Telaah Semantik Leksikal Bahasa Sunda Dialek Tasikmalaya

16
Telaah Semantik Leksikal Bahasa Sunda Dialek Tasikmalaya 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku- suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal “ (Q.S. Alhujuraat:13). Firman Allah SWT dalam ayat Al-Qur’an di atas memberikan pertanda bahwa keberadaan manusia yang berbangsa-bangsa dan bersuku-suku merupakan kehendak-Nya dan memang benar adanya. Dari sekian banyak bangsa di dunia salah satunya adalah bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan dari setiap suku bangsa memiliki bahasa tersendiri yang membedakannya dengan suku bangsa yang lain. Lembaga Bahasa Nasional yang melakukan penginventarisasian bahasa-bahasa di Indonesia mulai 1969 s.d 1971, dalam laporannya (1972) menyebutkan angka 418 buah bahasa; Grimes (2000) menyebutkan ada 672 buah bahasa; Summer Institute of Linguistics /SIL (2006) menyebut angka 741 bahasa; Pusat Bahasa (2008) menyebut angka 442. Keberadaan bahasa daerah berkaitan erat dengan eksistensi suku bangsa yang menggunakan bahasa tersebut. Bahasa daerah pada saat ini lebih banyak dipergunakan oleh penduduk suku bersangkutan yang kebanyakan bertempat tinggal di daerah- daerah pedalaman, ataupun kota-kota kecil, serta daerah urban.

description

Bahasa Lisan merupakan bahasa primer , sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder.

Transcript of Telaah Semantik Leksikal Bahasa Sunda Dialek Tasikmalaya

Telaah Semantik Leksikal Bahasa Sunda Dialek Tasikmalaya1.Pendahuluan

1.1Latar Belakang

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. Alhujuraat:13). Firman Allah SWT dalam ayat Al-Quran di atas memberikan pertanda bahwa keberadaan manusia yang berbangsa-bangsa dan bersuku-suku merupakan kehendak-Nya dan memang benar adanya. Dari sekian banyak bangsa di dunia salah satunya adalah bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan dari setiap suku bangsa memiliki bahasa tersendiri yang membedakannya dengan suku bangsa yang lain. Lembaga Bahasa Nasional yang melakukan penginventarisasian bahasa-bahasa di Indonesia mulai 1969 s.d 1971, dalam laporannya (1972) menyebutkan angka 418 buah bahasa; Grimes (2000) menyebutkan ada 672 buah bahasa; Summer Institute of Linguistics/SIL (2006) menyebut angka 741 bahasa; Pusat Bahasa (2008) menyebut angka 442. Keberadaan bahasa daerah berkaitan erat dengan eksistensi suku bangsa yang menggunakan bahasa tersebut. Bahasa daerah pada saat ini lebih banyak dipergunakan oleh penduduk suku bersangkutan yang kebanyakan bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman, ataupun kota-kota kecil, serta daerah urban. Kelestarian, perkembangan, dan pertumbuhan bahasa daerah sangat tergantung dari komitmen para penutur atau pengguna bahasa tersebut untuk senantiasa secara sukarela mempergunakan bahasanya dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Jika penutur suatu bahasa daerah masih berjumlah banyak, dan merekapun menurunkan bahasa daerah yang dikuasainya kepada anak-anak dan generasi remaja, maka kelestarian bahasa yang bersangkutan akan lebih terjamin dalam jangka panjang. Sebaliknya, jikalau penutur suatu bahasa daerah semakin berkurang dan tidak ada upaya regenerasi kepada generai muda, maka sangat besar kemungkinan secara perlahan-lahan akan terjadi gejala degradasi bahasa yang mengarah kepada musnahnya suatu bahasa daerah.Bahasa sunda merupakan salah satu bahasa daerah yang dituturkan oleh sekitar 27 juta orang dan merupakan bahasa dengan jumlah penutur terbanyak kedua setelah bahasa Jawa. Sesuai dengan sejarah kebudayaannya, bahasa Sunda dituturkan di kawasan selatan provinsi Banten, sebagian besar wilayah Jawa Barat (kecuali kawasan pantura yang merupakan daerah tujuan urbanisasi dimana penutur bahasa ini semakin berkurang), dan melebar hingga batas Kali Pemali (Cipamali) di wilayah Brebes, Jawa Tengah.Ada beberapa dialek dalam bahasa Sunda. Dialek (basa wewengkon) bahasa terdiri dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek Sunda-Jawa Tengahan yang mulai tercampur bahasa Jawa. Para pakar bahasa membedakan enam dialek yang berbeda. Keenam dialek tersebut adalah dialek barat, dialek utara, dialek selatan, dialek tengah timur, dialek timur laut, dan dialek tenggara.

Dialek Barat dipertuturkan di daerah Banten selatan, dialek utara mencakup daerah Sunda utara termasuk kota Bogor dan beberapa bagian Pantura, dialek Selatan adalah dialek priangan yang mencakup kota Bandung dan sekitarnya. Sementara itu dialek Tengah Timur adalah dialek di sekitar Majalengka. Dialek Timur Laut adalah dialek di sekitar Kuningan, dialek ini juga dipertuturkan di beberapa bagian Brebes, Jawa Tengah. Dan akhirnya dialek Tenggara adalah dialek sekitar Tasikmalaya bagian selatan dan Ciamis.

Dialek berhubungan erat dengan pembendaharaan leksikon. Leksikon merupakan satuan terkecil yang mengandung makna. Makna hadir dari leksikon secara otonom (semantik leksikal). Sedangkan makna kata yang hadir akibat adanya hubungan gramatikal disebut semantik kalimat. Semantik kalimat lazim disebut semantik/makna gramatikal. Istilah makna gramatikal dalam penelitian ini dapat disamakan dengan makna struktural. Makna struktural adalah makna yang muncul akibat susunan kata-kata. Ciri yang membedakan makna struktural yang diterima oleh pemakainya membentuk tata bahasa sebuah bahasa. Dengan demikian, kegramatikalan atau ketatabahasaan sebuah kalimat ditentukan oleh makna runtunan yang diterima oleh pemakainya (Parera, 1991:99).

Tujuan diadakannya peneltian ini guna menginventarisasi pembendaharaan leksikon bahasa Sunda daerah Tasikmalaya. Itu juga mencakup tataran kata, frasa, dan kalimat. Dan penelitian ini berfokus pada variasi leksikon dalam bahasa sunda. Target atau sasaran penelitian ini mencakup aspek kata, frasa dan kalimat. Oleh karena itu seperti yang sudah disinggung di atas bahwa semuanya tercakup dalam semantik leksikal dan semantik kalimat. Menurut Aminuddin (2008:19) bahwa bahasa memiliki sifat vaguenes karena makna yang terkandung di dalam suatu bentuk kebahasaan pada dasarnya mewakili realitas yang diacunya. Penjelasan secara verbal tentang aneka warna bunga mawar, tidak akan setepat dan sejelas dibandingkan dengan bersama-sama mengamati secara langsung aneka warna bunga mawar. Dengan demikian, hal tersebut bisa disebut juga makna gramatikal yang mengalami pergeseran makna dari makna leksikal. Misalnya saja kata bunga berkaitan dengan bunga-bungaan. Akan tetapi dalam frasa bunga desa akan memiliki makna yang lain. Sebelumnya, penelitian tentang semantik pernah dilakukan oleh Azhar (2008) tentang Analisis Semantik Bahasa Melayu Dialek Bandar Khalipah (tesis USU). Akan tetapi dalam bahasa Sunda penelitian sejenis disinyalir masih langka. Oleh karena itu penyelidikan bahasa mengenai telaah semantik khusunya bahasa Sunda penting untuk dilaksanakan.

1.2Rumusan Masalah

Penelitian ini akan merumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:1.Bagaimanakah semantik leksikal dalam bahasa Sunda dialek Tasikmalaya?

2.Bagaimanakah semantik kalimat dalam bahasa Sunda dialek Tasikmalaya?

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:1.Mendeskripsikan semantik leksikal dalam bahasa Sunda dialek Tasikmalaya.

2.Mendeskripsikan semantik kalimat dalam bahasa Sunda dialek Tasikmalaya.

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat:

1.Mengembangkan semantik leksikal dan semantik kalimat dalam bahasa daerah khusunya bahasa Sunda.

2.Sebagai pedoman dan pengembangan konsep bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut.2.Landasan Teori

2.1Pengertian Semantik

Semantik merupakan studi ilmiah mengenai makna. Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti tanda atau lambang. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti menandai atau melambangkan. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini adalah tanda linguistik (signe) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, yaitu yang terdiri dari (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Jadi, setiap tanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan makna. Keduanya merupakan unsur dalam bahasa (intralingual) yang merujuk pada hal-hal di luar bahasa (ekstralingual).

Pada perkembangannya kemudian, kata semantik ini disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. (Chaer, 1995).

Sebagai studi linguistik, semantik tidak mempelajari makna-makna yang berhubungan dengan tanda-tanda nonlinguistik seperti bahasa bunga, bahasa warna, morse, dan bahasa perangko. Hal-hal itu menjadi persoalan semiotika yaitu bidang studi yang mempelajari arti dari suatu tanda atau lambang pada umumnya. Sedangkan semantik hanyalah mempelajari makna bahasa sebagai alat komunikasi verbal.

Mengkaji makna bahasa (sebagai alat komunikasi verbal) tentu tidak dapat terlepas dari para penggunanya. Pengguna bahasa adalah masyarakat. Oleh karena itu studi semantik sangat erat kaitannya dengan ilmu sosial lain, seperti sosiologi, psikologi, antropologi, dan filsafat.

Relasi makna atau hubungan makna adalah hubungan kemaknaan antara sebuah kata atau satuan bahasa (frase, klausa, kalimat) dengan kata atau satuan bahasa lainnya. Hubungan ini dapat berupa kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonimi), kegandaan makna (polisemi), kelainan makna (homonimi), ketercakupan makna (hiponimi), dan ambiguitas. Secara harfiah, kata sinonimi berarti nama lain untuk benda atau hal yang sama. Sedangkan Verharr secara semantik mendefinisikan sinonimi sebagai ungkapan (dapat berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain (Verhaar, 1990).

Sinonimi dapat dibedakan atas beberapa jenis, tergantung dari sudut pandang yang digunakan. Yang harus diingat dalam sinonim adalah dua buah satuan bahasa (kata, frase atau kalimat) sebenarnya tidak memiliki makna yang persis sama. Menurut Verhaar yang sama adalah informasinya. Hal ini sesuai dengan prinsip semantik yang mengatakan bahwa apabila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun perbedaannya hanya sedikit. Selain itu, dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang bersinonim belum tentu dapat dipertukarkan begitu saja

Antonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno yang terdiri dari kata onoma yang berarti nama, dan anti yang berarti melawan. Arti harfiahnya adalah nama lain untuk benda lain pula. Menurut Verhaar antonim ialah ungkapan (biasanya kata, frase atau kalimat) yang dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan lain. Polisemi adalah satuan bahasa yang memiliki makna lebih dari satu. Namun sebenarnya makna tersebut masih berhubungan. Polisemi kadangkala disamakan saja dengan homonimi, padahal keduanya berbeda. Homonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu onoma yang berarti nama dan homos yang berarti sama. Jadi, secara harafiah homonimi dapat diartikan sebagai nama sama untuk benda lain. Secara semantis, Verhaar mendefinisikan homonimi sebagai ungkapan (kata, frase, atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain tetapi berbeda makna.

Kata-kata yang berhomonim dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu: Homonim yang: (a) homograf, (b) homofon, dan (c) homograf dan homofon. Kata hiponimi berasal dari Yunani Kuno yang terdiri dari kata onoma nama dan hypodi bawah. Secara harfiah hiponimi berarti nama yang termasuk di bawah nama lain (Verhaar, 1993). Secara semantis, hiponimi dapat didefinisikan sebagai ungkapan (kata, frase, ata kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna ungkapan lain. Istilah ambiguitas berasal dari bahasa Inggris (ambiguity) yang menurut Kridalaksana berarti suatu konstruksi yang dapat ditafsirkan lebih dari satu arti (Kridalaksana, 1982).Ambiguitas dapat terjadi pada komunikasi lisan maupun tulisan. Namun, biasanya terjadi pada komunikasi tulisan. Dalam komunikasi lisan, ambiguitas dapat dihindari dengan penggunaan intonasi yang tepat. Ambiguitas pada komunikasi tulisan dapat dihindari dengan penggunaan tanda baca yang tepat. Makna-makna dalam bahasa Indonesia dapat mengalami perubahan makna, seperti perluasan makna, penyempitan makna, penghalusan makna, dan pengasaran makna.

2.2Pengertian MaknaDi bawah ini akan dipaparkan beberapa pengertian mengenai makna menurut Kridalaksana (1993).

1.Semantik

Bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara.

2.Semantik Gramatikal

Penyelidikan makna bahasa dengan menekankan hubungan-hubungan dalam begbagai tataran gramatikal.

3.Semantik historis

Bagian dari linguistik historis yang menyelidiki perubahan makna.4.Semantik kombinatoris

Cabang semantik yang menyelidiki hubungan antara makna kalimat dan makna kata atau makna morfem yang membentuknya.

5.Semantik leksikal

Penyelidikan makna unsur unsur kosakata suatu bahasa pada umumnya.

6.Semantik semesta

Unsur dan sistem makna yang tidak terikat pada suatu bahasa apapun.

7.Semantik struktural

Istilah umum untuk pendekatan kepada semantik yang menekankan hubungan makna antara kata atau kelompok kata dan bukan pada aspek konseptual atau referensi dari makna.

8.Semantik umum

Ajaran tentang makna dalam komunikasi bahasa yang menolak ajaran Aristoteles bahwa kata hanya mempunyai satu makna leksikal.

Menurut Aminuddin (2008:52) kata makna sebagai istilah mengacu pada pengertian yang sangat luas. Sebab itu tidak mengherankan bila Ogden dan Richards dalam bukunya, The Meaning of Meaning (1983), mendaftar enam belas rumusan pengertian makna yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Adapun batasan pengertian makna dalam hal ini, makna adalah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti. Dari batasan pengertian itu dapat diketahui adanya tiga unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yakni (1) makna adalah hasil hubungan antara bahasa dengan dunia luar, (2) penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai, serta (3) perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling dimengerti.2.3Fitur-fitur Makna Leksikal

Linguistik struktural yang dikembangkan oleh Saussure selain dilatari pandangan strukturalisme dalam filsafat yang oleh Levi-Straus maupun Durkheim juga digunakan sebagai dasar dalam kajian antropologi, memiliki masa yang oleh Lyons disebutnya pre-Saussurean (Lyons, 1979:231 dalam Aminuddin, 2008:104). 2.3.1 Teori Medan Makna dan Kolokasi

Menurut Kridalaksana (1993:134) medan makna adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian bidang kehidupan atau relitas dalam alam semesta tertentu dan yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Dalam Bahasa Inggris, teori medan makna disebut juga Theory of Semantics Fields atau Field Theory. Itu berkaitan dengan teori bahwa pembendaharaan kata memiliki medan struktur yang dapat dideskripsikan secara semantik leksikal dan semantik kalimat. Teori ini dikembangkan oleh Herder (1972) dan Humboldt (1836) dalam Aminuddin (2008:108). Medan makna merupakan apa yang dibicarakan, pelibat merupakan siapa yang terlibat dalam interaksi, terkait, atau terbabit dalam suatu pembicaraan, dan sarana mengacu ke bagaimana bahasa digunakan. Setiap pemakaian bahasa atau interaksi bahasa mencakup dan melibatkan ketiga unsur situasi itu: apa, siapa, dan bagaimana. Hubungan ideologi, budaya dan situasi sebagai unsur konteks sosial adalah hubungan semiotik konotatif. Ideologi direalisasikan oleh budaya dan budaya direalisasikan oleh situasi.

2.3.2Hiponimi dan Sinonimi

Sewaktu menggambarkan hubungan makna kata yang satu dengan yang lainnya, kita mungkin dapat menemukan sejumlah kata yang memiliki kemiripan ciri acuan referen sehingga keseluruhannya dapat diberi label umum yang berlaku bagi setiap anggota yang memiliki kemiripan ciri acuan tersebut Aminudin (2008:111). Dengan kata lain ciri leksikal memiliki makna sama dalam linguistik lazim disebut sinonim. Secara terminologi umum sinonim dapat didefinisikan sebagai persamaan kata. Persamaan kata memiliki derajat leksikalitas yang setara ketika mengacu pada sebuah referen yang sama.

Dalam pelbagai bahasa disinyalir hampir dapat diidentifikasi terdapat sinonim. Pada dasarnya studi semantik memandang sinonim sebagai wujud lain dari makna leksikal. Menurut Kridalaksana (1993:198) sinonim adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain. Kesamaan itu berlaku bagi makna kata, kelompok kata, atau kalimat, walaupun umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja. Senada dengan hal itu Aminuddin (2008:111) mengemukakan bahwa sejumlah kata yang memiliki hubungan atau kemiripan ciri referen itu disebut subordinat, sedangkan julukan yang memayunginya disebut super ordinat.Hubyngan antara mawar dengan bunga disebut hiponim karena mawar adalah bagian dari bunga. Misalnya bunga dan kembang memiliki makna yang sama. Akan tetapi bunga melati dengan bunga-bungaa disebut hiponim. Itulah yang membedakan antara sinonim dan hiponim. Hubungan dalam semantik antara makna spesifik dan makna generik atau antara anggota-anggota taksonomi dan nama taksonomi lazim disebut hiponim(Kridalaksana, 1993:74).

2.3.3Antonimi

Dalam pandangan umum, banyak orang mengatakan antonimi adalah kebalikan dari sinonimi. Antonim lazim disebut lawan kata. Hubungan logika bahasa atau logika pikiran diistilahkan oleh Lyons sebagai kontradiktif. Sedangkan antonimi adalah bentuk lawan (lihat Aminuddin, 2008). Dalam pandangan pribadi penulis, prinsip antonim dapat disamakan dengan ikonisitas dalam semiotika. Sesuatu akan bermakna jika ada makna yang lainnya. Logika tersebut dapat digambarkan seperti berikut. Ketika seorang laki-laki mencintai seorang perempuan, akan bermakna jika perempuan itu membalas cintanya. Akan tetapi ketika seorang laki-laki mencintai laki-laki, menyalahi prinsip antonim atau lawan. Misalnya siang berantonim dengan malam, benar dengan salah, pulang dengan pergi, baik dengan buruk, dan sebagainya.2.3.4Homonimi

Menurut Kridalaksana (1993:76) homonimi adalah hubungan antara kata yang ditulis atau dilafalkan dengan cara yang sama. Dengan kata lain tidak memiliki hubungan makna.

3.Metodologi Penelitian

3.1Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriftif analisis. Penelitian dilaksanakan apa adanya berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada penuturnya, sehingga memberikan pemerian bahasa yang apa adanya (Sudaryanto, 1992:62).3.2Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sodonghilir Kabupaten Tasikmalaya.

3.3Teknik Pengumpulan Data

Peneliti mengumpulkan data dengan metode simak dan wawancara. Metode simak dan wawancara adalah metode dengan melakukan wawancara dan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993:133). Adapun teknik yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah teknik catat (Sudaryanto, 1993:139).3.4Teknik Analisis Data

Metode anaiisis data yang digunakan oleh penulis yaitu dengan cara menganalisis setiap kata berdasarkan pengertian makna yang dimilikinya. Dengan demikian, akan ditemukan hubungan makna leksikal. Sedangkan untuk mendeskripsikan semantik kalimat, penulis menggunakan prinsip yang dikemukakan oleh Parera (1991:100) bahwa makna sebuah kalimat ditentukan oleh makna unsur-unsur pembentuknya dan hubungan gramatikal yang terdapat dalam kalimat itu.3.5 Rencana Penelitian

Penelitian ini diharapkan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan yaitu selama enam bulan dimulai Desember 2012 sampai dengan Mei 2013. Rencana ini dibuat untuk menjaga keefektifan waktu penelitian dan menghindari waktu yang terbuang. Adanya rencana penelitian ini dimaksudkan agar penelitian selesai tepat waktu. Adapun rencana kegiatannya tercantum pada tabel di bawah ini.

NoKegiatanTahun 2012/ 2013

Bulan

DesemberJanuariFebruariMaretAprilMei

1Rancangan proposal dan bimbingan usulan penelitianV

2Persiapan ujian proposal dan VV

perbaikan ujian proposal

3Penelitian tesisVVVV

4Pengolahan data serta menyusun laporan penelitianVVVV

5 Tahap bimbingan VVVV

6Tahap akhir dan ujian tesisV

Daftar PustakaAminuddin, 2008. Semantik Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Chaer, Abdul. 1995. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta

Grimes, Barbara dalam Summer Institute of Linguistics (SIL). 2000. Geographical Linguistics. http://www.yahoo.com. Diunduh 15 Januari 2013

Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia

Parera, J.D., 1991. Teori Semantik. Jakarta: Airlangga

Sudaryanto, 1992. Metode Linguisti. Yogyakarta: Gajah Mada University

Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Wacana. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Verhaar, J. W. M. 1990. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press