Tawuran antar pelajar

7

description

by muhammad wenddy

Transcript of Tawuran antar pelajar

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan buku elektronok digital ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga buku elektronik digital ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi keguruan. Harapan saya semoga buku elektronik ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi buku elektronik ini sehingga kedepannya dapat lebih baik. buku elektronik ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan buku elektronik.

TAWURAN ANTAR PELAJAR

Tawuran pelajar saat ini sudah menjadi momok bagi masyarakat. Prilaku

tawuran pelajar bukan hanya mengakibatkan kerugian harta benda atau

korban cedera tapi sudah merenggut ratusan nyawa melayang sia-sia

selama sepuluh tahun terakhir.

Beberapa tahun lalu beberapa siswa dari sebuah sekolah swasta

ditangkap polisi karena membacok siswa SMK 5 Semarang. Mereka

terancam dikeluarkan dari sekolah dan dihukum penjara. Wali Kota Sukawi

Sutarip mendukung bila sekolah mengeluarkan siswa yang terlibat

tawuran. Bahkan ia mengatakan, semua sekolah di Semarang tidak boleh

menerima siswa itu lagi. Akankah tindakan represif semacam itu akan

menyelesaikan masalah?

Maraknya tawuran pelajar dipicu oleh banyak faktor. Pada tingkat mikro,

rendahnya kualitas pribadi dan sosial siswa mendorong mereka berprilaku

yang tidak pronorma. Pada tingkat messo, buruknya kualitas dan

manajemen pendidikan mendorong rasa frustasi anak yang dilampiaskan

pada tindakan negatif, termasuk tawuran. Di tingkat makro, persoalan

pengangguran, kemiskinan, dan kesulitan hidup memberi sumbangan

tinggi bagi terbentuknya masyarakat (termasuk siswa) yang merasa

kehilangan harapan untuk hidup layak.

Sekolah sebagai “Pembunuh” Siswa

Beragam “prestasi buruk” selama ini menghadapkan pendidikan pada

pertanyaan mendasar tetapi sangat fundamental: sejauhmana efektivitas

pendidikan bagi peningkatan kualitas siswa. Pertanyaan mendasar

tersebut layak dikedepankan mengingat sumbangsih pendidikan bagi

masyarakat belum terlihat secara kasat mata. Padahal “investasi” yang

diserap dunia pendidikan sangat besar. Pendidikan belum berhasil menjadi

solusi bagi kesejahteraan hidup manusia, tetapi sebaliknya: menciptakan

masalah bagi masyarakat.

Salah satu masalah yang dihadapi pendidikan adalah kurikulum yang

dianggap terlalu berat dan membebani siswa. Kuatnya campur tangan

pemerintah dalam dunia pendidikan ditengarai pada dominannya

pemerintah dalam penyusunan kurikulum. Di samping itu, banyak pihak

yang ingin memasukan “kepentingannya” dalam kurikulum pendidikan.

Departemen Koperasi ingin ada pelajaran tentang koperasi, pengusaha

industri ingin ada pelajaran teknis kerja, serikat buruh ingin ada pelajaran

tentang buruh. Akibatnya batok kepala siswa menjadi “keranjang sampah”

bagi beragam kepentingan.

Banyaknya bidang kajian menjadikan substansi pengetahuan menjadi

sedikit, tetapi terlalu montok. Akhirnya kita lupa, bahwa apa yang dipelajari

siswa “tidak bermanfaat”. Sudah sumpeg, metode pembelajarannya pun

represif. Modus pembelajaran yang monolog oleh guru terasa benar miskin

makna. Yang dimaksud cerdas oleh guru adalah besarnya daya ingat

siswa terhadap segudang informasi, seperti halnya ketangkasan cerdas

cermat.

Pendidikan juga terlalu science minded. Ada siswa SMU yang setiap

minggunya harus belajar matematika 10 jam dan fisika masing-masing 10

jam pelajaran. Seolah-olah matematika dan fisika merupakan satu-satunya

jawaban dari persoalan hidup manusia. Jarang sekali ada sekolah yang

mengembangkan pembelajaran sesuai potensi, minat, dan bakat siswa

seperti olah raga atau musik, misalnya.

Akibat kurikulum yang terlalu berat menjadikan sekolah sebagai

“stressor baru” sebagai siswa. Disebut “baru” karena siswa sebenarnya

sudah sangat tertekan akibat berbagai persoalan keluarga dan masyarakat

(termasuk pengangguran dan kemiskinan). Akibatnya, siswa ke sekolah

tidak enjoy tetapi malah stress. Siswa tidak menganggap sekolah sebagai

aktivitas yang menyenangkan tetapi sebaliknya: membebani atau bahkan

menakutkan. Akibatnya, siswa lebih senang keluyuran dan kongkow-

kongkow di jalan-jalan daripada mengikuti pelajaran di sekolah.

Ada joke yang akrab di masyarakat, sekolah sudah menjadi “pembunuh

nomor satu” di atas penyakit jantung.

Siswa bukan hanya terbunuh secara fisik karena tawuran, tetapi juga

terbunuh bakat dan potensinya. Banyak talenta siswa yang semestinya

bisa dikembangkan dalam bidang olahraga, seni, bahasa, atau jurnalistik,

hilang sia-sia akibat “mabuk” belajar fisika dan matematika.

Seorang kawan secara berkelakar mengatakan lebih enak bekerja

daripada sekolah. Orang bekerja mulai pukul 9 sampai 4 sore (7 jam),

selama 5 hari perminggu. Sedangkan siswa masuk sekolah pukul 7 sampai

13.30 (6,5 jam), hampir sama dengan orang bekerja. Tetapi ingat malam

hari siswa harus belajar atau mengerjakan pekerjaan rumah, serta masuk 6

hari perminggu.

Bagaimana mengatasi kurikulum dianggap overload ini? Karena sudah

“terlanjur”, pendidikan harus berani meredefinisi semua programnya.

Tetapi, sanggupkah para penentu kebijakan melakukan perombakan?

Itulah masalahnya. Banyak pengelola pendidikan bermental “priyayi”.

Mereka lebih memikirkan kenaikan pangkatnya daripada peningkatan

kualitas pendidikan. Budaya “cari muka” dan “minta petunjuk” membuat

mereka tidak berani melakukan perubahan. Sebab, mereka tidak mau

mempertaruhkan kenaikan pangkatnya. Lebih baik “adem ayem” kenaikan

pangkat lancar daripada “kritis” tetapi terancam.

Sekolah yang Menyenangkan

Saat ini mulai berkembang paradigma baru tentang “pendidikan yang

menyenangkanE2, seperti model quantum learning. Dalam quantum

learningpelajaran sekolah tidak menjadi beban bagi siswa. Pendidikan

disesuaikan dengan ranah berpikir siswa. Jadi bukannya siswa yang

“dipaksa” mengikuti pelajaran sesuai kemauan guru, termasuk dalam hal

penilaian benar-salah. Guru yang harus “masuk” ke dalam ranah berpikir

siswa, menyelami apa pemikiran, kehendak, dan jiwa siswa.

Dalamquantum learning, guru tidak bisa dengan otoriter memaksakan

pendapatnya paling benar. Tetapi siswa dilibatkan untuk mengkaji

kebenaran nilai-nilai itu dan perbedaan pendapat tidak dilarang. Selama ini

kan tidak. Aturan yang dibuat sekolah bernilai mutlak. Siswa tidak punya

kewajiban lain selain patuh. Kalau tidak patuh maka dianggap “melanggar

peraturan” sehingga wajib diberi sanksi. Tidak ada hak bagi siswa untuk

mengemukakan pendapat bahwa setiap aturan mesti tergantung pada

konteksnya, termasuk konteks pemikiran siswa. Akibatnya, siswa patuh

karena “pura-pura”.

Selain quantum learning, dipelopori David Golemen, para pemerhati

pendidikan di Barat mulai menyadari bahwa kecerdasan emosional (EQ)

tidak kalah penting dibanding kecerdasan intelektual (IQ). Bahkan menurut

penelitian David Goleman, siswa yang memiliki kecerdasan emosional

tinggi, setelah dewasa justru lebih banyak yang “berhasil” dibanding siswa

yang memiliki IQ tinggi. Paradigma baru ini hendaknya juga mulai diadopsi

di Indonesia. Kecerdasan emosional siswa meliputi kemampuan

mengembangkan potensi diri dan melakukan hubungan sosial dengan

manusia lain. Beberapa tolok ukurnya adalah: memiliki pengendalian diri,

bisa menjalin relasi, memiliki sifat kepemimpinan, bisa melobi, dan bisa

mempengaruhi manusia lain.

Siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi memiliki “beragam alternatif

bahasa” untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan manusia lain,

termasuk dengan seseorang yang “dianggap musuh”. Sebaliknya, siswa

yang kecerdasan emosionalnya rendah hanya memiliki satu bahasa: takut

atau justru sebaliknya, tawur. Mereka juga tidak bisa “membedakan”

musuh. Tolok ukur seseorang dianggap “kawan” atau “musuh” adalah

seragamnya. Siapapun dia, asalnya darimana, kalau memakai seragam

sekolah “lawan” harus dimusuhi.

Seragam sekolah menjadi sumber masalah. Meski tujuannya baik yakni

untuk melatih kedisplinan, tetapi juga membawa dampak negatif. Seragam

sekolah menumbuhkan identitas kelompok yang memicu tawuran.

Lagipula, penyeragaman seragam sekolah juga tidak bermanfaat.

Malahan, rok siswi yang kadang terlalu mini juga mengundang masalah

sendiri bagi siswa laki-laki.Sebaiknya siswa tidak diwajibkan mengenakan

seragam.

Itulah beberapa tawaran untuk mengurangi tawuran pelajar. Kalau usaha

tersebut telah diikhtiarkan tetapi tawuran pelajar makin menggejala, artinya

kita perlu berikhtiar lebih keras lagi. Justru itulah makna hakikat

pendidikan: terus berusaha dan tak kenal menyerah.