TB ISPA Sudah Di Edit Bener-bener

47
 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernapasan akut (I SPA) dan TB par u adalah bagian dari pembangunan kesehatan, dan merupakan upaya yang mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia serta merupakan bagian dari upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit menular. Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Episode  penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3-6 kali per tahun. ISPA  juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan. Sebanyak 40%-60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15%-30% kunjungan  berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap di Rumah Sakit disebabkan oleh ISPA. Penyakit tuberkulosis paru juga masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penanggulangan TB paru secara nasional sudah dimulai sejak tahun 1969, namun data WHO baru-baru ini menunjukkan bahwa negara kita adalah  penyumbang kasus TB paru terbesar ketiga di dunia. Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis paru merupakan  penyebab nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit pernapasan pada semua golongan usia dan nomor 1 dari golongan penyakit infeksi.

Transcript of TB ISPA Sudah Di Edit Bener-bener

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pelaksanaan program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan TB paru adalah bagian dari pembangunan kesehatan, dan

merupakan upaya yang mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia serta merupakan bagian dari upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit menular. Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Episode penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3-6 kali per tahun. ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan. Sebanyak 40%-60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15%-30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap di Rumah Sakit disebabkan oleh ISPA. Penyakit tuberkulosis paru juga masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penanggulangan TB paru secara nasional sudah dimulai sejak tahun 1969, namun data WHO baru-baru ini menunjukkan bahwa negara kita adalah penyumbang kasus TB paru terbesar ketiga di dunia. Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis paru merupakan penyebab nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit pernapasan pada semua golongan usia dan nomor 1 dari golongan penyakit infeksi.

1

Sebagian besar penderita TB paru berasal dari kelompok masyarakat yang berusia produktif dan berpenghasilan rendah. Diperkirakan setiap tahun terdapat 500.000 kasus baru dimana sekitar 200.000 penderita terdapat di sekitar Puskesmas, 200.000 penderita ditemukan pada pelayanan RS/klinik pemerintah dan swasta serta praktek swasta, dan sisanya belum terjangkau unit pelayanan kesehatan. Penyakit Tuberkulosis paru dapat menularkan bila tidak diberi Obat Anti Tuberkulosa (OAT) dan setiap tahun satu orang penderita dapat menularkan lima sampai sepuluh orang lainnya, disamping itu keadaan ekonomi yang memprihatinkan, lingkungan sanitasi yang kurang menunjang, dan gizi yang tidak seimbang akan mempermudah dan memperparah perkembangan penyakit TB paru. Salah satu fungsi Puskesmas di era desentralisasi adalah memberikan pelayanan kesehatan tingkat pertama. Program P2TB paru merupakan program yang dilaksanakan secara terpadu oleh semua rumah sakit, BP-4, balai pengobatan pemerintah dan swasta serta dokter praktek swasta, dan Puskesmas sebagai ujung tombak program ini. Di Puskesmas 9 November TB memang tidak termasuk 10 penyakit terbanyak, tetapi jumlah penderita dengan BTA(+) terus meningkat dan jumlah penemuan kasus yang diharapkan masih belum mencapai target. Mengingat luas wilayah yang cukup luas dan angka kesakitan TB yang terus meningkat, maka diperlukan adanya peran aktif dari petugas kesehatan khususnya koordinator P2TB di wilayah kerja Puskemas 9 Novmber. Dari hal ini diharapkan

2

agar semua lapisan masyarakat dapat memperoleh informasi dan pelayanan kesehatan yang cepat dan cukup memadai sehingga dapat menurunkan angka kesakitan TB. B. Tujuan Penulisan Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui upaya penanggulangan penyakit menular khususnya TB paru dan ISPA pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas 9 Nopember melalui Program Pemberantasan dan Penanggulangan ISPA (P2 ISPA) dan Program Pemberantasan dan Penanggulangan TB paru (P2 TB).

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. 2.1.1

ISPA Definisi ISPA Istilah ISPA yang merupakan singkatan dari infeksi saluran pernafasan akut

mulai diperkenalkan pada tahun 1984 setelah dibahas dalam lokakarya Nasional ISPA di Cipanas. Istilah ini merupakan padanan istilah Inggris Accute Respiratory Infections (ARI). ISPA merupakan penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas, mulai dari hidung (saluran nafas atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga, dan pleura. 2.1.2 Etiologi Etiologi ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia, seperti: Bakteri, antara lain genus Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofillus, Bordetella, dan Korinebakterium Virus, antara lain golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus, dan lain-lain Diagnosis etiologi pneumonia pada balita sukar ditegakkan karena dahak biasanya sukar diperoleh, sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum

4

memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pneumonia. Hanya biakan dari spesimen pungsi atau aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan diagnosis etiologi pneumonia. Meskipun pemeriksaan spesimen pungsi paru merupakan cara yang sensitif untuk mendapatkan dan menentukan bakteri penyebab pneumonia pada balita akan tetapi pungsi paru merupakan prosedur berbahaya dan bertentangan dengan etika, terutama jika hanya dimaksudkan untuk penelitian. 2.1.3 Epidemiologi Angka kematian ISPA menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1994, 1997, dan 2002 menunjukkan bahwa angka kematian balita cenderung mengalami penurunan secara signifikan. Berdasarkan hasil SUKERNAS 2001 tampak bahwa proporsi kematian bayi karena penyakit saluran pernafasan pada bayi (usia < 1 tahun) sebesar 23,9% di Jawa dan Bali, 15,8% di Sumatra, serta 42,6% di kawasan Timur Indonesia; dan pada anak balita sebesar 16,7% di Jawa-Bali, 29,4% di Sumatra, 30,3% di kawasan Tinur Indonesia. Kurang lebih 10% kasus ISPA berlanjut atau terjadi dalam bentuk ISPA sedang dan berat yang memerlukan antimikroba. Dari seluruh kasus ISPA, 1-3% diantaranya dalam bentuk ISPA berat yang perlu dirawat. Sebab utama kematian ISPA berat adalah pneumonia, yang menjadi perhatian utama dalam upaya pemberantasan ISPA.

5

2.1.4

Penatalaksanaan Pola tatalaksana ISPA yang diterapkan pada Pelita VI hanya dimaksudkan

untuk tatalaksana penderita pneumonia berat, pneumonia, dan batuk-pilek biasa. Ini berarti hanya penyakit-penyakit tersebut yang penanggulangannya dicakup oleh program P2 ISPA, sedang penyakit ISPA lain seperti faringitis, tonsilitis, dan otitis belum dicakup oleh program ini. Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk standar pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi penggunaan antibiotik untuk kasus batuk-pilek biasa, serta mengurangi penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi penatalaksanaan kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman sebagai bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi penderita ISPA. Pola tatalaksana penderita ISPA terdiri dari 4 bagian, yaitu: 1. Pemeriksaan 2. Penentuan ada tidaknya tanda bahaya 3. Penentuan klasifikasi penyakit 4. Pengobatan Prinsip pengobatan bagi ISPA adalah: 1. Penderita dengan batuk-pilek biasa (batuk yang tidak disertai nafas cepat atau nafas sesak) tidak perlu antibiotik. Mereka memerlukan parasetamol dan obat yang meringankan batuk.

6

2. Penderita batuk yang disertai nafas cepat (pneumonia) harus mendapat antibiotik untuk 5 hari. Antibiotik jenis kotrimoksazol, amoksilin, ampisilin, atau penisilin prokain dapat digunakan. Program Pemberantasan Penyakit ISPA (P2 ISPA) memilih tablet kotrirmoksazol sesuai anjuran WHO. 3. Penderita batuk yang disertai nafas sesak (pneumonia berat) perlu dirujuk ke rumah sakit atau puskesmas dengan fasilitas rawat inap. Tenaga kesehatan juga sebaiknya memberikan nasihat kepada ibu balita tentang cara perawatan ISPA di rumah, yaitu: 1. Pemberian Makanan Beri makanan secukupnya se sakit dan tambahlah jumlahnya setelah sembuh. Hal ini akan mempercepat anak mencapai tingkat kesehatan semula dan mencegah malnutrisi. Malnutrisi akan memperberat atau mempemudah serangan ISPA dan diare. Bersihkan hidung agar tidak mengganggu pemberian makan. 2. Pemberian Cairan Beri anak minuman lebih banyak. Anak dengan infeksi saluran pernafasan dapat kehilangan cairan lebih banyak dari biasanya terutama jika disertai demam, sehingga perbanyak ASI, susu tambahan, sari buah, atau air putih. 3. Pemberian obat pelega tengggorokan dan pereda batuk (obat tradisional). 4. Bawa kembali anak jika keadaan memburuk dan disertai nafas sesak atau cepat, tidak mau minum dan kejang.

7

2.1.5

Program Pemberantasan Penyakit ISPA

1) Pengertian P2 ISPA Salah satu program pokok puskesmas yang lebih menitikberatkan kegiatannya pada pemberantasan penyakit ISPA. 2) Dasar Pemikiran Angka kesakitan penderita ISPA yang masih tinggi di wilayah kerja puskesmas. Angka kesakitan pada bayi dan balita masih tinggi. Ibu sebagian besar belum mengerti benar mengenai penyakit ISPA.

3) Tujuan a. Menurunkan angka kesakitan ISPA di wilayah kerja puskesmas. b. Menurunkan angka kesakitan, kematian bayi dan balita akibat ISPA di wilayah kerja puskesmas. c. Meningkatkan peran serta masyarakat terhadap kesehatan pribadi dan lingkungan. d. Mengadakan pemantauan wilayah setempat di wilayah kerja puskesmas. 4) Program Peran puskesmas dalam program P2 ISPA adalah: 1. Melakukan kegiatan penyuluhan/ KIE di puskesmas dan di masyarakat. 2. Melatih kader kesehatan, desa siaga dan posyandu dalam mengenal tanda-tanda pneumonia, pemberitahuan dan upaya pencegahannya.

8

3. Mendeteksi dini kasus-kasus pneumonia, klaster (kelompok) pneumonia 4. Melakukan tatalaksana kasus pneumonia sedini mungkin Hal ini sudah dilakukan, semua pasien yang menderita pneumonia diberikan antibiotik lini pertama sesuai dengan MTBS. Antibiotik lini pertama yang

diberikan adalah kotrimoksazole 2 kali sehari selama 3 hari Tabel 1. Penalaksanaan Pneumonia sesuai MTBS Umur atau berat Tab dewasa (80 Tab anak (20 mg sirup per 5 ml (40 badan mg Tmp + 400 g Tmp + 100 g mg Tmp + 200 g Smz) Smz) Smz) 2 - < 4 bln (4- < 6 kg) 4 - < 12 bln (6- < 10 kg) 1 - < 3tahun (10- < 15 kg) 2 2 1 2,5 ml (1 sendok takar) 10 ml (2 sendok takar) 12,5 ml (21/2 takar) 1 3 15 ml (3 sendok takar) sendok

3 - < 5 tahun (15- < 19 kg)

5. Merujuk kasus pneumonia berat ke RS Perujukan kasus pneumonia berat ke RS sudah dilakukan oleh pihak Puskesmas 9 Nopember. Namun, tidak semua pasien dengan pneumonia berat akhirnya dirujuk ke RS karena sebagian pasien menolak. Tidak ada data mengenai jumlah9

pasien yang dirujk, tetapi dari data primer didapatkan bahwa perujukan sudah disesuaikan dengan tatalaksana di MTBS. 6. Melakukan kunjungan rumah pada kasus yang tidak melakukan kunjungan ulang ke Puskesmas Poin ini tidak dilakukan oleh pihak puskesmas (bagian promosi kesehatan) karena kendala biaya transportasi. 7. Menerapkan kewaspadaan universal dalam tatalaksana kasus Program ini sudah dilaksanakan oleh Puskesmas 9 Nopember. Semua pasien dengan gejuala ISPA, dilakukan pemeriksaan yang sesuai (anamnesis dan pemeriksaan fisik) untuk mendeteksi secara dini penyakit pneumonia serta melacak faktor risiko ISPA yang mungkin ada pada pasien. 8. Melaporkan ke dinas kesehatan kabupaten/kota setempat dalam waktu 24 jam sejak deteksi suspek klaster pneumonia Hal ini tidak pernah dilakukan karena tidak pernah ditemukan kejadian suspek klaster penumonia. 9. Membantu dinas kesehatan kabupaten/kota dalam kegiatan surveilans dan observasi kontak kasus klaster pneumonia. Hal ini tidak pernah dilakukan karena tidak pernah ditemukan kejadian suspek klaster penumonia. 10. Berkoordinasi dengan Camat, Lurah, RT dan RW dalam upaya penanggulangan faktor risiko

10

Hal ini tidak dilakukan karena kendala biaya. Seharusnya dengan Camat, Lurah, RT dan RW dilakukan koordnasi untuk mencari data kependudukan. 11. Membantu penanggulangan Episenter (titik awal kejadian pneumonia) Pandemi (kejadian penemuan influensa jenis baru ) Influenza yang dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota. 12. Melakukan pencatatan dan pelaporan bulanan Hal ini sudah dilakukan oleh pihak puskesmas, semua data di ramgkum tiap bulannya, pendataan lengkap dan teratur. 13. Menyajikan dan menganalisis data dalam bentuk peta, grafik, table dan lain-lain. Hasil laporan bulanan ditempel dan di sajikan dalam bentuk grafik untuk memudahkan pembacaan hasil. 14. Menyebarluaskan data atau informasi melalui forum koordinasi di kecamatan, lokakarya di Puskesmas dan pemangku kepentingan yang lain. Tidak pernah dilakukan, karena memerlukan biaya kusus untuk melakukan hal tersebut. 15. Melakukan evaluasi berkala pencapaian kinerja, dan pemecahan masalah yang dihadapi. Bahan untuk evaluasi sudah tersedia melalui data yang dikumpulkan oleh petugas. Namun, se ini tidak ada tindak lanjut spesifik menyikapi kejadian kasus penyakit ISPA yang menjadi kasus terbanyak di Puskesmas 9 Nopember. tidak ada evaluasi untuk pencapaian kinerja karena tidak ada alat ukur yang dapat menilai hasil kinerja perorangan.11

16. Menggunakan data tersebut untuk perencanaan program P2 ISPA di Puskesmas Dari data tersebut, maka pihak puskesmas bisa menetapkan POA (Plan Of Action) untuk rencana berikutnya. B. TB Paru

2.2.1

Definisi Tuberkulosis paru adalah penyakit radang paru menular yang disebabkan oleh

kuman Mycobacterium tuberculosis. 2.2.2 Sifat Kuman dan Patogenesis Mycobacterium tuberculosis adalah kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 m dan tebal 0,3-0,6 m. Sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik. Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Patogenesis tuberkulosis paru ada 2, yaitu tuberkulosis primer dan tuberkulosis post primer. Pada tuberkulosis primer, penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Bila partikel infeksius ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada jalan napas atau paru-paru. Bila kuman menetap di jaringan paru, ia bertumbuh dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Kuman yang bersarang di jaringan paru-paru akan membentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut afek

12

primer. Dari afek primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer + limfangitis lokal + limfadenitis regional = komplek primer. Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis postprimer). 2.2.3 Epidemiologi Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosa. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Dimana sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Pada tahun 2006 terdapat sekitar 9,2 juta kasus baru TB dan kira-kira 1,7 juta kematian karena TB. Hasil Survey Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara Nasional 110 per 100.000 penduduk sedangkan jumlah TB anak kurang lebih 5-15% dari seluruh penderita TB. Diperkirakan 15 juta penderita TB baru dan 5 juta kematian akan terjadi diantara anak usia sekolah 5 tahun. Di kota Banjarmasin pada periode April s/d Desember 2000, penemuan penderita BTA (+) sebanyak 239 dengan positip rate 34,4% dari suspect/tersangka, sedangkan insiden rate sebesar 0,04% dan prevalensi rate sebesar 0,09% dan untuk

13

angka konversinya sebesar 84,4% serta angka kesembuhannya (cure rate) sebesar 80,9% sedangkan angka kesalahan laboratorium (error rate) 1,10%. Saat ini penemuan kasus TB di Banjarmasin sudah mencapai 52 persen di tahun 2010 atau sebanyak 650 kasus TB dari target penemuan kasus 1257. Sedangkan selama tahun 2011 ini, kasus TB ini juga telah mencapai 140 kasus TB (yang masih dalam pengobatan) dari target penemuan 1350 kasus. 2.2.4 Diagnosa TB Paru Diagnosa TB paru didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan laboratorium dan radiologis serta pemeriksaan imunologis. Anamnesis Gejala-gejala paling umum pada penderita tuberkulosis adalah: Batuk yang terus-menerus dan berdahak selama lebih dari 3 minggu Batuk bercampur darah, sesak napas dan rasa nyeri pada dada Nafsu makan menurun dan berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam tanpa disertai kegiatan, badan lemah, dan demam lebih dari 1 bulan. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda infiltrat (redup sampai hipersonor, bronkial atau vesikuler yang melemah, ronki basah), tanda-tanda penarikan paru; diafragma dan mediastinum, serta suara napas amforik karena adanya kavitas berhubungan langsung dengan bronkus.

14

Pemeriksaan Laboratorium dan Radiologi Tanda pasti penderita TB ditetapkan dengan pemeriksaan kultur, sayangnya biaya mahal dan memerlukan waktu 6-8 minggu. Pemeriksaan dahak 3 kali (sewaktu, pagi, sewaktu) identik dengan pemeriksaan kultur. Pemeriksaan sputum bakteriologi adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat ditegakkan, disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan (Puskesmas). Pemeriksaan ini berupa pemeriksaan mikroskopis dari dahak yang telah dibuat sediaan apus dan diwarnai secara Ziehl Neelsen. Di sebagian besar negara-negara berkembang. Pemeriksaan ini merupakan satu-satunya cara dimana diagnosis tuberkulosis dapat dipastikan. Ini sangat penting untuk dilaksanakan mengingat ketepatan dan efisiensinya dalam menentukan penderita TB menular. Untuk pemeriksaan radiologis dilakukan pemeriksaan rontgen thoraks. Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan gejala klinik, dan ditemukannya sekurangkurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif, atau 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen thoraks menunjukkan gambaran gambaran tuberkulosis aktif, atau pemeriksaan 3 spesimen dahak hasilnya BTA negatif dan foto rontgen thoraks menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

15

Gambar 1. Alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru

2.2.5

Program Pemberantasan Penyakit TB Paru Dalam kegiatan pokok Program Pemberantasan TB Paru dikenal 2 komponen,

yaitu komponen diagnosis dan komponen pengobatan. Pada komponen diagnosis meliputi deteksi penderita di poliklinik dan penegakkan diagnosis secara laboratorium, sedangkan komponen pengobatan meliputi pengobatan yang cukup dan tepat serta pengawasan menelan obat setiap hari terutama pada fase awal.16

Penemuan Pasien Tb Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek,

diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Strategi penemuan: Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif didukung dengan penyuluhan secara aktif untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB. Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiaporang yang datang ke UPK dengan gejala TB, dianggap sebagai seorang tersangka(suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopislangsung. Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilaikeberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa SewaktuPagi-Sewaktu (SPS). Paduan obat anti tuberkulosis yang dipakai program sesuai dengan rekomendasi WHO berupa OAT jangka pendek yang terdiri dari 4 kategori. Setiap kategori terdiri dari 2 fase pemberian yaitu fase awal/intensif dan fase lanjutan/intermiten. Adapun perincian OAT program adalah sebagai berikut:

17

Tabel 2. Rejimen Terapi OAT No. 1. Kategori I OAT 2HRZE/4H3R3 Keterangan - Penderita baru BTA (+) - Penderita baru BTA (-)/Ro (+) yang sakit berat - Pendeerita ekstra paru berat 2. II 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3 3. III 2HRZ/4H3R3 - Kambuh (relaps) BTA (+) - Gagal (failure) BTA (+) - Penderita baru BTA (-)/Ro (+) - Penderita ekstra paru ringan 4. IV - H seumur hidup - Obat yang masih sensitif + Quinolon 5. Sisipan HRZE - Bila penderita oleh K I dan K II pada akhir fase awal/intensif masih BTA (+) - Penderita dengan TB kronis - Penderita dengan MDR TB

Tabel 3. Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis Nama Obat 1. Isoniazid (INH) Efek Samping Neuritis perifer, ikterus, hipersensitivitas, mulut kering, nyeri epigastrik, tinitus, retensio urine dan methemoglobinemia Ikterus, flu-like syndrome, syndrome Redman, nyeri epigastrik, reaksi hipersensitivitas, dan supremi imunitas

2. Rifampisin

18

3. Etambutol

Neuritis optik, gout, artralgia, anoreksia, mual muntah, disuria, malaise dan demam Gangguan hati, gout, artralgia, anoreksia, mual muntah, disuria, malaise dan demam Hipersensitivitas, vertigo, tuli, gangguan fungsi ginjal

4. Pirazinamid

5. Streptomisin

Komponen pengobatan yang kedua pada P2TB Paru adalah pengawasan menelan obat setiap hari terutama pada fase awal. Untuk menjamin kesembuhan dan mencegah resistensi serta keteraturan pengobatan dan mencegah drop out/lalai perlu dilakukan pengawasan dan pengendalian pengobatan dengan pendekatan DOTS. DOTS (Directly Observed Treatment Short Course Therapy) adalah suatu strategi yang ditetapkan oleh WHO dalam upaya pemberantasan tuberkulosis. Suatu strategi penanggulangan TB dengan melakukan tindakan pengawasan pemakaian obat jangka pendek kepada penderita TB yang didiagnosa dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopik binokuler, memastikan mereka minum obat sampai selesai dan memantau kemajuan pengobatannya sampai sembuh berdasarkan kategori tertentu yang telah ditetapkan oleh program ini. Dari definisi di atas dapat disimpulkan ada 5 komponen utama strategi DOTS yaitu: 1. Komitmen politik 2. Pemeriksaan laboratorium dengan mikroskopik binokuler Mikroskop sebagai komponen utama untuk mendiagnosa TB melalui pemeriksaan sputum langsung pasien tersangka dengan penemuan secara pasif.

19

Pemeriksaan laboratorium juga penting untuk mengamati dan memastikan perkembangan kemajuan pengobatan penderita TB. Pemeriksaan ulang dahak dilakukan setelah fase awal/intensif diselesaikan (2 bulan untuk kasus baru dan 3 bulan untuk kasus ulang) harus diperiksa 2 spesimen dahak, untuk melihat terjadinya konversi. Jika hasil BTA (-) fase lanjutan dapat dimulai. Jika salah satu hasil BTA (+) fase intensif dilanjutkan 1 bulan lagi dengan OAT sisipan. Setelah 1 bulan diperiksa dahak lagi bila BTA (-) dilanjutkan dengan fase lanjutan. Bila BTA (+), pengobatan dengan kategori 1 harus distop dan diganti dengan kategori 2, dimulai dari awal. Perubahan dari BTA (+) menjadi BTA (-) disebut konversi dahak. Tabel 4. Tindak Lanjut Pemeriksaan Ulang Dahak Uraian Pada akhir tahap awal/intensif Hasil BTA (-) (+) Tindak Lanjut Fase lanjutan/intermiten dimulai Dilanjutkan dg OAT selama 1 bulan sisipan

Sebulan sebelum akhir pengobatan atau akhir pengobatan (AP)

(+) pd kategori 1 Mulai kategori 2 (+) pd kategori 2 Disebut penderita kronis (-), ke-2nya Sembuh

3. Terjaminnya kelangsungan persediaan OAT 4. Sistem pencatatan dan pelaporan yang akurat dan sesuai standar untuk memantau kemajuan dan hasil pengobatan penderita. Dalam pelaksanaan program DOTS, untuk pemantauan dan evaluasi program P2TB dipakai 9 formulir pencatatan dan 3 format laporan.

20

5. Pengawasan minum obat (PMO) Pengawasan mempunyai peranan yang utama dalam strategi DOTS, pengawasan adalah kunci utama pemberantasan penyakit TB yang direkomendasikan oleh WHO, hampir semua penderita TB sembuh bila obat diminum secara teratur selama waktu yang telah ditentukan. Namun bila penderita tidak menyelesaikan pengobatannta atau kadang-kadang lupa minum obat atau tidak mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan, dapat dipastikan bahwa hal ini dapat menggagalkan pengobatan TB terhadap penderita, bahkan bisa menjadi hal yang lebih mengerikan lagi, yaitu terjadinya resistensi OAT atau MDR. Dengan strategi DOTS penderita minum obat di bawah pengawasan petugas kesehatan, petugas sosial, tokoh masyarakat, kader, atau keluarga yang disegani. Hal ini dilakukan karena sangat sedikit masyarakat yang dengan kemauan sendiri minum obat sampai habis sesuai dengan waktu dan aturan yang ditentukan. Oleh karena itu menjadi sangat penting bagi seluruh masyarakat untuk mengetahui bahwa seseorang yang menderita TB harus menghabiskan obatnya sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. Petugas Puskesmas harus membahas dengan penderita bagaimana cara agar terjamin obat ditelan setiap hari, yaitu melalui pengawasan minum obat yang penunjukannya disepakati bersama. Sebelum pengobatan pertama kali diberikan pengawas dan penderita harus diberi penyuluhan singkat tentang: gejala penderita tersangka TB, mengapa periksa dahak 3x, pentingnya berobat secara teratur dan lengkap sesuai jadwal, tentang gejala samping OAT, cara mengatasi dan mengapa perlu periksa ulang dahak.21

2.2.6

Pemantauan dan Evaluasi Program P2TB Paru Dalam Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, salah satu komponen

penting dari survailans yaitu pencatatan dan pelaporan dengan maksud mendapatkan data untuk diolah, dianalisis, diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan. Data yang dikumpulkan pada kegiatan survailans harus valid (akurat, lengkap dan tepat waktu) sehingga memudahkan dalam pengolahan dan analisis. Data program Tuberkulosis dapat diperoleh dari pencatatan di semua unit pelayanan kesehatan yang dilaksanakan dengan satu sistem yang baku. Formulir-formulir yang dipergunakan dalam pencatatan TB di Unit Pelayanan Kesehatan/UPK (Puskesmas, Rumah Sakit, BP4, klinik dan dokter praktek swasta dll) dalam melaksanakan pencatatan antara lain : Daftar tersangka pasien (suspek) yang diperiksa dahak SPS (TB.06). Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05). Kartu pengobatan pasien TB (TB.01). Kartu identitas pasien TB (TB.02). Register TB UPK (TB.03 UPK) Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09). Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10). Register Laboratorium TB (TB.04).

22

Penilaian hasil pengobatan seorang pendedrita dapat dikategorikan kepada: sembuh, pengobatan lengkap, gagal, defaulted (lalao berobat), meninggal, dan pindah (transfer out). Sembuh: penderita BTA(+) yang telah menyelesaikan pengobatannya kemudian diperiksa ulang dahaknya terdapat hasil BTA (-) 2 kali atau lebih pada waktu yang berurutan yaitu bulan ke-5 dan akhir pengobatan pada kategori 1 dan bulan ke-7 dan AP pada kategori 2. Pengobatan lengkap: penderita TB yang telah mengikuti pengobatan lengkap tapi tidak dilakukan pemeriksaan dahak ulang (atau diperiksa hanya 1 kali dengan hasil BTA (-) pada bulan ke-2 atau pada bulan ke-5 (7) atau pada AP. Meninggal: penderita TB yang diketahui meninggal karena sebab apapun Gagal: penderita BTA (+) yang pada pemeriksaan dahaknya tetap memberikan hasil BTA (+) pada akhir fase awal setelah pengobatan dengan sisipan, pada akhir bulan 5 (kategori-1), 7 (kategori-2) dan AP. Defaulted: penderita yang tidak mengambil obat lebih dari 2 bulan dalam masa antara 2-5 bulan pengobatan tetapi BTA (-) sebelum berhenti berobat. Pindah: penderita TB paru yang pindah tempat tinggal ke kabupaten lain. Dalam program P2TB Paru diperlukan suatu alat untuk memantau apakah kegiatan yang terkait dalam program TB berjalan sesuai dengan ketentuan yang diharapkan untuk mencapai tujuannya. Indikator penanggulangan TB secara Nasional

23

ada 2 yaitu: Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR) dan Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR). Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional tersebut di atas, yaitu : 1. Angka Penjaringan Suspek Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000 penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan untuk mengetahui akses pelayanan dan upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu ( triwulan / tahunan ).

Jumlah suspek yang diperiksa bisa didapatkan dari buku daftar suspek (TB .06) UPK yang tidak mempunyai wilayah cakupan penduduk, misalnya rumah sakit, BP4 atau dokter praktek swasta, indikator ini tidak dapat dihitung. 2. Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara Suspek yang diperiksa dahaknya Adalah persentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara seluruh suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek.

24

Angka ini sekitar 5 - 15%. Bila angka ini terlalu kecil ( < 5 % ) kemungkinan disebabkan : Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi kriteria suspek, atau Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium ( negatif palsu ). Bila angka ini terlalu besar ( > 15 % ) kemungkinan disebabkan : Penjaringan terlalu ketat atau Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu). 3. Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru Tercatat/diobati Adalah presentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara semua pasien Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara seluruh pasien.Tuberkulosis paru yang diobati.

25

Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah, itu berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif). 4. Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB Adalah presentase pasien TB anak (80% >85% 70%

53% 71% 100% 100% 7%

100% 71.5% 81% 100% 38%

Sumber : Laporan Tahunan Puskesmas 9 November Tahun 2010-2011 Pada tahun 2011 terjadi peningkatan insiden suspek sebanyak 550 orang namun hanya 90 suspek yang diperiksa (16% dari total suspek). Terjadi peningkatan penemuan penderita TB BTA (+) dari tahun sebelumya, yaitu 21 orang dengan jumlah penderita TB secara keseluruhan 21 orang. Penderita TB BTA (+) yang konversi 15 penderita dan yang sembuh 17 penderita. Sedikitnya jumlah suspek yang dapat diperiksa oleh puskesmas 9 nopember dikarenakan penjaringan TB paru hanya dilakukan secara pasif, yaitu penderita

39

datang ke puskesmas untuk memeriksakan diri. Kurangnya jumlah tenaga kesehatan pelaksana program TB menyebabkan kurang aktifnya pencarian suspek TB. Pada tabel 13 terlihat bahwa proporsi penderita TB paru BTA (+) diantara suspek yang diperiksa dahaknya pada tahun 2010 didapatkan hasil 9.7% yang mana memenuhi target nasional. Angka ini dapat digunakan sebagai acuan untuk menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan terhadap kriteria suspek. Namun pada tahun 2011 didapatkan hasil 23 % yang mana di atas target nasional. Hal ini dapat disebabkan oleh : a. Penjaringan terlalu ketat. b. Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium. Namun kedua hal tersebut di atas ditampik oleh tenaga laboratorium puskesmas 9 nopember. Menurut beliau angka tersebut terjadi karena terlalu sedikitnya jumlah suspek yang diperiksa di puskesmas. Idealnya, jumlah penderita TB BTA (+) yang ditemukan adalah sepersepuluh dari jumlah suspek yang diperiksa.Tabel 14. Evaluasi Hasil Pengobatan Penderita Baru BTA (+) Per Triwulan Tahun 2010 Triwulan Yang Diobati I II 2 2 Sembuh Meninggal Gagal Do Pindah Pengobatan lengkap -

40

II IV Jumlah

3 2 7

3 2 7

0

0

0

0

0

Tabel 15. Evaluasi Hasil Pengobatan Penderita Baru BTA (+) Per Triwulan Tahun 2011Triwula n Yang Diobati Sembuh Meninggal Gagal Do Pindah Pengobatan lengkap Masih dalam pengo batan I II II IV Jumlah 4 7 6 4 21 4 7 6 17 0 0 0 0 0 4 4

Sumber : Laporan Tahunan Puskesmas 9 November Tahun 2011

Pada tabel 13 dapat terlihat bahwa angka konversi masih belum memenuhi target baik pada tahun 2010 maupun 2011. Pada tahun 2010 angka konversi didapatkan 71% dan pada tahun 2011 didapatkan 71.5% sedangkan target nasional 80%. Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan

41

untuk mengetahui apabila pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar. Yang menggembirakan, angka kesembuhan dan angka keberhasilan pengobatan di puskesmas 9 nopember selalu di atas target nasional. Angka kesembuhan dan angka keberhasilan pengobatan di tahun 2010 adalah 100%. Untuk tahun 2011, angka kesembuhan adalah 81% disebabkan karena adanya beberapa pasien TB yang belum menyelesaikan pengobatannya. Sedangkan untuk angka keberhasilan pengobatan mencapai 100%. Angka ini dapat terjadi karena jumlah pasien TB yang menjalani pengobatan di puskesmas 9 nopember hanya sedikit jumlahnya. Meningkatnya angka kesakitan TB disebabkan karena pengembangan pelayanan yang belum menyeluruh, juga yang lebih utama faktor perilaku penderita, masyarakat dan petugas yaitu kurangnya pengetahuan, sikap dan praktek dalam pencegahan dan penularan TB, tidak teraturnya penderita minum obat yang bisa mengakibatkan resistensi dan kurangnya Promosi TB yang berdaya guna dan berhasil guna. Dari data laporan tahunan penyuluhan kesehatan Puskemas 9 November tahun 2011 menunjukkan kegiatan penyuluhan dengan tema penyakit menular sebanyak 60 kali. Dari hasil wawancara dengan petugas promosi kesehatan dan dokter puskesmas diketahui bahwa penyuluhan terhadap penyakit menular khususnya TB dan ISPA juga dilakukan oleh kader TB dan ISPA di posyandu. Puskesmas 9 nopember membawahi 18 posyandu dan memiliki secara keseluruhan 88 kader. Kader yang42

secara khusus dilatih untuk TB dan ISPA adalah sebanyak 18 orang yang di tiap posyandu terdapat masing-masing 1 orang. Tabel 16. Data Laporan Tahunan Penyuluhan Kesehatan Puskesmas 9 November Tahun 2011 Kegiatan Penyuluhan Penyakit Menular Penyakit Tidak Menular Kesehatan Lingkungan Gizi Pelayanan Kesehatan PHBS KIA-KB NAPZA 60 42 59 47 25 58 36 16 Frekuensi

Sumber : Laporan Tahunan Puskesmas 9 November Tahun 2011 Tabel 17. Data Kader Posyandu TB dan ISPA Puskesmas 9 Nopember Tahun 2011 No. Nama Posyandu Nama Kader Pendidikan Lama Menjadi Kader (tahun) 1 2 Kembang Berenteng 1 Kembang Berenteng 2 Herlinawati Aisyah Andrini SMKK SPG 11 23

43

3 4 5 6 7 8 9 10

Kembang Berenteng 3 Kembang Berenteng 4 Kembang Berenteng 5 Kembang Berenteng 6 Kembang Berenteng 7 Kembang Berenteng 8 Kembang Berenteng 9 Kembang Berenteng 10

Ruslinah Salmiah Ratnawati St. Salmah St. Fatimah Hamsiah Niek Surdjani Misnayah

SMP SMP SMP SMP SR SMP SMP SMA

23 23 24 58 17 18 23 19

11 12 13 14 15 16 17 18

Suka Maju 1 Suka Maju 2 Suka Maju 3 Suka Maju 4 Suka Maju 5 Suka Maju 6 Suka Maju 7 Suka Maju 8

Khusnul K Rohana St. Wardah St. Halimah Hj. Iriani Sumiati Salmiah Khairiah

SMP SMA SMA SMA SD SD SMA SMP

20 11 27 1 31 14 12 5

44

BAB IV HAMBATAN DAN PERMASALAHAN YANG TIMBUL DALAM PELAKSANAAN PROGRAM P2 ISPA DAN TB DI PUSKESMAS 9 NOPEMBER

1. Masih tingginya angka kejadian ISPA di wilayah kerja puskesmas 9 nopember. Alternatif pemecahan masalah : Meningkatkan penyuluhan mengenai faktor resiko terjadinya ISPA termasuk mengenai kebersihan lingkungan, pentingnya imunisasi dan gizi yang adekuat. Serta penyuluhan mengenai cara hidup sehat seperti mengurangi penggunaan air sungai untuk keperluan sehari-hari dan mengenai efek merugikan dari rokok. Peningkatan perencanaan dan pelaksanaan ini meliputi jumlah penyuluhan yang dilakukan, sasaran areal yang dituju harus merata, jumlah penduduk yang ditargetkan untuk mengikuti penyuluhan juga harus jelas dan ditingkatkan. Meningkatkan jumlah sarana air bersih dan jamban. Dari data yang diperoleh dari kecamatan, diketahui bahwa keadaan lingkungan Kelurahan Banua Anyar dan Pengambangan merupakan areal yang sangat padat. Jumlah sarana air bersih dan jamban tidak sebanding dengan jumlah penduduk. Maka dari

45

itu penting untuk melakukan kerjasama lintas sektoral dengan dinas kebersihan. 2. Masih banyaknya program ISPA yang terkesan tidak berjalan atau jarang dilakukan seperti kunjungan rumah penderita pneumonia dan kunjungan rumah care seeking. Alternatif pemecahan masalah : Meningkatkan inisiatif untuk menjalankan kegiatan tanpa harus selalu menunggu instruksi dari pusat. Merangkai pelaksanaan beberapa program dalam satu kesempatan. Misalnya kegiatan penyuluhan luar gedung bisa dirangkai dengan kunjungan ke rumahrumah penduduk untuk menemukan masyarakat yang memiliki faktor resiko. Dengan merangkai beberapa kegiatan diharapkan waktu dan dana yang diperlukan bisa ditekan. 3. Kurangnya jumlah tenaga puskesmas 9 nopember yang bertanggung jawab

terhadap pelaksanaan program P2 ISPA dan TB. Alternatif pemecahan masalah : Meningkatkan jumlah tenaga puskesmas yang bertanggung jawab terhadap program P2 ISPA dan TB Meningkatkan jumlah kader khusus ISPA dan TB di posyandu Meningkatkan kerjasama antara kader dan tenaga puskesmas seperti mengadakan kegiatan rapat membahas program P2 ISPA dan TB.

46

4. Masih rendahnya jumlah suspek TB yang diperiksa oleh puskesmas 9 nopember. Pada tahun 2010 hanya diperiksa 72 suspek dari total perkiraan 410 suspek (17%). Dan pada tahun 2011 hanya diperiksa 90 suspek dari total perkiraan 550 suspek (16%). Rendahnya jumlah suspek yang diperiksa akan berpengaruh secara langsung terhadap case detection rate / penemuan penderita baru TB paru BTA (+). Alternatif pemecahan masalah : Meningkatkan penyuluhan mengenai gejala-gejala dini TB paru sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap TB paru. Melakukan penjaringan aktif yaitu petugas puskesmas datang dan melakukan kunjungan ke rumah-rumah warga. Selama ini yang dilakukan hanyalah bpenjaringan pasif, yaitu penderita yang datang ke puskesmas untuk memeriksakan diri.

47