TEKNIK PENANGKARAN DAN KUALITAS SUARA CUCAK … · DAFTAR GAMBAR. 1 Struktur organisasi pengelolaan...

36
TEKNIK PENANGKARAN DAN KUALITAS SUARA CUCAK RAWA (Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789) DI MEGA BIRD AND ORCHID FARM, BOGOR DINI AYU LESTARI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Transcript of TEKNIK PENANGKARAN DAN KUALITAS SUARA CUCAK … · DAFTAR GAMBAR. 1 Struktur organisasi pengelolaan...

TEKNIK PENANGKARAN DAN KUALITAS SUARA CUCAK

RAWA (Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789) DI MEGA BIRD

AND ORCHID FARM, BOGOR

DINI AYU LESTARI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Teknik

Penangkaran dan Kualitas Suara Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus Gmelin,

1789) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor adalah benar karya saya dengan

arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada

perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Dini Ayu Lestari

NIM E34100036

ABSTRAK

DINI AYU LESTARI. Teknik Penangkaran dan Kualitas Suara Cucak Rawa

(Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor.

Dibimbing oleh BURHANUDDIN MAS’UD dan JARWADI BUDI HERNOWO.

Upaya konservasi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan populasi

cucak rawa (Pcynonotus zeylanicus) di alam melalui penangkaran. Identifikasi

teknik penangkaran, ukuran keberhasilan, teknik pelatihan suara dan sebaran

kualitas suara perlu dilakukan untuk menilai keberhasilan penangkaran cucak

rawa. Penelitian dilakukan di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor pada Maret

sampai April 2014. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan kuantitaif. Jenis

kandang cucak rawa terdiri dari kandang pembesaran, kandang reproduksi, dan

inkubator. Pakan yang diberikan pada cucak rawa pisang kepok, pepaya, pur, dan

jangkrik. Jenis penyakit yang pernah di derita cucak rawa yakni diare, feses

berwarna putih, feses berwarna hijau, flu, dan kaki seperti lumpuh. Persentase dan

kriteria keberhasilan penangkaran cucak rawa meliputi daya tetas telur sedang

(68.69%), tingkat perkembangbiakan tinggi (77.38%), dan angka kematian rendah

(10.34%). Teknik pelatihan suara yang dilakukan oleh pengelola yakni dengan

mendekatkan kandang cucak rawa yang ingin dilatih dengan kandang cucak rawa

pelatihnya. Sebaran kualitas suara cucak rawa bervariasi.

Kata kunci: cucak rawa, penangkaran

ABSTRACT

DINI AYU LESTARI. Captive Breeding Technique and Song Quality of Straw

Headed Bulbul (Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789) in Mega Bird and Orchid

Farm, Bogor. Supervised by BURHANUDDIN MAS’UD and JARWADI BUDI

HERNOWO.

The effort which can be established to save straw headed bulbul

(Pcynonotus zeylanicus) that has decreased population is ex-situ conservation.

Captivation technique, success indicator, voice training techniques performed by

manager and distribution sound quality of straw headed bulbul varies need to be

identified in order to find out the success rate in captivating straw headed bulbul.

This research was conducted in Mega Bird and Orchid Farm, Bogor from March

to April 2014. Descriptive and quantitative data analysis was applied in this

research. The cage consist of growing cage, reproduction cage, and incubator.

Foods given to the bird were banana, papaya, voer and cricket. The types of

diseases recorded were diarrhea, white-colored feces, green-colored feces, flu, and

paralyzed feet. The criteria and success rate in captivating were consist of

medium-scaled egg hatching rate (68.69%), high breed rate (77.38%), and low

mortality rate (10.34%). Song training techniques performed was close the straw

headed bulbul cage that want to be trained with a cage of straw headed bulbul

coach. Distribution sound quality of straw headed bulbul was varies.

Keywords: captivity, straw headed bulbul

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DINI AYU LESTARI

DEPARTEMEN SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

TEKNIK PENANGKARAN DAN KUALITAS SUARA CUCAK

RAWA (Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789) DI MEGA BIRD

AND ORCHID FARM, BOGOR

Judul Skripsi : Teknik Penangkaran dan Kualitas Suara Cucak Rawa

(Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789) di Mega Bird and Orchid

Farm, Bogor

Nama : Dini Ayu Lestari

NIM : E34100036

Disetujui oleh

Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS

Pembimbing I

Dr Ir Jarwadi Budi Hernowo, MScF

Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir H Sambas Basuni, MS

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan sebagai syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Departemen Konservasi Sumberdaya

Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Tema yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah penangkaran,

dengan judul Teknik Penangkaran dan Kualitas Suara Cucak Rawa (Pycnonotus

zeylanicus Gmelin, 1789) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor.

Karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik karena tidak luput dari

dukungan berbagai pihak baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Penghargaan dan terimakasih diberikan kepada Bapak Dr Ir Burhanuddin Mas’ud,

MS dan Dr Ir Jarwadi Budi Hernowo, MScF sebagai dosen pembimbing yang

dengan sepenuh hati mendukung dan senantiasa memberikan kritik dan saran.

Diucapkan juga terimakasih kepada Bapak Prasetyo Hardiono, Ibu Tri

Ruspiyani, Lucky Indah Setyani, Anniza Dian Pertiwi dan keluarga besar yang

selalu bermurah hati untuk mendoakan penulis selama menempuh pendidikan dan

mencari ilmu pengetahuan. Penghargaan penulis juga sampaikan kepada seluruh

staf pengelola penangkaran Mega Bird and Orchid Farm yang telah membantu

selama pengumpulan data karya ilmiah ini. Ungkapan terimakasih juga

disampaikan kepada Nurul Rahayu, SSi, sahabatku 274, ami, dayang, estu, qiqin,

dan penghuni asrama putri darmaga (APD), teman-teman KSHE 47 dan pihak-

pihak lain yang telah berpartisipasi dalam mensukseskan karya ilmiah ini secara

tidak langsung yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Juli 2014

Dini Ayu Lestari

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Tempat 2

Bahan dan Alat 2

Jenis dan Metode Pengumpulan Data 2

Prosedur Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Teknik Penangkaran 5

Teknik Pelatihan Suara dan Sebaran Kualitas Suara 20

SIMPULAN DAN SARAN 22

Simpulan 22

Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 23

DAFTAR TABEL

1 Jenis data dan metode pengumpulan data 3 2 Analisis kuantitatif pakan 4 3 Analisis faktor keberhasilan penangkaran 5 4 Populasi cucak rawa April 2014 berdasarkan jenis kelamin dan kelas

umur 6 5 Jenis, ukuran, konstruksi, dan fasilitas kandang di MBOF 7 6 Fasilitas kandang cucak rawa di penangkaran MBOF 9 7 Jenis pakan dan minum cucak rawa di MBOF 12 8 Rata-rata jumlah konsumsi dan tingkat palatabilitas 13 9 Kandungan gizi pakan cucak rawa 13 10 Konsumsi pakan cucak rawa di MBOF 14 11 Riwayat penyakit yang pernah diderita cucak rawa di MBOF 15

12 Faktor pembeda cucak rawa jantan dan betina 16 13 Penentuan jenis kelamin cucak rawa di MBOF 16 14 Perbandingan pertumbuhan anakan cucak rawa di MBOF 19 15 Persentase tingkat keberhasilan penangkaran cucak rawa di MBOF

periode tahun 2013 sampai 2014 19 16 Klasifikasi harga jual cucak rawa di MBOF 20 17 Karakteristik pola suara cucak rawa di penangkaran MBOF 21 18 Wave form suara cucak rawa di penangkaran MBOF 22

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur organisasi pengelolaan MBOF 6 2 Suhu dan kelembaban di dalam kandang reproduksi 11

3 Topografi sayap burung 15 4 Pasangan cucak rawa, A) jantan, B) betina 16 5 Sketsa pasangan cucak rawa. A) jantan, B) betina 17 6 Piyik cucak rawa umur lima hari 18

7 Anakan cucak rawa umur dua minggu 18

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Burung cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789) tergolong dalam

famili Pycnonotidae yang sering disebut merbah atau cucak-cucakan. Menurut

Iswantoro (2008) dan Turut (1999) famili ini tergolong dalam burung pengicau

yang memiliki suara merdu, sehingga burung ini sangat digemari dan dicari para

penggemar burung.

Holmes (1995) dalam BirdLife International (2001) melaporkan bahwa

penyebab utama penurunan populasi cucak rawa karena perburuan liar, sehingga

cucak rawa telah menjadi satwa peliharaan di Indonesia. Iswantoro (2008)

menambahkan bahwa populasi cucak rawa menurun karena rusaknya ekosistem

hutan dan habitat alaminya. Dampaknya adalah burung ini menjadi langka di alam

dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi kepunahan jika tidak ada upaya

pelestarian yang tepat dan berkelanjutan.

Collar et al. (1994) dalam MacKinnon et al. (2010) menggolongkan cucak

rawa dalam status rentan. International Union for Conservation of Nature and

Natural Resources (IUCN) versi 3.1 tahun 2014 menyatakan cucak rawa dalam

status rentan (vulnerable). Convention on International Trade in Endangered

Species of wild fauna and flora (CITES) pada tahun 1998 menyatakan cucak rawa

termasuk dalam kategori Appendix II yaitu jenis burung yang perlu diatur dan

dibatasi perdagangannya, serta perdagangannya hanya diperbolehkan dari hasil

penangkaran (breeding) (Iswantoro 2008). Menurut Sukmantoro et al. (2006)

peraturan perundang-undangan di Indonesia belum menetapkan cucak rawa

sebagai satwa yang dilindungi. Gunarso et al. (2009) menambahkan bahwa

spesies ini tidak dilindungi di Indonesia, namun diperlukan upaya konservasi dan

pelarangan perburuan cucak rawa di habitat alaminya.

Upaya konservasi yang dapat dilakukan dalam meningkatkan populasi

cucak rawa di luar habitat alaminya salah satunya melalui konservasi ek-situ.

Tujuan upaya konservasi ek-situ melalui penangkaran adalah meningkatkan

populasi cucak rawa dengan tetap menjaga kemurnian genetiknya (Mas’ud 2002).

Menurut Setio dan Takandjandji (2007) kegiatan penangkaran tidak hanya untuk

kegiatan konservasi jenis dan peningkatan populasi, tetapi juga dapat

dimanfaatkan untuk kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengembangan wisata.

Kegiatan penangkaran dilandasi oleh Peraturan Pemerintah No. 7 tahun

1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta Peraturan Pemerintah

No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar yang

merupakan bagian dari upaya pemanfaatan jenis flora-fauna liar dengan tujuan

agar dapat dimanfaatkan secara lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat (Setio dan Takandjandji 2007).

Penangkaran yang berhasil mengembangbiakan cucak rawa salah satunya

adalah penangkaran Mega Bird and Orchid Farm (MBOF), Bogor, Jawa Barat.

Berdasarkan pemikiran tersebut penelitian mengenai teknik penangkaran cucak

rawa di MBOF penting dilakukan untuk mengidentifikasi teknik penangkaran dan

ukuran keberhasilan penangkaran. Identifikasi teknik pelatihan suara dan sebaran

2

kualitas suara cucak rawa di MBOF dinilai penting untuk dilakukan karena

tingginya permintaan cucak rawa di MBOF.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi teknik penangkaran, ukuran

keberhasilan penangkaran, teknik pelatihan suara dan sebaran kualitas suara cucak

rawa di MBOF.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat menjadi rekomendasi dan evaluasi dalam upaya

pengembangan penangkaran cucak rawa, khususnya di penangkaran MBOF,

Bogor, Jawa Barat.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2014.

Penelitian ini dilaksanakan di penangkaran Mega Bird and Orchid Farm (MBOF)

yang berlokasi di Desa Cijujung Tengah, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor,

Jawa Barat.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan sebagai objek penelitian adalah cucak rawa yang

terdapat di MBOF. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis,

kamera, panduan wawancara, termometer dry-wet, timbangan pegas, timbangan

manual, penggaris, jangka sorong, recorder dan microphone, program analisis

suara burung yakni Gold Wave versi 5.6 dan Raven Pro versi 1.4.

Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, sedangkan

metode pengumpulan data melalui pengamatan langsung dan pengukuran, teknik

wawancara terpadu serta penulusuran dokumen/ studi literatur (Tabel 1).

3

Teknik penangkaran

Pengelolaan penangkaran dilakukan dengan pengamatan langsung di

lapangan dan wawancara pengelola. Data yang diambil untuk mengetahui faktor-

faktor pengaruh keberhasilan penangkaran cucak rawa adalah :

1. Teknik adapatasi satwa meliputi : proses perlakuan satwa dan lama waktu

adaptasi.

2. Sistem perkandangan meliputi : jenis kandang, ukuran dan konstruksi

kandang, peralatan dan perlengkapan kandang, perawatan dan sanitasi

kandang serta suhu dan kelembaban di dalam kandang.

3. Manajemen pakan meliputi : jenis pakan, jumlah pakan, sumber pakan,

waktu pemberian pakan, cara pemberian pakan, dan frekuensi pemberian

pakan, jumlah konsumsi, tingkat palatabilitas, konsumsi protein dan

konsumsi energi.

4. Manajemen kesehatan dan perawatan meliputi : jenis penyakit yang pernah,

sedang, dan sering diderita serta pengobantannya, serta perawatan pasca

susut bulu (moulting).

5. Manajemen reproduksi meliputi : sumber dan jumlah bibit, penentuan jenis

kelamin, pemilihan bibit/induk dan penjodohan, seks ratio, pengaturan

peneluran atau penetasan, pengasuhan atau pembesaran piyik dan anakan.

6. Ukuran keberhasilan penangkaran meliputi persentse daya tetas telur,

tingkat perkembangbiakan, dan persentase angka kematian.

7. Pemanfaatan atau pengelolaan hasil meliputi harga jual, cara penanganan

satwa yang akan dijual, dan proses pengiriman.

Teknik pelatihan suara dan sebaran kualitas suara

Data sebaran kualitas suara dikelompokkan kedalam beberapa kategori

suara, yakni suara cucak rawa master (pelatih), alam, dan cucak rawa yang telah

Tabel 1 Jenis data dan metode pengumpulan data

No Data yang diambil

Jenis data Metode pengumpulan data

Primer Sekunder

Pengamatan

dan

pengukuran

Wawancara Literatur

i Teknik penangkaran

Teknik adaptasi v v v

Sistem perkandangan v v v

Manajemen pakan v v v v

Manjemen kesehatan v v v

Manajemen reproduksi v v v

Ukuran keberhasilan v v v

Pemanfaatan hasil v v v

ii Identifikasi pola suara v v v

iii Data pendukung

Sejarah, Asal bibit v v

Organisasi

penangkaran v v

Populasi v v

4

dilatih berkicau di penangkaran (berhasil dan belum berhasil dilatih). Perekaman

suara dilakukan pada pagi hari yakni pukul 07.00-09.00 WIB. Hal ini dikarenakan

menurut Lundberg dan Atallo (1992) dalam Rusfidra (2004) bahwa puncak

aktivitas berkicau pada burung pada umumnya terjadi pagi hari dan cenderung

akan menurun pada siang dan sore hari. Suara cucak rawa direkam dengan

menggunakan recorder dan microphone kemudian dilakukan proses editing

menggunakan program gold wave 5.6 dan program raven pro versi 1.4 untuk

mengidentifikasi pola suara. Perekaman pola suara diulang sebanyak 3 kali pada

5 sampel burung, yaitu 1 ekor cucak rawa master (pelatih), 2 ekor cucak rawa

berasal dari alam, dan 1 ekor cucak rawa yang telah berhasil dilatih berkicau, dan

1 ekor cucak rawa yang belum berhasil dilatih berkicau. Parameter pola suara

yang diamati mengacu penelitian Rusfidra (2004) adalah :

1. Jumlah syllable, yaitu ukuran elemen yang muncul sebagai alur (trace)

yang terpisah antara satu suara dengan suara lainnya

2. Frekuensi (Hz), merupakan jumlah getearan per detik dari suatu

syllable

3. Durasi suara (detik), adalah lama tempuh suara pada saat individu

burung mempoduksi suara

4. Tempo (syllable/detik) yaitu pengulangan beberapa syllable yang sama

per detik

5. Amplitudo (kuat suara) : simpangan terjauh dari syllable.

Prosedur Analisis Data

Data hasil wawancara mengenai data pendukung dan teknik penangkaran

dianalisis secara deskriptif. Data mengenai teknik penangkaran dianalisis secara

deskriptif meliputi teknik adaptasi, aspek kandang, pakan, kesehatan, reproduksi,

dan pemanfaatan hasil serta identifikasi pola suara. Analisis data mengenai pakan

juga dilakukan secara kuantitatif (Tabel 2).

Tabel 2 Analisis kuantitatif pakan

Jumlah

Konsumsi

Tingkat Paltabilitas Kebutuhan Pakan*

JK = B-b

Keterangan:

JK = jumlah

konsumsi

B = berat pakan

sebelum

diberikan

B = berat pakan

sisa

%P=

Keterangan:

% P = tingkat

palatabilitas

G0 = berat pakan

semula

G1 = pakan sisa

Kebutuhan protein (%) :

Kebutuhan kalori (kkal)

*Kandungan gizi pada pakan diperoleh berdasarkan studi pustaka

5

Data mengenai ukuran keberhasilan penangkaran juga dianalisis secara

kuantitatif menggunakan analisis faktor keberhasilan yang mengacu pada

Suprijatna et al. (2008) (Tabel 3).

Data hasil rekaman suara kicauan menggunakan recorder dianalisis dengan

program gold wave versi 5.6 untuk proses editing dan program raven pro versi 1.4

untuk mengidentifikasi pola suara cucak rawa. Suara hasil rekaman

divisualisasikan dalam bentuk wave form untuk menggambarkan pola kicauan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknik Penangkaran

Sejarah penangkaran, sumber bibit, organisasi penangkaran

Cucak rawa mulai ditangkarkan di penangkaran MBOF pada tahun 1997.

Pemilik penangkaran MBOF pada awalnya membuat penangkaran burung hanya

untuk dijadikan hiburan dan hobi, namun karena kecintaannya pada burung-

burung berkicau (termasuk cucak rawa) pemilik penangkaran menangkarkan

burung-burung tersebut. Tingginya permintaan (demand) cucak rawa di pasaran

juga melatarbelakangi dibentuknya penangkaran.

Jumlah cucak rawa yang ditangkarkan pada awalnya berjumlah dua pasang.

Cucak rawa tersebut diperoleh dari membeli kepada penangkar burung berkicau

dan penangkap burung di alam yang berada di daerah Medan. Cucak rawa tersebut

dipelihara dan dijadikan sebagai indukan. Jumlah cucak rawa saat ini mencapai 70

ekor. Hal ini mengindikasikan bahwa pengelola MBOF dapat mengembangbiakan

cucak rawa dengan baik. Mas’ud (2002) menjelaskan bahwa suatu penangkaran

dinilai berhasil jika dapat mengembangbiakan satwa yang ditangkarkan.

Manajemen pengelolaan penangkaran MBOF dibagi kedalam beberapa spesifikasi

pekerjaan yang berbeda-beda (Gambar 1).

Tabel 3 Analisis faktor keberhasilan penangkaran

Persentase daya tetas

telur

Persentase angka

kematian

Persentase tingkat

perkembangbiakan

Keterangan:

a = Σ telur yang

berhasil menetas

b = Σ total telur yang

dihasilkan

Keterangan:

M = Σ anak yang mati

Mt = Σ total anak

Keterangan:

I = Σ induk yang bertelur

It = Σ total induk

Keterangan kriteria faktor keberhasilan penangkaran :

0 – 30% = rendah

31 – 70% = sedang

71 – 100% = tinggi

6

Populasi cucak rawa di penangkaran

Populasi cucak rawa di MBOF pada tahun 2013 berjumlah 73 ekor,

sedangkan sampai bulan April 2014 jumlah populasi cucak rawa di MBOF

sebanyak 84 ekor, namun setelah dikurangi dengan cucak rawa yang telah

diperdagangkan populasinya menjadi 70 ekor (Tabel 4).

Proses adaptasi

Pengelola MBOF tidak menyediakan kandang khusus sebagai kandang

karantina untuk burung cucak rawa yang baru didatangkan. Cucak rawa yang baru

didatangkan langsung dimasukkan ke dalam kandang reproduksi, kemudian

langsung disatukan dengan cucak rawa lainnya yang sedang dalam masa

penjodohan. Tujuannya adalah untuk menjodohkan cucak rawa bukan untuk

mengkarantina. Perlakuan yang diberikan pengelola pada cucak rawa yang baru

didatangkan sama seperti perlakuan pada cucak rawa lainnya.

Tabel 4 Populasi cucak rawa April 2014 berdasarkan jenis kelamin dan umur

Kelas umur Jenis kelamin Jumlah

(ekor) Keterangan

0 bulan - 2 Piyik*

0 s/d <1 bulan - 3 Piyik*, 3 sudah dijual

1 s/d <2 bulan - 15 Anakan*, 9 sudah dijual

2 s/d <5 bulan - 2 Anakan*

5 s/d <12 bulan - 0 Remaja*

1 s/d <2 tahun 1 jantan, 2 betina 3 Dewasa* (awal mampu

reproduksi dan bersuara)

2 s/d <3 tahun 4 jantan, 5 betina 9 Indukan*, 1 pasang sudah

dijual

≥3 tahun 25 jantan, 25

betina 50 Indukan

Total 29 jantan, 31

betina 84

Populasi yang ada di

MBOF 70 ekor Keterangan: *(Sudrajad 1999)

Gambar 1 Struktur organisasi pengelolaan MBOF

Direktur

Manager

Asisten manager

Penjaga

kebun

Perawat

burung

Penjaga

keamanan Pembantu rumah

Tangga Petugas

memperbaiki

kandang

7

Sistem perkandangan

Mas’ud (2002) mendefinisikan kandang sebagai habitat buatan yang dibuat

menyerupai kondisi alaminya, sehingga cucak rawa dapat beraktivitas seperti di

habitat alaminya. Menurut Setio dan Takandjandji (2007) kondisi menyerupai

habitat alami cucak rawa didapatkan dengan cara penanaman pohon-pohon

pelindung di dalam kandang, tidak ada pengaruh binatang lainnya, tersedia air

untuk minum dan mandi burung. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam membuat

kandang adalah ukuran dan konstruksi kandang, sarana pendukung di dalam

kandang, dan kondisi lingkungan kandang (Mas’ud 2002).

Jenis, ukuran, konstruksi, dan fasilitas kandang

Jenis kandang cucak rawa yang terdapat pada penangkaran MBOF terdiri

dari tiga bagian kandang yaitu kandang pembesaran, kandang reproduksi, dan

kandang inkubator yang memiliki ukuran, konstruksi, dan fasilitas yang berbeda-

beda (Tabel 5).

Kandang pembesaran atau sangkar berfungsi sebagai tempat pemeliharaan

anakan sampai dewasa (1 bulan sampai < 2 tahun). Menurut Soemarjoto (2003)

ukuran kandang sangkar cucak rawa ideal yakni ± (50 x 50 x 60) cm dengan

Tabel 5 Jenis, ukuran, konstruksi, dan fasilitas kandang di MBOF

Jenis

kandang

Konstruksi

kandang

Ukuran

kandang

(p x l x t)

Fasilitas

kandang Keterangan

Kandang

pembesaran

Triplek,

kayu, dan

besi

40 cm x

40 cm x

60 cm

Tempat pakan,

minum, dan

bertengger

berupa kayu

Kandang

reproduksi

Dinding dari

batako, atap

berupa kawat

ram dan

asbes

3 m x 3

m x 1,5

m

Tempat pakan,

minum dan

mandi, tempat

bertengger

berupa kayu dan

pohon palem,

sarang

Inkubator

Alas triplek,

dinding kayu,

sirkulasi

udara/jendela

berupa kawat

ram

110 cm x

45 cm x

47 cm

Sarang, lampu 5

watt,

termometer,

pengatur

kelembaban

berupa bak air

dan kain, tempat

sirkulasi udara,

pot penyangga

8

bentuk persegi empat yang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum serta

tempat bertengger. Fasilitas kandang pembesaran cucak rawa di MBOF

diantaranya tempat pakan, minum, dan tempat bertengger/tenggeran, hal ini sesuai

dengan pendapat Soemarjoto (2003) (Tabel 6). Tempat pakan dan minum pada

kandang pembesaran terbuat dari plastik agar tidak mudah pecah jika terjatuh.

Sudrajad (1999) menjelaskan tempat pakan dan minum cucak rawa terbuat dari

bahan yang tidak bocor dan tidak mudah pecah, seperti terbuat dari plastik, bambu,

almunium. Menurut Turut (1999) bahwa tenggeran cucak rawa sebaiknya berupa

cabang atau ranting kayu dengan diameter kurang lebih 2 cm. Berdasarkan hal-hal

tersebut maka kandang pembesaran cucak rawa di MBOF dapat dikatakan sesuai

untuk memenuhi kebutuhan hidup cucak rawa. Cucak rawa yang berada pada

kandang pembesaran dimandikan pada tempat mandi khusus (kandang

pemandian) oleh pengelola setiap pagi hari.

Kandang reproduksi berfungsi sebagai tempat perkawinan indukan dan

reproduksi. Kandang reproduksi cucak rawa terletak dibagian dalam dan lebih

tertutup jika dibandingkan kandang lainnya. Hal tersebut dikarenakan agar proses

reproduksi tidak terganggu oleh aktivitas manusia, gangguan burung lain dan

kebisingan. Mas’ud (2002) menjelaskan bahwa cucak rawa yang mengerami

telurnya harus dihindarkan dari berbagai gangguan karena dapat menyebabkan

telur tidak menetas karena induk tidak ingin mengeraminya lagi. Menurut Mas’ud

(2002) ukuran minimal kandang reproduksi cucak rawa yakni ± (2 x 1,5 x 2,5)

meter. Atap kandang reproduksi di MBOF tidak semuanya tertutupi asbes,

terdapat sisi atap yang hanya menggunakan kawat ram agar sirkulasi udara

optimal dan cahaya matahari dapat masuk ke dalam kandang. Asbes digunakan

sebagai atap karena untuk melindungi cucak rawa ketika hujan dan panas. Lantai

kandang reproduksi cucak rawa berupa tanah untuk mempermudah proses

dekomposisi/penguraian feses. Mas’ud (2002) dan Soemarjoto (2003)

menjelaskan bahwa kandang reproduksi yang ideal mempunyai ventilasi yang

baik dengan menggunakan atap kawat ram dan asbes pada sisi lainnya sebagai

tempat berlindung, serta lantainya berupa tanah agar kotoran mudah terurai.

Kandang reproduksi terdapat dua buah pintu yakni pintu besar pada bagian bawah

dan pintu kecil pada bagian tengah. Pintu besar berfungsi untuk mempermudah

penangkar dalam membersihkan kandang dan mengganti air minum yang

sekaligus air mandi, sedangkan pintu kecil digunakan untuk memberikan pakan

setiap harinya.

Kandang reproduksi cucak rawa dilengkapi dnegan fasilitas diantaranya

tempat pakan, minum yang sekaligus menjadi tempat mandi, tempat

bertengger/tenggeran, tempat bersarang dan pohon palem agar sesuai di habitat

alaminya dan membuat sejuk kandang (Tabel 6). Soemarjoto (2003) menjelaskan

bahwa kandang reproduksi dilengkapi dengan tempat pakan, minum, mandi,

tempat bertengger, pohon, dan sarang. Sarang cucak rawa di MBOF terbuat dari

sabut kelapa berdiameter 10 cm dengan kedalaman 2-2,5 cm dan beratapkan fiber.

Sarang tersebut berada pada ketinggian sekitar 1,5 meter dari tanah. Menurut

Mas’ud (2002) cucak rawa menyusun sarang yang berbentuk cawan, dengan

diameter 10 cm dan kedalaman 2.5 cm, dengan ketinggian 1.5-4.5 meter dari

permukaan tanah. Sudrajad (1999) menjelaskan bahwa bahan penyusun sarang

cucak rawa diantaranya jerami, sabut kelapa, dan rumput kering. Berdasarkan hal-

9

hal tersebut maka kandang reproduksi cucak rawa di MBOF dapat dikatakan

sesuai untuk memenuhi kebutuhan reproduksi cucak rawa.

Kandang inkubator terletak di dalam kantor MBOF berfungsi untuk

memelihara piyik-piyik (usia 0 bulan dan belum tumbuh bulu serta berwarna

merah) dan anakan cucak rawa (usia <1 bulan). Kandang ini hanya memiliki satu

pintu besar dengan tiga buah tempat sirkulasi udara/jendela disamping dan

diatasnya. Suprijatna dkk (2008) menjelaskan bahwa inkubator yang baik harus

dapat mengatur sirkulasi udara dengan lancar. Kandang inkubator MBOF

memiliki sirkulasi udara yang baik, bak penampung air sebagai pengatur

kelembaban, sarang yang disangga dengan pot bunga, lampu, dan tempat pakan

dan minum yang diletakkan diluar kandang (Tabel 6).

Tabel 6 Fasilitas kandang cucak rawa di penangkaran MBOF

Jenis

kandang

Gambar fasilitas kandang Keterangan gambar

Kandang

pembesaran

A) tempat pakan

B) tempat minum

C) tempat bertengger (ranting)

Kandang

reproduksi

D) tempat bertengger (kayu)

E) tempat minum sekaligus

mandi

F) tempat bersarang (jerami)

G) pohon palem

H) tempat pakan

Kandang

inkubator

I) tempat pakan

J) tempat minum dan pipet

K) pengatur kelembaban

L) lampu

M) ventilasi (kawat ram)

N) sarang yang disangga pot

10

Sarang pada kandang inkubator disangga dengan pot agar terhindar dari

semut. Menurut Sudrajad (1999) diperlukan penanganan khusus pada kandang

inkubator agar piyk dan anakan cucak rawa terhindar dari semut. Lampu lima watt

yang terdapat pada kandang inkubator digunakan untuk mengahangatkan tubuh

piyik-piyik dan anakan cuak rawa. Suhu kandang inkubator berkisar 25-26oC.

Pengatur kelembaban yang terdapat pada kandang inkubator terdiri dari wadah

plastik yang berisi kain basah dan sedikit air. Ventilasi (jendela) terbuat dari

kawat ram. Berdasarkn hal-hal tersebut maka kandang inkubator cucak rawa di

MBOF dapat dikatakan sesuai untuk memenuhi kebutuhan piyik dan anakan

cucak rawa.

Pemeliharaan kandang

Kegiatan pemeliharaan kandang penting untuk dilakukan karena berkaitan

dengan prinsip kesejahteraan satwa yakni satwa bebas dari sakit atau penyakit.

Kegiatan pemeliharaan kandang bertujuan untuk menghindari timbulnya penyakit

akibat dari kandang kotor (Setio dan Takandjanji 2007). Kegiatan pemeliharaan

kandang di MBOF meliputi kegiatan pemeliharaan di luar kandang dan di dalam

kandang. Kegiatan pemeliharaan di luar kandang meliputi pembersihan sampah

dan daun-daun kering yang ada di luar kandang yang dilakukan setiap hari yakni

pagi hari, merapikan tanaman dan menanam tanaman untuk memperindah

penangkaran yang dilakukan secara insidental.

Kegiatan pemeliharaan di dalam kandang meliputi pembersihan dan

penjemuran sarang pada kandang inkubator, pembersihan tempat pakan dan

tempat minum, pembersihan kandang dari feses burung, sisa-sisa makanan, serta

penggantian dan perbaikan kawat ram yang telah rusak. Kegiatan-kegiatan

pemeliharaan di dalam kandang dilakukan secara rutin setiap satu kali sehari

yakni pagi hari, namun untuk kegiatan perbaikan kawat ram yang telah rusak

dilakukan secara insidental.

Kegiatan pemeliharaan kandang cucak rawa yang dilakukan oleh

pengelola dapat dikatakan baik karena persentase angka kematian cucak rawa

rendah dan kegiatan pemeliharaan yang dilakukan oleh pengelola MBOF sesuai

dengan acuan Sudrajad (1999). Menurut Sudrajad (1999) upaya pemeliharaan

kandang meliputi perbaikan kawat ram/dinding kandang yang rusak, pembersihan

kandang dan fasilitasnya secara rutin. Alat-alat yang digunakan untuk merawat

dan membersihkan kandang adalah sapu lidi, pengki, gunting rumput, karung,

gerobak sampah, sikat, lap, dan selang air.

Suhu dan kelembaban kandang

Hasil pengamatan suhu di dalam kandang reproduksi cucak rawa di MBOF

adalah berkisar antara 26.5-31oC dengan kelembaban 85-92% (Gambar 2).

Mas’ud (2002) menjelaskan bahwa cucak rawa dapat hidup di daerah dataran

rendah (0-200 mdpl) sampai ketinggian sekitar 1050 mdpl. Menurut Handoko

(1995) hubungan suhu rata-rata harian dengan berbagai ketingian tempat di

Indonesia antara lain pada ketinggian 0-500 mdpl suhu rata-rata harian mencapai

24.5-27oC, sedangkan pada ketinggian 1000-1500 mdpl suhu rata-rata harian

mencapai 20-21.5oC. Suhu rata-rata kandang reproduksi cucak rawa di MBOF

yakni 28.35oC, hal ini berbeda denga suhu rata-rata harian cucak rawa di alam

sebesar 24.5-27oC pada ketinggian 0-500 mdpl.

11

Menurut William (1999) burung termasuk kedalam hewan berdarah panas

(homeotherm) yang suhu didalam tubuhnya tinggi yakni 40-44 oC. William (1999)

menjelaskan bahwa suhu 32.2 oC dapat mempengaruhi ovum dan sperma serta

menurunkan daya tetas telur, oleh karena itu suhu kandang cucak rawa di MBOF

dapat ditoleransi oleh cucak rawa untuk proses reproduksinya. Menurut William

(1999) fluktuasi kelembaban yang ekstrim (seperti di daerah sub tropis) akan

mempengaruhi reproduksi. Fluktuasi suhu dan kelembaban di kandang reproduksi

cucak rawa dapat ditoleransi untuk proses reproduksinya.

Manajemen pakan

Pemberian pakan dan minum

Jenis pakan dan minum cucak rawa di MBOF diklasifikasikan berdasarkan

kelas umurnya (Tabel 7). Menurut Turut (1999) cucak rawa di alam memakan

jenis buah-buahan yang terdapat di hutan, seperti pisang, pepaya, ceri, dan jambu.

Pemberian pakan berupa pisang kepok dan pepaya (pakan utama) yang dilakukan

oleh pengelola sesuai dengan kehidupan cucak rawa di alam. Pakan hewani cucak

rawa di alam berasal dari siput sungai, kumbang kecil, lebah penggerek, telur

semut merah, rayap, belalang, dan cacing tanah (Mas’ud 2002). Pemberian pakan

berupa jangkrik (pakan tambahan) yang dilakukan oleh pengelola sesuai dengan

kehidupan cucak rawa di alam yang membutuhkan protein hewani. Sumber pakan

cucak rawa di MBOF berasal dari supplyer khusus yang dipesan oleh pengelola.

Cara pemberian buah (pepaya/pisang) dibelah menyerupai bentuk persegi panjang,

dan dicuci terlebih dahulu, kemudian bagian atas buahnya di sayat dengan pisau

agar mempermudah cucak rawa untuk memakannya.

Gambar 2 Suhu dan kelembaban di dalam kandang reproduksi

12

Jangkrik diberikan dengan cara menghilangkan kaki belakangnya terlebih

dahulu. Cara tersebut dilakukan karena kaki belakangnya bergerigi tajam sehingga

dapat merusak pita suara cucak rawa (Sudrajad 1999). Cara pemberian pakan pada

piyik dan anakan cucak rawa yaitu dengan cara disuapi secara perlahan dengan

kayu sedangkan pemberian air minumnya dengan menggunakan pipet kecil

kemudian disuapi secara perlahan.

Jumlah konsumsi dan palatabilitas

Jumlah konsumsi adalah jumlah pakan yang dikonsumsi cucak rawa.

Tingkat palatabilitas adalah tingkat kesukaan satwa terhadap suatu jenis pakan.

Rata-rata jumlah konsumsi terbesar cucak rawa pada kandang pembesaran dan

kandang reproduksi adalah pepaya, yakni masing-masing berjumlah 44 g dan 29.5

g (Tabel 8). Hal ini menunjukkan pakan palatabel cucak rawa pada kedua kandang

tersebut adalah pepaya, yakni sebesar 33.3% dan 54.63%. Walaupun jangkrik

memiliki rata-rata palatabilitas tertinggi pada kedua kandang, namun tidak dapat

dibandingkan karena jangkrik merupakan pakan tambahan.

Jumlah konsumi pakan tertinggi cucak rawa di kandang pembesaran dan

kandang reproduksi yakni pepaya karena pada saat penelitian suhu rata-rata harian

mencapai 28.35 oC, sehingga cucak rawa membutuhkan air dari sumber pakannya.

Kadar air dalam pepaya lebih tinggi dibandingkan jenis pakan lainnya. Cucak

rawa di kedua kandang tersebut tidak menyukai pur karena pur memiliki serat

kasar yang tinggi sehingga sulit dicerna. Serat kasar pada suatu pakan

menunjukkan kesukaran pakan tersebut untuk dicerna (Tillman et al. 1989).

Tabel 7 Jenis pakan dan minum cucak rawa di MBOF

Klasifikasi

cucak rawa

Usia Jenis pakan Frekuensi

pemberian

pakan

Jenis

minum

Piyik 0 bulan & masih

merah

Campuran

minyak ikan,

scott’s emulsion,

pur yang

dicairkan

4 kali sehari

(pagi, siang,

sore,

malam)

Air

mineral

aqua Anakan < 1 bulan

Remaja 5 sampai < 12

bulan

Pakan utama :

pepaya/pisang,

pakan

tambahan :

jangkrik, pakan

buatan : pur

1 kali sehari

(pagi)

Air

tanah

Dewasa 1 tahun sampai

< 3 tahun

Indukan ≥ 3 tahun

13

Analisis Kandungan Gizi

Jenis-jenis pakan cucak rawa di MBOF memiliki kandungan gizi yang

berbeda-beda. Kandungan gizi terbesar pada pepaya yakni kadar air, sedangkan

kandungan gizi pada pisang kepok, jangkrik, dan pur adalah energi (Tabel 9). Air

tergolong ke dalam gizi yang sangat penting untuk satwa kerena kandungan air

dalam tubuh makhluk hidup sebesar 70% (Kateran 2010). Fungsi air diantaranya

memperlancar proses metabolisme dan fisiologi tubuh (Tilmen et al. 1789).

Menurut Kateran (2010) energi merupakan gizi yang bermanfaat untuk

menunjang aktivitas.

Pemberian pakan cucak rawa yang dilakukan oleh pengelola MBOF

bervariasi (berupa pepaya, pisang, jangkrik, dan pur) dapat dikatakan baik, karena

memiliki berbagai macam kandungan gizi yang beranekaragam jumlahnya,

Tabel 8 Rata-rata jumlah konsumsi dan tingkat palatabilitas

Jenis

pakan

Kandang pembesaran/ekor Kandang reproduksi/ekor

Rata-rata

Σ

konsumsi/hari/ekor

Rata-rata

palatabilitas

Rata-rata

Σ

konsumsi/hari/ekor

Rata-rata

palatabilitas

Pepaya 44 g 33.33 % 29.5 g 54.63 %

Pisang

kepok

17.5 g 30.97 % 26.25 g 52.5 %

Jangkrik 8 g 100 % 5 g 62.5 %

Pur 1 g 3.70 % 6.75 g 44.26 %

Tabel 9 Kandungan gizi pakan cucak rawa

Nilai gizi

Pepaya(a) Pisang

Kepok(b)

Jangkrik(c) Pur(d)

Kadar abu (%) 0.5 2.65 - 5.90

Kadar protein (%) 0.5(a1) 4.30 13.70 21.05

Serat kasar (%) 0.7 1.33 2.90 4.19

Kadar lemak (%) 0.1(a1) 0.19 5.30 7.21

Energi (kkal) 39.4 3969.30 117 4753.03

Kadar air (%) 86.6 66.48 76 8.82

Vitamin A (IU) 365(a2) 439(b1) - -

Vitamin B (mg) 0.04(a2) 0.14(b1) - -

Vitamin C (mg) 78(a2) 2(b1) - -

Ca (%) 10,.47 0.03 - 1.08

P (%) 3.39 0.09 - 0.75 Sumber : (a) Villegas (1997) dalam Suketi dkk (2010); (a1) Desai & Wagh (1995) dalam Suketi dkk

(2010); (a2) Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979) dalam Baga (1999); (b) Aji (1996)

dalam Yunanti (2012); (b1) Depkes RI (1990) dalam Putri (2012); (c) Koswara (2010) dalam

Yunanti (2012); (d)Yunanti (2012)

14

sehingga kebutuhan gizi cucak rawa terpenuhi dan dapat meminimalisir tingkat

stres burung dari kebosanan terhadap pakan.

Konsumsi pakan

Konsumsi pakan yang perlu diketahui adalah konsumsi protein kasar (%)

dan konsumsi energi (kkal) karena protein dan energi sangat mempengaruhi

proses pertumbuhan dan reproduksi (Tabel 10). Mas’ud (2002) melaporkan bahwa

pakan untuk cucak rawa dewasa yang tidak reproduksi diperlukan karbohidrat

yang tinggi untuk menunjang aktivitasnya dan karena pertumbuhannya sudah

maksimal.

Cucak rawa anakan dan piyikan memerlukan asupan protein yang banyak

didalam pakan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangannya. Kandungan

protein yang tinggi pada bahan pakan juga diperlukan oleh cucak rawa yang

sedang atau akan bertelur. Protein dibutuhkan satwa untuk meningkatkan

produktivitas telur dan meningkatkan daya tetas telur (Kateran 2010). Daya tetas

telur di MBOF dikategorikan sedang, sehingga dapat dikatakan konsumsi protein

cucak rawa (4.79%) di MBOF cukup tercukupi. Menurut Yunanti (2012)

konsumsi energi Jalak Bali di MBOF sebesar 1909.1 kkal, sehingga dapat

dikatakan konsumsi energi cucak rawa di MBOF lebih tinggi dari konsumsi Jalak

Bali.

Manajemen kesehatan dan perawatan

Jenis penyakit dan penanganannya

Jenis penyakit yang pernah diderita cucak rawa di penangkaran MBOF

adalah diare, feses berwarna putih, feses berwarna hijau, flu, dan seperti lumpuh

(Tabel 11). Semua jenis penyakit yang pernah diderita oleh cucak rawa di

penangkaran MBOF hanya diobati dengan satu macam obat, yakni tonic treasur.

Cara pemberian obat pada anakan/piyik cucak rawa yakni dengan dihaluskan

terlebih dahulu kemudian dicampurkan kedalam minum, sedangkan pada indukan

cucakrawa obat langsung dimasukkan ke dalam paruh cucak rawa setelah

dihancurkan terlebih dahulu. Suplemen makanan yang diberikan pada piyik dan

anakan cucak rawa, yakni scott’s emulsion dan minyak ikan untuk membantu

pertumbuhan dan perkembangan piyik dan anakan cucak rawa. Induk cucak rawa

diberikan vitamin yakni canary post agar menghasilkan telur yang berkualitas

baik.

Tabel 10 Konsumsi pakan cucak rawa di MBOF

Jenis pakan Protein kasar (%) Energi (kkal)

Pepaya 0.22 17.49

Pisang kepok 1.68 1558.15

Jangkrik 1.02 8.74

Pur 1.86 420.78

Jumlah 4.79 2005.19

15

Bentuk perawatan cucak rawa lainnya di MBOF adalah dengan cara

memandikannya atau menyediakan tempat untuk mandi. Sudrajad (1999)

menjelaskan bahwa cucak rawa pada habitat alaminya di alam memiliki

kegemaran untuk mandi, oleh sebab itu pengelola penangkaran harus

memandikannya. Pengelola MBOF memandikan cucak rawa yakni pukul 08.00,

hal ini sesuai dengan pendapat Sudrajad (1999) bahwa waktu yang tepat

memandikan cucak rawa pagi hari, yakni pukul 08.00-10.00.

Perawatan pasca susut bulu

Susut bulu (moulting) pada cucak rawa di MBOF bukan merupakan

penyakit, namun peristiwa alami yang terjadi untuk regenerasi bulu sayap kanan

atau kirinya. Menurut Karso (1996) moulting pada cucak rawa terjadi pasca

perkawinan. Menurut Jarulis et al. (2013) moulting family pycnonotidae terjadi

pada bulu sayap primer (Gambar 3).

Cucak rawa yang mengalami susut bulu (moulting) tidak diberikan

perlakuan khusus oleh pengelola. Hal ini dikarenakan bahwa bulu yang susut

hanya 1-2 buah, tidak seperti burung lainnya yang mengalami penyusutan bulu

dalam jumlah yang besar selama kurun waktu 3-4 bulan.

Tabel 11 Riwayat penyakit yang pernah diderita cucak rawa di MBOF

Jenis

penyakit Gejala Keterangan

Diare Feses cair, tidak kompak Piyik dan anakan

Feses berwarna

putih

Feses cair, encer, berlendir, dan

berwarna putih

Piyik,

anakan, indukan

Feses berwarna

hijau

Feses cair, encer, dan berwarna

hijau

Piyik, anakan,

indukan

Flu Paruh dan hidungnya berair,

terdengar suara seperi bersin-bersin

Piyik, anakan,

indukan

Seperti lumpuh Lemas, tidak dapat berdiri tegak Piyik dan anakan

Gambar 3 Topografi sayap burung

(Sumber: Ginn dan Melville (1983) dalam Jarulis et al. (2013))

16

Manajemen Reproduksi

Penentuan jenis kelamin

Pengetahuan mengenai cara membedakan jenis kelamin jantan dan betina

cucak rawa sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan

perkembangbiakannya. Apabila pengelola salah dalam menentukan jenis kelamin

cucak rawa yang akan dijodohkan maka proses reproduksi tidak akan berhasil.

Menurut Sudrajad (1999) dan Mas’ud (2002) bahwa burung cucak rawa jantan

dan betina dapat dibedakan melalui beberapa cara yakni suara, bentuk kepala,

ekor, dan dada (Tabel 12 ).

Pengelola MBOF dapat membedakan burung cucak rawa jantan atau

betina pada umur satu tahun dengan melihat suara, tingkah laku, dan bentuk

morfologi (Tabel 13). Bentuk morfologi yang membedakan cucak rawa jantan dan

betina adalah bulu dada (Gambar 4 dan 5).

Tabel 13 Faktor pembeda cucak rawa jantan dan betina

Faktor pembeda Jantan Betina

Suara Sangat keras dan nyaring Tidak keras dan cukup

nyaring

Bentuk kepala

Agak bulat dan setelah

dewasa tidak terdapat

belahan bulu pada

kepalanya

Agak pipih dan setelah

dewasa tidak terdapat

belahan bulu pada kepalanya

Ekor Lebih panjang Lebih pendek

Bulu dada Warna hitam yang tidak

jelas pada bulu dadanya

Warna hitam dan putih yang

jelas

Gambar 4 Pasangan cucak rawa, A) jantan, B) betina

Tabel 12 Penentuan jenis kelamin cucak rawa di MBOF

Faktor pembeda Jantan Betina

Suara Sangat keras dan nyaring Tidak keras dan cukup

nyaring

Perilaku Lebih aktif Pendiam

Bulu dada Warna hitam keabu-abuan Warna hitam legam

Bulu dada

berwarna

hitam keabu-

abuan

Bulu dada

berwarna

hitam keabu-

abuan

Bulu dada

berwarna

hitam legam

Bulu dada

berwarna

hitam legam

17

Pemilihan induk

Pengelola MBOF memilih cucak rawa yang sehat dan tidak cacat sebagai

indukan. Sudrajad (1999) mendefinisikan cucak rawa sehat jika badannya besar,

bulu tubuhnya bagus, dan nafsu makan tinggi. Karso (1996) menambahkan bahwa

cucak rawa sehat dicirikan dengan tidak sedang sakit. Suara tidak menjadi syarat

utama dalam pemilihan induk, hanya sebagian kecil saja induk cucak rawa yang

bersuara roppel (bagus) dipilih sebagai indukan. Perbandingan seks rasio cucak

rawa jantan dan betina di MBOF adalah 1:1 artinya jantan dan betina selalu

dipasangkan dalam satu kandang. Total jumlah induk cucak rawa di MBOF

adalah 28 pasang dengan komposisi 28 ekor cucak rawa dari alam dan 28 ekor

cucak rawa dari penangkaran.

Penjodohan

Mas’ud (2002) menjelaskan terdapat dua tipe penjodohan cucak rawa

yakni menjodohkan secara berkelompok di dalam kandang besar dan

menjodohkan di dalam kandang soliter. Proses pembentukan pasangan yang

dilakukan oleh pengelola adalah dengan cara menjodohkan beberapa pasang

cucak rawa di dalam satu kandang, kemudian diamati perlilakunya. Apabila

terlihat ada pasangan cucak rawa yang saling tertarik (diketahui apabila dua ekor

cucak rawa saling mendekat dan bermain bersama), maka pasangan tersebut

dipisahkan dan dimasukkann kedalam kandang reproduksi. Sudrajad (1999)

melaporkan bahwa ciri cucak rawa yang telah mendapatkan pasangan adalah

terlihat saling berdekatan, terlihat tenang, terbang berkejaran serta terkadang

terdengar kicauan dari jantan dan betina secara bergantian, namun apabila

pasangan tidak cocok ditandai dengan adanya perkelahian diantara kedua

pasangan. Proses penjodohan berlangsung selama 2-3 bulan. Pengelola MBOF

melakukan kegiatan penjodohan pada cucak rawa ketika berusia 2-3 tahun.

Peneluran, pengeraman, dan penetasan telur

Peneluran, pengeraman, dan penetasan telur dilakukan di dalam kandang

reproduksi. Sudrajad (1999); Mas’ud (2002) melaporkan bahwa pengeraman telur

cucak rawa secara alami yakni 14 hari yang dilakukan oleh jantan dan betina

secara bergantian. Mas’ud (2002) menjelaskan bahwa proporsi mengeraman induk

betina lebih banyak dibandingkan induk jantan. Telur yang dihasilkan oleh cucak

rawa di MBOF sebanyak 2 butir dengan pengeraman selama 14 hari. Piyik cucak

Bulu dada

berwarna

hitam keabu-

abuan

Bulu dada

berwarna

hitam keabu-

abuan

Bulu dada

berwarna

hitam legam

Bulu dada

berwarna

hitam legam

Gambar 5 Sketsa pasangan cucak rawa. A) jantan, B) betina

18

rawa yang baru menetas dibiarkan berada di dalam kandang reproduksi bersama

induknya selama 5-7 hari pasca penetasan, setelah itu dipindahkan ke dalam

kandang inkubator untuk mendapatkan perawatan oleh pengelola MBOF. Waktu

yang dibutuhkan cucak rawa untuk dapat kembali bertelur adalah 14 hari pasca

pengangkatan piyik. Cucak rawa di MBOF mampu bereproduksi sebanyak 8 kali

dalam satu tahun. Tingkat reproduksi cucak rawa di MBOF dapat dikatakan tinggi

karena menurut Mas’ud (2002) cucak rawa di penangkaran dapat berkembangbiak

sebanyak 7 kali dalam satu tahun.

Pembesaran piyik dan anakan cucak rawa

Piyik cucak rawa (Gambar 6) yang telah menetas dalam kandang

reproduksi dibiarkan bersama induknya, namun setelah 5-7 hari piyik tersebut

dipindahkan ke kandang inkubator. Hal ini dilakukan oleh pengelola agar

meminimalisir tingkat kematian, kesehatan piyik dan pertumbuhannya terkontrol,

serta induk cucak rawa dapat melakukan reproduksi kembali. Pembesaran piyik

cucak rawa seperti ini disebut hand rearing yakni pembesaran piyik cucak rawa

dengan memisahkan atau mengambil piyik dari induknya untuk selanjutnya

dipelihara dan dibesarkan oleh penangkar secara intensif hingga burung dapat

mandiri. Pembesaran piyik pasca telur menetas dapat dilakukan dengan dua cara

yakni secara alami oleh induknya dan dirawat oleh pengelola, namun perawatan

piyik oleh pengelola lebih baik karena dapat meminimalisir kematian (Sudrajad

1999).

Anakan cucak rawa (Gambar 7) yang mencapai umur <1 bulan akan

dibesarkan dan dirawat di kandang inkubator. Saat anakan cucak rawa berumur 1

bulan akan dipindahkan ke kandang pemeliharaan agar dapat mandiri dan

memacu pertumbuhan badannya.

Pertumbuhan piyik cucak rawa

Hasil observasi pertumbuhan piyik selama dua minggu diperoleh bahwa

terdapat perbedaan pertumbuhan antara generasi F1a (kedua induk berasal dari

alam) dengan F1b (induk berasal dari alam dan penangkaran) (Tabel 14).

Observasi dilakukan hanya dua minggu, karena piyik yang berumur lebih dari dua

minggu dijual oleh pengelola.

Gambar 6 Piyik cucak rawa umur

lima hari

Gambar 7 Anakan cucak rawa umur

dua minggu

19

Generasi F1b memiliki ukuran morfometrik relatif lebih panjang

dibandingkan F1a karena cucak rawa asal penangkaran memiliki performa tubuh

yang lebih baik dibandingkan cucak rawa berasal dari alam. Hal ini dikarenakan

pengelola MBOF melakukan pengaturan pakan dengan baik pada setiap kelas

umur cucak rawa, sehingga cucak rawa indukan memiliki sifat-sifat morfologi

kuantitatif yang lebih baik.

Warwick et al. (1995) menjelaskan bahwa sifat-sifat morfologi kuantitatif

dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan yang berperan

mempengaruhi sifat-sifat morfologi kuantitatif diantaranya pengaturan pakan oleh

pengelola.

Ukuran keberhasilan penangkaran cucak rawa

Peresentase tingkat keberhasilan penangkaran cucak rawa di MBOF pada

tahun 2013 dan 2014 memiliki perbedaan (Tabel 15).

Hasil perhitungan rata-rata daya tetas telur cucak rawa di MBOF sebesar

68.69% yang termasuk kedalam kategori sedang. Faktor yang mempengaruhi daya

tetas telur yakni kandungan gizi dalam pakan cucak rawa. Sudrajad (1999)

menjelaskan bahwa induk yang tercukupi gizinya akan menghasilkan telur yang

berkualitas dan berdaya tetas tinggi. Rata-rata tingkat perkembangbiakan cucak

rawa yakni 77.38% dengan kategori tinggi karena kegiatan penjodohan di MBOF

berhasil, sehingga jumlah induk cucak rawa bertambah setiap tahunnya.

Tabel 15 Persentase tingkat keberhasilan penangkaran cucak rawa periode tahun

2013 dan 2014

Tahun

Persentase (%)

Daya tetas telur Tingkat

perkembangbiakan Angka kematian

2013 58.06 71.43 10.96

2014 79.31 83.33 9.72

Rata-rata 68.69 77.38 10.34

Kriteria Sedang Tinggi Rendah

Tabel 14 Perbandingan pertumbuhan anakan cucak rawa di MBOF

Rataan Pengukuran

Morfometrik (mm)

Generasi F1a Generasi F1b

Minggu 1 Minggu 2 Minggu 1 Minggu 2

Panjang tubuh total 67 115 67.7 125.7

Panjang sayap 37.4 73 38.5 81.3

Panjang ekor 0.3 30 4.3 37.6

Panjang kepala 27 31.7 27.2 36.8

Panjang paruh 15.1 16.7 15.1 17.4

Tinggi paruh 13.5 14.7 13.1 13.8

Pajang kaki 20.8 21.7 20.8 22.9

20

Tingkat kematian tinggi terjadi pada piyik cucak rawa karena kondisi

tubuhnya masih lemah. Rata-rata angka kematian cucak rawa di MBOF adalah

10.96% yang termasuk kedalam kategori rendah. Hal ini dikarenakan pemantauan

piyik di kandang inkubator dilakukan secara intensif untuk mencegah terjadinya

kelaparan pada piyik. Berdasarkan hal tersebut maka sistem pembesaran piyik

secara hand rearing berhasil karena dapat meminimalisir tingkat kematian pada

piyik cucak rawa.

Pemanfaatan atau pengelolaan hasil

Sudrajad (1999) melaporkan bahwa permintaan cucak rawa di pasar

burung tinggi. Harga jual cucak rawa yang ditawarkan oleh pengelola MBOF

sudah termasuk kandang pemeliharaan, namun belum termasuk biaya pengiriman

untuk pembeli diluar Pulau Jawa (Tabel 16).

Harga yang ditawarkan oleh pengelola MBOF sudah termasuk kandang

pemeliharaan, namun belum termasuk biaya pengiriman untuk pembeli di luar

Pulau Jawa. Pembeli cucak rawa di MBOF beragam, diantaranya berasal dari

Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Pulau Jawa, dan luar Pulau Jawa.

Burung yang akan di jual di luar Pulau Jawa dimasukkan ke dalam boks atau

kotak yang terbuat dari triplek. Jika pembeli bersal dari Pulau Jawa burung hanya

dimasukkan ke dalam kandang pemeliharaan/sangkar dengan ditutupi koran.

Pembeli yang berasal dari Pulau Jawa biasanya langsung mengambil burung yang

akan dibelinya, sedangkan pembeli yang berasal dari luar Pulau Jawa pengelola

menggunakan jasa pengiriman atau kargo.

Teknik Pelatihan Suara dan Sebaran Kualitas Suara

Teknik pelatihan suara yang dilakukan oleh pengelola yakni dengan

mendekatkan kandang cucak rawa yang ingin dilatih dengan kandang cucak rawa

pelatih (master). Cucak rawa di MBOF sering berkicau pada pagi hari. Sebaran

kualitas suara cucak rawa di MBOF bervariasi. Sebaran kualitas suara cucak rawa

dikelompokkan menjadi empat kriteria yakni suara cucak rawa pelatih (cucak

rawa yang bersuara bagus atau roppel), suara cucak rawa berasal dari alam (cucak

rawa berasal dari alam tanpa ada pelatihan suara), suara cucak rawa yang berhasil

dilatih (cucak rawa hasil penangkaran yang intensitas pelatihannya lebih tinggi),

dan suara cucak rawa yang belum berhasil dilatih (cucak rawa hasil penangkaran

yang intensitas pelatihannya rendah). Cucak rawa pelatih memiliki tempo yang

cepat dan amplitudo yang tinggi dibandingkan burung lainnya (Tabel 17).

Tabel 16 Klasifikasi harga jual cucak rawa di MBOF

Klasifikasi burung Umur Suara Harga (Rp)

Anakan 2 minggu-

1 bulan

Belum

berkicau

5 000 000 – 8 000 000

Dewasa reproduktif ≥ 3 tahun Belum bagus 15 000 000

Dewasa ≥ 2 tahun Roppel (suara

bagus)

50 000 000 – 80 000 000

21

Cucak rawa di MBOF memiliki dua tipe suara yakni kwo-kikoek-kuekik-

kikeik (suara cucak rawa pelatih) dan kuik-kuik-kukak-kuik (suara cucak rawa

berasal dari alam). Grant dan Grant (1997) mejelaskan bahwa sifat nyanyian

merupakan sifat yang diwariskan melalui proses imprinting. Menurut Cardoso dan

Sabbatini (2004) dalam Rusfidra (2007) proses imprinting merupakan interaksi

antara naluri dan pengalaman berlatih (learning).

Menurut Mas’ud (2002) kriteria kualitas suara kicauan yang baik

ditentukan oleh keras lunaknya suara, besar kecilnya volume suara, dan kerapatan

suara. Keras lunaknya suara diinterpretasikan dengan amplitudo (Rusdin 2007).

Cucak rawa yang berhasil dilatih memiliki aplitudo tertinggi ke dua setelah cucak

rawa master. Hal ini menunjukkan bahwa cucak rawa yang dilatih akan

mempunyai karakteristik suara seperti cucak rawa master. Besarnya amplitudo

dipengaruhi oleh stamina atau tenaga dari setiap individu burung Rusdin (2007).

Besar kecilnya volume suara diukur melalui frekuensi yang dihasilkan.

Menurut Purnamasari (2006) frekuensi dapat menggambarkan volume suara yang

dihasilkan. Semua cucak rawa di MBOF memiliki frekuensi yang sama (0-2250

Hz) hal ini menunjukkan bahwa volume kicauan cucak rawa terdengar nyaring.

Besar kecilnya frekuensi yang dihasilkan dipengaruhi oleh kemampuan individu

burung dalam mengolah udara pada saat respirasi (inspirasi dan ekspirasi) (Rusdin

2007).

Kerapatan suara digambarkan dengan tempo yang cepat artinya tidak ada

jeda atau interval antar elemen suara. Kerapatan suara dikenal dengan istilah

roppel yakni tidak ada jeda pada suara depan, tengah, dan akhir, sehingga

terdengar suara yang berulang-ulang (Mas’ud 2002). Turut (1999) menambahkan

bahwa suara roppel yakni tidak ada jarak antar elemen suara dan terdengar

nyaring.

Cucak rawa pelatih yang bersuara roppel memiliki bentuk wave form yang

hampir sama dengan suara cucak rawa yang telah berhasil dilatih (Tabel 18).

entuk wave form cucak rawa pelatih tebal dan rapat atau tidak ada interval antar

elemen suara yang menunjukkan tempo cepat dan amplitudo tinggi, sedangkan

cucak rawa yang telah berhasil dilatih memiliki pola tebal dan terdapat interval

antar elemen suara. Hal ini menunjukkan bahwa cucak rawa yang dilatih dengan

intensitas pelatihan lebih tinggi akan mempunyai karakteristik suara seperti cucak

rawa master (kualitas suaranya bagus atau roppel). Cucak rawa yang berasal dari

Tabel 17 Karakteristik pola suara cucak rawa di penangkaran MBOF

Jenis cucak

rawa

Jumlah

syllable

Frekuensi

(Hz)

Durasi

suara

(detik)

Tempo Amplitudo

Pelatih

(master) 9 0-22050 6.55

1.37 81.75

Alam 9 0-22050 8.96 1.00 64.56

Pelatihan:

berhasil 23 0-22050 38.81 0.59 80.42

Pelatihan:

belum

berhasil

10 0-22050 16.15

0.61

69.15

22

alam dan cucak rawa yang belum berhasil dilatih memiliki tampilan wave form

yang hampir sama yakni bentuk wave form tipis yang menandakan bahwa

amplitudonya rendah. Cucak rawa yang belum berhasil dilatih belum dapat

dibedakan suara depan, tengah, dan belakang. Hal ini menunjukkan bahwa cucak

rawa yang belum berhasil dilatih memiliki kualitas suara yang rendah, oleh karena

itu perlu mendapatkan pelatihan yang lebih intensif.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa teknik penangkaran cucak

rawa di MBOF yang terdiri dari sistem perkandangan, manajemen pakan,

manajemen kesehatan dan perawatan, manajemen reproduksi, dan pemanfaatan

sudah baik. Hal ini dikarenakan ukuran kandang, fasilitas kandang, dan

Tabel 18 Wave form suara cucak rawa di penangkaran MBOF

Jenis cucak

rawa

Gambar wave form

Pelatih

(master)

Syllable 1 Syllable 2

Dep

an

Akh

ir

Ten

gah

Alam

Syllable 1 Syllable 2 Syllable 3

Dep

an

Ten

gah

Akhir

Pelatihan:

berhasil

Syllable 3 Syllable 1 Syllable 2

Dep

an

Ten

gah

h Ak

hir

Pelatihan:

belum

berhasil

Syllable 1 Syllable 2 Syllable 3

23

manajemen yang telah dilakukan pengelola sesuai untuk memenuhi kehidupan

cucak rawa sehingga cucak rawa dapat berkembangbiak. Penangkaran cucak rawa

di MBOF dapat dikategorikan cukup berhasil karena persentase daya tetas telur

sedang (68.69%), persentase tingkat perkembangbiakan tinggi (77.38%), dan

persentase angka kematian rendah (10.34%). Teknik pelatihan suara yang

dilakukan oleh pengelola yakni dengan mendekatkan kandang cucak rawa yang

ingin dilatih dengan kandang cucak rawa pelatihnya. Sebaran kualitas suara cucak

rawa di MBOF bervariasi yakni cucak rawa berkualitas rendah (suara cucak rawa

yang belum berhasil dilatih sehingga suara depan, tengah, dan akhir belum dapat

dibedakan) hingga cucak rawa berkualitas bagus atau (roppel yakni tidak ada

interval antar elemen suara, tempo cepat, dan amplitudo tinggi).

Saran

Saran yang dapat diberikan yakni pengeloala MBOF perlu menyediakan

kandang karantina untuk cucak rawa yang baru didatangkan. Diperlukan

penelitian lanjutan mengenai analisis inbreeding (perkawinan antar kerabat dekat)

untuk meminimalisir resiko inbreeding, sehingga ukuran keberhasilan

penangkaran tidak mengalami penurunan.

DAFTAR PUSTAKA

[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2014 Daftar Populasi

Satwa yang Termasuk kedalam Red List of IUCN. [Internet]. [diunduh 2014

Jun 10]. Tersedia pada: http : www.iucnredlist.org.

Baga KM. 1999. Budidaya Pepaya. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

BirdLife International. 2001. Threatened birds of Asia : the BirdLife international

Red Data Book. Cambridge (US): BirdLife International,

Grant PR, Grant. 1997. Genetics and the origin of bird species. Proc. Natl. Acad.

Sci. [Internet]. [diunduh 2014 Mei 1]; 94: 7768–7775. Tersedia pada:

http://www.pnas.org/content/94/15/7768.full.pdf.

Gunarso P, Setyawati T, Sunderland T, Shackleton C. 2009. Pengelolaan

Sumberdaya Hutan di era Desentralisasi Pelajaran yang Dipetik dari Hutan

Penelitian Malinau, Kalimantan Timur, Indonesia [Laporan Teknis]. Bogor

(ID): Center for International Forestry Research (CIFOR) dan International

Tropical Timber Organization (ITTO).

Handoko. 1995. Klimatologi Dasar: Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan

Unsur-unsur Iklim. Bogor (ID): Pustaka Jaya.

Iswantoro. 2008. Konservasi dan peluang bisnis dalam penangkarkan burung

cucakrawa. J Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama. [Internet]. [diunduh 2013 Jul 31];

9(2): 57-70. Tersedia pada: http://digilib.uin-

suka.ac.id/8236/1/ISWANTORO%20KONSERVASI%20DAN%20PELUA

NG%20BISNIS%20DALAM%20PENANGKARAN%20BURUNG%20CU

CAKRAWA.pdf.

24

Jarulis. Meidian A, Kamilah SN, Alrahmado. 2013. Breeding dan Moulting

Burung-burung di Hutan Terfragmen Taman Wisata Alam Seblat, Bengkulu

dan Semirata FMIPA Universitas Lampung; 2013; Lampung, Indonesia.

Lampung (ID): Universitas Lampung. Hlm 15-28.

Karso SP. 1996. Penangkaran burung cucak rowo. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Kateran PP. 2010. Kebutuhan gizi ternak unggas di Indonesia. Wartazoa. 20(4):

172-180.

MacKinnon J, Phillipps K, Balen BV. 2010. Seri Panduan Lapang Burung-

Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Bogor (ID): Pusat

Penelitian dan Pengembangan LIPI.

Mas’ud B. 2002. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Menangkarkan Cucak

Rawa. Jakarta (ID): AgroMedia Pustaka.

Noor RR. 2008. Genetika Ternak. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Purnamasari DK. 2006. Pemberian ekstrak daun saga, sambiloto, pare hutan dan

efeknya terhadap suara burung perkutut (Geopelia striata) [tesis]. Bogor

(ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Puti AR. 2012. Pengaruh kadar air terhadap tekstur dan warna keripik pisang

kepok (Musa paradidiaca formatypica) [skripsi]. Makassar (ID): Jurusan

Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin.

Rusdin M. 2007. Analisis fenotipe, genotipe dan suara ayam pelung di kabupaten

cianjur [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Rusfidra. 2004. Karakterisasi sifat-sifat fenotipik sebagai strategi awal konservasi

ayam kokok balenggek di Sumatera Barat [tesis]. Bogor (ID): Sekolah

Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Rusfidra. 2007. Kajian Bioakustik Pada Ayam Kokok Balenggek “Ayam Lokal

Penyanyi” Sumatera Barat dan Seminar Nasional Teknologi Peternakan

dan Veteriner; 2007. Padang, Indonesia, Padang (ID): Universitas Andalas.

hlm.608-614.

Setio P, Takandjandji M. 2007. Konservasi Ek-Situ Burung Endemik Langka

Melalui Penangkaran dan Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian;

Padang, 20 September 2006. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan dan Konservasi Alam. hlm 47–61.

Soemarjoto R. 2003. Mengatasai Permasalahan Burung Berkicau. Jakarta (ID):

Penebar Swadaya.

Sudrajad. 1999. Cucakrawa. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Suketi K, Poerwanto R, Sujiprihati S, Sobir, Widodo WD. 2010. Studi karakter

mutu buah pepaya IPB. J. Hort Indoneisa. 1(1): 17-26.

Sukmantoro W, Irham M, Novarino W, Hasudungan F, Kemp M, Muchtar M.

2006. Daftar Burung Indonesia No. 2. Bogor (ID): Indonesian

Ornithologists’ Union.

Suprijatna E, Atmomarsono U, Kartasudjana R. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas.

Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Thohari M. 1987. Gejala inbreeding dalam penangkaran satwa liar. J Media

Konservasi. [Internet]. [diunduh 2013 Sep 2]; 1(4): 1 – 10. Tersedia pada:

http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/30029.

25

Tillman DA, Hartadi D, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo.

1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta (ID): Gajah Mada

University Press.

Turut R. 1999. Sukses Melatih Cucak Rawa. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Warwick EJ, Astuti JM, Hardjosubroto W. 1984. Pemuliaan Ternak. Yogyakarta

(ID): Gajah Mada University Press.

Widodo W. 1995. Nutrisi dan Pakan Unggas Kontekstual. Yogyakarta (ID):

Gajah Mada University Press.

Yunanti BD. 2012. Teknik penangkaran dan analisis koefisien inbreeding pada

Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) di Mega Bird And

Orchid Farm Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor.

26

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Indramayu, Jawa Barat pada 20 Januari 1992. Penulis

merupakan putri kedua dari Bapak Prasetyo Hardiono dan Ibu Tri Ruspiyani.

Pendidikan formal penulis yang telah ditempuh yaitu pendidikan sekolah dasar di SD

Negeri Kedokan Agung III pada periode tahun 1998–2004, kemudian penulis

melanjutkan ke pendidikan SMP Negeri 01 Karang Ampel periode tahun 2004–2007,

dan melanjutkan ke pendidikan SMA Negeri 7 Cirebon periode tahun 2007–2010.

Pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB)

melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan masuk dalam mayor departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan.

Penulis aktif ke dalam unit kegiatan mahasiswa IPB Koran Kampus pada

tahun 2010-2013. Selama kuliah di Fakultas Kehutanan IPB, penulis aktif mengikti

kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan

Ekowisata (HIMAKOVA) dan menjadi anggota Kelompok Pemerhati Tumbuhan

(KPF).

Pada tahun 2009, penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan

(P2EH) di Taman Wisata Alam Pangandaran. Pada tahun 2011, penulis mengikuti

Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) dan

melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung

Halimun Salak, Sukabumi.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian dengan

judul Teknik Penangkaran dan Kualitas Suara Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus

Gmelin, 1789) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor dibimbing oleh Dr Ir

Burhanuddin Masy’ud, MS dan Dr Ir Jarwadi Budi Hernowo, MScF.