Tawuran antar pelajar
-
Upload
mhs-x-class-ebook-project -
Category
Documents
-
view
218 -
download
5
description
Transcript of Tawuran antar pelajar
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan buku elektronok digital ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga buku elektronik digital ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi keguruan. Harapan saya semoga buku elektronik ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi buku elektronik ini sehingga kedepannya dapat lebih baik. buku elektronik ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan buku elektronik.
TAWURAN ANTAR PELAJAR
Tawuran pelajar saat ini sudah menjadi momok bagi masyarakat. Prilaku
tawuran pelajar bukan hanya mengakibatkan kerugian harta benda atau
korban cedera tapi sudah merenggut ratusan nyawa melayang sia-sia
selama sepuluh tahun terakhir.
Beberapa tahun lalu beberapa siswa dari sebuah sekolah swasta
ditangkap polisi karena membacok siswa SMK 5 Semarang. Mereka
terancam dikeluarkan dari sekolah dan dihukum penjara. Wali Kota Sukawi
Sutarip mendukung bila sekolah mengeluarkan siswa yang terlibat
tawuran. Bahkan ia mengatakan, semua sekolah di Semarang tidak boleh
menerima siswa itu lagi. Akankah tindakan represif semacam itu akan
menyelesaikan masalah?
Maraknya tawuran pelajar dipicu oleh banyak faktor. Pada tingkat mikro,
rendahnya kualitas pribadi dan sosial siswa mendorong mereka berprilaku
yang tidak pronorma. Pada tingkat messo, buruknya kualitas dan
manajemen pendidikan mendorong rasa frustasi anak yang dilampiaskan
pada tindakan negatif, termasuk tawuran. Di tingkat makro, persoalan
pengangguran, kemiskinan, dan kesulitan hidup memberi sumbangan
tinggi bagi terbentuknya masyarakat (termasuk siswa) yang merasa
kehilangan harapan untuk hidup layak.
Sekolah sebagai “Pembunuh” Siswa
Beragam “prestasi buruk” selama ini menghadapkan pendidikan pada
pertanyaan mendasar tetapi sangat fundamental: sejauhmana efektivitas
pendidikan bagi peningkatan kualitas siswa. Pertanyaan mendasar
tersebut layak dikedepankan mengingat sumbangsih pendidikan bagi
masyarakat belum terlihat secara kasat mata. Padahal “investasi” yang
diserap dunia pendidikan sangat besar. Pendidikan belum berhasil menjadi
solusi bagi kesejahteraan hidup manusia, tetapi sebaliknya: menciptakan
masalah bagi masyarakat.
Salah satu masalah yang dihadapi pendidikan adalah kurikulum yang
dianggap terlalu berat dan membebani siswa. Kuatnya campur tangan
pemerintah dalam dunia pendidikan ditengarai pada dominannya
pemerintah dalam penyusunan kurikulum. Di samping itu, banyak pihak
yang ingin memasukan “kepentingannya” dalam kurikulum pendidikan.
Departemen Koperasi ingin ada pelajaran tentang koperasi, pengusaha
industri ingin ada pelajaran teknis kerja, serikat buruh ingin ada pelajaran
tentang buruh. Akibatnya batok kepala siswa menjadi “keranjang sampah”
bagi beragam kepentingan.
Banyaknya bidang kajian menjadikan substansi pengetahuan menjadi
sedikit, tetapi terlalu montok. Akhirnya kita lupa, bahwa apa yang dipelajari
siswa “tidak bermanfaat”. Sudah sumpeg, metode pembelajarannya pun
represif. Modus pembelajaran yang monolog oleh guru terasa benar miskin
makna. Yang dimaksud cerdas oleh guru adalah besarnya daya ingat
siswa terhadap segudang informasi, seperti halnya ketangkasan cerdas
cermat.
Pendidikan juga terlalu science minded. Ada siswa SMU yang setiap
minggunya harus belajar matematika 10 jam dan fisika masing-masing 10
jam pelajaran. Seolah-olah matematika dan fisika merupakan satu-satunya
jawaban dari persoalan hidup manusia. Jarang sekali ada sekolah yang
mengembangkan pembelajaran sesuai potensi, minat, dan bakat siswa
seperti olah raga atau musik, misalnya.
Akibat kurikulum yang terlalu berat menjadikan sekolah sebagai
“stressor baru” sebagai siswa. Disebut “baru” karena siswa sebenarnya
sudah sangat tertekan akibat berbagai persoalan keluarga dan masyarakat
(termasuk pengangguran dan kemiskinan). Akibatnya, siswa ke sekolah
tidak enjoy tetapi malah stress. Siswa tidak menganggap sekolah sebagai
aktivitas yang menyenangkan tetapi sebaliknya: membebani atau bahkan
menakutkan. Akibatnya, siswa lebih senang keluyuran dan kongkow-
kongkow di jalan-jalan daripada mengikuti pelajaran di sekolah.
Ada joke yang akrab di masyarakat, sekolah sudah menjadi “pembunuh
nomor satu” di atas penyakit jantung.
Siswa bukan hanya terbunuh secara fisik karena tawuran, tetapi juga
terbunuh bakat dan potensinya. Banyak talenta siswa yang semestinya
bisa dikembangkan dalam bidang olahraga, seni, bahasa, atau jurnalistik,
hilang sia-sia akibat “mabuk” belajar fisika dan matematika.
Seorang kawan secara berkelakar mengatakan lebih enak bekerja
daripada sekolah. Orang bekerja mulai pukul 9 sampai 4 sore (7 jam),
selama 5 hari perminggu. Sedangkan siswa masuk sekolah pukul 7 sampai
13.30 (6,5 jam), hampir sama dengan orang bekerja. Tetapi ingat malam
hari siswa harus belajar atau mengerjakan pekerjaan rumah, serta masuk 6
hari perminggu.
Bagaimana mengatasi kurikulum dianggap overload ini? Karena sudah
“terlanjur”, pendidikan harus berani meredefinisi semua programnya.
Tetapi, sanggupkah para penentu kebijakan melakukan perombakan?
Itulah masalahnya. Banyak pengelola pendidikan bermental “priyayi”.
Mereka lebih memikirkan kenaikan pangkatnya daripada peningkatan
kualitas pendidikan. Budaya “cari muka” dan “minta petunjuk” membuat
mereka tidak berani melakukan perubahan. Sebab, mereka tidak mau
mempertaruhkan kenaikan pangkatnya. Lebih baik “adem ayem” kenaikan
pangkat lancar daripada “kritis” tetapi terancam.
Sekolah yang Menyenangkan
Saat ini mulai berkembang paradigma baru tentang “pendidikan yang
menyenangkanE2, seperti model quantum learning. Dalam quantum
learningpelajaran sekolah tidak menjadi beban bagi siswa. Pendidikan
disesuaikan dengan ranah berpikir siswa. Jadi bukannya siswa yang
“dipaksa” mengikuti pelajaran sesuai kemauan guru, termasuk dalam hal
penilaian benar-salah. Guru yang harus “masuk” ke dalam ranah berpikir
siswa, menyelami apa pemikiran, kehendak, dan jiwa siswa.
Dalamquantum learning, guru tidak bisa dengan otoriter memaksakan
pendapatnya paling benar. Tetapi siswa dilibatkan untuk mengkaji
kebenaran nilai-nilai itu dan perbedaan pendapat tidak dilarang. Selama ini
kan tidak. Aturan yang dibuat sekolah bernilai mutlak. Siswa tidak punya
kewajiban lain selain patuh. Kalau tidak patuh maka dianggap “melanggar
peraturan” sehingga wajib diberi sanksi. Tidak ada hak bagi siswa untuk
mengemukakan pendapat bahwa setiap aturan mesti tergantung pada
konteksnya, termasuk konteks pemikiran siswa. Akibatnya, siswa patuh
karena “pura-pura”.
Selain quantum learning, dipelopori David Golemen, para pemerhati
pendidikan di Barat mulai menyadari bahwa kecerdasan emosional (EQ)
tidak kalah penting dibanding kecerdasan intelektual (IQ). Bahkan menurut
penelitian David Goleman, siswa yang memiliki kecerdasan emosional
tinggi, setelah dewasa justru lebih banyak yang “berhasil” dibanding siswa
yang memiliki IQ tinggi. Paradigma baru ini hendaknya juga mulai diadopsi
di Indonesia. Kecerdasan emosional siswa meliputi kemampuan
mengembangkan potensi diri dan melakukan hubungan sosial dengan
manusia lain. Beberapa tolok ukurnya adalah: memiliki pengendalian diri,
bisa menjalin relasi, memiliki sifat kepemimpinan, bisa melobi, dan bisa
mempengaruhi manusia lain.
Siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi memiliki “beragam alternatif
bahasa” untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan manusia lain,
termasuk dengan seseorang yang “dianggap musuh”. Sebaliknya, siswa
yang kecerdasan emosionalnya rendah hanya memiliki satu bahasa: takut
atau justru sebaliknya, tawur. Mereka juga tidak bisa “membedakan”
musuh. Tolok ukur seseorang dianggap “kawan” atau “musuh” adalah
seragamnya. Siapapun dia, asalnya darimana, kalau memakai seragam
sekolah “lawan” harus dimusuhi.
Seragam sekolah menjadi sumber masalah. Meski tujuannya baik yakni
untuk melatih kedisplinan, tetapi juga membawa dampak negatif. Seragam
sekolah menumbuhkan identitas kelompok yang memicu tawuran.
Lagipula, penyeragaman seragam sekolah juga tidak bermanfaat.
Malahan, rok siswi yang kadang terlalu mini juga mengundang masalah
sendiri bagi siswa laki-laki.Sebaiknya siswa tidak diwajibkan mengenakan
seragam.
Itulah beberapa tawaran untuk mengurangi tawuran pelajar. Kalau usaha
tersebut telah diikhtiarkan tetapi tawuran pelajar makin menggejala, artinya
kita perlu berikhtiar lebih keras lagi. Justru itulah makna hakikat
pendidikan: terus berusaha dan tak kenal menyerah.