Tata Ulang Demokrasi dan TNI

294

description

tulisan jend saurip kadi.

Transcript of Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Page 1: Tata Ulang Demokrasi dan TNI
Page 2: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Bab Pertama

PENDAHULUAN

Sudah menjadi fakta sejarah bahwa dalam kurun waktu lebih dari enam

dasawarsa dengan enam Presiden, sebagai bangsa dan negara kita terus jatuh-

bangun1. Korban yang membarenginya akibat pertikaian sesama anak bangsa dalam

jumlah yang tidak kecil juga terus berjatuhan. Saat memasuki tahun kedelapan pasca

Orde Baru, penduduk miskin semakin besar jumlahnya, dan tingkat pengangguran

menurut sejumlah sumber menyebutkan sudah melebihi empat puluh lima juta orang.

Beberapa daerah penduduknya sudah terkena busung lapar seperti yang terjadi di

Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sementara itu sejumlah daerah telah

terjangkit berbagai wabah penyakit akibat rendahnya kualitas kehidupan mereka.

Disisi yang lain, kerusakan moral sebagian para penyelenggara negara begitu

parahnya, mega-korupsi yang ditinggalkan rezim terdahulu belum tertangani secara

memadai, sementara itu korupsi yang baru menjamur hampir di semua lembaga

negara, baik di pusat maupun di daerah. Faktor keamanan juga sangat rentan, dengan

mudahnya bom begitu saja meledak di banyak tempat. Yang jelas sekedar tanda-tanda

bahwa krisis akan segera berakhir belumlah tampak secara meyakinkan. Sehingga

menjadi wajar kalau kemudian muncul rasa pesimisme pada banyak kalangan akibat

bayang-bayang kesuraman. Bahkan masa depan ke Indonesia an sepertinya semakin

sulit diramalkan akibat besarnya ketidak pastian itu sendiri.

Adalah hak bagi segenap anak bangsa untuk mencari solusi dengan terobosan

sekalipun guna menyelamatkan peradaban serta eksistensi diri sebagai bangsa dan

negara. Karena bagaimanapun salah satu faktor yang mendorong transisi ke arah

demokratisasi menurut Jeff Haynes adalah masyarakat sipil yang terus-menerus

melakukan tekanan terhadap pemerintah yang tidak bertanggungjawab dan tidak

1 Makanya tidak salah dan bahkan sangat masuk akal kalau Samuel P Huntington bahkan pada dekade 1990an menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang mengalami gelombang surut demokratisasi ketiga. Lihat, Samuel P Huntington, The Third Wave of Democratization, (New York: 1995).

2

Page 3: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

demokratis2. Bila era Orde Baru kental dengan pendekatan reaksioner dan

pragmatisme, yang terjdi di era transisi kedua pendekatan tersebut malah menjadi

lebih subur. Akibatnya akar masalah dan persoalan pokok yang membuat bangsa ini

terus terpuruk setelah berulang kali jatuh bangun menjadi makin terlupakan. Dan

kemudian asyik terjebak dengan konflik of interest dan tarik menarik kepentingan

dalam political game. Lebih disayangkan lagi tekanan masyarakat sipil tidak begitu

menjadi andalan yang prospektif, karena ruang untuk partisipasi publik dalam politik

kita juga belum tersedia dengan baik dan bahkan tekanan dan tuntutan kurang

didengar.

Untuk itu sebagai bangsa kita perlu belajar dari sejumlah bangsa dan negara sahabat

yang telah berhasil menata peradaban bangsanya. Terlalu banyak diantara mereka

yang sejak awal berdirinya terus eksis sebagai bangsa dan negara, bahkan dengan

gemilang telah membangun dirinya. Pelajaran juga bisa diambil dari sejumlah negara

sahabat bekas negara komunis didaratan Eropa Timur dan juga Uni Sovyet, yang

begitu cepat recovery dan bahkan beberapa diantaranya kini berhasil menjadi negara

maju dan kuat. Begitu pula kalau kita mau berkaca dari sejumlah negara tetangga

dekat kita yang delapan tahun lalu sama-sama diterjang badai krisis moneter, dalam

waktu relatif singkat mereka dapat pulih kembali. Yang pasti mereka itu semua tidak

diberkahi kekayaan alam semelimpah kita, diantaranya miskin atau bahkan tidak

punya sumber daya alam yang memadahi. Namun berkat kemampuan diri dalam

memahami pokok masalah penyebab kegagalan sistem kenegaraannya, mereka

kemudian mampu membangun peradabannya kembali dengan baik. Sementara itu kita

terus terjebak dalam disorientasi dan sepertinya telah masuk dalam masa transisi

permanen.

Untuk ukuran umum memang aneh, tapi nyata sebuah paradoks terus terpelihara

dalam diri kita sebagai bangsa dan negara. Sistem kenegaraan yang jelas-jelas telah

melahirkan keterpurukan dan kerusakan begitu dasyat serta residu masa lalu yang

begitu memberatkan generasi penerus tidak disadari bersama oleh mayoritas warga

bangsa sebagai sistem kenegaraan yang gagal. Bahkan sebaliknya segala kemampuan

dan kekuatan, bahkan dengan kembali mencari pinjaman luar negeri sistem yang ada

2 Jeff Haynes, 1997, Democracy and Civil Society in Third World Politics and New Political Movement, terjemahan P. Soemitro, (Jakarta: Obor, 2000), hal. 129

3

Page 4: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

itu terus dicobanya untuk memperbaiki keadaan yang sesungguhnya adalah out

put/produk dari dirinya sendiri. Bangsa ini juga lupa bahwa reformasi mensyaratkan

adanya perubahan yang mendasar dari sistem kenegaraan yang ada, karena tanpa

perubahan sistem kenegaraan secara fundamental reformasi pada hakekatnya adalah

rebutan jabatan. Memang harus diakui tidak sedikit perubahan dan perbaikan yang

telah dikerjakan, termasuk mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang

selama era Orde Baru disakralkan. Namun sangat disayangkan dalam

mengamandemen UUD 1945 elit bangsa ini melupakan pentingnya penataan ulang

berbagai hal yang fundamental yang berada di kawasan hulu yaitu membenahi jiwa

dan kerangka dasar sistem perpolitikan pada tingkat makro. Elite bangsa ini terus

menyibukkan diri pada masalah-masalah kecil yang berada di kawasan hilir. Menjadi

wajar kalau perubahan UUD 1945 yang sudah empat kali sejak amandemen pertama

tahun 1999, kedua tahun 2000, dan dua kali pada tahun 2001, tidak banyak mengubah

penampilan negara.

Realita yang demikian itu, perlu ditanggulangi dengan membangunkan kesadaran

publik tentang nasib masa depan bangsa dan negara. Seharusnyalah elit bangsa ini

segera mengembangkan dialog publik tentang rancang bangun sistem kenegaraan kita

ke depan3. Dengan demikian kelak dalam mengamandemen UUD 1945 tidak perlu

kembali meniru pendahulunya yang terus mempertahankan kesepakatan untuk

menjalankan sebuah sistem kenegaraan tanpa meyakini terlebih dahulu obyektivitas,

rasionalitas, dan apalagi validitasnya. Ke depan kita sebaiknya juga mampu

mengeliminasi cara berpikir, paradigma dan nilai-nilai lama yang tidak mungkin

dipertahankan lagi dengan bungkus baru yang diusung oleh keabsahan suara

mayoritas yang kemudian diberi stigma sebagai demokrasi ala Indonesia. Persis ini

yang memperlamban gerak laju demokratisasi di Indonesia dewasa ini, bahwa nilai-

nilai lama yang sudah usang dipertahankan melalui keunggulan kelompok lama dalam

politik yang kebetulan untuk saat ini masih menjadi kekuatan mayoritas. Akibatnya,

nilai baru yang diperjuangkan oleh kelompok yang kebetulan minoritas yang ingin

pembaruan di segala dimensi termasuk dimensi berpikir, seringkali kalah dengan

3 Saya pikir ini penting sekali karena sampai sekarang kita tidak memiliki konsep demokrasi yang mapan, dalam artian suatu konsep yang strategis dan efektif untuk dijalankan. Konsep demokrasi yang berjalan masih merupakan konsep yang dikehendaki oleh kelompok yang menang dan menguasai politik.

4

Page 5: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

suara mayoritas. Barangkali disini kita patut menyebut suara mayoritas ini sebagai

“tirani mayoritas”4.

Inti masalah yang dihadapi juga persoalan konsistensi kita dalam mensikapi

pengaruh nilai yang berasal dari paham/ideologi yang ada dan pilihan model

pengaturan kenegaraan. Kedepan kita mesti konsisten dan konsekuen dalam

mengimplementasi nilai-nilai yang dikandung sebuah paham / ideologi yang dipilih

dari yang bersifat mendasar sampai yang menyangkut urusan teknis-operasional.

Sekaranglah waktunya bagi kita untuk memilih dengan tegas, jelas dan lugas, hitam

atau putih terhadap pilihan paham sistem kenegaraan dan juga model demokrasi,

bukan malah terus melanjutkan model lama yang berada di area abu-abu (gray area).

Enam puluh tahun bukanlah waktu yang pendek untuk pembuktian kwalitas sebuah

sistem kenegaraan. Bila demokrasi sebagai satu-satunya pilihan, maka kedepan kita

tidak butuh lagi menyusupkan paham eksklusif atau nilai partikular yang bersumber di

luar paham demokrasi, yang diatas-namakan “aspirasi rakyat”.

Pilihan akhir demokrasi dengan sistem presidensial, seharusnya kita sikapi secara

konsekuen dengan menerapkan segenap kelembagaan dan mekanisme yang ada

didalamnya secara utuh. Dalam menjalankannya, tidak dibenarkan adanya pemaksaan

sepihak untuk menggunakan instrumen-instrumen demokrasi sistem parlementer.

Apalagi kalau sampai menyusupkan nilai yang bersumber dari otoriter sebagaimana

yang diterapkan selama ini. Ketika kita memilih Kepala Negara dijabat Presiden,

maka tidak seharusnya ada Lembaga Negara yang kedudukan nya lebih tinggi darinya

(dalam hal ini MPR), sebagaimana yang dianut oleh UUD 1945 versi akhir masa Orde

Lama dan selama era Orde Baru. Dan ketika sistem perwakilan menggunakan model

dua-kamar/bikameral, maka seharusnya keberadaan Senat yang dipresentasikan oleh

DPD, janganlah kemudian dimandulkan oleh peraturan perundang-undangan politik

yang tidak demokratis sebagaimana model UUD 1945 Hasil Amandemen.

Ke depan rancang bangun konsep politik yang akan dirumuskan juga tidak

sewajarnya terus terpaku dan tergantung pada konsep politik yang dikandung oleh

UUD 1945. Karenanya amandemen UUD 1945 bukanlah dimaksudkan sekedar untuk 4 Dalam hal ini kita perlu melihat berbagai pandangan negatif tentang demokrasi yang dikritik orang seperti James S. Fishkin dalam Tyranny and Legitimacy: A Critique of Political Theories, (Baltimore: John Hopkins University Press, 1979). Fishkin mengatakan bahwa ketika kekuasaan mayoritas berubah menjadi hak, maka serentak kelompok minoritas tunduk di bahwa “tirani mayoritas”. Fishkin sebetulnya menyuarakan kembali apa yang dicemaskan oleh John Stuart Mill dalam On Liberty.

5

Page 6: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

menambah atau mengurangi pasal-pasal yang sudah ada, namun untuk merumuskan

kembali secara lebih komprehensif sebuah konsep politik yang didasari kaidah-kaidah

dan prinsip-prinsip dasar demokrasi dalam bingkai Sistem Presidensial yang

dijalankan secara konsisten dan konsekwen. Dengan demikian rancang bangun sistem

demokrasi kedepan memang bukan kelanjutan dari sistem yang selama ini

dilaksanakan. Hal yang demikian tidaklah berarti kita keluar dari jiwa dan semangat

para pendiri Republik ini, justru sebaliknya konsep yang demikian itu sarat dengan

semangat dan rasa (sense) perjuangan "founding father". Dalam kaitan

mengamandemen UUD-45, pilihan untuk menggantikan dengan yang baru sekalipun

bukanlah sebuah kesalahan, dosa dan apalagi pengkhianatan. Sebaliknya upaya

tersebut semestinya ditempatkan sebagai kwajiban generasi penerus untuk membayar

hutang amanah para pendiri republik. Bung Karno sendiri dalam pidato pengesahan

UUD-45 tanggal 18 Agustus 1945 menegaskan sebagai berikut: “Tuan-tuan semuanya

tentu mengerti bahwa Undang-Undang Dasar yang (kita) buat sekarang ini adalah

Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah

Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah ber negara dalam keadaan

tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat

yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih semurna”

Agar kita tidak kehabisan energi dan waktu serta terus terjebak pada perdebatan

pro-kontra untuk melanjutkan amandemen atau kembali ke UUD-45 yang asli. Maka

negara perlu melaksanakan enginering politik untuk merumuskan UUD yang baru.

Dengan demikian waktu dan energi yang ada dimanfaatkan untuk membicarakan

berbagai hal tentang hari esok, utamanya tentang rancang bangun sistem kenegaraan

yang mampu memberi jaminan kepastian masa depan kita sebagai sebuah negara-

bangsa (nation-state). Saya kira apa yang disebut “imagined community” oleh Ben

Anderson hanya bisa dipahami dalam konteks ini bahwa diperlukan suatu kesadaran

sekaligus kemampuan bersama untuk menyadari diri sebagai satu bangsa, sebab kalau

tidak masa depan ke Indonesia an sulit diramal5. Memahami inti persoalan yang

membuat kita terus jatuh bangun juga sangat mendasar, sehingga konsep sistem

kenegaraan kita kedepan tidak lagi rapuh dan rentan, dan apalagi korup. Bangunan

5 Lihat Benedict Anderson, Imagined Communities:Reflections on the Origins and Spread Nationalism (Verso, 1983)

6

Page 7: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

sistem kenegaraan haruslah dijamin bebas dari proses saling mereduksi,

menghilangkan, dan bahkan saling menghancurkan akibat terjadinya benturan antar

kekuatan bawaan masing-masing ideologi kenegaraan, model dan instrumen sistem

demokrasi yang dicampur-aduknya. Tanpa jaminan dari sistem kenegaraan itu sendiri

maka terjadinya penyalah gunaan kekuasaan, penyelewengan dan utamanya korupsi

tidaklah mungkin bisa dihentikan. Karena persoalan yang demikian itu tidaklah tepat

kalau ditumpukan hanya sekedar pada semangat para penyelenggara Negara

sebagaimana yang dibayangkan para pendiri Republik ini. Karena dalam

kenyataannya korupsi bukanlah semata-mata dikarenakan rendahnya keimanan dan

moralitas pejabat atau alasan klasik seperti gaji yang rendah, tapi justru lebih

dikarenakan oleh sistem kenegaraannya itu sendiri yang memang korup. Korupsi yang

terjadi selama ini adalah karena sistem sebagaimana keyakinan kaum institusionalis

dalam ilmu politik6. Siapapun ia yang mengawaki sistem yang korup, maka persoalan

terjadinya korupsi bukanlah persoalan moral sang pejabat, tapi persoalan waktu

belaka. Oleh karena itu, ke depan upaya mengatasi korupsi haruslah diletakkan pada

rancang bangun dari konsep politik yang secara obyektif dan rasional dapat

meniadakan, setidaknya mampu mengeliminasi penyalahgunaan kekuasaan,

penyelewengan dan tindak kejahatan lainnya oleh aparatur Negara termasuk soal

korupsi. Disinilah letak urgensi kita mengedepankan kesamaan rasa yang dimiliki

oleh segenap bangsa saat ini, yaitu kesamaan kepentingan atas nasib dan kepastian

masa depan masing-masing, disamping juga nasib dan kepastian masa depan bersama

yaitu eksistensi kita sebagai bangsa dan negara. Sebab bukankah Ernest Rennan sudah

lebih dulu mengatakan bahwa alasan kita bisa ada bersama sebagai satu bangsa adalah

karena kita sama-sama dijajah dan sama-sama memiliki visi dan misi untuk hidup

makmur dan sejahtera7. Kalau itu dasar dari ke Indonesia an kita, maka tidak ada

alasan pemerintah atau siapapun yang memegang kekuasaan di negara ini untuk tidak

segera membangun kesejahteraan rakyat.

Pengalaman sejumlah negara dalam menghadapi krisis, mereka yang mendahulukan

penataan sistem kenegaraannya ternyata dalam kurun waktu yang pendek mampu

6 Kaum institusionalis percaya bahwa masalah politik bersumber pada sistem sebaliknya juga perbaikan dan kemajuan ditentukan oleh sistem. Lihat dalam David E. Apter, 1977, Introduction to Political Analysis, terjemahan Setiawan Abadi, cetakan ketiga, (Jakarta: LP3ES, 1988). 7 Dikutip dalam pidato Presiden Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 ketika Soekarno mengedepankan konsep tentang Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang (akan) merdeka ketika itu.

7

Page 8: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

segera bangkit dan kemudian maju menjadi bangsa dan negara yang kuat kembali.

Sejumlah negara bekas negara-negara komunisme memberi contoh itu dengan baik.

Mereka bisa bangkit kembali dalam kurun waktu yang relatif tidak terlalu lama.

Karenanya kalau saja kita mau belajar dari mereka, bukanlah mustahil kalau bangsa

kita akan lebih cepat mengejar ketertinggalan untuk meraih kesejahteraan dengan

tingkat peradaban yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain.

Dengan memprioritaskan penataan sistem demokrasi secara benar, juga otomatis

akan memudahkan penataan ulang segenap alat kelengkapan demokrasi dan

kelembagaan negara lainnya termasuk TNI. Dalam amandemen UUD 1945 langkah

untuk menghentikan inefisiensi sudah dimulai, yaitu dengan menghapus keberadaan

Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Maka kedepan sewajarnya juga tidak terlalu sulit

untuk meniadakan Lembaga Tinggi Negara yang keberadaannya kurang bisa

dipertanggung-jawabkan secara teori maupun empirik seperti Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan apalagi sejumlah Komisi yang mestinya masuk

dalam fungsi eksekutif seperti Komisi Ombudsman yang sampai sekarang juga tidak

jelas apa sumbangsihnya terhadap pembangunan demokrasi di Indonesia.

Karena dalam kenyataan kinerja dan pelayanan birokrasi terhadap publik masih

kurang memuaskan kalau tidak dibilang buruk. Jumlah kementerian juga harus diatur

dengan Undang-undang, dengan demikian Presiden tidak dengan mudahnya

membentuk ataupun membubarkan Departemen dan atau Kementerian hanya karena

pertimbangan kursi kekuasaan semata. Kita juga perlu membedakan mana jabatan

karier dan mana jabatan politik, agar birokrasi pemerintah dan juga TNI tidak bisa

diintervensi oleh kekuatan politik yang manapun.

Adanya justifikasi publik tentang buruknya penampilan masa lalu TNI utamanya di

era Orde Baru, sama sekali bukan dikarenakan rendahnya kadar ketentaraan atau

profesionalisme segenap prajurit TNI. Penampilan TNI yang demikian itu sebenarnya

hanyalah produk dari sistem kenegaraan yang berlaku saat itu8. Kiranya perlu diakui

oleh bangsa ini bahwa TNI sejak kelahiran dan perkembangannya memang belum

atau tidak dirancang dalam sebuah cetak biru demokrasi. TNI lahir dan berkembang

lebih karena kebutuhan dan tuntutan sesaat yang dihadapi oleh bangsa dalam

8 Dalam hal ini Saurip Kadi sejalan dengan pandangan Huntington bahwa keterlibatan dan dominasi tentara dalam politik lebih karena sistem yang buruk daripada karena faktor internal institusi tentara (editor).

8

Page 9: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

perjalanan sejarahnya. Di sanalah pentingnya bangsa ini menata ulang sistem

kenegaraanya yang memuat pula rancang bangun TNI dalam satu kesatuan kerangka

sistem kenegaraan yang demokratis. Ke depan TNI perlu ditempatkan sebagai

kebanggaan sekaligus tumpuan harapan bagi segenap bangsa, karenanya kehadiran

TNI dimata rakyat haruslah melahirkan harapan dan sekaligus keyakinan bahwa

dirinya akan terlindungi serta terjaga keamanannya. TNI juga sebaiknya dirancang

untuk menjadi satu-satunya kekuatan nasional (benteng terakhir) yang bisa diandalkan

pada saat-saat Negara dan bangsa dalam keadaan tidak normal, terlebih bila segenap

birokrasi sipil sudah tidak berfungsi lagi.

Disamping itu penataan gelar TNI diharapkan mampu mendukung upaya

demokratisasi dan pelaksanaan otonomi daerah. Oleh karenanya gelar TNI juga perlu

dihitung agar mampu menjadi penangkal (deterent) utama yang mampu

menyirnakan niat dan keinginan serta upaya sebagian warga bangsa di daerah

manapun untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia. Penampilan TNI yang

demikian itu otomatis akan mengubah secara mendasar model otonomi daerah yang

terlanjur dikembangkan tanpa menghitung kemampuan daerah untuk bisa mandiri

secara ekonomi sebagai daerah otonom.

Begitu pula penampilan TNI yang terbebas dari urusan politik praktis, bukanlah

sekedar urusan melikuidasi lembaga-lembaga yang memainkan peran politik dan

menarik diri dari MPR/DPR-D, tapi bagaimana mendudukan TNI secara benar dalam

sistem demokrasi agar dirinya secara struktural kelembagaan memang dijamin akan

terbebas dari urusan "day to day politic".

Inti permasalahan yang mendasar lainnya dalam kaitan penataan demokrasi dan

TNI adalah bagaimana "supremasi sipil" bisa diimplementasikan tanpa

ketergantungan secara dominan oleh kemauan dan kesadaran elit TNI semata.

Karenanya asas supremasi sipil semestinya bisa nampak dan tergambar dalam

penataan kelembagaan negara dan mekanisme pengelolaannya. Dengan demikian

maka sistem kenegaraan yang akan dikembangkan secara lengkap mengatur azas,

struktur, perilaku dan mekanisme maupun fatsun yang akan menjadi pedoman oleh

setiap lembaga negara termasuk TNI, serta segenap warga negara tanpa kecuali.

Dengan demikian harapan segera lahirnya sebuah peradaban baru bukanlah hal

yang mengada-ada, tapi sebuah proses yang terukur sebagai produk dari sistem

9

Page 10: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

kenegaraan yang disusun secara obyektif, rasional serta teruji validitasnya, dan dapat

dibuktikan kebenarannya setidaknya secara empirik oleh sejumlah negara sahabat.

Bab Kedua

PAHAM KENEGARAAN DAN TUNTUTAN REFORMULASI SISTEM

KENEGARAAN

Pilihan Paham Kenegaraan dan Demokrasi

Sudah menjadi kodrat alam, sebagaimana filsafat dualisme para filsuf Yunani

klasik seperti Plato, bahwa dalam kehidupan senantiasa berpasang-pasangan dan

berlaku hukum keseimbangan. Siang-malam, pria-wanita, kuat-lemah, kanan-kiri,

barat-timur adalah dua sisi yang mampu membentuk sebuah dinamika kehidupan

yang harmonis. Sesuai dengan kodratnya pula kehidupan ini selalu bergerak menuju

equeliberiumnya yang baru. Kehidupan apapun juga selalu berubah dalam alur turun

naik. Dahulu miskin sekarang kaya, kemarin terpuruk sekarang berjaya dan begitu

terus berganti dan berulang selamanya. Hal yang sama berlaku juga dalam

pengelolaan negara, pasang surut, kejayaan dan keterpurukan adalah siklus kehidupan

yang silih berganti.

Namun demikian bagi bangsa Indonesia dalam tenggang waktu enam-puluhan tahun

sejak kelahiran nya belum menuai masa-masa kejayaan dan apalagi keindahan.

Bahkan sebaliknya duka, kemalangan, dan kepedihan utamanya yang timbul dalam

pengelolaan negara terus berulang silih berganti. Keberhasilan di era Orde Baru

sendiri, rupanya banyak yang manipulatif dan semu karena penuh rekayasa.

Barangkali tidak mengada-ada kalau Hendarmin dalam bukunya yang berjudul

"Gudang Pangan, Tujuan Wisata, Paru-Paru Dunia" menyimpulkan bahwa

keberhasilan Orde Baru yang nyata dan tidak manipulatif hanyalah Program KB

(Keluarga Berencana).

Menjadi wajar kalau sejak krisis ekonomi di tahun 1997 dalam waktu cepat

berubah menjadi krisis multi-dimensional yang hingga saat ini belum disikapi baik

dan benar. Lebih memprihatinkan lagi karena dalam keadaan yang mengenaskan

10

Page 11: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

seperti sekarang ini, oleh sebagian elit bangsa di pusat maupun di daerah kondisi yang

ada ini justru dimanfaatkan untuk berebut kekuasaan dan materi dengan terus

melakukan praktek-praktek KKN yang makin mengganas dan juga menjamur

sebagaimana yang dilansir oleh media massa akhir-akhir ini. Berangkat dari realitas

yang demikian, sesungguhnya persoalan yang mendasar bagi bangsa kita saat ini

adalah bagaimana membangkitkan kesadaran bersama untuk melaksanakan

instropeksi agar segera menemu-kenali akar masalah yang menjadi penyebab ketidak-

mampuan bangsa dan negara ini membangun peradabannya dengan baik. Untuk

selanjutnya dicari- kan solusi pemecahan masalah secara konprehensif. Sehingga ke

depan bangsa ini tidak perlu berulangkali jatuh dalam krisis kenegaraan dan bahkan

krisis peradaban bangsa sebagaimana yang kita alami di sekitar tahun 1965 dan juga

dewasa ini.

Keberhasilan sejumlah bangsa dan negara dalam membangun peradabannya,

tidak bisa lepas dari bagai mana bangsa tersebut mengatur sistem kenegaraan- nya.

Sejak berkembangnya ilmu ilmu sosial di abad pertengahan sesungguhnya model

dalam mengatur sistem kenegaraan dilandasi oleh dua aliran paham besar dunia.

Paham yang pertama berprinsip dasar bahwa: "Rakyat Bertanggung Jawab Atas

Negara". Pada paham ini kekuasaan diatur dengan asas dari rakyat, dikelola oleh

rakyat dan diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Paham ini kita kenal sebagai

paham demokrasi atau biasa dikenal dengan sebutan sistem dimana kekuasaan ada

ditangan rakyat. Karena kedaulatan berada di tangan rakyat, maka paham ini lebih

mengutamakan faktor rakyat di dalam negara. Dalam perkembangannya, ketika

paham kebebasan yang disebut liberalisme berkembang, demokrasi pun mengalami

kemajuan. Karena salah satu nilai pokok demokrasi adalah kebebasan, maka dengan

mudah paham demokrasi ini diselaraskan dengan paham liberalisme sehingga lahir

apa yang disebut “demokrasi liberal” yang sekarang menjadi model demokrasi

mainstream di dunia9.

Paham yang kedua menggunakan prinsip dasar bahwa: "Negara Bertanggung Jawab

Atas Kesejahteraan Rakyat". Paham ini menempatkan kekuasaan negara yang

diperoleh dari Kader Partai melalui forum Konggres Partai dan selanjutnya oleh

negara dialirkan dari atas ke bawah dalam bentuk kebijakan dan peraturan perundang-9 Di antara para pemikir liberal yang mengaitkan demokrasi dengan liberalisme adalah John Rawls melalui bukunya Political Liberalism, (New York: Columbia University Press, 1993)

11

Page 12: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

undangan yang top-down. Karenanya maka para ahli menyebut paham ini dengan

istilah sistem otoriter. Di dalam sistem otoriter, kepentingan-bersama atau lebih

tepatnya “kepentingan negara” adalah suatu prioritas yang lebih mutlak dibandingkan

kepentingan individu di dalam negara. Karena “kepentingan negara” lebih diutamakan

dari pada kepentingan orang-perorang warga negara, maka paham ini juga dikenal

dengan sebutan sosialisme.

Di dalam sosialisme, setiap orang diperlakukan sama oleh negara dan tidak ada

kekuatan lain yang ada selain kekuatan negara. Prinsip ini kemudian sangat dekat

dengan prinsip komunisme yang dikembangkan oleh Karl Marx (1818) dan Friederich

Engels. Marx dan Engels mempermutlak prinsip sosialisme dengan mengatakan

bahwa keadilan dan kemakmuran hanya tercipta kalau di dalam masyarakat tidak ada

kategorisasi atas dasar kelas, lebih tepatnya disebut sebuah “masyarakat tanpa kelas”

(no class society)10.

William Ebenstein di dalam bukunya Today’s Isms mengungkapkan bahwa

Pememerintah sosialis- me dan komunisme di negara berkembang sangat penting.

Negara-negara miskin berhasrat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat.

Tanpa kemajuan ekonomi seperti itu, negara-negara yang baru muncul ini merasa

bahwa tidak akan ada kemerdekaan politik dan kepemimpinanan inter- nasional yang

sejati. Dari segi kepentingan dalam negeri pertumbuhan ekonomi yang tinggi

merupakan satu-satunya cara untuk mencapai standart hidup, kesehatan, dan

pendidikan yang lebih baik”11. Dalam rangka itu, sosialisme dan komunisme

lebih mudah diterima sebagai way of live yang mengatur kehidupan suatu negara.

Kedua paham tersebut sesungguhnya dirumus- kan dari realitas kehidupan sosial

yang berkembang di jamannya. Dengan kata lain, kedua paham tersebut bukanlah

gagasan yang berada diawang-awang atau tidak membumi, karena memang sebagai

teori kedua paham tersebut terlahir melalui proses panjang di masa lalunya. Dan itu

pun melalui berbagai koreksi dan perbaikan secara terus-menerus sesuai dengan

tingkat kemajuan peradaban pada era berikutnya. Sudah barang tentu jatuhnya korban

dan biaya politik yang timbul dari proses panjang tersebut sangatlah besar.

10 Tentang Marxisme bisa dilihat dalam buku Frans Magnis Suseno, Dalam Bayangan Lenin, Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka, (Jakarta: Gramedia, 2003). 11 William Ebenstein, 1985, Today’s Isms, terjemahan Alex Jemadu, (Jakarta: Erlangga, 1994), hal. 247

12

Page 13: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Jatuhnya korban dalam revolusi Perancis (1789), perang saudara di Amerika,

terabaikannya nilai-nilai kemanusiaan di negara-negara industri di daratan Eropa

akhirnya melahirkan kesadaran kolektif untuk membangun sistem kenegaraan yang

mampu men- jamin agar petaka kemanusiaan tersebut tidak kembali berulang.

William Ebenstein mengungkap kembali hal ini sebelum ia membahas dilema

demokrasi dalam sejarah peradaban manusia dalam bukunya Great Political Thinkers

(1951)12. Bahwa akibat ketidak adilan, penindasan dari manusia oleh manusia dimasa

lampau begitu hebatnya, maka muncullah pemikiran untuk membangun sistem

kenegaraan yang mampu menjamin dan melindungi hak hak sipil, kebebasan dan

kemerdekaan segenap individu warga negara yang kemudian berkembang menjadi

paham demokrasi. Sementara itu dipihak lain, ketidakadilan dan hilangnya

penghargaan nilai-nilai kemanusiaan oleh orang-orang kaya yang menguasai modal

dan mesin mesin industri melahir- kan pemikiran bagaimana agar negara mampu

menjamin kehidupan rakyatnya secara merata dalam sebuah masyarakat tanpa kelas

(komunisme). Kedua paham tersebut sesungguhnya tak lebih hanyalah cara

mendatangkan kesejahteraan manusia dalam sebuah sistem sosial yang disebut

sebagai negara.

Dalam kenyataannya kedua paham tersebut tidak ada lagi yang murni. karena

masing-masing telah berproses secara dialektis sebagaimana tesis Hegel. Sejumlah

negara penganut paham demokrasi belakangan ini justru melaksanakan fungsi "negara

memenuhi kebutuhan rakyat"-nya sebagaimana yang seharusnya dikerjakan oleh

negara penganut paham komunis. Inilah yang kita kenal sebetulnya dengan paham

“Negara Kesejahteraan” (Welfare State) yang secara konseptual landasannya

dikembangkan oleh pemikir seperti John Mayard Keyness yang menginginkan adanya

intervensi negara terhadap pasar. Keyness bertentangan dengan liberalisme klasik

yang tidak menginginkan adanya campur tangan negara terhadap pasar karena ada

“tangan tak kelihatan”-nya Adam Smith. Dalam perkembangan, ternyata Smith agak

keliru karena ternyata kemiskinan dan ketidak adilan masih terjadi akibat pasar yang

tidak peduli dengan komunitas yang miskin dan tidak mampu bersaing. Maka

12 William Ebenstein menjelaskan tentang sejarah lahirnya demokrasi, bahwa demokrasi bertumbuh sebagai refleksi atas kekerasan dalam masa revolusi, refleksi atas ketidakadilan dalam sejarah peradaban manusia, dalam bukunya The Great Political Thinkers, (New York, Toronto, Chicago, San Fransisco: Holt, Rinehart and Winston, 1960), edisi ketiga, khususnya pada bab ke-20 tentang The Dilema of Democracy, hal. 522-534

13

Page 14: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Keyness muncul dengan gagasannya “liberalisme baru” yang menghendaki adanya

campur tangan negara. Liberalisme baru menjadi dasar munculnya berbagai

paradigma baru kemudian diantaranya liberalisme-kesejahteraan (welfare-liberalism)

yang selanjutnya melahirkan Negara Kesejahteraan.

Negara Kesejahteraan memiliki pandangan dasar bahwa negara harus mensubsidi

kebutuhan pokok rakyat terutama dibidang-bidang yang vital dan mendasar13.

Sementara itu, pada sejumlah negara penganut paham komunisme (otoriter),

kebutuhan warga negaranya tidak dipenuhi oleh negaranya, akan tetapi sebaliknya

warga negaranya justru membiayai kebutuhan hidupnya masing-masing. Contoh

konkrit dengan mudah kita jumpai di sejumlah negara demokrasi yang menyediakan

air minum secara gratis bagi semua warga negaranya. Dan sebaliknya tidak jarang

rakyat dari negara-negara komunis dalam memenuhi kebutuhan air minumnya dengan

cara membeli dari negaranya. Sistem ekonomi kapitalis yang dahulu menjadi musuh

kaum sosialis, kini mereka begitu pedulinya dengan persoalan-persoalan sosial yang

sedang melanda dunia, sementara mereka yang dahulu memusuhinya kini di

negaranya tumbuh kapitalisme yang justru tidak dilandasi nurani. Barangkali

kapitalisme model Indonesia adalah contoh tak terbantahkan dari model ekonomi

kapitalisme yang tidak bernurani.

Dalam prakteknya negara penganut sistem otoriter ternyata tidak mampu

mensejahterakan rakyatnya. Belum lagi munculnva distorsi akibat sistem ini sarat

dengan kepentingan pribadi para penguasa yang dibungkus atas nama kepentingan

umum atau negara. Sehingga kepentingan rakyat banyak menjadi terabaikan, maka

timbullah penolakan terhadap sistem dari rakyatnya sendiri. Yang muaranya adalah

hancurnya sejumlah negara penganut paham ini seperti yang terjadi di Uni Soviet dan

juga negara-negara Eropa Timur lainnya.

Sebaliknya dinegara-negara penganut sistem demokrasi, kesejahteraan rakyatnya

kemudian maju dengan pesatnya. Sehingga secara langsung meningkat kan pula

harkat dan martabat serta nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban bangsanya. Dengan

kata lain dari "perlombaan" tersebut dimenangkan oleh sistem demokrasi yang telah

tampil sebagai satu-satunya sistem kenegaraan yang terbukti teruji berhasil

menghadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya, setidaknya untuk masa kekinian.

13 Lihat dalam Ebenstein, Ibid. hal., 808-836

14

Page 15: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Dalam menghadapi keadaan yang demikian, sejumlah negara yang berhaluan

komunisme memilih segera bermitra dengan negara-negara yang berhaluan

demokrasi. Bahkan tanpa mengubah atau mengganti ideologi bangsanya, mereka

kemudian mengadopsi sistem perekonomian model negara-negara demokrasi. Kisah

sukses RRC dalam mengadopsi sistem ekonomi liberalisme khususnya bagi wilayah

yang berada di pantai, dan juga keberhasilan Rusia dalam recovery setelah proses

disintegrasi, kini telah melahirkan equeliberium baru untuk mengejar

ketertinggalannya dalam membangun bangsanya.

Persoalan yang kita hadapi selama ini sesungguh- nya terletak pada ketidak-

ketegasan sikap dalam memilih kedua paham tersebut. Dengan berbagai kondisi yang

melingkupinya, dalam melihat kedua isme tersebut cenderung tidak hitam putih,

disamping kurang obyektif dan juga kurang jujur. Hal ini dikarenakan bangsa kita

memang cenderung melihat kedua paham tersebut hanya dari kesan umum dan juga

akibat pemahaman yang tidak mendalam. Kebiasaan kita juga cenderung mudah

menjustifikasi dan bahkan mengkutuk sekalipun tanpa mengetahui dengan jelas apa

dan bagaimana permasalahan yang sebenarnya.

Mereka yang tidak setuju dan bahkan anti terhadap liberalisme ataupun

komunisme belum tentu telah memahami ajaran masing-masing isme tersebut, apalagi

mendalaminya. Kondisi yang demikian tidak hanya berlaku bagi masyarakat

kebanyakan saja, tapi juga pada masyarakat lapis menengah atas termasuk elitnya.

Dan diantara mereka yang sudah tahu dan mengerti sekalipun terkadang karena

kepentingannya dengan mudahnya memanipulasi. Tidak jarang diantara mereka

kemudian melaksanakan pembodohan publik secara terang-terangan demi tujuan

tertentu.

Disisi lain cara pandang diametral juga terus berlanjut, sehingga dalam melihat paham

yang berbasis pada liberalisme adalah sebagai lawan dari paham yang berbasis

komunisme, dan juga sebaliknya dengan kesimpulan kedua-duanya jelek dan tidak

cocok untuk bangsa kita. Tidak memahami dan bahkan tidak mau tahu bahwa

sesungguhnya kedua paham tersebut sudah tidak ada yang benar-benar murni lagi.

Fenomena menarik lainnya adalah kasus India. Dengan segala kecompang-

campingannya dalam banyak aspek, India terus mencoba mempertahankan kemurnian

dalam menerapkan sistem demokrasinya. Walaupun lambat tapi pasti dalam hitungan

15

Page 16: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

beberapa tahun kedepan ia akan menyusul tampil sebagai raksasa ekonomi Asia kedua

setelah Cina. Di samping itu sejumlah negara dibanyak kawasan yang menerapkan

demokrasinya dengan benar juga telah berhasil menjadi negara maju dan kuat baik

dibidang ekonominya, tehnologi ataupun sekedar superior dalam industri olah raga

sepak bola sebagai sumber terbesar devisa negara nya. Jepang dan Jerman

umpamanya, dengan mengubah sistem kenegaraan- nya pasca Perang Dunia II dan

kemudian berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar demokrasi secara kuat terbukti

dalam hitungan hanya dua dekade mampu menjadi negara yang maju kembali. Korea,

Singapura, Australia, dan negara-negara Eropah yang tergabung dalam Blok Barat

lainnya dengan menerap- kan demokrasi secara benar berhasil lebih dahulu dominan

dalam percaturan dunia. Belakangan ini Malaysia, Thailand dan bahkan Philipina

dengan segala persoalan dalam negerinya terbukti lebih cepat mampu mengatasi badai

krisis yang melanda kawasan Asia tenggara di tahun 1997 yang lalu. Garapan yang

utama dan pertama mereka kerjakan ternyata juga pembenahan dan bahkan

penggantian sistem kenegaraannya terlebih dahulu.

Sementara itu bangsa dan negara kita terus ke- bingungan tanpa kejelasan arah,

dengan kondisi yang sudah mulai bertatih-tatih dalam tahun ke-8 setelah badai krisis

ekonomi, kini terus disorientasi dan bahkan peradaban dalam kerangka Indonesia

sepertinya terancam hancur.

Prinsip dasar dari paham demokrasi adalah kedaulatan ditangan rakyat. Makna

kedaulatan rakyat disini diartikan bahwa “kekuasaan yang tertinggi dalam

pengelolaan Negara” berada ditangan rakyat. Rakyat lah yang menentukan apa dan

bagaimana kehidupan Negara nya akan diatur. Sudah barang tentu dalam sistem ini

hak-hak warga negara terlebih tentang kebebasan termasuk kebebasan dalam ber-

serikat sangat menonjol. Karenanya maka dalam sistem demokrasi keberadaan partai

politik menjadi sangat penting, baik sebagai wadah untuk peng- kaderan, penyaluran

aspirasi rakyat, maupun untuk menjadi fasilitas bagi kadernya yang akan tampil dalam

panggung politik.

Sementara itu pada sistem otoriter (komunisme) negara lah yang menjadi subyek

dalam pengaturan kehidupan dan peradaban bangsa nya. Para kader Partai Komunis

sebagai pemegang kedaulatan melalui mekanisme Konggres Partai menyerahkan

"mandat" kekuasaan kepada negara untuk dijalankannya. Dengan kata lain dalam

16

Page 17: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

sistem ini "Kekuasaan tertinggi dalam mengelola negara berada ditangan Partai" yaitu

Partai Komunis. Maka menjadi wajar kalau dalam sistem ini kekuasaan negara atas

rakyat nya menjadi begitu menonjol. Begitu pula hak-hak warga negara juga diatur

dan diberikan oleh negara sesuai kepentingan negara. Dan hak yang demikian itu

ditempatkan bukanlah sebagai hak karena pemberian Tuhan Yang Maha Esa yang

dibawa bersama kelahirannya sebagai manusia di dunia. Sudah barang tentu

kebebasan warga negara menjadi sangat terbatas.

Dalam sistem negara otoriter, bagi rakyat yang akan berpolitik diwajibkan untuk

masuk dalam Partai Komunis sebagai satu-satunya Partai yang berkuasa. Sementara

rakyat lainnya yang memilih diluar urusan politik berada diluar Partai, dengan

pengertian bahwa mereka tidak boleh terlibat urusan perpolitikan dalam bentuk

apapun. Kebebasan dalam berpolitik diwadahi didalam internal partai, dalam arti di

dalam Partai Komunis sendiri bisa jadi terdapat sejumlah faksi.

Secara alami demokrasi juga terbagi dalam dua model. Kedua model tersebut

pada tataran nilai dasar pada intinya sama, dan yang berbeda pada tingkat

implementasi nilai terapannya. Dua jenis demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi

yang menggunakan sistem presidensial dan domokrasi dengan sistem parlementer14.

Untuk model demokrasi sistem presidensial, kontrak sosial dilaksanakan secara

langsung oleh rakyat dengan sang calon Presiden. Konsekwensi logis dari sitem

presidensial maka model Pemilu nya haruslah Pemilu langsung. Disebut dengan

istilah Pemilu langsung karena Rakyat sebagai pemegang kedaulatan atas negara

memilih langsung dengan mencoblos tanda gambar sang Calon Presiden. Dengan kata

lain fungsi Partai disini hanyalah sebagai fasilitas yang melaksanakan fungsi

adimintrasi semata. Bahkan dalam sistem ini Calon Presiden bisa saja berasal dari luar

Partai yang ada. Adapun isi kontrak sosial antara Presiden dan Rakyatnya adalah

semua "janji dalam bentuk program" yang ditawarkan calon Presiden yang

disampaikan sewaktu kampanye Pemilu.

Setelah rakyat berhasil memilih Presiden, maka untuk memberi dukungan politik

antara lain dalam urusan "pembuatan pembuatan Undang-undang (legislasi)" dan juga

untuk menjalankan pengawasan terhadap pelaksanaan kontrak sosial oleh Presiden,

maka rakyat melalui Pemilu langsung menunjuk wakilnya untuk duduk dalam 14 Baca di dalam Terrence Ball dan Richard Dagger, Political Ideologies and the Democratic Ideal, (New York: Harper Collins Publishers, 1991)

17

Page 18: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

lembaga Legislatif. Dan karenanya maka dalam demokrasi sistem presidensial Pemilu

Legislatif dilaksanakan setelah Pemilu Presiden, sehingga dalam memilih wakilnya

yang akan duduk dilembaga legislatif sudah memper- timbangkan pula kebutuhan

perimbangan politik bagi sang Presiden.

Konsekuensi logis dari proses pemilihan yang demikian adalah bahwa

kewenangan untuk mencabut kepercayaan rakyat yang dimiliki Presiden dan anggota

Legislatif hanyalah oleh rakyat pemilik kedaulatan sendiri, bukan oleh lembaga lain

yang manapun. Rakyat tidak pernah mendelegasikan atau memberi kuasa untuk

menjalankan otoritas ke- daulatannya kepada pihak manapun baik kepada Partai

manapun ataupun Anggota Legislatif untuk atas nama rakyat men"jatuh"kan Presiden,

dan rakyat pun tidak pernah mendelegasikan atau memberi kuasa untuk menjalankan

otoritas keadaulatannya kepada Partai manapun untuk me-recall anggota legislatif

yang dipilihnya melalui Pemilu Langsung. Oleh karenanya, dalam sistem presidensial

posisi Presiden dan Legislatif adalah sebagai konstanta, dimana Presiden dan juga

Anggota Legislatif tak bisa dijatuhkan atau diganti oleh siapapun kecuali alasan

hukum dalam arti yang bersangkutan melakukan perbuatan kriminal, kematian atau

mengundurkan diri.

Dalam sistem presidensial anggota DPR bukan wakil Partai tetapi sepenuhnya

sebagai wakil rakyat, karena "mandat" yang dimilikinya bukan dari Partai, tetapi dari

Rakyat yang telah memilihnya. Ini adalah prinsip dasar dari perwakilan politik dalam

sistem demokrasi presidensial. Bahwa wakil rakyat yang duduk dalam sistem politik

karena dipilih oleh dan untuk kepentingan rakyat yang memilihnya sehingga seluruh

tindakan dan sikap sang wakil harus mencerminkan dan dalam rangka kepentingan

rakyat sebagai pihak yang diwakili15.

Dan penting untuk dipahami juga bahwa secara prinsipal rakyat tidak pernah

memberi kuasa, delegasi, atau otoritas untuk menjalankan kedaulatan (kekuasaan

tertinggi dalam mengelola negara) yang dimilikinya kepada Partai Politik manapun. Ia

15 Drs. Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, (Jakarta: CV.Rajawali, 1985), hal. 37. Dijelaskan oleh Arbi Sanit bahwa wakil adalah penerima mandat dari rakyat untuk merealisasikan tujuan-tujuan dalam proses kehidupan politik yang berkaitan dengan kepentingan rakyat. Oleh karena itu, si wakil haruslah bersikap dan bertindak sejalan dengan mandat dari rakyat. Implikasinya, pandangan/kebebasan personal si wakil tidak diperkenankan untuk dipergunakan dalam kualifikasinya sebagai wakil, kecuali jika pandangan itu merupakan cermin dari pandangan /aspirasi rakyat sebagai pihak yang diwakili.

18

Page 19: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

hanya memberikan kewenangan kepada orang-orang tertentu yang kebetulan direkrut

oleh partai politik sebagai organisasi politik yang resmi dalam negara demokrasi.

Disanalah logika politik dalam sistem presidensial yang menempatkan posisi Presiden

tidak bisa di lengserkan oleh Lembaga Negara manapun, dan juga Anggota Legislatif

tidak bisa di recall oleh Partainya. Dan dari sistematika berpikir yang demikian itu,

maka akan melahirkan struktur demokrasi yang mampu menjamin lahirnya "check

and balances". Karena dari posisi yang demikian itu otomatis stabilitas politik akan

terus terjaga (balance), dan juga fungsi kontrol (check) yang ketat dari lembaga

Legislatif karena mereka tidak takut dicopot/di-recall oleh siapapun. Dengan

demikian tidak hanya presiden, para wakil pun juga bisa bekerja dengan lebih baik

tanpa dibawah tekanan partai atau kelompok tertentu16. Kelebihan pada model ini

akan muncul Presiden yang memang benar-benar integritas nya teruji, legitimasinya

tinggi dan kapabilitasnya tidak diragukan dengan programnya yang aspiratif sesuai

dengan tuntutan mayoritas rakyat untuk menjadi seorang Presiden. Dan mereka yang

terpilih sebagai Anggota Legislatif adalah benar-benar figur yang dikenal dan

berkualitas lebih di lingkungannya17.

Adapun kelemahan pada sistem ini, adalah mana kala ternyata kinerja Presiden

terpilih dan juga Anggota Legislatif yang dipilihnya ternyata tidak baik atau buruk

sekalipun, maka rakyat harus bersabar sampai masa jabatannya selesai. Namun rakyat

bisa meng "hukum" mereka dengan tidak lagi memilihnya pada Pemilu berikutnya.

Dan yang jelas model ini untuk negara yang majemuk sangatlah cocok karena

persaingan politik yang terjadi tidak berbasis pada politik aliran, tapi pada program

yang ditawarkan oleh calon Presiden sewaktu kampanye. Dengan kata lain politik

yang dikembangkan dalam sistem ini adalah politik program, dan politik aliran secara

otomatis akan menjadi kecil dengan sendirinya. Dalam kaitan besarnya potensi

kerawanan sosial dalam negara yang majemuk seperti Indonesia, maka ditetapkannya

pilihan pada demokrasi sistem presidensial sebagai "kata putus" menjadi sangat

relevan.

16 Menarik sekali kalau kita cermati penjelasan Dennis F. Thompson tentang etika sang wakil dalam politik demokrasi, dalam bukunya Etika Politik Pejabat Negara, terjemahan Benyamin Molan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999). Thompson melihat dari aspek etis bahwa wakil adalah manifestasi dari kehendak rakyat yang memilihnya maka wakil harus bertindak dalam koridor yang sudah diatur dalam undang-undang dan tidak mengecewakan rakyat yang memilihnya. 17 Lihat juga penjelasan dalam buku Bintan R. Saragih, S.H., Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1988).

19

Page 20: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Sedang dalam demokrasi Parlementer kontrak sosial dilaksanakan oleh Rakyat

dengan Partai Politik yang dilaksanakan pada saat kampanye Pemilu. Pemilu dalam

sistem parlementer dilaksanakan dengan cara tidak langsung, dimana perserta Pemilu

adalah Partai Politik, dalam arti yang dicoblos rakyat adalah tanda gambar Partai

bukan gambar sang calon Anggota Legislatif. Dan karenanya pimpinan Partai

pemenang Pemilu otomatis menjadi Kepala Pemerintahan yang biasanya disebut

sebagai Perdana Menteri. Dengan demikian materi kontrak sosial dalam sistem

parlementer adalah program-program Partai Politik yang ditawarkan sewaktu

kampanye Pemilu. Begitu pula keberadaan anggota legislatif yang biasanya disebut

Parlemen sudah barang tentu diatur dan "tunduk" kepada Partai Politik. Dari sanalah

maka kedudukan Perdana Menteri dan juga anggota Parlemen dalam sistem

parlementer adalah "Variable", artinya setiap saat seorang Perdana Menteri bisa

"jatuh" karena mosi tidak percaya, dan begitu pula anggota Parlemen setiap saat bisa

di-"recall" oleh Partainya. Dalam sistem ini walaupun posisi Perdana Menteri dan

Parlemen sebagai Variable, namun sistem ini diamankan oleh posisi Kepala Negara

sebagai faktor konstanta yang secara kelembagaan memang terpisah dari

pemerintahan. Dengan posisi Perdana Menteri dan Anggota Parlemen sama-sama

sebagai "Variable" maka struktur politik yang terbentuk juga menjadi "chek and

balance", karena dari sana akan lahir keseimbangan yang dinamis disamping adanya

fungsi kontrol yang kuat. Secara alami maka sistem ini banyak dipakai oleh negara-

negara yang berbentuk kerajaan dimana kedudukan Raja atau sejenisnya adalah hanya

sebagai Kepala Negara saja. Konsekwensi dari model ini peran Partai Politik

sangatlah menonjol atau kuat. Pada model ini peran Partai dalam rekruitmen kader

sangat dominan, dan untuk mempertahankan legitimasi dari pendukungnya maka

Partai akan berusaha menampilkan program program yang dapat mengakomodasikan

sebanyak mungkin aspirasi rakyatnya, disamping ia akan menampilkan kader-kader

terbaiknya. Dalam sistem ini para menteri adalah kader partai, biasanya mereka telah

terjalin dalam satu tim work dengan calon Perdana Menteri didalam Partainya.

Kelebihan pada model ini kontrol dari partai melalui anggota parlemen kepada

Perdana Menteri (pemerintah) termasuk penilaian terhadap kinerja Menteri memang

sangat ketat.

Sehingga bila terjadi penyimpangan atau kinerja Perdana Menteri dan atau Menteri

20

Page 21: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

yang tidak memuaskan dapat ditangkal sejak dini. Adapun kelemahan dari sistem ini

sewaktu waktu posisi Perdana Menteri dan juga Menteri bisa goyah, karena Parlemen

bisa saja mengajukan mosi tidak percaya. Anggota Parlemen karena setiap saat bisa di

"recal" oleh Partainya, maka misi Partai dalam kondisi tertentu akan lebih menonjol

daripada aspirasi rakyat itu sendiri. Kerawanan model ini adalah stabilitas politik

sangat ditentukan besar kecilnya dukungan parlemen kepada Presiden dan bagi negara

yang majemuk akan membuat maraknya politik aliran yang berbasis pada SARA tidak

bisa dicegah, terlebih pada negara yang tingkat pendidikan warga negara nya masih

rendah.

Para "founding father" kita memang sempat menawarkan sejumlah pandangan

tentang sistem kenegaraan yang hendak dibangunnya, setidaknya secara resmi pernah

disampaikan dalam siding sidang BPUPKI dan PPKI. Dua aliran besar pemikiran juga

sempat muncul dalam pemandangan umum disidang-sidang tersebut. Supomo dan

kawan-kawan dekat dengan paham sosialismenya dengan pilihan model yang sempat

ditawarkan adalah model Jerman dan Jepang. Sementara itu Yamin, Bung Hatta dan

kawan-kawan lebih menonjol pada paham liberalisme nya. Sedang Bung Karno

sendiri lebih menonjolkan persoalan kemanusiaan, demokrasi dan tata dunia kedepan

(internasional). Hal ini bisa dicermati dari rumusan Panca Sila yang sangat

mengedepankan dan menjunjung tingi nilai-nilai Kemanusiaan, Kerakyatan dan

Kesejahteraan. Sangat disayangkan sewaktu penyusunan sistem kenegaraan kedua

aliran paham tersebut bukan dijadikan sebagai opsi pilihan, namun keduanya malah

sama-sama diakomodasikan. Maka menjadi wajar kalau konsep politik yang

dirumuskan lebih sebagai pencampuran dari keduanya. Sikap "founding father" yang

cenderung mengakomodasikan semua pemikiran dan juga kepentingan tidak bisa

lepas dari suasana kebathinan yang berkembang saat itu.

Disamping karena beragamnya paham dan juga pengetahuan yang ada pada para

pendiri republik, perkembangan Perang Dunia dimana tanda-tanda bahwa Sekutu

akan keluar sebagai pemenang dengan jelas dirasakan juga membuat "founding

father" mengakomodasikan paham demokrasi. Sementara itu kedekatan para perumus

UUD 1945 dengan Pemerintahan Kolonial Jepang yang justru berinisiatif membentuk

badan yang menangani persiapan kemerdekaan dan sekaligus membiayainya, tidaklah

mungkin melahirkan pemikiran yang digodok dalam BPUPKI dan juga PPKI secara

21

Page 22: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

terang-terangan menentang sistem fasisme yang dianut pemerintahan kolonial Jepang.

Suasana kebathinan yang demikian itulah yang sangat mempengaruhi konsep sistem

kenegaraan yang disusunnya. Disana maka nilai nilai yang berseberangan disatukan,

bahkan dua nilai yang kontradiktifpun diramu dalam sebuah konsep sistem politik

nasional. Suasana kebathinan yang melingkupi saat dibuatnya UUD 1945 juga tidak

memungkinkan untuk menguji obyektifitas, rasionalitas, validitas dan apalagi

kebenaran dari sistem yang disusunnya. Karenanya penekanan utama dalam

perumusan UUD-45 lebih menonjolkan pada unsur semangat para penyelenggara

negara. Dengan kata lain konsep politik yang dirumuskan dalam UUD-45 barulah

sebatas hipothesa yang kebenarannya sama sekali belum sempat terbukti walaupun

sekedar secara teori sekalipun. Dari sana pula "founding father" kita cepat-cepat

menyatakan bahwa Konstitusi yang disusunnya barulah bersifat sementara karena

kedaruratan. Menjadi mudah dipahami, karena dalam kenyataan nya batang tubuh

UUD-45 memang dibuat hanya dalam waktu 1 (satu) hari saja.

Bung Karno sendiri dalam pidato pengesyahan UUD-45 pada tanggal 18 Agustus

1945 antara lain menegaskan sebagai berikut: “Tuan-tuan semuanya tentu mengerti

bahwa UUD -45 yang (kita) buat sekarang ini adalah UUD sementara. Kalau boleh

saya memakai perkataan INI ADALAH UNDANG-UNDANG DASAR KILAT. Nanti

kalau kita telah bernegara dalam keadaan tentram, kita tentu akan mengumpulkan

kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang

Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna”. Artinya persoalan perubahan UUD-

45 melalui penggantian dengan yang baru sekalipun bukanlah perbuatan dosa dan

apalagi pengkhianatan kepada “Founding Father”. Justru sebaliknya, kita harus

menempatkan hal itu sebagai “hutang amanah” yang harus segera dbayar oleh para

pewaris negeri ini.

Dari susunan struktur pemerintahan versi UUD 1945 dengan jelas kelihatan

sekali kalau referensi yang digunakan oleh "founding father" kita dalam menyusun

UUD 1945 adalah campuran antara Konstitusi Kerajaan Belanda model tahun 1814

dan sistem kenegaraan model Komunisme. Keberadaan DPR, DPA, BPK, MA, dan

Presiden sebagai pengganti kedudukan Perdana Menteri masing-masing sebagai

Lembaga Tinggi Negara jelas meng- induk pada Konstitusi Belanda tersebut. Padahal

Belanda sendiri pada tahun 1922 telah mengubah Konstitusi tersebut. Sedang

22

Page 23: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

mekanisme penggunaan kedaulatan rakyat, UUD 1945 lebih menginduk pada sistem

otoriter dimana kedudukan MPR yang mempunyai wewenang "Menjalankan

Kedaulatan Rakyat" sesungguhnya adalah pengganti forum Kongres Partai Komunis

sebagaimana yang dilaksanakan di Uni Sovyet, RRC dan juga negara-negara komunis

lainnya. Keberadaan MPR menjadi lebih rancu ketika lembaga ini justru distrukturkan

sebagai Lembaga Tinggi Tertinggi Negara yaitu sejak periode akhir masa

pemerintahan Bung Karno setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga saat ini.

Tuntutan Reformulasi Sistem Kenegaraan

Beranjak dari kondisi sebagaimana tersebut diatas, maka menjadi penting untuk

kedepan bagi bangsa ini dalam menghormati para pendahulunya ditempuh dengan

sikap arif, tanpa meninggalkan obyektifitas, dan jauh dari pengkultusan. Dan sebalik-

nya semua pihak menghindari upaya mempertahan- kan kekuasaan dengan

memanfaatkan nama besar para Pendiri Republik. Kedepan tidak perlu lagi

pengkultusan terhadap para pendahulu, dengan menempatkan semua nilai yang

dirumuskan mereka sebagai harga mati. Dan diberinya stigma sebagai model khas

Indonesia dan kemudian mensakralkan- nya. Padahal dibalik itu semua dengan

mempertahan- kan nilai-nilai lama tersebut banyak kesempatan untuk terus

mengakumulasikan kekuasaan. Dengan berulang kali jatuh bangun dalam krisis

nasional, berulang kali pula terjadi petaka kemanusiaan oleh sesama anak bangsa

dengan korban yang tidak kecil jumlahnya adalah bukti bahwa sistem kenegaraan

tidak bisa lagi diandalkan untuk membangun peradaban kita kedepan. Yang jelas

dewasa ini peradaban bangsa menjadi begitu terpuruk, sementara itu residu masa

lampau begitu sangat membebani anak bangsa termasuk generasi penerus- nya. Maka

akan lebih tepat kalau kita segera menyimpulkan bahwa konsep politik yang

digunakan selama ini ternyata belum (tidak) teruji sebagai sebuah kebenaran yang

dapat dibuktikan dalam praktek penyelenggaraan negara termasuk oleh bangsa-bangsa

lain.

Maka pertanyaan sebaiknya segera dijawab oleh segenap anak bangsa apakah

mungkin UUD-45 sebagai sebuah sistem yang telah melahirkan petaka kemanusiaan

secara berulang dan dengan kerusakan kejiwaan bangsa serta residu masa lalu yang

begitu dasyatnya lantas mampu mengatasi keadaan itu semua. Bukankah sesuatu

23

Page 24: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

yang naïf kalau kita mengharapkan sebuah sistem yang nyata-nyata gagal, lantas

digunakan kembali untuk mengatasi segala persoalan yang justru dilahirkan oleh

sistem itu sendiri. Haruskah kedepan kita dengan hasil amandemen UUD-45 kembali

dan terus melanjutkan bereksperimen dengan gagasan-gagasan baru tentang konsep

politik yang tanpa dibuktikan terlebih dahulu obyektifitas, rasionalitasnya,

validitasnya dan juga kebenarannya minimal secara empiric oleh sejumlah bangsa

lain. Pertanyaan yang demikian berkaitan erat dengan realitas politik yang kini terjadi

pada diri bangsa ini, dimana hasil empat kali amandemen UUD 1945, sejumlah

Ketetapan MPR dan juga sejumlah Undang-undang masih terus melanjutkan

pencampur-adukan nilai-nilai dari kedua paham (ideologi) dan struktur politik yang

semakin semrawut. Formula yang ada pada UUD-45 sendiri memang sudah

campuran, melalui amandemen malah ditambah lagi dengan mengaduknya dengan

kedua perangkat sistem demokrasi yaitu perangkat yang ada pada sistem presidensial

dan yang ada pada sistem parlementer.

Kedepan bangsa ini dituntut untuk bersikap tegas, jelas, lugas dan janganlah

terus-terusan mem- pertahankan keabu-abuan, dan ketidak-jelasan dalam memilih

sebuah kebenaran (nilai) yang sifatnya sudah universal. Ibarat disuruh memilih warna

hitam atau putih, kita biasanya cenderung memilih sebagian hitam dan sebagian putih.

Kita sepakat memilih menjadi laki-laki, tapi penampilan, watak, sifat dan perlaku

yang ditampilkan adalah sebagai wanita. Konsistensi sebagai laki-laki mestinya

berpenampilan gagah, macho serta perkasa di samping berwatak ksatria dan gentle.

Dan begitu pula bila pilihannya menjadi wanita, kita juga harus konsisten dan

konsekwen untuk berpenampilan yang cantik, menawan dan berperilaku lembut dan

halus serta anggun. Keseimbangan yang mestinya diametral dengan memilih jadi laki-

laki atau wanita, umumnya kita memilih jadi banci/waria. Menjadi wajar kalau

Suparwan G Parikesit Cendekiawan Muslim kita dalam tulisan lepasnya tertanggal 29

April 2005 yang berjudul "Kebangkitan Kembali Kaum Intelektual" menyebutnya

dengan istilah "Sistem Pemerintahan tak berkelamin". Padahal keseimbangan yang

alami adalah posisi optimal pada masing masing kutub walau terkadang memang

perlu fleksibel.

Disanalah pentingnya kesadaran bersama dari segenap anak bangsa untuk tidak

mengulangi dan terus melanjutkan model dimana bangsanya sendiri yang berjumlah

24

Page 25: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

lebih dari 200 juta sebagai obyek uji coba dari sebuah gagasan tentang sistem

kenegaraan yang masih bersifat hipothesa. Padahal resiko yang bakal terjadi tidak

hanya membikin segenap warga Negara yang sekarang menjadi menderita, tapi juga

anak cucunya bahkan beberapa generasi ikut menanggungnya. Lagi pula mereka yang

terlibat dalam penyusunan dan juga anggota rezim yang melaksanakannya belum

tentu ikut menanggung dampaknya.

Bukankah bangsa-bangsa lain telah memberi pengalaman dan pelajaran yang berharga

bagi kita. Mengapa bangsa bangsa lain dalam menyusun sistem kenegaraannya

dengan mudahnya bisa dan mau mengadopsi nilai-nilai yang dalam praktek

penyelenggaraan negara telah nyata-nyata terbukti keberhasilannya, sementara itu kita

terus berdalih bahwa kita punya ke “khas” an sendiri sehingga tidak mungkin

mengadop nilai-nilai tersebut, walaupun terhadap nilai yang nyata-nyata sudah

bersifat universal sekalipun. Kita terlalu mudah lupa ataupun pura-pura tidak tahu

bahwa puluhan dan bahkan lebih dari seratus bangsa-bangsa lain termasuk yang

kelahirannya sebagai negara jauh setelah kemerdeka- an kita, dengan mudahnya

mengadopsi nilai-nilai yang faktanya terbukti sebagai cara yang terbaik dalam

pengelolaan Negara, dan kemudian berhasil mem- bangun peradabannya dengan baik.

Boleh saja kita menggunakan alasan karena kita negara kepulauan, tapi bangsa lain

yang wilayahnya juga kepulauan berhasil membangun peradabannya dengan baik.

Begitu pula dari sudut besarnya jumlah penduduk, kemajemukan, ataupun rendahnya

standar rata-rata pendidikan penduduknya. Ternyata sejumlah negara yang

mempunyai persoalan yang sama, dengan mudahnya bisa membangun bangsa dan

negaranya begitu maju dan kuat. Boleh saja kita beralasan karena kita tergolong

sebagai negara muda, dan mempunyai budaya yang khas, namun sejumlah negara

yang lebih muda dan mempunyai budaya yang mirip sama dengan kita juga berhasil

menata kehidupan kebangsaan dan kenegaraannya dengan berkwalitas. Maka yang

diperlukan adalah kesadaran untuk memahami anatomi masalah dan faktor-faktor

penyebab kegagalan yang menimpa kita dalam membangun ke Indonesia an.

Karena kelahiran kita sebagai Indonesia lebih dikarenakan kesamaan nasib

akibat penjajahan Belanda, sesungguhnya kalau mau jujur ikatan kejiwaan kita

sebagai Indonesia masih sangat rapuh. Masa lalu kita yang terdiri dari kerajaan-

kerajaan kecil yang dalam pengelolaannya penuh pertikaian baik internal maupun

25

Page 26: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

antar sesamanya juga mewarnai perilaku kepemimpinan elit yang berkuasa. Sentimen

kedaerahan, etnis dan bahkan agama dengan mudah dibangkitkan, belum lagi

persoalan kesenjangan baik vertikal maupun horizontal utamanya yang berlatar

belakang ekonomi. Dalam kondisi yang penuh potensi kerawanan sebagaimana

gambaran tersebut diatas, maka persoalan penataan sistem kenegaraan menjadi sangat

mendasar dan bahkan mendesak. Dari sisa-sisa kohesifnes yang sekarang masih ada,

kita perlu segera membuktikan kebenaran niat dan tekad para pendiri republik untuk

membentuk Indonesia yang satu. Untuk itu kita harus memilih pendekatan yang bisa

diterima oleh segenap warga bangsa kita. Satu dari sekian sisi yang bisa dimanfaat-

kan adalah azas manfaat atas keberadaan Indonesia sebagai bangsa dan negara itu

sendiri. Disanalah pentingnya pengaturan Indonesia dalam sebuah sistem kenegaraan

yang bisa diandalkan untuk segera membangun beradaban yang ber Indonesia.

Dengan demikian azas manfaat atas keberadaan Indonesia sebagai satu-satunya wadah

bagi segenap warga bangsa segera dirasakan manfaatnya oleh segenap warga bangsa

tanpa kecuali. Sudah barang tentu azas manfaat yang dimaksudkan bukanlah sekedar

dibidang kesejahteraan, keadilan dan keamanan, tapi juga kebanggaan bersama

sebagai Indonesia yaitu persoalan harkat dan martabat sebagai bangsa dan negara

Indonesia.

Disanalah pentingnya semua pihak yang terlibat dalam penyusunan ulang sistem

kenegaraan bisa lebih mengedepankan pendekatan konseptual visioner dari pada

reaksioner pragmatisme, serta mampu melepas- kan kepentingan pribadi dan

golongan. Sehingga hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran tidak diukur dari

banyak sedikitnya suara yang mendukungnya, tapi dari akal sehat dan nurani.

Pancasila sendiri memberi tuntunan demokrasi dengan "Dipimpin Oleh Hikmah

Kebijaksanaan" dan sama sekali bukan oleh besar kecilnya jumlah suara.

Kita memang cenderung suka membuat konsep jalan tengah yang lebih didasari

kepentingan sesaat sehingga sangat logis kalau Wolfgang Merkel menempatkan

Indonesia pada tahun 2001 dalam kelompok negara di Asia Tenggara yang masuk

kategori “Demokrasi Elektoral” yang hanya sukses melakukan pemilihan umum tetapi

belum sukses secara substansial dalam berdemokrasi18. Lihat tabel di bawah.

18 Wolfgang Merkel, 2003, Democratie in Asien: Ein Kontinent zwischen Diktatur und Democratie, terjemahan Indarwati Pareira, (Jakarta: Friederich-Ebert-Stiftung, 2005), hal.130

26

Page 27: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Kategori Asia

Selatan

Asia

Tenggara

Asia

Timur

Laut

Demokras

i

Elektoral

India, Sri

Langka,

Nepal,

Banglades

h

Filipina,

Thailand,

Indonesia

Jepang,

Korea

Selatan,

Indonesia

Otokrasi Butan,

Malediven

Pakistan

Brunei,

Burma,

Kamboja,

laos,

Malaysia,

Singapura,

Vietnam

Cina,

Korea

Utara

Dalam praktek, untuk kurun waktu diawal perbaikan konsep jalan tengah

memang lebih efektif. Sangat disayangkan sesuatu yang sifatnya darurat kemudian

dibakukan sebagai konsep final dengan cap "ala Indonesia". Dan setelah ternyata

gagal dengan mudah pula kita mencari kambing hitam, termasuk dengan menuduh

campurtangan asing. Diantara kita kemudian terus menyuarakan bahwa konsepnya

benar dan baik, tapi manusia yang melaksanakan mentalnya bobrok. Kebiasaan

memberi penilaian tanpa memahami dimana letak kebenaran dan kebaikannya

kembali terulang. Mereka lupa bahwa sistem politik yang baik mestinya tidak perlu

berulang kali memakan korban anak bangsa dan masa depan keturunannya sendiri.

Saat ini kita juga sudah terbiasa mendengar bahwa Suharto baik, tapi yang

mengelilingi yang "rusak". Kita lupa bahwa sistem yang baik akan menjamin sang

Presiden hanya dikelilingi oleh orang-orang yang baik pula. Karena dari sistem yang

baik akan mampu memfilter sekaligus menepis kehadiran orang-orang yang "rusak"

untuk berada disekeliling Presiden. Bisa jadi sikap dan cara berpikir yang demikian

ini terbentuk karena alam yang memanja- kannya, ataukah ini semua ini karena

warisan dari nenek moyang bangsa bekas jajahan. Tentang hal ini memang perlu

didalami dengan lebih konprenhensif lagi, tapi yang jelas sederetan sisi lemah bangsa

27

Page 28: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

yang demikian itu tidaklah boleh ditempatkan sebagai produk budaya yang harus kita

terima apa adanya. Melalui perubahan "mind set", "way of thinking" dan paradigma

segenap warga bangsa yang dimulai dari elitnya terlebih dahulu diharapkan sisi buruk

tersebut bisa dieliminasi. Hal yang demikian tidaklah ber- lebihan, karena budaya bisa

saja ditempatkan sebagai sebagai proses yang bisa saja diubah secara sadar dan

terukur, dan bukan sekedar sebagai out put semata.

Dalam demokrasi rakyatlah yang berkuasa, dan negara diberi wewenang untuk

mengelola kekuasaan tersebut. Maka didalamnya haruslah terkandung seperangkat

nilai yang menjamin bahwa negara tidak akan salah kelola dalam bentuk apapun dan

situasi apapun termasuk dalam keadaan berperang sekali- pun. Maka fungsi negara

dalam model demokrasi akan lebih sebagai legislator, fasilitator, pemberi akses bagi

segenap warga negara dalam hal pengelolaan sumber daya dan kesempatan untuk

memperoleh penghidupan secara adil guna mensejahterakan diri masing masing

sesuai dengan kemampuan dan keinginannya.

Sudah barang tentu dalam konsep negara yang berdasarkan pada demokrasi tidak

ada istilah negara akan mensejahterakan apalagi memakmurkan rakyat. Karena

filosofi yang demikian hanya dikenal dalam negara otoriter. Dan sesungguhnya rakyat

mempunyai kemampuan dan ukuran sendiri sendiri dalam mensejahterakan dan

memakmurkan dirinya sendiri. Sudah barang tentu negara juga harus menjamin rasa

kemanusiaan, keadilan, dan juga keamanan di- samping harus mampu menjaga

kedaulatan rakyat dari segenap hakekat ancaman yang dihadapinya. Oleh sebab itu

struktur pemerintahan negara dan mekanisme yang diimplemtasikan haruslah me-

menuhi prinsip dasar transparansi, accountability dan juga efisiensi.

Sistem demokrasi yang benar haruslah mampu menjamin bahwa aparatur Negara

tidak akan bisa begitu saja menggunakan kekuasaannya untuk mem- perkaya diri

sendiri, dan apalagi sampai melanggar HAM serta hak-hak sipil lainnya meskipun

adagium Lord Acton masih selalu berlaku bahwa kekuasaan itu korup dan kekuasaan

yang absolut cendrung korup secara absolut pula (power tends to corrupt, absolute

power corrupts absolutely)19. Adalah kekeliru an yang sulit dimaafkan kalau urusan

mencegah korupsi kemudian diserahkan kepada kesadaran atau moral manusia yang

mengawaki pemerintahan negara. Disanalah pentingnya menyusun sistem kenegaraan

19 Dikutip dalam Natan Sharansky, The Case for Democracy, (New York: Public Affairs, 2004)

28

Page 29: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

yang mampu menangkal dan menepis setidaknya mengeliminasi korupsi. Tanpa

perubahan sistem maka korupsi yang begitu dasyatnya di era Orde Baru akan terus

dan bahkan menjadi me- wabah diera berikutnya.

Dari rancang bangun sistem politik yang ada saat ini juga tidak bisa menjamin

untuk mencegah terjadi- nya pelanggaran HAM atau tindak kekerasan oleh alat

kelengkapan negara termasuk oleh TNI. Keterlibatan anggota TNI dalam pelanggaran

HAM akan sulit untuk dielakkan mana kala TNI masih ditempatkan pada arena politik

praktis. Disanalah pentingnya konsep politik yang menempatkan TNI dberada diluar

domain sipil sehingga betul-betul tidak terlibat dan tidak bisa dilibatkan dalam urusan

urusan politik praktis yaitu segala urusan yang menjadi tanggung jawab Presiden

dalam kapasitasnya selaku Kepala Pemerintahan.

Sudah barang tentu konsep yang demikian itu tidak serta-merta dilaksanakan

bagai membalik tangan, tapi diatur sesuai kesiapan semua pihak yang terkait, dan

sejalan dengan kemampuan negara untuk membiayai anggaran yang diperlukan dalam

proses perubahan itu semua. Dalam sistem demokrasi yang benar, institusi militer

haruslah digolongkan dalam kelompok jabatan karier. Dengan cara ini maka

kemandiriannya dalam urusan pembinaan tidak bisa diintervensi oleh pihak eksternal

manapun termasuk oleh Presiden sendiri. Cara ini akan menjamin berlakunya norma

"merit" sistem dan bahkan "tallent scouting" dalam pembinaan karier prajurit TNI.

Sudah barang tentu sistem demokrasi juga harus bisa menjamin agar kapanpun TNI

tidak kembali menjadi sumber masalah yang dihadapi bangsanya. Disanalah maka

persoalan Supremasi Sipil dan “Civil Society" bukanlah hanya dalam bentuk

pengetahuan belaka, tapi "built in" masuk dan tergambar dengan jelas dalam struktur

kelembagaan demokrasi itu sendiri. Sehingga TNI benar-benar terbebas dari tarik

menarik kepentingan politik dari lingkungan politisi sipil yang manapun. Yang terjadi

hasil amandemen UUD 1945 malah menempatkan DPR dilibatkan dalam proses

pengangkatan Panglima TNI dengan mekanisme "fit and profer test" dan pemberian

rekomendasi. Lantas bagaimana seorang Panglima TNI akan bebas dari urusan politk

sebagai norma dasar "supremasi sipil", kalau proses rekruitmennya sendiri sudah

melibatkan unsur politik. Belum lagi kalau kemudian sistem kenegaraan yang ada

malah membenarkan TNI untuk ber-Dwi Fungsi. Selaku Pimpinan TNI, Nasution

memberi hak kepada orang perorang prajurit TNI untuk memangku jabatan diluar

29

Page 30: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

lembaga militer. Lahirnya gagasan tersebut sangat diwarnai oleh kebutuhan sesaat

ketika bangsa memasuki tahap konsolidasi sebagai negara. Model ini kemudian

diperluas oleh Suharto dimana secara kelembagaan TNI mengemban fungsi sosial

politik.

Begitu pula keberadaan Polisi, dengan fungsinya yang multi yaitu dibidang

penegakan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat, serta anti teror kemudian

diposisikan langsung dibawah Presiden. Lantas bagaimana mungkin lembaga yang

demikian strategis dapat dipisahkan dari kepentingan politik tertentu. Dengan

mudahnya Polri digunakan sebagai alat untuk tekan-menekan atau bahkan untuk

dukung-mendukung kepentingan politik tertentu yang dibungkus sebagai tindakan

hukum baik untuk mem- percepat pembongkaran kasus, ataupun sebaliknya dengan

cara memperlambat atau bahkan menghenti- kan proses penyidikan. Bukankah

sejumlah negara yang telah berpengalaman dengan membayar pahit dan biaya yang

sangat besar sudah pada satu kesimpulan bahwa Polisi haruslah dipisah menurut

fungsi sebagai penjaga ketertiban dan keamanan yang dikendalikan oleh Gubernur.

Sedang Polisi yang bertugas menangani fungsi penyidikan yang bersifat lintas daerah

ataupun yang punya pengaruh langsung ditingkat nasional dan kejahatan internasional

maka posisi Polisi dibawah Menteri, bisa saja dibawah Mendagri atau Menteri yang

membidangi hukum.

Dalam berdemokrasi Fungsi kontrol sangatlah penting. Fungsi kontrol yang

dimaksud bukanlah sekedar fungsi yang melekat pada kelembagaan formal saja, tapi

juga harus bisa dilaksanakan oleh publik dengan back-up Undang-Undang Untuk

Mengetahui (Right To Know). Fungsi kontrol terlebih dalam hal audit keuangan

negara sangatlah mustahil bisa efektif bila diperankan oleh lembaga auditor yang

menjadi bagian dari lembaga itu sendiri yang selama ini diperankan oleh jajaran

Inspektur Jendral (Itjen). Dan bila ditarik keatas dalam skala negara, maka auditor

negara yang diwadahi dalam BPK sekalipun akan sulit menjalankan fungsi kontrol

secara profesional dan proposional terhadap lembaga lembaga negara lainnya20.

Apalagi pengangkatan keanggotaan dan pimpinan BPK melalui proses politik. Maka

20 Seringkali juga korupsi merajalela karena BPK sendiri tidak bersih dalam memeriksa keuangan negara sehingga jaring korupsi merentang dari lembaga negara sampai kepada individu di dalam masyarakat, termasuk dan apalagi di lembaga peradilan sebagaimana dikupas dengan detail oleh Wasingatu Zakiyah, et al. , Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, (Jakarta: ICW, 2002)

30

Page 31: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

penggunaan jasa akuntan publik secara rasional justru bisa diper tanggung-jawabkan.

Dengan cara ini niat dan kesempatan untuk korupsi otomatis dijamin akan mengecil

dengan sendirinya. Tanpa jaminan dari sistem, niscaya korupsi akan terus membelit

kehidupan bangsa kita.

Disamping itu bangsa ini terlanjur dihinggapi pola hidup konsumtif yang

dikembangkan selama era Orde Baru. Yang jelas dampak ikutannya telah menggiring

banyak pihak untuk mencari jalan pintas dalam mendapatkan kekayaan. Sementara itu

jaminan sosial terlebih untuk hari tuanya bagi pegawai negeri sipil dan prajurit TNI

sangat tidak ada kepastian. Maka dalam kehidupan kesehariannya, sangatlah sulit bagi

birokrasi pemerintah yang manapun untuk tidak korupsi. Dan dalam kenyataan yang

ada, pada bagian-bagian birokrasi tertentu justru dorongan munculnya niat untuk

korupsi jauh lebih besar daripada kekuatan batin untuk menolaknya. Sehingga bagi

mereka yang mencoba terus bersih, secara tidak langsung akan terisolasi atau

setidaknya terasa menjadi "orang aneh" dalam lingkungannya.

Dan kalau mau jujur, dalam setiap kampanye politik setiap partai bermain uang

dan melakukan korupsi politik. Sehingga benar apa yang ditulis Susan Rose-

Ackerman dalam Corruption and Government: Causes, Consequences and Reform,

bahwa persoalan besar dalam merancang sistem pembayaran kampanye ialah

bagaimana menjauhi peraturan yang mengakibatkan tindakan tidak legal seperti

korupsi atau money politics. Walaupun ada undang-undang tentang pembiayaan

kampanye yang dikeluarkan negara, seringkali juga terjadi pembiayaan kampanye

melalui transfer dana gelap21. William J. Connolly bahkan menegaskan bahwa perlu

ada pembatasan besarnya sokongan dana untuk kampaye dalm rangka dan sebagai

suatu cara untuk mengekang pengaruh korupsi meskipun dalam praktek juga

pembatasan yang terlalu ketat justru menimbulkan penyimpangan berupa trasfer dana

gelap yang tidak terdeteksi oleh panitia pengawas Pemilu22.

Di luar ranah politik praktis, korupsi juga merajalela seperti dalam birokrasi

sehingga ada pejabat yang dengan mudah menjadi kaya. Karena kondisi kehidupan

yang demikian ini merata serta berproses puluhan tahun, maka rasa "risih" atau

21 Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, terjemahan Toenggoel P Siagian, (Jakarta: Sinar Harapan, 2006), hal. 192-9322 William J.Connolly, How Low Can You Go? State Campaign Contribution limits and The Frist Amandment , Boston University Law Review No 76, tahun 1996, hal. 496

31

Page 32: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

perasaan tidak enak dan apalagi perasaan bersalah (dosa) karena mempunyai

kekayaan berlebih yang didapat dengan cara korupsi pada sebagian pejabat atau bekas

pejabat telah hilang atau setidaknya sangat tipis sekali. Penerimaan uang diluar gaji

yang patut diduga berasal bukan dari sumber resmi, karena menerimanya dilengkapi

dengan kwitansi dan yang menyerahkannya juga pejabat resmi maka tidak lagi

dianggap sebagai korupsi. Uang komisi dari sebuah tender, upeti dari rekanan,

kelebihan anggaran karena mark up, sisa dana taktis, atau kwitansi fiktif dan

pemasukan lainnya diluar gaji tidak lagi dirasakan sebagai uang haram, tapi justru

ditempatkan sebagai rezeki dari Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka mereka kemudian

rajin membersihkan diri dan harta kekayaannya dengan melaksanakan ritual

keagamaan sesuai dengan syariat tertentu yang diyakininya. Dan sebagian dari mereka

menggunakan rezekinya itu untuk berderma utamanya kelingkungan lembaga-

lembaga keagamaan dan sosial lainnya.

Kasus Korupsi di KPU adalah bukti konkrit bahwa persoalan korupsi bukan

karena persoalan gaji kecil, tapi karena sistemnya23. Figure yang terlibat dalam

korupsi di KPU bukanlah orang kebanyakan, mereka adalah orang-orang istimewa,

pilihan dari sedikit kader bangsa terbaik yang ada. Dengan kata lain untuk

memberantas korupsi juga tidak bisa disandarkan pada lambang-lambang keagamaan

seseorang dan juga reputasi seseorang dimata publik24. Karena secara kodrati memang

manusia dibarengi dengan nafsu kebendaan disamping nafsu-nafsu lainnya.

Disadari atau tidak sistem yang ada saat ini justru mempunyai kekuatan yang

begitu dasyat dalam mendorong tejadinya korupsi. Bagaimana mungkin dalam sistem

demokrasi kemudian jabatan dibawah Menteri dalam hal ini jabatan Sekjen atau Sekut

dan juga Dirjen yang terkenal dengan istilah jabatan Eselon I dan bahkan jabatan

Direktur kemudian di kategorikan jabatan politik. Dimana proses rekruitmennya

diusulkan oleh Menteri/Ka Lembaga yang bersangkutan dengan sumber dari manapun

datangnya termasuk dari lingkungan Partai dan kemudian disaring oleh TPA (Tim

Penentu Akhir) yang anggota dan pimpinannya juga dari lingkungan jabatan politik.

Sangatlah tidak rasional dengan cara yang demikian itu akan lahir pemerintahan yang

23 Lihat juga penjelasan tentang akar korupsi dalam Boni Hargens, Genealogi Korupsi di Indonesia, Media Indonesia tanggal 10 Mei 2005. 24 Tentang korupsi politik yang seringkali juga melibat tokoh agama dan bahkan korupsi di tubuh agama sendiri bisa dibaca dalam buku Boni Hargens, Kebangkrutan Agama dan Politik, (Jakarta: Gendhis, 2005).

32

Page 33: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

bersih. Dari kondisi yang demikian itu pula, lantas darimana sistem akan menjamin

bahwa birokrasi kita netral dalam Pemilu dan akan bebas dari urusan urusan uang

komisi yang oleh KPU ditenarkan dengan istilah "dana taktis" termasuk untuk

kepentingan perpolitikan. Dengan demikian untuk membuat Birokrasi Pemerintahan

yang bersih maka syarat utamanya adalah memisahkan antara jabatan karier dan

jabatan politik, disamping perbaikan kesejahteraan, dan pengawasan serta penegakan

hukum.

Untuk itu unsur Yudikatif dalam hal ini jajaran MA semestinya diatur dari atas

sampai kebawah juga dikategorikan sebagai jabatan karier yang tidak boleh

diintervensi dan dikaitkan dalam urusan politik oleh lembaga politik yang manapun.

Dan sudah barang tentu sistem demokrasi juga dengan tegas mengatur bahwa jabatan

Presiden, anggota DPR/-D, DPD, Menteri, Pejabat yang disejajarkan dengan Menteri,

Kepala/Wakil Kepala Daerah diposisikan sebagai jabatan politik yang tidak boleh

mengintervensi wilayah jabatan karier. Konsekwensi dari jabatan politik sudah barang

tentu pemberian penghasilannya berupa honorarium selama dalam jabatannya, sedang

mereka yang dikategori jabatan karier pengaturan penghasilannya dengan gaji bulanan

selama masih berdinas aktif, dan gaji pensiun setelah memasuki masa purna bhakti.

Prinsip dasar lainnya dalam sistem demokrasi adalah Negara dilarang untuk

mengambil keuntungan dari rakyat. Disanalah maka BUMN dan juga BUMD serta

bisnis lembaga lembaga Negara termasuk Bisnis Militer selayaknya dihapus. Negara

tidak boleh bersaing dengan rakyatnya dalam bentuk bisnis apapun. Prinsip dasar ini

menjadi begitu penting bukan sekedar untuk melindungi persaingan yang tidak sehat

antara negara dengan rakyat, tetapi juga untuk mencegah terjadinya penyelewengan

dan penyalahgunaan kekuasaan oleh yang mengawaki lembaga-lembaga bisnis

tersebut. Dengan dalih untuk kepentingan pembiayaan lembaga dan atau ke-

sejahteraan anggota maka fasilitas dan akses dengan mudahnya diberikan oleh negara.

Disisi lain kalau terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang oleh mereka akan

sulit disingkapi oleh penegak hukum. Apalagi kalau yang dihadapi jauh lebih

mempunyai jaringan, kekuasaan dan "power" ataupun dari lingkungan lembaga yang

mengawasinya itu sendiri. Disanalah maka illegal logging, illegal fishing,

penyelundupan BBM, dan kerusakan lingkungan terjadi dengan begitu merajalelanya

di tanah air kita. Bisa jadi suatu saat kelihatannya mereda, namun sesungguhnya itu

33

Page 34: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

semua semu. Karena memang sistem yang ada tidak menjamin untuk mampu

menghentikan terjadinya pelanggaran tersebut, sebelum sistem kenegaraan yang

mengaturnya ditertib kan lebih dahulu.

Belum lagi kalau kita mau jujur, sesungguhnya BUMN/D dan juga bisnis-bisnis

lembaga negara yang manapun adalah "sapi perahan" bagi sekelompok/ selapis

pejabat tertentu saja. Dan pendapat yang mengatakan bahwa bisnis yang demikian itu

keber- adaannya sangat dibutuhkan untuk kesejahteraan pegawai/prajurit

sesungguhnya kurang didukung fakta yang kuat. Keberadaan BUMN hanyalah

mungkin untuk sejumlah industri yang tidak dan atau belum mungkin ditangani oleh

swata karena secara ekonomis memang belum profitable. Dalam hal yang demikian

negara wajib menyelenggarakan bisnis perdana seperti penerbangan, pelayaran,

ataupun bisnis lainnya untuk pulau tertentu yang tidak mungkin ditangani oleh swata.

Sedang industri militer terlebih yang berkaitan dengan persenjataan, sudah barang

tentu harus dikelola langsung oleh Negara25.

Bab Ketiga

SISTEM POLITIK NASIONAL SEBAGAI

SUMBER MASALAH

Inkonsistensi Azas dalam UUD-45.

25 Sampai sekarang memang belum ada aturan yang pasti dan efektif soal penanganan bisnis tentara, bahkan UU 34 tahun 2004 sendiri belum mampu menjawabi keresahan para petinggi tentara yang tidak ingin melepaskan bisnisnya di satu pihak tetapi ingin mendorong reformasi TNI di pihak lain. Jadi alternatif dari pengambilalihan bisnis ini dalam rangka memenuhi kebutuhan operasional TNI belum disiapkan dengan jelas. Ini suatu kendala tersendiri dalam konteks reformasi tentara di Indonesia.

34

Page 35: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Dengan mencermati penerapan sistem kenegara- an kita selama ini, terkhusus

yang menginduk pada UUD 1945 (termasuk hasil amandemen), dengan mudah

diketahui bahwa pencampur-adukkan konsep tidak hanya pada tataran paham

(ideologi) yaitu antara demokrasi (liberalime) dan otoriter (Komunis me dan

Fasisme), tapi juga dalam penggunaan alat kelengkapan politik antara sistem

pemerintahan kolonial, demokrasi, komunisme, dan fasisme. Begitu pula dalam

amandemen keempat, sistem kenegaraan menjadi bertambah ruwet karena formula

campuran tersebut diaduk dalam penggunaan instrumen demokrasi. Alat kelengkapan

demokrasi sistem presidensial kemudian digabung dengan kelembaga- an demokrasi

sistem parlementer26. Dengan pilihan jatuh pada demokrasi, yang kita terapkan

sebagian adalah nilai yang berasal dari paham otoriter. Hal ini nampak pada posisi

MPR yang ditempatkan sebagai lembaga Tinggi Tertinggi Negara dimana Presiden

sebagai Kepala Negara berada dibawahnya, bahkan bisa di"jatuh"kan olehnya. Karena

kita menggunakan sistem presidensial mesti- nya Presiden dipilih secara langsung

oleh rakyat, yang terjadi sampai dengan amandemen kedua UUD-45 Presiden dipilih

oleh MPR tak ubahnya Konggres Partai Komunis memilih Presiden. Begitu pula

wewenang MPR yang terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah dan Golongan dalam

membuat GBHN, tak jauh beda dengan kewenangan Konggres Partai Komunis dalam

membuat kebijakan Partai yang akan dijadikan haluan-haluan dalam garis-garis besar

bagi Pemerintahannya untuk kurun waktu lima tahun. Padahal dalam paham

demokrasi haluan negara yang akan dilaksanakan oleh Presiden adalah kontrak sosial

dimana dalam sistem presidensial dibuat langsung antara calon Presiden dengan

rakyat. Kita juga bisa melihat perilaku pemerintah terlebih selama Orde Baru yang

cenderung refresif kepada rakyatnya, dan kehidupan sosial dikontrol begitu ketat

sebagaimana yang dikenal hanya dalam sistem otoriter. Padahal ciri khas dalam

demokrasi adalah kebebasan dan kemerdekaan warga negara sebagai prinsip dasar.

Bahkan pembuatan Undang-undang yang diatur hanya dari Negara jelas hanya

mungkin terjadi dalam negara penganut paham otoriter. Karena disana Undang-

26 Pada tataran ideologi ada ketidakjelasan, terkadang kita menganut liberalisme dengan adanya liberalisme pasar melalui privatisasi dan pencabutan subsidi, tetapi terkadang juga menganut komunisme dengan prinsip keadilan sosial berdasarkan pasal 33 UUD 1945 dimana negara menguasai aspek yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kalau ideologi tidak jelas, maka otomatis orientasi dan tujuan menjadi tidak jelas karena Terrence Ball dan Richard Dagger, 1991, Ibid. mengatakan bahwa ideologi harus memberikan orientasi bagi para pengikutnya dalam rangka mencapai tujuan.

35

Page 36: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

undang dibuat lebih diorientasikan untuk kepentingan atau kebutuhan negara.

Begitu pula dalam kelembagaan dan mekanisme pengelolaan negara. Bangsa ini

telah bersepakat untuk memilih model demokrasi sistem presidensial, yang terjadi

instrumen yang digunakan adalah milik sistem parlementer. Pemilu untuk memilih

anggota DPR dalam sistem presidensial adalah Pemilu langsung, yang terjadi selama

ini kita menggunakan model Pemilu Tidak langsung, kecuali dalam Pemilu 2004 yang

lalu, itupun masih mengikut sertakan tanda gambar Partai dan bahkan tanpa

mencoblos tanda gambar Partai membuat kartu suara menjadi tidak syah. Kedudukan

Presiden dan DPR yang mestinya sebagai "konstanta" yang terjadi sebaliknya

Presiden bisa di "jatuh" kan oleh MPR dan anggota DPR dengan mudahnya bisa di

"recal" oleh partainya, padahal model ini hanya dikenal dalam sistem parlementer

dimana Perdana Menteri bisa "jatuh" akibat "mosi" tidak percaya dari Parlemen, dan

anggota Parlemen bisa di-recall oleh Partai nya yang terkenal dengan istilah PAW

(Pergantian Antar Waktu) sebagaimana diatur di dalam Pasal (9) Tata Tertib DPR RI

tahun 2005 yang menyebutkan bahwa anggota berhenti antar waktu karena meninggal

dunia, mengundurkan diri sebagai anggota atas permintaan sendiri secara tertulis, atau

diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan27. Dan masih banyak lagi praktek-

praktek politik lainnya yang membikin makna demokrasi itu sendiri hilang dan lebih

dari itu munculnya "self destruction" tidaklah mungkin bisa dihindari.

Tinjauan Kritis terhadap UUD 1945

Tanpa bermaksud tidak menghormati dan apa lagi menyalahkan para pendiri

bangsa (founding father) yang dahulu menyusunnya, amandemen terhadap UUD-45

oleh anak bangsa generasi pewaris bukanlah sebuah kedurhakaan. Bung Karno sendiri

dalam pidato pengesyahan UUD-45 pada tanggal 18 Agustus 1945 antara lain

menegaskan sebagai berikut: “Tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa UUD -45

yang (kita) buat sekarang ini adalah UUD sementara. Kalau boleh saya memakai

perkataan INI ADALAH UNDANG-UNDANG DASAR KILAT. Nanti kalau kita telah

bernegara dalam keadaan tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis

Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih

lengkap dan lebih sempurna”. Artinya persoalan perubahan UUD-45 melalui 27 Lihat dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No 08/DPR RI/I/2005-2006, diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal DPR RI, Tahun 2005,Tata Tertib DPR RI hal.12-13.

36

Page 37: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

penggantian dengan yang baru sekalipun bukanlah perbuatan dosa dan apalagi

pengkhianatan kepada “Founding Father”. Justru sebaliknya, kita harus

menempatkan hal itu sebagai “hutang amanah” yang harus segera dbayar oleh para

pewaris negeri ini.

Sebaliknya amandemen dengan tujuan untuk meniadakan sama sekali berbagai

kekurangan yang terdapat didalam UUD-45 dengan cara menggantikannya dengan

yang baru sekalipun haruslah ditempatkan sebagai sesuatu yang wajar manakala

realitanya hal tersebut adalah sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar. Sepanjang

tujuan yang ingin dicapainya adalah untuk menghadirkan jaminan kepastian masa

depan bangsa dan negara sesungguhnya masalah mengganti UUD-45 syah-syah saja.

Sejumlah Negara yang berulang kali mengganti UUD nya seperti Perancis

umpamanya, ternyata tidaklah berarti mereka membubarkan keberadaan Negara dan

bangsanya. Melalui amandemen UUD sepanjang untuk menyesuaikan dengan

tuntutan jaman dan juga perkembangan lingkungan strategis yang ada otomatis akan

mem- bikin sistem kenegaraan menjadi kuat, karena kemanfaatannya akan dirasakan

langsung oleh segenap warga bangsanya. Azas kemanfaatan atas keberadaan sebuah

sistem kenegaraan ataupun kelembagaan apapun dalam kehidupan kontemporer

menjadi sangat penting. Karena dengan kemanfaatan yang secara nyata dapat

dirasakan oleh segenap warga negara akan melahirkan kekuatan untuk memper-

tahankan sistem kenegaraan yang ada itu sendiri dengan segala pertaruhan dari

segenap warga bangsa nya secara tulus dan ikhlas. Sikap yang demikian tidak bisa

lepas dari pembawaan umum manusia yang cenderung mempertahankan

establishment dan ke- pastian masa depannya. Dengan demikian kohesif- ness bangsa

sebagai perwujudan rasa nasionalisme otomatis tumbuh dan berkembang dengan

sendiri- nya. Sebaliknya sikap membabi buta tanpa mau tahu bahwa sistem kenegaran

yang ada telah merugikan diri sendiri dengan korban dan biaya politik yang besar

sepatutnya kedepan benar-benar dihindari.

Dalam implementasi UUD-45 selama ini dengan pilihan sistem presidensial

sebagai kata final, yang terjadi Presiden bisa dijatuhkan oleh MPR sebagai- mana

yang terjadi dalam lengsernya Bung Karno dan juga Gus Dur. Padahal dalam sistem

presidensial Lembaga Tertinggi Negara adalah Presiden yang kapasitasnya juga

sebagai Kepala Negara. Disanalah maka keberadaan MPR sebagai Lembaga Tinggi

37

Page 38: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Ter- tinggi Negara dengan wewenang untuk "Menjalankan Kedaulatan Rakyat" perlu

kita pertanyakan aliran "mandat" kedaulatan rakyat yang dipunyainya. Karena rakyat

tidak pernah memberikan "mandat" kedaulatan rakyat kepada anggota legislatif

(DPR) yang juga anggota MPR untuk tujuan tersebut.

Dalam hal yang sejenis juga tidak dalam pembuatan GBHN. Dengan membandingkan

kaidah yang berlaku di lingkungan Islam, kewenangan MPR yang demikian itu ibarat

Hadist Nabi maka "sanad" nya ada yang terputus. Dan kalau kita mau konsisten

bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat maka kewenangan yang dipunyai MPR

yang demikian itu menjadi tidak valid. Kecuali kita akan menggunakan sistem

Komunisme, dengan memposisikan keberadaan MPR sama dengan keberadaan

Konggres Partai Komunis, maka kewenangan MPR yang demikian itu menjadi syah

adanya. Karena kedaulatan dalam sistem komunisme memang ada ditangan Kader

Partai yang dijalankan melalui mekanisme Konggres Partai Lima Tahunan.

Begitu pula masalah status keanggotaan Legislatif, posisi anggota legislatif dalam

sistem presidensial mutlak haruslah sebagai "konstanta". Yang terjadi anggota DPR

versi UUD-45 dengan mudahnya bisa di"recal" sebagaimana yang terjadi selama ini,

padahal wewenang Partai untuk merecal anggota DPR mestinya hanya dikenal dalam

sistem Parlementer. Dalam sistem parlementer Partai berhak me-recall anggota DPR

karena yang diberi "mandat" oleh rakyat memang Partai. Pelanggaran terhadap

norma-norma ini sesungguhnya terjadi karena kesalahan "blue print" sistem Pemilu

anggota DPR itu sendiri. Dalam sistem Presidensial Pemilu anggota DPR haruslah

dengan mencoblos tanda gambar atau photo sang calon anggota DPR. Yang terjadi

berulang kali terlebih selama era Orde Baru dan juga satu kali dalam era berikutnya

Pemilu yang kita laksanakan dengan memilih Tanda Gambar Partai, kecuali dalam

Pemilu legislatif tahun 2004 itupun masih menyertakan tanda gambar Partai. Makna

dari sistem Pemilu yang demikian itu berarti posisi anggota DPR begitu lemah,

sedang kedudukan Partai sangatlah kuat, dan ini bertentangan dengan norma dasar

sistem demokrasi presidensial itu sendiri, yang menempat- kan posisi anggota DPR

sangatlah kuat, sementara posisi Partai lemah. Begitu pula status anggota DPR yang

lebih sebagai wakil Partai dari pada wakil Rakyat. Padahal norma tersebut hanyalah

terdapat pada sistem parlementer.

Disamping masalah obyektifitas dan rasionalitas aliran dalam penggunaan

38

Page 39: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

kedaulatan rakyat, UUD-45 juga mengandung kelenahan yang menyuburkan

inefisiensi. Keberadaan DPA umpamanya, dalam realitanya DPA hanyalah tempat

penampungan elit yang tidak mungkin lagi diwadahi dalam struktur eksekutif ataupun

legislatif. Sistem politik tidak menugaskan lembaga ini untuk menghasilkan produk

kelembagaan yang mengikat dan kemanfaatannya dirasakan oleh publik atau bahkan

oleh Presiden sekalipun. Barang kali akan lebih bermanfaat kalau fungsi DPA

kemudian diperankan oleh orang-orang ahli yang diposisikan sebagai Staf Ahli

Presiden. Presiden sebagai pejabat politik tidaklah mungkin akan mampu menguasai

semua masalah pada seluruh aspek kehidupan, keahlian dan disiplin ilmu.

Begitu pula keberadaan BPK, kiranya terlalu sulit untuk berharap BPK sebagai

lembaga Auditor akan obyektif terhadap sesama alat kelengkapan negara. Saat ini

marak berbagai penyimpangan dibuka oleh BPK, tapi kinerja yang demikian bukan

karena dijamin oleh sistem demokrasi itu sendiri. Trik-trik politik dan kepentingan

pihak tertentu dan atau tergugahnya nurani segelintir Auditor BPK maka muncullah

kasus Mulyana W Kusumah yang ketangkap basah menyuap salah satu Auditor BPK.

Terjadinya mega korupsi bukanlah baru terjadi saat ini tapi sudah puluhan tahun

sebelumnya, tapi kenyataannya selama itu pula BPK juga tidak berkontribusi secara

jelas dalam memerangi korupsi. Apalagi aturan konstitusi hanya mewajibkan BPK

menyerahkan hasil pemeriksaannya kepada Presiden dan DPR, tapa dibarengi otoritas

untuk menindak lanjuti proses hukum atas temuannya. Keberadaan Militer dan juga

Birokrasi Pemerintah dalam sistem politik UUD-45 versi Orde Baru sangatlah sulit

untuk dijamin bisa netral, yang terjadi malah TNI (dahulu ABRI) diberi fungsi ganda

dimana secara kelembaga- an juga mempunyai fungsi dibidang Sosial Politik (Dwi

Fungsi ABRI). Dan kemudian bersama Keluarga Besarnya ABRI diwadahi dalam satu

jalur ("A") dalam partai berkuasa dalam hal ini Golkar. Sedang birokrasi sipilnya

diwadahi dalam satu faksi dalam Golkar dengan sebutan sebagai jalur "B" Golongan

Karya. Maka kedua intitusi ini lebih ditempatkan sebagai alat kepentingan kekuasaan,

dan ABRI secara efektif digunakan untuk melaksanakan fungsi kontrol tehadap

kehidupan sosial secara ketat. Dengan kondisi yang demikian maka sulit bagi mereka

untuk tidak terlibat penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan. Terlebih ABRI

yang kemudian terlibat secara proaktif dalam setiap persoalan politik praktis, otomatis

banyak terlibat pelanggaran terhadap hak-hak sipil warga negara termasuk

39

Page 40: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

pelanggaran HAM itu sendiri. Karena memang perilaku sistemnya menghendaki

demikian, dan bukan semata-mata karena kesalahan, kelalaian ataupun kealphaan

aparatur negara termasuk anggota ABRI semata. Bisa jadi ada pejabat yang tidak

terlibat penyalahgunaan kekuasaan dan penyelewengan yang outputnya adalah

korupsi. Namun sesungguhnya hal yang demikian itu adalah pengecualian, atau

karena kesempatan dan waktu belum memungkinkan saja. Begitu pula kalau ada

Prajurit TNI yang tidak melanggar hak-hak sipil dan terlebih tidak terlibat

pelanggaran HAM dengan jatuhnya korban manusia sekalipun, sesungguhnya mereka

adalah pencilan atau karena nasib yang membuat mereka tidak pernah mendapat

penugasan yang beresiko terjadinya pelanggaran HAM. Memang tidak sedikit

petinggi ABRI yang harus tersingkir sebelum waktunya karena "menolak" kehendak

yang berkuasa, tapi secara umum sistem yang berlaku terlalu sulit bagi mereka untuk

tidak berebut prestasi dengan cara mengikuti kehendak sang Penguasa. Hal yang

demikian itu sesungguhnya manusiawi demi kehidupan dan penghidupan serta

kepastian hari tua nya.

Hal yang sejenis terjadi pula dilingkungan penegak hukum, UUD 1945

menempatkan para Hakim Agung dan termasuk yang menjabat sebagai Ketua MA

sebagai jabatan politik, karena dalam rekruitmennya terdapat campur tangan

kekuasaan politik yaitu Presiden dan DPR. Konsep ini jelas melahirkan distorsi yang

sangat besar dalam upaya penegakkan hukum. Apalagi kemudian para Hakim diatur

dengan kepangkatan secara berjenjang dimana kewenangan atasan sangatlah dominan

dalam menentukan karir dan masa depan mereka. Disinilah pentingnya pemisahan

secara tegas antara jabatan politik dalam hal ini Menteri Kehakiman dengan birokrasi

pendukung yang berada di Departemen Kehakiman beserta jajarannya. Dengan

demikian tidak terjadi penggunaan jalur eksekutif untuk mempengaruhi proses

peradilan oleh pimpinan mereka dari lembaga masing-masing. Begitu pula dalam

UUD-45 keberadaan Polri belumlah diatur secara explisit. Hal ini yang membuat

kedudukan Polri berubah berulang kali. Apalagi kemudian Polri disatukan dengan

TNI dengan sebutan ABRI, yang mendudukan Polri sebagai Angkatan Bersenjata

(Armed Forces). Padahal Polri bukanlah militer, ia adalah penjaga ketertiban dan

keamanan rakyat yang senjatanya adalah hukum, karenanya ia dikategorikan dalam

kelompok Birokrasi Sipil.

40

Page 41: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Masalah mendasar lainnya adalah karena UUD-45 memang terlalu singkat.

Dampak yang tidak bisa dicegah maka ia menjadi multi tafsir. Disinilah maka menjadi

sulit untuk tidak terjadi penafsiran oleh pihak yang berkuasa sesuai dengan

kepentingannya. Dan apakah yang demikian kemudian bisa dikategori- kan sebagai

penyimpangan dan penyelewengan dari UUD-45. Lantas adakah lembaga atau pihak

yang berhak untuk menjustifikasi keabsyahan bahwa yang ini benar yang itu salah.

Dan tidaklah benar kalau ada Lembaga Negara yang merasa berhak untuk menilai hal

tersebut, seperti yang terjadi dimasa lalu diseputar lahirnya Orde Baru. Di jaman

Bung Karno sendiri terjadi perubahan penafsiran beberapa kali. Posisi MPR yang

semula hanya ditempatkan sebagai Forum Musyawarah atau Konggres, di era pasca

dekrit Presiden 5 Juli 1959, keberadaan MPR jutru dilembagakan secara struktural.

Dan terlebih di era Orde Baru, sebagai negara hukum dengan sistem demokrasi oleh

penguasa Orde Baru kemudian dibelokkan kedalam sistem otoriter dengan

mengesyahkan pendapat Supomo tentang paham Negara Intregralistik yang kemudian

secara resmi dijadikan sebagai paham negara versi Orde Baru. Padahal pendapat

tersebut barulah dalam tahap pemandangan umum belum pemah didiskusikan sampai

final dan juga belum mendapat persetujuan peserta rapat (PPKI) sekalipun. Disanalah

maka penampilan sebagai negara otoriter tidak bisa lagi dihindari dengan ABRI

sebagai tulang punggungnya.

Tinjauan Kritis terhadap Hasil Amandemen UUD 1945

Reformasi tanpa perubahan secara fundamental sistem kenegaraan pada

hakekatnya adalah rebutan kekuasaan semata. Karenanya dalam reformasi perlu

perubahan secara fundamental dari jiwa dan juga format politik agar kedepan sistem

kenegaraan dijamin mampu mengemban missi sucinya. Memang kesadaran untuk

bersepakat melaksanakan amandemen UUD-45 itu sendiri sebuah lompatan luar biasa

bagi bangsa Indonesia. Kesadaran tersebut juga dipacu oleh besarnya tuntutan

mahasiswa dipeng- hujung kepemimpinan Suharto sehingga berhasil menggugah

kemauan banyak pihak untuk me- laksanakan amandemen UUD 1945. Sangat

disayang- kan dalam amandemen UUD 1945 hanyalah ditempuh dengan menambah

pasal-pasal dan sedikit pengurangan pasal-pasal aslinya. Besarnya pemusatan

kekuasaan pada tangan Presiden yang terjadi selama Orde Baru kemudian dianulir

41

Page 42: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

dengan menambah wewenang DPR untuk mengintervensi kewenangan eksekutif dan

juga yudikatif, tanpa menghitung dampak yang bakal ditimbulkannya dikemudian

hari. Padahal kelemahan yang terjadi selama ini bukan dikarenakan adanya pemusatan

kekuasaan ditangan Presiden yang memang menjadi ciri dari sistem presidensial, tapi

terletak pada konstruksi konsep politiknya yang tidak konsisten terhadap prinsip-

prinsip dasar demokrasi sistem presidensial itu sendiri. Dengan kata lain amandemen

yang demikian itu jelas tidak mengubah konstruksi dasar dari konsep politik yang

dikandung oleh UUD-45 itu sendiri. Salah satu yang terlupakan dalam

mengamandemen UUD-45 adalah pentingnya perubahan pendekatan atau paradigma

dalam menghadirkan stabilitas politik. Dalam kaitan ini stabilitas politik yang ingin

diwujudkan masih menganut paham lama, dengan persepsi sebagaimana model yang

diterapkan selama era Orde Baru, dimana Pemerintah perlu mendapat dukungan yang

sangat kuat dari DPR. Padahal dalam sistem Presidensial apalagi Pemilu Presiden nya

sudah langsung, maka legitimasi seorang Presiden bukanlah dari DPR tapi langsung

dari rakyat. Disini nampak jelas kerancuan perumus konsep yang masih menggunakan

"way of thinking" lama dimana logika politik belum dijadikan pertimbangan yang

mendasar. Dan semua itu adalah pertanda bahwa kebenaran masih bisa dikalahkan

oleh kepentingan sesaat yang disyahkan dengan mekanisme quorum dan suara

mayoritas.

Sebuah perbaikan UUD yang langsung menukik masuk ke dalam pasal-pasal

dengan penambahan dan pengurangan belaka niscaya tidak akan mengubah jiwa,

orientasi, visi dan paradigma yang dianut oleh UUD aslinya. Menjadi wajar kalau

pasca amandemen yang terjadi malah makin memperburuk keadaan, sehingga

belakangan muncul penilaian dari sejumlah kalangan bahwa pemerintahan Orde Baru

jauh lebih baik dari pemerintahan setelahnya.

Disinilah pentingnya penyamaan kerangka berpikir elit bangsa ini terlebih dahulu, bila

memang berhendak untuk segera mengakhiri krisis yang terus berkepanjangan,

dengan memulai perubahan secara mendasar yaitu berbagai masalah yang berada

dihulu yaitu hal-hal yang bersifat strategis dan fundamental terlebih dahulu dengan

menata ulang kerangka dasar sistem politiknya.

Ditilik dari struktur politik, UUD-45 Hasil Amandemen memang telah mencakup

semua unsur yang diperlukan dalam struktur demokrasi. Tapi betulkah ia telah

42

Page 43: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

memenuhi prinsip-prinsip dasar demokrasi secara konsisten dan konsekwen sebagai-

mana lazimnya sebuah kesisteman yang benar dan baik. Hal ini bisa dilihat dengan

mengkaji satu persatu lembaga kenegaraan yang ada. Keberadaan MPR perlu dikaji

ulang termasuk kewenangannya, karena lembaga ini asalnya bukan dari paham

demokrasi.

Begitu pula tentang keberadaan DPD, sepertinya missi yang ingin dicapai dari

gagasan ini sendiri belum jelas. Kalau memang dimaksudkan akan menerapkan model

Bikameral, maka sejumlah kewenangan yang harus dimiliki DPD sebagai mana

lembaga Senat yang dipraktekan dibanyak negara semestinyalah diberikan.

UUD 1945 Hasil Amandemen juga memberi kewenangan DPR dalam proses

seleksi sejumlah pejabat. Persoalan yang muncul adalah aliran otoritas kedaulatan

rakyat dari mana kalau DPR kemudian mempunyai wewenang untuk melaksanakan

"fit and profer test" calon keanggotaan sejumlah lembaga baik yang terstuktur dalam

jajaran eksekutif seperti Panglima TNI, Kapolri, Hakim Agung, Duta Besar dan lain-

lainnya, ataupun keanggotaan KOMNAS HAM, KPU, KPK dan sebagainya. Karena

dalam sistem presidential rakyat tidak pernah memberi "mandat" untuk hal-hal yang

demikian itu, dan Rakyat hanya memberikan mandat kepada anggota legislatif untuk

urusan kelegislasian dan pengawasan saja, lagi pula hal-hal tersebut sesungguhnya

menjadi tanggung jawab eksekutif. Campur tangan anggota DPR dalam urusan

eksekutif semacam itu hanyalah dikenal dalam demokrasi sistem parlementer saja.

Konsep politik yang demikian ini jelas membuat lembaga-lembaga negara dan komisi

independen seperti itu menjadi terseret dalam kancah politik praktis. Kalau toh bangsa

ini akan membikin komisi-komisi independen yang tugasnya menangani hal-hal diluar

fungsi eksekutif biarkanlah lembaga non-pemerintah pula yang memilihnya, dan

keterlibatan Presiden dalam mengesyahkan aspek legalitas karena kedudukannya

sebagai Kepala Negara.

UUD-45 Hasil Amandemen menetapkan DPR mendapat tambahan fungsi dibidang

Yudikatif dengan memberikan pertimbangan bagi Presiden sebelum memberikan

amnesti dan abolisi sebagai mana diatur dalam Pasal 13 ayat (3) nya. Betapa deviasi

"mandat" dari rakyat yang diberikan sewaktu Pemilu kepada anggota DPR menjadi

melebar kehal-hal yang tidak semestinya.

Begitu pula dalam hal mekanisme pembuatan Undang-undang, dalam sistem

43

Page 44: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

presidensial sesuai dengan prinsip dasarnya kekuasaan tertinggi (ke- aulatan) dalam

pengelolaan negara ada ditangan rakyat, maka setiap warga negara dan badan apapun

dibenarkan mengajukan usul pembuatan Undang-undang. Kedepan pengajuan RUU

bukanlah hanya Presiden, DPR dan DPD dalam bentuk RUU yang diusulkan melalui

DPR saja, tapi semua pihak yang merasa berkepentingan, termasuk rakyat orang

perorang sekalipun. Kebiasaan selama ini RUU datangnya hanya dari Pemerintah, hal

tidak bisa lepas dari konsep dasar UUD-45 dan perilaku Pemerintah sendiri utamanya

selama Orde Baru yang cenderung meniru model yang diterapkan oleh negara-negara

Komunisme, dimana peraturan perundang-undangan datangnya dari negara.

Begitu pula terhadap keberadaan sejumlah lembaga baru, baik yang secara

langsung diatur oleh UUD 1945 Hasil Amandemen, maupun yang didasarkan pada

amanat Ketetapan MPR seperti MK, KPK, KPU, dan lain-lainnya. Barang kali yang

perlu dikritisi adalah validitas alur datangnya otoritas kedaulatan rakyat disamping

masalah rasionalitas, keefektifan dan keefisiensiannya. Sesungguhnya fungsi yang

diberikan kepada MK memang sebuah kebutuhan dalam sistem demokrasi. Tapi

persoalan- nya betulkah dijamin bahwa MK akan bisa memainkan peran tersebut

dengan benar dan steril dari kepentingan politik Partai manapun, kalau dalam proses

rekruitmennya kemudian melibatkan unsur politik. Padahal persoalan yang

sesungguhnya bukan soal ada atau tidak adanya MK, tapi bagaimana hukum dan

keadilan yang dipegang oleh jajaran Yudikatif dapat ditegakkan. Tanpa keberadaan

MK sekalipun, sesungguhnya MA mempunyai ke- wenangan untuk menangani semua

persoalan hukum yang timbul di republik ini. Tinggal bagaimana wewenang yang

demikian itu dieksplisitkan dalam Pasal-pasal Amanden UUD 1945 yang mengatur

masalah MA. Barangkali dari sisi efisiensi cara ini akan lebih menguntungkan. Kalau

keberadaan MK akan dipertahankan seperti yang ada saat ini, maka persoalan yang

mendasar adalah mekanisme dalam rekruitmen kader haruslah terbebas dari tarik me-

narik kepentingan politik.

Sedang kelembagaan baru lainnya sesungguhnya tidak jauh dari persoalan MK.

Apalagi kalau kita pahami dari fungsi dan tugas pokok lembaga kepanitiaan tersebut

seperti KPK umpamanya, bukankah tugas tersebut sesungguhnya menjadi fungsi dan

tugas pokok Pemerintahan Eksekutif. Karena kebutuhan nya maka Pemerintahlah

yang membentuk berbagai kepanitiaan dan bahkan "task force" sekalipun. Kalau hal

44

Page 45: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

yang demikian dilanjutkan, lantas pertanggungan jawab Presiden atas kontrak sosial

tentang pem- berantasan korupsi akan menjadi bias, karena diluar Presiden masih ada

KPK, padahal KPK tidak pernah mengikat kontrak sosial dengan rakyat tentang hal

tersebut.

Dalam konteks KPU sebagai lembaga yang ditugasi untuk melaksanakan Pemilu,

dengan tujuan untuk menjaga agar ia mandiri dan juga independen maka rekruitmen

pejabat yang akan mengawaki dilaksana- kan dengan cara "fit and proper test" oleh

DPR. Dalam merumuskan asumsi yang demikian mungkin kurang pas, bagaimana

mungkin KPU akan menjadi independen kalau yang menentukan untuk menjadi

anggota KPU justru lembaga yang berada pada "domain" politik. Padahal untuk

membuat KPU yang independen yang paling mudah dan murah adalah dengan

membentuk kepanitiaan bersama dari semua Partai politik yang ada, sehingga mereka

saling mengawasi. Begitu pula dalam pengelolaan anggaran- nya, jaminan dari bagian

sistem yang mana kalau KPU akan mampu menangkis praktek korupsi. Bukankah

pengelolaan logistik Pemilu akan menjadi tepat kalau menjadi tugas Departemen

Dalam Negeri. Dengan demikian lahirnya sebuah independensi nyata-nyata karena

kontrol yang dijamin dari struktur dan mekanisme yang terbuka dan saling mengawasi

dari sesama Partai.

Begitu pula persoalan Kekuasaan Kehakiman sebagimana yang diatur dalam

BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Prumus konsep amandemen UUD 1945

mungkin bermaksud akan membuat Jajaran Yudikatif yang independen, kuat dan

mandiri. Dan karenanya maka segenap badan-badan yang menangani urusan peradilan

akan dijadikan satu wadah dengan MA sebagai induknya. Hal yang pasti kalau benar

aturan akan dilaksanakan, maka sangat mungkin MA akan menjadi negara dalam

negara. Lantas bagian sistem yang mana yang menjamin jajaran MA kelak akan

menjadi lembaga yang independen, kuat dan mandiri. Bukankah yang harus dirancang

untuk menghadirkan lembaga Yudikatif yang independen bebas dari intervensi politik

manapun termasuk oleh Presiden, adalah dengan menetapkan posisi jabatan hakim

yang benar-benar berada dalam kelompok jabatan karier dari atas kebawah tanpa

kecuali. Adapun dukungan birokrasi terhadap MA haruslah tetap menjadi tanggung

jawab Pemerintah.

Disanalah bangsa ini kembali akan melakukan eksperimen dari gagasan-gagasan

45

Page 46: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

yang baru pada tingkat hipothesa yang kemudian disyahkan hanya berdasarkan suara

mayoritas tanpa melalui pengujian validitasnya sebagai sebuah kebenaran, padahal

dampaknya yang menanggung adalah rakyat banyak. Belum lagi ditilik dari bukti

empirik dalam praktek penyelenggaraan oleh bangsa dan negara lain, belum

diketemukan bukti bahwa konsep yang gado-gado yang mencampur atar paham, dan

sejumlah instrumen politik yang biasa digunakan dilingkungan negara-negara

komunis, fasis, kolonial dan bahkan antar model dalam demokrasi sendiri berhasil

menghadirkan kesejahteraan, keadilan, keamanan dan kebanggaan dalam berbangsa

dan bernegara.

Beranjak dari proses pemisahan TNI dan Polri pada tahun 1999 yang tidak lagi

diwadahi dalam lembaga ABRI sesungguhnya momentum tersebut sangat strategis

dalam penataan fungsi Pertahanan dan Keamanan. Sayang sekali dalam amandemen

UUD-45 yang kedua tahun 2000 masih mengelompokan kedua fungsi tersebut dalam

satu kesatuan sistem yaitu Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara. Dalam

pertahanan hakekat ancaman jelas yaitu musuh bersenjata dari luar. Namun dalam

soal keamanan, bukankah keamanan adalah sebuah output dari sebuah sistem sipil

secara keseluruhan yang terdiri dari rangkaian elemen pemerintahan sipil yang saling

kait-mengkait sehingga melahirkan produk berupa rasa aman. Sepanjang masalah rasa

aman masih bisa ditangani dengan cara-cara normal, maka tugas keamanan adalah

porsi birokrasi sipil dalam hal ini salah satunya adalah Polri. Manakala masalah

keamanan tidak bisa lagi ditangani dengan cara-cara normal, maka disanalah TNI

digunakan. Karenanya maka kedua fungsi tersebut tidak boleh diwadahi salam satu

kesatuan sistem, sehingga kuranglah tepat kalau diatur TN1 menangani musuh dari

luar, Polri menangani musuh yang datang dari dalam.

Begitu juga Tugas TN1 sendiri bukan sekedar persoalan menghadapi tentara asing

yang menjadi musuh kita, tapi semua persoalan kehidupan ke- negaraan yaitu saat

Negara dalam keadaan abnormal (darurat) terlebih bila tidak mungkin lagi ditangani

oleh lembaga sipil manapun. Dengan demikian tugas TNI diluar perang tidak

dikaitkan dengan besar kecilnya masalah ataupun luas tidak wilayah yang sedang

bermasalah. Dalam keadaan tertentu walau- pun untuk kepentingan satu orang warga

negara, tapi kalau keadaannya tidak mungkin ditempuh dengan cara-cara normal yaitu

cara-cara keberadaban maka disanalah TNI harus tampil mengatasinya. Berangkat

46

Page 47: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

dari paham demokrasi yang demikian ini, maka tugas TNI dan Polisi tidak ada

kaitannya. Karenanya polisi haruslah berada di wilayah sipil sebagai bagian dari

upaya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Dengan senjata hukum mereka yang

"Break the Law" termasuk didalamnya mengganggu ketertiban yang mengakibat

hilangnya rasa aman bagi warga negara baik perorangan atau kelompok masyarakat

haruslah ditangani oleh Polri. Dengan kata lain konsep penanganan pertahanan dan

keamanan negara harus- lah diubah secara proporsional dan janganlah karena Polisi

juga dilengkapi dengan senjata kemudian begitu saja disatuan dengan TNI dalam satu

fungsi yang disebut Pertahanan dan Keamanan Negara.

Bab Keempat

MEMBANGUN SISTEM KENEGARAAN YANG DEMOKRATIS

47

Page 48: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Penyikapan terhadap Pengaruh Asing

Sebagai anggota masyarakat dunia tidaklah mungkin kita akan steril terhadap

pengaruh lingkungan global dan juga kepentingan negaranegara sahabat. Oleh

karenanya yang terpenting bagi bangsa ini adalah bagaimana menyikapi keadaan

tersebut agar kepentingan nasional kita tidak dirugikan. Persis dalam hal ini

diperlukan Pancasila sebagai way of life bangsa Indonesia yang menjadi acuan dalam

menyesuaikan diri dengan perubahan global dan dalam mengembangkan pola

pembangunan bangsa yang sesuai dengan nilai-nilai dasar masyarakat kita. Maka

benarlah apa yang ditulis Frans Magnis Suseno dalam bukunya Filsafat Kebudayaan

Politik bahwa “Pancasila hanya menjadi acuan etis kehidupan bangsa indonesia

dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, apabila cita-citanya senantiasa

diaktualkan sebagai pacuan pem bangunan kehidupan bangsa ke masa depan.

Pancasila, baik dalam keseluruhanya, maupun dalam lima silanya, secara nyata harus

menjadi landasan pembangunan”28.

Hal itu, menurut Magnis, tidak berarti bahwa pancasila perlu langsung

diopersionalisasikan, atau diberi tafsiran operasional [ misalnya

mengoperasionalisasikan sila keempat pola yuridis-kongret tertentu demokrasi].

Operasionalisasi itu adalah tugas undang-undang dasar [jangka panjang, landasan

perspektif jauh] dan undang-undang /kebijakan politik biasa yang masing-masing

mempunyai stablitas maupun kemungkinan perubahan yang sesuai [yang juga

ditentukan dalam UUD/UU itu sendiri]. Operasionalisasinya, asal sesuai cita-cita asli,

adalah tugas negara dan tidak bersifat mutlak, melainkan justru relatif fleksibel sesuai

dengan tantangan nyata yang dihadapi bangsa indonesia. Oleh karena itu, menurutnya,

Pancasila jangan dilihat sebagai rel yang tinggal diikuti saja [sehingga tafsiranya

menjadi amat penting dan pancasila akan menjadi idiologi tertutup], melainkan, sesuai

dengan hakekat etisnya, sebagai tantangaan ideal untuk terus-menerus

mempertanyakan: sesuaikah realitas, tindakan, undang-undang, mekanisme, sruktur

28 Frans Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, (Jakarta: Gramedia, 1992), hal 110. Keseluruhan isi buku ini sangatlah perlu dipahami dengan cermat dalam rangka mendalami apa hakikat budaya politik kita sebagai bangsa. Magnis dalam buku ini memperlihatkan bahwa ternyata bangsa Indonesia memiliki kebudayaan politik yang khas namun kurang begitu disadari sehingga diperlukan penyegaran kembali tentang filsafat bangsa Indonesia di tengah perkembangan dan perubahan global yang terus menawarkan berbagai cara pandang dan pola hidup.

48

Page 49: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

kekuasaan sekarang ini dengan Pancasila, dasar negara kita? Sesuaikah situasi agama-

agama dengan Ketuhanan Yang Mahaesa? Beradab dan adilkah cara masyarakat

sederhana diperlakukan dalam pelaksanaan pembangunan? Apakah kebijkan itu

menunjang persatuan nasional? Apakah “demokrasi pancasila” kita sekarang sudah

memenuhi cita-cita kerakyatan pancasila? Apakah pembangunan betul-betul

mengarah ke perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?29.

Dalam pelaksanaanya, Pancasila pun perlu menyesuaikan diri dengan

perubahan global. Dalam hal pengaturan HAM misalnya cepat atau lambat niscaya

kita akan menyesuaikan diri dengan tuntutan global. Makin cepat kita menyesuaikan,

makin cepat pula kepenting an nasional diuntungkan, dan sebaliknya kalau kita terus

memperlambat dalam menyesuaikan tuntutan global, maka makin lambat pula

kepentingan nasional kita diuntungkan oleh global. Hasil Amandemen UUD 1945 dan

juga dalam Ketetapan MPR dan kemudian dielaborasi dalam Undang-Undang yang

mengatur HAM, sesungguhnya mempunyai kesamaan latar belakang yaitu persoalan

supremasi hukum. Yang terjadi fungsi yudikatif kemudian dicampuri oleh DPR,

sebagai mana diatur dalam Tap MPR NO: XVII / MPR / 1998 dan Undang-undang

No:39 tahun 1999 masing masing tentang HAM. Lantas bagaimana proses penegakan

HAM khususnya terhadap pelanggaran HAM dimasa lalu bisa diselesaikan dengan

efektif dan efisien, kalau mekanisme yang mengatur justru menjadikan kasus HAM

sebagai komoditas politik.

Dengan konsep politik yang demikian itu sangatlah tidak mungkin proses

penyelesaian pelanggaran HAM tanpa tarik-menarik kepentingan politik sehingga

akan terus berlarut. Dan ketika masyarakat dunia menempatkan persoalan penegakan

HAM sebagai persyaratan pergaulan internasional khususnya untuk bidang-bidang

tertentu utamanya dalam kerjasama Militer, banyak pihak menjustifikasi bahwa pihak

asing menekan bangsa kita dengan isu HAM. Belum dicabutnya embargo

persenjataan dan tersendatnya kerjasama kemanusiaan bahkan ekonomi dan sejumlah

negara dengan persyaratan penyelesaian kasus HAM, kemudian ditempatkan sebagai

bentuk tekanan asing terhadap bangsa kita. Padahal makna terdalam dari persoalan

penyelesaian pelanggaran HAM adalah bukti komitmen bangsa ini telah berhasil

mereformasi TNI, yang diindikasikan dalam bentuk "Military Under The Law". Hal

29 Ibid hal 111

49

Page 50: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

yang demikian itu tidak lepas dari trend dunia yang menempatkan "supremasi sipil"

sebagai parameter demokrasi. Dan salah satu indikatornya adalah militer tunduk

kepada hukum sebagaimana yang diamanat Sumpah Prajurit TNI. Jadi persoalannya

sama sekali bukanlah masalah balas dendam terhadap TNI dari rakyat kita dan atau

warga negara Tim-Tim yang terlanjur menjadi korban atau kehilangan sanak

keluarganya akibat penampilan TNI dimasa lalu. Padahal untuk menyelesaikan

persoalan tersebut sesungguhnya sangatlah mudah, simple dan bukan pekerjaan yang

ruwet, tanpa harus mengorbankan pihak-pihak khususnya prajurit TNI yang hanya

melaksanakan tugas negara.

Di negara kita kemelut ini menjadi bertambah kompleks ketika asing kemudian

terlibat dalam proses perubahan politik termasuk dalam proses amandemen UUD

1945 dan juga Pemilu dan proses demokrasi lainnya. Yang belum dipahami oleh

banyak pihak atas keikutsertaan pihak asing baik langsung dengan bantuannya

ataupun melalui NGO adalah sebuah fakta dan realitas pergaulan internasional

kontemporer yang tidak hanya terhadap Indonesia tapi juga terhadap semua bangsa

dan negara dibelahan benua manapun. Tidak ada satupun proses perubahan politik

dalam sebuah negara akan bebas dari persoalan pengaruh asing, tak kecuali

dilingkungan negara atau bekas negara Komunis termasuk Cina, Rusia, dan lain--

lainnya, dan juga kita Indonesia. Karenanya yang harus kita sikapi bukanlah

mempermasalahkan persoalan yang nyata-nyata sudah jadi realita pergaulan

internasional, tapi bagaimana dan dimana kita harus memposisikan diri. Akankah kita

mengambil sikap sebagaimana negara-negara Afrika seperti Etophia, dan Somalia

umpama- nya, ataukah kita akan mengambil sikap seperti Cina, Rusia, dan sejumlah

Negara Komunis lainnya, atau bahkan kita akan meniru sejumlah negara Islam seperti

Pakistan, Saudi Arabia dan tetangga kita Malaysia, dan lain-lainnya.

Dengan alur pikir yang demikian, niscaya kita tidak kehilangan banyak tenaga

untuk terus melawan arus global. Tanpa kejelasan orientasi sehingga ke- pentingan

nasional kita terus dirugikan. Ataukah kita kembali mencari kambing hitam, padahal

yang salah adalah diri kita sendiri yang tidak mampu memposisi- kan diri secara tepat

dalam pergaulan internasional. Bagaimana mungkin kita harus mengambil sikap

"melawan arus" terhadap tuntutan global dalam hal pemberantasan terorisme

umpamanya dengan mencampuradukan antara Islam dan Terorisme. Sehingga

50

Page 51: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

mengejar terorisme dilingkungan Pondok Pesantren kemudian diidentikan

mengintervensi Islam. Bukankah Saudi Arabia, Pakistan, Mesir, Malaysia dan

sejumlah negara Islam lainnya justru sangat antusias dalam perang melawan

Terorisme.

Dan begitu pula terhadap tuntutan global lainnya seperti demokratisasi, "clean

governance", "transpa ransi", perdagangan bebas, "money loundry", dan lain-lainnya

tidaklah seharusnya akan ditempatkan sebagai tekanan global terhadap bangsa kita.

Bukankan akan lebih baik kalau kita bersikap sebaliknya, dengan menjadikan hal

tersebut sebagai kebutuhan sekaligus sebagai misi bersama. Untuk itu dalam

penyusunan konsep demokrasi hal-hal yang demikian menjadi mendasar untuk

diakomodasikan.

Bebas tirani dan jaminan kesetaraan

Konstitusi yang baik didalamnya akan berisi sejumlah aturan dasar dalam

bernegara yang menjamin lahirnya sebuah rasa keadilan bagi segenap warga

bangsanya tanpa kecuali. Oleh karena itu konstitusi haruslah membebaskan negara

dari tirani baik yang berlatar belakang paham, ideologi ataupun pendekatan dan

program dalam pengelolaan Negara dan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan cara ini otomatis segala bentuk konflik kepentingan, perbedaan pendapat

yang bersumber pada paham, ideologi, pendekatan, dan atau program dan bahkan

agama ditempatkan pada tataran operasional yang menjadi tanggung jawab

pemerintahan yang berkuasa yang diatur dalam siklus pergantian melalui siklus

Pemilu. Model ini akan membuat dinamika apapun yang terjadi dalam tubuh bangsa

termasuk pergolakan bersenjata sekalipun tidak akan lagi menyentuh eksistensi

Indonesia sebagai bangsa dan negara. Selain itu model ini akan menyelamatkan kita

dari konsekuensi penerapan ekonomi-pasar yang berciri kapitalis selama ini sebab

menurut Robert A Dahl, kesetaraan politik sulit tercipta dalam masyarakat yang

menganut ekonomi-kapitalis. Dan kalau mau jujur, Indonesia sudah menganut model

ekonomi-pasar kapitalis sehingga sangat mungkin bahwa kesetaraan politik tidak

tercipta seperti halnya kesetaraan ekonomi yang sulit terwujud.

51

Page 52: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Karena menurut Dahl, perkembangan keyakinan demokrasi dan sebuah

kebudayaan demokrasi erat kaitannya denngan apa yang secara kasar disebut ekonomi

pasar. “Lebih khusus lagi, kondisi yang sangat mendukung lembaga-lembaga

demokrasi adalah sebuah ekonomi pasar yang perusahaan-perusahaan ekonominya

sebagian besar dimiliki oleh swasta dan bukan oleh negara, yaitu sebuah ekonomi

kapitalis, bukan sosialis atau statis. Namun, hubungan erat antara demokrasi dan

kapitalisme-pasar tersebut menyembunyikan sebuah pradoks: suatu ekonomi

kapitalis-pasar tak pelak menghasilkan ketimpangan dalam sumber-sumber politik

yang bisa dingunakan oleh warga negara. Jadi suatu ekonomi kapitalis-pasar benar-

benar melemahkan persamaan politik: warga negara yang tidak sama secara ekonomi,

secara politik tidak mungkin sama pula. Tampaknya disebuah negara dengan ekonomi

kapitalis-pasar, persamaan politik tidak mungkin tercapai. Akibatnya, ada suatu

ketegangan yang tetap sifatnnya antara demokrasi dan sebuah ekonomi kapitalis-

pasar. Apakah ada sebuah alternatif yang layak bagi kapitalisme-pasar yang tidak

terlalu membahayakan persamaan politik?”30 Itu pertanyaan Dahl yang sekaligus juga

menjadi pertanyaan kita di sini.

Mereka yang berhasil membuktikan bahwa paham dan atau programnya dalam

mengelola negara berhasil dan mampu membangun peradaban dengan lebih baik,

niscaya akan dipercaya oleh rakyat dalam Pemilu. Dan sebaliknya mereka yang tidak

mampu mayakinkan dan apalagi gagal membuktikan keberhasilan dalam

penyelenggaraan pemerintahan niscaya sulit untuk mendapat kesempatan keluar

sebagai pemenang dalam Pemilu berikutnya. Konsekwensi logis dari model ini, maka

fungsi dan peran serta penampilan partai-partai politik termasuk mekanisme dan

fatsun politiknya haruslah dibenahi sebagaimana yang seharusnya dalam tatanan

negara demokrasi dengan pilihan sistem yang jelas mau presidensial ataukan

parlementer. Kedepan tidak boleh terjadi, dalam konstitusi untuk pengelolaan bidang

tertentu, ekonomi umpamanya diamanatkan menggunakan pendekatan kerakyatan.

Namun dalam praktek penyelenggaraan justru menggunakan model kapitalisme. Yang

terjadi kepentingan rakyat tetap terabaikan, dan kapitalisme yang berkembangpun

menjadi tanpa etik moral. Begitu pula dalam hal pilihan model demokrasi,

sesungguhnya kedua model demokrasi mempunyai keunggulan dan kelemahan 30 Robert A Dahl, 1999, Perihal Demokrasi, Menjelajah Teori dan praktek secara singkat, terjemahan A. Rahman Zainuddin, (Jakarta: Obor, 2001), hal. 216

52

Page 53: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

masing-masing, tapi yang pasti kalau keduanya dicampur-adukkan yang terjadi akan

muncul kerancuan yang fatal seperti yang terjadi dalam UUD-45 hasil amandemen.

Konstitusi juga harus menjamin kesetaraan perlakuan negara terhadap segenap

warga bangsa tanpa kecuali. Dengan demikian ukuran rasa ke Indonesia an tidak lagi

didasarkan pada asli atau tidak asli, pribumi atau bukan pribumi, dan bukan pula

karena latar belakang agama dan etnis yang mayoritas atau minoritas, juga bukan pula

karena faktor kedaerahan. Tapi semata-mata karena kepatuhan seseorang terhadap

hukum dalam menjalankan hak dan kwajibannya sebagai warga negara.

Konsistensi terhadap Prinsip Dasar Demokrasi

Dengan menemu-kenali sejumlah masalah serius yang terdapat dalam sistem

demokrasi yang kita laksanakan selama ini, maka keharusan yang utama bagi bangsa

ini adalah segera membuat rancang bangun kembali atas sistem kenegaraannya.

Hanya dengan berangkat dari konsep sistem kenegaraan yang benar-benar demokratis

maka tatanan kehidupan sosial, kebangsaan dan kenegaraan, serta peradaban kita bisa

dibangun dengan baik dan pembangunan berjalan dengan lancar. Paling tidak ada

yang diharapkan Amartya Zen menjadi nyata bahwa pembangunan diukur dari

seberapa tinggi tingkat kebebasan manusia di dalamnya. Amartya Zen, melalui tesis

cemerlangnya development as freedom, menegaskan bahwa pembangunan tidak

hanya ditakar melalui pendapatan per kapita yang dicapai orang per orang dalam

suatu negara, tetapi juga diukur melalui kadar kebebasan orang-orang di dalamnya.

Maksudnya bahwa semakin maju suatu pembangunan nasional, semakin bebas

warga negaranya31. Lebih jauh, pembangunan nasional merupakan usaha

peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara

berkelanjutan berlandaskan kemampuan nasional yang dalam pelaksanaannya

mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai luhur yang universal untuk mewujudkan

kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, berkeadilan, sejahtera, maju, dan kukuh

kekuatan moral dan etikanya. Kondisi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini

sangat kompleks serta bersifat multidimensional sehingga membutuhkan penanganan

yang serius dan bersungguh-sungguh32.

31 Amartya Zen, Development as Freedom, (New York: Alfred A Kopf, 1999)32 Departemen Dalam Negeri, Panduan Pembangunan Etika Politik, jakarta: 2004

53

Page 54: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Hal yang demikian itu menjadi lebih mendasar manakala kita memahami sebagai

bangsa kita memang belum pernah mengukir peradaban dalam kerangka Indonesia

sebagaimana peradaban Cina, Thailand, India, dan sejumlah negara lainnya yang dari

awalnya memang sudah mengikat diri dalam sebuah kerajaan. Disanalah maka dalam

masa transisi yang dilingkupi dengan kerusakan kejiwaan kebangsaan seperti yang

kita hadapi saat ini diperlukan perubahan yang mendasar dalam hal cara pandang kita.

Kedepan janganlah terus melanjutkan pendirian yang menempatkan demokrasi

sebagai "barat", karena nilai-nilai yang kerkembang didalamnya sudah tidak lagi

identik "barat". Maka persoalan yang terpenting adalah bagaimana kita menempatkan

azas obyektifitas dan rasionalitas sehingga persoalan kephobian tertentu tidak

mengalahkan kebenaran. Apalagi nilai-nilai yang dikandung kebenarannya telah teruji

tidak hanya dilingkungan negar-negara barat saja, tapi hampir diseluruh belahan bumi

manapun termasuk di Asia seperti Jepang, Korea, India, Thailand, Philipina, dan

bahkan sekarang Cina, serta negara-negara lainnya. Dengan kata lain nilai-nilai yang

terkandung dalam paham demokrasi sesungguhnya untuk saat ini sudah menjadi nilai

universal berlaku dimana dan bagi siapa saja, dan niscaya juga berlaku bagi bangsa

dan negara kita juga.

Untuk itu dalam penataan ulang rancang bangun politik nasional kita kedepan,

persoalan konsistensi dalam menerapkan prinsip dasar demokrasi dengan pilihan

model sistem presidensial menjadi sangat mendasar.

Oleh karena itu konstitusi kita kedepan haruslah memuat sejumlah kaidah demokrasi,

antara lain:

Kedaulatan berada di Tangan Rakyat33

Hal yang mendasar dari prinsip ini bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan

rakyat dalam Pemilu tidak pernah memberikan, menguasakan atau menyalurkan

kedaulatannya kepada pihak lain kecuali dengan Presiden dalam bentuk kontrak sosial

yaitu segala janji tentang yang akan dijadikan program kerjanya, dan dengan anggota

DPR khusus dalam hal dukungan kelegislasian dan pengawasan terhadap Presiden.

33 Agaknya sudah bukan rahasia lagi kedaulatan rakyat sudah hilang dari tangan rakyat ketika anggota DPR dan siapa saja yang memerintah atas nama rakyat menjalankan kekuasaan tidak lagi sesuai dengan kehendak rakyat dan tidak lagi untuk kepentingan rakyat. lebih sering sekarang para pemimpin berkuasa untuk diri sendiri dan untuk kelompok politiknya. Tentang hal ini kita bisa pahami dengan baik kalau mengetahui pandangan pakar demokrasi Joseph Schumpeter dalam bukunya Socialism, Capitalism and Democracy, (New York: Harper, 1947)

54

Page 55: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Persoalan konsistensi terhadap prinsip dasar ini sangatlah penting, karena justru

disanalah letak obyektifitas dan rasionalitas penggunaan kedaulatan rakyat. Janganlah

atas nama rakyat kemudian begitu saja memberi wewenang diluar "mandat" yang

diberikan oleh rakyat itu sendiri. Tanpa kesadaran ini “kekuatan” yang dipunyai

dalam sistem presidensial akan “dihabisi” oleh peran DPR dan Partai sebagaimana

layaknya dalam sistem parlementer. Sementara itu DPR dan Partai akan

berpenampilan sebagaimana layaknya dalam sistem parlemeter, namun kinerja DPR

dan Partai tidaklah mungkin optimal sebagaimana mestinya dalam sistem

parlementer. Maka yang terjadi sistem yang dibangun bukanlah sistem presidensial,

tapi tidak juga sistem parlementer.

Chek and Balance

Chek and balance dalam sistem presidensial hanya muncul manakala kedudukan

Presiden dan Anggota Legislatif sama-sama sebagai konstanta. Dengan demikian

stabilitas yang akan diciptakan bukan lagi model Orde Baru dimana besar kecilnya

dukungan DPR kepada pemerintah sebagai parameter. Karena pilihan kita adalah

sistem presidensial, maka legitimasi baik pada Presiden maupun pada anggota DPR

datangnya langsung dari rakyat. Ketidak-taatan terhadap prinsip dasar ini akan

melahirkan kegamangan dan potensi keragu-raguan baik pada diri presiden maupun

para anggota DPR akibat resiko yang mengancamnya, karena setiap saat bisa

terancam “jatuh” (untuk Presiden) atau direcal (untuk anggota DPR).

Supremasi sipil

Supremasi sipil adalah tuntutan global yang tidak bisa dielakkan oleh negara

manapun. Kata sipil disini yang dimaksud bukanlah penduduk, warga negara, atau

rakyat diluar militer. Sipil yang dimaksudkan disini adalah keberadaban. Jadi

persoalan supremasi sipil bukanlah berarti menempatkan tentara dibawah orang sipil.

Akan tetapi sebuah sistem politik yang diatur berdasarkan cara-cara yang beradab,

yang cirinya adalah buttom up, kebebasan, kemerdekaan, perbedaan pendapat,

dan ketaatan terhadap hukum. Dalam prakteknya sistem yang tidak menjujung

tinggi azas supremasi sipil, maka peran militer menjadi sangat menonjol.

Dalam sistem yang tidak mendasarkan secara kuat pada azas ini akan berakibat

lahirnya pemerintahan otoriter yang dampak ikutannya berupa intervensi hak-hak sipil

oleh alat kelengkapan negara utamanya oleh militer. Dwi Fungsi ABRI adalah salah

55

Page 56: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

satu model dimana supremasi sipil diabaikan. Untuk itu yang paling mudah dalam

mewujudkan azas supremasi sipil adalah menempatkan militer di luar domain sipil

sehingga militer tidak terlibat atau dilibatkan dalam politik praktis. Dengan demikian

timbulnya berbagai bentuk pelanggaran HAM dan hilangnya kebebasan serta

kemerdekaan individu dan kelompok warga negara bisa dihindari karena jaminan dari

sistem. Ciri untuk mengenali yang paling mudah, manakala pimpinan militer tidak

duduk sebagai anggota cabinet ditingkat pusat dan anggota Muspida untuk tingkat

daerah.

Transparansi

Keterbukaan adalah prinsip dasar yang penting dalam sistem demokrasi. Dengan

keterbukaan akan terjadi kontrol sosial yang efektif sebagai "feed back" bagi sistem

untuk mengadakan dinamika internal. Keterbukaan juga akan membuat sistem

demokrasi bisa merespond aspirasi rakyat dan pengaruh lingkungan sedini mungkin.

Dalam hal rekruitmen kader umpamanya, dengan keterbukaan akan dihindari

kerusakan sejak dari awal, dengan demikian maka resistensi dan penolakan yang

datang dari dalam sistem dapat dihindari dari awal pula34. Yang jelas dengan sistem

yang terbuka akan lahir kader-kader berkualitas, dan mereka yang tidak berintegritas

akan jatuh sejak dari awal saat kader tersebut masih berada di strata bawah. Untuk

menunjang agar sistem benar-benar terbuka terlebih dalam pengelolaan sumber daya,

maka perlu didukung dengan Undang-undang Hak Untuk Mengetahui. Hak ini

sesungguhnya juga bersumber dari prinsip dasar kedaulatan ditangan rakyat.

Pengabaian terhadap prinsip dasar ini akan membuat suburnya KKN sebagaimana

yang terjadi selama Orde Baru.

Kejujuran dan Keadilan

Persoalan kejujuran dalam sebuah sistem demokrasi janganlah diserahkan kepada

orang perorang, tapi haruslah dijamin oleh sistem itu sendiri. Oleh karenanya maka

negara haruslah memberi akses yang sama (adil/"fairness") terhadap segenap warga

negara dalam pengelolaan sumber daya ataupun kesempatan berusaha serta

pemanfaatan fasilitas yang disiapkan oleh negara. Untuk itu peran negara haruslah

diposisikan lebih sebagai regulator dan fasilisator bukan sebagai pemberi "kueh"

pembangunan seperti yang terjadi selama ini. Disinilah maka Negara tidak boleh

34 Lihat juga penjelasan dalam Robert A Dahl, Ibid

56

Page 57: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

mengambil keuntungan (frofit) dari rakyat dengan dalih apapun, dan untuk membiayai

roda pemerintahan hanya ditempuh dengan memungut pajak. Untuk mendukung

prinsip dasar ini maka paham bahwa negara kita adalah negara hukum menjadi sangat

penting. Karenanya ukuran yang digunakan oleh pemerintah dalam memutuskan

kebijakan hanyalah berdasarkan hukum. Maka setiap lembaga negara harus

melengkapi diri dengan mekanisme baku yang mengatur hak dan kwajiban dan tata

cara pelibatannya. Dengan demikian semua kebijakan negara dapat terukur. Dan

segala perbuatan oleh alat kelengkapan negara diluar aturan main yang telah

dibakukan haruslah diasumsikan sebagai tindakan yang mengandung unsur KKN.

Untuk mendukung prinsip dasar ini maka back up supremasi hukum menjadi sangat

penting.

Pengabaian terhadap prinsip dasar ini akan berakibat munculnya perilaku

birokrasi yang KKN dan muaranya akan menimbulkan kesenjangan sosial yang

menganga serta sulitnya mendapat rasa keadilan. Saya tertarik dengan apa yang ditulis

Prof Dr T Jacob dalam bukunya Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis bahwa bangsa

ini menjadi terbelakang dan miskin karena tidak ada pengaturan yang serius dari

negara dalam hal pembangunan manusia. Bahkan Jacob menuduh keterbelakangan

dna kemiskinan di Indonesia karena tidak adanya kecukupan nutrisi yang merata di

tengah anak-anak bangsa akibat ketidakadilan dalam hal pembangunan.35

Tentang bagaimana ketidakadilan diatasi, Frans Magnis Suseno mengatakan

bahwa keadilan sekurang-kurangnya menuntut agar diubah struktur-struktur yang

memaksa seeorang untuk tetap miskin dan yang membuatnya sedemikian tidak

berdaya sehingga ia menjadi korban segala macam penindasan36.

Efisiensi

Dalam penyusunan konsep sistem politik, haruslah melandaskan pada azas

efisiensi, untuk itu lembaga-lembaga tertentu yang keberadaannya tidak bisa

dipertanggung jawabkan secara obyektif dan rasional haruslah dilikuidasi.

Penggabung berbagai fungsi dalam satu departemen juga harus dioptimal- kan,

35 Prof Dr T Jacob, Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis, (Jakarta: Obor, 2004), hal 227. Prof Jacob mengakui bahwa memang banyak faktor yang mempengaruhi keterkebelakangan dan kemiskinan di suatu negara tetapi ia lebih melihat faktor kesehatan dan kecukupan gizi makanan sebagai faktor utama dan ini terkait dengan kebijakan negara dalam hal pendidikan dan kesehatan. Tanpa pendidikan yang cukup masyarakat tentu tidak menyadari bagaimana hidup yang sehat. 36 Frans Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, cetakan keempat, ,(Jakarta: Gramedia, 2000), hal. 62

57

Page 58: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

sehingga rentang komando dan kendali menjadi lebih pendek dan sederhana.

Pengeluaran negara bagi pejabat yang tidak menduduki jabatan sebagai lambang

negara haruslah dihentikan. Prinsip dasar efisiensi juga menjadi penting agar

administrasi birokrasi menjadi pendek dan tidak membutuhkan biaya tinggi. Dengan

cara ini maka ekonomi biaya tinggi bisa dieliminasi oleh sistem itu sendiri.

Pengabaian terhadap prinsip dasar ini akan berakibat munculnya "high cost" ekonomi.

Pemisahan Jabatan Politik dan Karier

Jabatan politik adalah jabatan yang cara diperoleh melalui mekanisme

politik, seperti Presiden/Wakil Presiden, Para Menteri /Pejabat Negara setingkat

Menteri, Anggota DPR/D, Anggota DPD dan Gubernur. Sedang jabatan karier

adalah semua jabatan Birokrasi Pemerintahan dan TNI yang dirintis dari bawah

sesuai dengan bidang keahlian/ ketrampilan masing dalam rangka

melaksanakan fungsi dan tugas birokrasi pemerintahan secara profesional.

Karenanya dalam rekruitmen jabatan karier tidak boleh melibatkan unsur politik.

Sistem kenegaraan yang baik tidaklah membenarkan lembaga dan jabatan politik

terlibat dalam bentuk apapun dalam rekruitmen jabatan karier. Yang dikategorikan

jabatan karier adalah jabatan tingkat Sekjen Departemen / Sekut Lembaga Negara ke-

bawah. Keterlibatan Presiden bukanlah dalam kapasitasnya sebagai Kepala

Pemerintah, tapi sebagai Kepala Negara yang sedang menjalankan fungsi legalisasi

adiministrasi kenegaraan dalam bentuk penerbitan Keputusan Presiden. Prinsip dasar

ini menjadi penting agar birokrasi sipil dan militer tidak terlibat politik praktis dalam

artian netral dalam setiap dinamika politik yang terjadi, dan agar birokrasi sipil dan

militer dapat menetrapkan sistem merit dalam pembinaan jenjang pangkat dan jabatan

masing-masing.

Dengan demikian kedepan kedua lembaga ini tidak kembali dijadikan alat politik

dari penguasa, termasuk dalam rangka "fund rising" dana politik seperti yang terjadi

selama ini. Prinsip ini juga menjadi penting agar tidak terjadi kompetisi tidak sehat di

antara sesama pejabat dimasing-masing lembaga. Dan dengan prinsip ini, kepastian

jenjang karier dapat dijamin oleh sistem itu sendiri, karena tidak terancam dengan

masuknya kader-kader partai yang berasal dari luar lembaga.

Dan sebaliknya dengan pengaturan ini mereka yang berada dibirokrasi sipil maupun

militer tidaklah boleh begitu saja masuk dalam arena politik praktis yang menjadi

58

Page 59: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

porsi partai politik. Dengan demikian penggunaan hak untuk dipilih dalam Pemilu

apapun, haruslah dibatasi dengan aturan tertentu, tidak bisa disamakan seperti warga

negara lainnya yang tidak duduk dalam birokrasi pemerintahan negara. Dengan cara

ini mereka yang duduk dalam birokrasi pemerintahan sipil dan juga militer tidak bisa

begitu saja bisa menggunakan kekuasaannya untuk ke-entingan politik tertentu.

Namun mereka juga tidak kehilangan hak politiknya, bila memang hendak

memanfaatannya dengan pengaturan melaui cuti diluar tanggungan Negara. Hal yang

pasti mereka akan memperoleh kepastian karier dan jaminan masa depan.

Dengan ditegakkannya prinsip dasar ini maka "jual beli" dalam memperoleh

jabatan dapat dihindari. Dan sebaliknya bila prinsip dasar ini diabaikan maka

netralitas birokrasi pemerintahan akan sulit dijamin, dan maraknya KKN utamanya

dalam pengelolaan keuangan negara tidak bisa dihindari. Bagaimanapun pejabat yang

didukung atau berasal dari lingkungan partai mempunyai loyalitas ganda, baik secara

berjenjang kepada atasan dilingkungan birokrasi maupun kepada partai nya masing-

masing.

Struktur Demokrasi

Salah satu faktor yang menentukan kualitas demokrasi adalah pengaturan struktur

politik kenegaraan yang akan membagi habis seluruh tugas, fungsi dan peran

pemerintahan negara. Penyusunan stuktur demokrasi tidak bisa lepas dari aliran

otoritas untuk menjalankan kedaulatan dalam pengaturan negara yang diberikan oleh

rakyat sebagai pemiliknya. Struktur demokrasi juga harus mampu menyerap prinsip-

prinsip dasar demokrasi yang tergambarkan dalam penyusunan lembaga-lembaga

demokrasi dalam sebuah kesisteman. Untuk itu struktur demokrasi kedepan cukuplah

terdiri dari Presiden dengan tiga fungsi sekaligus yaitu: Sebagai Kepala Pemerintahan,

Kepala Negara yang sekaligus merangkap sebagai Panglima Tertinggi TNI.

Sejajar dengan kedudukan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan adalah DPR,

DPD dan MA. Sedang TNI berada langsung dibawah Presiden selaku Kepala Negara.

BPK seyogyanya ditiadakan, sedang MK fungsinya disatukan dengan MA.

Lembaga Presiden

59

Page 60: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara Presiden adalah Lembaga Tertinggi

dalam negara. Karenanya Ia juga membawahi seluruh lembaga tinggi negara dalam

artian sebagai simbol negara dan juga pengesyahan/legalitas kenegaraan. Karena

kedudukan nya itu maka dalam kondisi tertentu dimana keselamatan negara terancam,

selaku Kepala Negara adalah "can do no wrong". Maka ia dapat member- lakukan

dekrit untuk membubarkan salah satu atau sejumlah lembaga tinggi negara.

Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, ia memimpin kabinet yang terdiri dari

para menteri dan pejabat lainnya yang dipersamakan dengan menteri. Sedang menteri

sendiri adalah Pembantu Presiden sekaligus sebagai Kepala Departemen, kecuali bagi

Menteri Negara yang tidak membawahi departemen. Sebagai pembantu Presiden

maka Menteri dalam sistem presidensial hanya bertanggung jawab kepada Presiden.

Untuk menjalankan tugasnya Presiden perlu didukung oleh sejumlah staf ahli.

Disamping itu Presiden juga dibantu oleh sedikitnya 2 (dua) Sekretaris Kepresidenan

yaitu Sekretaris Kabinet dan Militer. Kedudukan kedua sekretaris ini dibawah

kordinasi Mensekneg dan level jabatannya tidak dipersamakan setingkat Menteri.

DPR

Kedudukan lembaga DPR sejajar dengan Presiden dalam kapasitasnya selaku

Kepala Pe- merintahan. Tugas pokok DPR adalah bersama DPD memproses

pembuatan UU dari manapun datangnya RUU termasuk dari DPR sendiri. Disamping

itu DPR juga bertugas untuk mengawasi Pemerintah. Sebagai lembaga perwakilan

bersama DPD meng- hadiri forum dengar pendapat.

DPD

Kedudukan DPD adalah Lembaga Tinggi Negara sejajar dengan DPR dan

Presiden selaku Kepala Pemerintah. Sebagai lembaga perwakilan, DPD bertugas

mengolah aspirasi Daerahnya masing-masing. DPD bersama-sama DPR membikin

semua UU. Keanggotaan DPD dipilih melalui Pemilu langsung untuk masing-masing

daerah. Karena ia dipilih langsung maka kedudukannya dalam sistem demokrasi

presidensial sangatlah kuat ("konstanta") tidak bisa jatuh karena alasan politik.

MA

Kedudukan MA sejajar dengan lembaga tinggi negara yang lain. Keanggotaan

MA yang terdiri dari para Hakim Agung dan juga segenap Hakim. Hakim adalah

jabatan karier dalam arti aspek pembinaan karir mereka bebas dari kaitan politik.

60

Page 61: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Ketua MA dipilih oleh para Hakim Agung dan ditetapkan oleh Presiden selaku

Kepala Negara.

Polri

Tugas pokok Polri adalah dibidang penegakan ketentraman dan ketertiban

masyarakat dengan senjata hukum. Karenanya maka polisi haruslah mengenali semua

aspek kehidupan yang berada dalam wilayah tanggung jawabnya. Polisi haruslah

mengenali satu persatu penduduk yang berada diwilayah tanggung jawabnya. Untuk

itu kedudukan Polri kedaerahan berada dibawah Gubernur, sedang untuk yang

berskala Nasional dan atau internasional kedudukan Polri dibawah Mendagri.

Menteri

Menteri adalah anggota kabinet yang mengepalai Departemen. Namun Menteri

adalah jabatan politis yang setiap saat bisa diganti oleh Presiden dengan alasan politis

sekalipun. Dalam kabinet sistem presidensial Menteri adalah orang ahli dibidangnya,

dengan tidak memandang keanggotaan atau afiliasi kepartaiannya. Karenanya maka ia

yang mendapat kepercayaan untuk menjadi menteri mutlak diwajib- kan

menanggalkan keterkaitan politik apapun dengan pihak manapun tak terkecuali

dengan partainya. Ia bertanggung jawab hanya kepada Presiden. Jumlah menteri

haruslah dibatasi agar rentang kendali men- jadi sederhana, di samping untuk

efisiensi. Keberada- an lembaga kementerian diatur dengan Undang-undang. Khusus

Mensekneg juga mengkordinir administrasi semua lembaga tinggi negara yaitu MA,

DPR dan DPD, berserta komisi-komisi, dan lembaga-lembaga bentukan lainnya.

Kelembagaan Lainnya

Pemilu

Hal yang mendasar dalam sistem presidensial adalah dilaksanakannya Pemilu

Langsung baik untuk Pemilu Presiden maupun Pemilu Anggota DPR dan DPD.

Sedang kepanitiaan penyelenggara Pemilu adalah pelibatan semua Partai. Pemilu

untuk memilih anggota DPR dilaksnakan setelah Pemilu Presiden. Sehingga dalam

memilih anggota DPR, rakyat mem- pertimbangkan keberadaan figure presiden

terpilih.

61

Page 62: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Referendum

Robert A Dahl mengajukan pertanyaan ini, “Mungkinkah referendum nasional

dilaksanakan atau justru wajib dalam hal amandemen konstitusi?”37. Referendum

adalah mekanisme demokrasi untuk menanyakan langsung kepada rakyat sebagai

pemegang kedaulatan tentang setuju atau tidak setuju atas masalah yang sangat

mendasar yang harus diputuskan atau yang dihadapi oleh Presiden. Hak ini bisa

digunakan oleh Presiden, manakala Presiden terganggu oleh kinerja DPR ataupun

karena kepentingan lain yang oleh Presiden dianggap perlu ditanyakan langsung

kepada rakyat. Banyak negara menerapkan model referendum sebagai salah satu

bentuk demokrasi langsung yang bermaksud mengetahui aspirasi rakyat yang

sesungguhnya, sebagai contoh Amerika Serikat dan Swiss meskipun Swiss hanya

untuk isu-isu nasional. Indonesia sendiri melakukan itu ketika Timor Timur mau

melepaskan diri dari NKRI tahun 1999.

Auditor

Untuk melaksanakan fungsi auditor kedepan akan lebih efektif dan juga efisien

bila diserahkan kepada akuntan publik yang dikordinir oleh lembaga Auditor Negara

tapi kedudukannya tidak perlu sebagai Lembaga Tinggi Negara. Dan di "back up"

kontrol sosial yang didukung oleh Undang-undang Hak Untuk Mengetahui.

Otonomi Daerah38

Otonomi Daerah bagi kita bukanlah model negara bagian, tapi otonomi dalam

kerangka Negara Kesatuan yang bercirikan adanya satu kesatuan sistem hukum yang

berlaku diseluruh wilayah. Dengan otonomi daerah diharapkan seluruh fungsi pe-

merintahan dilaksanakan oleh daerah kecuali fungsi Pertahanan, Keuangan dan Politik

Luar Negeri. Dengan otonomi daerah diharapkan daerah akan mampu menghidupi diri

sendiri (swakelola) termasuk pembiayaan pemerintahannya. Dengan demikian

pemberian otonomi haruslah menghitung faktor-faktor interdependensi dan potensi

sumber pendapat- an agar mampu membiayai diri sendiri. Untuk itu hanyalah

mungkin bila otonomi diberikan pada tingkat provinsi, karena pada tingkat Kabupaten

umumnya potensi untuk mandiri tidaklah men- cukupi. Bahkan dampak munculnya

37 Robert A Dahl, Ibid tentang referendum di hal. 17038 Tentang konsep dan prospek otonomi daerah di Indonesia menarik kalau membaca juga buku Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, cetakan kedua, (Jakarta: rajawali press, 1991). Ada empat faktor yang menentukan prosepk otonomi daerah menurut Kaho yakni faktor manusia, keuangan, infrastruktur, serta organisasi dan manajemen, hal. X-XI

62

Page 63: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

arogansi ke- kuasaan didaerah tidak akan bisa dihindari. Yang jelas munculnya

birokrasi biaya tinggi dan bahkan praktek KKN di tingkat Kabupaten otomatis

akan subur. Terhadap kekhawatiran munculnya bahaya disintergrasi manakala

diserahkan ke tingkat Provinsi sesungguhnya bisa diatasi dengan memperbaiki sistem

politik makro antara lain dengan redislokasi TNI yang mampu melahirkan daya

tangkal munculnya potensi disintegrasi.

Kepartaian

Hak untuk berkumpul dan menyatakan pandapat salah satunya diwujudkan

melalui keberadaan Partai Politik. Partai juga untuk mewadahi mereka yang

berkepentingan atau beraktualisasi dibidang politik praktis. Karena keberadaan Partai

mengkait langsung dengan hak berserikat bagi warga negara, maka jumlah partai

tidak boleti dibatasi. Namun karena tidak mungkin negara direpoti akibat banyak nya

partai, maka persyaratan untuk mendirikan partai haruslah ketat. Begitu pula

keberadaan fraksi di DPR bukanlah kepanjangan tangan dari partai, tapi sekedar

menangani adimintrasi semata, bukanlah dalam arti pengelompokan misi kepartaian

seperti dalam model parlementer sebagaimana yang kita laksanakan selama ini.

Bangunan kepartaian kita kedepan, harus lah disesuaikan dengan peran, fungsi dan

tugas partai yang semestinya dalam sebuah negara demokrasi dengan sistem

presidensial. Partai bukanlah mesin politik pengumpul kekuatan massa untuk tujuan

politik, dan juga bukan mesin pengumpul suara dalam Pemilu belaka.

Partai yang benar harus mempunyai ideologi atau paham dengan model apa ia

kelak akan mengelola sebuah pemerintahan negara. Jadi bukan hanya berdasarkan

popularitas pribadi pemimpin. Kalau hanya mengandalkan popularitas pribadi

pemimpin, mengutip Bambang Cipto dalam bukunya Prospek dan Tantangan Partai

Politik, ada dua kemungkinan. Pertama, mempermudah partai menggalang dukungan

karena terpengaruh oleh daya pikat dan daya tarik tokoh politiknya dan kedua, jika

pemanfaatan daya tarik pribadi tokoh partai terlalu banyak diandalkan akan

mendorong tokoh bersangkutan memaksimalkan popularitasnya guna menggalang

dukungan pribadi. Akibatnya partai politik akan jatuh posisinya hanya sebagai sarana

pemuas ambisi dan kepentingan politik tokoh bersangkutan39.

39 Bambang Sucipto, Prospek dan Tantangan Partai Politik, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal 6

63

Page 64: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Karenanya ia akan melaksanakan kaderisasi secara berjenjang dan berlanjut.

Melalui kader-kadernya ia akan mempengaruhi simpatisan dan juga khalayak umum

tentang visi dan missi partai dalam pengelolaan negara. Oleh karena itu dalam

kesehari an partai haruslah merespond setiap dinamika kehidupan kenegaraan dalam

arti mengexcercise setiap gerak kehidupan kenegaraan yang terjadi. Mereka yang

menjadi kader partai adalah mereka yang memilih karier kehidupannya dalam olah

kenegaraan. Kader partai dan juga Partai itu sendiri juga tempat menyalurkan aspirasi.

Karenanya setelah Pemilu selesai, warga negara yang berkepentingan dengan

kebijakan pemerintahan negara disalurkan lewat kader Partai atau melalui Partai.

LSM

Disamping partai politik, hak berserikat juga bisa dilaksanakan dengan

membentuk LSM. Melalui LSM inilah kontrol sosial terhadap penyelenggaraan

negara bisa dilaksanakan dengan lebih efektif, karena dasar pendirian LSM hanyalah

membidangi masalah tertentu saja. LSM haruslah diberi fasilitas untuk menghidupi

dirinya yang diatur dengan cara tidak menambah beban masyarakat. Disanalah maka

"subsidi silang" bisa dilaksanakan dengan tidak langsung, umpamanya bagi industri

yang menyisihkan keuntungan bersih dalam batas tertentu untuk mendukung LSM

tertentu maka diberi intensif berupa pemotongan pajak tertentu. Dengan cara cara

yang demikian maka LSM sebagai mata telinga rakyat dalam menjalan kontrol sosial

akan menjadi efektif. Dan karena negara sendiri tidak bermaksud untuk korupsi atau

menyalahgunakan kekuasaan, maka LSM tidak akan diposisikan sebagai "lawan"

yang harus dihadapi, tapi justru mitra yang harus dihargai. Karena dari sana pula akan

muncul banyak kreatifitas dan penemuan yang bermanfaat bagi kehidupan warga

negara dan kemanusiaan pada umumnya.

64

Page 65: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Bab kelima

LEADERSHIP DAN NASIONALISME INDONESIA KEDEPAN

Leadership dan kualitas leadership

Sesungguhnya gagasan perlunya bangunan sistem kenegaraan yang demokratis

pada uraian dimuka akan menjadi tidak bermakna manakala tidak didukung oleh

leadership yang kuat untuk mewujudkannya. Bagaimana mungkin dari kondisi penuh

ketidakpastian seperti yang terjadi saat ini, tata kehidupan kenegaraan akan beralih

begitu saja menjadi baik dan benar tanpa hadirnya orang kuat untuk memanage

perubahan. Orang kuat yang dimaksudkan tidak ada kaitnya dengan asal-usul dalam

arti dari lingkungan militer atau bukan militer40. Orang kuat disini lebih dimaknai

karena integritas pribadinya dan kejelasan visi kenegaraannya. Hal ini menjadi

persoalan tersendiri, karena selama Orde Baru telah terjadi kemandegan proses

kaderisasi. Orde Baru dengan Pemerintahan yang otoritarian utamanya pada dekade

terakhir mengembangkan pola rekruitmen kader tertutup dengan model client-patron.

Dalam konteks ini uraian Ignas Kleden yang mengupas kembali teori Max Weber

tentang model kepemimpinan tradisional dan kepemimpinan yang berdasarkan

legitimasi rasional dalam bukunya Masyarakat dan Negara menjadi relevan dan

menarik41. Ia mengatakan kepemimpinan politik di Indonesia pernah mengalami yang

tradisional sekaligus yang rasional. Yang tradisional seperti pada masa Soekarno dulu

dan di tangan Soeharto kepemimpinan mulai berlegitimasi rasional. Namun ada tiga

jenis resiko, menurut Kleden, yang dapat menghadang seorang pemimpin dengan

40 Dalam sejarah banyak tokoh politik nasional yang menunjukkan integritas sebagai pemimpin yang baik. Sutan Sjahrir misalnya terlepas dari paham yang dianutnya adalah sosialisme, ia adalah perdana menteri pertama dalam sejarah Indonesia yang memiliki integritas kepemimpinan. Lih. Sutan Sjahrir, Pikiran dan Perjuangan, (Yogyakarta: Jendela, 2000)41 Ignas Kleden, Masyarakat dan Negara, Sebuah Persoalan, (Magelang: Indonesiatera, 2004), hal.114

65

Page 66: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

legitimasi rasional. Pertama, kalau dia hanya mementingkan hasil kerja dan

mengabaikan organisasi kerja, peraturan, dan berbagai prosedur yang mengaturnya,

maka dia akan terjebak didalam teknokrasi yang sangat kasar. Kedua, kalau dia hanya

mementingkan peraturan kerja, organisasi, dan segala prosedurnya tetapi

mengabaikan hasil kerja, maka dia terjatuh ke dalam birokratisme yang kaku dan

muncul. Ketiga, pemimpin dengan legitimasi rasional dapat memanfaatkan sukses

kerjanya untuk mendapatkan legitimasi khrismatis atau legitimasi taradisional untuk

dirinya. Dalam hal yang terakhir ini hasil kerja yang diperolehnya secara rasional

kemudian dijelaskan secara kharismatis sebagai akibat dari kesetiaannya kepada nilai-

nilai budaya tertentu. Itu yang menurut Kleden tergambar dari pemerintahan Gus Dur

dan Megawati Soekarnoputri42.

Model kepemimpinan yang tradisional tidak hanya di lingkungan birokrasi dan

politisi sipil saja, tapi juga dilingkungan TNI. Maka begitu Suharto lengser yang

terjadi adalah krisis kepemimpinan dihampir semua lembaga negara dan juga

lembaga demokrasi. Karena kualitas kader yang tampil di lapis elit (umumnya

terafiliasi dengan Orde Baru) tidak bisa dijamin sepadan dengan tuntutan jabatan

yang dipangkunya. Begitu pula kader pendatang baru, mereka terjebak pada conflict

of interest yang begitu kuat baik antara “kekuatan lama” dengan “pendatang baru”

maupun diantara sesama “pendatang baru” itu sendiri, sehingga banyak diantara

mereka lebih sibuk dengan persoalan political game. Disanalah kesan dan juga

penilaian bahwa bangsa kita terus dilanda disorientasi tidak bisa dihindari, karena

kebanyakan kader lebih disibukan oleh kepentingan sesaat dan juga sektoral. Padahal

penyelesaian krisis di bidang ekonomi tidaklah mungkin hanya diatasi dengan

pendekatan ekonomi. Krisis di bidang politik tidak bisa dilepas dari pengaruh non

politik. Dan begitu juga krisis dibidang lainnya, tidaklah mungkin diselesaikan

dengan pendekatan parsial. Dengan demikian penyelesaian krisis tidak bisa dengan

pendekatan linier sebagaimana lazimnya kehidupan masyarakat bangsa yang

demokrasi nya sudah mapan atau paling tidak dalam kondisi masyarakat yang telah

melaksanakan konsolidasi politik. Untuk itu kata kunci penyelesaian krisis yang kita

hadapi saat ini adalah hadirnya leadership yang kuat yang mampu membawa bangsa

ini keluar dari krisis dalam artian menyentuh keakar masalah yang sebenar-benarnya.

42Ibid.

66

Page 67: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Disamping itu ia dituntut bisa menampilkan visi baru tentang Indonesia kedepan dan

juga program aksi yang mampu menunjukkan "greget" dan penampilan Pemerintah

Negara yang bisa mengayomi segenap warga bangsa dan sekaligus menghadirkan

harapan baru atas masa depan bangsa. Maka kejelasan sikap dan visi kedepannya

menjadi utama sehingga dapat segera membangkitkan kepercayaan rakyat dan dunia

juga Internasional. Kualitas leadership juga menjadi mendasar, karena dalam tata

kehidupan masyarakat yang mulai tidak lagi percaya kepada perangkat-perangkat

kenegaraan, maka mutu kepemimpinan yang menonjol dalam penegakan kejujuran,

kebenaran dan keadilan serta kepedulian dan peka terhadap kemanusiaan menjadi

sangat dibutuhkan. Kwalitas kepemimpinan juga mengkait langsung dengan

komitmen untuk mewujudkan supremasi hukum dan kehidupan kenegaraan yang

bebas KKN. Dan mengingat masalah yang dihadapi bangsa utamanya bersumber dari

persoalan moral dan ekonomi, maka konsep kepemimpinan yang dibutuhkan adalah

model yang berpenampilan bagai pendeta suci. Oleh karena itu kepemimpinan model

pemulung yang terus sibuk memungut barang bekas walaupun wujudnya uang komisi

dari proyek yang dibiayai dengan anggaran negara tidaklah mungkin masuk kategori

pemimpin yang kuat. Pemimpin yang kuat juga harus memenuhi kriteria yang

dilingkungan Islam dikenal dengan istilah:

- Sidiq yaitu Pemimpin yang mendasarkan secara kuat pada kebenaran,

- Amanah adalah pemimpin yang secara konsisten dan konsekwen dalam

menegakkan kejujuran,

- Fathonah adalah ia yang cerdas dan bijaksana. dan

- Tablig yaitu pemimpin yang berani menyampaikan kebenaran dengan

tulus.

Dari kepemimpinan yang demikian itu diharap kan akan mampu mengantar

bangsa ini membentuk sistem kenegaraan yang benar-benar demokratis dalam sebuah

proses peralihan yang sepenuhnya dibawah kontrol negara. Leadership yang kuat

otomatis akan mengedepankan akal sehat disamping juga dibarengi kematangan

emosi dan spiritual. Sudah barang tentu publik akan diajak berpikir rasional tanpa

meninggalkan faktor berkah Tuhan yang Maha Esa. Dengan demikian konsep yang

ditawarkan kepada publik dengan mudah dapat diukur kwalitasnya. Melalui proses

penataan yang sistematik, betapapun kuatnya upaya pihak-pihak yang mengganjal

67

Page 68: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

upaya membangun peradaban yang baru otomatis niscaya akan berhadapan besarnya

dukungan publik yang memang menghendaki adanya perubahan. Kekuatan tersebut

sesungguhnya bukan hanya berasal dari kekuatan lama saja yang “bermasalah”

sehingga dirinya otomatis akan terancam untuk berhadapan dengan hukum manakala

Negara segera bisa melaksanakan konsolidasi, tapi juga sebagian dari pendatang baru

yang mendapat keuntungan berkat keberadaan sistem kenegaraan yang ada. Maka

kepemimpinan yang kuat juga disyaratkan adanya kemampuan untuk memisahkan

tanggung jawab masa lampau dengan tanggung jawab masa depan melalui sebuah

proses yang biasa dikenal dengan istilah rekonsiliasi atau islah. Disamping itu

kepemimpinan yang kuat juga mensyaratkan adanya visi yang baru tentang

kenegaraan, disanalah maka persoalan pentingnya perubahan secara mendasar atas

sistem kenegaraan yang ada menjadi sangat utama. Karena tampilnya mereka sebagai

satu tim dalam panggung politik nasional dibarengi dengan niat bukan untuk

mendapatkan kekuasaan sebagai tujuan, tapi kekuasaan tersebut tidak lebih hanyalah

sebagai sarana untuk membuat sejarah baru peradaban Indonesia kedepan.

Tanpa kesadaran atas pentingnya mengubah sistem kenegaraan, akan berakibat

mereka yang berkuasa akan mengulangi dan melanjutkan para pendahulunya. Untuk

periode tertentu bisa saja kelihatannya upaya pemerintahan Negara seolah berhasil

mengatasi krisis seperti yang dicapai oleh Suharto di era Orde Baru. Tapi

sesungguhnya prestasi tersebut adalah semu, karena akar masalah sama sekali tidak

tersentuh oleh perubahan. Dan tinggal persoalan waktu saja, siapapun Presiden nya

nanti, kita akan kembali mengalami krisis yang lebih dasyat lagi.

Hubungan Militansi dan Nasionalisme43

Fenomena yang nampak dipermukaan publik akhir-akhir ini, dengan jelas

menggambarkan betapa karakter sebagian elit bangsa begitu rusaknya. Disisi lain

kohesifness, toleransi, solidaritas dan bahkan kebanggaan sebagai bangsa dan negara

dari sebagian warga kita juga sangatlah rendah. Kondisi tersebut telah melahirkan

kekhawatiran bersama sejumlah kalangan atas kesinambungan eksistensi bangsa dan

negara tercinta ini.

43 Tulisan yang sama dengan judul Militansi Bangsa, Nasionalisme dan TNI, telah dimuat dalam majalah Seskoad Vira Jati No 109 tahun 2006

68

Page 69: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua halaman 655 menyebutkan bahwa

militansi sebagai katangguhan dalam berjuang (menghadapi kesulitan, berperang dsb).

Oleh karenanya lingkup militasi bangsa yang dimaksudkan sudah barang tentu dalam

kaitan “nation” dan juga “state” dalam arti secara profer yang sungguh-sungguh

hanya untuk kepentingan bangsa dan negara. Hal ini perlu menjadi atensi utama dan

pertama bagi kita semua karena belakangan ini sejumlah pihak begitu militan

“berjuang” diberbagai forum dengan mengatas namakan kepentingan bangsa dan

negara. Tapi betul kah yang mereka perjuangkan benar-benar hanya untuk

kepentingan bangsa dan negara. Bukankah militasi sebagian dari mereka sesungguh

nya tak lebih sebagai upaya untuk menyelamatkan diri dan atau “cuci tangan”. Dan

sebagian lagi sebetulnya tak lebih hanya untuk kepentingan sesaat yang sifat- nya

murni kebendaan.

Militansi bangsa dalam arti value tentang semangat sebuah bangsa sesungguhnya

bersifat universal, karenanya maka dikenal disemua negara baik yang menganut

paham demokrasi maupun yang bukan demokrasi. Bagi bangsa kita barangkali

persoalannya tinggal bagimana nilai tersebut diformulasikan ulang sesuai dengan

tuntutan dan kebutuhan era kekinian. Namun demikian perssoalan militansi bangsa

dalam kaitan struktural kenegaraan apalagi yang berhubungan dengan keikutsertaan

rakyat dalam pembelaan negara penulis lebih memilih penggunaan istilah semangat

nasionalisme dari pada istilah militansi bangsa. Dalam praktek pengelolaan negara,

militansi bangsa lazimnya dikembangkan oleh negara-negara Fasis dan juga negara-

negara Agama, karena paham yang diguna kan dalam mengatur negara penganut

paham ini memanglah top-down. Sedang semangat nasionalis me biasanya digunakan

dilingkungan negara-negara penganut paham demokrasi. Adapun perbedaan yang

mencolok dalam upaya menjaga stabilitas ke- amanan, persatuan dan kesatuan bangsa

pada negara-negara Fasis ditempuh dengan cara-cara refresi dan kontrol secara ketat

terhadap kehidupan sosial rakyatnya. Untuk melahirkan militansi rakyat nya, negara

menempuh cara-cara indoktrinasi, propaganda dan juga mobilisasi. Sedang pada

negara-negara penganut paham demokrasi (terlebih setelah melewati tahap

konsolidasi sebagai negara) persoalan stabilitas keamanan, persatuan dan kesatuan

bangsa justru diposisikan sebagai out put atau produk dari sistem sipil (kenegaraan)

itu sendiri. Sedang kadar rasa nasionalisme sangat ditentukan oleh kemanfaatan dari

69

Page 70: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

keberadaan negara itu sendiri.

Semangat Nasionalisme dan Unsur-Unsur yang Membentuknya

Pada hakekatnya tujuan yang ingin diwujudkan oleh bangsa manapun tak

terkecuali bangsa Indonesia dalam membentuk Negara adalah sama yaitu terwujudnya

rasa aman, sejahtera dan lahirnya rasa kebanggaan / harga diri dalam bernegara.

Ketiga unsur tersebut pada hakekatnya juga kebutuh an pokok segenap warga bangsa

manapun. Dari ketiga unsur kebutuhan pokok warga bangsa itulah yang kemudian

melahirkan sebuah rasa yang secara umum melingkupi sebuah bangsa untuk terus

mengikat diri dan mempertahankannya dalam satu wadah (negara) dengan segala

kecintaan dan konsekwensi dalam menjaga eksistensinya. Rasa yang demikian itu

disebut rasa kebangsaan atau nasionalisme. Oleh karena itu rasa kebangsaan dari

sebuah bangsa tidaklah mungkin bersifat permanen / statis, ia akan turun naik sejalan

dengan dinamika yang dihadapi bangsa itu sendiri. Pada penggal waktu dimana

sebuah bangsa sedang berjuang untuk membentuk negara, sangatlah berbeda dengan

kurun waktu setelah ia berhasil membentuk negara yang merdeka. Untuk

terbentuknya sebuah negara, suatu bangsa tanpa kecuali merelakan harta benda dan

bahkan jiwa raganya tanpa sebuah imbalan apapun, kecuali kemerdekaan itu sendiri.

Namun setelah bangsa tersebut telah merdeka dan kehidupan mulai normal maka

keadaan berbalik, negara kemudian dituntut untuk mampu mewujudkan ketiga unsur

kebutuhan pokok tersebut bagi segenap warga bangsa nya tanpa kecuali. Dengan kata

lain yang menjadi perekat dan bahkan penentu kadar serta kwalitas sebuah

nasionalisme pada era mengisi kemerdekaan adalah asas manfaat dari keberadaan

negara itu sendiri dalam mewujudkan ketiga kebutuhan dasar tersebut secara

terintegrasi dan berimbang. Dan manakala terjadi gap diantara ketiga unsur tersebut

niscaya akan memudarlah rasa nasionalisme bangsa tersebut. Disinilah pentingnya

kita sebagai bangsa terlebih para elitnya untuk mengubah secara progresif strategi

dalam mengelola rasa nasionalisme dari waktu ke waktu, bahkan dari kasus ke kasus

yang sedang dihadapi bangsa kita.

Dengan mengambil perbandingan yang dilaksanakan oleh sejumlah pemimpin

negara sahabat, kiranya kita akan bisa menarik kesimpulan betapa kecermat an dan

keberanian seorang pemimpin bangsa mampu mengubah peradaban bangsanya dan

mampu membangkitkan kembali rasa nasionalisme bangsa nya. Margaret Tacher

70

Page 71: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

umpamanya, ia telah mengesampingkan cemoohan banyak pihak tentang harga diri

bangsa karena ia mengundang Sonny dan Honda yang notabene berasal dari “timur”.

Namun ia tahu dan meyakini bahwa yang dibutuhkan rakyatnya saat itu adalah aspek

kesejahteraan. Bill Clinton dalam dua kali pemerintahannya sama sekali tidak

mengalami inflasi, hal ini karena penilaian adanya gap dimana rasa aman jauh diatas

ke- sejahteraan. Maka dengan program memotong bugdet sektor Pertahanan, ia telah

berhasil mem- bangun kembali ekonomi Amerika.

Dalam prakteknya tidak sedikit pemimpin bangsa yang menggunakan slogan

nasionalisme hanyalah sebagai tameng atas kelemahannya atau bahkan sebagai upaya

menyembunyikan kesalahan44. Cara ini antara lain dengan menempatkan bangsa lain

sebagai penyebab kerusakan yang tengah terjadi di negara nya. Model yang demikian

ini lazim terjadi pada negara-negara yang otoriter / penganut paham fasisme dan

negara-negara yang peradaban nya belum tinggi sehingga dalam pergaulan

internasional tidak berpegang teguh pada fatsun dan kaidah-kaidah internasional.

Nasionalisme juga haruslah ditafsirkan secara common sence dan tidak boleh

ditafsirkan secara sempit sesuai kepentingan penguasa. Dalam kasus Jerman dibawah

Hitler, nasionalisme dengan sengaja ditafsirkan secara sempit sehingga melahirkan

nasionalisme yang chauvinistik, sejarah mencatat bahwa hal tersebut tidak hanya

membuahkan mala petaka bagi bangsanya saja, tapi juga mala petaka kemanusiaan

bagi bangsa bangsa lainnya.

Dinamika dan Aspek Nasionalisme

Bila ditilik dari sejarahnya, nasionalisme bagi bangsa kita banyak menginduk

pada ajaran Ernest Renan (Abad 19) yang mengedepankan adanya persamaan nasib

dan sejarah. Pandangan ini banyak dikutip oleh founding father kita yang mulai

memperkenalkan paham kebangsaan diawal abad 20 an. Paham ini kemudian tumbuh

dan berkembang begitu pesatnya menjelang berakhirnya Perang Dunia ke II. Dengan

mengangkat persoalan hilang nya kebanggaan dan harga diri sebagai bangsa karena

penjajahan, membuat prestasi pemerintahan kolonial Belanda yang saat itu berhasil

44 Kalau membaca tulisan George Junus Aditjondro Dari Gaharu ke Bom Waktu HIV/AIDS yang siap Meledak, dalam buku Dario Azzelini dan Boris Kanzleiter (Eds.) La Empresa Guerra, Bisnis Perang dan Kapitalisme Global, terjemahan Indonesia, (Yogyakarta: Insist Press, 2005), hal. 235-373 kita menjadi sadar bahwa militansi TNI sangatlah merosot di masa lalu yang terbukti melalui berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran HAM di berbagai tempat di negeri ini. George memang tidak membahas khusus tentang militansi dan nasionalisme tetapi data yang dipaparkannya memberikan petunjuk tentang krisis militansi dan semangat nasionalisme di kalangan sejumlah tentara di masa lalu.

71

Page 72: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

dengan gemilang dalam menghadirkan rasa aman dan juga kesejahteraan (oleh orang

tua terdahulu era tersebut dikenal dengan istilah “Jaman Normal”) tereliminasi begitu

saja. Rakyat dibius dengan kerinduan hadir nya Pemerintahan yang diurus oleh

bangsa nya sendiri (merdeka). Seolah penjajahan telah mem- belenggu segenap aspek

kehidupan bangsa. Maka persoalan merdeka menjadi pertaruhan dengan resiko

kematian sekalipun. Sehingga menjadi wajar saat bangsa ini harus berhadapan dengan

Belanda yang hendak mengambil kembali kedaulatan yang sudah ditangan bangsa

sendiri, dihadapi oleh seluruh lapisan masyarakat dengan semangat nasionalisme

yang heroik. Dan begitu seterusnya dalam lintasan sejarah berikutnya, bangsa ini

kemudian menempuh cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan pendapat

yang terjadi antara pusat dan daerah. Maka yang terjadi sesama bangsa haruslah saling

adu kekuatan dan persenjata an. Sudah barang tentu jatuhnya korban dari sesama

anak bangsa sendiri dengan jumlah yang tidak kecil tidak bisa dihindari. Namun

haruslah diakui bahwa rasa nasionalisme dalam episode ini malah bertambah tinggi,

karena kehausan akan kebanggaan atas kemerdekaan dari rakyat banyak belum

terpuaskan. Terlebih setelah diketahui dari sebagian pergolakan bersenjata tersebut

ternyata disokong oleh negara tertentu.

Sayang sekali pada periode berikutnya aspek ekonomi kurang mendapat perhatian

secara serius oleh Pemerintahan Bung Karno. Ketambahan lagi disaat itu sedang

terjadi perlombaan kekuatan per- senjataan dalam kerangka Perang Dingin. Dalam

episode ini persoalan kebanggaan sebagai bangsa dan negara jauh lebih menonjol

daripada persoalan ekonomi dan juga keamanan. Maka menjadi mudah dipahami

ketika pak Harto mengumandangkan slogan “Politik NO, Ekonomi Yes” serta merta

dalam waktu singkat mendapat dukungan publik yang begitu besar. Sangatlah

disesalkan nasionalis- me yang dikembangkan oleh Suharto lebih diwarnai

uniformisasi yang realitanya sangat dekat dengan Jawanisasi / Mataramisasi. Orde

Baru tidak mem- bangun nasionalisme dalam kemajemukan, tapi sebaliknya semua

aspek kehidup an kenegaraan dicoba untuk diseragamkan dengan model / selera

Jawa. Rasa aman bukan ditempatkan sebagai produk dari sistem sipil yang bekerja

secara benar, tapi lebih karena represi dan kontrol yang kuat dari pemerintah dalam

hal ini dilaksanakan oleh TNI (ABRI) terhadap bangsanya sendiri. Sistem

pemerintahan negara memang menggunakan struktur politik model demokrasi,

72

Page 73: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

namun dalam prakteknya demokrasi hanyalah sebagai cap dari sebuah pemerintahan

yang otoriter. Begitu pula dalam aspek ekonomi, faktor KKN telah membuat negara

telah kehabisan dan kerusakan Sumber Daya Alam yang begitu dasyat akibat

pengelolaan yang diproyeksikan hanya untuk kepentingan sekelompok orang saja.

Sementara itu hutang nasional yang begitu besar tidak dikelola dengan benar, bahkan

sebagian telah diselewengkan untuk kepentingan pribadi dan golongan tertentu saja.

Dari keberhasilan yang semu inilah akhirnya pak Harto lengser, akibat rontoknya

sendi-sendi perekonomian karena gelombang krismon yang menimpa negara-negara

yang belum mendasarkan secara kuat pada asas akuntabilitas dalam mengelola

keuangan negara. Maka menjadi wajar sepeninggal Suharto dari gelanggang politik

nasional segalanya menjadi porak poranda. Amat disayangkan dalam kondisi yang

demikian itu para elit bangsa tidak mencoba untuk mencari antitesa untuk dapat

menghentikan dan sekaligus menggantikan sistem yang lama dengan segala budaya

yang melingkupunya. Yang lebih menyedihkan lagi akhir-akhir ini muncul pembelaan

dari kelompok bermasalah bahwa sesungguhnya dimasa lalu sistemnya baik, tapi

orangnya yang rusak. Dengan kalimat yang sejenis akhir-akhir ini juga sering kita

dengar sejumlah tokoh menegaskan bahwa tidak semua yang lama itu jelek, yang baik

kita pakai dan yang buruk kita buang. Mereka lupa bahwa Founding Father diawal

kemerdekaan dan juga Suharto saat memulai kekuasaannya tidak pernah

mempersoalkan tentang hal-hal yang baik dimasa sebelumnya akan diteruskan atau

tidak. Sebaliknya keduanya menampilkan antithesa yang dibenarkan secara teori

(bukan sekedar hipothesa) untuk sebuah perubahan. Di awal kemerdekaan slogan

“Merdeka atau mati” dan diawal kekuasaan pak Harto dengan “Politik No - Eonomi

Yes” kedua nya sangat ampuh sebagai obat untuk menyembuh kan penyakit yang

telah lama dideritanya. Perancis dibawah Louis XVI pasca Revolusi, Jepang dan

Jerman pasca Perang Dunia II juga mengambil sikap yang sama seperti yang

ditampilkan oleh Bung Karno dkk dan juga pak Harto sehingga disorientasi

bangsanya dengan cepat bisa diakhiri.

Barangkali kita juga patut untuk mencontoh sikap sejumlah pemimpin negara-

negara komunis, yang dengan kesatria nya mengakui secara formal didepan publik

dunia bahwa komunisme sebagai sistem kenegaraan gagal (setelah 60 tahun diuji

coba). Dan kemudian mereka meminta maaf kepada rakyat nya atas perlakuan negara

73

Page 74: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

kepada rakyatnya dimasa lalu. Yang jelas belakangan terbukti mereka tidak lagi

menghabiskan tenaganya untuk mem- persoalkan masa lalu. Mereka tak peduli

dengan unsur-unsur yang dianggap baik dari sebuah sistem yang terbukti gagal.

Keadaan jauh berbeda di lingkungan internal negara kita, setelah 32 tahun Orde Baru

sebagai sistem ternyata gagal. Terasa sulit bagi publik untuk menemukan pemimpin

yang berani menilai bahwa Orde Baru sebagai sistem pemerintahan ternyata gagal

dan kemudian minta maaf atas perlakuan negara kepada rakyat nya dimasa lalu,

sebagaimana yang dicontohkan oleh para tokoh komunisme dunia tersebut diatas.

Yang terjadi nasionalisme kemudian lebih hanya dijadikan slogan oleh banyak

kalangan. Bahkan pihak-pihak yang bermasalah dan yang akan membuat masalah

kini sedang mencoba menempatkan rasa nasioanlisme sebagai pijakan perjuangan

dengan menempatkan sejumlah negara asing sebagai musuh bangsa. Diantara mereka

lupa bahwa dirinya dimasa lalu adalah bagian dari rezim yang berkuasa yang begitu

mesra dengan negara-negara tersebut. Berkat kemesraannya itu dahulu rezimnya

mendapatkan bantuan dan pinjaman dalam jumlah yang begitu besar dari negara-

negara yang kini dihujatnya. Dan yang jelas sebagian dari pinjaman tersebut tidak

dikelola dengan baik, bahkan sebagian lagi dikemplang ramai-ramai oleh kroni dan

anggota rezimnya. Mereka pula yang dahulu menyetujui persyaratan yang ditetapkan

dalam perjanjian antara negara kita dengan negara atau lembaga-lembaga donor yang

kini nyata-nyata dirasakan sangat memberatkan bangsa kita. Yang pasti generasi

penerusnya yang harus menanggung residu masa lalu dan juga warisan hutang yang

begitu besarnya.

Sangat disayangkan Pemerintahan terdahulu pasca Suharto lengser tidak

mengawali dengan maping (pemetaan) dengan sungguh-sungguh tentang kondisi

nyata atas persoalan yang dihadapi bangsa dan negara nya. Maka menjadi wajar kalau

rezim terus berganti, tapi disorientasi bangsa ini terus tidak kunjung berakhir. Dan

belakangan publik juga tahu bahwa anggota rezim pengganti juga terlibat dalam

permasalahan serius utamanya dalam pengelolaan keuangan negara (korupsi). Mereka

kemudian bermain pada lahan politik dengan mengabaikan etika sekalipun seolah

semuanya syah-syah saja. Dan inilah sesungguhnya “perang berlarut” yang sedang

dikembangkan dan terus dipelihara pihak-pihak tertentu, untuk kembali memperoleh

kekuasaan atau setidaknya membeli waktu agar segala persoalan yang melingkupi

74

Page 75: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

dirinya (sebagian termasuk pendatang baru) tidak lagi mengancamnya. Disanalah

maka kita dapat ditengarai menurunnya harapan dan sekaligus kepercayaan publik

terhadap kemampuan negara untuk menghadirkan rasa aman, kesejahteraan dan juga

kebanggaan sebagai bangsa dan negara Indonesia. Kondisi yang demikian ini jelas

mem- bebani Pemerintahan yang sekarang siapapun pemimpinnya karena tidaklah

mungkin akan dapat memanfaatkan rasa nasionalisme yang ada (karena kadarnya

begitu rendahnya) untuk membangun kekuatan dalam menghadapi hakekat ancaman

yang saat ini nyata-nyata kini dihadapi oleh bangsa dan negara kita.

Model Nasionalisme yang perlu dikembangkan

Sebagaimana uraian terdahulu bahwa pasang surutnya rasa nasionalisme bagi

bangsa manapun, sangatlah ditentukan oleh azas manfaat atas keberadaan negara nya,

maka untuk era sekarang dan terlebih kedepan para elit sebaiknya tidak terus

menyalahkan sikap sebagian warga bangsa kita yang tidak lagi peduli terhadap

keutuhan negara Republik Indonesia. Apalagi kalau malah memusuhi mereka yang

menginginkan memisahkan diri dari Republik tercinta ini. Hal yang demikian itu

sama sekali tidak berarti bahwa kita lantas membiarkan begitu saja mereka yang

menginginkan untuk memisahkan diri dengan membentuk negara sendiri. Terlebih

kalau upaya yang ditempuhnya nyata-nyata melanggar hukum dan keluar dari koridor

demokrasi. Karena negara mempunyai kwajiban untuk mencegah dan atau

mengeliminasi terhadap keinginan yang demikian itu. Namun dalam kaitan

membangun rasa nasionalisme, munculnya aspirasi yang demikian itu haruslah

ditempatkan sebagai penomena ketidak berhasilan bahkan kegagalan negara dalam

menjamin terwujudnya ketiga unsur pokok pembentuk rasa nasionalisme itu sendiri.

Oleh karenanya kedepan negara termasuk alat ke- lengkapannya tak terkecuali juga

TNI tidak perlu lagi menuntut rakyatnya untuk menumbuhkan rasa patriotisme,

kerelaan berkorban, dan juga pantang menyerah dan apalagi dipersiapkan untuk ikut

dalam perjuangan phisik perjuangan bersenjata dalam menjaga stabilitas keamanan,

rasa persatuan dan kesatuan bangsanya sebagaimana model yang dikembangkan oleh

negara-negara otoriter seperti yang diterapkan selama Orde Baru.

Haruslah disadari bersama bahwa beda yang mendasar pendekatan negara otoriter

dan negara demokrasi dalam urusan menjaga kedaulatannya melalui perjuangan

bersenjata terletak pada pilihan model reqruitmen kekuatan tentara nya. Untuk negara

75

Page 76: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

otoriter kekuatan tentaranya diperoleh dengan mobilisasi, sedang dalam negara

demokrasi dilaksanakan dengan wajib militer. Disanalahlah maka pada negara Fasis

rakyat harus militan, oleh karenanya negara terus membangkitkan rasa patriotisme,

kerelaan berkorban, dan semangat pantang menyerah, dengan indroktinasi dan

propaganda sekalipun, agar sewaktu-waktu terjadi mobilisasi persoalan kejiwaan

kekuatan tentara nya telah terselesaikan. Sedang di negara demokrasi, kekuatan

tentara sebanyak mungkin diperoleh dengan wajib militer, sehingga dikalangan

masyarakat luas telah tersedia cadangan militer dalam jumlah besar, disamping itu

terbentuk pula agen-agen tentara yang dapat mempengaruhi masyarakat sekelilingnya

tentang pentingnya perjuangan phisik bersenjata yang dilaksanakan oleh tentara nya.

Dari sana pulalah maka militansi yang perlu kita kembangkan bangsa kita kedepan

adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran segenap warga bangsa ini ikut

berpartisipasi dalam mengelola negara sesuai bidang pekerjaan dan pilihan hidupnya

masing-masing. Oleh karena itu rasa patriotisme kedepan barangkali bisa diwujudkan

dalam bentuk membayar pajak tepat pada waktunya. Sedang pantang menyerah

dalam alam demokrasi bukan lagi sikap untuk terus berjuang melawan musuh bangsa

sampai titik darah penghabisan dengan mengangkat senjata, tapi barangkali semangat

untuk terus hidup dalam kesederhanaan tanpa harus ikut-ikutan untuk korupsi.

Dengan mengasumsikan suatu saat bangsa ini berperang dengan negara lain,

sesungguhnya per- soalan patriotisme, kerelaan berkorban dan bahkan semangat

patang menyerah yang diimplementasikan dalam perjuangan phisik otomatis akan

tumbuh dan berkembang dengan sendirinya kalau memang segenap warga bangsa ini

menempatkan keberadaan Indonesia sebagai bangsa dan negara adalah pilihan yang

terbaiknya.

Nasionalisme yang kita kembangkan kedepan juga tidak boleh bersifat eksklusif,

tapi haruslah nasionalisme yang inklusif, karena bangsa ini telah bersepakat menjadi

bangsa dan negara yang terbuka. Karenanya dalam mengembangkan nasionalisme

tidaklah perlu para elit bangsa ini mengajak rakyat- nya untuk memusuhi bangsa lain.

Dengan semangat nasionalisme, bangsa kita mestinya justru bisa menunjukkan

kepada dunia sebagai bangsa kita adalah bangsa yang lebih beradab, yang memegang

teguh kehormatan, keadilan dan persamaan hak sebagai prinsip dasar dalam

pergaulan internasional. Bangsa ini juga harus mampu memberi cotoh kepada

76

Page 77: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

masyarakat dunia pentingnya fatsun pergaulan internasional. Nasionalisme kedepan

juga harus menjunjung tinggi hak-hak politik segenap warga negara tanpa kecuali.

Kedepan kita tidaklah perlu membuat bangsa lain bingung seperti yang terjadi dalam

kasus pemberian suaka (visa) oleh Pemerintah Australia bagi saudara-saudara kita

dari Irian Jaya baru-baru ini. Barangkali dalam sejarah peradaban modern baru

pertama kali terjadi kasus adanya kemarahan bangsa yang dicoba dibangkitkan oleh

elitnya untuk memusuhi negara yang justru memberi perlindungan kepada sejumlah

warga bangsa nya yang minta suaka kepada tetangganya. Bukankah secara universal

dimanapun, justru negara yang didatangilah yang biasanya keberatan dan bisa jadi

marah-marah. Bukankah mereka minta suaka karena tidak lagi merasa stay at home di

negara nya sendiri. Ibarat anak yang terpaksa minggat dan numpang tidur ditetangga,

seharusnyalah kita minta maaf kepada tetangga karena direpoti oleh ulah anak kita,

dan sama sekali bukan malah marah-marah kepada tetangga yang telah

menampungnya. Negara mana- pun tidaklah berhak mencegah bagi warga negara

untuk meminta suaka ke negara lain.

Disinilah pentingnya perubahan mind set dalam pengelolaan negara, untuk

menempatkan negara sebagai pihak yang melindungi hak-hak politik segenap warga

bangsanya, dan tidak lagi menempat- kan negara sebagai pihak yang menguasai

rakyat nya sebagaimana yang terjadi pada negara-negara fasis / otoriter.

Perubahan mind set yang paling mendasar dan terpenting adalah tentang sistem

kenegaraan kita kedepan. Sesuai dengan kesepakatan kita sebagai bangsa yang

memilih paham demokrasi sebagai model sistem kenegaraan, maka taat asas terhadap

kaidah kaidah demokrasi menjadi sangat mendasar. Janganlah kita pilih model

demokrasi tapi visi kita masih belum berubah dari paham lama yang memang otoriter.

Dan janganlah kita memilih model demokrasi dengan sistem pemerintahan

presidesial, tapi kaidah yang dipedomani adalah model demokrasi parlementer. Tanpa

taat asas niscaya akan terjadi proses saling mereduksi antar kekuatan yang dipunyai

dari model demokrasi itu sendiri. Bila kita sepakat memilih sistem pemerintahan

presidensial dengan Pemilu langsung, maka sumber legitimasi bukanlah pada Partai

dan DPR ataupun DPD, tapi langsung dari rakyat. Dan letak kekuatan kekuasaan ada

pada keadilan dan kejujuran dalam mengelola negara. Dalam kenyataannya pilihan

model tersebut selama ini tidak dilaksanakan secara utuh lengkap dengan jiwanya.

77

Page 78: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Kaidah-kaidah sistem pemerintahan parlementer justru sangat melingkupi dan

mewarnai sistem pemerintahan kita yang jelas-jelas presidensial. Sehingga menjadi

wajar kalau didalam- nya terjadi proses negasi yang sangat memakan energi dan biaya

besar serta melelahkan. Disisi lain pencampuran kedua model sistem pemerintahan

yang demikian itu secara teori sama sekali tidak punya jaminan keberhasilan.

Dengan perubahan mind set dalam pengelolaan negara, maka kedepan hal-hal yang

menjadi porsi politisi sipil, biarkanlah dikerjakan oleh kaum sipil dengan sungguh-

sungguh, dan janganlah kemudian melibatkan lagi TNI sebagaimana yang terjadi

dimasa lalu sejak awal kemerdekaan kita. Biarkanlah TNI lebih berkonsentrasi pada

core bisnisnya yaitu bidang Pertahanan. Hal yang demikian bukanlah berarti negara

tidak boleh menggunakan TNI untuk menangani urusan diluar aspek Pertahanan.

Namun pelibatan TNI yang demikian itu haruslah sebagai cara terakhir setelah cara

damai tidak memungkin kan lagi, dan kalau hal itu dibiarkan akan mengancam

keberadaan negara. Dan itupun harus melalui rule of engagement yang menjamin TNI

terbebas dari sanksi pelanggaran HAM. Memang diawal kemerdekaan para pendahulu

mengedepan kan penggunaan TNI dalam mengatasi perbedaan pendapat antara Pusat

dan Daerah. Kiranya hal tersebut bisa dimaklumi karena disaat itu bangsa kita hidup

dalam alam kedaruratan. Dan cara-cara yang demikian itu cukuplah terjadi dimasa

lalu saja. TNI kedepan tidak boleh dijadikan korban dari sistem politik dan apalagi

korban permainan politik oleh golongan manapun termasuk oleh pemerintahan yang

berkuasa. Dalam kaitan ini maka TNI perlu mengantar bangsa ini yang diwakili oleh

kaum politisi sipil untuk lebih banyak berafeksi dalam berkompromi dalam

menyelesaikan beda pendapat dalam mengelola negara. Persoalan perbedaan pendapat

dalam pengelolaan negara haruslah di- selesaikan dengan cara-cara yang beradab

(sipil) dengan menjauhkan diri dari penggunaan kekerasaan dan apalagi melibatkan

TNI sejak dini. Tanpa perubahan visi yang demikian itu, kelak persoalan pengibaran

bendera selain sang Merah Putih akan kembali diselesaikan oleh TNI dengan cara-

cara militer sehingga jatuhnya korban sesama anak bangsa tidak bisa dihindari.

Namun demikian kedepan bangsa ini haruslah mempunyai TNI yang kuat,

karena ia diperlukan untuk turun tangan pada saat cara carasipil (baca: damai) sudah

tidak mungkin. Dengan TNI yang kuat dalam artian phisik karena besarnya kekuatan,

persenjataan dan juga mobilitas yang tinggi untuk dikerahkan dimanapun dalam

78

Page 79: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

rangka menjaga kedaulatan bangsa dan negara akan membuat segenap warga bangsa

ini merasa terlindungi berkat keberadaan TNI. Dengan kata lain militer betul-betul

ditempatkan sebagai kekuatan yang ampuh yang bisa memaksa pihak manapun untuk

mengikuti kehendak negara setelah cara-cara damai tidak bisa lagi dimungkinkan.

Kelemahan selama ini negara sendiri mengingkari paham tentang perang, kemudian

TNI sudah diterjunkan dari awal terhadap persoalan yang dihadapi bangsa yang

semestinya menjadi porsi sipil. Hal yang demikian itu membuat diantara anak bangsa

diposisikan sebagai musuh oleh tentara nya sendiri (TNI). Dari sanalah akumulasi

delegitimasi yang dihadapi TNI pasca lengsernya pak Harto. Dan dari sana pulalah

mesti- nya legitimasi TNI pelan-pelan dibangun untuk ditegakkan kembali. Kedepan

sebagai bangsa yang hidup dalam alam demokrasi biarkanlah rakyat kita mencintai

militernya melalui kebanggaan dan sekaligus keyakinan terhadap TNI. Dan ketika

TNI tampil dalam parade ataupun ketika turun tangan secara phisik dilapangan

menjalankan tugas sucinya rakyat yang melihatnya begitu bangga, kagum dan juga

lega. TNI juga harus menjadi faktor utama dalam percaturan pergaulan internasional,

terlebih terhadap negara-negara tetangga dekat. Dengan TNI yang kuat maka

bargaining position dalam mem- perjuangkan kepentingan nasional dalam forum

internasional menjadi tinggi. Sudah barang tententu bila kadar nasionalisme yang

melingkupi bangsa kita begitu tinggi dan keberadaan TNI juga kuat serta

legitimated, maka otomatis akan melahirkan deterent (daya tangkal) yang tinggi pula.

Maka niat negara manapun untuk menganggu apalagi meng- gagalkan kepentingan

nasional kita akan pupus dan kemudian pudar dengan sendiri nya.

Agar perubahan visi yang demikian itu menjadi lebih efektif, maka bangsa ini

perlu memperbaiki sejarah nya. Sejarah yang selama ini disusun lebih untuk

mendukung kepentingan penguasa, kedepan perlu disusun ulang dengan lengkap dari

banyak aspek yang nyata-nyata telah terjadi dimasa lalu. Tanpa harus mengecilkan

arti perjuangan bersenjata, keberhasilan bangsa kita mengusir penjajah dan kemudian

keluar sebagai pemenang dalam perang kemerdekaan, sesungguhnya juga tidak lepas

dari peran tekanan internasional terhadap Belanda. Kita juga harus jujur bahwa

mundurnya Belanda dari tanah air, sama sekali bukanlah karena kekalahan tentara

Belanda di medan perang dalam menghadapi tentara Republik yang saat itu lebih

sebagai milisi. Sejarah sekitar perang kemerdekaan (dan termasuk mundurnya

79

Page 80: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Belanda dari Irian Barat) haruslah dikaitkan pula dengan program rehabilitasi

negara-negara Eropah pasca Perang Dunia II oleh Amerika yang terkenal dengan

istilah Program Marshall Plan. Amerika menilai bahwa efektivitas bantuan yang

diberikan kepada Belanda sangat terganggu karena pembiayaan perang di Indonesia.

Dalam konteks inilah menjadi wajar kalau kemudian Amerika berperan dalam

sejumlah perundingan antara Indonesia dan Belanda. Begitu pula dalam memahami

sikap pak Habibi yang memilih untuk referendum di Tim Tim. Dengan tidak

bermaksud membela pak Habibi dan juga pak Wiranto sebagai Panglima ABRI yang

saat itu setuju untuk me- laksanakan referendum di Tim Tim, persoalan tekanan

internasional sangatlah berpengaruh terhadap pengambilan keputusan kenegaraan saat

itu. Memang betul biaya yang dipakai oleh Pemerintah Indonesia dalam operasi

militer di Tim Tim bukanlah dana yang berasal dari bantuan dan atau pinjaman luar

negeri. Namun demikian dana yang digunakan TNI dalam operasi militer di Tim Tim

dalam jumlah yang tidak kecil dan dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun jelas-jelas

mempengaruhi efektifitas penggunaan pinjaman yang diberikan kepada Indonesia.

Hal inilah yang membuat tekanan internasional untuk mengakhiri persoalan Tim Tim

menjadi begitu besar terlebih setelah pak Harto lengser dari panggung politik

nasional.

Sejarah kedepan juga haruslah disusun secara ter- buka agar generasi mendatang

dalam mempelajari sejarah mampu menyimpul point of strategi alur cerita yang

disusunnya. Diasingkannya Bung Karno dan juga tokoh pergerakan kemerdekaan

lainnya oleh Pemerintahan Kolonial Belanda tidak hanya membakar semangat

kebangsaan dikalangan luas bangsa sendiri, tapi juga membuat perhatian dunia

terhadap Indonesia. Perjuangan rakyat Tim Tim untuk merdeka lepas dari Indonesia,

tidak bisa lepas dari peran seorang tokoh Xanana Gusmao dalam mempengaruhi

dunia internasional. Keberhasilan rakyat Tim Tim lepas dari Indonesia jelas-jelas

bukan karena TNI kalah perang, tapi karena peran internasional yang memaksa

Indonesia mau melaksanakan referendum. Begitu pula keberhasilan sejumlah tokoh

Aceh dalam perjuangan untuk memperoleh perlakuan istimewa, juga sama sekali

bukanlah karena kekalahan TNI atas kekuatan bersenjata GAM. Loby internasional

seorang Hasan Tiro lah yang membuat sejumlah negara ikut serta dalam

menyelesaikan Aceh. Sejumlah pelajaran besar yang demikian itu kiranya patut

80

Page 81: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

diambil, agar kedepan sebagai bangsa kita tidak mengulangi kekeliruan yang sama.

Kita juga harus mulai membuka mata, bahwa penjajahan Belanda tidaklah sejelek

yang kita pelajari dalam sejarah selama ini. Kita juga harus jujur bahwa tidak sedikit

negara yang kemerdekaannya didapat dengan merebut telah leading menjadi negara

yang maju. Fakta juga menunjukan bahwa negara tetangga kita Malaysia yang

budayanya relatif mirip bangsa kita dan baru merdeka pada tahun 1957 kini jauh lebih

maju dari kita. Dengan demikian kedepan kita tidak terus menghabiskan waktu dan

tenaga untuk merumuskan alasan-alasan klasik untuk bela diri dan lepas dari

tanggung jawab atas kegagalan dalam pengelolaan negara.

Perubahan visi tentang negara dan bangsa tidaklah begitu saja akan menjamin

bahwa bangsa kita akan mampu menata peradabannya dengan lebih baik sesuai

dengan tuntutan jaman, manakala tidak diikuti dengan perubahan sistem

kenegaraannya. Disinilah urgensinya negara segera mempunyai konstitusi yang

sungguh-sungguh teruji obektifitras, rasionalitas dan validitas, serta kebenarannya

minimal secara afeksi oleh bangsa lain. Sehingga kedepan rakyat yang jumlahnya

lebih dari 200 juta tidak lagi dijadikan obyek uji coba sebuah hipothesa yang disusun

oleh siapapun termasuk oleh sekelompok orang yang kebetulan duduk sebagai

anggota MPR. Konstitusi haruslah dibikin oleh sekelompok orang yang benar-benar

ahli dibidang nya, dan itupun harus disosialisasikan kemasyarakat luas terlebih

dahulu secara masif, sebelum disyahkan oleh lembaga negara yang berwenang.

Penyikapan dalam mengembangkan militansi dan nasionalisme

Militansi bangsa sebagai value sudah barang tentu bersifat universal, namun

demikian dalam mengimplementasikannya mutlak diperlukan adanya penyesuaian

terhadap sistem ketata-negaraan dan juga tuntutan perkembangan jaman yang

melingkupi sebuah bangsa. Militansi bangsa dalam kaitan struktural kenegaraan

hanyalah dikembangkan oleh negara-negara penganut paham Fasis dan Agama.

Sedang bagi bangsa yang menganut paham demokrasi, nilai-nilai yang mengkait

patriotisme, kerelaan berkorban dan pantang menyerah otomatis akan lahir berkat

manfaat atas keberadaan negara dalam menghadirkan rasa aman, kesejahteraan dan

kebanggaan sebagai bangsa dan negara.

Bagi bangsa Indonesia persoalan nasionalisme menjadi persoalan yang pelik, hal

ini terjadi akibat proses pertumbuhan dan perkembangannya penuh dinamika dan

81

Page 82: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

pasang surut yang sangat fluxtuatif. Hal ini tidak bisa lepas dari kurangnya

pengintegrasi an dari ketiga unsur pembentuk kadar nasionalisme itu sendiri yaitu

rasa aman, kesejahteraan, dan kebanggaan sebagai bangsa dan negara Indonesia.

Maka hal yang terpenting bagi bangsa Indonesia kedepan adalah bagaimana

membangun Nasionalis me Baru yang secara profer dan hanya diabdikan untuk

kepentingan segenap bangsa dan negara. Nasionalisme kita kedepan bukanlah

nasionalisme yang eksklusif maupun sempit, tapi nasionalisme yang inklusif yang

memegang teguh fatsun serta persamaan hak, keadilan dan harga diri sebagai prinsip

dasar pergaulan internasional. Nasionalisme kita juga bukan nasionalisme yang borju

tapi nasionalisme untuk segenap warga bangsa. baik dalam hubungan individu,

kelompok, maupun dalam kaitan bangsa secara keseluruhan. Untuk itu diperlukan

perubahan vision dari segenap warga bangsa yang dimulai dari elitnya terlebih dahulu

tentang negara, bangsa dan sistem ketata negaraan. Melalui perubahan vision yang

demikian itu, diharapkan akan terjadi perubahan mind set dalam berdemokrasi

termasuk dalam pengelolaan / peng- gunaan militer nya (TNI). Dan untuk

mendukung proses menuju Nasionalisme Baru tersebut bangsa ini perlu merumuskan

kembali sejarahnya secara jujur dan lengkap dari semua aspek yang nyata telah

melingkupi perjalanan bangsa kita dimasa lalu. Sedang untuk menjamin keberhasilan

dalam mewujudkannya, bangsa ini perlu segera merumus- kan sistem kenegaraan

yang benar-benar teruji secara teori dan dijamin kebenarannya / terbukti secara afeksi,

sehingga 200 juta lebih warga bangsa ini tidak terus dijadikan obyek uji coba sebuah

hipothesa sistem kenegaraan yang dirumuskan bukan oleh orang ahli dibidangnya

yang kebetulan duduk sebagai anggota MPR. Sedang hal yang perlu diwaspadai

dalam proses membangun Nasionalisme Baru kedepan ini adalah banyaknya pihak-

pihak yang menggunakan slogan nasionalisme yang sebenarnya hanyalah demi

kepentingan pribadi dan juga golongannya sendiri saja.

Membangun Persatuan dan Kesatuan Indonesia

Kalau kita teliti kejiwaan kita sebagai negara-bangsa dan apalagi bila ditarik

jauh kebelakang ternyata memang banyak yang perlu dibenahi. Faktor sejarah sebagai

salah satu media pewarisan nilai kebangsaan umpamanya, dalam kenyataannya lebih

dominan menampilkan opini daripada fakta. Akibatnya gambaran masa lalu yang

diuraikan sarat dengan kepentingan tertentu tak terkecuali dari pemerintah yang

82

Page 83: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

berkuasa saat sejarah tersebut disusunnya. Dampak ikutan yang tidak bisa dihindari

adalah munculnya sejumlah “kebesaran” dan “kebanggaan” masa lalu yang

sesungguhnya semu. Keterbatasan dukungan data dari situs yang ditinggalkan,

kemudian dikaburkan oleh fantasi dan mistik. Akibatnya “gap” antar yang seharusnya

dan kenyataan dalam kehidupan yang nyata menjadi sangat menganga. Boleh saja

kita dikenal sebagai bangsa yang agamais, namun perilaku kita jauh dari tuntunan

agama yang manapun. Kita dikenal sebagai bangsa yang punya budaya “adhi luhung”,

dalam realitanya diantara kita saling bunuh, saling cakar, saling berebut kekuasaan

dan harta dengan cara-cara yang tidak bermoral sekalipun.

Sejarah untuk episode yang baru beberapa abad silam tentang keberadaan

sebuah negara yang kaya raya dengan peradaban tinggi, namun situs peninggalannya

bukanlah bangunan dari logam mulia, tapi tak lebih sekedar patung-patung dari batu.

Cerita adanya sebuah negara maritim yang kuat dengan wilayahnya melintasi

sejumlah laut dan bahkan lautan, dalam kenyataannya situs yang ditemukan bukan

fosil kapal besar dengan jumlah dayung puluhan, tapi perahu yang dayungnya hanya

beberapa buah saja. Penyusun sejarah juga belum “merdeka” dari pengaruh egoisme

SARA dan kedaerahan, sehingga belum membedakan antara “kebanggaan” dan

“aib”. Untuk sebuah kekuasaan, dalam lingkungan kerajaan silih berganti merebut

kekuasaan dengan saling membunuh. Namun hal yang demikian tidaklah diposisikan

sebagai fakta bahwa moral kekuasaan saat itu sangatlah rendah. Pemaksaan sebuah

nilai yang sesungguhnya hanya berskala lokal menjadi nilai yang berskala nasional

juga terjadi dalam banyak kasus. “Kebenaran” yang dipaksakan tersebut kemudian

secara sadar diwariskan justru melalui proses edukuasi.

Dalam sejarah Majapahit umpamanya, sang penyusun sejarah lantas dominan

beropini seolah sistem kenegaraan begitu idealnya, sehingga patut untuk ditiru dalam

pengelolaan Negara kita kedepan. Sampai-sampai dikalangan TNI pun ada yang

secara terbuka menempatkan salah satu tokoh legendaris di jaman Majapahit dalam

hal ini Gajah Mada sebagai idolanya. Hal ini terjadi karena penyusun sejarah sama

sekali tidak menyampaikan pesan kalau sang tokoh yang satu ini sangat melukai

perasaan saudara-saudara kita utamanya yang berada di Aceh, Jambi dan juga Sunda.

Memang tidak ada yang salah, dan itu syah-syah saja kalau ada yang menokohkan

Gajah Mada, tapi betulkah paham kenegaraan sang tokoh tersebut cocok untuk era

83

Page 84: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

kekinian dan apalagi kedepan. Sudah barang tentu sebagai bangsa penganut paham

demokrasi, tidaklah tepat kalau kedepan kejiwaan prajurit TNI masih diilhami model

tentara Majapahit dengan tokohnya Gajah Mada. Karena Persatuan dan kesatuan

yang akan kita bangun kedepan tidak mungkin dengan cara dipaksakan oleh negara

apalagi dengan menggunakan kekuatan militer. Persatuan dan kesatuan haruslah

diposisikan sebagai sebuah rasa yang lahir dan tumbuh dari tiap individu warga

bangsa, kelompok, golongan dan juga daerah yang secara sadar berkehendak terus

mengikat diri dalam wadah yang satu yang bernama Indonesia.

Begitu pula model trik-intrik dalam pengelolaan negara model kepemimpinan

kerajaan kerajaan dimasa lalu, tidak seharusnya dijadikan nilai yang terus diwariskan.

Pergantian kepemimpinan nasional yang berdarah-darah kedepan tidaklah patut untuk

terulang kembali. Kebutuhan kita kedepan bukan lagi persoalan mempertahankan

seseorang dan atau partai tertentu untuk terus berkuasa.Tapi bagaimana negara-bangsa

ini bisa terus mampu menjaga eksistensi dirinya. Dan kemudian berhasil membangun

peradabannya dengan lebih baik, tak peduli siapa pemimpinnya dan berasal dari

daerah serta partai yang manapun. Lagipula untuk kedepan upaya mempertahankan

seseorang dalam jabatan tertentu apalagi dilevel Presiden haruslah ditempuh melalui

pembuktian kwalitas penampilan diri sebagai pemimpin, bukan dengan cara-cara

yang tidak sehat.

Penggunaan trik-intrik dalam mengelola negara niscaya berisi kebohongan,

fitnah dan adu domba. Disanalah maka dalam penyusunan sejarah integritas

seseorang tokoh haruslah seimbang antara sisi baik dan buruknya dalam artian fakta.

Sementara itu sejarah yang ada secara sengaja telah menghilangkan sisi negatif

kepemimpinan di masa lalu, lebih dari itu bahkan memitoskan. Maka menjadi wajar

kalau sebagian elit bangsa masih menempatkan model “manajemen konflik” sebagai

formula ampuh bila ingin bertahan sebagai pemimpin di bumi Nusantara ini. Sejarah

masa lalu menempatkan kepemimpinan yang ada umumnya luhur, agung, dan hebat.

Tapi realita yang ada negaranya kemudian punah, terpecah belah bukan karena

serangan negara lain, tapi justru disebabkan persoalan internalnya. Dalam era

kemerdekaan pencitraan yang sejenis terus berlanjut, Bung Karno nya baik tapi yang

mengelilingi yang rusak. Suharto nya baik, tapi orang-orang sekitarnya yang bobrok.

Rasanya terlalu sulit bagi bangsa ini untuk mengakui adanya sesuatu yang salah

84

Page 85: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

dalam dirinya. Hal yang terpenting bagi kita kedepan sebelum sistem kenegaraan kita

kuat, yang dibutuhkan bukan persoalan pribadi sang Presiden baik atau buruk, tapi

prestasi apa yang diwujudkan dalam memperkokoh sistem kenegaraan kita ini. Tanpa

memperkokoh sistem kenegaraan terlebih dahulu, membuat ketergantungan kepada

pribadi sang pemimpin terlalu dominant. Hal yang demikian untuk jangka panjang

perjalanan bangsa sangat tidak menguntungkan. Karena lengsernya seseorang

berakibat fatal bagi negara dan juga bagi warga bangsa, seperti yang terjadi pasca

lengsernya Bung Karno dan juga pak Harto. Disanalah pentingnya fungsi aturan main

dalam pengelolaan negara yang diwujudkan dalam sebuah konstitusi, agar ukuran

benar-salah, baik-buruk bukan lagi opini, tapi terukur secara baku oleh aturan main

yang telah disepakati bersama. Melalui penataan konstitusi yang terus menerus

diharapkan nilai-nilai yang baik bisa diteruskan, sedang kesalahan dan kelemahan

yang pernah terjadi dimasa lalu tidak diulangi dimasa depan.

Sangat disayangkan untuk saat ini model manajemen konfik dalam

pengelolaan negara sepertinya belum diposisikan sebagai aib bersama. Kasus yang

masih sangat relevan adalah rangkaian kekerasan yang ujungnya Jakarta kebakar

menjelang jatuhnya pak Harto. Banyak elit bangsa dan bahkan negara sendiri memilih

mengambangkan persoalan, kasus yang mestinya menjadi domain hukum malah

secara konstitusional ditarik dalam wilayah politik. Penentuan terjadi atau tidaknya

pelanggaran Ham malah melibatkan DPR, padahal di negara manapun didunia ini

dipastikan menempatkan persoalan pelanggaran Ham pada wilayah hukum. Negara

yang mestinya menjelaskan kepada rakyat tentang apa yang sebenarnya yang terjadi.

Malah secara sengaja membikin agar semuanya kabur, emang-remang dan tidak jelas.

Karena akal sehat akan mempertanyakan: “Apakah tujuan akhir rangkaian kasus

tersebut hanya untuk membakar Jakarta” atau “untuk menjatuhkan pak Harto”

ataukah “untuk tujuan yang lain”. Bukankah diantara anak bangsa yang kritis akan

memunculkan pertanyaan: “Kalau saja tujuan akhirnya untuk menjatuhkan pak Harto,

adakah saat itu kekuatan yang superior dari pak Harto dengan ABRI dan Golkar

nya”. Begitu pula kalau kerja besar yang terkodinir tersebut hanyalah pekerjaan iseng

sekedar membakar Jakarta. Disanalah maka trik dan intrik dalam pengelolaan negara

harus disudahi untuk selamanya. Tanpa kemauan kuat semua pihak untuk

mengakhirinya, maka konflik horisontal disejumlah daerah akan terus terjadi dengan

85

Page 86: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

mulusnya. Atas nama agama diatara kita kemudian saling membunuh, saling

membakar dan saling menghancurkan tak ubahnya seperti bangsa tak beradab.

Penyelesaian konflik kemudian lebih diserahkan kepada para pemuka agama dan

tokoh masyarakat, dan negara lalai untuk menjelaskan secara transparan masalah

yang sebenarnya, sehingga kedepan rakyat tidak mau diadu domba oleh siapapun.

Dampak yang terjadi adalah pergeseran legitimasi publik dari negera kepada tokoh

agama dan juga tokoh masyarakat. Dari sanalah maka persoalan stabilitas tidak lagi

menjadi terukur, dan kemudian negara pun kehilangan wibawa nya.

Manajemen konflik bukan tidak perlu untuk kita pelajari terlebih bagi TNI dan

lebih khusus untuk lingkungan intelejen, tapi penerapannya haruslah dibatasi pada

kondisi tertentu saja yaitu saat eksistensi negara dan bangsa nyata-nyata terancam

adanya. Karena yang menanggung akibat secara langsung bukanlah mereka yang

berkuasa, tapi rakyat kebanyakan dan bahkan peradaban bangsa juga menjadi sangat

terancam untuk punah.

Begitu pula tentang pembentukan karakter bangsa, melalui dongeng orang tua

kepada anak sebelum tidur yang umumnya menonjolkan kepahlawanan dari

lingkungan kerajaan. Dampak yang tidak mungkin dihindari adalah proses

penanaman budaya feodal kepada generasi penerus. Memang tidak berarti seluruh

aspek budaya feodal akan menjadi kendala dalam pembangunan kejiwaan bangsa,

namun demikian persoalan pemasungan kreatifitas dan akal sehat, hilangnya

keberanian untuk senantiasa “tablig” jangan sampai subur karena sisi negatif dari

budaya feodal. Lebih parah lagi ketika tayangan di TV kemudian lebih menonjolkan

aspek mistik dan juga “jalan pintas”, maka kembali lagi anak bangsa ini dicekoki oleh

nilai-nilai yang tidak rasional, dan kurangnya berpikir konseptual jangka panjang.

Disisi lain paham tentang agama yang dibungkus dalam tayangan sinetron cenderung

lebih kepada mistik dan kurang menonjolkan pentingnya berpikir dan bekerja keras.

Dalam perjalanannya sebagai negara-bangsa terlebih di era Orde Baru,

persoalan rasa ke Indonesia an bukan dibangun dari bawah dengan menumbuhkan

kecintaan segenap warga bangsa tanpa kecuali kepada negara nya, yang terjadi

sebaliknya negara malah memaksakannya. Dan kemudian anak bangsa yang tidak

menjaga persatuan dan kesatuan menurut versi pemerintah, ditindas bahkan disertai

dengan jatuhnya korban jiwa dalam jumlah tidak sedikit. Elit dan rezim yang

86

Page 87: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

berkuasa tidak menghitung besarnya dampak ikutan dari sisi kejiwaan pihak korban

dan juga keluarga. Kejiwaan yang tidak sehat ini pada jangka panjang utamanya pada

kondisi tertentu serta merta berubah menjadi budaya amuk. Gambaran yang seperti

itulah yang terjadi menjelang lengsernya pak Harto, disamping pula adanya kekuatan

yang merekayasa untuk terjadinya kerusuhan sosial itu sendiri.

Sebagaimana pendahulunya Orde Baru kemudian jatuh dalam bentuk krisis

nasional yang lebih parah daripada krisis yang terjadi diujung kekuasaan Orde Lama.

Namun elit bangsa ini kembali tidak mencoba mengenali anatomi penyebab terjadinya

krisis yang berulang tersebut. Elitnya terlebih lingkungan Partai kemudian terjebak

pada political game dalam berebut kekuasaan. Bahkan yang lebih parah lagi, sekedar

membangun kesadaran publik untuk menilai bahwa sistem kenegaraan yang ada gagal

saja belum sempat ditempuhnya. Padahal di banyak negara tak terkecuali pada

negara-negara eks komunisme pekerjaan pertama yang dilaksanakan kaum elitnya

adalah memberi penilaian bahwa sistem kenegaraan yang ada gagal. Dan karenanya

perlu menggantinya dengan sistem kenegaraan yang baru. Dengan sistem

kenegaraannya yang baru mereka kemudian bangkit dengan cepatnya, dan ada pula

yang segera kembali menjadi negara kuat.

Kondisi tata kehidupan yang begitu mengenaskan, dan persoalan kejiwaan

yang serba tidak menguntungkan seperti gambaran tersebut diatas juga tidak lepas

dari keterlambatan pak Harto dalam merespond perubahan lingkungan strategis yang

berkembang saat itu. Dampak yang tidak bisa dihindari “bargaining position”kita

menjadi sangat lemah dalam membela dan memperjuangkan kepentingan nasional di

forum internasional. Bahkan sekedar penyikapan secara baik agar kepentingan

nasional tidak dirugikanpun menjadi sangat sulit. Bagaimanapun saat semuanya

lemah, otomatis membuat posisi tawar bangsa ini juga begitu rendah. Dan karena

sedang dilanda disorientasi (kebingungan) maka menjadi lumrah kalau keputusan

yang diambilpun banyak kelirunya dari pada benarnya. Disanalah maka Tim-Tim

lepas, Sipadan dan Ligitan dipaksa dikeluarkan dari peta Indonesia, penyelesaian

Aceh dengan melibatkan pihak internasional, tekanan internasional dalam persoalan

Ham, dan banyak hal lainnya termasuk dalam persoalan ekonomi. Dan kemudian saat

negara-negara Islam sendiri begitu pedulinya untuk memerangi terorisme, kita ramai-

ramai mencoba menarik persoalan terorisme kedalam wilayah agama (Islam). Saat

87

Page 88: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

bangsa-bangsa lain termasuk negara-negara Islam menempatkan persoalan sejumlah

kasus Timur Tengah seperti yang terjadi di Palestina, Libanon dan penyerbuan

Amerika ke Irak sebagai kasus kenegaraan dan atau teritorial, bangsa kita sangat

bersemangat untuk menempatkan persoalan tersebut kedalam wilayah agama (Islam).

Lupa atau sengaja lupa kalau bangsa Palestina dan juga Libanon beragama campuran

dengan perbedaan yang tidak terlalu signifikan. Sedang soal penyerbuan ke Irak,

sejumlah negara Islam malah membantu Amerika. Semua ini bukti bahwa dalam

kasus Timur Tengah sama sekali bukan persoalan agama. Demo menentang sikap

Amerika yang menyerbu Irak memang terjadi dibanyak negara, tapi yang bergeser

menjadi persoalan agama barangkali hanya di Indonesia.

Disanalah pentingnya kita mengubah penampilan diri diforum internasional agar

penyikapan kita minimal tidak lagi merugikan kepentingan nasional, syukur bisa

menguntungkannya. Dan perubahan yang demikian itu baru mungkin kalau didahului

oleh perubahan visi elit bangsa atas keberadaan diri sebagai negara-bangsa dalam tata

kehidupan internasional.

Pentingnya perubahan mind set dalam membangun Persatuan dan

Kesatuan.

Saat bangsa ini sarat dengan masalah, dan realitanya diantara anak bangsa

dalam jumlah yang tidak kecil mengalami “luka dan cidera” yang begitu

menyakitkan, bahkan penderitaan hidup yang begitu berat terus saja menghimpitnya,

sakit hati dan dendam kesumat belum juga terbalaskan, menjadi aneh kalau

ditanggapi oleh sebagian elit negeri ini dengan ajakan untuk “melupakan masa lalu

dan menatap masa depan”. Segenap warga bangsa kemudian diingatkan untuk

kembali bersatu padu membangun persatuan dan kesatuan. Ajakan yang demikian

tidak salah, cuma barangkali perlu dilengkapi dengan sedikit rasa kemanusiaan dan

sentuhan nurani.

Dalam artian sebagai “goal” ajakan yang demikian sangatlah cocok, dan

bahkan harus ditempatkan sebagai kebutuhan bersama. Karena hanya dengan

melupakan masa lalu bangsa ini segera bangkit mengejar ketertinggalannya,

setidaknya agar tidak kehabisan tenaga dan waktu akibat terus mempermasalahkan

masa lalu. Barangkali semua pihak sepakat bahwa tanpa persatuan dan kesatuan,

sekuat apapun kita akan menjadi tercerai berai. Tapi ajakan, sikap dan pendirian untuk

88

Page 89: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

“melupakan masa lalu” dalam artian sebagai “cara” ataupun “proses” jelas sangat

tidak arif dan agak jauh dari sifat “amanah” maupun “fathonah”. Dan hampir pasti

ajakan tersebut keluar dari elit yang tidak mau tahu atau mungkin tidak jujur dalam

melihat realita kehidupan masa lalu kita. Mereka yang telah lama begitu menderita

akibat kekejaman Negara diera Orde Baru, mereka yang telah kehilangan anggota

keluarga, mereka yang cacat phisik dan psychis akibat perlakuan negara dimasa lalu,

mereka yang selama ini telah kehilangan kesempatan untuk hidup layak, mereka yang

selama ini hidup tanpa harga diri, harkat dan martabat sebagai layaknya, lantas tanpa

proses apapun begitu saja diminta melupakan masa lalu. Ajakan tersebut menjadi

sangat menyakitkan, karena yang mengajak adalah pelaku atau bagian dari pelaku

yang telah menyebabkan semua itu terjadi dan menimpa diri mereka. Disisi lain

Pelaku Utama yang lainnya pun masih ada didepan mata dengan segala kejayaan,

kemewahan dan kenikmatan duniawi serta status sosial yang tinggi berkat kekayaan

yang berlimpah hasil KKN. Mereka yang telah membuat Lingkungan hidup yang

begitu rusak, hutan yang menjadi gundul, kekayaan alam yang habis terkuras, hutang

negara yang begitu besar kini hidup dengan segala hak-hak istimewanya. Sementara

mereka yang termaginalkan karena pembangunan, rakyat disekitar tambang dan hutan

kini hidupnya menjadi lebih susah, mereka yang terjangkit penyakit akibat kerusakan

lingkungan hidup serta endemi karena kemiskinan dengan entengnya diminta

melupakan masa lalu. Disinilah pentinganya perubahan “mind set” dari para

penyelenggara negara dan sekaligus mengubah madzab berpikir yang lebih

mengedepankan sifat “sidiq”, rasa kemanusiaan, keadilan, kejujuran serta berhenti

dari kebohongan dan kemunafikan.

Pemahaman uraian pada alinea tersebut diatas, bukan berarti kita segera menggalang

kaum miskin untuk bangkit bersatu melawan anggota rezim Orde Baru dan siapapun

yang terafiliasi, sebagaimana model yang biasa dipakai dilingkungan negara penganut

paham komunisme. Dan janganlah pula kita mengulangi cara-cara Orde Baru yang

kemudian “menghabisi” kekuatan Orde Lama dan juga lawan-lawan politik lainnya

dengan cara memberi stigma bahwa meraka adalah musuh negara dengan cap Ekstrim

Kanan (EKKA), Ekstrim Kiri (EKKI) dan Ektrim Lain (EKLA).

Sesungguhnya banyak negara telah melakukan hal-hal baik yang bisa kita

jadikan contoh dalam menyelesaikan persoalan masa lalu. Karena hanya bangsa yang

89

Page 90: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

bisa memisahkan dengan membuat garis batas yang tegas antara tanggung jawab

masa lalu dan tanggung jawab masa depan lah yang akan bisa memulai membangun

peradaban barunya. Artinya segala persoalan masa lalu haruslah diselesaikan terlebih

dahulu secara tuntas, agar tidak membebani masa depan. Secara kebetulan pula

bangsa kita adalah bangsa pelupa dan sekaligus pemaaf. Dan sesungguhnya persoalan

untuk memisahkan kedua tanggung jawab tersebut bukanlah pekerjaan yang susah

susah amat dan bukan pula kategori yang mustahil. Model yang bisa ditempuh untuk

maksud tersebut biasa dikenal dengan istilah rekonsiliasi atau islah. Melalui proses

ini segala kesalahan masa lalu haruslah diakui apa adanya, dan kemudian dimaafkan.

Warga negara yang manapun dilindungi untuk menjadi saksi dengan segala

kejujurannya tanpa resiko hukum apapun. Dengan demikian persoalan masa lalu bisa

secara terang benderang dirumuskan secara apa adanya. Dan kemudian penyelesaian

pertanggung jawaban atas kesalahan masa lalu tidaklah harus seluruhnya melalui

jalur hukum. Dengan demikian akan muncul ketulus-iklasan dari mereka yang dimasa

lalu menjadi korban untuk memaafkan dan sekaligus melupakannya. Negara

kemudian memberi konpensasi sebagai ganti rugi atas perlakuan negara yang dimasa

lalu merugikan dirinya.

Sedang penyelesaian kasus KKN, ditempuh dengan kebijakan negara yang

mewajibkan mereka yang terlibat KKN dimasa lalu dengan mengembalikan kekayaan

hasil KKN nya, dengan menyisakan sebagian untuk kehidupan dan penghidupan

yang layak bagi pelaku KKN itu sendiri. Karena bagaimanapun mereka bisa terlibat

dalam KKN karena adanya kesempatan dan fasilitas yang diberikan oleh negara saat

itu. Mereka yang terlibat dalam KKN selanjutnya dijamin dengan predikat bebas

KKN termasuk bagi keturunannya. Dan sebaliknya mereka yang tidak mau jujur apa

adanya, maka negara menghukum melalui proses peradilan dan kepadanya diberi

sanksi tidak bisa menggunakan jasa per bank an termasuk keturunannya yang ikut

menikmati hasil KKN tersebut. Sehingga mereka yang membandel otomatis tidak bisa

mengolah dan apalagi membangun kekuatan ekonomi dari kekayaan hasil KKN nya

termasuk keturunannya.

Memang untuk melaksanakan proses ini perlu pemimpin yang kuat, agar

semua pihak baik pelaku maupun korban mempunyai tumpuan dan harapan yang

sama yaitu sebuah kepastian hukum dan ditegakkannya keadilan. Dengan demikian

90

Page 91: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

segenap pihak utamanya para saksi dan terlebih mereka yang bersalahpun tidak perlu

takut. Keadaan menjadi serba ruwet dan repot, karena sang pemimpin yang ditunggu-

tunggu sebagai “Satrio Piningit” tak kunjung datang. Dalam kaitan rekonsiliasi

mungkin yang perlu diubah adalah tafsir tentang “Satrio Piningit” yang tidak lagi

dalam wujud satu orang, tapi lembaga dalam bentuk “ad hoc” yang terdiri dari orang-

orang yang integritasnya tinggi dan teruji. Dengan demikian yang diperlukan oleh

bangsa ini adalah sedikit kesabaran untuk menunggu lahirnya niat dan kemauan para

petinggi republik ini untuk mau segera menutup buku sisi gelap masa lalu dengan

membentuk Panitya Islah. Dalam kenyataannya elit bangsa ini terkendala akibat

belum siapnya Undang-undang . Disanalah kita perlu sharing pemikiran, karena

dalam pengelolaan negara ada kekuatan lain disamping persoalan Undang-undang

yaitu legitimasi. Dan dalam banyak hal persoalan legitimasi justru jauh lebih kuat

daripada Undang-undang. Sangatlah sulit warga bangsa yang manapun akan

menyalahkan keputusan negara dalam hal pembentukan Panitya Rekonsiliasi.

Bukankah sejumlah negara bisa melaksanakan tanpa menunggu lahirnya Undang-

undang dan bahkan jauh diabad keenam Nabi Besar Muhammad Rosulullah telah

mencontohkan islah dalam kasus pelanggaran Ham yang dikerjakan oleh pasukan

Chalid Bin Walid.

Adalah hal yang manusiawi kalau mereka yang dimasa lalu bermasalah ingin

lepas dari kejaran hukum. Mereka juga perlu memperoleh kepastian atas masa

depannya. Maka sangatlah wajar kalau diantara mereka memilih agar proses

destabilisasi dan delegitimasi pemerintahan yang manapun terus berlangsung. Dengan

demikian kondisi disorientasi yang melanda bangsa terus berlarut, dan supremasi

hukum makin menjauh. Karena hanya dengan pemerintahan yang lemahlah mereka

akan selamat dari segala tanggung jawab hukum. Partai-partai politik kemudian

mereka masuki, hukum kemudian secara terang terangan mereka beli, sudah barang

tentu dengan uang hasil KKN. Dan mesin pembuat opini khususnya media otomatis

akan mereka miliki dan kendalikan. Maka masalah demi masalah yang mengkait

keamanan, kemanusiaan dan juga kebangsaan akan terus diciptakan. Proses ini

terkadang justru keluarnya lewat kebijakan Negara dan atau Partai yang bisa dijadikan

alat mereka. Disanalah maka hal-hal lucu dan aneh terus bermunculan, saat bangsa

sedang prihatin karena musibah bencana alam yang terus beruntun justru yang

91

Page 92: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

digulirkan adalah RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Sejumlah kasus internasional

yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama, kemudian diangkat seolah

bangsa ini rela mati untuk bangsa lain (jihad), sementara saudara-saudara sebangsa

dan setanah air dan juga seagama diwilayah lain yang terkena bencana alam dibiarkan

begitu saja. Begitu pula dalam hal keamanan, tanpa tujuan yang jelas yang penting

terus ada masalah. Disanalah maka sejumlah rentetan Bom meledak dimana-mana tak

terkecuali di Bali. Dengan jelas kasus-kasus yang terjadi sulit dicerna oleh akal sehat,

karena antara motivasi / tujuan yang dinginkan dengan modus operandi tidak masuk

logika. Proses yang sistematis ini semuanya persis tahapan / langkah-langkah

yang diajarkan paham komunisme dalam mematangkan keadaan untuk

“merebut” kekuasaan. Hal yang terpenting dalam memahami hal tersebut diatas

janganlah menggunakan paradigma lama, sehingga langsung memvonis bahwa

Partai, Ormas atau LSM tertentu yang condong ke “kiri” sebagai pelakunya. Kalau

tahapan konsolidasi mereka masih sebatas unjuk identitas, sama sekali belum

berkemampuan dan apalagi siap untuk “merebut” atau setidaknya “mendominasi”

kekuasaan maka “tuduhan” tersebut sama sekali tidak beralasan, bahkan bisa saja

tergolong fitnah. Ibarat orang punya hajat menikahkan anak, Akad nikah belum tentu

dirumahnya sendiri. Dan belum tentu pula si pemilik gedung berarti ia yang punya

hajat. Walaupun dalam kondisi tertentu memang yang punya gedung adalah yang

punya hajat itu sendiri. Disanalah pentingnya melihat anatomi bangsa secara jujur,

dalam, dan konprehensif sehingga mudah untuk mengetahui siapakah sang “shaibul

hajat” yang sebenarnya.

Dalam hitungan paling lama satu dekade saja, bangsa ini akan jenuh dengan

keadaan yang dihasilkan oleh kehidupan kenegaraan yang terus “limbung” selama era

reformasi. Dan disanalah nanti kekuatan lama yang bermasalah tampil kembali

dipanggung kekuasaan tanpa harus ganti wajah sekalipun. Saat itu nanti kekayaan

yang diperoleh dengan KKN dimasa lalu termasuk dari lingkungan birokrasi sipil dan

militer otomatis berubah status menjadi putih bersih tanpa cacat. Dan diantara mereka

akan tampil sebagai pahlawan yang begitu berjasa dalam membangkitkan kembali

negara dan bangsa kita dari keterpurukan yang selama ini terus berlarut.

Manapun skenario perjalanan sejarah yang akan dilintasinya kelak secara

politik syah adanya, namun pokok persoalan yang mendasar adakah jaminan kelak

92

Page 93: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

setelah kekuatan lama yang bermasalah kembali berkuasa tidak lagi mengulangi

penampilan lamanya. Disanalah pentingnya perubahan “mind set” kita sebagai

bangsa, agar pilihan yang manapun lintasan yang bakal dilewati bangsa ini tidak perlu

mengulangi kesalahan dan kelemahan masa lalunya. Dengan demikian perjalanan

sejarah yang manapun eksistensi negara-bangsa kita bisa tetap utuh, dan bangsa ini

segera memulai membangun peradaban barunya. Perubahan “mind set” tersebut juga

menjadi mendasar, agar elit bangsa ini secara sadar mengubah penampilannya

sehingga dikalangan publik muncul setitik harapan baru. Bila saja rakyat banyak

terus “hopeless”, bisa saja kelenturan kita sebagai negara-bangsa akhirnya melampau

batas maksimal yang ikutannya Indonesia akan menjadi terpecah belah. Yang pasti

bila Indonesia pecah, bagi mereka yang bermasalah justru sebagai kesempatan emas.

Dengan kekuatan kapital hasil KKN nya mereka akan menjadi “penguasa” dibanyak

negara baru eks Indonesia. Dan yang pasti terjadi, bersama hancurnya Indonesia

mereka yang dimasa lalu bermasalah menjadi bebas dari tuntutan hukum.

Untuk mencegah Indonesia terpecah belah, logikanya negara akan

menggunakan alat kekuasaannya dalam hal ini TNI. Dan berkat penampilan TNI bisa

saja keutuhan Indonesia bisa dipertahankan. Namun bila Negara tidak segera

mengubah penampilannya dari model lamanya, kondisi yang berkembang akan

mengantar kita masuk dalam tahap krisis yang permanen sebagaimana negara-negara

miskin di Afrika. Disana nanti jangan kan elit bangsa sendiri akan mampu

mengatasinya, turun tangannya PBB dengan berulang kalipun selalu gagal.

Dalam kaitan ini yang mendasar adalah penampilan negara untuk tidak merugikan

orang perorang warga bangsa, kelompok, golongan dan atau daerah manapun. Karena

tidaklah mungkin rasa persatuan dan kesatuan sebagai Indonesia bisa diwujudkan bila

nyatanya justru negara lah yang terus merugikan warga bangsa, kelompok dan atau

golongan ataupun daerah tertentu. Rasa persatuan dan kesatuan otomatis akan

tumbuh dan berkembang manakala negara mampu menghadirkan manfaat,

keuntungan dan kemudahan bagi dirinya, kelompok dan golongannya, dan bahkan

bagi daerahnya dalam kehidupan kesehariannya baik berupa perlindungan, fasilitas,

dan bahkan kebanggaan sebagai warga negara-bangsa Indonesia.

Begitu pula dalam kaitan tata pergaulan internasional, kejiwaan kita tidak bisa

lagi terus merujuk pada cara-cara yang dikembangkan selama ini. Persoalan

93

Page 94: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

kemanusiaan yang tidak mengenal batas negara, tidak bisa lagi ditampik. Turun

tangannya bantuan internasional dalam menolong korban tsunami Aceh akhir tahun

2004 adalah bukti yang tak terbantahkan. Perdagangan bebas dunia tidaklah mungkin

kita hindari lagi kecuali kita akan berubah menjadi negara tertutup, dan itupun

mustahil. Dan banyak lagi contoh yang bisa kita tampilkan sebagai bukti bahwa kita

hanyalah salah satu warga dunia, maka tidaklah mungkin kita mengelak dari aturan,

mekanisme dan juga fatsun pergaulan dunia.

Perubahan “mind set” yang demikian menjadi penting, sehingga dalam mensikapi

kepentingan nasional di forum internasional kita digolongkan sebagai bangsa beradab,

berpegang teguh pada kebenaran, konsisten dan tidak munafik. Dengan cara ini

kedepan tidak terjadi saat di ruangan DPR menyetujui untuk pinjam dana untuk

memenuhi kebutuhan APBN kepada pihak tertentu, Tapi diluar DPR ramai-ramai

menghujat sang kreditur. Dan saat keluarga besar sang kreditur justru datang lebih

awal dalam memberi bantuan kepada saudara-saudara kita di Aceh yang terkena

musibah, ramai-ramai pula memuji mereka, dan menyalahkan Pemerintah sendiri

yang terlambat menanganinya. Semua elit sepakat bahwa peri kemanusiaan adalah

sendi kehidupan negara bangsa kita, namun pada saat yang sama pula, kita terus

mengambangkan tuntutan kaum ibu yang kehilangan anak karena perilaku negara.

Dan saat internasional menekan soal penyelesaian pelanggaran Ham, kembali lagi

sebagai bangsa kita seolah tidak paham bahwa perikemanusiaan terkait erat dengan

Ham. Saat Bom meledak dimana-mana dan kemudian otoritas negara mencoba

mengejarnya, sebagian dari elit bangsa ini mencoba memasukkan persoalan terorisme

kedalam wilayah agama. Hal-hal yang demikian sangat aneh dan tidak masuk logika

bangsa-bangsa yang beradab dibelahan bumi yang manapun. Dan ketika ada “travel

warning” dari salah satu negara kembali lagi elit yang sama pula ramai-ramai marah,

dan sebagian lagi memilih diam.

Prioritas program dalam membangun Persatuan dan Kesatuan

Pada saat negara-bangsa ini menghadapi masalah yang begitu berat dan

ketidak pastian yang sangat tinggi seperti yang kita alami saat ini, sementara itu kita

juga belum mempunyai nilai andalan yang mampu menjamin persatuan dan kesatuan,

maka persoalan yang mendesak yang perlu kita kerjakan adalah:

94

Page 95: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Pertama, Pembuktian bahwa negara ini masih ada dan memberi manfaat bagi warga

bangsa khususnya bagi daerah-daerah yang dilanda masalah kemanusiaan. Disanalah

maka otoritas negara harus nampak dengan jelas. Sebuah konflik horisontal dengan

motif agama didaerah yang kecil, tidak bisa terus dibiarkan dan apalagi dipelihara

baik oleh negara dalam kerangka membendung dan mengubah “kekuatan” yang

arahnya menuju keatas (Vertikal) menjadi kekuatan yang arahnya kesamping

(horisontal). Ataupun oleh kekuatan diluar negara, tegasnya kekuatan masa lalu yang

bermasalah yang memang mempunyai berbagai jaringan begitu kuat dan dukungan

finansial yang tak terbatas, agar proses destabilisasi terus berlanjut. Yang manapun

kekuatan tersebut berasal, untuk menyelesaikan konflik horisontal hanya ada satu

formula ampuh yaitu membangun kesadaran publik setempat agar tidak mau diadu

domba lagi oleh siapapun. Karenanya publik perlu diberi penjelasan secara terbuka

atas akar masalah yang sebenarnya, yaitu sebuah rekayasa eksternal dari kelompok

tertentu dan bukan karena persoalan lokal setempat. Adalah bohong besar kalau

senjata dengan jumlah yang tidak kecil dan manusia yang begitu banyak yang terlibat

dan dilibatkan dalam konflik horisontal murni berasal dari internal masyarakat

setempat. Dengan proses hukum ataupun dengan cara lain “islah” umpamanya, negara

haruslah menelusuri asal usul senjata secara tuntas agar rakyat setempat memahami

dengan pasti. Sudah barang tentu setelah semuanya gamblang, darimana asal usul

senjata yang digunakan, dan Siapa yang mengorganisir ratusan bahkan ribuan

manusia non penduduk setempat yang terlibat atau dilibatkan dalam konflik yang

terjadi selama ini otomatis akan melahirkan kesadaran publik dikedua belah pihak

yang selama ini bertikai. Disanalah negara yang dilengkapi berbagai otoritas harus

menampakan keberadaannya dan sekaligus kegunaannya.

Dan hal yang sejenis adalah penampilan Negara dalam menangani bencana

alam yang melanda bagian wilayah kita yang manapun.

Kedua, Melaksanakan rekonsiliasi atau islah atas semua masalah pelanggaran Ham

dan juga KKN yang terjadi dimasa lalu. Sesungguhnya kalau saja kesadaran publik

atas pentingnya rekonsiliasi atau islah telah tumbuh, niscaya semua pihak akan

menyambut program rekonsilasi atau islah dengan terbuka tanpa kecurigaan apapun.

Rekonsiliasi dengan warga bangsa Timor Letse juga perlu segera dilaksanakan agar

kita tidak terus dijadikan bulan-bulanan opini publik internasional. Dengan cara ini

95

Page 96: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

maka segala persoalan pelanggaran Ham termasuk pelanggaran Ham Tim-Tim dan

juga kasus Munir dapat ditutup dengan segala ketulus iklasan semua pihak demi masa

depan bersama.

Ketiga, reformasi birokrasi. Begitu buruknya penampilan birokrasi pemerintahan,

akan membuat kepercayaan publik kepada lembaga-lembaga pemerintahan menjadi

sangat rendah. Persoalan korupsi, pungutan liar dalam pelayanan publik, penggelapan

atas pemasukan negara dan mafia hukum akan membuat kesamaan penderitaan bagi

rakyat banyak. Sehingga pada saatnya nanti, utamanya saat terjadi turbulance

kebencian publik akan terlampiaskan dengan menempatkan lembaga pemerintah

sebagai sasaran amuk massa.

Disanalah pentingnya Pemerintah secepatnya melaksanakan reformasi

birokrasi pemerintahan dengan sungguh-sungguh. Karena bila saja budaya amuk

sempat mewujud lagi, persoalan persatuan dan kesatuan kita sangat dipertaruhkan.

Dengan mudahnya daerah-daerah tertentu akan memisahkan diri dari republik

tercinta. Untuk mencegahnya maka TNI pun dalam waktu dekat sesegera mungkin

mengubah diri, menjadi kekuatan “deterent” yang sangat diperhitungkan oleh

siapapun dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara. Perwujudan TNI yang

demikian jelas bukan wujud TNI yang dahulu. Karena rakyat yang manapun sudah

tahu bahwa realitanya TNI dimasa lalu tak bisa berbuat banyak utamanya disaat-saat

kritis seperti yang terjadi ditahun 1998 dan juga rentetan kasus setelahnya.

Keempat, Menyusun UUD Baru. Mengingat arsitektur sistem kenegaraan kita sangat

rapuh, maka diperlukan kesadaran publik utamanya dilingkungan elit untuk segera

membentuk aturan main yang mampu menjamin terbentuknya sistem kenegaraan

yang kokoh dan kuat. Sistem negara yang demikian akan menempatkan semua konflik

yang terjadi dalam dinamika pengelolaan negara berada ditingkat operasionalisasi

pemerintahan, sehingga tidak menyentuh persoalan eksistensi negara. Memang betul

dalam kondisi yang serba tidak ada kepastian seperti yang melingkupi kita pasca

lengsernya Pak Harto, yang terpenting adalah tampilnya pemimpin yang kuat untuk

membentuk sistem kenegaraan yang benar, baik dan kuat. Pokok persoalan yang

terjadi, siapapun pemimpin yang tampil dengan talenta sekuat apapun akan

terbelenggu oleh jebakan sistem yang dibuat Orde Baru dan lebih rancu lagi oleh hasil

amandemen UUD-45. Persoalan Korupsi umpamanya, jelas-jelas karena sistemnya

96

Page 97: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

yang korup. Siapapun yang menjabat, tanpa kehendak untuk mengubah sistem niscaya

akan larut juga dalam korupsi. Kekuatan sitem demokrasi presidensial kemudian

dimandulkan oleh kekuatan sistem parlementer sebagaimana hasil amandemen UUD-

45. Bahkan UUD-45 yang asli membenarkan seorang Kepala Negara bisa dijatuhkan

oleh lembaga yang bernama MPR, tanpa kita pertanyakan darimana sumber legitimasi

/ otoritas yang dipunyai oleh MPR untuk menjatuhkan Presiden. Maka sebagaimana

yang dicontohkan pak Harto, pemimpin yang kuat haruslah dimulai dengan

perubahan sistem. Karenanya bisa dipahami kalau ditahun pertama, kedua dan juga

ketiga pak Harto belum banyak bersikap. Dan saat mulai menunjukkan identitas dan

talenta diri sebagai seorang militer yang kuat pekerjaan pertama pak Harto adalah

memasukkan ide dan gagasannya kedalah sistem kenegaraan. Disanalah maka publik

kemudian merasakan adanya harapan baru, dan lebih dari itu semua gagasannya

kemudian dijelmakan sebagai bagian dari sistem kenegaraan. Dan untuk membangun

sistem kenegaraan yang demikian itu, hanyalah mungkin manakala Negera

membentuk sebuah badan yang independen yang terdiri dari orang-orang yang paham

dan mengerti sistem kenegaraan dalam visi global.

Kelima, pembangunan karakter bangsa. Kelak setelah kita mampu melewati tahap

kritis, maka sejumlah masalah yang berkaitan dengan model pewarisan nilai-nilai

bangsa utamanya sejarah haruslah dibenahi / diluruskan. Kedepan pembangunan

karakter bangsa menjadi utama karena salah satu pondasi yang mendasar dalam

membangun persatuan dan kesatuan bangsa adalah karakter bangsa. Terabaikannya

pembangunan karakter bangsa di era Orde Baru bukanlah sebuah kealphaan ataupun

keteledoran, tapi memang tuntutan dari sistem kenegaraan yang berlaku saat itu

tidaklah mungkin membangun karakter bangsa. Untuk itu hal yang terpenting adalah

dukungan sistem rekruitmen kader yang tidak lagi tertutup, tapi benar-benar terbuka.

Dengan demikian pemimpin yang berhasil lolos sampai ketingkat elit memang benar-

benar yang bermutu tinggi, dan sebaliknya pemimpin yang mutunya rendah akan

berjatuhan sejak awal.

97

Page 98: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Bab Keenam

TNI DALAM KERANGKA SISTEM DEMOKRASI

Pada bagian ini, penulis ingin membahas secara spesifik tentang reformasi TNI

dalam konteks politik demokrasi di Indonesia. Berhubung apa yang penulis paparkan

pada bagian ini lebih pada langkah-langkah penataan yang praktis dan sedikit banyak

konseptual, maka diperlukan penambahan analisis dari sudut pandang teoritis-ilmiah

sehingga pada bagian awal penulis merasa perlu memasukkan analisis Sunardi dan

Boni Hargens dari Universitas Indonesia secara utuh. Dua tulisan yang membuka bab

ini, akan menjadi acuan teoretis untuk memahami kelanjutan analisis saya di bagian

setelahnya.

Militer, Politik , dan Demokrasi dalam Amatan Teoritis.

Oleh Sunardi45

Kalau ada sisi yang tak terusik dalam analisa teori sistem politik yang di

kemukakan David Easton, barangkali itulah militer. Entah karena pengamatannya

dikerangkakan dalam konteks tradisi politik Amerika bahwa militer adalah bagian

dari birokrasi negara, atau entah karena ia terpukau dengan dalil bahwa setiap

perbuatan atau tindakan yang merusak sistem politik adalah bersifat anti politik,

yang jelas tampaknya bahwa ia bukan saja tidak membayangkan militer sebagai

suatu kekuatan vital negara yang ke terkaitan peran sertanya di dalam negara

bersifat longgar, tapi juga tidak memperkirakan kelompok profesional itu akan

45 Dosen Senior di Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia.

98

Page 99: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

dan dapat menggerakkan aksi-aksi, termasuk revolusi, untuk mengancam

kelangsungan sistem politik yang ada.

Padahal menurut catatan, Victor Hugo sudah sejak paruh kedua abad ke-19

mengguratkan perilaku militer dalam menjatuhkan monarki Francis 1851 dalam

karya 'Napoleon si Kontet yang diterbitkan di London 4 Agus-tus 1852. Atau

bahkan kata-kata: staatsstreich, colpo di Stato, golpe deestado, atau coup d'Etat,

telah ada se-belum kata coup masuk dalam perbendaharaan kata Inggris. Kendati

kata-kata itu pada abad pertengahan tidak lebih mengekspresif seperti kata

revolusi, tapi kata-kata: sar-genfazo, cuartelazo, atau promuncia-miento, yang

pada umumnya menunjuk pada pembelotan militer sudah dikenal jauh sebelum

itu di negara-negara yang berbahasa Spanyol.

Kalaupun hal itu tak sempat diketahui, tentu bukanlah tak perlu diabaikan

kalau kelompok akrab dan piawai dengan kekerasan itu bisa dan dapat buka toll

ke kekuasaan, ke kekayaan, dan kekedudukan terpandang lainnya. Soalnya bukan

legitimate atau illegitimate, tapi keunggulan-keunggulan yang dimiliki dapat

memberikan rasionalitas dan justifikasi buat penaklukan dan penguasaan orang,

masyarakat dan rakyat yang tak bersenjata. Kalaupun mungkin orang baru

berbicara tentang militerisme di negeri Paman Sam itu beberapa waktu setelah

Easton menerbitkan karyanya itu, tapi kajian tentang perbandingan politik,

tentang negara-negara yang baru merdeka, bukan tak hiruk pikuk di dunia

universitas mereka. Huntington sendiri mencoba membedah apa itu breakthrough

coup, abortive coup, dan veto coup untuk menunjukkan bagaimana militer suka

inelakukan intervensi ke dunia politik sipil.

Dalam hal yang paling fundamental yang dilupakannya adalah bahwa dalam

konteks politik sebuah negara-bangsa, sebuah organisasi militer bukan saja

diciptakan untuk mendukung sebuah cita-cita politik, tapi penguasaan

terhadapnya juga merupakan standar buat keoperasionalan sebuah kekuasaan

politik. Oleh karena itu sesungguhnya tak heran kalau militer lebih dari sekedar

sebuah kelompok kepentingan yang mempunyai minat dengan pengambilan

keputusan politik, tapi juga adalah suatu jaringan kultur ideologi yang memberi

penampang sebagai suatu sistem sosial yang dengan kelengkapan instumen dan

kemampuan manajerialnya secara riil atau potensial dapat membingkai suatu

99

Page 100: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

sistem politik yang mereka kehendaki. Oleh kare itu pula, kata Jano witz, adalah

mustahil mengisolasi militer dari kehidupan politik domestik, termasuk

mengesampingkannya dari pendidikan politik untuk membangun sistem politik

untuk membangun komitmennya terhadap sistem demokrasi dan pemahaman

bagaimana sistem itu bekerja.

Tentang soal demokrasi itu, kendati disadari memiliki potensi untuk menjadi

the center of hyper nationalistic movement, tapi Lucian W. Pye tak ragu untuk

menaruh kepercayaan kepada kelompok yang dilihatnya sebagai the modernizers

itu sebagai the only effective entity, atau the critical group in the shaping the

cause of nation building itu, karena standar modernitas dirinya mengacu pada luar

negeri (nilai-nilai organisasi dan teknologi Barat), sehingga ia yakin bahwa

sebagai lembaga yang lebih modern dibandingkan dengan masyarakatnya, militer

akan menjadi tidak terlalu akrab dengan tindakan-tindakan kekerasan. Dengan

keunggulan-keunggulan yang di milikinya militer akan lebih bersifat

membimbing dalam banyak asprk kehidupan masyarakat sipilnya yang masih

belum maju itu. Pendek nya ia percaya bahwa militer adalah the savior, seperti

tindakan Jender.il Mac Arthur mengamankan pemerintahan Presiden Herbert

Hoovri dengan pasukan berkuda, pasukan lapis baja, pasukan bersenjata mesin,

dan pasukan berjalan kaki dalam menghadang para penuntut jasa di Washington

DC tahun 1930 an, begitulah.

Entah digebui dengan semangat idenlogi perang dingin untuk menjadikan

tentara negara-negara baru sebagai kuda tunggang untuk menghajar komunis di

dalam negerinya masing-masing, entah disedak oleh kegembiraan melihat bahwa

tentara-tentara di negara-negara baru memngagumi teknologi senjata Barat

sehingga umumnya mereka netral dalam persaingan pengaruh global yang ada,

yang pasti Pye tidak awas bahwa tentara umumnya bukan saja punya espirit de

corps tradisi heroik, identifikasi profesional dan kehormatan, tapi angkatan darat

di mana pun juga senantiasai mengembangkan keahlian politik militer, apakah

berkenan dengan kecabangan pemerintahan, perang, psikologis, atau intelejen

strategis; yang kesemuanya justru telah tak memungkinkan sipil terlibat dalam

kompleks organisasi militer. Artinya, pada tingkat manapun organisasinya,

tentara kental dengan identifikasi the outsiders, selain opeirasi-operasi

100

Page 101: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

strategisnya juga memang diletakkan pada premis yang berstandar ganda (bukan

hanya pada masa perang, tapi juga pada masa damai).

Begitupun dengan sistem indoktrinasi yang membentuk orientasi litiknya

diamati lebih berpengaruh daripada pendidikan politik yang kemudian

diterimanya. Menurut Janowitz adalah salah menganggap pendidikan politik akan

memenuhi koperluan demokrasi politik pada tentara. Setidaknya ada dua hal

kenapa demikian. Pertama, karena kriteria perekrutan anggotanya dan pemilihan

perwiranya masih didominasi oleh pertimbangan-pertimbangan latar belakang

sosial (keluarga, daerah), dan ideologi (konservatisme) ketimbang semata

Begitupun system terindoktrinasi yang membentuk orientsi politiknya diamati

lebih berpengaruh dari pada pendidikan politik yang kemudian diterimannya.

Menurut Janowitz adalah salah menganggap pendidikan politik akan memenuhi

keperluan demokrasi politik pada tentara. Setidaknya ada dua hal kenapa

perekrutan anggotanya dan pemilihan. Pertama, karena kriteria perekrutan

anggotanya dan pemilihan perwiranya masih didominasi oleh pertimbangan-

pertimbangan latar belakang sosial (keluarga, daerah), dan ideologi

(konservatisme, daerah), ketimbang semata oleh kriteria akademik. Alasan pokok

buat pendahuluan kriteria itu adalah karena latar belakang dan ideologi itu, tradisi

militer dan kepahlawanan buka saja akan tetap terpelihara, tapi lingkungan

organisasi militer juga bisa diperkuat dengan pola-pola kepercayaan itu. Kedua,

karena pendidikan militer lebih diorientasikan pada pelaksanaan teknis.

Akibatnya, tradisi-tradisi, slogan-slogan, dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak

tertulis masih tetap lebih menonjolkan ketimbang program pendidikan formalnya.

Oleh karena itulah, kendati civic missions yang dilancarkan tentara diangap

banyak bermanfaat bagi masyarakat atau negara, karena "the military can

accomplish projects faster, hi'll,-i mid cheaper" tapi missi itu juga selain

sesungguhnya untuk memperluas jangkauan kemampuannya dan untuk

merentangkan basis dukungan klientelistiknya, pun pada esensinya terkerangka

dalam diktum Sun Tzu, "kenali medan untuk memenangkan pertempuran". Meski

begitu, yang kerap tergambarkan adalah bahwa militer lebih punya dedikasi untuk

mengabdi kepada bangsa, dan dianggap lebih siap untuk mengorbankan

kepentingannya demi tujuan nasional, atau untuk meraih kekuatan bangsa dan

101

Page 102: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

negara. Bayangan dan anggapan itu sendiri kemudian diidentifikasikan dengan

dirinya, baik untuk keperluan pemupukan tradisi heroismenya, maupun untuk

kepentingan politik memperkuat dan memanlapkan citranya melalui penciptaan

kondisi-kondisi politik yang chaotik untuk mengekspresikan kehingar bingaran

demokrasi dan ketidak berdayaan politk sipil.

Sistem politik sebagai suatu perbendaharaan kata perbandingan politik yang

diintrodusir sebagai pengganti gambaran tentang pemerintah, bangsa, Jan negara,

secara konseptual tampaknya lebih melihat masalah-masalah birokratisasi, sen-

tralisasi, dan militerisasi sebagai masalah yang mempengaruhi ke-mampuan

sistem untuk mengembangkan dirinya. Dan karena thesis utamanya adalah

keseimbangan dan kestabilan, maka tak heran kalau norma utama yang

diletakkannya adalah "law and order can be maintained" ...if an organized army or

police force is available". Atau dengan kata lain, sistem politik sesungguhnya

bertali-temali dengan penggunaan kekerasan fisik, atau "authoritative allocation

of values", kata Easton, atau "severe deprivation" kata Harold Laswell. Artinya,

kendati mungkin sistem politik tidak selalu terkait dengan senjata, penguasaan,

dan penindasan, tapi ia bukan sama sekali lepas dengan penekanan dan

pemaksaan.

Meski begitu tidaklah jelas apakah karena esensi itu Easton berupaya untuk

tidak lebih menampilkan negara ketimbang sistem politik yang jelas, dua

dasawarsa setelah karya tentang teori sistem politiknya terbit, ia mengomentari

gerakan untuk meninjau kembali soal negara yang dilakukan Evans,

Rueschemeyer, dan Skocpol yang mengetengahkan asumsi bahwa pada galibnya

negara dibentuk oleh klas atau melalui perjuangan kelas dan berfungsi untuk

melindungi dan memperluas cara-cara produksi, sebagai munculnya “a

contemporary revival of Marxism”. Kenapa mungkinkah karena preposisi

struktral fungsional yang digelarnya yang mengesampingkan society centered

assumptions, telah macet atau karena telah terobeknya negara sebagai a political

strategy yang kekuatan alam kekuasaannya lebih tumbuh dari kekerasan yang

membekalinya, atau karena pendapat Marx mengenai hubungan masyarakat

negara bahwa pilihan apakah negara menguasai atau dikuasai masyarakat

sepenuhnya menjadi hak yang terakhir, bukan diciptakan oleh kekuasaan dan

102

Page 103: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

tidak dikonsolidasikan oleh negara.

Yang jelas penggambaran teori sistem politik yang mengabaikan hubungan-

hubungan antara politik ekonomi dan militer tampaknya tak mampu memberi

penjelasan tentang karakter kekuasaan. Atau intinya, mengesampingkan realita

bahwa militer dibekali dengan senjata, memiliki monopoli persenjataan, telah

menyebabkan tak terperkirakannya pemonopolian kekuasaan negara oleh militer,

kata lain militer tak terimbangkan sebagai suatu negara. Militer tak sempat

diperhitungkan sebagai suatu kekuatan yang dapat membangun jaringan

administrasi, birokrasi, dan sub-struktur ekonomi. Bendix dan Shils memang

bicara akan perlu adanya suatu organisasi negara yang bersifat terpusat birokratik,

kuat dan efektif buat sistem politik untuk dapat menggelindingkan pembangunan

ekonomi, tapi tampaknya mereka juga tak membayangkan kalau dalam proses

pergerakanya aparatur negara itu juga terus berhubungan dengan kekuatan

kekuatan masyarakat lain yang ada untuk dapat menentukan tingkat dan jenis

pembangunan yang dioperasikannya

Sebab persoalannya, menurut Horowitz, memang tak ada “The third way”,

bahkan "the possibility vftlunl ness per se" buat mereka dan Dunia Ketiga

umumnya untuk memilih antara 'modernisasi' dan 'indus-trialisasi' tanpa merusak

prinsip-prinsip pembangunan itu sendiri: antara produksi kebendaan yang

mengesampingkan hak demokratik rakyat dengan transformasi kultural, ilmu

pengetahuan, dan teknologi yang merangsang pertumbuhan masyarakat yang

menghasilkan kebebasan individual. Latar belakang historik, politik, dan

ideologik memang telah menggerakkan mereka diluar pilihan antara kapitalisme

dan komunisme. Mereka berupaya dan mencanangkan strategi pembangunan

yang dengan derajat tertentu membuka praktek demokrasi seraya pada saat yang

sama juga memperkuat dan mengembangkan nilai-nilai tradisi. Meski begitu,

strategi itu tampaknya sangat rentan terhadap aplikasi kekuasaa yang berkarakter

fasis atau diktatoral.

Kecenderungan itu sendiri tampaknya bukan tak punya korelasi dengan

thesis necessetarianist-liberal tarisnist ataupun demagogis pembahasan nasional

anti kolonial di Timur yang mengklaim bahwa antara demokrasi politik dan

pembangunan ekonomi terdapat yang harus diprioritaskan. Kalau ekonomi

103

Page 104: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi lebih penting dari pada semarak

politik, sosiolog berpendapat bahwa. karena terdapat disparitas antara

pembangunan dan demokrasi, maka memajukan demokrasi lebih penting daripada

menggerakkan pembangunan ekonomi adalah asumsi yang tidak rasional, entah

karena alasan kedaulatan atau karena biaya yang diperlukan diluar kemampuan.

Sedang penganjur masyarakat sosialis berkeyakinan bahwa pembebasan nasional

adalah tahap rite de passage atau jalan sejarah yang harus ditempuh untuk

mencapai sosialisme. Adapun model yang kemudian diintroduksikan, yang jelas

kekerasan mengambil porsi yang tak terperkirakan.

Kekerasan politik sebagai karakter dasar teori negaranya Lenin dan kekerasan

fisik sebagai elemen yang terkait langsung dengan dominasi militer mengambil

bentuknya manakala tuntutan stabilitas politik sebuah rezim dianggap perlu dan

mutlak untuk menghasilkan sebuah pembangunan ekonomi yang tinggi dan luas.

Tuntutan itu biasanya muncul tatkala pimpinan yang berkarakter populis meniada,

dan ketika birokrasi dan negara tidak berdaya dan belum lagi memiliki orientasi

tugas yang seia-sekata. Dalam keadaan itu, militer adalah kelompok yang terkuat,

kendati kelemahannya sipil juga bukan tidak merupakan produk delegitimasi

yang dilakukan militer. Gerak cepat yang dilakukan militer melalui perubahan

haluan pengelolaan ekonomi dari modernisasi ke industrialisasi yang kemudian

mendapat dukungan dari kelompok-kelompok yang tidak sabar lainnya baik dari

kelompok nasionalis maupun revolusionis tampaknya telah mengukuhkan

pandangan bahwa militer lebih punya kemampuan untuk menciptakan stabilitas

buat pembangunan ekonomi.

Kendati dicatat ada korelasi fungsional antara mekanisme kekerasan

keotoriteran, atau kekuasaan militer dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi,

tapi sebagaimana awal pengalaman Pye yang kemudian di konfirmasikan eric A.

Nordlinger dan dipresisikan R.C McKinley dan Cohan, militer bukan saja tidak

terbatas sumbangannya pada pembangunan nasional, tapi sesungguhnya nasional,

tapi sesungguhnya mereka juga kurang menaruh perhatian terhadap pertumbuhan

ekonomi kecuali untuk prestasi ekonomi rejim mereka juga tidak lebih baik

dibandingkan dengan yang dapat diraih rejim sipil. Tonjolan mereka dicatat hanya

dalam formula peningkatan pendapatan nasional kotor yang hampir tidak

104

Page 105: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

menyentuh 'the quality of life of the nation . Kepentingan ekonominya lebih

terkait dengan hak-hak korporatenya. Tak heran kalau sikap konservatifnya

terangsang manakala kepentingan (ekonomi dan bisnisnya) bergabung dengan

kelompok pemilik modal, yang semakin menahun dalam kaitannya dengan

kepentingannya kapitalis internasional.

Oleh karena itu barangkali tak berlebihan kalau militer kerap dipandang

sebagai alat kapitalisme internasional, atau setidaknya agen jaringan industri

militer Barat, bukan saja dalam mengamankan arus barang dan jasa mereka, tapi

juga sebagai alat efektif untuk melancarkan perang ideologi internasional di arena

politik dalam negeri. Dukungan keuangan, peralatan, latihan, dan pendidikan dari

yang sembunyi-sembunyi sampai yang terang-terangan tampaknya bukan hanya

dianggap perlu tapi juga diproyeksikan oleh Barat didalam kerangka hegemoni

politik, ekonomi dan strategi pertahanan mereka. Untuk itu, tidak sedikit

perangkat intelektual di sediakan. Karya Coup d'Etat-nya. Luttwak dan The Man

on Horseback-nya Finer konon bukan hanya merupakan buku pedoman, tapi jugu

merupakan sumber inspirasional untuk itu.

Soal apakah sebuah kekuatan militer Dunia Ketiga akan berwujud sebagai

suatu rejim fasis atau kleptokrasis terang tak pernah ingin dibayangkan oleh

barat.. Alasannya sendiri kuat, bukan saja tak hendak mencampuri urusan dalam

negeri sahabat, juga menjunjung dan menghormati kedaulatan nasional negeri

yang bersangkutan. Elok nian memang. Oleh karena itu soal penjagoan' militer

oleh mereka akan dianggap sebagai tidak berkaitan dengan soal kebodohan,

demoralisasi, dan keterbenaman politik masyarakat Dunia Ketiga. Soal

pengamanan kepentingan buat mereka bukanlah “eticsh politiek” tapi adalah soal

eksploitasi siapa memanfaatkan siapa. Atau, "who gets, what, when, and how",

kata Laswell. Dengan kata lain, militer Dunia Ketiga tampaknya telah dijadikan

sebagai alat domestik untuk menaklukkan politik dan rakyat sebuah negeri atas

nama kepentingan ekonomi, politik, dan strategi pertahanan negara Barat.

Kalau demikian, klarifikasi militer atas kepentingannya yang kerap

diidentifikasi secara berlebihan sama dengan kepentingan nasional dan

kepentingan negara umumnya perlu ditinjau kembali? Bahwa militer memang

bukan hanya menyamakan antara bangsa dan negara, dan negara dan militer, tapi

105

Page 106: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

juga mengidentikkan kepentingan korporatenya dengan kepentingan nasional.

Padahal kata Anderson, “The nation is essentially an image and there is no such

thing as a unitary national intertest”. Kendati indentifikasi itu lahir dari ideologi

klientilisme, dari latihan dan pengalaman di lapangan, tapi adventurisme politik

yang bersumber pada ambisi pribadi pemimpinya kerap diamati dominan dalam

motivasi hal itu. Diawali dengan tuntutan akan perlakuan yang adil terhadap

sikap, reputasi, kelayakan, dan tanggung jawab profesional yang diembannya,

milliter akan dibawah oleh pemimpinnya untuk menampilkan “the military way”

untuk dalih mempertahankan negara secara optimal. Padahal dibalik motif itu

konon sesungguhnya terselip kecemburuan terhadap hak-hak sipil yang

perolehannya dipandang tidak sebanding dengan kewajibannya.

Jadi persoalannya tampak tidak terletak an sich pada tuntutan profesional

militer baik sebagai organisasi atau sebagai anggota (induvidu) seperti kerap

dikemukakan banyak pakar bahwa "intervensi militer dalam politik umumnya

dilakukan oleh perwira-perwira yang tergolong sangat profesional", kata Finer,

atau bahwa "intervensi militer dalam politik adalah upaya dalam rangka

memelihara keprofesionalannya", kata Huntington, tapi adalah karena

dibandingkan dengan kelompok-kelompok (kekuatan politik) lain, militer relatif

lebih memiliki kebebasan bermain di arena politik, atau bahwa sebagai lembaga

negara, militer bukan hanya bisa mengidentifikasikan dirinya dengan pemerintah

yang ada, tapi juga dengan asosiasi itu telah memungkinkannya untuk

membayangkan dirinya sebagai representasi masyarakat umum yang ada. Oleh

karena itulah buat militer, kekuatan tampaknya bukan hanya diupayakan untuk

menghajar musuh luarnya, tapi juga untuk mengkonsolidasikan dan

mengamankan nilai-nilai korporatenya, sub korporatenya, dan trans korporatenya,

atau kepentingan-kepentingan karirnya, penghasilannya, dan keterpeliharaan

kelompok acuan sosialnya.

Realitanya sendiri memang menunjukkan bahwa ketika militer tampil

memegang kendali kekuasaan, semangat "koreksi" terhadap masalah-masalah

kenegaraan dan kenasionalan nyaris terhimpit dengan desakan dan tuntutan

prioritas mengamankan kepentingan dirinya. Bahkan secara sistematik mereka

berupaya untuk membangun dan mengembangkan kelompoknya sebagai suatu

106

Page 107: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

klas, "asurrogate class”, atau sebagai "a dominant interest group" yang beraliansi

dengan “the big business” untuk menguasai lembaga-lembaga sosial

masyarakatnya secara internal adalah berpangkal pada prinsip military vs civil,

tapi negara secara eksternal perjuangan itu merujuk pada doktrin" the state vs the

society". Di situ berlaku aturan bahwa kekuatan untuk yang satu adalah

kelemahan buat yang lain. Bahwa untuk memperkuat negara adalah

memperlemah masyarakat. Rezim-rezim militer dan totaliter tercatat telah dengan

baik menggunakan prinsip-prinsip tersebut untuk menguatkan kekuasaannya.

"The state of Its own", atau praktek pengatasnamaan negara untuk

kepentingannya adalah umum dijalankan oleh pemerintah-pemerintah yang

kekuasaannya didominasi militer. Sejak militer tak lagi memiliki musuh luar yang

harus dihadapi, maka energinya akan tertumpah ke dalam negeri. Oleh karena itu

kata Weil, seperti yang dikutip Ward, adalah salah mempertimbang kan soal

perang sebagai suatu episode dalam politik luar negeri, sebab sesungguhnya ia

adalah tindakan paling kejam politik dalam negeri. Dengan monopoli senjata yang

dimilikinya, militer dapat menggunakan negara sebagai alat untuk melakukan

perang atau ancaman perang terhadap penduduknya. Upaya rejim militer untuk

memelihara stabilitas sosial dan politik, serta pertumbuhan ekonomi dalam negeri

sebagai dua hal yang pada esensinya kontradiktif telah tak memberikan pilihan

kepadanya untuk mengembangkan standar operasi politik yang dalam praktik

kerap tak dapat menghindari tindakan represif, efek destruktif, dan juga

kecenderungan-kecenderungan inaktif lainnya baik secara situasional atau

kondisional pada kelompok-kelompok yang secara potensial atau riil dipandang

sebagai out groupnya.

Kategori itu sendiri kemudian diperlonggar manakala posisinya sebagai suatu

kelompok sosial dirasakan telah cukup kuat dan mantap. Dari sana biasanya

keperluan untuk membagi kesejahteraan sosial secara lebih luas melalui

pendistribusian sumber-sumber yang ada dimunculkan. Walau secara ide

kebijakan itu lahir dari kehendak untuk menciptakan pemerataan dalam

masyarakat, tapi rancangan strategi untuk mengontrol stabilitas sosial dan politik

itu tampaknya lebih rendah terarah untuk pencarian legitimasi baru terhadap

posisinya yang relatif telah menguat, baik dalam jaringan administrasi dan

107

Page 108: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

birokrasi, maupun dalam sub struktur ekonomi, daripada menciptakan prakondisi

buat demokratisasi kehidupan politik kenegaraan. Sebab memang redistribusi

sumber-sumber untuk keperluan pemerataan guna menciptakan stabilitas sosial-

politik tidaklah identik dengan demokrasi suatu bentuk sistem politik yang

esensinya mempromosikan liberte, egalite, on droit de I'homme en general.

Artinya, demokrasi standar militer menyelenggarakan pemilihan umum

secara reguler yang dilengkapi dengan intimidasi dan manipulasi bukanlah

merupakan praktek demokrasi politik meski dalam standar minimal sekalipun.

Dari literatur yang ada terungkap bahwa ketidak cocok an militer dengan

demokrasi bukan semata karena disiplin dan hirarki organisasinya, tapi catatan

sejarah kelerlibatan politik militer dalam berbagai masalah negara juga jelas

menunjukkannya. Menurut Edmonds, manakala ideologi-politik militer merebak

di suatu negara , maka bukan saja penindasan di dalam negeri akan meluas, tapi

konflik eksternal dalam bentuk destabilisasi dan kecurigaan hubungan antar

negara juga cenderung meningkat. Oleh karena itu, dominasi kekuasaan militer

dalam negara bukan hanya memproduk intensitas konflik, tapi juga mengancam

bahkan bertolak belakang dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi.

Apalagi kalau tindakan dan keterlibatannya dalam masalah-masalah negara lebih

didasarkan pada “their perseptions of what is needed to be done" ketimbang "the

real of general will".

Selain itu, intervensi militer dalam politik juga diamati telah menyebabkan

konsep profesionalis me militer dan teori keabsahan menjadi kurang begitu berarti

lagi. Profesionalisme militer yang oleh Huntington diidentifikasikan dengan

loyalitas terhadap military ideal, bukan vis-a-vis penguasa sipil,

mempresentasikan kebutuhan dan kepentingannya, saran-saran yang berkenaan

dengan soal militer, dan tidak berhubungan dengan isu-isu politik yang ada, dan

tidak mengelola kekerasan kecuali lapangan politik mengurangi kehancuran

negara, bermakna bahwa kesadaran profesional militer akan mengarahkan dirinya

untuk memandang bahwa mereka lebih sebagai "the servants of the state rather

that of the government in power". Padahal kata Finer, adalah kemampuan

profesional mereka yang justru mendorongnya untuk mencari jaminan sosial dan

ekonomi melalui keterlibatan dengan upaya pemerintah untuk melawan pe-

108

Page 109: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

ngeritik dan musuhnya di dalam negeri. Artinya, klaim Easton bahwa prestise

sosial bisa diperoleh dari hubungan sosial masyarakat, dan perolehan kekayaan

lebih berkaitan dengan sistem ekonomi, bukanlah merupakan jalan keluar buat

militer profesional tidak terlibat dalam politik.

Status sosial dan kemakmuran bagaimanapun merupakan kebutuhan pokok

buat militer bisa memelihara sikapnya, reputasinya, kehormatannya, dan

tanggungjawabnya. Akan tetapi tanggungjawab profesional itu sendiri tidak

berarti melulu seperti rumusan Huntington, tapi juga mencakup nilai-nilai yang

non-profesional yang oleh Vagts sebagaimana dikutip Wolpin dikategorikan

sebagai kepentingan-kepentingan corporate / careerist, subcorporate/materialist,

dan transcorporate/social reference group kepentingan-kepentingan yang

dikonstatasi sebagai "not completely professional", atau "not purely military".

Dari situ jelas bahwa pemahaman profesionalisme harus dibaca sebagai

pemaksimalan mobilisasi sumber buat kekuatan militer itu sendiri, termasuk

menjadikan sipil sebagai bantalan kekuatan belakangnya, seperti doktrin yang

dicanangkan partai-partai komunis terhadap tentaranya bahwa dukungan kekuatan

sosial bukan saja akan memberi sokongan man-power, moral, intelejen dan

logistik, tapi juga akan menutupi kekurangpiawaian prajurit dan kekurang

canggihan senjatanya.

Apakah "military way" atau "militarism", apakah dipicu oleh ambisi personal

atau kebutuhan institusioal, pelibatan militer dalam politik dikata kan juga nyaris

tidak mempertimbang kan soal keabsahan. Posisinya sebagai satu lembaga negara

memang telah memungkinkannya untuk menjadi kerangka bangun politik, rejim

politik, atau sistem yang dianut negaranya. Oleh sebab itulah buat militer, "main

politik" tampaknya bukanlah soal akan ada tidaknya atau datang tidaknya

dukungan masyarakat umum terhadap tindakannya atau akan diakui atau tidaknya

peran yang akan dimain kannya, tapi lebih berfokus pada masalah ancaman

terhadap negara atau terhadap kepentingan nasional yang dibayangkannya. Suatu

persoalan artifisial yang tidak sulit untuk dikembangkan. Setidaknya, ideologi

operasional yang berkenaan dengan doktrin penggunaan kekerasan, termasuk

melancarkan propaganda dan perang psikologis, memang merupakan kepentingan

pokok buat badan-badan intelejennya dan elit korps-nya.

109

Page 110: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Begitulah, kiranya jelas bahwa militer, politik, dan demokrasi, bukanlah

merupakan rangkaian proses transisi dari satu ujung ke ujung yang lain. Kalau

Horowitz mengklaim bahwa kendati militer memberi peluang buat pertarungan

antara authoritarianism dan demokratisasi tapi tak pernah dapat menentukan

kapan kemungkinan demokrasi bisa diberlakukan, maka Perlmutter bilang

kendati militer dapat mengintrodusir rasionalisasi masyarakat, lembaga, dan

politik dalam negara, tapi hal itu tampaknya tak berarti banyak buat pemantapan

sistem politik dan perluasan partisipasi masyarakat di dalamnya politik, "but it

would be in error to assume that contemporary political education in the armed

forces serves all the needs of political democracy".

Meski begitu, Sundhaussen tampaknya tak menganggap perlu untuk

menyesali kondisi itu. Sebab, demokrasi, katanya, kerap tidak efektif sebagai

regulator dalam masalah-masalah dalam negeri di Dunia Ketiga. Apa-lagi kata

Hernandez, dalam pengambilan keputusan, demokrasi tidak lebih efisien, dan

tidak lebih mudah dipakai dibanding dengan mekanisme yang ditempuh militer.

Kondisinya diamati menjadi lebih buruk karena penguasa-penguasa yang ada

hanya cenderung memperalat ideologi tua, apakah itu nasionalisme,

tradisionalisme, dan sebagainya sekedar untuk mengalihkan "rasa keterancaman"

dari luar. Padahal, arahan itu sesungguhnya lebih berada dalam konteks

ketidakinginan elit kekuasa an untuk mengintroduser aturan-aturan demokrasi,

khususnya "internal contestation for power". Oleh karena itu kiranya tak heran

kalau masssa-rakyat tidak begitu melek politik, tidak mengerti apalagi mahfum

apa sih tuh demokrasi? Dari situ pula kiranya bisa dipahami kemudian muncul

massa radikal, orang-orang yang tercabut dari akar budaya nya,dan orang-orang

yang secara ekonomi, dan sebagainya yang bukan hanya menuntut modifikasi

kebijakan, tapi juga menyerukan perubahan-perubahan total sambil

mendengungkan diktum Proudhon, "whoever lays his hand on me govern me is a

usurper and a tyrant”. Kalau sudah begitu, keteraturan, ketertaatan dan

ketenangan, akan menghilang. Kekuasaan dan pemerintah(an) dikecilkan, dan

anti-bonapartisme dibesarkan.

Apresiasi politik militer sebagai akibat kemajuan teknologi dan

keterbelakangan ekonomi dan teknologi negerinya tentu saja bukan hal yang

110

Page 111: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

salah. Begitu juga yang karena itu militer memiliki kesadaran untuk melakukan

perubahan-perubahan yang substansi terhadap masyarakatnya. Tapi kalau

kemudian kesadaran standar internasional dan kepekaan mendalam terhadap

kelemahan masyarakatnya itu dijadikan alasan untuk secara agresif mencengkram

dunia politik sipil yang penuh dengan hingar bingar, maka secara tidak terelakan

militer tak dapat tidak akan mengencangkan ototnya. Sebab, kata Eckhardt seperti

dikutip Skjelbaek, secara kognitif militer bukan hanya dokmatik, tapi juga

"intolerant of ambiguity, rigid, ego-defensive, andposi-tivist (lawan manusiawi)

dalam kesadarannya. Itulah sebabnya barangkali kenapa Finer tampak pesimistik

terhadap prospek kemunculan stabilitas politik dan dcmokrasi politik di Dunia

Ketiga. Kalau masyarakat (sipil) politik tak mampu memanfaat kan peluang untuk

membuka demokrasi politik, maka bukan mustahil akan muncul kup-kup yang

akan melahirkan rezim-rezim militer yang berikut, katanya.

Kepesimisan itu bukan tak beralasan. Sebab salah satu porsoalan serius dalam

masa transisi ke demokrasi adalah kecenderungan immobilisme baik secara samar

atau nyata baik pihak pemerintah maupun aktor-aktor politik yang baru masuk.

Padahal dalam situasi itu, tuntutan kepastian politik yang lahir sebagai akibat

ketidak jelasan sumber dukungan politik dalam situasi dinamik yang tak menentu

itu dan kecepatan membangun konsensus dan proses pengambilan keputusan yang

demokratik amat diperlukan. Meski begitu, kekhawatiran itu sesungguhnya tak

perlu kalau saja "the garrison and the army headquarter refused to shoot at people,

tlie bureaucracy refused to cooperate- with the military, the trade unzions has a

capacity to called a general strike, and the students, intellectuals, and politicians

share an militanly aversion to the military. Atau, seperti kata Cruz e Diamint yang

merujuk kasus proses demokratisasi di Amerika Latin, meminta bantuan Amerika

sebagai negara kiblat demokrasi untuk menciptakan kebijakan-kebijakan yang

kondusif baik untuk pengembangan masyarakat sipil maupun untuk membangun

koridor-koridor demokrasi yang dibutuhkan.

Militer Di Indonesia: Kekuatan Politik Pretorian

Oleh: Boni Hargens46

46 Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia

111

Page 112: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Perbincangan mengenai transisi demokrasi di Indonesia masih tidak terlepas dari

wacana tentang peran kuat Militer di ranah sosial-ekonomi dan politik. Secara formal

peran militer dalam politik, misalnya di Legislatif, sudah dibatasi dengan

dihilangkannya Fraksi TNI yang selama puluhan tahun menjadi salah satu pilar

penting dan kuat di tubuh parlemen, tetapi secara informal tidak banyak yang

berubah.

Pada masa Orde Baru, Fraksi Militer menjadi buffer group yang menopang

kekuatan Golkar sehingga kekuatan dua fraksi minoritas, PDI dan PPP, hampir pasti

tidak memiliki dampak yang signifikan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam

tujuh kali Pemilu Orde Baru, Fraksi TNI tidak hanya menjadi kekuatan yang

memastikan kemenangan Golkar, tetapi bahkan di lapangan menjadi mesin politik

yang mendulang dukungan massif dari lapisan masyarakat sipil mulai dari tingkat

desa sampai tingkat pusat melalui jalur Komando Teritorial (Koter).

Babinsa yang ditempatkan di desa yang idealnya untuk melindungi masyarakat,

dalam kenyataan berfungsi sebagai corong pemerintah di tingkat desa untuk mematai-

matai aktivitas politik masyarakat pedesaan. Setiap ada aktivitas politik yang dinilai

bertentangan dengan prinsip politik pemerintah, sekalipun baru pada tahap indikasi,

langsung dibungkamkan. Paling kentara hal ini bisa diamati pada waktu menjelang

dan selama musim pemilihan umum. Tokoh-tokoh Golkar di level pedesaan

bekerjasama dengan Babinsa untuk mematikan upaya penggalangan dukungan politik

oleh para simpatisan atau kader PDI dan PPP.

Tindakan ini dibenarkan oleh Kebijakan Masa Mengambang (floating mass) yang

melarang partai politik membentuk organisasi cabang di tingkat desa dan kecamatan.

Karena yang dilarang adalah partai politik, maka otomatis Golkar tidak termasuk di

dalamnya karena Golkar bukan partai politik melainkan organisasi sosial-politik, lebih

khususnya Organisasi Kekaryaan (Interest Group). Kebijakan ini melapangkan jalan

bagi militer untuk memperkuat basis Golkar di tingkat desa dan kecamatan bersamaan

dengan kekuatan sosial lain seperti Karang Taruna di kalangan para pemuda-pemudi,

PKK di kalangan para ibu, dan Korpri untuk para guru.

Ketika Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998 melalui aksi protes para mahasiswa dan

masyarakat, bersamaan dengan tekanan internasional terkait krisis ekonomi yang

memorak-porandakan ekonomi dalam negeri Indonesia, perubahan mulai terjadi.

112

Page 113: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Salah satu agenda Reformasi adalah menghilangkan Dwi-Fungsi TNI yang menjadi

instrumen legal yang melegitimasi keterlibatan militer dalam urusan sosial politik,

termasuk ekonomi. Dasar pemikiran di balik tuntutan ini adalah bahwa sebuah

pemerintahan yang demokratis dicirikan oleh ditegakkannya supremasi sipil di segala

dimensi dan oleh adanya militer yang profesional. Militer profesional artinya militer

yang hanya menangani masalah-masalah pertahanan dan keamanan. Ia berbeda

dengan militer pretorian atau revolusioner yang mencampuri urusan sosial-politik.

Seluruh upaya menuju terwujudnya militer yang profesional telah ditempuh

melalui hadirnya UU No 34 tahun 2004 yang secara istimewa melarang TNI terlibat

dalam politik dan juga melarang TNI menjalankan bisnis. Tetapi apa yang terjadi

dalam kenyataan, Militer ternyata bukan kelompok yang mudah dikendalikan oleh

kekuatan sipil sehingga tidaklah mengherankan kalau masih terlihat ada militer atau

eks-militer yang terlibat dalam politik. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

sendiri adalah seorang jenderal purnawirawan. Dan kalau kita membaca buku Mayjen

TNI Kivlan Zen, Konflik dan Integrasi TNI-AD, tampak bahwa kalau ada hal yang

paling sering dan paling serius dipikirkan oleh para petinggi tentara di Indonesia, hal

itu pastilah urusan politik praktis. Berbagai pristiwa konflik internal di kalangan

petinggi TNI-AD diceritakan dengan gamblang oleh Zen, meskipun sarat sekali

dengan tuduhan subyektif. Bahkan ketika Prabowo dan Habibie bersitegang terkait

“Detik-Detik yang Menentukan”-nya Habibie (2006), Zen membela Prabowo dengan

mengatakan tidak ada kudeta pada 1998. Zen malah menuding (alm) Beni Moerdani

melakukan upaya kudeta terhadap presiden Soeharto tahun 1988 yang tentu saja

dibantah faksi Moerdani di Angkatan Darat47.

Di balik semua itu, pertanyaan yang paling mendasar adalah mengapa upaya

reformasi TNI di Indonesia mengalami banyak hambatan? Apakah mungkin tentara

kita yang berwatak pretorian berubah menjadi tentara profesional?

Kerangka Teoretis

Samuel P. Huntington di dalam bukunya Political Order in Changing Societies

(1968) menjelas kan panjang lebar tentang pretorianisme dalam kaitan nya dengan

kemerosotan politik. Huntington melihat fenomena 1950an dan 1960an dimana

banyak negara di berbagai benua dikuasai oleh militer. Pemberontakan militer dan

47 Kivlan Zen, Konflik dan Integrasi TNI-AD, (Jakarta: Institute for Policy Studies, 2004)

113

Page 114: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

bangkitnya rezim militer menjadi fenomena umum di Amerika Latin dan juga Timur

Tengah. Akhir 1950an dan awal 1960an, Asia Selatan dan Asia Tenggara mengalami

fenomena yang sama, bahkan terjadi kudeta di Ghana, Dahomey, Leopoldville,

Republik Afrika Tengah, Volta Hulu, dan Nigeria. Semua ini menambah apa yang

telah terjadi di Aljazair, Togo, Sudan dan Kongo48. Melihat perkembangan yang

demikian, Huntington lalu sampai pada kesimpulan bahwa dominasi militer dalam

politik adalah pengalaman nyata yang terjadi di negara mana saja. Tidak hanya di

Indonesia, militer di berbagai negara lain juga merupa kan suatu kekuatan politik yang

sulit dihindari. Ini yang menarik dari analisis Huntington meskipun belum pasti

berarti pandangan Huntington sudah tepat untuk dijadikan pisau analisis dalam

mengkaji fenomena militer di Indonesia.

“Mengapa militer berpolitik?” adalah pertanya an yang menjadi perhatian

banyak pemikir politik dan militer. Huntington tidak sepakat bahwa kalau kita ingin

menjelaskan fenomena keterlibatan militer dalam politik, kita harus memahami

struktur keorganisasian tentara dan latar belakang sosial para prajurit. Ia tidak setuju

bahwa faktor internal organisasi militerlah yang menjadi alasan tentara berpolitik.

Dalam uraiannya yang panjang-lebar Huntington menjelaskan tahapan proses

keterlibatan militer dalam politik dalam suatu negara. Ia berangkat dari penjelasan

tentang “masyarakat pretoria” sebagai kondisi yang melahirkan pretorianisme dan

selanjut nya pretorianisme membuka jalan bagi tentara untuk terlibat dalam politik

dan pada titik tertentu ketika menjadi kekuatan utama, tentara membentuk lembaga

politik.

Pertama, “Masyarakat Pretoria” adalah bahasa Huntington untuk melukiskan

suatu keadaan dalam masyarakat dimana seluruh kekuatan sosial yang ada dipolitisasi.

Kekuatan-kekuatan sosial, besar ataupun kecil, berupaya masuk ke dalam politik

untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan meskipun

bangunan politik belum mapan. Dalam keadaan ini, tidak hanya militer tetapi setiap

kekuatan sosial berjuang masuk dalam politik.

Kedua, Pretorianisme Oligarkis mengacu pada kondisi dimana kelompok

tertentu, seperti tuan tanah, pemuka agama, dan golongan pemegang pedang, dalam

masyarakat menguasai politik sehingga kekuatan sosial lain dibatasi untuk terlibat di 48 Samuel P Huntington, 1968, Political Order in Changing Societies,, terjemahan Sahat Simamora dan Suryatim, (Jakarta: Grafindo Persada, 2003), hal. 227

114

Page 115: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

dalamnya. Dominasi oligarki ini yang disebut Huntington sebagai Pretorianisme

Oligarkis. Salah satu ciri yang utama dari pretorianisme oligarkis adalah adanya

pencampuran secara sekaligus urusan politik, militer, agama, sosial dan ekonomi.

Pada titik tertentu, pretorianisme oligarkis cendrung berubah menjadi pretorianisme

radikal49.

Ketiga, Pretorianisme Radikal. Pretorianisme oligarkis akan lenyap ketika dalam

masyarakat terjadi perkembangan kekuatan sosial, muncul banyak kelompok yang

berbeda-beda lalu sama-sama memiliki kemampuan untuk mempengaruhi politik.

Dalam keadaan seperti ini akan terbentuk pretorianisme radikal karena kekuatan yang

mempengaruhi politik dalam masyarakat akan cendrung radikal.

Keempat, Pretorianisme Rasial. Pada titik tertentu dalam perkembangannya,

masyarakat bisa saja dikuasai oleh ras tertentu sehingga urusan politik diambil-alih di

tangan ras tertentu dan melahirkan apa yang disebut pretorianisme rasial.

Kelima, Pretorianisme Massa. Karena hakikatnya kekuatan sosial dalam

masyarakat terus berkembang maka besar peluang dominasi kekuatan sosial tertentu

akan digantikan oleh dominasi berbagai kekuatan sosial yang dirangkum dalam istilah

“massa”. Pretorianisme massa ini menurut Huntington ditandai oleh adanya suatu

kekuatan massa dalam jumlah besar yang tergabung dalam satu wadah seperti

kelompok buruh dalam masyarakat modern. Kekuatan ini akan berhadapan dengan

pemerintah atau dengan militer atau bisa juga bekerjasama untuk melawan satu

kekuatan yang sedang mendominasi. Maka menurut Huntington ada empat

kemungkinan persaingan50:

a. Kaum Buruh Vs Pemerintah dan Militer

b. Kaum Buruh dan Militer Vs Pemerintah

c. Kaum Buruh dan pemerintah Vs Militer

d. Kaum Buruh Vs Pemerintah Vs Militer

Keenam, Prajurit Pembentuk Lembaga. Huntington mengatakan bahwa militer

memiliki kemampuan yang lebih dibandingan kekuatan sosial yang lain dalam suatu

masyarakat pretoria untuk mendirikan lembaga politik, misalnya karena militer

memiliki kemampuan manajerial dan terorganisasi dengan baik.

49 Ibid hal 23650 Ibid hal. 254-256

115

Page 116: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Selanjutnya, dalam bukunya The Soldier and the State: The Theory and Politics

of Civil-Military Relations, Huntington menyebutkan dua langkah kontrol sipil

terhadap tentara51. Pertama, subjective civilian control yang seringkali diwujudkan

dengan memperbesar kekuatan sipil melalui perluasan institusi-institusi sipil sehingga

disebut juga civilianizing the military dan kedua, objective civilian control yang

disebut juga militarizing military. Bahwa kekuatan tentara dikurangi sedemikian rupa

sehingga tidak menjadi lebih dominan dibandingkan kekuatan sipil. Untuk itu,

sasarannya adalah meningkatkan profesionalisme ketentaraan atau disebut juga

militerisasi militer. Dengan demikian, pada titik tertentu dalam upaya peningkatan

profesionalisme, tentara yang semula pretorian atau revolusioner bisa berubah

menjadi tentara profesional yang mendukung penguatan supremasi sipil dalam negara

demokrasi.

Dalam suatu negara modern, dimana tentara tidak lagi terlibat dalam politik,

yang ada adalah tentara profesional. Hal ini terjadi sejalan dengan berlangsungnya

diferensiasi sosial dan spesialisasi yang tajam dalam kehidupan sosial. Tentara

profesional, menurut Huntington, memiliki ciri-ciri dasar berikut52:

(1) Ada expertise/keahlian dalam meredam kekerasan.

(2) Ada ikatan tanggungjawab kepada negara dan masyarakat.

(3) Korporatisme alias kesadaran kelompok sebagai sebuah institusi.

(4) Memiliki ideologi yang kuat yakni ideologi kemiliteran

Selain Huntington, pemikir lain yang berbicara tentang intervensi militer dalam

politik adalah Amos Perlmutter. Amos menyebutkan tiga tipe (orientasi) militer yang

umum yaitu prajurit profesional, prajurit pretaorian, dan prajurit revolusioner.

“Prajurit profesional klasik menonjol di dalam sistem-sistem politik yang stabil.

Prajurit pretorian berkembang subur dalam lingkungan ketidakstabilan politik. Sedang

prajurit revolusioner menunggal dengan suatu orde politik yang stabil sekalipun asal-

usulnya berasal dari suatu sistem politik yang tidak stabil, yang kebetulan sedang

mengalami kemunduran, atau memang baru”53.

Secara sederhana, klasifikasi Amos dapat dilihat dalam tabel berikut:

51 Samuel P Huntington, The Soldier and The State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations, (Cambridge: 1964), hal. 80-9952 Amor Perlmutter, The Military and Politics and Modern Times, 1977, terjemahan Sahat Simamora, (Jakarta: Grafindo Persada, 2000), hal. 1453 Ibid.

116

Page 117: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Ciri-ciri Profesional Pretorian Revolusioner

Keahlian Pengetahuan khusus

yang didasarkan di

atas standar obyektif

dari kompetensi

profesional: Tinggi

Pengetahuan

profesional tidak

diperhatikan dengan

ketat sekali

Pengetahuan

profesional

diarahkan

pada nilai-

nilai sosial-

politik

Klien Negara Bisa berupa bangsa,

kelompok suku, suku,

militer, atau negara

Gerakan

partai

Sifat lembaga Hirarkis, kohesif,

organik, kolektif,

subordinasi,

otomatik/manipulatif

sempit

Hierarkis, non-kohesif,

kolektif, mengubah-

ubah kepatuhan, sempit.

Sebelum dan

selama

revolusi:

egalitarian,

sangat mobil,

kader

manipulatif,

luas

Penerimaan Terbatas dan hanya

universal pada masa

perang

Terbatas Universal

Ideologi Konservatif Tradisional materialis,

antisosialis, pretorian

Revolusioner,

gerakan

partai

Kecendrungan

intervensi

Rendah Permanen/berkelanjutan Tinggi

sebelum dan

selama

revolusi,

rendah

setelah

revolusi

Keterangan: dikutip dari Amos, Ibid. hal 24

Sementara itu, dalam bukunya The Military in the Political Development of New

Nations, Morris Janowitz berupaya mencari alasan mengapa militer terlibat dalam

117

Page 118: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

politik. Ia menyebutkan beberapa hal yaitu:

Militer mampu mengaitkan kemampuan manajerial dengan sikap heroic

Militer adalah kelas menengah sehingga memudahkan mereka terlibat

dalam politik.

Faktor persatuan internal organisasi54.

Meskipun Huntington tidak sepakat dengan cara pandang orang seperti Janowitz

yang melihat sebab keterlibatan tentara dalam politik pada faktor internal institusi

ketentaraan, bagi Janowitz, keterlibatan politik tentara didukung oleh kondisi internal

tentara yang kohesif. Ada delapan hal yang mendorong kohesi atau pun kesenjangan

internal tentara menurut Janowit Frederich yakni (1) latar belakang etnik, (2) latar

belakang agama, (3) usia, (4) latar belakang sosial, (5) pengalaman pendidikan, (6)

pengalaman kerja, (7), ikatan ideologis atau politik, dan (8) pengalaman keberhasilan

dalam tugas55.

Dalam konteks Indonesia, sebetulnya Janowitz yang lebih tepat menjelaskan

intervensi tentara dalam politik bahwa intervensi politik tentara bukan semata karena

institusi sipil yang lemah (baca: masyarakat pretoria) tetapi justru karena tendensi

internal tentara yang begitu kuat untuk terlibat dalam politik. Barangkali ini terkait

dengan sejarah tentara kita yang adalah pejuang republik, yang dibentuk otonom

tanpa campur tangan negara. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa keterlibatan

tentara dalam sejarah Orde Baru dan hingga kini masih sulit dibersihkan dari ranah

politik, tentu tidak terlepas dari faktor internal bahwa tentara solid, kohesif, dan

berjiwa kepemimpinan yang kuat dibandingkan kelompok lain di dalam negara.

Hanya yang menjadi masalah di banyak negara berkembang seperti Indonesia,

dominasi tentara dalam politik tidak disertai suatu format politik yang mendorong

terciptanya suatu pola pemerintahan demokratis. Atau barangkali benar seperti yang

ditulis Sunardi di tulisan sebelumnya pada bab ini, bahwa tentara adalah satu kekuatan

yang luput (atau terlupakan?) dari perhatian Easton dalam bingkai “Sistem Politik”-

nya. Akibatnya penganut teori Sistemnya Easton pun tidak pernah mampu secara

tuntas membahas fenomena dominasi tentara dalam politik kenegaraan.

Kinerja politik tentara yang hampir pasti tidak demokratis, seringkali memicu

54 Morris Janowitz, The Military in the Political Development of New Nations, (Chicago: University of Chicago Press, 1964), hal. 27-2955 Ibid. hal. 67-75

118

Page 119: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

banyak persoalan seperti pelanggaran hak asasi manusia, gaya kepemimpinan yang

cendrung otoriter, dan terbangunnya suatu rejim politik oligarkis. Untuk menjelaskan

wajah leviathan dari “militer penguasa politik” barangkali kita perlu melihat

pandangan Frederich Engels dan Lenin yang jarang memang dibahas dalam studi

politik-militer.

Engels ketika berbicara tentang “negara” menyebutkan dua syarat yaitu pertama,

penduduk dibagi berdasarkan wilayah dan kedua, dibentuk kelompok bersenjata yang

“berada di atas masyarakat dan bertindak sendiri”56. Pembentukan kelompok

bersenjata ini menurut Engels merupakan bagian dari persiapan menuju revolusi.

Lenin menerima pandangan Engels tapi Lenin mengajukan pertanyaan, apa yang akan

terjadi jika di dalam masyarakat terdapat kelas-kelas yang saling bermusuhan? Yang

terjadi, kata Lenin, muncul banyak pasukan bersenjata dari kelas-kelas yang

bermusuhan lalu berperang satu sama lain dan bahkan berperang melawan “pasukan

bersenjata negara”57. Perang ini rentan terjadi ketika “tentara negara yang berada di

atas masyarakat dan bertindak sendiri” itu semakin jauh dari kehendak masyarakat

dan menjadi alat di tangan penguasa untuk menindas rakyat.

Pandangan Engels dan Lenin ini mendukung fakta yang terjadi di Indonesia

dengan adanya DOM Aceh (1988-1998), Petrus (1983-1985) yang dalam dua tahun

menewaskan lebih dari 8.500 gali (gabungan anak liar) sehingga disebut oleh James T

Siegel (1997) sebagai the nationalization of death, tragedi Tanjung Priok tahun 1984,

Peristiwa Malari 1974, Tragedi Santa Cruz 12 November1992, hingga kekerasan

menjelang dan selama Referendum Timor Timur 31 Agustus 1999. Saurip Kadi dalam

bukunya TNI AD Dahulu, Sekarang, dan Masa Datang, bahkan menyebutkan 38

kasus besar yang membuktikan bagaimana tentara dipakai sebagai alat penguasa

untuk melanggengkan status-quo kekuasaan. Ia menyebut antara lain Demo

Mahasiswa 1978 menjelang Sidang Umum tahun 1978 yang intinya mempersoalkan

pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden, kasus Petisi 50 pada Mei 1980 yang

berawal dari “pernyataan keprihatinan” 50 tokoh masyarakat yang mempertanyakan

kebijakan-kebijakan Soeharto, kasus Warsidi 7 Februari 1989 yang dituduh sebagai

gembong GPK di Lampung Tengah, Kasus Sei Lapen 25 Maret 1993 yang berawal

56 Dikutip W.I. Lenin dalam Negara dan Revolusi, terjemahan Sulang Sahun, (Jakarta: Fuspad, 2000) , hal. 8-9. 57 Ibid hal 10-11

119

Page 120: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

dari selisih antara warga transmigran dengan Pemda Langkat dan PT Anugerah

Langkat Makmur sampai akhirnya melibatkan aparat negara, kasus Marsinah 5 Mei

1993 seorang aktivis buruh di PT CPS yang ditemukan tewas di hutan Wilangan

Nganjuk dengan pelaku 6 orang tentara, 20 polisi, dan 1 jaksa, kasus Haur Koneng 28

Juli 1993 yang dikait-kaitkan dengan Gerakan Ratu Adil, kasus Nipah 25 September

1993, kasus Parbuluhan 15 Pebruari 1995, kasus Jenggawah 3 Januari 1996, kasus

Abepura 18 Maret 1996, kasus Nabire 3 Juli 1996, kasus Udin 13 Agustus 1996,

kasus Buruh Maroya 10 Juni 1999, dan kasus Haruku 23 Januari 200058.

Bahkan untuk melukiskan kekejaman tentara masa lalu yang bahkan melewati

tapal batas kemanusiaan, Al-Chaidar dan kawan-kawan mencatat 92 kejadian sadis di

Aceh selama pemberlakuan DOM dalam buku Aceh Bersimbah Darah59. Mulai dari

warga digorok dan rumah dibakar, kepala seorang ayah dikuliti di depan anaknya,

suami dibuang setelah istrinya distrum, gadis diperkosa berdiri sambil disiksa, sampai

pada gadis cacat diperkosa tentara yang mabuk. Cerita Al-Chaidar,dkk tidak berbeda

dalam bobot kekejaman dengan apa yang saya dengar dari sejumlah warga di

Takengon, Aceh Leuser Antara (ALA), ketika memberi ceramah pada bulan Agustus

2006 lalu.

Keterlibatan Militer dalam Politik Indonesia

Apa yang dijelaskan Huntington, termasuk Morris dan Perlmutter, sudah

menggambarkan dengan jelas bagaimana dan mengapa militer terlibat dalam politik.

Amos Perlmutter misalnya menyebutkan sejumlah kondisi yang mendorong

berkembangnya pretorianisme yang pada gilirannya akan melahirkan militer pretorian

di negara-negara yang demokrasinya belum kuat yaitu:

Kelemahan struktural atau disorganisasi dalam masyarakat.

Adanya kelas-kelas fratrisidal (yang membunuh saudara sendiri).

Kelas menengah yang impotent.

Rendahnya tingkatan aksi sosial dan mobilisasi sumber-sumber

material60

Analisis Perlmutter tidak ditentang tetapi dilengkapi oleh Morris dan Huntington.

58 Saurip Kadi, TNI-AD Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2000), hal. 18-39.59 Al-Chaidar, et al. Aceh Bersimbah Darah, (Jakarta: Al-Kautsar, 1998), hal. 60 Lihat Amos, Ibid. hal 144

120

Page 121: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Morris menyebutkan kemampuan manejerial dan sikap heroik militer sebagai alasan

yang memudahkan militer menguasai politik. Lalu Huntington menjelaskan

“masyarakat pretoria” dan berbagai dinamika pretorianisme dalam masyarakat yang

pada titik tertentu mendorong militer untuk menguasai politik di antara berbagai

kekuatan sosial yang lain. Apa yang dijelaskan itu merupakan analisis general yang

belum tentu berlaku dalam kasus negara tertentu.

Misalnya spesfik untuk konteks Indonesia, sukarnya menghilangkan pengaruh

militer dalam politik, hemat saya, mesti dipahami dari berbagai aspek berikut

ketimbang dipahami dengan kondisi “masyarakat pretoria”-nya Huntington meskipun

dalam hal tertentu ada benarnya.

aspek historis

aspek politis mengenai

aspek sosiologis-societal

aspek paradigmatis militer

(1) Aspek Historis. Tentara Indonesia memiliki sejarah yang unik. Apa yang kita

kenal sebagai TNI bukanlah organisasi ketentaraan yang dibentuk oleh negara

melainkan dibentuk secara sukarela oleh para tentara sendiri yang terdiri dari para

bekas pejuang PETA dan KNIL. Mula-mula ada Badan Keamanan Rakyat (BKR) lalu

berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Setahun setelah merdeka,

tepatnya tahun 1946, dibentuklah Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang nota bene

para anggotanya adalah orang-orang yang tergabung dalam TKR.

Hal ini juga ditegaskan Mayjen Saurip Kadi dalam tulisannya ABRI di Masa

Depan, bahwa “ABRI dilahirkan oleh rakyat yang sedang berjuang merebut dan

mempertahankan kemerdekaan. ABRI bukan tentara bentukan pemerintah atau

golongan tertentu. Ia juga bukan tentara bayaran dan bukan pula kumpulan prajurit

yang menjual tenaga, jiwa dan raganya untuk sesuap nasi”61.

Karena dibentuk secara otonom tanpa campur tangan negara, maka tentara

Indonesia memiliki keyakinan bahwa tentaralah yang mendirikan Republik ini. Oleh

karena itu, tentara mesti dilibatkan dalam proses politik dan sosial. Dalam perjalanan

sejarah, tentara menjadi aktif terlibat dalam bisnis disebabkan karena krisis anggaran

dalam APBN yang dialokasikan untuk kebutuhan operasional TNI. Hampir pasti 61 Saurip Kadi, ABRI di Masa Depan, dalam ABRI dan Agenda Perubahan, Bunga Rampai, (Jakarta: PT Aditoya Media, 1999), hal. 159.

121

Page 122: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

APBN hanya bisa menyediakan 25-30% dari total kebutuhan dana TNI. Pada masa

Soeharto, TNI diberi keleluasaan dalam berbisnis dengan dalih menutupi kekurangan

anggaran yang tidak mampu dipenuhi oleh negara, meskipun dalam kenyataan hanya

para tentara berpangkat Kapten ke atas saja yang menikmati keuntungan dari bisnis

tentara.

(2) Aspek Politis. Penampilan partai politik yang tidak memuaskan militer,

pemerintahan yang kurang efektif sehingga mendorong instabilitas politik, perebutan

kekuasaan di antara elit sipil, dan dikeluar kannya kebijakan-kebijakan politik yang

kontroversial merupakan faktor-faktor ekternal yang mendesak militer untuk terlibat

dalam politik. Percobaan kudeta 17 Oktober 1952 oleh Jenderal Nasution dan kawan-

kawan adalah contoh yang tepat untuk menggambar kan betapa militer tidak

menyukai model kepemimpinan politisi sipil sepanjang periode Demokrasi

Parlementer. Peristiwa tersebut pada hakikatnya bukan untuk menggulingkan

pemerintahan yang sah dari tangan Presiden Soekarno melainkan suatu bentuk protes

terhadap pemerintahan sipil. Bongkar pasang kabinet meresah kan tidak hanya tentara

tetapi juga Soekarno sendiri selaku kepala negara. Maka ketika terjadi pemberontakan

PRRI/Permesta tahun 1957, partai politik seperti Masyumi dituduh terlibat sebagai

dalang di balik pemberontakan tersebut, Soekarno mulai bersikap tegas terhadap

partai politik. Sehingga sangat logis kalau setahun kemudian, tahun 1958, Soekarno

membubarkan Masyumi dan bahkan 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit untuk

membubarkan parlemen hasil pemilu 1955.

Tindakan Soekarno hampir pasti mendapat dukungan penuh dari militer, terutama

Angkatan Darat, karena menjadi semacam jawaban atas kegelisahan tentara terhadap

kondisi politik negara dan bangsa dan terhadap kinerja pemerintahan sipil. Setelah

Dekrit dikeluarkan, Presiden Soekarno membentuk DPR Gotong Royong yang di

dalamnya tentara sudah dilibatkan sebagai satu fraksi tersendiri. Hubungan Soekarno

dengan TNI (AD) memang tidak berlangsung romantis di tahun-tahun setelahnya.

Kedekatan Soekarno dengan PKI meningkatkan resistensi AD terhadap Soekarno

sehingga Herberth Feith, indonesianis brilian kelahiran Austria yang berpindah ke

Australia dan kemudian meninggal ditabrak kereta api di dekat rumahnya di

Melbourne tahun 2002 lalu, membuat analisis tentang segitiga kekuatan pada dekade

1960an awal yakni Soekarno, PKI, dan AD.

122

Page 123: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Soekarno

AD PKI

Peristiwa 30 September 1965- atau ada yang menyebutnya peristiwa 1 Oktober 196562

seperti Victor M Fic dalam bukunya Anathomy of Jakarta Coup: October 1, 1965-

merupakan titik keruntuhan segitiga kekuatan tersebut sehingga Soekarno pun dengan

mudah “dikalahkan” oleh Angkatan Darat.

Keterlibatan politik tentara menjadi semakin kuat ketika pada paruh kedua

1960an kelompok kepentingan seperti Kosgoro, MKGR, dan SOKSI bergabung lalu

membentuk Sekretariat Bersama Golkar. TNI memainkan peran yang sentral dalam

pembentukan Sekber Golkar ini. Di tangan Soeharto, posisi tentara menjadi sangat

kuat di ranah politik dengan Golkar sebagai kendaraan utama. Kalau R.E. Elson

dalam bukunya Suharto, Sebuah Biografi Politik, menyebut tahun 1966 sebagai titik

balik (turning point) yang menjanjikan bagi Soeharto untuk berkuasa63, maka bagi

militer ini merupakan titik awal dari sejarah panjang yang menguntungkan selama

Orde Baru.

Disamping yang dijelaskan di atas, aspek politis yang melanggengkan pengaruh

militer dalam politik, terutama yang menjadi karakter politik dewasa ini, juga

tercermin dalam perilaku partai politik yang masih mesra-mesraan dengan tentara.

Hampir setiap partai politik yang ada sekarang menggandeng jenderal purnawirawan

62 Lihat Victor M Fic, Anathomy of Jakarta Coup: October 1, 1965, edisi pertama, India: 2004, edisi kedua diterbitkan di Indonesia dalam bahasa Inggris, (Jakarta: Obor, 2005).63 R.E. Elson, Suharto, Sebuah Biografi politik, 2001, terjemahan Indonesia, (Jakarta: Minda Utama, 2005), hal. 246

123

Page 124: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

sebagai “tulang punggung” yang diharapkan menguatkan kuda-kuda partai.

Ketergantungan partai terhadap tentara seperti ini tidak hanya menghambat upaya

depolitisasi tentara, tetapi justru memperkuat kaki tentara di ranah politik, tentunya

dengan cara baru yang lebih tidak kelihatan64.

(3) Aspek Sosiologis-Societal. Keterlibatan dan intervensi tentara dalam politik

yang masih berlangsung sampai sekarang juga dipengaruhi oleh aspek sosiologis

kemasyarakatan. Yaitu bagaimana masyarakat memandang tentara. Sulit diubah,

masyarakat masih memandang tentara sebagai “kelompok yang kuat, disiplin, tegas,

berani, pahlawan, peredam konflik, dan sebagainya”. Disadari atau tidak, cara berpikir

masyarakat yang demikian dengan sendirinya memperkokoh praktek keterlibatan

tentara dalam berpolitik. Perlahan-lahan memang cara pandang ini mulai berubah,

terutama di kalangan masyarakat perkotaan dan masyarakat terdidik. Tetapi karena

masyarakat Indonesia masih mayoritas menghuni di wilayah pedesaan, maka pola

pikir masyarakat yang menganggap tentara sebagai “pahlawan” (heroisme) belum

banyak berubah.

(4) Aspek Paradigmatik. Sulitnya tentara untuk secara institusional mendukung

sistem supremasi sipil yang menjadi jiwa reformasi kita sekarang dipengaruhi oleh

paradigma tentara yang memegang teguh mitos heroisme. Bahwa tentara adalah

pahlawan yang mendirikan republik, tentara adalah pengaman negara, tentara adalah

penyelesai konflik, tentara adalah pelindung masyarakat, tentara adalah penjaga UUD

1945 dan Pancasila. Paradigma ini dipegang teguh sehingga menjadi sebuah kredo di

kalangan tentara bahwa tanpa tentara NKRI akan bubar. Keyakinan ini tentu tidak

bisa dipungkiri bahwa memang tentara berjasa dalam mendirikan republik ini dan

untuk itu masyarakat harus berterima kasih. Tetapi perlu disadari juga bahwa

kebanggaan terhadap tentara sebagai pejuang bukan berarti tentara terus dibiarkan

dalam berpolitik sebab paradigma mitos heroisme ini pada gilirannya menyulitkan

tentara untuk memahami penegakan supremasi sipil (civilian supremacy) sebagai

subtansi dari demokrasi, bukan military supremacy65.

Hambatan Reformasi TNI66

Ada empat hambatan yang cukup menonjol dalam membenahi TNI. Pertama,

64 Boni Hargens, Korporatisme dalam Kasus Koesmayadi, Harian Koran Tempo tanggal 12 Juli 200665 Boni Hargens, Efek Kontraproduktif Reformasi TNI, Harian Seputar Indonesia tanggal 18 Juli 2006 66Boni Hargens, Hak Pilih TNI dan Masa Depan Demokrasi, Suara Pembaruan 3 Oktober 2006

124

Page 125: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

hambatan sistemik. Kedua, hambatan kultural. Ketiga, hambatan ekonomis. Keempat,

hambatan politik. Kelima, hambatan legal-formal.

1) Hambatan Sistemik

TNI sebagai sebuah institusi belum memiliki pandangan dan kesadaran yang pasti

tentang penegakan supremasi sipil sehingga reformasi TNI menjadi kehilangan arah.

Entah karena terlalu lama TNI berpolitik atau karena pendidikan politik di kalangan

para perwira kurang berjalan dengan maksimal sehingga sampai sekarang tidak

seluruh perwira tinggi yang ada di Mabes TNI mengerti dengan jelas apa yang

dimaksukan dengan “TNI profesional” dan supremasi sipil. Hal ini diakui juga oleh

sejumlah petinggi di Mabes TNI dalam sebuah diskusi dengan penulis. Hambatan

sistemik juga mengacu pada hubungan Departemen/Kementerian Pertahanan dengan

Panglima TNI yang menurut UU 34/2004 Panglima TNI berada di bawah koordinasi

kewenangan Menteri Pertahanan, tetapi hingga saat ini inkorporasi jabatan panglima

TNI ke dalam Kementerian Pertahanan belum bisa diterima oleh para petinggi militer.

Padahal inkorporasi itu merupakan bagian dari implementasi supremasi sipil, bahwa

segala urusan yang berkaitan dengan militer berada di bawah kendali sipil melalui

menteri pertahanan yang adalah orang sipil. Kendali di sini tidak menyangkut

kenaikan pangkat atau jabatan struktural di tubuh TNI tetapi menyangkut

pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kinerja institusi TNI.

2) Hambatan kultural

Sudah menjadi budaya, bahwa militer memandang dirinya sebagai kelompok

yang dalam hal kepemimpinan dan dalam banyak hal lainnya lebih baik dari sipil.

Dalam sejarah hal itu terbukti, misalnya ketika militer memimpin sebagai gubernur,

menteri, ataupun bupati pada masa Orde Baru dimana pemerintahan relatif tertib dan

aman. Meskipun tertib dan aman dalam konteks ini masih harus diperdebatkan karena

dekat sekali maknanya dengan pembungkaman masyarakat sipil, penyum batan

kebebasan berpendapat, dan pengekangan berbagai hak sipil dan politik oleh gaya

kepemim pinan yang menggunakan “ancaman” sebagai komoditas.

Yang cukup memprihatinkan, cara pandang seperti ini juga masih ada di tengah

masyarakat. Pendidikan dan pencerahan politik yang berlangsung tidak memadai di

tingkat masyarakat membuat pertumbuhan kesadaran politik berlangsung lamban.

Inilah sebab mengapa tentara masih dipandang oleh sebagian masyarakat sebagai

125

Page 126: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

kelompok yang dibutuhkan untuk memimpin politik.

3) Hambatan ekonomis

Kekurangan finansial dalam menangani operasional TNI adalah salah satu

kendala serius dalam menertibkan bisnis-bisnis tentara yang selama ini berkembang

tanpa pengawasan. Amanat UU 34/2004 menghendaki pengambil-alihan bisnis tentara

tetapi dalam kenyataan hal itu sukar dilakukan karena tidak ada alternatif bagi TNI

untuk mengisi kekosongan anggaran yang notabene tidak bisa dipenuhi oleh negara

melalui APBN.

4) Hambatan politik

Perilaku partai politik yang cendrung oportunis dan mentalitas politisi sipil yang

masih senang bergandengan dengan militer dalam berpolitik, adalah hambatan

potensial dalam mewujudkan militer profesional yang tidak berpolitik.

5) Hambatan legal-formal

Tidak adanya aturan perundang-undangan formal yang jelas dan aplikatif tentang

reformasi TNI dan penegakan supremasi sipil merupakan salah satu kendala dalam

mempercepat agenda reformasi TNI. UU 34/2004 misalnya mengatakan dalam salah

satu klausul bahwa Panglima TNI berada di bawah kewenangan Menteri Pertahanan.

Bagaimana klasul ini dijalankan, apakah dengan menjadikan panglima sebagai anak

buah menteri pertahanan yang berasal dari sipil sehingga sangat sulit diterima tentara

atau modelnya seperti apa? Ini belum jelas sampai sekarang. Selain itu, undang-

undang militer dan sipil masih bertentangan dalam hal substansi. UU Pengadilan

Militer dan UU Pengadilan HAM misal nya berbeda pendapat tentang militer yang

terlibat dalam pelanggaran HAM. Dalam kasus Timor Timur, menurut UU Pengadilan

Militer, yang harus diadili adalah prajurit yang terlibat langsung dalam penembakan

di lapangan, bukan petinggi yang memberikan perintah. Sementara UU Pengadilan

Ham mengatakan sebaliknya sehingga Wiranto dalam kasus Timor Timur harus

diseret ke pengadilan HAM.

Sampai di sini, mau tidak mau, kita harus mengatakan dengan jujur bahwa

reformasi TNI yang diharapkan masih “jauh panggang dari api”. Antara visi reformasi

dan praktek dalam kenyataan masih tidak sinkron sehingga masih sulit mengharapkan

transisi demokrasi di Indonesia bisa berakhir dalam waktu yang singkat. Militer

secara formal sudah sedikit banyak ditarik dari wilayah politik, tetapi dalam praktek

126

Page 127: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

masih menjadi figur-figur yang krusial dalam menentukan arah politik nasional. Maka

dapat disimpulkan untuk sementara bahwa militer masih menjadi kekuatan politik

yang pretorian dalam konstelasi politik nasional di Indonesia.

Penataan Kembali TNI dalam Kerangka Sistem Demokrasi

Melanjuti tulisan Sunardi dan Boni Hargens diatas, penulis pada bagian ini ingin

mengkaji penataan kembali TNI pada tataran praktis dalam bingkai demokrasi di

Indonesia. Untuk menjelaskan ini kita perlu memahami bahwa akibat kemerdekaan

yang ditempuh tanpa persiapan yang memadai maka konsep politik kenegaraan belum

tuntas dibicarakan. Menjadi wajar kalau dalam sidang-sidang BPUPKI dan juga PPKI

founding father belum sempat membicarakan design tentara dalam sistem kenegara

an yang dirancangnya. Belum dibentuknya tentara diawal kemerdekaan sesungguhnya

juga strategi perjuangan yang diputuskan Pemerintah dalam menghadapi rencana

kedatangan tentara Sekutu yang akan melucuti tentara Jepang. BKR sendiri yang

dibentuk pada tanggal 23 Agustus 1945 bukanlah badan ketentaraan, tapi sekedar

badan penjaga keamanan umum, itulah maka pengorganisasian BKR tidak dalam

bentuk rantai komando dari pusat ke daerah. Keberadaan BKR didaerah-daearah

sendiri dibawah koordinasi Komite Nasional Indonesia Daerah. Baru setelah NICA

membonceng tentara Sekutu pada pada akhir September 1945 mendarat di Surabaya

muncullah perubahan strategi perjuangan dengan menggabung antara perjuangan

diplomasi dan perjuangan bersenjata. Sejak saat itu perjuangan perlawanan fisik

bersenjata melawan penjajah terjadi dibanyak tempat. Peristiwa heroik 10 Nopember

1945 di Surabaya, Palagan Ambarawa tanggal 15 Desember 1945 di Ambarawa, dan

banyak lagi palagan perang lainnya yang tersebar dibanyak tempat.

Perang mengusir penjajah selesai, segera disusul dengan konsolidasi TN1 yang

terkenal dengan istilah RERA (Reorganisasi dan Rasionalisasi) sebagai kelanjutan

hasil perundingan KMB tahun 1948. Saat konsolidasi baru saja dimulai terjadilah

pergolakan disejumlah daerah akibat ulah PKI di Madiun dan sejumlah konflik akibat

ketidak puasan daerah terhadap kebijakan pusat. Maka TNI kemudian diterjunkan

dalam operasi militer kembali, yang jelas sejarah mencatat reputasi gemilang TNI

pada operasi militer dalam menangani “pemberontakan” PKI di Madiun, DI/TII,

PRRI, Permesta, dan juga operasi Tri Kora dalam merebut kembali Irian Barat. Irian

127

Page 128: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Barat baru saja selesai, TNI kembali ditugasi untuk melaksanakan operasi Dwi Kora

saat kita berkonfron tasi dengan Malaysia. Dengan Malaysia belum usai, muncullah

G30'S/PKI yang segera dihadapi TNI dengan operasi militer untuk menumpasnya.

Dari rangkaian fakta seperti tersebut diatas jelas keberadaan TNI dari awal

memang belum diatur melalui "blue print" yang menempatkan dirinya sebagai bagian

tak terpisahkan dari sebuah sistem politik nasional, karena TNI memang lahir dan

dibesarkan oleh keadaan dan kebutuhan perjuangan serta dinamika perjalanan bangsa.

Sudah barang tentu kelembagaan, penyebaran, persenjataan, dan bahkan doktrin yang

disusunnya lebih dilatar belakangi oleh kepentingan sesaat dan pengalaman masa

lalunya. Disanalah kita jumpai mengapa sejumlah kesatriaan TNI yang dibangun

dimasa lalu berada dikota-kota kecil yang secara perhitungan militer sangat tidak

menguntungkan untuk kepentingan pertahanan negara secara keseluruhan. Kondisi

yang demikian tidak berbeda dengan keberadaan tangsi-tangsi KNIL yang

dislokasinya juga disebar dipinggiran kota-kota besar yang terdapat kegiatan

pemerintahan kolonial. Dan dari sana pula kita paham mengapa keberadaan TNI

dimasa lalu lebih diorientasikan untuk mem back-up kepentingan politik

pemerintahan, sebagai- mana layaknya keberadaan KNIL dijaman penjajahan Belanda

dulu.

Menjadi maklum kalau paham yang berkembang dalam mengemban tugas

sucinya TNI menempatkan kedekatan antara dirinya dengan rakyat sebagai prinsip

dasar kehidupannya. Keberhasilan TNI merebut hati rakyat saat itu tidak bisa lepas

dari realita tingkat kehidupan sosial rakyat kita yang masih sangat rendah, ibarat anak

kecil apapun uluran tangan orang tua dalam semua aktifitasnya sangatlah berarti

baginya. Dan ketika sang anak menjadi dewasa dengan kemampuan yang serba lebih,

maka uluran tangan orang tua terkadang justru diposisikan sebagai intervensi

kekuasaan. Terlebih setelah mereka membentuk keluarga sendiri, sangatlah tidak

bijak kalau norma pergaulan lama yang berlaku saat mereka masih kecil terus

dipaksakannya. Begitulah sebaiknya tuntutan reformasi internal disikapi oleh segenap

elit bangsa dan terlebih elit TNI-nya, agar kedepan TNI bisa terus "to win the heart of

the people"67. Dan itu hanya bisa terwujud manakala penampilan TNI sesuai dengan

67 Ini adalah nilai dasar dari model “tentara rakyat” yang sejatinya adalah ciri tentara Indonesia. Tentara lahir dari rakyat bukan bentukan negara, maka hakikat tentara Indonesia adalah tentara rakyat yang berada di hati rakyat. Lihat Nugroho Notosusanto, Pejuang dan Prajurit, edisi ketiga, (Jakarta: Sinar

128

Page 129: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

kebutuhan kekinian rakyatnya. Disanalah pentingnya kejelian TNI menangkap tanda-

tanda jaman, untuk segera menyesuaikan diri dengan perkembangan lingkungan

strategisnya. Tanpa kesadaran untuk menyesuaikan dengan perubahan jaman maka, ia

diubah secara “paksa” oleh lingkungannya sebagai mana yang terjadi pasca jatuhnya

Orde Baru.

Perjalanan sejarah bangsa pula yang membuat TNI khususnya TNI-AD kemudian

disusun dalam satuan-satuan seperti yang ada saat ini termasuk keberadaan Komando

Teritorial yang awalnya memang tidak bisa lepas juga dari kepentingan politik

kekuasaan, dari pada strategi pertahanan negara itu sendiri. Sehingga secara otomatis

postur TNI yang ada saat ini memang belumlah disusun secara optimal untuk

kepentingan pertahanan negara secara utuh, yaitu sebuah konsep pertahanan negara

yang disusun berdasarkan urutan yang dimulai dari perumusan hakekat ancaman yang

bakal dihadapi, penentuan strategi ditingkat nasional sampai urusan taktis dan tehnis

oprasional ditingkat bawah. Memang sangat disayangkan ketika perubahan

lingkungan strategis utamanya tuntutan demokratisasi tidak mungkin lagi diabaikan,

keberadaan TNI dengan segala nilai yang dimilikinya justru dianggap sebagai sesuatu

yang tabu untuk diubah dengan stigma sebagai kekhasan tentara Indonesia. Disanalah

kita bisa memahami mengapa hari ini TNI dari sisi besarnya kekuatan dan

persenjataan, serta perlengkapan sebagai sebuah angkatan perang sangat

memprihatinkan, sementara keterlibatannya dalam kemelut politik nasional sepertinya

masih terus berlanjut.

Berangkat dari kondisi yang demikian itu sesungguhnya tidak ada yang salah atas

masa lampau TNI, karena itu semua adalah bagian dari proses sejarah menuju hari ini

untuk menyongsong hari esok. Peran TNI yang bagaimanapun dimasa lalu, tak lebih

sebagai out put dari sistem kenegaraan yang berlaku saat itu. Dan karenanya yang

terpenting adalah bagaimana TNI mensikapi hari esoknya, agar semua prestasi yang

telah diraih dimasa lalu dan keberadaan dirinya ditengah-tengah bangsa tetap

bermanfaat bagi anak keturunan, sekurangnya tidak terus menjadi beban mereka.

Maka persoalan yang mendasar bagi bangsa kita saat ini adalah bagaimana kedepan

kita tata ulang TNl untuk menyongsong keniscayaan lahirnya sistem kenegaraan yang

demokratis. Artinya TNI tidak lagi berpolitik seperti selama masa Orde Baru seperti

Harapan, 1991)

129

Page 130: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

yang ditulis Wolfgang Merkel “angkatan bersenjata sejak kemerdekaan negara (1945)

adalah faktor kekuatan sentral dalam politik negeri Indonesia, perannya sebagai

kekuatan veto tidaklah hanya merupakan hasil dari hak istimewa politik, yang di

dalamnya mereka dapat menuntut, melainkan juga tertanam kuat dalam struktur

institusional sistem politik”68.

Sikap yang demikian itu bukanlah serta merta kita akan mengubah begitu saja apa

yang ada saat ini, karena sejumlah persyaratan haruslah terlebih dahulu dipenuhi agar

tidak terjadi kekosongan kekuasaan (vacuum of power), karenanya harus diatur secara

lintas sektoral dan dilaksanakan secara bertahap. Keuntungan yang akan didapat

dengan penyikapan seperti itu, otomatis akan membuat TNI kembali menjadi agen

perubahan sebagaimana yang dicontohkan para pendahulunya diwaktu yang lalu. Dan

sudah barang tentu yang harus dihindari oleh bangsa ini adalah sikap yang terus

terjebak pada pendirian bahwa TNI yang ada adalah bentuk final atau harga mati yang

tidak bisa ditawar-tawar lagi sebagaimana sikap yang dikembangkan TNI dimasa

Orde Baru.

Penataan kembali juga tidak selayaknya ditempat- kan sebagai pengingkaran

nilai-nilai TNI. Justru sebaliknya, rasa terima kasih kepada generasi pendahulu

haruslah diwujudkan dalam bentuk menjaga dan meningkatkan prestasi utamanya

nama besar yang diwariskan, bukan soal mempertahankan cara-cara yang dulu

diterapkannya. Tanpa kesadaran untuk mengubah segenap nilai-nilai instrumen (cara--

cara) yang sebagian memang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan jaman, niscaya

pengorbanan para pendahulu menjadi sia-sia, bahkan bisa jadi akan membuat TNI

tersisih dari percaturan bangsa nya.

Perkembangan kehidupan demokrasi telah membuat dalam pengelolaan

kenegaraan dan terlebih kedepan tidak bisa lagi menggunakan cara-cara lama yang

bercirikan "top-down" dan juga segala model yang biasa berlaku dalam kehidupan

militer. Karena cara-cara yang demikian hanya cocok dalam sistem kenegaraan yang

menganut paham otoriter. Cara-cara yang tidak melandaskan pada "supremasi sipil",

hanyalah tepat manakala negara dalam kedaan perang atau tidak normal, dimana

tentara digunakan untuk mengatasinya, baik dengan menerapkan pemerintah- an

68 Wolfgang Merkel, Ibid. hal 142 mencatat lagi, “harapan keberhasilan perkembangan demokrasi di Indonesia, masih belum pasti, meskipun proses demokratisasi ini berkelanjutan dibandingkan gelombang demokratisasi ketiga di negara-negara demokrasi muda di Asia Selatan setelah 1974”.

130

Page 131: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

darurat militer, ataupun dalam bentuk civic mission yaitu saat bangsa ini menghadapi

bencana alam dan malapetaka kemanusiaan lainnya. Disanalah pentingnya keterus

terangan dan kejelasan informasi kepada segenap warga bangsa dan juga para sesepuh

generasi pendahulu TNI, tentang perubahan konsep pengelolaan TNI kedepan akibat

perubahan keadaan bangsa dan juga lingkungan strategis yang ada. Dengan

perubahan tuntutan lingkungan strategis membuat nilai-nilai instrumen yang dulu

menjadi andalan para pendahulu tidaklah mungkin seluruhnya bisa diterapkan dalam

kehidupan sekarang dan terlebih dimasa mendatang. Dan apalagi sistem

pemerintahanpun telah berganti tidak lagi mengguna kan cara-cara otoriter seperti

yang diterapkan selama Orde Baru, bahkan tidak lama lagi bangsa ini segera masuk

dalam era "civil society". Sudah barang tentu dalam tata kehidupan yang menegakkan

"supremasi sipil", upaya untuk mempertahankan cara-cara lama yang umumnya

bersifat "top down" akan bertentangan dengan tuntutan lingkungan yang ada baik

dalam negeri maupun global. Dan sekiranya mau jujur, dalam keadaan normal hal-hal

yang demikian itu sesungguhnya bertentangan dengan hakikat kelahiran manusia

didunia untuk bebas dan merdeka. Hal yang demikian memang dikecualikan bagi

kehidupan tentara, dan itupun prosesnya melalui latihan yang panjang dengan biaya

yang tidak kecil dan kemudian diterapkan terus menerus dalam kehidupan kesehari-

an. Karenanya kalau cara-cara "top-down" kedepan terus dipaksakan niscaya akan

menjadi bumerang, setidaknya akan menjadi kontra produktif yang resikonya bisa

menjadi fatal bagi bangsa, negara dan terlebih bagi TNI sendiri.

Menata ulang TNI sama sekali juga bukanlah upaya mengembalikan TNI ke

barak, tapi bagaimana TNI diposisi secara benar dalam kerangka sistem kenegaraan

yang demokratis. Dengan demikian tampilnya TNI benar-benar secara proposional

dalam "core bisnis"nya yaitu bidang pertahanan negara, dan juga menangani segala

persoalan kenegaraan apapun bentuknya manakala keadaan tidak lagi normal

(abnormal) dan atau masalah yang tidak bisa atau dipastikan tidak bisa diselesaikan

dengan cara-cara sipil.

Sebuah kisah sukses (succes story) yang luar biasa memang telah diraih oleh para

pendahulu TNI, dalam situasi yang sangat genting dan bahkan abnormal (darurat)

telah berhasil mengantar per juangan bangsa dalam mempertahankan keutuhan

Republik Indonesia. Semua yang terbaik setidaknya menurut persepsi TNI juga telah

131

Page 132: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

diberikan kepada bangsa nya agar segera mengejar ketertinggalan dengan

pembangunan nasionalnya terlebih di awal era Orde Baru. Sayang sekali setelah

keadaan kembali normal, keberadaan TN1 malah diposisikan lebih sebagai alat

penguasa daripada sebagai alat negara. Hal ini tidak bisa lepas dari sistem kenegara-

an yang dianutnya memang model otoriter. Maka maraknya tuntutan perubahan oleh

TNI justru disikapi dengan cara mengabaikan dan malah menekannya. Yang terjadi

ketika perubahan tidak lagi bisa dibendung, dan pemerintahan Orde Baru pun jatuh,

semuanya menjadi terbalik-balik. Dan perubahan pun begerak "liar" tidak lagi bisa

dikontrol. Banyak pihak kemudian mempertanyakan sikap TNI dalam menghadapi

kondisi yang berkembang, dan sebagian lagi menuduh adanya keterlibatan bagian TNI

dalam konflik sosial dan juga pengeboman yang terjadi menjelang dan pasca jatuhnya

Suharto. Dengan tidak bermaksud menyalahkan pihak manapun, tuduhan yang

semacam itu sangatlah wajar, karena sampai dengan tampilnya Habibie sebagai

Presiden penanggung jawab tunggal dibidang pertahanan dan keamanan memanglah

ABRI (TNI). Kewajaran “tuduhan” tersebut juga tidak bisa lepas dari realita

kehidupan kemasyarakatan yang awalnya (di era Orde Baru) begitu terkontrol dengan

ketatnya oleh ABRI, namun diujung kekuasaan Orde Baru begitu saja banyak kasus

kriminal besar dan kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa diungkap, dan kemudian

terjadi konflik sosial disejumlah daerah, bahkan senjata api pun ikut digunakannya.

Begitu pula persoalan Sishanta (dahulu:Sishankamrata), kalau memang nyatanya out

put sistem tersebut dalam kenyataannya Indonesia berdarah-darah, jatuhnya korban

diantara anak bangsa akibat konflik sosial terus silih berganti, lepasnya Timor Timur,

Sipadan dan Ligitan yang begitu saja tanpa reaksi berarti dari rakyat banyak, dan terus

berlarutnya masalah keamanan di Aceh dan Papua maka tidaklah berlebihan kalau

kita menyimpulkan bahwa Sistem Pertahanan yang ada tidak lagi efektif, dan

karenanya perlu perumusan ulang konsep pertahanan yang disesuaikan dengan

perkembangan lingkungan strategis yang melingkupi bangsa kita saat ini dan trend

perkembangannya kedepan.

Posisi TNI dalam Sistem Politik Nasional69

Kedudukan TNI dalam sistem politik haruslah ditempatkan diluar birokrasi

69 Bagian ini sudah dimuat Harian KOMPAS tanggal 6 Oktober 2006 dengan judul yang sama.

132

Page 133: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

pemerintahan sipil, ia berada dibawah langsung Presiden sebagai Kepala Negara dan

sekaligus sebagai Panglima Tertinggi TNI. TNI tidak dibawah Presiden selaku Kepala

Pemerintahan, karenanya maka keberadaan Pimpinan TNI sebagai anggota kabinet

walau pun hanya secara "ex offisio" mungkin sudah waktunya untuk diakhiri. Dan

pimpinan TNI ditingkat daerah pun tidak seharusnya duduk sebagai anggota Muspida.

Dengan cara ini maka TNI akan bebas atau tidak terlibat dalam persoalan kebijakan

politik pemerintah yang terkadang berhadapan dengan aspirasi rakyat. Dengan

memisahkan TNI secara struktural dari urusan politik praktis seperti ini, sistem

ketentaraan akan menjamin kedepan tidak akan terjadi prajurit TNI dan terlebih

pimpinan TNI pada level yang manapun terlibat dalam politik praktis mulai dari

sekedar memberi komentar atas ketidak-setujuan terhadap kebijakan Pemerintah dan

apalagi pengerahan mesin perang untuk menakut-nakuti pemerintah. Untuk membikin

TNI benar-benar netral dan bebas dari intervensi politik dan segala urusan politik

praktis yang salah satu ujungnya adalah rebutan jabatan, maka pengangkatan pejabat

dibawah Kepala Staf Angkatan (level Bintang Tiga kebawah) menjadi otoritas penuh

dari TNI dalam arti keterlibatan Presiden tak lebih hanyalah pengesyahan legalitas

administrasi kenegaraan karena kedudukan Presiden juga sebagai Kepala Negara.

Sedang untuk pengangkatan Kepala Staf Angkatan ditetapkan dan diangkat oleh

Presiden dengan nominasi sejumlah bintang 3 (tiga) yang diajukan oleh Pimpinan TNI

setelah melalui proses sidang Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti).

Adapun pengorganisasian Markas Besar TNI di pimpin oleh seorang Kepala Staf

Gabungan TNI. Pengangkatan Kepala Staf Gabungan menjadi wewenang penuh

Presiden selaku Kepala Negara dan sekaligus sebagai Panglima Tertinggi TNI dengan

memilih salah satu dari ketiga Kepala Staf Angkatan yang ada. Dalam hal pengurusan

adminstrasi Kepala Staf Gabungan membawahi para Kas Angkatan. Kedudukan

sebagai Kepala Staf Gabungan tidak otomatis mempunyai wewenang komando

operasi onal. Begitu seterusnya sehingga dimasa damai sampai komando satuan TNI

yang terkecilpun tidak otomatis mempunyai kewenangan operasional. Dengan

demikian kedepan tidak akan terjadi penggunaan kekuatan atas inisiatif komandan

satuan TNI dilevel yang mana pun. Namun dalam hal Indonesia secara keseluruhan

atau beberapa bagian wilayah terlibat dalam perang atau darurat militer yang

menyebabkan harus ditangani minimal 2 (dua) Komando Operasi Gabungan, maka

133

Page 134: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Kepala Staf Gabungan TNI otomatis beralih menjadi Panglima TNI yang

peralihannya dinyatakan oleh Presiden selaku Panglima Tertinggi TNI yang sekaligus

sebagai Kepala Negara. Dan manakala yang terlibat perang atau keadaan darurat

militer hanya daerah tertentu sehingga cukup diatasi oleh 1 (satu) Komando Operasi

Gabungan, maka jabatan Kepala Staf Gabungan tidak dialihkan menjadi Panglima

TNI. Sudah barang tentu dalam keadaan yang demikian itu segenap Panglima dan

komandan pasukan TNI yang dilibatkan dalam perang ataupun Pemerintahan Darurat

Militer otomatis mempunyai kewenangan operasional. Kepala Staf Gabungan

bertanggung jawab atas kesiapan tempur TNI, karenanya ia mengkordinir program

latihan matra angkatan dan juga latihan gabungan antar matra angkatan. Dalam

keadaan damai seluruh Komando Operasi Gabungan juga tidak mempunyai

kewenangan operasional apapun. Dengan kata lain dalam keadaan normal Komando-

Komando Gabungan tersebut tugasnya hanya melaksanakan latihan dan latihan. Dan

begitu seterusnya satuan-satuan matra angkatan disusun dalam hubungan Satuan

Tempur yang mampu untuk melaksanakan operasi gabungan yaitu level Divisi.

Sedang yang berhak untuk mengeluarkan perintah dalam penggunaan kekuatan TNI

walaupun untuk jumlah l (satu) orang prajurit pun dan dengan amunisi 1 (satu) butir

peluru sekalipun mutlak hanya berada ditangan Presiden selaku Kepala Negara dan

sekaligus sebagai Panglima Tertinggi TNI. Dengan demikian semua dampak dari

tindakan TNI dalam menjalankan tugasnya sebagai alat negara sepanjang tidak

menyimpang dari batas-batas kepatutan, seorang prajurit TNI mutlak dibebaskan dari

tanggung jawab pelanggaran HAM. Karena dalam kedudukannya sebagai alat negara

dan ia hanya melaksanakan perintah Kepala Negara, tugasnya pun untuk ke-

pentingan negara maka semua penampilan TNI yang apapun diluar kesalahan

perorangan adalah syah adanya. Dengan kata lain yang harus bertanggung jawab atas

terjadinya tindak pelanggaran HAM diluar kesalahan pribadi adalah yang memerintah

yaitu Presiden itu sendiri bukan orang lain apalagi prajurit yang dilapangan.

Dalam pengurusan administrasi diluar urusan perang, maka saluran adminstrasi

khususnya dalam hal anggaran belanja ditangani oleh Departemen Pertahanan.

Menhan kemudian memperjuangkan anggaran TNI ke DPR. TNI bukanlah lembaga

sipil, karenanya ia jangan dilibatkan pada pekerjaan yang bersifat "buttom-up" dengan

adu argumentasi dan perdebatan termasuk dengan anggota DPR. Sistem harus

134

Page 135: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

menjamin agar habitat militer yang demikian itu tidak menjadi rusak. Dengan

demikian TNI dibebaskan dari proses meng"gool" kan anggaran, walaupun proses

pengajuannya dari masing-masing angkatan. Dasar penyusunan anggaran tidak bisa

lepas dari kontrak sosial yang telah disetujui oleh rakyat dengan Presiden terpilih.

Pada prinsipnya untuk membangun tentara yang kuat dibutuhkan biaya yang besar,

karena pada hakekatnya militer adalah "cost center". Disanalah tanggung jawab

politisi sipil untuk mencukupi bugdet TNI, tidaklah benar kalau sampai proses untuk

memperoleh bugdet, TNI sampai menempuh jalur loby segala. Dan yang perlu

dipertimbangkan dalam penyusunan anggaran jangan sampai tidak terjadi "gap"

kesejahteraan yang terlalu lebar antara kehidupan di TNI dengan kehidupan di

masyarakat umum.

TNI juga jangan diseret masuk kedalam wilayah politik, karenanya ia harus dijaga

agar lembaga politik manapun tidak mengintervensinya termasuk dalam proses

rekruitmen Pimpinan TNI. Pelibatan DPR dalam merekomendasikan calon Panglima

TNI sebagaimana yang berlaku saat ini semestinya segera disudahi. Karena

mekanisme yang demikian ini jelas membuka kerawanan masuknya kepentingan

politik ke dalam tubuh TNI. Dan sebaliknya TNI sebagai lembaga yang berada di

wilayah jabatan karier juga jangan melibatkan diri dalam urusan politik praktis

dengan dalih apapun.

Pengertian TNI harus dibebaskan dari urusan politik praktis tidak berarti segenap

prajurit TNI kehilangan hak politiknya sebagai warga negara. Dalam hal hak untuk

memilih, para pendahulu TNI di tahun 1955 saja dengan segala keterbatasan yang ada

baik dalam tingkat pendidikan dan juga pengetahuan umum tentang demokrasi sudah

bisa memberi contoh dengan baik. Memang ada sejumlah pendapat bahwa bibit

perpecahan dalam tubuh TNI di paruh kedua tahun 50 an disebabkan oleh ikut

sertanya prajurit TNI dalam Pemilu 1955 kiranya perlu pembuktian lebih lanjut.

Dalam realitanya setelah Pemilu 1955 konflik internal yang terjadi bukanlah karena

pengaruh ideologi partai, tapi karena persoalan ke- tidak puasan daerah terhadap

pusat dan persoalan konflik kepentingan lain yang motifnya lebih disebab- kan vested

interest. Sepanjang para perwiranya benar-benar berpegang teguh pada jati dirinya,

persoalan penggunaan hak untuk memilih di level anggota tak lebih hanya persoalan 1

(satu) menit saat berada didalam bilik suara. Sudah barang tentu akan menjadi sumber

135

Page 136: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

masalah, manakala visi para perwiranya masih model Orde Baru, yang kemudian

mengguna- kan wewenang komando nya atau sekedar pengaruh posisinya sebagai

perwira atau sebagai pimpinan kesatuan mempengaruhi atau bahkan memerintahkan

bawahannya untuk mendukung Partai / figure tertentu. Yang jelas Pimpinan TNI

harus melengkapi aturan main yang bisa menjamin segenap prajurit TNI tidak terlibat

dalam dukung mendukung ataupun berafiliasi ke Partai / figure manapun. Oleh karena

itu TNI baik lembaga maupun orang perorang tidak dibenarkan terlibat dalam

rangkaian kegiatan Pemilu kecuali dalam hal penggunaan hak memilih- nya. Sedang

hak untuk dipilih, haruslah disadari bahwa sebagai prajurit telah mendapat

penghasilan resmi dari negara, maka tidaklah adil kalau kemudian menuntut hak yang

sama dengan rakyat biasa yang justru membayar pajak untuk membiayai pemerintah-

an termasuk anggaran buat TNI. Hal yang demikian sesungguhnya bukan hanya untuk

prajurit TNI saja, tapi untuk siapapun ia yang menjadi bagian dari birokrasi

pemerintahan sipil dan juga militer.

Pemberian kesempatan bagi prajurit TNI dalam Pilkada dengan kebijakan non aktif

dari jabatan tanpa pensiun dari kedinasan militer juga membuka ke- sempatan

masuknya pengaruh politik kedalam tubuh TNI. Kedepan jalan keluar yang paling

mungkin adalah pemberian cuti diluar tanggungan negara sedikitnya satu tahun

sebelum waktunya Pemilu, dan seterusnya kalau bisa tampil sebagai pemenang dalam

Pemilu, cuti panjang tersebut diteruskan hingga berakhirnya masa jabatan politik

tersebut. Dan manakala yang bersangkutan tidak menang dalam Pemilu dan atau masa

jabatan politiknya telah selesai, maka ia berhak mendapat perlakuan sebagaimana

sebelum ia mengambil cuti tahunan.

Penataan ulang juga dalam soal pengelolaan anggaran, di luar anggaran rutin

pengelolaannya haruslah menjadi tugas Dephan. Dengan demikian kedepan TNI tidak

lagi terlibat dengan urusan tender proyek bangun membangun asrama dan tender

pengadaan alat perlengkapan termasuk persenjataan. Karena hal yang demikian sesuai

dengan ilmu admintrasi negara adalah menjadi porsi tugas dan tanggung jawab

Pemerintah yang dalam hal ini adalah Departemen Pertahanan. Masyarakat sipil yang

datang di markas markas dan kantor-kantor TNI haruslah sangat dibatasi bagi yang

berkepentingan dengan tugas dan fungsi pertahanan negara, bukan untuk melobi

tender sehingga markas TNI berperan menjadi ajang orang untuk mengkais rezeki.

136

Page 137: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Hal ini menjadi sangat mendasar agar kerahasiaan militer tetap dijaga secara optimal.

Dan dengan pengaturan yang demikian itu, dikandung maksud agar sistem akan

membebaskan dari kemungkinan keterlibatan prajurit TNI dalam praktek-praktek

KKN.

Perubahan Paradigma TNI

Tugas pokok tentara di negara manapun tak terkecuali bagi TNI adalah menjaga

keutuhan negara, karenanya musuh yang akan dihadapi utamanya adalah hakekat

ancaman yang datang dari luar. Dalam kenyataannya, bangsa ini dalam perjalanan

sejarahnya berulang kali melibatkan TNI untuk menangani ancaman disintegrasi

bangsa dan negara. Sangat disayangkan sebagian politisi sipil lupa bahwa setelah

Negara melewati tahap konsolidasi politik, seharusnya persoalan disintegrasi bukan

lagi menjadi tanggung jawab TNI, tapi tanggung jawab politisi sipil. Berbeda saat

bangsa ini masih dalam proses konsolidasi sebagai Negara, mungkin hal yang

demikian itu bisa dimaklumi. Tapi setelah bangsa ini sudah hidup dalam keadaan

normal, seharusnya hal yang demikian bisa dikembalikan pada fungsi kenegaraan

secara proposional. Bisa jadi dalam dinamikanya sebuah proses disintegrasi dibarengi

dengan penggunaan kekuatan bersenjata, namun sesungguhnya akar persoalan

disintegrasi bersumber dari dan berada diwilayah politik. Maka seharusnya lah hal

tersebut diatasi dengan cara-cara politik pula. Walaupun dalam keadaan tertentu yaitu

saat keadaan sudah abnormal, dimana cara-cara sipil tidak bisa lagi efektif, maka

melalui keputusan kenegaraan TNI bisa saja ditugasi untuk mengatasi. Dengan

demikian ketika diantara anak bangsa ada yang jatuh sebagai korban akibat

penggunaan TNI dalam misi tersebut, tidak begitu TNI disalahkan. Karena tampilnya

TNI dalam misi tersebut semata-mata atas perintah dan untuk kepentingan Negara.

Sistem kenegaraan selama Orde Baru, justru menempatkan TNI digunakan untuk

menangani urusan diluar core bisnisnya dibidang pertahanan negara. TNI kemudian

mengontrol kehidupan warga bangsanya, sehingga perlakuan refresip terhadap

bangsanya sendiri tidak bisa dihindari. Dan ketika korban kemudian berjatuhan, sekali

lagi banyak pihak hanya melihat dalam kontek "hasil" dan hanya sedikit orang yang

mencoba melihat dari sisi proses, padahal semua itu sesungguhnya adalah produk

sistem kenegaraan yang syah. Yang terjadi ketika Orde Baru jatuh, sebagian anak

137

Page 138: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

bangsa begitu saja menghujat TNI. Yang jelas kepedihan sangat dirasakan oleh

segenap prajurit TNI bahkan lebih dari itu, terasa kehormatan dan harga diri serta

kebanggaan sebagai TNI menjadi hancur dan sirna begitu saja. Dan diantara kita, sipil

maupun militer banyak memilih diam dan sebagian lagi tak peduli atau bahkan

menganggap hal tersebut tidak serius, dan apalagi sebagai sebuah keprihatinan

bersama.

Kita juga perlu belajar dari pengalaman kekinian dalam hal "merebut hati rakyat",

dalam kasus Tim-Tim umpamanya, tidaklah tepat kalau kita sebagai bangsa

melihatnya dengan kaca mata yang terkotak-kotak antara politisi sipil dan TNI.

Apalagi kalau hanya dengan melihat "out put" semata, dimana realitanya Tim-Tim

sejak tahun 1999 lepas dari Republik Indonesia. Bukankah kita perlu akui bersama

bahwa lepasnya Tim-Tim sesungguhnya adalah kegagalan politik nasional70. Yang

jelas dalam kasus ini TNI sangatlah tertampar. Maka sikap yang terbaik dalam

menghadapi kenyataan tersebut manakala kita belajar dewasa untuk tidak mencari

"kambing hitam" dengan menempatkan "campur tangan pihak asing" sebagai

penyebab kekalahan jajak pendapat. Biarkanlah dunia hidup dan berkembang dengan

caranya, dan tidaklah perlu kita menyalahkan mereka terus, agar kita tidak disebut

sebagai paranoid. Bukankah akan lebih anggun kalau kita menempatkan "kegagalan

merebut hati rakyat" Tim-Tim lah sebagai penyebab kekalahan dalam jajak pendapat

saat itu. Begitu pula meledaknya kerusuhan sosial dan konflik sosial dibanyak tempat

menjelang dan sesudah lengsernya Suharto yang dibarengi dengan jatuhnya korban

yang tidak kecil jumlahnya, apakah hal yang demikian ini belum atau tidak cukup

untuk meyakinkan diri akan adanya sesuatu yang salah atau setidaknya ada kurang

pas dalam tubuh bangsa kita. Hal yang sama juga perlu dikembangkan di internal TNI

terlebih para elitnya. Dalam penyelesaian Aceh dan Papua umpamanya, apakah

penampilan TNI yang terus meminta korban anak bangsanya sendiri termasuk dari

lingkungan prajurit TNI dalam jumlah yang tidak kecil akan terus dilanjutkan. Hanya

70 Dikatakan kegagalan politik nasional karena sebagai negara kita tidak mampu menjaga keutuhan wilayah dan keutuhan masyarakatnya melalui suatu mekanisme konstitusi yang kuat dan berwibawa. Lepasnya Timor Timur merupakan tanda bahwa sistem politik nasional masih kurang kuat dan kurang berwibawa di mata sebagian masyarakatnya. Itu terjadi bisa karena praktek penyelenggaraan kekuasaan yang semena-mena dan tidak memperhitungkan nasib rakyat atau bisa juga terjadi karena kejahatan sipil dan militer yang dilakukan aparat negara yang kurang memahami apa itu prinsip politik demokrasi yang sebenarnya. Bagus juga kalau tentang ini kita baca dalam buku Antonius E. Kristiano, dkk, Teologi Politik, (Jakarta: Bumiksara, 2003).

138

Page 139: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

karena diberi cap sebagai Anggota Gerakan Sparatis lantas seolah syah-syah saja

untuk dibunuh oleh tentara kebangsaan nya sendiri. Dan sebaliknya karena prajurit

TNI harus membela keutuhan negara lantas syah hukumnya untuk mereka bunuhi.

Disanalah sebaiknya kita perlu merasakan bahwa ada yang keliru dalam diri kita

sebagai bangsa dan terlebih bagi TNI yang selama ini menanganinya. Dan khusus

bagi TNI barangkali sikap yang demikian itu mungkin belum terlambat untuk

mereview banyak hal yang membuat masalah tersebut terjadi sebagai bukti atas tidak

efektifnya doktrin, strategi, taktis dan metoda yang dimilikinya termasuk konsep yang

selama ini digunakan, tak terkecuali juga soal konsep Sistem Pertahanan Semesta nya

itu sendiri, yang nyatanya gagal atau setidaknya kurang berhasil dalam menjalankan

missinya. Karena pada hakekatnya penyelesaian tugas-tugas yang berkaitan langsung

dengan kehidupan social politik internal bangsa adalah peperangan "to win the heart

of the people", maka TNI harus berbesar hati untuk menerima kritik yang

disampaikan oleh sebagian rakyat khususnya kaum reformis yang mempertanyakan

keberadaan lembaga Pembinaan Teritorial dan termasuk soal keberadaan Komando

Teritorial. Kalau memang realitanya sebagai "senjata unggulan" TNI dengan

pembiayaan yang begitu besar hasil akhirnya hanya berupa kerusuhan sosial,

merebaknya konflik sosial yang berdarah-darah, lepasnya Tim-Tim, dan berlarutnya

penyelesaian masalah keamanan di Aceh dan Papua mengapa harus kita terus berdalih

mem- bela diri dan terus menempatkan semua itu bukan sebagai sebagai out put dari

sistem yang ada. Hal yang demikian menjadi mendasar untuk dipikirkan bersama,

karena sistem politik kita saat itu me- nempatkan ABRI sebagai penanggung jawab

tunggal atas kemanan nasional sebagai mana yang diatur dalam sejumlah produk

hukum nasional berupa sejumlah Tap MPRS dan juga MPR RI yang mengatur

keberadaan TNI (ABRI) yang ber Dwi Fungsi, Kopkamtib dan Bakorstanas,

disamping juga UU No: 20 tahun 1982 tentang "Pokok-Pokok Sistem Pertahanan Dan

Keamanan Negara" dan juga doktrin TNI Cadek (Catur Dharma Eka Karma) beserta

turunannya.

Dalam konteks Binter persoalan utama yang perlu dicermati oleh TNI adalah

masalah waktu dan tempat kapan Binter itu dilaksanakan. Hal ini sangat mendasar

karena pada hakekatnya semua kegiatan pembinaan apapun bentuknya yang

dilaksanakan oleh Negara termasuk yang dilaksanakan oleh TNI adalah masuk dalam

139

Page 140: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

kategori kategori "Top-Down". Dalam keadaan yang normal (bukan dalam keadaan

darurat) bagi masyarakat yang sudah beranjak maju untuk menerapkan demokrasi

sebagaimana yang tengah kita alami, kebijakan yang demikian itu justru akan kontra

produktif dan bahkan diposisikan sebagai "intervensi" kekuasaan terhadap hak-hak

sipil. Dan bila keadaan tersebut terus dipaksakan maka yang terjadi akan muncul

dampak atau ekses yang jauh lebih besar dari manfaat yang bakal diperoleh nya.

Begitu seterusnya bila dampak atau ekses yang timbul kemudian ditekan atau

diabaikan, maka akan terjadi akumulasi yang pada saatnya akan meledak, setidaknya

akan terjadi penolakan terhadap lembaga tersebut.

Kegiatan yang bersifat "top-down" seperti Binter barulah berarti dan bahkan

diharapkan oleh rakyat nya manakala kehidupan dalam keadaan tidak normal, dan apa

lagi kalau peran dan fungsi-fungsi pemerintahan sipil tidak atau belum lagi berjalan

sebagaimana mestinya. Disanalah maka perlu pe mikiran untuk mengubah metoda

Binter model lama setidaknya untuk selama masa transisi menuju tatanan baru TNI,

agar tidak terjadi idle dari kemampuan dan gelar TNI yang ada saat ini.

Sebagai bagian dari metoda perang, Binter bukanlah asli Indonesia. Sejak peradaban

manusia mengenal perang kegiatan rehabilitasi wilayah setelah usai perang untuk

jangka waktu tertentu yang bertujuan "merebut hati rakyat" sudah dikenal.

Penanganan musibah kemanusiaan dan rehabilitasi daerah ter- tentu akibat bencana

alam di negara manapun men- jadi porsi bagi militernya untuk menanganinya. Sedang

Binter semasa Orde Baru yang secara permanen dilaksanakan oleh TNI dibawah

kordinasi Koter juga bukan khas Indonesia, karena di negara-negara Komunis sudah

duluan dilaksanakan, yaitu oleh Partai Komunis dengan "Political Biro" nya yang

melaksanakan fungsi-fungsi yang mirip embanan Binter TNI semasa Orde Baru,

yang misi utamanya adalah kontrol terhadap kehidupan sosial.

Adapun masalah Koter sesungguhnya bukanlah hal yang perlu dijadikan

persoalan serius oleh bangsa, karena Koter adalah Komando Pertahanan Matra Darat,

yang otomatis akan berubah fungsinya hanya dibidang pertahanan matra darat

manakala pola pertahanan pada tingkat nasionalnya mengalami perubahan.

"Ujian" terhadap TNI pun terus berlanjut, ketika proses peradilan HAM mulai digelar

yang terjadi tidak hanya prajurit TNI yang dituduh melanggar HAM saja yang

terkuyo-kuyo, tapi secara kelembaga an pun TNI terus jadi obyek "bulan-bulanan"

140

Page 141: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

opini publik, terlebih yang dilewatkan media massa. Memang persoalan akan lain

kalau saja dari awal disiasati dengan tidak mengedepankan pendekatan defensif.

Andai saja dalam menghadapi perubahan yang terjadi ditempuh dengan menerapkan

prinsip-prinsip bela diri yudo, barang kali tenaga yang berasal dari kaum reformis dan

juga dari negara-negara sahabat sangat bermanfaat untuk membangun kembali

legitimasi, citra diri dan bahkan kekuatan persenjataan yang dimilikinya. Dengan

mendudukan diri sebagai agen perubahan, niscaya manajemen kontrol terhadap

kondisi yang berkembang pasca Orde Baru akan sangat diwarnai oleh peran TNI

sehingga bisa dikendalikan dengan lebih baik. Yang jelas saat ini legitimasi TNI

sangatlah terpuruk, bahkan sudah menyentuh sendi-sendi kehidupannya. Anehnya

disaat TNI legitimasinya begitu terpuruk, dimana-mana dibentuklah satgas-satgas

Pengamanan lengkap dengan seragam, lambang dan penampilan fisik layaknya

militer. Sehingga kehidupan yang militeristik serasa makin menjadi-jadi. Dan inipun

oleh kita semua termasuk politisi sipilnya tidak dianggap sebagai sesuatu yang serius.

Padahal dampak jangka panjangnya kelak sangat merugikan peradaban bangsa.

Terbentuknya Masyarakat Beradab (Civil Society) bagi bangsa Indonesia adalah

sebuah keniscayaan. Founding Father negara bangsa sendiri telah mencanangkan

nilai-nilai peradaban tersebut sebagai cita-cita kemerdekaan seperti yang

teituang dalam Pembukaan UUD-45. Gambaran tatanan Masyarakat Beradab

yang berintikan harmonisasi dari kemajemukan, keadilan, ke- sejahteraan,

penghargaan yang tinggi terhadap kemanusiaan dan hak-hak warga negara, serta

makna kemerdekaan dengan gamblang diutarakan oleh para pendiri republik ini

dalam berbagai kesempatan sidang BPUPKI dan PPKI, bahkan secara garis besar

telah dituangkan dalam batang tubuh UUD 1945.

Beranjak dari pengalaman negara-negara lain yang lebih dahulu berhasil

mewujudkan tatanan Masyarakat Beradab, maka masalah keberadaan militer yang

kuat sekaligus positioning nya dalam tatanan politik nasional menjadi sangat

mendasar. Negara manapun terlebih negara yang menganut paham demokrasi untuk

menjadi kuat dan disegani kawan maupun lawan, serta mampu menjaga kedaulatan nya

tidak bisa lepas dari keberadaan militer nya yang kuat pula. Akan tetapi agar

keberadaan militer yang kuat tersebut tidak menjadi sumber masalah apalagi

menjadi sumber "petaka" bagi kehidupan demokrasi, maka diperlukan tatanan politik

141

Page 142: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

nasional yang menempatkan militer hanya pada posisi sebagai penjaga kedaulatan

bangsa dan negara saja, dan tidak terlibat dalam urusan politik praktis apalagi

urusan rebut merebut kekuasaan termasuk dalam urusan bisnis. Maka perlulah

pengambilalihan bisnis tentara saat ini. S. Yunanto dan Ali A. Wibisono menyebutkan

empat maksud pengambilalihan bisnis tentara yakni (1) untuk menghentikan

penyimpangan fungsi TNI dari fungsi pertahanan, (2) untuk membangun institusi TNI

yang profesional, (3) menegakkan kontrol sipil atas TNI, khususnya kontrol dalam

anggaran pertahanan, dan (4) mengurangi distorsi pada ekonomi nasional71.

Dalam konteks TNI terlebih Angkatan Darat pasca Orde Baru, fokus program

reformasi internal nya terkesan lebih pada hal-hal yang bersifat pragmatis dan belum

menyentuh pada hal-hal yang fundamental dan strategis. Maka yang terjadi

penampilan lama dalam bentuknya yang baru terus saja bennunculan. Terlibatnya

TNI dalam kasus Pembunuhan tokoh Papua Theis Aluway dan Bentrokan antara TNI

dan Polri seperti yang terjadi di Binjai adalah contoh konkrit yang tak terbantah-

kan. Dan dipastikan akan disusul dengan kasus-kasus sejenis lainnya dimasa

mendatang utamanya yang berkaitan dengan persoalan ekonomi termasuk dalam kasus

illegal loging dan perjudian, karena akar masalah penyebab terjadinya kasus-kasus

seperti itu sama sekali belum tersentuh oleh gelombang reformasi internalnya.

Untuk mengawali pekerjaan besar dengan banyak aspek dan segmen yang harus

ditangani maka pilihan prioritas dengan membenahi hal yang paling fundamental

seperti perubahan visi dan misi TNI sebelum melangkah dibidang lainnya menjadi

sangat relevan.

Memahami TNI tanpa mendalami proses tumbuh dan berkembangnya secara utuh akan

melahirkan kesimpulan yang keliru. Sebagai Tentara yang bukan bentukan Pemerintah,

kelahiran TNI sudah barang tentu tidak bisa lepas dari suasana kebathinan bangsa

yang begitu bergelora penuh rasa patriorisme dan heroik bersatu padu merebut

kemerdekaan, dan kemudian mempertahankannya. Bila ditilik dari keberadaan elit

pendiri TNI sesungguhnya dapat dikelompokan dalam dua sumber. Sumber pertama

adalah mereka mantan KNIL dan sebagian lagi adalah para pejuang yang umumnya

mantan PETA dan juga tokoh perjuangan dengan berbagai basis kedaerahan dan

keagamaan. Satu-satunya mantan KNIL yang bisa "masuk" PETA adalah Suharto 71 S. Yunanto dan Ali A. Wibisono, Quo Vadis Pengambilalihan Bisnis TNI, dalam Beni Sukadis, et al., Ibid. hal 14

142

Page 143: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

yang dikemudian hari menjadi Presiden RI kedua. Dalam proses selanjutnya kelompok

Laskar Perjuangan dengan Jendral Sudirman sebagai simbolnya memang banyak

menatahkan, menggoreskan dan bahkan merumuskan nilai-nilai luhur yang

kemudian dijadikan sebagai Jati Diri dan atau idenritas TNI. Namun demikian

daalam proses internalisasi dan juga pewarisan nilai-nilai tersebut sejak awal

kemerdekaan pun tidak begitu saja mulus. Karena TNI pun harus tunduk terhadap hasil

kesepakatan peijanjian Konferensi Meja Bundar (KMB). Konsekuensi logis dari hasil

KMB, TNI kemudian menempuh program Reorganisasi dan Rasionalisasi (RERA) yang

dampaknya sangat menyakitkan dan merugikan kelompok eks Laskar Perjuangan.

Karena banyaknya anggota yang turun pangkat dan jabatan akibat tidak

sepadannya tingkat pendidikan dengan pangkat dan jabatan yang diembannya. Sudah

barang tentu dalam proses rasionalisasi, TNI menempuh program pembekalan

pengetahuan dan ketrampilan militer dasar utamanya bagi kelompok eks Pejuang

melalui lembaga-lembaga pendidikan militer di markas-markas eks tentara Belanda

(KNIL), sebagaimana hasil KMB disepakati pelaksanaannya ditangani oleh Tim

khusus oleh Tentara Belanda. Sudah barang tentu tenaga pendidik dan pelatih yang

berasal dari TNI yang dilibatkan dalam program ini banyak didominasi oleh mereka

yang eks KNIL. Kondisi ini bisa dipahami karena prajurit TNI eks KNIL memang

lebih duluan menguasai tehnologi dan ilmu kemiliteran dibanding kan mereka yang

berasal dari kelompok perjuangan.

Begitu pula dalam kehidupan kesatuan TNI periode berikutnya, proses reqruitmen

dan kaderisasi TNI melalui proses pendidikan formal kemiliteran di- lembaga-

lembaga Pendidikan Militer dimana tenaga pelatihnya pun banyak didominasi oleh

prajurit TNI eks KNIL. Dengan kata lain untuk periode tertentu sejak pasca KMB

proses pembentukan, pengembangan dan pelembagaan sikap perilaku dan jiwa

kejuangan kader-kader TNI banyak didominasi oleh mantan KNIL, bukan oleh para

pendiri TNI yang berasal dari kelompok perjuangan.

Kondisi yang demikian tadi lebih parah sejak bangsa ini memasuki era Orde

Baru, dimana TNI bersama Polri (ABRI) diposisikan lebih sebagai alat kekuasaan.

Selama Orde Baru, TNI atas nama dan untuk kepentingan negara dan bangsa

kemudian meramuskan sendiri hakekat AGHT (Ancaman, Gangguan, Hambatan dan

Tantangan) yang bakal dihadapi Negara, dan kemudian disikapinya dalam bentuk

143

Page 144: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

tindakan dan bahkan operasi militer. Diawal Orde Baru PKI dan segenap pihak yang

berfiliasi dan bahkan sekedar condong ke komunisme oleh TNI dijustifikasi sebagai

musuh negara dengan sebutan Ekstrim Kiri(EKKI). Setelah pamor komunisme di

dunia mulai turun, terlebih setelah perang dingin mendekati usai, maka kelompok

tertentu dari lingkungan agama dalam hal ini Islam yang berperilaku tidak sejalan

dengan politik dan kepentingan Pemerintah ataupun yang mengambil sikap oposisi

terhadap Pemerintah, oleh TNI dijustifikasi sebagai Ekstrim Kanan (EKKA). Begitu

pula terhadap pihak lain yang tidak bersumber dari paham komunisme dan Agama

seperti Buruh, LSM, Kelompok Cendiawan tertentu dan bahkan Pumawirawan

ABRI yang sikapnya dianggap merugikan kepentingan politik Pemerintah seperti

mereka yang tergabung dalam Petisi 50 dijustifikasi sebagai Ekstrim Lain (EKLA).

Sudah barang tentu ketiga kelompok ekstrim tersebut dikategori sebagai musuh

negara yang kemudian disikapi dengan cara-cara militer, termasuk penggunaan

cara-cara kekerasan. Kondisi yang demikian ini berjalan lebih dari 32 tahun. Cara

pandang yang demikian ini jelas sama sekali tidak mencerminkan visi tentara dari

sebuah negara yang merdeka apalagi yang menganut paham demokrasi. Dimana

perbedaan pendapat dan oposisi dengan kritik yang keras/tajam sekalipun justru

sebagai kebutuhan dan bahkan harus ditempatkan kekuatan dari sebuah

demokrasi. Visi tentara yang demikian tadi sesungguhnya hanya pantas dimiliki oleh

Tentara Kolonial, sebagaimana sikap KNIL terhadap kaum Bumi Putera dan

pejuang kemerdekaan dalam era penjajahan Belanda dulu. Perubahan Visi juga

menjadi sangat mendasar, karena mustahil visi yang ditumbuh kembangkan selama

masa Orde Baru begitu saja berubah tanpa proses transformasi yang disengaja

dan terukur. Adalah hal yang mustahil perubahan yang bersifat fundamental

bakal terjadi hanya karena ganti Pemerintahan dam ganti Pimpinan TNI menyusul

lengsernya Suharto.

Perubahan visi otomatis akan melahirkan perubahan misi. Saat ini melalui

Ketetapan MPR No.VI/MPR 2000 memang tugas pokok TNI sudah berubah hanya

menangani bidang Pertahanan Negara. Tugas pokok TNI memang haras dipatok

hanya dalam hal Pertahanan Negara saja, namun demikian memaknai Pertahanan

Negara bukanlah hanya berarti TNI tugasnya untuk mengahadapi invasi pasukan

reguler musuh dari luar. Mematok tugas pokok TNI hanya untuk menghadapi musuh

144

Page 145: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

dari luar, dipastikan akan menjadi bumerang, karena TNI pasti akan terlambat

berreaksi. Dari spektrum perang menempatkan penggunaan sebuah pasukan reguler

untuk melaksanakan invasi adalah tahap akhir, setelah "senjata" lainnya seperti

ekonomi dan politik telah optimal digunakannya. Maka misi TNI akan lebih tepat

dikembalikan keposisi misi awal yang dahulu dicanangkan oleh para pendiri TNI yaitu

sebagai Bhayangkari Negara. Dengan kata lain dalam memaknai tugas pokok TNI

dibidang Pertahanan Negara bukanlah bidang pertahanan negara dalam arti sempit,

namun pertahanan negara dalam arti luas yaitu setiap ancaman yang secara terukur

bersentuhan langsung dengan kedaulatan negara dan bangsa termasuk

didalamnya masalah keselamatan jiwa warga negara, pencurian kekayaan alam,

narkotika, terorisme, sparatisme, harkat dan martabat bangsa dan segala hal yang

dihadapi bangsa-negara yang nyata-nyata tidak bisa atau dipastikan tidak bisa lagi

ditangani secara fungsional oleh lembaga pemerintahan sipil termasuk oleh Polisi.

Timbulnya kekhawatiran terjadi kembali tumpang tindih fungsi antar lembaga

terkait, sesungguhnya persoalan terletak pada bagaiinana rule of engagement yang

mengaturnya. Kapan instansi Pemerintahan (sipil) dan atau Polisi turun tangan, kapan

dan bagaimana TNI atau bagian TNI seperti intelejen umpamanya dikerahkan. Karena

pada hakekatnya dalam keadaan dimana instansi Sipil dan Polri sudah tidak lagi atau

dipastikan tidak akan efektif untuk mengatasi persoalan yang dihadapi bangsa dan

negara, maka saat itu Negara bisa mengerahkan kekuatan nasional yang manapun,

terlebih TNI untuk turun tangan. Dengan demikian obyek yang ditangani bukan hanya

masalah pertahanan dan keamanan semata, tapi juga persoalan sosial dan kemanusiaan

apapun bentuknya, terlebih yang menyangkut persoalan harkat, martabat, derajat

dan kehormatan diri sebagai bangsa.

Dengan demikian maka yang diperlukan adalah perubahan mind set dan sekaligus

madzab berpikir yang didahului oleh sebuah kesadaran baru bahwa dirinya bukan lagi

“pemain”, tapi tak lebih adalah “pagar” dan atau “penjaga” dari sebuah negara dan

bangsa yang menganut paham demokrasi.

Visi dan misi TNI Kedepan.

Beranjak dari Jati Diri TNI sebagai Tentara Nasional, Tentara Rakyat dan

Tentara Pejuang, maka Visi yang haras ditanamkan dan ditumbuh kembangkan oleh

145

Page 146: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

TNI adalah cara memahami keberadaan dirinya sebagai tentara dari sebuah bangsa

dan negara yang merdeka. TNI sebagai tentara nasional bertugas untuk menjaga

agar kedaulatan bangsa dan negara yang meliputi segala hak dan kewajiban warga

negara nya tetap terjaga. Kedaulatan yang dimaksud tidak hanya mengkait

persoalan wilayah baik darat-laut-udara dengan segala kekayaan alam yang

terkandung didalamnya, tapi juga kedaulatan Pemerintahan yang syah. Dalam

kaitan menjaga kedaulatan Bangsa, maka TNI tidak boleh sekali-kali

menempatkan rakyat yang manapun, kelompok, golongan ataupun perorangan

yang beda bendapat dengan Pemerintah dan terlebih dengan TNI sebagai

musuh negara. Dengan cara apapun sepanjang mereka tetap dalam koridor

demokrasi bukanlah musuh negara yang kemudian dihadapi dengan cara-cara

kekerasan seperti yang terjadi di era Orde Baru. Ukuran yang harus

digunakan TNI dalam mensikapi dinamika masyarakat adalah hokum, dan

sama sekali tidak boleh lagi dengan menggunakan ukuran kekuasaan. Namun

juga sebaliknya TNI juga tidak boleh tinggal diam, dan justru harus tampil

terdepan manakala hak-hak dasar bangsa dalam hal ini segenap warga negara

tanpa kecuali karena alasan tertentu terancam dan tidak bisa diaktualisasikan.

Karena hakekat keberadaan Negara justru untuk melindungi hak-hak dasar

warga negara sebagai manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Namun

pengerahan TNI untuk maksud-maksud yang demikian itu diatur melalui rule of

engagement, sehingga turun tangannya TNI adalah atas nama negara.

Adapun pemahaman menjaga kedaulatan Pemerintahan yang syah haruslah

ditempatkan dalam konteks hukum dan demokrasi. TNI ber- kwajiban ikut untuk

menjaga kondisi agar hak dan kwajiban Pemerintahan yang syah dalam mengemban

amanat rakyat dapat dilaksanakan se- bagaimana mestinya sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Sudah barang tentu pemahaman tersebut tidak

hanya dibidang garapan yang berkaitan dengan fungsi pertahanan negara saja.

Dalam kondisi tertentu, dimana kedaulatan Pemerintah yang syah menjadi

akan lumpuh dan karenanya akan mengakibatkan jatuhnya korban yang besar

ataupun petaka ke- manusiaan akibat kerusuhan social ataupun chaos, maka

Kepala Negara berhak mengerah- kan TNI. Sudah barang tentu persoalan

waktu, kapan TNI digerakkan sangatlah mendasar. TNI dikerahkan untuk tugas-

146

Page 147: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

tugas yang demikian itu manakala aparatur sipil termasuk Polisi sudah tidak atau

dapat dipastikan tidak mungkin lagi efektif, sehingga berpotensi akan menimbulkan

korban dan kerugian yang besar bagi kemanusiaan, bangsa dan Negara tidak

mungkin bisa dielakkan. Dengan dilandasi oleh aturan yang baku maka turun

tangannya TNI sepanjang tidak ikut menjadi pemain dan terlibat dalam rebut

merebut "bola" kekuasa- an niscaya akan mendapat dukungan rakyat.

Dengan kata lain politik TNI kedepan harus dibatasi pada politik Pertahanan

Negara saja. Pemahaman politik TNI adalah politik negara untuk alam

demokrasi, hanya tepat manakala negara kita dalam kondisi betul-betul sudah

kalah perang dengan tentara negara lain yang menginvasi kita. TNI juga tidak

boleh lagi ber- tindak bagai negara dalam negara seperti dimasa lalu. Terlebih

dalam hal kebijakan yang ber- sentuhan langsung dengan kepentingan warga

negara. Dengan kata lain kedepan TNI hanya melaksanakan kebijakan pertahanan

negara yang digariskan oleh Pemerintah Negara. Dan itupun TNI tidak boleh

lagi menentukan kebijakannya sendiri yang diatas-namakan untuk kepentingan

Negara, walaupun yang ditangani dibidang Pertahanan sekalipun. Dengan

demikian kegiat- an TNI diluar masalah strategi, taktik dan tehnis perang

otomatis akan memenuhi azas Supremasi Sipil.

Kekhususan TNI sebagai Tentara Rakyat dalam alam demokrasi

diwujudkan dalam bentuk kepekaan TNI terhadap penderitaan rakyat, artinya

TNI tidak boleh terpisah dengan rakyat nya. Pengertian tidak boleh terpisah atau

dekat dengan rakyat tidaklah diartikan lahiriah secara phisik, sehingga TNI harus

menyebar prajurit nya ke desa-desa. Karena substansi yang ingin dicapai TNI

adalah bagaimana bisa merebut hati rakyat, oleh karenanya TNI harus tahu dan

peduli terhadap setiap kebutuhan yang paling mendasar dan terlebih terhadap

kesulitan yang dihadapi rakyatnya. Dengan demikian legitimasi rakyat terhadap

TNI senantiasa tinggi, karena kakekat kekuatan TNI bukan pada besarnya

pasukan dan persenjataan semata, namun lebih dikarenakan tingginya legitimasi

dukungan rakyat nya. Turun tangannya TNI dalam mengatasi musibah

kemanusiaan akibat bencana alam sangat relevan untuk diprioritaskan. Tidaklah

tepat kalau TNI justru kedahuluan oleh komponen bangsa lain, dan apalagi kalau

kedahulu- an tentara negara sahabat. Bila bangsa saat ini menempatkan

147

Page 148: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

pemberantasan korupsi sebagai peringkat atas untuk diperangi bersama, maka

seharusnya TNI memberi contoh dilingkungan internalnya. Begitu pula saat

kehidupan rakyat banyak sedang mengalami kesulitan yang sangat, sepatutnyalah

TNI memberi contoh dalam kesahajaan dalam tata kehidupan kesehariannya oleh

segenap segenap prajurit tanpa kecuali.

Sedang sebagai Tentara Pejuang, sebagimana dikuatkan oleh tesisnya

Nugroho Notosusanto dalam bukunya pejuang dan prajurit, yang terpenting

adalah sikap mental TNI bahwa dirinya bukanlah tentara bayaran yang menukar

nyawanya dengan imbalan harta benda dan atau bentuk fasilitas lainnya72. Dengan

kata lain, pengorbanan dalam bentuk hilangnya nyawa yang satu-satunya, justru

sebagai kebanggaan karena dirinya ikut andil dalam menjaga dan menegakkan

kedaulatan negara dan bangsa.

Kaitan Sapta Marga dengan Visi dan Misi TNI

Dari Visi dan misi TNI yang disesuaikan dengan tuntutan demokrasi, maka

landasan etika moral Sapta Marga menjadi sangat mendasar. Dengan demikian

setiap tugas apapun selalu dilandaskan pada Sapta Marga secara utuh, manunggal

antar marga yang satu dengan lainnya. Karenanya dalam memahami Saptamarga

tidak lah boleh dipisah-pisah antara marga yang satu dengan marga lainnya,

karena ia adalah satu kesatuan dan satu kebulatan yang utuh. Adalah kekeliruan

yang prinsip manakala ada prajurit TNI terlebih perwiranya dan lebih khusus

lagi kalau Perwira Tinggi nya berdalih karena sebagai harus “Patuh dan Taat

Kepada Pimpinan” sebagaimana tuntunan Marga keempat dalam Sapta Marga,

lantas secara sadar ia melanggar kepatutan dan apalagi norma-norma hukum

begitu saja. Seharusnyalah ia melandaskan juga pada marga ketiga, kedua dan

pertama Sapta Marga. Dengan kata lain perintah yang dikeluar kan seorang

Perwira haruslah dilandasi oleh makna ketujuh marga dalam Sapta Marga secara

utuh. Sehingga dalam kaitan loyalitas sebagaimana amanat Marga kelima, akan

membuat setiap prajurit tanpa alasan apapun secara tulus iklas untuk patuh dan taat

kepada atasan bahkan dengan tidak membantah perintah dalam arti sebagai sebuah

72 Nugroho Nososusanto, Pejuang dan Prajurit, (Jakarta: Sinar Harapan, 1991). Nugroho Notosusanto mempunyai pandangan bahwa tentara Indonesia adalah tentara pejuang yang terlibat sangat sentral dalam perwujudan kemerdekaan sehingga perjuangan adalah menjadi ciri dari militer Indonesia.

148

Page 149: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

kesadaran penuh. Keiklasan tersebut haruslah dilandasi oleh tuntunan Marga-marga

sebelumnya, yaitu dalam kaitan sebagai bhayangkara negara. Dan peran

bhayangkara yang dimaksudkan adalah dalam kerangka ksatria yang didasarkan

pada keyakinannya Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukan keiklasan yang hanya

didasarkan pada tuntunan marga ke empat semata, dan terlepas dari marga-marga

yang sebelum dan sesudahnya. Dengan demikian terjadi saling melandasi dan

dilandasi oleh setiap marga dari yang pertama sampai marga yang ketujuh.

Dimungkinkan adanya perintah yang bertentangan dengan hati nurani, maka

bawahan berhak mengajukan keberatan, namun demikian ia tetap berkwajiban

menjalankan perintah tersebut sampai ada perubahan perintah. Untuk kepentingan

ini TNI juga dilengkapi dengan aturan hukum baik Peraturan Disiplin Tentara

(PDT), Hukum Disiplin Tentara (HDT) dan juga Kitab Undang-undang

Hukum Pidana Tentara (KUHPT) yang memberikan hak kepada prajurit bawahan

untuk mengajukan keberatan. Bahkan dalam PDT hak bawahan untuk mengajukan

keberatan adalah selama 8 (delapan) hari sejak perintah dikeluarkan, walaupun ia

diwajibkan tetap melaksanakannya sebelum keberatan tersebut dikabulkan.

Begitu pula dalam manajemen birokrasi TNI setiap komandan satuan bawahan

diberi hak bertanya dan waktu yang cukup dalam penempaan sebuah perintah.

Norma baku waktu untuk menempa sebuah perintah bagi satuan atasan hanyalah

1/3 dari alokasi waktu, sedang bawahan mendapat alokasi 2/3 dari keseluruhan

alokasi waktu yang tersedia. Dengan demikian sesungguhnya satuan bawahan pun

mempunyai waktu yang cukup untuk menempa setiap perintah dari berbagai aspek

termasuk dari sisi etika yang digariskan oleh Sapta Marga.

Pemahaman tersebut diatas menjadi penting agar setiap atasan tidak akan

pernah mengeluarkan perintah yang katagorinya illegal order. Hal ini menjadi

sangat mendasar, agar norma universal bahwa "tidak ada Prajurit yang salah, tapi

Perwira nya lah yang salah" dapat diterapkan juga dalam tubuh TNI. Penerapan

norma ini menjadi mendesak untuk segera kembali diterapkan dalam jajaran TNI,

agar moral prajurit bawahan tidak terus merosot. Karena realita yang terjadi saat

ini hampir seluruh proses peradilan tindak pelanggaran Ham dan juga korupsi hanya

menempatkan bawahan sebagai pihak yang bertanggung jawab dimuka hukum.

Maka disana nanti legitimasi dan citra TNI akan segera pulih kembali, sehingga

149

Page 150: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

khitoh sebagai bhayangkari negara segera bisa diwujudkan dalam rangka mengawal

perubahan menuju Indonesia yang demokratis.

Disiplin, Etika Moral dan Kebanggaan Prajurit TNI.

Persoalan lain yang lebih serius bagi TNI adalah menyangkut disiplin

ketentaraan. Karena yang dikembangkan ditengah perjalanan sejarahnya bukan- lah

disiplin tentara yang seharusnyalah disiplin mati, tapi disiplin hidup sebagaimana

layaknya disiplinnya kaum sipil. Padahal tentara sebagai mesin peng- hancur mutlak

harus dilengkapi dengan disiplin mati, yaitu disiplin yang didasari oleh patuh, tunduk,

hormat, serta taat dengan tak membantah perintah atau putusan. Kedepan tidaklah

dibenarkan lagi kalau seorang Pimpinan TNI sampai menolak dan tidak melaksanakan

perintah sebagaimana mestinya. Yang harus dikembangkan adalah kepatuhan total

karenanya jangankan menolak perintah, sekedar komentar secara terbuka atas ketidak

setujuannya dengan keputusan Presiden yang posisinya adalah Panglima Tertinggi

TNI dan juga sebagai Kepala Negara haruslah ditabukan.

Etika TNI dalam negara yang kini mulai memasuki era demokrasi khususnya bagi

elit TNI yang dibesar- kan dengan model Orde Baru haruslah segera diubah. Untuk

selanjutnya dibangun dengan mengedepankan sifat kesatriaan, dimana memilih

mundur dari jabatan karena merasa tidak mampu atau karena merasa tugas yang

diembannya bertentangan dengan hati nuraninya. Sangatlah tercela, kalau kemudian

Pimpinan TNI menggalang dukungan dengan membikin opini karena ketidak

setujuannya dengan Presiden selaku Panglima Tertinggi nya. Perbedaan persepsi

dalam ketentaraan tidaklah boleh diselesaikan dengan adu argumentasi, tapi dengan

loyalitas dan ketaatan, dengan benteng terakhir adalah hak mengajukan keberatan

sebagaimana diatur dalam PDT (Peraturan Disiplin Tentara) namun selama dalam

proses pengajuan keberatan pun perintah tetap dilaksanakan sebagai mana mestinya.

Yang jelas perbedaan persepsi terlebih antara Pemerintahan sipil dengan TNI

bukanlah direspond dengan adu argumentasi dan terseret dalam pro dan kontra dalam

opini publik dalam bentuk komentar, tapi dengan patuh dan taat atau sebaliknya

dengan sikap ksatria mengundurkan diri dari jabatan yang dipercayakan kepadanya.

Dan untuk menumbuhkan disiplin yang demikian itu dilatihkan secara terus menerus

dan dijadikan prinsip dasar dalam kehidupannya sehari-sehari. Gagasan untuk

150

Page 151: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

mengembang disiplin hidup di lingkungan TNI tidak bisa lepas dari keterkaitan

perannya dalam politik praktis dimasa lalu. Sehingga TNI seolah berhak untuk

mengatakan "tidak" atau bahkan dengan mengerahkan mesin perang untuk menakut-

nakuti pemerintahan sipil yang berkuasa, manakala keputusan atau kegiatan yang

sedang dikerjakan oleh Pemerintah dianggap oleh dirinya bertentangan dengan

kemauan rakyat banyak. Padahal dalam dinamika politik, sesuatu yang diatas

namakan kepentingan rakyat sangatlah nisbi, karena bisa saja kepentingan pribadi

atau golongan tertentu termasuk dari lingkungan elit TNI dikemas dengan cap aspirasi

rakyat banyak ataupun stempel hati nurani. Hal yang demikian ini bukanlah watak,

tabiat, dan karakter militer sejati, lagi pula lahan tersebut bukanlah lahannya militer,

tapi lahan politisi sipil. Hal yang demikian jelas membuat kaum politisi sipil selama

ini dalam menjalankan demokrasi tidak pernah berafeksi dalam berkompromi antar

sesamanya. Dengan kata lain dalam kehidupan TNI janganlah ditumbuhkan jiwa,

karakter, kebiasaan, habitat, tata cara, dan apalagi disiplin model lingkungan sipil.

Sudah barang tentu kondisi TNI yang demikian itu tidak bisa lepas dari sistem

kenegaraan yang kita gunakan. Tata kehidupan dengan disiplin hidup yang demikian

itu kemudian dibakukan sebagai norma dasar dan kode etik TNI sebagai mana yang

tertuang dalam doktrin ABRI/TNI. Belakangan sejumlah "predikat" kemudian

dirumuskan sendiri dengan menyebut dirinya sebagai "Prajurit Pejuang dan Pejuang

Prajurit" dan juga slogan "Terbaik Bagi Rakyat-Terbaik Bagi TNI" dan sejenisnya.

Yang pada hakekatnya adalah pembenaran atas keterlibatan dirinya dalam urusan

diluar "core bisnis" nya dibidang pertahanan negara. Disanalah pentingnya kesadaran

semua pihak untuk menata kembali TNI, karena pembenahan kehidup- an kenegaraan

secara keseluruhan barulah akan menjadi efektif manakala mendapat "back up" yang

kuat dari TNI yang telah meraih kembali legitimasinya. Dalam arti TNI semestinya

lebih dahulu menuntaskan reformasi internalnya. Dan untuk membangun kembali

legitimasi, tidaklah mungkin dengan bertahan dengan cara-cara lama yang jelas-jelas

telah mengantar TNI khususnya dan juga bangsa pada umumnya terpuruk dan terus

dibelit krisis yang berkepanjangan seperti yang kita alami saat ini. Maka perumusan

nilai-nilai baru untuk menyongsong lahirnya peradaban baru menjadi kata kunci

dalam membangun legitimasi TNI kedepan. Karena yang dibutuhkan rakyat saat ini

adalah kepastian masa depan, dan itu hanya bisa diwujudkan melalui pembangunan

151

Page 152: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

sistem kenegaraan yang benar-benar demokratis terlebih dahulu, sekaligus me-

nempatkan posisi TNI secara benar, sebagaimana yang digambarkan oleh sahabat

saya Dr. Andi Talman Nitidisastro dalam diskusi "warung kopi" di Pakar Bandung

akhir tahun 1999 yang menyimpul kan bahwa "penggantian papan catur" adalah

sebuah keniscayaan bila memang bangsa ini berkeinginan membangun TNI yang

kuat, disegani dan bahkan ditakuti oleh lawan, namun dicintai dan sekaligus

dibanggakan oleh rakyatnya.

Etika keprajuritan TNI kedepan akan lebih tepat kalau menonjolkan besarnya

tanggung jawab dan keteladanan dalam perilaku keseharian oleh segenap atasan dan

terlebih bagi Perwiranya khususnya pada level Perwira Tinggi. Keteladanan dalam

mengambil alih tanggung jawab yang dikerjakan ataupun yang tidak dikerjakan

bawahan tidak boleh lagi sekedar didiskusikan dalam tataran wacana dan alasan-

alasan hukum ketika dimuka pengadilan, tapi bukti nyata dilapangan dengan cara

membebaskan bawahan apapun pangkatnya tidak sampai diseret ke muka pengadilan,

padahal mereka tak lebih hanya melaksanakan tugas sucinya sebagai prajurit. Dalam

kasus penyalah gunaan kekuasaan dan penyelewengan yang menyebabkan pejabat

TNI diproses secara hukum dimuka pengadilan, tidaklah patut kalau kemudian atasan

yang mestinya bertanggung jawab ramai-ramai cuci tangan, dengan alasan “salah

prosedur” sehingga tindak pidana tersebut beralih menjadi tanggung jawab bawahan.

Dalam kepedulian bangsa yang begitu tinggi dalam memberantas korupsi, kedepan

TNI sebaiknya segera mengubah Etika keprajuritan yang dilandasi oleh aturan formal

hukum kekinian. Bila dimasa lalu, budaya membiarkan bawahan korupsi sehingga

mayoritas laporan dari lingkungan Inspektorat Jendral tentang korupsi umumnya tidak

direspond sebagaimana mestinya secara hukum. Kemudian para pimpinan satuan

lebih mengedepankan fungsi pengendalian yang memang menjadi hak atasan masing-

masing. Cara ini memang paling ampuh sebagai model dalam menaklukan bawahan,

karena otomatis bawahan akan terus ketakutan karena kasus korupsinya sudah

ditangan Pimpinannya. Maka kedepan haruslah menjadi kesadaran bagi setiap elit

TNI untuk tidak membiarkan hasil temuan jajaran Inspektoratnya tentang temuan

adanya tindak pidana korupsi dijajarannya, karena sikap yang demikian itu secara

hokum akan menempatkan dirinya sebagai pihak yang terlibat pula dalam tindak

pidana korupsi.

152

Page 153: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Dan yang tidak kalah pentingnya dalam mengembangkan etika keprajuritan

kedepan adalah upaya menanamkan rasa senasib dan sepenangungan antara atasan

dan bawahan. Rasa kebersamaan haruslah diwujudkan dalam tata kehidupan

keseharian, terlebih dalam menghadapi kesulitan ekonomi akibat rendahnya

penghasilan resmi prajurit TNI. Tidaklah tepat kalau begitu sulitnya prajurit bawahan

dalam membiayai pendidikan anak-anaknya bahkan sekedar untuk membayar uang

sekolah yang jumlahnya beberapa ratus ribu rupiah saja menempuh cara hutang ke

Unit Simpan Pinjam Koperasi dikesatuannya, dengan angsuran potong gaji beberapa

bulan, sementara pimpinannya dan terlebih elitnya hanya untuk satu kali olah raga

dengan jumlah dana yang sama dan bahkan lebih dari jumlah itu justru hanya

sekedar untuk olah raga tertentu. Lebih kontradiktif lagi manakala dana tersebut

ternyata berasal dari anggaran resmi, yang oleh kesatuan kesatuannya dipertanggung-

jawaban bukan untuk olah raga. Sebagian lagi dibiayai oleh “rekanan” dalam arti

pengusaha yang memang mendapat rezeki dari lingkungan TNI.

Kesadaran bahwa masalah kesejahteraan adalah persoalan hari ini haruslah ditumbuh

kembangkan, karenanya tidaklah wajar kalau bawahan diajak untuk terus menunggu

sampai Pemerintah mampu menaikkan anggaran. Dengan demikian muncul

keteladanan dari para elit, tentang pentingnya kesederhanaan dalam tata kehidupan

keseharian untuk menumbuhkan kesamaan rasa dan sekaligus kebersamaan menjadi

utama. Tidaklah elok kalau dilingkungan bawahan yang tiap hari harus membuang

rasa malu dan berharap cemas kondektur bis atau Kereta Api tidak memintanya uang

karcis, tidak jarang pula diantara bawahan memilih bergelantungan di truk angkutan

barang, sementara itu pilihan mobil dinas untuk pejabat eselon tertentu dilingkungan

TNI justru tergolong mobil memah. Pemahaman ini tidaklah berarti mereka yang

duduk dalam elit TNI lantas harus miskin. Tidaklah wajar pula kalau mereka yang

duduk di level elit TNI persoalan kesejahteraan termasuk soal perumahan dan apalagi

jaminan sosial di hari tua setelah pensiun juga belum / tidak memperoleh kepastian.

Sikap yang dibutuhkan saat menghadapi keterbatas anggaran yang diberikan

Pemerintah adalah upaya menghentikan inefisiensi dan korupsi dalam bentuk yang

terselubung sekalipun, dan dana hasil penghematan itu disubstitusikan untuk

tunjangan yang bisa diterima secara merata bagi semua prajurit, walaupun

pengaturannya tetap saja harus mendasarkan pada golongan pangkat dan jabatan.

153

Page 154: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Dengan demikian untuk kedepan model pengelolaan sumber daya akan melahirkan

pula rasa keadilan bagi segenap prajurit TNI. Hal ini menjadi penting karena dalam

tatanan organisasi yang baik persoalan keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan

termasuk didalamnya soal pengaturan karier, pangkat, jabatan dan juga logistik

adalah persoalan majemen yang secara terukur dapat dipertanggung jawabkan secara

terbuka. Maka menjadi penting, untuk kedepan TNI segera merombak sejumlah

sistem pembinaan yang ada, agar kedepan tidak terlalu dominan menempatkan

urusan nasib dalam soal pangkat dan juga kesejahteraan.

Melalui perubahan etika keprajuritan yang disesuaikan dengan tuntutan lingkungan

hidup bawahan, niscaya akan melahirkan kebersamaan, dan sekaligus soliditas baik

dalam lingkup kesatuan masing-masing, maupun dalam hubungan besar yaitu

angkatan dan juga TNI secara keseluruhannya.

Begitu pula soal kebanggaan prajurit yang perlu dikembangkan. Dengan

memahami bahwa kodrat alam atas kehidupan akan senantiasa berpasang-pasangan

dalam keseimbangan. Kehidupan peradaban bangsa dan kenegaraan yang diatur

dengan sistem demokrasi juga mengandung dua sisi ke- hidupan yang saling

berseberangan. Disatu sisi kehidupan kenegaraan dilaksanakan dengan pola dari

bawah keatas (buttom-up) yang bercirikan kebebasan, kemerdekaan, debat,

berargumentasi, beragam, dan berpegang pada fatsun dan hukum. Sisi pekerjaan yang

demikian ini menjadi porsi dari kaum sipil. Dan model kehidupan tersebut biasa

dikenal dengan istilah "supremasi sipil", dimana out put akhir yang akan diwujudkan

adalah kesejahteraan rakyat. Dan disisi yang lain dalam mengatur kehidupan kenegara

an juga dibutuhkan kekuatan yang bisa digunakan untuk menghancurkan musuh

negara yang polanya "top-down" (dari atas kebawah) dengan ciri perintah, patuh, taat,

tidak membantah, keras, tegas, kalau perlu kejam dan seragam. Pekerjaan yang

demikian itu menjadi porsi militer, adapun output yang akan dihasilkan adalah

hancurnya kekuatan lawan. Mana- kala kehidupan kenegaraan dalam kondisi normal,

tapi menggunakan cara-cara yang demikian itu (umum menyebutnya dengan istilah

"supremasi militer"), sudah barang tentu akan membuat keter- libatan militer menjadi

sangat dominan.

Sesungguhnya kedua sisi kehidupan tersebut, baik yang membangun ataupun yang

menghancurkan tidak bisa dinilai secara terpisah satu persatu. Tidaklah tepat kalau

154

Page 155: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

salah satu dikategorikan sebagai yang baik dan satu lainnya lagi sebagai yang buruk.

Karena keduanya secara bersama-sama antara kanan dan kiri, "yin" dan "yang",

gunung dan lembah, laki-laki dan perempuan dan seterusnya adalah sebuah pasangan

disamping sebagai satu kesatuan yang utuh sebagai sebuah kebajikan, kebaikan,

keharmonisan, keindah- an dan sekaligus sebagai sebuah kebenaran. Ibarat tubuh

manusia yang mempunyai darah merah yang mampu memberi makan dan

mengedarkan oksigen dan sari makanan keseluruh tubuh tanpa kecuali, namun pada

saat ia tak bisa berbuat apapun atas kehadiran kuman, bakteri ataupun virus yang me-

nyerangnya, disanalah sang darah putih yang selama ini sembunyi kemudian tampil

untuk menghancurkan segenap penyakit sebagai musuh. Penampilan darah putih yang

demikian itu juga mengandung resiko hancurnya sebagian sel-sel bagian tertentu dari

tubuh disekitar keberadaan sang penyakit. Keduanya sama-sama dibutuhkan, kedua

nya sama-sama terhormat dan keduanya adalah kodrat, kebenaran, kebutuhan dan

bahkan kewajiban agar manusia mampu menjaga eksistensinya guna menjalankan

tugas hidupnya.

Beranjak dari petunjuk dan tanda-tanda alam yang demikian itu, dalam mengatur

sistem demokrasi tidak hanya sipil yang harus mendapat tempat yang terhormat, tapi

tentara juga haruslah diposisikan tidak kalah terhormat dari pada kaum sipilnya.

Sebagai mesin penghancur, tentara haruslah kuat, namun ia senantiasa sembunyi dan

hanya tampil kalau diperlu- kan saja. Tidaklah akan pernah terjadi kalau bagian tubuh

manusia tergores pisau akan mengeluarkan darah putih, niscaya darah yang menetes

keluar adalah darah merah. Sebagai mesin penghancur yang handal sekali tampil ia

harus mampu mengatasi persoalan dengan baik. Begitulah seharusnya tentara diatur,

agar ia disegani, dihormati dan sekaligus disayangi, serta dikagumi dan dicintai oleh

rakyatnya. Pada saat saat tertentu rakyat haruslah dibuat terpesona oleh penampilan

tentaranya. Latihan-latihan yang penuh resiko bisa dipertonton kan kepada rakyat

dengan ketakjuban. Dan sekali waktu ia ditampilkan dengan segala tanda kebesaran

nya sehingga melahirkan rasa bangga dari rakyatnya. Disanalah maka tentara

mempunyai banyak macam jenis pakaian seragam agar muncul kesan dan perasaan

rakyat yang demikian itu. Adalah kekeliruan yang sangat mendasar kalau penampilan

tentara yang ingin disuguhkan kepada rakyatnya sendiri dengan mengutamakan kesan

menakutkan, angker, serem apalagi kejam. Karena paham yang demikian biasanya

155

Page 156: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

hidup dan berkembang pada militer Pemerintahan Kolonial agar rakyat jajahannya

menjadi takut karena nya. Kesan yang demikian akan tepat pada saat TNI perang atau

penanganan keadaan abnormal dalam menjalankan pemerintahan darurat militer,

sehingga benar-benar angker dimata lawan, tapi dibanggakan dan menjadi tumpuan

harapan bagi rakyatnya. Dan karenanya pelaksanaan pemerintahan daruratpun

sebaiknya benar-benar pemerintahan militer, bukan dicampur-campur dengan

pemerintahan sipil.

Dalam konteks kebanggaan, TNI kedepan perlu mengubah secara mendasar

kebanggaan yang selama ini dikembangkan. Sebagai militer prestise kemiliter- an

sebaiknya berupa penguasaan kemahiran dan ketrampilan olah keprajuritan, keahlian

ataupun pengetahuan sesuai strata kepangkatan masing masing daripada aspek materi

kebendaan seperti mobil mewah, motor gede, stick golf yang harganya mahal dan

rumah pribadi yang berada dikawasan elit. Disanalah maka dalam kepangkatan

kemiliteran untuk profesi tehnis kemiliteran diatur sampai jenjang pangkat kolonel,

sedang yang diatasnya dengan pangkat Jenderal. Karenanya maka seorang jenderal

dituntut kemampuan dan pengetahuan diatas masalah-masalah tehnis kemiliteran

yaitu banyak hal tentang strategi perang, kemanusiaan, kehidupan sosial dan

kenegaraan, serta perkembangan internasional utamanya yang terkait dengan

geopolitik disamping keparipurnaan dalam kepemimpinan lapangan serta penonjolan

dalam hal nurani dan rasa kemanusiaan.

Hakekat Ancaman dan gelar TNI

Dengan tetap menginduk pada tanda-tanda alam "darah merah dan darah putih"

diatas, maka tentara haruslah tampil tepat pada waktunya yaitu manakala musuh

datang menyerang kita. Andi Wijayanto dari Universitas Indonesia menyebutkan tiga

strategi Pertahanan Nasional yang perlu dikembangkan tentara yaitu (1) penilaian

potensi bentuk dan eskalasi konflik, (2) penilaian potensi ancaman, dan (3) penilaian

kapabilitas pertahanan yang harus dikembangkan suatu negara73.

Manajemen pertahanan yang dimaksud adalah dalam rangka menghadapi musuh

dari luar tubuh kita dan sama sekali bukan kekuatan atau elemen dari bagian tubuh

kita yang manapun. Memang sangat mungkin terjadi, karena persoalan internal tubuh 73 Andi Wijayanto, Transformasi Postur Pertahanan Indonesia, dalam Beni Sukadis, et al., Menuju TNI yang Profesional: Restrukturisasi Bisnis TNI, (Jakarta: Friederich-Ebert Stiftung, 2005), hal. 44

156

Page 157: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

kita menyebabkan tentara perlu turun tangan, namun keadaan yang demikian hanyalah

digunakan mana- kala kehidupan sosial dan kenegaraan sudah tidak lagi normal

(abnormal). Dalam perang "modern" kedatangan angkatan bersenjata musuh juga

akan melalui pentahapan pengkondisian dalam negeri, dengan operasi intelejen

mereka masuk kedalam kehidupan sosial bangsa kita. Menghadapi hal yang demikian,

tidaklah berarti kemudian TNI kembali masuk kehampir seluruh aspek kehidupan

sebagai-mana yang terjadi di era Orde Baru, tapi kinerja sistem politiklah yang harus

menjamin mampu me- nangkal hadirnya infiltrasi kepentingan asing tersebut.

Disanalah peran lembaga intelejen, Polisi dan lembaga sipil terkait lainnya harus

dioptimalkan. Dan kalau toh itu gagal maka tampilnya TNI haruslah pada saat

keadaan sudah tidak normal (abnormal) saja. Karena ada atau tidak infiltrasi

kepentingan asing sesungguhnya dalam tata pergaulan internasional adalah hal yang

wajar-wajar saja. Persoalan yang mendasar yang melatar belakangi terjadinya konflik

dalam negeri termasuk yang berbentuk perlawanan bersenjata sekalipun seperti yang

terjadi di Aceh dan Papua sesungguhnya murni masalah politik, karena nya juga

haruslah diselesaikan dengan cara politik pula. Terjadinya penggunaan senjata oleh

sebagian warga bangsa kita dalam memperjuangkan aspirasinya sesungguhnya bisa

ditempatkan sebagai indikasi kuat kegagalan politisi sipil, sekaligus sebagai petunjuk

adanya kesalahan dalam sistem pengelolaan politik kekuasaan dilingkungan sipil. Dan

upaya menyeret TNI kedalam persoalan yang berasal dan berada diwilayah politik

oleh kaum sipil apalagi yang ber- akibat jatuhnya korban diantara anak bangsa sendiri

dapatlah dikategorikan sebagai kejahatan politik oleh politisi sipil. Namun kalau toh

kondisi tersebut sudah terlanjur tidak mungkin diselesaikan dengan cara-cara politik,

maka turun tangannya tentara untuk menghadapai bagian dari bangsanya sendiri

hanyalah saat nyata-nyata keadaan diwilayah tersebut sudah tidak normal lagi.

Disinilah pentingnya tentara juga harus berperan dalam mengeliminasi potensi per-

pecahan bangsa dan negara, dengan cara menumbuh- kan sebuah daya tangkal untuk

mencegah munculnya niat dan kesempatan daerah tertentu untuk memisah- kan diri

dari Republik Indonesia. Maka dalam penata an dislokasi kesatuan juga didasarkan

pula pada kepentingan untuk mendatang kan daya tangkal tersebut, dengan pengertian

tidak hanya disiapkan untuk menghadapi kedatangan invasi angkatan bersenjata asing

semata, tapi juga harus mampu menghilangkan atau mengeliminasi potensi untuk

157

Page 158: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

memisahkan diri oleh daerah manapun, disamping juga mempertimbangkan untuk

tugas-tugas untuk menjalankan Pemerintahan Darurat Militer.

Tentara juga mempunyai tugas untuk tampil pada saat keadaan tidak normal

lainnya yaitu pada saat terjadi musibah kemanusiaan ataupun bencana alam apalagi

yang mengakibatkan lumpuhnya fungsi birokrasi sipil atau yang tidak mungkin

ditangani oleh Pemerintahan sipil. Disanalah maka kita saksikan dimana bantuan dari

negara sahabat sewaktu terjadi "tsunami" di Aceh dan Sumatera Utara yang datang

pertama kali adalah tentara mereka, karena paham yang demikian adalah universal.

Baru kemudian belakangan disusul batuan dari kaum sipil yang tergabung dalam

Palang Merah Internasional, LSM dan juga tenaga ahli/trampil dari kalangan sipil

lainnya.

Dalam keadaan damai dimana TNI tidak sedang menghadapi ancaman nyata,

maka tugas TNI adalah latihan, latihan dan latihan. Tak ubahnya kesebelasan sepak

bola peringkat dunia, saat tidak bertanding dalam kompetisi dunia, tak kurang dua kali

setiap minggunya mereka berlatih dalam pertandingan putaran di "liga" nya masing-

masing. Sehingga pada saat tampil dalam pertandingan yang sebenarnya, setiap

penonton walaupun dengan membayar tiket yang mahal, mereka puas dengan

penampilan kesebelasan paforitnya, walaupun ia tidak menduduki ranking paling atas

sekalipun. Dengan mencontoh pada kesebelasan sepak bola tersebut, maka kehadiran

TNI untuk melaksanakan tugas operasi militer haruslah menghadirkan keyakinan

rakyat bahwa keadaan akan segera teratasi. Dengan demikian penampilannya sebagai

mesin penghancur justru melahirkan optimisme bahwa keadaan segera dapat

dikendalikan. Sudah barang tentu kekuatan mesin perang yang demikian ini haruslah

disusul dengan eselon yang melaksanakan rehabilitasi yang biasa disebut sebagai

"civic mission". Penugasan yang demikian ini juga harus menampilkan rasa kagum,

bangga dan terima kasih dari rakyat, karena rakyat memang merasakan dengan sangat,

atas bantuan yang diberikan oleh tentara.

Struktur pengorganisasian TNI kedepan sebaiknya tidak disusun dalam bentuk

kewilayahan, tapi benar-benar dalam bentuk satuan-satuan tempur hubungan besar

menurut kerangka pembinaan matra angkatan masing-masing. Namun demikian tiap

satuan sudah dipersiapkan untuk melaksanakan tugas pokok dalam wilayah tertentu,

disamping sebagai cadangan bagi wilayah lainnya. Komando Operasi Gabungan

158

Page 159: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

mempunyai otoritas penuh dalam hal latihan bagi semua satuan-satuan yang

tergabung dalam satu komando latihan. Latihan yang dimaksud adalah untuk

menghadapi kontijensi yaitu gelar pertahanan dengan mengasumsikan hakekat

ancaman yang bakal dihadapi. Dengan latihan semacam itu maka setiap kesatuan

sudah mengenali secara sungguh-sungguh keadaan wilayah tertentu yang pada

saatnya berubah menjadi mandala atau palagan pe- perangan yang sebenarnya, yaitu

bila musuh sungguh-sungguh datang. Dengan kata lain susunan TNI kedepan diatur

berdasarkan organisasi tempur. TNI kedepan juga tidak dilibatkan dalam urusan diluar

latihan termasuk pengamanan dan penjagaan kekaya- an alam secara langsung,

apalagi untuk penjagaan perusahaan-perusahaan asing, karena hal yang demikian

maksimal dikerjakan oleh Polisi. Dengan pengorganisasian, pengaturan fungsi dan

kewenangan yang demikian itu maka tidak akan ada lagi operasi militer yang bisa

dilaksanakan oleh satuan bawah yang manapun, tanpa perintah Presiden. Disana nanti

sistem pengaturan TNI otomatis menjamin tidak akan pernah terjadi lagi kasus

penculikan, pembunuh an ataupun tindak kekerasan lainnya terhadap siapapun baik

warga negara sendiri maupun asing yang dikerjakan oleh satuan TNI yang manapun.

Wajib Militer dan Redislokasi Pasukan TNI

Untuk membuat rakyat kagum namun sekaligus mencintai TNI bukanlah dengan

model TNI berbaur secara phisik dalam keseharian, karena hal yang demikian justru

membikin sejumlah kelemahan lembaga ataupun pribadi prajurit TNI diketahui secara

terang benderang oleh kaum sipil. Program wajib militer juga perlu digalakkan.

Program wajib militer adalah bagian dari sistem demokrasi, karena cara ini adalah

wujud dari paham rakyat bertanggung jawab terhadap negara. Dan ini berbeda pada

sistem otoriter, karena pelibatan rakyat dalam kaitan tugas-tugas ketentaraan

dilaksanakan dengan mobilisasi. Dengan wajib militer maka secara tidak langsung

TNI telah menyebar "agen" atau tunas-tunas bangsa yang bangga terhadap TNI. Hal

yang demikian itu sangat menguntungkan dalam upaya membangkitkan kecintaan

rakyat terhadap TNI. Makin banyak “agen” yang bisa menjelaskan kepada rakyat,

sudah barang tentu akan semakin baik. Kekhawatiran terhadap bocornya informasi

ketentaraan dalam program wajib militer juga tidak perlu dirisaukan, karena mereka

yang menjalankan wajib militer hanyalah tahu bagian atau segmen kecil dari

159

Page 160: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

permasalahan ketentaraan yang begitu kompleks.

Sebagaimana yang dicontohkan oleh darah putih yang hanya tampil kalau

diperlukan dan selesai tugas darah putih pun kembali bersembunyi. Oleh karena itu

kedepan tentara kita juga jangan disebar berada dimana-mana dalam hubungan kecil

tanpa meng hitung kepentingan strategi pertahanan secara menyeluruh. Terhadap

kebutuhan perbantuan kepada Polisi dan Pemerintah Daerah diluar masalah

kemanusiaan secara bertahap sebaiknya diakhiri, karena tugas yang demikian itu

bukanlah tugas TNI tapi sepenuhnya menjadi tugas Polisi dan Pemerintahan Daerah,

kecuali keadaan sudah tidak normal lagi maka TNI tampil mengambil alih.

Mekanisme pelibatan TNI yang demikian diatur dalam UU Keadaan Darurat yang

keputusan akhirnya berada ditangan Presiden selaku Kepala Negara. Agar TNI tidak

terlambat tampil atau ditampilkan untuk mengatasi keadaan, maka pembentukan

Dewan Keamanan Nasional yang didasarkan pada Undang-Undang Keamanan

Nasional menjadi salah satu alternatif sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh

banyak negara. Dari sisi inilah maka penyusunan dislokasi TNI tidak hanya atas

dasar pertimbangan kepentingan pertahanan negara semata, tapi juga didasarkan pada

perhitungan kemungkinan tampilnya TNI dalam keadaan darurat didaerah dimana

markas-markas TNI berada dan juga sekitarnya. Dalam arti harus mempertimbangkan

pula kebutuhan angkutan dalam pergeseran pasukan baik lewat darat, laut maupun

udara untuk terlaksananya tugas tersebut di bagian wilayah republik yang manapun.

Konsentrasi pasukan TNI yang saat ini lebih terpusat di pula Jawa sama sekali

tidak realistis dan juga tidak terkait dengan kepentingan upaya pertahanan Negara,

oleh karena itu secara bertahap perlu diredislokasi. Sedang besar kecilnya jumlah

pasukan yang ada pada suatu daerah, sangat ditentukan oleh model sistem pertahanan

yang akan di terapkan. Dengan mempertimbangkan sebagai negara kepulauan,

menjadi sangat tepat kalau untuk matra darat dititik beratkan pada sistem pertahanan

pulau-pulau besar. Sedang untuk AL dan AU sudah barang tentu lebih dilandasi oleh

kebutuhan strategis dan juga taktis dalam menghadapi bakal lawan, sekaligus tugas-

tugas routine dalam menjaga kedaulatan wilayah dari upaya pihak asing yang masuk

kewilayah laut Indonesia. Namun demikian keberadaan pasukan di daerah tertentu

haruslah dengan dipilah menurut matra, dan kecabangan yang ada dimasing-masing

matra angkatan. Sehingga tidak terjadi pada wilayah pulau atau provinsi tertentu

160

Page 161: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

terakumulasi pasukan yang mempunyai seluruh fungsi-fungsi militer. Kedepan perlu

menempakan pasukan dari kecabangan tempur tertentu matra darat dalam hubungan

besar pada wilayah Provinsi tertentu, khususnya yang mempunyai potensi konflik

tinggi yang dilengkapi dengan daerah latihan dan juga pemukiman dan kota militer.

Dan begitu seterusnya dalam satu provinsi tersebut tidak boleh terdapat konsentrasi

pasukan secara lengkap dari semua kecabangan dari salah satu matra angkatan dan

apalagi seluruh kecabangan dari gabungan ketiga matra angkatan. Karena hal yang

demikian sangatlah merangsang munculnya niat untuk mempengaruhi pimpinan

kesatuan TNI yang berada di provinsi atau pulau tersebut untuk mendukung upaya

memisahkan diri dari Republik Indonesia. Dan sebaliknya dengan pemilahan

konsentrasi pasukan berdasarkan kecabangan dan matra tertentu saja, akan membuat

tentara yang berada disuatu wilayah tersebut sebesar apapun kekuatannya tidak akan

mampu menjalankan fungsi militer secara utuh. Provinsi yang ketempatan Infantri

tidak boleh dilengkapi dengan kecabangan Bantuan Tempur seperti Kavaleri dan atau

Armed. Untuk provinsi yang ketempatan Kavaleri tidak boleh dilengkapi dengan

kecabangan lain, dan seterusnya bagi yang menonjol kuat matra daratnya tidak boleh

digabung dengan matra udara. Sedang yang menonjol matra laut jangan diperkuat

dengan matra udara, dan yang menonjol matra udara jangan diperkuat dengan matra

darat, sehingga masing-masing punya keunggul- an dan masing-masing juga punya

kelemahan sekaligus. Dengan demikian munculnya kemungkinan interelasi antara

bagian TNI dengan politisi sipil tidak akan melahirkan pemberontakan bersenjata dari

bagian TNI yang manapun.

Begitu pula gelar TNI-AL dan AU kedepan haruslah ditata dengan orientasi

untuk menghadapi datangnya musuh pada wilayah yang begitu terbuka. Wilayah laut

yang terbentang antara pulau Sumatra dan Kalimantan, Kalimantan dengan Sulawesi,

Sulawesi dengan Maluku, dan Maluku dengan Irian, serta Irian dengan NTT mutlak

diperkuat oleh matra laut yang diback up oleh matra udara. Dalam kaitan ini memang

pembangunan secara besar-besaran matra laut yang diikuti oleh matra udara dalam

waktu dekat perlu menjadi prioritas karena hal yang demikian memang merupakan

konsekwensi logis dari keberadaan kita sebagai negara maritim. Dengan kata lain

kedepan kita perlu mengganti madzab konsep pertahanan dari konsep pertahanan

negara kepulauan yang titik beratnya pada pertahanan darat, menjadi konsep

161

Page 162: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

pertahanan yang orientasinya adalah sebagai negara maritim dengan penonjolan pada

kekuatan TNI-AL yang diback-up oleh kekuatan TNI-AU, dengan tetap membangun

TNI AD untuk lebih kuat lagi.

Begitu pula keberadaan Pusat Pendidikan (Pusdik) dan Lembaga Pendidikan

(Lemdik) yang selama ini terkonsentrasi didalam pulau Jawa, akan lebih tepat kalau

disebar kesetiap Provinsi secara merata dengan dilengkapi dengan fasilitas latihan,

sarana dan prasarana pendidikan termasuk daerah latihan yang memadai dan sekaligus

perumahan prajurit yang mencukupi serta layak, dalam sebuah design kota tentara.

Dengan penyebaran tentara yang demikian, maka kerawanan munculnya potensi

bagi daerah tertentu untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia otomatis akan

mengecil dan pada saatnya akan sirna. Apalagi kalau didukung kebijakan silang antar

pulau dalam rekruitmen prajurit TNI, dimana produk Pusdik dan Lemdik yang berada

di daerah-daerah yang jumlah penduduknya besar seperti Jawa dan Sumatra dikirim

secara proporsional keluar Jawa dan Sumatera, dan secara proporsional pula untuk

sebaliknya. Dampak positip yang akan terjadi adalah perkawinan silang antar suku

oleh prajurit TNI dalam jumlah yang cukup besar. Kelak pada dua puluh tahun

kemudian akan tampil pemuda-pemudi basil kawin campur antar suku, yang dampak

ikutannya akan memperkokoh ke Indonesia an kita dimasa depan. Begitu pula

dampak sosial ekonomi yang bakal ditimbulkan akibat redislokasi pasukan TNI yang

menyebar secara proporsional pada setiap provinsi dan pulau besar, otomatis akan

mem bangkitkan perputaran roda ekonomi di daerah yang sangat berarti dalam

mendukung kebijakan otonomi daerah. Terlebih kalau dibarengi dengan perubahan

sistem logistik yang didesentralisasi, dengan demikian maka akan terjadi

pertumbuhan sektor swasta disekitar markas-markas TNI. Yang jelas dengan

redislokasi pasukan TNI yang demikian itu dapat dijadikan pijakan untuk menata

ulang konsep otonomi daerah. Kekhawatiren munculnya potensi untuk memisahkan

dari NKRI akibat otonomi daerah bila diberikan pada tingkat provinsi menjadi tidak

beralasan. Dengan otonomi daerah diberikan pada tingkat provinsi, maka kemampuan

untuk mandiri (swakelola) bagi masing-masing daerah otonom obyektifitasnya bisa

dipertanggung jawabkan. Karena pada tingkat provinsi potensi untuk saling

menunjang diantara daerah kabupaten dalam satu wilayah otonomi dan besarnya

potensi untuk menggali PAD (Pendapatan Asli Daerah) akan lmemungkin kan untuk

162

Page 163: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

swakelola.

Reaktualisasi Nasionalisme TNI

Saat ini bangsa sedang dilanda keterpurukan, reformasi yang didahului dan

disertai jatuhnya korban sesama anak bangsa nampaknya mengalami kemandegan.

Sebagian Elit Politik yang ada lebih banyak menghabiskan waktu dan tenaganya

untuk saling menjatuhkan "lawan" nya, tanpa berpikir panjang dampak ikutan yang

bakal ditimbulkannya. Pada saat yang sama lembaga-lembaga Pemerintahan Negara

sepertinya telah kehilangan otoritasnya, seolah tak berdaya merespon dinamika politik

yang ada.

Banyak pihak sepertinya tak peduli atas besarnya pinjaman nasional yang konon

mencapai US $. 419,7 Milyard dengan kurs Rp,9000,-/US$ alias

Rp.3.777.300.000.000.000,- (Tiga Ribu Tujuh Ratus Tujuh Puluh Tujuh Triliun Tiga

Tatus Milyard Rupiah). Padahal dengan kemampuan nasional yang begitu terbatas

dalam mengembalikan pinjaman dan kebutuhan tambahan pinjaman baru dari

Pemerintah pada tahun-tahun mendatang, niscaya sebagai bangsa kita baru mampu

melunasinya dalam ratusan tahun kedepan atau bahkan hampir tidak mungkin mampu

melunasinya. Dalam kondisi yang seperti itu tidak mustahil pada saatnya kelak

pihak-pihak tertentu dengan mudahnya dapat memaksakan kehendaknya terhadap

kebijakan nasional kita. Dan bila semua itu terjadi, maka kelak generasi penerus kita

otomatis akan kehilangan kedaulatannya yang dulu direbut oleh para pendahulunya

dari tangan penjajah dengan perjuangan yang begitu panjang dan dengan pengorbanan

jiwa-raga dan harta yang tak ternilai besarnya. Barangkali sebagai bangsa kita perlu

curiga adanya upaya dari pihak-pihak tertentu termasuk dari sesama anak bangsa

yang saat ini tengah berusaha untuk melaksanakan penjajahan dengan bentuk dan

model nya yang baru. Padahal “penjajahan modern” justru jauh lebih berbahaya dari

pada penjajahan phisik. Bila dahulu dalam penjajah- an phisik, para pejuang

kemerdekaan dengan mudahnya mengenali siapa kawan dan siapa lawan. Tapi dalam

penjajahan modern kita tidak bisa lagi mengenali lawan dengan pasti. Jatuhnya korban

diantara anak bangsa ditempuh dengan menciptakan berbagai macam kekerasan dan

gejolak / kerusuhan sosial yang dibiayai dengan uangnya. Dan yang lebih

menyedihkan lagi kalau saja uang yang dipakainya adalah dana pinjaman yang di

163

Page 164: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

KKN yang menjadi beban generasi penerus untuk mengembalikannya.

Barangkali itulah garnbaran yang sedang melingkupi bangsa kita, kiranya wajar

kalau banyak pihak kemudian meneriakan bahwa peradaban bangsa ini tengah berada

diambang pintu kehancuran. Pokok persoalan yang muncul adalah haruskah TNI yang

jati diri nya sebagai Tentara Pejuang, Tentara Rakyat dan Tentara Nasional terus

berdiam diri, tak peduli nasib bangsa dan negaranya yang terus terpuruk. Haruskah

TNI terus diam seolah tidak mau tahu dan masa bodoh terhadap hari depan anak

cucunya yang akan kehilangan kedaulatan, derajat. martabat dan harga dirinya akibat

tidak mampu bayar pinjaman yang begitu besar yang dibuat generasi sebelumnya.

TNI saat ini memang sedang di gugat nasionalismenya. Karenanya tidaklah

benar kalau TNI membiarkan begitu saja sebuah proses dekonstruksi atas diri

bangsa dan negaranya terus berlanjut. Sudah barang tentu untuk masa kekinian

dalam meng implementasikan komitmen kebangsaan nya TNI tidaklah dengan serta

merta tampil bak negara dalam negara. Maka peran yang paling mungkin dimainkan

TNI adalah menjaganya, bagaikan pagar yang mampu menepis musuh yang datang

dari luar, dan juga mampu menjaga agar segala masalah yang timbul dalam diri anak

bangsa tetap dalam bingkai Indonesia. Dimungkinkan adanya gejala dalam diri anak

bangsa yang bisa berdampak fatal terhadap kelanjutan eksistensi bangsa dan negara,

ataupun dalam kadar yang lebih rendah yaitu hilangnya kedaulatan rakyat, ataupun

munculnya penjajahan oleh sesama anak bangsa, maka peran TNI kedepan bukanlah

secara phisik turun tangan dengan mengerahkan mesin perang. TNI sebagai “iterest

group” melalui pemikiran dan juga pengaruhnya terhadap birokrasi sipil, bisa

memberikan solusi agar tatanan sipil untuk segera bisa bekerja sebagaimana

mestinya. Sepanjang TNI mampu melepaskan diri dari kepentingan kekuasaan,

maka jangankan pemikiran TNI tidak didengar oleh kaum sipil, sedang lirikan dan

atau muka yang cemberut dari TNI pun akan sangat di atensi oleh kaum sipil.

Bukankah yang dituntut dari TNI sekedar perumusan solusi pemecahan

masalah dalam bentuk konsep dan sikap politik TNI dalam artian apa-apa yang

telah dikerjakan oleh TNI dapat dicontoh oleh komponen lainnya, dan apalagi

kalau bisa diadopsi sebagai kebijakan nasional. Disanalah pentingnya TNI

tampil sebagai agen perubahan, dengan mendahului melaksanakan komitmen

tertentu dijajarannya. Dengan tampil sebagai agen terdepan dalam pemberantasan

164

Page 165: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

korupsi umpamanya, niscaya upaya pemerintah dalam memberantas korupsi akan

berjalan dengan optimal. Karena logika publik menyimpulkan, kalau

pemberantasan korupsi dijajaran TNI sendiri begitu masifnya, apalagi untuk

dilingkungan sipil. Skrening kekayaan pejabat TNI mungkin sebaiknya

diwajibkan bagi pejabat dilingkungan TNI, dan kemudian ditampilkan sebagai

percontohan bagi lingkungan Pemerintahan sipil. Dengan cara yang demikian itu,

bisa jadi kaum sipil akan menirunya bahkan melebihi dari apa yang dilaksanakan

TNI. Bisa jadi ditingkat nasional terimbas model sejumlah Negara yang menempuh

cara skrening bagi pejabat tinggi negaranya. Bagi mereka yang berindikasi

terlibat KKN selanjutnya ditempuh proses hukum. Dan hasilnya diumumkan

oleh negara dalam bentuk bersih lingkungan dalam kaitan KKN. Menjadi sangat

wajar kalau kelak akan berkembang juga model Skrening untuk menghitung

kembali berapa dana pinjaman terlebih yang berasal dari luar negeri yang benar-

benar diinvestasikan, dan berapa dana yang di KKN. Dengan demikian anak cucu

kita dibebaskan untuk menanggung peninggalan pinjaman yang nyata-nyata di

KKN. Bila model tersebut ditempuh, akan lebih tepat lagi kalau pihak kreditor

dilibatkan dalam proses audit dan pelacakan kemanapun dana tersebut dialirkan,

serta penyelesaian hukum atas dana yang diselewengkan. Karena mereka juga

harus bertanggung jawab atas pengucuran pinjaman yang begitu besar kepada

rezim yang mereka ketahui dari awal dengan pasti sebagai rezim yang korup.

Bagitu pula dalam upaya bangsa ini mengakhiri dendam masa lalu, maka

mendahului lahirnya badan yang menangani Rekonsiliasi Nasional sebuah proses

islah dengan para korban dimasa lalu perlu dikerjakan terlebih dahulu oleh TNI.

Memang betul secara parsial telah dilaksanakan islah antara korban dan atau ahli

waris korban dengan TNI, tapi bukan oleh TNI sebagai lembaga. Yang terjadi

adalah proses islah antara individu pimpinan TNI dengan korban dan atau ahli

waris korban. Disanalah maka persoalan islah tidak pernah tuntas, karena cara yang

ditempuh tidak konseptual untuk bisa permanen. TNI tidak perlu takut dianggap

melanggar HAM, karena pelibatan TNI dalam bentuk pengerahan pasukan dimasa

lalu adalah syah secara hukum. Dalam kaitan ini sepanjang ada keterbukaan dari

TNI dipastikan akan didukung oleh segenap komponen bangsa dan masyarakat

umum, kecuali mereka yang memang ingin persoalan masa lalu terus membelit

165

Page 166: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

bangsa kita, khususnya membelit TNI demi tujuan tertentu. Dengan program-

program aksi yang seperti itu, maka otomatis akan memperlancar program yang

sejenis pada tataran nasional. Bisa saja TNI melempar gagasan agar Presiden diberi

mandat oleh rakyat menyelesaikan tanggung jawab masa lalu. Dalam kaitan

berdemokrasi yang benar, mandat tersebut bisa ditempuh dengan melaksanakan

referendum dengan tanya kepada rakyat secara langsung. Sehingga Pemerintahan

kita kedepan tidak terus diributkan oleh banyak hal peninggalan masa lalu.

Adalah sebuah ke naif an yang luar biasa kalau kita bicara masa depan, tanpa

mau tahu masa lampau kita yang memang penuh cacat, luka dan duka. Kecuali

kita memang secara sadar untuk terus memeliharanya, sekedar demi kepentingan

sesaat.

Dengan cara-cara yang demikian itu maka dukungan sosiologis terhadap

TNI dengan mudah dibangun, karena rakyat meyakini bahwa apa yang dikerjakan

TNI bukan untuk rebutan kekuasaan, tapi semata-mata untuk kepentingan nasib

serta masa depan bangsa dan negara.

Bab Ketujuh

KESIMPULAN

Kalau saja sebagai bangsa mau mengambil hikmah dari perjalanan sejarahnya

selama enam puluh tahun yang terus dirundung malang dengan korban jatuhnya jiwa

dan biaya politik yang tidak kecil, sesungguhnya masalah bangkitnya peradaban

bangsa sekaligus dengan kejayaannya dalam waktu dekat ini bukanlah hal mustahil.

166

Page 167: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Karena penampilan buruk yang ada pada diri bangsa sesungguhnya lebih disebabkan

oleh kinerja sistem kenegaraan itu sendiri. Memang betul ada kerusakan pada

kejiwaan bangsa, namun demikian bukanlah pada mayoritas warga bangsa, melainkan

hanya pada sejumlah kecil dari bagian anak bangsa yang kebetulan menguasai sendi-

sendi kehidupan orang banyak, utumanya yang memegang kekuasaan negara. Belum

disusunnya sistem kenegaraan yang menjamin terwujudnya demokrasi dengan benar,

membuat munculnya peluang yang begitu besar untuk terjadinya pelanggaran HAM

dan penyalah gunaan wewenang/ kekuasaan oleh aparatur negara terlebih masalah

korupsi. Dengan kata lain terjadinya korupsi bukanlah karena semata-mata kerusakan

moral, hilangnya nurani dan persoalan gaji yang kecil belaka, tapi lebih karena sistem

kenegaraanya itu sendiri yang memang korup. Sistem kenegaraan yang demikian itu

juga tidak bisa lepas dari konsep politik yang dikandung oleh UUD 1945 yang

memang rawan untuk terjadinya deviasi dalam penerapannya. Disisi lain juga

disebabkan oleh sikap inkonsistensi dari UUD kita dalam menerapkan kaidah, norma

dan prinsip dasar dari demokrasi yang dicampur adukkan dengan nilai yang berasal

paham otoriter dan juga penggunaan instrumen sistem parlementer kedalam sistem

demokrasi presidensial. Sehingga menjadi wajar kalau penampilan sistem kenegaraan

yang ada belum bisa mewujudkan misi sucinya, termasuk setelah UUD-45

diamandemen.

Sangat disayangkan selama ini bangsa kita belum sampai pada kesadaran

bersama bahwa sistem kenegaraan yang ada belum memenuhi azas obyektifitas,

rasionalitas, validitas dan juga teruji kebenarannya dalam praktek minimal secara

empirik oleh bangsa-bangsa lain. Maka jatuhnya korban diantara anak bangsa akibat

petaka kemanusiaan, hancurnya derajat dan martabat dalam tata pergaulan dunia, dan

terabaikannya nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang terjadi diawal Orde Baru

dan terlebih pada pasca jatuhnya Suharto belum melahirkan justifikasi bahwa sistem

kenegaraan yang ada telah gagal dalam mengemban misi sucinya.

Dihadapkan pada semua persoalan yang ada, maka yang terpenting bagi bangsa

kita saat ini adalah tumbuhnya kesadaran publik yang dimulai dari kaum elitnya

tentang pentingnya perumusan ulang UUD untuk menggantikan UUD yang ada saat

ini. Dengan demikian kedepan UUD kita bebas dari tirani dan menjamin adanya

167

Page 168: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

kesetaraan, serta benar-benar memuat rancang bangun serta mekanisme sistem

kenegaraan yang demokratis. Sudah barang tentu UUD yang demikian juga memuat

kaidah-kaidah demokrasi yang jelas dan tegas termasuk pengaturan hak-hak warga

negara dan kwajiban-kwajiban Negara secara detail. Sehingga ia mampu menjamin

ditegakkannya HAM, tidak terjadinya penyalahgunan kekuasaan dan wewenang

utamanya korupsi oleh aparatur Negara yang manapun. Setidaknya soal korupsi

dijamin dapat dieliminasi secara optimal oleh sistem kenegaraan yang kelak kita

sepakati.

Sejumlah kerawanan utamanya yang bersumber pada budaya bangsa juga

melingkupi kita, namun sisa sisa rasa ikatan (kohesifness) ke Indonesia an masih

cukup kuat untuk kita menata kembali kehidupan dalam kerangka Indonesia yang

satu. Maka yang terpenting bagi bangsa ini adalah bagaimana kedepan bangsa ini

segera menata ulang sistem kenegaraan dengan merumuskan yang baru sekalipun.

Sistem kenegaraan kita haruslah sungguh-sungguh konsisten dan konsekwen

menerapkan nilai-nilai universal yang nyata-nyata terbukti mampu menjamin sebuah

negara akan berhasil menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya, serta

mampu menghadirkan kebanggaan dalam ber Indonesia bagi segenap warga bangsa

tanpa kecuali. Karena kita bersepakat memilih demokrasi, maka kedepan dalam

menusun sistem kenegaraan kita harus secara sadar mengeliminasi nilai-nilai yang

berasal dari luar faham demokrasi dan apalagi yang dampaknya bisa merusak

demokrasi itu sendiri. Kedepan kaidah, norma dan prinsip dasar dari model demokasi

yang dipilihnya yaitu sistem presidensial juga harus dipedomani secara benar dan

kosisten serta konsekwen. Tidaklah benar kalau kita secara sengaja mencampur

adukkan antara instrumen sistem presidensial dengan parlementer apalagi tanpa

memberi back up sistem agar keduanya tidak saling mengancurkan kekuatannya

masing-masing. Untuk itu proses amandemen yang akan datang semestinya dimulai

dari merumuskan kembali soal kejiwaan yang akan digunakan dalam membangun

sistem kenegaraan dan pola dasar (rancang bangun) sistem politik nasional terlebih

dahulu. Konsep sistem kenegaraan tersebut haruslah benar-benar teruji obyekfitas,

rasionalitas dan validitasnya terlebih dahulu, serta pembuktian kebenarannya minimal

secara empirik oleh bangsa-bangsa lain. Sehingga kedepan bangsa yang jumlahnya

lebih dari 200 jutaorang ini tidak lagi dijadikan obyek uji coba dari sebuah hipothesa

168

Page 169: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

dari rumusan sistem kenegaraan yang hanya melandaskan pada aturan "quorum" dan

suara mayoritas semata. Hanya dengan kesadaran tersebutlah, kedepan kita akan

mempunyai sistem kenegaraan yang benar-benar demokratis, karena didalamnya

mengejawantahkan nilai-nilai universal yang dikandung oleh paham demokrasi antara

lain bebas dari tirani, kesetaraan, kedaulatan ditangan rakyat, "chek and balance",

"supremasi sipil", transparansi, jujur dan adil, efisiensi, dan pemisahan secara tegas

antara jabatan politik dengan jabatan karier. Bangunan sistem politik kedepan juga

harus dirancang agar segala perbedaan dan konflik dalam dinamika pengelolaan

Negara diposisikan pada strata operasional yang menjadi wilayah politik

pemerintahan siapapun Presiden terpilihnya dan dari partai yang manapun. Sehingga

“gejolak” yang terjadi dalam tubuh bangsa apapun bentuknya senantiasa akan tetap

dalam wadah yang satu yaitu Republik Indonesia.

Dari sebuah sistem kenegaraan yang nyata-nyata gagal dan telah melahirkan

kondisi keterpurukan yang berlarut, sangatlah mustahil kalau dirinya akan mampu

memperbaiki dirinya. Pengalaman sejumlah negara sahabat yang berhasil keluar dari

krisis nasionalnya dan kemudian membangun peradabannya yang baru juga dimulai

dengan perubahan sistem kenegraannya terlebih dahulu. Namun demikian untuk

mengubah sistem kenegaraan yang ada dibutuhkan kepemimpinan yang kuat yang

bisa menepis kekuatan yang manapun yang akan terus mencoba mempertahan sistem

yang lama. Ia juga pemimpin yang tidak terkungkung oleh madzab berpikir lama, dan

yang pasti bisa memahami akar masalah yang dihadapi bangsanya. Karenya

dipersyaratkan untuk mampu memisahkan tanggung jawab masa lalu dengan

tanggung jawab masa depan, melalui sebuah proses rekonsiliasi nasional. Disamping

itu ia juga dipersyaratkan mempunyai visi kenegaraan baru yang didasarkan pada

nilai-nilai universal dan yang secara common sence bisa dipahami sebagai kebenaran

umum. Pemimpin yang demikian itu, bisa lahir karena keyakinan diri tentang

pentingnya perubahan secara fundamental dari sistem kenegaraan yang ada saat ini,

atau kelak lahir melalui proses panjang karena sebuah keterpaksaan akibat tekanan

keadaan. Oleh karena itu semua pihak yang peduli tehadap kelanjutan eksistensi dan

nasib serta masa depan bangsa dan negara perlu mengembangkan dialog dan

pencerahan publik tentang kebutuhan adanya perubahan sistem kenegaraan. Sehingga

pada saatnya lahir kesadaran publik untuk merumuskan UUD yang baru. Dengan

169

Page 170: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

demikian soal keputusan Negara untuk melaksanakan enginering politik guna

membentuk sebuah Badan Perumus UUD Baru hanyalah persoalan waktu belaka.

Karena proses perubahan itu sendiri dilakukan dengan terukur, maka masa

transisinya pun otomatis akan terkontrol oleh Negara. Kesadaran pentingnya

perumusan UUD Baru diawal sebuah perubahan yang fundamental baik dalam

kategori revolusi ataupun reformasi bukanlah sebuah hiphotesa yang masih

memerlukan pembuktian kebenarannya, tapi afeksi yang nyata-nyata telah

dilaksanakan oleh banyak sekali bangsa dan Negara yang jatuh dalam krisis nasional

kemudian bangkit membangun peradabannya yang baru.

Sejalan dengan penataan demokrasi, maka TNI pun harus ditata ulang sebagai

satu kesatuan tak terpisahkan dari sistem kenegaraan yang berdasarkan paham

demokrasi dengan sistem presidensial. Penataan TNI yang demikian itu sesungguhnya

kebutuhan bangsa, karena TNI sejak kelahirannya memang belum dirancang dalam

sebuah "blue print" sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem kenegaraan secara

keseluruhan. TNI memang bukan bentukan pemerintah, ia tumbuh dan berkembang

lebih dikarenakan tuntutan perjuangan serta dinamika perjalanan bangsanya. Penataan

TNI yang demikian itu haruslah didahului dengan perubahan paradigma, visi dan misi

TNI, sehingga kedepan bangsa ini bisa menumbuh kembangkan "supremasi sipil"

sekaligus mampu membebaskan TNI dari segala persoalan politik praktis. Dengan

tatanan yang menempatkan TNI hanya sebagai alat negara dengan "core bisnis"nya

pada fungsi pertahanan negara, niscaya akan menjamin tidak akan terulang lagi

keterlibatan TNI dalam dinamika politik dengan bentuk apapun. Dengan kedudukan

TNI hanya dibawah Presiden selaku Kepala Negara dan sekaligus sebagai Panglima

Tertinggi TNI serta wewenang komando operasional juga hanya dipegang oleh

Presiden, maka segala kelemahan dan sisi gelap perjalanan sejarah TNI dimasa lalu

tidak akan terulang lagi. Pimpinan TNI dipegang oleh Seorang Kepala Staf Gabungan

yang akan beralih menjadi Panglima TNI manakala keadaan sudah benar-benar

membutuhkannya. Kepala Staf Gabungan membawahi ketiga Kepala Staf Angkatan,

dan Komando-komando Gabungan ditingkat operasional. Dalam pengurusan

anggaran Kepala Staf Gabungan dibawah kordinasi Menhan. Adapun tugas TNI

dimasa damai adalah latihan dan membantu penduduk yang sedang dilanda musibah

kemanusiaan, serta tugas-tugas lain yang tidak mungkin lagi ditangani dengan cara-

170

Page 171: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

cara normal oleh pemerintahan sipil termasuk oleh polisi. Adapun politik TNI

kedepan bukan lagi politik Negara, tapi politik pertahanan Negara. Gelar TNI juga

perlu diatur untuk mendatangkan daya tangkal bagi daerah manapun yang mempunyai

potensi untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia. Dengan pengaturan yang

demikian, kedepan tidak ada lagi kebijakan satuan bawah yang tidak ada kaitannya

dengan tugas pokok TNI yang bisa mengakibatkan jatuhnya korban terlebih bagi anak

bangsa nya sendiri.

Dengan sistem kenegaraan yang baru sebagaimana uraian diatas, Bangsa

Indonesia akan segera tampil tidak hanya sebagai Negara yang demokratis yang kuat

dari semua aspek kehidupan, karena tingkat stabilitas politiknya yang tinggi namun

responsif terhadap perubahan lingkungan strategis yang berkembang. Kedepan kita

juga akan mempunyai TNI yang kuat sehingga diperhitungkan oleh segenap Negara

sahabat. Dan dari sanalah kita akan membangun peradaban yang baru dalam kerangka

Indonesia yang satu untuk selamanya.

Daftar Pustaka

Almond, Gabriel A., A Discripline Divided: School and Sect in Political Science

(sage, 1990)

Anderson, Benedict, Imagined Communities:

Reflections on the Origins and Spread Nationalism (Verso, 1983).

Apter, David E.1977.Introduction to Political

Analysis, terjemahan Setiawan Abadi, cetakan ketiga, Jakarta: LP3ES.1988

Al-Chaidar, et al. Aceh Bersimbah Darah. Jakarta:

171

Page 172: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Al-Kautsar.1998

Azzelini, Dario dan Boris Kanzleiter (Eds.). La Empresa Guerra, Bisnis Perang dan

Kapitalisme Global, terjemahan Indonesia, Yogyakarta: Insist Press, 2005

Ball, Terrence & Richard Dagger. Political Ideologies and the Democratic Ideal. New

York: Harper Collins Publishers.1991

Clapham, C, and Philip G., (eds), The Political Dilemmas of Military Regimes

(Croom Helm, 1985).

Connoly, William J. How Low Can You Go? State Campaign Contribution limits and

The Frist Amandment , Boston University Law Review No 76, tahun 1996

Departemen Dalam Negeri, Panduan Pembangunan Etika Politik, Jakarta: 2004

Easton, David, A System Analysis of Political Life (John Wiley, 1965).

-----------------, "The Political System besieged by the State", Political Theory (9),

August 1981.

Edmons, Martin, Armed Services and Society (Westview, 1984).

Elson, R.E. Suharto, Sebuah Biografi politik, 2001, terjemahan Indonesia, Jakarta:

Minda Utama. 2005

Ebenstein, William. 1985. Today’s Isms, terjemahan Alex Jemadu, Jakarta: Erlangga.

1994 ____________________________________. The Great Political Thinkers, New York, Toronto,

Chicago, San Fransisco: Holt, Rinehart and Winston.1960

Finer, Samuel E., The Man on Horseback: The Role of Military in Politics

(Preager, 1962).

Fic, Victor M. Anathomy of Jakarta Coup: October 1, 1965, Edisi Kedua Diterbitkan

di Indonesia dalam bahasa Inggris. Jakarta: Obor, 2005 Hermant, Daniel,

"Coups de 1'Etat et Coups d'Etat", Etudes Polemologioues (41), 1987.

Fishkin, James S. Tyranny and Legitimacy: A Critique of Political Theories.

Baltimore: John Hopkins University Press, 1979

Gumelar, Agum. Pokok-Pokok Pikiran Visi dan Agenda Reformasi Menuju

Masyarakat Indonesia Baru, dalam St Sularto (editor), Visi Dan Agenda

Reformasi Menuju Masyarakat Indonesia Baru. Yogyakarta: Kanisius. : 1999

Hernandez, Carolina G., "The Dilemmas of the Military in a Period of Democratic

Transition" dalam F. Garcia and E.L. Gutierrez (eds), Back to the Barracks:

172

Page 173: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

The Military in Democratic Transition (NIPS, 1992).

Horowitz, Louis I., "Militarization, Modernization and Mobilization: Third World

Development Patterns Reexamined" dalam K. Fidel (ed)., Millitarism in

Developing Countries (Transaction, 1975)

-----------, Beyond Empire and Revolution: Militarization and Consolidation in

the Third World (Oxford University Press, 1992).

Huntington, Samuel P. The Third Wave of Democratization. New York: 1995

_________. The Soldier and the State. Harvard University Press. 1959.

_________. Political Order in Changing Societies, terjemahan Sahat Simamora dan

Suryatim, Jakarta: Grafindo Persada. 2003

Haynes, Jeff. 1997. Democracy and Civil Society in Third World Politics and New

Political Movement, terjemahan P. Soemitro, Jakarta: Obor.2000

Hargens, Boni. Kebangkrutan Agama dan Politik. Jakarta: Gendhis. 2005

____________. Korporatisme dalam Kasus Koesmayadi. Harian Koran Tempo

tanggal 12 Juli 2006___________________________.Efek Kontraproduktif Reformasi TNI. Harian Seputar Indonesia

tanggal 18 Juli 2006

_________.Hak Pilih TNI dan Masa Depan Demokrasi. Suara Pembaruan 3 Oktober

2006

_________. Genealogi Korupsi di Indonesia. Media Indonesia tanggal 10 Mei 2005

Irsyam, Mahrus. Beberapa Catalan Atas Tinjauan Histpriografis Hubungan Sipil-

Militer : Pola, Arah, Dan Perspektlf, Kumpulan Makalah Seminar Nasional

Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Milter di Indonesia, Jurusan llmu Poiitik

FiSIP Ul. 1999

Janowitz, M., and van Doom, J., (eds). On Military Ideology (Roterdam

University Press, 1971).

----------,"The Future of Military Profession" dalam M.M. Wakin (eds)., War,

Morality and the Military Profession (Westview, 1979).

______. The Military in the Political Development of New Nations. Chicago:

University of Chicago Press.1964

Kukreja, Veena, Civil-Military Relations in South Asia (Sage, 1991).

173

Page 174: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Kadi, Saurip. ABRI di Masa Depan dalam ABRI dan Agenda Perubahan, Bunga

Rampai, Jakarta: PT Aditoya Media.1999

__________.ABRI di Masa Depan dalam ABRI dan Agenda Perubahan, Bunga

Rampai. Jakarta: PT Aditoya Media.1999

___________. Posisi TNI dalam Sistem Politik Indonesia. KOMPAS tanggal 6

Oktober 2006

Kaho, Josef Riwu. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta:

rajawali press, 1991

Kristianto, Antonius Eddy, dkk. Teologi Politik. Jakarta: Bumiksara, 2003

Kumpulan Makalah Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil - Militer

di Indonesia, (Depok : Jurusan llmu Politik FISIP Ul, 1999). Al-Chaidar, et al.

Aceh Bersimbah Darah. Jakarta: Al-Kautsar. 1998

Liddle, William. Revolusi dari Luar. Jakarta: Freedom Institute. 2005

Luttwak, Edward, Le Coup d’Etat: Theorie et Pratique (Laffont, 1969).

Lenin, W.I. Negara dan Revolusi, terjemahan Sulang Sahun, Jakarta: Fuspad. 2000

McKinley, R.C and Cohan, A.S., "A Comparative Analysis of the Political and

Ekonomic Performance of Military and Civil Regimes: A Cross-National

Aggregate study", Comparative Politics (1) Oktober 1975.

Merkel, Wolfgang.2003.Democratie in Asien: Ein Kontinent zwischen Diktatur und

Democratie, terjemahan Indarwati Pareira, Jakarta: Friederich-Ebert-Stiftung.

2005Nordlinger, Eric A., "Soldier in Mufti: The impact of Military Rule upon

Economic and Social Change in the Non-Western States", APSR, 1970.

Novack, Goerge, Democracy and Revolution (Pathfinder, 1971).

Nugroho Notosusanto, Pejuang dan Prajurit, edisi ketiga, Jakarta: Sinar

Harapan.1991

Perlmutter, Amos, "The Comparative Analysis of Military Regimes: Formations,

Aspirations, and Achievements", World Politics (3), Oktober 1980.

______. Military and Politics and Modern Times.1977. terjemahan Sahat Simamora,

Jakarta: Grafindo Persada. 2000

Pye, Lucian W., "Armies in the Process of Political Modernization" dalam J L.

Finkel and R.W. Gable (eds), Political Development and Social Change

(Wiley, 1966).

174

Page 175: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Peters, Guy, The Politic Of Bureaucracy : A Comparative. (New York : Longman

Ini 1978).

Rawls, John. Political Liberalism. New York: Columbia University Press.1993

Rose-Ackerman,Susan. Corruption and Government: Causes, Consequences, and

Reform, terjemahan Toenggoel P Siagian, Jakarta: Sinar Harapan. 2006

Skjelbaek, kjell, "Militarism, its Dimensions and Corollaries: An Attempt at

Conceptual Clarification", JPR (3), 1979.

Sundhaussen, Ulf, "The Military: A Threat To Democracy”, A]PH (3), 1998.

Sanit, Arbi. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: CV.Rajawali.1985

Saragih, Bintan R. Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia. Jakarta:

Gaya Media Pratama.1988

Sularto, St; Visi Dan Agenda Reformasi : Menuju Masyarakat Indonesia Baru,

(Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1999).

Sucipto, Bambang. Prospek dan Tantangan Partai Politik. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1996

Sharansky, Natan.The Case for Democracy. New York: Public Affairs.2004

Suseno, Frans Magnis. Dalam Bayangan Lenin, Enam Pemikir Marxisme dari Lenin

sampai Tan Malaka. Jakarta: Gramedia.2003 Ward, Colin, Anarchy in action

(allen and Unwin, 1973).

__________________. Filsafat Kebudayaan Politik. Jakarta: Gramedia, 1992

__________________. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia, 2000

Schumpeter, Joseph. Socialism, Capitalism and Democracy. New York: Harper, 1947

Sjahrir, Sutan. Pikiran dan Perjuangan. Yogyakarta: Jendela, 2000

Thompson, Dennis F. Etika Politik Pejabat Negara, terjemahan Benyamin Molan,

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.1999

Jacob, T. Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis. Jakarta: Obor, 2004

Wolpin, Miles D. “Sociopolitical Radicalism and Military Professionalism in the

Third World", Comparative Politics (2), Januari 1983.

Wijayanto, Andi. Transformasi Postur Pertahanan Indonesia, dalam Beni Sukadis, et

al. Menuju TNI yang Profesional: Restrukturisasi Bisnis TNI. Jakarta: Friederich-

Ebert Stiftung. 2005

Zen, Amartya. Development as Freedom. New York: Alfred A Kopf, 1999

175

Page 176: Tata Ulang Demokrasi dan TNI

Zen, Kivlan. Konflik dan Integrasi TNI-AD. Jakarta: Institute for Policy Studies. 2004

Zakiyah, Wasingatu et al. Menyingkap Tabir Mafia Peradilan. Jakarta: ICW. 2002

176