TARIAN GANDRUNG

7
GANDRUNG BANYUWANGI Gandrung Banyuwangi berasal dari kata “gandrung”, yang berarti ‘tergila-gila’ atau ‘cinta habis-habisan’ dalam bahasa jawa. Kesenian ini masih satu genre dengan seperti ketuk tilu di jawabarat,tayub di jawa tengah dan jawa tengah bagian barat, lengger di wilayah banyumas dan joged bumbung di bali, dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik (gamelan). Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas ini populer di wilayah banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung. Kenyataannya, Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung dan patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi. Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya. Menurut kebiasaan, pertunjukan lengkapnya dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan berakhir hingga menjelang subuh (sekitar pukul 04.00). Sejarah Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun demikian, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan. Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh wanita. Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20. Tata Busana Penari Tata busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda dengan tarian bagian Jawa lain. Ada pengaruh Bali (kerajaan blambangan) yang tampak.

Transcript of TARIAN GANDRUNG

Page 1: TARIAN GANDRUNG

GANDRUNG BANYUWANGI

Gandrung Banyuwangi berasal dari kata “gandrung”, yang berarti ‘tergila-gila’ atau ‘cinta habis-habisan’ dalam bahasa jawa. Kesenian ini masih satu genre dengan seperti ketuk tilu di jawabarat,tayub di jawa tengah dan jawa tengah bagian barat, lengger di wilayah banyumas dan joged bumbung di bali, dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik (gamelan).

Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas ini populer di wilayah banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung. Kenyataannya, Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung dan patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.

Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya. Menurut kebiasaan, pertunjukan lengkapnya dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan berakhir hingga menjelang subuh (sekitar pukul 04.00).

Sejarah

Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun demikian, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.

Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh wanita.

Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.

Tata Busana Penari

Tata busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda dengan tarian bagian Jawa lain. Ada pengaruh Bali (kerajaan blambangan) yang tampak.

Bagian Tubuh

Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.

Bagian Kepala

Kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh antensa, putra bima] yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari gandrung. Pada masa lampau ornamen Antasena ini tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti sayap burung. Sejak setelah tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada omprok hingga menjadi yang sekarang ini.

Page 2: TARIAN GANDRUNG

Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di atasnya. Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang pada gilirannya memberi kesan magis.

Bagian Bawah

Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-macam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri khusus adalah batik dengan corak gajah oling, corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Sebelum tahun 1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya.

Lain - Lain

Pada masa lampau, penari gandrung biasanya membawa dua buah kipas untuk pertunjukannya. Namun kini penari gandrung hanya membawa satu buah kipas dan hanya untuk bagian-bagian tertentu dalam pertunjukannya, khususnya dalam bagian seblang subuh.

Musik Pengiring

Musik pengiring untuk gandrung Banyuwangi terdiri dari satu buah kempul atau gong, satu buah kluncing (triangle), satu atau dua buah biola, dua buah kendhang, dan sepasang kethuk. Di samping itu, pertunjukan tidak lengkap jika tidak diiringi panjak atau kadang-kadang disebut pengudang (pemberi semangat) yang bertugas memberi semangat dan memberi efek kocak dalam setiap pertunjukan gandrung. Peran panjak dapat diambil oleh pemain kluncing.

Selain itu kadang-kadang diselingi dengan saron Bali, angklung, atau rebana sebagai bentuk kreasi dan diiringi electone.

Tahapan -Tahapan Pertunjukan

Pertunjukan Gandrung yang asli terbagi atas tiga bagian:

jejer maju atau ngibing seblang subuh

Jejer

Bagian ini merupakan pembuka seluruh pertunjukan gandrung. Pada bagian ini, penari menyanyikan beberapa lagu dan menari secara solo, tanpa tamu. Para tamu yang umumnya laki-laki hanya menyaksikan.

Maju

Setelah jejer selesai, maka sang penari mulai memberikan selendang-selendang untuk diberikan kepada tamu. Tamu-tamu pentinglah yang terlebih dahulu mendapat kesempatan menari bersama-sama. Biasanya para tamu terdiri dari empat orang, membentuk bujur sangkar dengan penari berada di tengah-tengah. Sang gandrung akan mendatangi para tamu yang menari dengannya satu persatu dengan gerakan-gerakan yang menggoda, dan itulah esensi dari tari gandrung, yakni tergila-gila atau hawa nafsu.

Setelah selesai, si penari akan mendatang rombongan penonton, dan meminta salah satu penonton untuk memilihkan lagu yang akan dibawakan. Acara ini diselang-seling antara maju dan repèn (nyanyian yang tidak ditarikan), dan berlangsung sepanjang malam hingga menjelang subuh. Kadang-kadang pertunjukan ini menghadapi kekacauan, yang disebabkan oleh para penonton yang menunggu giliran atau mabuk, sehingga perkelahian tak terelakkan lagi.

Page 3: TARIAN GANDRUNG

Seblang Subuh

Bagian ini merupakan penutup dari seluruh rangkaian pertunjukan gandrung Banyuwangi. Setelah selesai melakukan maju dan beristirahat sejenak, dimulailah bagian seblang subuh. Dimulai dengan gerakan penari yang perlahan dan penuh penghayatan, kadang sambil membawa kipas yang dikibas-kibaskan menurut irama atau tanpa membawa kipas sama sekali sambil menyanyikan lagu-lagu bertema sedih seperti misalnya seblang lokento. Suasana mistis terasa pada saat bagian seblang subuh ini, karena masih terhubung erat dengan ritual seblang, suatu ritual penyembuhan atau penyucian dan masih dilakukan (meski sulit dijumpai) oleh penari-penari wanita usia lanjut. Pada masa sekarang ini, bagian seblang subuh kerap dihilangkan meskipun sebenarnya bagian ini menjadi penutup satu pertunjukan pentas gandrung.

Perkembangan Terakhir

Kesenian gandrung Banyuwangi masih tegar dalam menghadapi gempuran arus globalisasi, yang dipopulerkan melalui media elektronik dan media cetak. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi pun bahkan mulai mewajibkan setiap siswanya dari SD hingga SMA untuk mengikuti ekstrakurikuler kesenian Banyuwangi. Salah satu di antaranya diwajibkan mempelajari tari Jejer yang merupakan sempalan dari pertunjukan gandrung Banyuwangi. Itu merupakan salah satu wujud perhatian pemerintah setempat terhadap seni budaya lokal yang sebenarnya sudah mulai terdesak oleh pentas-pentas populer lain seperti dangdut dan campursari.

TARIAN GANDRUNG

Jika dibanding dengan masyarakat lain di Jawa Timur, tampaknya komunitas Using memiliki seni tradisi yang lebih banyak dan beragam. Sebut saja beberapa diantaranya; Gandrung, Jinggoan, Mocoan, Kuntulan, dan Angklung. Masing-masing jenis seni ini pun memiliki maknanya sendiri-sendiri. Dari semuanya mungkin Gandrung menempati posisi yang istimewa. Begitu istimewanya, sehingga pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengukuhkan Gandrung sebagai maskot Kabupaten yang terletak di ujung timur Propinsi Jawa Timur itu, menggantikan lambang sebelumnya; ular berkepala Gatot Kaca. Pengukuhan itu diprakarsai sendiri oleh Bupati Banyuwangi, Samsul Hadi, bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Banyuwangi, 18 Desember 2002 yang lalu. Soal penetapan Gandrung sebagai maskot Banyuwangi tidaklah tanpa kontroversi. Anggota DPRD dari PPP menolak dengan keras keputusan ini, karena menurut mereka, gandrung tidak sesuai dengan Islam, padahal mayoritas masyarakat Banyuwangi pemeluk Islam. Pandangan politisi dari PPP ini mendapat tanggapan serius dari kalangan budayawan yang menganggap bahwa Gandrung tidak melanggar norma-norma Islam, dan justru kesenian inilah yang khas Banyuwangi. Para budayawan juga menganggap bahwa Gandrung mengandung nilai-nilai simbolis perjuangan wong Blambangan sekaligus identik dengan jati diri orang Using dan juga merepresentasikan karakter orang Using yang berakhlak aclak, ladak, dan bingkak (sok tahu, arogan dan tak mau tahu urusan orang lain).

Sebagai tari pergaulan, gandrung tentu saja sangat popular, walaupun dalam beberapa hal mirip dengan tayub, gambyong, jogged, lengger, teledhek, dan ketuk tilu di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Madura Pendalungan. Secara historis, Gandrung tak dapat dilepaskan dari Seblang, sebuah kesenian yang sarat ritual yang keberadaannya terbatas hanya di dua tempat yang terletak di sebelah barat Banyuwangi, yakni desa Bakungan dan desa Olehsari. Pentas Seblang diselenggarakan setahun sekali sebagai upacara ritual bersih desa atau selamatan desa dalam rangka menolak bala, keselamatan warga desa, penyembuhan, kesuburan, dan mengusir roh-roh jahat yang mengganggu ketentraman warga desa. Meskipun unsur hiburan dalam gandrung tampak menonjol, namun di dalamnya terdapat muatan kepercayaan kolektif yang sangat kuat.

Sandi

Kekhasan Gandrung Banyuwangi tampak pada lirik lagunya yang berbahasa Using. Sementara tari-gamelan mengesankan perpaduan Jawa-Bali adalah tampilan yang membedakan dari kesenian kesenian Jawa dan Sunda. Gending-gending yang dinyanyikan berkarakter perjuangan. Lirik lagu-lagu tersebut menggambarkan etos perjuangan rakyat Blambangan sejak zaman VOC. Di dalamnya banyak menggunakan simbol yang hanya dimengerti oleh masyarakat Banyuwangi.

Menurut cerita lisan, kesenian gandrung muncul bersamaan dibangunnya kota Banyuwangi pada saat pemerintahan Mas Alit. Antara lain dikisahkan: Setelah perang Bayu usai, Jaksanegara mengundurkan diri sebagai bupati. Atas usul patih Blambangan yang mendapat sebutan Ki Juru kunci, kompeni menunjuk Mas Alit yang ada di Bangkalan sebagai bupati pada tanggal 7 Desember 1773. Sebelum Mas Alit dilantik sebagai bupati dengan gelar Raden Tumenggung Wiraguna pada tanggal 1 Februari 1774, ia mengusulkan agar ibukota Blambangan dipindahkan. Kompeni menyetujui dengan menawarkan tiga tempat, yaitu Kotta, Ulupangpang, dan Pakusiram. Namun Mas Alit menolak dan menawarkan membuat kota baru di sebelah

Page 4: TARIAN GANDRUNG

utara dengan membabad hutan Purwaganda. Setelah dilantik Mas Alit mulai mengerahkan tenaga membabat hutan Purwaganda yang kemudian dikenal dengan nama kota Banyuwangi. Bersamaan dengan dibangunnya kota Banyuwangi muncul kesenian yang diberi nama gandrung.

Sejarah mencatat peristiwa puputan (perang habis-habisan) yang heroik itu terjadi di Bayu, Kecamatan Songgon Banyuwangi. Peristiwa ini amat bersejarah sehingga dijadikan sebagai hari lahir Kabupaten Banyuwangi (meski masih menjadi kontroversi hingga sekarang). Peperangan ini pulalah yang melegendakan nama Sayu (Mas Ayu) Wiwit sebagai tokoh pejuang wanita dari Banyuwangi yang menjadi inspirasi munculnya Tarian Seblang. Bahkan oleh sebagian masyarakat, arwah Sayu Wiwitlah yang dipercaya telah menuntun penari Seblang, terutama pada bagian puncaknya ketika penari Seblang sedang melantunkan gending Sukma Ilang.

Perang Bayu sendiri terjadi ketika VOC berkeinginan untuk menancapkan dominasinya di bagian timur Pulau Jawa sebagai upaya untuk merebut Bali. Watak imperialis yang diperlihatkan oleh VOC tentu saja membangkitkan perlawanan dari rakyat Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Jagapati alias Rempeg. Tetapi akhirnya Blambangan jatuh ke tangan VOC setelah benteng pertahanan di Bayu berhasil dikuasai. Episode inilah yang dilukiskan oleh Hasan Ali sebagai satu tragedi bagi sejarah rakyat Blambangan.

“Peperangan ini memakan korban tidak kurang dari 60.000 orang rakyat dari jumlah keseluruhan masyarakat Blambangan yang waktu itu tidak sampai 65.000 orang” tulis Hasan Ali dalam Sekilas Puputan Bayu: Tonggak Sejarah Hari Jadi Banyuwangi.

“Betapapun sakitnya kekalahan dalam perang itu, amat lebih sakit lagi melihat kenyataan bahwa yang memerangi rakyat Blambangan saat itu adalah saudara-saudara sesama pribumi dari Jawa dan Madura yang diperalat oleh VOC,” tambah Hasan Ali yang juga ayah artis Emilia Contessa dan kakek artis Denada ini. “Karena itu,” sambung Hasan Ali, “Kekecewaan masyarakat Using sempat membuat suku Using menutup diri terhadap komunitas luar. Bahkan dari kekecewaan sejarah itulah nama ‘Using’ dipergunakan untuk mengidentifikasi masyarakat Blambangan.”

Konon, akibat perang Bayu, sebagian besar pasukan melarikan diri ke hutan atau menyingkir ke pedalaman. Dalam jangka waktu yang lama, mereka bertahan di hutan, melakukan perang gerilya. Komunikasi diantara para gerilyawan dapat terjalin berkat partisipasi gandrung lanang yang pada awal pemunculannya digunakan sebagai media perjuangan. Para gandrung lanang menari sambil membawakan lagu-lagu perjuangan (bahasa sandi) mendatangi tempat-tempat yang dihuni rakyat Blambangan untuk memberi informasi tentang keberadaan tentara Belanda. Selain itu mereka juga mempengaruhi dan menganjurkan rakyat Blambangan agar meninggalkan hutan, keluar dari tempat persembunyiannya untuk segera membentuk masyarakat baru.

Pada masa pemerintahan Mas Alit, kesenian Gandrung banyak mengalami perubahan baik dalam tata busana, instrumen musik, maupun lagu-lagu (gending-gending) paju untuk mengiringi tari dan seni pencak silat. Perubahan juga terjadi pada primadona gandrung, yang semula diperankan oleh pria kemudian diganti perempuan. Pola pementasan gandrung terdiri atas: Jejer, Paju, Seblang-seblang. Musik iringan gending jejer yang semula gegap-gempita beralih menjadi irama lembut dan penari mulai melantunkan tembang Padha Nonton sebagai lagu wajib. Gending Padha Nonton terdiri atas delapan bait dengan tiga puluh dua baris. Biasanya gending dilagukan delapan baris saja dan untuk melagukan delapan baris berikutnya selalu dimainkan dua atau tiga lagu sebagai selingan. Dalam gending selingan banyak dipadati pantun-pantun daerah setempat yang disebut basanan dan wangsalan.

Gending Padha Nonton sebenarnya puisi yang menggambarkan perjuangan untuk membangkitkan semangat rakyat Blambangan melawan segala bentuk penjajahan. Meskipun demikian, keindahan syairnya juga mampu menciptakan ritme vokal untuk mengiringi tari penghormatan sebagai ucapan selamat datang bagi para tamu, seperti halnya tarian gambyong pada awal pertunjukan tayub atau Kidung Salamat pada pertunjukan jaipong. Pesan perjuangan penuh makna simbolis ini dituangkan melalui kata-kata sandi. Makna pesan inilah yang kemudian menjadi dasar perwatakan masyarakat Using dalam menciptakan identitasnya.

Perlawanan

Kesenian Gandrung, tidak lain adalah gambaran perlawanan kebudayaan sebuah masyarakat. Perlawanan terhadap berbagai ancaman, baik yang bersifat fisik maupun pencitraan negatif yang berulang kali terjadi dalam kesejarahan masyarakat Using. Dalam konteks pencitraan, misalnya tampak bagaimana sejarah nasional menggambarkan sosok Ronggolawe yang memberontak karena menjadi korban intrik internal di lingkaran Prabu Wijaya, Raja Majapahit pertama. Nasib Ronggolawe berakhir sebagai pemberontak di bumi Sadeng. Padahal, masyarakat setempat mencatat nama Ronggolawe sebagai tokoh yang berperan sangat besar dalam membantu Prabu Brawijaya mendirikan kerajaan Majapahit. (Dan nasib serupa pun dialami oleh tokoh-tokoh Majapahit sejamannya: Lembu Sora dan Nambi).

Page 5: TARIAN GANDRUNG

Masyarakat dan budaya Using secara historis adalah masyarakat Blambangan, sebuah kerajaan di wilayah ujung timur Pulau Jawa. Sedangkan lahirnya kota Banyuwangi, sebagai nama kabupaten erat kaitannya dengan kerajaan Blambangan yang pada awalnya lebih merupakan bagian dari kerajaan Majapahit. Tapi daerah yang dikenal subur bahkan merupakan lumbung padi Majapahit, kemudian menjelma menjadi pusat kekuatan oposisi yang dalam versi Majapahit maupun kerajaan Jawa Kulon sesudahnya selalu dikategorikan sebagai “konsentrasi pemberontak” dan memuncak dalam peperangan Paregreg (1401-1404). Perang Paregreg sendiri mengilhami penulis cerita perang antara Damarwulan dan Menakjinggo yang kemudian sering dilakonkan dalam pertunjukan Ketropak Mataram dan Jinggoan Banyuwangi dalam versi yang berlawanan. Jika dalam Ketropak Mataram Menakjinggo ditampilkan sebagai pemberontak, penindas rakyat, bertubuh cacat, maka di Jinggoan Banyuwangi ia ditampilkan sebagai pahlawan, gagah berani, tampan, dan memeperdulikan nasib rakyatnya.

Semua gambaran negatif tentang Minak Jinggo (Bre Wirabumi) itu ditolak keras oleh Budayawan Banyuwangi, Hasan Ali. “Itu tidak benar. Salah besar kalau Bre Wirabumi dikatakan buruk muka. Dia ngganteng, hanya saja memang ada goresan-goresan luka di wajahnya. Itupun karena pertempurannya dengan Kebo Marcuet. Dan ia berangkat ke Majapahit bukan dengan maksud memberontak, tapi sekedar ingin menagih janji Majapahit.”

Senada dengan Hasan Ali, Andang CY, seorang seniman kawakan Banyuwangi menuturkan, ”Menak Jinggo sesungguhnya adalah pahlawan masyarakat Banyuwangi. Pertama, ketika dia menumpas Kebo Marcuet yang lalim. Kedua, ketika ia mengangkat senjata melawan Majapahit yang menurutnya telah mengingkari janji untuk menghadiahinya Putri Kencono Wungu setelah mengalahkan Kebo Marcuet.” Nyatanya, Menak Jinggo dikalahkan oleh Damarwulan, seorang anak bekel (tukang kuda) yang kemudian memperistri Putri Kencono Wungu. Bahkan, kekalahan Menak Jinggo inipun berlanjut sampai pada penulisan sejarah tentangnya.

Hikmah

Sebagai satu daerah strategis untuk berinteraksi dengan Nusantara bagian timur, sejak dulu Blambangan tidak lepas dari incaran kerajaan-kerajaan besar di Jawa, termasuk Mataram Islam. Tercatat beberapa kali Sultan Agung melancarkan ekspedisinya untuk menaklukkan Blambangan, bersaing dengan Kerajaan Buleleng Bali. Meskipun gagal, usaha penaklukan ini toh telah menyakitkan perasaan masyarakat Blambangan.

Bisa jadi, letak Banyuwangi sebagai perlintasan antar kebudayaan –yang menjadikannya menjadi ajang klaim dan perebutan wilayah geografis– membawa hikmah tersendiri bagi pengembangan kebudayaan Using. Pergesekan kebudayaan sebagai implikasi dari pertarungan perebutan geografis telah mendewasakan produk kebudayaan Using sehingga menjadi sangat fleksibel terhadap unsur-unsur kebudayaan dari luat. Maka corak produk kebudayaan masyarakat Using—sebagaimana juga halnya kebudayaan Jawa—sesungguhnya kental dengan nuansa “sinkretik” dan “akulturatif”.

Orang tentu dapat melihat bagaimana maskot Kabupaten Banyuwangi sebelum Gandrung adalah ular naga berkepala Gatotkaca. Ular Naga adalah makhluk dalam mitologi Cina. Sementara Gatotkaca adalah adopsi yang dilakukan seniman wayang era Demak (Sunan Kudus dan Kalijaga) terhadap cerita Mahabarata dari India. Atau hadrah Kuntulan, Barongan Using, Angklung Caruk dan masih sangat banyak lagi.

Adakah ini semacam olok-olok kebudayaan dengan bungkus sanepan yang sangat halus? Bahwa siapapun –dan apapun– yang melintasi wilayah kebudayaan Using harus menerima kenyataan bahwa dirinya sedang dipribumikan oleh masyarakat Using. Seperti Segitiga Bermuda atau Lubang Hitam (Black Hole) di antariksa yang akan menyedot setiap materi yang melintasinya?