Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah)...

20
223 Bab Tujuh Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati Keadaan Awal Pulau Seram Struktur tata kelola pemerintahan di Tana (Tanah) Bati, masih kuat dipengaruhi oleh adat. Walaupun Negara Republik Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengelolaan Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati sampai saat ini masih mengikuti Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Sistem Pemerintahan Desa. Pada unsur terendah dalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat dusun atau kampung (wanuya) masih mengikuti adat-istiadat. Orang Bati percaya bahwa leluhur (Tata Nusu Si) adalah Manusia Bati yang lahir dengan evolusi daratan Seram. Sejarah lisan (oral story) yang dikemukakan Orang Bati bahwa leluhur mereka bernama Ken Min Len yaitu menempati Samos yang terdapat di sekitar Gunung Bati. Penuturan Orang Bati tentang leluhur mereka yaitu: Bomai fabom oi tana eya boit dadi ala tua kaya tama sampai naiye kapal Cina baru tana tua ukar diwar (Pada awalnya wilayah ini masih menjadi lautan karena terjadi bencana alam yang maha dahsyat). Peristiwa alam yang melanda Nusa Ina (Pulau Ibu) saat ini dapat dikategorikan identik dengan istilah Tsunami saat ini. Persitiwa alam yang maha dahsyat ini menyebabkan sebagian besar wilayah Nusa Ina (Pulau Ibu) menjadi tenggelam, dan air laut yang tergenang menutupi ber- bagai kawasan. Ada beberapa tempat tertentu saja di Nusa Ina (Pulau Ibu) yang tidak tergenang oleh air laut. Tempat-tempat tersebut berdasarkan penuturan leluhur Orang Bati seperti wilayah sekitar Gunung Murkele, Gunung Bati antara lain Samos, dan Soabareta. Secara perlahan-lahan terjadi evolusi

Transcript of Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah)...

Page 1: Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Batirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/8/D_902008103_BAB VII.pdf · Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati 227 menjadi sumber

223

Bab Tujuh

Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati Keadaan Awal Pulau Seram

Struktur tata kelola pemerintahan di Tana (Tanah) Bati, masih kuat dipengaruhi oleh adat. Walaupun Negara Republik Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengelolaan Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati sampai saat ini masih mengikuti Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Sistem Pemerintahan Desa.

Pada unsur terendah dalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat dusun atau kampung (wanuya) masih mengikuti adat-istiadat. Orang Bati percaya bahwa leluhur (Tata Nusu Si) adalah Manusia Bati yang lahir dengan evolusi daratan Seram. Sejarah lisan (oral story) yang dikemukakan Orang Bati bahwa leluhur mereka bernama Ken Min Len yaitu menempati Samos yang terdapat di sekitar Gunung Bati. Penuturan Orang Bati tentang leluhur mereka yaitu:

Bomai fabom oi tana eya boit dadi ala tua kaya tama sampai naiye kapal Cina baru tana tua ukar diwar (Pada awalnya wilayah ini masih menjadi lautan karena terjadi bencana alam yang maha dahsyat). Peristiwa alam yang melanda Nusa Ina (Pulau Ibu) saat ini dapat dikategorikan identik dengan istilah Tsunami saat ini. Persitiwa alam yang maha dahsyat ini menyebabkan sebagian besar wilayah Nusa Ina (Pulau Ibu) menjadi tenggelam, dan air laut yang tergenang menutupi ber-bagai kawasan. Ada beberapa tempat tertentu saja di Nusa Ina (Pulau Ibu) yang tidak tergenang oleh air laut. Tempat-tempat tersebut berdasarkan penuturan leluhur Orang Bati seperti wilayah sekitar Gunung Murkele, Gunung Bati antara lain Samos, dan Soabareta. Secara perlahan-lahan terjadi evolusi

Page 2: Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Batirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/8/D_902008103_BAB VII.pdf · Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati 227 menjadi sumber

Esuriun Orang Bati

224

daratan Seram. Wilayah yang tergenang oleh air laut tersebut mulai surut secara perlahan-lahan1

Kehidupan dari keturunan Alifuru Ina yang menyebut diri sebagai Alifuru Bati ini makin hari makin bertambah banyak sehingga jumlah mereka menjadi ribuan orang. Perkembangan berikutnya yaitu mereka melakukan perundingan (mabuk). Hasil kesepakatan yang di-capai yaitu keturunan Alifuru Bati ini harus disebarkan untuk men-duduki seluruh wilayah kekuasaan guna menjaga dan melindungi seluruh hak milik yang berharga antara lain manusia, tanah, dan

).

Ketika bencana alam yang maha dahsyat tersebut menimpa Nusa Ina (Pulau Ibu) terjadi kerusakan di mana-mana. Keturunan Alifuru atau Alifuru Ina yang mendiami Nusa Ina (Pulau Ibu) berusaha untuk bertahan hidup dengan keadaan seadanya. Bagi keturunan Alifuru yang berhasil menyelamatkan diri dari bencana alam, kemudian mereka berusaha membangun kehidupan yang baru setelah muncul daratan Seram. Leluhur Orang Bati yang mampu bertahan hidup ke-mudian berusaha membangun kehidupan pada lokasi kediaman awal di Samos (tanah kering pertama) yang dijumpai sekitar Gunung Bati.

Kehidupan dari keturunan Orang Bati di Samos terus berlang-sung sampai kedatangan (proses migrasi) yang dilakukan oleh leluhur Orang Bati yang berasal dari Tanjung Sial di Seram Barat. Mereka yang datang dari Tanjung Sial di Seram Barat kemudian menempati lokasi kediaman bernama Soabareta (tanjung kering pertama yang dijumpai). Ketika keturunan Alifuru Ina dari Tanjung Sial ini tiba di Soabareta, ternyata pada lokasi di Samos (tanah kering pertama yang dijumpai). Kelompok yang berbeda ini kemudian menjalin hubungan sosial dan berusaha membangun kehidupan baru dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari mata rumah.

1) Wawancara dengan bapak AWe (56 Tahun), Raja (Mata Lean) atau Jou Negeri Kian Darat, di Geser, pada tanggal 5 November 2010. Melalui ceritera lisan (oral story) yang disampaikan Orang Bati bahwa peristiwa ini memiliki kaitan dengan karamnya Kapal Cina Namba pada masa lampau di sekitar Samos. Orang-orang dalam Kapal Cina Namba yang berhasil diselamatkan oleh Orang Bati, kemudian mendiami lokasi ter-sebut sampai saat ini, dan keturunannya ada di Dusun (Wanuya) Sayei, Tokonakat, Aerweul, dan Sesar Darat.

Page 3: Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Batirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/8/D_902008103_BAB VII.pdf · Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati 227 menjadi sumber

Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati

225

sebagainya. Kesepakatan melalui adat Esuriun Orang Bati kemudian ribuan Alifuru yang mendiami Samos di sekitar Gunung Bati tersebut melalui Esuriun Orang Bati yang dilakukan melalui peristiwa adat, ke-mudian diwujudkan melalui aksi bersama dalam suatu gerakan Alifuru Bati turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) dikemukakan Orang Bati bahwa:

Bomai siyoi le dewei hidupa tua di roina kakal bomai si Siwa tua si Lim dadi so baru datur di bias (Mereka telah berusaha membangun kehidupan bersama sebagai orang basudara atau roina kakal yang terdiri dari kelompok Siwa-Lima menyatu sebagai satu kekuatan). Esuriun adalah strategi menguasai ruang hidup yang telah dilakukan oleh keturunan anak cucu Alifuru Ina atau Alifuru Seram. Untuk Alifuru yang mendiami Samos di Gunung Bati yang jumlahnya ribuan orang tersebut turun dari hutan dan gunung secara bersama-sama untuk menguasai wilayah kekuasaan (watas nakuasa) atau ruang hidup di bawah pimpinan Kapitan Esuriun Orang Bati yaitu “Kilusi”. Ruang hidup yang menjadi tanggung jawab bersama untuk setiap anak cucu keturunan Alifuru Bati wajib menjaga, melindunginya secara baik karena hal itu merupakan hak miliki yang di dalamnya terdapat manusia, tanah, hutan, dan sebagainya. Ruang hidup atau wilayah kekuasaan (watas nakuasa) adalah teritorial genelogis atau yang akrab disebut teritorial orang basudara di mana keturunan anak cucu Siwa-Lima yang me-nempati wilayah adat ini harus dapat memanfaatkan serta mengelola dan memeliharanya secara baik untuk kelangsungan hidup anak cucu. Tanah (Tana), hutan (esu), gunung (ukar), dan segala isi yang berada di dalamnya adalah jiwa kami Orang Bati. Untuk itu sampai saat ini Orang Bati percaya bahwa Kilusi (Garuda) sebagai Kapitan Esuriun Orang Bati tidak pernah me-ninggal dunia, dan ia selalu berada dengan mereka semua anak cucu sampai sekarang. Sosok Oyang Kilusi tidak kelihatan”2

Sampai saat ini Orang Bati sangat kuat memegang falsafah Orang Basudara (Roina Kakal) karena mereka sangat menyadari dan mema-hami keberadaannya sebagai anak cucu keturunan Alifuru. Sebab Alifuru tidak terdapat di mana-mana, hanya ada di Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram, dan anak cucunya sudah menyebar ke seluruh

), tetapi ia ada di mana-mana dalam wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati.

2)Wawancara dengan bapak SeSia (73 Tahun) Tokoh Adat Dusun Rumbou (Bati Tengah), Negeri Kian Darat, pada tanggal 11 September 2010.

Page 4: Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Batirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/8/D_902008103_BAB VII.pdf · Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati 227 menjadi sumber

Esuriun Orang Bati

226

wilayah Kepulauan Maluku dengan pembagian masing-masing, serta kewajiban untuk menjaga, melindungi tanah, manusia, dan induk dari Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram.

Ratusan tahun lamanya para kapitan dari Pulau Seram telah ke luar dengan parang (peda) dan salawaku (perisai), kemudian mereka menduduki tempat strategis dalam kawasan Maluku untuk menjaga dan melindungi (protection) untuk melindungi seluruh hak milik. Hal ini berarti simbol Siwa-Lima sebagai pemersatu yang masih terus ber-tahan sebagai falsafah hidup Orang Bati sebenarnya merupakan waris-an nilai dari Alifuru Seram yang arif, serta memiliki hakikat nilai yang sangat mendasar (intrinsik) untuk menyelenggarakan kehidupan politik, sosial, budaya, ekonomi, keamanan wilayah, dan sebagainya pada lingkungan lokal.

Untuk itu tanah (tana) dan hutan (esu) yang dipahami Orang Bati sebagai aset yang harus dijaga dan dilindungi oleh semua anak cucu keturunan Alifuru Ina jangan sampai disalahgunakan untuk ke-pentingan pembangunan yang merusak tatanan lokal yang telah ter-bentuk secara adat. Persoalan ini akan menjadi krusial dan sangat sulit diatasi pada masa depan apabila antara masyarakat pemilik hak atas tanah dengan pemerintah dan sebagainya sebagai pihak yang berperan sebagai penguasa melakukan monoploi. Dalam perspektif ini yang penting di-ingatkan oleh peneliti yaitu pemahaman Orang Bati ter-hadap “Tana atau Tanah” sebagai wilayah mereka yang dinamakan “Tana (Tanah) Bati atau Atamae Batu adalah bumi manusia yang setiap saat harus di-selamatkan oleh penghuninya.

Pemerintahan Adat di Tana (Tanah) Bati senantiasa berusaha menyelamatkan aset tersebut dari serbuan orang luar. Tana (Tanah) Bati atau Atamae Batu dianggap sebagai wilayah bernyawa karena ia hidup setiap saat dengan mereka sebagai Orang Bati. Hubungan sosial berdasarkan roina kakal dalam konteks Orang Bati adalah perspektif kehidupan yang final karena hal ini telah dilakukan secara adat. Untuk itu “Bati” yang dipahami sebagai manusia berhati bersih, suci, mulia, dan ia tidak pernah mati (meninggal) dunia, dan senantiasa menyertai Orang Bati sebagai keturunannya. Pemahaman terhadap makna Bati

Page 5: Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Batirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/8/D_902008103_BAB VII.pdf · Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati 227 menjadi sumber

Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati

227

menjadi sumber kekuatan untuk bertahan hidup (survival strategy), dan dimaknai oleh peneliti sebagai kelangsungan hidup masa lampau menjadi penuntun bagi kelangsungan hidup masa depan yang lebih baik, adalah kelangsungan hidup yang cakap. Sebab Esuriun Orang Bati dilakukan secara dama dan tidak menimbulkan pertentangan (konflik) dengan orang lain. Bahkan cara Esuriun Orang Bati dilakukan melalui cara damai untuk menguasai ruang hidup karena dipahami oleh Orang Bati sebagai hak milik mereka yang harus dijaga, dilindungi. Orang Bati menerapkan hal ini dalam kehidupan nyata karena mereka sangat takut melakukan kesalahan pada orang lain. Sebab setiap langkah hidup mereka sebagai manusia senantiasa diketahui oleh leluhur yaitu Manusia Batti (Tata Nusu Si). Mengenai kepercayaan Orang Bati pada leluhur mereka yang dinamakan Manusia Bati diungkapkan bahwa:

Mancia Batti oi datiwar tua tana watu kai (Manusia Batti tercipta dengan evolusi daratan Seram, adalah penghuni abadi dari Gunung Bati sampai saat ini). Manusia Batti tidak pernah mati (meninggal dunia), dan sampai saat ini ia senantiasa berada dengan mereka sebagai anak cucu Orang Bati”3

Nama Batti atau Manusia Bati tidak ada yang memberikan. Ketika leluhur Orang Bati datang ke wilayah Seram Timur dan mendiami Samos, kemudian menggunakan nama Bati untuk keturunan Alifuru Ina yang sudah ada di tempat tersebut. Kawasan di mana Orang Bati ini berada masuk dalam wilayah adat Weurartefela di Negeri Kian Darat. Sejak dahulu sampai sekarang Raja (Mata Lean) atau Jou di Negeri Kian Darat beserta warga senantiasa dilindungi oleh leluhur Orang Bati. Jadi dalam keadaan yang genting Raja (Mata Lean) atau Jou Kian Darat

).

Untuk itu bagi Orang Bati, nama Bati itu sendiri adalah sakral. Mereka tidak boleh menyebut nama Bati ini secara sembarangan kare-na takut dimarahi, dibuat susah, dan sebagainya oleh leluhur mereka. Nama Bati boleh disebut apabila mereka membutuhkan suatu per-tolongan dari leluhur. memiliki peristiwa tersendiri yang dipercaya oleh Orang Bati sampai sekarang bahwa Manusia Bati (manusia berhati bersih atau berhati suci). Dikemukakan bahwa:

3)Wawancara dengan bapak AWe (56 Tahun) Raja (Mata Lean) atau Jou di Negeri Kian Darat, di Geser, tanggal 5 November 2009.

Page 6: Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Batirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/8/D_902008103_BAB VII.pdf · Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati 227 menjadi sumber

Esuriun Orang Bati

228

serta warganya itu bisa hilang atau menghilang, jika ada orang yang berusaha menyusahkan mereka. Tapi kami bukan orang ilang-ilang (hilang-hilang) seperti anggapan orang luar selama ini pada kami. Sebab terkait dengan kepercayaan mereka bahwa, Manusia Batti yang menjaga dan melindungi Orang Bati dan Tana (Tanah) Bati tidak pernah mati. Anggapan orang luar yang keliru selama ini terus berkembang dalam kehidupan masyarakat sehingga Orang Bati itu dinamakan sebagai orang ilang-ilang (hilang-hilang). Pada hal kami itu ada, dan bukan orang ilang-ilang (hilang-hilang) sebagaimana anggapan orang luar selama ini4

Strategi Orang Bati untuk menguasai ruang hidup di Pulau Seram yang dikonsepkan oleh peneliti sebagai kelangsungan hidup yang cakap (survival strategy) karena cara yang dilakukan Orang Bati berlangsung secara damai dan tidak menimbulkan konflik dengan orang lain. Strategi Esuriun Orang Bati dilakukan dengan pertimbang-an kebutuhan jangka panjang untuk menjaga, melindungi hak milik mereka yang berharga seperti manusia, tanah, dan sebagainya. Strategi ini dilakukan oleh Orang Bati ketika jumlah keturunan Alifuru Ina yang mendiami Gunung Bati ini makin hari makin bertambah banyak karena proses kelahiran. Kekuatan mereka yang mendiami wilayah hutan (esu) di Samos di sekitar Gunung Bati makin hari makin ber-tambah banyak sehingga jumlah Alifuru Bati atau Orang Bati makin

).

Hubungan dengan nama ”Bati” yang selama ini terpelihara dalam lingkungan mata rumah Raja (Mata Lean) atau Jou Negeri Kian Darat yaitu mereka senantiasa dilindungi. Dalam keadaan yang mendesak atau dalam keadaan genting Raja (Mata Lean) atau Jou Negeri Kian Darat bisa menghilang. Peristiwa ini yang awalnya berkembang dalam masyarakat, sehingga muncul persepsi dari kalangan masyarakat luar bahwa Orang Bati itu adalah orang ilang-ilang (hilang-hilang).

Esuriun Orang Bati: Strategi Mengatur Pemerintahan untuk Bertahan Hidup (Survive)

4)Wawancara dengan bapak AWe (56 Tahun), Raja (Mata Lean) atau Jou di Negeri Kian Darat, di Geser, tanggal 5 November 2009.

Page 7: Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Batirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/8/D_902008103_BAB VII.pdf · Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati 227 menjadi sumber

Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati

229

besar (riun = ribuan orang). Dinamika yang berlangsung kemudian yaitu mereka semua sepakat (mafakat sinabu) agar seluruh keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati yang mendiami Samos turun dari hutan dan gunung untuk menempati wilayah kekuasaan (ruang hidup) masing-masing sesuai dengan pembagian (tabagu) yang telah dilakukan saat itu oleh leluhur mereka.

Ruang hidup yang dipahami sebagai wilayah kekuasaan milik marga (etar), terdapat dalam wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati. Kisah Esuriun Orang Bati adalah strategi turun dari hutan dan gunung untuk menjaga, melindungi seluruh hak milik yang berharga seperti manusia, tanah, dan lainnya yang berada di gunung sampai dengan pesisir pantai. Namun sebelum dilakukan Esuriun Orang Bati pertama Alifuru Bati ini berusaha menyatukan (mengintegrasikan) kekuatan mereka dengan sebutan Anak Esuriun atau Orang Esuriun. Ketika keturunan Alifuru Bati masih berada di Samos sekitar Gunung Bati telah dilakukan adat Esuriun Orang Bati. Pelaksanaan adat Esuriun dengan berbagai upacara adat khas Orang Bati seperti tarian Lidi, Bungkure, dan lainnya merupakan awal kesuksesan dari kelompok Patasiwa (Sembilan Bagian) dan Kelompok Patalima (Lima Bagian) menjadi Siwa-Lima.

Usaha nyata Orang Bati untuk menyatukan kekuatan mereka sebagai anak cucu keturunan Alifuru atau Alifuru Bati dengan sebutan Orang Gunung Bati (Mancia Atayesu), dan kemudian menamakan diri sebagai Orang Bati adalah identitas yang senantiasa dipertaruhkan ketika berhadapan dengan orang lain. Peristiwa yang berlangsung pe-nyatuan kekuatan dari anak cucu keturunan Alifuru atau Alifuru Bati atau Orang Gunung Bati melalui Esuriun Orang Bati adalah khas dalam tradisi Alifuru Seram yang saat ini sudah terlupakan pada suku-suku lainnya di Pulau Seram maupun Maluku. Adat Esuriun Orang Bati masih terpelihara secara baik, dan memiliki kekhasan5

5)Dikatakan khas karena pada suku-suku lainnya di Maluku, kelompok Pata Siwa (Sembilan Bagian) dan Kelompok Pata Lima (Lima Bagian) hidup dengan tradisi, adat-istiadat, bahasa, dan teritorial sendiri. Di Tana (Tanah) Bati, kelompok Pata Siwa (Sembilan Bagian) dan kelompok Pata Lima (Lima Bagian) hidup dengan tradisi, adat-istiadat, bahasa minakesi, dan menempati teritorial yang sama. Uraian lebih rinci dapat

). Adat-istiadat

Page 8: Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Batirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/8/D_902008103_BAB VII.pdf · Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati 227 menjadi sumber

Esuriun Orang Bati

230

yang tidak dijumpai dalam kehidupan kelompok Patasiwa (Sembilan Bagian) dan kelompok Patalima (Lima Bagian) pada lingkungan kehidupan suku-suku lainnya di Pulau Seram maupun Kepulauan Maluku adalah identitas, maupun dunia Orang Bati yang se-sungguhnya.

Strategi menempati dan menguasai seluruh wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati melalui Esuriun Orang Bati adalah integrasi yang final karena dilakukan secara adat. Penghuni hutan di pegunung-an ini melakukan upacara adat Esuriun Orang Bati, kemudian mereka menyebar turun secara bersama-sama untuk menempati wilayah ke-kuasaan yang terdapat di pantai maupun lereng-lereng bukit. Tetapi ada di antara mereka yang tetap mendiami wilayah pegunungan, dan keturunan mereka ada sampai saat ini. Realitas yang dialami oleh masyarakat Bati dapat dikatakan bahwa mereka termasuk kategori masyarakat heterogen karena berasal dari subsuku bangsa yang ber-beda-beda, tetapi mereka senantiasa menyadari ada kaitan langsung dengan keturunan suku Alifuru Ina di Pulau Seram. Realitas ini me-nunjukkan bahwa, keturunan dari Alifuru di Pulau Seram adalah satu saja, tetapi peristiwa evolusi yang ber-langsung dalam wilayah ini membuat mereka terbentuk dalam ke-lompok subsuku bangsa yang sangat banyak, dan masing-masing subsuku bangsa hidup dengan bahasa, tradisi dan adat istiadat yang dianut, serta teritorial sendiri-sendiri.

Sejarah Singkat Kedatangan Leluhur Orang Bati dari Tanjung Sial ke Soabareta

Berdasarkan sejarah singkat tentang kehidupan awal dari ke-turunan Alifuru Ina di Samos sekitar Gunung Bati, perlu dikemukakan juga bahwa ada leluhur Orang Bati yang bermigrasi dari Tanjung Sial di Seram Barat ke Seram Timur, kemudian menurunkan mata rumah Raja (Mata Lean) atau Jou di wilayah adat Kian Darat sebagai berikut:

dilihat pada bab VII tentang Sistem Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati, halaman 191-228.

Page 9: Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Batirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/8/D_902008103_BAB VII.pdf · Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati 227 menjadi sumber

Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati

231

Asal-Usul Mata Rumah Raja (Mata Lean)

Asal-usul mata rumah Raja (Mata Lean) atau Jou di Tana (Tanah) Bati merupakan bagian dari dinamika kehidupan Orang Bati yang di-mulai dari pemahaman terhadap proses kedatangan leluhur Orang bati dari tempat bernama Tanjung Sial yang terdapat di Seram Barat. Ke-datang leluhur mereka ke wilayah Seram Timur dijelaskan sebagai be-rikut:

Perjalanan dari anak cucu keuturunan Alifuru Ina menuju Seram Timur dipimpin oleh Ratu (Latu) Wawina (Raja Perem-puan) dengan suaminya Kapitan Pattinama. Mereka datang membawa rombongan Alifuru yang berhasil mereka kumpulkan sepanjang perjalanan menuju Seram Timur. Rombongan ini tiba pada tempat yang dinamakan Soabareta (tanjung kering perta-ma) yang dijumpai, atau wilayah di mana merupakan batas ombak pukul-pukul. Ketika rombongan Alifuru ini tiba, ternya-ta di sekitar Samos yang berada sekitar Gunung Bati, sudah ada Alifuru yang mendiami lokasi tersebut. Rombongan ini men-jalin hubungan kerjasama dengan kelompok yang berada di Samos, kemudian mereka memilih pemimpin (Latu atau Raja). Kelompok Soabareta kemudian dipercaya untuk menjadi pim-pinan atau Raja (Latu). Pemerintahan Latu atau Ratu Wawina (Raja Perempuan) merupakan awal muncul pemerintahan tradisional di Tana (Tanah) Bati, kemudian menjadi mata rumah yang menurunkan Raja-Raja di Negeri Kian Darat6

Ketika rombongan ini tiba di soabareta, di sekitar Gunung Bati yaitu pada tempat bernama Samos sudah ada Alifuru yang hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka terdiri dari dua kelompok besar ya-itu Alifuru dari kelompok Patasiwa

).

7

6)Wawancara dengan bapak AWe (58 Tahun), Mata Lean (Raja) atau Jou Negeri Kian Darat, pada tanggal 13 Maret 2010.

) (Sembilan Bagian) dan Patalima

7)Pata Siwa (Sembilan Bagian) dan Pata Lima (Lima Bagian) yang terdapat dalam kehidupan berbagai sukubangsa maupun sub sukubangsa di Pulau Seram adalah sistem pengelompokan sosial khas Alifuru Seram atau berasal dari Pulau Seram yang sudah dijumpai sejak masa lampau. Kelompok Pata Siwa (Sembilan Bagian) dan Pata Lima (Lima Bagian) terdapat pada lingkungan suku-suku besar seperti Suku Alune maupun Suku Wemale. Kelompok Pata Siwa (Sembilan Bagian) terdiri dari Pata Siwa Mete (Pata Siwa Hitam) yang dijumpai pada suku-suku yang mendiami wilayah Seram Barat. Kelompok ini pada masa lampau sangat kuat mempertahan Kakehan (Organisasi Rahasia Seram). Dewasa ini Kakehan sebagai institusi, kepercayaan, telah hilang karena pengaruh misi agama (Kristen maupun Islam) di wilayah Seram Barat ketika masuknya bangsa-bangsa asing (Belanda) sebagai kolonial, dan misi penyebaran agama. Para

Page 10: Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Batirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/8/D_902008103_BAB VII.pdf · Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati 227 menjadi sumber

Esuriun Orang Bati

232

(Lima Bagian). Pada awalnya leluhur Orang Bati mendiami wilayah sendiri-sendiri. Saat itu belum terlaksana pemerintahan secara teratur. Kelompok Orang Bati yang mendiami lokasi kediaman awal di Samos sekitar Gunung Bati yang terdiri dari suku-suku kecil dipimpin oleh orang tertua yang bergelar Kapitan sebagai pemimpin pada marga atau klen yang luas. Hubungan sosial sebagai roina kakal mulai dibina secara bersama antara anak cucu keturunan Alifuru Ina di Pulau Seram Bagian Timur. Kebersamaan hidup yang dijalani Orang Bati pada saat itu kemudian mereka berhasil memilih pemimpin atau Latu atau Raja (Mata Lean) atau Jou yang pertama untuk me-mimpin mereka semua yang berada dalam kawasan hutan. Setelah itu mereka mulai me-lakukan perundingan (mabuluk) secara bersama sebagai roina kakal untuk memilih pemimpin yang bisa memimpin mereka semua. Kerja sama untuk menjaga, melindungi seluruh hak milik terutama manusia dan tanah dan kesepakatan mata rumah Weurartafela8

Kekuasaan Raja (Mata Lean) atau Jou di gunung setelah Esuriun Orang Bati berkedudukan di Watu Raita (Batu Raja) yang berada se-kitar kawasan Dusun Bati Kilusi (Bati Awal). Raja (Mata Lean) atau Jou yang berkuasa di gunung kemudian diserahkan untuk memerintah dari pantai sampai dengan gunung yang berkedudukan di Negeri Kian Darat. Raja (Mata Lean) atau Jou di pantai kemudian menempati wi-layah adat di kampung (wanuya) Kian Darat yang kemudian berubah

) dipercaya untuk memimpin mereka semua.

Kekuasaan Raja (Mata Lean)

Ulama dan Mubalik yang berasal dari Arab serta tempat-tempat lain di Nusantara untuk menyebarluaskan Agama Islam, terutama wilayah Pulau Seram yang dikuasai oleh Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore, maupun bagian wilayah yang mudah dijangkau oleh Mubalik dari Hitu, Banda, dan lainnya. Kelompok Kakehan pada Orang Pata Siwa Hitam memiliki tanda atau ciri khusus yang dikenal melalui berbagai jenis tatto (tatowe) pada bagian badan atau wajah tertentu dari orang laki-laki maupun perempuan yang memiliki hubungan dengan Organisasi Kakehan, dan masing-masing simbol tatto memiliki makna khusus. Selain itu juga ada kelompok Pata Siwa Putih yang terdapat pada suku-suku di wilayah Pulau Seram Tengah bagian Selatan yang tidak memiliki organisasi Rahasia Seram (seperti Kakehan). Orang Bati merupakan kelompok Pata Siwa Putih, karena selama studi di wilayah Orang Bati, peneliti tidak menjumpai tanda-tanda atau ciri Kakehan pada lingkungan mereka. 8)Weurartafela terdiri dari dua kata yaitu Weur = Air Ke luar, dan Artafela = Tempat yang ada sumber air.

Page 11: Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Batirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/8/D_902008103_BAB VII.pdf · Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati 227 menjadi sumber

Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati

233

nama menjadi Negeri Kian Darat. Jadi secara adat, Mata Lean (Raja) yang berkuasa dalam wilayah Orang Bati harus memperoleh pe-ngukuhan dari Orang Adat di Tana (Tanah) Bati yang mendiami wi-layah pegunungan yang berada di kampung atau dusun (wanuya) yaitu Dusun Rumbou (Bati Tengah).

Strategi Menguasai Wilayah Kekuasaan (Watas Nakuasa) untuk Memerintah

Esuriun Orang Bati dapat dikatakan merupakan cikal bakal penyelenggaraan pemerintahan di mana Raja (Mata Lean) atau Jou berusaha melindungi ruang hidup atau wilayah kekuasaan (watas nakuasa) yang dianggap sebagai hak milik yang berharga. Mengapa cara seperti ini dilakukan Orang Bati? Sebaba dahulu oyang-oyang (moyang-moyang) atau leluhur tidak meletakan batas wilayah itu de-ngan batu, sungai, papan, kayu, tembok, kawat duri, dan sebagainya tetapi batas wilayah kekuasaan (watas nakuasa) ditentukan oleh batas manusia. Hal ini lebih lanjut dikemukakan Orang Bati bahwa:

Mancia Batu damian nai tana eya bukan tua watu, fafan, kay, tapi watas nakuasa tua ni mancia (Orang Bati tidak menempat-kan batas wilayah dengan batu, papan, pohon, dan sebagainya, tetapi batas wilayah ditempatkan orang atau manusia). Artinya, di mana ada orang atau manusia yang berbicara dengan bahasa yang sama pada tempat ke-diamannya, maka di situ merupakan batas wilayah. Hal itu berlaku untuk Orang Bati yang berada dalam wilayah adat Weurartafela di Negeri Kian Darat. Sebab Orang Bati tidak pernah berpindah-pindah tempat. Mereka adalah penghuni menetap sejak dilakukan Esuriun Orang Bati pada masa lampau. Untuk itu sekali Orang Bati mendiami lokasi kediaman, sampai sekarang tetap mereka ada di situ saja. Itu adalah cara dari leluhur kami menempatkan batas wilayah ke-kuasaan atau watas nakuasa sejak masa lampau, dan hal ini se-cara adat diakui dan selalui ditaati, dan dijunjung tinggi oleh kami sebagai generasi penerus tradisi Bati sampai sekarang9

9)Wawancara dengan bapak AWe (56 Tahun) Raja (Mata Lean) atau Jou Negeri Kian Darat, di Geser, pada tanggal 27 Mei 2010.

)”.

Page 12: Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Batirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/8/D_902008103_BAB VII.pdf · Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati 227 menjadi sumber

Esuriun Orang Bati

234

Wilayah Pemerintahan Adat di Pulau Seram Bagian Timur

Dalam wilayah Seram Timur di Pulau Seram Bagian Timur ter-dapat tiga wilayah adat yang besar yaitu wilayah adat Weurartafela di Negeri Kian Darat, Kelbarin di Negeri Waru, dan Kwairumaratu di Negeri Kelimuri. Wilayah adat ini memiliki batas-batas wilayah peme-rintahan yang terkait langsung dengan teritorial adat sebagai berikut: 1) Wilayah adat Kelbarin memiliki batas wilayah adat dari Sungai Matakabu (Alsul Matakabu) sampai dengan Sungai Masiwang (Alsul Masiwang); 2) Wilayah adat Weurartafela memiliki batas wilayah adat dari Sungai Masiwang (Alsul Masiwang) sampai dengan Mising; 3) Wilayah adat Kwairumaratu memiliki batas wilayah adat mulai dari Mising sampai dengan Sungai Bobot (Alsul Bobot).

Tiga wilayah adat yang besar di daratan Seram Timur ini hubungan roina kakal karena leluhur mereka berasal dari tempat yang sama di Gunung Bati. Apabila ada persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat, maka dua Raja (Mata Lean) berperan sebagai saksi untuk penyelesaian masalah. Sebagai contoh. Apabila terjadi ada persoalan tanah yang terjadi di Kelimuri maka Raja (Mata Lean) Negeri Kian Darat dan Raja (Mata Lean) Negeri Waru berperan sebagai saksi, dan sebaliknya. Tatanan adat itu sudah ada (berupa aturan-aturan) umum yang tidak tertulis dan telah disepakati sejak zaman leluhur mereka mendiami lokasi masing-masing, dan hal ini juga turut berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan adat. Khususnya kondisi lokal yang teridentifikasi dalam kehidupan Orang Bati dapat dikatakan bahwa peran adat masih sangat kuat dan berpe-ngaruh langsung terhadap pelaksanaan pemerintahan sampai saat ini.

Penyelenggaraan Pemerintahan Tradisional

Pelaksanaan pemerintahan tradisional di wilayah Tana (Tanah) Bati berawal dari gunung. Watu Raita (Batu Raja) merupakan salah satu tempat yang sakral oleh Orang Bati karena pada tempat tersebut merupakan awal pemerintahan tradisional dalam wilayah adat Weurartafela mulai berlangsung. Awal pemerintahan berlangsung

Page 13: Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Batirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/8/D_902008103_BAB VII.pdf · Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati 227 menjadi sumber

Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati

235

ketika Orang Bati berada di gunung, kemudian melalui Esuriun Orang Bati baru penyelenggaraan pemerintahan berlangsung di Negeri Kian Darat yang terdapat di pesisir pantai. Sampai saat ini kekuasaan Raja (Mata Lean) atau Jou yang berada di pantai berasal dari gunung karena itu proses pelantikan Raja (Mata Lean) atau Jou secara adat dilakukan oleh orang adat yang berkedudukan di gunung. Pemerintahan tradisio-nal di Tana (Tanah) Bati merupakan pemerintahan berdasarkan ke-turunan (raja turun-temurun) dari mata rumah perintah yaitu dari marga Weurartafela, dan mengikuti garis keturunan laki-laki seperti dikemukakan oleh tokoh adat dan tokoh agama bahwa:

Tawei adat esuriun ne lua, baru tadudu la karajaan nai Weurartafela. Adat esuriun ne ka baru ratu adat (Mata Lean). Artinya, tata kelola pemerintahan adat di Tana (Tanah Bati) adalah pemerintahan menurut adat. Kedu-dukan pemimpin atau Raja (Mata Lean) atau Jou adalah Raja Adat dan dilakukan oleh orang adat yang ber-kedudukan di gunung yaitu Rumbou (Bati Tengah)10

10)Wawancara dengan bapak SaRum (64 Tahun), Tokoh Adat dan Tokoh Agama Dusun Rumbou (Bati Tengah), Negeri Kian Darat, pada tanggal 15 Juli 2010.

).

Penyelenggaraan pemerintahan tradisional di Tana (Tanah) Bati telah berlangsung sejak Esuriun Orang Bati. Pada lokasi di mana ter-dapat Batu Raja (Watu Raita) dan Pohon Pakis Hutan sebagai simbol di mana pada tempat ini merupakan awal penyelenggaraan pemerintahan tradisional di Tana (Tanah) Bati. Tempat ini merupakan salah satu lokasi yang dianggap sakral yang terdapat wilayah Dusun Bati Kilusi (Bati Awal) dapat dilihat pada gambar 21 a dan 21 b berikut ini:

Page 14: Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Batirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/8/D_902008103_BAB VII.pdf · Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati 227 menjadi sumber

Esuriun Orang Bati

236

Gambar 21 a

Watu Raita (Batu Raja)

Gambar 21 b

Pohon Pakis Hutan Sebagai Tempat Bermusyawarah

Perlu dikemukakan tentang pelaksanaan pemerintahan adat di Tana (Tanah) Bati bahwa seorang Raja (Mata Lean) atau Jou harus memegang teguh adat sebagai urat nadi kehidupan bermasyarakat. Bagi Orang Bati, sumber adat terdapat pada institusi Esuriun. Apabila Raja (Mata Lean) atau Jou melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Adat. Artinya secara adat Orang Bati melakukan pe-

Page 15: Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Batirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/8/D_902008103_BAB VII.pdf · Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati 227 menjadi sumber

Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati

237

ngawasan secara langsung dalam pelaksanaan pemerinatahan. Raja (Mata Lean) atau Jou yang memerintah dalam wilayah adat Weur-artafela di Negeri Kian Darat harus menjunjung tinggi adat sebagai aturan main yang selama ini dipegang oleh Orang Bati. Apabila terjadi pelanggaran dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka Orang Bati yang mendiami wilayah pegunungan tidak segan-segan melakukan la-rangan adat terhadap Raja (Mata Lean) atau Jou yang sedang berkuasa berupa noma11

11)Artinya larangan adat tersebut dilakukan Orang Bati pada Raja atau Mata Lean pada bulan Oktober 2011. Sasi (larangan adat) di Tana (Tanah) Bati merupakan tradisi Alifuru Seram yang telah dilembagakan dalam hukum adat sejak masa lampau dan sampai saat ini masih dipraktekan. Pada lingkungan Orang Bati, Sasi (larangan adat) dilakukan apabila ada warga yang melakukan pelanggaran adat, penyalahgunaan kekuasaan pelaksanaan pemerintahan. Sebab Raja (Mata Lean) atau Jou di Tana (Tanah Bati) merupakan Kepala Pemerintahan Desa yang menyelenggarakan pemerintahan sesuai Undang Undang Negara Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004. Raja (Mata Lean) atau Jou adalah Kepala Persekutuan Hukum Adat. Pada lingkungan masyarakat adat lainnya di Pulau Seram, sasi (larangan adat) dilakukan di darat untuk melindungi hasil dari tanaman produksi seperti sagu, cengkih, pala, kelapa, dan lainnya milik penduduk, sedangkan sasi yang dilakukan sekitar wilayah laut untuk melindungi ikan, lola, teripang, dan lainnya yang dapat di temui pada lingkungan masyarakat adat di Seram, Ambon, Lease (Saparua, haruku, Nusa Laut) dan wilayah lainnya dalam wilayah Kepulauan Maluku. Sasi memiliki manfaat besar bagi kelestarian lingkungan. Hakikat sasi (larangan adat) memiliki kekuatan dalam pengendalian sosial pada diri (individu) maupun masyarakat untuk tidak melakukan hal yang melanggar adat. Pada lingkungan masyarakat adat tertentu di Maluku yang menganut Agama Kristen, pelaksanaan sasi (larangan adat) turut diperkuat oleh institusi Gereja melalui doa.

) (larangan adat). Sebagai contoh noma (larangan adat) atau sasi yang dilakukan Orang Bati pada Raja (Mata Lean) atau Jou yang melakukan kesalahan dalam menyelenggarakan Pemerintahan Adat dapat dilihat pada gambar 22 berikut ini:

Page 16: Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Batirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/8/D_902008103_BAB VII.pdf · Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati 227 menjadi sumber

Esuriun Orang Bati

238

Gambar 22

Tanda Sasi (Datal Noma atau tanda Larangan Adat) yang diletakkan Orang Bati di Negeri Kian Darat untuk Raja (Mata Lean) atau Jou karena Melakukan

pelanggaraan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Adat

Tanda sasi (datal noma atau larangan adat) sebanyak empat tiang yang berada pada arah timur, barat, utara, dan selatan agar Raja (Mata Lean) atau Jou tidak boleh melakukan aktivitas apapun di Negeri Kian Darat, dalam wilayah adat Weurartafela. Lambang adat sasi atau datal noma tersebut dapat dicabut (diangkat) kembali apabila dalam teng-gang waktu yang ditentukan Raja (Mata Lean) atau Jou telah mengikuti sidang adat yang dilakukan Orang Bati di Gunung, dan kesalahan yang dilakukan oleh Raja (Mata Lean) atau Jou telah dipertanggungjawabkan di depan tokoh adat dan warga. Apabila dalam tenggang waktu yang ditentukan, Raja (Mata Lean) atau Jou tidak memenuhi tuntutan adat, maka ia tidak boleh menginjak kaki di Negeri Kian Darat dalam wilayah adat Weurartefela.

Perspekti berupa sangksi adat yang dilakukan Orang Bati ter-hadap pemimpin mereka (Raja atau Mata Lean atau Jou) menurut pen-dapat peneliti yaitu sangat baik, karena seorang pemimpin tidak dapat

Page 17: Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Batirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/8/D_902008103_BAB VII.pdf · Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati 227 menjadi sumber

Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati

239

bertindak semena-mena menurut kehendak hatinya dalam melaksana-kan tugas. Realitas ini menunjukkan bahwa, fungsi kontrol sosial yang dilakukan Orang Bati dalam penyelenggaraan Pemerintahan Adat masih efektif. Hal seperti ini jarang dijumpai dalam penyelenggaraan pemerintahan di tempat lainnya, terutama yang berkaitan dengan Pemerintahan Desa. Sebab pemahaman Orang Bati bahwa, taat pada adat berarti taat pada leluhur mereka, dan taat pada Tuhan Yang Maha Kuasa Pencipta Alam Semesta dan Manusia.

Raja (Mata Lean) yang Memerintah di Negeri Kian Darat dalam Wilayah Adat Weurartafela

Raja (Mata Lean) atau saat ini dinamakan Jou yang pernah me-merintah dalam wilayah adat Kian Darat yaitu:

1) Ratu Wawina (Raja Perempuan) yang memerintah sampai ia meninggal dunia; 2) Raja (Mata Lean) Abdulrahman Weurartafela. Ia memerintah di wilayah ini sampai meninggal dunia; 3) Raja (Mata Lean) Saijudin Weurartefela. Ia juga me-nyelenggarakan pemerintahan sampai meninggal dunia; 4) Raja (Mata Lean) Jamaludin Weurartafela. Ia memerintah sampai ia meninggal dunia; 5) Raja (Mata Lean) di Negeri Kian Darat dilanjutkan adalah Ema Weurartefela. Ia adalah Raja (Mata Lean) perempuan, karena saat itu tidak ada anak laki-laki dari mata rumah perintah untuk melanjutkan pemerintahan di Negeri Kian Darat; 6) Raja (Mata Lean) Dahlan Weurartafela; 7) Raja (Mata Lean) berikutnya adalah Usman Weurartafela sehingga Pemerintahan Adat telah kembali pada mata rumah Raja (Mata Lean). Ia memerintah sampai meninggal dunia; 8) Raja (Mata Lean) yang memerintah selanjutnya yaitu Abdulrajad Weurartafela. Pelaksanaan pemerintahannya masih berlangsung sampai saat ini12

Perlu dikemukakan bahwa, pada masa pemerintahan Raja Kian Darat yang keempat karena Raja (Mata Lean) atau Jou yang ketiga meninggal dunia belum ada anak laki-laki, maka Pemerintahan Adat dilaksanakan oleh sepupu dari Raja (Mata Lean) atau Jou di Negeri

).

12)Wawancara dengan bapak AWe (56 Tahun) Raja (Mata Lean) Negeri Kian Darat di Geser, pada tanggal 5 November 2009.

Page 18: Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Batirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/8/D_902008103_BAB VII.pdf · Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati 227 menjadi sumber

Esuriun Orang Bati

240

Kian Darat yang ketiga. Tetapi saat ini Pemerintahan Adat telah kem-bali menurut garis keturunan raja-raja mengikuti garis lurus dari mata rumah perintah. Makna Raja (Mata Lean) atau Jou yaitu mengikuti garis lurus dari keturunan raja-raja, sedangkan kerabat raja tidak me-miliki gelar tersebut.

Semua Orang Bati yang berada dalam wilayah adat Weurartefala di Negeri Kian Darat mengakui bahwa pada awalnya, di Tana (Tanah) Bati ini Raja (Mata Lean) atau Jou yang pertama adalah seorang pe-rempuan yang bernama Ratu Wawina (Raja Perempuan) yang ber-gelar Raja Tongkat Emas. Ia menyelenggarakan pemerintahan sejak mereka mendiami wilayah pegunungan pada tempat yang bernama Soabareta. Sampai saat ini di Tana (Tanah) Bati masih terdapat lokasi bekas kekuasaan Ratu Wawina (Raja Perempuan) yaitu pohon pakis hutan dan Watu Raita sebagai bukti dari takhta raja yang berkuasa pada masa awal. Tempat ini oleh Orang Bati dianggap sakral.

Selain itu juga perlu dikemukakan bahwa dewasa ini marga Weurartefela yang bukan turunan raja cukup banyak. Namun mereka tidak bisa disebut sebagai Mata Lean atau Jou karena sebutan Mata Lean atau Jou adalah Raja yang berasal dari mata rumah perintah dan mengikuti garis lusur dari keturunan Raja-Raja (Mata Lean) atau Jou Negeri Kian Darat. Faktor utama sebagai penentu dalam pe-nyelenggaraan Pemerintahan Negeri Kian Darat dalam wilayah adat Weurartafela mulai berlangsung karena syarat sudah terpenuhi. Me-nurut Orang Bati syarat yang ditetapkan saat itu sesuai adat yaitu:

1) Negeri atau kampung atau dusun (wanuya) jadi atau terbentuk; 2) Bahasa sudah ada yaitu bahasa Minakesi; 3) Raja (Mata Lean) yang memerintah sudah ada13

Dalam penjelasannya dikemukakan bahwa, pemerintahan awal di Tana (Tanah) Bati oleh seorang perempuan yang bernama Ratu Wawina (Raja Perempuan) yang bergelar Raja Tongkat Emas. Ke-turunan Ratu Wawina merupakan mata-rumah yang menurunkan raja-raja di Tana (Tanah) Bati. Mereka memiliki hubungan dengan ke-

)”.

13)Wawancara dengan bapak AWe (56 Tahun) Raja (Mata Lean) atau Jou Negeri Kian Darat, di Geser, tanggal 5 November 2009.

Page 19: Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Batirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/8/D_902008103_BAB VII.pdf · Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati 227 menjadi sumber

Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati

241

turunan Raja Besi (besi diperas dan airnya diminum), Raja Waraka (kasih makan dengan keladi hutan atau Wirakay), dan Raja Tobo (peras air dan kasih minum). Aktivitas pemerintahan tradisional terus ber-langsung sampai kedatangan bangsa-bangsa asing di sekitar Pulau Seram, terutama di Waru Seram Timur.

Pemerintahan Modern

Secara khusus dalam wilayah adat Kian Darat, Raja (Mata Lean) yang memerintah di wilayah ini terus mengalami proses pergantian. Tetapi tatanan adat dan pemerintahan terus dipertahankan. Wilayah Tana (Tanah) Bati yang tidak terjamah oleh orang luar, termasuk Portugis, Belanda, Jepang, bahkan pada saat Pemerintahan Republik Indonesia saat ini Orang Bati masih seperti dahulu saja. Dalam diskusi dengan Raja (Mata Lean) atau Jou Negeri Kian Darat dikemukakan bahwa, mengapa sampai saat ini informasi ilmiah tentang Orang Bati atau masyarakat Bati belum ditemukan ? Ia mengemukakan bahwa ada dua hal yang menyebabkan informasi mengenai Orang Bati tidak pernah diungkapkan yaitu:

(1) Bomai Tata Nusu Si Mancia Batu dafawoto nai mancia won nai Batu teifua, karena ngasan Mancia Batu woi menurut tata habom si oi ngasan galotak (Pada masa lampau leluhur Orang Bati tidak pernah menceritrakan hal ini kepada siapapun juga karena nama Bati oleh Orang bati adalah sakral dan tidak boleh disebut-sebut secara sembarangan); (2)Atau bomai masa Belanda tua Jepang si dalatan nai tana eya dakutan tana eya nai memamam si teifua (Atau pada masa Belanda dan Jepang berada di wilayah Waru mereka tidak pernah menanyakan hal ini pada orang-orang tua di Tana atau Tanah Bati)14

Kondisi yang dialami Orang Bati seperti ini menyebabkan informasi mengenai mereka timbul dan tenggelam dalam mitos pada orang luar di Maluku. Informasi mengenai Orang Bati terus berputar-

).

14)Dalam penjelasannya, bapak AWe (56 Tahun) Raja (Mata Lean) atau Jou Negeri Kian Darat mengemukakan bahwa baru pertama kali ini dari zaman Raja-Raja Negeri Kian Darat beliau yang pertama kali ditanyakan mengenai fenomena Orang Bati. Selama ini belum ada peneliti ilmiah yang melakukan penelitian dan menanyakan sedetail ini pada seorang Raja (Mata Lean) atau Jou di Tanah (Tanah) Bati.

Page 20: Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Batirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/736/8/D_902008103_BAB VII.pdf · Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati 227 menjadi sumber

Esuriun Orang Bati

242

putar dalam penuturan oleh anggota maupun kelompok masyarakat di Ambon-Maluku, dan tidak pernah tuntas. Persoalan lain yang men-yebabkan informasi mengenai Orang Bati terus mengalami paradoks karena sampai sekarang belum ditemukan informasi ilmiah yang benar mengenai mereka. Pengalaman orang lai ketika berjumpa, bergaul, dan sebagainya selalu dirahasiakan sehingga fenomena Orang Bati di Maluku terus berada dalam anggapan negatif (stigma) dan menimbul-kan rasa takut di kalangan Orang Ambon-Maluku sendiri sampai saat ini. Dalam realitas, peneliti seringkali berjumpa dengan Orang Bati di berbagai tempat dalam wilayah Kepulauan Maluku.

Mereka sering datang ke rumah peneliti di Negeri Passo, tetapi tidak ada orang lain seperti tetangga yang mengetahuinya. Data yang berkaitan dengan tata kelola pemerintahan di Tana (Tanah) Bati menunjukkan bahwa pemerintahan di Tana (Tanah) Bati saat ini belum dapat menyesuaikan dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang diberlakukan oleh Pemerintah. Kenyataan bahwa Pemerintahan pada tingkat desa masih meng-gunakan Undang Undang Nomor 5 1979 tentang Sistem Pemerintahan Desa, sedangkan pemerintahan pada tingkat negeri mengadopsi struk-tur pemerintah menurut Undang Undang Nomor 5 1979 tentang Sis-tem Pemerintahan Desa, tetapi penamaan pada pimpinan negeri yaitu Raja.

Pada hakikatnya jiwa Pemerintahan Adat di Tana (Tanah) Bati masih sangat kuat sampai saat ini. Artinya Raja memiliki posisi yang kuat sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala persekutuan adat. Raja berasal dari mata-rumah perintah yaitu marga Weulartafela dan mengikuti garis keturunan lurus atau garis keturunan laki-laki yang dipilih dari lingkungan kerabat untuk diajukan sebagai calon raja untuk memeperoleh persetujuan masyarakat dan lembaga-lembaga adat yang terdapat di Tana (Tanah) Bati atau wilayah adat Weulartafela. Pengukuhan raja sebagai kepala persekutuan adat dilakukan oleh tokoh adat adat yang berada di Kampung atau Dusun Rumbou (Bati Tengah), dan pelantikan Kepala Desa dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten atau Bupati. Adat memiliki peran penting dalam kehidupan pemrintahan maupun ekonomi.