Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

36
Proceeding: The 1st Faqih Asy’ari Islamic Institute International Conference Faqih Asy’ari Islamic Institute Sumbersari Kediri, Indonesia “Moderasi Islam Aswaja untuk Perdamaian Dunia” (Volume 2, Tahun 2019) ISBN (Volume Lengkap) 978-623-91749-3-4; ISBN (Volume 2): 978-623-91749-5-8 Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur Miftakhul Arif Institut Agama Islam FaqihAsy’ari Kediri, Indonesia email: elmaarief18@gmail.com Abstract Artikel ini adalah hasil penelitian tentang nasionalisme tarekat Shiddiqiyyah yang berpusat di Losari Ploso Jombang Jawa Timur. Lingkup kajian nasionalisme meliputi doktrin cinta tanah air yang dikaitkan dengan ajaran teosofi (tasawuf) Shiddiqiyyah, hal-hal yang melatarbelakangi terbentuknya doktrin tersebut, serta bagaimana doktrin itu dikonstruksikan dalam ajaran tarekat Shiddiqiyyah sehingga melahirkan suatu komunitas dengan semangat nasionalisme tinggi, unik (unique), dan khas. Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini dengan meminjam teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger sebagai pisau analisis. Hasil riset menyimpulkan bahwa tarekat Shiddiqiyyah, di samping memberikan bimbingan spiritual, juga concern memupuk semangat nasionalisme pengikutnya melalui doktrin “hubbul wathon minal iman” (cinta tanah air bagian dari iman). Cinta tanah air menurut tarekat Shiddiqiyyah adalah realisasi syukur kepada Allah SWT. yang telah menganugerahkan kemerdekaan kepada Bangsa Indonesia. Cinta tanah air juga merupakan wujud syukur kepada ‘ibu bumi’ dan ‘bapak langit’ (tanah air), sekaligus kepada para pejuang kemerdekaan. Melalui slogan “manunggalnya jiwa keimanan dan jiwa kebangsaan”, rasa cinta tanah air itu dimanifestasikan dengan bentuk beragam, antara lain ritual sujud syukur pada setiap hari kemerdekaan Indonesia (17 Agustus dan 9 Ramadhan), puasa tiga hari pada tanggal 18-20 Agustus, serta santunan sosial seperti pendirian rumah layak huni bagi kaum duafa, menjalin solidaritas persaudaraan lintas agama, dan lain-lain. KH. Muhammad Muchtar Mu’thi adalah aktor sentral dalam Tarekat Shiddiqiyyah. Selain murshid taraket, Ia juga ideolog sekaligus organisator tarekat Shiddiqiyyah. Doktrin cinta tanah air yang ia rumuskan dipengaruhi oleh faktor genetika, edukasi, latar sosio historis masyarakat Jombang, serta pengalaman mistik mengikuti beberapa tarekat. Doktrin tersebut dikonstruksikan melalui tiga momen, eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Keywords: Understanding, Surah Al-Ikhlas, and moderate Islam

Transcript of Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

Page 1: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

Proceeding: The 1st Faqih Asy’ari Islamic Institute International Conference

Faqih Asy’ari Islamic Institute Sumbersari Kediri, Indonesia

“Moderasi Islam Aswaja untuk Perdamaian Dunia” (Volume 2, Tahun 2019)

ISBN (Volume Lengkap) 978-623-91749-3-4; ISBN (Volume 2): 978-623-91749-5-8

Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat

Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur

Miftakhul Arif

Institut Agama Islam FaqihAsy’ari Kediri, Indonesia

email: [email protected]

Abstract

Artikel ini adalah hasil penelitian tentang nasionalisme tarekat Shiddiqiyyah yang

berpusat di Losari Ploso Jombang Jawa Timur. Lingkup kajian nasionalisme

meliputi doktrin cinta tanah air yang dikaitkan dengan ajaran teosofi (tasawuf)

Shiddiqiyyah, hal-hal yang melatarbelakangi terbentuknya doktrin tersebut, serta

bagaimana doktrin itu dikonstruksikan dalam ajaran tarekat Shiddiqiyyah sehingga

melahirkan suatu komunitas dengan semangat nasionalisme tinggi, unik (unique),

dan khas. Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini dengan meminjam

teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger sebagai pisau analisis. Hasil riset

menyimpulkan bahwa tarekat Shiddiqiyyah, di samping memberikan bimbingan

spiritual, juga concern memupuk semangat nasionalisme pengikutnya melalui

doktrin “hubbul wathon minal iman” (cinta tanah air bagian dari iman). Cinta

tanah air menurut tarekat Shiddiqiyyah adalah realisasi syukur kepada Allah SWT.

yang telah menganugerahkan kemerdekaan kepada Bangsa Indonesia. Cinta tanah

air juga merupakan wujud syukur kepada ‘ibu bumi’ dan ‘bapak langit’ (tanah air),

sekaligus kepada para pejuang kemerdekaan. Melalui slogan “manunggalnya jiwa

keimanan dan jiwa kebangsaan”, rasa cinta tanah air itu dimanifestasikan dengan

bentuk beragam, antara lain ritual sujud syukur pada setiap hari kemerdekaan

Indonesia (17 Agustus dan 9 Ramadhan), puasa tiga hari pada tanggal 18-20

Agustus, serta santunan sosial seperti pendirian rumah layak huni bagi kaum duafa,

menjalin solidaritas persaudaraan lintas agama, dan lain-lain. KH. Muhammad

Muchtar Mu’thi adalah aktor sentral dalam Tarekat Shiddiqiyyah. Selain murshid

taraket, Ia juga ideolog sekaligus organisator tarekat Shiddiqiyyah. Doktrin cinta

tanah air yang ia rumuskan dipengaruhi oleh faktor genetika, edukasi, latar sosio

historis masyarakat Jombang, serta pengalaman mistik mengikuti beberapa tarekat.

Doktrin tersebut dikonstruksikan melalui tiga momen, eksternalisasi, objektivasi

dan internalisasi.

Keywords: Understanding, Surah Al-Ikhlas, and moderate Islam

Page 2: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

Miftakhul Arif | 36

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

Pendahuluan

Dewasa ini kajian tentang Islam Indonesia (Indonesian Islam) menjadi salah

satu topik hangat yang marak diperbincangkan. Di tengah maraknya aksi

radikalisme atas nama agama, Islam dikesankan oleh sebagian sarjana sebagai

agama ‘pedang’ yang melegalkan doktrin kekerasan. Dalam konteks inilah Islam

Indonesia dianggap mampu menepis anggapan-anggapan tersebut dengan

menampilkan fakta-fakta historis bahwa di Indonesia, Islam hadir sebagai penebar

kedamaian dan rahmat bagi semesta.

Salah satu ‘wajah’ Islam Indonesia yang sejuk itu diperlihatkan oleh Tarekat

Shiddiqiyah yang berpusat di Desa Losari Kecamatan Ploso, Jombang, Jawa Timur.

Secara sosiologis, keberadaan tarekat ini dianggap kontroversial, antara sah

(mu’tabar) dan tidaknya (ghair mu’tabar). Sebab, sebagai nama institusi tarekat ini

belum pernah dikenal dalam sejarah, sehingga diduga menyimpang dari aturan

shariah atau karena silsilahnya tidak meyakinkan.1 Meskipun kecurigaan itu sudah

lama ditepis oleh KH. Muchtar Mu’thi, bahkan pada tahun 1973 Kejaksaan Tinggi

Jawa Timur mengeluarkan surat nomor R-1448/1/5.1.1/1973 yang memutuskan

bahwa tarekat Shiddiqiyah tidak bertentangan dengan ajaran Islam, akan tetapi

tidak sedikit kalangan yang hingga kini menilainya sebagai tarekat ghair mu’tabar.

Terlepas dari perdebatan legalitas di atas, Tarekat Shiddiqiyah dengan

filosofi tumbuh hidup dan berkembang dengan bijaksana secara kesejarahan

memiliki peran besar, tidak hanya dalam bidang keagamaan, tapi juga sosial,

pendidikan, ekonomi dan kebangsaan. Dalam ranah kebangsaan, tarekat

Shiddiqiyyah memiliki andil dalam memperkuat nasionalisme pengikutnya. Ini

dikarenakan setiap calon murid yang akan ber-bai’at diharuskan bersedia

menjalankan ‘delapan kesanggupan’ yang salah satu poinnya adalah sanggup ‘cinta

tanah air’ dan ‘berbakti pada Negara Republik Indonesia’.2 Selain itu, tarekat

Shiddiqiyah juga mendirikan monumen-monumen kebangsaan, seperti monumen

hubbul waton minal iman di lokasi Pesantren Majma’ul Bahrain Hubbul Wathon

1 Zaenu Zuhdi, “Afiliasi Mazhab Fiqh Tarekat Shiddiqiyah di Jombang”, dalam Maraji’: Jurnal Studi

Keislaman, Vol. 1, Nomor 1, September 2014, 4. Baca pula: Van Bruinessen, Kitab Kuning,

Pesantren dan Tarekat, 244. 2 Rumusan Delapan Kesanggupan itu adalah (1) sanggup taat kepada Allah ta’ala; (2) sanggup taat

kepada Rasulullah; (3) sanggup taat kepada kedua orang tua; (4) sanggup berbakti kepada sesama

manusia; (5) sanggup berbakti kepada Negara Republik Indonesia; (6) sanggup cinta Tanah Air

Indonesia; (7) sanggup mengamalkan thoriqoh Shiddiqiyah; dan (8) sanggup menghargai waktu.

Lihat; http//www.shiddiqiyyah.org

Page 3: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

37 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

Minal Iman di Losari Ploso, Jombang Jawa Timur, sebagai simbol (syiar)

Shiddiqiyah sekaligus upaya membumikan ajaran cinta tanah air.

Dalam kaitannya dengan nasionalisme Shiddiqiyyah, Abdus Syakur dalam

kesimpulan risetnya menyatakan bahwa tarekat Shiddiqiyah memiliki peran besar

dalam menyadarkan semangat spiritualitas keagamaan masyarakat pengikutnya,

bahkan dapat membentuk semangat dan kesadaran keagamaan dan nasionalisme

bagi warganya sebagai modal menjadi manusia muslim yang baik dalam konteks

keagamaan dan kebangsaan. Nasionalisme yang dikembangkan Shiddiqiyyah

tidak hanya sebatas wacana, tapi menuju konkritisasi dari rasa cinta tanah air dan

ibu pertiwi dalam bentuk aksi-aksi sosial seperti membantu kaum duafa, yatim-

piatu dan fakir miskin.3

Temuan Abdus Syakur tentang tarekat dikaitkan dengan nasionalisme ini

cukup menarik. Hanya saja risetnya tidak dimaksudkan secara spesifik untuk

mengeksplorasi lebih jauh tentang ide-ide kebangsaan (nasionalisme) tarekat

Shiddiqiyyah sehingga menghasilkan suatu deskripsi utuh tentang ‘apa’,

‘mengapa’, dan ‘bagaimana’ sebenarnya konsep kebangsaan yang ingin

dikembangkan oleh tarekat Shiddiqiyah. Untuk itu, penelitian ini lebih bersifat

melanjutkan, melengkapi dan menyempurnakan apa yang sebelumnya sudah

dilakukan oleh Abd. Syakur, hanya saja yang menjadi fokus kajian adalah tarekat

Shiddiqiyah yang berpusat di Ploso, Jombang, Jawa Timur dikaitkan dengan

nasionalisme.

Riset ekploratif ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana ajaran tasawuf

ditransformasikan oleh tarekat Shiddiqiyah untuk menggelorakan semangat cinta

tanah air yang berujung pada sikap bela negara, hal-hal apa saja yang

melatarbelakangi kemunculan doktrin cinta tanah air tersebut, dan bagaimana

doktrin itu dikonstruksi sehingga melahirkan suatu komunitas yang memiliki

keteguhan dan komitmen kebangsaan.

Riset ini penting dilakukan, terlebih dalam konteks Indonesia hari ini yang

dihadapkan pada banyaknya ideologi transnasionalis yang agenda utamanya adalah

mewujudkan sistem pemerintahan yang ‘islami’.4 Ideologi transnasionalis

3 Abd. Syakur, “Gerakan Tarekat Shiddiqiyyah Pusat Losari, Ploso, Jombang; Studi tentang Strategi

Bertahan, Struktur Mobilisasi dan Proses Pembingkaian”, (Disertasi -- UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2008), 345. 4 Menurut As’ad Said Ali, gerakan Islam transnasional masih terus akan berkembang di masyarakat

Indonesia. Hal ini karena adanya dukungan jejaring internasional serta agresivitas penyebarannya

yang mungkin akan menggerogoti basis-basis gerakan Islam lokal (Nahdlatul Ulama dan

Page 4: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

Miftakhul Arif | 38

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

umumnya mengusung pandangan bahwa agama dan negara adalah satu kesatuan.

Ajaran Islam dipahami mencakup persoalan agama dan negara sekaligus (al-din wa

al-dawlah). Doktrin ini menekankan Islam sebagai totalitas sistem yang secara

universal bersifat kompatibel sehingga harus dilaksanakan di segala waktu dan

tempat.5 Jika agama di tangan gerakan Islam transnasionalis seolah tidak mampu

berkompromi dengan realitas Indonesia yang majemuk dalam bingkai negara

Pancasila, maka kajian tentang tarekat Shiddiqiyyah memiliki asumsi bahwa agama

(Islam) dalam pembacaan kaum sufi adalah sumber harmoni yang mampu merajut

kebhinekaan untuk tidak saling dipertentangkan, tapi menyadari bahwa

keberadaannya adalah sunnatullah yang harus dijaga.

Pembahasan

Sketsa Historis Tarekat Shiddiqiyah

Tarekat Shiddiqiyyah pertama kali dikenalkan oleh seorang tokoh bernama

KH. Muhammad Muchtar bin Abdul Mu’thi di Ploso, Jombang Jawa Timur.

Beberapa peneliti menyebut bahwa Muhammad Muchtar bin Abdul Mu’thi adalah

pendiri tarekat ini, namun Kyai Muchtar --panggilan akrab KH. Muhammad

Muchtar bin Abdul Mu’thi-- dan para pengikutnya justeru keberatan jika Kyai

Muchtar disebut sebagai pendiri tarekat Shiddiqiyyah. Penyebutan Kyai Muchtar

sebagai pendiri tarekat Shiddiqiyyah menurut pengikutnya mengesankan bahwa

tarekat tersebut adalah tarekat baru yang tidak pernah ada sebelumnya, atau dengan

ungkapan lain tarekat tersebut tidak memiliki asal-usul yang jelas sebagaimana

diungkap Zamakhsari Dhofier.6

Kyai Muchtar lahir pada 14 Oktober 1928 M di Losari, Ploso, Jombang. Ia

adalah putra keenam dari pasangan H. Abdul Mu’thi dan Nasichah. Ayahnya, H.

Abd. Mu’thi, adalah putra dari Kyai Syuhada’, salah seorang pelarian tentara

Muhammadiyah) yang selama ini dikenal menjadi benteng keutuhan NKRI. Sesama jaringan Islam

internasional di Indonesia agaknya terlibat ketegangan yang kuat. Jamaah Ikhwan, misalnya, tidak

pernah bertemu dengan Hizbut Tahrir, sedangkan Salafi mengecam gerakan Ikhwan, Hizbut Tahrir,

dan Jamaah Tabligh, dengan gencar. Meskipun berlangsung persaingan serius, semuanya (kecuali

Salafi Dakwah dan Jamaah Tabligh) dipertemukan oleh satu agenda, yakni terwujudnya pemerintahan

Islam. Di antara gerakan Islam transnasionalis yang ada tersebut, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)

adalah yang menunjukkan perkembangan paling signifikan. Agenda mereka sangat jelas, yakni

mendirikan negara dengan sistem Khilafah, sebuah sistem pemerintahan global di bawah kekuasaan

seorang khalifah. As’ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009), 306., Ahmad Syafii Mufid (ed.), Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional

di Indonesia, (Jakarta: Litbang Kementrian Agama RI, 2011), 4. 5 Biyanto, “Nasionalisme Versus Transnasionalisme”, dalam Koran Sindo (online), edisi Selasa, 24

Mei 2016. 6 Lihat; Dhofier, Tradisi Pesantren, 221.

Page 5: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

39 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

Pangeran Diponegoro yang dikenal alim. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang

berjasa dalam membuka daerah Ploso yang dulunya berupa rawa dan hutan

belantara hingga menjadi pemukiman warga. H. Abd. Mu’thi sendiri dikenal

sebagai pengusaha tembakau sukses. Selain itu, ia juga dikenal sebagai salah satu

tokoh penting PSII yang didirikan oleh H.O.S. Cokroaminoto. Karena

kepiawaiannya, H. Abd. Mu’thi pernah ditunjuk sebagai juru debat dan kampanye.

Melalui PSII, H. Abd. Mu’thi menyerukan pentingnya kemandirian kepada

masyarakat Indonesia. Di dalam tubuh partai, H. Abd. Mu’thi mendapat posisi

penting, karenanya tidak jarang ia bertemu dengan H.O.S. Cokroaminoto dalam

berbagai forum.7 H. Abd. Mu’thi juga dikenal dekat dengan Raden Soekani, ayah

dari Ir. Soekarno presiden RI pertama, saat ia tinggal di Ploso untuk menjalankan

tugas mengajar. Dari H. Abd. Mu’thi, Raden Soekeni belajar banyak hal tentang

pertanian serta sosio-kultural masyarakat Jombang. Beberapa sumber juga

menyebutkan bahwa masa kecil Bung Karno dihabiskan di Ploso, dan Bung Karno

sendiri juga pernah nyantri di Pondok Pesantren Kedungturi, asuhan Kyai Syuhada’

yang tidak lain adalah kakek dari Kyai Muchtar.8

Ajaran Tarekat Shiddiqiyyah diperoleh Kyai Muchtar dari Kyai Syuaib

Jamali, salah seorang ulama Banten. Pertemuan pertama kali antara Kyai Muchtar

dengan Kyai Syuaib Jamali berlangsung di masjid Agung Banten sekitar tahun

1952-an. Kemudian dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan berikutnya di daerah

Kaseman Banten dan daerah-daerah yang lain. Di daerah Kaseman inilah Kyai

Muchtar pertama kali dibaiat oleh Kyai Syuaib masuk ke dalam tarekat

Khalwatiyah. Tarekat inilah yang selanjutnya menjelma menjadi tarekat

Shiddiqiyyah yang berpusat di Losari, Ploso Jombang.

Bersama dengan hampir 40 orang temannya dari berbagai daerah, Kyai

Muchtar secara tekun menimba ilmu tarekat kepada Kyai Syuaib. Dari hampir 40

orang tersebut hanya sekitar 7 orang yang mampu meneruskan ajaran Kyai Syuaib,

satu di antaranya adalah Kyai Muchtar. Selanjutnya dari tujuh murid, hanya Kyai

Muchtar yang meneruskan perjuangan Kyai Syuaib menyebarkan tarekat

Khalwatiyah ke masyarakat, sebab enam temannya yang lain mengikuti jejak sang

guru mengembara ke Timur Tengah.

7 A. Munjih Nasih, Sepenggal Perjalanan Hidup Sang MurshidKyai Haji Muchammad Muchtar Bin

Haji Abdul Mu’thi (Jombang: Al-Kautsar Dhibra, Cet. 2, 2016), 13-14. 8 Dian Sukarno, Trilogi Spiritualitas Bung Karno (Jombang: CV. Al-Kautsar Dhibra, 2013), 232.

Page 6: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

Miftakhul Arif | 40

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

Kyai Syuaib adalah keturunan dari Syekh Yusuf Tajul Kholai dari Makasar.

Sementara itu Syekh Yusuf adalah menantu dari Sultan Agung Tirtayasa dari

Banten. Dalam sejarahnya, Syekh Yusuf pernah diasingkan Belanda ke Ceylon

(Srilanka) selama 10 tahun sebelum dipindah ke Afrika Selatan (Cape Town)

selama 5 tahun, hingga ia menghembuskan nafas terakhirnya di sana. Karena jasa-

jasanya, pemerintah Afrika menganugerahkan gelar ‘Bapak Afrika’ kepada Syekh

Yusuf, dan setelah itu pemerintah Indonesia memindahkan makamnya dari Afrika

ke Goa Makasar, tanah kelahiran Syekh Yusuf.

Pada mulanya nama tarekat yang diajarkan Kyai Syuaib kepada Kyai

Muchtar adalah tarekat Khalwatiyah. Namun, menurut Syekh Syuaib nama tarekat

Khalwatiyah yang ia ajarkan sesungguhnya bukanlah nama tarekat yang

sebenarnya. Sebab nama aslinya adalah Shiddiqiyah.9 Oleh karena itu, Kyai Syuaib

mengamanatkan kepada Kyai Muchtar kelak di kemudian hari apabila telah

memiliki kekuatan dan kemampuan agar mengembalikan nama tarekat

Kholwatiyah menjadi tarekat Shiddiqiyah. Terkait dengan permintaan untuk

melakukan perubahan nama tarekat tersebut, Kyai Syuaib tidak memberikan

penjelasan panjang lebar mengenai alasan-alasan perubahan itu. Kyai Syuaib hanya

meminta kepada Kyai Muchtar untuk menelaah kitab Tanwirul Qulub fi

Mu’amalati ‘Allamil Ghuyub yang disusun oleh Syeikh Najmuddin Amin al-Kurdi

(w. 1913), seorang ulama pengikut tarekat Naqsyabandiyah.10

9 Menurut catatan Abu Bakar Atjeh, Tarekat Khalwatiyah merupakan suatu cabang dari akidah

Suhrawardiayah yang didirikan di Baghdad oleh Abdul Qadir Suhrawardi (w. 1167 M), dan oleh

Umar Suhrawardi (w. 1234 M) tarekat ini seringkali disebutnya sebagai golongan Shiddiqiyah karena

mereka menganggap dirinya berasal dari keturunan Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq. Jika melihat

pernyataan Abu Bakar Atjeh ini, klaim bahwa tarekat Shiddiqiyah adalah tarekat yang tidak jelas asal-

usulnya seperti dikatakan Zamakhsari Dhofier tidak sepenuhnya benar. Terlebih jika dikaitkan dengan

Syeikh Yusuf Makasar yang menurut catatan Van Bruinessen pernah singgah di Banten, kota di mana

Kyai Syuaib Jamali, guru spiritual Kyai Muchtar, hidup. Meski belum ada data representatif yang

menyatakan bahwa Kyai Syuaib Jamali adalah pelanjut spiritualitas Syeikh Yusuf Makasar, namun

pertemuan antara keduanya sangat dimungkinkan. Selain itu, ajaran Ilmu Haqq Tujuh Layar Pati

Shiddiqiyah nampaknya juga masih ada keterkaitan dengan ajaran tujuh gelombang (martabah tujuh) jiwa manusia milik tarekat Khalwatiyah, yaitu: nafsul ammarah, nafsul lawwamah, nafsul mulhamah,

nafsul muthmainnah, nafsul rodhiyah, nafsul mardhiyah, dan nafsul kamilah. Lihat; Abu Bakar Atjeh,

Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian tentang Mistik, (Jakarta: FA.H.M Tawi & Son, 1966), 324, 328. 10 Nasih, Sepenggal Perjalanan Hidup Sang Mursyid, 154. Selain kitab Tanwirul Qulub, pengikut

tarekat Shiddiqiyah menyebutkan beberapa kitab tasawuf lainnya untuk memberikan justifikasi

keabsahan tarekat Shiddiqiyah. Kitab tersebut antara lain: al-Barzanji karya Syeikh Ja’far al-Barzanji,

Fathul ‘Arifin karya Syeikh Ahmad Khotib As-Sambasi al-Makki, Syarah Hikam karya Syeikh

Muhammad bin Ibrahim, Jami’ al-Usul fil Auliya’, al-Insan al-Kamil karya Syeikh Abdul Karim al-

Jailani, Khozinatul Asror karya Syeikh Muhammad Haqqin Nazili, Ensiklopedia Islam Indonesia

yang disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah dan terbit pada tahun 1992, Hakikat

Thoriqoh Naqsyabandiyah karya H.A. Fuad Said, Risalah Mubarokah karya Kyai Muhammad

Page 7: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

41 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa tarekat Shiddiqiyah adalah tarekat

yang dinisbatkan pada sahabat senior Nabi, Abu Bakar al-Shiddiq radhiyallahu

‘anhu, dengan wasilah Syeikh Thaifur bin Isa, atau yang lebih dikenal dengan

sebutan Abu Yazid al-Busthami (w. 874 M). Syeikh Thoifur bin Isa Abi Yazid al-

Busthami memiliki nama kecil Thaifur, ayahnya bernama Isa. Setelah dikaruniai

seorang putra bernama Yazid, ia kemudian lebih dikenal dengan nama Abu Yazid,

adapun al-Busthami sendiri adalah nisbah pada daerah kelahirannya Bistami.

Pada masa pertengahan tahun 874 M, tarekat Shiddiqiyah mengalami

kejayaan di dua negara besar, yaitu Persia dan Irak. Pusat dan pengembangan

Shiddiqiyah di Persia berada di kampung al-Busthami atau Bistami,Qumis, di

daerah tenggara laut Kaspia, Iran. Kampung Bistam terus berkembang menjadi

sebuah kota besar berada di Kabupaten Bistam Provinsi Shahrud, wilayah Semnan

Iran. Selain di Persia, tarekat Shiddiqiyah juga berkembang pesat di negeri Irbil

Iran. Berikut adalah silsilah tarekat Shiddiqiyah dari jalur seorang sahabat bernama

Salman al-Farisi sampai pada Syeikh Amin al-Kurdi, pengarang kitab Tanwirul

Qulub, sebagai dasar klaim pengikut Shiddiqiyah atas keabsahan tarekat yang

mereka ikuti:

1. Allah ta'ala

2. Malaikat Jibril 'alaihis salam

3. Muhammad Rosulullah sallallah ‘alayh wasallam

4. Abu Bakar al-Shiddiq

5. Salman al-Farisi

6. Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar al-Shiddiq

7. Imam Ja'far Shodiq (Silsilah ini dinamakan Thoriqoh Shiddiqiyyah)

8. Syaikh Abi Yazid Thaifur bin Isa bin Adam bin Sarusyan al-

Busthomi

9. Syaikh Abil Hasan Ali bin Abi Ja'far Al Kharqani

10. Syaikh Abi Ali al-Fadlol bin Muhammad al-Thusi al-Farmadi

11. Syaikh Abi Ya'qub Yusuf al-Hamdani ( Tarekat al-Thoifuriyyah).

12. Syaikh Abdul Khaliq Al-Ghajduwani Ibn al-Imam Abdul Jalil

13. Syaikh 'Arif Arriwikari

14. Syaikh Mahmud al-Anjari Faghnawi

15. Syaikh Ali al-Rumaitani al-Mansyur Bil'Azizaani.

Hambali Sumardi al-Qudsi, dan Pengantar Ilmu Thoriqoh karya H. Abu Bakar Aceh. Selengkapnya

lihat; Majalah Al-Kautsar; Jendela Shiddiqiyah, Edisi 119 (15 Rajab1437 H/23 April 2016), 18-21.

Page 8: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

Miftakhul Arif | 42

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

16. Syaikh Muhammad Baabas Samaasi

17. Syaikh Amir Kullaali Ibnu Sayyid Hamzah ( Tarekat al-

Khuwajikaniyyah).

18. Syaikh Muhammad Baha'uddin al-Naqsyabandi bin Muhammad bin

Muhammad Syarif al-Husain al-Ausi al-Bukhari.

19. Syaikh Muhammad bin 'Alaaiddin al-Athari

20. Syaikh Ya'qub Al Jarkhi (Tarekat al-Naqsyabandiyyah)

21. Syaikh Nashiruddin Ubaidillah al-Ahrar al-Samarqandi bin Mahmud

bin Syihabuddin

22. Syaikh Muhammad Azzaahid

23. Syaikh Darwis Muhammad al-Samarqandi.

24. Syaikh Muhammad al-Khowajaki al-Amkani al-Samarqandi.

25. Syaikh Muhammad al-Baaqi Billah (Tarekat Ahrariyyah)

26. Syaikh Ahmad al-Faruqi al-Sirhindi.

27. Syaikh Muhammad Ma'shum

28. Syaikh Muhammad Syaifuddin.

29. Syaikh Muhammad Nurul Badwani

30. Syaikh Habibulloh Janijanaani Munthahir.

31. Syaikh Abdillah Addahlawi ( Tarekat Mujaddadiyyah)

32. Syaikh Khalid Dliyaa'uddin

33. Syaikh Utsman Sirojul Millah

34. Syaikh Umar al-Qathbul Irsyad

35. Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbil (penulis kitab Tanwirul

Qulub)11

Kyai Muchtar sendiri mendapatkan ijazah (kewenangan mengamalkan)

Tarekat Shiddiqiyyah dari jalur lain, yaitu dari jalur silsilah sahabat Nabi bernama

Sayyidina Ali yang bersambung hingga guru spiritual Kyai Muchtar, yaitu Kyai

Syueib Jamali.12 Hanya saja, penulis hingga kini belum mendapatkan cukup data

yang menjelaskan secara detail silsilah tarekat Shiddiqiyyah yang diperoleh Kyai

Muchtar dari jalur Kyai Syueib hingga bersambung pada Sayyidina Ali tersebut.

Tarekat Shiddiqiyyah mulai tenggelam dan lenyap di telan waktu setelah

wafatnya Syeikh Abu Yazid al-Busthami pada tahun 874 M. Baru pada tahun 1958

M, menurut klaim pengikut Shiddiqiyah, tarekat tersebut muncul dan dihidupkan

kembali oleh Kyai Muchtar, atas pesan dari guru spiritualnya, Kyai Syueib Jamali.

Di awal perjalanan Kyai Muchtar mendakwahkan tarekat yang ia ajarkan, nama

11 http://www.shiddiqiyyah.org/ (diakses pada 24 Mei 2016) 12 Ibid.

Page 9: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

43 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

tarekat yang digunakannya mengalami beberapa kali perubahan, yaitu Ilmu Haq

Layar Tujuh Pati (1960), Ilmu Haq Shiddiqiyah (1963), Tarekat Khalwatiyah

Shiddiqiyah (1967), dan baru pada 4 April 1972 memakai nama Tarekat

Shiddiqiyah.13

Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah

Tarekat Shiddiqiyah merupakan tarekat unik, berbeda dengan tarekat pada

umumnya. Salah satu keunikan Tarekat Shiddiqiyah terletak pada doktrin yang

diajarkan. Bila tarekat pada umumnya lebih berorientasi pada bimbingan spiritual

(olah jiwa) melalui metode zikir dengan kekhasan masing-masing, maka tarekat

Shiddiqiyah bukan hanya mengajarkan olah jiwa, tapi juga mengintegrasikannya

dengan doktrin kemanusiaan dan kebangsaan. Hal ini terlihat dari syarat yang harus

dipenuhi oleh calon murid Shiddiqiyah, yaitu kesediaan untuk menjalankan doktrin

‘delapan kesanggupan’ yang di antara poinnya adalah ‘sanggup cinta tanah air’ dan

‘berbakti kepada Negara Republik Indonesia’. Cinta tanah air dan berbakti kepada

Negara Kesatuan Republik Indonesia inilah yang menjadi ruh ajaran kebangsaan

(nasionalisme) Shiddiqiyyah.

Sebagai bagian dari ajaran pokok tarekat, semangat nasionalisme yang

terpancar dari ajaran cinta tanah air bisa dilihat dari konsep teosofi Shiddiqiyyah

yang terumuskan dalam delapan kesanggupan, yaitu:

1. Sanggup bakti kepada Allah swt;

2. Sanggup bakti kepada Rasulullah;

3. Sanggup bakti kepada kedua orang tua;

4. Sanggup bakti kepada sesama manusia;

5. Sanggup bakti kepada Negara Republik Indonesia;

6. Sanggup cinta tanah air Indonesia;

7. Sanggup mengamalkan Thoriqoh Shiddiqiyyah;

8. Sanggup menghargai waktu.

Selain delapan kesanggupan tersebut, semangat cinta tanah air warga

Shiddiqiyyah juga tampak dari berbagai simbol, aktifitas serta buku-buku yang

ditulis, baik oleh murshid Shiddiqiyyah sendiri, ataupun murid-murid Shiddiqiyyah

yang mengembangkan pemikiran sang murshid. Di kawasan Pesantren Majmaul

Bahrain Hubbul Wathon Minal Iman yang berlokasi di Desa Losari, Ploso Jombang,

13 Liputan “Edisi Khusus Hari Shddiqiyah ke-26” yang dimuat dalam Majalah Al-Kautsar Jendela

Shiddiqiyah, Edisi 119 (15 Rajab 1437/23 April 2016), 8-9.

Page 10: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

Miftakhul Arif | 44

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

misalnya, terdapat banyak monumen-monumen simbolik yang menggambarkan

pentingnya cinta tanah air. Monumen-monumen tersebut dibangun dengan arsitektur

yang indah dan memiliki kekhasan tersendiri. Monumen-monumen itu bertuliskan

ungkapan nasionalis seperti hubbul wathon minal iman (cinta tanah air bagian dari

iman), law la hubbul wathon la kharaba al-bilad (seandainya bukan karena cinta

tanah air, niscaya negara akan hancur), dan ungkapan semisal lainnya.

Di samping melaui monumen simbolik, semangat cinta tanah air juga terlihat

dari aktifitas pendidikan seperti dimasukkannya pelajaran Cinta Tanah Air (CTA)

sebagai salah satu pelajaran wajib bagi peserta didik Tarbiyah Hifdzul Ghulam wal

Banat (THGB) mulai tingkat SD hingga SMA, dan juga bagi mahasiswa

Shiddiqiyyah yang belajar di Perguruan Tinggi Maqoshidul Qur’an. Kurikulum yang

dikembangkan di lembaga pendidikan Shiddiqiyah dirancang secara khusus untuk

membentuk manusia yang sadar beragama dan bernegara.14 Selain dalam pendidikan

formal, seruan cinta tanah air itu juga dapat ditemukan dalam berbagai pengajian

yang digelar rutin, khususnya dalam momen hari besar nasional.

Karya-karya yang ditulis oleh murshid Shiddiqiyah, KH. M. Muchtar Mu’thi,

baik dalam bentuk buku ataupun risalah singkat, juga menunjukkan betapa cinta

tanah air adalah salah satu doktrin utama dalam tarekat Shiddiqiyyah. Beberapa

karya tersebut misalnya:

1. Apa Perlunya Bangsa Indonesia Wajib Mengamalkan Pancasila; buku ini berisi

penjelasan tentang fungsi pokok Pancasila sebagai Dasar Negara Republik

Indonesia yang diterangkan dalam pembukaan UUD 1945, alinea 4. Juga

tentang hak dan kewajiban kita sebagai warga negara RI, di antaranya ikut serta

dalam usaha bela negara serta cara-cara melakukan bela negara.

2. Mengapa Kemerdekaan Rakyat Indonesia Diprokamirkan Tanggal 17,

Mengapa Tidak Tanggal 15 Atau Tanggal 16 ?; menjelaskan tentang mengapa

memilih tanggal 17, keramatnya angka 17, serta makna di balik angka 17.

3. Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan Bangsa Indonesia (Jilid I-V); berisi uraian

filosofis, normatif, dan historis tentang kemerdekaan Indonesia.

4. Hubbul Wathon (Jilid I-V); merupakan buku pegangan wajib mata pelajaran

Cinta Tanah Air (CTA) bagi peserta didik THGB. Buku tersebut mengungkap

banyak hal tentang Indonesia dari berbagai aspeknya (historis, geografis,

budaya, dan simbol-simbol negara) serta kewajiban cinta tanah air dan alasan-

alasan normatif-filosofis yang mendasarinya.

14 Radar Jombang, Edisi Kamis 29 September 2016, 36.

Page 11: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

45 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

5. Ma’rifatullah (Jilid I-II); mengulas cara mengenal Allah (ma’rifatullah) melalui

cara yang tidak umum dilakukan, yaitu menggunakan pendekatan UUD 1945.15

Momentum menjelang Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 2016 lalu

juga semakin meneguhkan bahwa tarekat Shiddiqiyyah merupakan tarekat nasionalis

yang mengajarkan tasawuf kebangsaan, sebuah corak tasawuf yang tidak hanya

berorientasi keagamaan, tapi juga kebangsaan. Pada momen bersejarah tersebut,

murshid tarekat menyerukan agar bangsa Indonesia khususnya murid Shiddiqiyyah

melakukan Sumpah Jati Diri Bangsa. Latar belakang sumpah tersebut dapat dilihat

dari sejarah bagaimana kondisi bangsa Indonesia, dulu dan sekarang. Negara

Indonesia berdiri setelah melalui rangkaian proses perjuangan yang sangat panjang.

Untuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, para pendiri negara ini

meletakkan nilai-nilai dasar untuk menopang jalannya kehidupan bernegara ke

depan. Nilai-nilai dasar itu diambil dari dalam kehidupan bangsa Indonesia sendiri

kemudian ditetapkan sebagai acuan. Nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,

musyawarah, dan keadilan sudah ada dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak lama.

Nilai itu lalu dikemas dalam istilah Pancasila dan kemudian ditetapkan sebagai dasar

negara. Untuk melengkapi, nilai-nilai yang mengatur tata laksana bernegara pun

dibuat dan ditetapkan dalam UUD 1945. Dengan bekal Pancasila dan UUD 1945 itu

sebenarnya para pendiri bangsa percaya bahwa Indonesia bisa maju di tengah

persaingan dunia global.

Situasi yang diimpikan para pendiri bangsa itu saat ini tidak kunjung sampai

pada kenyataan. Bahkan perkembangan yang ada menunjukkan kecenderungan yang

sebaliknya. Kedaulatan bangsa secara perlahan mulai rapuh akibat egoisme sebagian

elit yang memiliki mental korup, memanfaatkan jabatan yang ia miliki untuk

memperkaya diri sendiri atau kelompoknya. Di samping itu, kedaulatan bangsa juga

semakin rapuh akibat keserakahan kaum pemodal yang terus menerus memperkaya

diri sendiri tanpa menghiraukan kondisi masyarakat pada umumnya yang terus

mengalami pemiskinan. Mereka telah kehilangan nasionalismenya sehingga tidak

peduli lagi dengan nasib bangsanya sendiri. Jika jiwa ini dibiarkan maka bangsa

Indonesia tidak akan menjadi negara maju. Dalam konteks inilah, sumpah kembali

pada jati diri bangsa seperti dirumuskan dalam Pancasila dan pembukaan UUD 1945

menurut murshid Shiddiqiyah wajib dibangkitkan kembali.16

15 “Delapan Syarat Masuk Thoriqoh”, dalam Majalah Al-Kautsar, Edisi 124 (18 September 2016),

22-23. 16 Majalah Al-Kautsar, Edisi 125 (17 Oktober 2016), 3.

Page 12: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

Miftakhul Arif | 46

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

Semua fakta di atas merujuk pada satu kesimpulan bahwa tarekat Shiddiqiyyah

bukan sekedar kumpulan orang yang semata-mata mengejar kebahagiaan spiritual,

tapi juga sebuah komunitas yang memiliki kepekaan terhadap kondisi bangsa melalui

penguatan ideologi kebangsaan demi keutuhan NKRI. Konsep hubbul wathon minal

iman (cinta tanah air bagian dari iman) menjadi doktrin kunci dalam memahami

konsep kebangsaan yang ditawarkan oleh Tarekat Shiddiqiyyah. Untuk itu

pembahasan berikutnya akan difokuskan pada uraian-uraian tentang makna hubbul

waton minal iman, baik dari aspek teoritisnya, ataupun praksisnya dalam kehidupan

sehari-hari.

Konsep Dasar Cinta Tanah Air

Hubbul Wathon adalah salah satu karya murshid tarekat Shiddiqiyah yang

diadopsi sebagai buku wajib bagi peserta didik Tarbiyah Hifdzil Ghulam Wal Banat

(THGB). Buku tersebut memuat pokok-pokok pikiran sang murshid tentang cinta

tanah air. Peneliti sempat membaca sekilas isi dari kitab tersebut, hanya saja belum

diperkenankan mengkopi karena suatu alasan. Meski demikian, beberapa pokok

pikiran yang terdapat dalam buku itu telah terekam dalam buku-buku Shiddiqiyah

lainnya, salah satunya berjudul “17 Agustus 1945 Bukan Kemerdekaan Republik

Indonesia” yang ditulis oleh Organisasi Ikhwan V.

Salah satu bab dari buku tersebut mengupas cinta tanah air dengan ulasan

menarik. Sejumlah konsep cinta dari berbagai agama ditampilkan untuk menemukan

titik temu obyektifitas makna cinta yang sesungguhnya dari berbagai perspektif

agama yang diakui di Indonesia (Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghuchu). Hal

ini menunjukkan inklusifitas tarekat Shiddiqiyah dalam menyikapi kebhinekaan

yang ada di Indonesia.

Cinta adalah sebuah aksi atau kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap

obyek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, kasih sayang, membantu,

menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan

obyek tersebut. 17 Cinta merupakan rasa gaib, ia ada namun tidak bisa dijangkau oleh

indera. Ia hanya bisa dikenali dan dilihat melalui gejala-gejalanya. Bila seseorang

mencintai sesuatu, maka gejala yang bisa diketahui adalah:

1. Sesuatu yang dicintai itu selalu menyertai dalam pembicaraannya. Artinya yang

selalu dibicarakan adalah sesuatu yang dicintainya itu.

2. Yang banyak dipikirkan adalah sesuatu yang dicintainya.

3. Yang selalu di dalam hatinya adalah sesuatu yang dicintainya.

17 Ikhwan V, 17 Agustus 1945 Bukan Kemerdekaan Republik Indonesia (Semarang: Fatawa

Publishing, 2015), 118.

Page 13: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

47 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

4. Sesuatu yang dicintainya itu akan dirawat dengan baik dijaga ketat, dibela

dengan sungguh-sungguh.

Menurut komunitas Shiddiqiyyah, untuk sampai pada cinta yang hakiki

terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui. Mengutip Imam al-Gazali, mereka

berkata, “rasa cinta itu pasti diawali dengan rasa kecondongan dulu, dari

kecondongan kemudian cocok, bila menemukan kecocokan timbullah rasa cinta”.

Maka secara rinci cinta itu melalui tahapan-tahapan: (1) mengetahui; (2) mengenali;

(3) memiliki kecondongan; (4) timbul kecocokan; dan (5) timbul rasa cinta.18

Dalam kaitannya dengan usaha menumbuhkan cinta tanah air Indonesia,

seseorang harus mengetahui, mengenal dan mengerti bangsa Indonesia itu sendiri. Ia

harus mengenal baik kekayaan alam, serta budayanya. Ia juga harus mengenal nilai-

nilai luhur yang terkandung di dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, bendera

bangsa Indonesia, lambang burung Garuda Pancasila, serta mengenal seluruh isi

yang terkandung pada bangsa Indonesia.19 Tanpa mengetahui, mengenal, dan

mengerti hal-hal di atas, seseorang tidak akan sampai pada cinta tanah air dalam arti

yang sebenarnya. Hanya saja tidak ada ulasan detail yang menjelaskan letak

perbedaan mendasar antara mengetahui, mengenali, mengerti, serta tahapan-tahapan

cinta yang lain.

Untuk meyakinkan orang lain tentang pentingnya cinta tanah air, komunitas

Shiddiqiyyah mengajukan suatu argumen normatif-filosofis. Beberapa ayat dan

hadis yang berkaitan dengan cinta tanah air dikutip, lalu diuraikan secara filosofis.

Dalam mendasarkan pentingnya cinta tanah air, mereka berpedoman pada QS.

Luqman [31]: 14 yang artinya “dan kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat

baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan

lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun.

Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku

kembalimu”.20

Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap manusia diperintahkan untuk (1)

bersyukur kepada Allah dan kepada ibu bapak; (2) berbuat baik kepada ibu bapak.

18 Ibid., 122-123. 19 Ibid., 129. Hubbul Wathon, buku wajib mata pelajaran Cinta Tanah Air (CTA) bagi peserta didik

THGB yang ditulis oleh sang mursyid, juga ditulis dengan sistematika tahapan cinta sebagaimana di

atas. Beberapa jilid awal mengulas secara detail tentang asal-usul bangsa Indonesia, teritorial dan

kekayaan Indonesia, makna simbol-simbol Indonesia seperti burung Garuda Pancasila, bendera merah

putih, lagu Indonesia Raya, kebhinekaan bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama,

ras, budaya, dan lain sebagainya. 20 Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemah (Bandung: PT Sygma Examedia, 2014), 412.

Page 14: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

Miftakhul Arif | 48

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

Menariknya adalah mereka tidak membatasi ibu bapak dalam pengertian biologis

semata, tapi mengembangkannya dalam pengertian lain. Menurut Shiddiqiyyah ada

dua macam ibu bapak, yaitu; (1) ibu bumi, bapak langit (tanah air); dan (2) ibu insan,

bapak insan (orang tua). Untuk mendukung pemaknaan tersebut, mereka mengutip

hadis Nabi yang termaktub dalam kitab al-Jami’ al-Sagir bahwa tanah air itu

merupakan ibu jasmani manusia. Hadis lain yang mereka kutip adalah “hubb al-

watan mi al-iman”,21 cinta tanah air adalah bagian dari iman, dan “man lam yaskur

al-nas lam yaskurillah”, barangsiapa tidak bersyukur pada manusia, ia juga tidak

bersyukur pada Allah. Bersyukur pada Allah berarti harus bersyukur pada kedua

orang tua, termasuk orang tua dalam pengertian ibu bumi dan bapak langit. Caranya

adalah dengan cinta tanah air yang dimanifestasikan dalam bentuk aksi-aksi sosial

kemanusiaan.

Ibu bumi dan bapak langit adalah tempat di mana seseorang dilahirkan dan

tumbuh besar. Menurut Ali Muhtaram, salah seorang khalifah Shiddiqiyyah, di

samping bersyukur kepada kepada orang tua, seseorang juga wajib bersyukur kepada

tanah air, tempat di mana ia dilahirkan. Doktrin ini diinspirasi dari kisah Nabi

Ibrahim sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 126 yang artinya, “dan

(ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang

aman sentosa, dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang

beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian”. Dalam doa tersebut,

Nabi Ibrahim memohon kepada Allah supaya negeri yang disinggahinya menjadi

negeri yang aman, makmur dan sejahtera. Dari muka bumi negeri tersebut muncul

segala macam buah-buahan yang baik untuk dikonsumsi, dan dari langit negeri

tersebut turun air hujan yang diperlukan oleh penduduk negeri untuk diminum dan

berbagai keperluan lainnya. Atas kebaikan negeri (tanah air) yang telah menyediakan

segala kebutuhan manusia itulah, seseorang wajib bersyukur kepada Allah dalam

bentuk cinta tanah air, tempat di mana ia dilahirkan dan tumbuh besar. Dalam Q.S.

al-Saba’ [34]: 15 Allah berfirman yang maknanya, “Makanlah olehmu dari rezki

yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu)

adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun".

21 Menurut tokoh Shiddiqiyah, untuk menilai kesahihan hadis tidak semata-mata dengan hanya

melihat pada aspek sanad-nya, tapi juga bisa dinilai dari segi matan-nya. Artinya meskipun sanad

hadis tersebut kurang jelas, akan tetapi isinya benar dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an, maka

hadis tersebut dapat diterima dan dijadikan hujjah. Sebaliknya, meski sanad hadis tersebut jelas,

namun isinya bertentangan dengan al-Qur’an, maka hadis tersebut tidak bisa diterima atau dijadikan

hujjah. Inilah argumen yang umumnya dipedomani murid Shiddiqiyah untuk menepis penilaian

sebagian kalangan yang mangatakan bahwa hadis hubbul wathon adalah dhaif (lemah). Ali

Muhtarom, Wawancara, Kamis 3 November 2016 pukul 20.30-21.15 WIB. Lihat pula; “Guru Sufi,

Guru Cinta”, dalam Majalah Al-Kautsar, Edisi 124 (18 September 2016), 20.

Page 15: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

49 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

Selain itu, dalam beberapa ayat lain Allah juga memerintahkan kepada umat Islam

untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim sebagaimana terdapat pada Q.S. Ali Imran [3]:

95, al-Nisa’ [4]: 125, dan al-Nahl [16] 123. Untuk itulah wajib bagi seorang muslim

untuk cinta pada tanah airnya sebagaimana cinta dan kepedulian Nabi Ibrahim

kepada negerinya.22

Cinta tanah air pada akhirnya akan mendorong manusia pada sikap

memakmurkan tanah air dengan menebar kebaikan dan amal salih. Dengan mengutip

kitab Dalil al-Falihin, mereka mengatakan, “fayanbaghi li kamil al-iman an ya’mura

watanahu bi al-a’mal al-salihah” (maka seyogyanya bagi orang yang imannya

sempurna untuk memakmurkan tanah airnya (negeri) dengan mengerjakan amal-

amal salih). Kebaikan dan amal salih yang dilakukan akan membawa negeri tersebut

menjadi negeri yang aman, sejahtera, dan mendapatkan rida dari Allah swt. yang

dalam terma al-Qur’an surat al-Saba’ [34]: 15 disebut baldatun tayyibatun wa

rabbun gafur, negeri yang baik (makmur sejahtera) dan mendapat pengampunan dari

Tuhan.

Apabila cinta terhadap tanah air Indonesia telah melekat di dalam jiwa, pasti

setelah mengenal isi tanah air Indonesia yang beragam, meliputi daratan, lautan,

pertambangan, bangsa Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indonesia,

pemerintahan, rakyat, UUD, dasar negara, tujuan negara, lambang negara,

kemerdekaan, Pancasila, dan sebagainya, maka akan timbul di dalam hati sifat-sifat

positif, antara lain:

1. Semangat membangun tanah air

2. Semangat melestarikan tanah air

3. Semangat membela tanah air

4. Semangat ketahanan nasional

5. Semangat pengorbanan

6. Semangat patriotisme

7. Semangat persatuan dan kesatuan

8. Semangat ketaatan dan kedisiplinan

9. Semangat belajar demi tanah air

10. Semangat kedamaian

11. Pelestarian bangsa; dan

12. Kelangsungan kehidupan bangsa.

22 Ali Muhtarom, Wawancara, Kamis 3 November 2016 pukul 20.30-21.15 WIB.

Page 16: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

Miftakhul Arif | 50

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

Singkat kata, menurut komunitas Shiddiqiyyah orang yang benar-benar

mencintai tanah airnya, pasti ia akan peduli dan rela berkorban untuk menjaga dan

melestarikan tanah air yang dicintai sebagai perwujudan rasa syukur atas anugerah

terbesar Allah swt.23

Syukur: Pertautan Tasawuf dan Nasionalisme

Dalam kajian tasawuf kerusakan dunia itu disebabkan oleh dua keadaan, yaitu:

pertama, karena manusia tidak percaya adanya Tuhan; dan kedua; karena manusia

itu terlalu mencintai dirinya sendiri. Sebab yang pertama akan mengakibatkan

seseorang abai terhadap perintah dan larangan Tuhan yang merupakan peraturan-

peraturan untuk mengadakan perdamaian antara manusai satu sama lain di atas muka

bumi. Sedangkan sebab yang kedua akan mengakibatkan kecintaan yang berlebih

atas kehidupan duniawi seperti cinta harta, kedudukan, popularitas, makanan dan

minumal yang lezat, dan lain sebagainya yang pada akhirnya akan melahirkan sikap

materialis dan individualis yang tidak hanya dapat mengancam kelangsungan hidup

manusia itu sendiri, tapi juga alam semesta.24

Bagi seorang sufi yang menekuni tasawuf, dua keadaan di atas muncul karena

dorongan nafsu atau syahwat yang terlalu dominan.25 Cara untuk mengatasinya

adalah dengan menundukkan dorongan hawa nafsu tersebut melalui tahapan

takhally, mengosongkan jiwa dari segala sifat tercela yang digerakkan oleh hawa

nafsu; tahally, mengisi kembali jiwa manusia yang sudah bersih itu dengan sifat-sifat

yang terpuji yang digerakkan oleh akal dan ilmu. Dengan cara ini terciptalah manusia

baru yang indah (jamal) dan sempurna (kamal), dan pada akhirnya akan terbentuk

masyarakat yang damai dan penuh dengan persaudaraan serta rasa saling mencintai.

Perbaikan di atas akan lahir manakala dasar keyakinan terhadap Tuhan sudah

kuat dalam diri manusia, karena keyakinan terhadap Tuhan itulah yang dapat

menentang hawa nafsu dalam arti yang sesungguhnya. Apabila kepercayaan

terhadap Tuhan itu sudah kuat, lahirlah cinta, taat, takut yang dapat mengontrol dan

mengawasi segala amal perbuatan. Selain itu, hal tersebut juga akan melahirkan

kecintaan terhadap sesama manusia serta sikap saling menghormati di antara sesama.

23 Ikhwan V, 17 Agustus 1945 Bukan Kemerdekaan, 124-126. 24 Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, 3. 25 Menurut Abu Bakar Aceh, dalam pandangan kaum sufi kegiatan manusia itu digerakkan oleh tiga

unsur yang terdapat dalam diri manusia, yaitu syahwat (hawa nafsu), akal, dan ghadab (potensi

marah). Jika ketiga unsur tersebut seimbang kekuatannya, maka hidup manusia akan menjadi normal.

Namun jika salah satu darinya melebihi yang lain, maka hidup manusia akan menjadi abnormal (tidak

seimbang). Dengan kata lain, perdamaian itu adalah keseimbangan. Jika keseimbangan itu tidak ada,

maka terjadilah pertentangan-pertentangan antara manusia yang satu dengan yang lain. Ibid.,4.

Page 17: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

51 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

Dalam tingkatan ini, manusia menyadari sepenuhnya bahwa Tuhan adalah pengawas

segala gerak-geriknya. Ia melihat dan merasakan keindahan sifat-sifat-Nya (tajally),

dan oleh sebab itu, jiwanya selalu terpaut untuk senantiasa mengingat keagungan-

Nya.26

Upaya untuk senantiasa mengingat Allah (dzikr) ini pada akhirnya akan

melahirkan sikap syukur atas segala karunia yang Dia berikan. Terlebih seperti yang

dikatakan oleh Imam al-Ghazali, bahwa dalam banyak ayat al-Qur’an mengingat

Allah (dzikr) selalu dipertautkan dengan perintah mensyukuri nikmat-Nya. Misalnya

pada surat al-Baqarah [2]: 152, “fadzkuruni adzkurkum washkuru li wa la takfurun”

(dan ingatlah Aku, niscaya Aku ‘mengingat’ kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku

dan janganlah kalian berlaku kufur kepada-Ku). Syukur, sebagaimana dikatakan Ibn

Mas’ud, adalah sebagian dari iman. Syukur adakalanya dengan hati, lisan, dan

perbuatan. Syukur dengan hati ialah dengan meniatkan diri untuk melakukan

kebaikan atas makhluk, syukur dengan lisan ialah dengan mengucapkan kata-kata

pujian bagi Allah, dan syukur dengan perbuatan ialah dengan mendayagunakan

kenikmatan-kenikamatan Allah tersebut untuk memaksimalkan ketaatan pada-

Nya.27

Dalam pandangan tarekat Shiddiqiyyah, kemerdekaan bangsa Indonesia

adalah karunia besar dari Allah. Kemerdekaan bangsa Indonesia diperoleh melalui

perjuangan panjang yang dilakukan oleh segenap bangsa Indonesia, utamanya umat

Islam. Oleh sebab itu, wajib hukumnya bagi umat Islam untuk mensyukuri nikmat

tersebut dalam bentuk cinta tanah air yang dimanifestasikan dengan sikap bela

negara serta rangkaian ritual serta aksi-aksi sosial lainnya.28 Kewajiban syukur ini

sebagaimana perintah Allah dalam al-Qur’an surat Ibrahim [14]: 7 yang berulang

kali dikutip oleh ‘elit’ Shiddiqiyyah dalam berbagai momen yang mereka

selenggarakan.

Dalam konteks mensyukuri kemerdekaan bangsa Indonesia dan berdirinya

NKRI, murshid Shiddiqiyah mengeluarkan seruan khusus kepada seluruh

pengikutnya sebagai berikut:

........ Alhamdulillah, dengan Berkat Rohmat Allah dan cita-cita Bangsa

Indonesia yang luhur. Pada tanggal 9 Romadlon 1365 H/17 Agustus 1945 M tanah

26 Ibid. 27 Abu Hamid al-Ghazali, Mukasyafat al-Qulub (Beirut: Dar al-Kutub, 2011), 157-158. 28 Ali Muhtarom, Wawancara, Kamis 3 November 2016 pukul 20.30-21.15 WIB.

Page 18: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

Miftakhul Arif | 52

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

air kita yang kita cintai lepas dari jahanamnya imperialis putih dan ‘ucul’ dari

neraka jahannamnya imperialis kuning.

Oleh sebab itu kita sebagai Bangsa Indonesia umumnya, warga Shiddiqiyah

khususnya, wajib syukur kepada Allah ta’ala dan hendaklah membuat peringatan

hari kemerdekaan 17 Agustus itu. Karena membuat peringatan itu menurut al-

Qur’an bermanfaat. Akan tetapi caranya membuat peringatan-peringatan itu

haruslah mencontoh Rasulullah, karena Rasulullah itu contoh yang baik, dan

memang umatnya harus mencontohnya. 29

Seruan murshid Shiddiqiyah tersebut memperlihatkan dengan jelas betapa

ajaran agama (Islam) menjadi spirit nasionalisme. Melalui doktrin syukur, murshid

Shiddiqiyah mengajak komunitasnya untuk menghargai dan mengingat kembali jasa

para pahlawan kemerdekaan yang telah bejuang dengan segenap jiwa dan raga demi

kemerdekaan bangsa Indonesia. Mengingat kembali jasa para pahlawan bagi

pengikut Shiddiqiyah adalah bagian dari ungkapan syukur kepada manusia

sebagaimana diajarkan Rasulullah. Dalam mengekspresikan rasa syukur tersebut,

komunitas Shiddiqiyah mempunyai cara tersendiri yang berbeda dengan umat Islam

di Indonesia pada umumnya. Murshid Shiddiqiyyah menyusun lima jilid kitab

berjudul “Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan Bangsa Indonesia” yang di dalamnya

berisi tuntunan tata cara praktis mensyukuri nikmat kemerdekaan, antara lain dengan

berpuasa sehari tepat pada tanggal 17 Agustus, kemudian mengadakan doa bersama

dan sujud syukur selama tiga hari tiga malam dari tanggal 18-20 Agustus. Kemudian

disempurnakan dengan gerakan santunan anak yatim sampai progam pembangunan

rumah layak huni Shiddiqiyyah untuk fakir miskin. Semua itu dilakukan dalam

rangka mensyukuri nikmat kemerdekaan Bangsa Indonesia dan berdirinya Negara

Kesatuan Republik Indonesia.30

Jati Diri Bangsa: Manunggalnya Jiwa Keimanan dan Jiwa Kebangsaan

Menjelang peringatan hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2016, murshid

Shiddiqiyyah mengajak semua warga Shiddiqiyyah untuk melakukan sumpah Jati

Diri Bangsa. Sumpah tersebut dilaksanakan pada 7 Oktober 2016, tepatnya di hari

pertama pembukaan Munas ke-4 Shiddiqiyyah yang bertempat di Bali. Jati diri

29 Seruan murshid tarekat Shiddiqiyah tanggal 21 Juni 1978 sebagaimana dikutip dalam Majalah al-

Kautsar, Edisi 124, (18 September 2016), 21. 30 “Perjuangan Sejak 1978; Usaha Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan

Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia”, dalam Majalah al-Kautsar, Edisi 124, (18

September 2016), 14.

Page 19: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

53 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

bangsa merupakan konsep manunggalnya jiwa keimanan dan jiwa kebangsaan.

Konsep tersebut bersumber dari pembukaan UUD 1945 alinea ke-III, yakni “atas

berkat rohmat Alloh Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan

luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas”.

Menurut murshid Shiddiqiyyah, ungkapan “atas berkat rohmat Alloh Yang

Maha Kuasa” merupakan pernyataan yang timbul dari keimanan, dan jiwa keimanan

itulah jiwanya seluruh agama. Adapun pernyataan “dan dengan didorongkan oleh

keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas” adalah pernyataan

yang timbul dari jiwa kebangsaan. Dengan demikian, manunggalnya jiwa keimanan

dan jiwa kebangsaan itulah yang dinamakan jati diri bangsa Indonesia.31

Konsep jati diri bangsa menghendaki agar warga Indonesia memiliki

kesadaran dalam beragama dan bernegara. Dalam kaitannya dengan nasionalisme,

jati diri bangsa itu tersimpul dalam slogan hubbul wathon minal iman (cinta tanah

air bagian dari iman).32 Dalam suatu hadis disebutkan bahwa iman itu memiliki 70

lebih cabang, yang tertinggi adalah ucapan la ilaha illallah (tiada Tuhan yang berhak

disembah selain Allah), sedangkan yang paling rendah adalah menyingkirkan

gangguan dari jalan. Adapun posisi cinta tanah air sebagai bagian dari cabang

keimanan, menurut komunitas Shiddiqiyyah, adalah ada di antara keduanya. Cinta

tanah air tersebut harus diwujudkan dalam bentuk bela negara serta memiliki

kepedulian terhadap sesama. Hal ini dikarenakan iman dan kemanusiaan adalah dua

hal yang tidak bisa dipisahkan. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah [2]: 3 disebutkan

bahwa untuk mencapai derajat takwa, seseorang tidak hanya sekedar percaya pada

hal gaib (Tuhan), tetapi juga memiliki kepedulian terhadap sesama dengan cara

mendermakan sebagian harta yang dimiliki untuk mereka yang membutuhkan.

Integrasi antara iman dan kemanusiaan ini melahirkan konsep “manunggalnya

keimanan dan kemanusiaan”.

Selanjutnya konsep tersebut melahirkan ajaran S3, yakni silaturahim,

santunan, dan sedekah. Dengan konsep ajarannya ini, seorang muslim menurut

Shiddiqiyyah harus merealisasikan imannya dalam bentuk, salah satunya, membantu

31 Majalah Al-Kautsar, Edisi 125 (17 Oktober 2016 M), 11. 32 Ajaran cinta tanah air bukan hanya monopoli warga Shiddiqiyyah, karena sebelumnya KH. Abd.

Wahab Chasbulloh (1888-1971 M), salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU), juga pernah

mempopulerkan istilah tersebut dalam lagu yang beliau karang berjudul hubbul waton. Atas dorongan

cinta tanah itu pula KH. Abd. Wahab Hasbulloh mendirikan organisasi Nahdlatul Wathon

(kebangkitan tanah air) di Surabaya dan pada tahun 2014 lalu ia mendapatkan anugerah gelar dari

Presiden RI, Joko Widodo, sebagai Pahlawan Nasional.

Page 20: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

Miftakhul Arif | 54

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

sesama warga negara yang membutuhkan pertolongan. Oleh sebab itu, komunitas

Shiddiqiyyah menggalakakan gerakan sedekah dan santunan sosial. Donasi dari hasil

sedekah secara sukarela digunakan untuk pembiayaan aktifitas dakwah tarekat

Shiddiqiyyah sehingga warga Shiddiqiyyah tidak perlu mengajukan proposal untuk

meminta sumbangan kepada pemerintah, atau partai politik tertentu sebagaimana

dilakukan oleh organisasi pada umumnya.33

Manifestasi Cinta Tanah Air

1. ‘Menolak’ Kemerdekaan Republik Indonesia: Meluruskan Sejarah

Nasional

Bagi komunitas Shiddiqiyyah, penetapan tanggal 17 Agustus 1945 yang

bertepatan dengan hari Jum’at legi, 9 Ramadhan 1364 H sebagai hari

kemerdekaan Indonesia bukanlah suatu kebetulan. Ada makna mendalam di balik

waktu tersebut yang umumnya tidak dipahami oleh kebanyakan orang, bahkan

oleh para pemimpin negeri saat ini. Angka 17 adalah jumlah rekaat shalat lima

waktu dalam sehari. Angka 17 juga adalah tanggal diturunkannya al-Qur’an oleh

Allah pada bulan Ramadan, bulan di mana bangsa Indonesia mendapatkan

karunia kemerdekaan. Selain itu 17 Agustus 1945 juga bertepatan dengan hari

Jum’at legi yang diyakini sebagai sebaik-baik hari (sayyid al-ayyam), dan juga

berada di sepertiga awal bulan Ramadan, waktu di mana Allah melimpahankan

rahmat-Nya.34 Sebab itu, pembukaan UUD 1945 diawali dengan frasa ‘Atas

Berkat Rahmat Allah’ karena pendiri negeri berkeyakinan bahwa kemerdekaan

Indonesia adalah salah satu rahmat terbesar Allah kepada bangsa Indonesia.

Dengan alasan ini, komunitas Shiddiqiyyah tidak hanya memperingati hari

kemerdekaan Indonesia pada setiap tanggal 17 Agustus, tapi juga pada setiap

tanggal 9 Ramadan.

Yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa tanggal 17 Agustus 1945 adalah

hari kemerdekaan Bangsa Indonesia, bukan kemerdekaan negara atau Republik

Indonesia. Menurut komunitas Shiddiqiyyah, selama ini terdapat kesalahan yang

terus terulang setiap tanggal 17 Agustus tiba. Kesalahan tersebut ialah

pengungkapan “Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia” atau “Hari Ulang

Tahun (HUT) Republik Indonesia”. Bagi komunitas Shiddiqiyyah, ungkapan itu

33 Ali Muhtarom, Wawancara, Kamis 3 November 2016 pukul 20.30-21.15 WIB. 34 Ulasan lengkap tentang fakta di balik pemilihan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan

Indonesia dapat dibaca di Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Vol. 2 (Bandung: Surya Dinasti,

2016). Api Sejarah adalah salah satu buku yang direkomendasikan oleh KH. Muhammad Muchtar,

murshidShiddiqiyyah, untuk dibaca oleh para pengikut Tarekat Shiddiqiyyah, utamanya peserta didik

THGB.

Page 21: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

55 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

tidak sesuai dengan fakta sejarah karena pada tanggal 17 Agustus Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) belum terbentuk. NKRI baru terbentuk

pada keesokan harinya, yaitu 18 Agustus 1945. Adapun 17 Agustus 1945 adalah

hari proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia, dan bukan kemerdekaan

Republik Indonesia. Penolakan komunitas Shiddiqiyyah ini menunjukkan sikap

kehati-hatian mereka dalam penggunaan istilah-istilah yang berkaitan dengan

sejarah. Sebab kesalahan dalam penggunaan istilah bisa berakibat pada

pengaburan realitas sejarah itu sendiri.

Istilah bangsa menurut komunitas Shiddiqiyyah merujuk pada pengertian

sekolompok manusia yang dianggap memiliki identitas bersama dan mempunyai

kesamaan bahasa, agama, ideologi, budaya dan sejarah. Sedangkan negara adalah

persekutuan bangsa yang hidup dalam satu tempat (wilayah) dengan batas-batas

tertentu yang diperintah dan diurus oleh suatu badan pemerintahan dengan teratur.

Untuk bisa disebut negara, ada empat unsur yang harus dipenuhi, yaitu (1)

memiliki rakyat (masyarakat); (2) memiliki wilayah kekuasaan, meliputi udara,

darat, dan perairan; (3) memiliki pemerintahan yang berdaulat; dan (4)

mendapatkan pengakuan dari negara lain sebagai negara yang merdeka dan

berdaulat.35 Tanpa adanya empat unsur tersebut, maka negara itu tidak bisa

dikatakan ada. Berpijak pada definisi di atas, komunitas Shiddiqiyyah

berpandangan bahwa ungkapan 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan

Negara/Republik Indonesia jelas adalah ungkapan salah. Karena Indonesia

sebagai sebuah negara yang berdaulat tidak pernah dijajah. Yang dijajah selama

kurun waktu tiga abad lebih oleh Belanda ataupun Jepang adalah bangsa

Indonesia dalam pengertian sekelompok manusia yang memiliki kesamaan

identitas bahasa, budaya, agama dan sejarah. Negara secara definitif baru

terbentuk pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan ditetapkannya Ir. Soekarno dan

Moh. Hatta sebagai kepala negara.

Untuk meluruskan ungkapan yang terlanjur meluas tersebut, para pimpinan

organisasi Shiddiqiyyah pada tanggal 18 Agustus 2016 lalu mengeluarkan Petisi

Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang ditujukan kepada Presiden RI. Dalam petisi

itu, pimpinan Shiddiqiyyah menjelaskan bahwa ungkapan “Kemerdekaan

Republik Indonesia” bertentangan dengan teks proklamasi, “(1) Proklamasi.

Kami Bangsa Indonesia...(2) dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia...

(3) Atas nama Bangsa Indonesia”, juga dengan teks pembukaan UUD 1945,

35 Ikhwan V, 17 Agustus 1945 Bukan Kemerdekaan, 7-9.

Page 22: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

Miftakhul Arif | 56

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

fakta sejarah, nilai filosofis dan tinjauan bahasa.36 Atas dasar itu semua, dalam

petisi tersebut para pimpinan Shiddiqiyyah menyerukan kepada pemerintah untuk

meluruskan istilah-istilah yang terlanjur salah kaprah dan beredar luas di

masyarakat. Hal ini penting demi menjaga obyektifitas penulisan sejarah

Indonesia yang dalam beberapa hal banyak mengalami distorsi.

Di samping itu semua, sejarah yang harus diluruskan adalah tentang peran

umat Islam dalam merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan para

penjajah. Sejarah nasional yang diajarkan di sekolah-sekolah umumnya banyak

yang diselewengkan sehingga tidak begitu memperlihatkan peran umat Islam.

Padahal ketika penjajahan sudah mulai masuk ke Nusantara, umat Islam adalah

yang paling getol menolak dan memerangi penjajah. “dari masa ke masa, pejuang

kita itu orang muslim. Sehingga setelah terjadi penyelewengan sejarah-sejarah,

terutama pada masa komunis kita perlu menumbuhkembalikan perjuangan itu ”,

papar Ali Muhtarom. Bagi komunitas Shiddiqiyyah pelurusan sejarah ini sangat

penting, sebab untuk membangun Indonesia di masa depan seseorang harus

berpijak pada apa yang telah dilakukan oleh pendahulunya di masa lalu. Hal ini

sebagaimana firman Allah dalam surat al-Hashr [59]: 18, faltanzur nafsun ma

qaddamat ligad, (hendaklah manusia memperhatikan apa yang telah diperbuat di

masa lalu untuk kehidupan yang akan datang).37

2. Identitas Kebangsaan di atas Identitas Agama

Terlahir di Indonesia yang memiliki keragaman suku, budaya, bahasa, dan

agama adalah anugerah Allah swt. Keragaman itu sepatutnya disyukuri dengan

menjaga keragaman tersebut agar senantiasa dalam kondisi harmoni sebagaimana

semboyan bhineka tunggal ika, berbeda-beda tapi tetap bersatu. Kecintaan

komunitas Shiddiqiyyah kepada negeri ini terlahir dari kesadaran dan

penghayatan mendalam terhadap nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

Bagi mereka, terlahir di Indonesia bukanlah suatu kebetulan, tetapi merupakan

takdir Allah yang harus disyukuri. Syukur tersebut dimanifestasikan dalam

bentuk mencintai tanah air dengan tetap menjaga nilai-nilai luhur yang telah ada

sebelumnya selama tidak melampaui batas-batas yang ditentukan oleh syariat.

Menurut komunitas Shiddiqiyyah, untuk menjadi muslim yang baik

seseorang tidak harus mengidentifikasikan dirinya dengan simbol-simbol Islam

Arab seperti baju jubah (gamis) atau lainnya. Seorang muslim yang baik adalah

36 Lebih lengkapnya baca: Majalah Al-Kautsar, Edisi 124 (Edisi Khusus Petisi Kemerdekaan Bangsa

Indonesia), 18 September 2016. Baca pula; Ikhwan V, 17 Agustus 1945 Bukan Kemerdekaan. 37 Ali Muhtarom, Wawancara, Kamis 3 November 2016 pukul 20.30-21.15 WIB.

Page 23: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

57 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

seorang muslim yang meneladani sifat-sifat nabinya, tanpa harus menanggalkan

identitas kebangsaannya. Oleh sebab itu, komunitas Shiddiqiyyah lebih senang

menyebut dirinya sebagai orang Indonesia yang Islam, bukan orang Islam yang

hidup di Indonesia. Hal ini membawa konsekwensi bahwa dalam menjalankan

agama Islam seseorang harus memperhatikan kepentingan bangsa dan negara,

serta melihat latar budaya yang dimiliki bangsa tersebut. Sebagai warga Indonesia

yang muslim, komunitas Shiddiqiyyah sangat mengormati budaya dan kearifan

lokal (local wisdom). Hal itu terlihat misalnya dari gaya bangunan atau monumen-

monumen yang berada di lingkungan Pondok Pesantren Majma’ul Bahrain Ploso,

yang memadukan unsur budaya Jawa (seni ukiran) dengan gaya arsitektur Timur

Tengah sehingga menghasilkan perpaduan yang indah, unik dan khas.

Bagi komunitas Shiddiqiyyah, kepentingan bangsa dan negara harus lebih

diutamakan di atas segalanya, termasuk di antaranya ‘egoisme’ beragama. Hal

inilah yang mendasari penerimaan mereka terhadap Pancasila sebagai dasar

negara serta penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Bagi Komunitas

Shiddiqiyyah, Pancasila merupakan ideologi yang mampu menyatukan bangsa

Indonesia. Sebagai sebuah ideologi, Pancasila tidak dapat menggantikan posisi

agama. Oleh sebab itu, tidak tepat jika ada seseorang yang membandingkan antara

Pancasila dengan agama (Islam). Membandingkan antara keduanya ibarat

membandingkan sinar matahari dengan sinar lampu. Suatu perbandingan yang

sangat tidak seimbang. Penerimaan Shiddiqiyyah atas Pancasila lebih

dikarenakan kemampuan dasar negara tersebut dalam menyatukan rakyat

Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama, ras, dan budaya dalam bingkai

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemajemukan bangsa Indonesia jika tidak

diikat menjadi kesatuan tentu akan berakibat pada timbulnya malapetaka yang

berujung pada kehancuran (chaos). Dalam konteks inilah, penghapusan tujuh kata

dalam Piagam Jakarta menurut Shiddiqiyyah dapat dibenarkan. Sebagaimana

sikap Nahdlatul Ulama, komunitas Shiddiqiyyah berpandangan bahwa Pancasila

adalah ikhtiar akhir umat Islam Indonesia dalam menegakkan hukum Allah di

bumi Indonesia. Dengan lain kata, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

adalah final.

Sikap kebangsaan komunitas Shiddiqiyyah sebagaimana tergambar di atas

didasarkan pada pemahaman atas firman Allah surat al-Hujurat [49]: 13 yang

artinya :

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang

laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-

Page 24: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

Miftakhul Arif | 58

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu menurut Allah

ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha

mengetahui lagi Maha Mengenal.

Menurut komunitas Shiddiqiyyah, peletakan potongan ayat yang maknanya

“Allah menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku” di bagian awal,

sementara “orang yang paling mulia menurut Allah adalah orang yang paling

bertakwa” di bagian akhir, menunjukkan bahwa kepentingan bangsa dan negara

harus lebih diutamakan di atas kepentingan agama. Dalam konteks

keindonesiaan, upaya-upaya yang mengarah pada pendirian negara Islam (islamic

state) sebagaimana dilakukan oleh ormas-ormas Islam seperti Hizbut Tahrir

Indonesia (HTI) tentu tidak bisa ditolerir. Sebab yang demikian itu sangat

dikhawatirkan dapat memicu terjadinya disintegrasi bangsa yang bahayanya

justeru lebih besar dari pada manfaat pendirian negara Islam itu sendiri. Dalam

konteks perpolitikan, visi kebangsaan Shiddiqiyyah ini termanifestasikan dalam

sikap penolakan (tidak memilih) terhadap partai-partai Islam simbolik semisal

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang lebih mengedepankan simbol agama.

Dalam beberapa hal, sikap politik komunitas Shiddiqiyyah lebih tertuju pada

partai-partai politik yang lebih mengusung visi kebangsaan, bukan partai yang

mengusung primordialisme agama seperti PKS.

3. Santunan Nasional

Seperti telah dikemukakan di awal, Tarekat Shiddiqiyyah memiliki slogan

S3, yakni silaturahim, santunan, dan sedekah. Selain menggalakkan silaturahim,

komunitas Shiddiqiyyah juga menggalakkan santunan dan sedekah. Santunan

dilakukan secara periodik, yakni pada setiap even hari besar Islam seperti maulid

Nabi (12 Rabiul Awal), peringatan tahun baru Hijriah (1 Muharram), dan hari

besar nasional seperti peringtan hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia (17

Agustus) dan Sumpah Pemuda (28 Oktober).

Salah satu santunan tersebut diwujudkan dalam bentuk progam

pembangunan rumah layak huni yang diperuntukkan bagi keluarga tidak mampu.

Dalam rentang waktu 15 tahun, dari tahun 2002 hingga 2016, Tarekat

Shiddiqiyyah di bawah koordinasi Organisasi Dhilal Berkat Rohmat Alloh

(DHIBRA) telah membangun 1.122 rumah layak huni untuk keluarga tidak

mampu. Biaya pembangunan tersebut diperoleh dari sedekah sukarela komunitas

Shiddiqiyyah. Bagi komunitas Shiddiqiyyah, santunan nasional dalam bentuk

pembangunan rumah layak huni adalah manifestasi dari cinta tanah air serta

Page 25: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

59 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

mensyukuri nikmat Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan berdirinya Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

4. Merajut Persaudaraan Lintas Agama

Indonesia adalah negara dengan beragam agama; Islam, Hindu, Budha,

Kristen, dan Konghuchu. Meski memiliki perbedaan dalam ajaran, menurut

komunitas Shiddiqiyyah semua agama tersebut memiliki sumber keimanan yang

sama, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Bagi mereka, perbedaan agama sudah

menjadi ketetapan Allah (sunnatullah). Oleh sebab itu, sikap toleran dalam

menyikapi perbedaan agama tersebut harus dikedepankan tanpa harus

mengorbankan prinsip kepercayaan masing-masing. Sikap toleran Shiddiqiyyah

atas beragam agama yang ada di Indonesia tersebut terlihat misalnya dengan

menyediakan kitab suci masing-masing agama di kamar hotel Yusro, salah satu

hotel terbaik di Jombang yang dikelola oleh komunitas Shiddiqiyyah.

Untuk menjustifikasi kebenaran sikap toleran atas berbagai agama yang ada

di Indonesia, murshid Shiddiqiyyah mengutip tafsir surat al-Tin dalam tafsir al-

Qasimi yang ditulis oleh Jamaluddin al-Qasimi, seorang ulama

berkewargenegaraan Syiria. Dalam tafsir tersebut dijelaskan bahwa pohon Tin

adalah pohon yang pernah digunakan pendiri agama Budha, sedangkan pohon

Zaitun berkaitan dengan pendiri agama Kristen, gunung Tursina berkaitan dengan

agama Yahudi dan al-Balad al-Amin berkaitan dengan Islam. Menurut murshid

Shiddiqiyyah, agama Hindu, Budha, Kristen, Yahudi dan Islam itu berasal dari

satu pohon. Kenyataan bahwa di dunia terdapat agama yang bermacam-macam

merupakan sesuatu yang tidak seorang pun mampu menghalangi. Menurut sang

murshid, hal tersebut menunjukkan bahwa Allah tidak menghendaki satu agama.

Untuk meningkatkan rasa saling menghormati dan menghargai di antara

pemeluk-pemeluk agama yang berbeda, maka didirikanlah Organisasi

Persaudaraan Cinta Tanah Air Indonesia Raya (OPCTAI) oleh komunitas

Shiddiqiyyah. Organisasi ini menghimpun tokoh lintas agama dengan mengusung

visi merajut persaudaran Nusantara. Dengan adanya organisasi ini diharapkan

sikap toleran antar pemeluk agama dapat terus berlangsung, sehingga disintegrasi

bangsa dapat dihindari.

Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah

1. Eksternalisasi: Momen Adaptasi Diri dengan Teks dan Konteks

Page 26: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

Miftakhul Arif | 60

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

Dalam teori konstruksi sosial rintisan Peter L. Berger, eksternalisasi

merupakan tahap awal dari konstruksi sosial. Nur Syam dan Fatchan

mendefinisikan eksternalisasi sebagai momen adaptasi diri dengan dunia sosio

kultural, di mana individu atau subjek dengan kemampuan agensinya melakukan

adaptasi dengan teks-teks kehidupan, baik yang bersifat abstrak seperti kitab suci

ataupun yang bersifat kongkrit seperti kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik

dan lain-lain. Dalam proses dan tahapan ini, bahasa dan tindakan adalah dua

instrument pokok melakukan adaptasi diri. Manusia memanfaatkan bahasa untuk

melakukan adaptasi dengan dunia sosio-kulturalnya dan kemudian tindakannya

juga disesusaikan dengan dunia sosio-kulturalnya.

Secara konseptual, momen adaptasi diri tarekat Shiddiqiyyah dengan dunia

sosio kultural yang bersifat abstrak dan kongkrit tersebut dapat dijabarkan sebagai

berikut:

Pertama, penyesuaian diri dengan teks-teks keagamaan dan kebangsaan.

Teks keagaaman di sini meliputi teks suci (al-Qur’an dan hadis) dan teks

keagamaan pendukung, berupa karya-karya ulama. Sedangkan teks kebangsaan

meliputi pembukaan UUD 1945 dan teks Pancasila. Keduanya merupakan teks

primer kebangsaan, sementara teks Sumpah Pemuda, lirik lagu Indonesia Raya

dan semacamnya merupakan teks sekunder. Ungkapan-ungkapan yang terdapat

dalam teks suci, baik al-Qur’an ataupun hadis dipakai sebagai pijakan utama

untuk memberikan legitimasi tentang benar tidaknya praktik keagamaan,

termasuk di antaranya adalah praktik sufistik.

Berbagai teks keagaaman tersebut telah ada jauh hari sebelum kemunculan

tarekat Shiddiqiyyah. Dalam momen demikian, proses penyesuaian diri dengan

teks-teks keagamaan adalah hal yang tak terelakkan. Kyai Mukhtar sebagai aktor

utama terbentuknya tarekat Shiddiqiyyah adalah produk dari komunitas yang

terlebih dahulu melahirkan teks-teks keagamaan. Hanya saja dalam proses

tersebut terjadi penyesuaian diri atas teks-teks keagamaan sesuai dengan situasi

batin si aktor, dan situasi kedisinian (konteks) yang melingkupi aktor.

Konteks di mana dan bagaimana aktor dibesarkan itulah yang pada dasarnya

membentuk situasi batin aktor sehingga mempengaruhi cara pandang dalam

melakukan penyesuaian diri atas teks keagamaan. Beberapa ayat ataupun hadis

oleh si aktor ‘dikondisikan’ untuk memberikan legitimasi atas sikap patriotisme

yang seharusnya dimiliki oleh setiap umat Islam Indonesia. Hal itu bisa diketahui

dari intensitas bahasa cinta tanah air yang terus berulang disampaikan, baik dalam

ceramah ataupun karya yang ditulis langsung oleh si aktor.

Tabel 1. Penyesuaian Diri dengan Teks Keagamaan

Page 27: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

61 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

No Teks Kegamaan Pemahaman Kontekstual

1 QS. Ibrahim [14]: 7 Mensyukuri kemerdekaan Indonesia adalah wajib, karena

ia merupakan salah satu rahmat Allah yang dikaruniakan

kepada bangsa Indonesia.

2 QS. Luqman [31]:14 Perintah berbuat baik kepada ibu dan bapak. Ada dua

macam ibu bapak, yaitu; (1) ibu bumi, bapak langit (tanah

air); dan (2) ibu insan, bapak insan (orang tua). Dalam

pengertian ibu bapak sebagai tanah air, maka berbakti

pada bangsa dan negara adalah wajib.

3 QS. al-Saba’ [34]: 15 Mensyukuri karunia Allah yang ada di muka bumi (tanah

air) adalah kunci menuju tergapainya negeri yang makmur

(baldah tayyibah)

4

5

QS. al-Baqarah [2]: 126

QS. al-Hajj [22]: 32

Nabi Ibrahim adalah inspirator cinta tanah air

Pembangunan monumen-monumen keagamaan dan

kebangsaan adalah bagian dari upaya mengagungkan

syiar-syiar Allah

6

7

QS. al-Hujurat [49]: 13

Hubb al-watan min al-

iman (al-hadis?)

Identitas kebangsaan di atas identitas agama

Cinta tanah air bagian dari iman

Melalui interpretasi atas teks-teks keagamaan di atas, sikap mental berupa

cinta tanah air yang termanifestasikan dalam ragam ungkapan seperti ‘NKRI

harga mati’, dan tindakan rasional seperti upacara bendera atau yang semisal,

mendapatkan pembenaran dari teks keagamaan otoritatif. Interpretasi kontekstual

tersebut merupakan konstruksi aktor atas teks keagamaan setelah melalui proses

penyesuaian diri dengan berbagai interpretasi yang dilakukan oleh ulama

pendahulunya.

Selain teks keagaaman, penyesuaian diri juga terjadi atas teks-teks

kebangsaan, utamanya pembukaan UUD 1945 dan lima butir Pancasila. Sang

aktor yang juga bagian dari masyarakat Indonesia, tidak bisa menghindar dari

proses dialektika diri dengan dasar konstitusional (UUD 1945) dan dasar negara

Indonesia (Pancasila). Kedua teks kebangsaan tersebut ditafsirkan secara

kontekstual-filosofis dengan melihat latar sosio historis serta kesesuaiannya

dengan teks-teks keagamaan yang ia konstruksikan. Hasilnya adalah lahirnya

konsep teosofi “manunggalnya jiwa keimanan dan jiwa kebangsaan” yang tidak

lain adalah inti dari ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh sang aktor. Jiwa

keagamaan disarikan dari teks pembukaan UUD 1945 di alinea ke-3 yang

berbunyi “atas berkat rahmat Allah”. Oleh si aktor, ungkapan tersebut merupakan

manifestasi keimanan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Jiwa keimanan itulah

yang menjadi jiwanya seluruh agama. Kemudian pernyataan “dan didorongkan

oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yan bebas” adalah

Page 28: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

Miftakhul Arif | 62

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

pernyataan yang timbul dari jiwa kebangsaan masyarakat Indonesia.

Manunggalnya jiwa keimanan dan jiwa kebangsaan inilah yang oleh si aktor

dikonstruksikan sebagai ‘jati diri bangsa Indonesia’.38 Kaitannya dengan lima

butir Pancasila, maka jiwa keimanan itu terpancar dari sila pertama (ketuhanan

Yang Maha Esa), sedangkan empat butir lainnya melambangkan jiwa

kebangsaan. Dengan pemaknaan yang demikian, maka pemikiran sang aktor

tentang negara Indonesia sejalan dengan paparan Budiyono bahwa Indonesia

adalah negara yang menempatkan agama sebagai ruh (jiwa) bagi keutuhan bangsa

dan negara dalam bingkai NKRI.39

Tabel 2. Penyesuaian Diri dengan Teks Kebangsaan

No Teks Kebangsaan Pemahaman Kontekstual-Filosofis

1 “Atas berkat rahmat Allah”

(pembukaan UUD 1945 alinea

3)

Suatu pernyataan yang merepresentasikan jiwa

keimanan bangsa Indonesia.

2 “dan didorongkan oleh

keinginan luhur supaya

berkehidupan kebangsaan yan

bebas” (pembukaan UUD 1945

alinea 3)

Suatu pernyataan yang merepresentasikan jiwa

kebangsaan masyarakat Indonesia.

Kedua, penyesuaian diri dengan nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang

telah ada sebelumnya. Penyesuaian diri tersebut adakalanya ditampilkan dalam

bentuk sikap penerimaan, adakalanya juga dalam bentuk sikap penolakan. Sikap

penerimaan atau penolakan itu biasanya dikaitkan dengan melihat seberapa jauh

nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada sebelumnya selaras dengan apa

yang dipahami oleh aktor dari teks keagamaan atau teks kebangsaan yang ia

konstruksikan.

Sang aktor tidak berkeberatan dengan praktik masyarakat yang

memperingati hari-hari penting, baik yang bercorak keagamaan ataupun

kebangsaan, dengan mengadakan ritual tasyakuran berupa selametan, upacara

bendera atau lainnya. Akan tetapi dalam hal-hal yang itu bertolak belakang

dengan prinsip keagamaan yang ia yakini, atau realitas sejarah yang terjadi, maka

sikap yang dimunculkan adalah penolakan. Hal itu misalnya terlihat dari

penentangannya atas penyebutan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari

kemerdekaan negara/Republik Indonesia. Sebab, negara dalam pengertian

38 Majalah Al-Kautsar, Edisi 125 (17 Oktober 2016 M), 13. 39 Budiyono, “Hubungan Negara dan Agama dalam Negara Pancasila”, Viat Justisia: Jurnal Ilmu

Hukum, Vol. 8, No. 1, Juli-September (2014), 410.

Page 29: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

63 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

sebagai sistem pemerintahan yang berdaulat, belum ada pada tanggal tersebut.

Sikap penolakan secara tegas diekspresikan dengan penandatanganan petisi yang

ditujukan pada Presiden RI pada 18 Agustus 2016 lalu.

Alhasil, sikap menerima atau menolak atas nilai-nilai dan kebiasaan-

kebiasaan yang telah ada sebelumnya selalu didasarkan pada tingkat

kesesuaiannya dengan teks keagamaan, fakta-fakta historis serta nilai-nilai luhur

yang dimiliki bangsa Indonesia. Selain itu, interpretasi atas teks-teks keagamaan

dan kebangsaan yang pada akhirnya melahirkan konsep teosofi ‘manunggalnya

jiwa keimanan dan jiwa kebangsaan’ menyiratkan bahwa agama dan bangsa

memiliki posisi penting di hati sang aktor. Nasionalisme yang disimbolkan

dengan ungkapan bahasa ‘hubbul waton minal iman’ (cinta tanah air bagian dari

iman) tidak lagi mencerminkan gagasan nasionalisme sekuler yang diserukan

Barat. Melainkan nasionalisme yang dibangun atas nilai-nilai agama yang secara

ideologi terhubung dengan gagasan profetik yang dibawa oleh Rasulullah. Atas

dasar itulah, kita bisa mengatakan bahwa nasionalisme yang dibangun oleh sang

aktor, Kyai Muchtar, adalah nasionalisme religius-filosofis, di mana teks-teks

keagamaan dan kebangsaan dipahami secara kontekstual filosofis untuk menjadi

dasar pijakannya.

2. Objektivasi: Momen Interaksi Diri dengan Dunia Sosio-Kultural

Secara konseptual, proses objektivasi itu dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, Sang aktor, Kyai Muchtar, memahami betul kondisi masyarakat di

lingkungannya yang sebagian darinya masih awam agama (abangan). Dengan

bekal pengetahuan dan pengalaman di dunia tasawuf dan tarekat, maka sang aktor

merintis berdirinya tarekat baru bernama Shiddiqiyyah. Melalui ajaran

Shiddiqiyyah, sang aktor berupaya melakukan penyadaran tentang pentingnya

beriman pada Allah, juga pentingnya bersyukur pada Allah atas nikmat

kemerdekaan melalui cinta tanah air dan berbakti pada bangsa dan negara. Cinta

tanah air dan berbakti pada bangsa dan negara hakikatnya adalah ungkapan

syukur yang akan menghantarkan seseorang pada derajat keimanan (mengenal

dan meyakini Allah) yang lebih sempurna. Dengan demikian keimanan yang

sempurna adalah level kedua yang dapat diperoleh setelah level pertamanya

dipenuhi, yaitu mensyukuri nikmat Allah melalui cinta tanah air dan berbakti pada

bangsa dan negara. Melalui keimanan, aktifitas-aktifitas sosial keagamaan atau

kebangsaan komunitas Shiddiqiyyah dapat dimaknai. Sujud syukur, puasa,

santunan nasional, dan upacara bendera yang dilakukan untuk memperingati hari

Page 30: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

Miftakhul Arif | 64

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

kemerdekaan Indonesia adalah beberapa contoh tindakan rasional yang

digerakkan oleh spirit keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kedua, cinta tanah air dan berbakti pada bangsa dan negara bukan sekedar

tanggung jawab seseorang sebagai warga negara saja, tapi juga merupakan bagian

dari kewajiban agama. Agar sampai pada kesadaran itu diperlukan proses

penyadaran melalui legitimasi teks-teks keagamaan, baik primer (al-Qur’an dan

hadis) atau sekunder (karya-karya ulama). Misalnya, kemerdekaan Indonesia

adalah rahmat atau karunia besar dari Allah. Karenanya, ia wajib disyukuri bukan

hanya dengan lisan, tapi juga tindakan (QS. Ibrahim [14]: 7). Contoh lain adalah

membangun monumen-monumen keagamaan ataupun kebangsaan adalah bagian

dari upaya mengagungkan syiar-syiar Allah di muka Bumi (QS. al-Hajj [22]: 32).

Jika umat Budha meninggalkan Borobudur yang merupakan simbol agama

Budha, maka Islam juga perlu membuat simbol keagamaan ataupun kebangsaan

yang megah yang bisa menunjukkan bahwa Islam adalah agama luhur dan tidak

ada yang lebih luhur melebihi Islam (al-Islam ya’lu wa la yu’la ‘alayh).

Monumen-monumen keagaaman dan kebangsaan itu misalnya berupa monumen

hubbul waton, monumen sumpah pemuda, dan monumen-monumen lainnya yang

berlokasi di dalam area Pondok Pesantren Majmaul Bahrain Hubbul Wathon

Minal Iman di Ploso, Jombang. Itu semua merupakan bagian dari proses

penyadaran tentang ‘cinta tanah air bagian dari iman’.

Ketiga, pelembagaan atau institusionalisasi, yaitu proses membangun

kesadaran menjadi tindakan. Dalam proses ini, nilai-nilai yang menjadi pedoman

di dalam melakukan interpretasi terhadap tindakan telah menjadi bagian tak

terpisahkan sehingga apa yang disadari adalah apa yang dilakukan. Dalam

memperingati hari kemerdekaan Indonesia komunitas Shiddiqiyyah

menyelenggarakan berbagai kegiatan baik yang bersifat ritual an sich seperti

mujahadah (bersungguh-sungguh mendekat pada Allah) dalam bentuk sujud

syukur, doa bersama, puasa sunnah, atau yang bersifat kemanusiaan seperti

pembangunan rumah layak huni dan santunan sosial untuk fakir miskin. Praktik-

praktik di atas dilakukan atas dasar pengetahuan dan kesadaran, bukan sekedar

tindakan berpura-pura. Ketika mereka melakukan sujud syukur atau puasa pada

hari kemerdekaan Indonesia, mereka tentu tahu dan sadar untuk apa hal itu

dilakukan. Ketika mereka menolak mengatakan ‘dirgahayu kemerdekaan

Republik Indonesia’ setiap tanggal 17 Agustus, tentu mereka tahu dan sadar apa

alasan di balik itu. Jika mereka menyisihkan sebagian hartanya untuk

disumbangkan kepada fakir miskin pada acara santunan sosial setiap tahun, maka

tentu mereka juga sudah sangat memahami manfaat tindakan itu. Dengan

Page 31: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

65 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

demikian, apa yang mereka lakukan sebenarnya adalah apa yang mereka sadari.

Tindakan-tindakan tersebut telah diperhitungkan secara matang dan konseptual,

sehingga tindakannya itu menjadi tindakan rasional bertujuan.

Keempat, habitualisasi (pembiasaan), yaitu proses di mana tindakan

rasional bertujuan itu telah menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari. Dalam proses

ini, tidak dibutuhkan lagi berbagai penafsiran terhadap tindakan, karena tindakan

tersebut telah menjadi bagian dari sistem kognitif dan sistem evaluatifnya. Peta

kesadarannya telah menerima dan sistem evaluasi yang berasal dari sistem nilai

juga telah menjadi bagian di dalam keseluruhan mekanisme hidupnya. Dengan

demikian, ketika suatu tindakan telah menjadi sesuatu yang habitual, maka

tindakan tersebut menjadi tindakan mekanis, yang mesti dilakukan begitu saja.

Seseorang akan melaksanakan ritual sujud syukur dan puasa saat tanggal 17

Agustus tiba. Seseorang akan menyumbangkan sebagian hartanya, jika mampu,

setiap ada momen santunan nasional Shiddiqiyyah manakala itu sudah menjadi

habitual action-nya. Bersikap toleran terhadap keyakinan orang lain saat sedang

berinteraksi, serta menulis ungkapan ‘atas berkat rahmat Allah’, kalimat awal

dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-3, di setiap baliho yang mereka tempel

adalah beberapa tradisi Shiddiqiyyah yang terlestarikan hingga saat ini.

Sebagaimana dikatakan Nur Syam, yang terpenting dari seluruh rangkaian

proses di atas adalah peran agen untuk proses penyadaran, pelembagaan, dan

habitualisasi. Dalam konteks ini, agen utama dalam keseluruhan proses di atas

adalah sang murshid sendiri, KH. M. Muchtar Mu’thi. Ia adalah ideolog

Shiddiqiyyah yang melakukan konseptualisasi ajaran teosofi delapan

kesanggupan, termasuk di antaranya konsep ‘cinta tanah air dan berbakti kepada

bangsa dan negara’. Dalam proses penyadaran, pelembagaan, dan habitualisasi,

sang murshid dibantu oleh agen-agen lainnya, yaitu para khalifah di masing-

masing daerah, dan juga para pengurus organisasi Shiddiqiyyah mulai tingkat

pusat hingga daerah. Dalam setiap momen Shiddiqiyyah, agen-agen tersebut

senantiasa menyuarakan pentingnya cinta tanah air. Di setiap acara Kautsaran,

sang murshid atau khalifah selalu mengingatkan untuk memupuk rasa cinta tanah

air. Sementara agen lainnya yang bergerak di sektor pendidikan (THGB)

mengupayakan doktrin cinta tanah air terintegrasi dengan sistem kurikulum.

Adapun agen yang bergerak di sektor sosial (DHIBRA) senantiasa mengorganisir

aksi-aksi kemanusiaan Shiddiqiyyah agar pelaksanaannya berjalan baik. Meski

fokus dari setiap agen tersebut berbeda, namun semuanya membawa dan

melestarikan visi yang sama, bahwa ‘cinta tanah air adalah bagian dari iman’.

Page 32: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

Miftakhul Arif | 66

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

3. Internalisasi: Momen Identifikasi Diri dalam Dunia Sosio-Kultural

Internalisasi merupakan momen penarikan sosial ke dalam diri atau realitas

sosial menjadi kenyataan subjektif. Realitas sosial itu berada di dalam diri

manusia dan dengan cara itu maka diri manusia akan teridentifikasi di dalam

dunia sosio-kulturalnya.

Momen internalisasi ditandai proses identifikasi diri atas realitas objektif

yang difenomenakan. Proses identifikasi diri di dalam dunia tarekat berbeda

dengan yang terjadi di luar tarekat. Sistem identifikasi diri di luar tarekat

umumnya bersifat longgar, tidak rigid. Sebagai contoh, seseorang sudah dianggap

teridentifikasi sebagai warga NU manakala akidah dan tradisi kegamaan yang ia

jalankan sudah sejalan dengan apa yang digariskan oleh pendiri NU, meskipun

secara formal ia belum terdaftar sebagai warga NU. Hal ini berbeda dengan tradisi

yang berkembang di dunia tarekat, tak terkecuali Shiddiqiyyah. Sebagai

organisasi tarekat, Shiddiqiyyah mengharuskan adanya ba’ait (sumpah setia) yang

harus diucapkan calon murid di hadapan guru. Baiat merupakan syarat formal

untuk bisa diakui sebagai bagian dari komunitas Shiddiqiyyah. Tanpa ba’iat,

seseorang dianggap tidak sah mengidentifikasikan dirinya ke dalam tarekat

Shiddiqiyyah. Di dalam prosesi bai’at, seorang individu harus menyatakan

kesediaannya untuk menjalankan delapan kesanggupan, salah satunya adalah

sanggup cinta tanah air dan berbakti kepada bangsa dan negara. Dengan adanya

bai’at ini, sesungguhnya konsep tasawuf yang dikembangkan oleh Shiddiqiyyah

adalah tasawuf yang tidak hanya menghendaki seseorang sadar dalam beragama,

tapi juga sadar dalam bernegara. Untuk itulah cinta tanah air dan berbakti kepada

bangsa dan negara menjadi bagian tak terpisahkan di dalam tarekat Shiddiqiyyah.

Penutup

Uraian panjang di atas menyimpulkan bahwa di samping memberikan

bimbingan spiritual, tarekat Shiddiqiyyah juga concern memupuk semangat

nasionalisme pengikutnya melalui doktrin “hubbul wathon minal iman” (cinta tanah

air bagian dari iman). Cinta tanah air menurut tarekat Shiddiqiyyah adalah realisasi

syukur kepada Allah swt. yang telah menganugerahkan kemerdekaan kepada Bangsa

Indonesia. Cinta tanah air juga merupakan wujud syukur kepada ‘ibu bumi’ dan

‘bapak langit’ (tanah air), sekaligus kepada para pejuang kemerdekaan. Melalui slogan

“manunggalnya jiwa keimanan dan jiwa kebangsaan”, rasa cinta tanah air itu

dimanifestasikan dengan bentuk beragam, antara lain ritual sujud syukur pada setiap

hari kemerdekaan Indonesia (17 Agustus dan 9 Ramadhan), puasa tiga hari pada

Page 33: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

67 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

tanggal 18-20 Agustus, serta santunan sosial seperti pendirian rumah layak huni bagi

kaum duafa, menjalin solidaritas persaudaraan lintas agama, dan lain-lain. KH.

Muhammad Muchtar Mu’thi adalah aktor sentral dalam Tarekat Shiddiqiyyah. Selain

murshid taraket, Ia juga ideolog sekaligus organisator tarekat Shiddiqiyyah. Doktrin

cinta tanah air yang ia rumuskan dipengaruhi oleh faktor genetika, edukasi, latar sosio

historis masyarakat Jombang, serta pengalaman mistik mengikuti beberapa tarekat.

Doktrin tersebut dikonstruksikan melalui tiga momen, eksternalisasi,

objektivasi dan internalisasi. Momen eksternalisasi berfokus pada proses ‘penyesuaian

diri’ dengan teks dan dunia sosio kultural menuju tahap ‘kesadaran diri’. Pada tahap

objektivasi kesadaran diri itu diupayakan mewujud dalam tindakan nyata melalui

proses ‘penyadaran diri (individu)’ dengan teknik habitualisasi (pembiasaan

tindakan). Momen terakhir, internalisasi, adalah proses identifikasi diri yang ditandai

dengan baiat di depan murshid sebagai syarat formal memperoleh pengakuan sebagai

murid Shiddiqiyyah. Dengan segala keunikannya ini, semangat kebangsaan yang

diusung tarekat Shiddiqiyyah bisa ditempatkan sebagai nasionalisme religius,

humanis, filosofis yang meletakkan agama dan negara dalam relasi harmonis, serta

menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana tersimpul dalam slogan

“manunggalnya iman dan kemanusiaan”.

DaftarPustaka

Abidin, Zainal (ed.), Direktori Paham, Aliran, dan Tradisi Keagamaan di

Indonesia Jakarta: Kementrian Agama RI, 2014.

Adisusilo, Sutarjo. “Nasionalisme, Demokrasi, Civil Society”, Jurnal Historia,

Vol. 23, No. 2, Oktober (2009).

Ali, As’ad Said. Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta:

LP3ES, 2009.

Atjeh, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian tentang Mistik. Jakarta:

FA.H.M Tawi & Son, 1966.

Budiyono. “Hubungan Negara dan Agama dalam Negara Pancasila”, Viat

Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 1, Juli-September (2014).

Page 34: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

Miftakhul Arif | 68

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, terj. Farid

Wajidi, Yogyakarta: Gading Publising, 2012.

Fatchan, H.A. Metode Penelitian Kualitatif; 10 Langkah Penelitian Kualitatif

Pendekatan Konstruksi dan Fenomenologi. Malang: UM Press, 2013.

Ghazali (al), Abu Hamid, Mukasyafat al-Qulub, Beirut: Dar al-Kutub, 2011.

Haidar, Ali. “Islam dan Pancasila dalam Pergumulan Nahdlatul Ulama (NU)”,

Jurnal Studia Islamika, Vol, 1, No. 3, (1994).

Ikhwan V, 17 Agustus 1945 Bukan Kemerdekaan Republik Indonesia, Semarang:

Fatawa Publishing, 2015.

Khamdan. Muh. “Pengembangan Nasionalisme Keagamaan sebagai Strategi

Penanganan Potensi Radikalisme Islam Transnasional”, Jurnal Addin,

Vol. 10, No. 1, Februari (2016).

Khanafi, Imam. “Tarekat Kebangsaan: Kajian Antropologi Sufi Terhadap

Pemikiran Nasionalisme Habib Luthfie”, Jurnal Penelitian, Vol. 10, No.

2, November (2013).

Luzar, Laura Christina. “Teori Konstruksi Realitas Sosial”, dalam

http://dkv.binus.ac.id/2015/05/18/teori-konstruksi-realitas-sosial/.

Maghfur, Ahmad, “Neonasionalisme Kaum Tarekat”, dalam

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/neonasionalisme-kaum-tarekat/

(diakses pada 12 September 2016)

Mufid, Ahmad Syafii (ed.). Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di

Indonesia, Jakarta: Litbang Kementrian Agama RI. 2011.

Majalah Al-Kautsar; Jendela Shiddiqiyah, Edisi 119, 15 Rajab 1437/23 April

2016.

Majalah al-Kautsar; Jendela Shiddiqiyah, Edisi 124, 18 September 2016.

Majalah Al-Kautsar; Jendela Shiddiqiyah, Edisi 125, 17 Oktober 2016.

Mustagfirin, Arif, Toriqoh Shiddiqiyah; Studi tentang Toriqoh Shiddiqiyah di

Yogyakarta, Skripsi—IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003.

Page 35: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

69 | Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat Shiddiqiyyah Ploso Jombang Jawa Timur

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

Nasih, A. Munjih, Sepenggal Perjalanan Hidup Sang Mursyid Kyai Haji

Muchammad Muchtar Bin Haji Abdul Mu’thi, Jombang: Al-Kautsar

Dhibra, Cet. 2, 2016.

Poloma, Margaret M. Sosiologi Kontemporer, terj. Tim Penerjemah. Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2007.

Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, terj.

Alimandan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004.

Syakur, Abd., Gerakan Tarekat Shiddiqiyyah Pusat Losari, Ploso, Jombang;

Studi tentang Strategi Bertahan, Struktur Mobilisasi dan Proses

Pembingkaian, Disertasi -- UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2008.

Sugiyono, Memahamai Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2015.

Shodiq, Muhammad, “Eksistensi dan Gerakan Dakwah Tarekat Siddiqiyah di

Tengah Masyarakat Urban Surabaya”, dalam Jurnal Teosofi Vol. 5, No.

2, Desember 2015.

Sukarno, Dian, Trilogi Spiritualitas Bung Karno. Jombang: CV. Al-Kautsar

Dhibra, 2013.

Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Sejarah, Vol. 2. Bandung: Surya Dinasti,

2016.

Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LkiS, 2014.

Turmudzi, Endang. Struggling for The Umma: Changing Leadership Roles of

Kiai in Jombang, East Java. Canbera: ANU E-Press, 1996.

Zuhdi, Zaenu, “Afiliasi Mazhab Fiqh Tarekat Shiddiqiyah di Jombang”, dalam

Maraji’: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 1, Nomor 1, September 2014.

http://www.shiddiqiyyah.org (diakses pada 24 Mei 2016)

Radar Jombang, Edisi Kamis 29 September 2016, 36.

Ali Muhtarom, Wawancara, Kamis 3 November 2016 pukul 20.30-21.15 WIB.

Fakhril Aziz, Wawancara, September 2016 pukul 21.00-22.30

Page 36: Tasawuf Kebangsaan: Konstruksi Nasionalisme Tarekat ...

Miftakhul Arif | 70

Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference Volume 2, Tahun 2019

Observasi di Pusat Shiddiqiyyah, Ponpes Majma’al Bahrain Hubbul Wathon

minal Iman, Oktober 2016.

Copyright © 2019 Proceeding: The 1st Faqih Asy’ari Islamic Institute International Conference

Faqih Asy’ari Islamic Institute Sumbersari Kediri, Indonesia “Moderasi Islam Aswaja untuk

Perdamaian Dunia”(Volume 1, 2019)ISBN (complete) 978-623-91749-3-4; ISBN (Volume 2):

978-623-91749-5-8

Copyright of Proceeding: The 1st FaqihAsy’ari Islamic Institute International Conference is the

property of FaqihAsy’ari Islamic Institute (IAIFA) Kediri and its content may not be copied

oremailed to multiple sites or posted to a listserv without the copyright holder's express

writtenpermission. However, users may print, download, or email articles for individual use.

http://proceeding.iaifa.ac.id/index.php/FAI3C