juga
memodifikasi tema-temanya kedalam tema Nasionalisme dan Ekonomi.
Dipentaskan dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, serta diselingi
dengan guyonan-guyonan, pagelaran Ki Enthus pun menjadi semakin hidup.
Menampilkan dua tokoh Wayang Golek yang fenomenal Lupit dan Slenteng.
Tidak hanya Lupit dan Slenteng Ki Enthus pun banyak membuat tokoh-tokoh
kontemporer, seperti wayang politik Susilo Bambang Yudhoyono, Barack Obama,
Saddam Husein, Jokowi, Jusuf Kalla, dan masih banyak lagi karya-karya tokoh
pewayangannya. Ki Enthus juga mengutip ayat-ayat suci al-Qur‟an serta Hadits
Nabi dalam pementasannya.
Kata kunci: Ki Enthus Susmono, Wayang Santri, Kesenian Kabupaten Tegal.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil „alamin, segala puji dan syukur penulis haturkan
kepada Allah SWT yang maha pengasih dan penyayang, yang telah melimpahkan
segala macam nikmat dan rahmat-Nya. Sholawat dan salam senantiasa selalu
tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya,
sahabatnya, hingga kepada umatnya hingga akhir zaman ini. Amin.
Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mendapat gelar
Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta adalah
membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Dengan usaha dan tekad yang
kuat akhirnya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul : “Tema-
Tema Lakon Pewayangan Dalang Ki Enthus Susmono di Kabupaten Tegal,
Jawa Tengah Tahun 2013-2017”.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, banyak pihak yang telah berpartisipasi
dalam memperlancar penyelesaian skripsi ini baik bersifat moril ataupun materil.
Dengan ini penulis mengucapkan terimakasih serta penghargaannya atas dorongan
dan kerjasamanya kepada penulis, untuk menyelesaikan skripsi ini. Rasa
terimakasih dan penghargaan yang begitu besar penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Syukron Kamil, M.A selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora.
3. Bapak H. Nurhasan, M.A selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban
Islam, yang telah membantu penulis selama menjadi mahasiswi dalam
beberapa hal yang berhubungan dengan Universitas sehingga segalanya
menjadi lebih mudah.
4. Ibu Solikhatus Sa‟diyah, M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam, yang telah banyak membantu penulis saat menjadi
mahasiswi di Prodi SPI ini, baik yang berhubungan dengan surat menyurat
ataupun motivasi untuk terus berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.
viii
5. Bapak Prof. Budi Sulistiono M.Hum selaku dosen pembimbing skripsi yang
memberikan banyak masukan serta saran kepada penulis untuk terus
mencari sumber dalam penulisan skripsi ini, yang selalu memotivasi penulis
untuk segera menyelesaikan kewajiban menulis skripsi yang dengan sabar
dan berdedikasi tinggi dalam proses penulisan skripsi ini.
6. Bapak Dr. Sudarnoto Abdul Hakim M.A selaku dosen Penasehat Akademik
Penulis dan dosen penguji skripsi I yang telah memperbaiki isi skripsi
penulis sehingga menjadi lebih baik.
7. Bapak Dr. Abdul Wahid Hasyim M.Ag selaku dosen penguji II yang telah
memperbaiki isi skripsi penulis sehingga menjadi lebih baik.
8. Seluruh dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu namun ilmu yang telah kalian berikan sangat berarti
dalam hidup penulis.
9. Kedua orang tua Abi Sobirin (alm.) dan Umi Siti Julaekha, selaku orang tua
penulis. Terimakasih atas cinta, kasih sayang, kepercayaan, motivasi, do‟a
dan pengorbanan tiada pamrih kepada penulis, sehingga penulis termotivasi
hingga bisa menyelesaikan skripsi ini.
10. Qotrunnada Salsabila dan Faiq Fachrurrozy Abdillah, kedua adik penulis
yang selalu memberikan semangat dan kebahagiaan bagi penulis.
11. KH. Syarif Rahmat RA. SQ. MA dan Hj. Uswatun Chasanah selaku
pengasuh Pondok Pesantren Ummul Qura, terimakasih atas segala ilmu
yang diberikan kepada penulis, semoga bisa terus dimanfaatkan oleh penulis
dengan sebaik-baiknya.
12. Arfan Effendi selaku sahabat penulis, terimakasih atas do‟a, dukungan dan
motivasi yang tiada henti-hentinya.
13. Keluarga besar kakek Damad dan keluarga besar kakek H. Nurcholis yang
telah memberikan semangat kepada penulis.
14. Abah Enthus Susmono, selaku informan utama dalam skripsi ini, yang telah
meluangkan waktu di sela-sela kesibukan yang begitu padat, memberikan
pengalaman baru, dan semangat kepada penulis.
ix
15. Teman-teman dari Komunitas Anak Panah yang tanpa mengurangi rasa
kasih sayang dari penulis, tidak bisa disebutkan satu persatu, namun
kalianlah yang menjadi salah satu penyemangat untuk segera menyelesaikan
skripsi ini, dan menjadi sahabat yang selalu ada untuk penulis.
16. Teman-teman seperjuangan di SPI angkatan 2013 yang banyak membantu
dalam menyelesaikan skripsi ini.
17. Abang dan Neng Kece yang merupakan teman seperjuangan di Pondok
Pesantren Ummul Qura, terimakasih atas semangat dan dukungan yang
selalu menginspirasi penulis.
18. Ka Haryo Ja‟far Susilo dan Bapak Hatmanto, serta crew Sanggar Satria
Laras, yang telah membantu penulis dan menggali informasi terkait dengan
skripsi ini.
19. Teman-teman KKN 2016 Pasba Abipraya yang telah memberikan semangat
kepada penulis.
Semua pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu
memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semuanya. Demi perbaikan
selanjutnya, saran dan kritik yang membangun akan penulis terima dengan senang
hati. Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis serahkan segalanya, mudah-
mudahan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis, umumnya bagi kita semua.
Jakarta, 12 Maret 2018
Rizka Putri Fauziah
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iv
DEDIKASI ............................................................................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Permasalahan .......................................................................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 9
D. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 10
E. Landasan Teori ..................................................................................... 11
F. Metode Penelitian ................................................................................. 12
G. Sistematika Penulisan ........................................................................... 14
BAB II BIOGRAFI KI ENTHUS SUSMONO ................................................. 15
A. Keadaan Sosial Budaya Masyarakat Tegal .......................................... 15
B. Biografi Ki Enthus Susmono ................................................................ 20
C. Pengalaman Sosial, Politik dan Keagamaan Ki Enthus Susmono........ 25
BAB III SEJARAH DAN FUNGSI WAYANG ................................................ 31
A. Sejarah Wayang .................................................................................... 31
B. Jenis-Jenis Wayang .............................................................................. 34
C. Perkembangan Wayang dari Masa ke Masa ......................................... 39
D. Wayang Sebagai Media Dakwah .......................................................... 47
BAB IV PEWAYANGAN KI ENTHUS SUSMONO ...................................... 50
A. Karya dan Penghargaan Ki Enthus Susmono ....................................... 50
B. Tema Nasionalisme .............................................................................. 54
C. Tema Politik ......................................................................................... 57
D. Tema Keagamaan ................................................................................. 59
xi
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 66
A. Kesimpulan ........................................................................................... 66
B. Saran ..................................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 68
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 74
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia memiliki wilayah yang luas, meliputi wilayah Sabang
sampai Marauke, dan memiliki karya budaya tradisi lisan yang banyak tersebar
diseluruh pelosok Nusantara. Berbagai bentuk tradisi lisan mulai dari cerita
rakyat, teater rakyat, pantun, nyanyian rakyat, merupakan kekayaan budaya yang
memiliki nilai-nilai.1 Kekayaan budaya tradisi lisan yang corak dan ragamnya tak
terhitung, kini semakin sulit untuk dicari jejaknya. Kalaupun ada cenderung sudah
tidak utuh lagi karena pelakunya sudah tidak ada, atau hanya satu dua, bahkan ada
yang sudah tidak tampak jejaknya. Kondisi ini, di samping karena perkembangan
zaman dan pesatnya kemajuan tekhnologi, juga karena tidak adanya perhatian dari
pemilik maupun perhatian dari pemerintah.
Budaya Indonesia memiliki jenis dan warna yang beragam. Di antara
berbagai suku yang mendiami kepulauan Nusantara, budaya Jawa termasuk yang
dapat dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk kesenian yang amat kaya, telah ada
sejak zaman kuno dan masih dinikmati oleh masyarakat hingga kini. Namun ada
pula yang semakin ditinggalkan para pendukungnya, dan tersisih oleh peredaran
zaman. Budaya adalah adat suatu masyarakat setempat yang sudah dilakukan
secara turun-temurun,2 kawasan budaya Jawa meliputi Jawa Tengah dan sebagian
besar Jawa Timur yang menjadi tempat berkembangnya salah satu kesenian milik
budaya Jawa yang sangat berharga, yaitu wayang suatu jenis kesenian yang
beraneka ragam dan masing-masing dengan bahan cerita serta pesan yang
dibawanya.
Masyarakat Jawa memiliki ragam kesenian sendiri dan tumbuh sesuai
dengan perkembangan budaya Jawa. Kesenian Jawa mengalami pertumbuhan
yang pesat setelah mendapat pengaruh berbagai macam kesenian asing. Namun
1 Sumitarsih, dkk., Wayang Topeng sebagai Wahana Pewarisan Nilai (Jakarta : Kementrian
Pendidikan Kebudayaan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2000), h. 2. 2 M. Naufal Zharif Bakar, Mengenal Budaya Nusantara (Bandung : Usaha Jaya Pratama,
2012), h. 15.
2
kesenian asing tidak mampu mematikan kesenian Jawa karena kesenian Jawa
tetap mengakar pada kepribadian Jawa.3 Dari sekian banyak jenis kesenian Jawa,
seni pewayangan yang hidup sejak beribu-ribu tahun yang lalu telah mencapai
mutu yang tinggi. Seni pewayangan memuat filsafat hidup di Jawa, etika Jawa,
estetika Jawa, sehingga seni pewayangan merupakan ensiklopedi dan tuntunan
hidup bagi masyarakat Jawa. Begitu besarnya peran wayang dalam kehidupan
masyarakat Jawa, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa wayang merupakan
identitas orang Jawa.
Pada dasarnya pertunjukan wayang pada masa lalu adalah sebagai upacara
ritual pemujaan roh nenek moyang. Kenyataan ini memang masih terasa hingga
sekarang, kepercayaan itu tentu erat kaitannya dengan kepercayaan kuno
Indonesia, yakni kepercayaan animisme dan dinamisme.4
Para ahli sejarah berupaya mengkontruksikan asal usul pagelaran wayang
G.A.J Hazeu yang teorinya lebih banyak diterima berpendapat bahwa pergelaran
seni pertunjukan wayang diperkirakan sudah ada sejak zaman animisme.5
Sedangkan Sri Mulyono berpendapat bahwa pertunjukan wayang sudah berumur
lebih dari 3000 tahun, atau bila dihitung dari pertunjukkan bentuk aslinya sudah
mempunyai umur kurang lebih 3.518 tahun (kurang lebih 1500 SM–2018).6
Walaupun wayang kulit sudah berumur lebih dari 3000 tahun, namun masih tetap
digemari dan tetap mendarah daging bagi bangsa Indonesia pada umumnya dan
suku Jawa pada khususnya. Begitu juga dengan teater wayang kulit, banyak orang
mengira bahwa pertunjukkan itu adalah peninggalan kebudayaan Hindu, akan
tetapi pada dasaranya kenyataan tidak sesuai dengan halnya, karena wayang kulit
dalam bentuk yang asli dengan diciptakan serba sederhana dipastikan berasal dari
Indonesia dan diciptakan oleh bangsa Indonesia di Jawa jauh sebelum kebudayaan
Hindu datang yakni kira-kira tahun 1500 SM.7
3 Suwadji Bastomi, Nilai-Nilai Seni Pewayangan. (Semarang : Dahara Press, 1993), h. 5.
4 Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa (Semarang : Effhar dan Dahara Prize, 1992), h. 13-
14. 5 Ir. Sri Mulyono, Wayang : Asal-Usul. Filsafat, dan Masa Depannya (Jakarta : PT.
Gunung Agung, 1982), h. 8. 6 Ir. Sri Mulyono, Wayang : Asal-Usul. Filsafat, dan Masa Depannya, h. 1-7.
7 Ir. Sri Mulyono, Wayang : Asal-Usul. Filsafat, dan Masa Depannya, h. 2.
3
Masuknya agama Islam di Indonesia pada abad ke-15, membawa perubahan
besar terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu pula wayang telah
mengalami masa pembaharuan besar-besaran, tidak saja dalam bentuk dan cara
pagelaran wayang, melainkan juga isi dan fungsinya. Berangkat dari perubahan
nilai-nilai yang dianut, maka wayang pada zaman Demak dan seterusnya telah
mengalami penyesuaian dengan zamannya. Bentuk wayang yang semula realistik
profesional seperti tertera dalam relief candi-candi, distilir8 menjadi bentuk
imajinatif seperti wayang sekarang ini. Selain itu, banyak sekali tambahan dan
pembaharuan dalam peralatan seperti Kelir atau layar, Blencong atau lampu yang
digunakan di atas kepala dalang, Debog yaitu pohon pisang untuk menancapkan
wayang, dan masih banyak lagi.9
Para wali dan pujangga Jawa mengadakan pembaharuan yang berlangsung
terus-menerus sesuai perkembangan zaman dan keperluan pada waktu itu,
utamanya wayang digunakan sebagai sarana dakwah Islam.10
Sesuai nilai Islam
yang dianut, isi dan fungsi wayang telah bergeser dari ritual agama (Hindu)
menjadi sarana pendidikan, dakwah, penerangan, dan komunikasi massa. Ternyata
wayang yang telah diperbaharui kontekstual dengan perkembangan agama Islam
dan masyarakat, menjadi sangat efektif untuk komunikasi massa dalam
memberikan hiburan serta pesan-pesan kepada masyarakat. Fungsi dan peranan
ini terus berlanjut hingga sekarang.
Wayang dalam bahasa Jawa berarti bayangan.11
Jika dilihat dari sudut
pandang terminologi ada beberapa pendapat tentang wayang. Pertama wayang
berasal dari kata wayangan yang berarti sumber ilham maksudnya adalah ide
dalam menggambarkan wujud tokohnya. Kedua wayang berasal dari dua kata
yakni wad dan byang yang artinya leluhur.12
Dan secara harfiah dari wayang
adalah bayangan, tetapi dalam perjalanan waktu pengertian wayang itu berubah,
8 Dalam seni rupa bermakna gaya
9 Herry Lisbijanto, Wayang (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2013), h. 25.
10 Herry Lisbijanto, Wayang, h. 32.
11 Ir. Sri Mulyono, Wayang : Asal- usul. Filsafat, dan Masa Depannya, h. 9.
12 Rizem Aizid, Atlas Tokoh-Tokoh Wayang (Yogyakarta : Diva Press, 2012), h. 19.
4
dan kini wayang dapat diartikan sebagai pertunjukkan panggung atau teater atau
dapat berarti aktor dan aktris.13
Wayang bukan hanya pagelaran yang bersifat menghibur, tetapi juga syarat
akan nilai-nilai filsafat hidup. Karena dalam cerita wayang tiap tokohnya
merupakan refleksi atau representasi dari sikap, watak, dan karakter manusia
secara umum. Wayang pada umumnya menunjuk pada teater boneka yang
digerakkan oleh seorang dalang dengan iringan bunyi-bunyian, mulai dari yang
sederhana sampai pada orkestra gamelan penuh.14
Bahkan wayang juga dikenal
sebagai salah satu media komunikasi pembangunan merupakan langkah yang
sangat positif dan bijaksana, pertama wayang berfungsi sebagai melestarikan
warisan nilai budaya nenek moyang bangsa, dan kedua wayang sebagai suatu
bentuk kesenian tradisional yang telah berakar kuat dalam kebudayaan masyarakat
Indonesia, khususnya Jawa.15
Sekarang banyak orang mengatakan bahwa wayang
kulit adalah kesenian yang tinggi martabatnya, bahkan memberi predikat bahwa
wayang kulit adalah kesenian klasik tradisional adhiluhung.
Indonesia mempunyai banyak jenis-jenis wayang, diantaranya Wayang
Kulit, Wayang Golek, Wayang Topeng, Wayang Banjar, Wayang Beber, Wayang
Klitik, Wayang Suluh, Wayang Warta, Wayang Jawa, Wayang Perjuangan,
Wayang Tutus yang merupakan khas Tegal. Keistimewaan wayang sebagai
bentuk kesenian adalah sifat-sifatnya yang adhiluhung dan edipeni, yaitu seni
yang sarat dengan falsafatnya, serta sangat indah. Bisa juga dikatakan
mengandung nilai-nilai etika dan estetika. Para pakar budaya barat menyebutkan
wayang sebagai bentuk drama yang canggih di dunia (The most complex and
sophisticated theatrical form in the world).16
Wayang berfungsi sebagai tontonan
dan juga tuntunan dalam masyarakat Indonesia sejak berabad-abad yang lalu
hingga sekarang, banyak sarjana Barat yang telah melakukan penelitian dan
13
Pandam Guritno, Wayang Kebudayaan Indonesia dan Pancasila (Jakarta : UI-Press,
1988), h. 11. 14
Bagyo Suharyono, Wayang Beber Wonosari (Depok : Bina Citra Pustaka, 2005), h. 5. 15
Ali Rif‟an, ed., Buku Pintar Wayang (Yogyakarta : Garai lmu, 2010), h. 10. 16
Edy Sedyawati, Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid I, Volume I (Sekretaris Nasional
Pewayangan Indonesia : Sena Wangi, 1999), h. 21.
5
belajar tentang wayang misalnya Sarah Bilby (Inggris), G.J Davidson (Australia),
Matthew Isaac Cohen (Belanda), dan masih banyak lagi.17
Kota Tegal berada di jalur Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah, terletak
165 km sebelah Barat Kota Semarang atau 329 km sebelah Timur Jakarta, terletak
di antara 109°08‟ - 109°10‟ Bujur Timur dan 6°50‟ - 6°53‟ Lintang Selatan,
dengan wilayah seluas 39,68 Km² atau kurang lebih 3.968 Hektar. Kota Tegal
berada di wilayah Pantura, dari peta orientasi Provinsi Jawa Tengah berada di
wilayah Barat, dengan bentang terjauh Utara ke Selatan 6,7 Km dan Barat ke
Timur 9,7 Km. Dilihat dari letak geografis, posisi Tegal sangat strategis sebagai
penghubung jalur perekonomian lintas nasional dan regional di wilayah Pantura
yaitu dari Barat ke Timur (Jakarta-Tegal-Semarang-Surabaya) dengan wilayah
tengah dan selatan Pulau Jawa (Jakarta-Tegal-Purwokerto-Yogyakarta-Surabaya)
dan sebaliknya.18
Tegal semula merupakan salah satu daerah pemukiman yang ada di Jawa
Tengah, dan dianggap sebagai tempat terpencil, yang kemudian berkembang
menjadi Kota, letaknya di pantai Utara Jawa. Maka Tegal merupakan salah satu
kota pantai yang dihuni oleh sejumlah penduduk, sehingga Tegal menarik untuk
dikaji. Asal mula nama Tegal yakni konon menurut cerita rakyat tokohnya adalah
Pangeran Panggung19
sebagai pembuka babad daerah dan pemimpin awal tempat
tersebut. Diceritakan bahwa pada masa pemerintahan Demak daerah Tegal di
bawah pimpinan Pangeran Panggung atau Raden Panggung yang kemudian juga
disebut sebagai Mbah Panggung. Cerita rakyat yang kedua menjelaskan bahwa
Tegal berasal dari kata tetegal yang artinya lahan pertanian kering (tegalan) yang
dapat ditanami palawija.20
Daerah ini berkaitan dengan adanya tokoh bernama Ki
17
Hereby Proclaims, Wayang Puppet Theatre (Paris : a Masterpiece of the Oral and
Intangible Heriage of humanity, 2008), h. 2. 18
http://www.tegalkab.go.id/page.php?id=5 (diakses pada tanggal 31 April 2017, Pukul
14.30 WIB) 19
Ulama karismatik dari Jazirah Arab, yang menyebarkan agama Islam di wilayah Tegal.
Nama aslinya adalah Syekh Abdurrahman 20
Merupakan hasil panen kedua disamping padi, istilah ini berkembang diantara para petani
di pulau Jawa
6
Gede Sebayu,21
ia beserta pengikutnya Ki Wanakusma anak dari Raden
Panggung, menyiarkan agama Islam di tempat tersebut, mengajarkan tentang
keesaan Tuhan (Ketauhidan), akhlaq mulia, budi pekerti yang baik, sehingga
lama-lama tempat itu ramai dan menjadi kota yang disebut dengan Tegal.22
Ada juga yang melatar belakangi sejarah berkaitan dengan tindakan
seseorang, mengenai asal kata Tegal berasal dari kata Tegel yang artinya tega atau
sampai hati.23
Pada masa Kerajaan Mataram ada dua orang saudara seperguruan
yakni Martoloyo dan Martapuro. Martoloyo adalah putra Panembahan Senopati
dengan Retno Dumilah, yang merupakan salah satu Adipati daerah pantai Utara.
Sedangkan Martopuro adalah Adipati Jepara. Keduanya berguru di Padepokan
Lembah Manah kepada Kyai Lembah Manah. Dan dihadapan gurunya mereka
telah berjanji Sabaya Mukti, Sabaya Pati yang artinya kalau bahagia, bahagia
semua, kalau mati, mati semua.24
Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu
dan terdorong oleh situasi pada masa itu, kemudian berakibat lain tidak seperti
yang diharapkan.
Peran penting dalam dunia pewayangan adalah dengan hadirnya seorang
Dalang. Kata Dalang berasal dari kata weda dan wulang atau mulang. Weda
adalah kitab agama Hindu yang memuat peraturan tentang hidup dan kehidupan
manusia dalam masyarakat ramai, dalam pergaulan sesama manusia, terutama
menuju kesempurnaan di alam baka. Wulang berarti ajaran atau petuah,
sedangkan mulang berarti memberi pelajaran. Dengan demikian yang disebut
dengan dalang adalah seorang yang mempunyai kejuruan dan menganggap
dirinya mempunyai tugas suci untuk memberikan wejangan, pelajaran, uraian atau
tafsiran tentang isi kitab suci Weda beserta maknanya kepada masyarakat.25
21
Bupati Tegal, dan merupakan salah satu orang yang sangat berjasa dalam membangun
Tegal. 22
S. Ilmi Albiladiyah, dkk, Tegal dalam Lintas Sejarah (Yogyakarta : Balai Pelestarian Nilai
Budaya, 2013), h. 13-18. 23
Suriali Andi Kustomo, Jejak Kota Tegal 1999-2009 (Tegal : Bagian Humas dan Protokol
Kota Tegal, 2010), h. 6. 24
Rochani A.H, Ki Gede Sebayu Babad Negeri Tegal (Tegal : Intermedia Paramadina
bekerjasama dengan Pemerintahan Kabupaten Tegal, 2005), h. 115-153. 25
Nursodik Gunarjo, ed., Wayang Sebagai Media Komunikasi Tradisional dalam Diseminasi
Informasi (Jakarta Barat : UEU- University Press, 2013), h. 36.
7
Salah satu dalang yang masih melestarikan seni pertunjukkan wayang
adalah Ki Enthus Susmono, Ki Enthus merupakan seorang dalang wayang kulit
dari Kabupaten Tegal, nenek moyangnya merupakan seorang dalang. Ki Enthus
Susmono merupakan anak dari keturunan dalang, ayahnya merupakan seorang
dalang, sehingga Ki Enthus ingin melestarikan kesenian wayang yang merupakan
budaya Jawa.
Pendidikan Ki Enthus dengan belajar bersama dalang yang lebih dulu,
otodidak, dan sering kali mengikuti pementasan ayahnya.26
Ia dikenal sebagai
orang yang mudah bergaul dengan siapapun dan berbagai kalangan, khususnya
kalangan pedalangan dan pagelaran dengan apresiasi masyarakat serta
penyajiannya selalu sesuai dengan perkembangan zaman.
Ki Enthus Susmono menjadikan pertunjukan wayang kulit dan wayang
golek sebagai media da‟wah. Ia mempunyai kreasi dan inovasi untuk menjadikan
pertunjukkan wayang kulit sebagai media tontonan dan tuntunan yang
mengandung nilai-nilai ajaran agama Islam. Dalam media wayang inilah Ki
Enthus melakukan inovasi dalam menyajikan pertunjukan wayang kulitnya,
walaupun Ki Enthus sering kali mendapatkan kritikan dari dalang lainnnya,
mengatakan bahwa Ki Enthus merupakan dalang yang slebor,27
sebab disaat
orang lain mencaci, Ki Enthus justru memiliki kreasi dan inovasi untuk
menjadikan pertunjukan wayang kulit sebagai media tontonan dan tuntunan yang
mengandung nilai-nilai ajaran agama Islam.28
Tema-tema yang ia gunakan sebagai tema pertunjukan sebagian besar
merupakan tentang da‟wah Islam, dimana ia menggabungkan antara seni dengan
pokok ajaran Islam.29
Ada dua metode yang ia gunakan dalam menyampaikan
ajaran agama Islam dalam wayang selama ini, yang pertama dengan mengutip
ayat al-Qur‟an dan Hadits secara langsung, dan yang kedua mengutip ayat al-
26
Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27
Desember 2017, pukul 00.30 WIB 27
Acak-acakan (tentang pakaian, pekerjaan, dan lain sebagainya) 28
https://nasional.kompas.com/read/2009/02/27/11150324/ki.enthus.susmono.kreativitas.tia
da.henti (diakses pada tanggal 10 Februari 2017, pukul 08.00 WIB) 29
Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27
Desember 2017, pukul 00.30 WIB.
8
Qur‟an atau Hadits secara tidak langsung, tetapi secara simbolis atau
terselubung.30
Ada juga tema yang tidak ada unsur ke-Islaman nya melainkan
adanya tema yang mengandung moral, pendidikan, dan lain sebagainya.
Tema-tema lakon pewayangan Ki Enthus sudah banyak diantaranya : 1.
Lakon wayang Karna Tanding, lakon ini bertemakan perjuangan menuntut hak
demi tegaknya keadilan yang ada di dunia, dan memiliki amanat jangan mudah
putus asa dalam menuntut hak demi tegaknya keadilan yang ada. 2. Lakon
wayang Resi Durna, dimaknai sebagai lambang angan-angan atau budi yang
menggerakkan tokoh Bima. 3. Lakon wayang Arjuna Krama, 4. Lakon wayang
Rama Nitis, 5. Lakon wayang Semar Wirid, 6. Lakon wayang Murid Murtad, dan
masih banyak lagi. Dalam penelitian ini, penulis ingin memaparkan apa saja
tama-tema lakon pewayangan Ki Enthus Susmono, penulis membaginya menjadi
beberapa komponen yaitu tema Nasionalisme, tema Politik dan tema Agama.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang dari uraian, maka penulis mencoba mengangkat
serta menginformasikan kembali mengenai kesenian Wayang Kulit dan Wayang
Golek, dengan dalang Ki Enthus Susmono dari Kabupaten Tegal, yang masih
melestarikan kesenian wayang. Berbeda dengan dalang-dalang lainnya, yang
biasanya seorang dalang hanya mempagelarkan wayang kulit ataupun wayang
golek, Ki Enthus dapat memainkan keduanya. Tema-tema wayangnya pun tidak
hanya berbicara tentang da‟wah Islam, akan tetapi ia memodifikasi dengan tema-
tema Politik, Nasionalisme, dan Ekonomi.
Oleh karena itu yang menjadi permasalahan utama adalah apasaja tema-
tema lakon wayang Kulit dan Wayang Golek dalang Ki Enthus Susmono.
2. Pembatasan Masalah
Terkait dengan judul penulisan penelitian : “Tema-Tema Lakon
Pewayangan Dalang Ki Enthus Susmono di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah
tahun 2013-2017”, penulis membatasi mengenai dalang, yaitu hanya kepada
30
Muhammad Mukti, “Wayang Dalam Konteks Budaya”, Jurnal Imaji, (Februari, 2006)
9
Ki Enthus Susmono. Selanjutnya penulisan ini hanya berfokus pada tema-
tema Wayang Kulit dan Wayang Golek Ki Enthus.
3. Batasan Masalah
Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut :
1) Bagaimana sejarah pertunjukan Wayang?
2) Apa saja karya-karya dan biografi Ki Enthus Susmono ?
3) Apa saja tema-tema lakon Wayang Kulit dan Wayang Golek Ki Enthus
Susmono ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui nilai ajaran Islam yang dikemas dalam sebuah lakon /
tema oleh Ki Enthus Susmono dan bagaimana pertunjukan wayang itu di
pentaskan.
2. Untuk mengetahui bagaimana karya-karya dan biografi Ki Enthus Susmono
3. Untuk mengetahui apa saja, bagaimana dan kapan tema / lakon wayang kulit
dan wayang golek dipentaskan.
4. Penelitian ini bertujuan untuk menambah wawasan dalam bidang kesenian
wayang.
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan khazanah keilmuan, penelitian ini terkait sejarah lokal, dimana
sampai saat ini belum ada penelitian oleh mahasiswa Sejarah Peradaban
Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta, yang membahas tentang kesenian wayang dengan
dalang dari Kabupaten Tegal Ki Enthus Susmono.
2. Memberikan gambaran tentang melestarikan kebudayaan Indonesia
khusunya Jawa dengan kesenian wayang.
3. Menambah wawasan dan pengetahuan untuk para pembaca dan penulis
tentang sejarah lokal yang ada di Kabupaten Tegal.
10
4. Setelah melihat dan mempelajari kebudayaan dalam perwayangan Jawa,
maka diharapkan masyarakat dapat mengambil i‟tibar (manfaat) atau
pelajaran tentang kehidupan dan tujuan hidup.
D. Tinjauan Pustaka
Banyak sekali referensi yang membahas tentang kesenian wayang, akan
tetapi referensi yang berkenaan mengenai tema skripsi ini hanya sedikit. Buku
rujukan pertama adalah Buku tentang Wayang : Asal Usul, Filsafat dan Masa
Depannya, ditulis oleh Ir. Sri Mulyono, tahun 1982. Buku ini membahas tentang
sejarah tentang asal usul wayang, dan perkembangan seni wayang kulit zaman
kedatangan agama Islam sampai wayang dalam pembaharuan.31
Buku yang berjudul Nilai-Nilai Seni Pewayangan, ditulis oleh Suwadji
Bastomi (ed), tahun 1993. Buku ini membahas tentang sejarah wayang, nilai-nilai
yang ada di pagelaran wayang, dan makna dalang.32
Skripsi yang berjudul Inovasi Ki Enthus Susmono dalam Pertunjukan
Wayang Kulit Lakon Sesaji Rajasuyo, ditulis oleh Nur Latifah, UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 2014. Skripsi ini menjelaskan tentang biografi Ki Enthus
Susmono dan perkembangan wayang kulit Lakon Sesaji. Dimana Skirpsi Nur
Latifah membahas tentang inovasi Ki Enthus dalam pertunjukan wayang kulit
Lakon Sesaji Rajasuryo. Bedanya jika di skripsi ini hanya fokus membahas Lakon
Sesaji Rajasuryo.33
Skripsi yang berjudul Teknik Penyampaian Pesan Dakwah Dalam Video
Pementasan Wayang Santri Lakon Murid Murtad Dalang KI Enthus Susmono,
ditulis oleh Budiman Yulianto, IAIN Walisongo, Semarang, 2013. Skripsi ini
31
Ir. Sri Mulyono, Wayang : Asal- usul. Filsafat, dan Masa Depannya, h. 1-4. 32
Suwadji Bastomi, Nilai-Nilai Seni Pewayangan (Semarang : Dahara Press, 1993), h. 6. 33
Nur Latifah, “Inovasi Ki Enthus Susmono dalam Pertunjukan Wayang Kulit Lakon Sesaji
Rajasuyo,” (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2014), h. 6.
11
menjelaskan tentang bagaimana caranya ta‟dzim (patuh) kepada guru dan yang
lebih tua, serta membahas satu tema saja dan menggunakan tekhnik video.34
Jurnal Imaji, Vol 4, No.1 dengan judul Pertunjukan Wayang Kulit Purwa
Lakon Ruwatan Rajamala, ditulis oleh Muhammad Mukti. Penelitian ini
menjelaskan tentang nilai ajaran Islam yang berhubungan dengan Allah, nilai
ajaran Islam yang berhubungan dengan manusia, dan nilai ajaran Islam yang
berhubungan dengan alam. Perbedaannya terletak pada bentuk pertunjukan yang
ditekankan penyajian cerita lakonnya dan nilai ajaran Islam yang terungkap dalam
penelitian ini tidak dihubungkan dengan Ki Enthus Susmono.35
Dari beberapa sumber yang penulis baca, penulis belum menemukan
tentang tema-tema lakon yang akan penulis bahas. Oleh karena itu penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan informasi lebih banyak lagi tentang tema-tema
lakon pedalangan Ki Enthus Susmono.
E. Landasan Teori
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan antropologi budaya.
Objek kajian pendekatan ini adalah manusia dan budayanya. Agama merupakan
salah satu unsur-unsur dari kebudayaan yang eksistensinya tidak terlepas dari
realitas kebudayaan yang ada di sekelilingnya.36
Bahkan pagelaran wayang
dikembangkan dari ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan
budaya.
Menurut Koentjaraningrat kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar.37
Ada tiga wujud kebudayaan, pertama
kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai, norma, peraturan.
34
Budiman Yulianto, “Teknik Penyampaian Pesan Dakwah Dalam Video Pementasan
Wayang Santri Lakon Murid Murtad Dalang KI Enthus Susmono,” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah
dan Komunikasi, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2013), h. 3. 35
Muhammad Mukti, “Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Lakon Ruwatan Rajamala,”
Jurnal Imaji, Vol 4, no.1, (Februari 2006) : h. 46-52. 36
Adrew Beatty, Varities Og Javanese Religion, Diterjemahkan oleh Achmad Fedyani
Saefuddin “Variasi Agama di Jawa : Suatu Pendekatan Antropologi”, Jakarta : PT.Raja Grafindo
Persada, 2001, h. 35. 37
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Jilid I (Jakarta : Erlangga, 1981), h. 180.
12
Kedua kebudayaan sebagai komplek aktivitas serta tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat. Ketiga kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia.38
Menurut Geertz evolusi budaya adalah suatu perubahan atau perkembangan
kebudayaan, dari bentuk sederhana kebentuk yang lebih komplek, yang kemudian
dilanjutkan dengan proses difusi, yaitu penyebaran kebudayaan-kebudayaan yang
terjadi bersamaan.39
Geertz menfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai
budaya yang menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak dalam menghadapi
berbagai permasalahan hidupnya. Sehingga pada akhirnya konsep budaya
merupakan penilaian terhadap gejala-gejala yang dipahami oleh si pelaku
tersebut.40
F. Metode Penelitian
Metode yang penulis gunakan adalah metode analisis data dengan deskriptif
kualitatif. Dengan pendekatan antropologi untuk merekontruksi peristiwa masa
lampau yang bersifat komperhensif.41
Adapun dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode pengumpulan data yang meliputi 4 tahap yaitu:42
1. Heuristik
Heuristik berarti menemukan atau mengumpulkan sumber. Adapun sumber
yang penulis gunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa sumber yakni
sumber primer yang bersifat tertulis, sumber yang diterbitkan seperti dokumen,
arsip (lembaran tertulis dari koleksi Ki Enthus), dan kemudian wawancara dan
pengamatan langsung karena peneliti hadir dalam pentas wayang. Sumber
sekunder berupa pandangan buku-buku terkait tesis, disertasi, majalah, surat kabar
(Tempo, Kompas, Sindo, Tribunews, Republika, Radar Pekalongan, Pantura post,
dll), jurnal serta sumber elektronik dari website. Pengumpulan sumber-sumber
yang dilakukan oleh penulis menggunakan studi perpustakaan (Library Research),
38
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Jilid I, h. 180. 39
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Jilid I, h. 150. 40
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Jilid I, h. 31. 41
Syaiful Arif, Refilosofi Kebudayaan Pascastruktural (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media,
2010), h. 84 dan 11. 42
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah (Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 4-5 dan 152-156.
13
yakni dengan mengunjungi beberapa lembaga yang memiliki koleksi buku
maupun arsip yang terkait dengan penelitian ini, seperti Perpustakan Nasional di
Jalan Merdeka Selatan-Jakarta Pusat, Arsip Negara Republik Indonesia di Jalan
Ampera Raya-Jakarta Selatan, Pusat Perfilman H.B Jassin di Cikini-Jakarta Pusat,
Perpustakaan Umum Provinsi DKI Jakarta di Kuningan-Jakarta Selatan,
Perpustakaan Universitas Indonesia di Pondok Cina-Depok, Perpustakaan Daerah
Depok di Jalan Margonda Raya-Depok, Perpustakaan Daerah Tegal di Jalan KH.
Ahmad Dahlan-Tegal, dan mencari hasil penelitian, kajian, Disertasi dan lain–
lain.
Metode dokumentasi adalah dokumen-dokumen yang dipelajari untuk
mengetahui semua data-data seperti pengumpulan artikel, video-video, dll.
Metode analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yaitu kata-kata
tertulis atau lisan orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.43
Kemudian
penulisan pada aspek kebudayaan memusatkan perhatian kepada interpretasi
penuh arti dan kondisi faktual termasuk hal yang bersifat kualitas.
2. Kritik Sumber
Tahapan selanjutnya setelah mengumpulkan sumber adalah kritik sumber,
yang terbagi menjadi dua yaitu kritik intern dan ekstern. Penulis berusaha
menganalisis dan membandingkan sumber-sumber yang didapat baik berupa
buku, jurnal, tesis, dan surat kabar.
3. Interpretasi
Tahapan selanjutnya adalah interpretasi, dalam tahapan ini penulis
melakukan analisa sejarah terhadap sumber-sumber, yang terkait dengan tema-
tema lakon wayang, dengan menggunakan pendekatan ilmu Antropologi budaya,
sehingga dapat memecahkan masalah yang ada.
4. Penulisan Sejarah
Dan terakhir adalah Historiogarfi (penulisan sejarah). Penulis menuliskan
hasil pemikiran dan penelitian, memaparkan hasil dari penelitian sejarah secara
sistematik yang telah diatur dalam pedoman penulisan skripsi.
43
Lexy, J. Moloeng, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya,
2000), h. 3.
14
G. Sistematika Penulisan
Secara Keseluruhan skripsi ini terbagi menjadi lima bab, termasuk di
dalamnya pendahuluan dan penutup. Berikut dituliskan secara singkat bab I
sampai bab V;
Bab I, berisikan pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah,
permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,
metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II, terdapat pembahasan tentang biografi Ki Enthus Susmono, meliputi
keadaan sosial budaya masyarakat Tegal, biografi Ki Enthus Susmono, dan
pengalaman sosial, politik dan keagamaan Ki Enthus Susmono.
Bab III, terdapat pembahasan mengenai sejarah dan fungsi wayang, meliputi
sejarah wayang, jenis-jenis wayang, perkembangan wayang dari masa ke masa,
dan wayang sebagai media dakwah.
Bab IV, terdapat pembahasan inti yang membahas mengenai pewayangan
Ki Enthus Susmono, yang meliputi karya dan penghargaan Ki Enthus Susmono,
tema Nasionalisme, tema Politik dan tema Agama pewayangan Ki Enthus
Susmono.
Bab V, merupakan penutup yang terdiri atas kesimpulan yang merupakan
jawaban dari permasalahan yang menjadi tujuan awal pengkajian penelitian ini,
dan saran-saran yang menjadi masukan-masukan untuk perbaikan penelitian
berikutnya.
15
BAB II
BIOGRAFI KI ENTHUS SUSMONO
A. Keadaan Sosial Budaya Masyarakat Tegal
Kota Tegal merupakan kota tua, didirikan oleh Ki Gede Sebayu pada tahun
1850, Tegal pada masa silam merupakan daerah enclave Mataram yang memiliki
loyalitas yang tinggi sehingga mengukir sejarah yang panjang. Pernah menjadi
tempat penobatan Raja Mataram Amangkurat I, ketika kerajaan Mataram jatuh ke
tangan Trunojoyo. Tegal juga memiliki Senopati yang gagah berani di zaman
Sultan Agung, yakni Tumenggung Tegal yang kemudian bergelar Martoloyo
setelah menjadi Bupati Tegal.
Cerita rakyat memaparkan bahwa kemunculan kata Tegal yang kemudian
menjadi sebuah desa lalu berkembang menjadi kota, erat kaitannya dengan tokoh
masa lalu. Yakni Pangeran Panggung,1 sebagai pembuka (babad) daerah dan
pemimpin awal tempat tersebut, cerita tentang Pangeran Panggung ini bermacam-
macam dan simpang siur. Bahwa setelah memeluk Islam Pangeran Pangung
kemudian bernama Abdurrahman, setelah pangeran panggung belajar agama islam
dengan Syeh Siti Jenar, maka ia menetap di Tegal sambil mengajarkan agama
Islam. Dengan ketokohan Pangeran Panggung dengan kegiatannya itu, maka
Tegal menjadi lebih ramai karena banyak dikunjungi orang yang akan berguru
agama.2
Sedangkan cerita lainnya mengatakan bahwa Tegal berasal dari kata
tetegalan yang artinya lahan pertanian kering (tegalan) yang dapat di tanami
palawija.3 Daerah ini berkaitan dengan adanya seorang tokoh bernama Ki Gede
Sebayu, ia beserta pengikutnya dari Panjang mengembara ke arah barat mencari
seseorang bernama Ki Wanakusuma anak dari Raden Panggung. Para pengikutnya
1 https://daerah.sindonews.com/read/1216261/29/mbah-panggung-dan-syiar-islam-di-tegal-
1498212008 (diakses pada tanggal 18 Januari 2018, pukul 14.00). Mbah Panggung dikenal sebagai
sosok ulama karismatik dari jazirah Arab yang menyebarkan Islam di wilayah Kota Tegal, nama
aslinya adalah Syekh Abdurrahman. Mbah Panggung juga menyebarkan Islam di Tegal. 2 S. Ilmi Albiladiyah, dkk, Tegal dalam Lintas Sejarah (Yogyakarta : Balai Pelestarian
Nilai Budaya, 2013), h. 16. 3 Tanaman hasil kedua setelah padi, istilah palawija ini berkembang diantara petani di
Pulau Jawa
16
mempunyai keterampilan yang berbeda-beda, yakni membuat kue-kue, parabotan
gerabah, alat pertukangan, alat-alat perlengkapan dapur, tenun serta perhiasan dari
emas.
Sesanti (semboyan) kota Tegal adalah “Banteng Loreng Binoncengan”
sebuah simbolik seorang anak kecil yang menunggang Banteng Loreng.4
Masyarakat Tegal digambarkan seperti banteng loreng, yang memiliki watak
keras, kasar, pekerja keras dan sukar diatur. Sementara anak kecil bersuling
merupakan gambaran watak pemimpin yang suci yang hatinya seperti anak kecil,
penuh kejujuran dan lemah lembut. Artinya masyarakat Tegal bertempramental
keras kasar dan susah diatur, akan tetapi pada hakikatnya patuh jika dipimpin oleh
pemimpin yang jujur, memiliki kesucian hati dan lembut hatinya.
Kota Tegal memiliki empat potensi utama, yaitu sebagai Kota Bahari, pusat
perdagangan, kota wisata, belanja dan wisata kuliner. Empat potensi ini
divisualkan dalam bentuk gelombang yang selalu bergerak dinamis, tidak pernah
mati dan tidak berhenti menggeliat mencari celah-celah baru bagi pengembangan
dimasa yang akan datang. Empat pontensi ini memiliki nilai dasar yang kuat,
megah, modern, dan selalu tumbuh serta berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman.5
Kesenian yang ada di daerah Tegal pada masa pergerakan Nasional antara
lain Sintren, Lais, Tari Topeng Endel, Tradisi Labuhan, Seni Kentrung, Gending-
Gending Tegal seperti Lutung Bingung, Karategan, Ronggeng Tegal. Sintren dan
Lais adalah tarian yang berdasarkan magis dan diadakan dalam upacara adat untuk
memohon hujan. Sintren yang berpegang peran adalah gadis, jika gadis itu sudah
bersuami maka tidak dapat menerima roh yang akan masuk ke dalam badannya.
Di dalam seni Lais yang pegang peran adalah jejaka yang belum beristri. Baik
Sinten maupun Lais didampingi oleh Bodor (pelawak) sebanyak dua orang.
Tarian ini dilakukan dalam keadaan tidak sadar (kesurupan). Kedua tarian ini
berbeda baik nyanyian maupun instrumen untuk mengiringinya. Sintren diiringi
dengan Gamban dan Kendang, sedangkan Lais diiringi dengan Gambang dan
4 Suriali Andi Kustomo, Jejak Kota Tegal 1999-2009 (Tegal : Bagian Humas dan Protokol
Kota Tegal, 2010), h. 4. 5 Suriali Andi Kustomo, Jejak Kota Tegal (1999-2009), h. 6.
17
Buyung (genthong kecil). Berikut ini beberapa budaya yang ada di Kabupaten
Tegal antara lain :
1. Tari Topeng
Tari Topeng merupakan salah satu tarian tradisional Tegal. Tari ini
ditetapkan sebagai tari khas Tegal oleh surat keputusan Bupati pada tanggal 1
Februari 2005, tari ini terdiri dari enam jenis, yakni tari Topeng Endel, tari
Topeng Panji, tari Topeng Kelana, tari Topeng Kiprahan Patih atau Pongawa, tari
Topeng Kresna dan tari Topeng Lanyapan Alus.6 Dan wilayah Tegal saat itu
masih hutan belantara, penduduknya pun masih sedikit.7 Endel juga merupakan
seni khas Tegal. Tari Topeng Endel merupakan tari topeng wanita dengan kostum
endel mirip penari gambyong, tari ini biasanya di bawakan oleh satu atau dua
penari bergantian. Tarian ini di iringi gending lancaran ombak banyu laras slendro
patet menyura. Adapun instrumennya terdiri Kendang, Boning, Saron, Balongan
dan Peking. Kegenitan menjadi salah satu ciri topeng endel sesuai dengan
namanya Endhel yang dalam bahasa Tegal artinya kenes atau genit.8
Tari Topeng Tegal adalah tarian yang penarinya menggunakan topeng
berwajah manusia. Tari ini menyimpan beragam nilai kehidupan manusia pada
masa lampau, khususnya berhubungan dengan kehidupan rakyat. Gerakan penari
yang lincah mencerminkan perempuan desa yang periang dan percaya diri, karena
itu mereka di tuntut untuk percaya diri, jika tidak maka ia di cap sebagai gadis
yang kurang berguna.9
2. Tradisi Labuhan (Sedekah Laut)
Tradisi Labuhan merupakan ritual melarung atau menghanyutkan sesaji ke
laut yang dilaksanakan oleh masyarakat di desa Tegalsari Tegal. Tradisi ini
dilaksanakan setiap tahun pada tanggal satu Sura‟.10
Masyarakat nelayan Desa
6 Dra, Wuninggar dkk, Tari Topeng Khas Tegal (Tegal : Yayasan Tadulakota : 2013), h. 1.
7 Soipah, Kesenian Tradisional Tari Topeng Gaya Tegal Selayang Pandang (Tegal : T.pn.,
2007) 8Suriali Andi Kustomo, Kabupaten Tegal Pesona Alam, Wisata, Industri, dan
Perdagangan, h. 56. 9 Dra, Wuninggar dkk, Tari Topeng Khas Tegal, h. 12.
10 Hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Suro, dan bertepatan dengan 1 Muharam
dalam kalender Hijriyah, karena kalender Jawa diterbitkan Sultan Agung mengacu penanggalan
18
Tegalsari meyakini bahwa tanggal satu Sura‟ adalah hari yang tepat untuk
melakukan ritual suci. Mereka percaya pada pergantian tahun dalam penanggalan
Jawa bersamaan dengan hari meninggalnya Ki Budug Basuh,11
tetapi menurut
legenda Ki Budug Basuh kalah dalam perang merebutkan Dewi Sri kemudian
kembali lagi ke laut dan kemudian menjadi penguasa laut. Hal inilah yang
mendasari tiap tahun pada tanggal satu sura‟ masyarakat nelayan di desa Tegalsari
menyelenggarakan Tradisi Labuhan atas sedekah laut untuk menghormati dan
memohon perlindungan dari penguasa laut.12
Inti dari pelaksanaan Tradisi Labuhan di desa Tegalsari ini adalah untuk
membuang segala bencana, kejahatan dan malapetaka sehingga memperoleh
keselamatan dan kebahagiaan, untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan
bagi warga masyarakat nelayan desa Tegalsari. Dengan melakukan ritual ini
masyarakat akan merasa tenang, ayem tentrem. Sebaliknya apabila masyarakat
tidak melaksanakan ritual maka akan timbul rasa takut akan adanya musibah, rasa
takut akan diganggu roh halus yang jahat. Tradisi Labuhan juga berhubungan
dengan pemujaan dan penghormatan kepada Allah SWT dan para leluhur ini
merupakan permohonan untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan dunia
dan akhirat dan rezeki yang melimpah. Dalam acara tradisi labuhan Ki Enthus
juga ikut serta, biasanya ia memang diundang khusus untuk memperingati tradisi
labuhan dengan mengadakan pentas wayang.
3. Seni Kentrung
Kentrung merupakan sebuah grup kesenian dengan seperangkat alat musik
yang terdiri dari Kendang Rebana, Ketipung dan Jidor.13
Kentrung hanya
dimainkan oleh satu orang dengan membawa Kendang atau Terbang Jawa. Sang
pemain berfungsi sebagai dalang sekaligus penyair. Kentrung merupakan tradisi
Hijriyah (Islam) https://id.m.wikipedia.org (diakses pada tanggal 13 Maret 2018, pukul 01.00
WIB) 11
Masyarakat Cirebon menyakini bahwa Ki Budug Basuh merupakan cikal bakal seluruh
makhluk hidup yang ada dilaut. Dedy Irawan, Hubungan Antara Etnisitas, Status Sosial, Ekonomi
dan Religiutas dengan Prespektif Terhadap Tradisi Nadran, (Skripsi S1, Fakultas Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Lampung, 2016), h. 5. 12
www.balaibahasajateng.web.id>home (diakses pada tanggal 05 Juli 2017) 13
Dra, Wuninggar dkk, Seni Kentrung Khas Tegal (Tegal : Yayasan Tadulakota : 2013), h.
2.
19
atau sastra lisan, kekuatannya terletak pada makna dari syair yang dilantunkan.
Syair berupa pakeliran Jawa dinyanyikan seperti lagu atau hanya sekedar
disampaikan seperti orang memberi petuah pada anak atau masyarakat.
Asal usul kesenian Kentrung dipengaruhi oleh tradisi seni Arab, ada juga
yang menyatakan bahwa kentrung berasal dari Persia, India atau Jazirah Arab,
yang dibawa oleh para pedagang sebagai sarana dakwah Islam oleh Walisanga.
Pada masa Sunan Kalijaga kentrung tersebar hampir diseluruh pulau Jawa,
khususnya di daerah pesisir pantai utara Jawa mulai dari Semarang, Pati, Jepara
hingga Tuban. 14
Sekarang Kentrung sangat memprihatinkan dan hampir punah. Dahulu
setiap pedesaan di Kabupaten Tegal, Kentrung sering dimainkan untuk acara
hajatan, sunatan, pernikahan, bersih desa, atau hiburan rakyat biasa. Namun kini
keberadaannya diangap kuno, generasi muda tak lagi suka, dan Kentrung
dianggap ketinggalan zaman.
4. Kesenian Wayang
Kesenian wayang di Tegal sangat beragam, seperti wayang Tutus yang
terbuat dari bambu (dalam bahasa Jawa disebut Pring) yang dibelah tipis-tipis
(Tutus). Wayang Tutus merupakan versi lain dari bentuk wayang Jawa, yakni
hasil kreativitas seniman tradisional di Kabupaten Tegal yakni Pak Kasirun.15
Ia
belajar menciptakan wayang Tutus secara otodidak (belajar sendiri), awalnya
karena ia suka melihat pertunjukan wayang kulit, kemudian ia berimajinasi dan
mencoba membuat wayang dari Tutus bekas ia mengikat padi. Wayang tutus
merupakan seni tradisi lisan, serta dipentaskan oleh seorang diri sang dalang,
musik hanya berasal dari suara mulut sang dalang, kecuali pada pentas tertentu
yang mengharuskan wayang tutus dipentaskan dengan iringan beberapa gamelan
Jawa seperti Gamelan, Gong, Gambang dan Saron.16
Ada juga wayang kulit Purwa. Kesenian wayang kulit di Jawa Tengah
sangat beragam, karena kesenian ini tumbuh di sepanjang daerah pesisir.
14
Dra, Wuninggar dkk, Seni Kentrung Khas Tegal, h. 8. 15
Dra, Wuninggar dkk, Wayang Tutus Khas Tegal (Tegal : Yayasan Tadulakota : 2013), h.
1-3. 16
Dra, Wuninggar dkk, Wayang Tutus Khas Tegal, h. 5.
20
Kelompok kesenian wayang kulit Purwa yang berkembang salah satunya adalah
Paguyuban Satria Laras yang terdapat di daerah Kecamatan Talang, Kabupaten
Tegal dengan pimpinannya dalang Ki Enthus Susmono. Berdirinya kelompok
paguyuban ini telah membantu pemerintah dalam melestarikan kesenian wayang
kulit Purwa dan wayang Golek di Kabupaten Tegal sejak tahun 1984.17
Tidak
hanya wayang kulit tetapi dalang Enthus juga mahir dalam memainkan wayang
Golek, dengan tokoh-tokoh pembaharuan seperti Susilo Bambang Yudhoyono,
Yusuf Kalla, Barack Obama, Osama bin Laiden, Sadam Husain, dan lain
sebagainya.
Pertunjukan wayang kulit Purwa dan wayang Golek di Tegal pada
kenyataannya mengalami pasang surut dalam dinamika perubahan dan
perkembangannya. Dalam kebudayaan daerah terkandung berbagai segi
kehidupan yang dihayati oleh masyarakat sepanjang zaman, kebudayaan itu
mengenal proses perubahan dari masa lampau ke masa kini, demikian juga
kehidupan kesenian tanpa masa lampau dari suatu kesenian, kiranya akan sulit
untuk mengerti dan menghayati perkembangan seperti yang dialami masa kini.
B. Biografi Ki Enthus Susmono
1. Profil dan Latar Belakang Ki Enthus Susmono
Ki Enthus dibesarkan dari lingkungan keluarga seniman.18
Ia adalah anak
semata wayang Soemarjadihardja, dalang wayang Golek Tegal dengan istri ketiga
bernama Tarminah. Bahkan kakek moyangnya, R.M. Singadimedja, merupakan
dalang terkenal dari Bagelen pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat di
Mataram, ia merupakan keturunan ketujuh. Ki Enthus Susmono lahir di Tegal, 21
Juni 1966.19
Di jalan Projosumarto II Bengle RT 10/ RW 02 Talang, Kabupaten
Tegal, berbagai inspirasi dituangkan dalam bentuk kreasi seni. Sekarang ia tinggal
17
Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27
Desember 2017, pukul 00.30 WIB. 18
Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27
Desember 2017, pukul 00.30 WIB. 19
Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Yogyakarta 30
Desember 2017, pukul 07.30 WIB.
21
di rumah Dinas Jalan Merpati, Slawi Kulon, selama ia menjabat sebagai Bupati
Kabupaten Tegal.20
Pada tahun 1990 Ki Enthus menikah dengan gadis pilihannya sendiri,
Romiyati asli Brebes, dan menurunkan dua anak laki-laki yaitu Firman Jindra
Satria dan Firman Haryo Susilo. Mereka menempati rumah peninggalan ayahnya,
Soemardihardja, di Desa Dampyak, Kecamatan Keramat, Kabupaten Tegal.
Namun perkawinannya hanya bertahan lima tahun. Setelah dua tahun menduda,
pada tahun 1997 Ki Enthus menikah lagi dengan gadis yang bernama Nurlaela,
anak dari guru spiritualnya sendiri, yaitu Sukiman Tamid.21
Perkawinannya itu
tanpa diawali dengan proses pacaran layaknya orang-orang yang mau berumah
tangga pada zaman sekarang, Ki Enthus mempunyai konsep bahwa tresno jalaran
soko kulino (cinta akan tumbuh sendirinya dengan seiring waktu). Dengan
perkawinan yang kedua, Ki Enthus dikaruniai seorang putri cantik yang bernama
Firma Nur Jannah dan seorang putra yang bernama Firman Ja‟far Tantowi. Firma
Nur Jannah lahir pada tanggal 24 Februari 1998, ia sekarang sedang melakukan
studi di ISI (Institut Seni Indonesia), di Surakarta Jurusan Seni Pendalangan, ia
berencana akan melanjutkan orang tuanya sebagai dalang. 22
2. Latar Belakang Pendidikan Ki Enthus Susmono
”Dadi dalang kuwi abot sanggane (menjadi dalang itu berat bebannya).”
Kata-kata yang diucapkan ayahnya ketika melarang menjadi dalang, kala Ki
Enthus masih kecil itu senantiasa diingatnya hingga kini.23
Awalnya ia tidak
memahami maksud ayahnya, namun seiring bergulirnya waktu Ki Enthus mulai
mengerti makna ucapan yang sangat filosofis itu, hal paling pokok yang sering
terjadi pada dalang adalah manajemen keuangan yang salah, memakai manajemen
ayam yaitu langsung menghabiskan uang yang diperolehnya. Ki Enthus
diharapkan dapat belajar sampai perguruan tinggi agar mempunyai bekal hidup
20
Hasil observasi penulis dan wawancara pribadi dengan Ki Enthus Susmono, dalang
Kabupaten Tegal, 20-30 Desember 21
http://www.wayang.wordpress.com/2010/03/06/ki-enthus-soesmono/dewa (diakses pada
tanggal 05 Agustus 2017, Pukul 20.00 WIB) 22
Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27
Desember 2017, pukul 00.30 WIB. 23
http://dalangenthus.id/berita/298-ki-enthus-susmono-kreativitas-tiada-henti (diakses pada
tanggal 05 September 2017)
22
cukup. Namun, darah seni pedalangan lebih menonjol dan akhirnya takdir
menuntunnya lain. Sejak masih kecil ia justru sering mencuri kesempatan
memainkan wayang milik ayahnya. “Saya memainkan wayang kalau ayah saya
sedang tidur, seusai pentas. Kalau beliau bangun, semua perlengkapan sudah saya
rapikan lagi”.24
Sejak berumur 5 tahun ia telah sering mengikuti pentas ayahnya. Oleh
karena itu ia sangat akrab dengan dunia pedalangan, sudah menampakan sosok
pribadi yang kreatif dan dinamis dalam bergaul sesama teman usianya.
Kesukaannya menggambar, menatah dan mewarnai (nyungging) wayang kulit
menghasilkan karya pertama tokoh Indrajid, yang dikerjakan pada saat ia duduk di
kelas IV Sekolah Dasar. Setelah sekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1
Tegal (1979-1981), ia mulai menekuni karawitan secara metodik, yang diasuh
oleh dua orang guru keseniannya, Mawardi dan Prasetyo. Keterampilannya
menabuh gamelan itu kemudian digunakan untuk melatih rekan-rekan di Sekolah
Menengah Atas Negeri 1 Tegal (1982-1985),25
yang semula tidak pernah
mendapat kegiatan ekstrakurikuler karawitan karena tidak mempunyai grup musik
yang merupakan kolaborasi antara karawitan dan band. Pada 24 Agustus 1983, Ki
Enthus diminta mendalang selama dua jam, ketika itu sang ayah menyaksikan
pementasannya. Setelah itu, tak hanya mengizinkan, ayahnya pun mewisuda Ki
Enthus sebagai dalang di hadapan warga setempat. ”Dia hanya berpesan agar saya
memahami pakem kehidupan lebih dulu, sebelum belajar pakem wayang,”
katanya. Sejak itu, Ki Enthus menjadi dalang yang sesungguhnya, ia kerap
diminta pentas di balai desa dan acara hajatan.26
Kemampuan mendalangnya tidak didapat dari lembaga pendidikan formal
seperti Sekolah Menengah Kejuruan, kursus pedalangan, maupun pelajaran
ayahnya, tetapi karena ia sering mengikuti pentas ayahnya dan jeli mengamati
sajian pakeliran para dalang lain. Hampir setiap ada pertunjukan wayang di
24
Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27
Desember 2017, pukul 00.30 WIB. 25
Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27
Desember 2017, pukul 00.30 WIB. 26
http://dalangenthus.id/berita/298-ki-enthus-susmono-kreativitas-tiada-henti (diakses pada
tanggal 05 September 2017)
23
daerahnya selalu disaksikan. Selain itu ia juga berlatih secara serius kepada
Sugino Siswotjarito (Banyumas) dan Ki Gunawan Suwati (Slawi),27
aktif
mendengarkan kaset komersial rekaman pakeliran Ki Nartosabdo (Semarang) dan
Ki Anom Suroto (Surakarta), serta sering menyaksikan para dosen ASKI
(Akademik Seni Karawitan Indoensia), Surakarta yang sedang memberikan
materi kuliah praktik pedalangan di Kampus ASKI, Sasono Mulyo Keraton
Surakarta (1982-1983).28
Keinginan tampil sebagai dalang wayang kulit purwa tidak dapat dicegah
ketika kelas dua SMA, di sekolahnya ada acara lustrum kelima SMA Negeri 1
Tegal, yang dilaksanakan pada tanggal 24 Agustus 1983. Pada saat itu ia
menyajikan pakeliran ringkas selama 4 jam dengan lakon Gatutkaca Winisudha,
yang diiringi kolaborasi karawitan dan band oleh rekan-rekan SMA-nya. Ia
menekuni pedalangan sebagai profesi karena terpaksa harus menggantikan peran
ayahnya yang telah meninggal dunia pada 10 Februari 1984. Saat itu ayahnya
banyak meninggalkan pekerjaan pentas yang belum sempat dilaksanakan,
sementara uang muka sudah terlanjur diterima oleh ibunya, dengan berbekal
keberanian ia menggantikan peran ayahnya sebagai dalang wayang golek. Sejak
itu profesi sebagai dalang merupakan penyangga kebutuhan hidup bersama
ibunya, ia mulai giat berlatih dan mencari kiat-kiat yang belum pernah
ditampilkan dalam pakeliran wayang kulit maupun golek.29
Pada tahun 1984 Ki Enthus mengikuti lomba pakeliran dalang remaja se-
Jawa Tengah di Klaten, sebagai wakil Kabupaten Tegal, dengan menyajikan lakon
Brajadenta Mbalela. Dalam lomba tersebut ia hanya mampu meraih Juara harapan
II,30
namun demikian kegagalannya itu tidak membunuh keinginanya menjadi
dalang, sebaiknya justru sebagai peringatan untuk lebih giat berlatih. Ia menjadi
27
Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27
Desember 2017, pukul 00.30 WIB 28
Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27
Desember 2017, pukul 00.30 WIB 29
Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27
Desember 2017, pukul 00.30 WIB 30
http://www.wayang.wordpress.com/2010/03/06/ki-enthus-soesmono/dewa (diakses pada
tanggal 14 November 2017)
24
semakin aktif datang ke kampus ASKI Surakarta serta minta saran, pendapat,
bahkan contoh-contoh teknik pakeliran yang baik kepada Ki Manteb Soedarsono.
Setelah lulus SMA Ki Enthus tidak dapat melanjutkan kuliah karena tidak
mempunyai biaya, pada saat itu keluarganya hidup dibawah garis kemiskinan.31
Agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan sesuai dengan harapan almarhum
ayahnya, ia mendaftarkan diri menjadi polisi. Namun tidak diterima karena ia
dianggap tidak bersih lingkungan, pada waktu itu kakak sulungnya,
Darjoprayitno, baru bebas dari Nusakambangan. Untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, ia bekerja menjadi penyiar sekaligus penata musik dan pemain teater di
RSPD (Radio Siaran Pemerintah Daerah) Tegal merangkap sebagai penyiar radio
Anita Tegal. Namun ternyata hal tersebut belum mencukupi kebutuhan hidupnya,
ia mencari pekerjaan tambahan sebagai buruh, natah dan nyungging32
wayang
golek di berbagai tempat dalang wayang golek yang memerlukan jasanya.
Tidak hanya itu, Ki Enthus belajar wayang Golek juga dari Ki Bonggol
yang mempunyai nama asli Sujana, ia jugalah yang menciptakan dua tokoh
wayang Golek yakni Lupit dan Slenteng.33
Pada tahun 2000-an Ki Bonggol juga
menyarankan agar Ki Enthus beralih dari wayang kulit ke wayang golek,
walaupun sebenarnya Ki Enthus memang sudah memainkan wayang golek namun
belum lancar.
Karena ketokohannya di dunia pedalangan, pada tahun 2005, dia menerima
gelar Doktor Honoris Causa bidang seni-budaya dari International Universitas
Missouri, U.S.A dan Laguna College of Bussines and Arts, Calamba, Philippines
(2005).34
31
Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Yogyakarta, 30
Desember 2017, pukul 07.30 WIB. 32
Membuat pola atau motif batik pada kertas 33
http://panturapost.com/daerah/2-16/10/31/perkenalkan-inilah-ki-bonggol-gurunya-dalang-
kondang-ki-enthus-susmono/ (diakses pada tanggal 01 September 2017) 34
http://amp.kompas.com/megapolitan/read/2009/02/27/11150324/~Oase~Padamu%20Neg
eri (diakses pada tanggal 05 September 2017)
25
C. Pengalaman Sosial, Politik dan Keagamaan Ki Enthus Susmono
1. Pengalaman Sosial dan Politik Ki Enthus Susmono
Di tengah semakin merosotnya pamor kesenian tradisional, khususnya
wayang kulit dan wayang golek, di Tegal masih ada penjaga gawang kokoh yang
melestarikan kesenian khas Jawa. Ia adalah dalang Ki Enthus Susmono, Ki Enthus
memang pernah berada dipenjara pada tahun 2008 hingga 2009 karena didakwa
melanggar pasal 160 KUHP tentang Penghasutan. Meski demikian, terkurung
dalam bui penjara ternyata tidak menghentikannya untuk terus berkreativitas, ada
sembilan wayang yang sempat ia buat hingga akhirnya keluar dari hotel prodeo
tersebut.35
Reputasinya bukan sekedar dalang handal, kiprahnya bukan hanya di ajang
Nasional. Namun, aktivitas berkesenian yang ia lakoni mampu menembus manca
negara. Tahun 2009, ia bersama rombongan keseniannya berangkat ke Belanda.
Di Museum Tropen, Amsterdam, Negeri Belanda, ia melakukan pameran dan
pementasan wayang, sekaligus lokakarya tentang wayang.36
Ki Enthus mendapat banyak julukan karena aktivitas kreatifnya.
Diantaranya dalang mbeling, dalang edan, atau saapan akrabnya abah Enthus.37
Karena dalam membawakan lakon pewayangan ia sering tidak sesuai pakem
pewayangan, itulah yang membuat Ki Enthus dikenal oleh banyak masyarakat. Ki
Enthus menampilkan pertunjukan wayang bukan hanya sekedar cerita wayang
Mahabharata melainkan diselingi dengan guyon-guyon kecil, atau sholawat. Ki
Enthus seperti tak peduli dengan sebutan apapun, apa arti sebuah nama, kata
William Shakespeare, Shakespeare dan Ki Enthus memilki kemiripan, sebagai
seniman kondang, kehidupan pribadi yang berliku dan mampu memukau dengan
keseniannya.38
35
http://jateng.tribunnews.com/2016/10/26/ini-wayang-yang-sempat-dibuat-ki-enthus-
susmono-di-penjara (diakses pada tanggal 14 Juli 2017) 36
http://dalangenthus.id/berita/295-reportase-pameran-wayang-superstar-the-theatre-world-
of-ki-enthus-susmono (diakases pada tanggal 30 Juli 2017) 37
Wawancara Pribadi dengan Bambang, Banser NU (Penjaga Rumah Wayang), Tegal, 20
Juli 2017, pukul 10.00 WIB. 38
https://www.kompasiana.com/sumarno/dalang-modern_55005de38133117c1bfa76d6
(diakses pada tanggal 19 Juli 2017, pukul 21.00)
26
Dalam kesenian modern memang tidak mengenal pakem39
yang baku, daya
kreativitas menjadi faktor utama. Terbukti segala kreativitas pewayangannya,
membuat Ki Enthus melestarikan wayang yang tetap eksis hingga sekarang. Dan
itu strategi jitu yang mengalahkan bentuk iklan dan sosialisasi apapun. Malah
sosialisasi kesenian oleh pemerintah kadang dicurigai sebagai kampanye politik.
Ki Enthus Susmono, namanya terkenal bersama dua tokoh wayang golek
yang sering dipentaskannya Lupit dan Slenteng. Ki Enthus, begitu sapaannya,
dengan segala kiprahnya yang kreatif, inovatif serta intensitas eksplorasi yang
tinggi, telah mengantarkan dirinya menjadi salah satu dalang kondang dan terbaik
yang dimiliki Indonesia. Pikiran dan darah segarnya mampu menjawab tantangan
dan tuntutan yang disodorkan oleh dunianya, yaitu jagat pewayangan.
Gaya sabetannya (memukul) wayang yang khas, kombinasi sabet wayang
Golek dan wayang Kulit membuat pertunjukannya berbeda dengan dalang-dalang
lainnya. Ki Enthus ini mempunyai ciri khas yang sangat menonjol. Dengan gaya
bicara yang blak-blakan (tidak ditutup-tutupi) dan guyonan (candaan) yang
berkualitas tentunya. Kritik yang sangat tajam dan terkadang jangan kaget Ki
Enthus suka sekali bicara jorok.40
Tapi itu tidak masalah selagi tidak merugikan
orang lain. Ki Enthus juga memiliki kemampuan dan kepekaan dalam menyusun
komposisi musik, baik modern maupun tradisi (gamelan).41
Kekuatan
mengintrepretasi dan mengadaptasi cerita serta kejelian membaca isu-isu terkini
membuat gaya pakeliran-nya menjadi hidup dan interaktif.
Baginya, wayang adalah sebuah kesenian tradisi yang tumbuh dan harus
selalu dimaknai kehadirannya agar tidak beku dalam kemunduruan. Daya kreatif
dan inovasinya telah terwujud dalam berbagai bentuk sajian wayang, menjadikan
Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) menganugerahi dirinya sebagai dalang
terkreatif dengan kreasi jenis wayang terbanyak yaitu 1491 wayang.42
39
Dalam dunia pewayangan disebut cerita asli dan dianggap sebagai induk semua cerita 40
Wawancara Pribadi dengan Mba Suci, (Sinden Satria Laras), Yogyakarta, 30 Desember
2017, pukul 04.50 WIB 41
https://www.kaskus.co.id/thread/5735802ec1cb1713138b456c/mengenal-lebih-dekat-
dalang-wayang-ki-enthus-susmono/ (diakses pada 19 Juli 2017) 42
http://www.tegalkab.go.id/news.php?id=1742&page=200 (diakses pada 19 Juli 2017)
27
Didukung eksplorasi pengelolaan ruang artistik kelir43
menjadikannya
lakon-lakon yang Ki Enthus bawakan seperti pertunjukan opera wayang yang
komunikatif, spektakuler, aktual, dan menghibur. Pada tahun 2005, Ki Enthus
terpilih menjadi dalang terbaik se-Indonesia dalam Festival Wayang Indonesia
yang di selenggarakan di Taman Budaya Jawa Timur. Dan pada tahun 2008 Ki
Enthus mewakili Indonesia dalam event Festival Wayang Internasional di
Denpasar, Bali.44
Ki Enthus bukan hanya seorang dalang, ia juga seorang aktivis,
kepeduliannya terhadap fenomena sosial tidak diragukan lagi. Pada tahun 1998,
Ki Enthus termasuk aktivis reformasi yang berkontribusi bagi perubahan, di
Kabupaten Tegal khususnya, bersama mahasiswa. Ia juga merupakan salah satu
dalang yang mampu membawa pertunjukan wayang menjadi media komunikasi
dan dakwah secara efektif. Pertunjukan wayangnya kerap dijadikan sebagai ujung
tombak untuk menyampaikan program-program pemerintah kepada masyarakat
seperti: kampanye anti-narkoba, anti-HIV/Aids, HAM, Global Warming, program
KB, pemilu damai, dan lain-lain. Di samping itu dia juga aktif mendalang di
beberapa pondok pesantren melalui media Wayang Walisanga.45
Kemahiran dalam mendesain wayang-wayang baru / kontemporer seperti
Wayang George Bush, Saddam Hussein, Osama bin Laiden, Gunungan Tsunami
Aceh, Gunungan Harry Potter, Batman, wayang alien, wayang tokoh-tokoh
politik, dan lain-lain membuat pertunjukannya selalu segar, penuh daya kejut, dan
mampu menembus beragam segmen masyarakat. Ribuan penonton selalu
membanjiri saat ia mendalang. Keberaniannya melontarkan kritik terbuka dalam
setiap pertunjukan wayangnya, memposisikan tontonan wayang bukan sekadar
media hiburan, melainkan juga sebagai media alternatif untuk menyampaikan
aspirasi masyarakat.46
43
Layar tempat memainkan wayang, biasanya berwarna merah atau putih 44
http://infotegal.com (diakses pada tanggal 15 November 2017) 45
http://www.dalangenthus.com/ (diakses pada tanggal 15 Agustus 2017) 46
http://www.kompasiana.com/sumarno/dalang-modern_55005de38133117c1bfa76d6
(diakses pada tanggal 13 Agustus 2017, Pukul 14.00 WIB)
28
Ki Enthus juga seorang penata musik handal, ia bukan hanya menggarap
musik Karawitan dengan alat Gamelan. Tetapi, musik bernafaskan Islam yakni
Qasidah ia kerjakan, dan musik etnik. Dalam sejarah, terutama pada masa
Walisanga, wayang atau gamelan merupakan alat dakwah. Pada perjalanannya
kesenian gamelan ataupun wayang mengalami kontradiksi dengan dunia Islam.
Kini di tangan Ki Enthus gamelan atau wayang dengan kesenian Islam bisa
dikolaborasi. Tidak mengherankan, jika pementasan wayang Ki Enthus pesinden
atau waranggono mengumandangkan sholawat atau melantunkan lagu Qasidah.47
Bersama Yono Daryono, Sutradara teater RSPD (Radio Saluran Pemerintah
Daerah) Kota Tegal, Ki Enthus berlangganan menjadi penata musik setiap
pementasan teater.48
Istana kerajaan wayangnya berdiri di Jalan Projosumarto, Desa Bengle-
Kabupaten Tegal, di tempat itulah berbagai inspirasi dituangkan dalam bentuk
kreasi seni. Ia bukan hanya mendalang dengan mementaskan wayang
membawakan sebuah lakon, ia sekaligus pengrajin wayang, berupa karya wayang
kontemporer. Karya yang terkenal adalah wayang Rai Wong, wayang yang
menggambarkan tokoh-tokoh masa kini, dan juga wayang planet. Mertuanya
itulah yang sangat mewarnai kehidupannya, tak terkecuali dalam berkesenian.
Seperti terlihat di rumahnya yang juga sebagai sanggar, ia membangun masjid,
bahkan masjid dibangun sebelum membangun rumah sendiri, semua itu atas saran
sang mertua.
Tidak berhenti di situ, bagi warga sekitar dan siapa saja Ki Enthus biasa
berdiskusi, rumahnya yang serba antik atau bahkan aneh bagi ukuran kebanyakan
orang adalah tempat untuk ngobrol, berbagi, kadang sampai larut malam. Disini
Ki Enthus benar-benar menjalani posisi sebagai dalang, artinya mudal piwulang
(memberi pengajaran), walaupun tidak di istilahkan guru, dalam konteks kekinian
lebih tepat dinamakan diskusi atau sharing. Dengan istilah diskusi, Ki Enthus
tidak mencerminkan dalang yang sakral sebagaimana dalang pada umumnya. Ia
47
Hasil Observasi penulis dan wawancara pribadi dengan Ki Enthus Susmono, (Dalang
Kabupaten Tegal) Kabupaten Tegal, 20-30 Desember 2017 48
http://www.kompasiana.com/sumarno/dalang-modern_55005de38133117c1bfa76d6
(diakses pada tanggal 13 Agustus 2017, Pukul 14.00 WIB)
29
tidak memposisikan diri sebagai orang tua atau yang dituakan.49
Dimata
masyarakat atau paling tidak menurut persepsi penulis, ia adalah seorang pekerja
keras, aktivis, dan yang jelas ia seniman, dalang modern.50
Di rumahnya ia mendirikan rumah wayang yang diberi nama “Konsersium
Rumah Wayang”, bertujuan memperkenalkan budaya wayang kepada generasi
muda. Ini realisasi dari rasa gundah tentang nilai-nilai budaya wayang yang mulai
dilupakan, ia mengaku keberadaan rumah wayang sebagai ajang pengenalan
generasi muda agar tak melupakan nilai budaya wayang. Selain menikmati
koleksi wayang miliknya, para pengunjung rumah wayang diberi kebebasaan
untuk memainkan gamelan yang tersedia.51
Terlepas dari segala pandangan miring, karena keunikannya, padatnya
aktivitas, daya kreativitasnya tergolong tinggi, dan segala predikat yang ia
sandang justru menarik bagi siapa saja. Terbukti, selalu dikejar media massa
sebagai narasumber. Seakan menegaskan, bahwa langkah Ki Enthus melepas
kekangan pakem pewayangan dengan segala resikonya, membuat kesenian
wayang bisa hidup dan mampu menghidupi. Namun, dalam hal spiritual ia
mendengarkan dan taat apa yang dikatakan mertuanya yang ia anggap sebagai
guru spiritualnya. Barangkali ini bentuk kerendah hatian seorang Ki Enthus.
Pada tahun 2013 Ki Enthus bersama Umi Azizah mencalonkan diri sebagai
peserta PILKADA (Pemilihan Ketua Daerah) Bupati Kabupaten Tegal dan Wakil
Bupati Kabupaten Tegal. Akhirnya ia terpilih menjadi Bupati, maka pada tanggal
08 Januari ia dilantik oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk menjadi
Bupati periode tahun 2014-2019.52
Tidak heran jika disetiap pagelaran yang ia
tampilkan khususnya di Kabupaten Tegal, ia selalu memasukan program-program
yang sudah ia rancang selama ia menjabat sebagai Bupati Tegal bersama wakil
Bupati Umi Azizah.
49
Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27
Desember 2017, pukul 00.30 WIB. 50
Observasi langsung 20-30 Desember 2017 51
http://dalangenthus.id/berita/297-ki-enthus-susmono-dirikan-umah-wayang (diakses pada
tanggal 05 September 2017) 52
http://daerah.sindonews.com/ready/824601/2/2/tampil-nyentrik-dalang-enthus-dilantik-
jadi-bupati-1389156985 (diakses pada tanggal 28 Juli 2017)
30
Hingga kini Ki Enthus aktif di berbagai macam organisasi, dulu Ki Enthus
aktif di PEPADI (Persatuan Pendalangan Indonesia), LESBUMI (Lembaga
Seniman Budayawan Muslimin Indonesia), saat ini ia menduduki sebagai wakil
ketua LESBUMI, Ki Enthus merupakan anak buah dari Pak Agus Sunyoto, M.
Jadul Maula, Asep Zam-Zam, Nur Inayah Wulandari dan Habiburrahman
Syairozi.53
2. Pengalaman Kegamaan Ki Enthus Susmono
Pengalaman keagamaan Ki Enthus sendiri didapat ketika ia masih kecil, ia
belajar kepada para Ustadz, Kyai, habaib dan orang yang memang ahli agama.
Untuk memperbaiki kehidupannya, pada setiap malam ia selalu menyempatkan
diri untuk belajar al-Qur‟an dan berdiskusi tentang ilmu agama. Disamping itu ia
juga sering meminta bimbingan para Kyai di berbagai pondok pesantren.
Ketika Ki Enthus kesulitan dan lupa dalam mementaskan pagelaran dan
ingin mengutip ayat al-Qur‟an, Ki Enthus tidak sungkan untuk bertanya kepada
teman-temannya, Kyai Mahfudz, sama Pak Atmo Tansidiq.54
Cerita-cerita yang digunakan wayang santri merupakan cerita yang ditulis
oleh beberapa Kyai diantaranya : Kyai Amiruddin, KH Amir dari Lebaksiu-Tegal,
KH. Tolib dari Tembok-Banjaran, dan Kyai Mahfudz Kholik dari Tegal.
53
Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Yogyakarta, 30
Desember 2017, pukul 04.50 WIB. 54
Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27
Desember 2017, pukul 00.30 WIB.
31
BAB III
SEJARAH DAN FUNGSI WAYANG
A. Sejarah Wayang
Wayang merupakan salah satu unsur jati diri bangsa Indonesia dan mampu
membangkitkan rasa solidaritas menuju persatuan. Wayang mempunyai peran
yang bermakna dalam kehidupan dan pembangunan budaya khususnya guna
membentuk watak bangsa. Karena diperlukan usaha terus-menerus melestarikan
dan mengembangkan wayang, ini sangat penting untuk menghadapi erosi
kebudayaan yang melanda diseluruh dunia. Nilai-nilai luhur manusia sudah
dikikis dan terdesak oleh budaya global konsumerisme. Pagelaran wayang adalah
gabungan indah lima unsur yaitu, Seni Cipta (Konsepsi dan Ciptaan baru), Seni
Pentas (Drama dan Karawitan), Seni Kriya (Pahat dan Lukisan), Seni Ripta
(Sanggit dan Kesusastraan), dan Seni Widya (Filsafat dan Pendidikan).1
Wayang merupakan identitas utama orang Jawa menurut Marbangun
Hardjowirogo.2 Dengan kata lain orang Jawa yang tidak mengerti wayang adalah
sama saja dengan orang yang tidak faham dengan jati dirinya sendiri. Ir Mulyono
menyimpulkan bahwa pertunjukan wayang terpengaruh oleh pertunjukan tonil
India Purba yang disebut Chayanataka (seperti pertunjukan bayang-bayang) dan
pertunjukan wayang adalah ciptaan asli orang Jawa.3
Wayang adalah potret kehidupan yang berisi kebiasaan hidup, tingkah laku
manusia dan keadaan alam. Dengan demikian wayang juga disebutkan sebagai
estetika kehidupan manusia. Lakon wayang merupakan cermin kehidupan
manusia sejak lahir, hidup, mati. Cerita lakon wayang mencerminkan lambang
kehidupan manusia, ada beberapa lakon cerita wayang, antara lakon satu dengan
yang lainnya berbeda, sebab pelaku-pelaku yang disebut dalam cerita berbeda,
1 http://docplayer.info/68189472-Seni-pertunjukan-berbasis-kearifan-lokal.html (diakses
pada tanggal 10 September 2017, pukul 08.00) 2 Purwadi, “Kejawen”, Jurnal Kebudayaan, Universitas Negeri Yogyakarta, Jurusan
Pendidikan Bahasa Daerah, h. 63. 3 Ir. Sri Mulyono, Wayang : Asal- usul. Filsafat, dan masa Depannya, h. 12.
32
namun isi cerita wayang sama, yaitu menggambarkan kehidupan manusia mulai
lahir, dewasa hingga mati.4
Menurut sumber-sumber sejarah, agama Hindu masuk ke Indonesia sekitar
abad I Masehi. Sumber-sumber tersebut berasal dari prasasti-prasasti yang
ditemukan dan dari berita-berita penulis sejarah bangsa Tionghoa. Kerajaan-
kerajaan Hindu yang berada di Indonesia antara lain adalah Kerajaan Hindu di
Kutai, Kalimantan Timur (awal abad ke V), dan kemudian disusul oleh kerajaan
Taruma di Jawa Barat. Sedangkan Dr. Hazeu berpendapat pada zaman Raja
Airlangga pemulaan abad ke-11, wayang telah dipertunjukkan di kerajaan Kediri
yang saat itu mengalami kejayaan.5
Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada
zaman pemerintahan Prabu Airlangga, Raja Kahuripan (976-1012), yakni ketika
kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang
menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak
abad X, antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna
ditulis pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung.
Di rumah-rumah tradisional Jawa, biasanya terdapat suatu ruangan yang
disebut dengan empher, pendhopo, omah, mburi, gandhok, senthong dan bagian
pinggir yang disebut pringgitan. Pringgitan adalah tempat untuk mempergelarkan
ringgit yang dalam bentuk bahasa Jawa (krama) artinya wayang. Jadi di dalam
membangun rumah, orang Jawa sudah meniati untuk menyediakan tempat khusus
bagi pagelaran wayang. Hal ini menandakan bahwa betapa kuatnya pengaruh
wayang dalam kehidupan masyarakat Jawa. 6
Dalam bahasa Jawa halus atau kromo pagelaran wayang disebut ringgitan,
jadi dalam membangun rumah, orang Jawa sudah meniati untuk menyediakan
tempat khusus bagi pagelaran wayang, hal ini menandakan betapa kuatnya
pengaruh wayang dalam kehidupan orang Jawa. Salah satu kekuatan dari
4 Suwaji Bastomi, ed., Nilai-Nilai Seni Pewayangan (Semarang : Dahara Prize, 1993), h.
49. 5 Ir. Sri Mulyono, Wayang : Asal- usul. Filsafat, dan masa Depannya, h.8.
6 R.M Ismunandar K, Wayang Asal Usul dan Jenisnya (Jakarta : Effhar dan Dahara Prize,
1992), h. 5.
33
kebudayaan Jawa ini adalah kemampuan untuk menyerap dan mengintegrasikan
semua pengaruh yang datang dengan unsur-unsur authochton (dari dirinya
sendiri). Kisah-kisahnya jelas berasal dari kebudayaan Hindu, akan tetapi
perwujudannya jelas dari Jawa.7
Perhatian pengamat-pengamat Barat terhadap wayang dan budaya Jawa
telah bermula sejak mereka menginjakkan kaki di Indonesia, khususnya di pulau
Jawa. Raffles meluangkan waktu cukup lama di Cisarua Jawa Barat, untuk
menterjemahkan kitab Baratayudha, dan dibantu oleh para staf-stafnya yang
merupakan orang-orang Jawa.8 Didalam kitab itu Raffles banyak menyoroti
masalah wayang, dalang dan budaya Jawa pada umumnya, salah satu yang
menarik adalah bahwa Raffles mengkaitkan tarikh Ramayana dengan tarikh
Mahabharata dengan berbeda versi pewayangan sekarang.
Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama,
pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di
Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan
ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat.
Diantara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeu, Brandes,
Kats, Rentse dan Kruyt.9 Alasan mereka cukup kuat. Diantaranya, bahwa seni
wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosio-kultural dan religi
bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Punakawan, tokoh terpenting dalam
pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam
pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis
pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.10
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang
dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah
Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings dan Rassers.11
Sebagian besar
7 Sujamto, Refleksi Budaya Jawa ( Jakarta : Dahara Prize, 1997), h. 40-41.
8 Thomas Stamford Raffles, The History Of JavaVolume 2 Chapter VI (Kuala Lumpur :
Oxford University Press, 1978) ,h.255. Diterjemahkan oleh John Bastin tahun 1988 9Hazim Amir, Nilai-Nilai Etis dalam Wayang ( Jakarta : Pustaka Sinar Jaya, 1994), h. 26.
10http://www.tempokini.com/2014/09/kenalilah-wayang-maka-anda-akan-mencintai-nya/
(diakses pada tanggal 16 Mei 2017) 11
Hazim Amir, Nilai-Nilai Etis dalam Wayang, h. 26-27.
34
kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah
India. Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat
bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor
dari Negara.12
B. Jenis-Jenis Wayang
Di Indonesia ada beberapa jenis wayang. Wayang hadir dalam berbeda
bentuk, ukuran, dan medium (gunungan). Ada lima jenis wayang yang paling
popular di Jawa, diantaranya :
1. Wayang Beber
Dalam bahasa Jawa Beber berasal dari kata ambeber yang berarti
membentangkan, membentangkan gambar yang dilukis pada panil kertas dan
menceritakan gambar-gambar melalui dalang.13
Berbeda dengan jenis wayang lainnya. Wayang Beber menggunakan
gambaran-gambaran yang dibentangkan sebagai objeknya. Menurut Sutterhim
yang dikutip oleh Djoko Sukiman bahwa wayang beber dapat disejajarkan dengan
teater gambar Jepang kuno yang berusia tua bernama Khamishibaii atau
pertunjukan gambar Makemon.
Wayang Beber merupakan wayang tertua yang ada di Indonesia. Dalam
pertunjukan narasi dan lembaran panjang dijelaskan oleh dalang. Wayang Beber
tertua terdapat di Pacitan, Donorojo, Jawa Timur. Berkisah tentang Mahabharata
dan Ramayana, kisah-kisah rakyat, kisah asmara Panji Asmoro dan Dewi
Sekartaji.14
Dibandingkan dengan pertunjukkan wayang lainnya, wayang Beber paling
terpinggirkan. Ada beberapa penyebab, yakni pertunjukan gambar yang tidak
menarik, hanya berkisah tentang panji, adanya peraturan adat yang melarang
wayang Beber dibeberkan oleh orang luar trah keluarga, serta ketidaktertarikan
12
Hazim Amir, Nilai-Nilai Etis dalam Wayang, h. 29-30. 13
B. Soelarto, dkk., Album Wayang Beber Pacitan dan Yogyakarta (Jakarta : Depdikbud
Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek Media Budaya, 1984), h. 1. 14
https://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_beber (diakses pada tanggal 13 Maret 2018, pukul
08.00 WIB)
35
masyarakat kepada seni untuk mengembangkan wayang tersebut. Jika keadaan ini
dibiarkan secara terus-menerus dan tanpa adanya perhatian dari berbagai pihak,
maka wayang beber akan punah.
2. Wayang Klitik
Bentuk wayang Klitik seperti wayang Kulit, namun terbuat dari kayu bukan
dari kulit dan berbentuk pipih. Menggunakan bayangan dalam pertunjukan
wayang seperti wayang kulit. Kata klitik berasal dari kayu yang bersentuhan
disaat wayang digerakkan atau saat adegan perkelahian. Cerita yang paling
popular adalah cerita tentang Damarwulan.
Wayang ini pertama kali diciptakan oleh Pangeran Pekik, adipati Surabaya,
dari bahan kulit dan berukuran kecil sehingga lebih sering disebut dengan wayang
krucil. Munculnya wayang menak yang terbuat dari kayu yang dipipih dua,
membuat Sunan Pakubuwana II kemudian menciptakan wayang klithik yang
terbuat dari kayu yang pipih (dua dimensi). Tangan wayang ini dibuat dari kulit
yang ditatah. Berbeda dengan wayang lainnya, wayang klithik memiliki gagang
yang terbuat dari kayu. Apabila pentas menimbulkan bunyi "klithik, klithik" yang
diyakini sebagai asal mula istilah penyebutan wayang klithik.15
3. Wayang Wong
Wayang wong di ciptakan oleh Mangkunegara I pada abad XVIII, yang di
adaptasi dari seni drama yang berkembang di Eropa. Selanjutnya di sempurnakan
oleh Mangkunegara IV dan Mangkunegara V dengan pakaian yang mirip dengan
wayang. Pada awalnya wayang wong merupakan pertunjukan esklusif yang di
pentaskan di lingkungan kraton. Namun seiring dengan perkembangan jaman,
wayang wong mulai populer dan sangat di minati oleh masyarakat.16
Wayang wong adalah salah satu jenis wayang teater tradisional Jawa yang
merupakan gabungan antara seni drama yang berkembang di Barat dengan
pertunjukan wayang yang tumbuh dan berkembang di Jawa. Wayang Wong
15
https://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_klithik (diakses pada tanggal 13 Maret 2018, pukul
08.00 WIB) 16
http://www.negerikuindonesia.com/2015/03/kesenian-nusantara-wayang-wong.html
(diakses pada tanggal 13 Maret 2018, pukul 08.00 WIB)
36
berkembang terutama di lingkungan Kraton dan kalangan para priyayi
(Bangsawan) Jawa.
Jenis wayang ini adalah sebuah drama tari yang menggunakan manusia
untuk memerankan tokoh pewayangan tradisional. Awalnya wayang Wong
dipertunjukan sebagai hiburan untuk para bangsawan, namun saat ini menjadi
kesenian yang popular. Wayang Wong memiliki bentuk yang berbeda-beda dari
masing-masing daerah, baik Surakarta maupun Yogyakarta. Kisah-kisah yang
digunakan adalah Smaradahana.
Dalam pertunjukan wayang wong tidak menggunakan dalang sebagai
pembaca dialognya, namun pemeran tokoh lah yang memegang dialognya. Dalam
pemeranan tokoh-tokoh tersebut ada beberapa hal penting yang perlu di
perhatikan. Pemilihan peran pun harus selektif, karena agar pertunjukan terlihat
menarik di butuhkan orang yang pas untuk memerankan tokohnya. Beberapa
syarat untuk menjadi pemeran di antaranya postur tubuh dan kemampuan
memerankan tokoh yang di perankan. Karena dalam wayang, setiap tokoh
mempunyai ciri khas yang berbeda dan watak yang berbeda pula.
Pementasan wayang wong mempunyai nilai seni yang sangat besar. Banyak
unsur seni di dalamnya seperti seni drama, tari, busana, visualisasi, musik
pengiring cerita dan berbagai unsur seni yang menarik lainya. Namun
kepopularitasan wayang wong mulai menurun seiring dengan perkembangan
jaman yang semakin modern. Sehingga minat masyarakat terhadap wayang wong
mulai memudar.17
4. Wayang Kulit
Wayang kulit purwa adalah salah satu jenis wayang kulit yang paling tua
atau awal yang dimainkan seorang dalang dan didukung oleh sinden dan niyaga.
Wayang kulit purwa merupakan peninggalan kebudayaan yang mampu bertahan
hidup hingga hari ini, khususnya dikalangan masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali.
Cerita pokoknya bersumber dari kitab Mahabharata dan Ramayana yang
bernafaskan kebudayaan dan filsafat Hindhu India, akan tetapi perkembangannya
17
http://www.negerikuindonesia.com/2015/03/kesenian-nusantara-wayang-wong.html
(diakses pada tanggal 13 Maret 2018, pukul 08.00 WIB)
37
telah diserap kedalam budaya Indonesia yang mengalami asimilasi atau akulturasi
dengan berbagai kebudayaan asing yang berpengaruh di Indonesia.18
Beberapa lakon wayang yang terkenal adalah Pendawa Lima, yakni Prabu
Yudistira merupakan kakak tertua menjadi raja yang baik, yang memerintahkan
kerajaannya dengan adil serta murah hatinya. Wrekudara (Bima) merupakan
kesatria yang paling ditakuti, karena membuat kehancuran dengan gadanya yang
menegerikan dan kuku jarinya yang mencuat. Arjuna merupakan satria yang
paling tampan, berhati lembut dan setia dengan keluarganya. Nakula dan Sadewa
merupakan penjelmaan dari dewa kembar Aswin yakni dewa pengobatan, Nakula
merupakan ksatria yang tangguh dan mahir dalam memainkan senjata pedang,
sedangkan Sadewa seorang yang ahli dalam bidang ilmu astronomi, rajin dan
bijaksana. Kresna dan kakaknya Baladewa adalah sepupu para pandawa, sebagai
titisan Wisnu dia setengah dewa, politikus, diplomat dan ahli strategi perang yang
paripurna. Dialah yang paling cerdas diantara para Pandawa.19
Ada beberapa pendapat tentang pertunjukan wayang kulit, yang pertama
kelompok Jawa berpendapat wayang berasal dari Jawa karena wayang diubah
kedalam model yang sangat tua, dan cara seorang dalang mementaskan pagelaran
dengan suara yang rendah, bahasanya dan ekspresinya mengikuti tradisi yang
sudah tua, serta gaya dan susunan lakon-lakon juga bersifat khas Jawa.20
Yang
kedua kelompok India berpendapat bahwa wayang adalah kreasi Hindu Jawa,
karena wayang ada di Jawa dan di Bali saja yang mengalami pengaruh
kebudayaan Hindu paling banyak, India juga mengenal teater bayangan, dan
tentang hubungan antara wayang sebagai penyembahan arwah nenek moyang.
Pendapat ini dipahami oleh Poensen, Goslings, dan Rassers.21
18
Freddy H. Tulung, wayang sebagai Media Komunikasi Tradisional dalam Diseminasi
Informasi (Jakarta : Kementrian Komunikasi dan Informatika RI Direktorat Jendral Informasi dan
Komunikasi Publik, 2011), h. 9-10. 19
Benedict R.O‟G. Anderson, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa (Yogyakarta : Mata
Bangsa, 2008), h. 36. 20
Hazim Amir, Nilai-Nilai Etis dalam Wayang (Jakarta : Pustaka Sinar Jaya, 1994), h. 27. 21
Haim Amir, Nilai-Nilai Etis dalam Wayang, h. 29-30
38
Perubahan wayang yang sekarang ini melalui proses perombakan dan
perkembangan wayang. Perubahan yang terjadi karena wayang terpahat dari relif
candi dan kemudian menjadi wayang kulit.
5. Wayang Golek
Awal kemunculan kesenian wayang kayu lahir dan berkembang di wilayah
pesisir utara pulau Jawa. Pada awal abad ke -17 dimana kerajaan Islam tertua di
pulau Jawa tumbuh, dengan menggunakan bahasa Sunda dalam dialognya.
Sedangkan Sunan Kudus menggunakan bentuk wayang golek ini untuk
menyebarkan Islam di masyarakat. Sedangkan sejarah terjadinya wayang kulit
purwa dimulai sejak jatuhnya Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak dengan
raja pertamanya adalah Raden Patah, yang kemudian digantikan oleh Pangeran
Sebrang Lor. Mulanya para Raja dan para Wali gemar akan kesenian daerah,
termasuk wayang, yang pada saat itu ada adalah wayang beber, karena dinilai
bertentangan dengan syariat Islam, terutama Sunan Giri maka dibuatkan kreasi
baru oleh raja dan para Wali, terutama Sunan Kalijaga untuk membuat wayang
kulit. Perubahan ini mengenai bentuknya, gambarnya, alat peraganya, dan sarana
lainnya di selaraskan dengan syariat islam.
Wayang golek merupakan pertunjukan asli Indonesia yang berkembang di
Jawa dan Bali, pertunjukan wayang golek juga popular di wilayah Tanah Pasudan,
dan dipengaruhi oleh budaya Hindhu dan Jawa. Wayang golek berasal dari kata
“golek” yang berarti mencari, jika sebagai kata benda berarti boneka kayu, ada
dua wayang golek yaitu wayang golek papak (cepak) dan wayang golek purwa
yang ada di daerah Sunda. Ki H. Asep Sunandar Sunarya yakni pencipta wayang
cepot yang masih melestarikan kesenian wayang golek hingga sekarang.
Wayang golek yang terkenal di Tegal adalah, garapan dalang Ki Ethus
yakni Lupit dan Slenteng, ia menggunakan Lupit dan Slenteng sebagai tokoh
utama di setiap pagelaran wayang santri / ngaji budaya, bahkan Lupit dan
Slenteng pun menjadi maskot Kabupaten Tegal. Lakon Lupit dan Slenteng pun
dikenal oleh kalangan Internasional, Ki Enthus berhasil mendobrak dan keluar
dari pakeliran Surakartanan maupun Yogyakartanan yang terkesan kalem, Ki
Enthus mempunyai gaya pakeliran sendiri, yang ia beri nama pakeliran ala
39
Enthus-an.22
Lupit dan Slenteng adalah suara rakyat, dalam dunia pendalangan
mereka hampir sama seperti Gareng dan Petruk, lakon yang menarik adalah ketika
Petruk dadi ratu,23
ketika terjadi gonjang-ganjing sudah sampai taraf sangat tidak
wajar, para punakawan mulai membangkang, sehingga puncaknya ketika Petruk
melabrak Istana para penguasa, dan merekontruksi tatanan yang selama ini
dipakai para penguasa, Petruk turun tangan merebut kekuasaan.24
Petruk dadi ratu selama ini menjadi impian wong cilik yang banyak didera
permasalahan, melalui tokoh Petruk atau Lupit ketika awal-awal berkuasa
merevolusi semua tatanan agar kembali pada tempat yang semestinya. Maka
Petruk atau Slenteng menjadi seorang pengabdi. Lupit dadi ratu menjadi sihir
tersendiri bagi publik, jika tidak diimbangi dengan karya besar sinar itu akan
redup, namun Ki Enthus paham bentul dan menjaga sinar itu, dengan dilakukan
gebrakan-gebrakan terus menerus, jurus dan sabetan juga terus dilakukan.25
Lupit dan Slenteng selalu tampil dengan tidak tedheg aling-aling dalam
bertutur, sehingga menganggapnya liar dan kasar, sikap inilah kemudian
dikatakan oleh Prof. Abu Su‟ud sebagai prototype wong Tegal.26
Mereka berdua
memiliki perwatakan apa adanya dan selalu menjalani hidup penuh keikhlasan
yang diharapkan menjadi filosofi warga Kabupaten Tegal. Lupit dan Slenteng
memberikan celotehan-celotehan menarik, ringan dan renyah, tanpa melupakan
makna yang tersirat dalam celotehannya.
C. Perkembangan Wayang dari Masa ke Masa
1. Wayang Pada Masa Walisanga
Islam merupakan agama Samawi (ajaran agama yang didasarkan pada
wahyu yang diberikan Tuhan kepada utusan-Nya), yang lahir di Semenanjung
22
Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27
Desember 2017, pukul 00.30 WIB. 23
Dadi itu dalam bahasa Jawa Tegal, adalah menjadi 24
Maskot Baru Lupit-Slenteng https://www.kompasiana.com (diakses pada tanggal 15
Desember 2017) 25
https://www.kompasiana.com/rajauntung/maskot-baru-lupit-
slenteng_54f5d6fda33311f64e8b46ed (diakses pada tanggal 15 Desember 2017) 26
Maskot Baru Lupit-Slenteng https://www.kompasiana.com (diakses pada tanggal 15
Desember 2017
40
Arab, khususnya di dataran tinggi Hijaz di kota yang bernama Mekkah.27
Agama
Islam berkembang sekitar abad ke-6 M dengan diutusnya Nabi Muhammad
sebagai Nabi dan Rasul untuk menyebarkan agama Islam di seluruh penjuru
dunia. Agama Islam merupakan agama yang perkembangan penyebarannya di
dunia cukup pesat, hingga saat ini agama Islam menjadi agama kedua di dunia
yang memiliki penganut terbanyak setelah agama Nasrani.
Islam dibawa masuk oleh para pedagang Arab, Gujarat dan Persia ke
Indonesia sekitar abad ke-7 M sampai abad ke-15 M, melalui jalur perdagangan.
Selain itu agama Islam juga berkembang melalui saluran pernikahan.28
Para
pedagang yang menetap kemudian menikah dengan wanita-wanita setempat
sehingga melalui proses pernikahan, agama Islam juga berkembang pesat di
Indonesia. Dengan jumlah pemeluk yang semakin banyak, maka mulai muncul
pusat-pusat pemerintahan yang berbentuk kerajaan. Pada awal perkembangannya,
sebagian besar kerajaan Islam mulai muncul di daerah Sumatera karena Pulau
Sumatera memang letaknya yang strategis sebagai jalur perdagangan
Internasional.
Kerajaan Islam pertama yang muncul di Indonesia adalah Kerajaan
Samudera Pasai (1990),29
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh dengan raja
pertamanya yang bernama Sultan Malik Al-Saleh. Kerajaan Samudera Pasai
kemudian runtuh sekitar tahun 1360 M karena mendapat serangan Kerajaan
Majapahit dari Jawa. Di Jawa, juga terdapat kerajaan Islam tersohor yang
peninggalan-peninggalannya masih dapat kita saksikan hingga saat ini. Kerajaan
tersebut bernama Kerajaan Demak yang juga merupakan kerajaan Islam pertama
di Pulau Jawa. Kerajaan Demak mulai berdiri pada abad ke-16 berkat perjuangan
27
https://www.kompasiana.com/aditya_alfajr01/fungsi-wayang-kulit-dalam-penyebaran-
agama-islam-di-pulau-jawa_56f941950e93732905e12dbd (diakses pada tanggal 15 Desember
2017) 28
Azumardi Azra, Islam Nusantara, Jaringan Global dan Lokal (Bandung : Mizan, 2002),
h. 22.
29
Sunarto, Seni Gatra Wayang Kulit Purwa (Semarang : Dahara Prize, 1997), h. 4.
41
dan usaha Pangeran Jimbun / Raden Patah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan
Majapahit di Jawa Timur.30
Setelah kerajaan Majapahit runtuh dan kemudian berpindah ke Demak, pada
tahun 1437 M, Raden Patah sebagai raja mulai menciptakan wayang yang dibantu
oleh wali. Sunan Giri membantu menciptakan wayang kera dengan menggunakan
dua mata, Sunan Bonang menciptakan ricikan, Sunan Kalijaga menciptakan Kelir
(layar pertunjukan) beserta perlengkapannya.31
Dan pada tahun 1443 Raden Patah
menciptakan gunungan wayang. Sehingga tidak terlepas dari para wali khususnya
Sunan Kalijaga, yang tidak langsung menghilangkan wayang beber tetapi
menyesuaikan atau memasukan nilai-nilai Islam dalam bentuk maupun cerita
wayang.
Dalam menjalankan perannya sebagai mubaligh, tentunya ajaran yang
dibawakan para Wali tidak serta mengajarkan ajaran-ajaran pokok Islam, akan
tetapi untuk mempermudah masyarakat dalam memahami ajaran agama Islam,
disertakanlah ajaran agama Islam dalam tradisi atau kebiasaan masyarakat
setempat. Misalnya, Sunan Drajad yang menggunakan media gamelan dan
tembang Pangkur untuk menyebarkan agama Islam di daerah Lamongan, Sunan
Kalijaga yang menggunakan media wayang dan tembang dolanan, Sunan Kudus
yang mengajarkan masyarakat untuk membuat keris dan mengajarkan toleransi
antar umat beragama, dan lain-lain. Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa para wali
memanfaatkan kebiasaan masyarakat sebagai media dakwah, sehingga masyarakat
akan lebih mudah untuk menerima dan memahami ajaran Islamlainnya di
selaraskan dengan syariat islam.32
Perkembangan wayang semakin meningkat
pada masa setelah Demak, memasuki era kerajaan-kerajaan Jawa seperti Pajang,
Mataram, Kartasura, Surakarta, dan Yogyakarta.
Adapun yang memimpin penyebaran Islam ke pulau Jawa itu adalah para
Walisanga.33
Dalam berdakwah para wali menggunakan tradisi hasil pencampuran
30
http://daerahsindonews.com (diakses pada tanggal 16 Mei 2017) 31
R.M Ismunandar, Wayang Asal Usul dan Jenisnya, h. 96. 32
Soekatno, BA, Wayang Kulit Purwa (Semarang : Aneka Ilmu, 2005), h. 190. 33
Widji Saksono, MengIslamkan Tanah Jawa : Telaah Atas Metode Dakwah Walisanga
(Bandung : Mizan, 1995), h. 200.
42
ajaran Islam dan budaya lokal setempat untuk menarik perhatian masyarakat.
Terbukti metode ini berhasil, dan Islam dapat menyebar di seluruh tanah Jawa.
Salah satu tradisi lokal yang digunakan dalam berdakwah ialah kesenian wayang
kulit. Metode dakwah menggunakan wayang kulit dikenalkan oleh Sunan
Kalijaga.34
Sunan Kaljaga menanamkan unsur-unsur ajaran Islam di dalam
pertunjukan pewayangan, sehingga Islam dapat diterima oleh masyarakat.
Lakon-lakon yang dibawakan dalam pertunjukan wayang pun lebih Islami,
bukan lakon-lakon Hindu seperti Mahabharata-Ramayana. Karakter-karakter
wayang yang dibawakan Sunan Kalijaga ditambah dengan unsur-unsur ajaran
Islam didalamnya, Sunan Kalijaga juga pandai mendalang. Dalam pagelaran
wayang seperti Jimat Kalimasada, Serat Dewa Ruci, Petruk dadi Ratu, dan lain-
lain, namun cerita Jimat Kalimasada ini yang paling sering dipentaskan Sunan
Kalijaga.35
Makna yang terkandung dalam wayang, dalam arti kata yang bernafaskan
keIslaman, wayang yang kita lihat saat ini adalah wayang hasil gubahan para
Wali. Falsafah Islam yang lain juga kita dapati dalam gunungan. Gunungan dibuat
pada zaman Demak oleh Raden Patah (Sultan She Alam Akbar) sekitar tahun
1443. Gunungan ini merupakan gambar simbolis dari Mustika Masjid, yang ketika
dijungkir balikkan akan menyerupai jantung manusia yang terdiri dari bilik kiri
dan bilik kanan, serambi kiri dan serambi kanan. 36
Berdasarkan uraian singkat itulah, maka wayang memiliki fungsi yang
penting bagi perkembangan dan penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, karena
wayang merupakan kesenian kegemaran masyarakat ketika Pulau Jawa masih
dikuasai kerajaan yang bernafaskan Hindu dan Budha hingga masuknya agama
Islam dengan berdirinya Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di
Pulau Jawa. Islamisasi di Jawa pada abad ke-15 mempuyai karakteristik yang
berbeda dengan Islamisasi abad ke-13, pada masa ini Islam begitu mudah
34
Effendy Zarkasi, Unsur-unsur Islam dalam Pewayangan (Bandung : Al-Ma‟arif, 1983),
h. 70. 35
Sofwan Ridin Mundiri, Islamisasi di Jawa : Walisongo Penyebar Islam di Jawa menurut
penuturan Babad (Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2004), h. 277. 36
R.M Ismunandar K, Wayang Asal Usul dan Jenisnya, h. 102.
43
diterima, penyebabnya karena para pendakwah dalam menyampaikan ajaran Islam
menggunakan metode yang mengedepankan keharmonisan, yakni dengan
merangkul tradisi lokal yang baik sebagai bagian dari ajaran agama Islam
sehingga masyarakat merasa enjoy menerima Islam menjadi agamanya.
2. Wayang Pada Masa Kemerdekaan
Berdirinya sebuah lembaga pada tahun 1923, pengajaran pendalangan
dengan dinamai Pasinaoun Dhalang Surakarta (PADHASUKA), tahun 1925
Kasultanan Yogyakarta mendirikan Hambiwarakake Rancangan Andhalang
(HABIRANDHA), serta disusul tahun 1930 Kadipaten Mangkunagaran
mendirikan Pasinaoun Dalang Mangkunegaran (PDMN). Pakem oleh keraton
dipakai sebagai salah satu sarana untuk melestarikan nilai-nilai estetika
pendalangan yang menyangkut sabet, catur, karawitan, dan lakon yang disikapi
sebagai satu bentuk acuan bagi para calon dalang.37
Pakem pendalangan ini awalnya hanya bagi para kerabat atau lingkungan
keraton (Serat Sastramiruda), akhirnya menyebar luas ke luar keraton. Seperti
halnya dengan lembaga pengajaran dalang berdiri hanya untuk calon dalang dan
dalang pemula yang berada di lingkungan keraton, akan tetapi kenyataannya
diikuti juga oleh para dalang muda dan anak-anak dalang dari desa-desa sekitar
keraton. Sebagian besar para siswa dalang ini kemudian pulang ke desa masing-
masing, serta menjadi dalang terkenal yang tetap berpedoman pada pakem gaya
keraton yang diperoleh saat mengikuti kursus di keraton.
Kehidupan Pakeliran gaya kerakyatan yang beredar di pedesaan-pedesaan
bentuk ekspresi dan sifatnya lebih bebas, sederhana dan lugas, sehingga semakin
lama semakin tersisih. Hal ini disebabkan oleh kehadiran serta terkenalnya para
dalang yang menggunakan pakem gaya keraton. Di sisi lain merebaknya Pakeliran
gaya keraton dimasyarakat luas mendapat dukungan dari berbagai pihak dan
mendapat nilai yang sangat tinggi. Dari sinilah muncul anggapan bahwa pakeliran
gaya keraton memiliki nilai tinggi sehingga dikenal oleh masyarakat pendalangan
sampai sekarang.
37
Bambang Murtiyoso, Seni Pertunjukan Pewayangan (Surakarta : Citra Etnika, 2004), h.
18-19.
44
Sesudah kemerdekaan, Keraton memang sudah tidak memiliki otoritas lagi,
tetapi wibawanya dibidang seni pedalangan ini tidak terbatas pada bekas wilayah
administrasinya saja melainkan meluas hampir ke seluruh pendukung budaya
wayang. Pakeliran gaya keraton yang semula dilegitimasikan dalam bentuk
pakem melalui lembaga-lembaga pengajaran pendalangan yang langsung dikelola
keraton berpengaruh luas terhadap kehidupan pewayangan diluar keratin juga.
Dari sinilah muncul teknik atau acuan pakeliran yang berasal dari keraton dari
sejumlah murid yang digabungkan dengan konveksi yang telah lama dipahami di
daerah asal, kemudian lahir varian-varian pakeliran yang memiliki pengaruh
terhadap komunitasnya masing-masing.
3. Wayang Pada Tahun 1970-1990
Pada tahun 1974 diselenggarakan Pekan Wayang Indonesia kedua di Taman
Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Pada saat pekan wayang itu diselenggarakan pula
pertemuan komponen penyangga dunia pewayangan dan pandangan dari seluruh
daerah di Indonesia, yang tergabung dalam Dewan Kebijakan SENA WANGI,
pergelaran, pameran, dan sarasehan para dalang. Pada tahun 1976 SD Humardani
bersama mahasiswa jurusan Pendalangan Akademi Seni Karawitan Indonesia
(ASKI) Surakarta telah mengadakan inovasi pendalangan yang disebut pakeliran
padat. Tujuannya adalah menggarap masalah-masalah kemanusiaan yang paling
wigati dan mantap.38
Pada tahun 1980-an jagad pendalangan mengalami zaman keemasan.
Pertunjukan wayang merebak hampir di seluruh kawasan perkotaan, bahkan kota-
kota besar seperti Surabaya, Jakarta, dan Semarang. Kondisi pakelir saat ini
sangat kuantitatif menggembirakan, hal ini disebabkan oleh banyaknya
penggemar wayang yang memiliki otoritas tinggi, sehingga membantu
tercapainya zaman keemasan tersebut.
Pada 16 November 1993 Ki Anom Suroto, Ki Manteb Soedarsono dan
beberapa rekannya telah menyelenggarakan Sesaji Dhalang di Taman Budaya
Surakarta, Jawa Tengah. Tujuannya merupakan rasa syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas maraknya jagad pendalangan, para dalang diajak merenung
38
Bambang Murtiyoso, Seni Pertunjukan Pewayangan, h. 37.
45
(kontemplasi) tentang dunianya. Pada siang harinya Gunawan Mohammad, Edy
Setyawati dan Kuntara Wiryamartana mengisi ceramah, dan pada malam harinya
diadakan upacara sesaji dan pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Darman
Gandadarsana (Sragen). Acara ini diikuti lebih dari 500 dalang terkenal dari DKI,
Jawa Tengah, DIY Yogyakarta dan Jawa Timur. 39
Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan wayang, tumbuhnya dalang-
dalang baru, pertumbuhan fungsi pertunjukan wayang, properti dan unsur
pendukung wayang sudah di tingkatkan kualitasnya. Berbagai lembaga telah
banyak menyelenggarakan lomba dan festifal dalang, seperti Dinas P dan K Jawa
Timur, Yayasan Daniwara Surabaya, dan lain-lain. Contohnya adalah pertunjukan
spektakuler pagelaran wayang dengan menampilkan 50 dalang terpilih dalam
pagelaran secara berurutan (marathon) selama 50 malam pada tahun 1995.
Salah satu dalang wanita dari daerah Sragen Nyi Suharni mengemukakan
pendapatnya:
“…untuk mengikat daya tarik penonton, berbagai cara bisa dilakukan
oleh pra dalang sebatas tidak terlalu jauh melanggar kode etik
pendalangan. Hal ini harus dimaklumi, karena selain memiliki tanggung
jawab moril bagi kelestarian seni budaya tradisional, dalam hal ini wayang
kulit dan dalang juga cari duit atau uang. Karena dalang bukan pegawai
Negeri, dimana mendalang merupakan sumber penghasilan…”40
Pendapat Nyi Suharni ini memang mengandung kebenaran, tetapi para
dalang seharusnya tidak lupa daratan, sehingga hanya demi larisnya saja apa
kehendak penonton dituruti. Sebenarnya kehendak penonton itu gilirannya dapat
membuat penonton kecanduan dan menjadi tidak terhibur bila melihat pagelaran
wayang yang tidak akrobatik sabetnya, cantik-cantik sindennya dan lawakannya
yang jorok seperti sekarang ini. Bahwa bakat yang dimilikinya itu juga digunakan
sebagai sarana mencari nafkah adalah wajar, akan tetapi tujuan utama mereka
seharusnya adalah melakukan “darma pewayangan” seniman dalang yang
39
Bambang Murtiyoso, Seni Pertunjukan Pewayangan, h. 8. 40
Bambang Murtiyoso, Faktor-faktor Pendukung Popularitas Dalang (Yogyakarta : Tesis
Universitas Gajah Mada, 1996), h. 53.
46
mengantarkan keindahan kepada penonton lewat garap unsur-unsur pakeliran
yaitu gerak, musik, dan sastra.41
Melihat semakin mundurnya kesenian tradisional, seniman tradisional
ternama Ki Nartosabando, pada tahun 1979 di Balai Sidang Senayan mengadakan
pagelaran wayang kulit dalam rangka menyambut 1 suro tahun Jawa 1912 BE.
Acara ini didukung oleh 19 Radio Swasta Niaga yang mempunyai acara kesenian
Jawa, termasuk radio ABRI, Surat Kabar Mingguan Buana Minggu dan Harian
Berita Buana, media-media tersebut ikut membantu dalam publikasi.
Saat ini pertunjukan wayang benar-benar sangat menggembirakan, dalam
artian sering diselenggarakan oleh masyarakat dan lembaga untuk berbagai
keperluan. Kehidupan pertunjukan wayang kulit Jawa menunjukkan peningkatan
kuantitas pewayangan yang luar biasa, kondisi seperti ini oleh kebanyakan pakar
dan budayawan disebut sebagai zaman kebangkitan (renaissance) yang di tandai
dengan boom wayang.42
Yang lebih menarik para penonton tidak hanya dari kalangan tua saja, tetapi
dari kalangan muda yang terdiri dari berbagai profesi, seperti mahasiswa, pemuda
dan rakyat biasa. Hal ini menandakan bahwa anak-anak muda kita yang berkiblat
kepada kesenian mancanegara tidak seluruhnya benar. Begitu pula anggapan
wayang kulit hanya di nikmati oleh golongan tua.
Seni pertunjukan wayang mempunyai fungsi sebagai ekspresi seni-
ungkapan pengalaman jiwaa yang dalam, wayang dapat digunakan sebagai sarana
upacara atau kepercayaan, pendidikan, penerangan, propaganda, hiburan, dan lain
sebagainya. Wayang juga mempunyai sisi simboliknya, mistiknya, pesan
ajarannya, dan tuntutannya.
4. Wayang pada saat ini
Demi melestarikan kesenian wayang, maka para dalang membuat perubahan
dan inovasi disetiap pertunjukan. Mulai dari cerita, lakon, gaya bahasa, bahkan
tata cara pagelaran. Ki Enthus membuat perubahan pada pagelarannya, seperti
disetiap pementasannya Ki Enthus menampilkan beberapa tokoh-tokoh wayang
41
Bambang Murtiyoso, Faktor-faktor Pendukung Popularitas Dalang, h. 52. 42
Bambang Murtiyoso, Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang, h.
135-136.
47
kotemporer, wayang yang biasanya hanya menggunakan bahasa Jawa kromo,
berbeda dengan pagelaran Ki Enthus, dimana ia selalu menggunakan bahasa yang
mudah dimengerti oleh setiap penontonnya, mulai dari anak-anak hingga dewasa.
Ki Enthus juga menggunakan lagu-lagu bukan hanya bertemakan Islami, melaikan
lagu-lagu yang sedang popular dikalangan masyarakat.
Ki Enthus tidak pakem ketika pagelaran, apasaja pasti ia masukan kedalam
setiap pagelaran, isu-isu yang sedang hangat pun ia masukan, dengan bahasa-
bahasa yang sedang hangat diperbincangkan. Sehingga wajar saja setiap
pagelarannya selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat.
D. Wayang Sebagai Media Dakwah
Ditinjau dari segi upaya pengembangan budaya Jawa, fungsi wayang yakni
sebagai tontonan dan tuntunan perlu mendapatkan perhatian dalam pembinaan
wayang, keduanya harus senantiasa dijaga dan ditingkatnya kualitasnya agar
selalu baik. Seni perwayangan ini telah menjadi asset budaya Nasional maka
kewajiban untuk menjaganya terletak dipundak masyarakat Indonesia seluruhnya.
Dakwah Islam di pulau Jawa sudah berlangsung sejak abad ke-13 Masehi,
dimana yang menyebarkan agama Islam merupakan para pedagang dari Timur
Tengah. Para pedagang Timur Tengah menyebarkan agama Islam dengan
membawa tarekat Qadariyah ke Indonesia, akan tetapi ajaran tarekat ini belum
mampu menembus ke masyarakat Indonesia, karena di Indonesia masih percaya
dengan budaya animisme dan dinamisme43
. Maka setiap agama baru yang ingin
masuk ke suatu daerah, mau tidak mau harus bersifat membumi mengikuti ajaran
lokal daerah tersebut, sehingga agama tersebut dapat di terima di masyarakat.
Islamisasi di Jawa pada abad ke-15 mempuyai karakteristik yang berbeda
dengan Islamisasi abad ke-13, pada masa ini Islam begitu mudah diterima,
penyebabnya karena para pendakwah dalam menyampaikan ajaran Islam
menggunakan metode yang mengedepankan keharmonisan, yakni dengan
43
Muhammad Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam, (Yogyakarta : Narasi, 2010), h. 19.
48
merangkul tradisi lokal yang baik sebagai bagian dari ajaran agama Islam
sehingga masyarakat menerima Islam menjadi agamanya.44
Adapun yang memimpin penyebaran Islam ke pulau Jawa itu, adalah para
wali (Walisanga), dalam berdakwah para wali menggunakan tradisi hasil
pencampuran ajaran Islam dan budaya lokal setempat untuk menarik perhatian
masyarakat. Terbukti metode ini berhasil, dan Islam dapat menyebar di seluruh
tanah Jawa. Salah satu tradisi lokal yang digunakan dalam berdakwah ialah
kesenian wayang kulit. Metode dakwah menggunakan wayang kulit dikenalkan
oleh Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga menanamkan unsur-unsur ajaran Islam di
dalam pertunjukan pewayangan, sehingga Islam dapat diterima oleh masyarakat.
Wayang Kulit, yang merupakan salah satu warisan dari walisangga dalam
menyebarkan ajaran agama Islam. Walisangalah yang mempelopori dakwah Islam
di Bumi Jawa, Walisanga dianggap sebagai tokoh-tokoh sejarah kharismatik yang
membumikan Islam di tanah Jawa yang sebelumnya. Berkembang bersama tradisi
Hindu-Budha. Masing-masing tokoh Walisanga mempunyai peran yang unik
dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan
diri sebagai “Tabib” bagi kerajaan Hindu Majapahit, Sunan Giri yang disebut
“Paus dari timur” hingga sunan Kalijaga atau Pangeran Tuban atau Syeh Malaya
yang mencipta yang menciptakan karya kesenian dengan menggunakan nuansa
yang dapat dipahami masyarakat Jawa, yakni Hindu dan Budha. Sebagai penyeru
agama, Sunan Kalijaga termaysur kemana-mana.45
Mubaligh keliling yang daerah operasinya sangat luas. Banyak kaum
bangsawan serta kaum cendikiawan yang tertarik kepada tablignya, karena dalam
berdakwah ia amat pandai menyesuaikan diri dengan keadaan. Ia berusaha
menggabungkan adat istiadat Jawa dengan kebudayaan Islam, dan menjadikannya
media meluaskan syiar Islam. Salah satu karya besarnya adalah menciptakan
bentuk ukiran wayang kulit yang bentuknya dirubah sedemikian rupa, sehingga
tidak menyalahi hukum Islam.46
44
http://wawasansejarah.com/wayang-kulit-dan-islamisasi-di-jawa-abad-ke-15/ (diakses
pada tanggal 13 Agustus 2017) 45
R. M Ismunandar, Wayang : Asal-usul dan jenisnya, h. 90 46
R. M Ismunandar, Wayang : Asal-usul dan jenisnya, h. 95.
49
Dalam pertunjukan Wayang sang wali selalu mengadakan di halaman
masjid, yang disekelilingnya diberi parit melingkar berair jernih. Guna parit ini
tak lain adalah untuk melatih penonton Wayang untuk wisuh atau mencuci kaki
mereka sebelum masuk masjid. Simbolisasi wudhu yang disampaikan secara baik.
Wayang merupakan media da‟wah Islam, sebab wayang merupakan salah
satu jenis kesenian tradisional yang paling di gemari oleh masyarakat pedesaan,
selain itu juga wayang merupakan alat pendidikan serta komunikasi langsung
dengan masyarakat yang dimanfaatkan untuk penyiaran agama Islam. Wayang
sering di ibaratkan dengan mistik dan kemusyrikan, sehingga perlu dibenahi dan
diisi dengan ajaran Islam, sehingga agama Islam dapat tersebar dan tertanam ke
dalam masyarakat luas.47
Karena wayang bertujuan untuk menyiarkan agama Islam, dan mudah
diterima oleh masyarakat, wayang perlu dibesut, dirubah dan disempurnakan
dengan nilai budi luhur yang bernafas keIslaman. Sri Mulyono mulai
menyempurnakan bahwa wayang telah ada sejak zaman Panembahan Senopati di
Mataram tahun 1541, untuk menghilangkan kemusyrikan atau penyembahan
terhadap dewa dalam silsilah wayang, yang dikarang oleh Raden Ngabehi
Ronggowarsito.48
Kualitas pertunjukan wayang di tentukan oleh dalang, seorang dalang harus
menguasai hamper setiap hal, dalam istilah Jawa disebut mumpuni. Dalang harus
memiliki kualitas diri yang melampaui anggota masyarakat lainnya, untuk dapat
memberikan pelajaran seorang dalang tak henti-hentinya harus rajin belajar
dengan membaca banyak-banyak buku. Bukan hanya sebagai penghibur akan
tetapi juga sebagai komunikator, sebagai penyuluh, sebagai penatar, pendidik atau
guru bagi masyarakat dan sebagai rohaniawan yang berkewajiban mengajak
masyarakat untuk berbuat kebaikan dan menghindari kejahatan.49
47
Muhammad Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam, h. 95. 48
RM Ismunandar, Wayang, Asal -Usul dan Jenisnya, h. 95. 49
Sujatmo, Wayang dan Budaya Jawa, Semarang : Dahara Prize, 1992, h. 21.
50
BAB IV
PEWAYANGAN KI ENTHUS SUSMONO
A. Karya dan Penghargaan Ki Enthus Susmono
1. Kiprah Pewayangan1
1) Ribuan kali pementasan pewayangan di berbagai kota di Indonesia (1986-
sekarang), dengan akumulasi rata-rata setiap tahunnya sebanyak 70
pementasan.
2) Menggelar Wayang Simphony di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dalam
rangka Sepekan Wayang Kebangsaan (2006)
3) Melahirkan konsep Wayang Kebangsaan, sebuah konsep pagelaran wayang
yang mengangkat isu-isu Kebangsaan dan Nasionalisme.
4) Menggelar pentas Duel Dalang Kondang Ki Enthus dan Ki Manteb, di
Monumen GBN Slawi, Tegal (2007)
5) Menggelar pentas Wayang Blong, dalam event Festival Seni Surabaya
(2007)
6) Mewakili Indonesia dalam event Festival Wayang Internasional di
Denpasar, Bali (2008)
7) Wayang kulit Ki Enthus dipamerkan dalam event bergengsi di Museum
Tropen Belanda, dengan tema “Wayang Superstar The Theatre World Of Ki
Enthus Susmono” (2009)
8) Tour pentas wayang “Dewa Ruci” dibeberapa Negara seperti Belanda,
Perancis dan Korea Selatan (2009)
2. Karya Tokoh Pewayangan
Perhatiannya pada sarana utama pakeliran wayang cukup besar, ia tidak
cukup puas dengan figur-figur wayang yang sudah ada, sehingga berusaha
mengembangkan figur wayang tradisi atau menciptakan desain baru. Penciptaan
tokoh-tokoh masa kini dalam wayangnya adalah salah satu upaya untuk
memperkenalkan wayang pada generasi muda. Sebab tokoh-tokoh pewayangan
1http://amp.kompas.com/megapolitan/read/2009/02/27/11150324/~Oase~Padamu%20Nege
ri (diakses pada tanggal 05 September 2017)
51
seperti Werkudara, Gatutkaca, dan Arjuna mulai terdesak oleh hadirnya tokoh-
tokoh fiktif dari luar budaya Nusantara seperti Supermen, Doraemon, Ninja Boy,
Upin dan Ipin, dan Shinchan.2 Dengan diciptakan tokoh-tokoh fiktif masa kini
dalam bentuk wayang kulit, maka setiap hari sabtu pagi Ki Enthus mengajari
anak-anak untuk bermain wayang, sehingga anak-anak akan senang untuk
memainkannya, bahkan kadang Ki Enthus lepas agar anak-anak belajar
memainkan wayang sesuka hati mereka. Karena Ki Enthus ingin wayang tetap ada
yang melestarikan.3
Wayang-wayang baru kreasinyanya tersebut digambar sendiri sedangkan
pemahatannya dan pewarnaannya dibantu oleh tiga orang penatah (pemahat) dan
empat orang penyungging (pewarnaan), yang berasal dari daerah Sukoharjo dan
Klaten.4 Sampai saat ini ia telah menyelesaikan hampir 200 buah wayang kreasi
serta memiliki sebelas kothak wayang dengan berbagai gaya dan tipe, wayang
kulit gaya Kedu, wayang Kulit gaya Cirebon, dan wayang golek Cepak. Wayang-
wayang produksinya itu disamping untuk memenuhi kebutuhan pentas juga
sebagai barang dagangan. Di antara karya-karyanya antara lain:5
1) Wayang Supermen (1996)
2) Wayang Gathutkaca Terbang (1996)
3) Wayang Satria Baja Hitam (1996)
4) Wayang Sumo (1996)
5) Kayon Ganesha (1998)
6) Wayang Dasamuka (1998)
7) Wayang Indrajid (1998)
8) Wayang Patih dan Tumenggung (1998)
9) Wayang Yuyu Rumpung (1999)
10) Kreta Jaladara (1999)
11) Kreta Jatisura (1999)
2 Observasi langsung tanggal 20-30 Desember 2017
3 Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27
Desember 2017, pukul 00.30 WIB. 4 Hasil Observasi penulis dan wawancara pribadi dengan Ki Enthus Susmono, dalang
Kabupaten Tegal, 20-30 Desember 2017 5 http://wayang-ki-enthus-wayang-spektakuler (diakses pada tanggal 10 Oktober 2017)
52
12) Wayang Limbuk dan Suaminya (1999)
13) Baris Kampak (1999)
14) Kayon Hawa Bayu (1999)
15) Kayon Masjid (2000)
16) Wayang Pandawa (2000)
17) Kayon Ganesha Kecil (2000)
18) Kayon Liong (2000)
19) Wayang Prayungan (2000)
20) Wayang Batman (2001)
21) Wayang Alien (2001)
22) Wayang tokoh-tokoh politik (2001)
23) Wayang Teletubies (2001)
24) Wayang planet (2001)
25) Kayon Loteng (2001)
26) Wayang Osama bin Laden (2002)
27) Wayang Inul (2003)
28) Wayang Wali (2004)
29) Wayang Rai Wong (2005-2006)
30) Wayang Kebangsaan (2006)
31) Wayang Gunungan Harry Potter (2006)
32) Wayang Walisanga (2006)
33) Wayang Goerge Bush (2006 dan 2008)
34) Wayang Saddam Husein (2006 dan 2008)
35) Wayang Gunungan Tsunami Aceh (2006)
36) Wayang Simphony (2007)
37) Wayang Blong (2007)
38) Wayang Minimalis (2007)
39) Wayang Barrack Obama
53
3. Penghargaan Ki Enthus Susmono6
1) Juara 1 Festival Dalang Remaja tingkat Jawa Tengah di Wonogiri (1988)
2) Dalang terbaik se-Indonesia dalam Festival Wayang Indonesia (2004)
3) Dalang terbaik se-Indonesia dalam Festival Wayang Indonesia (2005)
4) Gelar Doktor Honoris Causa bidang seni budaya dari Laguna College of
Bussines and Arts, Calamba, Philippines (2005).
5) Pemuda Award Tahun bidang Seni dan Budaya, dari DPD HIPMI Jawa
Tengah (2005).
6) Memecahkan Rekor Muri sebagai dalang terkreatif dengan menampilkan
kreasi jenis Wayang terbanyak 1491 wayang (2007).
7) Mewakili Indonesia dalam event Festival Wayang Internasional di
Denpasar, Bali (2008).
8) Seniman berprestasi
9) Upakarti Reksa Menggala Budaya dari Unnes, dalam rangka acara Dies
Natalis Unnes (2017).7
4. Karya dalam Museum
Karya-karya Ki Enthus di akui oleh beberapa Museum di Dunia, karena
mereka mengagumi wayang budaya Indonesia, dan figure wayang kreatif Ki
Enthus, di antaranya:8
1) Tropen Museum di Amsterdam, Belanda
2) Museum of Internasional Folk Arts (MOIFA) di New Mexico
3) Museum Wayang Walter Angts di Jerman
5. Pameran Wayang
1) Pameran Wayang bertajuk Wayang adalah Rohku dalam rangka Dies
Natalis STSI Surakarta (2003).
2) Pameran Wayang Grand Launching Wayang Rai Wong di Galeri Seni Rupa
Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta (2006)
6 Wawancara Pribadi dengan Mas Haryo Susilo, (Anak Kedua Ki Enthus), Tegal, 10
Februari 2018, pukul 08.00 WIB. 7 http://infotegal.com (diakses pada tanggal 15 Juli 2017)
8http://dalangenthus.id/berita/295-reportase-pameran-wayang-superstar-the-theatre-world-
of-ki-enthus-susmono (diakses pada tanggal 11 Januari 2018)
54
3) Pameran Wayang Rai Wong, di Galeri Merah Putih, Balai Pemuda Surabaya
(2006).
4) Pameran Wayang Rai Wong dalam Pekan Wayang Kebangsaan, di Galeri
Cipta II TIM-Jakarta (2007).
5) Pameran bersama Wayang Indonesia, diselenggarakan oleh Museum
Wayang Indonesia, di Jakarta (2007).
6) Pameran Wayang Superstar The Theater World of Ki Enthus Susmono, 29
Januari sampai 30 Juni 2009, di Tropen Museum-Amsterdam, Belanda.
7) Pameran wayang budaya pesisir, yang menampilkan wayang Rai Wong,
Wayang Planet, Wayang Pesisiran, di Universitas Negeri Semarang
(UNES) 26 Oktober-02 November 2016.9
8) Pameran wayang dalam rangkaian Jogya International Heritage Festival
2017, dengan judul Wayang: Lakon Tanpa Batas, 05 November 2017
9) Pameran wayang yang bertajuk ENTHUSiasme Susmono di galeri RJ.
Katamsi Institut Seni Indonesia (ISI) 11 November 2016
B. Tema Nasionalisme
Ki Enthus tidak akan memposisikan rakyatnya sebagai wayang, wayang
adalah benda mati yang bisa dengan mudah digerakkan, sedangkan manusia hidup
mempunyai akal dan pikiran yang berbeda-beda. Menjadi Bupatinya manusia
tentu berbeda dengan menjadi dalang menggerakan wayang. Adapun tema-tema
tersebut terdiri dari beberapa bagian, diantaranya :
Tema Nasionalisme atau perjuangan pada mula menggunakan wayang
suluh, yang mempunyai fungsi menyebarkan semangat nasionalisme masayarakat
Indonesia untuk melawan Belanda. Wayang ini diciptakan oleh R. M Sutarta
Harjawahana pada tahun 1920, ia seorang dalang dari Surakarta. Wayang ini
dibuat sebagai sarana penerangan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Sebelumnya nama wayang ini adalah wayang merdeka, namun berganti
dengan sebutan wayang suluh karena diadakan sayembara yang dihadiri oleh
9http://krjogya.com/web/news/read/13895/ki_enthus_gelar_pameram_wayang(diakses pada
tanggal 17 November 2017)
55
beberapa perwakilan partai dan wakil Kementrian Penerangan Yogyakarta ,
akhirnya namanya berubah menjadi wayang suluh. Lakon-lakon yang
dipagelarkan pun berdasarkan kejadian penting pada masa revolusi kemerdekaan,
diantaranya Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan, Perjanjian Linggarjati,
dll.10
Kemudian ditangan dalang dari Kabupaten Tegal inilah membuat inovasi
dengan menciptakan beberapa lakon-lakon bertemakan Nasionalisme. Yang
biasanya dipentaskan ketika hari-hari besar, kemerdekaan Indonesia dengan
memperingati 17 Agustus, Sumpah Pemuda, hari lahir Pancasila, dll. Yang
membedakan dipagelaran ini menambahkan lagu-lagu kebangsaan, Nasionalisme,
bahkan hari-hari besar lainnya. Dengan tokoh-tokoh perjuangan seperti Bung
Karno, Bung Hatta, Jendral Sudirman, dll. Tema-tema ini berisi tentang
patriotisme dan nasionalisme, religius, toleransi, demokrasi, persatuan, dan
kemanusiaan. Memberikan kesadaran dan menggugah anak bangsa untuk selalu
mencintai Tanah Air Indonesia. Maka diharapkan para penonton mengetahui
bagaimana sejarah kemerdekaan Indonesia melalui pementasan wayang
nasionalisme. Di antara tema-tema tersebut adalah:
1. Babat Wanamarta. Pagelaran wayang kulit di Balaikota Malang, dalam
Rangka Menyambut Peringatan 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia & Hari
Jadi 101 Tahun Kota Malang, 29 Agustus 2016
2. Jamus Kalimasada. Berisi tentang lima nasehat yang disebut Kalimasada,
yang berasal dari kata Kali Maha Usada, Kali artinya zaman, Maha artinya
sangat, dan Usada artinya penyembuh, jadi Kalimasa merupakan nasehat
atau pentunjuk untuk memperbaiki keadaan masyarakat yang rusak dunia.
Kaimasada merupakan Pancasila. Dalam rangka mengenang dan
menguatkan kembali nilai-nilai kebudayaan dalam ajaran Islam, Pendopo
Sidoarjo, 24 Mei 2013.
3. Gatotkaca Winishuda. Berisi tentang menjadi pemimpin harus berani,
melindungi rakyat, mengambil resiko dan mempertanggung jawabkan.
10
Sunardi, dkk. Jurnal Panggung, Vol. 26 No. 2, “Pertunjukan Wayang Babad Nusantara :
Wahana Pengajaran Nilai Kebangsaan Bagi Generasi Muda,” h. 197-198.
56
Gatotkaca melawan pamannya sendiri karena dia raja yang harus
mengayomi rakyatnya dari tindak angkara murka, meski harus membunuh
pamannya sendiri. Teguh janji apapun yang terjadi, Brajamusti dan Kala
Bendana menepati sumpahnya mengabdi kepada Gatotkaca selaku raja, dan
berani berhadapan dengan kakaknya sendiri. Kemenangan Pilkada Walikota
Magelang, 23 April 2016.
4. Pandawa Kumpul. 14 Juli 2017. Merupakan karya Ki Enthus bukan karya
dari orang lain.
5. Pandawa Bangkit. Festival wayang kulit 2017 keliling di 14 Kabupaten, di
Jawa Timur, Bojonegoro. 24 Oktober 2017. Menyisihkan waktu untuk
berbuat baik, bersilaturahmi, dan membangun semangat gotong royong di
masyarakat.11
6. Wisanggeni Lahir, PT ISM-Divisi Bogasari Flour Mills, Tanjung Priuk,
Jakarta Utara, 08 Desember 2017. Cemburunya Dewasrani terhadap
pernikahan Arjuna dan Dresnala, dan akhirnya dipisahkan oleh Batara
Drama, kemudian Batara Drama dan Dreslana menikah, namun Dreslana
selalu disakiti. Kemudian lahirlah Wisanggeni yang merupakan cucunya,
tumbuh dewasa dan membuat kekacauan di kayangan. Akhirnya Arjuna dan
Dreslana bertemu dan kemudian bersatu kembali.12
7. Pandawa Mbangun Negara. Bekas Pabrik Minyak Kelapa (PMK) Sari
Nabati Panjer, Kebumen, 30 September 2017.
8. Gatot Kaca Bangkit. Harlah PKB Ke-19, Lapangan DPR?MPR-Jakarta, 22
Juli 2017.
9. Nurkala Kalidasa. Mukhtamar ke-33 Nahdlatul Ulama, Jombang, 1-5
Agustus 2015.
10. Ruwatan Politik : Jaka Bereg Mbangun Negara. Peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW, Desa Slatri, Brebes. 02 Desember 2017. Ruwatan dalam
11
http://rakyatindependen.com/festival-wayang-kulit-2017-di-purwosari-dihadiri-wagub-
jatim-h-saifullah--yusuf/ (diakses pada tanggal 11 Januari 2018) 12
http://wartakota.tribunnews.com/2017/2/07/jangan-lupa-ulang-tahun-bogasari-ada-gelar-
wayangan-di-tanjung-priuk (diakses pada tanggal 11 Januari 2018)
57
bahasa Jawa artinya bersih-bersih, jadi diartikan dengan bersih-bersih
politik.
11. Saridin Menuntut Ilmu
12. Kembang Wijaya Kusuma
13. Hilangnya Pustaka Merah Delima Samson Delilah. HUT Juang Kartika ke-
72, Slawi. 15 November 2017. Jadikan masa lalu sebagai pelajaran untuk
masa yang akan datang.
C. Tema Politik
Tema politik dipentaskan karena Ki Enthus ingin menyampaikan program-
program pemerintah kepada masyarakat, mengkritik para pejabat pemerintahan
yang dianggap ia seenaknya saja kepada rakyat. Menggunakan media wayang dan
diselingi dengan guyonan-guyonan. Seperti mengkritik para pejabat yang korupsi
uang Negara atau uang rakyat, Kasus Pilkada, para pejabat yang seenaknya
sendiri, Bagaimana menjadi pemimpin yang baik, dan lain sebagainya. Di antara
tema-tema lakon:
1. Antara NU dan Muhammadiyah. Pondok Pesantren Nurul Huda, Sragen, 4
Juli 2017. Menyinggung antara dua perbedaan diantara Muhammadiyah dan
Nahlatul Ulama, dari bacaan do‟a qunut, tahlil dan lain-lain. Bahkan
pengikutnya fanatik dan kurang mengenal toleransi.
2. Hanoman Berbaik Hati, 22 Maret 2014, PP Nurul Huda, Plosorejo
Gendong-Sragen.
3. Amukan Sang Hanoman. 14 April 2017.
4. Arjuna Kromo. Rawamangun-Jakarta Timur, 11 Oktober 2014
5. Bima Bangun Negara. Pemenang Pemilu Partai Golkar Wilayah Indonesia I,
Nusron Wahid dan djarot Saiful Hidayat, 01 April 2017
6. Bima Ngaji. Aula Insan Berprestasi Gedung A, Kemendikbud, Senayan-
Jakarta, 02 Desember 2016
7. Bima Wisuda. Pagelaran Balon Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi. Desa
Trimodadi, Lampung Utara, 12 Agustus 2017. Seorang pemimpin harusnya
58
mempunyai sifat yang jujur , adil, dan tulus, serta raja yang tidak mudah
marah.13
8. Bimo Bungkus. Hari ulang tahun SMK PGRI 2 Ponorogo ke-33, 29 April
2017
9. Caleg Gagal. 21 Mei 2017.
10. Cupu Manik Astagina. Sosialisasi calon Gubernur Lampung Arinal
Djunaidi, lapangan Mulyojati 16C, Kota Metro. 07 Juli 2017. Cupu adalah
suatu wadah berbentuk bundar kecil terbuat dari kayu atau logam,
sedangkan manik artinya permata. Dapat memperlihatkan tempat-tempat
didunia tanpa harus mendatanginya.14
11. Dasamuka Gugur. Memperingati hari lahir (Sejit) Dewa Bumi (Hok Tek
Ceng Sin) tiap tanggal 2 bulan Imlek, 01 Maret 2014.
12. Dewa Ruci. Peringatan Hut PDI-P ke 44 di Jakarta Selatan.
13. Gatotkaca Kelana Jaya. Peresmian tahap dua Taman Air Mancur Sri
Baduga, Purwakarta-Jawa Barat, 16 Januari 2016.
14. Goro-Goro Semar Wirid, 26 Februari 2016.
15. Hakekat Wahyu Kembar, 25 Oktober 2014
16. Hewan Perwakilan Rakyat. 05 Agustus 2017
17. Karmo Tandhing. 09 Juni 2015
18. Konvensi Rajamala (Gambaran tentang ilkim politik Indonesia di tahun
2014)
19. Lahire Wisanggeni. 15 September 2015
20. Ma‟rifat Dewa Ruci. Menyambut tahun baru 2017, Kantor Gubernur Jawa
Tengah, 31 Desember 2017. Perjuangan Bima mendapatkan jimat
keutamaan.
21. Menteri Brengsek. 27 Juni 2017. Ketika penguasa salah harus disalahkan,
jangan malah di benarkan tetapi sebenernya salah.
22. Pejabat Asu.17 Juli 2013. Masalah pejabat yang mengkorupsi uang rakyat.
13
http://www.teraslampung.com/sosialisasi-arinal-di-lampura-ki-enthus-pentaskan-lakon-
bimo-wisudo/ (diakses pada tanggal 11 Januari 2018) 14
https://lampungpro.com/post/5120/malam-ini-ki-enthus-bawakan-lakon-cupu-manik-
astagina-di-mulyojati-metro (diakses pada tanggal 11 Januari 2018)
59
23. Petruk Dadi Ratu. Haul ke-25 Bapak H. Asmo Prawiro dan Hj. Suriptinah,
Surakarta, 03 oktober 2014. Ini juga merupakan tema pertama kali ketika
Abah menjadi sorang nomor 1 di Kabupaten Tegal. Sosok orang yang
paling bawah, kalau sudah menjadi takdir akan diangkat drajatnya menjadi
pemimpin.
24. Rama Nitis.
25. Semar Gugat. Berisi tentang Amarta yang diguncang prahara bencana banjir
bandang sehingga rakyatnya sangat menderita, sementara para pemimpin
berlaku tidak dil terhadap rakyatnya, dimna agama sebagai alat adu domba,
korupsi merajalela, dan wakil rakyat berfoya-foya. Untuk itulah Semar
menggugat para pemimpin bangsa untuk membantu rakyat, memikirkan
persatuan bangsanya bukan mementingkan kekuasaan, tetapi pikirkanlah
rakyat. Tetapi yang diharapkan Semar ternyata tidak terlaksana karena
ketika Semar menggugat ke Astina, para pejabat justru senang dengan
bencana yang menimpa Amarta, dimana rasa sosialisme memang sudah
tidak ada lagi di Astina, dan memanfaatkan bencana alam untuk
memenangkan kekuasaan.
26. Semar Mbangun Deso. Penutupan Dies Natalis ke-47 Universitas Negeri
Jakarta (UNJ), Gedung Pertemuan Kampus B UNJ, 14 Juni 2011
27. Semar Mbangun Khayangan. Purbalingga, 18 Desember 2016.
28. Sengkuni Sang Provokator. 22 Desember 2013
29. Sugriwa Subali, 08 Agustus 2017.
D. Tema Keagamaan
Wayang Santri dan Ngaji Jijen (Ngaji Orgen) sebenarnya merupakan
wayang Golek. Wayang santri merupakan program Ki Enthus Susmono untuk
melakukan penyiaran agama Islam, wayang santri pertama kali dipentaskan di
Pendopo Ki Enthus Susmono di desa Bengle, kecamatan Talang.15
Dinamakan
wayang santri karena Ki Enthus mengakui bahwa ia bukanlah seorang Kyai,
penceramah, atau ahli agama, karena ilmu yang ia dapatkan masih dangkal
15
Suara Merdeka, 2015, h.29
60
(sedikit).16
Itulah yang membuat Ki Enthus terbiasa menamakannya dengan
mengaji bersama dan Ki Enthus hanya membantu para Ustadz dan Kyai untuk
menyebarkan agama Islam. Sehingga jika ada kekeliruan atau kesalahan Ki
Enthus siap untuk diluruskan oleh para Ulama yang lebih mengerti agama Islam.17
Cerita-cerita yang digunakan untuk pementasan wayang santri merupakan
cerita tentang keteladanan Nabi Muhammad, dan para pejuang alim Ulama.
Pesan-pesan yang ada di wayang santri merupakan pesan dakwah Islam yaitu
tentang keimanan, bagaimana caranya agar seorang muslim senantiasa
memelihara dan meningkatkan keimanan kepada Allah SWT, dengan beramal
sholeh. Tentang syari‟ah, bagaimana ketundukan seorang muslim kepada
Tuhannya, ibadah yang berhubungan langsung dengan sang pencipta dan adanya
rukun Islam, sedangkan muamalah berhubungan langsung dengan kehidupan
sosial masyarakat seperti dalam hal hak warisan, jual beli, sosial, dll. Tentang
akhlak bagaimana menjadi seorang muslim yang baik akhlaknya yaitu dengan
habluminannas.
Inovasi iringan lagu serta kolaborasi musik selain bedug, rebana, bass,
keyboard dan lain sebagainya. Iringan sholawat seperti sholawat Abu Nawas,
Nadhlatul Ulama, Yaumul Asyuro, Kuntulan, Sholawat Fatih. Durasi dalam
pementasan wayang santri berkisar antara 2-4 jam, dan para pangrawitnya pun
tidak seperti pada pementasan wayang kulit.
Dua tokoh sentral dalam pementasan wayang santri adalah Lupit dan
Slenteng. Lupit berasal dari kata Lutfi yang berati lembut, sesuai namanya Lupit
mempunyai sifat lembut, bijaksana, lebih dewasa dan lebih mengayomi.
Sedangkan Slenteng memiliki sifat humoris, arogan akan tetapi dia cerdas. Lupit
digambarkan mempunyai sifat baik sedangkan Slenteng arogan tetapi manusiawi.
Meskipun kedua tokoh tersebut mempunyai sifat berlawanan, keduanya saling
melengkapi, bersatu dan terlihat kompak. Hal ini menandakan bahwa perbedaan
tidaklah menjadikan seseorang untuk saling bermusuhan dan saling berselisih,
16
Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Wawancara Pribadi, Tegal, 27 Desember
2017, pukul 00.30 WIB. 17
Radar Tegal, 18 November 2008
61
akan tetapi dengan adanya perbedaan menjadikan sebuah rahmat sehingga
keduanya saling melengkapi.18
Selain Lupit dan Slenteng, Ki Enthus juga membuat tokoh-tokoh yang
lainnya, diantaranya adalah : Putri, Sugeng, Kyai Ma‟ruf, Kyai Gusdur, Warja,
Darmo, Supri, Abu Nawas, Wali Songo, Kampala, dll.
Berikut adalah tema-tema wayang santri Ki Enthus, di antaranya adalah:
1. Adam Bali Adam
2. Adam awal adam akhir. Sedekah bumi dan Santunan Yatim Piatu, Kersana-
Brebes
3. Ajaran Sunan Kalijaga
4. Ajaran Wali. Modal utama umat Islamyaitu dengan menyebarkan salam
keselamatan dan menjawab salam, tidak boleh serakah, pesan aqidah
(bersedekah), pesan akhlaq (larang berbuat aklaq mazmumah, akhlaq tercela
5. Anjala Anjali
6. Gamelan Sekaten
7. Gara-Gara Nanggap Sugeng
8. Goro-Goro Nanggap Sugeng
9. Jaka Subur
10. Jaka Mambang
11. Khoirunas Anfauhum Linnas
12. Kyai Kawin.
13. Kungfu TaiChi
14. Kyai Kawin
15. Lupit Belajar Ngaji
16. Lupit Debat
17. Lupit Gragas
18. Lupit Kena Fitnah.
19. Lupit Munggah Haji. Hari jadi Kabupaten Tegal ke-414, Tegal Expo,
Tegal-Jawa Tengah
18
Nur Aviah, Pandangan Dakwah Ki Enthus Susmono dalam Wayang Santri, Sekolah
Tinggi Agama Islam (STAIN) Purwokerto, 2012, h. 25.
62
20. Lupit Ngaji
21. Lupit Nulungi Putri, Menyambut Tahun Baru Hijriyah, 22 Oktober 2016.
Dihalaman Graha Gusdur-DPP PKB Jakarta Pusat. Slenteng menolong putri
yang Bapaknya terjebak di sumur, kemudian akhirnya Sleteng menikah
dengan putri.
22. Lupit Perang
23. Lupit Seneng Tetulung. HUT Kota Pekalongan ke-110, 1 April, didalam
pementasan ini isinya adalah jangan durhaka terhadap orang tua dan guru,
dan menjadi siswa juga harus mengingat pentingnya disiplin, selalu rapih
berbusana.19
24. Mabuk Ciu
25. Matine Syeh Siti Jenar
26. Murid Murtad
27. Pendowo Mbangun Negoro.
28. Pencak Silat
29. Rebutan Kotak Pandora.
30. Samson Delila
31. Sang Pencerah
32. Santri Suci.
33. Saridin Jadi Hakim
34. Sayidin Si Macam Gembong
35. Semar Boyong. Halal bi halal, 08 April 2015
36. Sekar Wijaya Kusuma. Kemangkon-Purbalingga, 03 November 2017
37. Sindang Mulya. Malam tasyakuran berdirinya BUMDES, Margasari-Tegal,
22 Desember 2016
38. Slenteng di Gencet Kotak
39. Slenteng Kembar Empat
40. Sorban Mayan Rosul
19
http://www.nu.or.id/post/read/85907/dalang-enthus-tanamkan-karakter-lewat-
pementasan-wayang-santri (diakses pada tanggal 10 Februari 2018)
63
41. Sunate Abu Nawas, Pelantikan PCNU Masa Khidmat 2013-2018, Alun-
Alun Tegal, 11 Juni 2013. Membahas tentang Muhammadiyah dan Nahlatul
Ulama, sholat, puasa, tentang nanti diakhirat ditanya oleh malaikat
Mungkar-Nakir.
42. Wayang Santri, Pidato Kebudayaan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan
menyambut Hari Santri Nasional 14 Oktober 2015, didalam cerita tersebut.
Ki Enthus mengkritik masalah-masalah yang tengah dihadapi Indonesia,
seperti masalah asap yang melanda pulau Sumatra dan Kalimantan, masalah
tinnginya dollar, masalah pesebakbolaan Indonesia, bahkan juga menyindir
masalah perbedaan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Bahkan didalam
pementasan ini Ki Enthus memunculkan Presiden Jokowi-Jusuf Kalla,
Susilo Bambang Yudhoyono, dan Barack Obama.20
Pagelaran wayang pun tidak pernah lepas dengan hadirnya seorang sinden
dan pemegang alat musik, karena mereka semua seperti sudah menjadi satu
kesatuan yang melengkapi satu sama lain, ini adalah orang-orang yang bergabung
dalam Sanggar Satria Laras, di antaranya:21
1. Sugeng bertugas sebagai : pemain alat musik penyimping dan bedug
2. Cipto bertugas sebagai : wiraswara
3. Fetty bertugas sebagai : wiraswara
4. Pur bertugas sebagai : wiraswara
5. Gunarti bertugas sebagai : wiraswara
6. Suci bertugas sebagai : wiraswara
7. Desi bertugas sebagai : wiraswara
8. Yanto bertugas sebagai : pemain alat musik demung 1
9. Lian bertugas sebagai : pemain alat musik demung 2
10. Nardi bertugas sebagai : pemain alat musik saron 1
11. Warsito bertugas sebagai : pemain alat musik saron 2
12. Eko bertugas sebagai : pemain alat musik kethuk
20
http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/10/15/nw8rli346-kritik-
banyolan-wayang-santri-ki-enthus (diakses pada tanggal 11 Januari 2018) 21
Wawancara pribadi dengan Mas Haryo Susilo, (Anak Kedua Ki Enthus Susmono), Tegal,
10 Februari 2018, pukul 20.00 WIB.
64
13. Anom bertugas sebagai : pemain alat musik kenong/ boning
14. Giano bertugas sebagai : pemain alat musik gong
15. Bintoro bertugas sebagai : pemain alat musik biola
16. Kris bertugas sebagai : pemain alat musik keyboard
17. Rohim bertugas sebagai : operator sound
18. Yusuf bertugas sebagai : pemain alat musik tamborin
Sanggar Satria Laras lahir ketika tahun 90-an, dimana sebelumnya keadaan
musik Tegalan mengalami kemunduran, sehingga munculnya krisis ekonomi, dan
penyuka lagu-lagu pun sudah di masuki lagu-lagu barat. Kemudian Ki Enthus
Susmono berani menciptakan album bergenre campursari dengan lirik bahasa
Tegal yang berjudul “Topeng Monyet”, Ki Enthus menggabungkan antara musik
reggae, rock, dangdut dan jaipong, sehingga musik Tegal pun bangkit kembali dan
mengalami kemajuan.22
Gamelan musik Jawa merupakan pendukung dalam pagelaran wayang kulit
maupun wayang golek, orkes gamelan menampilkan ketelinga yang
menggambarkan tentang kehidupan batin. Gamelan merupakan orkes tabuh,
biasanya jika digunakan di Kraton ada sekitar 50 alat musik yang dimainkan,
namun di pewayangan biasa hanya sekitar 12 orang saja, pemain gamelan
biasanya kalangan laki-laki.23
Pada umumnya alat musik yang digunakan pada pagelaran wayang golek
adalah, rebab, kendang, serulingnya khusus Sunda, Kecapi Sunda. Sedangkan jika
pagelaran wayang kulit memang komplit hanya ada tambahan timpani, wayangan
yang digunakan pun lebih banyak.24
Alat musik yang digunakan biasanya ada
saron, semacam gambang logam yang salah satu dari ketujuh nadanya dipukul
sekali pada saatnya dengan pemukul dari kayu kemudian dipegang segera untuk
menghindarkan nada tambahan. Serangkaian gong (gong gede, kenong, kempul
dan ketuk merupakan yang paling penting, yang pertama merupakan yang paling
22
Wawancara pribadi dengan Suci, (Sinden Satria Laras), Yogyakarta, 27 Desember 2017,
pukul 04.50 WIB. 23
Observasi langsung 20-30 Desember 2017 24
Wawancara Pribadi dengan Hatmanto, (Pemain Kendang Satria Laras), Tegal, 10
Februari 2018, pukul 20.30 WIB
65
besar yang terakhir yang kecil) memberikan tanda berpisah pada musik itu.
Xylophon, kendang, dll. Antara wayang dan gamelan memang melengkapi, ada
tiga pembagian besar dalam wayang yang disebut diatas priode pembukaan
sampai tengah malam, periode komplikasi sampai pukul tiga, dan bagian akhir
sampai dini hari.25
Tidak lupa dengan hadirnya seorang sinden untuk mengiringi pementasan
wayang, dengan tembang-tembang Jawa untuk membuat pertunjukan semakin
hidup. Tidak ada syarat-syarat khusus untuk menjadi pesinden, yang terpenting
adalah pesinden Jawa itu tetap mempunyai etika dan kualitas harus bisa dulu
gending-gending Jawa untuk iringan wayang, terus juga harus bisa membaca
notasi karawitan itu kunci utamanya.26
Yang membedakan tema-tema lakon
wayangnya adalah ketika lakon ceritanya tentang Nasionalisme, maka harus di
selingi dengan lagu-lagu Nasionalis seperti 17 Agustus, Maju Tak Gentar, dll.
Begitupun jika ekonomi seperti pada tanggal 15 Desember 2017 diundang oleh
Menteri Kelautan dan Perikanan Ibu Susi, maka Ki Enthus membuat lagu tentang
ikan dengan tema lakon pendawa layar.27
25
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta : Pustaka
Jawa, 1983), h. 353. 26
Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27
Desember 2017, pukul 00.30 WIB. 27
Wawancara Pribadi dengan Suci, (Sinden Satria Laras), Yogyakarta, 27 Desember 2017,
pukul 04.50 WIB.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema-tema lakon
pewayangan Ki Enthus sangat beragam. Bukan hanya tema yang berkaitan dengan
Mahabarata dan Ramayan, ia menginovasi pagelarannya, sehingga membuat
penonton tidak bosan. Pagelaran wayang kulit durasinya lebih lama dibandingkan
dengan wayang golek / wayang santri. Masyarakat Kabupaten Tegal lebih
menyukai pagelaran wayang golek / wayang santri, tetapi jika Ki Enthus mengisi
acara diluar Kabupaten Tegal, ia menggunakan wayang kulit.
Tema-tema lakon Ki Enthus Susmono tidak hanya tentang Jamus
Kalimasada, Semar Bangun Kayangan, dll. Dan lakonnya pun tidak hanya Petruk,
Bagong, Semar, Gareng, atau Pandawa Lima. Ia memodifikasi tema-tema
wayangnya, sehingga setiap pagelaran Ki Enthus selalu ditunggu pementasannya.
Ki Enthus memodifikasi dengan mementaskan menggunakan bahasa keseharian
agar mudah diterima oleh masyarakat.
Tema-tema lakon Ki Enthus berbicara tentang tema Nasionalisme, dimana
setiap kali pementasan ia menceritakan bagaimana dulu bangsa Indonesia dijajah
oleh Belanda, tentang pentingnya Pancasila yang merupakan dasar Negara
Indonesia. Tema politik pun ia masukan kedalam pagelarannya untuk mengkritik
para pejabat tinggi, mengenai penggelapan uang (korupsi), dll. Serta tema agama
yang berbica tentang masalah keseharian, kenabian, berpesan dakwah Islam
keimanan, ketauhidan, syariah.
B. Saran
Penulis menyadari kekurangan atas penulisan skripsi ini, maka untuk
penulis selanjutnya:
1. Karena penelitian ini hanya mengkaji tema-tema lakon dalang Ki Enthus
Susmono, mana yang termasuk lakon Nasionalis, serta politik dan lakon
keagamaann. Demikian hasil penelitian tersebut dapat dimanfaatkan sebagai
67
acuan untuk penelitian lain, dengan mengambil salah satu lakon yang Ki
Enthus pagelarkan.
2. Pertunjukan wayang golek dan wayang kulit yang disajikan oleh Ki Enthus
Susmono diharapkan tidak hanya untuk sebagai hiburan dan tontonan saja,
melainkan juga sebagai media dakwah Islam untuk menyampaikan nilai-
nilai keIslaman dengan menggunakan wayang.
3. Kita wajib melestarikan budaya Jawa, khususnya kesenian wayang, agar
kebudayaan ini tidak punah dimakan oleh zaman, dan sebagai generasi
penerus kita wajib menjaga dan mengetahui tentang pertunjukan wayang.
68
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Aizid, Rizem. Atlas Tokoh-Tokoh Wayang. Yogyakarta: Diva Press, 2012.
Albiladiyah, S. Ilmi, dkk. Tegal dalam Lintas Sejarah, Yogyakarta: Balai
Pelestarian Nilai Budaya, 2013.
Amir, Hazim. Nilai-Nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Jaya, 1994.
Anderson, Benedict R.O‟G. Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Yogyakarta:
Mata Bangsa, 2008.
Arif, Syaiful. Refilosofi Kebudayaan Pascastruktural, Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2010.
Azra, Azumardi. Islam Nusantara, Jaringan Global dan Lokal. Bandung: Mizan,
2002.
Bastomi, Suwadji. Nilai-Nilai Seni Pewayangan. Semarang: Dahara Press, 1993.
Beatty, Andrew. Varities Og Javanese Religion. Diterjemahkan oleh Achmad
Fedyani Saefuddin Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi.
Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2001.
Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka Jawa, 1983.
Gunarjo, Nursodik, ed. Wayang Sebagai Media Komunikasi Tradisional dalam
Diseminasi Informasi. Jakarta Barat: UEU- University Press, 2013.
Guritno, Pandam Wayang Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta: UI-
Press, 1988.
Hamam, Rochani Ahmad..Ki Gede Sebayu Babad Negeri Tegal. Tegal:
Intermedia Paramadina bekerjasama dengan Pemerintahan Kabupaten
Tegal, 2005.
Ismunandar, R.M. Wayang Asal Usul dan Jenisnya. Jakarta: Effhar dan Dahara
Prize, 1992.
Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Jilid I. Jakarta: Erlangga, 1981.
Kustomo, Andi Suriali. Kabupaten Tegal Pesona Alam, Wisata, Industri, dan
Perdagangan. Tegal: Media Post, 2005.
69
_____ . Jejak Kota Tegal (1999-2009). Tegal: Bagian Humas dan Protokol Kota
Tegal, 2010.
Lisbijanto, Herry. Wayang. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.
Moloeng, J. Lexy. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2000.
Mulyono, Sri. Wayang : Asal- usul. Filsafat, dan Masa Depannya. Jakarta: PT.
Gunung Agung, 1982.
Mundiri, Sofwan Ridin. Islamisasi di Jawa: Walisongo Penyebar Islam di Jawa
menurut penuturan Babad. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004.
Murtiyoso, Bambang. Faktor-faktor Pendukung Popularitas Dalang. Yogyakarta:
Tesis UGM, 1996.
_____. Seni Pertunjukan Pewayangan. Surakarta: Citra Etnika, 2004.
Proclaims, Hereby. Wayang Puppet Theatre. Paris: a Masterpiece of the Oral and
Intangible Heriage of humanity, 2008.
Raffles, Thomas Stamford. The History Of Java Volume 2 Chapter VI. Kuala
Lumpur: Oxford University Press, 1978. Diterjemahkan oleh John Bastin
tahun 1988.
Rif‟an, Ali, ed. Buku Pintar Wayang. Yogyakarta: Garai lmu, 2010.
Saksono, Widji. MengIslamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah
Walisanga. Bandung : Mizan, 1995.
Sedyawati, Edy. Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid I, Volume I. Sekretaris
Nasional Pewayangan Indonesia: Sena Wangi, 1999.
Sholikhin, Muhammad. Ritual dan Tradisi Islam. Yogyakarta: Narasi, 2010.
Soelarto, dkk., Album Wayang Beber Pacitan dan Yogyakarta. Jakarta:
Depdikbud Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek Media Budaya, 1984
Soekatno, BA. Wayang Kulit Purwa. Semarang: Aneka Ilmu, 2005.
Sopiah, Kesenian Tradisional Tari Topeng Gaya Tegal Selayang Pandang. 2007
(tidak diterbitkan).
Suharyono, Bagyo. Wayang Beber Wonosari. Depok: Bina Citra Pustaka, 2005.
Sujamto, Refleksi Budaya Jawa. Semarang: Dahara Prize, 1997.
_____ . Wayang dan Budaya Jawa. Semarang: Effhar dan Dahara Prize,1992.
70
Sumitarsih, dkk. Wayang Topeng sebagai Wahana Pewarisan Nilai. Jakarta:
Kementrian Pendidikan Kebudayaan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional, 2000.
Sunarto, Seni Gatra Wayang Kulit Purwa. Semarang: Dahara Prize, 1997.
Tulung, Freddy H. Wayang sebagai Media Komunikasi Tradisional dalam
Diseminasi Informasi. Jakarta: Kementrian Komunikasi dan Informatika RI
Direktorat Jendral Informasi dan Komunikasi Publik, 2011.
Wuninggar, dkk. Seni Kentrung Khas Tegal. Tegal: Yayasan Tadulakota : 2013.
_____. Tari Topeng Khas Tegal. Tegal : Yayasan Tadulakota: 2013.
_____. Wayang Tutus Khas Tegal. Tegal : Yayasan Tadulakota: 2013.
Zarkasy, Effendi. Unsur-unsur Islam dalam Pewayangan. Bandung: Al-Ma‟arif,
1983.
Zharif, Bakar M. N, Mengenal Budaya Nusantara. Bandung: Usaha Jaya Pratama,
2012.
Jurnal:
Mukti, Muhammad. “Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Lakon Ruwatan
Rajamala”. Jurnal Imaji, Vol 4, No.1, Februari 2006.
_____. “Wayang Dalam Konteks Budaya”, Jurnal Imaji, Vol 4, No.1, Februari
2006.
Purwadi, “Kejawen”, Jurnal Kebudayaan, Universitas Negeri Yogyakarta,
Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah. September, 2005.
Sunardi, dkk. “Pertunjukan Wayang Babad Nusantara : Wahana Pengajaran Nilai
Kebangsaan Bagi Generasi Muda”. Jurnal Panggung, Vol. 26 No. 2,
Skripsi:
Aviah, Nur. “Pandangan Dakwah Ki Enthus Susmono dalam Wayang Santri.”
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Purwokerto, 2012.
Irawan, Dedy. “Hubungan Antara Etnisitas, Status Sosial, Ekonomi dan Religiutas
dengan Prespektif Terhadap Tradisi Nadran.” Skripsi S1 Fakultas Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Lampung, 2016.
Latifah, Nur. “Inovasi Ki Enthus Susmono dalam Pertunjukan Wayang Kulit
Lakon Sesaji Rajasuyo.” Skripsi S1 Fakultas Adab dan Ilmu Budaya,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014.
Yulianto, Budiman. “Teknik Penyampaian Pesan Dakwah Dalam Video
Pementasan Wayang Santri Lakon Murid Murtad Dalang KI Enthus
71
Susmono.” Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Institut Agama
Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2013.
Sumber Elektronik:
Suara Merdeka, 2015
Radar Tegal, 18 November 2008
www.balaibahasajateng.web.id>home (diakses pada tanggal 05 Juli 2017
https://daerah.sindonews.com/read/1216261/29/mbah-panggung-dan-syiar-islam-
di-tegal-1498212008 (diakses pada tanggal 18 Januari 2018, pukul 14.00)
http://www.tegalkab.go.id/page.php?id=5 (diakses pada tanggal 31 April 2017,
Pukul 14.30 WIB)
http://www.wayang.wordpress.com/2010/03/06/ki-enthus-soesmono/dewa
(diakses pada tanggal 05 Agustus 2017, Pukul 20.00 WIB)
http://dalangenthus.id/berita/298-ki-enthus-susmono-kreativitas-tiada-henti
(diakses pada tanggal 05 September 2017)
http://dalangenthus.id/berita/298-ki-enthus-susmono-kreativitas-tiada-henti
(diakses pada tanggal 05 September 2017)
http://www.wayang.wordpress.com/2010/03/06/ki-enthus-soesmono/dewa
(diakses pada tanggal 14 November 2017)
http://panturapost.com/daerah/2-16/10/31/perkenalkan-inilah-ki-bonggol-
gurunya-dalang-kondang-ki-enthus-susmono/ (diakses pada tanggal 01
September 2017)
http://amp.kompas.com/megapolitan/read/2009/02/27/11150324/~Oase~Padamu
%20Negeri (diakses pada tanggal 05 September 2017)
http://jateng.tribunnews.com/2016/10/26/ini-wayang-yang-sempat-dibuat-ki-
enthus-susmono-di-penjara (diakses pada tanggal 14 Juli 2017)
http://dalangenthus.id/berita/295-reportase-pameran-wayang-superstar-the-
theatre-world-of-ki-enthus-susmono (diakases pada tanggal 30 Juli 2017)
https://www.kompasiana.com/sumarno/dalang-
modern_55005de38133117c1bfa76d6 (diakses pada tanggal 19 Juli 2017,
pukul 21.00)
https://www.kaskus.co.id/thread/5735802ec1cb1713138b456c/mengenal-lebih-
dekat-dalang-wayang-ki-enthus-susmono/ (diakses pada 19 Juli 2017)
http://www.tegalkab.go.id/news.php?id=1742&page=200 (diakses pada 19 Juli
2017)
72
http://infotegal.com (diakses pada tanggal 15 November 2017)
http://www.dalangenthus.com/ (diakses pada tanggal 15 Agustus 2017)
http://www.kompasiana.com/sumarno/dalang-
modern_55005de38133117c1bfa76d6 (diakses pada tanggal 13 Agustus
2017, Pukul 14.00 WIB)
http://www.kompasiana.com/sumarno/dalang-
modern_55005de38133117c1bfa76d6 (diakses pada tanggal 13 Agustus
2017, Pukul 14.00 WIB)
http://dalangenthus.id/berita/297-ki-enthus-susmono-dirikan-umah-wayang
(diakses pada tanggal 05 September 2017)
http://docplayer.info/68189472-Seni-pertunjukan-berbasis-kearifan-lokal.html
(diakses pada tanggal 10 September 2017, pukul 08.00)
http://www.tempokini.com/2014/09/kenalilah-wayang-maka-anda-akan-
mencintai-nya/ (diakses pada tanggal 16 Mei 2017)
Maskot Baru Lupit-Slenteng https://www.kompasiana.com (diakses pada tanggal
15 Desember 2017)
http://daerahsindonews.com (diakses pada tanggal 16 Mei 2017)
http://wayang-ki-enthus-wayang-spektakuler (diakses pada tanggal 10 Oktober
2017)
http://infotegal.com (diakses pada tanggal 15 Juli 2017
http://dalangenthus.id/berita/295-reportase-pameran-wayang-superstar-the-
theatre-world-of-ki-enthus-susmono (diakses pada tanggal 11 Januari 2018)
http://krjogya.com/web/news/read/13895/ki_enthus_gelar_pameram_wayang
(diakses pada tanggal 17 November 2017)
http://rakyatindependen.com/festival-wayang-kulit-2017-di-purwosari-dihadiri-
wagub-jatim-h-saifullah--yusuf/ (diakses pada tanggal 11 Januari 2018)
http://wartakota.tribunnews.com/2017/2/07/jangan-lupa-ulang-tahun-bogasari-
ada-gelar-wayangan-di-tanjung-priuk (diakses pada tanggal 11 Januari
2018)
http://www.teraslampung.com/sosialisasi-arinal-di-lampura-ki-enthus-pentaskan-
lakon-bimo-wisudo/ (diakses pada tanggal 11 Januari 2018)
https://lampungpro.com/post/5120/malam-ini-ki-enthus-bawakan-lakon-cupu-
manik-astagina-di-mulyojati-metro (diakses pada tanggal 11 Januari 2018)
73
http://www.nu.or.id/post/read/85907/dalang-enthus-tanamkan-karakter-lewat-
pementasan-wayang-santri (diakses pada tanggal 10 Februari 2018)
http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/10/15/nw8rli346-
kritik-banyolan-wayang-santri-ki-enthus (diakses pada tanggal 11 Januari
2018)
https://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_beber (diakses pada tanggal 13 Maret 2018,
pukul 08.00 WIB)
https://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_klithik (diakses pada tanggal 13 Maret
2018, pukul 08.00 WIB)
Wawancara:
Wawancara Pribadi dengan Bambang, Banser Nadhlatul Ulama (Penjaga
Glosarium Wayang). Tegal, 20 Juli 2017.
Wawancara Pribadi dengan Firman Haryo Susilo, Anak Kedua Ki Enthus
Susmono. Tegal, 10 Februari 2018
Wawancara Pribadi dengan Hatmanto, Penabuh Kendang Satria Laras. Tegal, 10
Februari 2018.
Wawancara Pribadi dengan Ki Enthus Susmono, Dalang Kabupaten Tegal. Tegal,
27 Desember 2017.
Wawancara Pribadi dengan Ki Enthus Susmono, Dalang Kabupaten Tegal.
Yogyakarta, 30 Desember 2017.
Wawancara Pribadi dengan Suci Ofita Dewi, Sinden Satria Laras. Yogyakarta, 30
Desember 2017, Pukul 04.50 WIB
74
LAMPIRAN-LAMPIRAN
75
DOKUMENTASI
Gambar 1 : Lukisan kedua orang tua
Ki Enthus
Gambar 2 : Pagelaran Ki Enthus
Susmono dan Ki Manteb Soedarsono
Gambar 3 : Ki Enthus Susmono
dengan Bapak Dahlan Iskan
Gambar 4 : Ki Enthus sedang
menggambar lakon
Gambar 5 : Ki Enthus dengan Bapak
Said Aqil
Gambar 6 : Ki Enthus sedang
bertanya kepada tokoh agama
76
Gambar 7 : Wayang kulit Teletubis Gambar 8 : Wayang kulit
punakawan (Bagong, Petruk, Semar
dan Gareng )
Gambaar 9 : Wayang kulit walisanga Gambar 10 : wayang kulit pandawa
lima
Gambar 11 : Wayang kulit Syeh Siti
Jenar dan Sunan Kalijaga
Gambar 12 : Wayang kulit alien
77
Gambar 13 : Wayang golek Upin dan
Ipin
Gambar 14 : Wayang golek rama
Rama dan Sinta
Gambar 15 : Proses pembuatan
Wayang kulit
Gambar 16 : Proses pembuatan
wayang golek
Gambar 17 : Wayang golek
peninggalan ayah Ki Enthus
Gambar 18 : Wayang golek udud
dulu
78
Gambar 19 : Pagelaran wayang kulit
di Ponjong, Gunung Kidul
Gambar 20 : Pagelaran wayang golek
di Dukuhturi, Tegal
Gambar 21 : Pagelaran wayang
santri di Mejasem Timur, Tegal (
Maulid Nabi Muhammad SAW)
Gambar 22 : Buku pagelaran Ki
Enthus
Gambar 23 : Gladiresik pagelaran
wayang kulit
Gambar 24 : Salah satu niyaga
(penabuh gamelan)
79
Gambar 25 : Tampak depan
Glosarium Rumah Wayang
Gambar 26 : Salah satu tembang
Jawa yang dinyanyikan Sinden
Gambar 27 : Piagam penghargaan Ki
Enthus, dalang pesisiran
Gambar 28 : Penghargaan Ki
Enthus di Museum Trophen
Belanda
Gambar 29 : Gunungan Ki Enthus Gambar 30 : salah satu tulisan yang
mengangkat pagelaran Ki enthus
80
Gambar 37 : wayang kulit Tom and
Jerry
Gambar 38 : wayang kulit cerita
cupu manik antagina
Gambar 39 : wayang golek Bapak
Basuki dan Bapak Djarot
Gambar 40 : wayang politik
Gambar 41 : Wayang golek raksasa
Lupit dan Slenteng
Gambar 42 : Senjata-senjata
pagelaran wayang kulit
81
Gambar 43 : Miniatur
pertunjukan wayang kulit
Gambar 44 : Wayang kertas Gatut
Kaca dan Anoman
Gambar 45 : Wayang pring
(bamboo)
Gambar 46 : Wayang klitik terbuat dari
kayu dan pipih
Gambar 47 : Wayang kulit dalam
perang Baratayudha
Gambar 48 : Wayang beber kreasi Ki
Enthus
82
Ki Enthus Susmono dengan penulis Penulis dengan Sinden Mba Suci dan
Mba Nova
Ki Enthus Susmono dengan Bapak
Presiden Joko Widodo
Glosarium Wayang KI Enthus
Susmono
Musholla Abu Nawas yang berada di
Rumah Wayang
Ki Enthus Susmono dengan Habib
Syech
83
TRANSKRIP WAWANCARA
Wawancara 1
Narasumber : Abah Enthus Susmono
Tanggal : 27 Desember 2017
Tempat : Didalam mobil perjalanan ke Rumah Wayang Bengle
Pukul : 00.30
Penulis : Bagaimana cara Abah memodifikasi tema-tema wayang kedalam
dakwah Islam ?
Narasumber : Yang pertama kali saya belajar agama dulu, saya sebagai santri,
belajar kepada Kyai, kepada Ustadz. Kemudian saya, saya ee cari tema-tema
wayang yang mirip kejadiannya terutama dalam ayat-ayat tentang cerita, cerita
dongeng kan peni riwayatul anbiya, dan sebagainya. Maka saya, abah kemudian
memodifikasi dan mengkaji tentang masalah itu, dari mulai bahasa Arabnya harus
mulai dijawab, maka kalau pun ada dan dibuat semacam kaya adegan ataupun
kaya dramatik tentang masalah ee pesan dan kesan Islam. Jadi bukan dakwah
nggeh, jadi adalah saya hanya menyampaikan kisi-kisi Islam saja, karena saya
masih santri bukan kyai
Penulis : Abah mempelajari dunia perwayangan dari mana ?
Narasumber : Saya belajar dari Bapak saya, Kakek saya, juga saya dengan
beberapa dalang-dalang yang senior di tanah Jawa ini
Penulis : Menurut Abah sejarah wayang itu seperti apa ?
Narasumber : Wayang itu kan, sejarahnya itu kan sama seperti botol kosong
yah, mau diisi apa sebenarnya didalamnya, botol kosong itu bersih, maka kesenian
wayang itu sifatnya bersih, cuman tinggal yang akan mengisi itu akan di isi
dengan apa ? kalau Abah, Pak Enthus itu, wayang itu akan diisi dengan adanya
orang yang gemar wayang, maka diingatkan dalam bidang tentang masalah
hukum-hukum Islam sampai tahu dan pelan-pelan, tidak memaksa
84
Penulis : Apa makna wayang itu sendiri menurut Abah?
Narasumber : Yaaa,, wayang itu kan gambaran, jadi gambaran seperti tadi ya,
yang ngomong Lupit dan Slenteng loh, maka tidak ada orang yang tersinggung,
tidak orang, emmm rohnya dakwah itu kan berarti merangkul, berbuat baik.
Pantangannya dakwah itu adalah kalau sampe menyakiti hati orang yang sedang
diajak untuk berfikir tentang Islam, itu makannya namanya gagal dakwah,
makannya abah menggunakan wayang
Penulis : Apakah abah anak dari seorang dalang ? atau disini merupakan
kampung dalang ?
Narasumber : Iya, bukan memang saya merupakan keturunan dalang , saya
keturunan ke tujuh dari kakek moyang saya
Penulis : Tema-tema apa saja yang menjadi bahan pentas berdakwah
Abah?
Narasumber : Sekali lagi tema-tema itu adalah tema-tema yang bersifat
keseharian, tema-tema tentang masalah kenabian, terus kemudian ada adegan,
yang kemudian adegan itu tidak sesuai dengan kisi-kisi Islam maka ada tokoh
yang untuk menjelaskan. Ini sebenarnya begini, maka ini sebenarnya, dengan cara
tersirat, karena ini dalam pertunjukan wayang
Penulis : Adakah nama-nama tokoh yang dimunculkan dalam pentas
wayang diluar tokoh yang semestinya ?
Narasumber : Banyak, banyak sekali. Terutama di wayang santri, itu Abah
menciptakan di luar tokoh-tokoh wayang, disamping juga ada tokoh legendaris
dari kakek abah itu, Lupit dengan Slenteng
Penulis : Apa yang melatar belakangi abah terjun kedunia pewayangan ?
Narasumber : Sejak abah kelas 2 SMA itu, bapak abahnya ini meninggal dunia,
padahal bapaknya Abah Enthus itu adalah merupakan satu-satunya yang bisa
85
mencari nafkah dikeluarga. (Ini masuk yah rekamannya ? Masuk abah). Maka
mau tidak mau, maka saya dengan kepandaian yang waktu itu sangat terbatas
masih sangat sederhana, saya berusaha untuk berjuang melalui dunia pewayangan,
untuk memenuhi kebutuhan keluarga
Penulis : Apa dan bagaimana tema-tema wayang kulit dipentaskan ?
Narasumber : Ya,,, tema-tema ya ada semacam Gatot Koco bangun gapuro,
gapuro itu kan asal katanya dari bahasa Arab Ghofuru, jadi ya itu di terjemahin,
ya kalau orang Jawa itu kan tidak bisa ngomong „ain, ngomongnya pakainya
„ngain, karena punyanya huruf Jawa. Kita sesuaikan itu, saya juga mengkaji dari
ustadz, dari para Kyai, Habaib, saya juga belajar
Penulis : Siapakah tokoh-tokoh di sekitar Abah yang berperan penting
hingga sekarang?
Narasumber : Ya, para Kyai, para cendekia-cendekia, para semuanya sajalah.
Saya menimba ilmu dari semua unsur disiplin ilmu yang ada, kemudian saya
unggah ke wayang, kemudian saya kolaborasikan, kemudian saya informasikan,
saya redufain, saya definisikan kembali maka terjadilah ada unsur pesan Islam
yang ada di wayangnya abah itu.
Penulis : Apa saja perbedaan wayang kulit dan wayang golek ?
Narasumber : Ya,, Cuma hanya wahananya saja yang beda, ada orang yang suka
dengan wayang kulit, ada suka wayang golek. Saya melalui wayang kulit itu
dakwah Islam, ada yang tidak suka dengan wayang kulit dengan beberapa alasan,
saya gunakan dengan wayang golek, atau wayang santri, atau wayang yang saya
lakukan itu ngaji budaya tetap membawa boneka wayang.
Penulis : Bagaimana cara abah melestarikan kesenian wayang ?
Narasumber : Yaa,, kesenian wayang itu yang terutama adalah prinsip abah
itukan siapa yang akan menikmati wayang 20 tahun yang akan datang ? itulah
yang paling, paling banyak saya garap, makannya kalau pementasan wayang abah
86
itu kebanyakan anak-anak muda, berarti bahasa wayang itu pun harus mengalami
perubahan, yang pentingkan subtansinya kan sampai, pesannya sampai, maka
bahasalah yang kemudian sering saya rubah menjadi bahasa-bahasa yang
sederhana. Dari misalkan bahasa kawi yang orang-orang sudah enggak tahu
maknanya, dipilih bahasa Jawa yang paling sederhana bahkan yang paling didapat
dalam kehidupan keseharian
Penulis : Pengalaman keagamaan apa saja yang menjadi acuan abah untuk
menjadi seorang dalang ?
Narasumber : Pengalaman keagamaan Abah, sementara ini abah lebih suka
merasa santri, dimana saya masih belum cukup ilmu untuk bisa mematenkan,
ataupun bisa mengutarakan beberapa pesan-pesan Islam. Maka saya harus tetap
ngaji, saya harus banyak belajar Qur‟an, Hadits, terus kemudian kitab-kitab
meskipun dengan sangat sederhana
Penulis : (Suara batuk) Gaya pakeliran mana yang menjadi acuan abah
untuk mendalang?
Narasumber : Semua gaya pakeliran saya bisa, tapi yang sekarang saya lakukan
lewat gaya pekliran cara Enthus-an, saya bikin gaya pakeliran sendiri
Penulis : Bagaimana cerita awal mula yang tadinya abah adalah dalang
wayang kulit kemudian ke wayang golek ?
Narasumber : Terbalik, saya itu jadi dalang wayang golek dulu, memang bapak
saya itu dalang wayang golek juga wayang kulit. Jadi kalau dasarnya abah
wayang golek, kemudian wayang kulit
Penulis : Dalam sebulan berapa kali abah pentas dan dimana saja ?
Narasumber : Tidak mesti, tidak mesti, tapi dengan segala kesederhanaan kalau
misalkan satu bulan ada dua saja sudah bisa cukup untuk makan, juga sudah
cukup untuk teman-teman pekerja-pekerja seni yang mendukung abah seperti
sinden, dan sebagainya
87
Penulis : Bagaimana cara abah membagi waktu antara menjadi dalang dan
menjadi seorang Pak Bupati ?
Narasumber : Ya begini, saya akan membagi waktu dan saya mengurangi
waktu-waktu yang kira-kira tidak berguna, seperti malam ini yang tadi kan
menemui tamu lalu saya menggarap boneka-boneka wayang, menggambar, lalu
sisanya saya tidur sebentar, lalu melakukan pengajian nanti melek sampai subuh
lagi, habis subuh baru tidur setengah sembilan baru berangkat ngantor. Dikantor
kan ada waktu istirahat satu jam saya gunakan untuk istirahat
Penulis : Wayang kulit apa saja yang menjadi seni pentas masyarakat di
Tegal ?
Narasumber : Ehm,, masyarakat Tegal kebanyakan sukanya wayang golek yah,
bukan wayang kulit.
Penulis : Abah membuat wayang sendiri, atau ada orang lain, dan berapa
lama waktu pengerjaannya ?
Narasumber : Kalau lama pengerjaaan ukurannya lamanya itu bukan masalah,
jadi pengerjaannya harus bagus. Menurut abah itu membuatnya dengan
menikmatinya itu lebih lama menikmatinya, membuat wayang misalkan dua
bulan, menikmatinya bisa berpuluh-puluh tahun, bahkan ratusan tahun
Penulis : Apakah abah aktif dalam PEPADI dan LESBUMI ?
Narasumber : Yaa, dulu saya ketua di PEPADI, dan di LESBUMI saya masih
menduduki sebagai wakil ketua LESBUMI, saya anak buahnya Pak Agus Suyoto.
Penulis : Bagaimana awal mula terbentuknya sanggar satria laras?
Narasumber : Yaa, sanggar satria laras kemudian karena menjelang kebanyakan
laku, kemudian saya harus menjual kesenian, menjual prodak seni ini maka saya
untuk membentuk ee apa namanya sebuah sanggar, tempat untuk latihan terutama,
tempat untuk berproses, tempat untuk mencari ide, tempat ngumpulnya teman-
teman, maka disitulah ada kaya semacam sanggar satria laras
88
Penulis : Apakah ada orang lain yang berperan penting dalam berdirinya
sanggar satria laras?
Narasumber : Banyak, banyak yang khusus untuk administrasi pembukuan juga
ada disiplin menabung, disiplin ee apa namanya, disiplin ada semacam kaya
komunitas baru, disiplin untuk nyambangi yang sakit, membantu yang perlu ada
bantuan dari hasil berkesenian, disiplin sosial, masalah agama juga diambil dari
berkesenian
89
Wawancara 2
Narasumber : Abah Enthus Susmono
Tanggal : 30 Desember 2017
Tempat : Didalam mobil perjalanan ke Pondok Pesantren Ora Aji
Sleman
Pukul : 06.30
Penulis : Siapa nama lengkap dan gelar Abah ?
Narasumber : Nama saya ? Gelarnya Ki, nama saya Enthus Susmono
Penulis : Kapan dan dimana abah lahir ?
Narasumber : 21 Juni 1966
Penulis : Bagaimana latar belakang keluarga abah?
Narasumber : Latar belakangnya dari keluarga seniman,
Penulis : Bagaimana hubungan abah dengan ayah abah ?
Narasumber : Hubungnnya ya bagus sebagai guru, sebagai orang tua, sebagai
pembimbing, sebagai yang membesarkan aku
Penulis : Terus bagaimana sih pendapat abah terhadap ayah abah sendiri ?
Narasumber : Ooh, ayah abah itu sosok orang tua yang sangat hebat sekali
Penulis : Berarti motivator tebesar abah ?
Narasumber : Iya
Penulis : Bagaimana hubungan abah dengan ibu abah ?
Narasumber : Kalau ibu itu lebih keras yah dari pada ayah abah, ibu saya lebih
keras, jadi sering memberikan fatwa-fatwa yang keras, terutama dalam sikap
hidup. Sebagai contoh begini, kalau dulu ada orang yang berbuat jelek kepada ibu
atau keluarga, ibu itu begini bilang, “sudahlah diamkan saja, nanti akan ada yang
90
ngurusi sendiri, orang boleh benci sama ibu, tapi mengko sedulure ibu, sedulur
papat lima panca ibu sing ora terima”, kue ibu. Kamu juga nanti besok gitu kalau
ada orang yang membuat kamu celaka, membuat kamu difitnah itu diamkan saja,
menjawab soal adanya saja.
Penulis : Apa pencapaian terbesar dalam hidup abah ?
Narasumber : Pencapaian terbesar saya ya selamet, sebagai orang Islam ya
harus selamet dunia akhirat, pencapaian terbesar abah, saya akan menjadi apa pun
itu ga pentinglah menurut saya, yang penting saya menjadi orang yang selamet
dunia akhirat
Penulis : Tapi ada enggak sih abah mimpi abah yang belum tercapai ?
Narasumber : Mimpi saya yang belum tercapai ada, anak-anak saya menjadi
anak-anak yang sholeh dan sholehah, berkehidupan yang baik, baik secara agama
maupun secara Negara. Mimpinya itu tok saja
Penulis : Idola abah sendiri siapa ?
Naraumber : Yaa,, Nabi Muhammad
Penulis : Terus latar belakang pendidikan, menurut abah pendidikan itu
seperti apa ?
Narasumber : Pendidikan itu adalah pengalaman batin seseorang, ketika
mendapatkan sesuatu kesan, dan kemudian nanti pendidikan itu akan dijadikan
sebagai modal, gagasan, dan acuan ketika dia hidup, hidup untuk seterusnya
Penulis : Dimana, dan kapan abah menyelesaikan pendidikan formal abah ?
Narasumber : Di SMA 1 Tegal
Penulis : Apakah sekolah-sekolah abah ditentukan oleh orang tua abah atau
keinginan abah sendiri ?
Narasumber : Dulu mau sendiri, bapak cuma memberi saran saja
91
Penulis : Terus kesan abah sekolah di SMA 1 Tegal bagaimana abah ?
Narasumber : TOP dong, saya banyak pengalaman yang sangat, sangat berkesan
sekali, karena pada waktu itu, abah kan itu orang kampung yah, orang biasa. SMA
1 itu kan rata-rata ee golongan, yang sekolah disitu adalah anak-anaknya orang-
orang The High, anak-anaknya orang kayalah. Sedangkan abah ini kan orang pas-
pasan keluarganya abah, keluarga seorang seniman
Penulis : Kegiatan non formal apa yang abah ikuti ?
Narasumber : Yaa,, secara naluri saja, berjalan seperti air, saya bisa kursus
karawitan, belajar dalang, belajar teater, belajar agama, belajar filsafat. Pokoknya
saya paling suka adalah belajar, sampai sekarang
Penulis : Bagaimana pendidikan anak-anak abah sendiri?
Narasumber : Saya akan memaksimalkan pendidikan anak-anak saya, sampai
dengan cita-cita mereka itu dalam bidang pendidikan, contohnya setelah lulus S2
eh lulus Sarjana, monggo mau apa ? ada yang mau kerja, ada yang mau
melanjutkan sekolah lagi, ya monggo. Sebatas kemampuan saya sendiri
Penulis : Apakah ada keinginan abah untuk anak-anak abah menjadi
seorang dalang ?
Narasumber : Yaaa ada kan, sudah ada, yang sekarang kuliah di kesenian,
Firman Nurjannah, Perempuan
Penulis : Apakah itu keinginan sendiri atau memang abah menyuruhnya ?
Narasumber : Keinginan sendiri
Penulis : Sejak kapan abah menyukai wayang?
Narasumber : Sejak kecil, saya anak dalang, saya keturunan ke tujuh
92
Penulis : Apakah cita-cita abah ? memang abah ingin menjadi dalang atau
ada yang lainnya ?
Narasumber : Saya malah tidak pernah punya cita-cita yah, cita-cita saya malah
kepengin jadi sarjana karawitan, kuliah di ISI tapi kemudian tidak kesampaian,
karena bapak, ayah abah yah keburu meninggal dunia. Karena bapak itu kan
tulang punggung keluarga, satu-satunya orang yang mencukupi kebutuhan
dikeluarga, meninggal, akhirnya mau tidak mau saya harus menggantikan. Sambil
sekolah, sambil saya atur kehidupan
Penulis : Dimana abah belajar mendalang ?
Narasumber : Dari bapak saya
Penulis : Selain dari bapak abah ?
Narasumber : Ya dari Pak Mantep Soedarsono, Anom Suroto, Ki Narto Sapto,
pokoknya semua dalang-dalang, saya ambil ilmunya dan saya ambil gayanya
Penulis : Idola abah siapa ?
Narasumber : Pak Mantep Soedarsono
Penulis : Terus kalau lakon favorit abah ?
Narasumber : Semua lakon favorit, cuman kalau abah ini membuat lakon itu
seperti dalam film itu, ada film layar emas, film ini dan itu. Jadi semua lakon
menurut saya favorit, karena lakon itu juga harus menjadi favorit, bedanya abah
dengan dalang lain kan (astaghfirullah, penulis kaget) abah itu kaya semacam
dialog pada awal ketawa, penonton merespon
Penulis : Menurut abah makna agama itu seperti itu apa?
Narasumber : Agama itu kan acuan ya, jalan ya, jalan menuju, agama itu
thariqot, agama itu adalah jalan untuk menuju kepada keteraturan hidup dunia
yang nanti akan keteraturan hidup di akhirat.
93
Penulis : Al-Qur‟an sendiri menurut abah ?
Narasumber : Al-Qur‟an itu kan way of life nya orang Islam, jadi untuk apa
manusia, punya persoalan apa didunia di Al-Qur‟an ada semuanya. Karena Al-
Qur‟an dalam bahasa global kemudian di dengan hadist, dengan semua yang
dilakukan kanjeng Nabi
Penulis : Abah belajar agama dengan siapa ?
Narasumber : Dulu ya dengan ustadznya abah, kemudan dengan siapapun kalau
sekarang ini dengan siapapun, Kyai siapapun kan sekang banyak, para habaib
juga, para ustadz, teman-teman. Abah juga sering tanya kalau bingung ini Qur‟an
surat apa yah, abah tanya sama temennya abah. Buka Qur‟an surat ini, abah
biasakan seperti itu sejak lama
Penulis : Kalau pagelaran wayang kulit berdiri kapan abah ?
Narasumber : Itu pas di Indosiar itu tahun berapa yah, lupa tahun 89 apa yah,87,
eh tahun 90-an
Penulis : Yang melatar belakangi berdirinya ?
Narasumber : Secara spontan saja, abah pikir setelah kalau wayang dengan
wayang sudah diomongin sudah ga mau, ya dalangnya. Ya kaya gini kalau
manusia dengan manusia sudah diomongi tidak bisa ya dengan Allah, biar Tuhan
yang mengaturnya, ya begini budaya itukan kan yah memaknai filosofinya
Penulis : Jabatan abah sebagai bupati itu mempengaruhi pagelaran abah ?
Narasumber : Ya sangat mempengaruhi, karena di dalam bupati itu saya belajar
tentang ilmu pemerintahan, maka didalam pewayangannya pun itu akan ada
semacam kaya cipratan untuk, ada pengaruh-pengaruh dalam program-program
pemerintah. Bisa jelas karena saya adalah orang pemerintah. Jadi sebagai juru
pemerintahan bertemu dengan masyarakat secara pas, karena abah mengalami
sendiri sebagai kepala pemerintah
94
Penulis : Orang yang paling dipercaya dalam pagelaran siapa Abah ? dan
mengapa dia ?
Narasumber : Banyak ya, kalau saya itu banyak, tidak hanya satu orang, jadi
yang pegang arasenmen Atmanto sama Mas Agung, yang berkaitan dengan
transportasi ya Mas Yus, Mba Vetty, yang untuk masalah sound system, wayang
ya Pak Rohim dan Pak Sugeng, banyak pokoknya
Penulis : Apakah ada personil dari pagelaran abah yang selain agamanya
Islam ?
Narasumber : Dulu ada, tapi lalu kemudian masuk agama Islam, Mba Nova
sendiri kan dulu agamanya Kristen
Penulis : Apakah ada ritual-ritual khusus sebelum dan sesudah memulai
pagelaran ?
Narasumber : Kalau ritual menurut terjemahan saya itu ya latihan,
mempersiapkan sesuatu, mental, cek sound, itu ritual abah begitu
Penulis : Mengapa abah mengutip ayat-ayat Al-Qur;an dan hadist dalam
pagelaran ?
Narasumber : Ya memang harusnya begitu, kalau seorang seniman seni lukis
maka sarana dan wahananya adalah kanvas dengan cat, kalau penyair dengan
puisi, kalau drama dengan drama dan adegan, kalau wayang ya dengan ayat,
meskipun tidak dibaca secara ayat Al-Qur‟annya dalam bahasanya minimal
saripati terjemahannya, dengan segala keterbatasan
Penulis : Apakah abah mengkaji dulu, atau secara spontan?
Narasumber : Tidak, tidak spontal, kalau ayat itu tak persiapan, persoalan ini
ayatnya ini, persoalan ini ayatnya ini, sejauh ini kalau ayatnya belum ketemu abah
tanya Kyai Mahfudz, sama Pak Atmo Tansidiq tentang ayat apa
Penulis : Menurut abah tokoh Slenteng dan Lupit itu seperti apa?
95
Narasumber : Ya, seperti personilfikasinya abah, untuk menjelaskan
Penulis : Itu buat sendiri abah ? ko sampai bisa kepikiran gitu?
Narasumber : Kan dari dulu sudah ada, cuman abah rekontruksi lagi agar bagus,
pakaian dengan bagus, di cat dengan bagus
96
Wawancara 3
Narasumber : Mba Suci Ofita Dewi
Tanggal : 29 Desember 2017
Tempat : Ponjong, Sleman Gunung Kidul
Pukul : 04.50
Narasumber : Hallo, Assalamu‟alaikum
Penulis : Iyah, wa‟alaikumsalam
Narasumber : Gimana kabarmu?
Penulis : Baik Mba, Alhamdulillah, Mba gimana ?
Narasumber : (suara ketawa) Alhamdulillah baik
Penulis : Alhamdulillah, okay dimulai yah mba wawancaranya.
Narasumber : Okeh,,okeh
Penulis : Iyah, Eee apa namanya, nama panjang Mba siapa, nama
lengkapnya ?
Narasumber : Namaku, Suci Ovita Dewi, Ofita nya pake f yah
Penulis : Iyah Mba okeh, Sudah berapa lama mba bergabung dengan
pagelaran Abah ?
Narasumber : Dengan pagelaran abah sudah, 8 tahun.
Penulis : Sudah 8 tahun, berarti sudah lama yah mba
Narasumber : Iyah, sudah lama
Penulis : Terus kenapa sih mba, mba bergabung dengan pagelaran abah ?
awalnya gitu ?
Narasumber : Oohh awal mulanya sih sepele, dulu kan ada udah almarhum sih,
ee itu salah satu rombongannya abah dari Solo, dia itu cowok, namanya Mas Ari.
Tukang nyari sinden gitu loh, terus Mas Ari itu kalau ada job, ada job gitu ngejak
97
aku, terus pas akau SMK di Negeri Solo itu mas Ari ngejak aku, terus gabung kea
bah. Dan ternyata disitu cocok yaudah ikut sampe sekarang
Penulis : Ehhh gitu, berarti pesan dan kesannya mba seperti apa mba ?
seneng yah mba ikut abah?
Narasumber : He‟em seneng,
Penulis : Berarti waktu pertama kali mba ikut abah pertama kali nyinden
dimana ?
Narasumber : Nyindennya pertama kali di alun-alin Sragen,
Penulis : Selama menjadi sinden, ehm apa namanya, mengalami kesulitan
ga mba ?
Narasumber : Iyah, ya ada, ya banyak sih kesulitannya, kaya itu kemaren kan
juga, kemarennya ke perkulihanku, pada saat sekolah dulu juga sama, antara
jadwal manggung sama jadwal sekolah sampe kuliah itu, gimana yah cara
mensingkronkannya itu sangat sulit gitu loh. Karena kadang job nya jauh, harus
berangkat pagi, bahkan harus dari tempat satu ke tempat yang lain, selanjutnya tuh
langsung, tuh ga bisa kuliah, ga bisa sekolah. Kendalanya hanya itu sih, jadi
intinya harus pinter-pinter mengatur jadwal sendiri gitu.
Penulis : Iyah yah mba, terus pembagian antara sindennya itu gimana mba?
Narasumber : Ohh kalau bagian sindennya kan di tempat abah, ada yang Mbak
Fetty bagian yang lagu-lagu dangdut untuk wayang santri sama Mba Pur itu
bagian wayang-wayang santri, kalau wayang kulit ya pas kalau ada pengajian atau
qira‟ gitu. Kalau bu Gunarti itu yang bagian-bagian gending jadi kalau bu Gunarti
itu sesepuh dari sinden-sinden klasik wayang kulit. Kalau kaya kami mba Eni mba
Nova itu pesinden klasik yang bagian wayang kulitnya abah, wayang kulit,
wayang santri ada kru sendiri, gitu
Penulis : Kalau misalkan, yang kemaren yang saya lihat itu kan dua yah
mba Suci sama mba Nova saja
Narasumber : Karena ini, ehh karena apa yah, super inti lah job nya job kecil
98
Penulis : Ohh gitu, terus kalau misalkan , apa sih, kan nyanyinya beda-beda
tuh kan yah mba, itu sebelumnya udah di bagi-bagi apa inisiatif sendiri,atau di
suruh abah kamu nanti yang bagian ini gitu, apa gimana ?
Narasumber : Ohh enggak sih, kalau pembagian waktu, pembagian satu gending
gitu satu sinden seumpama udah memenuhi, kita temannya juga udah, tinggal
gentian, nah terkecuali kalau lagu-lagu sinden gawean, apa yah sinden yang udah
garup-grup itu, lagu-lagu pokoknya itu sudah hafal, lagu-lagu untuk sesi break
atau limbuan, goro-goro itu boleh sih nyanyi, aku mau nyanyi ini ini, abahe ga
apa-apa. Jadi terserah sindennya, tapi kalau kadang kan ada kan mba, ehmm
bahwa sinden yang baru itu pas job besar gitu loh, bawa sinden banyak dan
sindennya ga kru biasanya, itu biasanya di tanya mau nyayi apa, gitu dari abah.
Jadi kalau untuk pembagiannya itu bebas, selagi temannya mampu okeh, kalau ga
bisa ya yang bisa-bisa saja.
Penulis : Terus lagu apa sih mba yang sering di bawain?
Narasumber : Untuk di wayangnya atau untuk yang breaknya ?
Penulis : Untuk dua-duanya mba
Narasumber : Oh dua-duanya kalau di wayang, wayang bagian wayangnya itu
biasanya ayak-ayak, capek kaya gitu, terus palaran. Terus karena abah kotemporer
jadi di apa ya Satria Laras itu menciptakan lagu sendiri, lagu-lagu sendiri seperti
sholawatan, atau ladrang-ladrang seperti itu. Tapi kalau yang di pokok ke
pagelaran wayang kulit jawa itu, yang bagian serbag, ayak-ayak, sama palaran-
palaran tadi, ladrang gitu.
Penulis : Okeh, okeh. Berarti itu semua mba Suci hafal lagunya dong?
Narasumber : Iyah hafal karena, kita dituntut hafal, karena kita selalu mengikuti
abah. Carane pribahasane ini sinden bener-bener sindennya abah, gitu loh. Untuk
garapan-garapan lagunya, kalau untuk limbukan dan goro-goro itu biasanya,
cuman lagu-lagu kaya aku tresno, terus kates godong gandul, terus apa yah
untrack-untruk, terus pelengkapan derita, terus dan lain sebagainya. Nah lain lagi
99
kalau ada bintang tamu, apa bintang tamu kaya Soimah, Syahrini atau siapa, dia
lagunya udah sendiri loh yah, enggak lagu-lagu yang ada dipagelaran gitu loh,
Penulis : Kalau lagu favorit mba Suci sendiri apa, terus kenapa lagu itu?
Narasumber : Ohh kalau favoritnya si. Oh ada tambahan biasanya ada gelang
alit garap Banyuwangi-an itu ada lagu-lagu sinden, bajing loncat, aku sih lebih
suka yang itu Sunda, sama yang Banyuwangi kalau favoritku lebih ke itu. Kalau
lagu-lagunya Satria Laras sih juga suka tapi lebih favorit ke yang Sunda sama
yang Banyuwangi tadi.
Penulis : Terus ada ga sih mba, aturan-aturan khusus untuk menjadi
seorang sinden?
Narasumber : Eee,, pesinden yah ? sebenernya ga ada sih kami seniman itu ga
terbatas atau terpaku pada sesuatu, yang penting pesinden Jawa itu tetap
mempunyai etika dan kualitas gitu loh, sebagai pesinden Jawa itu sebenarnya
pertama harus mempunyai dalam hal apa yah dalam untuk gending-gendhing itu,
harus bisa dulu gending-gending Jawa untuk iringan wayang, bener-bener
pesinden wayang. Nah setelah itu bolehlah, ee menyanyikan lagu dangdut, lagu
campur sari atau apa, kalau pakem yang dulu seperti itu sinden wayang itu.
Berhubung sekarang era nya udah modern kan udah berbeda yah, kadang ada
pesinden yang penyanyi tapi dandan pesinden bahkan dia ga bisa menyajikan
bagian dari gending-gending pada sajian, pada pementasan wayang kulit. Mereka
bagiannya, bagian dangdut kaya gitu, tapi dandannya sinden, nah itu kalau orang
awam menyebutnya juga sinden. Tapi bagi kita seniman yang kita orang pesinden,
yang benar-benar pesinden sebenernys mereka itu penyanyi, gitu loh. Yang bener
–bener pesinden ya kaya kita bisa membaca notasi yang kaya aku kirim ke kamu
itu, notasi kekawitan itu kunci utamanya.
Penulis : Sekarang aku mau nanya latar belakang pendidikan mba suci nih,
kapan dan dimana mba Suci belajar menjadi sinden ?
100
Narasumber : Ee aku belajar nyinden itu dari TK sebenarnya, iyah dari TK aku
sudah di belajari, sebenarnya suka nyanyi, nyanyi kaya campur sari, nah setelah
aku kelas 1, kelas 2, kelas 3, berhubung dulu kakekku itu dalang, keluarga
besarku seniman, ada penari, niyaga, ada dalang, ada pesinden, jadi lengkap. Jadi
kakekku itu dalang, tapi ga ikut nyinden, sesi break limbuan itu jam 11‟an lah
dulu waktu aku kelas 1 sampai gede ikut kakek, kaya gitu, itupun aku nangis
sebenernya gam au tapi dipakasa ibuku, aku nangis didandani terus sebelum kalau
menunggu jam 11 itu aku pasti minta mainan yang balon yang kekok-kekok-
kekok itu sama pa yah yang di tiup-tiup dari sabun yang berbusa (suara ketawa)
aku pasti pake itu. Nah sampai kelas 4 akhirnya aku nyanyi campur sari sampai
nyanyi dangdut dari panggung ke panggung, tetap ikut wayangan sampai SMP,
aku SMP ikut namanya Mas Eko, dia itu salah satu dalang yang cukup tenar di
Kabupatenku di Jawa Timur sana, di Tulung Agung, pokoke aku mulai kalau yang
belajar sinden klasik itu aku mulai SMP deh kayanya, tapi aku disitu ga langsung
bisa sih, karena aku lebih dulunya nyanyi dangdut gitu, di elektun, organd.
Akhirnya lulus SMP aku ke SMKI yang sekarang SMKN 8 Surakarta, aku ambil
Jurusan karawitan, itu setara dengan SMK, aku ambil jurusan karawitan nah disitu
aku focus belajar vocal sinden, akhirnya aku bisa nyinden aku meninggalkan
campur sari, bahkan nyanyi orkes gini-gini, aku fokus nyinden. Masuk SMKI ya
sekitar tahun 2009, sampai lulus SMK tahun 2012, langsung ke Perguruan Tinggi
ke ISI Surakarta, Institut Seni Indonesia Surakarta (Jurusannya?) jurusannya juga
sama seni karawitan, tapi ya gara-gara itu tadi pas kesini-sini akhirnya kuliahnya
mundur, ya jadi 5 tahun, terus lulus S1 2017 Agustus langsung daftar ke Paska
Sarjana ISI, nah udah sekarang S2 Jurusan Penciptaan Seni Musik, bagian musik
kotemporer, nah ceritane gitu mba, hehehe.
Penulis : Nah terus menurut mba, abah itu seperti apa mba?
Narasumber : Ee tentang, dari apa?
Penulis : Dari pagelarannya, dari tentang dalangnya abah.
Narasumber : Ohh ya udah, abah itu menurutku seorang dalang superstar yang
multitalent, ia bisa menguasai banyak bahsa kaya bahasa Sunda, bahasa
101
Indonesia, Mandarin, Jepang, bahasa Inggris, beliau itu menguasai bahasa-bahasa.
Dari situ kalau penyampaian pagelaran abah itu pada saat ndalang dipanggung itu,
itu yang membuat beliau itu berbeda dari dalang-dalang yang lain, kalau dalang-
dalang Jawa pada umumnya kan mereka dalam pementasan wayang itu kan lebih
ya hampir 100% lah bahasa Jawa, yang kaya bahasa kuno itu kan, kalau abah
enggak, abah itu seumpama penanggapnya pewayangan bahasa Indonesia, kalau
wayangannya itu di Jepang ya bahasa Jepang, dan abah itu mengolah ehm apa yah
mengola bahasa itu agar orang awam bisa menangkap apa yang dimaksud cepat
gitu ga bertanya-tanya, nah kalau dari segi dalangnya. Walaupun dipanggung itu
berkata jorok kaya gitu itu cuma akting panggung sih sebenarnya orangnya baik,
kaya gitu
Penulis : Terus mba kan aku ngambil apa judul tema-tema lakon yah mba,
nah setiap pementasan itukan pasti lakonnya berbeda-beda, nah itu ada lagu yang
setiap tampil itu dipentasin atau berbeda-beda gitu ?
Narasumber : Ohh iya kalau lagu-lagunya seperti gendhing klasiknya itu
sebenarnya sama plek, nah kaya lagu-lagu di sesi break limboan goro-goro itu
juga sama, bedanya pada iringan wayang sumpama penanggapnya Ibu Mentri
Susi, ya kaya gitu ya kadang koor suara sinden dan suara putra yang bagian vocal
itu juga dibikin beda syairnya, untuk menyampaikan apa yang disosialisasikan
kaya gitu loh
Penulis : Itu nanti pakainya pakai bahasa Jawa apa bahasa Indonesia?
Narasumber : kebanyakan bahasa Indonesia
Penulis : Pokoknya sinden pun menyesuaikan yah mba?
Narasumber : Iya, iyah bener. Jadi biasanya sebelum wayang dimulai,
seumpama tadi di Kalimantan, di Kalimantan tuh kita mencari tahu berangkat
sehari sebelum pentas, kita disana diskusi dengan orang sana, tentang apa yah,
tentang bahasa disana itu seperti apa?, walaupun dikit kan biar bisa menyatu gitu
dengan bahasanya orang sana. Pas apa, pas berdialog sama sinden, atau pas
102
berdialog lelucon dagelan itu agar penonton itu tertarik gitu loh, jadi tuh kaya ada
kesan, ko bisa yah bahasa sini, ko bisa lucu gitu.
Penulis : Berarti sebenernya setiap tema itu tidak berbeda yah mba?
Narasumber : Iyah cuman kadang bagian iringan kotemporer yang sifatnya itu
lakon, syair-syairnya bagian vokal dan lakon cuma dirubah, cuma itu
Penulis : Sebelumnya biasanya diskusi dulu atau bagaimana, misal mau
pagelaran mba?
Narasumber : Ohh untuk lakon wayang biasanya request, permintaan dari si
penanggap, aku mau Lakon Dewa Ruci, aku mau Lakon apa gitu. Nah kecuali
kalau si penanggap “ya udahlah terserah Pak Enthus aja, yang penting gayeng
yang penting seru, yang penting bagus wayangannya, yang penting penonton
suka”. Itu terserah abah
Penulis : Berarti sinden juga harus siap yah Mba apapun tema nya?
Narasumber : Iyah betul
Penulis : Terus nanti posisinya, mba kan bukan yang fokus untuk abah
terus, itu tuh ga susah gitu mba ?
Narasumber : Enggak sih, karena sudah terbiasa dari tahun ke tahun ikut
pagelaran abah
Penulis : Biasanya lakon-lakonnya sendiri suka diulang-ulang ga mba
setiap tempat?
Narasumber : Iyah, ya itu tadi tergantung request, seumpama gini yah tanggal
15 penanggapnya Bu Susi di Jakarta lakonnya “Pendawa Layar” sehari setelahnya
tanggal 16 itu di Bandung ya lakonnya ya bu Susi minta itu lagi, ya itu ga apa
apa, berikutnya-berikutnya ya ga apa-apa sampai sebulan, bahkan setahun Bu Susi
minta itu, okeh kita layani lakon itu, kecuali kalau beliau bilang “lakonnya diganti
pak”. Kemaren juga sama bu Susi minta wayangan acaranya kaya sosialisasi jadi
ga mau pake ini, ga mau pake ini, penyampaiannya jadi ya di pelabuhan-
103
pelabuhan gitu. Bahkan 4 bulanan 5 titik itu juga sama lakonnya itu. Sebenarnya
sih banyak lakon, dan beliau juga pasti sudah mahir, tapi kadang penanggap itu
lebih punya kekusaan sendiri, aku minta lakon ini dong pak, pengin ingin dong
gitu.
Penulis : Kalau mba Suci sendiri itu sinden wayang kulit yah mba, kalau
wayang golek atau wayang santri suka ikut ga mba?
Narasumber : Enggak kalau aku enggak, kalau wayang santri dulu pernah ikut
pas semester-semester awal waktu kuliah, semester 3 kalau enggak 4. Tapi
semenjak mau PA aku udah ga ikut, aku ikut wayang kulit
Penulis : Enak jadi sinden wayang kulit atau wayang santri mba?
Narasumber : Ya, lebih enak jadi wayang santri karena kalau di wayang santri
aku ada iringannya itu ga nyanyi cuma nyanyi di bagian limbuan itu di ganti
Slenteng dan Lupit, cuma nyanyi itu tok, kalau wayang santri cuma sholawat-
sholawat sama Mba Pur. Wayang kulit kan pake gamelan, tapi kalau wayang
santri juga sama pake gamelan, cuman gamelannya lebih ke notasi lagu Islami
kaya music-musik gambus, sama bawa organ, terus nadanya juga beda pada
pentas wayang kulit, jadi beliau mempunyai beberapa set gamelan
Penulis : Kalau wayang kulit sendiri itu kan tema-temanya ada yang
politik, ekonomi, dan Nasionalis, nah itu lagu-lagunya beda ga mba?
Narasumber : Sama sih, tetap sama cuman biasanya kalau ditambahkan dengan
lagu tentang lagu untuk ikan, judulnya “gemar makan ikan” itu lagunya untuk
anak Indonesia sehat, makanlah ikan laut. Nah untuk Nasionalisme itu juga ada
kaya lagu-lagu masr, maju tak gentar, dari Sabang sampai Marauke, 17 Agustus,
pokoknya gitu sih ditambahi sebenarnya sama cuman tambahan itu tadi biar
sesuai dengan acaranya
Penulis : Nah abah kan suka ngutip ayat Al-Qur‟an yah mba, diwayang
kulit juga sama yah mba?
104
Narasumber : Iyah sama di wayang kulit juga
Penulis : Nah menurut mba dengan abah mengutip ayat Al-Qur‟an itu
bagaimana mba? Kan abah kan memang beda yah bukan wayang kulit yang
identic dengan Jawa, Hindhu-Budha
Narasumber : Iyah beliau itu memang berani beda, berani pentas selain wayang
kulit tadi beliau juga di pengajian ko makannya kalau tentang ayat-ayat tentang
Al-Qur‟an paham banget, sampai apa yang jurusanmu apa yah namanya, yang
Sejarah Islam. Kaya gitu memang beliau mendalami banget, ga tau yah entah
tujuannya apa, kalau kami ga tau, ga nanya mungkin untuk koleksi sendiri.
Penulis : Menurut mba sendiri yang beda dari abah itu dengan dalang-
dalang yang lain itu apa?
Narasumber : Ya itu tadi politiknya matang, terus bagian mengkaji kaji sesuatu
itu ilmu humaniora, ilmu mu loh beliau juga mateng loh, ga tau yah emang beliau
semua tau beliau. Aku baru tahu pas di Lampung mengkaji apa yah sama anaknya
kaya ilmu humaniora, dalam batinku Cuma ko bisa tahu, padahal beliau enggak
kuliah di jurusan humaniora
Penulis : Beliau juga pernah pentas di Belanda kan yah mba?
Narasumber : Iyah di Belanda itu ada wayang-wayang superman, wayang
kartun di Museum Belanda itu ada dan dari luar Negeri itu dapat penghargaan
dalang superstar sama dalang apa gitu pokoknya
Penulis : Berarti mba sudah keliling pagelaran kemana aja mba, di
Indonesia?
Narasumber : Banyak pulau Sumatera, pulau Palembang, Brunei, Lampung,
banyak
Penulis : Itu kalau untuk yang pegang gamelan untuk wayang santri dan
wayang kulit itu beda ga mba, orang-orangnya ?
105
Narasumber : Ya yang pegang gamelan itu kan ada dua, dari kru Tegal sama
dari Solo, kalau yang bagian Tegal itu kalau wayang santri kebanyakan ikut, tapi
kalau kru Solo enggak, cuma orang yang dipilih saja, kecuali kalau si
penanggapnya minta ada anu bah sinden Solo, itu baru penabuh Solo ikut.
106
Wawancara 4
Narasumber : Mas Haryo Ja‟far Susilo (Anak kedua Ki Enthus)
Tanggal : 10 Februari 2018
Tempat : Rumah Wayang, Bengle-Tegal
Pukul : 20.00
Penulis : Assalamu‟alaikum Ka
Narasumber : Iyah, Wa‟alaikumsalam Dek,
Penulis : Saya Rizka, mahasiswi UIN Jakarta yang sedang mengadakan
penelitian terkait tentang judul skripsi saya “Tema-tema Lakon Pewayangan
dalang Ki Enthus Susmono di Kabupaten Tegal Tahun 2013-2017”
Narasumber : Iyah, ada yang bisa saya bantu dek
Penulis : Ada perbedaan tidak ka antara pemain wayang golek dan wayang
kulit?
Narasumber : Tidak ada dek, hanya saja biasanya kalau wayang kulit karena
pagelrannya besar dan durasi waktunya lebih lama biasanya ditambahkan untuk
pemain gamelannya dari Solo, atau sinden yang memang wayang kulit. (terlampir
nama-nama pemain alat musik)
Penulis : Kalau lakon-lakon wayang kulit dan wayang golek itu berbeda
tidak ka?
Narasumber : Yang berbeda hanya wayang santri, karena memang wayang
santri kan sifatnya keseharian, jadi Abah membuat tema-tema yang sifatnya
keseharian. Ada beberapa tema yang memang hasil karya Abah sendiri antara lain
: wayang kulit karya Abah, Pandawa Kumpul, Romo Tambak, Pandawa Layar,
Gatotkoco Sang Lelono, Adam Awal Adam Akhir, dll. Untuk wayang golek ada
Jaka Bereg Mbangun Istana, Adam Awal Adam Akhir
Penulis : Untuk temanya itu kan dibagi kebeberapa katagori, seperti
ekonomi, nasionalis, politik, itu ada perbedaannya tidak ka?
107
Narasumber : Semua tema-tema diatas dapat dikemas dalam satu tema, artinya
pagelaran Abah memang tidak pakem dengan satu tema saja, melainkan
mencangkup semuanya.
Penulis : Munculnya wayang santri sendiri ka kapan? Dan apa
perbedaannya dengan wayang golek?
Narasumber : Kalau wayang golek ken memang sudah lama yah, dan wayang
asntri itu kan memang sudah ada sejak Sunan Kalijaga yang menggunakan
wayang untuk berdakwah
Penulis : Munculnya tokoh Lupit dan Slenteng Ka?
Narasumber : Kalau Lupit itu kan memang sudah sejak lama ya, kalau di Sunda
namanya Cepot. Nah kalau Slenteng memang yang menambahkan si Mbahnya
Abah, jadi peninggalan dari Mbah nya Abah gitu. Tapi untuk lebih jelasnya bisa
tanya ke Pak Hatmanto ya dek.
108
Wawancara 5
Narasumber : Bapak Hatmanto (Pemain Kendang)
Tanggal : 10 Februari 2018
Tempat : Rumah Wayang, Bengle-Tegal
Pukul : 20.30
Penulis : Assalamu‟alaikum Pak,
Narasumber : Iyah, Wa‟alaikumsalam Dek,
Penulis : Saya Rizka, mahasiswi UIN Jakarta yang sedang mengadakan
penelitian terkait tentang judul skripsi saya “Tema-tema Lakon Pewayangan
dalang Ki Enthus Susmono di Kabupaten Tegal Tahun 2013-2017”
Narasumber : Tahun 2013 Ki Enthus bekerja keras dengan segala kemampuan
dan kondisinya memantaskan diri untuk mencapai cita-cita luhur sebagai
pengendara G 1 melalui kesenian. Bahkan jauh sebelum beliau jadi G 1 antara
tahun 2002-2007 saya sangat dengan beliau, kemudian paska beliau jadi Bupati
sekarang saya jaga jarak.
Penulis : Tema-tema apa saja yang dipagelarkan oleh Ki Enthus tahun
2013-2017 ?
Narasumber : Tema awal 2013 Ki Enthus mulai menata diri untuk bersiap
menjadi G1. Pertama kali lakon yang di pagelarkan adalah Lakon Petruk Dadi
Ratu, lakon ini menceritakan tentang Punakawan Petruk yang di daulat menjadi
raja di sebuah Negara. Lakon yang menggambarkan sosok orang yang paling
bawah, kalau sudah menjadi takdir akan diangkat drajatnya menjadi pemimpin.
Penulis : Tema yang pertama kali dipentaskan Pak?
Narasumber : Tema pertama, tema kepemimpinan yang mencangkup atas hak
dan kewajiban serta kewajiban seorang pemimpin
Penulis :Awal mula Bapak bergabung dengan Ki Enthus
Narasumber : Awal mula perkenalan saya dengan Ki Enthus Susmono
ditengarai oleh Penyelenggaraan Pameran Wayang Planet ditahun 2002, di
109
Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta, dalam rangka Dies Natalis. Kebetulan
saya yang gemar melukis wayang sangatlah tertarik pada karya-karya Ki Enthus
Susmono. Keantosiasan saya pada gelar pameran wayang Ki Enthus itulah
sebagai awal dari perkenalan kami secara pribado, keterbukaan beliau dalam
berkomunikasi, hingga saya menemukan beberapa kecocokan seputar pandang
dan sikap dalam berkesenian. Pandangan saya pribadi pengemasan ragam
pagelaran dan karya wayang Ki Enthus yang beliau raih secara otodidak itu,
secara teori dan praktek sudah melakukan segala yang sudah diajarkan dalam
materi-materi mata kuliah pedalangan STSI Surakarta. Kecocokan cara pandang
itulah yang saya rasa hingga sekarang mengikat keharmonisan hubungan
kesenimanan, kami sebagai dalang dan pengendang.Ki Enthus yang sejak dulu
mempunyai kemampuan dan kecerdasan yang melebihi dalang pada umumnya,
beliau selalu menciptakan ide-ide tak lazim, baik alur cerita, musik, bahkan
properti tambahan penguat sajian pagelaran. Mengenai pemilihan cerita yang
beliau sajikan dari tahun ke tahun selalu menemukan ide-ide yang sangat relevan
dengan zaman.
Penulis : Ada kesulitan tidak Pak selama di pagelaran?
Narasumber : Hebatnya Ki Enthus tetap fokus pada kesuksesan pertunjukannya,
kesulitan tetap ada tapi di pecahkan dengan cara latihan
Penulis : Mnculnya sanggar Satria Laras Pak ?
Narasumber : Munculnya Sanggar Satria Laras saya kurang tau, tapi sama
dengan tanggal lahir Putra pertamanya Ki Enthus, Mas Jendra
Penulis : Bapak sebagai apa di pagelaran ?
Narasumber : Saya sebagai pengendang, juga membantu sebagai composer dan
arranger
Penulis : Ada perbedaan tidak Pak temanya Abah, seperti Nasionalisme,
Ekonomi yang kaya Pendawa Layar, dan Politik. Apakah tema itu muncul sudah
direncanakan atau bagaimana Pak?
110
Narasumber : Tema menurut kebutuhan pada waktu itu, dari membaaca situasi,
jadi respon, lalu muncullah ide, cerita. Dan pasti seputar politik dan agama
Penulis : Apakah ada teknik-teknis khusus untuk menjadi anggota Satria
Laras Pak?
Narasumber : Yang jelas bisa memainkan alat musik apa saja, kalau vokal ya ga
jelek banget. Dan mau membuka diri meresahkan hati, untuk menerima info dan
perubahan
Penulis : Bapak sendiri latar pendidikannya apa ?
Narasumber : Saya S1 di STSI Solo
Penulis : Bagaimana tanggapan Bapak tentang pagelaran Abah ?
Narasumber : Kecepatan dan ketepatan cara berfikir dan bertindak itu membuat
pentas wayang Ki Enthus menjadi sangat SUPER
Penulis : Kalau dua tokoh Lupit dan Slenteng, apakah peninggalan dari
orang tua Abah atau inovasi Abah Pak?
Narasumber : Lupit dan Slenteng itu peninggalan dari Nenek Moyangnya
Penulis : Ada perbedaan alat music antara wayang golek dan wayang kulit
tidak Pak?
Narasumber : Ada lebih komplit wayang kulit, ada tambahan timpani. Kalau
wayang golek ada rebab, kendang, seruling khusus Sunda, kecapi, gambang,
vokal pria (alok), sinden Sunda
111
Transkrip Pagelaran Ngaji Budaya
Salah satu transkip dari video Ngaji Budaya Ki Enthus Susmono (dalam
rangka Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1439H) 26 Desember 2017
dalam Lakon Lupit dan Slenteng “Jadikan Sholawat sebagai Pemersatu Bangsa”.
Sebelum memulai pentas Abah selalu mengucap syukur dengan berdo‟a
kepada Allah SWT, serta tidak lupa sholawat untuk Nabi Muhammad SAW,
dengan membaca sholawat fatih Yang berbunyi:
ذ، الفاتح لما أغلق ، والهادي إلى صراطك اللهم صل على سيذنا محم والخاتم لما سبق، ناصر الحق بالحق
المستقيم وعلى آله حق قذره ومقذاره العظ
Sholawat Fatih Latin: “Allahumma Sholli Ala Sayyidina Muhammaddinil
Fatihi Lima Ughliqo Wal Khotimi Lima Sabaqo, Nashiril Haqqi Bil Haqqi Wal
Hadi Ila Shirotikal Mustaqim Wa Ala Alihi Haqqo Qodrihi Wa Miq Darihil
Adzim..”
Dengan tokoh Lupit dan Slenteng,
Lupit : Assalamu‟alaikum dek Slenteng…
Slenteng :Wa‟alaikumsalam Warohmatullohi wabarokatuh kakakku Lupit.
(Kayong komplit nemen njawab salame) Sing arane wong njawab salam iku kudu
komplit, paham ya. Angger ana wong njawab salam toli laka warohmatullahe,
karo wabarokatuhe, angger wong wadon kang, njawab salam ora komplit kuwi
berarti rok-an tok kuwi ora nganggo kutang, bisa ngandul, paham ya? (kiye bocah
wadon di rongokena). Aja males, toli angger njawab salam ati-ati ngucapna
assalamu‟alaikummm, kuwi arane kedawan tenggkulah mateni wawu pirang-
pirang. Salamu‟alaikum kaya kuwi ya, warohmatullahi, wabarokatuh, kuwi
angger wong wadon. Tapi angger wong lanang njawabe ora komplit kaosan tok
oara katokan, ora cawetan, (dadi angger mlaku ya gondal-gandel) kaya kerba‟u
Lupit : Salame kudu komplit, kenapa harus komplit ?
Slenteng : Kanjeng Nabi Muhammad SAW (sholawat nariyah), koen wis tau
weruh wujude kanjeng Nabi apa durung?
Lupit : Durung
Slenteng : Urip menangi zamane ora? (Ya mboten)
112
Lupit : Bisane monine Yaa Nabi salam „alaika? Sing disalami
apane ?. berarti kanjeng Nabi itu meninggal secara bashariyah, secara badaniyah,
secara jazadiyah, meninggal dunia alias wafat. Tetapi kanjeng Nabi sebagai badan
roh, ruhul Muhamadiyah, tetap hadir pada malam hari ini, (Amin, amin) bukti
yang kedua, maknanya Marhaban.
Slenteng : Marhaban kue artine apa ?
Lupit : Ya selamat teka, selamat datang. Sugeng lawuh.
Slenteng : Ohhh iyah yah,,,
Lupit : Terus Yaa Habib salam „alaika, sebab kanjeng Nabi kuwi
sing dicintain karo Gusti Allah, Nabi sing paling dicintai kuwi mung Nabi
Muhammad tok, Nabine dewek tok. Soale kenapa jare kowen ? Kanjeng Nabi
kuwi wong sing paling sabar nemen, yakin sung. (Sabare pripun?), Nabi Adam ya
wong ora seantana, Wong Nabi Adam mendikna Walaa taqroba hadihis syajarota
fatakuna minal dzolimin, kie koen ajak ngemek-ngemek wit-witan kue Dam
(maring Adam sih). Gusti Allah mah ngundang komplit kur maring Nabi
Muhammad tok oh, kuwi sih audzubillahiminas syaitonir rojim, Innallaha
yusholluna „alan Nabi, Ya Ayyuhal ladzina aamanu shollu „alahi wasalimtaslima,
komplit.
Slenteng : Iya yah, bandingna karo nabi-nabi liyane primen?
Lupit : Nabi Adam kuwi, ora olih perek-perek maring wit-witan
diplok wite, iya oh ya, mulane ari dirangkul dadi. Dadi arane wite Khuldi. Ari
dirangkul tok mah ya bangsana raimu ngonong, dirangkul ya mesti dimek-mek-
mek kaya kiye mbuapa (akeh bocah cilik). Merembet, sebab apa karena itu
Sunnatullah bahwa Kanjeng Nabi kuwi pan diturunaken maring bumi, inni jaa
„ilun fil ardhi kholifah (paham?). Di rongokna bae oh aja mbadeg bae koen oh,
menungsa kuwi ari kakeen mbadeg kue goblok, pikirane nggo mangan terus,
mangan kue sing penting nggo cukup nggo urip, aja urip mung pegaweane nggo
mangan, khewan apa?. Mulane (ngebentak) ngageti nemen, ya ben ora pada
ngantuk, mumpung ning Desane dewek, (desane dewek mah mbang nglor oh
Teng), nyong dolane ning kene, ohh ngemeg-ngemeg bangsane bokong mbuapa
ning kene kiye, jaman semono (oh jaman old). (sing meteng pira Teng?), langka,
113
soale nyong tah ngumpet-ngumpetan, ngumpete ning kandang wedus oh,
tumpukan kaya kiye, lanang karo wadon, ora nyekrum, kuwi jaman semana ora
kaya jaman now, jaman now mbeke uiw, pacaran ari ora mag-meg ya dudu
pacaran. Mulane nyong mah ya, bocah kene ari ana bocah wis seneng, wis ora
usah lamar-lamaran, langsung ijab qabul bae. Nyong tak takon geh, ana ora bocah
wis ngelamar ora sida nikah? (ana) wis soak oh ya, wis di jem-jem-jem, kadang
kala kaya kie oh yu Marifah, anake sampean si Martini di gawa martono maring
Bandung, Ya ora apa-apa wong wis lamaran ikih, aturann kuwi ngomonge wis
ijab ikih, kiye nyong demi menjaga rusaka bocah wadon, soale rusake bocah
wadon kuwi rusake Negara, almar‟atu penyangga bilad, begitu wadone ancur,
negarane ancur. Mulane kiye ning Desa Kejasem (Mejasem)
Slengteng : Kuwi prime Nabi Adam?
Lupit : Siji Nabi Adam kuwi, di ganti bahwa sing mbisiki Nabi
Adam kuwi iblis,
Slenteng : Bisane iblis bisa manjing syuarga?
Lupit : Iblise kue ning asline ning syuarga oh Kang, kiye keprime
sih. Iblis kue gemiyen makhluk sing paling sujud karo gusti Allah 2000 tahun,
ruku 3000 tahun, arane durung iblis oh waktu semono, arane azazil, manjing
syuarga baae 40.000 tahun.
Lupit : Lah terus Nabi Adam ?
Slenteng : Nabi Adam kuwi mah Penduduk syurga baru oh, kabeh pada
gelem sujud iblis tok sing ora. Mulane di usir sing syuarga, minggat raimu, Nabi
Adam di balangakeun maring Bumi, tiba ning Babilonia.
Lupit : Oh,,iyah yah
Slenteng : Tenang bae wis, perkara bayaran mah bisa diutang ikiyen, ora
usah bayaran yah, sing penting nyong bisa ngijoli haul, wong Bupatine nyong
kadang kala acarane akeh nemen. Toli saben dina Jumat, Sabtu, Minggu kue hari
na‟as, nggo weruh sandang pangan endah aja mbadogi uang Negara.
Lupit : Oh dadi kue Kanjeng Nabi ora ngerti bahwa sing mbisikna
kue setan,
Slenteng : Iya ora ngerti,
114
Lupit : Bisane kanjeng Nabi Adam kue kesasar primen ?
Slenteng : Buah khuldi kuwi cara pelajar kuwi, pelajarane bocah SMA,
(paham). Lah Nabi Adam kue nembe PAUD nembe TK, mulane kesasar,
Lupit : Berarti angger kue Nabi Adam nuruna maring menungsa
ya ?
Slenteng : Bisane teka maring Mejasem pimen carane ? Iya, Nabi Adam
kuwi duwure sewidak loro diro, artine 34 Meter 2 towerlah. Ambane bahu kiwa
maring teneng enem belas meter.
Lupit : Jare enyong krungu, Siti Hawa
Slenteng : Siti Hawa kuwi sekali jebrot kue kembar 4 berarti 8 bayi, terus
saben kembar, biasane lanang karo wadon. Matane dewek-dewek, ana sing sipit
kaya Cina, kaya sing ngantuk. Kulite ya sejen-sejen ana sing putih, sawo mateng,
ireng, bule. Terus semebar ning Bumi
Lupit : Dadi menusa kue dudu penduduk asli bumi ya Teng ?
Slenteng :Dudu, Ning bumi ke mung mampir, kanjeng Nabi Adam, dibebani
sebagai kholifah. (kamu tau ga Suci apa Itu Kholifah), (apa itu Kholifah), kamu
itu kalau ditanya kok balik nanya, wong angger wis ayu ya kaya kuwi yah, (kan
mau diajarkan sama Mas Slenteng), diajarkan apa? (ilmu yang tadi, kholifah itu
apa). Kholifah kuwi gampangane pasangane gusti Allah, sing meliara bumi, aja
dirusak paham? Mulane kanjeng Nabi kuwi ora ngijina. Sunnatullahnya itu begitu,
toil wit-witan kuwi lambange wong Indonesia oh, Istiqomah kan ajeg, kuwi sih
wit-wiotan awit tukul sampe sampean modar, wit-witan kuwi pindah apa ora?
(ora). Wit-witan kuwi tandane wong istiqomah. Mulane wong mangan angger
sing wit-witan ketularan istiqomahe, angger sing ora istiqomah kuwi arane
ngampluk. Angin sing diseruput karo sampean, nafas sing manjing metu, kuwi
deke sapa ?
Lupit : Allah SWT
Slenteng : Pernahkan kamu membayar maring gusti Allah? (enggak)
Lupit : Barokah kuwi apa?
Slenteng : Barokah kuwi terjemahan dari bahasa Arab, barokah yabruku
burukan kuwi nahwu sorofe, burukan kuwi kebo jerum, angger kebo jerum kuwi
115
kebo anteng apa kebo jelalatan ? (anteng). Sing arane wong ketiban berkah ya
anteng jiwane, kelakuane. Dadi ari pan di gawa karo kanjeng Nabi ya aja mung
sholawatan tok. Sholawatan kuwi hubungan sola yasulu sila (hubungan).
Silaturrahmi itu ada 3, yang pertama silaturrahmi karo gusti Allah (sholat),
silaturrahmi karo Kanjeng Nabi (sholawat), yang ketiga adalah silaturrahmi
sesame kita di Negara Republik Indonesia, ada lima bahasa Jawane panca,
Pancasilaturrahmi. Rahmine diguang dilebokna maring panca, mulane dadine
pancasila, mulane kelima pancasila itu mengandung Rahim semua. Barokah sing
nomer lore kuwi, baroka yubariku birkatan sumur, mbokan kepengin berkah kuwi
kaya sumur,
Lupit : salam kuwi ana pirang perkara sing ora kena dijawab?
Slenteng : Salam ana telung perkara, siji salam sing ora wajib di jawab, yaitu
salame imam ketika mengakhiri sholat (sholat, hukume fardu kifayah), salam sing
ora kena dijaawab kue salame wong kuburan, misale dijawab ya mengko pada
kabur oh.
(Diselingi dengan nyanyi NU dan promosi untuk Pilgub)
Effendi : Assalamu‟alaikum
Lupit dan Slenteng: Wa‟alaikumsalam (jawab dengan kompak)
Effendi : Fafalafat safa? (yang namanya Slenteng mana)
Slenteng : Saya (unjuk Slenteng)
Effendi : fafafalufufit ? (yang namanya lupit)
Lupit : Saya
Effendi : Fafanafafafu (mau tanya tentang Nabi Muhammad)
Slenteng : Kanjeng Nabi iku di berikan amanat dari Allah, sebagai petugas
Allah dan juru bicara kita untuk berbicara kepada Allah SWT, dengan mengikuti
sunnah Nabi sholat 5 waktu, Allah adalah robbul „alamin, kanjeng Nabi
Muhhamad adalah rohmatal lil „alamin, pergaulan NU ahli sunnah wal jama‟ah,
disebut ma‟al al-amin. Artinya selalu berkasih sayang terhadap sesame umat
manusia, walaupun orang itu bukan beragama Islam, didalam Al-Qur‟an
disebutkan “dilarang menghina, menghujat kepada orang yang nyembahnya
bukan Allah SWT, meskipun nyembahnya bukan gusti Allah aja di aniyaya, aja
116
dihujat. Karena, mereka aduwu fiiqodri „ilmihim, arep pan musuhi tanpa
menggunakan ilmu. Yang terkahir pesannya kanjeng Nabi
Effendi : fufafufafiii
Slenteng : Bener, Qur‟anul Karim, jadi besok kalau kita mati maka nyawa
yang telah dititipkan sejak kita berada 4 bulan dikandungan Ibu akan ditanyakan,
“seberapa jauh kita pada Qur‟anul Karim”
Sampaikan walau satu ayat, maka mudah-mudahan pengajian malam hari
ini tetap di berkahi Allah SWT dan mendapatkan Kitabah, serta Syafa‟at
(Do‟a) dan menyanyikan lagu terakhir Subanul hakim
Dalam cerita di atas menceritakan bahwa Nabi Muhammad adalah kekasih
Allah SWT, dan kholifah (pemimpin umat), maka kita sebegai umatnya harus
mengikuti ajaran dan sunah-sunah Nabi Muhammad. Kita juga tidak boleh
menghujat sesama manusia, manusia harus saling menyayangi dan mengasihi satu
sama lain, agar terciptanya kerukunan dan kedamaian. Bersyukur atas nikmat
yang Allah berikan baik nikmat seaht, bernfasa dan lain-lain. Kita juga harus
mempererat silaturahmi, diantaranya 3 perkara yakni : silaturahmi kepada Allah
(sholat), silaturrahmi dengan Kanjeng Nabi Muhammad (Sholawat) dan
silaturahmi kepada sesama dengan pancasilaturahmi, mengikuti pancasila.
117
Surat Observasi dan Wawancara
118
Surat Bukti Wawancara