Ta`liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal -...
Transcript of Ta`liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal -...
PROLOG
Ta`liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal1
Oleh Abdul Moqsith Ghazali
[Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta]
Pengantar
Salah satu ilmu keislaman yang paling mudah beradaptasi
dengan lingkungan intelektual baru adalah ilmu fiqh. Fiqh tak pernah
kehabisan argumen untuk merespons problem-problem kemanusiaan
modern dan kontemporer. Ini, salah satunya, karena sejak awal fiqh tak
hanya bermain pada ranah ibadah. Bahkan, fiqh lebih banyak bergerak
di tataran mu’amalah, mulai dari urusan keluarga hingga soal politik
negara. Fiqh juga berbicara tentang soal-soal ekonomi; mulai dari soal
zakat hingga soal mudharabah dan murabahah. Fiqh pun tak hanya
berbicara mengenai etika pergaulan sesama umat Islam, tapi juga
bercakap mengenai etika persahabatan dengan non-Muslim.
Pendeknya, fiqh berbicara mulai dari dari soal privat sampai pada soal
publik.
Berbeda dengan mainstream ilmu kalam yang lebih banyak
berbicara tentang Allah, maka fiqh justru berbicara tentang manusia.
Dalam fiqh, percakapan tentang manusia lebih dominan ketimbang
percakapan tentang Allah. Bahkan, sekiranya soal ketuhanan turut
dipercakapkan, maka selalu saja itu dalam kaitannya dengan perkara
kemanusiaaan. Jika dalam ilmu kalam, sifat dan perbuatan Allah
merupakan obyek bahasan, maka dalam ilmu fiqh justru perbuatan
manusia yang menjadi tema bahasan. Namun, manusia yang banyak
dibahas fiqh adalah manusia yang berakal dan baligh (mukallaf). Sebab,
dalam ilmu fiqh, manusia mukallaf bukan hanya memiliki hak
melainkan juga mempunyai kewajiban. Jika pun manusia tak mukallaf
dibicarakan, maka itu terkait dengan haknya sebagai manusia karena
1 Artikel ini adalah Prolog pada buku “Fiqh Sosial: Masa Depan Fiqh Indonesia”
karya bersama Umdah el Baroroh & Tutik Nurul Jannah, Pati: PUSAT FISI IPMAFA, 2016.
Abdul Moqsith Ghazali vii
Ta’liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal
mereka memang tidak memiliki kewajiban. Dalam istilah ushul fiqh,
orang tak mukallaf itu tidak memiliki ahliyyah al-ada’.
Karena manusia berwatak dinamis, maka fiqh pun bersifat
dinamis dan elastis. Kini fiqh terus mengalami pembaharuan demi
pembaharuan. Ini karena ahli fiqh sadar bahwa problem masyarakat
modern tak selalu bisa dipecahkan dengan menggunakan solusi fiqh
lama. Sebagian ulama menyuguhkan “fiqh baru” sebagai respons dan
jawaban terhadap problem-problem masyarakat modern. Lalu muncul,
fiqh sosial oleh KH. Sahal Mahfudh, fiqh prioritas (fiqh al-awlawiyyat)
oleh Yusuf al-Qaradhawi, fiqh minoritas (fiqh al-aqalliyat) oleh Thaha
Jabir Alwani, fiqh pemberdayaan oleh KH. Masdar Farid Mas’udi, fiqh
perempuan oleh KH. Husein Muhammad, dan lain-lain.
Dalam konteks pembaharuan fiqh di Indonesia, nama Kiai Sahal
tak bisa begitu saja disejajarkan dengan para pembaharu fiqh lain. Kiai
Sahal memiliki penguasaan yang mendalam terhadap persoalan furu`
(cabang) dan ushul (pokok). Ia mengerti fiqh dan menguasai ushul fiqh,
satu kecakapan intelektual yang jarang dimiliki para pembaharu fiqh
lain. Kecakapannya dibuktikan dalam bentuk karya ilmiah. Ia menulis
kitab-kitab fiqh, dan memberi syarah kitab-kitab ushul fiqh. Karyanya
di bidang fiqh cukup banyak, di antaranya al-Tsamarat al-Hajiniyah fi
Ishthilah al-Fuqaha’, Intifakh al-Wadajain Fi Ikhtilaf `Ulama Hajin.
Sementara karyanya di bidang ushul fiqh adalah al-Bayan al-Mulamma`
`an Alfazh al-Luma` dan Thariqah al-Hushul `ala Ghayah al-Wushul.
Dengan kecakapan intelektual itu, dalam menyuarakan fiqh sosial, Kiai
Sahal tak hanya mengeluarkan pendapat fiqh terkait soal-soal
kemasyarakatan, melainkan juga menyediakan kerangka metodologi-
ushul fiqhnya.
Dengan demikian, fiqh sosial bukan hanya terkait dengan fiqh
melainkan juga dengan ushul fiqh. Ketika membolehkan lokalisasi
pelacuran, Kiai Sahal misalnya berdiri di atas fondasi qawaid fiqhiyyah
dan qawaid ushuliyah. Bagi Kiai Sahal, kemaksiatan tak bisa ditumpas
habis. Seperti halnya keniscayaan terang dan gelap, maka begitu juga
niscaya; ada taat dan ada maksiat. Yang bisa dilakukan para pemangku
kebijakan adalah mengendalikan dan meminimalkan kemaksiatan.
Untuk tujuan itu, dosis maslahat dan mafsadat perlu ditimbang secara
cermat. Jika pun ada kemafsadatan ganda, maka berdasarkan kaidah
Abdul Moqsith Ghazali vii
Ta’liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal
fiqh, mafsadat yang lebih ringanlah yang harus dipilih. Bunyi kaidah
fiqh, “idza ta`aradha mafsadatani ru`iya a`dhamuhuma dhararan bi
irtikabi akhaffihima”. Membiarkan pelacuran bergerak secara gelap dan
bebas di masyarakat jelas lebih berbahaya ketimbang melokalisirnya
dalam satu area yang terbatas.
Karena itu, jika ditelusuri, sesungguhnya tak ada pemikiran fiqh
Kiai Sahal yang tak bisa diurai dan dijelaskan dari sudut nalar (ushul)
fiqh. Karena itu, pengantar buku ini lebih meruapakan ta`liqat singkat
atas kerangka metodologis fiqh sosial yang pernah ditawarkan Kiai
Sahal. Semoga bermanfaat.
Metodologi Fiqh Sosial
Ketika menjelaskan fiqh sosial, Kiai Sahal menyuguhkan langkah-
langkah akademis sebagai berikut. Pertama, interpretasi teks-teks fiqh
secara kontekstual. Ini menunjukkan adanya keberpihakan Kiai Sahal
terhadap khazanah fiqh Islam klasik; bahwa tak seluruh produk fiqh
klasik layak masuk “tong sampah”. Bahkan, ada beberapa bagian dalam
fiqh klasik yang bisa diambil sebagai jawaban terhadap persoalan-
persoalan fiqh kontemporer. Menurut Kiai Sahal, sekiranya ada
beberapa bagian dari fiqh klasik yang tampak tak relevan, maka kita
bisa mengambil substansinya untuk dikontekstualisasikan dengan
kenyataan hidup sekarang.
Untuk kepentingan kontektualisasi ini, Kiai Sahal dan beberapa
kiai yang berkumpul di PP Watucongol Muntilan Magelang, 15-17
Desember 1988 menyepakati bahwa pemahaman kitab kuning secara
kontekstual adalah: [1]. Suatu proses pemahaman kitab kuning yang
mengacu pada kenyataan syahshiyah maupun ijtima`iyyah yang
melatar-belakangi kehadirannya; [2]. Upaya memahami kitab kuning
yang tidak terbatas pada makna-makna harafiah, tetapi mampu
menyentuh natijah-natijah pemikiran yang menjiwainya; [3]. Proses
belajar mengajar kitab kuning yang mengacu pada kegunaan praktis
dalam kehidupan masyarakat. Dengan mengacu pada rumusan
Watucongol ini, maka dalam memahami kitab kuning para kiai
pesantren sesungguhnya menghendaki pentingnya menangkap esensi
ketimbang bunyi harafiah teks kitab kuning an sich.
Abdul Moqsith Ghazali vii
Ta’liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal
Kedua, perubahan pola bermadzhab dari bermadzhab secara
tekstual ke bermadzhab secara metodologis. Perubahan pola
bermadzhab ini punyak dampak besar pada hitam putihnya produk-
produk fiqh Islam. Dengan pernyataan ini, bisa saja seseorang setia
sampai mati pada mazhab Syafii. Jika tak ditemukan qawl dan wajh
dalam buku-buku fiqh Syafii atau Syafiiyyah, maka seseorang bisa
beralih dari bermadzhab secara qawli ke bermadzhab secara manhaji.
Itu sebabnya, Kiai Sahal sebagai pengikut fiqh Syafii tak tiba-tiba
meresepsi konsep-konsep ushul fiqh dari mazhab lain. Untuk
mendinamisasi fiqh Islam, Kiai Sahal misalnya lebih memilih
memaksimalkan penggunaan qiyas dengan melakukan perluasan
cakupan masalik al-`illah.
Namun, jika elaborasi ushul fiqh Syafii tak memadai, maka Kiai
Sahal pun tak ragu untuk mengambil konsep-konsep ushul fiqh dari
mazhab lain. Itu sebabnya, pemabahasan maslahat dan maqashid al-
syariah Kiai Sahal tak berhenti pada buku-buku al-Juwaini dan al-
Ghazali. Kiai Sahal pun mengutip konsep maslahat dan maqashid al-
syariah dari madzhab lain seperti al-Thufi, al-Syathibi dan `Allal al-Fasi.
Dalam beberapa kasus, istihsan dan istishhab pun tak ditampik jika
diyakini itu akan memberikan dampak kemaslahatan dan keadilan.
Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran pokok (ushul) dan mana
yang cabang (furu’); mana ajaran yang tetap tak berubah (al-tsawabit)
dan mana ajaran yang potensial berubah karena perubahan situasi dan
kondisi (al-mutahawwilat). Dengan pernyataannya ini, Kiai Sahal ingin
membedakan antara karakter dasar fiqh sebagai produk pemahaman
para ulama yang relatif-kontekstual dan karakter syariat sebagai
panduan wahyu yang kedap atas kritik dan perubahan.
Rukun Islam yang lima itu tentu merupakan ajaran pokok dalam
Islam. Tapi, jangan lupa, al-Qur’an termasuk hadits tak selalu lengkap
mengatur mekanisme teknis pelaksanaan rukun Islam yang lima
tersebut. Karena itu, terbuka kemungkinan, fiqh turut berperan serta
dalam menstrukturkan dan memformulasikan detail syariah. Ketika
fiqh sudah bercampur dengan syariah, maka Kiai Sahal meminta agar
para pelajar Islam tetap bisa membedakan mana syariah dan mana
tafsir atas syariah (fiqh).
Abdul Moqsith Ghazali vii
Ta’liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal
Keempat, menghadirkan fiqh sebagai etika sosial, bukan hukum
positif negara. Diktum ini punya dampak yang tidak sederhana.
Pernyataan ini bisa bermakna bahwa Kiai Sahal menolak formalisasi
fiqh yang belakangan diperjuangkan sejumlah kalangan. Padahal,
sebagaimana diketahui, sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi,
Indonesia banyak memproduksi undang-undang atau kebijakan publik
yang diadopsi dari fiqh Islam. Di era Orde Baru, Presiden Soeharto
misalnya mengeluarkan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang mencakup Hukum Perkawinan, Hukum
Kewarisan, dan Hukum Perwakafan.
Jika dibaca melalui pasal dan ayat dalam KHI tersebut, maka
dengan cepat akan diketahui bahwa KHI sebenarnya merupakan copy-
paste dari kitab-kitab fiqh bermadzhab Syafii. Menarik, sebelum
diformalkan menjadi Inpres, team pelaksana KHI mewawancarai
sejumlah tokoh termasuk Kiai Sahal untuk dimintai tanggapan dan
masukan. Namun, saya tak berhasil menemukan transkip wawancara
Kiai Sahal tersebut. Jika transkip itu ditemukan, maka kita akan tahu
apakah Kiai Sahal termasuk ulama yang menyetujui formalisasi fiqh
dalam bentuk KHI ini atau tidak. Sikap Kiai Sahal terhadap KHI itu akan
menjadi pijakan awal, sejak kapan Kiai Sahal menolak fiqh sebagai
hukum positif negara. Jika Kiai Sahal menolak KHI, itu berarti idenya
untuk menolak fiqh sebagai hukum positif negara sudah terjadi sejak
mula.
Sebaliknya, sekiranya Kiai Sahal menerima KHI, maka
kemungkinannya ada dua. [1]. Ide Kiai Sahal menolak formalisasi-
positivisasi fiqh tersebut baru muncul belakangan, sekurang-
kurangnya pasca dicetuskannya KHI. [2]. Penolakan Kiai Sahal
terhadap positivisasi fiqh tak bersifat total dan menyeluruh. Bisa saja
bagi Kiai Sahal, ada bagian dari fiqh yang penting diformalisasikan.
Saya menduga, kemungkinan kedua ini lebih sesuai dengan kenyataan.
Sebab, ketika pemerintah hendak menaikkan status KHI dari Inpres
menjadi UU, nama Kiai Sahal tercantum sebagai team inti bersama
dengan Bustanul Arifin, Abdul Ghani Abdullah, Ichtijanto, Taufik, Ismail
Sunny, Said Agil Husein al-Munawwar untuk menyusun RUU HTPA
Bidang Perkawinan.
Abdul Moqsith Ghazali vii
Ta’liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal
Saya meyakini, orang seperti Kiai Sahal yang seluruh bangunan
pemikirannya bertumpu pada dalil kemaslahatan tak mungkin
menyerahkan soal nikah, talak, dan rujuk pada kearifan lokal
masyarakat. Sebab, dalam seting sosial masyarakat Indonesia, ada
alarm bahaya yang akan mengancam sekiranya soal pernikahan tak
diformalisasikan dalam bentuk undang-undang. Pengelolaan nikah
talak dan rujuk yang diserahkan pada tangan swasta berdasarkan
kitab-kitab fiqh yang plural bukan hanya berdampak pada tak adanya
kepastian hukum melainkan juga bisa berakibat pada terciptanya
ketidakadilan terutama terhadap perempuan.
Jika argumen Kiai Sahal menerima formalisasi-positivisasi fiqh
perkawinan bisa diterima, maka yang tersisa adalah bagaimana sikap
Kiai Sahal terhadap UU bahkan Perda yang terus memberikan privilese
kepada umat Islam. Misalnya, UU No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat, UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, UU No. 3
tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1089 tentang
Peradilan Agama, UU No. 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji, UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah, UU
No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Namun, hingga akhir
hayatnya, kita tak mendengar reaksi signifikan dan resistensi terus
terang Kiai Sahal terhadap kecenderungan fiqhisasi dan syariatisasi
sejumlah perundang-undangan dan kebijakan publik di Indonesia
tersebut.
Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama
dalam masalah budaya dan sosial. Ini mirip dengan yang dikemukakan
para ulama lain tentang pentingnya menangkap argumen dan hikmah
dibalik pengundangan ketentuan syariah. Namun, tak semua hukum
Islam menyertakan argumen. Pada bidang-bidang terkait ibadah
mahdhah seperti shalat-puasa-haji, Allah SWT--baik melalui al-Qur’an
maupun penjelasan Nabi-Nya--tak menjelaskan alasan rasional yang
menopang ritual ibadah tersebut. Inilah yang dimaksud para ulama
ushul fiqh sebagai ahkam lam yasta’tsir Allah bi `ilmi `ilaliha.
Sadar akan hal itu, Kiai Sahal lebih mengarahkan pengenalan
metodologi pemikiran filosofis itu pada ranah budaya dan sosial. Sebab,
umum diketahui bahwa syariah yang terkait dengan aspek budaya dan
sosial (muamalah) hampir selalu disertakan di dalamnya ratio legisnya,
Abdul Moqsith Ghazali vii
Ta’liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal
illat al-hukmnya. Para ahli ushul fiqh menyebutnya sebagai ahkam
ista’tsara Allah bi `ilmi `ilaliha. Bahkan, sekiranya Syari` tak
menjelaskan ratio legis satu hukum syariah di bidang muamalah, maka
para mujtahid pun diberi otoritas untuk menentukan dan menetapkan
`illat al-hukmnya melalui proses masalik al-`illat. Illat yang dibuat para
ulama (`illat mustanbathah) itu tak sama kedudukannya dengan illat
yang ditetapkan berdasarkan nash al-Qur’an dan Hadits (`illat
manshushah). Jika `illat manshushah tak terbantah, maka tak demikian
dengan `illat mustanbathah.
Dalam kaiatan itu, Kiai Sahal misalnya mempertanyakan ulang
“safar” (bepergian) yang dijadikan illat bolehnya seseorang meringkas
shalat (qashr al-shalat). Lalu ia mengajukan “masyaqqat” (payah dan
lelah) untuk dipertimbangkan sebagai apendiks ratio legis bagi
bolehnya seseorang mengambil dispensasi hukum ketika perjalanan
(rukhshah al-safar). Dengan pernyataannya ini, Kiai Sahal akan diktirik
orang-orang yang terlampau rigid dan terjebak dalam definisi
prosedural illat sebagai washfun zhahirun munasibun mundhabithun
(sifat yang jelas dan terukur).
Tentu Kiai Sahal tahu definisi illat di atas. Dia pun mengerti
perbedaan antara sabab, hikmah, dan illat. Hanya yang ingin ditegaskan
Kiai Sahal, dalam perumusan fiqh, para ulama tak boleh hanya
mempertimbangkan kesahihan rumusannya pada aspek kelengkapan
administrasi hukum dan keterpenuhan persyaratan teknis prosedural
semata. Menurut Kiai Sahal, perumusan fiqh itu bagaimanapun harus
dirujukkan secara terus menerus pada neraca keadilan yang menjadi
fondasi utama hukum Islam. Kerap dikatakan, “aynama wujida al`adl
fatsamma syar`u Allah” (dimana ada keadilan, maka di situ ada hukum
Tuhan). Dan jelas, fiqh yang tak disandarkan pada keadialan tak akan
memberikan efek kemaslahatan.
Penutup
Buku yang ditulis dua perempuan hebat ini cukup berhasil dalam
mengungkap genealogi dan epistemologi fiqh sosial Kiai Sahal. Buku ini
menelusuri Kiai Sahal hingga pada ceruk intelektual terdalamnya
ketika fase-fase awal pembentukan intelektual Kiai Sahal. Buku ini
berbicara Kiai Sahal sejak dari hulu hingga hilir. Dari situ, buku ini
Abdul Moqsith Ghazali vii
Ta’liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal
berhasil menjelaskan, darimana dan sejak kapan gagasan fiqh sosial itu
dicetuskan Kiai Sahal. Lalu buku ini menjelaskan metodologi fiqh sosial
yang dicanangkan Kiai Sahal.
Keberhasilan buku ini dalam mengungkap fiqh sosial Kiai Sahal
bisa dipahami karena ia ditulis oleh orang yang menyaksikan sepak
terjang Kiai Sahal sejak dari ruang privat keluarga hingga ruang publik
seperti pesantren dan organisasi-organisasi tempat Kiai Sahal
berkiprah. Sebagai menantu, Tutik Nurul Jannah memiliki kemewahan
waktu karena ia bisa mengkonfirmasi segala ide Kiai Sahal secara
langsung, di mana saja dan kapan saja. Umdatul Baroroh sebagai
perempuan yang lahir dan tumbuh di Kajen, sudah menyaksikan Kiai
Sahal sejak belia. Keduanya tak hanya mengetahui Kiai Sahal melalui
karya-karya intelektualnya melainkan juga melalui kiprah-kiprah
sosialnya yang banyak tak terliput media dan tak tercover dalam riset-
riset ilmiah.
Tentu yang utama, buku ini menjadi sangat istimewa karena
ditulis oleh orang yang mengerti ilmu fiqh dan ushul fiqh; dua ilmu
yang telah menjadi trademark Kiai Sahal sejak lama. Saya berharap,
buku ini akan memberikan manfaat buat sebesarnya-besar umat.
Selamat membaca!
Ciputat, 9 Januari 2016.