Tantangan baru mahasiswa dan alumni S2 dan S3
-
Upload
stmik-syaikh-zainuddin-nw-anjani-lombok-timur -
Category
Education
-
view
330 -
download
1
description
Transcript of Tantangan baru mahasiswa dan alumni S2 dan S3
1
Pengangguran. Tantangan barumahasiswa S2 dan S3
Marham Jupri Hadi
(University of Wollongong, Australia, 11Oktober, 2013)
“Satu-satunya alasan saya pindah
jurusan dan mengambil program pasca
sarjana adalah karena saya tidak tahu
mau berbuat apa dengan pendidikan
S1”. kata Maya.
Begitulah bahasa spontan dari salah
seorang teman kelas saya yang berasal
dari Yugoslavia saat saya tanya kenapa
dia mengambil program S2 Pendidikan.
Ekpresi tersebut diungkapkan
dengan penuh kejujuran tentang
masalah yang dia hadapi setelah dia
menyelesaikan pendidikan S1 di
program studi International studies.
Diapun mengatakan “aku tidak ingin
menghabiskan waktuku dirumah tanpa
melakukan apapun. Makanya aku
melanjutkan pendidikanku ke jenjang
yang lebih tinggi agar aku bisa
mendapatka pekerjaan”.
Kisah yang tidak jauh berbeda juga
dikatakan oleh teman kelas saya yang
lain, Rose. Dia adalah warga negara
Australia, yang menyelesaikan
pendidikan S1 nya pada jurusan
linguistik, ilmu bahasa. Ketika saya
bertanya kenapa dia pindah jurusan, dia
mengatakan “ saya tidak bisa melihat
masa depan dijurusan S1 saya. Lebih
jauh lagi dia berkata “ saya menyadari
masalah ini setelah saya wisuda”.
“Makanya” lanjutnya, “ saya sekarang
sedang belajar bahasa Mandarin dan
spanyol agar saya bisa bekerja di China
dan di Eropa”.
Cerita dari dua orang teman kelas
saya tadi juga mewakili kenyataan yang
dialami oleh banyak mahasiswa
Australia yang notabenenya disebut
sebagai negara maju. Meskipun masalah
pengangguran yang dihadapi
pemerintah Australia tidak sebesar
negara Indonesia, tetapi sepertinya
banyak sekali mahasiswa australia yang
terpaksa tidak bisa bekerja setelah
mereka lulus dari pendidikan tinggi.
Memang, jumlah pekerjaan relatif
banyak tetapi agar bisa bekerja dengan
bidang ilmu yang sudah ditekuni sekian
tahun di S1, S2 bahkan S3 dengan
predikat yang lumayan. Salah satu
contoh adalah beberapa mahasiswa dari
China yang sudah menyelesaikan S2
dan S3 nya di perguruan tinggi yang
sama dengan saya, ternyata terpaksa
harus memilih bekerja sebagai pelayan
restoran. Tentunya, bagi mereka
2
kenyataan pahit tersebut sangat
memberatkan. Meskipun demikian
penghasilan mereka sebagai pelayan
restoran masih jauh lebih tinggi,
mungkin 4 kali lipat, dari gaji seorang
pegawai negeri di indonesia dengan
pangkat IV a. Dan merekapun masih
bisa survive, bertahan hidup di
Australia.
Sayapun bertanya kepada diri saya
sendiri, bagaimana nasib mahasiswa di
negara saya, indonesia?. Setiap tahun
jumlah lulusan SMA/K, S1, S2 bahkan
S3 terus bertambah, tetapi sebagian
besar dari lulusan tersebut belum pasti
kemana mereka akan menerapkan
ilmunya. Perguruan tinggi swasta
semakin bertambah disetiap wilayah,
kabupaten, di Indonesia, tetapi kita
seringkali lupa memikirkan kemana
mereka harus melangkah setelah mereka
wisuda nanti.
Pertanyaan dan permasalahan ini
memang sudah lebih dari dua dekade
menjadi pembahasan. Bahkan sepuluh
tahun terakhir, pemerintah melalui
kementrian pendidikan dan kebudayaan
mulai memasukkan pendidikan
kewirausahaan dalam kurikulum-
kurikulum pendidikan. Tetapi sejauh
mana upaya tersebut telah berhasil,
belum ada kepastian. Walau
bagaiamanapun upaya tersebut harus
disyukuri.
Bagaimana dengan di provinsi
Nusa Tenggara Barat, khususnya di
pulau Lombok?. Jika diperhatikan,
jumlah lembaga pendidikan dasar,
menengah dan tinggi semakin
bertambah dan menunjukkan angka
yang sangat besar. Disetiap desa
dibangun sekolah, madrasah dan di
dalam satu kabupaten, contohnya
Lombok Timur, bisa berdiri sampai
lima perguruan tinggi swasta. Suatu
kemajuan yang patut dibanggakan.
Namun ada satu pertanyaan dibalik
semua itu? Apakah motivasi utama
dibalik pendirian lembaga-lembaga
pendidikan tersebut? Untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa?
Ataukah sebagai sebuah lahan baru
untuk mendapatkan penghasilan.
Secara pribadi, apapun motivasinya
semoga, niat baik dan upaya para
pendiri lembaga tersebut mendapatkan
balasan dari Allah SWT. Terlepas dari
adanya individu yang menjadikan
lembaga pendidikan sebagai wadah
untuk mencairkan dana pendidikan yang
20%, saya tetap bersyukur peningkatan
jumlah lembaga ini bisa menjadi tempat
3
untuk mendidik para generasi muda
yang ada di pulau Lombok. Karena
keberadaan lembaga ini telah banyak
membantu pemerintah meringankan
tugas mereka untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Tetapi, perasaan saya belum
sepenuhnya tenang dengan jumlah yang
banyak tersebut. Bagaimana dengan
mutu pendidikan kita? Yang saya
maksud dengan mutu adalah bagaimana
kepribadian dari guru, siswa dan
pimpinan-pimpinan lembaga tersebut?
Apakah itu juga menjadi perhatian
pokok kita selanjutnya? Apakah pula
lembaga-lembaga tersebut betul-betul
menjadi wadah untuk mencetak siswa
yang berperilaku baik dan benar yang
seusai dengan aturan agama dan
budaya? Apakah lembaga-lembaga
tersebut telah kita optimalkan fungsinya
sebagai wadah untuk menyiapkan
generasi dengan masa depan yang lebih
baik?...Jawabannya? sayapun belum
tahu pasti. Allahlah yang lebih tahu.
Akhirnya, semoga “curhat” ini
bermakna, dan mudah-mudahan
siapapun yang
terlibat dalam mengelola lembaga
pendidikan mendapatkan kehidupan
yang barokah atas apa yang telah
mereka upayakan.
Amin ya rabbal ‘alamin