TARI GALOMBANG SEBAGAI STATUS SOSIAL · PDF fileSekarang tari galombang juga sebagai simbol...

13
TARI GALOMBANG SEBAGAI STATUS SOSIAL MASYARAKAT MINANGKABAU: SUATU PERUBAHAN 1 Oleh Nerosti Adnan 2 Abstract: Tulisan ini mengkaji perubahan yang terjadi pada tari Galombang baik dari segi koreografi maupun fungsi yang mengambil lokasi Kota Padang saja. Sebagai tari tradisional Minangkabau, pada mulanya tari galombang berfungsi dalam upacara penobatan penghulu (kepala suku) yang ditarikan oleh puluhan lelaki dengan gaya pencak silat atau silek galombang. Sekarang tarian ini ditarikan oleh perempuan dengan koreografi yang bervariasi. Perubahan mempengaruhi pada status sosial masyarakat. Bagi penghulu, Galombang adalah harga diri dan legitimasi yang lebih pada kekuatan kaumnya kerana negerinya punya anak muda yang tangguh bersilat, sehingga orang lain tidak mudah menjatuhkan kekuasaannya. Sekarang tari galombang juga sebagai simbol status sosial tetapi lebih kepada pandangan ekonomi. Koreografi tari galombang yang sekarang berkembang di kota Padang adalah perpaduan gaya sasaran dan gaya Melayu, yang sangat erat hubungannya dengan sejarah perkembangan geografis kota Padang, juga dengan intelektual, sosial budaya dan gaya hidup (status sosial) masyarakat Minangkabau di kota Padang Key word: Galombang, perubahan, status sosial. Pendahuluan Masyarakat Minangkabau adalah salah satu masyarakat etnis Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berada di Pulau Sumatera bahagian Barat, dalam system pemerintahan disebut dengan Propinsi Sumatera Barat. Semenjak ratusan tahun bahkan ribuan tahun masyarakat Minangkabau telah menumbuhkan, memelihara, dan mengembangkan tradisi mereka dalam satu wilayah yang dikenal dengan alam Minangkabau. Istilah Minangkabau mengandung pengertian kebudayaan di samping makna geografis. Ada suku “bangsa Minangkabau’, ada kebudayaan 1 Dipresentasikan pada Seminar Internasional “Strengthening Arts In The Perspective of Science” di Universitas Negeri Semarang Indonesia, pada 26 Agutus 2008. 2 Dosen Sendratasik Universitas Negeri Padang Indonesia dan Pensyarah Lawatan Fakulti Seni dan Muzik Universiti Pendidikan Sultan Idris Tanjong Malim Perak Malaysia. (Student Ph. D pada Fakulti Sastra dan Sains Sosial Universiti Malaya, Kuala Lumpur Malaysia)

Transcript of TARI GALOMBANG SEBAGAI STATUS SOSIAL · PDF fileSekarang tari galombang juga sebagai simbol...

TARI GALOMBANG SEBAGAI STATUS SOSIAL MASYARAKAT MINANGKABAU: SUATU PERUBAHAN1

Oleh Nerosti Adnan2

Abstract: Tulisan ini mengkaji perubahan yang terjadi pada tari Galombang baik dari segi koreografi maupun fungsi yang mengambil lokasi Kota Padang saja. Sebagai tari tradisional Minangkabau, pada mulanya tari galombang berfungsi dalam upacara penobatan penghulu (kepala suku) yang ditarikan oleh puluhan lelaki dengan gaya pencak silat atau silek galombang. Sekarang tarian ini ditarikan oleh perempuan dengan koreografi yang bervariasi. Perubahan mempengaruhi pada status sosial masyarakat. Bagi penghulu, Galombang adalah harga diri dan legitimasi yang lebih pada kekuatan kaumnya kerana negerinya punya anak muda yang tangguh bersilat, sehingga orang lain tidak mudah menjatuhkan kekuasaannya. Sekarang tari galombang juga sebagai simbol status sosial tetapi lebih kepada pandangan ekonomi. Koreografi tari galombang yang sekarang berkembang di kota Padang adalah perpaduan gaya sasaran dan gaya Melayu, yang sangat erat hubungannya dengan sejarah perkembangan geografis kota Padang, juga dengan intelektual, sosial budaya dan gaya hidup (status sosial) masyarakat Minangkabau di kota Padang Key word: Galombang, perubahan, status sosial.

Pendahuluan

Masyarakat Minangkabau adalah salah satu masyarakat etnis Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang berada di Pulau Sumatera bahagian

Barat, dalam system pemerintahan disebut dengan Propinsi Sumatera Barat.

Semenjak ratusan tahun bahkan ribuan tahun masyarakat Minangkabau

telah menumbuhkan, memelihara, dan mengembangkan tradisi mereka

dalam satu wilayah yang dikenal dengan alam Minangkabau.

Istilah Minangkabau mengandung pengertian kebudayaan di samping

makna geografis. Ada suku “bangsa Minangkabau’, ada kebudayaan

1 Dipresentasikan pada Seminar Internasional “Strengthening Arts In The Perspective of Science” di

Universitas Negeri Semarang Indonesia, pada 26 Agutus 2008. 2 Dosen Sendratasik Universitas Negeri Padang Indonesia dan Pensyarah Lawatan Fakulti Seni dan

Muzik Universiti Pendidikan Sultan Idris Tanjong Malim Perak Malaysia. (Student Ph. D pada Fakulti Sastra dan Sains Sosial Universiti Malaya, Kuala Lumpur Malaysia)

2

Minangkabau tetapi tidak ada bangsa Sumatera Barat, maupun kebudayaan

Sumatera Barat (Mansoer, MD, 1970: 2). Oleh karena itu hingga sekarang

orang Minangkabau juga menyebut keseniannya dengan kesenian

Minangkabau bukan kesenian Sumatera Barat.

Kesenian Minangkabau pada mulanya merupakan permainan rakyat

yang bersifat terbuka dari rakyat untuk rakyat. Oleh sifatnya yang terbuka

menjadi milik suatu komunitas yang mudah berubah. Pengertian berubah

dalam konteks sosio budaya Masyarakat Minangkabau dapat diartikan

Sebagai berkembang, memperkaya, dan memperbanyak aspek-aspeknya.

Dalam pepatah Minangkabau berbunyi: Sakali aie gadang, sakali titian

berubah (setiap air besar, maka titian akan berubah letaknya). Menurut

Hamka (2006: 29) sudah 3 kali air besar melanda Minangkabau: (1)

penjajahan Belanda dan masuknya Jepang, (2) perjuangan kemerdekaan

Indonesia, (3) pergolakan PRRI 1958-1960. Perubahan sendi adat dan tiga

pergolakan yang menyebabkan terjadinya perubahan, jelas tidak hanya

berdampak negatif saja. Pemerintah kolonial Belanda dan ajaran Islam yang

disebarkan oleh intelektual (Islam) memperkenalkan kebudayaan baru yang

merupakan suatu kemajuan. Jika ditanggapi pula secara positif, perubahan

social sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang diterima, baik kerana

perubahan-perubahan kondisi seperti geografis, kebudayaan material,

komposisi penduduk, ideology maupun kerana adanya difusi ataupun

penemuan-penemuan baru dalam masyarakat (Soejono,1997: 26).

Perubahan-perubahan kondisi geografis dan komposisi penduduk

adalah mengawali kemunculan kebudayaan baru bagi masyarakat

Minangkabau di Kota Padang. Padang sebagai ibukota propinsi Sumatera

Barat yang terletak ditepi pantai pesisir, pada awalnya hanya kota kecil

dengan luas 33 Km2, yang terdiri dari 3 kecamatan: Padang Barat, Padang

Selatan dan Padang Timur (Padang dalam angka 2006). Masyarakat

Padang mempunyai budaya modern yang berbeza dengan masyarakat

Minangkabau lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh gaya hidup Belanda di masa

penjajahan diabad ke 18. Pada masa itu Belanda mengangkat kaum elit

tradisional yang sekarang dikenal dengan bangsawan Padang (Mulyadi,

3

1994, Rusli Amran, 1981). Golongan angku-angku di Kota Padang yang

lebih dikenal bangsawan Padang bersifat heterogen, mengakibatkan tidak

terdapat kultur dominan di antara mereka. Dalam mengkonsumsi kesenian

mereka lebih mempergunakan unsur-unsur Barat, baik dalam hal muzik

maupun tarian. Muzik mereka menggunakan alat muzik buatan Eropa

dengan tangga nada diatonis, ada unsur harmoni, melodi, dan pola irama

yang jelas. Dalam hal tarian mereka mencontoh tari-tarian atau dansa-dansi

orang Belanda yang berfungsi sosial pergaulan atau ditarikan berpasangan

dengan mengutamakan fungsi rekreasional bagi penarinya sendiri. Sangat

berbeda dengan nagari-nagari yang terletak di bagian pedalaman di sekitar

kota Padang, seperti Nagari Pauh, Koto Tangah, Kuranji (yang dulunya

masuk wilayah Padang Pariaman tetapi sekarang sudah menjadi kecamatan

di kota Padang). Yang masih kuat dengan sistem sosial dan budaya menurut

norma-norma adat dan agama, yang tidak memberi peluang pada wanita

untuk menari. Para bangsawan Padang tersebut berkembang tari pergaulan

yang ditarikan secara berpasangan oleh lelaki dan perempuan, tarian

tersebut disebut dengan tari Minangkabau gaya Melayu.

Undang-undang no: 5/1979 dan PP No: 17/1980 luas wilayah Kota

Padang menjadi 698,96 Km2, dengan 11 kecamatan. Sebahagian

kecamatan yang bergabung awalnya adalah dari kabupaten lain terutama

dari kabupaten Padang Pariaman, yang masih kuat mempertahankan nilai-

nilai tradisi Minangkabau. Dengan terjadinya pengembangan kota maka

secara otomatis masyarakat mengalami proses urbanisasi, yang menurut

Evers & Korff (2002: 354) melibatkan pula proses budaya seperti akulturasi,

difusi, dan asimilasi. Proses urbanisasi yang dialami masyarakat perkotaan

melibatkan peranan, gaya hidup, symbol, bentuk organisasi, artifak budaya

yang bercirikan kota yang serba berubah. Mereka dapat bersama-sama

memahami makna, nilai, dan perspektif perkotaan. Perubahan sosial

selanjutnya terjadi dengan munculnya kelas menengah di kota-kota, terdiri

dari golongan intelektual, peniaga dan pengusaha. Pada mulanya golongan

kelas menengah ini memang tidak memusatkan perhatian pada masalah

kebudayaan, tetapi lebih memusatkan perhatian pada masalah politik dan

ekonomis. Namun pada akhirnya kelas menengah yang muncul di kota-kota

4

tersebut menjadi pendukung kebudayaan baru bahkan menjadi patron dari

sebuah kebudayaan baru. Dengan terjadinya perkembangan kota dan

munculnya masyarakat urban yang memunculkan kebudayaan sendiri pula

maka membawa dampak yang positif terhadap perkembangan seni

pertunjukan Minangkabau.Tari galombang yang menjadi topik penulisan ini

sedang mengalami perubahan yang diduga berdampak dari proses

urbanisasi dari pengembangan kota Padang. Tari galombang yang

digunakan untuk tari penyambutan tamu pada awalnya ditarikan oleh

puluhan lelaki seperti pendekar kerana geraknya pencak silat. Tarian ini ada

yang ditampilkan dalam bentuk satu arah menghadap kepada tamu, ada

yang dua arah dalam bentuk dua kumpulan saling berlawanan dengan jarak

10 meter kemudian semakin dekat dan disudahi dengan pertarungan silat,

kemudian disuguhkan carano kepada tamu (Zulkifli, 2003, Hartati, 1999,).

Navis (1984) menulis tari galombang adalah tari upacara: penobatan

Penghulu (kepala suku) dan majlis perkahwinan yang ditarikan oleh puluhan

lelaki dalam bentuk dua arah atau berlawanan tetapi tidak terjadi

pertarungan. MID Jamal (1982: 32) meneliti Tari Galombang di beberapa

nagari di Pesisir Selatan, ditemukan tari galombang duo baleh menghadap

kepada tamu ditarikan 12 penari lelaki dengan gerak pencak silat dalam

bentuk satu arah.

Tari Galombang pada hakekatnya menjemput dan mengarak tamu

ibarat datang raja menanti raja, yang maknanya tamu dan tuan rumah

adalah sederajat. Banyak penelitian terdahulu iaitu Risnawati (1993),

Sawanismar (1994), Maryeliwati (1995) meneliti tari galombang pada nagari

yang berlainan, semua menyatakan tari galombang ditarikan oleh lelaki

dengan gerak pencak silat yang berfungsi untuk menyambut tamu di

lapangan terbuka. Zulkifli bahkan mengatakan tari galombang tidak pernah

ditampilkan di dalam ruangan, tetapi di lapangan. Nerosti (1992) meneliti

pemula “Bentuk dan Fungsi Tari Galombang di Sumatera Barat”, 2 tari

galombang (Sado dalam bentuk galombang), galombang 12 Pesisir Selatan,

masih ditarikan oleh lelaki dengan gerak silat gaya daerahnya, dan tari

galombang grup Syoyani, Indojati, Sendratasik telah bervariasi gerak dan

penarinya perempuan. Penelitian terdahulu juga belum memunculkan

5

permasalahan tentang perubahan tari galombang yang berkembang di kota

Padang dan pentingnya untuk sebuah pesta atau untuk sebuah acara, yang

erat hubungannya dengan status sosial masyarakatnya.

Sekarang tari galombang berkembang di kota Padang ditarikan oleh

perempuan, tampil sebagai penyambutan tamu dalam segala aktivitas

masyarakat seperti pesta perkawinan, dan acara pemerintah, bahkan tampil

untuk penobatan penghulu tetapi untuk tamu yang datang.

Gambar 1: Tari Galombang kreasi yang berkembang di kota,

(Dokumentasi Nerosti Adnan, 2007)

6

Gambar 2: Galombang Duo Baleh tari tradisional Bayang Pesisir Selatan

(Refroduksi MID Jamal, 1982).

Tari Galombang Gaya Sasaran Sebagai Status Penghulu

Tari galombang tradisional pada mulanya ditarikan oleh puluhan

lelaki. Ada yang dalam bentuk satu arah menghadap kepada tamu (seperti

tari galombang yang telah dideskripsikan di atas), dan ada pula dalam

bentuk dua arah yang ditarikan oleh dua kumpulan lelaki.

Hartati (1999) meneliti tari galombang di Ampalu Pariaman Sumatera

Barat, Tari galombang yang terdapat di Ampalu adalah tari galombang dua

arah atau dua kelompok. Setiap upacara tradisional, Penghulu atau ketua

adat selalu menjadi tamu penting, misalnya dalam sebuah alek nagari (pesta

negeri) maka penghulu datang dari tiap-tiap negeri. Untuk penyambutan

penghulu tersebut maka disambut dengan tari galombang, namun tari

galombang tidak hanya dari pihak tuan rumah sahaja, tetapi juga dari pihak

penghulu atau tamu yang datang. Jika tamu tersebut tidak membawa tari

galombang, maka tuan rumah menyediakan penari yang berperan dari pihak

tamu dan pihak sipangka (tuan rumah). Tari galombang di Ampalu

merupakan adu kekuatan. Galombang dari pihak tuan rumah disebut dengan

7

kumpulan majo kayo (pihak tuan rumah yang dianggap kaya), sebaliknya tari

galombang dari pihak tamu disebut kumpulan majo lelo (meraja lela iaitu

kumpulan penyerang yang dapat melakukan gerak dengan leluasa kerena

mereka menyerang). Kedua kumpulan tersebut menampilkan gelombang

secara serentak, masing-masing kumpulan berjarak kira-kira 10 meter.

Galombang majo kayo membelakangi gerbang rumah atau tempat acara dan

menghadap kepada tamu, sedangkan galombang dari tamu majo lelo

menghadap ke galombang tuan rumah. Awal persembahan didahului dengan

bunyi muzik iaitu gandang tambua yang dikombinasikan dengan tasa

(rebana), muzik ini adalah muzik kesenian Tabuik di Pariaman. Masing-

masing gerak dikomandoi oleh tukang alieh (ketua kumpulan), selain dari

penari dan tukang alieh ada pula Janang iaitu Juri atau wasit yang lebih

berperan sebagai pelerai, jika permainan sudah mengarah pada perkelahian

maka Janang akan melerai. Kedua tukang alieh seperti pesilat yang sedang

bertarung (berkelahi), kadang-kadang mereka juga saling sepak terjang,

setiap serangan lawan biasanya selalu terelakkan. Penari yang lainnya

masing 4-8 orang di belakang tukang alieh, penari yang lainnya selalu

mengikuti gerak tukang alieh tetapi tidak berlawanan dengan penari

lawannya. Jika pergerakan antara kedua tukang alieh sudah semakin keras

dengan emosi perkelahian, maka Janang menyuruh pembawa carano untuk

menyuguhkan sekapur sirih.

Tari galombang serupa juga masih berkembang di Koto Tangah

Padang yang masih digunakan untuk penobatan penghulu tetapi yang

disambut dengan tari galombang adalah Wali Kota Padang Fauzi Bahar

yang menghadiri upacara penobatan penghulu. Kumpulan tari tradisional

“Kato Sapakat” memakai istilah penangkis untuk tuan rumah/majo kayo dan

sebutan penyerang untuk penari dipihak tamu/majo lelo. (Nerosti Adnan:

Survey 13Juni-1Juli 2008).

Ada tiga makna tari galombang dua arah yang ditampilkan pada

upacara malewakan/penobatan penghulu:

1. Sebagai simbol, galombang hanya ditampilkan untuk penghulu pucuk

sahaja (penghulu yang terpilih sebagai ketua dari segala penghulu di

8

nagari tersebut). Jika galombang ditarikan maka masyarakat akan

mengetahui bahawa tamu yang datang adalah Penghulu Pucuk. Jadi

dapat diartikan bahwa tari Galombang di Ampalu adalah tari

kebesaran Penghulu. Di Koto Tangah, tari galombang juga

merupakan simbol, namun sudah terjadi perubahan fungsi karena

status sosial Wali Kota lebih kepada kekuatan sistema pemerintahan

bukan status kekuatan ketua adat. Hakekat simbol sebagai legitimasi

seorang pemimpin juga sama-sama ditemukan ketika galombang

dipertunjukkan.

2. Galombang sebagai kehormatan, masyarakat Ampalu dan Koto

Tangah Padang yang sangat menghormati pemimpinnya iaitu

penghulu sebagai yang dihormati dalam adat Minangkabau dan Wali

Kota sebagai pemimpin dalam sistem pemerintahan. Kehormatan

yang mendalam pada diri penari. Mereka menari tampa pamrih atau

tanpa bayaran, penari meninggalkan pekerjaannya demi menyambut

penghulu atau wali kota dengan tarian galombang. Masyarakat

merasa jika tari galombang tidak ditampilkan ketika penghulu datang

pada suatu upacara adat, maka mereka tidak menghormati pemimpin

mereka bahkan beranggapan akan mendapat bencana3. Menari bagi

penari galombang adalah sebuah pengakuan untuk menghormati dan

meningkatkan derajat seorang penghulu.

3. Galombang sebagai persahabatan, dengan adanya dua kumpulan

menari, maka mereka sudah martabat masing-masing, baik dari pihak

si tamu mahupun dari pihak tuan rumah. Ketika mereka menari yang

pergerakannya lebih bergaya silat dalam bentuk pertandingan, maka

dengan cara demikianlah mereka saling mengenal dan lebih

memperkuat persahabatan mereka sebagai pendekar.

Navis (1984: 244) mengkategorikan tari galombang ke dalam jenis tari

upacara kerana ditampilkan pada penobatan penghulu (kepala suku) dan

majlis perkawinan yang ditarikan oleh puluhan lelaki dalam bentuk dua arah

atau berlawanan tetapi tidak terjadi pertarungan.

3 Wawancara dengan Pak Nasir Penari Galombang Grup Kato Sepakat koto Tangah , 26 Juni 2008

9

Tari Galombang Kreasi sebagai Status Sosial Masyarakat di Perkotaan Di sebuah aula telah terpasang pelaminan pertanda berlangsungnya

pesta perkawinan adat Minangkabau di kota Padang. Penyambut tamu dan

semua keluarga telah berpakaian mewah, para undangan sudah memenuhi

aula tersebut. Kemudian rombongan penganten yang disebut anak daro jo

marapulai memasuki gerbang aula tempat berlangsungnya acara,

bersamaan MC (pengacara) mengucapkan pantun yang berbunyi:

Bungo cimpago jo bungo rampai Hiyasan sanggua bidodari Jauah bajalan kini lah sampai Penganten lah tibo ditampek resepsi (Bunga cempaka dan bunga rampai, Hiasan sanggul bidadari, Jauh berjalan sekarang telah sampai Penganten telah tiba di rumah kami)

Hadirin mohon berdiri

Dietong kilek jo piobang

Bundo kanduang alah malenggang Disonsong silek jo galombang Tando rang Minang baralek gadang (dihitung kilat dan piobang (sejenis binatang). Bunda kandung sudah melenggang, dijemput dengan tari galombang tanda orang Minangkabau mengadakan pesta mewah)

Musik gendang dan tasa diiringi bunyi talempong dan tiupan sarunai

bersamaan dengan gerakan penari galombang. Dua orang penari laki-laki

dengan barisan 2 berbanjar, serempak bergerak pencak yakni meneriakkan

ap... sambil bertepuk, melakukan gerak langkah satu, langkah duo, dan

langkah tigo, sambil melangkah ke depan, berputar, disertai gerak tangan

menyiku dan menusuk, kemudian melakukan beberapa variasi gerak silat

seperti menyerang, menangkis, menyepak dan menerjang, yang diakhiri

dengan sambah hormat kepada kedua penganten. Gerak yang berkesan

tangkas, gesit, dan tajam tersebut lebih mengutamakan keindahan gerak

tarian dari pada mengekspresi silat Minangkabau yang aslinya. Di belakang

menyusul 8 orang penari wanita, masih dalam pola lantai 2 berbanjar,

dengan lembut merentang kedua lengan ke samping dan perlahan-lahan

bergerak ditempat dengan gerak tanang dan simpie. Dengan serentak

10

mereka bergerak maju dengan gerak anak main, lapieh jarami. dan lenggang

karaie. Di belakang penari itu menyusul pula 4 orang penari wanita yang

memegang jamba4 hiasan. Dengan lemah gemulai sambil tersenyum penari

tersebut terus menari ke depan hingga akhirnya mereka berada pada

barisan paling depan pas di depan penganten. Jamba digerakkan ke atas

dan ke bawah, ke kiri ke kanan seperti melukiskan setengah bulatan. Di

barisan paling belakang dengan perlahan-lahan terus berjalan tiga orang

wanita memakai pakaian adat yang lengkap, salah satunya memegang

carano berisikan sekapur sirih yang akan disuguhkan kepada kedua

penganten.

Tarian yang telah dideskripsikan di atas adalah tari galombang kreasi

yang didominasi oleh penari wanita. Tarian seperti itu telah mentradisi pula

berkembang di tengah masyarakat terutama di kota Padang dan selalu

digunakan untuk penyambutan tamu. Tidak hanya untuk menyambut

penganten sahaja tetapi juga untuk menyambut semua tamu yang dihormati

dalam berbagai aktivitas masyarakat. Bagi acara tertentu di kalangan pejabat

pemerintah tari galombang selalu digunakan untuk menyambut camat hingga

Presiden, para pengusaha dan para wisatawan yang berkunjung ke

Sumatera Barat khususnya di Kota Padang. Koreografinya sudah tertata

secara profesional, sehingga dapat memberikan sajian estetis kepada tamu

dan merupakan kebanggaan pula bagi yang punya pesta jika dapat

menjemput tari galombang untuk disajikan kepada tamunya. Semakin bagus

koreografi tari galombang yang ditarikan dalam sebuah pesta, semakin tinggi

pula kebanggaan atau “gengsi” seseorang.

Pembahasan

Royce (1977) mengatakan bahwa tari tidak hanya berkaitan dengan

pelaku dan penonton, melainkan berhubungan dengan aspek sosio cultural

baik dalam batas regional atau suku bangsa, perbezaan kelas dan status

maupun perbezaan kebangsaan. Keseluruhan ciri yang menentukan pola

4 Jamba adalah lauk-pauk yang diletakkan di beberapa piring kemudian disusun di atas dulang yang ditutup dengan tudung dan dulamak (kain beledru bersulam emas). Biasanya jamba hanya dihadirkan pada acara-acara tertentu seperti pada pesta perkawinan.

11

dalam tari berkembang melalui peniruan-peniruan dan interaksi antara

anggota masyarakat, sehingga berkembang melembaga menandai sebuah

identitas. Pola itu dinamakan gaya. Gaya tersusun dari simbol-simbol dan

bentuk-bentuk yang berasaskan pada orientasi nilai yang dianut, diyakini,

dan diinternalisasikan dalam anggota kelompok.

Sebuah tarian etnik merupakan tari yang tumbuh dan berkembang

dalam budaya agraris, suku bangsa, dan selalu terjadi perubahan dalam

koreografinya untuk keperluan hiburan, upacara ritual atau aktiviti sosio-

kultural, yang kemudian menjadi milik bersama oleh masyarakat Kurath

(1992). Kurath menilai koreografi tarian boleh dipengaruhi oleh keragaman

budaya dan perbezaan wilayah, ia memperkenalkan etnokoreografi sebagai

persamaan dengan etnologi tari sebagai kajian tentang hubungan tari

dengan budaya, fungsi-fungsi keagamaan atau sebagai simbol status

masyarakat. Etnokoreologi juga mengkaji tentang tari yang tumbuh dalam

sebuah komunitas untuk melihat kepada koreografi tari masyarakat yang

berhubungan dengan persembahan kinestetik, struktur pergerakan (teks)

dan konteks tarian dalam sebuah budaya.

Sehubungan dengan itu ditampilkannya tari galombang pada upacara

penghulu yang saat itu peran penghulu masih kuat di tengah masyarakat

Minangkabau, maka fungsi tari jelas sebagai simbol status sosial yang kuat.

Dalam kebudayaan Minangkabau kegiatan pencak dan tari lahir dari sasaran

oleh komuniti orang mudo.Setiap nagari mempunyai sasaran dengan gaya

yang khas.

Kerana struktur budaya Minangkabau telah melintasi budaya masa

kini hingga citra keunikan kesenian nagari itu telah mengabur. Pelembagaan

festival-festival, sekolah-sekolah dan berbagai keperluan nasional

menyebabkan kesenian nagari menjadi milik Minangkabau secara umum.

Hal ini dipercepat dengan berdirinya Sekolah Tari, yang berfungsi sebagai

kasalisator. Dalam system budaya Minangkabau semula tak dikenal penampilan perempuan dalam tari. Sedyawati mengatakan, Fuji Astuti

membahas peranan para koreografer wanita Minang di bidang tari telah

12

menggeser pandangan konvensional dalam masyarakat adat Minang

mengenai peranan wanita diarena publik, para koreografer itu mewakili

lingkungan kota (Astuti, 2004: Pengantar).

Hawkins (1991) dalam proses koreografi ada 3 langkah yang harus

dilalui oleh seorang koreografer iaitu: eksplorasi, improvisasi, dan komposisi.

Ketiga langkah tersebut diberinya tajuk “pola pertumbuhan koreografi dalam

bentuk Spiral”, bahwa seorang koreografer adalah sebuah pribadi yang

ekspresif, yang dalam dirinya terdapat berbagai ide yang disebutnya abstrak

universal. Diproses melalui berbagai aksi kreatif yang berlapis-lapis.

Pertumbuhan kreativitas yang berwujud bagai sebuah spiral itu terbentang

melalui serangkaian tahap atau tingkatan. Aksi kreatif yang berproses secara

bertingkat itu muncul secara spontan, khayalan mengalir melalui gerakan

yang terungkap secara nyata. Aksi tubuh pun sensitive pada gerak-gerak

baru. Proses koreografi akan tetap sama melalui tingkatan-tingkatan yang

disebut spontaneity, fluent imajiner, Movement Developed-Phrasing,

Sensitive Dynamic, Differentiation-Integration, dan Inovative, namun dalam

tingkat pencapaian akan muncul variasi atau kreasi yang berbeda-beda.

Merujuk kepada teori Hawkins inilah dapat dipahami bahwa munculnya

koreografi dengan berbagai kreativitas koreografer di kota Padang adalah

suatu yang wajar.

Simpulan

Perubahan yang terjadi pada tari galombang dalam masyarakat

Minangkabau di kota Padang: (1) Proses akulturasi dua gaya tari

Minangkabau gaya sasaran dan tari Minangkabau gaya Melayu

memperkembangkan fungsi tari yang dapat melegitimasi status social

masyarakat Minangkabau. (2) Perkembangan koreografi terjadi kerana faktor

profesional yang ditandai dengan kreativiti seorang koreografer dalam

mengkoreografi tari galombang. Memuaskan konsumen Tari Galombang

adalah pekerjaan yang harus dilakukan, supaya order selalu

berdatangan, motivasinya adalah uang. Uang bukan sekedar bukan

sekedar ekspresi simbolik dari aspek-aspek kehidupan, tetapi uang juga

merupakan ekspresi simbolik dari aspek kehidupan lainnya seperti sosial,

13

budaya, politik, dan agama (Damsar: Sosiologi Uang, 2006: 34). Menari

zaman sekarang juga sangat berbeda dengan menari zaman dahulu. (3)

Perubahan itu ditandai dengan perubahan ikon lelaki menjadi ikon

perempuan.

Berdasarkan kesimpulan di atas maka tesis yang dapat dikemukakan

adalah: Perubahan tari Galombang Kreasi sangat erat hubungannya dengan

intelektual, sosial budaya dan gaya hidup (status sosial) masyarakat

Minangkabau di kota Padang.

Kepustakaan Astuti, Fuji (2004) Perempuan dalam Seni Pertunjukan Minangkabau: Suatu

Tinjauan Gender. Jokjakarta: Kalika Amran, Rusli (1981). Padang Riwayatmu Dulu. Jakarta: Yasaguna. Dieter Evers, Hans dan Korf, Ridger (2002) Terjemahan Zulfahmi. Urbanisasi di

Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan Dalam Ruang-ruang Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Hamka (2006). Islam dan adat Minangkabau. Kuala Lumpur: Pustaka Dini SDN BHD

Hartati (1999). Tari Galombang Sebagai Penyembutan Tamu di Ampalu Kabupaten Padang Pariaman” Padangpanjang: STSI Press

Hawkins, Alma (1991) Moving From Within: A New Methode for Dance Making” Holt, Claire. 1967. Art. In Indonesia: Countinuities and Change. Cornell University

press. Ithaca New York. Mansoer, MD. 1970. Sejarah Ringkas Minangkabau. Jakarta: Bhratara Mulyadi. KS (1994), Tari Minangkabau Gaya Melayu Paruh Abad XX Continuitas

dan Perubahan. Tesis S-2 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Navis (1984). Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Budaya Minangkabau. Jakarta:

Grafiti Press Nerosti(1992) “Tari Galombang dalam Masa Transisi”. Laporan Penelitian. Padang:

Universitas Negeri Padang Padang Dalam Angka (2006). Padang: Badan Statistik Royce (1977). The Antrophology of Dance. Bloomington and London:

Indiana University Press, 1977. Zulkifli (2003) Tari Penyambutan Tamu di Sumatera. Padangpanjang: SISI