Tambang Rakyat Apakah Sudah Merakyat
-
Upload
rianda-abdi -
Category
Documents
-
view
107 -
download
0
description
Transcript of Tambang Rakyat Apakah Sudah Merakyat
“TAMBANG RAKYAT, APAKAH SUDAH MERAKYAT?”
STUDI KASUS PERTAMBANAGAN INTAN TRADISIONAL DI MARTAPURA,
KALIMANTAN SELATAN
OLEH :
RIANDA ABDI
13/356419/PSP/4832
PROGRAM STUDI MAGISTER PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN
FALKUTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2013
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................................ i
BAB 1 PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
II. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
III. Tujuan.......................................................................................................... 4
IV. Kerangka Teori............................................................................................ 4
BAB 2 ANALISIS
I. Selayang Pandang Martapura Kota Berintan ............................................... 12
II. Proses Kegiatan Penambangan .................................................................... 13
III. Fakta Tambang Rakyat .............................................................................. 15
IV. Masalah-Masalah Yang Muncul ................................................................. 17
V. Permata dan Berlian Kalimantan: Terbaik Kok Termurah? ..................... 19
VI. Bagaimana nasib penambangnya? ............................................................. 20
BAB III PENUTUP
I. Kesimpulan ..................................................................................................... 21
II. Rekomendasi ................................................................................................. 21
Daftar Pustaka
BAB 1 PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Intan yang melalui tahap penggosokan dan menjadi berlian itu indah di pandang, tapi di
balik itu semua menyisakan permasalahan tersendiri di lahan pertambangan yang jauh dari
mata-mata penikmat gemerlap intan dan berlian. Intan yang memalalui proses ertambangan
tradisional mengalami jalan panjang untuk di temukan, di olah dan sampai kepada di toko-
toko di pajang berkilauan yang menarik minat pembeli, jauh dari sana, dilahan pertambangan
yang panas terik dan gersang, para pendulang berusaha menyambung hidupnya,
mengantungkan dari keringat menapis air keruh untuk menyeleksi batu-batu yang berkilauan
yang bersembunyi di antara batu-batu biasa.
Permasalahan tambang tradisional, terjadi di seluruh dunia, di Afrika misalnya, salah satu
daerah tambang yang terkenal di Kimberly, para
penambang yang miskin tanpa jaminan kesejahteraan
atas usahanya ataupun asuransi atas jiwanya yang
sewaktu-waktu bisa saja melayang karena
pertambangan tradisional dengan alat keselamatan
tidak memadai untuk mendapatkan batu mulia, atas
pekerjaannya dengan menggantungkan hidupnya dari hasil tambang, akan tetapi tidak bisa
menikmatinya secara utuh karena harga yang diberikan para tengkulak yang begitu rendah,
jauh dari harga pasaran yang apabila setelah masuk toko harganya bisa berkali-kali lipatnya.
Di Indonesia, negara yang kaya akan sumberdaya alam, kekayaan alam yang ada di
Indonesia salah satunya adalah tambang. Tambang yang ada di Indonesia banyak dikuasasi
Gambar Tambang Kimberly, Afrika
korporasi yakni perusahaan-perusahaan asing tapi tidak sedikit juga yang berstatus tambang
rakyat atau tradisional dimana pertambangan tradisional juga banyak masyarakat lokal yang
menggantungkan hidupnya tapi tidak dapat menikmati hasilnya dengan maksimal.
Intan merupakan barang yang paling dicari karena keindahannya yang memukau banyak
orang. Tidak sedikit masyarakat yang menggantungkan hidupnya dengan menambang intan,
khususnya masyarakat di kecamatan Cempaka yang berada di Provinsi kalimantan Selatan. Di
sektor penambangan intan ini melibatkan peran pekerja tambang, pemilik tanah, pemilik
mesin, calo atau tengkulak, pengrajin batu intan, pedagang, dan pembeli. Saat suatu area yang
memungkinkan untuk aktivitas penambangan maka seseorang yang memiliki potensi baik
secara personal atau finansial untuk menambang intan akan bekerja sama dengan pemilik
tanah. Jika ada seseorang atau kelompok memiliki potensi untuk menambang namun tidak
memiliki modal maka pemilik mesin akan mengambil peran, sehingga terjadi kerja sama
antara penambang, pemilik tanah, pekerja tambang.
Untuk memudahkan penjualan, peran calo sangat menentukan. Disini calo ‘membantu’
pekerja tambang untuk menjual intan yang sudah ditemukan oleh pekerja tambang. Jenis calo
yang berperan dalam pemasaran tahap awal ada dua macam, ada calo yang membeli langsung
intan yang telah ditemukan, ada pula yang calo yang hanya sebagai perantara antara pekerja
tambang dengan pembeli. Untuk calo yang hanya menjadi perantara umunya meminta bagian
dari hasil penjualan. Selanjutnya para calo kemudian memasarkan intan tersebut ke rumah
kerajinan intan atau langsung ke toko. Namun tidak jarang rumah kerajinan terjun langsung
dalam transaksi dengan pekerja tambang sehingga rumah kerajinan mendapatkan intan tanpa
melalui calo. Akan tetapi semua itu tetap tidak menjawab persoalan harga yang semena-mena
yang di bawa oleh calo, pembeli atau siapapun yang datang ke areal pertambangan yang
berminat akan kilau intan.
II. Rumusan Masalah
Sebuah ironi, ketika semboyan sebuah kota “Martapura Kota Berintan’ yang menjadi
semboyan kebanggan tapi di lokasi pertambangan, para pekerja tambang tidak memiliki
kesempatan menikmati hasil tambangnya dengan
maksimal, harga yang semena-mena oleh para calo,
tidak ada jaminan keselamatan atauun perhatian
dari pemerintah untuk menjangkau mereka yang
meggantungkan hidupnya di pertambangan,
pemerintah hanya meperdulikan hasil tambangnya
yang berupa pajak dengan dikeluarkannya Sertifikat Hasil Bumi Daerah, dan tidak
memperdulikan apa atau siapa yang berjuang di balik permata itu untuk menemukannya.
Oleh karena itu, permasalahan utama disini adalah berapa banyak orang yang
meggantungkan hidupnya di pertambangan akan tetapi Peran Pemerintah terhadap
Tambang Rakyat yang Tidak Merakyat, hanya meraup hasil keuntungan dari
pertambangan ini tanpa melihat mereka-merek yang berjuang dibaliknya dan ini terjadi
bertahun-tahun sampai sekarang, tanpa ada kejelasan bagi para penambang untuk merubah
nasibnya.
III. Tujuan
Gambar Semboyan Kotta Martapura
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah yatu mata kuliah Negara, Pasar dan Kesejahteraan dan sebagai pengganti Ujian Akhir
Semester(UAS), selain itu juga diharapkan mahasiswa mampu menganalisis dan memahami
sektor-sektor pasar serta peran pemerintah, mahsiswa dituntut untuk peka terhadap kondisi
perekonomian dan sosial yang terjadi disekeliling agar tercipta kesadaran dan tanggung jawab
sosial kemasyarakatan.
IV. Kerangka Teori
1. Landasan Undang-Undang
Dasar kebijakan publik di bidang pertambangan adalah UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang
menyatakan bahwa: bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam era
desentralisasi saat ini maka kegiatan pertambangan tidak terpisahkan lagi dengan
pengambilan kebijakan di tingkat daerah sehingga:
a. Pemerintah pusat hendaknya memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah
untuk mengelola kegiatan pertambangan yang melibatkan sebanyak mungkin peran
serta masyarakat lokal.
b. Apabila risikonya tidak besar serta teknologinya dikuasai dan permasalahannya hanya
modal, maka dana dapat dikumpulkan melalui beberapa cara, yaitu:
1) Sebagian pendapatan pemerintah dari sektor pertambangan umum yang sudah
memberikan keuntungan banyak (misal: batu bara). Pendapatan tersebut dapat
digunakan untuk eksplorasi dan investasi pada sektor-sektor pertambangan lainnya.
2) Membentuk Badan Usaha Milik Daerah yang bertugas mengelola kekayaan mineral
di daerah tersebut seoptimal mungkin dengan memperhatikan prinsip-prinsip
keberlanjutan.
c. Aspek lingkungan baik fisik maupun sosial harus dipertimbangkan dalam setiap kontrak
pertambangan dan pengusaha pertambangan harus menyediakan biaya untuk mengatasi
permasalahan lingkungan tersebut. Menurut ahli ekonomi Kaldor dan Hicks suatu
tindakan dikatakan bermanfaat apabila golongan yang memperoleh manfaat dari
usahanya dapat memberi kompensasi bagi golongan yang menderita kerugian akibat
usaha tersebut sehingga posisi golongan kedua tersebut paling jelek sama seperti
sebelum adanya usaha tersebut dan golongan pertama masih untung. Golongan kedua
tersebut dapat berupa alam maupun masyarakat. Jadi, tidak adil bila ada suatu usaha
yang kemudian menyebabkan lingkungan menjadi lebih rusak atau masyarakat menjadi
lebih menderita dibandingkan keadaan sebelum adanya usaha tersebut. Peran
pemerintah daerah akan menjadi lebih besar dalam penanganan dampak lingkungan
pertambangan ini, sehingga penguatan institusi di tataran lokal akan menjadi semakin
signifikan.
d. Sumber daya alam sebagai sumber untuk kegiatan pertambangan dan energi
dimanfaatkan dari sistem ekologi oleh karena itu syarat mendasar yang harus dipatuhi
adalah tidak melanggar daya dukung ekosistem. Untuk dapat memanfaatkan sebanyak-
banyakinya sumber daya alam yang terkandung di bumi Indonesia, konsep eko-efisiensi
harus menjadi acuan utama yaitu memanfaatkan sebanyak-banyaknya dan membuang
atau memboroskan sesedikit mungkin yang juga berarti meminimumkan limbah. Dapat
disimpulkan bahwa eko-efisiensi sekaligus akan meningkatkan efisiensi ekonomi.
Untuk itu ekonomi lingkungan perlu diperhitungkan dalam setiap aktifitas
pertambangan.
Menurut UU No.11 Tahun 1967, bahan tambang tergolong menjadi 3 jenis, yakni
Golongan A (yang disebut sebagai bahan strategis), Golongan B (bahan vital), dan Golongan
C (bahan tidak strategis dan tidak vital). Bahan Golongan A merupakan barang yang penting
bagi pertahanan, keamanan dan strategis untuk menjamin perekonomian negara dan sebagian
besar hanya diizinkan untuk dimiliki oleh pihak pemerintah, contohnya minyak, uranium dan
plutonium. Sementara, Bahan Golongan B dapat menjamin hayat hidup orang banyak,
contohnya emas, perak, besi dan tembaga. Bahan Golongan C adalah bahan yang tidak
dianggap langsung mempengaruhi hayat hidup orang banyak, contohnya garam, pasir,
marmer, batu kapur dan asbes. Bagaimana dengan Intan? Pertambangan rakyat atau
tradisional intan termasuk golongan B dimana banyak masyarakat banyak yang
menggantungkan hidupnya di lahan pertambangan.
2. Landasan Permasalahan
Membaca persoalan tambang dalam perspektif Habermas, pembedaannya terhadap logika
perkembangan dan dinamika perkembangan. Logika perkembangan menentukan kemajuan-
kemajuan mana yang mungkin tercapai dalam dimensirasionalitas. Sedangkan dinamika
perkembangan menyangkut pertanyaan: apakah suatu perubahan memang akan terjadi? Atau
dengan kata lain apakah masyarakat mengalami perubahan secara mendalam ke arah yang
lebih baik tidak bisa dipastikan. Kalau terjadi perubahan, maka pertanyaan lanjut adalah pada
level masyarakat macam manakah perubahan ini terjadi? Pada level rakyat besar ataukah level
rakyat kecil?
Penindasan sistem, dimana masyarakat tidak diberikan hak-haknya sebagai seorang
penambang yang menyandang semboyan sebuah daerah, kemudian pada sisi lain, penindasan
itu terjadi lewat pengetahuan. Rakyat kecil dengan pengetahuan yang minim, dapat dengan
mudah diperdayai dengan bahasa yang kelihatannya jelas, benar, jujur dan betul. Pada titik
ini, pemilik modal dengan tindakan strategis melalui instrumental knowledge dapat dengan
mudah memobilisasi masyarakat untuk menambang intan, kemudian para tengkulak dengan
mudah menentukan harga, sedangkan peerintah hanya peduli ketika intan menjadi berlian
setelah melalui proses penggosokkan, memberikan sertifikat bukti hasil bumi dan menerima
pajaknya .Dengan itu para pemilik modal, para calo dapat meraup keuntungan yang sebesar-
besarnya, dan masyarakat penambang tidak menyadari kerugian yang mereka ciptakan bagi
diri mereka. Dengan penindasan yang terjadi seperti ini, dinamika perkembangan masyarakat
yang tergantung secara mutlak dari pengalaman-pengalaman kontingen tidak dapat dipastikan
baik secara apriori maupun secara aposteriori. Sebab semua yang mendukung kemajuan
rakyat kecil tidak terpenuhi di sini, terutama menyangkut rasionalitas komunikatif tidak
berjalansecara efektif.
Salim G. P dalam Sabian Utsman(2007;40), mengungkapkan kaitan masuknya Negara
dalam penguasaan atas sumberdaya alam dapat di benarkan dalam bingkai distribusi keadilan
:
….., cukup pantas kiranya untuk mengatakan bahwa intervensi Negara yang dimaksud
Ibnu Taimiyah tak lain adalah untuk menjaga dan merealisasikan keadilan diantara
anggota-anggota masyarakat dan mencegah semua bentuk kerugian yang mungkin di
derita oleh salah seorang anggota masyarakat dan mendengar semua bentuk kerugian
yang mungkin di derita oleh salah seorang anggota msayarakat akibat tindak
pelanggaran anggota lainnya didalam masyarakat tersebut. Dengan kata lain, intervensi
Negara menghendaki agar hak-hak setiap orang terjamin secara sempurna.
Bukan hanya itu, intervensi Negara di maksudkan pula agar kepentingan umum di
dahulukan dan di letakkan lebih tinggi ketimbang kepentingan pribadi. Kepentingan
umum disini tidak harus berkaitan dengan kepentingan semua angota masyarakat secara
keseluruhan, melainkan bisa saja hanya menyangkut orang atau kelompok tertentu tetapi
yang mempunyai nuansa bagi keutuhan dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan.
3. Kerangka Teoritis
Untuk dapat menjelaskan peran Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dalam
melakukan pengawasan terhadap usaha pertambangan intan yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota Banjar yang terdapat di Kalimantan Selatan dan sebagai alat
untuk memecahkan masalah yang ditemukan perlu dikemukakan kerangka teoritis
yang mendasarinya.
a. Teori Negara Hukum Kesejahteraan
Pada umumnya negara yang menganut paham kesejahteraan modern (modern
welafare) juga merupakan negara hukum modern atau negara hukum kesejahteraan.
Menurut Bagir Manan , konsepsi negara hukum modern merupakan perpaduan
antara konsep negara hukum dengan negara kesejahteraan. Didalam konsep ini
tugas negara atau pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan
atau ketertiban masyarakat saja, tetapi memikul tanggung jawab
mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Teori negara hukum kesejahteraan lahir sebagai reaksi
terhadap gagalnya konsep negara hukum klasik dan negara hukum sosialis. Untuk
memahami tentang teori negara hukum kesejahteraan maka perlu diketahui terlebih
dahulu mengenai konsep negara hukum dan negara kesejahteraan.
1) Teori negara hukum
Konsep Rechsstaat diawali oleh pemikiran Immanuel Kant yang mengatakan
bahwa fungsi hukum dalam negara hanya sebagai alat perlindungan hak-hak
asasi individual dan pengaturan kekuasaan negara secara pasif. Dalam
perkembangannya, konsep dari Immanuel Kant dinilai kurang
memuaskan, maka dikembangkanlah konsep kesejahteraan dan
kemakmuran. Rechsstaat yang berwawasan Dalam negara hukum terdapat
beberapa unsur utama secara formal, yaitu:
a) Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia;
b) Untuk melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan negara harus
berdasarkan pada teori trias politica;
c) Pemerintah menjalankan tugasnya berdasarkan pada Undang- Undang;
d) Apabila pemerintah dalam menjalankan tugasnya berdasarkan Undang-
Undang masih melanggar hak asasi manusia (campur tangan pemerintah
dalam kehidupan pribadi seseorang), maka ada pengadilan administrasi yang
akan menyelesaikannya.
Ada beberapa pendapat dari para ahli tentang negara hukum, antara lain:
F.R. Bothink mengatakan bahwa negara, dimana kebebasan kehendak
pemegang kekuasaan dibatasi oleh ketentuan hukum.
Burkens mengatakan bahwa negara hukum (rechtsstaat) ialah negara yang
menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaannya dan penyelenggaraan
kekuasaan tersebut bentuknya dilakukan dibawah kekuasaan hukum.
b. Teori Negara Kesejahteraan
Negara kesejahteraan dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem kesejahteraan sosial
yang memberi peran besar pada negara atau pemerintah (untuk mengalokasikan
sebagian dana publik demi menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya).
Dari pengertian tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa negara
kesejahteraan melakukan perlindungan terhadap masyarakat terutama
kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat, pengangguran dan
sebagainya.
Ciri-ciri pokok dari suatu negara kesejahteraan (welfare state) adalah:
1) Pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politika dipandang tidak prinsipil
lagi. Pertimbangan-pertimbangan effisiensi lebih penting daripada
pertimbangan-pertimbangan dari sudut politis, sehingga peranan organ-organ
eksekutif lebih penting daripada organ-organ legislatif;
2) Peranan negara tidak terbatas pada menjaga keamanan dan ketertiban saja,
akan tetapi negara secara aktif berperan dalam penyelenggaraan kepentingan
rakyat dibidang sosial, ekonomi dan budaya. Sehingga perencanaan
merupakan alat yang penting dalam negara kesejahteraan (welfare state);
3) Negara kesejahteraan (welfare state) merupakan negara hukum
materiil yang mementingkan keadilan sosial bukan persamaan formil; dan
4) Sebagai konsekuensi hal-hal tersebut diatas, maka dalam negara
kesejahteraan (welfare state), hak milik tidak lagi dianggap sebagai hak
yang mutlak, akan tetapi dipandang mempunyai fungsi sosial, ini berarti
ada batas-batas dalam kebebasan penggunaanya;
5) Adanya kecendrungan bahwa peranan hukum publik semakin penting dan
semakin mendesak, hal ini disebabkan karena semakin luasnya peranan
negara dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya.
Dari dua landasan teori diatas, untuk menjelaskan bagaimana pertambangan tradisional
rakyat yang tidak merakyat di kabupaten banjar, kalimantan selatan, bagaimana kebijakan
atau landasan perundanganundnagan dengan jelas mengaturnya secara konstitusional dimana
negara harusnya bertanggung jawab dalam hajat hidup masyarakat kemudian landasan negara
kesejahteraan dimana hak-hak dan keadilan dlam memperoleh kesempatan sama seharunya
dijunjung tinggi.
BAB 2 ANALISIS
Tambang Rakyat Apakah Sudah Merakyat?
I. Selayang Pandang Martapura Kota Berintan
Martapura merupakan sebuah kecamatan yang terdapat di Kabupaten Banjar, Kalimantan
Selatan. Martapura juga menjadi ibu kota dari Kabupaten Banjar ini. Martapura sudah
terkenal sejak zaman dahulu. Bahkan, Martapura pernah menjadi ibu kota terakhir dari
Kesultanan Banjar, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Adam yang memerintah antara
tahun 1825 & 1857.
Nama Martapura diberikan oleh Raja Banjar ke-4, yaitu Sultan Mustain Billah sekitar
tahun 1630. Di Martapura, terdapat sebuah sungai yang dinamai sama dengan kota ini, yaitu
Sungai Martapura. Sungai ini dikenal juga sebagai Sungai Banjar Kecil. Sungai ini
merupakan anak Sungai Barito yang hulunya terdapat di Martapura dan bermuara ke Sungai
Barito. Sungai Martapura biasa digunakan pula sebagai pelabuhan.
Tanah Martapura kaya akan mineral batu dan bahan tambang. Salah satu mineral batu
yang dapat ditemukan di Martapura adalah intan. Intan termasuk salah satu batu mulia yang
jika dijual memiliki harga yang sangat mahal. Intan merupakan bentuk yang lebih sederhana
dari berlian. Jika intan digosok dengan lebih baik akan menjadi berlian. Dengan banyaknya
intan yang ditemukan di daerah ini, maka Martapura memiliki sebutan sebagai Kota Intan.
Daerah di Martapura yang banyak menghasilkan intan adalah daerah Cempaka dan
Pengaron. Para pendulang di kedua daerah ini hampir setiap hari mendapatkan intan,
meskipun intan-intan yang didapatkan hanyalah intan-intan kecil. Intan-intan dengan ukuran
besar hanya sesekali saja ditemukan.
Salah satu intan dengan ukuran besar yang ditemukan di Martapura diberi nama Putri
Malu. Berat intan ini sekitar 200 karat. Karat merupakan ukuran yang digunakan untuk
menghitung berat batu mulia. Satu karat beratnya sama dengan 0,2 gram. Saat dibeli, intan
tersebut dihargai dua milyar. Namun, setelah dijual kembali, intan itu dihargai delapan
milyar.Meskipun harganya sudah begitu mahal, intan tersebut masih mentah. Jika intan
tersebut telah digosok, harganya tentu akan semakin berlipat.
II. Proses Kegiatan Penambangan
Dulang (berbentuk semacam caping) yang terbuat dari kayu ulin (kayu besi) atau kayu
jingga. Sedangkan proses untuk mendapatkan intan sendiri dinamakan dengan mendulang.
Caranya: material berupa pasir, batu-batuan kecil, tanah, lumpur dan sebagainya yang telah
bercampur menjadi satu diambil dari dalam lubang galian yang dibuat dengan kedalaman
tertentu dimuat ke dalam dulang sesuai dengan kapasitas dari setiap dulang yang digunakan,
selanjutnya dulang yang telah terisi material tersebut diputar-putar (dilenggang) dalam air
sehingga sedikit demi sedikit material dari dalam dulang terbuang keluar dari dulang terbawa
oleh pusaran air yang timbul akibat putaran yang dilakukan sambil sekali-kali pendulang
mengamati sisa material yang berada dalam dulang apakah terdapat intan atau tidak. Hal
tersebut dilakukan begitu seterusnya sampai material yang berada dalam dulang terbuang
habis dari dalam dulang. Kegiatan tersebut dilakukan sepanjang harinya oleh penambang
tradisional intan, dan belum tentu kegiatan yang dilakukan mendapatkan hasil yang bisa
dibawa pulang sebagai pendapatan hari itu.
Kegiatan mendulang biasanya dilakukan secara berkelompok. Satu kelompok biasanya
terdiri dari 3-5 orang ataupun lebih. Kenapa hal tersebut dilakukan secara berkelompok?
Karena setiap orang mempunyai tugas masing-masing yang berbeda-beda. Ada yang bertugas
membuat/menggali lubang. Ada yang lain bertugas mengangkut material galian kelokasi
pendulangan. Sedangkan yang lainnya lagi bertugas mendulang material yang telah terangkut
tadi. Biasanya di tempat pendulangan dipasang semacam tenda untuk menghindari panasnya
terik matahari.
Dalam system mencari intan secara berkelompok ini biasanya hasil yang didapat dibagi
secara merata kepada setiap orangnya dalam kelompok tersebut. Hal tersebut juga tidak
mutlak begitu aturannya namun kebanyakkan begitu yang dilakukan, atau juga tergantung
dari kesepakatan awalnya bagaimana? Perlu diketahui juga bahwa para penambang tradisional
tersebut lahan yang digunakan juga kadang-kadang tidak milik sendiri tetapi milik orang lain.
Jadi hasil yang didapat semakin kecil apabila semakin banyak orang terlibat dalam sebuah
kelompok penambang intan.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam skema berikut:
Pemilik lahan yang memiliki kandungan intan menyewakan tanahnya untuk ditambang dengan
ketentuan bagi hasil atas penjualan intan yang diperoleh, kemudian para penambang yang terdiri
dari 4-5 orang akan melakukan penambangan, hasilnya adalah intan mentah yang kemudiann akan di
beli oleh para tengkulak, tengkulak kemudian menuju toko penggosokan dan jadilah sebuah berlian
dan dari situ muncul peran dinas terkait untuk mengeluarkan setifikat hasil tambang dan mengambil
pajak, baru kemudian dijual ke toko dan toko menjual ke konsumen.
III. Fakta Tambang Rakyat
Tambang rakyat adalah tambang yang secara turun temurun dikerjakan oleh masyrakat
atau penduduk setempat baik secara perorangan maupun kelompok dengan manajemen secara
tradisional. Selama ini telah banyak dilakukan penelitian berkenaan dengan tambang besar
atau secara tegasnya pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan. Secara gasis besarnya,
pertambangan rakyat/tradisional adalah merupakan tambang yang memiliki ciri dengan luas
lokasi relatif kecil, teknologi yang minim, dan yang paling menyedihkan adalah rehabilitasi
pasca pertambangannya yang tidak ada.
Salah satu tambang rakyat yang cukup mendapat nama di provinsi kalimanatan selatan
adalah tambang intan yang berlokasi di cempaka. Pertambangan ini dimulai secara tradisional
dengan sejarah yang tidak terlalu pasti awalnya tapi diperkirakan dimulai sejak puluhan tahun
yang lalu sebelum Indonesia merdeka. Pertambangan tradisional intan di cempaka menjadi
gantungan hidup masyarakat sekitar akan tetapi wlaau menjadi tempat orang banyak
menggantungkan hidup yang diuntungan hanya kaum tuan tanah yakni mereka yang memiliki
kuasa atas tanah dan mendapatkan hasil secara penuh dari hasil pertambangan intan tersebut.
Penambang tradisional seolah termarginal karena kesepakatan penambangan adalah antara
buruh tambang, pemilik lahan dan tengkular ataupun pengepul hasil tambang, secara garis
besar kronologis pertambangan di lahan tambang bermula dengan pemilik tanah yang
merelakan lahanya dijadkan area tambang dengan kesepakatan tertentu mengenai bagi hasil,
akan tetapi bagi hasil itu tergantung dari pengepul yang membeli intan “mentah” yang di
hasilkan dimana kadang-kadang bisa terjadi pengepul menaruh harga semena-mena terahdap
hasil tambang yang dihasilkan, tapi itulah faktanya.
Kesejahteran penambang tradisional memang dapat dikatakan miris untuk daerah
pengahasil intan/berlian yang bermutu internasional, hal ini tidak terlepas dari peran
pemerintah, peran negara, sedikit contoh mengenai pertambangan itu sendiri tidak memiliki
ijin maumpn dasar-dasar pertambangan secara umum, yang mengherankan ketika pengepul
membawa intan mentan untuk diolah maka dinas terkait, dengan mudah mengeluarkan
sertifikat asal permata yang seharusnya memiliki step-step pemeriksaan yang lumayan ketat
dan menajdi sumber pajak jelas untuk daerah tapi sekali lagi itulah kenyataan dilapangan.
Kabupaten banjar, dengan ibukota martapura, memiliki pasar khusus yang menjual hasil
pertambangan permata terutama intan, jual beli intan batu mulia hilir mudik di pasar ini,
meskipun adnaya isu batu mulia ilegal yang di legalkan akan tetapi pasar ini tetap ramai dan
kegatan ekonomi tersu berdenyut. Menuju kearah pedalam dimana batu mulia itu dihasilkan
maka akan jauh berbeda keika dipandang.
Peran pemerintah terikait dengan pemanfaatan potensi batu mulia yang tersebar di
seluruh kawasan Nusantara masih belum terlihat walaupun telah keluar Keputusan Menteri
Industri & Perdagangan Kepmen No.385 /MPP/Kep/06/2004 mengenai pemberdayaan potensi
alam berupa kandungan batu mulia. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk
mengungkap potensi terpendam bumi Indonesia mengenai batu mulia beberapa diantaranya
yang dilakukan oleh Kementrian Ristek, Kementerian Budaya & Pariwisata, Institusi ITB dan
UGM. Tetapi rupanya ini semua masih sekedar wacana, dan seremonial kunjungan-kunjungan
pejabat ke pengrajin-pengrajin batu serta membawa oleh-oleh pulang ke rumah pribadi berupa
bongkahan maupun bahan jadi batu mulia.
IV. Masalah-Masalah yang Muncul
Seperti dibahas didalam bagian sebelumnya, pulau kalimantan, khususnya provinsi
kalimantan selatan memiliki banyak sumber daya alam dan potensi yang baiik untuk
pembangunan daerah, akan tetapi secara nyata hal ini belum dirasakan sepenuhnya oleh salah
satu jenis potensi yang bisa penulis amati, dilingkungan yang tidak terlalu jauh dari rumah
penulis, terdapat pertambangan intan, intan yang nantinya akan di proses lagi menjadi sebuah
berlian, salah satu permata termahal selain emas hitam(batubara) yang bisa di temukan di
bumi borneo ini.
Kondisi Lingkungan penambangan intan tradisional Kecamatan Cempaka Kecamatan
Cempaka, didominasi oleh karakteristik geografis dataran tinggi dengan rata-rata ketinggian
topografi antara 50 sampai 150 meter di atas permukaan laut (Pusat Statistik Provinsi
Kalimatan Selatan: 1993 ). Sehingga praktis, kawasan pendulangan intan, di Pumpung atau
Ujung Murung misalnya, juga dikelilingi oleh bukit-bukit yang menyembul.
Kawasan pendulangan intan tradisional di Kecamatan Cempaka, paling banyak tersebar
di Kelurahan Sungai Tiung. Kelurahan seluas 21,50 Km2 dengan jumlah kepadatan 306 jiwa
per Km2, ini memiliki dua kawasan pendulangan intan tradisional yang telah dikenal di mata
dunia, yaitu Desa Pumpung. Desa Pumpung, terkenal karena temuan intan sebesar telur ayam
dengan berat 166,7 kerat, pada 30-an tahun silam. Belakangan intan tersebut dinamai Trisakti.
Di Kecamatan ini, area tanahnya merupakan tanah pendulangan. Sebagian besar
penduduknya bermata pencaharian sebagai pendulangan intan (M. Syafruddin Saleh, 1983).
Untuk menuju kawasan wisata pendulangan intan tradisional ini, banyak akses transportasi
darat yang bisa kita pilih, tentunya relatif cepat, mudah dan murah. Pendulangan intan
Pumpung misalnya, berada di sisi tenggara kota Banjarbaru, 40 Km dari Banjarmasin, ibukota
Provinsi Kalsel. Dari Banjarmasin menuju Kota Banjarbaru dapat dituju menggunakan
kendaraan bermotor, baik roda dua maupun empat, dengan waktu tempuh selama 1 jam.
Kemudian, dari kota Banjarbaru menuju Kecamatan Cempaka bisa dicapai selama 15 menit,
langsung menuju kawasan wisata tersebut.
Di sektor penambangan intan ini melibatkan peran pekerja tambang, pemilik tanah,
pemilik mesin, calo atau tengkulak, pengrajin batu intan, pedagang, dan pembeli. Saat suatu
area yang memungkinkan untuk aktivitas penambangan maka seseorang yang memiliki
potensi baik secara personal atau finansial untuk menambang intan akan bekerja sama dengan
pemilik tanah. Jika ada seseorang atau kelompok memiliki potensi untuk menambang namun
tidak memiliki modal maka pemilik mesin akan mengambil peran, sehingga terjadi kerja sama
antara penambang, pemilik tanah, pekerja tambang.
Untuk memudahkan penjualan, peran calo sangat menentukan. Disini calo membantu
pekerja tambang untuk menjual intan yang sudah ditemukan oleh pekerja tambang. Jenis calo
yang berperan dalam pemasaran tahap awal ada dua macam, ada calo yang membeli langsung
intan yang telah ditemukan, ada pula yang calo yang hanya sebagai perantara antara pekerja
tambang dengan pembeli. Untuk calo yang hanya menjadi perantara umunya meminta bagian
dari hasil penjualan. Selanjutnya para calo kemudian memasarkan intan tersebut ke rumah
kerajinan intan atau langsung ke toko. Namun tidak jarang rumah kerajinan terjun langsung
dalam transaksi dengan pekerja tambang sehingga rumah kerajinan mendapatkan intan tanpa
melalui calo.
Yang penulis soroti disini adalah K3 yang sering digalakkan oleh pemerintah tapi
pemerintah sendiri yang mengabaikannya. K3 adalah “Kesehatan dan Keselamatan Kerja”,
K3 adalah suatu upaya guna memperkembangkan kerja sama, saling pengertian dan
partisipasi efektif dari pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam tempat - tempat kerja
untuk melaksanakan tugas dan kewajiban bersama dibidang keselamatan, kesehatan, dan
keamanan kerja dalam rangka melancarkan usaha berproduksi hal yang bisa dikatakan tidak
terlihat dalam proses pertambangan Intan di Cempaka ini. meskipun tidak dapat disalahkan,
karena proses pertambangan yang masih tradisional.
Penambangan yang masih menganut sistem tradisional atau bahasa akademisinya
pertambangan quarry, tengkulak yang seenaknya memberikan harga, lemahnya SDM atas
pengolahan intan yang didapat dan manajemen pekerja tambang serta pemasaran produknya,
itulah masalah dan isu penting yang harus di perhatikan dan ditindaklanjuti oleh pemerintah
dalam penambangan batu mulia yang berkilauan dan menjadi ikon kota Martapura “kota
berintan” ini.
V. Permata dan Berlian Kalimantan: Terbaik Kok Termurah?
PT Borneo Berlian Cemerlang adalah salah satu perusahaan yang bergerak di bidang
ekspor impor batu permata, berlian, emas, dan batu mulia lain. Ketertarikan anak perusahaan
PT Turonggo Kalimantan ini menjalankan bisnis tersebut karena keterkenalan permata dan
berlian Martapura di mata dunia. Pertambangan permata dan berlian yang marak dilakukan di
Martapura, secara tradisional maupun ultra modern, juga merupakan bukti betapa tanah
Martapura mengandung berlian bermutu tinggi.
Harga berlian dari Martapura ini cukup rendah dibandingkan dengan harga berlian dari
Afrika. Hal itu disebabkan teknologi dan teknik olahan (cutting) para penambang Martapura
masih sangat dibawah standar. Pemerintah berusaha membantu dengan melatih para SDM
yang bergerak di bidang pertambangan dan penjualan permata dan berlian. Cukup kasihan
melihat penghidupan para penambang tradisional ini. Berpanas, berendam dalam air demi
sejumput berlian.
VI. Bagaimana nasib penambangnya?
Para penambang itu tetaplah penambang yang nasibnya sama dengan para petani
penggarap lahan yang miskin dan tak mampu berbuat banyak untuk meningkatkan
kesejahteraannya. Mereka hanya mempunyai tenaga fisik yang kuat tapi tak mempunyai
pengetahuan untuk bekerja lebih cerdas. Inilah fakta nyata tentang berlian dan penambangnya
Sebagian masyarakat Martapura banyak yang masih mengandalkan teknik-teknik
tradisional dalam melakukan proses pendulangan. Ditambah lagi dengan peralatan pengrajin
tradisional yang seadanya dan tiadanya penguasaan terhadap metode pemotongan intan,
membuat harga jual intan di para pengrajin tradisional sangat rendah.
Beberapa pendulang intan bahkan lebih memilih untuk mengekspor intan mentah tanpa
melalui proses pengrajinan terlebih dahulu. Hal inilah yang membuat keuntungan yang diraih
oleh pertambangan intan di Martapura menjadi kurang optimal.
BAB 3 PENTUP
Kesimpulan dan Rekomendasi
I. Kesimpulan
Yang menjadi masalah dalam penambangan intan di martapura adalah kurangnya SDM,
regulasi pekerja tambang yang tidak jelas baik itu pendidikan, jaminan pekerja, serta keahlian,
kemudian selai itu yang menyedihkan intan hasil jerih payah biasanya diekspor ke
mancanegara. Di Eropa, batu mulia tersebut akan dipotong menjadi berlian dan dijual kembali
dengan harga puluhan kali lipat. Sederhana saja kasusnya, negara kita tidak punya
kemampuan pemotongan intan sebaik di Eropa. Kalaupun ada berlian yang dijual di pasar
intan lokal Martapura, harganya biasanya tidak sementereng polesan luar negeri. Meski
mengecewakan, sebenarnya ini bukan hal yang tidak dapat diperbaiki.
II. Rekomendasi
Untuk Pemerintah:
Adanya regulasi yang mengatur sistem bagi pekerja, pemilik lahan dan sistem
penjualan yang minimal tidak memberatkan pihak terkait. Membentuk lembaga yang
membawahi pekerja, lembaga yang mendidik SDM yang mampu meningkatkan hasil
tambang yang tadinya intan mentah menajdi berlian, lembaga yang melakukan pembelian
kepada penamba dan pemasaran hasil agar lebih teroganisir.
Apabila memang belum menguasai teknologinya, minimal ada inisiatif dari kita
sebagai produsen untuk bekerja sama dengan pihak pemotong intan kelas dunia, misalnya
Antwerp, Belgia. Ini bermanfaat untuk mengurangi keterlibatan pihak ketiga (perantara)
yang hanya mencari profit. Dengan demikian, bisnis intan ini bisa lebih menguntungkan
bagi masyarakat Kalimantan Selatan.
Di sini pemerintah juga bisa jadi ‘penadah sementara’. Intan yang digali penambang
‘dipinjam’ dahulu, poleskan di Eropa, setelah terjual dengan harga lebih tinggi baru
kemudian pemerintah dan penambang bagi hasil. Selama ini para penambang tidak punya
channel untuk memotongkan intan mereka dengan kualitas tinggi sehingga suka tidak suka
mereka melepasnya ke penadah dalam kondisi mentah atau nekat memotong di industri
pemotongan lokal yang kualitas pemotongannya rendah.
Bagi masyarakat:
Langkah awal bagi masyarakat ketika pemerintah berpangku tangan adalah dengan
membuat koperasi bagi para penambang, ini langkah awal agar kemudian intan untuk
standarisasi dan mencegah mereka diperas oleh para penadah.
Daftar Pustaka
Arief Budimanan. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Adi Fahrudin. 2012. Pengantar Kesejahteraan Sosial. Bandung:Aditama.
Anonim. Pola Pembangunan Kesejahteran Sosial. Jakarta: Departemen Sosial RI.
A Prasetyantoko, dkkk. 2012. Pembangunan Inklusif, Prosfek dan tantangan Indonesia.
Jakarta: LP3ES.
Abrar Saleng.___. Hukum Pertambangan. Jakarta: Loc. Cit
Budi Winarno. 2013. Etika Pembangunan. Yogyakarta:CAPS.
Edi Suharto. 2010. Membangun Masyarakat Memberdayakan rakyat. Bandung: Refika
Aditama
Eko Prasojo, dkk. 2012. Dampak dan Masalah-Masalah Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Otonomi Baru. Depok: Universitas Indonesia.
Ginandjar Kartasasmita. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan
Pemerataan. Jakarta: Cides.
Jamil Gunawan, dkk. 2004. Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal. Jakarta: LP3ES.
Mansour Fakih. 2013. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Padmo Wahyono. 1989. Pembangunan Hukum di Indonesia. Jakarta: Hill Co.
Ridwan HR.2007. Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Ridwan HR.___. Hukum Administrasi.. Jakarta: op cit.
Internet:
http://herius.wordpress.com/tambang-rakyat-dan-hak-hak-masyarakat-lokal-kondisi-terkini-
dan-rancangan-solusi/
http://opac.geotek.lipi.go.id/index.php?p=show_detail&id=478
http://sophianirmalida.blogspot.com/2012/02/aktivitas-transaksi-jual-beli-intan-di.html
http://muhammadmarcohidayat.wordpress.com/2009/04/23/penambangan-intan-di-
kalimantan-selatan/