TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP …
Transcript of TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP …
Vol. 3(1) Februari 2019, pp. 129-143
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 2597-6885 (online)
129
TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP PENUMPANG
DISABILITAS KARENA PERBUATAN MELAWAN HUKUM MENURUT HUKUM
INTERNASIONAL
LIABILITY OF AIR CARRIER TO PASSENGER DISABILITY BECAUSE OF ACT
AGAINST LAW BASED ON INTERNATIONAL LAW
Rizky Prayoga
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111
Muazzin Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111
Abstrak - Penulisan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dalam hukum pengangkutan udara
internasional, apakah perbuatan awak kabin dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum dan
bagaimana perusahaan angkutan udara bertanggung jawab kepada penumpang yang mengalami kerugian. Jenis
penelitian dalam penulisan hukum ini menggunakan penelitian yuridis empiris. Penelitian yuridis empiris adalah
penelitian hukum mengenai pemberlakuan ketentuan hukum normatif (konvensi, undang-undang atau kontrak)
secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Hasil dari penulisan ini
adalah bahwa perbuatan awak kabin tersebut dapat dimintakan pertanggung jawabaannya secara hukum
berdasarkan prinsip perbuatan melawan hukum dalam pengangkutan internasional yaitu prinsip tanggung jawab
mutlak dan untuk mendapatkan tanggung jawab berupa ganti kerugian terhadap korban yaitu korban terlebih
dahulu harus mengajukan gugatan di pengadilan dimana korban dapat mengakses lebih mudah artinya dapat
diajukan atas pilihan penggugat. Pada kasus ini penggugat mengajukan gugatan di pengadilan penggugat
bertempat tinggal. Disarankan negara-negara peserta Konvensi Montreal 1999 agar kedepannya dapat mengatur
lebih banyak pasal-pasal kerugian yang belum diatur dan diharapkan kepada pihak pengangkut udara untuk
tidak melakukan diskriminasi kembali kepada penumpang penyandang disabiilitas serta diharapkan hakim
dalam menyelesaikan perkara ini dengan seadil-adilnya.
Kata Kunci: Disabilitas, Tanggung Jawab, Pengangkut Udara
Abstract - This writing aims to provide knowledge in international air transport law, whether the actions of the
cabin crew can be requested its responsibility legally and how the air transport company is responsible to the
passengers who suffered losses. This type of research in the writing of the law using empirical juridical
research. Juridical research is empirical legal research concerning the enforcement of provisions of normative
law (convention, constitution, contract) as in action to on any particular legal event occurring within the
community. The result of this paper is that of the cabin crew can still be held as legally accountable based on
the principle of unlawful acts in international law of transport i.e the principle of absolute liability and to obtain
liability in the form of compensation for the victim i.e the victim must first file a lawsuit in court where the
victim can access more easily meaning can be submitted on the plaintiff's choice. In this case the plaintiff filed a
lawsuit in the plaintiff's court residing. It is recommended that the participating countries of the Montreal
Convention 1999, in the future, be able to regulate more unregulated losses in this convention and it is desirable
for air carriers not to discriminate back to passengers with disabili- ty and expect the judge to settle the matter
fairly.
Keywords: Disability, Liability, Air Carrier
PENDAHULUAN
Kemajuan pengangkutan adalah sebagai akibat kebutuhan manusia untuk bepergian
ke lokasi atau tempat yang lain guna mencari barang yang dibutuhkan atau melakukan
aktivitas dan mengirim barang ke tempat lain yang membutuhkan suatu barang.
Pengangkutan merupakan salah satu kunci perkembangan pembangunan dan masyarakat.
Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti mengangkat dan membawa, memuat atau
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 130
Rizky Prayoga, Muazzin
mengirimkan. Sedangkan pengangkutan dapat disimpulkan sebagai suatu proses kegiatan
atau gerakan dari suatu tempat ke tempat lain. Pengangkutan dapat diartikan sebagai
pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan.1 Secara garis besarnya
pengangkutan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. pengangkutan darat (pengangkutan melalui jalan raya dan kereta api);
b. pengangkutan laut;
c. pengangkutan udara.
Pesawat udara pada awalnya hanya dimiliki oleh negara dan hanya dipakai untuk
kepentingan militer saja, kemudian mulai menjadi suatu sarana perhubungan komersial yang
umum sehingga terdapat beberapa istilah penggunaan pesawat udara yaitu pengangkutan
udara ataupun maskapai penerbangan yang sangat jelas mendefinisikan pesawat perusahaan
untuk tujuan komersial.
Konvensi Paris 19192 mengklasifikasikan pesawat udara diatur dalam Bab VII
tercantum dalam pasal 30, 31, 32, dan 33, masing-masing mengatur jenis pesawat udara,
pesawat udara militer. Pasal 30 Konvensi ini, pesawat udara terdiri dari 3 jenis, masing-
masing pesawat udara militer, pesawat udara yang sepenuhnya digunakan untuk dinas
pemerintahan seperti bea cukai, polisi yang digunakan semata-mata hanya untuk pelayanan
publik dan pesawat udara lainnya.3 Semua pesawat udara selain pesawat udara militer, dinas
pemerintahan, bea cukai dan polisi termasuk pesawat udara sipil (private aircraft), namun
demikian dalam Konvensi Paris 1919 tidak diatur pengertian pesawat udara. Dalam hukum
nasional, yaitu pengertian pesawat udara dalam Pasal 1, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1 Ridwan Khairandy, Machsun Tabroni, Ery Arifuddin, dan Djohari Santoso, Pengantar Hukum Dagang
Indonesia, Jilid 1, Yogyakarta: Gama Media, 1999, hlm. 195. 2 Konvensi Paris 1919 adalah ketentuan internasional yang ditandatangani pada 13 oktober 1919 yang
memiliki dua bagian naskah, yaitu naskah utama yang mengatur kedaulatan atas wilayah udara, lintas damai,
zona larangan terbangan, sertifikat pendaftaraan dan kebangsaaan pesawat udara, radio penerbangan, izin
penerbangan, keberangkatan dan kedatangan pesawat udara, larangan pengangkutan bahan berbahaya,
klasifikasi pesawat udara, komisi navigasi penerbangan dan ketentuan penutup dan naskah tambahan terdiri atas
delapan Annexes. Konvensi Paris ini merupakan cikal bakal lahirnya pengaturan hukum di ruang udara dan juga
konvensi ini mendapatkan pembahuruan dengan lahir nya Konvensi Chicago 1944 yang mana konvensi ini
menghasilkan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) yang memiliki fungsi mengangtur dan
mengembangkan prinsip dasar teknik navigasi penerbangan internasional untuk meningkatkan pertumbuhan
transportasi udara internasional yang menjamin keselamatan dan ketertiban pertumbuhan penerbangan sipil
internasional seluruh dunia. Indonesia sendiri sudah menjadi anggota ICAO pada 27 Mei 1950 setelah tunduk
pada konvensi chicaggo 1944 dan Indonesia telah melakukan pengesahan Protocol On The Authentic Six-
Language Text Of The Convention On Intenasional Civil Aviation Chicago 1944 dengan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005. 3 Sudirman Nainggolan, Pengaturan Penerbangan Sipil Intertnasioanal Menurut Hukum Internasional
Yang melintansi antar negara, Medan; Jurnal, Fakultas Hukum, USU, 2014.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 131
Rizky Prayoga, Muazzin
2009 tentang penerbangan4 bahwa yang dimaksud dengan pesawat udara adalah setiap mesin
atau alat-alat yang dapat terbang di atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara, tetapi
bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan.5
Perkembangan dunia penerbangan saat ini dapat dilihat dari banyaknya pengangkut
udara yang melayani jasa angkutan udara ke berbagai rute penerbangan baik domestik
maupun internasional. Maskapai penerbangan secara etimologis adalah berasal dari Bahasa
Belanda yakni “maatschaapij” yang berarti “Perusahaan”, sedangkan penerbangan memiliki
arti yakni satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara,
bandar udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta
fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.6 Maka maskapai penerbangan adalah sebuah
organisasi yang menyediakan jasa penerbangan bagi penumpang atau barang.
Sejak dunia penerbangan mulai berkembang, pada tahun 1929 dibentuklah suatu
Konvensi Warsawa yang dimaksudkan untuk menghindarkan permasalahan dengan
mengadakan rezim hukum yang seragam terutama terkait tanggung jawab pengangkut udara.
Konvensi ini merupakan perjanjian pertama di bidang hukum internasional yang mengatur
hukum transportasi udara internasional yang memiliki unsur perdata didalamnya dan
merupakan salah satu perjanjian yang paling tua dan paling berhasil dalam menyeragamkan
suatu bidang tertentu dalam hukum keperdataan.7
Konvensi Warsawa8 yang ditandatangi tanggal 12 Oktober 1922 ini semula bercita-
cita untuk keseragaman dokumen angkutan udara internasional yang terdiri dari tiket
penumpang (passenger ticket), tiket bagasi (baggage claim), surat muatan udara (airwaybill
atau consignment note) dan konvensi Warsawa 1929 hanya berlaku terhadap transportasi
udara internasional.9 Kemudian beriringnya dengan tuntutan perkembangan dalam dunia
penerbangan konvensi Warsawa mengalami perubahan-perubahan terbaru terhadap Konvensi
Warsawa ini adalah Konvensi Montreal 1999.
4 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956. 5 https://www.suduthukum.com/2017/04/pengertian-penerbangan-sipil.html diakses pada 25 februari
2018 Pukul 20:30. 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan. 7 K. Martono, Hukum Angkutan Udara UU RI NO 1 tahun 2009, Jakarta: Raja Grafindo Persada 2011,
hlm. 234. 8 Konvensi Warsawa merupakan konvensi internasional yang pertama sekali mengatur mengenai
tanggung jawab secara perdata untuk pengangkutan internasional untuk orang, bagasi atau barang dilakukan
oleh pesawat untuk bayaran dan konvensi ini mulai berlaku 13 Februari 1933 dengan jumlah anggota 152 serta
Indonesia sebelum kemerdekaannya pernah meratifikasi dengan Staatsblad 1939 pada masa kolonial Belanda. 9 K, Martono, Hukum Udara Nasional dan Internasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2007, hlm.
135.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 132
Rizky Prayoga, Muazzin
Konvensi Montreal 199910 ini sendiri terdiri dari 7 bab dan 57 pasal. Bagian ini akan
menguraikan muatan Konvensi Montreal 1999 yang meliputi ketentuan umum, dokumen
transportasi udara yang terdiri dari tiket penumpang, tiket bagasi, dan surat muatan udara,
tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan, jumlah ganti kerugian, perhitungan ganti
kerugian, batas tangggung jawab, jangka waktu pengajuan gugatan dan ditutup dengan
yuridiksi pengadilan.11
Di dalam dunia penerbangan terdapat hak-hak penumpang pada umumnya yang sudah
sepatutnya penumpang ketahui, bahkan terlebih lagi penumpang dengan status penyandang
disabilitas merupakan penumpang yang diprioritaskan oleh pihak pengangkut udara dalam
memberikan hak-haknya yang harus dipenuhi selama penerbangan. Pada tingkat aturan
hukum internasional sendiri penyandang disabilitas memiliki berbagai hak dalam
kehidupannya sebagai warga negara.
Hak tersebut diatur dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang disepakati
pada tanggal 13 Desember 2006 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan
Nomor Resolusi 61/106. Dalam hal ini salah satu hak penyandang disabilitas adalah pada
pasal 9 tentang Aksesibilitas. Bahwa agar penyandang disabilitas mampu hidup secara
mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam semua aspek kehidupan, Negara-Negara Pihak
wajib mengambil Iangkah yang tepat untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas, atas
dasar kesamaan dengan warga lainnya, terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi, dan
komunikasi, termasuk sistem serta teknologi informasi dan komunikasi, serta akses terhadap
fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka atau tersedia untuk publik, baik di daerah
perkotaan maupun pedesaan.12 Terkait Konvensi Hak-Hak Penyandang disabilitas ini
pemerintah Indonesia pada tahun 2011 telah meratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2011 tentang Pengesahaan United Nations Convention on the Rights of Person with
Disabilities.
Pada tingkat hukum nasional bahwa hukum pengangkutan udara menjelaskan
penyandang disabilitas, orang lanjut usia, anak-anak di bawah usia 12 tahun, dan/atau orang
10 Konvensi Montreal 1999 yang ditandatangani pada 28 mei 1999 di Montreal tersebut pada prinsipnya
mengatur secara integral ketentuan-ketentuan yang termuat dalam konvensi Warsawa 1929, Protokol The Hague
1955, Konvensi Guadalajara 1961, Protokol Guetamala City 1971 dan Protokol Tambahan No. 1, 2, 3, dan 4
yang mana konvensi internasional ini mengatur tentang tanggung jawab secara perdata. 11Martono, Hukum Udara Nasional dan Internasional, Op. Cit. hlm. 183-195. 12 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 133
Rizky Prayoga, Muazzin
sakit, berhak mendapat memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dari badan usaha
pengakutan udara, salah satu contohnya adalah memberikan prioritas tempat duduk.13
Pasal 239 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan14
menyebutkan pelayanan khusus diantaranya memberi prioritas pelayanan di terminal
pelayanan, sarana bantu bagi orang sakit, menyediakan fasilitas untuk ibu merawat bayi,
tersedia personel yang khusus bertugas untuk melayani atau berkomunikasi dengan
penyandang cacat, orang sakit, dan lanjut usia, serta tersedianya informasi atau petunjuk
tentang keselamatan bangunan bagi penumpang di terminal dan sarana lain yang dapat
dimengerti oleh penumpang yang berkebutuhan khusus.
Pemerintah sudah membuat regulasi penerbangan yang mengatur berbagai hal hak-
hak pelayanan terhadap penumpang disabilitas pada transportasi udara namun tetap saja
masih ada maskapai penerbangan yang memberikan perlakuan diskriminasi kepada
penumpang penyandang disabilitas. Seperti halnya diskriminasi terhadap penumpang Dwi
Aryani yang akan berangkat ke Jenewa-Swiss dari Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Kasus
ini berawal pada 8 Maret 2016 ketika Dwi Aryani, yang merupakan penyandang disabilitas,
mendapat undangan International Disability Alliance15 untuk menghadiri pelatihan tentang
pendalaman implementasi dan pemantauan konvensi tentang hak-hak penyandang disabilitas.
Acara tersebut diagendakan berlangsung pada 4-11 April 2016 di kantor PBB Swiss.16
Rencana mengikuti konferensi itu gugur karena Dwi aryani tidak di izinkan terbang
oleh awak kabin pesawat Etihad. Perbuatan awak kabin pesawat dengan menurunkan
penumpang disabilitas bernama Dwi Aryani dari kabin pesawat Etihad ini menimbulkan
kerugian bagi penumpang tersebut. Sudah sepatutnya pihak maskapai penerbangan meminta
maaf serta memberikan kompensasi.17 Namun, dalam hal ganti kerugian yang terdapat pada
Konvensi Montreal 1999 hanya terbatas akan ganti kerugian terhadap kematian, luka-luka,
keterlambatan, dan ganti kerugian terhadap pihak ketiga yang mengalami kematian dan luka-
13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. 14 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956. 15 International Disability Alliance adalah aliansi yang terdiri dari delapan organisasi global dan enam
organisasi penyandang disabilitas regional. Kantor advokasi International Disability Alliance di PBB untuk
lingkungan global yang lebih inklusif bagi para penyandang cacat dan organisasi mereka. Keberadaan Aliansi
ini untuk memastikan bahwa Agenda 2030 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan inklusif dan sejalan dengan
Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). Kami mendukung organisasi penyandang cacat
di seluruh dunia untuk mengambil bagian dalam proses hak asasi manusia PBB dan internasional, dan
menggunakan mekanisme akuntabilitas internasional. 16 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a14dc4d7819c/menunggu-putusan-hakim-dalam-kasus-
penumpang-disabilitas-gugat-maskapai. Diakses pada 08 Januari 2018 Pukul 20:10. 17 Ibid.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 134
Rizky Prayoga, Muazzin
luka.18 Dan juga dalam Undang-Undang Nomor 1 Tentang Penerbangan Tanggung Jawab
Ganti Kerugian hanya meliputi kematian atau luka fisik orang, musnah, hilang atau rusak
peralatan yang dioperasikan dan/atau dampak lingkungan di sekitar bandar udara akibat
pengoperasian bandar udara.19 Maka dapat diketahui bahwa dalam dunia penerbangan masih
belum ada Pasal-pasal atau aturan hukum yang mengatur terkait tanggung jawab ganti
kerugian yang ditimbulkan oleh akibat-akibat lain yang merugikan hak-hak penumpang
sebagai individu dalam menggunakan jasa pengangkutan udara.
Adapun identifikasi masalah yang dapat diuraikan berdasarkan uraian pada latar
belakang masalah dipersempit dalam butir-butir pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah perbuatan awak kabin maskapai penerbangan Etihad terhadap penurunan
penumpang disabilitas dari kabin pesawat dapat dimintakan pertanggungjawaban secara
hukum?
2. Bagaimana tanggung jawab maskapai penerbangan Etihad sebagai pengangkut karena
kesalahan awak kabin atas kerugian yang di alami penumpang?
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalan penelitian yuridis empiris. Penelitian yuridis
empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan ketentuan hukum normatif
(konvensi, undang-undang atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum
tertentu yang terjadi dalam masyarakat.20 Pendekatan penelitian menggunakan beberapa
pendekatan berupa pendekatan konstitutif (Statue Approach) ini dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani
dan pendekatan historis (Historical Approach) ini dilakukan dengan menelaah latar belakang
apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.21
Penelitian dengan cara mengumpulkan, membaca, mempelajari serta menganalisis
yaitu konvensi, peraturan perundang-undangan, buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar, juga
tulisan-tulisan dan referensi serta data dan artikel terkait yang diperoleh dari internet.22
Metode ini melakukan pengumpulan data melalui Library Research dan Ethernet Research
dengan mencari berbagai informasi baik berita, konsep-konsep hasil pemikiran para ahli yang
18 Kovensi Montreal 1999. 19 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. 20 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra A Bakti, 2004, hlm. 134. 21 Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, Ed. 1. Cet. 5, 2009, hlm. 94-94. 22 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hlm.
113-114.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 135
Rizky Prayoga, Muazzin
dimuat dalam buku-buku, jurnal, dan tulisan karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian
ini.
Bahan kajian utamanya adalah bahan hukum primer melalui pengkajian terhadap
Konvensi-konvensi Internasional, buku-buku, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian
sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini. Dengan demikian, studi ini untuk mencari
konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat dan penemuan yang berhubungan dengan
pokok permasalahan.
a. Bahan hukum primer adalah bahan yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat
terdiri dari : Montreal Convention 1999;
b. Convention On The Rights Of Persons With Disabilities 2006;
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas;
d. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer yang berupa buku-buku yang ditulis oleh para ahli hukum, teori hukum, jurnal
hukum, artikel internet dan bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum lain yang menjelaskan lebih lanjut bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Kamus Terminologi Hukum Bahasa Inggris-Indonesia dan Ensiklopedia serta yang terkait
dengan tanggung jawab akibat kesalahan awak maskapai penerbangan.
Bahan hukum yang diperoleh akan dianalisis secara metode kualitatif, yaitu analisis
yang dilakukan dengan cara memahami dan mempelajari, merangkai bahan instrument
hukum internasional dan hukum nasional yang telah dikumpulkan dan disusun secara
sistematis, dan diuraikan dengan menggunakan peraturan perundang-undangan, teori hukum
serta doktrin.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Tanggung Jawab Pengangkut Udara Terhadap Penumpang Disabilitas Karena
Perbuatan Melawan Hukum Menurut Hukum Internasional
Perlakuan diskriminasi oleh awak maskapai penerbangan Etihad atas salah satu
penumpang yaitu penumpang penyandang disabilitas Dwi Aryani pada 3 Maret 2016 ini
sangat merugikan dirinya dikarenakan seharusnya Dwi Aryani dapat mengikuti pelatihan dan
pendalaman serta impementasi hak-hak penyandang disabilitas yang diselenggarakan oleh
International Disability Alliance di Jenewa-Swiss, dengan ketidakhadiraan dalam kegiatan
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 136
Rizky Prayoga, Muazzin
tersebut sehingga Dwi Aryani kehilangan kesempatan dan manfaat pelatihan yang di
dapatkannya yang mana akan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan juga hak-hak para
penyandang disabilitas di Indonesia.
Perbuatan yang dilakukan awak maskapai penerbangan Etihad ini merupakan
kemunduran dalam jasa pengangkutan udara dalam hal ini pesawat, yang mana jelas
melanggar konvensi internasional23 dan peraturan perundangan-undangan nasional24.
Sehingga kesalahan yang dilakukan ini menimbulkan kerugian bagi korban yakni Dwi Aryani
baik berupa kerugian materiil dan kerugian immaterial.
Pada Konvensi Montreal 1999 merupakan aturan hukum perdata internasional pada
penerbangan internasional ini tidak ditemukan satu pasal pun terkait kerugian lain secara
personal seperti halnya kasus kerugian yang dialami oleh Dwi Aryani. Pada konvensi ini
hanya mengatur tanggung jawab terhadap kerugian karena kecelakaan ataupun kesalahaan
yang dilakukan pihak maskapai. Penjelasan terhadap beberapa tanggung jawab perusahaan
angkutan dan batas kompensasi kerugian yang terdapat pada Konvensi Montreal ini tepatnya
pada Bab III yaitu, Perusahaan Angkutan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
dalam hal meninggal atau luka badan seseorang penumpang dengan syarat bahwa hanya
kecelakaan yang menyebabkan kematian atau luka yang terjadi diatas pesawat udara atau
pada saat dilakukannya setiap kegiatan operasi menuju ke pesawat atau meninggalkan
pesawat.25
Perusahaan Angkutan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita dalam kasus
kerusukan atau kehilanggan, atau kerugian pada bagasi yang sudah dicacat dengan syarat
23 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas Tahun 2016, dalam Pasal 9 Tentang Aksesibilitas pada
ayat (1) Agar penyandang disabilitas mampu hidup secara mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam semua
aspek kehidupan, Negara-Negara Pihak wajib mengambil Iangkah yang tepat untuk menjamin akses bagi
penyandang disabilitas, atas dasar kesamaan dengan warga lainnya, terhadap lingkungan fisik, transportasi,
informasi, dan komunikasi, termasuk sistem serta teknologi informasi dan komunikasi, serta akses terhadap
fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka atau tersedia untuk publik. Pada ayat (2) Negara-Negara Pihak
wajib juga mengambil langkah-langkah yang tepat untuk: (a) Mengembangkan, menyebarluaskan, dan
memantau pelaksanaan standar minimum dan panduan untuk aksesibilitas terhadap fasilitas dan layanan yang
terbuka atau tersedia untuk publik; (b) Menjamin bahwa sektor swasta yang menawarkan fasilitas dan layanan
yang terbuka atau tersedia untuk publik mempertimbangkan seluruh aspek aksesibilitas bagi penyandang
disabilitas; (c) Menyelenggarakan pelatihan bagi pemangku kepentingan mengenai masalah aksesibilitas yang
dihadapkan kepada penyandang disabilitas; 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, dalam pasal 18 Hak
Aksesibilitas untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak: a. mendapatkan Aksesibilitas untuk memanfaatkan
fasilitas publik; dan b. mendapatkan Akomodasi yang Layak sebagai bentuk Aksesibilitas bagi individu. Dalam
pasal 19 Hak Pelayanan Publik untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak: a. memperoleh Akomodasi yang
Layak dalam Pelayanan Publik secara optimal, wajar, bermartabat tanpa Diskriminasi; dan b. pendampingan,
penerjemahan, dan penyediaan fasilitas yang mudah diakses di tempat layanan publik tanpa tambahan biaya. 25 Pasal 17 ayat (1) Konvensi Montreal 1998.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 137
Rizky Prayoga, Muazzin
kejadian yang menyebabkan kerusakan, kehingan atau kerugian yang dimaksud terjadi diatas
pesawat udara atau selama jangka waktu dimana bagasi yang telah dicatat telah berada dalam
tanggung jawab perusahaan angkutan. Namun demikian, perusahaan angkutan tidak
bertanggung dalam hal batas kerugian yang timbul karena cacat yang sudah ada sebelumnya,
mutu atau ketidaksempurnaan bagasi tersebut. Dalam hal bagasi yang tidak tercatat, termasuk
barang-barang bawaan pribadi, perusaahan angkutan bertanggung jawab apabila kerugian
yang timbul tersebut adalah karena kesalahannya atau orang yang diperkerjakannya atau
agennya.26
Jika perusahaan angkutan mengakui kehilangan bagasi yang sudah dicatat, atau jika
bagasi yang sudah dicatat itu tidak sampai pada batas waktu dua puluh satu hari setelah hari
yang seharusnya sudah tiba, penumpang berhak untuk menuntut haknya kepada perusahaan
angkutan sebagaimana diatur dalam kontrak.27 kecuali bila ditentukan sebaliknya secara
khusus, dalam konvensi ini yang dimaksud dengan “bagasi” ialah bagasi yang dicatat dan
bagasi yang tidak dicatat.28
Pada konvensi montreal 1999 bahwa Perusahaan angkutan bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita seandainya kerusakan atau kehilangan dimaksud, atau kerugian pada
kargo dengan syarat bahwa kejadian yang menyebabkan kerugian yang diderita tersebut
terjadi selama pengangkutan di udara29. Namun demikan, perusahaan angkutan tidak
bertangung jawab seandainya sampai batas hal itu membuktikan bahwa kerusakan, atau
kehilangan atau kerugian pada kargo disebabkan satu atau lebih dari yang tersebut dibawah
ini :
a) Cacat bawaan, mutu atau ketidaksempurnaan atau kebusukan kargo;
b) Ketidaksempurnaan atau cacat kemasan kargo yang dilakukan oleh orang badan
perusahaan angkutan atau orang yang dipekerjakannya atau agennya;
c) Perang atau konflik bersenjata’
d) Tindakan pemerintah yang dilakukan dalam hubungan dengan masuk, keluar.30
Kerugian keterlambatan juga diatur di dalam Konvensi Montreal 1999 bahwa
Perusahaan angkutan bertanggung jawab terhadap kerugian yang terjadi karena
keterlambatan dalam pengangkutan penumpang, bagasi atau kargo melalui udara. Namun
26 Pasal 17 ayat (2) Konvensi Montreal 1998. 27 Pasal 17 ayat (3) Konvensi Montreal 1998. 28 Pasal 17 ayat (4) Konvensi Montreal 1998. 29 Selama pengangkutan di adalah jangka waktu selama kargo dimaksud berada dibawah tanggung jawab
perusahaan angkutann. 30 Pasal 18 Konvensi Montreal 1999
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 138
Rizky Prayoga, Muazzin
demikian, perusahaan angkutan tidak bertanggung jawab atas kerugian karena keterlambatan
apabila dapat membuktikan bahwa perusahaan angkutan dan orang diperkerjakannya serta
angennya telah mengambil tindakan sepantasnya yang dianggap perlu untuk menghindarkan
kerugian atau tidak mungkin bagi perusahaan angkutan atau orang yang dipekerjakannya dan
agamanya untuk mengambil tindakan semacam itu.31
Jelas bahwa Konvensi Montreal 1999 ini pada pasal 17 yaitu hanya mengantur
tanggung jawab penumpang yang meninggal dan luka-luka serta kerugian pada bagasi dan
pasal 18 yaitu mengenai tanggung jawab terhadap kerugian pada kargo sedangkan pasal 19
sendiri mengenai tanggung jawab keterlambatan pengangkut udara. Dalam hal ini Konvensi
Montreal 1999 yang merupakan unifikasi yang berkaitan dengan pengangkutan internasional
di udara masih jauh dari sempurna terkait hal tanggung jawab. Ternyata ini juga menjadi
kendala bahwa peraturan perundangan-undangan tingkat nasional yaitu Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang terdiri dari 466 pasal ini juga masih tidak
terdapat perluasan penafsiran kerugian yang harus menjadi tanggung jawab pengangkut
sehingga terkait tanggung jawab yang tidak terdapat pada Konvensi Montreal 1999 dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan diatur dalam kententuan hukum
lainnya yang terkait.
Pada dasarnya setiap pengangkut udara/pesawat memiliki standar operasional
penerbangan tersendiri bagi penumpang yang bertujuan sebagai informasi kepada setiap
penumpang akan hak dan kewajibannya selama dalam penerbangan, baik penerbangan
internasional dan domestik. Terkait kejadian yang terjadi pada penumpang disabilitas
bernama Dwi Aryani di dalam maskapai penerbangan Etihad sangat merugikan si korban dan
juga sangat memalukan sebab Maskapai Etihad sebagai penerbangan Internasional yang
memiliki jam penerbangan sangat padat melakukan tindakan mengecewakan terhadap salah
satu penumpang berkebutuhan khusus.
Berdasarkan standart operasional penerbangan pada Article 7 tentang penolakan dan
pembatasan pengangkutan yang terdapat pada maskapai Etihad bahwa Dwi aryani sebenarnya
tidak melakukan satu pelanggaran pun yang diatur pada standart operasional pada article
7.1.2; 7.1.2.1 s/d 7.1.2.19,32 yang di dalam nya mengatur tentang hal-hal yang dapat
diturunkan oleh pihak maskapai penerbangan di Maskpai Etihad yang mengharuskan dirinya
diturunkan oleh awak kabin pesawat ketika sudah berada dalam kabin pesawat.
31 Pasal 19 Konvensi Montreal 1999. 32 https://www.etihad.com/en-id/legal/conditions-of-carriage/, point 7.1.2 terdiri dari 7.1.2.1 s/d 7.1.2.19.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 139
Rizky Prayoga, Muazzin
Pihak maskapai beralasan menurukan Dwi Aryani dari kabin pesawat yang sudah
berada di kabin pesawat selama 20 menit hanya karena alasan bahwa Dwi Aryani dianggap
orang sakit dan tidak membawa pendamping dalam berpergian, padahal Dwi telah memiliki
izin dokter yang menyatakan dirinya sehat, bahkan Dwi Aryani sebelum terbang telah
menginformasikan bahwa dirinya adalah penyandang disabilitas dan mereka merespon
dengan baik sehingga sempat dibantu oleh petugas khusus maskapai dalam membantu
memberikan kursi roda khusus pesawat ketika memasuki kabin pesawat.33
Walaupun di Konvensi Montreal 1999 tidak terdapat pasal yang mengatur tanggung
jawab kerugian individu bukan berarti perbuatan awak kapal yang merugikan korban dapat
dibenarkan. Namun, dalam hal ini perbuatan awak kabin yang menurunkan Dwi Aryani dapat
dimintakan pertanggung jawaban secara hukum karena perbuatan yang merugikan Dwi
Aryani tersebut termasuk kategori perbuatan melawan hukum sesuai dari salah satu prinsip
perbuatan melawan hukum internasional yang terdiri dari 3 (tiga) prinsip yaitu berdasarkan
prinsip tanggung jawab yang didasarkan atas adanya unsurnya kesalahan (liability based on
fault or negligence fault liabilty) dan prinsip tanggung jawab atas dasar praduga (presumption
of liability), serta prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability/strict liability).
Prinsip yang dapat digunakan untuk meminta pertanggungjawaban secara hukum
terhadap perbuatan melawan hukum menurut hukum internasional terkait kasus ini prinsip
yang dapat digunakan adalah prinsip tanggung jawab mutlak dikarenakan Indonesia
merupakan negara sistem kontinental yang mana kewajiban pengangkut adalah sebagai
konsekeunsi dari kewajiban kontraktual, yaitu mengangkut penumpang dan kargo sampai
ditempat tujuan dengan selamat. Bila selama dalam pengangkutan penumpang mengalami
kecelakaan (luka, cacat, atau meninggal dunia) atau kargo hilang atau rusak, sudah cukup
membuktikan adanya pelanggaran perjanjian (wanprestasi). Kewajiban pengangkutan adalah
menjamin bahwa penumpang dan kargo yang diangkutnya sampai ditempat tujuan dengan
selamat. Jadi, kewajiban pengangkut adalah untuk mencapai sesuatu hasil (obligation de
resultat), bukan hanya sekadar menyelenggarakan pengangkutan (obligation de moyers).34
33 www.youtube.com, Video wawancara langsung oleh Dwi Aryani sebagai korban di acara Mata Najwa
Metro TV, sebagai data valid yang langsung dipaparkan oleh ibu Dwi Aryani sebagai korban. 34 Endang Saefullah Wiradipradja, Hukum Transportasi Udara dari Warsawa 1929 ke Montreal 1999,
Bandung: PT Kiblat Buku Utama, 2008, hlm. 95.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 140
Rizky Prayoga, Muazzin
2. Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Etihad Sebagai Pengangkut Atas Kerugian
yang Dialami Penumpang
Erat kaitannya dengan permasalahan tentang prinsip-prinsip tanggung jawab
pengangkut udara adalah mengenai persyaratan kapan pengangkut udara bertanggung jawab.
Dalam praktiknya, terdapat berbagai kesulitan dalam menentukan kapan pengangkut udara
bertanggung jawab. Hal ini disebabkan karena dalam Konvensi Montreal tidak dirumuskan
dengan jelas tentang kapan dan dalam hal apa pengangkut udara bertanggung jawab, baik
dalam pengangkutan penumpang, bagasi tercatat dan kargo atau dalam hak keterlambatan.
Oleh karena itu tidak ada penjelasannya dalam Konvensi, maka penafsirannya diserahkan
kepada pengadilan yang menangani perkara yang bersangkutan atau pada pendapat para
sarjana (doktrin).35
Oleh karena itu, dalam hal ini perkara-perkara penerbangan internasional bagi
penggugat yang dirugikan oleh pengangkut udara baik karena kecelakaan, luka-luka dan lain-
lain atau tidak bertanggung jawab akan perbuatannya maka untuk memperoleh ganti kerugian
penggugat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan yang lebih mudah diakses oleh
penggugat artinya sesuai dengan pilihan penggugatan sesuai kebebesan yuridksi Pengadilan
yang terpadat pada Pasal 33 Konvensi Montreal 1999.
Terkait kasus maskapai penerbangan Etihad yang terjadi pada Dwi Aryani tepat pada
tanggal 03 maret 2016, beliau mendapatkan perbuatan awak kabin yang tidak menyenangkan
dan tak sepatutnya terjadi padanya sebagai penyandang disabilitas tanpa adanya alasan yang
berdasar dari awak kabin tersebut, bahkan yang sangat tidak mengelokan terjadi bahwa Dwi
Aryani setelah diturunkan dari dalam kabin pesawat tidak mendapatkan pengembalian uang
tiket (refund) dari pihak maskapai Etihad seharga RP 22.500.000, dan beliau kembali ke
kampung halamannya ke esokan harinya pada tanggal 04 maret 2016.36
Di dalam Legal Information terkait kententuan dan syarat penerbangan maskapai
Etihad pada article 10 refunds bahwa pengembalian uang tiket apabila pihak maskapai gagal
mengoperasikan penerbangan kepada penumpang atau gagal berhenti di tujuan dan
pengembalian jumlah uang tiket tergantung jika tidak ada bagian tiket yang telah digunakan
dan juga mendapatkan mata uang yang sama yang digunakan pada waktu penumpang
35 Ibid, hlm. 111. 36 www.youtube.com, Video wawancara langsung oleh Dwi Aryani sebagai korban di acara Mata Najwa
Metro TV.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 141
Rizky Prayoga, Muazzin
membeli tiket, jadi terkait kasus Dwi Aryani berhak mendapatkan uang pengembalian tiket
tapi kenyataannya beliau tidak mendapatkan sepersen pun uang tiket yang telah dibelinya.
Oleh sebab peristiwa yang terjadi padanya, beberapa bulan kemudian Dwi Aryani
mengajukan surat gugatan pada tanggal 22 november 2016 dan terdaftar di Pengadilan Negeri
Jakarta pada tanggal 29 november 2016 dengan klasifikasi perkara Perbuatan Melawan
Hukum serta Nomor Perkara 846/Pdt.G/2016.PN JKT.SEL. Yang berperkara dalam hal ini
sebagai penggugat Dwi Aryani yang di dampingi oleh kuasa hukumnya Heppy Sebayang,
SH., dkk dan sebagai tergugat 1 adalah Perusahan Maskapai Etihad Airways. Cq General
Manager Etihad Airways Indonesia, sebagai tergugat 2 adalah PT. Jasa Angkasa Pura
Semesta,Tbk dan sebagai tergugat 3 adalah Kementerian Perhubungan RI Cq Direktorat
Jenderal Perhubungan.37
Setelah melalui proses persidangan panjang selama 342 hari tepat tepat pada tanggal 4
desember 2017 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Hakim ketua Ferry Agustina Budi
Utami S.H., M.H. mengabulkan sebagian gugatan yang dilayangkan Dwi Aryani dengan
menggunakan sumber hukum KUHPerdata dan Hakim ketua Ferry Agustina memvonis
bahwa perusahaan Maskapai Etihad melawan hukum kepatutan dan melakukan diskriminasi
kepada Dwi Aryani.
Dalam amar putusan pokok perkara dengan nomor perkara perdata
No.476/Pdt.G/201/PN.Jkt.Sel:
1. Mengambulkan gugatan penggugat untuk sebagian
2. Menyatakan tergugat 1 telah melakukan perbuatan melawan hukum
3. Menghukum Tergugat I untuk menyampaikan permintaan maaf kepada Penggugat
melalui media cetak Harian Kompas, dengan isi format sebagai berikut ”KAMI
PERUSAHAAN MASKAPAI ETIHAD AIRWAYS MENYATAKAN MOHON
MAAF BAGI SAUDARI DWI ARYANI ATAS KELALAIAN PETUGAS KAMI
YANG TIDAK MEMBERIKAN LAYANAN YANG SEMESTINYA, KAMI
BERJANJI MEMPERBAIKI PELAYANAN DAN HAL INI TIDAK AKAN
TERULANG LAGI”;
4. Menghukum Tergugat I untuk membayar ganti kerugian materiil sebesar
Rp37.500.000,00 (tiga puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan ganti kerugian
37 http://sipp.pn-jakartaselatan.go.id/detil_perkara
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 142
Rizky Prayoga, Muazzin
Immateriil sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada Penggugat
karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat I;
5. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;
6. Menghukum Tergugat I untuk membayar ongkos perkara yang hingga kini ditaksir
sebesar Rp1.011.000,00 (satu juta sebelas ribu rupiah);
Dalam putusan kasus tersebut telah memenangkan Dwi Aryani sebagai seorang
penyandang disabilitas dengan berbagai pertimbangan hakim. Namun, dalam kelanjutan
perkara ini yang sangat disayangkan bahwa Maskapai Etihad yang merupakan Maskapai
berbendera negara kapal Uni Emirat Arab ini tidak mau menerima kekalahannya di sidang
tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sehingga pada tanggal 18 Desember
2017 Maskapai Etihad yang diwakili Gerald Saratoga Sarayar mengajukan permohonan
banding, maka putusan pada pengadilan tingkat pertama tidak berkekuatan hukum tetap.
KESIMPULAN
Bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh awak kabin tersebut dapat
dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum dengan menggunakan prinsip tanggung
jawab mutlak dalam hukum pengangkutan udara internasional yang dimana prinsip ini hanya
menekankan apakah kontrak antara pengangkut dan penumpang tersebut dilaksanakan atau
tidak guna mengantarkan penumpang sampai ke tujuan. Prinsip ini merupakan konsekuensi
dari ajaran kuno yaitu ‘a man acts at his peril’ atau ‘he who breaks must pay’ yang
maksudnya barang siapa berbuat, bila merugikan orang lain, dia harus bertanggung jawab.
Setelah melewati proses hukum yang panjang bahwa pada putusan pertama di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini dimenangkan oleh Dwi Aryani dengan menghukum
tergugat untuk membayar kerugian materil dan immaterial sebesar Rp. 537.500.000.
Dikarenakan pihak tergugat tidak terima dengan putusan tingkat pertama maka tergugat
melakukan upaya hukum banding sehingga proses banding yang sudah berjalan 6 bulan ini
belum sampai pada putusan akhir sehingga Dwi Aryani dirugikan ini belum mendapatkan
tanggung jawab dari maskapai Etihad.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 143
Rizky Prayoga, Muazzin
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-buku
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra A Bakti, 2004.
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006.
Endang Saefullah Wiradipradja, Hukum Transportasi Udara dari Warsawa 1929 ke
Montreal 1999, Bandung: PT Kiblat Buku Utama, 2008.
K. Martono, Hukum Angkutan Udara UU RI NO 1 tahun 2009, Jakarta: Raja Grafindo
Persada 2011.
Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, Ed. 1. Cet. 5, 2009.
Ridwan Khairandy, Machsun Tabroni, Ery Arifuddin, dan Djohari Santoso, Pengantar
Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1, Yogyakarta: Gama Media, 1999.
2. Konvensi dan Perundang-undangan
Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Hak-Hak
Penyandang Disabilitas).
Montreal Convention 1999 (Konvensi Montreal).
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan.
3. Jurnal
Sudirman Nainggolan, Pengaturan Penerbangan Sipil Internasional Menurut Hukum
Internasional Yang melintansi antar negara, Medan; Jurnal, Fakultas Hukum, USU,
2014.