Tambora Untuk Liburan Saja

13
Sumber Foto: smithsonianmag.com Keterangan Foto : Letusan : Sebuh lukisan tentang ketakutan warga saat letusan gunung Tambora April 1815 oleh Greg Harlin/Wood Ronsaville Harlin. /////////////////////////////////////////////////////// // Catatan Dari Tambora Serbuan Bajak Laut dan Tambora Yang Murka Tengah bulan April 1815 Gunung Tambora di Pulau Sumbawa meletus. Menyisakan sejarah tentang tragedi dari bencana alam yang memilukan. Tidak untuk dikenang tapi setidaknya menjadi cermin bagi kita kedepan agar bisa berdamai dan hidup berdampingan dengan alam. …………………………………… Dalam sebuah citra satelit Nasa, kawah Tambora nampak seperti bekas bisul yang menganga diantara semenanjung Sanggar yang menjorok ke laut Jawa di utara. Luka itu masih aktif dengan asap solfatara yang menandakan dapur magma masih bekerja dan mungkin mendatangkan luka baru. Tambora adalah Stratovolcano aktif. Satu dari 452 gunung api yang membentuk Pacific Ring of Fire. Sabuk gunung api yang memagari Samudera Pasifik dari Selandia Baru, Indonesia ke utara menuju Pilipina, Jepang, kemudian

description

Tambora

Transcript of Tambora Untuk Liburan Saja

Page 1: Tambora Untuk Liburan Saja

Sumber Foto: smithsonianmag.com

Keterangan Foto :

Letusan : Sebuh lukisan tentang ketakutan warga saat letusan gunung Tambora April 1815 oleh Greg Harlin/Wood Ronsaville Harlin.

/////////////////////////////////////////////////////////

Catatan Dari Tambora

Serbuan Bajak Laut dan Tambora Yang Murka

Tengah bulan April 1815 Gunung Tambora di Pulau Sumbawa meletus. Menyisakan sejarah tentang tragedi dari  bencana alam yang memilukan. Tidak untuk dikenang tapi setidaknya menjadi cermin bagi kita kedepan agar bisa berdamai dan hidup berdampingan dengan alam.……………………………………

Dalam sebuah citra satelit Nasa, kawah Tambora nampak seperti bekas bisul yang menganga  diantara semenanjung Sanggar yang menjorok ke  laut Jawa di utara. Luka itu masih aktif dengan asap solfatara yang menandakan dapur magma masih bekerja dan mungkin mendatangkan luka baru.

Tambora adalah Stratovolcano aktif. Satu dari 452  gunung api yang membentuk Pacific Ring of Fire. Sabuk gunung api yang memagari  Samudera Pasifik dari Selandia Baru, Indonesia ke utara menuju Pilipina, Jepang, kemudian berbelok ke Amerika dan berujung di Chili. Jadi masih mungkin meletus lagi.

Cerita soal Tambora adalah kisah bagaimana alam bisa demikian murka.  5 April 1815 kepundan yang menjulang sekitar 4000 meter di atas permukaan laut itu mulai  menimbulkan rentetan gempa. Mengerang keras seperti monster tua yang mau keluar dari dasar bumi.  

Raungannya terus menyambung, hingga akhirnya memuntahkan amarah sejadi-jadinya enam malam  kemudian. Bo’ Sangaji Kai (Catatan Kerajaan Bima) merekam jelas momen ini.  Pada sebuah bait bertajuk Alamat Pecah Gunung Tambora, catatan ini mengulas bagaimana dahsyatnya ledakan itu.

Page 2: Tambora Untuk Liburan Saja

‘’Maka gelap berbalik lagi lebih daripada malam itu, kemudian berbunyilah seperti bunyi meriam orang perang, kemudian maka turunlah kerisk  batu dan debu seperti dituang lamanya tiga hari tiga malam,’’

10, 11 dan 12 April gemuruh yang memekakan telinga itu turun bersama maut. Langit hitam tertimbun abu. Kemudian batu berguguran menghujam apapun yang ditemukan di semenanjung tersebut. Dan sial tak dapat ditunda, mereka yang tak sempat menyelamatkan diri tertimbun, tersapu aliran awan panas yang melaju cepat dari bibir kawah. Tiga Kerajaan kecil di lerengnya  Sanggar, Pekat dan Tambora terbenam.

Ledakan besar pada 12 April ini adalah klimaks yang menghancurkan segalanya. Volcanic Explosivity Index (VEI) mencatat ini adalah ledakan level tujuh, yakni ledakan super kolosal dengan muntahan material terbesar yang terekam sejarah peradaban manusia moderen. 10 kali lebih besar dari Krakatau yang meledak 68 tahun kemudian.

Bukan hanya Semenanjung Sanggar, seluruh Sumbawa, Lombok, Bali, Madura dan sebagian timur  Jawa gelap gulita. Gempa menjalar hingga Batavia (Jakarta) dan kepulauan Maluku.

Sementara itu di Jawa, Thomas Stamford Raffles yang baru empat tahun menjadi Gubernur Hindia Belanda tak kurang terkejutnya. Suara apa pula yang begitu kencang dan membikin Jawa demikian mencekam, pikir dia. Awalnya ia, mengira itu suara meriam musuh yang datang melakukan penyerbuan. Maka dari itu militer segera disiagakan.

‘’ Suaranya pada kali pertama, hampir dianggap suara meriam; sangat banyak sehingga sebuah detasemen tentara bergerak dari  Jogjakarta dengan perkiraan bahwa pos terdekat  (tengah) diserang, dan sepanjang pesisir, perahu-perahu dikirimkan,’’ ujarnya dalam memoarnya.

Beberapa saat kemudian Raffles sadar ini bukan bunyi perang. Tapi  suara  letusan gunung yang membuat langit siang jadi mendung.  Hujan menghitam dan tsunami tumpah ke permukiman, sawah dan ladang. Sementara di lautan sisa-sisa pohon, bangkai hewan dan manusia hingga buih yang telah mengeras jadi batu apung mengambang luas  di Samudera. Pasrah terayun gelombang, seperti nasib bumi manusia yang dihukum Tambora.

Page 3: Tambora Untuk Liburan Saja

‘’Dalam perjalananku, aku melewati hampir seluruh Dompu dan banyak bagian dari Bima. Kesengsaraan besar-besaran melanda penduduk. Bencana telah memberikan pukulan hebat. Masih terdapat mayat di jalan dan tanda-tanda banyak lainnya telah terkubur. Desa-desa hampir sepenuhnya ditinggalkan dan rumah-rumah rubuh. Penduduk yang selamat kesulitan mencari makanan. Diare menyerang warga di Bima, Dompu, dan Sang’ir. Diduga penduduk minum air yang terkontaminasi abu, dan kuda juga mati dalam jumlah yang besar…’’ kata Letnan Phillips yang diminta Raffles untuk mengunjungi Pulau Sumbawa selepas bencana itu.

Dan kelaparan itupun datang seiring rusaknya lahan. Ladang-ladang terbakar. Tanah yang tertutup material vulkanis mematikan tanaman pangan. Ditambah lagi matahari yang jarang muncul karena terhalang debu yang memenuhi atmosfer. Tanaman apakah yang bisa hidup dalam konsisi begini?

10 ribu jiwa yang tewas seketika terus bertambah seiring datangnya kelaparan dan wabah penyakit. H. Zollinger sorang ahli ilmu alam Belanda yang singgah di Sumbawa sekitar tahun 1847 menaksir total korban jiwa akibat letusan ini sekitar 90 ribu. Ini termasuk angka korban kelaparan dan wabah penyakit di pedalaman Lombok.

‘’Kerajaan kecil Pekat dan Tambora  terhapus dari muka bumi, hanya tiga atau empat orang saja yang selamat dari kehancuran  dan mereka itulah yang menyampaikan cerita ini yang  di kalangan banyak penduduk sama sakti (sama dahsyatnya) dengan kisah pembinasaan kota Ninive dan jerusalem di kalangan orang Kristen,’’ ujar pemikir, penulis Belanda,  PP Roorda van Eysinga yang sempat berkunjung ke Sumbawa beberapa tahun setelah letusan itu.

Letusan ini seolah menambah kelam sejarah Nusantara di awal abad 19. Setelah perjanjian Bungaya tahun 1667 dominasi Kerajaan Gowa atas wilayahnya di Sumbawa dan Lombok menurun. Belanda mengokohkan diri di Bima dan sekitarnya sementara Lombok digrogoti Bali. Namun Belanda sendiri belum kokoh benar mengingat sejumlah negara Eropa lain terus mengintai ingin masuk ke Hindia.

Belanda yang dalam lindungan Inggris tak mau melihat Prancis benar-benar menguasai daerah jajahannya. Sementara Inggris yang sedang menguasai Indonesia juga tengah gamang karena perang melawan Napoleon di Waterloo.

Page 4: Tambora Untuk Liburan Saja

Ini membuat perairan Nusantara demikian rawan. Dalam musim-musim tertentu ancaman bajak laut dari  Kepulauan Sulu dan Tobelo demikian menakutkan. 1819 atau empat tahun setelah  letusan kehidupan membaik meski belum bisa seperti semula.  Namun serangan bajak laut dari Tobelo datang merampas semuanya.

Khatib Lukman dalam Syair Kerajaan Bima yang ditulis sekitar tahun 1830 mengabadikan serbuan ini dalam syair nan lirih sepanjang 71 bait.

‘’Musuh masuk ke dalam kota, mengambil senjata dengan segala harta, setengahnya orang nasib yang leta, perempuan laki-laki tertawan semata’’ tulis Lukman dalam bait ke 220 tentang para perompak dari Tobelo yang datang menjarah  dan menghancurkan kota Sanggar.

Bukan hanya Sanggar keesokan harinya para Lanun tersebut menyerbu wilayah Kore, Wera dan Sape. Di tempat terakhir para bajak juga berhasil merampas dan menghanguskan kota. Tapi akhirnya mereka dapat dipukul mundur setelah bala-bantuan pasukan Kerajaan Bima datang dipimpin Imam Bima.

Derita ini belum selesai. Bahkan 60 tahun setelah amuk Tambora, suasana masyarakat di Semenanjung Sanggar demikian mengharukan.  Albert Colfs, seorang ilmuan Belgia mengisahkan kondisi Kerajaan Sanggar yang sangat miskin pada periode itu.

‘’Saya mengatakan mau pamit dengan Sultan (Sanggar). Saya kesana pukul delapan. Sultan lebih ramah dan kelihatan lebih segar daripada waktu kunjungan saya yang pertama. Dia bercakap-cakap dalam bahasa melayu yang cukup bagus. Dia harus mencocok ladangnya sendiri dan dia pula yang memotong dan memikul kayu bakarnya; Saya merasa kasihan sekali,’’ ujarnya dalam buku hariannya bertarikh 1888. (bersambung)

F-Waterloo-

Sumber Foto : Wikipedia

Captions : Perang Waterloo : Serbuan tentara Prusia terhadap pasukan Napoleon pada perang Waterloo dalam lukisan Adolph Northen.

Page 5: Tambora Untuk Liburan Saja

Catatan Dari Tambora (2)

Frankenstein dan Kutukan Daging Anjing

Ledakan Tambora itu tidak hanya merubah Sumbawa tapi juga merubah peta politik Eropa dan membuat seperempat belahan dunia kedinginan dan kelaparan.……………………………………………………………………….

Semestinya Inggris, Belanda  dan negara-negara yang tergabung dalam Koalisi Ketujuh pada  perang Waterloo 1815 berterimakasih pada Tambora. Betapa tidak sebuah gunung asing  yang berada lebih dari 12 ribu kilometer di bumi bagian selatan telah membantu mereka memenangkan perang melelahkan melawan Kekasiaran  Napoleon yang perkasa. Perang panjang yang melanda Eropa selepas Revolusi Prancis 1789.

Letusan Tambora 10-15 April 1815  memuntahkan debu vulkanis yang mengapung di atmosfer. Menggenang di angkasa sembari mengutuk setiap daratan yang dilintasinya. Bumi dibuatnya menggigil kedinginan karena matahari tak bisa menembus awan berdebu dari Semenanjung Sanggar itu.

Beberapa pekan kemudian mega hitam ini tiba di langit Belgia setelah sebelumnya singgah di beberapa negara. Minggu 18 Juni 1815 tepat di atas Waterloo yang tengah memanas karena perang, mendung hitam memuntahkan hujan sejadi-jadinya.

Medan tergenang dan menyulitkan gerak  pasukan untuk melakukan penyerbuan. Padahal Napoleon telah menyiagakan pasukan dan menyiapkan serangan pamungkas. Tapi apa lacur, serbuan harus ditunda menunggu medan mengering agar kuda-kuda dan meriam lancar jalannya. Disinilah Tambora menunjukkan kuasanya, ia, merubah iklm bumi dan menunda jalannya perang.

Dalam jeda itulah Duke of Welington yang memimpin tentara Inggris akhirnya bernafas lega. Masa tunda yang diberikan Tambora, membuat Gebhard Leberecht von Blücher bisa tiba di medan perang  dengan bala bantuan pasukan Prusia. Koalisi Inggris dan kawan-kawan menjadi kuat dan berhasil  memukul mundur militer Napoleon.

Selepas perang Waterloo peta kekuasaan di Eropa berubah. Napsu prancis untuk menguasai benua biru terhenti. Dan untuk Napoleon perang ini adalah akhir petualangannya. Kaisar yang kalah ini terbuang  sebelum akhirnya malaikat maut

Page 6: Tambora Untuk Liburan Saja

berbaik hati menjemputnya dari pengasingan di St. Helena, pulau terpencil di Samudera Atlantik 5 Mei 1821.

Tapi selepas perang di Waterloo, Tambora belum mencabut kutukannya  di Eropa. Anomali cuaca ini menyebarkan epidemi  tipus di bagian tenggara Eropa dan kawasan timur Mediterania pada 1816 dan 1819. Tahun-tahun itu demikian mencekam. Langit gelap membuat dingin terperangkap lebih lama di daratan. Ditambah hujan yang terus-menerus membuat gagal panen,  ladang-ladang tak bisa ditanam, ternak mati membuat seantero negeri kelaparan.  Bahkan di Jerman, kerusuhan menjalar menyusul kenaikan harga pangan yang tak terbendung. Ini adalah salah satu bencana kelaparan terburuk yang pernah melanda Eropa moderen.

Media-media di Amerika dan Eropa mengabarkan bagaimana sebuah musim yang membingungkan tiba-tiba datang bersama ketakutan dan kelaparan. Cuaca tak lazim yang tidak pernah terlihat sebelumnya. The Albany Advertiser, sebuah koran terbitan New York, edisi 6 Oktober 1816 menuliskan tentang musim ini.

‘’’Cuaca selama musim panas lalu sangat tidak lazim tidak hanya di negeri ini, tapi,seperti terlihat di koran juga melanda Eropa...... Ada salju mengeras dalam setiap bulan musim panas, sebuah fakta yang belum pernah kita ketahui sebelumnya. Cuaca dingin dan kering terjadi di beberapa bagian Eropa, dan sangat basah di tempat-tempat lainnya di seperempat belahan dunia,’’ tulisnya.

Dalam kedinginan itu orang Eropa dan Amerika kemudian menyebut 1816 sebagai Year Without Summer alias tahun tanpa musim panas.  Sebuah penelitian bertajuk Iberia in 1816, the year without a summer yang dimuat dalam International Journal of Climatology tahun 2008 lalu mengkaji ulang sebaran dampak letusan Tambora, di Spanyol, Portugal, Prancis, dan Skandinavia. Hal yang sama dirasakan serentak. Menipisnya bahan pangan dan kedinginan yang mencekam .Di Kota Madrid misalnya suhu dilaporkan tidak pernah melebihi 15 derajat selsius. Padahal itu sedang musim panas.

Tahun yang gelap ini kemudian melahirkan banyak dongeng bertema ketakutan. Salah satunya kisah Frankenstein yang kelam dari tangan novelist Inggris, Mary Shelly pada 1818. Lalu dalam puisinya pujangga Inggris, Lord Byron juga menggambarkan bagaimana Tambora telah menebar ketakutan itu hingga ke pedalaman Eropa awal abad 19.

Page 7: Tambora Untuk Liburan Saja

‘’ Aku bermimpi, yang tidak semuanya mimpi. Matahari terang itu dipadamkan, dan bintang-bintang, Yang berjalan mulai gelap dalam ruang abadi, Tanpa cahaya, dan tanpa jalan, dan bumi membeku, Berayun buta dan menghitam dalam udara tanpa bulan,’’ ucap Byron dalam bait pertama puisi berjudul Darkness (Kegelapan) yang ia tulis pada 1816.

Lalu dalam baris berikutnya. ‘’ Pagi datang dan pergi dan berlalu-, dan tidak membawa siang, Dan laki-laki lupa nafsu mereka dalam ketakutan. Tentang kehancuran mereka, dan semua hati Yang kedinginan dalam pengharapan yang egois tentang cahaya,’’

Lirik-lirik tragis seperti ini muncul di berbagai penjuru. Semuanya tentang duka yang hadir bersama musim yang ganjil. Musim panas yang dingin membuat salju di ladang-ladang enggan mencair.

Dalam ketakutan itu di Amerika orang ramai mulai bertanya akankah ini akhir dunia. Karena bintik-bintik hitam di langit yang menghalangi sinar matahari semakin banyak. Akibat bencana ini di Eropa saja diperkirakan ada 200 ribu jiwa menjadi korban. Belum termasuk di Amerika, China dan India yang juga mengalami hal serupa.

Setelah bencana ini banyak yang bertanya kemudian, kenapa Tambora demikian marah. Apa gerangan yang membuat dia demikian murka. Dalam ilmu vulkanologi ledakan ini adalah hal yang lazim dari siklus hidup gunung api. Namun bagi masyarakat di Semenanjung Sanggar, Dompu dan Bima ada cerita rakyat yang menyebut lebih dari itu. Yakni azab tuhan terhadap Raja Tambora, Abdul Gafur dan rakyatnya.

Syair Kerajaan Bima yang ditulis Khatib Lukman sekiar tahun 1830 menceritakan hal tersebut. Kemudian penulis dan pemikir Belanda, PP Roorda van Eysinga, yang datang ke Sumbawa menulis ulang cerita ini tahun 1841.

Alkisah, sebelum ledakan terjadi seorang Arab muslim asal Bengkulu bernama Said Idrus datang ke Negeri Tambora untuk berniaga. Suatu ketika dalam perjalannanya, masuklah waktu Zuhur dan Tuan Said ini mencari masjid terdekat untuk menunaikan shalat. Namun betapa marahnya ia, saat melihat di dalam masjid itu ada anjing. Hewan na’jis seenaknya berkeliaran di tempat sesuci itu. Ia, lalu meminta warga memukul dan mengusir si hewan. Tapi si penjaga hewan marah dan balik menjawab. ‘’Raja kami yang empunya itu anjing,’’

Page 8: Tambora Untuk Liburan Saja

Tuan Said membalas. ‘’Baik, siapa punya anjing, karena ini masjid Allah Subahanahu Wa Taala yang empunya rumah ini. Siapa yang memasukkan anjing di dalam masjid, orang itu kafir,’’ ujarnya.

Mendengar ini penjaga anjing mengadu pada raja. ‘’Ada seorang tuan-tuan Arab mengatakan kita ini orang Tambora dikatakan kafir, sebab didapatinya ada anjing dalam masjid,’’ lapornya kepada sang raja.

Mendengar ini raja tersinggung dan marah. Raja kemudian meminta rakyatnya untuk mempersiapkan jamuan dalam dua menu berbeda. Satu menu berisi daging anjing dan satu lagi daging kambing. Lalu kemudian Tuan Said tersebut diundang menghadiri jamuan makan. Menu anjing itu untuk Tuan Said dan kambing untuk raja dan kaulanya.

Lalu selepas jamuan Raja berkata.‘’Hai Arab!! Bagaiman engkau katakan haram anjing??‘’Ya, Haram’’ jawab Tuan Said.

Raja tersenyum sinis dan membalas ‘’Jikalau engkau katakan haram, mengapa makan itu anjing,’’‘’Bukannya anjing saya makan tadi, saya makan daging kambing,’’ jawab Tuan Said dalam nada sedikit bertanya-tanya mendebat sang raja.

Puas memperdaya Tuan Said dengan jamuannya, Raja yang masih menyimpan murka meminta para pengawalnya menghabisi Si Arab ini. Dalam kawalan prajurit, Tuan Said dibawa ke Gunung Tambora untuk menemui ajalnya. Meski sempat melawan Tuan Said ini akhirnya berhasil dihabisi. Kepalanya pecah dan mayatnya dibawa ke sebuah goa.

Namun alangkah kagetnya para pengawal itu melihat tiba-tiba ledakan muncul dari gunung disertai api. Api itu menerjang lereng dan mengejar para algojo yang mengeksekusi si Tuan Arab. Dan seterusnya, ledakan mengalun sejadi-jadinya. Lava berguguran beserta awan panas menerjang permukiman warga. Mengamuklah tambora.

‘’Tiada beberapa lamanya sudah terbakar Negeri Tambora maka ada suatu hari datang air besar dari tiga ombak besar, dari selatan datangnya itu ombak, maka tujuh negeri kecil tenggelam, perahu dagang yang ada berlabuh disitu semuanya dibawa ombak naik ke hutan,’’ tulis Van Eysinga mengisahkan Tsunami yang

Page 9: Tambora Untuk Liburan Saja

segera menyusul setelah ledakan dan menenggelamkkan sejumlah kerajaan kecil di Sumbawa. (++)