Takbir terakhir
description
Transcript of Takbir terakhir
Takbir Terakhir
Bismillahirrahmanirrahim, kalimat Basmalah ini selalu tak lupa kuucapkan
setiap aku akan melakukan sesuatu hal. Ibuku tercinta yang selalu mengajarkanku
tentang islam sejak aku kecil. Semenjak Ayahku meninggal, Ibuku adalah orang
tua tunggal dari tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Beliau adalah super hero
bagi kami, beliau bekerja keras banting tulang setiap hari demi kami, anak-
anaknya. Walaupun tak berpendidikan tinggi, Demi bakti kepada Ibunda
tersayang, aku terus berusaha untuk menyenangan hatinya dengan bekerja keras.
Tugas mengantarkan barang hari ini terasa sangat berat. Sinar matahari
begitu terik terasa membakar tubuhku sehingga membuat mataku terasa perih dan
berkunang-kunang, kakiku yang kecil semakin terlihat kurus dan bersisik dan
telapak masiku yang juga terasa melepuh. Persoalan keuangan membuatku
bekerja keras siang malam tanpa henti, Ibu prihatin melihatku sehingga beliau
selalu mencoba melarangku untuk bekerja begitu keras. Tetapi aku juga tidak bisa
membiarkan Ibuku yang sudah tua ikut bekerja. Pagi hari aku bekerja sebagai
tukang sayur, di siang hari aku menjaga toko kelontong sahabat Ayahku yang
merupakan salah seorang keturunan cina, dia begitu baik memberikan pekerjaan
ini kepadaku, bahkan dia memperbolehkanku tidak bekerja penuh di tokonya,
bekerja mulai jam 10.00 – 21.00, sepulang dari menjaga toko kelontong, dirumah
aku masih menyempatkan diri untuk membuat kue yang bisa aku titipkan di toko-
toko yang aku lewati saat berjualan sayur esok pagi. Seusai membuat kue aku
berusaha mengistirahatkan badan kecilku sejenak, aku tidak ingin membuat Ibu
khawatir karena aku sakit, sebab jam 02.00 pagi aku sudah harus bangun untuk
berebut sayur-sayur segar dengan pedagang lain dipasar.
Teringat Ibuku yang berada di rumah, air mataku meleleh, sejujurnya aku
tak tega meninggalkan beliau yang sedang sakit tinggal dirumah hanya bersama
kucing kesayangan kami. Setelah membuang lelah hampir 10 menit, aku bergegas
kembali ke toko A Sian untuk kembali bekerja. Di toko aku bergegas merapikan
lagi barang-barang yang berceceran.
“Nong, sini!”, teriak A Sian dengan lembut. Nong adalah panggilanku di
tempat kerja, mereka lebih suka memanggilku Nong daripada memanggil dengan
nama pemberian orang tuaku yaitu Nurmi, ya merka memanggilku Nong karena
keningku lebar alias Nonong.
Aku bergegas menghampiri tempat dimana A Sian berdiri, wajahnya terlihat
tegang, dan panik. A Sian menatapku dengan iba. “Ada apa ko?”, jawabku
gemetaran, tak pernah aku melihat A Sian begitu tegang bahkan saat tokonya
kebakaran pun A Sian masih bisa menyembunyikan ketegangannya, tapi kini A
Sian pun berbicara dengan nada gemetaran, seperti sedang naik sepeda di jalan
berbatu, “Nong, Ibumu nong, Ibumu”. Aku kaget mendengar kata Ibu di ucapan A
Sian, hatiku gemetar, “Ibuku kenapa ko? Ibuku dirumah”, jawabku berusaha
tegar. “Ibumu pingsan, sampai sekarang masih belum siuman. Tadi sewaktu kamu
mengantar pesanan barang, Karmin berlari tergopoh-gopoh kemari
memberitahukan kondisi Ibumu, tapi tidak ada yang tau apa yang terjadi dengan
Ibumu. Mereka semua hanya menemukan surat ini di genggaman Ibumu, tetapi
tak ada yang berani membukanya, cepatlah kau pulangNong, temani Ibumu,
biarlah toko ini Minah yang jaga.” Kata A Sian masih gemetar. Aku tak kuasa
berucap apapun, kuraih tangan A Sian untuk mengambil surat yang dibawanya
seraya mengucapkan terimakasih lalu buru-buru aku ingin mengambil langkah
seribu agar aku cepat sampai dirumah tetapi aku kaget, karena tiba-tiba bosku
yang gemuk itu menarik tanganku lagi “Nong, bawalah uang ini untuk jaga –jaga
keperluan pengobatan Ibumu, pakai saja sepeda di depan toko, kau pasti ingin
cepat sampai rumah.”. Subhanallah baik sekali hati lelaki paruh baya ini, aku
hampir menangis mendengar ucapan A Sian yang begitu mantap, “Terimakasih,
terimakasih banyak, saya rela uang gajian saya diotong setiap bulan untuk
mengganti pinjaman uang ini. “Tak usahlah kau pikirkan masalah uang ini Nong,
sebagai sesama manusia bukankah kita harus saling menolong” kata A Sian
sambil menepuk bahuku. A Sian sangat perduli terhadap keluarga kami sebab
dulu saat Ayah kami masih hidup, beliau pernah menolong A Sian saat dia terkena
musibah tabrak lari, Sejak saat itulah A Sian dekat dengan keluarga kami.
Sebelum meninggalkan toko kelontong milik A Sian aku masih memandang
wajah pemilik toko itu lekat-lekat, tak akan pernah aku lupakan kebaikanmu Ko,
batinku dalam hati. Aku mengayuh sepeda jengki tua itu cepat-cepat. Rumahku
hampir 3,5 km jauhnya dari toko kelontong itu, aku menangis saat pejalanan
pulang, aku menangis karena mendengar keadaan Ibuku tercinta, aku menangis
terharu karena masih ada orang yang perduli dengan keluarga kami. Air mataku
terus keluar sepanjang perjalanan, rasanya seperti jantungku sedang dipukul oleh
godam. Sakit sekali.
Sesampainya di rumah aku langsung menyandarkan sepeda jengki tua itu di
pagar bambu rumahku, aku lekas berlari masuk kedalam rumah. Di kamar Ibuku
terlihat Mak Inah sedang menemani Ibu yang masih belum siuman juga.“Mak, Ibu
ingin tahu. “mak juga nggak tau nduk, mak tadi kebetulan mampir tapi Ibumu
sudah pingsan di depan rumah” jawab Mak Inah. Mak Inah pamit untuk pulang,
kini aku yang menjaga Ibu. Aku mengamati badan Ibuku dari atas sampai bawah,
ku amati se detail-detailnya untuk melihat apakah ada luka di tubuh Ibuku, Aku
menatap lekat-lekat wajah wanita yang begitu kucintai.
Selang beberpa waktu Ibuku terbangun, aku sangat senang sekali. Aku takut
Ibuku pingsan lagi, jadi kubiarkan Ibuku untuk kembali beristirahat. Aku teringat
surat yang diberikan A Sian padaku, surat inilah yang kemungkinan membuat
Ibuku sampai hilang kesadaran seperti itu. Aku berjalan ke teras depan rumah,
duduk di atas bangku bambu buatan mendiang Ayahku. Kubuka surat itu secara
perlahan. Aku kaget melihat siapa yang mengirim surat itu kepada Ibu. Ternyata
kakak pertamaku, Mas Ilham.
Untuk Ibuku, Siti rabiyyah
Assalamualaikum wr.wb
Ibu aku tidak ingin membuat Ibu sedih, tapi aku juga tidak ingin terus –
menerus hidup kekurangan seperti ini. Aku kan pergi merantau jauh bu, Ilham
sudah berjanji pada diri Ilham sendiri kalau anakmu ini belum sukses, tidak akan
kembali kerumah. Ilham sebelumnya tidak pamit karena Ilham yakin Ibu pasti
tidak akan memperbolehkan Ilham untuk pergi. Sampai matipun Ilham tidak akan
pulang kalau Ilham belum sukses. Doakan Ilham bu, salam untuk adikku
tersayang, Nurmi. Tolong jaga Ibu selama aku pergi.
Wassalamualaikum wr.wb
Anakmu,
Ilham
Deg, deg, Jantungku kembali berdebar setelah membaca surat dari kakak
pertamaku ini, pantas saja Ibu sampai pingsan lama sekali. Ibu sangat mencintai
setiap anaknya, aku tahu alasan Ibu tidak memperbolehkan mas Ilham pergi
terlalu jauh, sebab mas Ilham menderita penyakit hepatitis B, sejak diketahui
kalau mas Ilham terjangkit penyakit tersebut, Ibu selalu memperhatikan mas
Ilham baik-baik. Aku sangat menyayangi mas Ilham, dia begitu memperhatikanku
sejak Ayah meninggal. Tetapi ingin sekali rasanya aku menegur mas Ilham karena
perbuatannya, tetapi mas Ilham sama sekali tidak meninggalkan alamat di surat
ini. Aku harus secepatnya mencari tahu tempat tinggal mas Ilham yang baru.
Surat mas Ilham ini tidak menyebutkan nama kakak keduaku, Rahman. Mas
Ilham sangat marah kepada mas Rahman aku tidak tahu mengapa, Ibu dan mas
Ilham tidak ada yang mau memberitahuku. Mas Rahman pun sekarang tinggal
bersama temannya didesa lain. Aku pernah mengunjunginya disana, tetapi mas
Rahman selalu mengusirku.
“Nduk, Nurmi, kamu dimana nduk?” tanya Ibuku perlahan, aku kaget
mendengar Ibu berjalan kearahku, segera ku lipat surat mas Ilham yang kubaca
tadi. “Iya bu, Nurmi disini.” Aku segera menuju ke tempat Ibuku berdiri. Ibu
mengamatiku dengan baik-baik, “Kamu kenapa nduk, wajahmu tegang sekali.”
Aku merilekskan diri, “Nurmi mencemaskan keadaan Ibu.”. “Ibu sudah tidak apa-
apa nduk.” Jawab Ibu singkat. Aku lantas memeluk tubuh Ibuku yang telah renta
ini erat-erat, “Ibu, aku mencintaimu.” Aku mencium kening Ibuku. Ibu membalas
menciumku. Aku berjandi dalam hatiku, tidak akan aku biarkan seorangpun
menyakiti Ibuku.
Memasuki bulan Dzulhijjah orang-orang disekitar ramai membicarakan
tentang berkurban, Ibu bercerita kepadaku betapa inginnya Ibu bisa berkurban.
Aku pun makin bekerja keras untuk Ibuku. Pagi siang malam aku sempatkan
untuk terus bekerja, sampai-sampai tak pernah terpikirkan olehku untuk mencari
seorang pria untuk menjadi pasangan hidupku. Umurku sudah melampaui 24tahun
tetapi tak seorangpun pria yang istimewa dihatiku, pikiran dan hatiku hanya ingin
membahagiakan Ibu. Ya, Pernah sekali aku jatuh hati pada seorang pria, dia
bekerja sebagai Guru di salah satu sekolah dasar negeri di desaku. Aku
mengenalnya karena dia adalah teman mas Ilham. Menurut penjelasan mas Ilham
dia juga jatuh hati padaku, tetapi dia tidak berani mengungkapkannya. Kami
saling merahasiakan perasaan kami satu sama lain. Mas Ilham pun tidak tahu
kalau aku juga jatuh hati pada sahabatnya itu. Perasaan terpendam kami
berlangsung hampir dua tahun, tetapi ternyata pria itu bukan jodohku. Ayah dan
Ibunya menjodohkannya dengan seorang wanita di kota. Hatiku sakit, sejak saat
itu aku berusaha berhati-hati dalam mencintai seseorang.
Bekerja begitu keras membuatku jatuh sakit selama satu minggu, uang yang
selama ini aku kumpulkan untuk membeli hewan ternak, harus berkurang untuk
biaya pengobatanku. Aku sangat merasa bersalahang penting kesehatan kepada
Ibu. “Sudahlah nduk, jangan lagi terlalu kau pikirkan masalah ternak, yang
terpenting itu kesehatanmu. Justru Ibu sangat merasa bersalah sampai membuat
kamu jatuh sakit seperti ini. Kamu memang anak yang baik Nurmi, Ibu sangat
menyayangimu.” Ibu memelukku sangat erat, aku hanya bisa membalas dalam
hati karena pak mantri masih melarangku untuk berbicara. Semenjak aku sakit,
aku sangat kesulitan untuk beribadah, salah satunya untuk menunaikan kewajiban
shalat lima waktu. Ibuku selalu sabar merawatku, aku berwudhu dengan
tayamum, dan melaksanakan shalat pun dengan posisi berbaring. Tak akan pernah
ku tinggalkan kewajibanku ini kepada Allah dengan alasan apapun, sebab semua
hal itu datangnya dari kehendak Allah, dan aku hanyalah makhluk yang kecil.
Yang tidak dapat hidup tanpa adanya cinta dari Allah kepadaku.
Besok adalah Hari Raya Idul Adha, Alhamdulillah kondisiku sudah
membaik, jadi malam ini aku berjalan-jalan dengan Ibu di jalanan desa kami
karena desa kami mengadakan takbiran keliling. Ibuku sangat bahagia sekali
karena masih diberi waktu untuk merasakan kembali datangnya hari Lebaran.
“Rahman, man.” Teriak Ibu ke seberang jalan, aku sangat keheranan
mendengar suara serak Ibuku memanggil-manggil nama mas Rahman. “Dimana
mas Rahman bu?”tanya Ibu keheranan. “Diseberang jalan nduk, itu lho masmu.”
Jawab Ibu yakin. Tapi aku sama sekali tidak melihat ada mas Rahman. Tanpa
sepengetahuanku Ibu segera berlari ke seberang jalan, baru saat itu aku melihat
ada mas Rahman disana, Ibu mengejar mas Rahman. Akupun segera menghampiri
Ibuku dan mas Rahman disana.
Dari kejauhan aku mendengar mas Rahman membentak Ibu keras-keras,
makin ku percepat langkahku. Ibu menangis, ingin rasanya aku menampar wajah
mas Rahman saat itu juga. Tetapi Ibu melarangku. Ibu hanya ingin mas Rahman
pulang kerumah, tetapi mas Rahaman terus menolak. Aku bergegas membelikan
Ibu sebotol air mineral agar Ibu lebih tenang.
Brakk
Aku sangat kaget mendengar suara itu, sepertinya ada yang barusaja
tertabrak mobil, keras sekali. Aku menghampiri sekerumunan orang yang
melingkari korban kecelakaan. “Astaghfirullah hal adzim, Ibu, Ibu, maaf permisi,
permisi, ini Ibu saya.” Teriakku pada orang-orang agar memberikanku ruang
untuk berjalan dan mencapai ke Ibuku. “Ada apa ini? mengapa Ibu,” suaraku
terhenti, aku melihat mas Rahman disisi Ibu. “Mas Rahman? Mas ada apa ini
mas? Ibu kenapa bisa tertabrak.” Tanyaku panik. “Maafkan aku Nur. Ini salahku.”
Kata Mas Rahman merasa bersalah. “Nanti saja mas kita bicara di Rumah, ayo
kita bawa Ibu ke Rumah Sakit.” Ajakku buru-buru. “Sudah terlambat Nur, Ibu
sudah tidak ada.” Tangis Mas Rahman Meledak.”Ibu” aku menangis sejadi-
jadinya. Ibuku meninggal, kini kami bertiga yatim piatu. Malam ini malam
Lebaran, Ibu sudah menanti-nanti datangnya Hari Lebaran ini belum sempat Ibu
melaksanakan Shalat idul fitri esok pagi, malam ini Ibu sudah kembali ke
pangkuan Allah SWT.
Seusai Shalat Ied. aku, Mas Rahman, A Sian, dan warga desa memakamkan
Jenazah Ibu. Aku menangis dalam hati. Aku berusaha untuk tegar, aku tidak mau
Ibu sedih melihat aku menangisi kepergiannya. Di tengah-tengah prosesi
pemakaman tiba-tiba Mas Ilham datang dengan mat apenuh air mata, “Nur, Ibu.”
“Iya Mas, Ibu sudah tidak ada” jawabku. Mas Ilham memegang nisan Ibu sambil
menangis, lalu sesekali Mas Ilham melihat kearah Mas Rahman yang terus
tertunduk. Sepulang pemakaman banyak warga yang mengunjungi kami sambil
bersilaturahmi. Mas Ilham menghampiriku, “Aku punya perasaan tidak enak
tentang Ibu, ternyata setelah aku kembali, Ibu sudah tiada. Apakah si Rahman
yang membuat Ibu seperti ini?”. “Ibu meninggal karena tertabrak mobil mas saat
Ibu mencoba mengejar mas Rahman.” Aku berkata smbil menunduk. “Ada apa
lagi dengan si Rahman itu, bisa-bisanya dia membunuh kedua orang tua kita
karena perilakunya. Akan ku hajar dia nanti.” Mas Ilham geram. “ Sudahlah mas,
semua ini sudah terjadi, Ibu dan bapak pasti akan sedih bila ada perselisihan
diantara Mas Ilham dan Mas Rahman.” Aku berusaha menenangkan mas Ilham.
Sampai malam hari pun mas Rahman tidak berbicara kepada kami, mungkin
dia merasa bersalah karena meninggalnya Ibu, mas Rahman terus memandangi
dan memeluk foto kedua orangtua kami sambil sesekali meneteskan air mata, tak
pernah aku melihat mas Rahman menangis. Mas Ilham pun akhirnya mengajak
kami berdua shalat berjamaah dan kemudian bersama-sama mendoakan Ibu agar
Ibu ditempatkan di tempat yang baik di sisi Allah SWT. Karena sesungguhnya
doa anak yang shalih akan diperhitungkan oleh Allah SWT. Hari ini adalah hari
Lebaran terakhir untuk Ibuku tercinta, semoga Ibu bahagia bersama Ayah di alam
sana. “Kami mencintai kalian karena Allah” Batinku dalam hati bambil
menitikkan air mata.
Selesai
Oleh : Angelina N.D