Telaah Hermeneutis Terhadap Q.S. Al Ahzab Ayat 59

15
BAB I Pendahuluan Al Quran diyakini sebagai kitab suci, yang mampu untuk menjawab segenap problematika kehidupan umat manusia, dalam penjelasannya masih bersifat global. Lain dari itu, al Quran lahir di kultur Arab, yang notabene bagi orang-orang yang berada di luar wilayah dan komunitas tersebut memerlukan seperangkat metodologi tertentu untuk dapat memahami apa yang dimaksud dari teks-teks suci tersebut. Dalam peradaban Islam, setidaknya telah dikenal metodologi penafsiran yang diakui keabsahannya. Petama tafsir Quran bil Quran. Yaitu suatu metode menafsirkan teks-teks suci tersebut dengan mendialogkannya antar teks suci Quran sendiri yang memiliki kesemiripan makna. Kedua tafsir bil ma’tsur, yaitu suatu pendekatan dalam penafsiran Quran yang dilakukan oleh Rasul. Tafsir model ini merupakan penjelasan rasul atas teks-teks suci melalui hadits-haditsnya atas beberapa teks suci yang dimungkinkan sulit dipahami umat Islam dewasa itu. Kemudian pasca wafatnya rasul, maka umat Islam dituntut untuk mencurahkan segenap kemampuannya baik dengan mencontoh tradisi rasul maupun berijtihad dengan penalaran logis dalam menafsirkan teks-teks tersebut yang disebut dengan tafsir bil ra’yu. Dengan berangkat dari prinsip dasar universalitas Islam yang berarti juga universalitas rujukan otentik umat Islam yakni al Quran, maka

description

agama

Transcript of Telaah Hermeneutis Terhadap Q.S. Al Ahzab Ayat 59

BAB IPendahuluan

Al Quran diyakini sebagai kitab suci, yangmampu untuk menjawab segenap problematikakehidupan umat manusia, dalam penjelasannya masihbersifat global. Lain dari itu, al Quran lahir di kulturArab, yang notabene bagi orang-orang yang berada diluar wilayah dan komunitas tersebut memerlukanseperangkat metodologi tertentu untuk dapatmemahami apa yang dimaksud dari teks-teks sucitersebut. Dalam peradaban Islam, setidaknya telahdikenal metodologi penafsiran yang diakuikeabsahannya. Petama tafsir Quran bil Quran. Yaitusuatu metode menafsirkan teks-teks suci tersebutdengan mendialogkannya antar teks suci Quransendiri yang memiliki kesemiripan makna. Keduatafsir bil ma’tsur, yaitu suatu pendekatan dalampenafsiran Quran yang dilakukan oleh Rasul. Tafsirmodel ini merupakan penjelasan rasul atas teks-tekssuci melalui hadits-haditsnya atas beberapa teks suciyang dimungkinkan sulit dipahami umat Islamdewasa itu. Kemudian pasca wafatnya rasul, makaumat Islam dituntut untuk mencurahkan segenapkemampuannya baik dengan mencontoh tradisi rasulmaupun berijtihad dengan penalaran logis dalammenafsirkan teks-teks tersebut yang disebut dengantafsir bil ra’yu. Dengan berangkat dari prinsip dasaruniversalitas Islam yang berarti juga universalitasrujukan otentik umat Islam yakni al Quran, maka

Quran harus mampu diterima disetiap tempat dankurun waktu. Dalam praktiknya, Quran bukan hanyamendatangi umat manusia untuk memberikanpetunjuk, melainkan juga mengundang umat manusiauntuk berdialog agar memperoleh legitimasi atassegenap tindakannya baik yang beraspek ritual formalmaupun aspek sosial. Ketika Quran mendatangi umatmanusia untuk menjadikan dirinya sebagai pedomanhidup maka ada tuntutan di dalamnya agar yangdidatangi menyesuaikan diri dengan tuntutannya itu.Namun sebaliknya ketika ia mengundang umatmanusia untuk berkonsultasi atas persoalan hidupnyaterutama dalam bidang sosial, maka ada peluangdisitu terdapatnya akselerasi antara peradaban dankebudayaan umat manusia dibelahan bumimanapun,dengan prinsip-prinsip dasar yang ia bawa,yakni kebenaran yang universal. Upaya-upaya untuk memahami Quran ini telahdimulai sejak ia diturunkan. Setidaknya, jika diurut,maka telah beberapa kali ia mengalami interpretasimakna, pertama ruh qudus (jibril) yangmembahasakannya dari Allah kepada Muhammad.Kedua Muhammad sendiri sebagai penyampaidengan lisan Arab. Sampai akhirnya kita yang hidupdi masa sekarang, sudah tentu perlu memahamiQuran sedemikian rupa sehingga kita tidak pernahkehilangan relevensi kebenaran dari dulu hinggasekarang, dimana problematika hidup semakinkompleks seiring meningkatnya peradaban umatmanusia. Salah satu metodologi yang saat ini dicobakembangkan adalah hermeneutika sebagai upaya

pembenaran tradisi masa lampau untuk memperolehkesejatian kebenaran dimasa kini dan mendatang, halinilah yang kemudian dibahasakan sebagai upayapemahaman atas teks, konteks dan kontekstualisasi. Hermeneutika dianggap cukup refresentatifsebagi metodologi interpretasi makna agar diperolehsuatu pemahaman yang holistik dan komprehensifatas suatu teks atau simbol. Hal ini berangkat dari tigaaktivitas dasar dalam proses hermeneutika yaknitanda atau pesan, perantara dan penyampaian pesanitu oleh perantara yang diolah dalam dataran pilsafat.Dilihat dari aktivitasnya ini maka dapat dipahamibahwa proses penafsiran ini dilakukan atas teks-teksatau pesan yang memang masih memerlukan suatupenjelasan, bukan mengenai simbol-simbol yangdianggap sudah lazim.

Interpretasi Quran tidak pernah kering darialasan. Selain karena dia dilahirkan di Arab dengansuasana, kultur, bahasa dan lain sebagainya yangmembawa identitas Arab, juga karena kurunwaktunya yang cukup jauh untuk sampai ke saat inidi mana tingkat persoalan hidup umat manusiasemakin kompleks, belum lagi ditambah denganperbedaan kultur umat Islam di beberapa belahandunia dengan kultur Arab. Dalam pendekatan hermeneutka, kita akanmendapati pada umumnya dua model pemikiran.Pertama, hermeneutika transendental, yaknihermeneutika yang menilai dan menganggap bahwateks suatu simbol itu bediri sendiri atau otonom,.Dengan pemikiran ini maka penafsir tidak memiliki

peluang untuk mendapat tambahan informasi darisituasi dan kondisi historis maupun psikologispengarang dan lingkungan ketika teks inidiungkapkan. Dan sebaliknya hermeneutika historispsikologis, menggunakan tambahan informasitersebut sebagai upaya untuk memperoleh akurasidan validitas pemahaman atas teks.

Dengan menggunakan metode hermeneutika,dalam makalah sederhana ini dicoba untukmenguraikan interpretasi makna dari QS. 33: 59tentang etika berpakaian bagi perempuan beriman,yang dewasa ini telah melahirkan polemik seputarwajib tidaknya menggunakan jilbab, atau melihat haltersebut dari segi substansi belaka. Bahwa ayat inisesngguhnya berupa semangat untuk menjadi pemiculahirnya era baru dalam peradaban manusia yaknipakaian sebagai bentuk perwujudan masyarakat yangberadab dan beretik.

BAB IIQS. 33: 59 dalam Timbangan Hermenutis

$pkš‰ r' ¯» tƒ•ÓÉ< ¨Z9$#@è%y7Å_ºurø— X{y7Ï?$uZt/ urÏä !$|¡ ÎSurtûü ÏZÏB÷s ßJ ø9$#

šúü ÏRô‰ãƒ£ Í̀köŽ n=tãÏ̀B£ Î̀gÎ6• Î6» n=y_4y7Ï9ºsŒ#’oT÷Šr&br&z̀ øùt• ÷èミx sù

tûøï sŒ÷s ãƒ3šc% x. urª!$##Y‘q àÿxî$VJŠÏm§‘ÇÎÒÈ

Secara literal ayat ini dapat diterjemahkan demikian :“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anakperempuanmu dan istri-istri orang beriman,’hendaklahmereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal,sehingga mereka tidak diganggu, dan Allah mahapengampun lagi maha penyayang.”

Ayat ini, pada umumnya diklasifikasikan kedalam tuntunan etika berpakaian. Quraish Shihab,misalnya, memunculkan ayat ini dalampembahasannya mengenai pakaian dalam tafsirtematisnya (wawasan al Quran). Dari terjemahan iniuntuk sementara dapat dipahami bahwa ayat inimerupakan perintah Allah—hai nabi--kepada NabiMuhammad agar menyampaikan—katakanlah-- suatuetika berpakaian bagi wanita beriman, untukmenjulurkan jilbabnya sehingga menutupi tubuhmereka. Pemahaman ini berangkat dari kenyataan

bahwa yang berbicara sehingga terwujudnya Quranadalah Allah sendiri, dan lawan bicaranya ialah NabiMuhammad sebagai utusan Allah. Sedangkan yangdikenai teks ini sebagai objek adalah wanita beriman,baik itu keluarga nabi (istri-istri dan anak-anakperempuannya) maupun wanita yang beriman padaumumnya. Hal ini terindikasikan dari teks itu sendiri,bahwa nabi adalah seorang yang pertama kalimengimani ke Esa-an Allah dan tentu mengimani atassegala perintahnya. Kemudian istri-istri nabi dapatdipastikan sebagai wanita pilihan yang memilikikeimanan yang kuat pula, demikian pula anak-anakperempuannya merupakan pengikutnya yang setiadalam keimanan, sehingga terekam dalam sejarah,Rukayah, putri nabi yang menikah dengan anaknyaAbu Lahab, harus berpisah karena perbedaankeyakinan. Selanjutnya istri-istri orang beriman,adalah keniscayaan bahwa mereka sebagai bagian dariorang beriman pula. Dan muatan dari teks ini ialahanjuran untuk mengulurkan jibabnya sehinggamenutupi tubuh. Jilbab pada umumnya, seperti yangdiungkapkan Isfahani, Zamakhsyari, dan al Asmawi,dipahami sebagai pakaian luar atau mantel yangmenutupi tubuh, bukan sekedar penutup kepala ataupenutup muka.

Analisis sosio histrris teks

Pada dasarnya, ketika teks ini terlahir yaitusebagai antitesis atas situasi dan kondisi umat IslamArab dewasa itu. Di mana sebetulnya pemakaian

jilbab adalah merupakan tradisi Arab yang lebih tuadari ajaran rasul itu sendiri. Namun kemudian ketikaterjadi penegasan dari Allah untuk mengulurkanjilbabnya tersebut merupakan upaya penegasan etikasebagai pembeda antara perempuan beriman dan diluar itu. Maka pemahaman yang mendasarkan bahwaterlahirnya ayat ini sebagai pembeda antara wanitamerdeka dengan budak untuk saat ini menjadi tidakrelevan, di mana situasi tersebut sebetulnya dengankembali diembannya risalah keislaman oleh nabiAllah merupakan upaya pembebasan itu sendiri daridehumanisasi. Selanjutnya dijelaskan dengan pemakaian jilbabsedemikian rupa akan terhindar dari gangguan. Padaumumnya para mufasir melandasi terlahirnya ayat iniatas peristiwa dan situasi di mana pada saat itu diArab, rumah-rumah begitu sempit sehingga untukurusan ‘hajat’ harus ke luar dari lingkungan rumah.Dan saat itu, terdapat suatu kebiasaan buruk di manamasih adanya status wanita sebagai sahaya yangdianggap ‘boleh’ untuk di ganggu. Sebelum adanyaayat ini, cara berpakaian wanita Arab antara wanitamerdeka dengan sahaya adalah sama makamerekapun berpeluang untuk mendapat gangguan.Persis seperti peristiwa penghinaan yang dilakukanYahudi Bani Qainuqa terhadap wanita berimandengan menarik pakaiannya. Kemudian ungkapan terakhir yang didahulukan dengan pernyataan bahwa Allah mahapengampun baru kemudian maha penyayang,memperlihatkan bahwa Allah mengampuni perilaku

sebelumnya sebelum ayat ini diturunkan dan karenakemurahan dan sifatnya yang penyayang makapengampunan itu diperoleh. Secara keseluruhan ayatini mengikat wanita yang beriman, dan karenauniversalitasnya maka juga berlaku untuk wanitaberiman dewasa ini, di manapun ia berada. Jika kita berangkat dari pemikiran bahwa alQuran yang datang kepada kita agar kitamengikutinya, maka penafsiran yang terjadi adalahsecara literal tadi. Di mana setiap wanita beriman dimanapun mesti mengikuti apa yang digambarkandalam teks tersebut. Namun hal ini mengabaikan satuhal, bahwasannya peradaban dan kultur setiap bangsaadalah berbeda. Dan perbedaan ini bukanlah suatu halyang buruk sebagai mana direkam dalam al Quransendiri sebagai peluang untuk saling mengenal.Setiap suku bangsa yang berperadaban maju padaprinsipnya memiliki standar nilai sendiri dalammengukur norma dan etika kesopanan, termasuk etikaberpakaian. Bagi mereka yang berperadaban majuyang harus dilakukan ialah pemahaman atas ayat inisebagai landasan etika global yang menjaminterwujudnya tatanan hidup yang satu sama lain salingmerasa aman. Dan hal tersebut merupakan wujud darikeimanannya dalam kehidupan bersosial.

Konstekstualisasi teks

Saat ini dimana peran seseorang sebagai budaksecara nyata sudahlah hilang. Maka keharusanpemakaian jilbab sebagai pembeda antara wanita

merdeka yang bererajat tinggi dengan wanita sahayaadalah tidak benar. Melainkan harus dibaca sebagaipembeda antar mereka yang beriman danberperadaban tinggi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan sehingga tidak menerbitkan perasaannegatif dari orang lain, dengan wanita yang belummemiliki kesadaran atas pentingnya berpakain sopansebagai wujud dari iman dan peradabannya itu. Seiring tergesernya pemaknaan terhadap kelassosial antara budak dan tuan, maka untuk erasekarang tuntutan dari situasi menghendaki adanyaperan-peran wanita dalam kelas pekerjaan tertentuyang dulu dianggap tabu atau lebih maskulin. Dengandemikian maka pembacaan atas kemestian untukmembungkus seluruh tubuhnya dengan kain tersebutmenjadi tidak pas. Melainkan mesti dipahami denganmemberikan peluang untuk wanita karir agar ia tidakmeninggalkan tuntutan iman untuk berpakaian yangsopan dan tuntutan karir. Maka pemahaman sebagaikeharusan berpakaian yang layak dan sopan menjadilebih universal dibandingkan dengan pemahamanyang literer. Di Indonesia misalnya, memiliki standarnasional mengenai busana wanita nasional yangmemenuhi standar kesopanan, yang tentu sajaberbeda dengan gaya Arab yang berbeda pula kulturdan wataknya atau suku bangsa lainnya. Dalam hal inipenyusun--dengan megharap ampunan dan rahmatAllah--menilai bahwa busana nsional tersebut baikdan sopan. Tentu saja bagi beberapa suku pedalamanyang masih belum mengenal pakaian secara lengkap,

harus memahami makna dasar dari Islam, dan isipesan ini terdahulu sebagi landasan etika berpakaian.Mereka nantinya akan diarahkan untuk memenuhipanggilan quran ini sedemikian rupa sehingga merekadibawa ke alam peradaban sebagaimana peran Islamitu sendiri dan akhirnya mereka berpakaian tidakmenimbulkan kejengahan dari publik mapun lawanbicaranya. Prinsip inilah yang disebut denganmanusia mendatangi al Quran untuk beronsultasi. Demikianlah, maka bagi beberapa wanita yangmenghindarkan diri dari berpakaian yang sopan danmenimbulkan perasaan hormat akan mendapat celaan(gangguan), dimanapun ia berada, baik orangIndonesia, Arab maupun Eropa. Termasukmengenakan pakaian yang bukan pada tempatnya,karena di era sekarang pada umumnya manusiamembagi peran dirinya dalam ruang-ruang tertentudengan kemestian tertentu pula yang sudah dianggaplazim keberadaannya. Dan yang lebih penting ialahpemahaman atas penghargaan Allah kepadahambanya yang beriman agar ia menunjukankesejatiannya dengan berbeda dengan mereka yang diluar sistem keimanan. Bukan sekedar tradisi lokalArab dewasa itu. Maka dengan demikian kita patutmenghargai pula dan bangga atas panggilannya untukmenjadi bagian dari mereka yang mendapat anugerahperadaban yang tinggi dan menciptakan tatanankehidupan yang saling menghargai sehingga bentukgangguan yang dikhawatirkan timbul sebagaimanateks ini berbicara menjadi tidak lagi berarti.

Dalam dialog tentu saja bersifat dua arah. Dansatu sama lain saling mempengaruhi. Ketika al Quranmendatangi umat manusia, maka perannya dominansebagai penentu perubahan. Berbeda ketika manusiayang datang kepadanya untuk berdialog maka peranal Quran adalah memberikan legalitas kepadamanusia. Dalam hal ini tidaklah ada satu pihak punyang berada dalam posisi salah sebab dua prinsip taditidaklah dapat kita pilih salah satu melainkan akanterjadi keduanya dalam situasi yang berbeda. Persis seperti memahami ayat tadi secaratekstual, maka akan terasa betapa al Quran bersikapkaku dan tidak mudah dicerna bagi umat manusiasecara menyeluruh karena perbedaan kultur, wilayahdan lain sebagainya. Namun ketika kita berada dalamruang konteks dan kontekstualisai ayat tersebut, makakita umat Islam yang berada jauh dari Arab, memilikipeluang pembenaran atas model dan perilakukagamaan kita yang lebih mempribumi, selamamenjunjung tinggi prinsip etika kesopanan bersama. Al Quran memang diyakini sebagai kitabrujukan, dan karenanya memiliki muatan dalamdimensi hukum, sehingga lahirlah ayat-ayat ahkam,yang maksudnya ayat-ayat yang memiliki muatantuntutan hukum. Dalam hal ini terdapat juga ayat-ayatyang sifatnya tuntunan yang bukan berarti didalamnya ada muatan kewajiban. Dalam filsafathukum Islam (Ushl Fiqh) al Quran merupakan sumberotentik pertama dalam pengambilan hukum bagimukallaf.

Dengan pemahaman demikian, makapemakalah menilai bahwa dalam ayat ini tidakterdapat muatan hukum yang mewajibkan bagiwanita beriman untuk selalu mengenakan jilbab yangmenutupi tubuhnya dengan tidak mempertimbangkantempat waktu dan karir wanita tersebut. Hal yangnampak adalah anjuran atau tuntunan untukmelakukan suatu tindakan prepentif agar terhindardari gangguan maupun sebagai identitas dirinyasebagai wanita yang beriman, berperadaban dan yangberetika tinggi.

BAB IIPenutup

Sebagai kesimpulan dari pembahasan ini, makadapat disimpulkan bahwa ayat ini berbicara tentangetika berpakaian bagi wanita beriman. Yang jikadipahami dengan prinsip kontekstualisasi dari tekstersebut maka setiap wanita beriman dengan latarbelakang budaya dan wilayah yang berbeda dengankultur Arab tidak kehilangan akselerasinya dengansemangat al Quran yang universal. Selanjutnya dipahami bahwa, dari ayat tersebutsecara langsung tidak terdapat efek hukum yangmewajibkan wanita beriman di wilayah dan kulturberbeda untuk selalu mengenakan pakaiansebagaimana wanita beriman Arab.

Sumber BacaanAbdul Muktasim-Sahiron Syamsudin (Ed).

2002 Studi Al Quran Kontemporer, Yogyakarta:Tiara Wacana.Abul A’la Al Maududi

1993 Al Hijab. Bandung: Gema Risalah Press

Fakhrudin Faiz.2003 Hermeneutika Qurani. Yogyakarta: Qalam.

Farid Esack.1997 Al Quran, Liberalisme, Pluralisme :Membebaskan yang Tertindas.

Bandung : Mizan.Harun Nasution.

2000 Islam Rasional. Bandung: Mizan.Hasan Hanafi

2003 Bongkar Tafsir: Liberalisasi, Revolusi,Hermeneutik. Yogyakarta: Prisma Sophie.

Husein Shahab 2002 JILBAB Menurut Al Quran dan As Sunah.Bandung : Mizan.Josef Bleicher

2003 Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutikasebagai metode Filsafat dan Kritik.Yogyakarta: Pajar Pustaka.

Komarudin Hidayat2004 Menafsirkan Bahasa Tuhan. Bandung :

Teraju Mizan.Muhammad Said Al Asmawi

2003 Kritik Atas Jilbab. Jakarta: JIL.Quraish Shihab

2000 Wawasan Al Quran. Bandung: Mizan._______________

2005 Jilbab. Jakarta: Lentera Hati