Tawadhu' (rendah hati) 01
-
Upload
muhsin-hariyanto -
Category
Documents
-
view
216 -
download
4
Transcript of Tawadhu' (rendah hati) 01
Page 1 of 26
Tawadhu' (Sifat Terpuji Yang Harus Dimiliki Setiap Muslim)
Oleh:
Muhsin Hariyanto
Materi Kajian Baitul Hikmah
Dengan Sub Tema: Tazkitatun Nafs
Disampaikan Dalam Acara Baitul Hikmah
Di Masjid KHA Dahlan
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota
Yogyakarta
28 September 2014
Page 2 of 26
Pernahkah kita merenungkan kembali terhadap
serangkaian peristiwa penting yang bisa menjadi ‘ibrah (pelajaran) bagi diri kita? Misalnya: “apa yang
telah diperbuat oleh Allah subhânahu wa ta’âla
terhadap Iblis la’anahullâh? Dan apa yang diperbuat
oleh Allah kepada Fir’aun dan tentara-tentaranya
yang ‘pongah’ dengan kekuasaannya? Atau, kepada
Qarun dengan semua kroni dan hartanya yang
melimpah? Dan kepada seluruh penentang para
Rasul Allah? Mereka semua dibinasakan Allah oleh subhanâhu wa ta’âla, karena tidak memiliki sikap
tawadhu’, dan sebaliknya justeru menyombongkan
dirinya kepada siapa pun yang dianggap rendah.
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab Madârij
as-Sâlikîn (II/333) berkata: “Barangsiapa yang
‘angkuh’ untuk tunduk kepada kebenaran walaupun
datang dari anak kecil atau orang yang dimarahinya
atau yang dimusuhinya, maka kesombongan orang
tersebut esensi (hanyalah) kesombongan kepada Allah. Karena Allah adalah Al-Haq, ucapan-Nya haq,
agama-Nya haq. Yang Benar (al-Haq) itu datangnya
hanya dari Allah dan kepada-Nya akan kembali.
Barangsiapa menyombongkan diri untuk tidak
menerima ‘kebenaran’ yang datang dari Allah, berarti
‘dia’ menolak segala yang datang dari Allah dan
menyombongkan diri di hadapan-Nya. Dan, ‘pasti’ Allah akan membalasnya dengan ‘azab’ yang pedih.
Page 3 of 26
Sudah seharusnya setiap manusia mengedepankan sikap tawadhu’. Tawadhu’ (rendah
hati) adalah sifat yang terpuji, lawannya adalah
takabbur (sombong). Tawadhu’ merupakan sifat yang
terpuji yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Orang
yang memiliki sifat ini, akan dicintai oleh teman-
temannya, keluarga, dan masyarakatnya. Nabi kita Muhammad shalllallâhu ‘alaihi wa sallam – misalnya --
adalah orang yang sangat tawadhu’, sehingga ia
sangat dicintai oleh para sahabat dan masyarakatnya. Imam asy-Syafi’i rahimahullâh berkata; “Sikap
tawadhu’ adalah akhlak orang-orang yang mulia,
sedangkan takabbur adalah ciri dari orang-orang yang
tercela”.
Iblis adalah contoh kongkret dari sosok yang memiliki sifat takabbur. Dengan sombongnya ia
mengaku di hadapan Allah subhânahu wa ta’âlâ,
bahwa dia adalah lebih baik dari Adam ‘alaihis salâm.
Ia mengatakan bahwa ‘api’ lebih baik daripada
‘tanah’. Dengan demikian, ia menganggap dirinya
yang diciptakan dari bahan dasar ‘api’ lebih mulia
daripada Adam, yang diciptakan dari bahan dasar
‘tanah’; dan akhirnya merendahkan Adam. Sikap
Iblis inilah yang akhirnya mengundang kemarahan Allah subhânahu wa ta’âlâ, dan akhirnya Allah pun
mengusir Iblis dari Surga.
Page 4 of 26
Sungguh. Allah tidak mencintai dan sangat membenci sifat takabbur ini. Orang yang bersikap
takabbur, mata hatinya akan dikunci oleh Allah
subhânahu wa ta’âlâ.“ Demikianlah Allah mengunci
mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang”,
ين جون الذ آي اتفيج ادل ياللذ ان بغ لط مسج ت اهج أ
بج قتاك عند م ين و عند اللذ نجواالذ آم ذ ك لك
طب عج جي اللذ ع ق لبكج ب
ت ك بذار مج ج
“(yaitu) orang-orang yang memerdebatkan ayat-ayat Allah
tanpa alasan yang sampai kepada mereka1. Amat besar
kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-
orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati
hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.”2
Sepanjang sejarah al-Qur’an banyak merekam
manusia-manusia yang memiliki sikap sombong ini.
Fir’aun adalah sosok yang sangat sombong. Ia
pernah memerintahkan teknokrat pribadinya
Hamman untuk membuat sebuah bangunan yang
1Maksudnya, mereka menolak ayat-ayat Allah tanpa alasan yang datang kepada mereka.
2QS al-Mu’min/40: 35.
Page 5 of 26
tinggi agar ia sampai ke pintu-pintu langit dan dapat melihat Tuhan Musa,
ق ال ونجو انجي افرع ام حالابنه ص ل بلجغجلذع أ
سب اب ﴾٦٣﴿ال سب اب
او اتأ م لع السذ طذ
ف أ ـ إل هإل
وس مج إن نهجو ظجذبال ك
ذ ك و ين لك ون زج وءجلفرع سجله م دذع نو صج بيلع ا السذ م يدجو ون ك فرع فإلذ ﴾٦٣﴿ت ب اب
“Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah
bagiku sebuah bangunan yang Tinggi supaya aku sampai
ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku
dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku
memandangnya seorang pendusta". Demikianlah
dijadikan Fir'aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan Dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu
daya Fir'aun itu tidak lain hanyalah membawa
kerugian.”3
3QS al-Mu’min/40: 36-37.
Page 6 of 26
Selain itu, kesombongan Fir’aun yang sangat
besar dan luar biasa adalah ketika ia mengaku sebagai “tuhan yang paling tinggi”,
ال ق ن اف مجأ ر بكج ع
ال
“(seraya) berkata:"Akulah Tuhanmu yang paling tinggi."4
Akhirnya, Fir’aun menerima balasan dari
kesombongannya sendiri. Ia ditenggelamkan oleh
Allah beserta pasukannya di Laut Merah.
Pengakuannya sebagai “tuhan yang paling tinggi”
akhirnya pupus. Ternyata (pengakuan)
kesombongannya sebagai “tuhan”, tidak mampu
menyelamatkan dirinya dari azab Tuhan (Allah)
Yang Maha Kuasa. Untuk memertahankan posisinya
sebagai “tuhan” ia ternyata harus menghimpun dan
membayar para tukang sihir dan bala tentaranya
untuk melindunginya, yang pada akhirnya harus kandas ketika harus melawan kekuasaan Allah.
Bercermin pada kegagalan orang-orang yang bersikap takabbur, ketika kita tidak ingin gagal seperti
mereka, sudah saatnya kita berbenah diri untuk menjadi orang yang bersikap tawadhu’.
4QS an-Nâzi’ât/79: 24.
Page 7 of 26
Allah berfirman sehubungan dengan tempat persinggahan tawadhu' (rendah hati) ini, ـ و عب ادج ين نالرذح ون الذ مشج ي رضع
وناال ه
إذ ا مجو ب هج اط جواال اهلجون خ ماق ال ل س "Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu
(ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan
rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa
mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik."5
Artinya, dengan tenang, berwibawa, rendah
hati, tidak jahat, tidak congkak dan sombong.
Menurut Al-Hasan, mereka adalah orang-orang yang
berilmu dan bersikap lemah lembut. Menurut
Muhammad bin al-Hanafiah, mereka adalah orang-
orang yang berwibawa, menjaga kehormatan diri dan
tidak berlaku bodoh. Kalaupun mereka dianggap
bodoh, maka mereka tetap bersikap lemah lembut.
Jika dikatakan al-Haun, artinya ialah: “lemah
lembut”. Sedangkan jika dikatakan al-Hûn, artinya
adalah: “hina”. Yang pertama merupakan sifat orang
yang beriman, dan yang kedua merupakan sifat
orang kafir.
5QS al-Furqân/25: 63.
Page 8 of 26
Allah befirman,
اي ا يه ين أ نجواالذ نآم مي رت دذم دينهع نمنكج
وف تف س جي أ وم اللذ مبق بهج بون هجيج يج ذلذة و
أ ع
ؤمني ة المج عزذ أ فرين اع ون لك بيلفيج اهدج س
اللذ ل ة ي افجون و ئم ل وم ل
ذ لك ف ضلج يجؤتيهاللذن اءجم ي ش
ج ليم و اسع و اللذ ع "Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara
kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah
akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap
lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap
keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan
Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka
mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui."6
Firman Allah, ”Adzillah ‘alal mu’minîn”,
merupakan kerendahan hati yang menunjukkan sikap
lemah lembut terhadap orang-orang Mukmin, dan
6QS al-Mâidah/5: 54.
Page 9 of 26
bukan berarti merendahkan diri yang menjadikan
pelakunya menjadi hina. Tapi ini merupakan sifat
lemah lembut yang membuat pelakunya penurut.
Sebab orang Mukmin itu penurut seperti yang
disebutkan dalam hadits, "setiap mukmin itu seperti
onta yang penurut, sedangkan setiap orang munafik
dan fasik itu hina." Empat hal yang menempel pada
diri orang yang hina: “pendusta, pengadu domba,
bakhil dan semena-mena”.
Sikap mukmin terhadap mukmin lainnya
seperti sikap ayah yang selai bisa menunjukkan
kasih-sayang kepada anaknya. Sedangkan dalam
menghadapi orang kafir seperti binatang buas yang
selalu siap menerkam ketika menghadapi
mangsanya.
Dalam Shahîh Muslim disebutkan dari hadits
Iyadh bin Himar Radhiyallâhu ‘Anhu, dia berkata,
"Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku, agar kalian rendah hati, hingga seseorang tidak membanggakan
Page 10 of 26
diri terhadap yang lain dan seseorang tidak berbuat aniaya
terhadap yang lain."7
Di dalam Shahîh Muslim juga disebutkan dari
Ibnu Mas'ud Radhiyallâhu ‘Anhu, dia berkata,
"Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya
ada kesombongan meskipun seberat dzarrah."8
Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam
senantiasa menunjukkan sikap tawadhu' kepada siapa
pun. Jika beliau melewati sekumpulan anak-anak
kecil, maka beliau mengucapkan salam kepada
mereka. Ada seorang budak wanita yang
menggelendeng tangan beliau menuju tempat yang
dikehendakinya. Jika beliau makan, maka beliau
menjilat jari-jari tangannya tiga kali. Jika berada di
rumah, maka beliau mengerjakan tugas-tugas
keluarganya. Beliau biasa menjahit sandalnya,
menambal pakaian, memerah susu untuk
keluarganya, memberi makan onta, makan bersama
7HR Muslim dari Qatadah, Shahîh Muslim, VIII/160,
hadits no. 7389. 8HR Muslim dari Abdullah bin Mas’ud, Shahîh
Muslim, I/65, hadits no. 275.
Page 11 of 26
para pelayan, duduk bersama orang-orang miskin,
berjalan bersama para janda dan anak-anak yatim,
memenuhi keperluan mereka, selalu mengucapkan
salam terlebih dahulu kepada mereka, memenuhi
undangan siapa pun yang mengundangnya,
sekalipun untuk keperluan yang sangat ringan dan
reman. Akhlak beliau lembut, tabiat beliau mulia,
pergaulan beliau baik, wajah senantiasa berseri,
mudah tersenyum, rendah hati namun tidak
menghinakan diri, dermawan tapi tidak boros,
hatinya mudah tersentuh dan menyayangi setiap
orang Muslim dan siap melindungi mereka.
Al-Fudahil bin Iyadh pernah ditanya tentang makna tawadhu'. Maka dia menjawab, "artinya
tunduk kepada kebenaran dan patuh kepadanya serta
mau menerima kebenaran itu dari siapa pun yang
mengucapkannya."
Ada yang berpendapat, tawadhu' artinya tidak
melihat diri sendiri memiliki nilai. Siapa yang
melihat dirinya memiliki nilai berarti tidak memiliki tawadhu'.
Menurut Ibnu Atha', tawadhu' artinya mau
menerima kebenaran dari siapa pun. Kemuliaan ada dalam tawadhu'. Maka siapa yang mencarinya dalam
Page 12 of 26
kesombongan, berarti dia seperti mencari air dari
kobaran api.
Urwah bin Az-Zubair Radhiyallâhu ‘Anhumâ
berkata, "Aku pernah melihat Umar bin al-Khaththab
memanggul segeriba air. Maka kukatakan
kepadanya, "Wahai Amirul-Mukminin, tidak
sepantasnya engkau melakukan hal ini." Umar pun
menyahut, "Ketika ada beberapa orang utusan yang
datang kepadaku dalam keadaan tunduk dan patuh,
maka ada sedikit kesombongan yang merasuk ke
dalam diriku. Namun aku dapat mengenyahkannya."
Abu Hurairah pernah diangkat sebagai
gubernur. Suatu hari ketika dia sedang memanggul
kayu bakar, maka orang-orang berkata, "Beri jalan
bagi gubernur kita."
Umar bin Abdul Aziz mendengar kabar bahwa
seorang anaknya membeli sebuah cincin seharga
seribu dirham. Maka Umar pun menulis surat
kepadanya, yang isinya, "Aku mendengar engkau
telah membeli cincin seharga seribu dirham. Jika
suratku ini sudah engkau baca, maka juallah cincin
itu dan belilah makanan dan berikan kepada seribu
orang. Lalu belilah cincin lain dari besi seharga dua
dirham. Tulislah di dalam cincin itu kalimat ini:
Allah merahmati seseorang yang tahu nilai dirinya."
Page 13 of 26
Dosa pertama yang menjadi kedurhakaan terhadap Allah adalah dua macam: Takabbur dan
ambisi9. Takabbur merupakan dosa Iblis yang
terlaknat. Sedangkan dosa bapak kita, Adam, adalah
ambisi dan syahwat. Kesudahannya adalah taubat
9Keinginan yang besar untuk menjadi, memproleh
atau mencapai sesuatu yang diinginkan. Ambisi, pada dasarnya penting dimiliki oelh setiap orang. Karena ambisilah yang menggerakkkan seseorang untuk mencapai tujuan-tujuan berkarir. Tanpa ambisi, seseorang seolah-olah tidak melakukan apa pun. Napoleon Hills, penulis buku Think and Grow Rich, mengatakan bahwa kurangnya ambisi adalah satu faktor utama yang menyebabkan kegagalan. Jalan mencapai tujuan tersendat-sendat karena Anda tidak memiliki motivasi. Karena terlalu lamban, Anda pun menemui kegagalan. Biasanya, orang yang berambisi akan berusaha membuat hasil pekerjaannya sesuai standar tertentu, bukan asal jadi, asal cepat, atau asal memenuhi tenggat. Namun, Anda perlu memiliki batasan dalam mengejar ambisi, yakni dengan memertimbangkan lingkungan, nilai-nilai moral dan norma-norma di sekitar, etika, serta kondisi Anda sendiri. Hati-hati, sebab tidak sedikit orang yang untuk mewujudkan ambisi, jadi terobsesi. Alhasil, ambisinya berlebihan dan tak jarang ‘menghalalkan’ segala cara untuk mencapai ambisinya. (http://www.femina.co.id/isu.wanita/karier/ambisi.itu.perlu/005 /001/ 49)
Page 14 of 26
dan hidayah, sedangkan dosa Iblis mendorongnya
untuk mencari alasan dengan takdir. Dosa Adam
menjadikannya mengakui dosa tersebut lalu
memohon ampunan. Orang yang memiliki sikap
takabbur dan beralasan kepada takdir akan bersama
pemimpin mereka masuk ke dalam neraka, yaitu
Iblis. Sedangkan yang memiliki syahwat meminta
ampun dan bertaubat serta mengakui dosanya, yang
tidak akan beralasan dengan takdir. Mereka bersama
bapak mereka, Adam di dalam surga.
Ibnu Taimiyah berpendapat, bahwa "takabbur
lebih jahat daripada syirik. Sebab orang yang takabbur
merasa dirinya hebat untuk beribadah kepada Allah.
Sedangkan orang musyrik masih mau beribadah
kepada Allah dan kepada selain-Nya." Saya katakan,
"Maka tidak heran jika Allah menjadikan neraka sebagai tempat tinggal orang-orang yang takabbur,
sebagaimana firman-Nya,
لجوا ف ادخج بو اب نذم أ ه ين ج ال اخ فيه ثو ىف ل بئس م ين ب
ت ك المج"Maka masukilah pintu-pintu neraka jahannam, kalian
kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-
orang yang menyombongkan diri itu." (QS an-Nahl/16:
29).
Page 15 of 26
Rasulullah Shallallâhu Alaihi wa Sallam
bersabda10,
"Takabbur itu penolakan terhadap kebenaran dan
penghinaan terhadap manusia."
Al-Harawi, penulis kitab Manâzil as-Sâ'irîn,
mengatakan, "yang dimaksudkan tawadhu' ialah jika
hamba tunduk kepada kekuasaan Allah." Dengan
kata lain, menerima kekuasaan Allah dengan penuh
ketundukan dan kepatuhan serta masuk ke dalam
penghambaan kepada-Nya, menjadikan Allah
sebagai penguasanya, seperti kedudukan raja yang
berkuasa terhadap budak-budaknya. Dengan cara inilah seorang hamba bisa memiliki akhlak tawadhu'.
Karena itu Nabi Shallallâhu Alaihi wa Sallam
menafsiri takabbur sebagai kebalikan dari tawadhu',
dengan bersabda, "Takabbur itu penolakan terhadap
kebenaran dan penghinaan terhadap manusia".
Menurutnya, tawadhu' ada tiga derajat, yaitu:
10HR Muslim dari Abdullah bin Mas’ud, Shahîh
Muslim, I/65, hadits 275.
Page 16 of 26
1. Tawadhu' kepada agama, yaitu tidak
menentangnya dengan pemikiran dan
penukilan, tidak menuduh dalil agama dan tidak
berpikir untuk menyangkal.
Tawadhu' kepada agama artinya tunduk kepada
apa yang dibawa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam dan pasrah kepadanya. Hal ini bisa
dilakukan dengan tiga cara:
a. Tidak menentang sedikit pun darinya dengan
empat macam penentangan yang biasa
dilakukan di dunia ini, yaitu dengan akal,
qiyas, perasaan dan penyiasatan. Yang
pertama milik para teolog yang menentang nash wahyu dengan akal mereka yang rusak.
Mereka berkata, "Jika akal dan nash yang
saling bertentangan, maka kami mengutamakan akal dan kami abaikan nash."
Yang kedua milik orang-orang yang
menyimpang dari kalangan ahli fiqih. Mereka
berkata, "Jika qiyas bertentangan dengan pendapat dan nash, maka kami
mengutamakan qiyas daripada nash dan kami
tidak akan berpaling kepada nash." Yang
ketiga milik orang-orang yang menyimpang
dari kalangan sufi dan zuhud. Jika perasaan bertentangan dengan nash, maka mereka
Page 17 of 26
mengutamakan perasaan dan tidak peduli terhadap perintah nash. Yang keempat milik
para penguasa dan pemimpin yang sombong.
Jika syariat dan kepentingan politik saling
bertentangan, maka mereka mengutamakan
kepentingan politik dan tidak mempedulikan
hukum syariat. Empat orang ini adalah orang-orang yang takabbur. Sedangkan yang
tawadhu' ialah yang bisa membebas-kan diri
dari perkara-perkara ini.
b. Tidak menuduh satu dalil pun dari dalil-dalil
agama, dengan menganggapnya sebagai dalil
yang tidak tepat, tidak relevan, kurang atau
terbatas. Jika seseorang berpikir seperti ini,
maka hendaklah dia mencurigai
pemahamannya sendiri. Dan memang inilah
yang seringkali terjadi, bahwa tidaklah
seseorang menuduh suatu dalil melainkan
pemahamannyalah yang tidak tepat. Jika
engkau melihat suatu dalil yang terasa rumit
untuk dipahami, maka itu menunjukkan
keagungannya dan di bawahnya tersimpan
gudang ilmu, yang kuncinya mungkin tidak
ada pada dirimu. c. Tidak berpikir untuk menyangkal nash, entah
di dalam batinnya, entah dengan perkataan
maupun perbuatannya. Jika dia merasa hendak menyangkal nash, maka dia harus
Page 18 of 26
menempatkan dirinya seperti orang yang
menyangkal perbuatan zina, mencuri, minum
khamr dan lain sebagainya. Penyangkalan ini
merupakan masalah yang amat besar di sisi
Allah dan dapat menyeret kepada
kemunafikan. Tidak ada yang bisa
menyelamatkan dari hal ini kecuali
mengetahui bahwa keselamatan hanya ada dalam bashirah dan istiqamah, setelah ada
keyakinan, bahwa keterangan tentang
kebenaran ada di belakang hujjah.
2. Meridhai orang Muslim sebagai saudara sesama
hamba seperti yang diridhai Allah bagi dirinya,
tidak menolak kebenaran sekalipun dating dari
musuh dan menerima maaf dari orang yang
meminta maaf.
Jika Allah sudah meridhai saudaramu sesama
Muslim sebagai hamba, maka apakah kamu
tidak meridhai dirinya sebagai saudaramu? Jika
engkau tidak meridhainya sebagai saudaramu,
padahal dia sudah diridhai Tuanmu sebagai
hamba seperti dirimu, berarti itu adalah
takabbur.
Lalu takabbur macam apakah yang lebih buruk
dari takabburnya hamba terhadap hamba seperti
Page 19 of 26
dirinya, yang tidak mau bersaudara dengannya,
padahal tuannya sudah ridha keberadaannya
sebagai hamba?
Derajat tawadhu' juga tidak dianggap sah
sehingga seorang hamba mau menerima
kebenaran dari orang yang disukainya maupun
dari orang yang dibencinya. Bahkan dia harus
mau menerimanya dari musuh seperti dia
menerimanya dari pelindungnya. Lalu jika ada
yang berbuat jahat kepadamu, yang datang kepadamu untuk meminta maaf, maka tawadhu'
mengharuskanmu menerima maafnya, tak
peduli apakah permintaan maafnya itu benar-
benar datang dari hatinya atau hanya sekedar
pura-pura. Tentang apa yang disimpan di dalam
hatinya, maka harus diserahkan kepada Allah,
seperti yang dilakukan Rasulullah Shallallâhu
‘Alaihi wa Sallam terhadap orang-orang munafik
yang melarikan diri dari medan peperangan.
Ketika bertemu lagi dengan beliau, mereka
meminta maaf. Maka beliau menerima
permintaan maaf tersebut, sedangkan apa yang
tersimpan di dalam hati mereka diserahkan
kepada Allah.
Page 20 of 26
3. Tunduk kepada Allah, melepaskan pendapat
dan kebiasaanmu dalam mengabdi, tidak
melihat hakmu dalam mu'amalah. Yang disebut tawadhu' ialah pengabdianmu kepada Allah,
beribadah kepada-Nya seperti yang
diperintahkan-Nya kepadamu dan bukan
menurut pendapatmu sendiri. Yang
membangkitkanmu untuk beribadah juga bukan
kebiasaanmu, seperti kebiasaan yang
membangkitkan orang yang tidak memiliki
bashîrah. Andaikan yang membiasakannya
sesuatu kebalikannya, tentu itulah yang akan
menjadi kebiasaannya.
Seorang hamba juga tidak boleh beranggapan
bahwa dia memunyai hak atas Allah karena
amalnya. Apa yang harus dilakukannya adalah
beribadah, memerlukan-Nya dan tunduk
kepada-Nya. Selagi dia menganggap memunyai
hak atas Allah, maka mu'amalahnya menjadi
rusak dan cacat, yang dikhawatirkan bisa
mendatangkan murka-Nya. Tapi bukan berarti
hal ini menajikan hak Allah untuk memberikan
balasan dan pahala kepada orang yang
beribadah kepada-Nya. Itu semata merupakan
hak Allah untuk memuliakan dan berbuat baik
kepada hamba, bukan merupakan hak hamba
yang bisa diminta dari Allah, lalu mereka bisa
Page 21 of 26
membuat ketentuan terhadap Allah karena amal
mereka.
Jadi engkau harus bisa membedakan masalah ini
secara seksama. Dalam hal ini manusia bisa
dibedakan menjadi tiga golongan:
a. Golongan yang mengatakan bahwa hamba
terlalu lemah untuk memiliki hak atas Allah,
sehingga Allah sama sekali tidak memunyai
keharusan untuk memenuhi hak hamba dan
berbuat baik kepada-nya.
b. Golongan yang melihat bahwa Allah
memunyai kewajiban-kewajiban yang harus
dipenuhinya terhadap hamba, sehingga
mereka beranggapan bahwa hamba bisa
menetapkan keharusan terhadap Allah dengan
amalnya. Dua golongan ini sama-sama
menyimpang.
c. Golongan yang benar, yang mengatakan
bahwa dengan amal dan usahanya hamba
tidak berhak mendapatkan keselamatan dan
keberuntungan dari Allah, amalnya tidak
menjamin dirinya bisa masuk surga dan
menyelamatkannya dari neraka, kecuali jika
dia mendapat karunia dan rahmat-Nya.
Namun begitu Allah juga menguatkan rahmat
dan kemurahan-Nya yang diberikan kepada
Page 22 of 26
hamba dengan ikatan janji, dan janji Allah
berarti wajib, sekalipun menggunakan kata
"Agar, semoga, mudah-mudahan".
Pengertian lebih jauh, hamba yang tidak
melihat adanya hak atas Allah bukan berarti dia
harus menajikan apa yang diwajibkan Allah kepada
dirinya dan menajikan apa yang telah dijadikan-Nya sebagai hak bagi hamba. Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa
Sallam pernah bertanya kepada Mu'adz bin Jabal,
Page 23 of 26
"Ketika saya membonceng Nabi shallallâhu 'alaihi
wasallam dan tidak ada yang menengahi keduanya
melainkan hanya kursi kecil diatas pelana. Beliau
bersabda, "Wahai Muadz bin Jabal!" Jawabku, "Ya wahai
Rasulullah! saya penuhi pangilan anda", kemudian
berjalan sesaat lalu bertanya, "Wahai Muadz bin Jabal!"
jawabku, "Ya, wahai Rasulullah saya penuhi panggilan anda", kemudian beliau berjalan sesaat dan bertanya,
"Wahai Mua'dz bin Jabal." Jawabku, "Ya wahai
Rasulullah! saya penuhi pangilan anda", beliau bersabda:
"Apakah engkau tahu apa hak Allah atas para hamba?"
Jawabku, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Beliau
bersabda: "Hak Allah atas para hamba-Nya adalah agar
mereka beribadah kepada-Nya semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun", Kemudian
beliau berjalan sesaat dan berseru, "Wahai Mu'adz bin
Jabal." Jawabku; "Ya wahai Rasulullah, saya penuhi
panggilan anda." Beliau bersabda: "Apakah engkau tahu
hak hamba atas Allah, jika mereka melakukan itu?"
Jawabku; "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu", beliau
Page 24 of 26
bersabda: "Hak para hamba atas Allah adalah Dia tidak
akan menyiksa mereka."11
"Saya berada di boncengan Rasulullah di atas keledai yang
dinamakan Ufair." Beliau lalu bersabda: "Wahai Mu'adz
apakah kamu mengetahui apa hak Allah atas hamba dan
hak hamba atas Allah.' Mu'adz berkata, 'Aku lalu
menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.'
Beliau bersabda: "Sesungguhnya hak Allah atas hamba
adalah kalian menyembah Allah dan tidak mensyirikkan-
Nya dengan sesuatu apa pun, dan hak hamba atas Allah
11 HR al-Bukhari dari Mu’adz bin Jabal, Shahîh al-
Bukhâriy, VIII/74, hadits no. 6267.
Page 25 of 26
adalah agar tidak disiksa orang yang tidak mensyirikkan-
Nya dengan sesuatu apa pun.' Mu'adz berkata, 'Saya lalu
berkata, 'Wahai Rasulullah, tidakkah boleh aku
memberitakannya kepada manusia?' Beliau menjawab:
'Jangan kamu memberitahukannya kepada mereka
sehingga mereka bersandar kepadanya'."12
Setelah memahami kajian tentang sikap tawadhu’, saya temukan tiga indikator yang menandai
seseorang yang yang bersikap tawadhu’ :
Pertama, seorang yang bersikap tawadhu’ akan
selalu memiliki kesediaan untuk selalu memandang
rendah dirinya sendiri, dalam makna bukan
menganggap hina dirinya, namun merasa dirinya
bukanlah orang yang sempurna, memiliki
kekurangan, dan banyak melakukan kesalahan.
Sehingga, dengan semua itu dirinya tidak akan
menganggap remeh, menganggap lebih baik, dan lebih mulia daripada orang lain.
Kedua, seorang yang bersikap tawadhu’ akan
selalu memiliki kesediaan untuk menghargai orang lain.
12HR Muslim dari Mu’adz bin Jabal, Shahîh Muslim,
I/43, 153.
Page 26 of 26
Ketiga, seorang yang bersikap tawadhu’ akan
selalu memiliki kesediaan untuk menerima kebenaran dan nasihat dari orang lain.
Akhirnya, menjadi apa dan siapa pun diri kita,
di mana pun dan kapan pun, kita harus bertanya
kepada diri kita sendiri: “sudah siapkah kita
menjadi muslim-sejati, yang selalu siap untuk
bersikap tawadhu’ dan mengucapkan selamat
tinggal pada kesombongan?“
. Ibda‘ bi nafsik!