Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah...

41
Pekan XI Takjub Simbolik: Beragama 31. Numinus dan Simbol-Simbolnya Filsafat berawal dengan ketakjuban. Inilah pandangan Plato yang terungkap dalam Theaetetus (CDP 155d) dan digemakan oleh banyak filsuf lain selama berabad-abad. Takjub dalam pengertian ini bukan sekadar bengong tertegun, melainkan penasaran terhadap sesuatu yang tak dikenal, yang menggiring kita untuk mencari makna yang mendasar di balik keragaman hayati kita, yang mendorong kita ke lubuk wawasan dan puncak pengetahuan yang selalu baru. Saya memilih mengantarkan anda kepada filsafat di matakuliah ini dengan tidak mengawalinya dengan ketakjuban, tetapi dengan lawanannya, kebebalan. Itu karena penahapan logis bagian-bagian dari pohon filsafat berlawanan dengan penahapan kronologis normal pada pengalaman kita dalam berfilsafat. Di kuliah-kuliah ini saya berupaya menjelaskan filsafat sedemikian rupa sehingga, dengan menuntaskan matakuliah ini, anda akan mampu menempuh pengembaraan filosofis anda sendiri. Itu berarti bahwa, walaupun mungkin cara terbaik untuk belajar filsafat adalah bergerak dari metafisika melalui logika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk berfilsafat mungkin bergerak dari ketakjuban melalui

Transcript of Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah...

Page 1: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

Pekan XI

Takjub Simbolik: Beragama

31. Numinus dan Simbol-Simbolnya

Filsafat berawal dengan ketakjuban. Inilah pandangan

Plato yang terungkap dalam Theaetetus (CDP 155d) dan

digemakan oleh banyak filsuf lain selama berabad-abad.

Takjub dalam pengertian ini bukan sekadar bengong

tertegun, melainkan penasaran terhadap sesuatu yang tak

dikenal, yang menggiring kita untuk mencari makna yang

mendasar di balik keragaman hayati kita, yang mendorong

kita ke lubuk wawasan dan puncak pengetahuan yang selalu

baru. Saya memilih mengantarkan anda kepada filsafat di

matakuliah ini dengan tidak mengawalinya dengan

ketakjuban, tetapi dengan lawanannya, kebebalan. Itu

karena penahapan logis bagian-bagian dari pohon filsafat

berlawanan dengan penahapan kronologis normal pada

pengalaman kita dalam berfilsafat. Di kuliah-kuliah ini

saya berupaya menjelaskan filsafat sedemikian rupa

sehingga, dengan menuntaskan matakuliah ini, anda akan

mampu menempuh pengembaraan filosofis anda sendiri. Itu

berarti bahwa, walaupun mungkin cara terbaik untuk

belajar filsafat adalah bergerak dari metafisika melalui

logika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk

berfilsafat mungkin bergerak dari ketakjuban melalui

Page 2: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

kealiman dan pemahaman ke pengakuan sepenuhnya akan

kebebalan anda sendiri.

Ketakjuban berkaitan terutama dengan kekaguman kita

terhadap pengalaman insani yang amat beragam, khususnya

pengalaman yang menelurkan pertanyaan yang tidak terjawab

dengan penalaran logis belaka, tetapi dengan mengalami

pengalaman itu sendiri. Jenis ketakjuban filosofis yang

paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan.

Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma dengan

menyusun teori metafisis, mempertajam keterampilan

pemikiran logis kita, atau memperdalam kedalaman dan

jangkauan pengetahuan kita. Alih-alih, makna kehidupan

muncul secara bertahap dari kemauan kita untuk terbuka

terhadap jenis-jenis pengalaman “ajaib” yang kita bahas

di Bagian Empat ini. Kendati pembahasan kita tentang

pengalaman-pengalaman itu bergantung pada kata-kata

sebagaimana dalam kuliah-kuliah terdahulu, kita harus

mengingat-ingat bahwa kita mengalami ketakjuban yang

paling berbobot dalam keheningan. Semua jawaban yang kita

periksa sebagai “jawaban” yang bolehjadi terhadap

berbagai masalah yang diangkat di Bagian Empat ini

memudar dalam kesepelean bila kita bandingkan dengan

jawaban hakiki yang kita terima manakala kita mengalami

ketakjuban lantaran keheningan. Itu karena ketakjuban

berkeheningan, lebih dari kata-kata sebanyak berapa pun,

bisa menanamkan timbangan sejati tentang realitas kita

Page 3: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

sendiri, dan dapat mendorong kita ke tingkat keutuhan

yang oleh kata-kata belaka tak terungkap, yang memberi

makna terdalam bagi keragaman kata-kata kita.

Karena anda telah belajar berfilsafat, saya harap

anda telah mengalami jenis ketakjuban filosofis ini.

Sesungguhnya, salah satu alasan lain untuk mengawali

matakuliah ini dengan kuliah-kuliah tentang kebebalan

adalah bahwa saya rasa, itu merupakan salah satu cara

terbaik untuk membangkitkan ketakjuban pada diri orang-

orang yang pandangan kealaman ilmiah modernnya cenderung

memisahkan mereka dari banyak pengalaman yang pada dahulu

kala merupakan bagian alamiah dari kehidupan setiap

orang, sebelum teknologi mendominasi masyarakat. Saya

telah mempertimbangkan untuk mengajar matakuliah ini

dengan urutan terbalik, yang berawal dengan kuliah

tentang kematian dan berakhir dengan kuliah tentang

mitos. Meskipun barangkali ini akan membuat matakuliah

kita lebih menarik pada permulaan, dan sehingga lebih

cepat menarik anda ke suatu kajian filsafat yang serius,

akan ada bahaya yang berupa menafsiran jenis pengalaman

yang dibahas di sini secara terlalu ilmiah, tanpa

mengakui misteri menakjubkan yang ditunjukkannya. Hari-

hari ini, ketika keindahan amat sering terkunci di dalam

kurungan dinding museum, ketika pengalaman keagamaan amat

sering diidentifikasi dengan perbuatan yang “gerejawi”,

ketika kematian amat sering terjadi di bangsal rumahsakit

Page 4: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

secara anonim, maka kita semua terlalu gampang untuk

mengira bahwa kita benar-benar telah mengalami misteri

kehidupan, walau, pada faktanya, yang kita lakukan

hanyalah memisahkan diri dari hal yang hakiki melalui

perangkap teknologi. Saya harap, pengakuan kebebalan kita

perihal realitas hakiki itu menggoncang anda dari

kepuasan kepada diri sendiri yang membunuh naluri

ketakjuban kita.

Blaise Pascal (1623-1662) ialah salah satu contoh

filsuf terbaik yang menghargai nilai kejut yang terdapat

pada pengakuan kebebalan manusia, di samping hubungan

antara pengakuan semacam itu dan ketakjuban filosofis.

Kumpulan wawasannya, yang disebut Pensées, dipenuhi

dengan pasal-pasal yang mengungkapkan ketegangan

eksistensi manusia, sebagaimana berikut ini:

What a chimera then is man! What a novelty! What a

monster, what a chaos, what a contradiction, what a

prodigy! Judge of all things, imbecile worm of the

earth; depositary of truth, a sink of uncertainty and

error; the pride and refuse of the universe!

... Know then, proud man, what a paradox you are to

yourself. Humble yourself, weak reason; be silent,

foolish nature; learn that man infinitely transcends

man, and learn from your Master your true condition, of

which you are ignorant. Hear God....

Page 5: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

Whence it seems that God, willing to render the

difficulty of our existence unintelligible to

ourselves, has concealed the knot so high, or better

speaking, so low, that we are quite incapable of

reaching it; so that it is not by the proud exertions

of our reason, but by the simple submissions of reason,

that we can truly know ourselves. (PP 434)

(Maka betapa terbelah manusia! Betapa ganjil! Betapa

mengerikan, betapa kacau, betapa berlawanan, betapa

aneh! Penimbang segala hal, cacing-tanah dungu; penjaga

kebenaran, benaman ketidakpastian dan kekeliruan; harga

diri dan sampah alam semesta!

... Maka kenalilah, orang nan congkak, alangkah

paradoksnya engkau dengan dirimu sendiri. Rendahkanlah

dirimu, akal nan lembik; heninglah, alam nan tolol;

ketahuilah bahwa manusia melampaui manusia secara tak

terbatas, dan ketahuilah dari Tuanmu kondisi sejatimu,

yang takkan kauketahui. Simaklah Tuhan. ...

Lantaran itu rupanya Tuhan, yang kepada kita sendiri

hendak menganugerahkan kendala eksistensi kita yang tak

terpahami, menyembunyikan benang-kusut begitu tinggi

atau, dengan kata lain yang lebih baik, begitu rendah,

sehingga kita sungguh tak mampu untuk mencapainya;

sehingga bukan dengan memutar otak kita yang besar

kepala, melainkan dengan menyerahkan akal begitu saja,

Page 6: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

bahwa kita bisa betul-betul mengenal diri kita

sendiri.) (PP 434)

Paradoks-paradoks Pascal membawa kita melampaui cara

pandang kealaman kita sehari-hari, dan memperhadapkan

kita dengan kenyataan transenden yang misterinya

mengobarkan ketakjuban yang berkeheningan di lubuk hati

kita.

Hari ini saya akan memperkenalkan salah satu cara

untuk mengalami ketakjuban berkeheningan yang paling umum

dan namun berbobot: yakni disiplin yang obyeknya adalah

realitas hakiki yang oleh kebanyakan orang disebut

“Tuhan”. Sebagaimana yang kita lihat pekan lalu, salah

satu nama tradisional yang dilekatkan pada tugas

filosofis tentang pemahaman hal itu dan cara-cara untuk

mengalami “kesatuan dalam keragaman” lainnya tentang hal-

hal yang eksis ialah “ontologi”—yakni “studi tentang

yang-berada”. Ontologi, studi tentang yang-merupakan,

adalah salah satu metode yang digunakan oleh para filsuf

untuk mengendurkan berbagai ketegangan yang tercipta oleh

penalaran filosofis kita. Contohnya, Kant tidak hanya

mengakui ketegangan antara kebebasan dan takdir,

sebagaimana yang kita saksikan di Kuliah 22, tetapi juga

mengemukakan bahwa manusia mempunyai “kebutuhan praktis”

untuk mencairkannya dalam rangka menghargai “totalitas”

pengalaman dan pengetahuan insani. Kita mengamati di

Kuliah 29 bagaimana ia pada mulanya berupaya mencairkan

Page 7: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

ketegangan ini dengan mengambil sesuatu yang menyerupai

sudut pandang ontologis dalam catatannya tentang peran

keindahan dan tujuan alam. Di Kuliah 32 dan 33 pekan ini

kita akan memeriksa contoh dari Kant yang paling

signifikan tentang bagaimana ketegangan antara teori dan

praktek dicairkan dalam pengalaman.

Studi ontologis mengenai pengalaman insani tentang

yang-transenden (yaitu Tuhan) acapkali diakui sebagai

salah satu tugas cabang filsafat (terapan) yang dikenal

sebagai “filsafat agama”. Akan tetapi, ruang lingkup

disiplin ini mestinya terbatas pada persoalan-persoalan

yang lebih berkaitan langsung dengan pengetahuan kita,

antara lain: argumen tentang keberadaan Tuhan, hakikat

dan keandalan keyakinan dan bahasa religius, dan masalah

evil (kenistaan atau kejahatan). Yang bertugas memahami

sesuatu yang secara khas disebut “pengalaman religius”

adalah cabang-cabang pohon filsafat selama kita

mengajukan pertanyaan bisakah atau tidak bisakah

pengalaman semacam itu memberi kita pengetahuan tentang

Tuhan. Pengalaman-pengalaman yang apa adanya lebih tepat

untuk diperiksa pada daun-daun pohon tersebut. Namun

istilah umum “pengalaman religius” bisa menyesatkan

karena bisa diambil untuk menyiratkan bahwa pengalaman

semcam itu hanya bisa terjadi pada orang-orang yang

menganut agama yang mapan. Padahal pada faktanya,

sebagian orang yang tidak religius dalam pengertian

Page 8: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

tradisional benar-benar mengalami tipe tersebut pada

suatu saat dalam kehidupan mereka. Ini menyiratkan bahwa

kita membutuhkan nama baru untuk mengacu pada pengalaman

semacam itu tatkala menelaah sifat ontologisnya.

Rudolf Otto (1869-1937) ialah seorang teolog Jerman

yang mengambil kerangka Kantian dalam berupaya menyusun

interpretasi yang seksama tentang agama dan pengalaman

keagamaan. Penekanannya pada penyelidikan tentang esensi

manifestasi empiris pengalaman religius itu amat berbeda

dengan penekanan Kant pada pondasi rasionalnya. Sekalipun

begitu, Otto yakin bahwa idenya bisa berfungsi sebagai

komplemen yang berguna bagi ide Kant. Sesudah menyelidiki

kemiripan antara pengalaman-pengalaman religius orang di

banyak tradisi yang berlainan, khususnya yang biasanya

dianggap “mistis”, Otto menulis sebuah buku, yang

berjudul The Idea of the Holy (1917), yang mengajukan

suatu deskripsi yang kini terkenal tentang sifat

fundamental pengalaman semacam itu.

Karena tidak di semua tradisi keagamaan kata “Tuhan”

digunakan, dan karena tradisi yang mengacu pada Tuhan pun

pasti memberlakukan nama dan/atau deskripsi yang

berlainan tentang Tuhan, Otto memutuskan untuk

menghindari pemakaian kata “Tuhan” sebisa mungkin. Di

samping itu, dalam pemeriksaan fenomena polos pengalaman

kita (yaitu ketika kita hanya berfokus pada yang kita

amati), pada aktualnya kita tidak mendapati Tuhan semacam

Page 9: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

itu. Yang kita jumpai ialah berbagai tipe pengalaman.

Oleh sebab itu, Otto menciptakan kata “numen” dan

“numinus” (numinous) untuk mengacu pada “kehadiran”

Tuhan. (Ingatlah, Kant membuat perbedaan antara

“fenomena” dan “nomena” dengan cara serupa (lihat Gambar

III.5).) Tentu saja, kebanyakan orang menyebut obyek

tersebut “Tuhan”. Namun tujuan Otto bukan mengusulkan

teori mengenai obyek yang menyebabkan pengalaman semacam

itu (yakni apakah itu benar-benar Tuhan, ataukah alam,

ataukah hanya sesuatu yang kita santap dalam perjamuan);

alih-alih, ia hanya ingin menyediakan deskripsi

fenomenologis tentang apa yang terjadi. Omong-omong,

itulah metode khas yang diterapkan dalam berontologi.

Karena itu, ontologi dan “fenomenologi”—yaitu pemaparan

ciri esensial fenomena yang kita alami—selalu menjadi

disiplin yang cenderung saling berkaitan erat.

Menurut Otto, perasaan yang-berada dalam kehadiran

numen, suatu realitas transenden yang “sepenuhnya tidak

lain” kecuali diri saya sendiri, merupakan pengalaman

insani dasar, dan karenanya harus berfungsi sebagai titik

tolak segala ontologi pengalaman religius. Hasil dari

mengalami kehadiran numinus ini adalah merasa terkesan

secara mendalam dengan kebergantungan saya sendiri

kepadanya. Ini menimbulkan suatu hal yang oleh Otto

disebut “rasa-kemakhlukan”. Ia mengingatkan, jangan

tergoda untuk menganggap “rasa kebergantungan”

Page 10: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

(sebagaimana Schleiermacher menyebutnya) ini sebagai

realitas primer, dan [jangan tergoda untuk] mengira bahwa

dari situ kita menyimpulkan keimanan kepada suatu obyek

dasar. Otto justru menyatakan, mula-mula obyek itu muncul

sendiri kepada kita secara misterius, dan perasaan

mistisnya hanya mengikutinya sebagai akibat. Tak peduli

apa yang kita yakini perihal Tuhan, kehadiran numinus ini

akan muncul kepada kita sebagai sesuatu yang bisa

diperikan dengan menilik ide tentang yang “suci”.

Otto mengerahkan banyak usaha demi tugas untuk

menjelaskan hakikat pengalaman kita tentang numinus. Ia

mengemukakan, obyek “suci” itu “nonrasional” dan

sekaligus “nonmoral”. Ini tidak berarti bahwa [obyek]

tersebut irrasional dan immoral, tetapi hanya bahwa

pertanyaan tentang rasionalitas dan moralitasnya tidak

relevan bila itu mendatangi perasaan yang ditimbulkan

oleh pengalaman yang semendalam itu. Selanjutnya Otto

menamai perasaan ini “mysterium tremendum” dan

mengemukakan bahwa ini mencakup lima “unsur” yang

berbeda: keseganan, kemegahan, urgensi, misteri, dan

pesona. Perasaan segan (awe) mengacu pada sejenis

ketakutan atau kengerian (suatu debaran) dalam kehadiran

sesuatu yang misterius. (Kita akan melihat lebih dekat

perasaan ini pada Kuliah 34.) Pengakuan kemegahan

(majesty) obyek numinus membangkitkan rasa rendah-hati

(atau “rasa-kemakhlukan”) di dalam diri kita. Fakta bahwa

Page 11: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

itu merupakan pengalaman nyata yang dialami oleh obyek

yang hidup, dan bukan sekadar teori filosofis abstrak,

terungkap dalam “energi” atau urgensi yang kita rasakan

manakala kita mempunyai pengalaman semacam itu. Urgensi

ini kadang-kadang bisa menambah rasa ngeri kita,

sebagaimana ketika itu datang dalam bentuk “murka Tuhan”,

tetapi itu juga menimbulkan pengakuan bahwa obbyek ini

“sepenuhnya lain” (yakni misterius). Perasaan-perasaan

itu agak negatif sejauh ini, dan mungkin dengan

sendirinya menyebabkan kita lari dari obyek numinus itu;

namun perasaan-perasaan tersebut diseimbangkan oleh rasa

pesona yang mempertahankan ketertarikan kita secara

mendalam terhadap pengalaman itu dan terhadap obyek yang

tak dikenal itu. Dengan selesainya paparan singkat

tentang teori Otto itu, kita dapat meringkasnya dengan

mengkombinasikan dua peta pada Gambar X.1, sebagaimana

dalam Gambar XI.1.

numinus

pengalaman

religius

“numen”

ide tentang

yang suci

pesona,

segan, dsb.

Gambar XI.1: Penerobosan Numinus dan Ide tentang

Yang Suci

Page 12: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

Layak disebut bahwa Kant sendiri memiliki kesadaran

yang berbobot tentang jenis pengalaman numinus itu.

Umpamanya, pasal yang menyimpulkan Critique kedua (yang

dikutip di atas, pada akhir Kuliah 22) mengacu pada

“langit berbintang di atas saya” dan “hukum moral di

dalam diri saya” sebagai pengalaman dasar (“Saya melihat

keduanya di depan saya”), yang menimbulkan perasaan

“kekaguman dan keseganan”, sebagaimana pada rasa urgensi

misterius dan kebergantungan (“Saya langsung

mengasosiasikan keduanya dengan kesadaran akan eksistensi

saya sendiri”): kita hampir tak bisa mengutip contoh

deskripsi ontologis Otto yang lebih baik tentang

pengalaman religius! Di samping itu, Kant di tempat lain

memaparkan pengalaman yang sama dengan itu melalui

peristilahan “tangan Tuhan” di alam dan “suara Tuhan” di

hati kita. Bagi Kant, dua jalan yang dimiliki oleh akal

dalam memperlihatkan diri kepada manusia ini mensahihkan

sendiri, karena “tangan Tuhan” melambangkan sumber

pengetahuan ilmiah kita dan “suara Tuhan” melambangkan

kebaikan moral kita. Secara demikian, keduanya

mempersatukan keragaman tanpa-ujung yang selalu memerikan

pengalaman kebenaran dan kebaikan kita yang aktual.

sesungguhnya, inilah alasan mengapa sumber penalaran

logis itu sendiri tidak mungkin logis; begitu pula sumber

hukum moral itu sendiri bukan moral. Kant mengakui (walau

sayangnya ia tidak menekankan kenyataan) bahwa “langit

Page 13: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

berbintang” (alam) dan “hukum moral” (kebebasan) itu

seperti tapal batas yang kita benturkan dengan kepala

jika kita mencoba melewatinya. Ini karena, sebagaimana

yang dinyatakan oleh Otto, sumber tapal batas itu sendiri

pasti nonrasional dan nonmoral supaya mampu mempersatukan

keragaman pengalaman rasional dan pengalaman moral kita.

Barangsiapa memiliki pengalaman numinus semacam itu

akan segera mempunyai tanggapan terhadap Nietzsche, atau

terhadap siapa saja yang mengemukakan bahwa Tuhan telah

mati. Kematian Tuhan sebagimana yang diumumkan oleh

Nietzsche cukup nyata; namun itu kematian Tuhan palsu,

Tuhan yang diada-adakan oleh akal manusia, bukan oleh

wahyu ilahi. Orang-orang yang telah mengalami Tuhan akan

tahu bahwa kita tak dapat memaksa Tuhan untuk tinggal di

dalam tapal batas sistem insani apa pun. Sebagaimana yang

dinyatakan oleh Nierzsche dengan benar, upaya

melakukannya berarti membunuh Tuhan; dan satu-satunya

jawaban yang tepat adalah menerobos pola itu dalam rangka

memperoleh kembali kemungkinan untuk mengalami realitas

pemberi-kehidupan itu sendiri. Namun hal ini mengangkat

sebuah pertanyaan yang genting: segera sesudah kita

mengalami numinus, bagaimana kita bisa memaparkannya atau

memahaminya tanpa memaksanya ke dalam suatu pola yang

tidak alamiah?

Ada banyak cendekiawan di abad keduapuluh yang

menangani pertanyaan ini dengan mengacu pada daya simbol.

Page 14: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

Pada waktu yang tersisa di jam kuliah ini saya akan

membahas pandangan seorang pemikir eksistensialis yang

telah kita jumpai di Pekan VI dan X dan akan kita temui

lagi pekan depan. Perihal banyaknya wawasan Paul Tillich

yang menarik, catatannya tentang hakikat iman dan

hubungannya dengan simbol merupakan salah satu yang

paling penting. Menurut Tillich, setiap orang memiliki

keimanan, karena setiap orang memiliki suatu “urusan

terdalam” (ultimate concern), walaupun mereka tidak

menyadarinya. Urusan terdalam kita adalah benda atau

orang atau tujuan yang dituju oleh semua energi kehidupan

kita; inilah faktor penentu dalam semua keputusan kita.

Bagi banyak mahasiswa, “menempuh studi sebaik-baiknya di

universitas” merupakan urusan terdalam mereka—persoalan

yang menentukan apa yang mereka lakukan dan kapan mereka

melakukannya pada sebagian besar dari waktu mereka. Akan

tetapi, Tillich mengklaim bahwa beberapa hal tidak layak

untuk dimuliakan, karena “penyerahan kepada suatu urusan

yang pada hakikatnya tidak terdalam” adalah

“pemberhalaan” dan karenanya “destruktif” (DF 16,35):

“Urusan terdalam kita bisa menghancurkan kita di samping

mampu menyehatkan kita. Namun kita tak pernah tanpa itu.”

Obyek urusan terdalam yang tidak tepat itu berbahaya

karena keimanan lebih dari sekadar kepercayaan atau

keyakinan rasional. Sebagaimana tulisan Tillich dalam The

Courage to Be (CB 168):

Page 15: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

Faith is not a theoretical affirmation of something

uncertain, it is the existential acceptance of

something transcending ordinary experience. Faith is

not an opinion but a state. It is the state of being

grasped by the power of being which transcends

everything that is and in which everything that is

participates. He who is grasped by this power is able

to affirm himself because he knows that he is affirmed

by the power of being-itself. In this point mystical

experience and personal encounter are identical. In

both of them faith is the basis of the courage to be.

(Keimanan bukanlah pembenaran teoretis terhadap sesuatu

yang tidak pasti, [melainkan] penerimaan eksistensial

terhadap sesuatu yang melampaui pengalaman biasa.

Keimanan itu bukan opini, melainkan keadaan, yaitu

ketertangkapan oleh daya yang-berada yang melampaui

segala hal yang ada dan yang diikutsertai oleh segala

hal. Ia yang ditangkap oleh daya tersebut mampu

membenarkan dirinya sendiri karena ia tahu bahwa ia

dibenarkan oleh daya yang-ada. Dalam hal ini pengalaman

mistis dan perpapasan pribadi identik. Pada keduanya

keimanan merupakan pangkalan ketabahan-dalam-berada.)

Kita akan melihat lebih dekat konsep Tillich tentang

“ketabahan” pada Kuliah 34. Masalahnya dalam hal ini

adalah bahwa obyek iman yang tepat adalah sesuatu yang

oleh Otto disebut “numinus”—dengan kata lain, ini

Page 16: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

merupakan obyek misterius pengalaman mendalam yang tentu

namun tak dapat dijelaskan yang kita miliki. Jadi,

bagaimana iman bisa eksis jika obyeknya misterius?

Jawaban Tillich adalah bahwa obyek-obyek yang tidak

misterius dapat membawa kita ke obyek yang misterius.

Obyek yang tidak misterius itu disebut “simbol”. Dengan

demikian, Tillich mendefinisikan bentuk keimanan religius

yang spesial sebagai “penerimaan simbol-simbol yang

mengungkapkan urusan terdalam kita dengan menggunakan

tindakan-tindakan ilahi” (DF 48).

Tillich dengan berhati-hati membuat perbedaan antara

“simbol” dan “tanda” (sign). Tanda adalah obyek yang bisa

diketahui yang dengan melampaui diri hanya menunjuk

kepada suatu obyek yang bisa diketahui lainnya, sedangkan

simbol adalah obyek yang bisa diketahui yang dengan

melampaui diri menunjuk kepada suatu realitas

tersembunyi, walau, pada saat yang sama, ikut serta dalam

misteri yang diarah olehnya tersebut. Tanda penunjuk

jalan mengarahkan kita ke tempat yang kita tuju, namun

ketika kita mencapai tujuan kita, kita melihat bahwa itu

tidak berkaitan dengan tanda penunjuk jalan yang kita

ikuti. Seperti “tangga” Wittgenstein (lihat Gambar V.1),

kita dapat mencampakkan tanda segera sesudah tugasnya

terselesaikan. Sebaliknya, kemampuan kita untuk mengalami

realitas yang dibicarakan berkaitan erat dengan simbol.

Tanpa simbol, kita tak mampu mengalami hal yang

Page 17: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

disimbolkan. Secara demikian, Tillich mengemukakan,

”bahasa simbolik sendirian mampu mengungkap yang-

terdalam. ... Bahasa iman adalah bahasa simbol” (DF 41,

45). Perbedaan antara tanda dan simbol, pada

kenyataannya, sejajar dengan perbedaan antara logika

analitik dan sintetik. Kita dapat melukiskan perbedaan

itu dengan menggunakan peta di Gambar XI.2, dengan anak-

panah berkepala-ganda (yang merupakan kombinasi antara

dua tipe anak panah yang terdapat pada Gambar X.1) yang

melambangkan partisipasi.

-A(=A)

realitas

tersembunyi

simbol

obyek yang

bisa diketahui

tanda

XI.2: Logika Tanda dan Simbol

Korelasi antara pertalian tanda-simbol dan pertalian

analitik-sintetik bukan kebetulan. Itu karena bahasa

simbolik didasarkan pada logika sintetik, sedangkan

penggunaan harfiah kata-kata kita sehari-hari (sebagai

tanda) didasarkan pada logika analitik. Dengan demikian,

sebagaimana yang terdahulu [yaitu bahasa simbolik],

menurut Tillich, berkaitan dengan bahasa iman, yang

terkemudian [yaitu kata-kata harfiah] pun berkaitan

dengan bahasa pengetahuan. Seperti yang kita saksikan di

Page 18: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

Bagian Dua, penggunaan kata-kata harfiah kita

mensyaratkan bahwa “A” tetap “A” dan karenanya selalu

berlawanan dengan “-A”. Akibatnya, “B” yang tidak sama

dengan “A” harus dimasukkan sebagai bagian dari “-A”.

(Omong-omong, ini sering diakui sebagai hukum logika

analitik yang ketiga, yang disebut “hukum penolakan

pertengahan”: “B = salah satu dari A dan –A”.) dengan

cara ini tanda selalu menunjukkan kita hal-hal di seputar

alam yang diketahui dan yang bisa diketahui. Namun

manakala kita menggunakan kata dengan cara simbolik,

simbol asli (“A”) itu sendiri menyajikan kepada kita

suatu realitas tersembunyi (“-A”) yang bisa kita alami

secara aktual, karena “A” ini turut serta dalam “-A”, dan

begitu pula sebaliknya. (Oleh karena itu, tentu saja

logika sintetik menolak hukum penolakan pertengahan.)

Secara paradoksis, simbol memungkinkan obyek menjadi (to

be) sesuatu yang bukan obyek itu sendiri, sehingga kita

takkan terkejut mendapati beberapa filsuf yang

mendasarkan bahasa simbolik pada “hukum paradoks” atau

“hukum partisipasi” (lihat Kuliah 12).

Mari kita ambil cincin kawin saya untuk contoh

sederhana. Jika saya menganggap obbyek ini semata-mata

sebagai tanda status perkawinan saya, maka cincin itu

sendiri, sebagai obyek, tidak begitu penting bagi saya.

Saya akan lebih mempedulikan rupanya daripada maknanya

bagi saya. Jika saya kehilangan cincin itu, saya akan

Page 19: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

sedih terutama lantara nilai moneternya, yang terbuat

dari emas. Namun itu tidak berpengaruh terhadap

perkawinan saya, karena saya bisa membeli cincin baru

yang akan menunjukkan status perkawinan saya secara

efektif. Akan tetapi, karena saya menghargai cincin saya

sebagai simbol komitmen saya untuk mencintai istri saya

selama kami hidup, cincin itu sendiri pada aktualnya

turut serta dalam perkawinan saya. Kehilangan cincin itu

atau bahkan keputusan untuk tidak memakainya akan menjadi

tragedi, karena dengan demikian bagian dari perkawinan

saya hilang. Tentu saja saya bisa membeli cincin lain

untuk menggantikannya; namun dibutuhkan waktu yang lama

bagi obyek itu untuk menjadi simbol misteri cinta yang

sama berbobotnya dengan cincin asli saya. Itu karena

sebagaimana telah kita perhatikan di pekan lalu, cinta

adalah salah satu tipe pengalaman paling lazim yang

mensyaratkan bahwa kita menafsirkan obyek sebagai simbol.

Karena kuliah-kuliah pekan ini terutama berkenaan

dengan “pengalaman religius”, mari kita pakai ritual

Ekaristi Nasrani sebagai salah satu contoh lain untuk

turut menerangkan bagaimana sebenarnya simbol bekerja.

Ketika orang-orang Kristen makan-minum di Makan Malam

Suci, setiap peserta biasanya memakan sepotong roti dan

minum beberapa tetes anggur. Kebermaknaan ritual ini

sangat bervariasi, bergantung pada apakah orang-orang itu

memandang obyek biasa “yang bisa diketahui” itu sebagai

Page 20: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

tanda ataukah simbol. Dengan dihargai sebagai tanda, roti

dan anggur tersebut menandakan suatu realitas yang bisa

diketahui lainnya, semisal tubuh dan darah aktual manusia

historis yang bernama Yesus Kristus (dalam hal orang

Katolik yang percaya kepada doktrin

“transubstantiasi”),i[1] atau menandakan kenangan tentang

tokoh itu dan tentang apa yang ia perbuat (sebagaimana

dalam interpretasi khas Protestan). Pada kedua kasus itu

obyek-obyek aslinya kehilangan segi pentingnya sebagai

roti dan anggur segera sesudah kita memahami obyek itu

sebagai sesuatu yang dituju oleh obyek itu. Akan tetapi,

dengan dihargai sebagai simbol, obyek-obyek tersebut

tidak lagi berkaitan dengan kegaiban atau pun kenangan;

alih-alih, obyek-obyek itu diakui sebagaimana adanya

(yakni sebagai roti dan anggur), namun diyakini bahwa

obyek-obyek tersebut turut serta dalam misteri Inkarnasi

Allah dalam raga manusia. Oleh sebab itu, melahap

keduanya merupakan ekspresi yang berbobot dari kemauan

diri seseorang sendiri untuk turut serta dalam misteri

tersebut. Dengan mengalami ritual itu secara simbolis,

orang ini diangkut oleh obyek-obyek biasa itu menuju

komuni yang mendalam dengan suatu realitas misterius yang

takkan bisa dipahami,ii[2] kecuali barangkali dalam

ketakjuban berkeheningan yang tak terpahami.

Untuk menyimpulkan ulasan singkat kita terhadap

pandangan Tillich, mari kita pakai definisi iman menurut

Page 21: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

dia untuk membuat perbedaan antara metafisika dan

ontologi—dua disiplin yang cenderung ditumpangtindihkan,

termasuk oleh filsuf-filsuf. Metafisika ialah pencarian

pengetahuan tentang realitas terdalam, sedangkan ontologi

adalah pencarian pengalaman tentang urusan terdalam.

Jadi, ketika kita menelaah berbagai bentuk ontologi di

Bagian Empat ini, kita harus senantiasa memperhatikan

bahwa “yang terdalam” [atau “yang hakiki”] itu, yang

merupakan sasaran perhatian kita dengan berbagai

simbolnya yang kita jumpai dalam pengalaman kita, adalah

jauh lebih merupakan jalan hidup atau sikap terdalam

daripada perangkat dogma atau obyek terdalam. Simbol-

simbol semacam itu semuanya harus dipandang bukan sebagai

pemberi pengetahuan metafisis tentang realitas terdalam

kepada kita, melainkan hanya sebagai penyala bara api di

dalam diri kita yang berisi perhatian terhadap makna

kehidupan dan petunjuk hakiki. Pada dua kuliah mendatang

di pekan ini, kita akan kembali kepada Kant, dengan

harapan bahwa filsafat Kritisnya mungkin mampu memberi

kita beberapa wawasan yang bahkan lebih mendalam mengenai

apa yang dimaksud dengan beragama dengan cara ini.

32. Kenistaan dan Paradoks Kemuliaan

Sejak Kuliah 8 saya lebih memberi penakanan pada

ide-ide Immanuel Kant daripada filsuf lain—bahkan, jauh

lebih mendalam daripada yang biasanya dikira tepat untuk

Page 22: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

kuliah pengantar semacam ini. Terminologi Kant itu begitu

rumit, teorinya begitu mendalam, dan argumennya begitu

kontroversial, sehingga kebanyakan dosen yang mengajar

mahasiswa tingkat awal hanya menyebut beberapa ciri khas

teori moral Kant, dengan barangkali sebagian [dari

mereka] yang melewatkan pengacuan epistemologinya. Namun

di matakuliah ini, kita bukan hanya meliput kedua bidang

itu (Kuliah 22 dan 8), melainkan juga pandangan

metafisiknya yang sesungguhnya (Kuliah 9), pembedaan

dasarnya perihal logika (Kuliah 11), pembelaannya perihal

prinsip kausalitas ilmu (Kuliah 21), teori politiknya

(Kuliah 27), dan teorinya tentang keindahan (Kuliah 29).

Saya mempunyai dua alasan untuk lebih memusatkan

perhatian pada satu filsuf ini. Pertama, saya jauh lebih

mengenal teori-teorinya daripada teori-teori filsuf lain,

sehingga saya lebih percaya diri dalam menawarkan

interpretasi yang akurat dan sekaligus maknawi.

Sesungguhnya, ada banyak penelitian saya dan hampir semua

terbitan saya berfokus pada satu tokoh ini. Namun yang

jauh lebih signifikan, alasan kedua: saya yakin Kant

membahas serangkaian persoalan filosofis secara lebih

seimbang dan lebih sistematis. Lagipula, pembahasannya

hampir selalu berwawasan luas dan biasanya juga benar!

Satu pengecualian terhadap kesan umum positif saya

tentang pendekatan Kant terhadap persoalan filosofis

muncul ketika saya untuk pertama kalinya membaca bukunya,

Page 23: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

Religion within the Bounds of Bare Reason [atau Religion

within the Limits of Reason Alone] (1793). Pada waktu

itu, saya masih berada dalam tahap awal pengembangan

interpretasi saya sendiri terhadap bidang-bidang Filsafat

Kant lainnya. Selaku seseorang yang berharap untuk

memenuhi kualifikasi penganut Kristen, walau tanpa

mengorbankan kebebasan saya untuk mempertanyakan,

meragukan, dan/atau menafsirkan kembali beberapa dogma

tradisional, saya menyambut baik kerendahan hati

metafisis Kant: demonstrasi persuasifnya bahwa keberadaan

Tuhan tidak bisa dibuktikan secara teoretis (argumen-

argumen yang perinciannya tidak kita periksa lantaran

keterbatasan waktu) tampaknya merupakan konfirmasi

filosofis yang berbobot mengenai peringatan Bibel

terhadap upaya penggempuran langit dengan pengetahuan

manusia. Teori moralnya tampaknya juga jauh lebih sesuai

dengan pemikiran Kristiani: prinsip kebebasan yang dualis

dan hukum moralnya menohoh saya sebagai pernyataan

kembali internalisasi etika Yesus yang indah; dan argumen

moral Kant kelihatannya menyerupai cara yang tepat untuk

mengungkapkan keyakinan moral pribadi bahwa Tuhan pasti

eksis, kendati kita tak dapat membuktikannya. Bahkan

dalam catatannya tentang keindahan dan tujuan alamiah di

Kritik-nya yang ketiga, Kant tampaknya bertekad menyusun

filsafat teosentrik—sesuatu yang mengarahkan pembaca ke

suatu kesadaran yang senantiasa-makin-dalam bahwa Tuhan

Page 24: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

ialah “semua dalam semua” (1 Korintus 15:28). Namun

tatkala saya membaca Religion tersebut untuk pertama

kalinya, hati saya patah: ia agaknya mereduksi kekayaan

pengalaman religius menjadi tidak lain kecuali moralitas

secara samar-samar!

Untungnya, saya memutuskan untuk membaca kembali

Religion beberapa tahun kemudian, ketika interpretasi

mawas saya terhadap Sistem Kant telah berkembang dengan

lebih seksama. Pada waktu itulah saya merasa seolah-olah

neraca penafsiran tampak di pelupuk mata saya: suatu

pemahaman yang benar-benar baru tentang apa yang hendak

ia tuntaskan menjadi jelas bagi saya. Ketika saya membaca

buku itu untuk pertama kalinya, saya membiarkan diri

terjatuh ke interpretasi tradisional, yang memandang

bahwa upaya Kant untuk membela agama, sekurang-kurangnya

agama Kristen, tidak benar-benar serius sama sekali dan

hanya berharap untuk mengalihkan orang-orang yang

berpikiran religius ke [moralitas] Kantian pengganti

agama. Pada waktu [pembacaan] kedua, yang saya sadari

kira-kira adalah bahwa Religion bukanlah buku mengenai

filsafat agama dalam pengertian masa kini yang biasanya

kita kira; alih-alih, buku ini mengenai beragama, suatu

interpretasi tentang makna beragama. Bahkan, saya

menyadari bahwa Kant tidak mereduksi agama ke moralitas

belaka, tetapi mengangkat moralitas (yang bila sendirian

merupakan harapan ideal yang sia-sia) ke tingkat yang

Page 25: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

lebih tinggi (dan lebih realistis), tingkat agama! Demi

alasan ini, dan karena saya telah mengkaji buku tersebut

dengan lebih cermat daripada karya Kant lainnya, saya

akan memanfaatkan sebagian besar dari dua kuliah [di

pekan ini] untuk menjelaskan isinya.

Apa yang dimaksud dengan beragama (to be religious)?

Apakah “beragama” itu sesuatu yang niscaya dialami oleh

semua orang, atau apakah hanya pilihan yang dipilih oleh

sebagian orang—umpamanya bilamana mereka takut terhadap

apa-apa yang akan terjadi pada mereka selepas kematian

mereka? Dan agama manakah, kalau ada, yang terbaik untuk

diikuti? Religion karya Kant merupakan sebuah upaya yang

sistematis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dan

pertanyaan-pertanyaan lain, yang didasarkan pada pondasi

yang terbentang dalam karya-karya sistematisnya yang

terdahulu. Ia membagi buku itu, dengan agak terduga,

menjadi empat bagian; masing-masing menggambarkan sebuah

tahap dalam proses penjelasan tentang apa yang membuat

agama sedemikian adanya. Di sini kita akan memeriksa dua

tahap pertamanya, dengan meninggalkan dua tahap lainnya

untuk kuliah mendatang. Namun mula-mula, sebuah tinjauan

umum tentang empat tahap itu (lihat Gambar XI.3) akan

membantu kita untuk tetap berada di lintasan kita. Buku

Satu mengajukan persoalan tentang apakah manusia itu pada

kodratnya baik ataukah buruk, dan mempertahankan keduanya

dengan sebuah jawaban bersisi-dua yang menarik, dengan

Page 26: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

mengemukakan “kenistaan radikal” yang terletak pada akar

kodrat kita. Buku Dua memikirkan bagaimana kita mampu

mengatasi masalah yang tercipta lantaran adanya kenistaan

semacam itu di dunia ini, dengan berargumen bahwa suatu

bantuan ajaib dari Tuhan yang pemurah harus

diprasyaratkan. Kemudian Buku Tiga dan Empat berkenaan

dengan masalah-masalah baru yang timbul ketika orang yang

berhati-baik bersatu dalam kelompok-kelompok sosial. Buku

Tiga mengemukakan bahwa “kemenangan” akhir terhadap

kenistaan bisa terjadi hanya bila manusia bekerja sama

dalam suatu paguyuban keagamaan (yakni “gereja”). Adapun

Buku Empat menetapkan perbedaan antara peribadatan yang

sejati dan yang palsu di gereja.

IV. pelayanan kepada Tuhan

(baik, guyub)

agama

guyub

III. gereja I. kenistaan radikal

(buruk, guyub) (buruk, individual)

agama

individual

II. konversi ke yang baik

(baik, individual)

Gambar XI.3: Empat Tahap dalam Sistem Keagamaan

Kant

Menurut Kant, kenistaan (evil) adalah kondisi

pembatas dasar yang membangkitkan kebutuhan akan agama.

Bahwa ada kenistaan di dunia yang menurut Kant bukan

Page 27: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

persoalan itu terbuka untuk keraguan. Tugas filosofisnya

adalah mengidentifikasi apakah kenistaan itu, mengapakah

itu ada di sini, dan dari manakah kedatangannya (yakni

bagaimana kemunculannya). Dalam pembahasan persoalan-

persoalan itu, ia secara total mengabaikan suatu masalah

yang disebut “masalah kenistaan” yang kini diakui sebagai

salah satu bidang perhatian utama filsafat agama—yaitu

masalah penjelasan bagaimana Tuhan yang baik dan

mahakuasa bisa membolehkan eksistensi penderitaan dan

kenistaan yang tidak semestinya. Upaya yang membenarkan

Tuhan berwajah nista itu disebut “teodisi”. Penolakan

total Kant terhadap hal itu mungkin sebagian lantaran

fakta bahwa ia telah menulis sebuah esai terpisah tentang

subyek itu secara singkat sebelum mulai menulis buku

Religion. Esai tersebut, yang berjudul “On the failure of

all the philosophical essays in the theodicy” (1791).

Mengemukakan bahwa upaya membela Tuhan dengan cara itu

menuju kegagalan. Dengan merujuk langsung ke cerita Bibel

tentang Ayyub (Job, tokoh Perjanjian Lama yang oleh Tuhan

dibiarkan menderita kesengsaraan, hanya sebagai tes

keimanannya), Kant memeriksa sembilan tipe teodisi yang

berlainan, dengan menunjukkan mengapa masing-masing itu

pasti gagal. Upaya apa pun yang meramu dalih rasional

perihal putusan Tuhan untuk membiarkan kenistaan eksis

itu menyesatkan, karena pengetahuan tentang misteri-

misteri semacam itu di luar batas pemahaman manusia.

Page 28: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

Alih-alih, kemisteriusan masalah itu berfungsi untuk

mengangkat signifikansi eksistensial kenistaan dengan

memaksa setiap individu untuk menerima atau menolak Tuhan

atas dasar iman.

Buku Satu Religion bermula dengan pengajuan

pertanyaan apakah pada kodratnya manusia itu baik ataukah

buruk. Pertama, Kant menolak kemungkinan bahwa kita bisa

baik dan sekaligus buruk; ini bisa terjadi pada karakter

empiris kita (karena hasil tindakan bisa sebagian baik

dan sebagian buruk), tetapi motif di balik tindakan pasti

salah satu, baik atau buruk. Kemudian Kant membuat

perbedaan antara “fitrah” (predisposition, kecenderungan

universal yang dimiliki oleh semua manusia pada saat

kelahirannya, sebelum terlaksananya tindakan moral apa

pun), “tabiat” (disposition, landasan subyektif mendasar,

di dalam lubuk watak kita, yang menentukan bagaimana kita

memilih bertindak pada suatu titik waktu tertentu), dan

“nafsu” (propensity, kemungkinan kecenderungan seseorang,

atau bahkan ras manusia seluruhnya). Lalu Kant

mengemukakan bahwa fitrah kita baik, karena kebinatangan

kita, kemanusiaan kita, dan kepribadian kita semuanya

mengandung sifat-sifat yang jelas-jelas dimaksudkan untuk

kebaikan; tabiat kita mungkin baik atau buruk pada suatu

waktu tertentu, karena tidak mungkin baik dan sekaligus

buruk; nafsu kita selalu menuju kenistaan, karena fitrah

kita rusak entah bagaimana. Bagaimana kerusakan ini

Page 29: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

terjadi itulah pertanyaan yang kata Kant tidak bisa

dijawab oleh akal manusia. Namun sebagai pengingat bahwa

itu telah terjadi, ia mengangkat istilah “kenistaan

radikal”, yang menunjukkan bahwa kehendak (atau tabiat)

manusia pada awal-mulanya telah dirusak (“radikal”

berarti “pada akarnya”) oleh kekuatan jahat yang tak

terjelaskan yang tidak terdapat pada kodrat orisinal kita

(fitrah kita).

Apa tepatnya kenistaan (evil) itu? Kant

mendefinisikan kenistaan sebagai kebalikan (reversal)

dalam “tatamoral insentif” yang menentukan kaidah kita

(RBBR 31). Anda mungkin ingat lagi dari Kuliah 22 bahwa

bagi Kant, suatu pilihan adalah baik secara moral

bilamana kita mematuhi suara hukum moral di hati kita,

dan bahwa orang yang membuat pilihan semacam ini pantas

dipuji jika ia sampai mengorbankan beberapa kebahagiaan

pribadinya (atau “cinta-diri”) dalam rangka melakukan hal

yang baik itu. Oleh sebab itu, kenistaan adalah putusan

orang yang membiarkan pementingan perkara cinta-diri di

atas perintah hati nurani. Kant mengemukakan bahwa bukti

empiris saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa manusia

di mana-mana memulai kehidupan moral mereka dengan

pilihan-pilihan yang lebih didasarkan pada cinta-diri

daripada hukum moral. Ia juga mencoba menyusun argumen

transendental, namun rinciannya tidak begitu terlihat di

buku-ajar ini. Saya merekonstruksi argumen itu sebagai

Page 30: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

berikut: seorang manusia tidak bisa membuat pilihan yang

benar-benar bermoral sampai ia tahu kenistaan apa, di

samping kebaikan apa, yang tersangkut-paut; karena fitrah

kita baik, kita secara naluriah mengetahui apa yang baik

dengan mendengar hati nurani kita; namun sebelum kita

pada aktualnya membuat pilihan yang nista, tidak bisa

dikatakan bahwa kita telah mencapai kebebasan tulen,

lantaran kita tidak akan mempunyai pemahaman yang benar

tentang apa yang dipertaruhkan; oleh sebab itu, tindakan

bebas (yakni bermoral) sejati pertama setiap orang adalah

pilihan untuk berbuat nista.

Mengapa ia memulai buku tentang “agama rasional”

dengan klaim bahwa kita semua berawal dengan pelenyapan

kesempatan kita untuk hidup tanpa noda secara moral?

Tidakkah itu mempersoalkan rasionalitas upaya kita untuk

mematuhi hukum moral—suatu upaya yang segi pentingnya

telah ditekankan oleh Kant dengan amat tegas di Critique

kedua? Memang begitu! Dan hal itu membingungkan sebagian

besar dari filsuf-filsuf seangkatan Kant, yang berkat

Pencerahan menerima kepercayaan kepada dayanalar manusia

secara mutlak dan mengira Kant juga demikian. Goethe,

misalnya, berseru bahwa Kant “meneteskan air liur pada

jubah filsufnya” dengan doktrin kenistaan radikal (lihat

KCR 129, catatan). Namun Kant sendiri tidak menjijikkan,

karena ia tahu apa yang ia lakukan. Pengalaman kenistaan

kita dan ketidakmampuan kita untuk menjelaskan asal-mula

Page 31: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

rasionalnya kecuali dengan mengukuhkan kemisteriusannya

(“keradikalannya!”) belaka berfungsi untuk mengisi kita

dengan ketakjuban eksistensial yang memaksa kita untuk

beragama. Sesungguhnya, niat Kant dalam Buku Satu adalah

menyajikan kondisi transendental demi kemungkinan

beragama: agama hanya dimungkinkan dalam suatu alam yang

di dalamnya yang-berada rasional dimaksudkan untuk

menjadi baik dan [yang-berada rasional itu] tidak mampu

memenuhi tujuan eksistensial ini. Itulah dunia yang kita

tinggali saat ini.

Buku Dua adalah peralihan yang agak mengejutkan.

Dengan telah mengemukakan bahwa manusia tak pelak lagi

berawal dengan tabiat nista sebagai akibat dari pengaruh

negatif kenistaan radikal, Kant meneruskannya dengan

klaim bahwa adanya fitrah-baik kita memberi kita seculi

harapan bahwa mungkin ada cara transformasi tabiat yang

buruk menjadi yang baik. Namun bagaimana itu bisa

terjadi? Pertama, Kant menyarankan, satu-satunya harapan

bagi siapa saja yang percaya bahwa moralitas merupakan

tujuan yang layak diburu adalah beriman kepada Tuhan

yang, entah bagaimana, memberi kita bantuan yang kita

buthkan untuk mengatasi tabiat nista kita. Dalam teologi

Kristen tradisional, bantuan semacam itu berkenaan dengan

“kasih” (grace). Pertanyaan utama pada Buku Tiga adalah:

atas dasar apa seorang manusia mempunyai landasan

rasional demi harapan bahwa Tuhan akan menyediakan

Page 32: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

bantuan semacam itu? Khususnya, adakah sesuatu yang harus

kita lakukan supaya berhak atas Kasih ilahi, ataukah itu

merupakan hadiah gratis dan tanpa hak? Solusi Kant

terhadap masalah itu sering dikecam lantaran paradoksis

dan, sebagai akibatnya, tidak jelas. Akan tetapi, saya

yakin paradoks itu disengaja: karena dalam konteks

filsafat Kritis Kant, segala upaya yang menjelaskan

bagaimana Tuhan (sang realitas transenden) bisa membantu

manusia (yang hidup sebagaimana kita di dunia fenomenal)

pasti paradoksis. Kant mempertahankan bahwa penjelasannya

merupakan refleksi akurat tentang situasi paradoksis

belaka.

Buku Dua berawal dengan pengenalan sesuatu yang oleh

Kant disebut “tipe-dasar” kemanusiaan sempurna (RBBR 54),

kemudian menggunakan tamsil biblikal yang populer untuk

memaparkan hakikatnya. Asal tipe-dasar itu ilahi, namun

“menurun kepada kita dari langit” untuk tinggal di dalam

setiap orang (54-55). Itu memberdayakan kita untuk

melakukan apa-apa yang pada asalnya mustahil, yakni

menjauh dari tabiat nista (atau yang oleh Kant disebut

“hati” nista) dan mulai hidup dengan prinsip baru. Akan

tetapi, supaya perubahan menjadi “hati baik” itu terjadi,

kita harus mempunyai “keimanan praktis” kepada tipe-dasar

tersebut. Maksud Kant, kita harus percaya bahwa jika kita

melakukan semua hal dengan daya kita untuk mematuhi hukum

moral, maka Tuhan akan memasok apa-apa yang kurang. Atas

Page 33: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

dasar ini, ada banyak penafsir yang menuduh bahwa Kant

membela pola “kebenaran menurut karya” (righteousness by

works), yang dengannya kita harus berhak mendapat

keselamatan kita sendiri. Namun tidaklah demikian cara

Kant sendiri dalam menggambarkan pandangannya. Alih-alih,

ia bersikeras bahwa bantuan ilahi semacam itu bukan hak

kita sama sekali dan, bagaimanapun, tidak bisa

dikendalikan atau ditentukan menurut sesuatu yang kita

lakukan atau kita lalaikan. Sesungguhnya, ia juga

mengingatkan bahwa kita mampu melihat tabiat orang

(bahkan tabiat kita sendiri!) dengan cukup gamblang untuk

mengetahui secara pasti, apakah [tabiat] ini baik ataukah

nista. Ia menyatakan, Tuhan menilai kita menurut tabiat

ini, tetapi lantaran kita bebal perihal hakikatnya pada

titik waktu yang mana pun, satu-satunya landasan yang

kita miliki untuk menimbang status mutakhir kita adalah

menilai moralitas tindakan kita. Kalau kita melihat bukti

empiris kemajuan moral, itu merupakan tanda bahwa tabiat

kita mungkin baik. Sekalipun begitu, karena kita semua

beranjak dengan tabiat buruk, situasi kita tak

terpulihkan kecuali jika kita yakin bahwa Tuhan akan

mengganti kekurangan kita. Namun supaya agama itu

rasional, Tuhan pasti menggunakan suatu landasan untuk

memutuskan siapa yang dibantu dan siapa yang tidak

dibantu. Maka maksud Kant bukan bahwa kita dapat

melayakkan diri sendiri untuk diterima oleh Tuhan (yang

Page 34: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

menuntut kesempurnaan), melainkan justru bahwa kita dapat

mematutkan diri sendiri untuk dilayakkan oleh Tuhan (to

be made worthy by God).

Karena tipe-dasar itu mempunyai fungsi yang sama

dengan sistem keagamaan rasional Kant yang dihasilkan

oleh Yesus dalam agama Kristen, Buku Dua menghadapi

sejumlah persoalan teologis yang berkaitan dengan sifat

dan status Yesus. Persoalan-persoalan itu meliputi sifat

ketuhanan Yesus, sifat kemanusiaannya, kelahirannya yang

dari perawan, kebangkitannya kembali dari kematian,

statusnya sebagai teladan moral, dan berbagai doktrin

yang lebih luas seperti persucian, keamanan nirwaktu, dan

pembuktian kebenaran dengan Kasih. Banyak penafsir

mengklaim bahwa Kant berniat untuk menolak nilai nyata

apa pun pada kebanyakan, kalau tidak semua, doktrin

tradisional tersebut. Akan tetapi, penafsiran semacam itu

didasarkan pada pembacaan teks secara ceroboh. Sebetulnya

strategi Kant pada masing-masing itu adalah mengemukakan

bahwa doktrin-doktrin tersebut bisa mempunyai makna

rasional yang sah asalkan itu berfungsi sebagai tujuan

praktis dalam membantu pemeluk agama untuk mengikuti

hukum moral dengan lebih taat-asas. Di setiap kali, ia

mengecam interpretasi apa pun yang berkemungkinan untuk

menghasilkan individu yang moralnya malas. Yang

dilalaikan oleh banya penafsir adalah bahwa ia juga

memperingatkan bahaya kebalikannya: menegaskan secara

Page 35: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

dogmatis bahwa doktrin-doktrin tertentu tidak mungkin

benar, hanya karena tidak bisa dibuktikan secara

teoretis. Kant mengingatkan, doktrin seperti kelahiran

dari perawan pun tidak bisa secara mutlak ditolak,

lantaran kemungkinan keajaibannya merupakan persoalan

yang terletak di luar tapal batas akal manusia.

Sebagaimana yang dijelaskan dengan sangat rinci di buku

terbaru saya, Kant’s Critical Religion (2000),iii[3] niat

sejati argumen Kant adalah menunjukkan kepada kita

bagaimana orang yang hendak percaya bahwa, umpamanya,

Yesus ialah Tuhan dalam bentuk manusia, harus menafsirkan

doktrin ini dengan tujuan mendukung, bukan menghambat,

inti religius tulen yang terdapat pada keyakinan orang

itu. Kant sendiri tentu saja tidak menyarankan kita untuk

mengambil doktrin semacam itu selaku filsuf; ia tidak

menyatakan bahwa kita harus mempercayainya dengan tujuan

diterima oleh Tuhan. Namun ia menunjukkan bahwa kita bisa

mempercayainya tanpa mengorbankan rasionalitas kita dan

bahwa melakukannya terkadang bisa sangat mempertebal

keimanan religius kita.

Salah satu penyebab utama mengapa begitu banyak

penafsir yang salah-paham terhadap niat Kant dalam

Religion adalah bahwa versi baku terjemahan Inggris dari

buku ini di hampir sepanjang abad keduapuluh itu

menggunakan terjemahan judul yang amat menyesatkan.

Greene dan Hudson menerjemahkan judul Kant (Die Religion

Page 36: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

innerhalb der Grenzen der blossen Vernunft) sebagai

Religion within the Limits of Reason Alone. Padahal di

tempat lain, Kant menerangkan bahwa istilah Grenzen

mengacu pada tapal batas yang memisahkan suatu area dari

kawasan di sekitarnya, bukan pada batas mutlak yang tak

bisa dilampaui [atau diterobos]. (Untuk [mengacu pada]

“batas mutlak”, Kant memakai istilah Schranken.) Selain

itu, “blossen” tidak bermakna “alone” (semata-mata),

tetapi bermakna “naked” (telanjang) atau “bare” (polos).

Pengaruh dua penerjemahan [istilah] yang keliru itu pasti

telah memberi kesan awal kepada pembaca bahwa buku Kant

merupakan upaya untuk menjejalkan agama sepenuhnya ke

dalam batas-batas akal yang ketat. Namun setelah kami

baca, ternyata tidak demikian. Alih-alih, strateginya di

keempat Buku itu adalah membuat perbedaan antara apa yang

bisa dan yang tidak bisa diberitahukan oleh akal kepada

kita mengenai gerak-hati religius kita.

Di Buku Satu kita belajar bahwa akal bisa

memberitahu kita apakah kenistaan itu, dan bahwa kita

semua pasti terjerat oleh hasrat yang nista; namun akal

tidak mampu memberitahu kita sumber fenomena misterius

ini, kecuali menyatakan bahwa itu tidak berakar pada

definisi tentang apa yang dimaksud dengan manusia. Di

Buku Dua, kita belajar bahwa akal bisa memberitahu kita

bagaimana konversi berlangsung dan apa yang harus kita

lakukan supaya memiliki landasan rasional demi

Page 37: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

pengharapan bahwa Tuhan akan menyelamatkan kita; namun

akal tak mampu memberitahu kita apa yang pada hakikatnya

baik, atau pun bisakah itu memberi kita pengetahuan yang

pasti tentang siapa yang akan menerima Kasih Allah. Di

Kuliah mendatang kita akan melihat betapa penting

perhatian bahwa Kant tidak mengajukan suatu pandangan

yang berat sebelah tentang agama sebagai akal moral

belaka secara samar-samar, tetapi memaparkan dua sisi

yang terdapat pada semua agama yang asli: inti rasional

(dan karenanya universal) bersama-sama dengan kulit

historis (dan karenanya tentu non-universal). Seperti

yang akan kita saksikan, kedua aspek agama tersebut harus

berjalan seiring supaya pengalaman religius kita asli.

Secara bersama-sama, kenistaan dan Kasih

melambangkan basis lipat-dua demi ketakjuban kala kita

merenungkan situasi manusia. Kasih pada khususnya

bukanlah sesuatu yang bisa kita pahami melalui akal

belaka—kecuali jika kita pada aktualnya mengalaminya.

Filsafat yang baik itu lebih unggul daripada teologi

tradisional dengan persis sampai batas bahwa filsafat itu

tidak mengklaim pemahaman tentang apa yang pada

hakikatnya tak terpahami. Filsafat hanya mengharapkan dan

menyediakan landasan rasional demi harapan. Namun dalam

hal itu, fungsinya bukan merongrong agama, melainkan

justru, menyiapkan kita untuk mengalami buah harapan

semacam itu. Kuliah 33 akan memeriksa bagaimana Kant

Page 38: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

sendiri menganggap bahwa dua tahap pertama teorinya

menghasilkan pengalaman keagamaan melalui pembentukan

paguyuban yang dibaktikan untuk melayani Tuhan.

33. Paguyuban dan Misteri Penyembahan

Anda barangkali memperhatikan di kuliah yang lalu

bahwa catatan Kant tentang apa yang dimaksud dengan

beragama mengandung kemiripan yang mencolok dengan kisah-

kisah Bibel tentang turunnya Adam [dari surga] di

Kejadian 1-3 dan usaha penyelamatan oleh Yesus di Injil.

Begitu dekat kesejajaran itu sehingga beberapa komentator

secara aktual menuduh bahwa Kant hanya menerjemahkan ide-

ide Kristiani ke dalam terminologi rasional. Oleh sebab

itu, sebelum kita meneruskan telaah kita tentang

Religion, kita harus memikirkan bagaimana sebaiknya

penafsiran kesejajaran-kesejajaran itu. Pada

kenyataannya, itulah bagian yang krusial dari strategi

Kant. Ia menjelaskan, di Pengantar Edisi Kedua, bahwa

buku itu menjalankan dua eksperimen: yang pertama adalah

melihat seberapa jauh filsafat bisa menyingkap unsur-

unsur rasional yang terdapat pada semua agama-asli; yang

kedua adalah melihat seberapa baik keimanan dan

peribadatan yang terdapat sebuah “keimanan historis”

spesifik bersesuaian dengan ide rasional ini. Untuk yang

kedua ini, Kant memilih agama Kristen, tradisi yang

“telah tersedia” (already at hand) (RBBR 11, 123). Dengan

Page 39: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

memperhatikan hal itu, kita jangan menafsirkan adanya

kesejajaran itu sebagai kelemahan teori Kant; alih-alih,

semakin rapat kesejajaran itu, semakin berhasil Kant

dalam menunjukkan bahwa agama Kristen mempunyai tingkat

kompatibilitas yang tinggi dengan agama-rasional. Ini

karena ia selalu membuktikan kebenaran unsur-unsur agama-

rasional dengan argumen-argumen yang tidak bergantung

pada tradisi Kristen.

Di Buku Satu dan Dua, Kant membuktikan kebenaran

unsur-unsur rasional yang menjadikan agama suatu urusan-

niscaya bagi segenap manusia. Setiap orang beranjak

dengan potensi kebaikan (yang didasarkan pada fitrah

mereka), namun mau-tak-mau membiarkan rusaknya kepolosan

orisinal dengan pilihan-pilihan nista. Dengan demikian,

masing-masing individu dihadirkan dengan tantangan

tentang bagaimana mengubah hati nista mereka menjadi hati

yang baik—suatu tantangan yang hanya bisa terwujud bagi

orang-orang yang beriman kepada bantuan daya ilahi yang

hadir di dalam diri mereka, dalam bentuk “tipe-dasar”

kesempurnaan. Buku Tiga dan Empat beralih dari fokus pada

penyelamatan individual ke pemeriksaan tentang bagaimana

individu-individu yang mengalami transformasi batiniah

semacam itu bisa membentuk paguyuban (community) orang-

orang yang berhati-baik dalam rangka menyenangkan Tuhan

melalui tindakan-tindakan mereka. Konsepsi tentang ras

manusia seluruhnya yang menyenangkan Tuhan ini merupakan

Page 40: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

tujuan hakiki semua agama-asli. Masalahnya, sebagaimana

yang dicatat oleh Kant pada awal Buku Tiga, adalah bahwa

individu-individu—yang berhati-baik sekalipun—tak

terhindar dari saling merusak manakala mereka saling

berhubungan dalam kelompok-kelompok:

Envy, the lust for power, greed, and the malignant

inclinations bound up with these, besiege his nature,

contented within itself, as soon as he is among men.

And it is not even necessary to assume that these are

men sunk in evil and examples to lead him astray; it

suffices that they are at hand, that they surround him,

and that they are men, for them mutually to corrupt

each other’s predispositions and make one another evil.

(RBBR 85)

(Kedengkian, kehausan akan kekuasaan, kerakusan, dan

kecenderungan-kecenderungan ganas yang gemar akan hal

itu, mengepung kodratnya, yang puas dengan apa adanya,

selekas ia ada di antara orang-orang. Dan tidak perlu

pula diasumsikan bahwa mereka ialah orang-orang yang

tenggelam dalam kenistaan dan panutan-panutan yang

membawa dia kepada kesesatan; cukup [dikatakan] bahwa

mereka terjangkau, bahwa mereka di sekitar dia, dan

bahwa mereka ialah orang-orang, terhadap mereka yang

saling merusak fitrah orang lain dan membuat nista satu

sama lain.) (RBBR 85)

Page 41: Takjub Simbolik: Beragama filelogika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk ... paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma

Solusi terhadap masalah itu adalah membentuk

paguyuban dengan maksud saling mendorong untuk berbuat

baik. Kant menyebut paguyuban semacam ini “persekutuan

beretika” (ethical commonwealth). Ini berbeda dengan

“persekutuan politik” selama yang belakangan ini

menyatukan orang-orang dengan memakai hukum eksternal

(“hukum pemaksaan”), sedangkan yang terdahulu harus

menggunakan hukum internal (“hukum keluhuran budi”) saja.

Beberapa pembaca Kristen mengadu bahwa paguyuban religius

asli pasti jauh lebih baik daripada sekadar sekelompok

orang yang bertemu bersama-sama untuk melakukan amal

kebaikan: organisasi sosial seperti Rotary Club memenuhi

kriteria itu tanpa perlu beragama sama sekali! Namun Kant

pada aktualnya mengakui masalah itu. Maka langkah kedua

dalam argumen Buku Tiga adalah bahwa persekutuan beretika

itu menuju kegagalan dalam upayanya untuk mendorong

kebaikan moral jika tidak membayangkan diri sebagai “Umat

Tuhan” di bawah bimbingan ilahi. Tanpa memandang

paguyuban itu dari perspektif ini, takkan ada harapan

bahwa pandangan kita yang bermacam-macam tentang apa yang

merupakan “kehidupan luhur” (lihat K