Tantangan Pembangunan Infrastruktur Sumber Daya …€¦ · Adaptasi berkaitan dengan keacakan...
-
Upload
truongquynh -
Category
Documents
-
view
227 -
download
0
Transcript of Tantangan Pembangunan Infrastruktur Sumber Daya …€¦ · Adaptasi berkaitan dengan keacakan...
Seminar Nasional : Tantangan Pembangunan Berkelanjutan & Perubahan Iklim di Indonesia USU – BLH Sumut , Medan 2 Juni 2012
Tantangan Pembangunan Infrastruktur Sumber Daya Air Berkelanjutan Menghadapi Perubahan Iklim Ikhwal Urban Metropolitan Jakarta
Prof.Dr. Ir. Arwin Sabar, MS 1,2)
Nicco Plamonia ST, MT 3)
Ketua Kelompok Keahlian Teknologi Pengelolaan Lingkungan1)
Staf Ahli Sumber Air & Manajemen Air Ikatan Ahli Teknik Penyehatan & Lingkungan Indonesia2)
Lulusan S2 Program Studi Teknik Lingkungan 3) Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan
Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesha No. 10 Bandung
Telepon (022) 2502647 E-mail : [email protected] 1)
Abstrak
Sumber daya air adalah sumber daya alam yang dapat diperbarui melalui siklus hidrologi, yang dipengaruhi oleh perubahan iklim dan konversi lahan, membentuk rezim hidrologi tercatat di data historikal Hidrologi dimana komponennya berkarakter acak dan stokastik, sedangkan pembuangan air dari daratan laut tergantung pasut, merupakan fenomena deterministik. Iklim menpengaruhi keberlanjutan sumber air (water sustainability ) keacakan karakter komponen utama Hidrologi(P,Q) , m para ahli manajemen air merespon pengendalian air dalam dua langkah utama, yaitu langkah pertama adaptasi dan langkah kedua mitigasi. Adaptasi berkaitan dengan keacakan hujan & debit air , sehingga para ahli manajemen air mengembangkan konsep debit rencana banjir/kekeringan dalam pembangunan infrastruktur sumber daya air (drainase, infrastruktur air minum dan pengelolaan waduk multiguna) dan obyektif pembangunan infrastruktur SDA agar berkelanjutan dalam ruang dan waktu. Sedangkan mitigasi adalah upaya mempertahan keberlanjutan sumber air di daerah aliran sungai, bentuk konkrit upaya pengendalian air Mitigasi secara indirect yakni menerbitkan peraturan/UU pengendalian limpasan/pencemaran air dan secara direct yakni berupa insentif & disinsentif(pinalti & denda). Dari analisa time series hujan (P), debit air (Q) di zona iklim tipe monsoon, dan muka air laut di teluk Jakarta, ditemukan hujan semakin ekstrim,terjadi kenaikan muka air laut diperburuk eksploitasi air tanah & konversi lahan urbanized Land Cover di hulu ( real estate ) dan hilir sungai( reklamasi ), sehingga infrastruktur sumber daya air semakin terancam fungsi utilitasnya, dampaknya semakin meluasnya genangan banjir dipesisir dan lebih lama. Fenomena terjadi degradasi infrastruktur sumber daya air terutama ditemukan di urban Metropolitan : Jakarta , Bandung dan Semarang. Mengatasi pengaruh perubahan iklim terhadap degradasi infrastruktur sumber daya air dengan pendekatan “ Drainase Eco Friendly” , penghentian eksploitasi air tanah & subsitusi dengan air permukaan . Dstnya semakin pentingnya pelaksanaan pengendalian air secara mitigasi (indirect dan direct) dalam rangka terselenggaranya keberkelanjutan infrastruktur sumber daya air dan juga perlu dilaksanakan pengendalian air terpadu, baik secara kuratif maupun preventif. Kata Kunci: Perubahan iklim, debit rencana banjir/kering, infrastruktur sumber daya air, turunnya
muka tanah, konversi lahan, genangan air, preventif & kuratif.
I. Pendahuluan
Laju kawasan terbangun di DKI Jakarta begitu pesat, sebagai pusat pemerintahan ditransformasi
menjadi kota jasa Jakarta telah mengalami deformasi dari tahun ke tahun dan berkembang ke 4 (empat)
arah penjuru , yakni berkembang ke arah barat (Tangerang), timur (Bekasi), selatan (Bopuncur) dan
utara reklamasi Pantura Jakarta, yang membentuk Megapolitan Jakarta. Hal ini terlihat pada Gambar 1.1.
Konversi lahan di kawasan DAS hulu berupa perambahan hutan yang menjadi lahan budidaya
dan permukiman mengakibatkan ekstrimitas debit air yang memperparah ancaman banjir & kekeringan
di kawasan pesisir (Gambar 1.2). Dengan menggunakan pendekatan hidrologi statistik, perambahan
fungsi hutan dan konversi lahan budidaya menjadi lahan terbangun dapat dilakukan kajian lebih lanjut.
Sebagai input data hidrologi adalah arsip data hujan (P) dan debit (Q) dan output degradasi fungsi
hidrologis lahan dinyatakan dengan degragasi debit rencana banjir/kekringan, sedangkan laju perubahan
konversi lahan pemetaan akan menggunakan citra satelit.
Gamb 1.1 Perkembangan Tata Ruang Jakarta (1972-2005)
Kota Metropolitan (Jakarta, Semarang dan Bandung) yang memiliki tingkat populasi di atas
1(satu) juta jiwa dan mobilitas yang tinggi. Secara geografis terletak pada Siklus Hidrologi hujan zona
tipe Monsoon, dimana curah hujan terpusat pada musim monsoon barat sedangkan curah hujan rata-
rata pada monsoon timur relatif di bawah 100 mm/bulan. Pengaruh perubahan iklim terhadap hujan,
konversi lahan mewarnai perubahan watak aliran air menuju ekstrim (Q), hal ini mengancam
infrastruktur sumber daya air (Gambar 1.2 Banjir Jakarta 2002, Bencana Situ Gintung 2009).
Polemik tentang banjir dan reklamasi Pantura di pesisir Jakarta terjadi pada masyarakat
luas/akademik: Pernyataan Kementrian KLH “Penataan ruang berbasis permintaan pasar mengancam
keberlanjutan sumber air” (Kuliah Studium Generale di ITB ,2003), Pernyataan Menteri
KIMPRASWIL “Reklamasi menyebabkan pembuangan air dari darat ke laut semakin sulit,”. (Kompas,
2003) dan pernyataan Dirjen CK Kementrian PU Budi Yuwono (capita selekta Infrastruktur FTSL-ITB
,2012).: kebijakan masa lampau membuang air secepat ke sungai & laut berpengaruh semakin parahnya
muka air tanah di Metropolitan Indonesia .
Ditambah dengan adanya fakta kerusakan lingkungan di Pesisir Pantura Jakarta yang semakin
parah : meluasnya banjir, rob, turunnya muka tanah dan fenomena amblesnya Jalan Martadinata Jakarta.
Gamb 1.2. Degradasi infrastruktur sumber daya air
Dari overlay peta upaya pemberdayaan lahan di pesisir pantai utara Jakarta, diketahui bahwa laju
penambahan daratan di pantura Jakarta antara tahun 2003 – 2007 bertambah 458,6 Ha dan rencana
Reklamasi Pantura RTRW 2015 dengan luas total reklamasi 2700 ha lebar 2-2,5 km ke arah laut
Naiknya muka laut rata-rata dipengaruhi oleh perubahan iklim akibat fenomena pemanasan global
yang memberikan dampak cukup serius bagi iklim dunia. Salah satu dari dampak pemanasan global
adalah mencairnya lempeng es di Antartika, Greenland dan gletser di benua. Pencairan es ini
menyebabkan kenaikan muka laut. Peningkatan muka laut (sea level rise/SLR) di Teluk Jakarta diketahui
sebesar 0,575 cm/thn.
semakin ekstrimnya debit air dari hulu sungai –sungai yang bermuara di Teluk Jakarta
pengaruh perubahan iklim terhadap intensitas hujan ,Kurva banjir dari hulu sungai dan naiknya muka
air laut dan diperburuk dengan subsidence muka tanah ( Gambar 1.3) dan diperburuk konversi lahan
dari forested land cover ke urbanized land cover , pemberdayaan lahan pesisir Jakarta 1991, 2003, 2007,
2010 dan konversi lahan di hulu Sungai , maka ancaman banjir semakin meluas di Jakarta (lihat
Gambar 1.4).
dan fenomena memoire hujan berurutan 5 hari (Arwin, Kompas 11 Febuari 2002
Gamb 1.3 Land Subsidence from leveling di Pantura Jakarta (Hasnuddin Z. Abidin, 2006)
Subsidence ,1982 ‐ 1997 Subsisdence Des 2002 Sept 05
Hasanuddin Z. Abidin, 2001
Land Subsidence from Leveling, 1982 - 1997
Hasanuddin Z. Abidin, 2001
JAKARTA Easting
N
o
r
th
in
g
-2 m-2 m-1 m-0.8 m-0.3 m
JAKARTA Easting
N
o
r
th
in
g
-2 m-2 m-1 m-0.8 m-0.3 m
JAKARTA Easting
N
o
r
th
in
g
-2 m-2 m-1 m-0.8 m-0.3 m -2 m-2 m-1 m-0.8 m-0.3 m
Ilustrasi pengaruh bencana banjir Jakarta yang terjadi pada tahun 2002 : sempat mengganggu
jalannya roda perekonomian, antara lain dalam bentuk kemacetan di jalan-jalan (termasuk jalan bebas
hambatan/TOL), rusaknya prasarana wilayah, terhambatnya pasokan bahan mentah serta padamnya aliran
listrik dan jaringan telepon di berbagai lokasi genangan air. Bahkan di Jakarta, tidak kurang dari 7 ribu
satuan sambungan telepon mengalami gangguan serta PLN terpaksa menghentikan pengoperasian PLTU
Muara Karang, juga pemadaman pada 1570 gardu listrik di berbagai Lokasi (Kwie Kian Gie, 2002).
Apabila muka laut terus naik, hujan semakin ekstrim akibat perubahan iklim, laju reklamasi
pantai terus berjalan, eksploitasi air tanah terus berlangsung dan konversi lahan berjalan terus di hulu
sungai–sungai bermuara di Teluk Jakarta, maka semua hal tersebut akan mengancam kawasan pesisir
lama Jakarta: rentan terhadap banjir pada musim ekstrim basah dan rob pada musim kemarau, pada pasut
tinggi di Teluk Jakarta menyebabkan degradasi fungsi utilitas infrastuktur sumber daya air (sistem
drainase makro/mikro) di Pantura jakarta dan diprediksi akan tenggelam dalam 2 dekade mendatang.
Gamb 1.4 Genangan Banjir 1996 ,2002
Gamb 1.5.Fenomena Genangan Banjir di Jakarta 2002,2007 ,2010 (Nicco Plamonia,2010)
Pengaruh perubahan iklim terhadap degradasi infrastruktur Sumber daya air diteliti dari data
historikal pos hujan(P) , debit air (Q) di DAS Ciliwung dan Sea water level diteluk Jakarta dstnya
melakukan simulasi rambatan banjir dengan menggunakan data Banjir Jakarta 2007 dengan beberapa
skenario simulasi rambatan banjir ,guna membandingkan pengaruh iklim naiknya muka air laut dan
urbanized land cover di Hilir Pantura Jakarta
II. Metodologi Penelitian
2.1. Lokasi Penelitian
Kawasan penelitian adalah DAS Ciliwung & DKI Jakarta merupakan zona hujan tipe Monsoon ,
membedakan ketiga tipe hujan tsb: distribusi hujan sepanjang tahun (lihat Gambar 2.1). Zona tipe
Monsoon adalah curah hujan yang terkonsentrasi pada musim basah dan pada musim kemarau relatif di
bawah 100 mm/bulan. Sedangkan zona tipe equatorial relatif hujan sepanjang tahun dimana curah hujan
pada musim kemarau di atas 100 mm/bulan.
Gambar 2.1 Zona Penelitian DAS Ciliwung -Bopuncur dan Urban Metropolitan Jakarta
2.2. Rezim Siklus Hidrologi
Ilmu hidrologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari pergerakan air di muka bumi baik
kualitas dan kuantitas dalam ruang dan waktu. Fenomena banjir dan kekeringan merupakan fenomena
siklus hidrologi. Pergerakan Air dalam runag & waktu selayaknya diteliti dengan kaidah-kaidah
hidrologi tunduk pada hukum kekekalan masa dan momentum ,hal ini mengantar para ahli manajemen
air & konservasi pada visi & misi pembangunan infrastruktur sumber daya air berkelanjutan.
Visi sumber air adalah sumber daya alam dapat diperbaharui melalui siklus hidrologi yang
dipengaruhi oleh perubahan iklim & tutupan lahan membentuk rezim hidrologi tercatat melalui
pengamatan komponen utama siklus hidrologi (Curah hujan (P) dan debit air (Q)) dimana karakternya
acak dan stokastik, sedangkan pembuangan air dari daratan ke laut(tergantung pasut laut) pada
kemiringan landai merupakan fenomena deterministik.
Gambar 2.1 Iklim Hujan di Wilayah Indonesia (Diah 2010)
Hujan di nusantara diklasifikasikan menjadi 3(tiga )tipe zona Hujan, yakni : zona hujan tipe
monsoon, Zona hujan tipe equatorial dan zona hujan tipe lokal. Membedakan ketiga tipe hujan tsb:
distribusi hujan sepanjang tahun (lihat Gambar 2.1). Zona tipe Monsoon adalah curah hujan yang
terkonsentrasi pada musim basah dan pada musim kemarau relatif di bawah 100 mm/bulan. Sedangkan
zona tipe equatorial relatif hujan sepanjang tahun dimana curah hujan pada musim kemarau di atas 100
mm/bulan.
Mengacu pada one watershed one management, para ahli berkepentingan untuk membagi fungsi
ruang hidrologi menjadi dua kawasan utama yaitu kawasan konservasi dan kawasan kerja sebagai upaya
menjamin kelangsungan sumber-sumber air serta mengendalikan limpasan air permukaan terhadap
ancaman banjir di kawasan hilir, seperti Kawasan konservasi air & tanah Bopuncur (Keppres Bopunjur
No 114 /1999 Pasal 3).
Berdasarkan karakteristik hidrologis, kawasan konservasi air merupakan pemasok sumber air
untuk daerah di bawahnya, dengan ciri-ciri: curah hujan relatif tinggi, batuan relatif muda, morfologi
bergelombang halus/kasar, rentan terhadap erosi dan longsor sehingga ditetapkan sebagai kawasan
konservasi air dan tanah seperti halnya kawasan Bopuncur (Keppres No.114 tahun 1999).
Gamb 2.2. Watershed Model Statistical Hydrology (Nicco Plamonia 2010 Mod .Sabar A, 2009)
2.2. DAS Ciliwung Hulu-Bopuncur
Berdasarkan karakteristik hidrologis, kawasan konservasi air & tanah merupakan pengendalian Banjir &
pemasok sumber air untuk daerah di bawahnya, dengan ciri-ciri: curah hujan relatif tinggi, batuan relatif
muda, morfologi bergelombang halus/kasar, rentan terhadap erosi dan longsor sehingga ditetapkan
sebagai kawasan konservasi air dan tanah seperti halnya kawasan Bopuncur (Keppres No.114 tahun
1999).
Gambar 2.3. DAS Ciliwung Hulu- Bopuncur
2.3. Data Historikal Hidrologi DAS Ciliwung
Pengaruh pemanasan global dan faktor regional seperti perubahan temperatur di Samudera Pasifik
dan faktor lokal seperti perambahan hutan/konversi lahan terbangun, berpengaruh terhadap komponen-
komponen hidrologi seperti hujan (P), debit air (Q) dan Sea water level . Pengaruh-pengaruh tersebut
tercatat melalui pos-pos pengamatan komponen siklus hidrologi dan pos observasi muka laut. Dari arsip
data hidrologi sebagai input, dapat dianalisa fenomena degradasi rezim hidrologi dengan pendekatan
model hidrologi statistik dan deterministik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.4.
Fenomena banjir dan intrusi air laut merupakan fenomena siklus hidrologi air dalam ruang dan
waktu, selayaknya diteliti dengan kaidah-kaidah ilmu hidrologi. Ilmu hidrologi diartikan sebagai ilmu
yang mempelajari pergerakan air di muka bumi baik kualitas dan kuantias dalam ruang dan waktu.
Sensibilitas debit air merupakan turunan dari sensibilitas curah hujan. Hal ini menunjukkan
terdapat dua fase pengaruh iklim Monsoon yaitu monsoon barat (musim penghujan) dan monsoon timur
(musim kemarau) dimana curah hujan dbawah 100 mm/bulan. Sehingga konsekuensi dari pengaruh siklus
hidrologi pada zona iklim monsoon pada musim kemarau, debit air didominasi aliran dasar, yakni
merupakan limpasan air darat akuifer yang morfologinya terpotong (mata air dan limpasan air tanah di
kiri–kanan sungai). Pada musim penghujan, debit air didominasi oleh limpasan air permukaan sedangkan
aliran dasar relatif kecil (lihat Gambar 2.4).
Gambar 2.4 Data Hidrologi DAS Ciliwung & Pasut 2007 di Tanjung Priok
Sumber: Arwin, dkk 2011
Susandi. A., A. Lubis., Y. Permadhi, 2007.
(Data Curah Hujan Jawa Barat Tahun 1950 – 2007)
JAN
FEB
MAR
APR
MEI JUL AUG
SEP
OKT
NOV
DES
Pengaruh iklim terhadap rezim hidrologi tercatat berturut-turut melalui pos hujan, pos duga debit
air, dan pos observasi elevasi muka laut (Lihat Gamb 2.5 ).
Gamb 2.5. Data Pos Hidrologi DAS Ciwung Bopuncur
Dari model fisik hidrologi, pada musim kemarau besaran debit air lebih dependent daripada
limpasan air tanah dari akifer (mata air dan baseflow sungai): cadangan akifer maksimal pada akhir
musim penghujan/awal musim kemarau. Pada periode musim kemarau tidak terjadi pengisian akuifer,
cadangan air tanah menurun seiring menurunnya muka air di akuifer menuju akhir musim kemarau/awal
musim penghujan). Seperti diketahui aliran limpasan air tanah ke badan air sungai dalam proses waktu,
berkarakter dependent sedangkan pada musim penghujan debit air lebih independent. Ditemukan bahwa
karakter sumber air, berturut-turut dari independent–dependent adalah air hujan, air permukaan air tanah,
dan mata air. Sehingga pada musim penghujan besaran kejadian debit air didominasi pergaruh limpasan
air hujan (independent) sedangkan pada musim kemarau didominasi dengan limpasan air tanah
(dependent).
2.3. Adaptasi & Mitigasi
Perubahan iklim/cuaca mempengaruhi variabel siklus hidrologi di sektor bagian atas muka tanah:
terutama curah hujan (P). Setelah sampai di permukaan tanah, hujan terdistribusi, fungsi tutupan lahan
terinfiltrasi dalam tanah, setelah jenuh maka terjadi limpasan air permukaan. Seiring dampak perubahan
iklim terhadap komponen siklus hidrologi dan keberlanjutan sumber air, respon dilakukan dengan dua
langkah utama, yaitu adaptasi dan mitigasi.
Adaptasi didasarkan pada ketidakpastian besaran hujan & debit air dalam proses waktu,
mengantar para ahli hidrolologi dan Manajemen sumber air untuk melakukan proses penyesuaian dengan
DAS HULU – CASCADE HULU
DAS HULU – CASCADE HILIR
DAS HILIR
Sumber : Pegolahan Data. 2010
No Pos Debit Luas (Km2) Ketinggian X Y
Q1 KATULAMPA 125.40 526.049 706519.45 9265228.80
Q2 SUGUTAMU 44.00 85.87 703479.34 9290671.64
Sumber : Pegolahan Data. 2010
No Pos Hujan Luas (Km2) X Y Ketinggian (%)
P4 CITEKO 125.40 716363.95 9258859.58 1041.04 0.26 25.88P3 EMPANG 44.00 701155.64 9268016.38 300.97 0.09 9.08P2 DARMAGA 98.37 699830.27 9278400.51 153.19 0.20 20.30P1 DEPOK 75.90 704957.88 9295562.93 66.78 0.16 15.67P5 BMG 140.80 700373.44 9320714.16 1.57 0.29 29.06
Total 484.47 1563.56 1.00 100.00
Pos Hujan& Pos Debit
memperhatikan resiko ekonomi fungsi infarstruktur sumber air berdasarkan pada pentingnya fungsi
utilitas kawasan terbangun, dengan membangun konsep debit rencana banjir/kekeringan.
Mitigasi adalah upaya mempertahankan keberlanjutan sumber air di daerah aliran sungai. Bentuk
konkrit upaya mitigasi terhadap pengendalian air (kuantitas / kualitas) secara undirect: penerbitan
peraturan / UU pengendalian limpasan / pencemaran air dan direct: Insentif & dissentif.
Upaya ini dapat dilakukan dengan perencanaan tata ruang: seperti Keppres No.114 1999
(Kawasan Konservasi Bopuncur), UU Kehutanan No 41 tahun 1999, pengendalian pencemaran air, sbb:
1. Undirect (tak langsung): penerbitan UU dan Peraturan terkait pengendalian lingkungan air.
• UUD fasal 33 ayat 3 : Air tanah dikuasai negara .... untuk kepetingan orang banyak.
• UU no 7 th 2004 tentang Sumber daya air.
• UU Kehutanan No.41 Tahun 1999 Pasal 18 Ayat 2 yang menyatakan bahwa: ‘…..luas hutan suatu
DAS minimal 30% dengan sebaran yang proporsional’.
• PP No. 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum Pasal 8 ayat 2
Pemenrintah (pusat & daerah) menjamin Ketersediaan air baku (kuantitas & kualitas) memenuhi
baku mutu air.
• Keppres No. 114 tahun 1999 mengenai kawasan konservasi air dan tanah Bopuncur.
2. Direct (Langsung): Insentif dan Dissentif (pinalti, denda).
2.4. Konsep Debit Rencana Infrastruktur Sumber Air
Komponen siklus hidrologi berkarakter acak (variabel acak), yakni suatu kejadian dimana
besarannya tidak menentu dalam proses ruang dan waktu. Ketidakpastian komponen utama hidrologi
(P,Q) terukur melalui pengamatan (pos hujan atau pos duga air), hal ini membuat para ahli meneliti
perilaku debit air historikal untuk dapat mengetahui ambang batas besaran kejadian debit air masa
depan.
Pengendalian banjir dan kekeringan di masa depan, ditempuh dengan langkah “adaptasi”, yakni
pendekatan konsep debit rencana. Hubungan keandalan keberhasilan dan periode ulang diekspresikan,
sbb: (1-P)=1/R, dimana: P= keandalan /keberhasilan komponen hidrologi ( %) dan R= periode ulang
kejadian.Misalnya: suplai sumber air untuk memenuhi sektor irigasi : keandalan/ keberhasilan P= 80 %
maka ekivalen dengan periode Ulang (R = 100/20 = 5 thn), berarti dalam selang 100 (seratus ) tahun
terjadi 20 kali dan setiap 5 tahun, terjadi satu kali nilai ambang batas dilampaui. Pengendalian banjir
& kekeringan:
Drainase permukiman QR= 2-15 tahun
Drainase Sungai : QR =20-50 thn
Drainase Rel Kereta api/ Jalan TOL: QR=50 thn
Drainase bandara udara : Q R= 50 -100 tahun
Spill way waduk QR = 50 -100 thn
Intake air baku untuk irigasi : QR =5 thn
Intake air baku sektor DMI (Domestik, Municipality, Industri): QR= 10-20 thn.
2.5. Fungsi Hidrologi Lahan
2.5.1. Indikator Konversi Lahan
Massa air adalah tetap dalam ruang hidrologi, dimana curah hujan jatuh di permukaan tanah
terdistribusi menjadi : P = I+ R dimana berturut–turut P adalah curah hujan, I adalah fraksi air hujan
tertahan di bawah permukaan tanah dan R adalah fraksi air hujan menjadi limpasan air permukaan.
Perubahan tutupan lahan alami (lihat Gambar 3), dari hutan berturut-turut menjadi budidaya,
permukiman pedesaan dan urban yang berdampak semakin besar R pada musim hujan dan sebaliknya
I dalam tanah semakin kecil (input) sehingga penyimpanan air tanah (�S ) semakin kecil. Hal ini
berpengaruh pada besaran aliran air tanah (output) terutama limpasan aliran tanah menyentuh
permukaan bebas (B**) seperti : mata air dan aliran dasar sungai (lihat Gambar 2.2).
Dari hukum kekekalan masa air, ketersediaan sumber air sangat tergantung sejauh mana massa
air hujan tersimpan menjadi cadangan air tanah (I= P-R), sehingga persamaan ketersediaan air, dapat
dituliskan sebagai berikut:
S = I – E – B* - B**
Ketersediaan air alamiah bertahan apabila jumlah air hujan tertahan di permukaan tanah (I),
lebih besar daripada evapotrapirasi potensial (E) : I > E sehingga pengendalian konversi tutupan lahan
perlu lebih dicermati pada masa depan.
Hujan yang jatuh di permukaan bumi relatif konstan dan tunduk pada hukum kekekalan massa
air. Bila keseimbangan massa P = I+R dibuat non dimensi, maka persamaan massa air menjadi IK +
C= 1 dimana IK adalah fraksi massa air hujan yang tertahan dalam tanah selanjutnya disebut indeks
konservasi. Sedangkan C= fraksi masa air hujan menjadi limpasan air permukaan selanjut disebut
C=koefisien limpasan air.
Pada ekosistem alam, dari masa ke masa, tutupan lahan yang bertahan terhadap alam (iklim)
adalah tanaman keras (hutan). Dengan adanya sentuhan peradaban manusia, tutupan lahan mengalami
konversi lahan secara suksesif menjadi lahan budidaya, permukiman dan urban, diekspresikan sebagai IkC
(indeks konservasi aktual).
Tabel 2.1 Indeks Konservasi tutupan lahan
No Kualitas lahan Indeks Konservasi (IKAIKc)
1 Hutan 0,8-0,9 2 Budidaya 0,4-0,5 3 Pemukimandesa 0.5-0,6 4 Urban Metro 0,0-01
Perambahan hutan alam (IkA) menjadi budidaya pertanian, permukiman dan urban metropolitan
(IKc) menimbulkan degradasi penyimpanan air (tersimpan air hujan) di bawah permukaan tanah seperti
diperlihatkan pada tabel 2.1. Selanjutnaya IK digunakan sebagai instrumen pengendalian konversi lahan
di kawasan konservasi air (Keppres No 114 Kawasan konservasi Bopuncur).
2.5.2. Indeks Konservasi
Indeks konservasi alami (IKA) digunakan sebagai indikantor konversi lahan, yaitu suatu koefisien
yang menunjukkan kemampuan yang alami pada suatu wilayah untuk menyerap air hujan yang jatuh ke
permukaan tanah sebelum ada sentuhan peradaban manusia. Sedangkan Indeks Konservasi Aktual (IKC),
yaitu suatu koefisien yang menunjukkan kemampuan lahan yang terkonversi oleh kegiatan manusia
(aktual) pada suatu wilayah untuk menyerap air hujan yang jatuh ke permukaan tanah (Keppres 114/99).
Indeks konservasi pada persamaan tersebut, dibedakan menjadi IKA dan IKC,yaitu :
)( AA YFIK
)( CC YFIK
Dimana :YA = f (curah hujan, jenis batuan, jenis tanah, morfologi & topografi)
YC = f (curah hujan,jenis batuan, jenis tanah, morfologi&topografi,tutupan lahan)
EdXcXbXaXYA 4321
a = ( 12, 13, 14, 23, 24, 34)
b = ( 12, 13, 14, 23, 24, 34)
c = ( 12, 13, 14, 23, 24, 34)
d = ( 12, 13, 14, 23, 24, 34)
R = 1 - E
dimana :
YA= variabel besaran konservasi alami
X1= variabel hujan
X2 = variabel batuan
X3 = variabel jenis tanah
X4 = variabel morfologi dan topografi
a,b,c,d = koefisien partial ketergantungan korelasi antar variabel
12 = koefisien korelasi antar variabel
E = faktor koreksi
R= koefisien determinasi (0,5 < R <1)
Evaluasi kondisi pemanfaatan ruang dalam suatu kawasan dapat dilihat dari perbandingan nilai
IKC dan nilai IKA yang dapat dibedakan seperti pada tabel 2.2. Nilai ini digunakan sebagai pedoman
dalam pengendalian pemanfaatan ruang, maka dilakukan proses diskretisasi variabel–variabel yang
mempengaruhi dari indeks konservasi. Nilai ini dapat dibagi tiga kelas atau lima kelas. Apabila dalam
evaluasi suatu kawasan ternyata terdapat pemanfaatan lahan yang tidak sesuai (IKC < IKA) maka terdapat
beberapa upaya untuk merehabilitasi fungsi konservasi agar (IKC+Ik) = IKA, upaya memperbaiki dengan
Ik yaitu dapat dilakukan dengan pendekatan vegetatif dan non vegetatif (rekayasa teknologi).
Tabel 2.2 Indeks Konservasi Lahan
Indeks Konservasi Fungsi Lahan
IKC + Ik = IKA Sustainability
IKC < IKA Unsustainability
Keberhasilan pengendalian air keberlanjutan air di DAS tercapai apabila IkC +k = IkA dengan
demikian win-win solution dapat tercapai antara kepentingan kawasan hulu dan kawasan hilir.
Sedangkan pengendalian kawasan lahan terbangun dapat dilaksanakan dengan pengendalian
fungsi hidrologi lahan (IK): antara lain pengendalian luas bangunan terbangun (BCR) dan dengan
vegetatif dan non vegetative (rekayasa engineering). Upaya rekayasa engineering, antara lain: sumur
resapan, waduk resapan dan drainase lingkungan. Ide paling sederhana dalam konservasi di lahan
terbangun disebut zero limpasan. Zero limpasan adalah suatu upaya konservasi di lahan terbangun dengan
mengendalikan limpasan air hujan dalam suatu persil atau kawasan supaya tidak ada air hujan yang
melimpas keluar.
2.6. Skenario Simulasi Rambatan Banjir di Pantura Jakarta
2.6.1.Boundary Condition Banjir 2007
Untuk mengetahui pengaruh iklim dan perubahan garis pantai, mana yang lebih dominan terhadap
fenomena banjir di pesisir pantura Jakarta, perlu dilakukan simulasi aliran permukaan bebas dengan
kiriman banjir dari hulu DAS Ciliwung Hulu-Bopuncur yakni pos Sugutamu -Depok pada kejadian
banjir dan fluktuasi muka laut Jakarta Febuari 2007. Model deterministik aliran permukaan bebas
diterapkan di DAS Ciliwung dan pesisir Pantura Jakarta (Lihat Gamb 2.6 & 2.7)
Gamb.2.6: Posisis Grid 37.5 Km ( point Djakarta Loyd),
Grid 39 Km (point Sunda Kelapa) ,Grid 40 Km (point Pantai Mutiara)
Gamb 2.7 Batas Hulu (DPU Pemda DKI & Batas Hilir (Dishidros, 2007)
2.6.2.Skenario Simulasi Model Gelombang Banjir di Pesisir Pantura
Simulasi Boundary condi tion Banjir 2007 & Garis Pantai Jakarta 1991 (Tanpa Reklamasi)
Simulasi Boundary condition Banjir 2007 & Garis Pantai 2010
Simulasi Boundary condition Banjir 2007 & Garis Pantai Jakarta 2015
Simulasi Boundary condition Banjir 2007 & Garis Pantai Jakarta 2010 + SLR 5 Tahun
Simulasi Boundary condition Banjir 2007 & Garis Pantai Jakarta 2010 + SLR 50 Tahun
Simulasi Boundary condition Banjir 2007 & Garis Pantai Jakarta 2015 Tanpa Kenaikan Muka Laut
III. Hasil & Pembahasan
3.1. Perubahan bidang batas di DAS Ciliwung-Bopuncur
3.1.1 Ekstrimitas Hujan
Dari hasil analisis data harian maksimum historik, Pengaruh ilim terhadap kurva intesitas hujan
(IDF) semakin ekstrim (Gambar 3.1) . Selain itu, hujan wilayah di DAS Ciliwung hulu pada musim
20031991 2010 2015(RTRW)
kemarau diketahui bahwa curah hujan wilayah semakin menurun pada bulan Agustus dan September dan
sebaliknya musim penghujan hujan wilayah semakin tinggi pada bulan Februari (Gambar 3.2).
Pengaruh perubahan iklim dan konversi lahan di DAS Ciliwung diteliti dengan penelusuran debit
rata-rata 5 tahunan pada pos duga air Sugutamu. Dari tahun 1982-2007 menunjukkan pada musim hujan
semakin besar debit air mengalir ke Jakarta sebaliknya musim kemarau semakin kecil.
89Sumber: Susandi dkk, 2007
0
20
40
60
80
100
120
140
19
87
19
88
19
89
19
90
19
91
19
92
19
93
19
94
19
95
19
96
19
97
19
98
19
99
20
00
20
01
20
02
20
03
20
04
20
05
20
06
20
07
Cu
rah
Hu
jan
Ha
ria
n
Ma
ks
imu
m (
mm
/ha
ri)
Tahun
Curah Hujan Harian Maksimum Pos Hujan ITB 1987-2007
(Tjasyono, B., & Gerwono, R., 2008)
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Hujan Harian Maksimum Tergambar dalam Kurva IDF
Gamb 3.1: Ekstrimitas Kurva Intesitas hujan(IDF) insfrastrukur Drainase
. Gamb 3.2 Tendesi Hujan Wilayah 5 tahun di DAS Ciliwung-Bopuncur
Hasil analisa Intensitas hujan (IDF) dan konversi lahan semakin tinggi dan juga pengolahan data
hujan wilayah di DAS Ciliwung Bopunjur ,dengan metoda moving average 5 tahunan, didapatkan bahwa
hujan wilayah ekstrim pada bulan Februari semakin membesar sedangkan debit minimum didapatkan
pada bulan Agustus dan September (Gamb 3.2). Pengaruh perubahan Iklim & tutupa lahan Pada musim
penghujan, debit banjir Sungai Ciliwung Hulu-Bopuncur-Pos duga air Sugutamu semakin tinggi seiring
3.1.2. Ekstrimitas debit Rencana Banjir/kering DAS Ciliwung Hulu -Bopuncur
Disamping pengaruh perubahan Iklim terhadap ekstrimitas hujan( Gambar 3.1. & Gambar 3.2) dan
juga Konversi lahan sukseksif dari hutan menjadi lahan budidaya dan pemukiman( Gamb. 3.3.)
mempengaruhi limpasan air permukaan di sungai Ciliwung Hulu- Bopuncur. Berdasarkan analisa
statistik data komponen hujan dan debit air data historikal , diperoleh bahwa koefisien air limpasan
selama 30 tahun di DAS Ciliwung cenderung meningkat(lihat Gambar 3.4). Kenaikan koefisien limpasan
berarti air yang jatuh di permukaan tanah akan semakin banyak menjadi limpasan daripada yang
terinfiltrasi(teresimpan ) ke dalam tanah (Ik= 1- C) sehingga aliran dasar ( base flow)semakin kering (
lihat Gambar 3.4)
20.87 %
19.05 % 18.75 %
10.75 %
8.67 %
25.52 %23.11 %
20.91 % 19.98 %18.87 %
38.78 %
21.92 %
10.35 %9.85 % 9.45 %
8.68%
19.67%
23.35%
25.74% 26.86%
6.1%
16.11%
36.01%33.54%
26.3%
0.14%
0.14%
0.14%
0.14% 0.14%
Gamb 3.3 Laju Konversi Lahan di DAS Ciliwung Bopuncur (1990-2003)
Gambar 3.4 Degradasi Lahan & aliran dasar di DAS Ciliwung –Bopuncur
Ekstrimitas debit air di dua pos debit Katulampa & Sugutamu cenderung meningkat terutama pos
Sugutamu, menunjukan adanya peningkatan yang tajam. Debit ekstrim minimum di Pos Katulampa, Kp.
Kelapa dan Ratujaya menunjukkan penurunan kecuali di Pos Sugutamu terlihat ada peningkatan sedikit
karena posisi pos di komplek perindustrian wilayah Depok yang memberikan kontribusi terhadap
peningkatan debit. Hasil selengkapnya peningkatan debit air ekstrim rata-rata 5 tahunan ditunjukkan
pada Gamb. 3.5 . Perubahan watak aliran di pos Sugutamu ditandai dengan semakin menurunnya aliran
dasar (baseflow) sebagai pengaruh ekstrimitas hujan & degradasi fungsi hidrologi lahan di DAS
Ciliwung Hulu –Bopunjur. Sensibilitas watak aliran selama 30 tahun terakhir (1979-2009) menunjukan
terjadinya ekstrimitas debit aliran, hal ini tercatat di pos Duga Sugutamu dimana debit rencana
basah/kering semakin ekstrim (Gambar 3.6).
Trend Debit Maksimum Harian Rata‐rata
Trend Debit Minimum Harian Rata‐
rata
Gambar 3.5 Ekstrimitas Debit Air Rata-rata 5 tahun di DAS Hulu Ciliwung Bopuncur (1979-2009)
DAS HULU – CASCADE HILIR
71
y = ‐0,039x + 3,083R² = 0,948
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009
m3/s
Perubahan Baseflow (b) (1979‐2009)
Baseflow
y = ‐1.401x + 5768.R² = 0.81
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 2009
Curah Hujan (mm/tahun)
Rainfall Area Ciliwung Rivers
Linear ()
Arwin ,Nico ,2010
y = 0,019x - 37,92R² = 0,931
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
1979 1984 1989 1994 1999 2004 2009
Ko
efe
sie
n L
imp
asan
Tahun
Kecenderungan Nilai Koefesien LimpasanSugutamu C-1 Tahun (1979-2009)
Gamb 3.6 Ekrimitas Debit Rencana Basah/Kering di DAS Ciliwung Bopuncur]
Terjadi penurunan ambang batas debit rencana kering harian R-10 untuk Air baku di Pos Sugutamu
Ciliwung
• Debit Kering (1979-1989) 200,74 L/detik
• Debit Kering (1990-1999) 190,50 L/det
• Debit Kering(1999-2009)187,91 L/det
Sedangkan debit rencana banjir R-5 dari DAS Ciliwung kepesisir Jakarta meningkat:
• Debit Banjir (1979-1983) 484,5 M3/det
• Debit Banjir (1984-1989) 510,9 M3/det
• Debit Banjir (1990-1994) 635,4 M3/det
• Debit Banjir (1995-1999) 716,2 M3/det
• Debit Banjir (2000-2004) 600,3 M3/det
• DebitBanjir (2005-2009) 1117,2 M3/det
Debit rencana banjir R-5 kurun waktu 1979 s/d 1999 terus meningkat, kecuali periode 2000-2004,
tendesi menurun dengan terbitnya Keppres 114 tahun 1999 dan seterusnya menaik tajam pada periode
2005 -2009.
3.2. Perubahan Bidang Batas di Hilir Pantura Jakarta
3.2.1. Kenaikan Muka air Laut
Naiknya muka air laut rata-rata dipengaruhi oleh perubahan iklim, akibat adanya fenomena
pemanasan global yang memberikan dampak cukup serius bagi iklim dunia. Salah satu dari dampak
pemanasan global adalah mencairnya lempeng es di Antartika, Greenland dan gletser di benua. Pencairan
es ini menyebabkan kenaikan muka laut. Peningkatan muka laut (sea level rise/SLR) di Teluk Jakarta
diketahui sebesar 0,575 cm/tahun seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.7.
0
0,000000
0,000001
0,000001
0,000002
0,000002
0,000003
1979‐1983 1984‐1989 1990‐1994 1995‐1999 2000‐2005 2005‐2009
Debit Maksimum Harian/Luas Lahan(A)
Periode 5 Tahun
Degradasi Debit Rencana Banjir R‐5 DAS Ciliwung Bopuncur
Peningkatan Debit Banjir oleh Konversi Lahan
3,70E‐07
3,75E‐07
3,80E‐07
3,85E‐07
3,90E‐07
3,95E‐07
4,00E‐07
4,05E‐07
4,10E‐07
4,15E‐07
4,20E‐07
1979‐1989 1990‐1999 2000‐2009
Debit Minim
um(m
^3/detik)/Luas
Lahan(A)
Degradasi debit rencana kering R‐10 di DAS CiliwungBopuncur
Gambar 3.7 Kenaikan Muka Laut Rata-rata (Nicco Plamonia, 2010)
3.2.2. Penurunan Muka Tanah di Pantura Jakarta
Laju penurunan muka tanah rata-rata dari tahun 1985-2010 untuk Kecamatan Penjaringan sebesar
-4.866 cm/th, Kecamatan Pademangan sebesar -4.157 cm/th, Kecamatan Tanjung Priok sebesar -3.49
cm/th, Kecamatan Koja sebesar -3.162 cm/th, dan Kecamatan Cilincing -2.65 cm/th. (Gamabr 3.8)
Kecamatan Penjaringan memiliki laju penurunan muka tanah tertinggi hal ini mengakibatkan tingginya
genangan air ( Banjir & Rob) di wilayah Kecamatan Penjaringan pada saat banjir dapat mencapai 3-9 m
(Posko Banjir Jakarta Utara, 2007).
Laju subsidens permukaan tanah di pesisir pantura Jakarta dari 1985 s/d 2010 (Bappedal &
Dinas PU Jakarta ) menggunakan intrumen statistik dari data time series, diperoleh penurunan muka
tanah berturut-turut di kacamatan Penjaringan - 4,87 cm/thn, Pademangan -4,16 cm/thn, Tanjung Priok
3,49 cm/thn, Koja 3,16 cm/thn dan Cilincing 2,65 cm/thn.
C. Identifikasi Penurunan muka tanah jakarta
Sumber data :
Proses pengolahan data :
Data Panjang Data Sumber Data
Servey Levelling 1982‐1991 Dinas Pemetaan dan Pengukuran Tanah
Servey Levelling 1997Dinas Pertambangan dan Energi DKI
Jakarta
GPS Survey 1991 ‐ 2005 Abidin,2007 dalam Endang,2008
Bench Mark 1982 ‐ 1999 Priyambodo,2005 dalam Endang,2008
Data ketinggianMuka tanah1982,1991,dan 1997
Data PenurunanMuka Tanah1997-2010
Hitung Selisih1982 – 19911991-19971982-1997
Trend Penurunan Muka Tanah (cm/th)1982 – 19911991-19971982-1997
PilihKesamaan TitikLokasi
Trend PenurunanMuka Tanah 1982-2010
PENURUNAN MUKA TANAH JAKARTA UTARA
y = ‐2,652x + 5243,R² = 0,997
y = ‐4,157x + 8244,R² = 0,999
y = ‐4,866x + 9644,R² = 0,995
y = ‐3,492x + 6921,R² = 0,999
y = ‐3,162x + 6263,R² = 0,996
‐180
‐160
‐140
‐120
‐100
‐80
‐60
‐40
‐20
0
1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020
Kec.Tanjung Priok Kec. Pademangan Kec. Penjaringan Kec. koja
Kec. Cilincing Linear (Kec.Tanjung Priok) Linear (Kec. Pademangan) Linear (Kec. Penjaringan)
Linear (Kec. koja) Linear (Kec. Cilincing)
Pengolahan data,2010
1
2 3
45 1
2
3
4
5
Gamb. 3.8. Laju penurunan tanah diPantura Jakarta (Nicco Plamonia, 2010)
3.2.3.Laju Reklamasi Pantura
Laju atau trend kenaikan muka laut yang diperoleh dari model regresi linear satu peubah adalah
0.572 cm per tahun dengan selang kepercayaan 95%. Batas minimum trend adalah 0,4921 cm per tahun
dan batas maksimum trend adalah 0,6488 cm pertahun dengan simpangan baku 5,788. Koefisien korelasi
merupakan suatu indikator yang menunjukan kelinearan antara peubah tinggi muka laut dan tahun
pengamatan. Koefisien korelasi hasil perhitungan sebesar 0.8837, maka dapat dikatakan bahwa 88%
variasi tinggi muka laut disebabkan oleh korelasi linear tahun pengamatan.
Dari overlay peta upaya pemberdayaan lahan dipesisir pantura Jakarta, didapatkan penambahan
daratan seluas 458,6 Ha (rentang tahun 2000 – 2010) dan rencana reklamasi Pantura RTRW 2015 dengan
lebar 2-2,5 km seluas 2700,7 ha (Lihat Tabel 3.1,Gambar 3.9 dan Gambar 3.10 )
Dibuat Oleh : Nicco Plamonia
25308025
Pembimbing :Prof.Dr.Ir. Arwin Sabar,MS,DEA
Magister Teknik LingkunganProgram Studi Teknik LingkunganFakultas Teknis Sipil & Lingkungan
Peta Perubahan Garis Pantai1991 - 2015
Garis Pantai 1991Garis Pantai 2003 Reklamasi 1991 - 2003Garis Pantai 2010 Reklamasi 2000- 2010Garis Pantai 2015 Reklamasi 2000- 2015
37END
Ellipsoid : WGS 84Projection : UTMCoord. System : UTM Zone 48 Southern
SUMBER :PENGOLAHAN DATA,2010
Gamb 3.9 :Perubahan Garis Pantura di teluk Jakarta
Gamb 3.10. Garis Pantai 1991,2003, 2010 dan 2015, Kec Penyaringan Citra Satelit (Nicco Plamonia, 2010)
Tabel 3.1 Laju Reklamasi Pantura 2003, 2007 /2010dan Reklamasi RTRW 2015
Sumber Nicco Plamonia, 2010) 3.3. Simulasi Sensibilitas Muka Banjir & Kecepatan Gelombang Banjir di pantura Jakarta
Laju Reklamasi (1991, 2010 & 2015) vs naiknya muka air laut (5,50 thn)
Kondisi garis pantai 2010 (luas reklamasi 458,7 Ha) meningkatkan rata-rata ketinggian muka air
sekitar 3.6 % - 43.16 % atau sekitar 0.02 – 0.95 m pada grid point pantai Mutiara (40.5 km) dari saluran
pada garis pantai 1991. Profil muka air di muara lama pantai Mutiara (40,5 Km) menjadi meningkat dan
tinggi puncak gelombang banjir pada kondisi reklamasi semakin tinggi daripada sebelum terjadi
reklamasi (1991). Hal ini disebabkan karena aliran melambat sehingga memerlukan waktu yang lama
30
20031991 2010 2015 RTRWN
Kamal Muara sampai Sunda kelapa terjadi penambahandaratan kedalaman, 8 m dan lebar 2,5 km maka penambahanluas lahan Jakarta mencapai Ancol dan Kapuk Naga Indahsudah mencapai 2.5 km, 457,68 Ha (Pengolahan Data,2010)
Rencana Pengembangan dilakukan 2000-2015 2.700 Ha.
1991‐2003 2000 ‐ 2010 2000 ‐ 2015
Luas (km^2) Perimeter (km) Luas (km^2) Perimeter (km) Luas (km^2) Perimeter (km)Penjaringan 0.624 8.644 0.5405 5.478 1.032 2.826
0.4762 4.45 0.7834 2.578 1.059 2.98550.3507 2.808 0.0731 3.174 1.817 3.7235
0 0 0.0117 0.4691 2.03 3.9140 0 0 0 1.649 6.0350 0 0 0 4.39095 6.1990 0 0.1329 2.362 0 00 0 0.5287 3.112 0 0
Pademangan 0.01451 0.8728 0.2917 0.2487 4.2285 9.4850 0 0.2099 2.103 4.9155 7.7450 0 0.2145 0.9333 0 00 0 0.3146 0.09246 0 00 0 0.8248 1.282 0 00 0 0.1208 1.843 0 00 0 0.33 0.2498 0 00 0 0.1208 1.843 0 0
Tanjung Priok 0 0 0 0 0 0Koja 0 0 0 0 1.193 5.33
Cilincing 0.5104 5.67 0.006713 0.4278 4.7625 16.570 0 0.02772 1.683 0 00 0 0.05442 4.583 0 00 0 0 0 0 0
km^2 1.97581 22.4448 4.586253 32.46216 27.07745 64.813ha 197.581 2244.48 458.6253 3246.216 2707.745 6481.3
untuk membuang air dari daratan ke laut. Berdasarkan hasil simulasi, perlambatan kecepatan berkisar
antara 0 % - 15.63 % atau sekitar 0.00 – 0.05 m /det dari kecepatan pada saat garis pantai masih sama
dengan kondisi garis pantai 1991. Hal ini yang dapat meningkatkan banjir dan genangan di pesisir
A
B Gambar 3.11. Simulasi Sensitifitas Tinggi Muka Air (A), dan Kecepatan Aliran di Grid 37.5 Km point
Djakarta Loyd (B)
A
B
Gambar 3.12.Simulasi Sensitifitas Tinggi Muka Air (A),dan Kecepatan Aliran di Grid 39 Km point Sunda Kelapa ( B)
A
B
Gambar 3.13. Simulasi Sensitifitas Tinggi Muka Air (A) dan Kecepatan Aliran di Grid 40 Km point Pantai Mutiara(B)
Semakin panjang penambahan profil sungai ke arah laut, maka semakin menghambat
pembuangan air ke laut dan semakin meningkatkan banjir dan genangan di kawasan pesisir. Laju
reklamasi thn 2010 seluas 458,6 ha ditambah Sea Level Rise 5 Tahun meningkatkan taraf rata-rata muka
air 41% - 60.79% sekitar 0.23 m – 1.34 m dan perlambatan kecepatan pada tahun 2015 sekitar 50 % -
57.81 % (0.01 m/detik – 0.19 m/detik). Laju Reklamasi thn 2010( reklamasi 458,7 ha) ditambah Sea
Level Rise 50 tahun ditambah pengaruh kenaikan muka laut 5 tahun meningkatkan taraf muka air 46.57
% - 60.79 % sekitar 0.26 m – 1.39 m dan perlambatan kecepatan sekitar 66.67 % - 71.88 % atau 0.01
m/detik – 0.23 m/detik. Bila reklamasi diteruskan 2015 seluas 2707 ha akan meningkatkan taraf muka air
0.32 m sampai dengan 1.54 m sekitar 56.47 % - 70.0 % dan perlambatan kecepatan 0.01 m/detik – 0.25
m/detik sekitar 75 % sampai 78.9
Tabel 4.1.Simulasi level banjir pengaruh reklamasi vs naiknya muka air laut
Temuan-temuan penting yang diperoleh terhadap penelitian degradasi infrastruktur SDA di
kawasan pesisir Pantura Jakarta- DAS Ciliwung, sebagai berikut:
a) Semakin meluasnya genangan di pesisir pantura Jakarta, disebabkan oleh:
Pengaruh Iklim dan Konversi Lahan dari Forested Land Cover ke Urbanized Land Cover
berdampak pada degradasi debit rencana. Dari DAS Ciliwung Hulu di pos Sugutamu (1979-2010),
ditemukan parameter statistik data debit berubah menuju ekstrim F (,). Debit banjir rencana 5
tahunan semakin meningkat: QR5 = (484,5-1117,2) m3/det. Hal ini mengancam pesisir pantura
Jakarta , kemiringan sungai relatif landai sedangkan kiriman air dari DAS Ciliwung hulu-Bopuncur
TinggiMukaAir PadaSaat PasangMaksimum (Time Step Ke6)
Selisih Perubahan
37.5 Km 39 Km 40.5 Km 37.5 Km 39 Km 40.5 Km ∆37.5 Km
(Djakarta Loyd)∆39 Km
(Sunda Kelapa)∆40.5 Km
(Pantai Mutiara)% % %
Garis Pantai 1991 Garis Pantai 2010 Selisih Perubahan
1.93 1.39 0.56 3.26 0.72 0.67 1.33 ‐0.68 0.11 69.21 ‐48.58 20.06
4.86 3.99 2.20 6.10 1.26 3.42 1.24 ‐2.72 1.22 25.42 ‐68.37 55.28
Garis Pantai 1991 Garis Pantai 2010 + SLR 5 Selisih Perubahan
1.93 1.39 0.56 3.31 1.02 0.80 1.39 ‐0.37 0.23 71.98 ‐26.72 41.64
4.86 3.99 2.20 6.52 1.68 3.54 1.66 ‐2.30 1.34 34.09 ‐57.83 60.79
Garis Pantai 1991 Garis Pantai 2010 + SLR 50 Selisih Perubahan
1.93 1.39 0.56 3.37 1.06 0.82 1.44 ‐0.33 0.26 74.66 ‐23.90 46.57
4.86 3.99 2.20 6.63 1.77 3.59 1.76 ‐2.22 1.39 36.27 ‐55.65 63.16
Garis Pantai 1991 Garis Pantai 2015 Selisih Persen Perubahan
1.93 1.39 0.56 3.42 1.14 0.88 1.65 ‐0.25 0.32 86.18 ‐18.06 56.47
4.86 3.99 2.20 2.05 1.95 3.74 2.01 ‐2.04 1.54 57.78 ‐51.19 70.00
keandalan air baku minum semakin turun QR10 = ( 200,7-187,9 Lps), terjadi degradasi keandalan
pasokan air baku.
Laju subsindens permukaan tanah di pesisir pantura Jakarta dari 1985 sd 2010 ditemukan penurunan
muka tanah (seiring laju exploatasi air tanah), paling parah berturut-turut di kacamatan Penyaringan
-4,87 cm/thn, Pademangan -4,16 cm/thn, Tanjung Priok 3,49 cm/thn, Koja 3,16 cm/thn dan
Cilincing 2,65 cm/thn
Perbandingan laju reklamasi berturut–turut 457,68 Ha (2010) dan 2707 ha (RTRW 2015).
Simulasi gelombang banjir dengan laju reklamasi pantai 2010 sensibiltas kenaikan tinggi muka
banjir terletak di antara (0.02–0,95) m. Sedangkan simulasi gelombang banjir dengan laju
reklamasi 2010 & ditambah kenaikan muka laut berturut –turut 5 tahun dan 50 tahun, kenaikan
tinggi muka banjir berturut-turut naik sekitar (0.23 – 1.34 ) m dan (0.26–1,39 ) m.
b) Simulasi gelombang tinggi muka banjir dengan laju reklamasi dibandingkan kenaikan muka air
laut, di pesisir Pantura Jakarta, sbb:
Skenario laju reklamasi (2707 ha) sesuai RTRW 2015 tanpa memperhitungkan kenaikan muka air
laut, diperoleh kenaikan muka air banjir maksimum lebih tinggi dibanding reklamasi 2010 ( 458
ha) dengan kenaikan SLR 50 tahun kedepan .
Dengan kata lain, skenario reklamasi RTRW 2015 ( 2707 Ha) kenaikan muka banjir naik 70 % dari
muka air banjir tanpa reklamasi (1991) sedangkan skenario reklamasi (458 ha) tahun 2010 + SLR
50 tahun kenaikan muka banjir naik 63,16 % dari muka banjir tanpa reklamasi (1991).
Bila rencana reklamasi diteruskan sesuai RTRW 2015 (2707 ha) dan memperhitungkan kenaikan
muka air laut maka tinggi muka air banjir semakin parah sebagai dampak kecepatan gelombang
banjir semakin lambat.
c) Bila degradasi rezim hidrologi berlangsung terus: degradasi lahan di DAS Hulu (debit banjir R-5
meningkat non linier) dan degradasi di hilir teluk Jakarta: kenaikan muka laut & laju reklamasi
berlangsung terus dan exploitasi air tanah tidak dihentikan, maka Jakarta semakin rentan terhadap
banjir pada musim ekstrim basah & Rob dan pantura Jakarta semakin ternggelam rentang dua dekade
mendatang.
d) Laju intrusi air laut semakin merambat ke daratan, disebabkan oleh perbedaan muka air statis antara
muka air laut dan muka air tanah semakin tinggi sehingga vektor kecepatan rambatan air laut ke
daratan semakin besar, dimana:
Kenaikan muka air laut 0,575 mm/tahun.
Exploitasi air tanah berlebihan semakin turun permukaan air tanah.
Imbuhan air aquifer dari daerah tanggapan semakin kecil (Ik = 1- C).
Debit rencana kering semakin kecil dari DAS ciliwung Hulu (Bopunjur).
Ancaman rob semakin parah seiring dengan semakin tingginya muka air laut ( Gambar 3.7 dan
Gambar 3.8) dan laju subsidence sepanjang pesisir pantura, berturut-turut Pesisir Pantura,
Jakarta Barat, Tengah dan Timur (lihat Gamb 3.8). Laju subsindens permukaan tanah di pesisir
pantura Jakarta (1985 sd 2010) penurunan muka tanah berturut-turut di kacamatan
Penyaringan-4,87 cm/thn, Pademangan -4,16 cm/thn, Tanjung Priok -3,49 cm/thn, Koja -3,16
cm/thn dan Cilincing -2,65 cm/thn
IV.Kesimpulan & Saran.
1. Perubahan Iklim pengaruhnya drainase, genangan banjir semakin meluas: terjadi ekstrimitas intensitas
hujan (IDF) dan waktu pemusatan air semakin lbh cepat (time concentration), diperburuk terjadinya
subsidence muka tanah (eksploatasi air tanah) sedangkan muka air di sungai semakin ekstrim akibat
pengaruh perubahan iklim pd bidang batas hilir dan hulu sungai: berturut-turut naik muka air laut
bidang & ekstrimitas hujan kurva banjir meningkat , sehingga ulit air dari daratan membuang kelaut,
dampaknya semakin luas genangan banjir kawasan pesisir Metropolitan Jakarta, diperburuk konversi
lahan (Urbanized Land cover) di hilir (reklamasi) dan hulu (real estate,perumahan dll)
2. Solusi pendekatan pembangunan “Drainase Eco Friendly” , Rehabitasi infrastruktur drainase
dikombinasikan dengan drainase berwawasan lingkungan, yakni menahan air selama mungkin daratan
(artificial recharge ,RHT, polder, waduk resapan), serta implementasi pengendalian air di kawasan
konservasi air & tanah di DAS Ciliwung Bopunjur (Keppres 114 thn 1999) dengan solusi zero
limpasan dan perlu dikembangkan kawasan konservasi Air & tanah untuk DAS Hulu lainnya
bermuara di teluk Jakarta, yang semakin mengancam meluas genangan banjir di Jakarta (Ekstrimitas
debit air di DAS Pasanggrahan telah mengancam degradasi infrastruktur “Spill way Situ Gintung“)
dan luapan banjir di down stream DAS Pasanggrahan (kawasan permukiman )
3. Penghentian eksploitasi air tanah dengan subtitusi pemakaian air tanah dengan sumber air permukaan
dengan kebijakan peningkatan infrastruktur air minum Jakarta, antara lain: sumber air baku dari
waduk Jatiluhur (Tamin, 2008).
4. Ancaman Rob dipesisir pantura Jakarta :pengaruh turunnya muka tanah & naiknya muka air laut
dengan solusi rencana pembangunan sistem polder lepas pantai mengalami kendala kompleks &
sangat mahal dari segi finansial kontruksi ,operasi dan maintenance , menyangkut aspek
Pengendalian Air terpadu Regional (kwantitas & kualitas air) di DAS Hulu- Hilir bermuara di Teluk
Jakarta meliputi 2(dua) propinsi DKI, & Jabar
Daftar Pustaka
Tamin M.Zakaria Amin. 2008. Kebijakan Strategis Pengembangan Air Minum di Kawasan Andalan Kasus Jagodetabek, Peringatan Hari Air Sedunia Kerma Dirjen CK –ITB.
Abidin, H.Z., Djaja, R, Darmawan, D., Songsang, R. 2000. “Studi Penurunan Tanah Di DKI Jakarta Dan Bandung Dengan Metode Survei GPS.” Proceddings of 29th Annual Convention of Indonesian Association of Geologists. Bandung, 21-22 November.
Priyambodo, B. 2005. “Banjir Di Daerah Pantai Yang Mengalami Penurunan Tanah Dan Dipengarui Oleh Peningkatan Muka Air Laut.” Disertasi S3, Jurusan Teknik Sipil ITB,
Pujilestari, S.E. 2008. “Dampak Perubahan Iklim, Reklamasi Dan Konversi Lahan Terhadap Rezim Hidrologi Di Kawasan Andalan (Kasus Das Ciliwung-DKI Jakarta). Thesis Magister. Program Studi Teknik Lingkungan – FTSL ITB. 2008
Nicco Plamonia. 2010. Kajian Pengaruh Kenaikan Muka Air Laut, Reklamasi Pantai dan Degradasi Lahan di DAS Hulu Terhadap Banjir di pesisir Terbangun DKI Jakarta – DAS Ciliwung, Tesis Magister Teknik Teknik Lingkungan, ITB
Sabar Arwin, 2009. Perubahan Iklim, Konversi Lahan dan Ancaman Banjir dan Kekeringan I Kawasan Terbangun. Pidato Ilmiah Guru Besar MGB-ITB.
Sabar Arwin, 2009. Tren Global Pembangunan Infrastruktur Sumber Daya Air yang berkelanjutan, Dalam rangka Diskusi Pakar Perumusan Kebijakan Eco-Efficient Water Infrastructure Indonesia. Direktorat Pengairan dan Irigasi, Desember. Bapenas.
Sabar Arwin. 2011. Iklim, Manajemen Air dan Degradasi Infrastruktur SDA di Zona Munsoon Ihwal Pantura Metropolitan Jakarta. Seminar Pengelolaan Sungai di Perkotaan Peringkatan Hari Air Dunia KE XIX Tahun 2011 Kementrian PU Gedung Ditjen SDA. Jakarta.