Akhlaq Dan Tasawuf

23
TUGAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM “AKHLAQ DAN TASAWUF” DISUSUN OLEH: 1.ASWANTO 2.ELA DANA PITA 3.IMAM SAFI’E ALFARIS 4.KURNIA LILA 5.NELIE 6.NURRASTI DEVIANI 7.RENI HARDIYANTI 8. SRI SYAFARIANI PENDIDIKAN FISIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA

Transcript of Akhlaq Dan Tasawuf

Page 1: Akhlaq Dan Tasawuf

TUGAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

“AKHLAQ DAN TASAWUF”

DISUSUN OLEH:

1.ASWANTO

2.ELA DANA PITA

3.IMAM SAFI’E ALFARIS

4.KURNIA LILA

5.NELIE

6.NURRASTI DEVIANI

7.RENI HARDIYANTI

8. SRI SYAFARIANI

PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2014

Page 2: Akhlaq Dan Tasawuf

8AKHLAQ DAN TASAWUF

1.Pengertian dan Ruang Lingkup Akhlaq

Kata akhlaq berasal dari kata khalaqa dengan akar kata khuluqan (Bahasa Arab), yang berarti: pengarai, tabi’at, dan adat; atau dari kata khalqun (Bahasa Arab), yang berarti: kejadian, buatan, atau ciptaan. Jadi secara etimologis akhlaq berarti perangai, adat, tabi’at, atau sistem perilaku yang dibuat.

Dengan demikian, secara kebahasaan akhlaq bisa baik dan bisa buruk, tergantung kepada tata nilai yang dijadikan landasan atau tolak ukur. Di indonesia, kata akhlaq selalu berkonotasi positif. Orang yang baik seringkali disebut orang berakhlak, sementara orang yang tidak berbuat baik seringkali disebut orang yang tidak berakhlak.

Adapun secara istilah, akhlaq adalah sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia di atas bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah ajaran Islam, dengan Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai sumber nilai serta ijtihad sebagai metode berpikir Islami. Pola sikap dan tindakan yang dimaksud mencakup pola-pola hubungan dengan Allah, sesama manusia (termasuk dirinya sendiri), dan dengan alam.

Dengan demikian, ruang lingkup akhlaq mencakup hal-hal sebagai berikut:1. Pola hubungan manusia dengan Allah, seperti mentauhidkan Allah dan

menghindari syirik, bertaqwa kepada-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya melalui berdo’a. Berdzikir di waktu siang dan malam, baik dalam dalam keadaan berdiri, duduk, ataupun berbaring, dan bertawakal kepada-Nya.

Ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan pola-pola ini diantaranya:“Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan

yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS Al-Ikhlash, 1-4)

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS An-Nisa, 1)

Page 3: Akhlaq Dan Tasawuf

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka”. (QS Al-Mu’minun, 60)

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”. (QS Al-Baqarah, 152)

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”. (QS Ar-Ra’d, 28)

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS Ali Imran, 159)

2. Pola hubungan manusia dengan Rasulullah saw, yaitu menegakkan sunnah Rasul, menziarahi kuburannya di Madinah, dan membacakan shalawat.

3. Pola hubungan manusia dengan dirinya sendiri, seperti menjaga kesucian diri dari sifat rakus, dan mengumbar nafsu, mengembangkan keberanian (syaja’ah) dalam menyampaikan yang hak, menyampaikan kebenaran, dan memberantas kedzaliman, mengembangkan kebijaksanaan dalam memberantas kebodohan dan jumud, bersabar tatkala mendapat musibah dan dalam kesulitan, bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah, rendah hati atau tawadhu’ dan tidak sombong, menahan diri dari melakukan larangan-larangan Allah atau iffah, menahan diri dari marah walaupun hati tetap dalam keadaan marah atau hilmun, memaafkan orang, jujur atau amanah, dan merasa cukup dengan apa-apa yang telah diperoleh dengan susah payah atau qana’ah.Ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan pola ini diantaranya:

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan

Page 4: Akhlaq Dan Tasawuf

janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya........” (QS An-Nuur, 30-31)

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. sampai kamu masuk ke dalam kubur, janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui, janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan Sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)”. (QS At-Takaatsur,1-8)

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki[994]; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa, Barangsiapa mencari yang di balik itu[995] Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas, dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya, mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya”. (QS Al-Mu’minun, 1-11)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu, dan Barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS An-Nisa, 29-30)

“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Al-Mujadalah, 11)

Page 5: Akhlaq Dan Tasawuf

“Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". “.............................Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. dan sederhanalah kamu dalam berjalandan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”. (QS Luqman, 12, 17-19).

4. Pola hubungan dengan keluarga, seperti: berbakti pada orang tua, atau birrul walidain, baik dalam tutur kata, pemberian nafkah, ataupun do’a, memberi bantuan material maupun moral kepada karib kerabat atau aati dzal qurba, (suami) memberikan nafkah kepada istri, anak, dan anggota keluarga lain, (suami) mendidik istri dan anak agar terhindar dari api neraka, dan (istri) mentaati suami. Ayat –ayat Al-Quran yang berhubungan dengan pola ini di antaranya:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;..”. (QS At-Tahrim, 6)

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa[278] dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata[279]. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (QS An-Nisa, 19).

5. Pola hubungan dengan masyarakat. Dalam konteks kepemimpinan, pola-pola hubungan yang perlu dikembangkan adalah: menegakkan keadilan, berbuat ihsan, menjunjung tinggi musyawarah, memandang kesederajatan manusia, dan membela orang-orang lemah (seperti orang miskin, orang yang tersiksa, dan orang yang tidak berpendidikan), mentaati pemimpin, dan berperan serta dalam kegiatan kepemimpinan.

Page 6: Akhlaq Dan Tasawuf

Sementara sebagai anggota masyarakat perlu menjunjung tinggi ukhuwah dalam seiman dan ukhuwah kemanusiaan, saling tolong-menolong, pemurah, dan penyantun, menepati janji, saling wasiat dalam kebenaran dan ketakwaan.

2. Akhlaq, Moral, dan Etika

Dalam sistem moralitas, baik dan buruk dijabarkan secara kronologis mulai yang paling abstrak hingga yang lebih operasional. Nilai merupakan perangkat moralitas yang paling abstrak. Nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan, dan perilaku. Contoh nilai adalah Ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan. Moral merupakan penjabaran dari nilai, tapi tidak seoperasional etika. Misalnya saja ke-36 butir P-4 disebut sebagai Moral Pancasila karena merupakan penjabaran dari nilai Pancasila. Adapun etika merupakan penjabaran dari moral dalam bentuk formula, peraturan, atau ketentuan pelaksanaan. Misalnya saja etika belajar, etika mengajar, dan etika doktor.

Dilihat dari sumber, baik nilai maupun moral dapat diambil dari wahyu ilahi taupun dari budaya. Sementara etika lebih merupakan kesepakatan masyarakat pada suatu waktu dan ditempat tertentu. Bila suatu masyarakat bercorak religius, maka etika yangdikembangkan pada masyarakat demikian tentu akan bercorak religius juga. Akan tetapi bila suatu masyarakat bercorak sekuler, maka etika yang dikembangkannya tentu saja merupakan konkritisasi dari jiwa sekuler.

Dengan demikian, moral dan etika dapat saja sama dengan akhlaq manakala sumber ataupun produk budaya sesuai dengan prinsip-prinsip akhlak. Akan tetapi moral dan etika bisa juga bertentangan dengan akhlak manakala produk budaya itu menyimpang dari fitnah agama yang suci, Islam.

2.1 Kriteria MoralApakah prinsip-prinsip moral memiliki kriteria mendasar dan pasti? Atau

apakah prinsip-prinsip itu hanya sebagai tirai untuk melindungi tujuan pribadi dan kelas sekelompok orang atau individu tertentu?

Apakah kelompok-kelompok yang kaya dan berkuasa denga tujuan untuk memeras rakyat, mengangkat masalah-masalah seperti kesabaran, kepuasan hati rakyat, menghormati hak orang lain, toleransi dan sebagainya. Sehingga mereka memanfaatkan rakyat kelas bawah untuk tujuan mereka sendiri, memaksanya untuk tunduk total, dan menumpal mulut mereka atas nama kepatuhan terhadap prinsip-prinsip moral?

Apakah rakyat yang tertindas menciptakan konsepsi-konsepsi moral seperti cinta, murah hati, adil, sederhana, dan lain-lain hanya untuk mencari kesenangan dari pihak penguasa? Atau apakah prinsip-prinsip moral telah memiliki landasan dan infra struktural yang kuat ?

Page 7: Akhlaq Dan Tasawuf

Tidak diragukan lagi bahwa sebagian ajaran moral telah dan masih terus disalahgunakan dalam berbagai bentuk dan cara. Mereka yang telah dirasuki ketamakan, terutama apabila mempunyai kekuatan kekuatan dan pengaruh, tidak akan ragu-ragu memakai segala cara untuk mencapai tujuannya. Penelitiaan ilmiah, terlepas dari kebenaran landasanny, terkadang dipergunakan untuk melakukan penindasan, tirani, menyiksa kelas buruh. Demikian pula dengan penyalahgunaan konsep-konsep moral. Seringkali kemerdekaan ditindas atas nama kemerdekaan, dan ketidakadilan diterapkan atas nama keadilan dan persamaan. Setiap hal yang baik dan bermanfaat bisa disalahgunakan. Meskipun demikian, bagaimanapun nama keadilan itu disalahgunakan tidak akan sama halnya dengan ketidakadilan itu sendiri. Keduanya tetap berbeda. Demikian juga, bagaimanapun nama kemerdekaan disalahterapkan, tetapi kemerdekaan sejati tidak akan sama dengan perbudakan.

Jadi tidak diragukan bahwa ajaran Islam telah diekploitasi untuk tujuan pribadi dan kelompok tertentu. Tetapi tidak berarti bahwa ajaran-ajaran tersebut palsu atau rancu. Sebaliknya, keadaan tersebut menuntut kewaspadaan sebagian masyarakat agar ajaran tersebut tidak rusak, dan nilai-nilainya tidak disalahgunakan.

Sesungguhnya nilai-nilai moral telah berakar dalam sifat manusia itu sendiri. Meskipun ada kecendrungan hewaniyahnya, manusia karena sifatnya ingin memiliki kualitas-kualitas tertentu untuk memelihara martabat kemanusiaannya. Seluruh eksponen prinsip-prinsip moral seperti yang sudah dirancangkan oleh para Rasul dan ahli-ahli filsafat, semuanya hanya untuk menyelematkan seluruh manusia bukan untuk keuntungan kelompok tertentu dan rusaknya kelompok lainnya.

Mereka berpendapat bahwa prinsip-prinsip moral hanya bersifat konvensional sambil menunjuk pada banyaknya perbedaan pendapat yang berkaitan dengan itu, akan bertanya jika memang prinsip-prinsip moral itu telah memiliki landasan yang tegar mengapa harus terjadi berbagai perbedaan pandangan tentang itu.

Dalam kaitan ini perbedaan pendapat tidak berarti membuktikan bahwa prinsip moral tidak memiliki landasan yang kukuh. Kita bisa melihat bahwa perbedaan pendapat selalu ada dalam sebagian besar masalah. Perbedaan pandangan sudah merupakan sifat kehidupan dan eksistensi manusia. Dan dalam kasus-kasus diatas, perbedaan pendapat sudah berlangsung selama berabad-abad. Tetapi tidak berarti bahwa dalam kasus-kasus tersebut tidak terdapat infrastruktural yang benar.

Page 8: Akhlaq Dan Tasawuf

Dalam fenomena fisik dan medis sendiri yang notabenenya bila dipersepsikan, diamati dan dieksprimenkan, selalu ada perbedaan pandangan yang melebar selama bertahun-tahun, maskipun masalah fenomena fisik dan medis sudah diatur oleh prinsip yang pasti daan tidak dapat diubah.

Lebih jauh lagi, perbedaan antara moral dan aturan pelaksanaannya jangan diabaikan. Moral berkaitan dengan dengan disiplin dan kemajuan kualitas perasaan, emosi dan kecendrungan manusia;sedangkan aturan pelaksanaannya merupakan aturan praktis tingkah laku yang tunduk pada sejumlah pertimbangan dan konvensi lainnya, meskipun kadang-kadang sesuai dengan kriteria moral. Sebagai contoh, harga diri (self-resfect), ketekunan, keberanian, kesalehan, dan sejenisnya merupakan kualitas-kualitas moral. Sejak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang sifat tersebut tetap merupakan kualitas manusia manusia yang baik. Sebaliknya, aturan konvensional tentang bagaimana makan dan berpakaian sebagian bersifat lokal dan relatif, dan tidak berkaitan dengan sistem spiritual dan moral.

Jadi, dengan demikian, berbagai kesalahan panggilan atas ajaran-ajaran moral dan berbagai pendapat yang berkaitan dengan itu tidak harus dikembangkan sebagai argumen untuk membuktikan bahwa prinsip moral tidak memiliki landasan yang kukuh. Demikian juga halnya dengan perbedaan tradisi dan aturan yang ada pada berbagai kelompok manusia.

Meskipun prinsip-prinsip moral sifatnya universal dan stabil, tetapi selalu ada fleksibilitas dalam aplikasinya. Sebagai contoh, keterusterangan dalam prinsip moral Islam yang tidak bisa dipertengkarkan lagi. Tetapi jika pada kasus tertentu keterusterangan ini bisa membahayakan kehidupan, hak milik, dan posisi seseorang, maka prinsip itu bisa diabaikan. Meskipun ada kasus-kasus kekecualian dimana seseorang menghadapi dilema moral, tidak akan menghilangkan nilai prinsip tersebut. Secara menyeluruh, berterusterang adalah kualitas moral dan spiritual yang mulia. Umumnya seseorang tidak harus menyimpang dari aturan untuk berterus terang jika tidak ada prinsip moral lain yang berlaku dalam suatu kelompok. Kita semua mengetahui bahwa shalat adalah wajib bagi kita semua. Tetapi bentuknya masih bisa dikurangi atau disederhanakan, misalnya dalam kasus ketika sedang melakukan perjalanan. Demikian juga dengan ibadah puasa. Ada situasi tertentu yang memberikan kelonggaran untuk tidak berpuasa.

Jika dalam kasus-kasus seperti ini diartikan bahwa ada relatifitas dalam prinsip moral, maka bisa dikatakan bahwa ajaran moral Islam juga bersifat realatif. Tetapi, tetap tidak berarti bahwa prinsip-prinsip moral tidak memiliki landasan yang kukuh atau hanya bersifat konvensional belaka. Nilai-nilai moral diartikan sebagai berfikir, berkata dan bertindak baik. Apakah definisi tersebut cukup memadai ?

Page 9: Akhlaq Dan Tasawuf

Dari suatu pandangan ajaran tertentu, banyak tindakan yang dianggap bermoral dan sesuai dengan apa yang diinginkan. Tetapi menurut ajaran lain justru tidak bermoral dan dibenci. Sebagai contoh ada ajaran moral yang menganjurkan orang untuk tunduk pada kekuatan orang lain, dan menganggapnya sebagai tugas moral.

Jadi, jika ada orang yang menampar pipi kananmu, berikan pipi kirimu untuk digilir. Tetapi ada ajaran lain yang mengatakan sebaliknya. Jika ada orang yang menyakitimu, periksa dulu kesalahanmu dan balaslah jik perlu. Kedua tindakan tersebut masing-masing ajaran dianggap baik. Karena itu, jika tindakan moral diartikan sebagai “tindakan yang baik”, maka definisi tersebut dengan sendirinya tidak akan jelas.

Terkadang ada yang menyatakan bahwa kesempurnaan manusia tergantung pada kualitas moral. Tetapi tetap akan timbul pertanyaan, bagaimana manusia yang sempurna itu ?

Bisakah manusia yang telah mendapatkan kekayaan dan kesenangan materi tersebut sempurna? Apakah disebut sempurna jika ia telah mendapatkan kekuatan fisik, pengetahuan, posisi sosial, atau dengan menjamin kesenangan pribadi, atau melakukan pengabdian sosial? Apakah dengan telah mendapatkan semua hal tersebut ia bisa disebut telah sempurna? Atau apakah kesempurnaan mengandung pengertian lain? Karena itulah hal terpenting yang ditelaah oleh berbagai etika adalah menentukan kriteria dan infra-struktural moral yang benar.

2.2 Bagaimana Kriteria moral yang benar itu ?Menurut pandangan Islam kriteria moral yang benar adalah yang (1) Memandang martabat manusia, dan (2) mendekatkan manusia dengan Allah.

Martabat Manusia

Rasulullah Saw. telah mengatakan bahwa ia diutus untuk menyempurnakan martabat manusia, dan derajat manusia.

Orang yang menceritakan tradisi tersebut bertanya kepada Sayidina Alik.w. tentang sifat-sifat tersebut. Sayidina Ali menjawab “alim, bersuka hati, toleran, tahu berterima kasih, sabar, murah hati, berani, mempunyai rasa harga diri, bermoral, berterus terang, dan jujur”.

Memiliki rasa harga diri (self-resfect) artinya kapan saja dia bekerja untuk kepentingannya dan untuk memenuhi kebutuhannya, dia harus memperhitungkan segala sesuatu yang sekiranya bisa memalukan dan merendahkan posisinya, seperti tidak konsisten dengan martabatnya sebagai manusia; dan mempertimbangkan segala tindakan yang akan bisa mengembangkan kematangan spiritualnya dan mengangkat posisinya agar bisa dibanggakan.

Page 10: Akhlaq Dan Tasawuf

Sebagai contoh, setiap orang sadar bahwa sifat cemburu dan iri hati hanya akan menghina dan memalukan dirinya sendiri. Orang yang mempunyai sifat iri hati tidak tahan terhadap kemajuan dan prospek orang lain. Dia tidak senang dengan prestasi-prestasi mereka. Reaksi satu-satunya adalah bagaimana caranya bisa menimbulkan bencana bagi orang lain dan mengganggu rencana-rencana mereka.

Dia tidak akan merasa puas jika orang lain tidak kehilangan nasib baiknya, dan tidak seperti dia. Setiap orang sadar akan memiliki sifat seperti itu hanya merupakan cerminan kepicikan belaka. Seseorang yang tidak menghargai keberhasilan orang lain adalah manusia yang tak berharga dan tak berkepribadian.

Sama halnya dengan sifat iri hati. Orang iri hati adalah orang begitu terpesona dengan kekayaannya sehingga dia enggan untuk menyisihkan atau membelanjakannya, bahkan bukan untuk kepentingan sendiri dan keluarganya. Dia tidak mau mendermakan kekayaan yang dimilikinya. Nampaknya orang semacam itu menjadi tawanan dari kekayaannya sendiri. Dia merendahkan martabatnya di depan matanya sendiri.

Dengan demikian kita mengetahui bahwa rasa harga diri adalah perasaan sejati manusia. Kita merasa senang jika kita memberi amal, bertindak toleran, sederhana dan bekerja tekun, dan sebagainya. Sedangkan sifat munafik, menjilat, cemburu dan sombong akan menghina diri sendiri bila kita melakukannya. Semuanya merupakan perasaan batin kita sendiri, tanpa terikat pada ajaran atau kebiasaan dan tradisi yang ada pada masyarakat tertentu. Islam mengutuk keras sifat-sifat jelek seperti itu, dan melarang keras mengembangkannya.

Beberapa sifat tertentu seperti toleran dan pengorbanan diri adalah masalah penghargaan diri dan tanda keterbukaan hati dan kebesaran jiwa. Orang yang selalu siap berkorban dan melatih kendali dirinya, dan ditandai dengan kepribadian yang baik seperti itu sehingga dia menjalani kepentingannya demi untuk kebaikan orang lain dan untuk mempertahankan tujuan yang diharapkan.

Merendahkan diri dalam pengertian menghormati orang lain dan mengakui prestasi mereka dan bukan dalam pengertian memalukan diri sendiri untuk tunduk pada kekuatan, juga merupakan sifat yang mulia dan sesuai dengan martabat manusia. Kualitas seperti ini dipunyai oleh mereka yang selalu bisa mengendalikan diri dan tidak egois (self-centered), dan dengan realistis mengakui hal-hal baik dalam diri orang lain dan menghormatinya.

Sifat-sifat mulia tersebut yang membentuk landasan karakter yang mulia, adalah bagian dari nilai-nilai moral islam yang tinggi. Kita mempunyai contoh-contoh yang tak terhitung mengenai sifat-sifat seperti itu, dan semua masalah etika mungkin diperhitungkan berkaitan dengan martabat manusia. Karena itu Nabi Besar Umat Islam dalam menyimpulkan pesan etikanya, menggambarkan sifat-sifat itu sebagai karakter manusia yang sempurna dan mulia.

Page 11: Akhlaq Dan Tasawuf

Mendekatkan Manusia dengan Allah

Hanya sifat-sifat mulia yang telah disebutkan diatas yang akan mendekatkan manusia dengan Allah. Dengan demikian manusia manusia harus memiliki dan mengembangkan sifat-sifat tersebut apabila kita akan membahas sifat-sifat Allah, dan sebaliknya. Dia Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan Maha Kompeten. Semua tindakan-Nya telah diperhitungkan baik-baik. Dia Maha Adil, Maha Pengasih, dan Penyayang. Semua merasakan karunia-Nya. Dia menyukai kebenaran dan membenci keburukan. Dan selanjutnya dan seterusnya. Manusia dekat dengan Allah sesuai dengan kualitas-kualitas yang dia miliki. Jika sifat-sifat tersebut mendarah daging dalam dirinya dan menjadi pelengkapnya, bisa dikatakan bahwa dia telah mendapatkan nilai-nilai moral Islam. Rasulullah Saw. bersabda: “Binalah diri sendiri sesuai dengan sifat-sifat Allah”.

Manusia Islam, terlepas dari keuntungan dan kerugian yang didapatkan dari tindakan dan kebiasaannya, selalu mampu untuk mengetahui apakah tindakan atau sifat tertentu akan menjaga martabat kemanusiaannya, dan apakah akan membantunya dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah. Dia menganggap bahwa yang diinginkan adalah segala tindakan yang akan mengangkat martabat manusia mendekatkan dirinya dengan Allah. Demikian pula dia akan enggan dan menghindarkan diri dari segala tindakan yang akan merusak martabat manusia dan memperlemah hubungan dengan Allah. Dia menyadari bahwa perhatiannya terhadap kedua kriteria tersebut secara otomatis akan membangkitkan gairah dan berantusias untuk berkarya dengan sadar untuk kepentingannya dan kepentingan kemanusiaan secara luas.

3. Tasawuf

3.1 Asal Usul Tasawuf

Sekurang-kurangnya ada dua situasi yang sering disebut-sebut sebagai faktor pendorong sekelompok umat Islam memasuki dunia tasawuf, yaitu gaya hidup mewah di kalangan para pemangku jabatan pasca Nabi dan Khulafaur Rasyidin di satu pihak dan sebagai reaksi atas faham Khawarij dan pertentangan-pertentangan politik yang ditimbulkannya dari pihak lain.

Fazlur Rahman (1984) mengungkapkan apa yang secara umum ditanamkan oleh Islam kepada para pengikut awal, dalam tingkatan yang berbeda-beda, adalah menanamkan perasaan bertanggung jawab di hadapan pengadilan Allah. Nabi Saw. mengangkat perilaku mereka dari alam duniawi dan kepatuhan yang mekanisme terhadap hukum kepada alam kegiatan moral. Kunci dari kesalehan ini adalah takut kepada Allah. Diantara para sahabat ada yang sangat menonjol tanggungjawab cita moralnya.

Page 12: Akhlaq Dan Tasawuf

Ini dicontohkan oleh orang-orang seperti Abu Dzar Al-Ghiffari, yang merupakan inti kesalehan Madinah Pasca Nabi Saw. Kesalehan ini menjadi menjadi fondasi tasawuf yang berkembang dengan cepat selama akhir abad ke-7 dan 8 Masehi atau 1 dan 2 Hijriyah.

Fazlur Rahman mengungkapkan lebih lanjut, bahwa kesalehan asketis ini atau hidup sebagai sufi selanjutnya memperoleh dorongan yang kuat dari dua arah: Pertama, lingkungan yang mewah dan kenikmatan duniawi yang pada umumnya merata di kalangan masyarakat Islam pasca Nabi dan Khulafaur Rasyidin, yaitu bersamaan dengan kemantapan dan konsolidasi kerajaan baru Daulat Umaiyah yang luas. Sikap hidup sekuler dan sama sekali tidak saleh dari para penguasa baru di istana merupakan faktor khusus munculnya gerakan sufisme. Akan tetapi pada tahap ini protes dari kelompok inti masyarakat yang saleh, yang kelak dikenal sebagai sufi, masih dalam satu corak. Baik ulama ataupun kelompok sufi adalah orang-orang sama dan identik, dengan variasi tingkatan dan penekanan pada kesalehan pribadi. Protes ini terutama mendesak agar para penguasa menerima, mentaati, dan memberlakukan syari’ah, bukannya malah menjadikan kehendak dan rancangan mereka sendiri sebagai hukum negara. Kaum sufi awal berharap, bahwa bila protes mereka diterima maka ruh Islam yang asli akan hidup dengan sebenar-benarnya. Kedua, sikap dan tindakan kaum Khawarij yang secara terang-terangan menyerang siapa saja penguasa politik yang tidak sepaham dengan mereka. Akibat tindakan mereka bukan hanya para penguasa yang tidak saleh saja yang mereka serang dan bunuh, malah banyak umat Islam yang saleh yang menjadi sasaran penyerangan dan pembunuhan. Contoh yang paling baik adalah syahidnya Sayidina Ali k.w. saat mengimami shalat Shubuh di kota Kufah oleh sebilah pedang kaum Khawarij. Sebagai reaksi atas kaum Khawarij ini bermunculanlah khutbah-khutbah dan pengajaran yang mengajak orang untuk berlepas tangan bukan hanya dari masalah politik, bahkan juga dari administrasi pemerintahan dan masalah-masalah umum kemasyarakatan. Lebih jauhnya lagi banyak hadist yang menganjurkan orang untuk menyepi ke dalam gua dan meninggalkan masyarakat luas.

Hampir senada dengan Fazlur Rahman, Harun Nasution (1973) mengungkapkan, bahwa aliran Zuhd (tasawuf) merupakan orang-orang yang tidak mau turut dalam hidup kemewahan dan ingin mempertahankan hidup kesederhanaan di zaman Rasul dan Sahabat-sahabatnya yang menjauhkan diri dari dunia kemewahan itu. Aliran Zuhd ini mulai nyata kelihatan di Kufah dan Basrah (Irak). Para Zahid Kufahlah yang pertama kali memakai wol kasar, sebagai reaksi terhadap pakaian sutra yang dipakai golongan Bani Umaiyah. Di Basrah, sebagai kota yang tenggelam dalam kemewahan, aliran Zuhd mengambil corak yang lebih ekstrim sehingga meningkat menjadi ajaran mistik. Dari kedua kota inilah aliran Zuhd menyebar ke kota-kota lain.

Page 13: Akhlaq Dan Tasawuf

3.2 Tasawuf dalam Al-Quran

Zuhd, Ma’rifah, dan Mahabbah sebagai Maqam Utama

Maqam adalah tingkatan-tingkatan yang harus dilalui oleh calon sufi. Zuhd merupakan maqam utama dalam dunia tasawuf. Demikian pula ma’rifah dan mahabbah, kadang-kadang disebut hal, merupakan maqam yang setarap dengan Zuhd. Ma’rifah adakalanya disebut sebagai kembar dengan mahabbah, adakalanya sebagai maqam yang terlebih dahulu, dan adakalanya juga sebagai maqam yang lebih belakangan ketimbang mahabbah.

Zuhd adalah keadaan meninggalkan dunia dan kehidupan material. Sebelum menjadi sufi seorang calon terlebih dahulu harus menjadi zahid (asketis). Dengan demikin, setiap sufi adalah zahid tetapi tidak setiap zahid adalah sufi.

3.3 Maqam-maqam ( Tangga-Tangga) Menuju Allah

Maqam-maqam atau tangga-tangga lain adalah: taubat, wara’, faqir, sabar, tawakal, dan ridha.

Taubat yang dimaksud oleh tasawuf adalah sebenar-benarnya taubat, yaitu taubat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Seorang calon sufi yang berada di maqam ini menyesali segala perbuatan dosa yang pernah dilakukannya, kemudian bertaubat dan berjanji tidak akan mengulang kembali perbuatan dosanya.

Wara’ adalah menjauhi segala perbuatan yang dilarang oleh syara’, termasuk juga menjauhi segala hal termasuk subhat (meragukan halal-haramnya).

Faqir adalah keadaan tidak meminta lebih daripada apa-apa yang telah ada pada dirinya. Tidak meminta rizki kecuali hanya untuk dapat menjalankan perintah-perintah Allah. Malah tidak meminta sungguh pun tidak ada pada dirinya. Akan tetapi bila diberi diterimanya. Tidak meminta dan tidak juga menolak pemberian.

Sabar yang dimaksud dalam taswuf adalah sabar dalam menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, juga sabar dalam menerima segala cobaan yang menimpa dirinya.

Tawakal adalah kepada qadha’ dan keputusan Allah, berawal karena Allah, bersyukur atas pemberian dari Allah, bersabar jika tidak mendapat apa-apa, dan menyerah kepada qadha’ dan qadar Allah. Seseorang yang bertawakal tidak memikirkan hari rizki untuk hari esok, ia mencukupkan diri dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau makan bila ada orang lain yang lebih berhajat kepada makanannya.

Page 14: Akhlaq Dan Tasawuf

Ridha adalah keadaan real dalam berbagai situasi: baik ataupun buruk, dan menyenangkan ataupun menyusahkan. Semuanya diterima dengan penuh kerelaan. Malah orang yang sudah mencapai maqam ridha tidak meminta surga dari Allah dan juga tidak meminta supaya dijauhkan dari api neraka.

3.4 Thareqat

Thareqat berarti jalan atau meroda, sedangkan menurut istilah tashawuf berarti jalan atau petunjuk atau perbuatan dalam melaksanakan suatu ibadat sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Rasul saw, sahabat, para tabi’in, turun temurun sampai pada guru-guru, ulama-ulama yang bersambung dan berantai sampai kini.

Di kalangan umat Islam banyak sekali jenis, macam atau aliran thareqat yang masing-masing memiliki sejarah dan cara sendiri-sendiri. Tiap-tiap aliran thareqat memiliki riwayat atau mata rantai ajaran yang dibawa oleh guru pertama. Kejelasan mata rantai (sanad) guru-guru thareqat sangat menentukan keabsahan dari suatu thareqat. Thareqat yang sah dari segi riwayatnya ini disebut thareqat mu’tabarah.

Thareqat menurut para ahli tashawuf bertujuan untuk mencari keridlaan Allah Swt. Melalui latihan jiwa (riyadlah) dan berjuang melawan hawa nafsu (mujahadah) dan membersihkan diri dari sifat yang tercela.

Dalam ajaran thareqat peranan guru sangat besar dan dominan, karena tidak dibolehkan mengamalkan thareqat tanpa bimbingan guru.

Guru yang dalam lingkup tashawuf dan thareqat disebut mursyid berperan dalam menentukan seorang murid untuk benar dan tidaknya dia mengamalkan thareqatnya. Pentingnya bimbingan dan tuntutan guru, sehingga seorang yang hendak mengamalkan thareqat diwajibkan terlebih dahulu untuk bai’it dan talqin. Bai’at adalah perjanjian bahwa ia akan menaati pemimpin (guru) mengamalkan dan mengikuti perintahnya. Sedangkan talqin adalah tuntunan guru menjalankan thareqatnya dengan bacaan-bacaan dan dzikir-dzikir tertentu sesuai dengan ajaran thareqat yang diikutinya.

Pentingnya guru dalam pengamalan thareqat disamping segi tanggung jawab keabsahan thareqat yang dijalaninya, juga karena thareqat lebih banyak olah batin, sehingga para murid biasanya mendapatkan pengalaman-pengalaman ruhaniah yang memerlukan interpretasi dan bimbingan gurunya, sehingga tidak terjadi penyimpangan. Fenomena ini oleh pengamat agama, terutama kaum orientalis Barat sering dilihat sebagai mistik, sehingga mereka menyebut thareqat atau tashawuf pada umumnya sebagai mistisisme dalam Islam.

Para pengikut (murid-murid) thareqat biasanya memperbanyak bacaan dzikir dengan cara-cara yang telah diatur secara khas oleh guru-guru mursyid masing-masing thareqat, seperti dzikir dengan suara yang keras (dzikir jahri) dan suara yang lembut (dzikir khofi)

Page 15: Akhlaq Dan Tasawuf

Sebagai suatu metode atau proses pembinaan kualitas diri, terutama dalam mengendalikan hawa nafsu, thareqat banyak sekali ragamnya. Di Indonesia sendiri tercatat sebanyak 14 jenis thareqat yang dinilai mu’tabarah. Ini pun thareqat yang resmi dan bersifat terbuka.

Perbedaan dari berbagai thareqat itu di samping membedakan nama para perintisnya, juga praktek-praktek yang mereka lakukan juga memilki perbedaan, sehingga hampir setiap aliran thareqat memiliki ciri khasnya masing-masing, baik dalam bacaan maupun gerakan, tetapi semuanya ditujukan bagi tercapainya keridlaan Allah.

Tanggapan terhadap para pengamal thareqat dari orang-orang yang tidak mengamalkannya pada umumnya adalah cara-cara yang khas yang mereka lakukan dalam berzkir, bersalawat maupun dalam dalam pergaulan pada umumnya. Baik berupa gerakan-gerakan anggota badan dan sebagainya. Kendati pun demikian selama thareqat diberi arti sebagai suatu metode yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan syariat Islam, menuju keridlaan Allah dan perwujudan pribadi muslim yang berakhlak mulia, maka thareqat tidak dapat disebut sebagai suatu penyimpangan.

Thareqat-thareqat yang dinyatakan menyimpang umumnya terjadi, karena adanya, bahwa guru tidak pernah salah, bersih, suci. Menyalahkan atau mengkafirkan pihak lain diluar jama’ahnya, serta melakukan praktek-praktek yang secara halus menyimpang dari syari’at, oleh karena itu bagi umat yang hendak mendalami thareqat seyogyanya dimulai dari penguatan dan pengokohan Aqidah, pendalaman dan pelaksanaan syari’at secara konsekuen dan konsisten. Karena sering ditemukan penyimpangan dalam thareqat sebagai akibat lemahnya pemahaman tentang aqidah dan syari’at.

Sebagai metode, thareqat tidak mungkin sesuai untuk semu orang. Ia hanya akan sesuai dengan sebagian orang, karena itu tidak layak orang yang berthareqat dengan sesuatu ajaran mengkafirkan pihak lain atau menyalahkan pihak lainnya.

Page 16: Akhlaq Dan Tasawuf