TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP …

15
Vol. 3(1) Februari 2019, pp. 129-143 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 2597-6885 (online) 129 TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP PENUMPANG DISABILITAS KARENA PERBUATAN MELAWAN HUKUM MENURUT HUKUM INTERNASIONAL LIABILITY OF AIR CARRIER TO PASSENGER DISABILITY BECAUSE OF ACT AGAINST LAW BASED ON INTERNATIONAL LAW Rizky Prayoga Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111 Muazzin Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111 Abstrak - Penulisan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dalam hukum pengangkutan udara internasional, apakah perbuatan awak kabin dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum dan bagaimana perusahaan angkutan udara bertanggung jawab kepada penumpang yang mengalami kerugian. Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini menggunakan penelitian yuridis empiris. Penelitian yuridis empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan ketentuan hukum normatif (konvensi, undang-undang atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Hasil dari penulisan ini adalah bahwa perbuatan awak kabin tersebut dapat dimintakan pertanggung jawabaannya secara hukum berdasarkan prinsip perbuatan melawan hukum dalam pengangkutan internasional yaitu prinsip tanggung jawab mutlak dan untuk mendapatkan tanggung jawab berupa ganti kerugian terhadap korban yaitu korban terlebih dahulu harus mengajukan gugatan di pengadilan dimana korban dapat mengakses lebih mudah artinya dapat diajukan atas pilihan penggugat. Pada kasus ini penggugat mengajukan gugatan di pengadilan penggugat bertempat tinggal. Disarankan negara-negara peserta Konvensi Montreal 1999 agar kedepannya dapat mengatur lebih banyak pasal-pasal kerugian yang belum diatur dan diharapkan kepada pihak pengangkut udara untuk tidak melakukan diskriminasi kembali kepada penumpang penyandang disabiilitas serta diharapkan hakim dalam menyelesaikan perkara ini dengan seadil-adilnya. Kata Kunci: Disabilitas, Tanggung Jawab, Pengangkut Udara Abstract - This writing aims to provide knowledge in international air transport law, whether the actions of the cabin crew can be requested its responsibility legally and how the air transport company is responsible to the passengers who suffered losses. This type of research in the writing of the law using empirical juridical research. Juridical research is empirical legal research concerning the enforcement of provisions of normative law (convention, constitution, contract) as in action to on any particular legal event occurring within the community. The result of this paper is that of the cabin crew can still be held as legally accountable based on the principle of unlawful acts in international law of transport i.e the principle of absolute liability and to obtain liability in the form of compensation for the victim i.e the victim must first file a lawsuit in court where the victim can access more easily meaning can be submitted on the plaintiff's choice. In this case the plaintiff filed a lawsuit in the plaintiff's court residing. It is recommended that the participating countries of the Montreal Convention 1999, in the future, be able to regulate more unregulated losses in this convention and it is desirable for air carriers not to discriminate back to passengers with disabili- ty and expect the judge to settle the matter fairly. Keywords: Disability, Liability, Air Carrier PENDAHULUAN Kemajuan pengangkutan adalah sebagai akibat kebutuhan manusia untuk bepergian ke lokasi atau tempat yang lain guna mencari barang yang dibutuhkan atau melakukan aktivitas dan mengirim barang ke tempat lain yang membutuhkan suatu barang. Pengangkutan merupakan salah satu kunci perkembangan pembangunan dan masyarakat. Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti mengangkat dan membawa, memuat atau

Transcript of TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP …

Page 1: TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP …

Vol. 3(1) Februari 2019, pp. 129-143

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 2597-6885 (online)

129

TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP PENUMPANG

DISABILITAS KARENA PERBUATAN MELAWAN HUKUM MENURUT HUKUM

INTERNASIONAL

LIABILITY OF AIR CARRIER TO PASSENGER DISABILITY BECAUSE OF ACT

AGAINST LAW BASED ON INTERNATIONAL LAW

Rizky Prayoga

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111

Muazzin Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111

Abstrak - Penulisan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dalam hukum pengangkutan udara

internasional, apakah perbuatan awak kabin dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum dan

bagaimana perusahaan angkutan udara bertanggung jawab kepada penumpang yang mengalami kerugian. Jenis

penelitian dalam penulisan hukum ini menggunakan penelitian yuridis empiris. Penelitian yuridis empiris adalah

penelitian hukum mengenai pemberlakuan ketentuan hukum normatif (konvensi, undang-undang atau kontrak)

secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Hasil dari penulisan ini

adalah bahwa perbuatan awak kabin tersebut dapat dimintakan pertanggung jawabaannya secara hukum

berdasarkan prinsip perbuatan melawan hukum dalam pengangkutan internasional yaitu prinsip tanggung jawab

mutlak dan untuk mendapatkan tanggung jawab berupa ganti kerugian terhadap korban yaitu korban terlebih

dahulu harus mengajukan gugatan di pengadilan dimana korban dapat mengakses lebih mudah artinya dapat

diajukan atas pilihan penggugat. Pada kasus ini penggugat mengajukan gugatan di pengadilan penggugat

bertempat tinggal. Disarankan negara-negara peserta Konvensi Montreal 1999 agar kedepannya dapat mengatur

lebih banyak pasal-pasal kerugian yang belum diatur dan diharapkan kepada pihak pengangkut udara untuk

tidak melakukan diskriminasi kembali kepada penumpang penyandang disabiilitas serta diharapkan hakim

dalam menyelesaikan perkara ini dengan seadil-adilnya.

Kata Kunci: Disabilitas, Tanggung Jawab, Pengangkut Udara

Abstract - This writing aims to provide knowledge in international air transport law, whether the actions of the

cabin crew can be requested its responsibility legally and how the air transport company is responsible to the

passengers who suffered losses. This type of research in the writing of the law using empirical juridical

research. Juridical research is empirical legal research concerning the enforcement of provisions of normative

law (convention, constitution, contract) as in action to on any particular legal event occurring within the

community. The result of this paper is that of the cabin crew can still be held as legally accountable based on

the principle of unlawful acts in international law of transport i.e the principle of absolute liability and to obtain

liability in the form of compensation for the victim i.e the victim must first file a lawsuit in court where the

victim can access more easily meaning can be submitted on the plaintiff's choice. In this case the plaintiff filed a

lawsuit in the plaintiff's court residing. It is recommended that the participating countries of the Montreal

Convention 1999, in the future, be able to regulate more unregulated losses in this convention and it is desirable

for air carriers not to discriminate back to passengers with disabili- ty and expect the judge to settle the matter

fairly.

Keywords: Disability, Liability, Air Carrier

PENDAHULUAN

Kemajuan pengangkutan adalah sebagai akibat kebutuhan manusia untuk bepergian

ke lokasi atau tempat yang lain guna mencari barang yang dibutuhkan atau melakukan

aktivitas dan mengirim barang ke tempat lain yang membutuhkan suatu barang.

Pengangkutan merupakan salah satu kunci perkembangan pembangunan dan masyarakat.

Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti mengangkat dan membawa, memuat atau

Page 2: TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 130

Rizky Prayoga, Muazzin

mengirimkan. Sedangkan pengangkutan dapat disimpulkan sebagai suatu proses kegiatan

atau gerakan dari suatu tempat ke tempat lain. Pengangkutan dapat diartikan sebagai

pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan.1 Secara garis besarnya

pengangkutan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. pengangkutan darat (pengangkutan melalui jalan raya dan kereta api);

b. pengangkutan laut;

c. pengangkutan udara.

Pesawat udara pada awalnya hanya dimiliki oleh negara dan hanya dipakai untuk

kepentingan militer saja, kemudian mulai menjadi suatu sarana perhubungan komersial yang

umum sehingga terdapat beberapa istilah penggunaan pesawat udara yaitu pengangkutan

udara ataupun maskapai penerbangan yang sangat jelas mendefinisikan pesawat perusahaan

untuk tujuan komersial.

Konvensi Paris 19192 mengklasifikasikan pesawat udara diatur dalam Bab VII

tercantum dalam pasal 30, 31, 32, dan 33, masing-masing mengatur jenis pesawat udara,

pesawat udara militer. Pasal 30 Konvensi ini, pesawat udara terdiri dari 3 jenis, masing-

masing pesawat udara militer, pesawat udara yang sepenuhnya digunakan untuk dinas

pemerintahan seperti bea cukai, polisi yang digunakan semata-mata hanya untuk pelayanan

publik dan pesawat udara lainnya.3 Semua pesawat udara selain pesawat udara militer, dinas

pemerintahan, bea cukai dan polisi termasuk pesawat udara sipil (private aircraft), namun

demikian dalam Konvensi Paris 1919 tidak diatur pengertian pesawat udara. Dalam hukum

nasional, yaitu pengertian pesawat udara dalam Pasal 1, Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1 Ridwan Khairandy, Machsun Tabroni, Ery Arifuddin, dan Djohari Santoso, Pengantar Hukum Dagang

Indonesia, Jilid 1, Yogyakarta: Gama Media, 1999, hlm. 195. 2 Konvensi Paris 1919 adalah ketentuan internasional yang ditandatangani pada 13 oktober 1919 yang

memiliki dua bagian naskah, yaitu naskah utama yang mengatur kedaulatan atas wilayah udara, lintas damai,

zona larangan terbangan, sertifikat pendaftaraan dan kebangsaaan pesawat udara, radio penerbangan, izin

penerbangan, keberangkatan dan kedatangan pesawat udara, larangan pengangkutan bahan berbahaya,

klasifikasi pesawat udara, komisi navigasi penerbangan dan ketentuan penutup dan naskah tambahan terdiri atas

delapan Annexes. Konvensi Paris ini merupakan cikal bakal lahirnya pengaturan hukum di ruang udara dan juga

konvensi ini mendapatkan pembahuruan dengan lahir nya Konvensi Chicago 1944 yang mana konvensi ini

menghasilkan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) yang memiliki fungsi mengangtur dan

mengembangkan prinsip dasar teknik navigasi penerbangan internasional untuk meningkatkan pertumbuhan

transportasi udara internasional yang menjamin keselamatan dan ketertiban pertumbuhan penerbangan sipil

internasional seluruh dunia. Indonesia sendiri sudah menjadi anggota ICAO pada 27 Mei 1950 setelah tunduk

pada konvensi chicaggo 1944 dan Indonesia telah melakukan pengesahan Protocol On The Authentic Six-

Language Text Of The Convention On Intenasional Civil Aviation Chicago 1944 dengan Peraturan Presiden

Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005. 3 Sudirman Nainggolan, Pengaturan Penerbangan Sipil Intertnasioanal Menurut Hukum Internasional

Yang melintansi antar negara, Medan; Jurnal, Fakultas Hukum, USU, 2014.

Page 3: TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 131

Rizky Prayoga, Muazzin

2009 tentang penerbangan4 bahwa yang dimaksud dengan pesawat udara adalah setiap mesin

atau alat-alat yang dapat terbang di atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara, tetapi

bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan.5

Perkembangan dunia penerbangan saat ini dapat dilihat dari banyaknya pengangkut

udara yang melayani jasa angkutan udara ke berbagai rute penerbangan baik domestik

maupun internasional. Maskapai penerbangan secara etimologis adalah berasal dari Bahasa

Belanda yakni “maatschaapij” yang berarti “Perusahaan”, sedangkan penerbangan memiliki

arti yakni satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara,

bandar udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta

fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.6 Maka maskapai penerbangan adalah sebuah

organisasi yang menyediakan jasa penerbangan bagi penumpang atau barang.

Sejak dunia penerbangan mulai berkembang, pada tahun 1929 dibentuklah suatu

Konvensi Warsawa yang dimaksudkan untuk menghindarkan permasalahan dengan

mengadakan rezim hukum yang seragam terutama terkait tanggung jawab pengangkut udara.

Konvensi ini merupakan perjanjian pertama di bidang hukum internasional yang mengatur

hukum transportasi udara internasional yang memiliki unsur perdata didalamnya dan

merupakan salah satu perjanjian yang paling tua dan paling berhasil dalam menyeragamkan

suatu bidang tertentu dalam hukum keperdataan.7

Konvensi Warsawa8 yang ditandatangi tanggal 12 Oktober 1922 ini semula bercita-

cita untuk keseragaman dokumen angkutan udara internasional yang terdiri dari tiket

penumpang (passenger ticket), tiket bagasi (baggage claim), surat muatan udara (airwaybill

atau consignment note) dan konvensi Warsawa 1929 hanya berlaku terhadap transportasi

udara internasional.9 Kemudian beriringnya dengan tuntutan perkembangan dalam dunia

penerbangan konvensi Warsawa mengalami perubahan-perubahan terbaru terhadap Konvensi

Warsawa ini adalah Konvensi Montreal 1999.

4 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956. 5 https://www.suduthukum.com/2017/04/pengertian-penerbangan-sipil.html diakses pada 25 februari

2018 Pukul 20:30. 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan. 7 K. Martono, Hukum Angkutan Udara UU RI NO 1 tahun 2009, Jakarta: Raja Grafindo Persada 2011,

hlm. 234. 8 Konvensi Warsawa merupakan konvensi internasional yang pertama sekali mengatur mengenai

tanggung jawab secara perdata untuk pengangkutan internasional untuk orang, bagasi atau barang dilakukan

oleh pesawat untuk bayaran dan konvensi ini mulai berlaku 13 Februari 1933 dengan jumlah anggota 152 serta

Indonesia sebelum kemerdekaannya pernah meratifikasi dengan Staatsblad 1939 pada masa kolonial Belanda. 9 K, Martono, Hukum Udara Nasional dan Internasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2007, hlm.

135.

Page 4: TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 132

Rizky Prayoga, Muazzin

Konvensi Montreal 199910 ini sendiri terdiri dari 7 bab dan 57 pasal. Bagian ini akan

menguraikan muatan Konvensi Montreal 1999 yang meliputi ketentuan umum, dokumen

transportasi udara yang terdiri dari tiket penumpang, tiket bagasi, dan surat muatan udara,

tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan, jumlah ganti kerugian, perhitungan ganti

kerugian, batas tangggung jawab, jangka waktu pengajuan gugatan dan ditutup dengan

yuridiksi pengadilan.11

Di dalam dunia penerbangan terdapat hak-hak penumpang pada umumnya yang sudah

sepatutnya penumpang ketahui, bahkan terlebih lagi penumpang dengan status penyandang

disabilitas merupakan penumpang yang diprioritaskan oleh pihak pengangkut udara dalam

memberikan hak-haknya yang harus dipenuhi selama penerbangan. Pada tingkat aturan

hukum internasional sendiri penyandang disabilitas memiliki berbagai hak dalam

kehidupannya sebagai warga negara.

Hak tersebut diatur dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang disepakati

pada tanggal 13 Desember 2006 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan

Nomor Resolusi 61/106. Dalam hal ini salah satu hak penyandang disabilitas adalah pada

pasal 9 tentang Aksesibilitas. Bahwa agar penyandang disabilitas mampu hidup secara

mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam semua aspek kehidupan, Negara-Negara Pihak

wajib mengambil Iangkah yang tepat untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas, atas

dasar kesamaan dengan warga lainnya, terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi, dan

komunikasi, termasuk sistem serta teknologi informasi dan komunikasi, serta akses terhadap

fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka atau tersedia untuk publik, baik di daerah

perkotaan maupun pedesaan.12 Terkait Konvensi Hak-Hak Penyandang disabilitas ini

pemerintah Indonesia pada tahun 2011 telah meratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2011 tentang Pengesahaan United Nations Convention on the Rights of Person with

Disabilities.

Pada tingkat hukum nasional bahwa hukum pengangkutan udara menjelaskan

penyandang disabilitas, orang lanjut usia, anak-anak di bawah usia 12 tahun, dan/atau orang

10 Konvensi Montreal 1999 yang ditandatangani pada 28 mei 1999 di Montreal tersebut pada prinsipnya

mengatur secara integral ketentuan-ketentuan yang termuat dalam konvensi Warsawa 1929, Protokol The Hague

1955, Konvensi Guadalajara 1961, Protokol Guetamala City 1971 dan Protokol Tambahan No. 1, 2, 3, dan 4

yang mana konvensi internasional ini mengatur tentang tanggung jawab secara perdata. 11Martono, Hukum Udara Nasional dan Internasional, Op. Cit. hlm. 183-195. 12 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas

Page 5: TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 133

Rizky Prayoga, Muazzin

sakit, berhak mendapat memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dari badan usaha

pengakutan udara, salah satu contohnya adalah memberikan prioritas tempat duduk.13

Pasal 239 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan14

menyebutkan pelayanan khusus diantaranya memberi prioritas pelayanan di terminal

pelayanan, sarana bantu bagi orang sakit, menyediakan fasilitas untuk ibu merawat bayi,

tersedia personel yang khusus bertugas untuk melayani atau berkomunikasi dengan

penyandang cacat, orang sakit, dan lanjut usia, serta tersedianya informasi atau petunjuk

tentang keselamatan bangunan bagi penumpang di terminal dan sarana lain yang dapat

dimengerti oleh penumpang yang berkebutuhan khusus.

Pemerintah sudah membuat regulasi penerbangan yang mengatur berbagai hal hak-

hak pelayanan terhadap penumpang disabilitas pada transportasi udara namun tetap saja

masih ada maskapai penerbangan yang memberikan perlakuan diskriminasi kepada

penumpang penyandang disabilitas. Seperti halnya diskriminasi terhadap penumpang Dwi

Aryani yang akan berangkat ke Jenewa-Swiss dari Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Kasus

ini berawal pada 8 Maret 2016 ketika Dwi Aryani, yang merupakan penyandang disabilitas,

mendapat undangan International Disability Alliance15 untuk menghadiri pelatihan tentang

pendalaman implementasi dan pemantauan konvensi tentang hak-hak penyandang disabilitas.

Acara tersebut diagendakan berlangsung pada 4-11 April 2016 di kantor PBB Swiss.16

Rencana mengikuti konferensi itu gugur karena Dwi aryani tidak di izinkan terbang

oleh awak kabin pesawat Etihad. Perbuatan awak kabin pesawat dengan menurunkan

penumpang disabilitas bernama Dwi Aryani dari kabin pesawat Etihad ini menimbulkan

kerugian bagi penumpang tersebut. Sudah sepatutnya pihak maskapai penerbangan meminta

maaf serta memberikan kompensasi.17 Namun, dalam hal ganti kerugian yang terdapat pada

Konvensi Montreal 1999 hanya terbatas akan ganti kerugian terhadap kematian, luka-luka,

keterlambatan, dan ganti kerugian terhadap pihak ketiga yang mengalami kematian dan luka-

13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. 14 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956. 15 International Disability Alliance adalah aliansi yang terdiri dari delapan organisasi global dan enam

organisasi penyandang disabilitas regional. Kantor advokasi International Disability Alliance di PBB untuk

lingkungan global yang lebih inklusif bagi para penyandang cacat dan organisasi mereka. Keberadaan Aliansi

ini untuk memastikan bahwa Agenda 2030 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan inklusif dan sejalan dengan

Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). Kami mendukung organisasi penyandang cacat

di seluruh dunia untuk mengambil bagian dalam proses hak asasi manusia PBB dan internasional, dan

menggunakan mekanisme akuntabilitas internasional. 16 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a14dc4d7819c/menunggu-putusan-hakim-dalam-kasus-

penumpang-disabilitas-gugat-maskapai. Diakses pada 08 Januari 2018 Pukul 20:10. 17 Ibid.

Page 6: TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 134

Rizky Prayoga, Muazzin

luka.18 Dan juga dalam Undang-Undang Nomor 1 Tentang Penerbangan Tanggung Jawab

Ganti Kerugian hanya meliputi kematian atau luka fisik orang, musnah, hilang atau rusak

peralatan yang dioperasikan dan/atau dampak lingkungan di sekitar bandar udara akibat

pengoperasian bandar udara.19 Maka dapat diketahui bahwa dalam dunia penerbangan masih

belum ada Pasal-pasal atau aturan hukum yang mengatur terkait tanggung jawab ganti

kerugian yang ditimbulkan oleh akibat-akibat lain yang merugikan hak-hak penumpang

sebagai individu dalam menggunakan jasa pengangkutan udara.

Adapun identifikasi masalah yang dapat diuraikan berdasarkan uraian pada latar

belakang masalah dipersempit dalam butir-butir pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah perbuatan awak kabin maskapai penerbangan Etihad terhadap penurunan

penumpang disabilitas dari kabin pesawat dapat dimintakan pertanggungjawaban secara

hukum?

2. Bagaimana tanggung jawab maskapai penerbangan Etihad sebagai pengangkut karena

kesalahan awak kabin atas kerugian yang di alami penumpang?

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalan penelitian yuridis empiris. Penelitian yuridis

empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan ketentuan hukum normatif

(konvensi, undang-undang atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum

tertentu yang terjadi dalam masyarakat.20 Pendekatan penelitian menggunakan beberapa

pendekatan berupa pendekatan konstitutif (Statue Approach) ini dilakukan dengan menelaah

semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani

dan pendekatan historis (Historical Approach) ini dilakukan dengan menelaah latar belakang

apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.21

Penelitian dengan cara mengumpulkan, membaca, mempelajari serta menganalisis

yaitu konvensi, peraturan perundang-undangan, buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar, juga

tulisan-tulisan dan referensi serta data dan artikel terkait yang diperoleh dari internet.22

Metode ini melakukan pengumpulan data melalui Library Research dan Ethernet Research

dengan mencari berbagai informasi baik berita, konsep-konsep hasil pemikiran para ahli yang

18 Kovensi Montreal 1999. 19 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. 20 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra A Bakti, 2004, hlm. 134. 21 Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, Ed. 1. Cet. 5, 2009, hlm. 94-94. 22 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hlm.

113-114.

Page 7: TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 135

Rizky Prayoga, Muazzin

dimuat dalam buku-buku, jurnal, dan tulisan karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian

ini.

Bahan kajian utamanya adalah bahan hukum primer melalui pengkajian terhadap

Konvensi-konvensi Internasional, buku-buku, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian

sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini. Dengan demikian, studi ini untuk mencari

konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat dan penemuan yang berhubungan dengan

pokok permasalahan.

a. Bahan hukum primer adalah bahan yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat

terdiri dari : Montreal Convention 1999;

b. Convention On The Rights Of Persons With Disabilities 2006;

c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas;

d. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer yang berupa buku-buku yang ditulis oleh para ahli hukum, teori hukum, jurnal

hukum, artikel internet dan bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum lain yang menjelaskan lebih lanjut bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Kamus Terminologi Hukum Bahasa Inggris-Indonesia dan Ensiklopedia serta yang terkait

dengan tanggung jawab akibat kesalahan awak maskapai penerbangan.

Bahan hukum yang diperoleh akan dianalisis secara metode kualitatif, yaitu analisis

yang dilakukan dengan cara memahami dan mempelajari, merangkai bahan instrument

hukum internasional dan hukum nasional yang telah dikumpulkan dan disusun secara

sistematis, dan diuraikan dengan menggunakan peraturan perundang-undangan, teori hukum

serta doktrin.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Tanggung Jawab Pengangkut Udara Terhadap Penumpang Disabilitas Karena

Perbuatan Melawan Hukum Menurut Hukum Internasional

Perlakuan diskriminasi oleh awak maskapai penerbangan Etihad atas salah satu

penumpang yaitu penumpang penyandang disabilitas Dwi Aryani pada 3 Maret 2016 ini

sangat merugikan dirinya dikarenakan seharusnya Dwi Aryani dapat mengikuti pelatihan dan

pendalaman serta impementasi hak-hak penyandang disabilitas yang diselenggarakan oleh

International Disability Alliance di Jenewa-Swiss, dengan ketidakhadiraan dalam kegiatan

Page 8: TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 136

Rizky Prayoga, Muazzin

tersebut sehingga Dwi Aryani kehilangan kesempatan dan manfaat pelatihan yang di

dapatkannya yang mana akan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan juga hak-hak para

penyandang disabilitas di Indonesia.

Perbuatan yang dilakukan awak maskapai penerbangan Etihad ini merupakan

kemunduran dalam jasa pengangkutan udara dalam hal ini pesawat, yang mana jelas

melanggar konvensi internasional23 dan peraturan perundangan-undangan nasional24.

Sehingga kesalahan yang dilakukan ini menimbulkan kerugian bagi korban yakni Dwi Aryani

baik berupa kerugian materiil dan kerugian immaterial.

Pada Konvensi Montreal 1999 merupakan aturan hukum perdata internasional pada

penerbangan internasional ini tidak ditemukan satu pasal pun terkait kerugian lain secara

personal seperti halnya kasus kerugian yang dialami oleh Dwi Aryani. Pada konvensi ini

hanya mengatur tanggung jawab terhadap kerugian karena kecelakaan ataupun kesalahaan

yang dilakukan pihak maskapai. Penjelasan terhadap beberapa tanggung jawab perusahaan

angkutan dan batas kompensasi kerugian yang terdapat pada Konvensi Montreal ini tepatnya

pada Bab III yaitu, Perusahaan Angkutan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita

dalam hal meninggal atau luka badan seseorang penumpang dengan syarat bahwa hanya

kecelakaan yang menyebabkan kematian atau luka yang terjadi diatas pesawat udara atau

pada saat dilakukannya setiap kegiatan operasi menuju ke pesawat atau meninggalkan

pesawat.25

Perusahaan Angkutan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita dalam kasus

kerusukan atau kehilanggan, atau kerugian pada bagasi yang sudah dicacat dengan syarat

23 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas Tahun 2016, dalam Pasal 9 Tentang Aksesibilitas pada

ayat (1) Agar penyandang disabilitas mampu hidup secara mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam semua

aspek kehidupan, Negara-Negara Pihak wajib mengambil Iangkah yang tepat untuk menjamin akses bagi

penyandang disabilitas, atas dasar kesamaan dengan warga lainnya, terhadap lingkungan fisik, transportasi,

informasi, dan komunikasi, termasuk sistem serta teknologi informasi dan komunikasi, serta akses terhadap

fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka atau tersedia untuk publik. Pada ayat (2) Negara-Negara Pihak

wajib juga mengambil langkah-langkah yang tepat untuk: (a) Mengembangkan, menyebarluaskan, dan

memantau pelaksanaan standar minimum dan panduan untuk aksesibilitas terhadap fasilitas dan layanan yang

terbuka atau tersedia untuk publik; (b) Menjamin bahwa sektor swasta yang menawarkan fasilitas dan layanan

yang terbuka atau tersedia untuk publik mempertimbangkan seluruh aspek aksesibilitas bagi penyandang

disabilitas; (c) Menyelenggarakan pelatihan bagi pemangku kepentingan mengenai masalah aksesibilitas yang

dihadapkan kepada penyandang disabilitas; 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, dalam pasal 18 Hak

Aksesibilitas untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak: a. mendapatkan Aksesibilitas untuk memanfaatkan

fasilitas publik; dan b. mendapatkan Akomodasi yang Layak sebagai bentuk Aksesibilitas bagi individu. Dalam

pasal 19 Hak Pelayanan Publik untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak: a. memperoleh Akomodasi yang

Layak dalam Pelayanan Publik secara optimal, wajar, bermartabat tanpa Diskriminasi; dan b. pendampingan,

penerjemahan, dan penyediaan fasilitas yang mudah diakses di tempat layanan publik tanpa tambahan biaya. 25 Pasal 17 ayat (1) Konvensi Montreal 1998.

Page 9: TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 137

Rizky Prayoga, Muazzin

kejadian yang menyebabkan kerusakan, kehingan atau kerugian yang dimaksud terjadi diatas

pesawat udara atau selama jangka waktu dimana bagasi yang telah dicatat telah berada dalam

tanggung jawab perusahaan angkutan. Namun demikian, perusahaan angkutan tidak

bertanggung dalam hal batas kerugian yang timbul karena cacat yang sudah ada sebelumnya,

mutu atau ketidaksempurnaan bagasi tersebut. Dalam hal bagasi yang tidak tercatat, termasuk

barang-barang bawaan pribadi, perusaahan angkutan bertanggung jawab apabila kerugian

yang timbul tersebut adalah karena kesalahannya atau orang yang diperkerjakannya atau

agennya.26

Jika perusahaan angkutan mengakui kehilangan bagasi yang sudah dicatat, atau jika

bagasi yang sudah dicatat itu tidak sampai pada batas waktu dua puluh satu hari setelah hari

yang seharusnya sudah tiba, penumpang berhak untuk menuntut haknya kepada perusahaan

angkutan sebagaimana diatur dalam kontrak.27 kecuali bila ditentukan sebaliknya secara

khusus, dalam konvensi ini yang dimaksud dengan “bagasi” ialah bagasi yang dicatat dan

bagasi yang tidak dicatat.28

Pada konvensi montreal 1999 bahwa Perusahaan angkutan bertanggung jawab atas

kerugian yang diderita seandainya kerusakan atau kehilangan dimaksud, atau kerugian pada

kargo dengan syarat bahwa kejadian yang menyebabkan kerugian yang diderita tersebut

terjadi selama pengangkutan di udara29. Namun demikan, perusahaan angkutan tidak

bertangung jawab seandainya sampai batas hal itu membuktikan bahwa kerusakan, atau

kehilangan atau kerugian pada kargo disebabkan satu atau lebih dari yang tersebut dibawah

ini :

a) Cacat bawaan, mutu atau ketidaksempurnaan atau kebusukan kargo;

b) Ketidaksempurnaan atau cacat kemasan kargo yang dilakukan oleh orang badan

perusahaan angkutan atau orang yang dipekerjakannya atau agennya;

c) Perang atau konflik bersenjata’

d) Tindakan pemerintah yang dilakukan dalam hubungan dengan masuk, keluar.30

Kerugian keterlambatan juga diatur di dalam Konvensi Montreal 1999 bahwa

Perusahaan angkutan bertanggung jawab terhadap kerugian yang terjadi karena

keterlambatan dalam pengangkutan penumpang, bagasi atau kargo melalui udara. Namun

26 Pasal 17 ayat (2) Konvensi Montreal 1998. 27 Pasal 17 ayat (3) Konvensi Montreal 1998. 28 Pasal 17 ayat (4) Konvensi Montreal 1998. 29 Selama pengangkutan di adalah jangka waktu selama kargo dimaksud berada dibawah tanggung jawab

perusahaan angkutann. 30 Pasal 18 Konvensi Montreal 1999

Page 10: TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 138

Rizky Prayoga, Muazzin

demikian, perusahaan angkutan tidak bertanggung jawab atas kerugian karena keterlambatan

apabila dapat membuktikan bahwa perusahaan angkutan dan orang diperkerjakannya serta

angennya telah mengambil tindakan sepantasnya yang dianggap perlu untuk menghindarkan

kerugian atau tidak mungkin bagi perusahaan angkutan atau orang yang dipekerjakannya dan

agamanya untuk mengambil tindakan semacam itu.31

Jelas bahwa Konvensi Montreal 1999 ini pada pasal 17 yaitu hanya mengantur

tanggung jawab penumpang yang meninggal dan luka-luka serta kerugian pada bagasi dan

pasal 18 yaitu mengenai tanggung jawab terhadap kerugian pada kargo sedangkan pasal 19

sendiri mengenai tanggung jawab keterlambatan pengangkut udara. Dalam hal ini Konvensi

Montreal 1999 yang merupakan unifikasi yang berkaitan dengan pengangkutan internasional

di udara masih jauh dari sempurna terkait hal tanggung jawab. Ternyata ini juga menjadi

kendala bahwa peraturan perundangan-undangan tingkat nasional yaitu Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang terdiri dari 466 pasal ini juga masih tidak

terdapat perluasan penafsiran kerugian yang harus menjadi tanggung jawab pengangkut

sehingga terkait tanggung jawab yang tidak terdapat pada Konvensi Montreal 1999 dan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan diatur dalam kententuan hukum

lainnya yang terkait.

Pada dasarnya setiap pengangkut udara/pesawat memiliki standar operasional

penerbangan tersendiri bagi penumpang yang bertujuan sebagai informasi kepada setiap

penumpang akan hak dan kewajibannya selama dalam penerbangan, baik penerbangan

internasional dan domestik. Terkait kejadian yang terjadi pada penumpang disabilitas

bernama Dwi Aryani di dalam maskapai penerbangan Etihad sangat merugikan si korban dan

juga sangat memalukan sebab Maskapai Etihad sebagai penerbangan Internasional yang

memiliki jam penerbangan sangat padat melakukan tindakan mengecewakan terhadap salah

satu penumpang berkebutuhan khusus.

Berdasarkan standart operasional penerbangan pada Article 7 tentang penolakan dan

pembatasan pengangkutan yang terdapat pada maskapai Etihad bahwa Dwi aryani sebenarnya

tidak melakukan satu pelanggaran pun yang diatur pada standart operasional pada article

7.1.2; 7.1.2.1 s/d 7.1.2.19,32 yang di dalam nya mengatur tentang hal-hal yang dapat

diturunkan oleh pihak maskapai penerbangan di Maskpai Etihad yang mengharuskan dirinya

diturunkan oleh awak kabin pesawat ketika sudah berada dalam kabin pesawat.

31 Pasal 19 Konvensi Montreal 1999. 32 https://www.etihad.com/en-id/legal/conditions-of-carriage/, point 7.1.2 terdiri dari 7.1.2.1 s/d 7.1.2.19.

Page 11: TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 139

Rizky Prayoga, Muazzin

Pihak maskapai beralasan menurukan Dwi Aryani dari kabin pesawat yang sudah

berada di kabin pesawat selama 20 menit hanya karena alasan bahwa Dwi Aryani dianggap

orang sakit dan tidak membawa pendamping dalam berpergian, padahal Dwi telah memiliki

izin dokter yang menyatakan dirinya sehat, bahkan Dwi Aryani sebelum terbang telah

menginformasikan bahwa dirinya adalah penyandang disabilitas dan mereka merespon

dengan baik sehingga sempat dibantu oleh petugas khusus maskapai dalam membantu

memberikan kursi roda khusus pesawat ketika memasuki kabin pesawat.33

Walaupun di Konvensi Montreal 1999 tidak terdapat pasal yang mengatur tanggung

jawab kerugian individu bukan berarti perbuatan awak kapal yang merugikan korban dapat

dibenarkan. Namun, dalam hal ini perbuatan awak kabin yang menurunkan Dwi Aryani dapat

dimintakan pertanggung jawaban secara hukum karena perbuatan yang merugikan Dwi

Aryani tersebut termasuk kategori perbuatan melawan hukum sesuai dari salah satu prinsip

perbuatan melawan hukum internasional yang terdiri dari 3 (tiga) prinsip yaitu berdasarkan

prinsip tanggung jawab yang didasarkan atas adanya unsurnya kesalahan (liability based on

fault or negligence fault liabilty) dan prinsip tanggung jawab atas dasar praduga (presumption

of liability), serta prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability/strict liability).

Prinsip yang dapat digunakan untuk meminta pertanggungjawaban secara hukum

terhadap perbuatan melawan hukum menurut hukum internasional terkait kasus ini prinsip

yang dapat digunakan adalah prinsip tanggung jawab mutlak dikarenakan Indonesia

merupakan negara sistem kontinental yang mana kewajiban pengangkut adalah sebagai

konsekeunsi dari kewajiban kontraktual, yaitu mengangkut penumpang dan kargo sampai

ditempat tujuan dengan selamat. Bila selama dalam pengangkutan penumpang mengalami

kecelakaan (luka, cacat, atau meninggal dunia) atau kargo hilang atau rusak, sudah cukup

membuktikan adanya pelanggaran perjanjian (wanprestasi). Kewajiban pengangkutan adalah

menjamin bahwa penumpang dan kargo yang diangkutnya sampai ditempat tujuan dengan

selamat. Jadi, kewajiban pengangkut adalah untuk mencapai sesuatu hasil (obligation de

resultat), bukan hanya sekadar menyelenggarakan pengangkutan (obligation de moyers).34

33 www.youtube.com, Video wawancara langsung oleh Dwi Aryani sebagai korban di acara Mata Najwa

Metro TV, sebagai data valid yang langsung dipaparkan oleh ibu Dwi Aryani sebagai korban. 34 Endang Saefullah Wiradipradja, Hukum Transportasi Udara dari Warsawa 1929 ke Montreal 1999,

Bandung: PT Kiblat Buku Utama, 2008, hlm. 95.

Page 12: TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 140

Rizky Prayoga, Muazzin

2. Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Etihad Sebagai Pengangkut Atas Kerugian

yang Dialami Penumpang

Erat kaitannya dengan permasalahan tentang prinsip-prinsip tanggung jawab

pengangkut udara adalah mengenai persyaratan kapan pengangkut udara bertanggung jawab.

Dalam praktiknya, terdapat berbagai kesulitan dalam menentukan kapan pengangkut udara

bertanggung jawab. Hal ini disebabkan karena dalam Konvensi Montreal tidak dirumuskan

dengan jelas tentang kapan dan dalam hal apa pengangkut udara bertanggung jawab, baik

dalam pengangkutan penumpang, bagasi tercatat dan kargo atau dalam hak keterlambatan.

Oleh karena itu tidak ada penjelasannya dalam Konvensi, maka penafsirannya diserahkan

kepada pengadilan yang menangani perkara yang bersangkutan atau pada pendapat para

sarjana (doktrin).35

Oleh karena itu, dalam hal ini perkara-perkara penerbangan internasional bagi

penggugat yang dirugikan oleh pengangkut udara baik karena kecelakaan, luka-luka dan lain-

lain atau tidak bertanggung jawab akan perbuatannya maka untuk memperoleh ganti kerugian

penggugat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan yang lebih mudah diakses oleh

penggugat artinya sesuai dengan pilihan penggugatan sesuai kebebesan yuridksi Pengadilan

yang terpadat pada Pasal 33 Konvensi Montreal 1999.

Terkait kasus maskapai penerbangan Etihad yang terjadi pada Dwi Aryani tepat pada

tanggal 03 maret 2016, beliau mendapatkan perbuatan awak kabin yang tidak menyenangkan

dan tak sepatutnya terjadi padanya sebagai penyandang disabilitas tanpa adanya alasan yang

berdasar dari awak kabin tersebut, bahkan yang sangat tidak mengelokan terjadi bahwa Dwi

Aryani setelah diturunkan dari dalam kabin pesawat tidak mendapatkan pengembalian uang

tiket (refund) dari pihak maskapai Etihad seharga RP 22.500.000, dan beliau kembali ke

kampung halamannya ke esokan harinya pada tanggal 04 maret 2016.36

Di dalam Legal Information terkait kententuan dan syarat penerbangan maskapai

Etihad pada article 10 refunds bahwa pengembalian uang tiket apabila pihak maskapai gagal

mengoperasikan penerbangan kepada penumpang atau gagal berhenti di tujuan dan

pengembalian jumlah uang tiket tergantung jika tidak ada bagian tiket yang telah digunakan

dan juga mendapatkan mata uang yang sama yang digunakan pada waktu penumpang

35 Ibid, hlm. 111. 36 www.youtube.com, Video wawancara langsung oleh Dwi Aryani sebagai korban di acara Mata Najwa

Metro TV.

Page 13: TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 141

Rizky Prayoga, Muazzin

membeli tiket, jadi terkait kasus Dwi Aryani berhak mendapatkan uang pengembalian tiket

tapi kenyataannya beliau tidak mendapatkan sepersen pun uang tiket yang telah dibelinya.

Oleh sebab peristiwa yang terjadi padanya, beberapa bulan kemudian Dwi Aryani

mengajukan surat gugatan pada tanggal 22 november 2016 dan terdaftar di Pengadilan Negeri

Jakarta pada tanggal 29 november 2016 dengan klasifikasi perkara Perbuatan Melawan

Hukum serta Nomor Perkara 846/Pdt.G/2016.PN JKT.SEL. Yang berperkara dalam hal ini

sebagai penggugat Dwi Aryani yang di dampingi oleh kuasa hukumnya Heppy Sebayang,

SH., dkk dan sebagai tergugat 1 adalah Perusahan Maskapai Etihad Airways. Cq General

Manager Etihad Airways Indonesia, sebagai tergugat 2 adalah PT. Jasa Angkasa Pura

Semesta,Tbk dan sebagai tergugat 3 adalah Kementerian Perhubungan RI Cq Direktorat

Jenderal Perhubungan.37

Setelah melalui proses persidangan panjang selama 342 hari tepat tepat pada tanggal 4

desember 2017 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Hakim ketua Ferry Agustina Budi

Utami S.H., M.H. mengabulkan sebagian gugatan yang dilayangkan Dwi Aryani dengan

menggunakan sumber hukum KUHPerdata dan Hakim ketua Ferry Agustina memvonis

bahwa perusahaan Maskapai Etihad melawan hukum kepatutan dan melakukan diskriminasi

kepada Dwi Aryani.

Dalam amar putusan pokok perkara dengan nomor perkara perdata

No.476/Pdt.G/201/PN.Jkt.Sel:

1. Mengambulkan gugatan penggugat untuk sebagian

2. Menyatakan tergugat 1 telah melakukan perbuatan melawan hukum

3. Menghukum Tergugat I untuk menyampaikan permintaan maaf kepada Penggugat

melalui media cetak Harian Kompas, dengan isi format sebagai berikut ”KAMI

PERUSAHAAN MASKAPAI ETIHAD AIRWAYS MENYATAKAN MOHON

MAAF BAGI SAUDARI DWI ARYANI ATAS KELALAIAN PETUGAS KAMI

YANG TIDAK MEMBERIKAN LAYANAN YANG SEMESTINYA, KAMI

BERJANJI MEMPERBAIKI PELAYANAN DAN HAL INI TIDAK AKAN

TERULANG LAGI”;

4. Menghukum Tergugat I untuk membayar ganti kerugian materiil sebesar

Rp37.500.000,00 (tiga puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan ganti kerugian

37 http://sipp.pn-jakartaselatan.go.id/detil_perkara

Page 14: TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 142

Rizky Prayoga, Muazzin

Immateriil sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada Penggugat

karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat I;

5. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;

6. Menghukum Tergugat I untuk membayar ongkos perkara yang hingga kini ditaksir

sebesar Rp1.011.000,00 (satu juta sebelas ribu rupiah);

Dalam putusan kasus tersebut telah memenangkan Dwi Aryani sebagai seorang

penyandang disabilitas dengan berbagai pertimbangan hakim. Namun, dalam kelanjutan

perkara ini yang sangat disayangkan bahwa Maskapai Etihad yang merupakan Maskapai

berbendera negara kapal Uni Emirat Arab ini tidak mau menerima kekalahannya di sidang

tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sehingga pada tanggal 18 Desember

2017 Maskapai Etihad yang diwakili Gerald Saratoga Sarayar mengajukan permohonan

banding, maka putusan pada pengadilan tingkat pertama tidak berkekuatan hukum tetap.

KESIMPULAN

Bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh awak kabin tersebut dapat

dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum dengan menggunakan prinsip tanggung

jawab mutlak dalam hukum pengangkutan udara internasional yang dimana prinsip ini hanya

menekankan apakah kontrak antara pengangkut dan penumpang tersebut dilaksanakan atau

tidak guna mengantarkan penumpang sampai ke tujuan. Prinsip ini merupakan konsekuensi

dari ajaran kuno yaitu ‘a man acts at his peril’ atau ‘he who breaks must pay’ yang

maksudnya barang siapa berbuat, bila merugikan orang lain, dia harus bertanggung jawab.

Setelah melewati proses hukum yang panjang bahwa pada putusan pertama di

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini dimenangkan oleh Dwi Aryani dengan menghukum

tergugat untuk membayar kerugian materil dan immaterial sebesar Rp. 537.500.000.

Dikarenakan pihak tergugat tidak terima dengan putusan tingkat pertama maka tergugat

melakukan upaya hukum banding sehingga proses banding yang sudah berjalan 6 bulan ini

belum sampai pada putusan akhir sehingga Dwi Aryani dirugikan ini belum mendapatkan

tanggung jawab dari maskapai Etihad.

Page 15: TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 3, No.1 Februari 2019 143

Rizky Prayoga, Muazzin

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku-buku

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra A Bakti, 2004.

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2006.

Endang Saefullah Wiradipradja, Hukum Transportasi Udara dari Warsawa 1929 ke

Montreal 1999, Bandung: PT Kiblat Buku Utama, 2008.

K. Martono, Hukum Angkutan Udara UU RI NO 1 tahun 2009, Jakarta: Raja Grafindo

Persada 2011.

Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, Ed. 1. Cet. 5, 2009.

Ridwan Khairandy, Machsun Tabroni, Ery Arifuddin, dan Djohari Santoso, Pengantar

Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1, Yogyakarta: Gama Media, 1999.

2. Konvensi dan Perundang-undangan

Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Hak-Hak

Penyandang Disabilitas).

Montreal Convention 1999 (Konvensi Montreal).

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang

Penyandang Disabilitas.

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan.

3. Jurnal

Sudirman Nainggolan, Pengaturan Penerbangan Sipil Internasional Menurut Hukum

Internasional Yang melintansi antar negara, Medan; Jurnal, Fakultas Hukum, USU,

2014.