Ta`liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal -...

8
PROLOG Ta`liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal 1 Oleh Abdul Moqsith Ghazali [Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta] Pengantar Salah satu ilmu keislaman yang paling mudah beradaptasi dengan lingkungan intelektual baru adalah ilmu fiqh. Fiqh tak pernah kehabisan argumen untuk merespons problem-problem kemanusiaan modern dan kontemporer. Ini, salah satunya, karena sejak awal fiqh tak hanya bermain pada ranah ibadah. Bahkan, fiqh lebih banyak bergerak di tataran mu’amalah, mulai dari urusan keluarga hingga soal politik negara. Fiqh juga berbicara tentang soal-soal ekonomi; mulai dari soal zakat hingga soal mudharabah dan murabahah. Fiqh pun tak hanya berbicara mengenai etika pergaulan sesama umat Islam, tapi juga bercakap mengenai etika persahabatan dengan non-Muslim. Pendeknya, fiqh berbicara mulai dari dari soal privat sampai pada soal publik. Berbeda dengan mainstream ilmu kalam yang lebih banyak berbicara tentang Allah, maka fiqh justru berbicara tentang manusia. Dalam fiqh, percakapan tentang manusia lebih dominan ketimbang percakapan tentang Allah. Bahkan, sekiranya soal ketuhanan turut dipercakapkan, maka selalu saja itu dalam kaitannya dengan perkara kemanusiaaan. Jika dalam ilmu kalam, sifat dan perbuatan Allah merupakan obyek bahasan, maka dalam ilmu fiqh justru perbuatan manusia yang menjadi tema bahasan. Namun, manusia yang banyak dibahas fiqh adalah manusia yang berakal dan baligh (mukallaf). Sebab, dalam ilmu fiqh, manusia mukallaf bukan hanya memiliki hak melainkan juga mempunyai kewajiban. Jika pun manusia tak mukallaf dibicarakan, maka itu terkait dengan haknya sebagai manusia karena 1 Artikel ini adalah Prolog pada buku “Fiqh Sosial: Masa Depan Fiqh Indonesia” karya bersama Umdah el Baroroh & Tutik Nurul Jannah, Pati: PUSAT FISI IPMAFA, 2016.

Transcript of Ta`liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal -...

Page 1: Ta`liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35811/2/TA'LIQAT... · tafsir atas syariah (fiqh). ... sosial (muamalah)

PROLOG

Ta`liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal1

Oleh Abdul Moqsith Ghazali

[Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta]

Pengantar

Salah satu ilmu keislaman yang paling mudah beradaptasi

dengan lingkungan intelektual baru adalah ilmu fiqh. Fiqh tak pernah

kehabisan argumen untuk merespons problem-problem kemanusiaan

modern dan kontemporer. Ini, salah satunya, karena sejak awal fiqh tak

hanya bermain pada ranah ibadah. Bahkan, fiqh lebih banyak bergerak

di tataran mu’amalah, mulai dari urusan keluarga hingga soal politik

negara. Fiqh juga berbicara tentang soal-soal ekonomi; mulai dari soal

zakat hingga soal mudharabah dan murabahah. Fiqh pun tak hanya

berbicara mengenai etika pergaulan sesama umat Islam, tapi juga

bercakap mengenai etika persahabatan dengan non-Muslim.

Pendeknya, fiqh berbicara mulai dari dari soal privat sampai pada soal

publik.

Berbeda dengan mainstream ilmu kalam yang lebih banyak

berbicara tentang Allah, maka fiqh justru berbicara tentang manusia.

Dalam fiqh, percakapan tentang manusia lebih dominan ketimbang

percakapan tentang Allah. Bahkan, sekiranya soal ketuhanan turut

dipercakapkan, maka selalu saja itu dalam kaitannya dengan perkara

kemanusiaaan. Jika dalam ilmu kalam, sifat dan perbuatan Allah

merupakan obyek bahasan, maka dalam ilmu fiqh justru perbuatan

manusia yang menjadi tema bahasan. Namun, manusia yang banyak

dibahas fiqh adalah manusia yang berakal dan baligh (mukallaf). Sebab,

dalam ilmu fiqh, manusia mukallaf bukan hanya memiliki hak

melainkan juga mempunyai kewajiban. Jika pun manusia tak mukallaf

dibicarakan, maka itu terkait dengan haknya sebagai manusia karena

1 Artikel ini adalah Prolog pada buku “Fiqh Sosial: Masa Depan Fiqh Indonesia”

karya bersama Umdah el Baroroh & Tutik Nurul Jannah, Pati: PUSAT FISI IPMAFA, 2016.

Page 2: Ta`liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35811/2/TA'LIQAT... · tafsir atas syariah (fiqh). ... sosial (muamalah)

Abdul Moqsith Ghazali vii

Ta’liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal

mereka memang tidak memiliki kewajiban. Dalam istilah ushul fiqh,

orang tak mukallaf itu tidak memiliki ahliyyah al-ada’.

Karena manusia berwatak dinamis, maka fiqh pun bersifat

dinamis dan elastis. Kini fiqh terus mengalami pembaharuan demi

pembaharuan. Ini karena ahli fiqh sadar bahwa problem masyarakat

modern tak selalu bisa dipecahkan dengan menggunakan solusi fiqh

lama. Sebagian ulama menyuguhkan “fiqh baru” sebagai respons dan

jawaban terhadap problem-problem masyarakat modern. Lalu muncul,

fiqh sosial oleh KH. Sahal Mahfudh, fiqh prioritas (fiqh al-awlawiyyat)

oleh Yusuf al-Qaradhawi, fiqh minoritas (fiqh al-aqalliyat) oleh Thaha

Jabir Alwani, fiqh pemberdayaan oleh KH. Masdar Farid Mas’udi, fiqh

perempuan oleh KH. Husein Muhammad, dan lain-lain.

Dalam konteks pembaharuan fiqh di Indonesia, nama Kiai Sahal

tak bisa begitu saja disejajarkan dengan para pembaharu fiqh lain. Kiai

Sahal memiliki penguasaan yang mendalam terhadap persoalan furu`

(cabang) dan ushul (pokok). Ia mengerti fiqh dan menguasai ushul fiqh,

satu kecakapan intelektual yang jarang dimiliki para pembaharu fiqh

lain. Kecakapannya dibuktikan dalam bentuk karya ilmiah. Ia menulis

kitab-kitab fiqh, dan memberi syarah kitab-kitab ushul fiqh. Karyanya

di bidang fiqh cukup banyak, di antaranya al-Tsamarat al-Hajiniyah fi

Ishthilah al-Fuqaha’, Intifakh al-Wadajain Fi Ikhtilaf `Ulama Hajin.

Sementara karyanya di bidang ushul fiqh adalah al-Bayan al-Mulamma`

`an Alfazh al-Luma` dan Thariqah al-Hushul `ala Ghayah al-Wushul.

Dengan kecakapan intelektual itu, dalam menyuarakan fiqh sosial, Kiai

Sahal tak hanya mengeluarkan pendapat fiqh terkait soal-soal

kemasyarakatan, melainkan juga menyediakan kerangka metodologi-

ushul fiqhnya.

Dengan demikian, fiqh sosial bukan hanya terkait dengan fiqh

melainkan juga dengan ushul fiqh. Ketika membolehkan lokalisasi

pelacuran, Kiai Sahal misalnya berdiri di atas fondasi qawaid fiqhiyyah

dan qawaid ushuliyah. Bagi Kiai Sahal, kemaksiatan tak bisa ditumpas

habis. Seperti halnya keniscayaan terang dan gelap, maka begitu juga

niscaya; ada taat dan ada maksiat. Yang bisa dilakukan para pemangku

kebijakan adalah mengendalikan dan meminimalkan kemaksiatan.

Untuk tujuan itu, dosis maslahat dan mafsadat perlu ditimbang secara

cermat. Jika pun ada kemafsadatan ganda, maka berdasarkan kaidah

Page 3: Ta`liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35811/2/TA'LIQAT... · tafsir atas syariah (fiqh). ... sosial (muamalah)

Abdul Moqsith Ghazali vii

Ta’liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal

fiqh, mafsadat yang lebih ringanlah yang harus dipilih. Bunyi kaidah

fiqh, “idza ta`aradha mafsadatani ru`iya a`dhamuhuma dhararan bi

irtikabi akhaffihima”. Membiarkan pelacuran bergerak secara gelap dan

bebas di masyarakat jelas lebih berbahaya ketimbang melokalisirnya

dalam satu area yang terbatas.

Karena itu, jika ditelusuri, sesungguhnya tak ada pemikiran fiqh

Kiai Sahal yang tak bisa diurai dan dijelaskan dari sudut nalar (ushul)

fiqh. Karena itu, pengantar buku ini lebih meruapakan ta`liqat singkat

atas kerangka metodologis fiqh sosial yang pernah ditawarkan Kiai

Sahal. Semoga bermanfaat.

Metodologi Fiqh Sosial

Ketika menjelaskan fiqh sosial, Kiai Sahal menyuguhkan langkah-

langkah akademis sebagai berikut. Pertama, interpretasi teks-teks fiqh

secara kontekstual. Ini menunjukkan adanya keberpihakan Kiai Sahal

terhadap khazanah fiqh Islam klasik; bahwa tak seluruh produk fiqh

klasik layak masuk “tong sampah”. Bahkan, ada beberapa bagian dalam

fiqh klasik yang bisa diambil sebagai jawaban terhadap persoalan-

persoalan fiqh kontemporer. Menurut Kiai Sahal, sekiranya ada

beberapa bagian dari fiqh klasik yang tampak tak relevan, maka kita

bisa mengambil substansinya untuk dikontekstualisasikan dengan

kenyataan hidup sekarang.

Untuk kepentingan kontektualisasi ini, Kiai Sahal dan beberapa

kiai yang berkumpul di PP Watucongol Muntilan Magelang, 15-17

Desember 1988 menyepakati bahwa pemahaman kitab kuning secara

kontekstual adalah: [1]. Suatu proses pemahaman kitab kuning yang

mengacu pada kenyataan syahshiyah maupun ijtima`iyyah yang

melatar-belakangi kehadirannya; [2]. Upaya memahami kitab kuning

yang tidak terbatas pada makna-makna harafiah, tetapi mampu

menyentuh natijah-natijah pemikiran yang menjiwainya; [3]. Proses

belajar mengajar kitab kuning yang mengacu pada kegunaan praktis

dalam kehidupan masyarakat. Dengan mengacu pada rumusan

Watucongol ini, maka dalam memahami kitab kuning para kiai

pesantren sesungguhnya menghendaki pentingnya menangkap esensi

ketimbang bunyi harafiah teks kitab kuning an sich.

Page 4: Ta`liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35811/2/TA'LIQAT... · tafsir atas syariah (fiqh). ... sosial (muamalah)

Abdul Moqsith Ghazali vii

Ta’liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal

Kedua, perubahan pola bermadzhab dari bermadzhab secara

tekstual ke bermadzhab secara metodologis. Perubahan pola

bermadzhab ini punyak dampak besar pada hitam putihnya produk-

produk fiqh Islam. Dengan pernyataan ini, bisa saja seseorang setia

sampai mati pada mazhab Syafii. Jika tak ditemukan qawl dan wajh

dalam buku-buku fiqh Syafii atau Syafiiyyah, maka seseorang bisa

beralih dari bermadzhab secara qawli ke bermadzhab secara manhaji.

Itu sebabnya, Kiai Sahal sebagai pengikut fiqh Syafii tak tiba-tiba

meresepsi konsep-konsep ushul fiqh dari mazhab lain. Untuk

mendinamisasi fiqh Islam, Kiai Sahal misalnya lebih memilih

memaksimalkan penggunaan qiyas dengan melakukan perluasan

cakupan masalik al-`illah.

Namun, jika elaborasi ushul fiqh Syafii tak memadai, maka Kiai

Sahal pun tak ragu untuk mengambil konsep-konsep ushul fiqh dari

mazhab lain. Itu sebabnya, pemabahasan maslahat dan maqashid al-

syariah Kiai Sahal tak berhenti pada buku-buku al-Juwaini dan al-

Ghazali. Kiai Sahal pun mengutip konsep maslahat dan maqashid al-

syariah dari madzhab lain seperti al-Thufi, al-Syathibi dan `Allal al-Fasi.

Dalam beberapa kasus, istihsan dan istishhab pun tak ditampik jika

diyakini itu akan memberikan dampak kemaslahatan dan keadilan.

Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran pokok (ushul) dan mana

yang cabang (furu’); mana ajaran yang tetap tak berubah (al-tsawabit)

dan mana ajaran yang potensial berubah karena perubahan situasi dan

kondisi (al-mutahawwilat). Dengan pernyataannya ini, Kiai Sahal ingin

membedakan antara karakter dasar fiqh sebagai produk pemahaman

para ulama yang relatif-kontekstual dan karakter syariat sebagai

panduan wahyu yang kedap atas kritik dan perubahan.

Rukun Islam yang lima itu tentu merupakan ajaran pokok dalam

Islam. Tapi, jangan lupa, al-Qur’an termasuk hadits tak selalu lengkap

mengatur mekanisme teknis pelaksanaan rukun Islam yang lima

tersebut. Karena itu, terbuka kemungkinan, fiqh turut berperan serta

dalam menstrukturkan dan memformulasikan detail syariah. Ketika

fiqh sudah bercampur dengan syariah, maka Kiai Sahal meminta agar

para pelajar Islam tetap bisa membedakan mana syariah dan mana

tafsir atas syariah (fiqh).

Page 5: Ta`liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35811/2/TA'LIQAT... · tafsir atas syariah (fiqh). ... sosial (muamalah)

Abdul Moqsith Ghazali vii

Ta’liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal

Keempat, menghadirkan fiqh sebagai etika sosial, bukan hukum

positif negara. Diktum ini punya dampak yang tidak sederhana.

Pernyataan ini bisa bermakna bahwa Kiai Sahal menolak formalisasi

fiqh yang belakangan diperjuangkan sejumlah kalangan. Padahal,

sebagaimana diketahui, sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi,

Indonesia banyak memproduksi undang-undang atau kebijakan publik

yang diadopsi dari fiqh Islam. Di era Orde Baru, Presiden Soeharto

misalnya mengeluarkan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islam (KHI) yang mencakup Hukum Perkawinan, Hukum

Kewarisan, dan Hukum Perwakafan.

Jika dibaca melalui pasal dan ayat dalam KHI tersebut, maka

dengan cepat akan diketahui bahwa KHI sebenarnya merupakan copy-

paste dari kitab-kitab fiqh bermadzhab Syafii. Menarik, sebelum

diformalkan menjadi Inpres, team pelaksana KHI mewawancarai

sejumlah tokoh termasuk Kiai Sahal untuk dimintai tanggapan dan

masukan. Namun, saya tak berhasil menemukan transkip wawancara

Kiai Sahal tersebut. Jika transkip itu ditemukan, maka kita akan tahu

apakah Kiai Sahal termasuk ulama yang menyetujui formalisasi fiqh

dalam bentuk KHI ini atau tidak. Sikap Kiai Sahal terhadap KHI itu akan

menjadi pijakan awal, sejak kapan Kiai Sahal menolak fiqh sebagai

hukum positif negara. Jika Kiai Sahal menolak KHI, itu berarti idenya

untuk menolak fiqh sebagai hukum positif negara sudah terjadi sejak

mula.

Sebaliknya, sekiranya Kiai Sahal menerima KHI, maka

kemungkinannya ada dua. [1]. Ide Kiai Sahal menolak formalisasi-

positivisasi fiqh tersebut baru muncul belakangan, sekurang-

kurangnya pasca dicetuskannya KHI. [2]. Penolakan Kiai Sahal

terhadap positivisasi fiqh tak bersifat total dan menyeluruh. Bisa saja

bagi Kiai Sahal, ada bagian dari fiqh yang penting diformalisasikan.

Saya menduga, kemungkinan kedua ini lebih sesuai dengan kenyataan.

Sebab, ketika pemerintah hendak menaikkan status KHI dari Inpres

menjadi UU, nama Kiai Sahal tercantum sebagai team inti bersama

dengan Bustanul Arifin, Abdul Ghani Abdullah, Ichtijanto, Taufik, Ismail

Sunny, Said Agil Husein al-Munawwar untuk menyusun RUU HTPA

Bidang Perkawinan.

Page 6: Ta`liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35811/2/TA'LIQAT... · tafsir atas syariah (fiqh). ... sosial (muamalah)

Abdul Moqsith Ghazali vii

Ta’liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal

Saya meyakini, orang seperti Kiai Sahal yang seluruh bangunan

pemikirannya bertumpu pada dalil kemaslahatan tak mungkin

menyerahkan soal nikah, talak, dan rujuk pada kearifan lokal

masyarakat. Sebab, dalam seting sosial masyarakat Indonesia, ada

alarm bahaya yang akan mengancam sekiranya soal pernikahan tak

diformalisasikan dalam bentuk undang-undang. Pengelolaan nikah

talak dan rujuk yang diserahkan pada tangan swasta berdasarkan

kitab-kitab fiqh yang plural bukan hanya berdampak pada tak adanya

kepastian hukum melainkan juga bisa berakibat pada terciptanya

ketidakadilan terutama terhadap perempuan.

Jika argumen Kiai Sahal menerima formalisasi-positivisasi fiqh

perkawinan bisa diterima, maka yang tersisa adalah bagaimana sikap

Kiai Sahal terhadap UU bahkan Perda yang terus memberikan privilese

kepada umat Islam. Misalnya, UU No. 38 Tahun 1999 tentang

Pengelolaan Zakat, UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, UU No. 3

tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1089 tentang

Peradilan Agama, UU No. 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan

Ibadah Haji, UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah, UU

No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Namun, hingga akhir

hayatnya, kita tak mendengar reaksi signifikan dan resistensi terus

terang Kiai Sahal terhadap kecenderungan fiqhisasi dan syariatisasi

sejumlah perundang-undangan dan kebijakan publik di Indonesia

tersebut.

Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama

dalam masalah budaya dan sosial. Ini mirip dengan yang dikemukakan

para ulama lain tentang pentingnya menangkap argumen dan hikmah

dibalik pengundangan ketentuan syariah. Namun, tak semua hukum

Islam menyertakan argumen. Pada bidang-bidang terkait ibadah

mahdhah seperti shalat-puasa-haji, Allah SWT--baik melalui al-Qur’an

maupun penjelasan Nabi-Nya--tak menjelaskan alasan rasional yang

menopang ritual ibadah tersebut. Inilah yang dimaksud para ulama

ushul fiqh sebagai ahkam lam yasta’tsir Allah bi `ilmi `ilaliha.

Sadar akan hal itu, Kiai Sahal lebih mengarahkan pengenalan

metodologi pemikiran filosofis itu pada ranah budaya dan sosial. Sebab,

umum diketahui bahwa syariah yang terkait dengan aspek budaya dan

sosial (muamalah) hampir selalu disertakan di dalamnya ratio legisnya,

Page 7: Ta`liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35811/2/TA'LIQAT... · tafsir atas syariah (fiqh). ... sosial (muamalah)

Abdul Moqsith Ghazali vii

Ta’liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal

illat al-hukmnya. Para ahli ushul fiqh menyebutnya sebagai ahkam

ista’tsara Allah bi `ilmi `ilaliha. Bahkan, sekiranya Syari` tak

menjelaskan ratio legis satu hukum syariah di bidang muamalah, maka

para mujtahid pun diberi otoritas untuk menentukan dan menetapkan

`illat al-hukmnya melalui proses masalik al-`illat. Illat yang dibuat para

ulama (`illat mustanbathah) itu tak sama kedudukannya dengan illat

yang ditetapkan berdasarkan nash al-Qur’an dan Hadits (`illat

manshushah). Jika `illat manshushah tak terbantah, maka tak demikian

dengan `illat mustanbathah.

Dalam kaiatan itu, Kiai Sahal misalnya mempertanyakan ulang

“safar” (bepergian) yang dijadikan illat bolehnya seseorang meringkas

shalat (qashr al-shalat). Lalu ia mengajukan “masyaqqat” (payah dan

lelah) untuk dipertimbangkan sebagai apendiks ratio legis bagi

bolehnya seseorang mengambil dispensasi hukum ketika perjalanan

(rukhshah al-safar). Dengan pernyataannya ini, Kiai Sahal akan diktirik

orang-orang yang terlampau rigid dan terjebak dalam definisi

prosedural illat sebagai washfun zhahirun munasibun mundhabithun

(sifat yang jelas dan terukur).

Tentu Kiai Sahal tahu definisi illat di atas. Dia pun mengerti

perbedaan antara sabab, hikmah, dan illat. Hanya yang ingin ditegaskan

Kiai Sahal, dalam perumusan fiqh, para ulama tak boleh hanya

mempertimbangkan kesahihan rumusannya pada aspek kelengkapan

administrasi hukum dan keterpenuhan persyaratan teknis prosedural

semata. Menurut Kiai Sahal, perumusan fiqh itu bagaimanapun harus

dirujukkan secara terus menerus pada neraca keadilan yang menjadi

fondasi utama hukum Islam. Kerap dikatakan, “aynama wujida al`adl

fatsamma syar`u Allah” (dimana ada keadilan, maka di situ ada hukum

Tuhan). Dan jelas, fiqh yang tak disandarkan pada keadialan tak akan

memberikan efek kemaslahatan.

Penutup

Buku yang ditulis dua perempuan hebat ini cukup berhasil dalam

mengungkap genealogi dan epistemologi fiqh sosial Kiai Sahal. Buku ini

menelusuri Kiai Sahal hingga pada ceruk intelektual terdalamnya

ketika fase-fase awal pembentukan intelektual Kiai Sahal. Buku ini

berbicara Kiai Sahal sejak dari hulu hingga hilir. Dari situ, buku ini

Page 8: Ta`liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35811/2/TA'LIQAT... · tafsir atas syariah (fiqh). ... sosial (muamalah)

Abdul Moqsith Ghazali vii

Ta’liqat Atas Fiqh Sosial Kiai Sahal

berhasil menjelaskan, darimana dan sejak kapan gagasan fiqh sosial itu

dicetuskan Kiai Sahal. Lalu buku ini menjelaskan metodologi fiqh sosial

yang dicanangkan Kiai Sahal.

Keberhasilan buku ini dalam mengungkap fiqh sosial Kiai Sahal

bisa dipahami karena ia ditulis oleh orang yang menyaksikan sepak

terjang Kiai Sahal sejak dari ruang privat keluarga hingga ruang publik

seperti pesantren dan organisasi-organisasi tempat Kiai Sahal

berkiprah. Sebagai menantu, Tutik Nurul Jannah memiliki kemewahan

waktu karena ia bisa mengkonfirmasi segala ide Kiai Sahal secara

langsung, di mana saja dan kapan saja. Umdatul Baroroh sebagai

perempuan yang lahir dan tumbuh di Kajen, sudah menyaksikan Kiai

Sahal sejak belia. Keduanya tak hanya mengetahui Kiai Sahal melalui

karya-karya intelektualnya melainkan juga melalui kiprah-kiprah

sosialnya yang banyak tak terliput media dan tak tercover dalam riset-

riset ilmiah.

Tentu yang utama, buku ini menjadi sangat istimewa karena

ditulis oleh orang yang mengerti ilmu fiqh dan ushul fiqh; dua ilmu

yang telah menjadi trademark Kiai Sahal sejak lama. Saya berharap,

buku ini akan memberikan manfaat buat sebesarnya-besar umat.

Selamat membaca!

Ciputat, 9 Januari 2016.