TASAWUF POSITIF

20
TASAWUF POSITIF M.T. Ja`fari*) Tasawuf positif adalah pengembangan dan penguasaan jiwa manusia atas dunia wujud, yang disebabkan oleh terserapnya jiwa ke dalam kesempurnaan mutlak, dan akhirnya adalah perjumpaan dengan Tuhan. Tasawuf positif adalah tasawuf yang sejati-. pergerakan ini dimulai dengan membangunkan manusia dari mimpi kehidupan dunia Yang sebenarnya hanya khayalan belaka, dan mengingatkan pada kenyataan bahwa dalam tujuan inti penciptaan dunia wujud, telah digariskan bahwa diri selalu bergerak dalam arah kebaikan dan penyempurnaan. Jalan tasawuf ini adalah melalui "kehidupan yang nyata", tujuannya adalah keterserapan ke dalam kesempurnaan mutlak, dan puncaknya adalah perjumpaan dengan Tuhan. Tasawuf positif seperti ini sama sekali tak mengabaikan dunia wujud, baik Yang berkaitan dengan manusia ataupun makhluk lainnya. Tetapi, tasawuf ini bermaksud memurnikan dan menjernihkan seluruh dunia dengan suatu unsur ilahiah, dan memancarkan cahaya ilahiah kepada setiap, lekuk dan liku dunia.1 Garis tegas tasawuf inilah yang telah ditunjukkan oleh para rasul Allah — dan bukannya khayalan palsu sekelompok orang yang telah menyalahartikan konsep-konsep tinggi seperti "wujud", "realitas", "kesempurnaan", "kebenaran", "penampakan", dan lain-lain. Sebenarnya yang mereka kenali dari konsep-konsep ini hanyalah baying-bayangnya, dan, sebagai akibatnya, lewat perubahan-perubahan kondisi mental sesaat, khayalan inilah yang mereka kenali sebagai pencerahan, dan lalu mereka menciptakan "maqam-maqam" dan "tingkat-tingkat" bagi diri mereka, dan merasa puas dengan baying-bayang tersebut. Orang-orang yang mengaku

description

Dengan mendefinisikan apa yang disebutnya sebagai tasawuf positif, dan memaparkan karakter tasawuf itu , penulis berusaha menunjukkan suatu jenis tasawuf yang sesuai dengan ajaran Islam.

Transcript of TASAWUF POSITIF

Page 1: TASAWUF POSITIF

TASAWUF POSITIF M.T. Ja`fari*)

Tasawuf positif adalah pengembangan dan penguasaan jiwa manusia atas dunia wujud, yang disebabkan oleh terserapnya jiwa ke dalam kesempurnaan mutlak, dan akhirnya adalah perjumpaan dengan Tuhan.

Tasawuf positif adalah tasawuf yang sejati-. pergerakan ini dimulai dengan membangunkan manusia dari mimpi kehidupan dunia Yang sebenarnya hanya khayalan belaka, dan mengingatkan pada kenyataan bahwa dalam tujuan inti penciptaan dunia wujud, telah digariskan bahwa diri selalu bergerak dalam arah kebaikan dan penyempurnaan. Jalan tasawuf ini adalah melalui "kehidupan yang nyata", tujuannya adalah keterserapan ke dalam kesempurnaan mutlak, dan puncaknya adalah perjumpaan dengan Tuhan. Tasawuf positif seperti ini sama sekali tak mengabaikan dunia wujud, baik Yang berkaitan dengan manusia ataupun makhluk lainnya. Tetapi, tasawuf ini bermaksud memurnikan dan menjernihkan seluruh dunia dengan suatu unsur ilahiah, dan memancarkan cahaya ilahiah kepada setiap, lekuk dan liku dunia.1

Garis tegas tasawuf inilah yang telah ditunjukkan oleh para rasul Allah — dan bukannya khayalan palsu sekelompok orang yang telah menyalahartikan konsep-konsep tinggi seperti "wujud", "realitas", "kesempurnaan", "kebenaran", "penampakan", dan lain-lain. Se-benarnya yang mereka kenali dari konsep-konsep ini hanyalah baying--bayangnya, dan, sebagai akibatnya, lewat perubahan-perubahan kondisi mental sesaat, khayalan inilah yang mereka kenali sebagai pencerahan, dan lalu mereka menciptakan "maqam-maqam" dan "tingkat-tingkat" bagi diri mereka, dan merasa puas dengan baying-bayang tersebut. Orang-orang yang mengaku menjalani tasawuf seperti ini, bisa jadi sama sekali tak mampu menyaksikan kebenaran yang paling kulit sekalipun dari balik perangkap material diri mereka. Inilah tasawuf terburuk yang membimbing para pencari makrifat dari pinggir pantai menuju bayangan air pada fatamorgana.2

Jiwa yang telah mengenali tasawuf positif mesti menganggap, pencapaian-pencapaian seperti ketenangan batin, kemampuan melihat masa-depan, dan bahkan kemampuan mengubah-bentuk (transfiguring) dalam dunia material, sebagai cara, dan bukan tujuan; yaitu sebagai cara untuk membangunkan masyarakat — sama seperti halnya ia menganggap seluruh unsur kenikmatan inderawi dan seluruh kesenangan

Page 2: TASAWUF POSITIF

inderawi sebagai sebuah cara, bukan tujuan. Tujuannya adalah pencapaian moralitas dan perilaku ilahiah.

Dapat dikatakan bahwa memisahkan tasawuf menjadi "negatif" dan "positif" telah diterima oleh seluruh pencari sejati yang telah melalui dua wilayah tasawuf — teoretis dan praktis — dengan kesadaran dan kesungguhan yang sempurna.

sebagai contoh, Imam Khomeini — quddisa sirrub , (semoga Tuhan mensucikan jiwanya) — berkata:

Saya mendengar ada beberapa orang yang disebut sebagai ahli ma'rifah (sufi) yang, setelah menjalani beberapa latihan (riyadhah), disesatkan oleh pemikiran yang salah tentang konsep-konsep mistik. Hati mereka menjadi tercemar, diri batin mereka diselimuti kegelapan, dan mereka menjadi lebih mementingkan diri-sendiri; dan, karenanya, tiba-tiba mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang aneh dan tak wajar. Juga ada beberapa orang Yang menjalani usaha-usaha untuk menjauhkan diri dari segala kebutuhan (asketisme), atau bergabung dengan suatu kelompok mistik untuk tujuan pensucian-diri, namun hatinya menjadi lebih suram dan gelap. Kesalahan-kesalahan ini terjadi karena mereka

tidak secara sungguh-sungguh dan cermat mengarahkan dirinya pada perjalanan suci menuju Allah, sehingga marifah dan zuhd mereka diisi oleh Iblis dan ego mereka sendiri, yang mengakibatkan mereka menjadi para pencari (sufi) yang bergerak menuju Iblis-ibris itu.3Sesungguhnya, jalan tasawuf positif berusaha membimbing para pencari agar secara

bersungguh-sungguh berusaha menemukan kehilangan mereka yang sesungguhnya.Dengan pasti dapat dikatakan bahwa setiap orang yang memiliki pikiran dan kesadaran

yang bekerja dengan baik akan merasakan bahwa ada sesuatu yang hilang yang sedang dicarinya dalam kehidupannya di dunia ini. Orang-orang yang tidak mempunyai rasa kehilangan ini hanyalah orang yang telah kehilangan dirinya sendiri karena sikap ketakpedulian mereka. Sesungguhnya, "perasaan ada sesuatu yang hilang dalam kehidupan ini" adalah perasaan agung yang tidak dapat dirasakan oleh orang-orang yang telah menjadi budak nafsu, kekayaan, jabatan, atau ambisi. Kereta tasawuf negatif melakukan perjalanan panjang, mencari banyak hal, dan mengalami banyak hambatan, tetapi akhirnya ia sudah terpuaskan hanya dengan beberapa kenikmatan batiniah atau tingkat-tingkat mental tertentu; merasa cukup hanya dengan beberapa pengetahuan yang aneh, dengan ucapan-ucapan yang tak biasa, dan lalu berhenti. Sayang sekali! Para pencari ini tak menyadari benar-benar bahwa sesuatu yang hilang dalam jiwa manusia itu bukanlah hal-hal sepele seperti itu, yang muncul karena beberapa sebab.

Tampaknya, orang pertama yang mengetahui kehilangannya ada lah orang yang, setelah mencoba menjalani tasawuf positif di bawah bimbingan para Rasul, merasa diberi semangat untuk bangkit dari lembah khayal dunia dan melangkah menuju perbaikan. Ketika berusaha menemukan sesuatu yang hilang itu, mereka menjauhkan diri dari kenikmatan-kenikmatan, rasa mementingkan diri-sendiri, dan capaian-capaian duniawi, untuk menjalankan kapal jiwanya dengan penunjuk arah kesadaran ilahiah, dan di bawah bimbingan intelek yang sehat, di samudera wujud. Karena tasawuf positif tak pernah menganggap keuntungan-keuntungan seperti yang disebutkan di atas sebagai tujuan, maka ia dapat mencapainya sementara tetap ber jalan menuju tujuan akhirnya, yaitu perjumpaan dengan Allah, yang men syaratkan, pertama-tama, keterjagaan, pengembangan, dan penguasaan jiwa atas dunia wujud.

Page 3: TASAWUF POSITIF

Kini, kita akan membahas beberapa hubungan antara tasawuf positif dengan beberapa hal penting.

1. Tasawuf Positif dan "Aku"

Dalam tasawuf positif, tidak ada ruang untuk menolak "aku" (ruh umat manusia), sebaliknya, jiwa manusia (aku) — dengan mengikuti moralitas dan perilaku ilahiah — mencapai derajat kesempurnaan sehingga ia menjadi seperti seberkas cahaya dari ruh ilahiah. Abi Bashir meriwayatkan dari Imam Al-Shadiq: "seorang mukmin sejati adalah saudara bagi mukmin lainnya — seperti anggota tubuh, jika satu anggotanya sakit, anggota-anggota tubuh lainnya akan merasakan sakit pula — dan jiwa-jiwa mereka muncul dari Satu Jiwa. Sesungguhnya, jiwa seorang mukmin lebih terikat dengan Jiwa Ilahiah ketimbang sinar matahari dengan matahari.4

Inilah makna ayat Al-Quran, Kami berasal dari Tuban, dan kami kembali kepada-Nya (QS 2:156)."Aku" umat manusia dapat melampaui diri-alamiahnya melalui evolusi, melampaui "aku "

manusiawi menuju "aku "samawi. Dan ruh samawi ini , mampu menguasai sepenuhnya dunia wujud, lewat fakultas-fakultas dan energi-energi mental yang dimilikinya.

Tasawuf positif tak perlu menolak keakuan manusia, tapi memperkuatnya secara ilahiah agar mampu menguasai dunia wujud. Karena, bentuk penyatuan (peleburan) "aku", Tuhan, dan Wujud, yang ada dalam tasawuf negatif tidak saja tidak mampu memberikan gambaran yang benar, tetapi juga menghasilkan hal-hal tidak layak yang tidak dapat diterima oleh akal sehat siapa pun.

2. Tasawuf Positif dan Dunia Wujud

Dunia wujud membimbing dan, dalam sinaran cahaya samawi, membawa seorang 'arif mencapai dunia yang lebih tinggi dengan dua cara: (a) pesona luar biasa keindahan kosmik, dan (b) keagungan keteraturan kosmik. Untuk menghayati keduanya, jiwa manusia harus berkembang dan berkuasa atas dunia wujud agar dapat menghilangkan kekaburan dari visinya.

Dengan penguasaan dan pengembangan batin tersebut, perangkap kemaujudan menghilang dari pandangan sang 'arif dan sinaran ilahiah memancar dari balik tabir, meletakkannya dalam suatu keadaan sukacita yang luar-biasa, yang melampaui kegembiraan dan kesedihan yang biasa, sebagaimana dikatakan seorang penyair:

Aku begitu dibantui oleh bayangan sang pemburu Sehingga tak tahu lagi hari siang atau malam dalam gua.5Pengembangan dan penguasaan jiwa memiliki sebuah karakteristik

lain yang tanpanya kedua jalan di atas tidak akan mencapai tujuannya. Yakni, keyakinan manusia bahwa sesungguhnya dunia adalah tempat untuk bekerja dan berlomba-lomba dalam kebaikan.

Hanya dengan pandangan ma’rifah ini sajalah kita dapat berkata: kita tak melanggar batas-batas kosmos dan juga tak menurunkan Tuhan dari Tahta Agungnya, dalam usaha menyatukannya dengan ruang pikiran kita.

3. Tasawuf, Sains dan AkalAdakah pernyataan yang lebih tidak beralasan dan memandekkan

dibanding gagasan yang mengatakan bahwa tasawuf tidak sejalan dengan, sains dan akal? Memisahkan sains dan akal dari tasawuf adalah seperti menutup dua celah yang dilalui oleh cahaya kebenaran yang menerangi jalan sang musafir. Mari kita lihat, apakah sains itu? Sains adalah cahaya penerang bagi fakta-fakta untuk mengetahui cara-cara, alat-

Page 4: TASAWUF POSITIF

alat, hukum alam, serta batas-batas tujuan dan orientasi.Bagaimana dengan akal? Akal adalah pengatur dalam diri kita

dalam mempersepsi fenomema sensual, aktivitas mental, abstraksi untuk generalisasi, angka-angka, simbol-simbol, pelaksana operasi matematis, dan sebagainya. Akal dan sains adalah penghubung antara manusia dengan kenyataan. Dapatkah keduanya dipisahkan dari tasawuf positif? Bagaimana mungkin jiwa berkembang dan menguasai dunia wujud jika akal dan sains dipisahkan dari tasawuf? Ada suatu prinsip yang sangat penting dan bersifat universal yang jika diabaikan, bukan hanya persoalan-persoalan sains dan akal yang tidak akan ter-pecahkan, tetapi juga persoalan-persoalan yang berkaitan dengan tasawuf. Prinsip itu mengatakan jika sains dan akal dijadikan sekadar sebagai kebanggaan dan untuk menghias diri saja, maka keduanya akan berubah menjadi penghalang (atau bahkan) pencipta halangan (bagi jiwa).6

Demikian pula tasawuf. Bahkan ketika telah mencapai puncak pendakian sekalipun, jika tasawuf menjadi cara untuk menghias jiwa dan mencari keuntungan semata, tasawuf akan menjadi hijab yang sangat berat, yang menghalangi mata hati dari memandang wajah Allah. Ya, dapat dikatakan bahwa jika tasawuf telah menjadi penghalang (hijab), maka ia akan lebih berat daripada sains dan akal. Sebagai ilustrasi, ada beberapa gagasan dari Ibn Sina dalam bukunya Al-Isyarat tentang hal ini:

Perhatian pada masalah-masalah duniawi — yang harus dihindari oleh tasawuf — akan menyebabkan jiwa terpikat pada dunia. Kepatuhan kepada hawa nafsu adalah dosa; dan kebanggaan terhadap kelebihan diri — walaupun dikatakan karena hubungan dengan Tuhan Yang Mahakuasa — adalah penyimpangan; berserah diri kepada Tuhan dengan sepenuh hati adalah pembebasan diri dari segala sesuatu selain Dia.

Di bagian lain, Ibn Sina mengatakan:

Barangsiapa yang menempuh jalan tasawuf semata-mata demi tasawuf itu sendiri, berarti ia mencari penghias bagi esensinya. Jika seseorang menjalani tasawuf tanpa mempedulikan posisi spiritualnya, tetapi membiarkan dirinya terserap ke dalam Tuhan, ia seperti seorang penyelam di lautan keberhasilan.

Tasawuf adalah jalan bagi penyempurnaan diri-alami, tetapi hijab oleh tasawuf jauh lebih berat daripada hijab yang ditimbulkan oleh sains dan akal. Hal ini karena setiap orang yang sadar akan nilai dan karakter sains dan akal, tahu betul betapa fakta-fakta yang diketahui manusia bersifat relatif, terbatas, dan bergantung (pada persepsi manusia), sehingga tidak sulit (untuk menilai) bahwa sains dan akal tidak mampu memuaskan jiwa para pencari dan penempuh jalan sufi, dan karenanya

Page 5: TASAWUF POSITIF

tidak akan dapat menghentikan mereka di tengah perjalanan sufistiknya.Sementara itu, tasawuf dengan kecemerlangannya yang begitu

memesonakan dan menyilaukan, membuat kita mengabaikan fakta bahwa ia dapat dieksploitasi oleh diri-alami. Dengan demikian lebih mudah untuk bangkit dari keterlenaan yang disebabkan oleh sains dan akal daripada 'kemabukan' akibat keterpesonaan pada jalan sufi. Jadi, jika sains dan akal tidak terbenam dalam ego dan menghalangi pandangan kita ketika menyingkapkan fakta-fakta, keduanya akan menjadi sumber cahaya yang mencerahkan jalan sufi.

Imam Khomeini telah menyatakan hal ini secara eksplisit dalam pernyataan yang dikutip di atas.7

4. Tasawuf, Intuisi, dan Akal

Hampir seluruh pengkaji mistisisme, bahkan beberapa yang melalui jalan tasawuf positif namun terkadang terjebak dalam tipuan "tasawuf negatif", percaya bahwa penampakan fakta-fakta dalam tasawuf tidak membutuhkan penggunaan akal atau tidak dapat dijelaskan dengan akal. Pernyataan ini disebutkan berulang-ulang dalam tulisan-tulisan sufi — puisi maupun prosa — dengan berbagai alasan. Salah satu alasan populer yang sering digunakan oleh para pendukung gagasan ini adalah puisi Rumi berikut:

Kaki kaum rasional adalah kaki kayu, dan Kaki kayu amatlah rapuh

Pernyataan ini dapat dianalisis sebagai berikut: Jika yang di maksud dengan "tidak membutuhkan akal" adalah bahwa dalam pandangan tasawuf, kebenaran yang berhubungan dengan jiwa manusia, Tuhan, eksistensi, dan masyarakat manusia dapat dipahami dengan "pengetahuan langsung", seperti halnya pengetahuan manusia tentang esensi dirinya (kesadaran diri atau persepsi diri) yang tak membutuhkan penalaran dengan akal sama sekali — yaitu setiap orang dapat memahami kebenaran tentang keempat hal di atas seperti pengetahuan langsung tentang diri sendiri — maka pernyataan di atas adalah benar, seperti yang akan dijelaskan di bawah. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa pengetahuan langsung itu begitu jelasnya sehingga setiap orang mampu merasakannya dalam dirinya sehingga tidak lagi membutuh kan penggunaan akal, karena memahami dan mengintuisikan sesuatu berbeda dengan menjelaskannya. Sebagai contoh, pengetahuan langsung (persepsi diri dan kesadaran diri) tentang esensi manusia yang dirasakan dan diintuisikan setiap orang tidak mungkin (dirasakan) oleh setiap orang dengan tingkat pemahaman yang sama. Ada orang-orang yang mampu memahami esensi yang terabstraksi dengan rinci — seperti yang terbentang di dunia wujud — melalui aktivitas-aktivitas dan perhatian-perhatian intuitif mereka. Dan ada pula orang-orang yang menjawab pertanyaan bagaimana mereka mempersepsi "Aku" atau esensi mereka (kalau saja mereka memahami pertanyaan itu) dengan mengatakan, "Ya, aku terdiri dari tangan, kaki, kepala, rambut, tubuh - - ."; atau, jika mereka sedikit lebih pintar, akan mengatakan, "Aku mempunyai seperangkat alat tubuh bagian dalam (seperti sistem saraf, darah, jantung, otak, dan lain-lain) dan alat tubuh bagian luar (seperti tangan, kaki, kepala, dan lain-lain)." Tidak terpikirkan oleh orang-orang ini bahwa dalam kehidupan sehari-hari mereka seringkali meletakkan kata "Aku" pada karakter dan tingkah laku mereka (seperti statusku, bukuku, pengetahuanku . . . atau "Aku" melihat sebuah buku, "Aku" mengajar, "Aku" beristirahat, dan lain-lain). Walaupun berulangkali mereka mengucapkan kata "Aku", kemudian membanggakan dan membelanya, mereka tidak pernah memikirkan dan menyadarinya. Pun jika mereka sempat atau pernah memikirkannya, mereka hanya sampai pada konsep yang kabur tentang "Aku" mereka - seakan-akan puisi berikut ini menyuarakan keadaan mereka:

Page 6: TASAWUF POSITIF

Aku heran ke manakah kecenderungan jiwaku iniDan apa pula sebenarnya hati cemerlang dari lumpur hitam ini Sepanjang hidupku aku mengucapkan kata "Aku", "Aku", Namun tak kunjung kutahu siapakab "Aku" ini

Jika kita ingin membuat mereka memahami "aku" atau "esensi" dengan cara "pengetahuan langsung", tentunya kita harus membekali mereka dengan berbagai pengetahuan dan informasi untuk menerangkan fakta-fakta yang dibutuhkan dalam memahami dan mengintuisi "Aku" secara langsung, mengenai kondisi, urgensi, penghalang, penyebab, karakteristik, dan fakta-fakta yang dibutuhkan untuk memahami esensi itu. Jika untuk memahami "Aku" — dengan begitu dekatnya — membutuhkan sekian banyak penjabaran dan penalaran, maka pastilah penampakan melalui tasawuf membutuhkannya jauh lebih banyak lagi.

Pendapat-pendapat yang percaya bahwa penampakan tasawuf tidak dapat dibuktikan dengan penalaran tidaklah dapat diterima seperti halnya pendapat bahwa akal tidak dibutuhkan dalam tasawuf.8 Secara umum, jika kita memperhatikan hukum paling dasar bagi pendidikan dalam bidang teknologi, sains, dan pengetahuan, dan bahkan pengembangan dan persepsi tasawuf sekali pun, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa tidak akan terjadi peningkatan dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi dalam bidang-bidang

tersebut tanpa pengajaran, pendidikan, instruksi, dan bimbingan ke arah peningkatan tersebut. Kebutuhan pendidikan dalam mengembangkan teknologi dan sains tidak dapat disangkal lagi. Penampakan tasawuf bukan saja membutuhkan bimbingan dan instruksi yang bersifat umum, tetapi karena sangat sensitifnya jalan dan tujuan tasawuf (bahkan dalam hal moralitas sekali pun) kebutuhan akan instruksi, bimbingan, dan pengetahuan itu semakin besar. Tasawuf banyak disepakati dalam konteks konseptual seperti dimaksud dalam puisi-puisi berikut:

Aku telah kehilangan jalan menuju tujuanku di kegelapan malam Wahai bintang petunjuk, muncullah engkau dari balik persembunyianmu

Karena ke manapun aku pergi, hanya kekaburan yang kujumpa Waspadalah di padang pasir tanpa batas ini

Maka:Jangan memotong jalan tanpa bimbingan Khidir, Dunia penuh kegelapan, jangan sampai tersesat

Atau:Jangan mengambil benih tanpa daun dari tempat berburu cinta Karena Adam terlempar dari surga hanya karena satu penolakan

Hukum dasar pendidikan, instruksi, dan bimbingan di atas, dengan jelas menunjukkan bahwa baik penjelasan maupun penalaran dengan akal merupakan syarat untuk mencapai intuisi tasawuf.

Sedikit perhatian tentang pengertian orientasi yang biasanya mencakup juga pengertian pendidikan dan bimbingan, akan membawa kita pada hal yang amat nyata bahwa aktualisasi kemampuan-kemampuan manusia di bidang industri, ilmu, pengetahuan, dan konsep-konsep tinggi mengenai moralitas, intuisi, dan persepsi tasawuf terjadi melewati tingkatan-

Page 7: TASAWUF POSITIF

tingkatan (kecuali jika ada mutasi dan revolusi spiritual yang cepat yang membawanya pada tingkat tertinggi). Tak ada transformasi (dari tingkat rendah ke tingkat atas) dapat terjadi tanpa beberapa faktor penyebab. Sebab-sebab itu dapat dibagi menjadi dua:

(1) Sebab internal, seperti pemikiran intelektual, perhatian intuitif dan zuhd (menjauhi kesenangan-kesenangan), yang mengakibatkan munculnya keadaan yang mendorong lahirnya intuisi atas fakta-fakta tasawuf dan menghilangkan hambatan-hambatan untuk mencapainya.

(2) Sebab eksternal, seperti para nabi,orang-orang saleh, dan para sufi yang mengikuti jalan terang para nabi (yang tasawufnya dianggap sebagai tasawuf positif dalam esei ini).

Sebagai contoh, jika Anda ingin menjabarkan dan membuktikan bahwa akal murni merupakan salah satu alat terbaik untuk membimbing manusia menuju intuisi yang sublim (untuk memahami) kebenaran manusia, alam semesta, "Aku" dan Tuhan, maka Anda harus memberikan penjelasan yang memadai tentang hal ini (yaitu akal murni, intuisi, manusia, dan Tuhan) serta kesalinghubungannya. Karena, jika Anda tidak memberikan penjelasan yang tepat mengenai masalah tersebut, Anda akan berputar-putar dalam rimba ketidakkonsistenan. konsep-konsep, ilusi-ilusi, asosiasi ide-ide, dan imajinasi. Setelah itu, Anda harus memiliki penjelasan untuk mengajarkan setiap fakta tasawuf, dan mengenali penyebab dan faktor-faktornya. Kebutuhan ini (seperti telah disebutkan sebelumnya), diperlukan karena tak ada gerak dan transformasi dalam tasawuf (kecuali jika terjadi mutasi dan revolusi mental yang luar biasa) tanpa faktor-faktor penyebab internal atau eksternal.

Membicarakan masalah-masalah tasawuf dengan menjabarkan syarat-syarat, keutamaan, dan pembersihan hambatan-hambatannya — secara umum, penjelasan terinci tentang sebab-sebab utama — adalah sama .seperti penalaran akal; yaitu bahwa dengan persepsi dan pemahaman yang benar, kita dapat mengintuisi masalah-masalah tasawuf tersebut.

Di sini, kami mengajukan contoh yang sama seperti dalam penjelasan di atas, yaitu bahwa akal murni, dapat menjadi salah satu faktor terbaik untuk membantu manusia mencapai intuisi sublim mengenai kebenaran manusia, alam semesta, "Aku", dan Tuhan. Pertama, kita harus merenungkan pertanyaan: (Apa yang harus diperbuat) kepada seseorang yang berada di tingkat yang sangat rendah sehingga tidak mampu menangkap ide-ide tasawuf ketika diungkapkan kepadanya; atau seseorang yang telah mengalami tingkat intelektual atau tasawuf yang cukup tinggi, tetapi tidak menganggap akal murni perlu digunakan untuk menggapai kearifan.

Kita harus memberikan argumen-argumen untuk membuktikan pernyataan kita pada keduanya. Setelah pembuktian yang dapat diterima akal, intuisi objektif mengenai kebenaran ini menjadi sama seperti halnya merasakan madu setelah menjabarkannya, dan kebutuhan dan kualifikasinya perlu untuk membuktikan rasa madu.

Page 8: TASAWUF POSITIF

Contoh lain untuk menjelaskan kebutuhan atas deskripsi dan penalaran, sebagai prasyarat untuk mencapai intuisi tasawuf, adalah sebagai berikut:

Kebebasan ruhaniah yang tertinggi adalah salah satu ciri paling penting dalam tasawuf positif. seperti yang disebutkan sebelumnya, pernyataan ini dapat dipertanyakan oleh dua kelompok. Mereka yang tak punya pengetahuan dan pemahaman tentang pendapat itu, yang disebut sebagai berada pada tingkat (persepsi) yang rendah, dan mereka yang punya pengetahuan tapi menolak klaim tersebut.

Kelompok pertama perlu memahami rincian yang mensyaratkan penjelasan fakta demi fakta atas klaim tersebut (yaitu bahwa kebebasan ruhaniah yang sublim merupakan salah satu ciri khas tasawuf positif). Kemudian, untuk mendorong kelompok ini mengetahui kebenaran klaim tersebut, diperlukan alasan-alasan rasional karena tidaklah mungkin memahami rincian konsep dan keterkaitan di antaranya tanpa memberikan alasan-alasan yang meniscayakan kebebasan spiritual itu. jika kebenaran terbukti dan dorongan ke arah intuisi objektif mengenai kebebasan spiritual sublim telah cukup tertanam dengan baik, maka tidak lagi dibutuhkan penjelasan atau penalaran; tetapi, seperti diisyaratkan di atas, penalaran tentang intuisi — untuk membuktikan adanya suatu hasil intuisi kepada orang yang mengalami intuisi — tidaklah mungkin dilakukan.

Kelompok kedua mengatakan, "manusia yang terjebak di dunia materi takkan mampu mencapai kebebasan spiritual sublim" atau "tak ada keadaan seperti itu. (kebebasan spiritual sublim) dalam jiwa manusia", atau "keadaan itu berkaitan dengan etika, bukan mistik". Kelompok ini sepenuhnya menolak dengan lebih kuat dan terang-terangan dibanding kelompok pertama. Ada pula kelompok ketiga yang menginginkan fakta tasawuf yang lebih nyata, tetapi mereka tidak mengetahui watak, ciri, dan prasyarat bagi penampakan itu, atau pengetahuan mereka mengenainya sangat sedikit.

Kini, kita akan menjabarkan puisi Rumi yang merupakan alasan bagi para pendukung umum tasawuf dan beberapa mistikus, seperti dikutip di atas. Pertama-tama dapat kita katakan bahwa Rumi telah membuktikan "kerapuhan kaki kaum rasionalis" dengan logika yang sangat jelas.

"Kaki kaum rasionalis adalah kaki kayu" adalah premis minornya."Kaki kayu itu rapuh" adalah premis mayor,"Kaki kaum rasionalis itu rapuh" adalah kesimpulannya9

Maksud puisi ini dan puisi lain yang serupa bukan berarti menafikan perlunya penalaran akal atau mengatakan bahwa kebenaran-kebenaran mistik tidak dapat dirasionalkan. Tetapi, yang dimaksudkan adalah hal-hal khusus dalam penggunaan akal, seperti akan dijelaskan berikut ini.

Rumi bermaksud mengajak dan mendorong para penempuh jalan sufi untuk tidak bertaklid dan berargumen dengan dugaan, tapi harus mencari

Page 9: TASAWUF POSITIF

kepastian. Ketika pembuktian dibangun atas dasar kepastian, siapa saja yang mempercayainya dapat melihat kebenarannya dengan jelas. Salah satu alasan kuat untuk membuktikan bahwa tujuan Rumi dan para sufi lainnya bukanlah untuk menolak akal, kecuali akal yang digunakan untuk kepentingan pribadi dan membuat orang lain mengagumi pemiliknya — seperti kebanyakan karya seni yang dibuat dengan motto "seni untuk seni" bukan "seni untuk kepentingan hidup manusia" — terlukis dalam puisi berikut:

Kami menggunakan akal dan berlaku licik agar orang-orang mengagumi kami

Kami ingin membuat mereka takjubagar kami tampak suci di mata mereka

Dalam Matsnawi, kata "akal" disebut sebanyak 35 kali, 10 di antaranya berarti "bimbingan", 25 yang lain "penalaran dengan akal" yang digunakan untuk membuktikan penampakan mistis. jika kita merenung dengan hati-hati dan mencoba menganalisis dan mensistesis karya-karya mistik, akan tampak bahwa tidak ada satu masalah pun di dalamnya yang menolak akal dan penalaran akal. Ibn Sina, penulis buku AI-Isyarat wa Tanbihat, menyebutkan pada bab 9 dan 10 bukunya — yang dinilai sebagai tulisan tentang tasawuf yang dapat dipahami dengan sangat baik oleh beberapa pengkaji:

"Barangsiapa yang mengatakan atau menerima sesuatu tanpa akal, dia bukanlah manusia."

Dalam semua buku-buku tasawuf, tak satu pun yang menyatakan bahwa pengetahuan dan tasawuf tidak memerlukan akal. Namun demikian, jelas bahwa jika suatu kasus dibicarakan sebagai realitas mistis yang diperoleh melalui intuisi, maka penalaran tidak dibutuhkan (seperti halnya melihat dengan mata, di mana melihat tidak memerlukan akal); namun hal ini dapat dijelaskan dengan akal dalam dua cara:

Pertama, penjabaran sebab-sebab, keutamaan, syarat, dan pembersihan halangan-halangan — yang dibahas dalam tasawuf teoretis. Kedua, sebab-sebab dan akibat-akibat, yang ditumbuhkan oleh intuisi, seperti mencapai kebebasan spiritual dengan melepaskan diri dari pemilikan duniawi, pengembangan jiwa, keteguhan dan kesabaran dalam penderitaan, dan lain-lain. Tetapi, sebagaimana penglihatan mata yang tidak memerlukan penalaran — intuisi mistik berada di luar lingkup penalaran akal formal, bahkan juga di luar kebenaran dan kepalsuan yang mencirikan setiap pernyataan.

5. Tasawuf dan SeniTidak seperti halnya aktivitas mental dan perasaan yang lain, watak

dan aktivitas mental seorang seniman belum diketahui dengan jelas secara ilmiah. Kita hanya tahu bahwa bagaimanapun wataknya, seni dapat merefleksikan keindahan dan keagungan (yang disebutkan pada bagian 2) manusia dan alam semesta dalam kaitannya dengan pertanyaan "apakah

Page 10: TASAWUF POSITIF

(alam dan manusia) itu", "harus menjadi apakah manusia", dan bahwa "alam semesta adalah tempat tinggal yang terbaik, serta tempat pengamatan terbaik untuk mengagumi Keindahan Tertinggi."

Jelaslah bahwa ekspresi artistik kebenaran dan kebaikan dapat menjadi salah satu jalan terbaik untuk membimbing ke arah tasawuf, baik teoretis maupun praktis. Dari sudut pandang tasawuf positif, keberadaan seni yang orisinal dalam segala bidang kehidupan manusia, merupakan perwujudan lain dari dua sifat Tuhan, Mahaindah dan Mahaagung. Jika karya seni merupakan pernyataan keindahan diri manusia, maka ia juga berarti menampilkan ke-Mahaindah-an Sang Pencipta. Dan jika seni merupakan pernyataan fenomena atau watak manusia, maka ia berarti juga menampakkan wujud ke-Mahaagungan Sang Pencipta. Jadi, karena kesenian menghargai keorisinalan dan mengandung pesan-pesan kebenaran, maka — menurut pandangan tasawuf positif — seni diletakkan sebagai kegiatan yang diperlukan untuk memperkukuh hubungan manusia dengan Tuhan melalui perantaraan keindahan dan keagungan ciptaan-Nya.

Dalam tulisan ini, telah dijelaskan bahwa sedikitnya ada dua hal dalam dunia wujud yang secara amat menakjubkan dapat mempersiapkan seorang penempuh jalan sufi memulai perjalanannya menuju Sang Keindahan Mutlak. Yang pertama adalah keagungan tatanan pelik yang membangun fenomena, wujud, dan kesalingterkaitannya, yang membuat ia mendapatkan petunjuk yang menerangi jalan menuju gerbang Tuhan Yang Mahaagung.

Yang kedua adalah pengakuan akan keindahan yang mengagumkan yang tampak melalui pengamatan terhadap alam semesta dan hal-hal kecil di sekeliling kita. Keistimewaan kesadaran yang tumbuh melalui penginderaan terhadap keindahan adalah pengembangan jiwa dan kenikmatan spiritual, yang berkembang seiring dengan perjalanan estetis menuju Sang Keindahan Mutlak. Sedangkan pemahaman terhadap, keteraturan alam semesta tidak selalu disertai oleh pengembangan jiwa dan kenikmatan spiritual seperti itu. Karena perjalanan melalui jalan kebenaran menuju Tuhan Yang Mahaagung harus disertasi dengan konsentrasi jiwa. Bagaimanapun, kedua jalan itu merupakan dua jalan pendakian terbaik menuju Tuhan! Ada titik temu yang cukup penting antara kedua jalan tersebut, yaitu bahwa dalam diri kita terdapat kebenaran, seperti halnya Sang Keindahan Mutlak (tanpa mengabstraksikannya dari individu yang sebenarnya), yang dapat disesuaikan dengan keindahan-keindahan seperti bunga, musim semi, cahaya bulan, air terjun, danau, gunung, kecantikan manusia, langit biru, bintang-bintang, musik, dan lain-lain. Keindahan-keindahan seperti itu sangat banyak tetapi tidak mempunyai kesamaan dalam esensinya. Karena sifat 'bunga' tidak mempunyai konsep yang terdapat pada 'musim semi', begitu pula 'air terjun' dengan 'cahaya bulan', 'danau' dengan 'gunung', 'langit biru' dengan 'kecantikan manusia'. Namun, pada diri kita, terdapat kebenaran yang disebut dengan keindahan yang dapat memberinya satu nilai keindahan. Dengan cara yang sama, terdapat pula suatu kebenaran lain yang disebut sebagai eksistensi sistemik dan sistem umum eksistensi, yang dirasakan dalam diri, yang dapat dicocokkan dengan setiap

Page 11: TASAWUF POSITIF

aturan dan hukum yang mengatur dunia. Salah satu perbedaan penting antara keindahan dan (hukum) keteraturan adalah bahwa kita mempunyai alat lain untuk memahami keindahan di luar indera kita, seperti keadilan, rasa tanggung jawab, etika, dan lain-lain. Sementara itu, yang dapat kita persepsi secara langsung dari hukum dan keteraturan hanya dua hal: yang satu adalah sistem yang berlaku dalam eksistensi (darinya hukum diperoleh di dunia objektif), dan yang lainnya adalah kebenaran yang tetap dan universal (dirasakan dalam diri) yang dapat disesuaikan dengan semua tingkat hukum.

Dengan demikian, keindahan mempunyai empat esensi:

1) Keindahan inderawi yang berupa simbol-simbol indah dan tampak.tergambarkan dalam bentuk kesempurnaan;

2) Kebenaran menyeluruh yang dapat masuk ke dalam indera persepsi keindahan yang kita miliki;3) Keindahan yang sejati;4) Kebenaran menyeluruh tentang keindahan yang sejati.

Manusia, pertama-tama, berhubungan dengan keindahan inderawi, kemudian bergerak menuju ke kebenaran umum terhadap seluruh keindahan dan, selanjutnya, ia akan tiba pada Sang Keindahan Mutlak.

Bentuk kedua dimulai dengan perjalanan .dari keindahan sejati menuju kebenaran umum tentang seluruh keindahan sejati dan, dari sana, kembali menuju Keindahan Mutlak.

Tetapi, dalam hal hukum dan keteraturan, setelah mengukuhkan hubungan dengan sistem yang ada di dunia nyata, seseorang dapat naik menuju ke kebenaran universal tentang hukum dan keteraturan, dan dari sana langsung menuju ke pintu Yang Mahaagung.

6. Tasawuf dan Kebenaran

Dengan sebuah perbandingan sederhana, dapat dikatakan bahwa mistisisme adalah jalan, dan kebenaran adalah tujuan. Realitas besar yang dapat didefinisikan sebagai kesadaran puncak akan Kehadiran Kebenaran Tertinggi (Tuhan) tidak dapat dicapai tanpa tasawuf positif — sebagaimana halnya mistisisme yang tak dapat membimbing para pencari untuk mencapai realitas itu tak dapat disebut sebagai mistisisme yang benar. Apakah hal ini berarti sama dengan yang dikatakan beberapa pemikir, yaitu bahwa aturan-aturan kewajiban agama dan moralitas adalah pendahulu yang mesti dipenuhi oleh para pencari sebagai jalan untuk mencapai kebenaran, dan kemudian agama dan mistisisme (yaitu jalan) tak lagi diperlukan? Tampaknya, para pemikir ini tak begitu memahami arti kebenaran; karena, jika tidak, mereka akan menyadari bahwa perbuatan yang diperintahkan agama, sekecil apa pun, dipandang sebagai gelombang kebenaran yang dirasakan oleh para pencari.

Ketika seorang pencari dibangunkan dari mimpi dan keteng gelaman dalam alam, ia akan memasuki samudera kebenaran, meskipun samudera itu tak terbatas. jelas, kebenaran kebenaran yang tanpa batas mensyaratkan usaha yang tak kenal lelah. Namun, ini berbeda dengan seseorang yang menghabiskan masa hidupnya berjalan di daerah yang kering (ritual-ritual agama), sampai ia mendapat izin untuk memasuki samudera realitas.

Telah jelas bahwa Tuhan lebih dekat kepada manusia daripada urat nadinya (QS 50:16). Maka, jika seorang pencari ingin memperoleh kesadaran puncak akan Tuhan, ia akan memperolehnya tanpa berjalan mencari-cari — seperti juga Musa a.s. ketika memohon kepada Tuhan agar ia dapat mencapai-Nya, Tuhan menjawab "Niatmu sama dengan mencapai-Ku". Itulah sebabnya tasawuf positif berusaha memurnikan batin sang pencari, sehingga ia dapat mencapai niat itu. Syarat utama untuk memiliki niat tersebut adalah keterjagaan dari tidur dan

Page 12: TASAWUF POSITIF

kelalaian dari alam ini. Dan fakultas yang diperlukan untuk hal tersebut telah diberikan oleh Tuhan.

Sebagai hasilnya, ketika seseorang berjalan dengan memanfaat kan waktunya melakukan perbuatan-perbuatan agama, aktivitas-aktivitas moral, serta tugas-tugas individual dan sosial, sesungguhnya ia sedang berjalan dalam samudera Kebenaran. Pengucapan "Allahu Akbar" untuk memulai shalat adalah suatu gelombang kebenaran yang datang dari hati sang pencari. Mengurbankan diri untuk melindungi martabat dan kehormatan manusia adalah gelombang yang lain. Berkata "ya" atau "di sini aku" (labbayk) ketika memulai ibadah haji yang mulia, merawat orang sakit, dan ucapan atau tindakan apa pun, besar atau kecil, setelah keterjagaan dan niat yang suci itu, semuanya adalah gelombang-gelombang kebenaran. Inilah yang membawa sang pencari untuk menemukan kenyataan yang tersembunyi darinya.

Inilah kisah agama, jalan, dan kebenaran, yang, sayangnya, telah saling terpisah dan mengakibatkan hal-hal yang tak menguntungkan. Di antaranya:

(a) Orang-orang yang melaksanakan perintah-perintah agama tidak mampu mencapai kebenaran. Karena, sesungguhnya perintah-perintah agama untuk melaksanakan ritus-ritus tertentu itu adalah suatu cara dan bukan tujuan; sebuah cara dan jalan untuk mencapai kebenaran. Dengan menganggap ritus-ritus agama sebagai tujuan, orang-orang yang melaksanakannya tidak mendapatkan keuntungan pe ningkatan - akhlak dan tujuan sebenarnya dari perintah untuk melaksanakan ritus-ritus itu, yaitu kebenaran.

(b) Muncul pertentangan yang tak perlu antara sains dan akal — yang merupakan sarana terbaik untuk menemukan kebenaran —di satu sisi, dan ma`rifah dan cinta, di sisi lain. Dan hal ini merusakkan keduanya.

(c) Ada pula pertentangan antara materi dan makna. Pertentangan-pertentangan ini seharusnya dapat dihindari hanya melalui cara pencerapan realitas yang benar-, agar jiwa manusia dapat memelihara hubungan dengan realitas pada setiap saat.

7. Tasawuf dan Tuhan

Seperti yang telah disebutkan dalam bagian "Tasawuf, Sains, dan Akal", tasawuf positif tidak boleh menjadi tabir antara sang sufi dengan Tuhan, sebagaimana halnya sains dan akal serta keindahan-keindahan inderawi tidak boleh menjadi tabir antara pencari dengan tujuan akhirnya, yaitu perjumpaan dengan Kesempurnaan Mutlak. Kita juga telah melihat bagaimana para `arif agung menolak suatu bentuk tasawuf yang menganggap kebenaran sebagai semacam hiasan. Kita dapat melihat pernyataan Amirul Mukminin 'Ali bin Abi Thalib dalam Nabjul Balaghah: "Aku tidak pernah menyembah Tuhan yang tidak kulihat." Dalam sebuah doanya, dalam "Doa Kumayl", kita dapat membaca kalimat ini: "Ya Allah, jadikan mulutku untuk selalu menyebut-Mu, dan hatiku selalu mendambakan cinta-Mu."

jelas, jika 'Ali menginginkan ma’rifah untuk ma’rifah itu sendiri, ia tak akan mampu menyaksikan Keindahan Ilahiah, maupun menerima sinar ilahiah di dalam dirinya. Orang-orang yang dalam ekstasenya mengucapkan perkataan seperti: "Anna Al-Haqq" (Akulah Sang Kebenaran), atau "Yang ada dalam jubahku hanyalah Tuhan", atau "Puji syukur bagiku: Betapa tingginya posisiku",10 jelas mereka sedang mengalami suatu jenis perkembangan mental yang mengatasi dunia wujud, dan dalam keadaan yang luar biasa itu — alih-alih meneruskan pendakian mereka hingga kesadaran puncak akan kesempurnaan — berhenti dengan mengindividuasikan identitas jiwa mereka (yang juga berarti membatasi Kebenaran Yang Mahatinggi). Mereka meletakkan sebuah cermin di depannya dan berpikir bahwa "jiwa yang telah berkembang", yang tampak di cermin, sebagai Kesempurnaan Mutlak dan Kebenaran. Orang-orang ini baru setengah jalan — kalau mereka benar-benar telah berjalan — dan mereka gagal membedakan antara api yang sesungguhnya dengan bara api (nyala dari besi atau kayu yang terbakar).11

jika mereka memahami jiwanya dengan benar, orang pertama akan berkata: "Aku dari

Page 13: TASAWUF POSITIF

Kebenaran, untuk Kebenaran, hidup karena Kebenaran, dan menuju Kebenaran." Yang kedua akan berkata: "Apa yang ada dalam jubahku berasal dari Tuhan, hidup karena Tuhan, dan menuju Tuhan." Dan yang ketiga seharusnya berkata: "Wahai, Allah Yang Mahaterpuji, betapa kukuhnya keagungan-Mu, Engkaulah yang membuatku bermartabat, dan membuatku dari Diri-Mu, untuk-Mu, karena-Mu, dan menuju Engkau."

8. Tasawuf dan Cinta

Ada perdebatan yang sebetulnya tidak perlu tentang apakah tasawuf adalah prasyarat cinta, atau sebaliknya. Untuk menjawabnya,

pertama akan kami tunjukkan bahwa pertentangan ini sia-sia, dan baru kemudian kami akan masuk ke masalah sebenarnya. Sebagaimana halnya kata "tasawuf" dapat digunakan untuk menggambarkan dua konsep yang berbeda (yang positif dan negatif), demikian pula "cinta" dapat dipahami dalam dua arti: yang sejati dan khayali. Memperhati kan kebenaran tasawuf positif dan cinta yang sejati, dapat dikatakan bahwa karena cinta sejati selalu berada dalam puncak kesempurnaan dengan cara keindahan, dan tasawuf positif adalah pergerakan epist emologis melalui jalan yang sama, maka keduanya adalah tujuan puncak yang merupakan satu realitas: pergerakan menuju Hadirat Ilahi.

Karenanya, kedua unsur dinamis ini saling melengkapi.Demikian pula, seperti tasawuf negatif, cinta khayali menenggelamkan pecintanya ke

dalam khayalan yang merupakan baying-bayang konsep-konsep tinggi seperti "kemaujudan", "realitas", "penampakan", dan sebagainya, yang disalahartikan, dan berhenti pada gambaran-gambaran itu saja. Sementara, cinta sejati meletakkan jiwa pecintanya dalam kesadaran puncak akan kesempurnaan dalam perjalanan menuju perjumpaan dengan Tuhan.

Karena itu, perbedaan antara cinta sejati dengan tasawuf positif adalah perbedaan antara dua dimensi dari satu kebenaran yang sama.

Dimensi pertama adalah rasa rindu dan kehangatan yang disebabkan oleh Kesempurnaan Mutlak. Dimensi .-kedua adalah kegairahan akan Kesempurnaan Mutlak yang sama.

9. Tasawuf dan Agama

Akhirnya, dalam satu kalimat dapat kita katakan bahwa "agama adalah tasawuf sebagaimana dijelaskan di atas".

Apakab agama itu? Bangkit dari tanah,Untuk menjadi sadar akan dirinya, jiwa yang murni; Ketika ia sadar akan dirinya,Ia akan meluncur cepat menuju rumah Kebenaran

Hanya agamalah yang membahas lengkap empat hubungan penting, yaitu hubungan manusia dengan dirinya, dengan Tuhan, dengan dunia Wujud, dan dengan sesamanya. Agama menunjukkan jalan dan syarat-syarat bagi umat manusia untuk menyempurnakan kee mpat hubungan di atas. Mistisisme yang tidak menafsirkan hubungan-hubungan ini, atau tidak mampu menjelaskannya, dan gagal mengungkapkan jalan menuju Kebenaran, adalah mistisisme yang palsu, yang negatif.

*) Diterjemahkan oleh Yuliani Liputo dan Zainal Abidin dari M.T. ja`fari, Positive Mysticism, yang merupakan makalah yang disampaikan dalam sebuah seminar.

1. Dengan definisi ini, tasawuf positif tidak berbeda sama sekali dengan agama (madzbab), dan bukum; jalan dan realitas hanyalah merupakan bentuk-bentuk dari sate kebenaran yang ditafsirkan dan disebarkan oleh para, Rasul, orang-orang

saleh, `aril, dan sufi sejati. Bait berikut ini oleh seorang penyair dapat dianggap sebagai definisi bersama agama dan tasawuf:

Page 14: TASAWUF POSITIF

Apakab agama itu? Bangkit dari tanab,Untuk menjadi sadar akan dirinya, jiwa yang murni;

Ketika ia sadar akan dirmya, Ia akan meluncur cepat menuju rumab Kebenaran.

2. Jika diri khayali ini dapat keluar dan memasuki wilayab diri-sejati, mereka tak akan terjebak pads kontradiksi dalam perenungan, ucapan-ucapan, maupun perilakunya.

3. Imam Khomeini, Flight in The Heaven, diterbitkan oleh Organisasi Wanita Muslimah, Teheran, 1359/1980, hal. 56.

4. Al-Kulayni, Ushul Kafi, Darul Kutub Islamiah (edisi berbahasa arab), Teheran, 1374, vol. 2, hal 164.

5. Rumi, Matsnawi.6. Sebagaimana diungkapkan dalam sebuah sajak:

Jika engkau terpikat pada akal dan ilmukau akan kekurangan kearifan

Engkau mesti aku ingatkan! Jika kau meninggalkan egomu, kau akan terhindar dari bahaya Ketika engkau berada di pintu Sang Pemberi Kehidupan, Jauhiah kesombongan Jika tidak, kau akan jatuh dari surga ke kebinasaanBait pertama mengungkapkan kemungkinan sains dan akal menjadi penghalang jiwa menuju kearifan. Bait selanjutnya untuk tasawuf dalam hal yang sama.

7. Lihat catatan-kaki no. 38. Untuk membuktikan bahwa penalaran tidak dapat membuktikan penampakan fakta-fakta tasawuf menjadi mungkin,

telah dibahas bahwa penalaran itu hanya dapat digunakan untuk konsep hasflnya, bukan tentang objek yang hares dipahami itu sendiri. Sepern " halnya menjelaskan rasa made, basil terbaik hanya dapat diperoleh dengan mencicipinya sementara akal hanya memberi gambaran yang paling luar. Oleh karena itu, penalaran — betapapun kuatnya — takkan dapat menyampaikan objek real yang dipersepsi sebaik pengalaman langsung terhadap objek tersebut. jawaban atas keberatan ini segera akan kami berikan.

9. Kecuali jika ada yang berkata akal si pembicara tidak termasuk, yaitu bahwa Rumi ingin mempertanyakan kelemahan kaki rasionalis sebagai hasiI intuisi, walaupun dalam bentuk penalaran yang formal. Sama dengan seseorang yang menyatakan "segala yang kuucapkan adalah dusta", dalam hal ini prinsip dalam diskursus intelektual mengatakan bahwa setiap pernyataan si pembicara tak dapat dipercaya kecuali perkataannya di atas tidak termasuk.

10. Menurut riwayat, ucapan pertama ini dilontarkan oleh Manshur Al-Hallaj, yang kedua dan ketiga oleh Bayazid Bishtami.11. Yang dimaksudkan dengan perbandingan ini bukanlah untuk mengatakan bahwa orang-orang yang melontarkan ucapan

di atas telah mencapai suatu maqam dengan menggapai kedekatan dengan Kebenaran Tertinggi. Namun, yang kami maksudkan adalah jika mereka berjalan secara benar dan berada di bawah cahaya keagungan Tuhan, mereka pasti akan mencapai Kebenaran. Rumi berkata tentang Al-Hallaj: "Ia adalah nyala (bara), bukan api." Mereka keliru memandang nyala api sebagai api. Seorang Sufi terkenal lain, Jami', dalam Nafabat AI-Uns (hal. 150), berkata: "Orang-orang yang lebih tua berbeda pandangan tentang Al-Hallaj; sebagian besar menolaknya." Pada hal. 151, ia meriwayat kan-. "Ketika ia (Hallaj) mengetuk pintu Junayd, Junayd bertanya: 'siapa itu?' Jawaban Al-Hallaj: Sang Kebenaran. Junayd lalu berkata padanya bahwa ia bukanlah kebenaran, tapi pencari kebenaran." Lalu Junayd berseru: "Pohon mana yang akan kau rusakkan untuk menggantungmu? ! "

Sumber AL-HIKMAH No.5 Ramadhan-Dzulqa’idah 1412/Maret-Juni 1992 YAYASAN MUTHAHHARI