Takbir terakhir

12
Takbir Terakhir Bismillahirrahmanirrahim, kalimat Basmalah ini selalu tak lupa kuucapkan setiap aku akan melakukan sesuatu hal. Ibuku tercinta yang selalu mengajarkanku tentang islam sejak aku kecil. Semenjak Ayahku meninggal, Ibuku adalah orang tua tunggal dari tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Beliau adalah super hero bagi kami, beliau bekerja keras banting tulang setiap hari demi kami, anak-anaknya. Walaupun tak berpendidikan tinggi, Demi bakti kepada Ibunda tersayang, aku terus berusaha untuk menyenangan hatinya dengan bekerja keras. Tugas mengantarkan barang hari ini terasa sangat berat. Sinar matahari begitu terik terasa membakar tubuhku sehingga membuat mataku terasa perih dan berkunang-kunang, kakiku yang kecil semakin terlihat kurus dan bersisik dan telapak masiku yang juga terasa melepuh. Persoalan keuangan membuatku bekerja keras siang malam tanpa henti, Ibu prihatin melihatku sehingga beliau selalu mencoba melarangku untuk bekerja begitu keras. Tetapi aku juga tidak bisa membiarkan Ibuku yang sudah tua ikut bekerja. Pagi hari aku bekerja sebagai tukang sayur, di siang hari aku menjaga toko kelontong sahabat Ayahku yang merupakan salah seorang keturunan cina, dia begitu baik memberikan pekerjaan ini kepadaku, bahkan dia memperbolehkanku

description

terakhir

Transcript of Takbir terakhir

Page 1: Takbir terakhir

Takbir Terakhir

Bismillahirrahmanirrahim, kalimat Basmalah ini selalu tak lupa kuucapkan

setiap aku akan melakukan sesuatu hal. Ibuku tercinta yang selalu mengajarkanku

tentang islam sejak aku kecil. Semenjak Ayahku meninggal, Ibuku adalah orang

tua tunggal dari tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Beliau adalah super hero

bagi kami, beliau bekerja keras banting tulang setiap hari demi kami, anak-

anaknya. Walaupun tak berpendidikan tinggi, Demi bakti kepada Ibunda

tersayang, aku terus berusaha untuk menyenangan hatinya dengan bekerja keras.

Tugas mengantarkan barang hari ini terasa sangat berat. Sinar matahari

begitu terik terasa membakar tubuhku sehingga membuat mataku terasa perih dan

berkunang-kunang, kakiku yang kecil semakin terlihat kurus dan bersisik dan

telapak masiku yang juga terasa melepuh. Persoalan keuangan membuatku

bekerja keras siang malam tanpa henti, Ibu prihatin melihatku sehingga beliau

selalu mencoba melarangku untuk bekerja begitu keras. Tetapi aku juga tidak bisa

membiarkan Ibuku yang sudah tua ikut bekerja. Pagi hari aku bekerja sebagai

tukang sayur, di siang hari aku menjaga toko kelontong sahabat Ayahku yang

merupakan salah seorang keturunan cina, dia begitu baik memberikan pekerjaan

ini kepadaku, bahkan dia memperbolehkanku tidak bekerja penuh di tokonya,

bekerja mulai jam 10.00 – 21.00, sepulang dari menjaga toko kelontong, dirumah

aku masih menyempatkan diri untuk membuat kue yang bisa aku titipkan di toko-

toko yang aku lewati saat berjualan sayur esok pagi. Seusai membuat kue aku

berusaha mengistirahatkan badan kecilku sejenak, aku tidak ingin membuat Ibu

khawatir karena aku sakit, sebab jam 02.00 pagi aku sudah harus bangun untuk

berebut sayur-sayur segar dengan pedagang lain dipasar.

Teringat Ibuku yang berada di rumah, air mataku meleleh, sejujurnya aku

tak tega meninggalkan beliau yang sedang sakit tinggal dirumah hanya bersama

kucing kesayangan kami. Setelah membuang lelah hampir 10 menit, aku bergegas

kembali ke toko A Sian untuk kembali bekerja. Di toko aku bergegas merapikan

lagi barang-barang yang berceceran.

Page 2: Takbir terakhir

“Nong, sini!”, teriak A Sian dengan lembut. Nong adalah panggilanku di

tempat kerja, mereka lebih suka memanggilku Nong daripada memanggil dengan

nama pemberian orang tuaku yaitu Nurmi, ya merka memanggilku Nong karena

keningku lebar alias Nonong.

Aku bergegas menghampiri tempat dimana A Sian berdiri, wajahnya terlihat

tegang, dan panik. A Sian menatapku dengan iba. “Ada apa ko?”, jawabku

gemetaran, tak pernah aku melihat A Sian begitu tegang bahkan saat tokonya

kebakaran pun A Sian masih bisa menyembunyikan ketegangannya, tapi kini A

Sian pun berbicara dengan nada gemetaran, seperti sedang naik sepeda di jalan

berbatu, “Nong, Ibumu nong, Ibumu”. Aku kaget mendengar kata Ibu di ucapan A

Sian, hatiku gemetar, “Ibuku kenapa ko? Ibuku dirumah”, jawabku berusaha

tegar. “Ibumu pingsan, sampai sekarang masih belum siuman. Tadi sewaktu kamu

mengantar pesanan barang, Karmin berlari tergopoh-gopoh kemari

memberitahukan kondisi Ibumu, tapi tidak ada yang tau apa yang terjadi dengan

Ibumu. Mereka semua hanya menemukan surat ini di genggaman Ibumu, tetapi

tak ada yang berani membukanya, cepatlah kau pulangNong, temani Ibumu,

biarlah toko ini Minah yang jaga.” Kata A Sian masih gemetar. Aku tak kuasa

berucap apapun, kuraih tangan A Sian untuk mengambil surat yang dibawanya

seraya mengucapkan terimakasih lalu buru-buru aku ingin mengambil langkah

seribu agar aku cepat sampai dirumah tetapi aku kaget, karena tiba-tiba bosku

yang gemuk itu menarik tanganku lagi “Nong, bawalah uang ini untuk jaga –jaga

keperluan pengobatan Ibumu, pakai saja sepeda di depan toko, kau pasti ingin

cepat sampai rumah.”. Subhanallah baik sekali hati lelaki paruh baya ini, aku

hampir menangis mendengar ucapan A Sian yang begitu mantap, “Terimakasih,

terimakasih banyak, saya rela uang gajian saya diotong setiap bulan untuk

mengganti pinjaman uang ini. “Tak usahlah kau pikirkan masalah uang ini Nong,

sebagai sesama manusia bukankah kita harus saling menolong” kata A Sian

sambil menepuk bahuku. A Sian sangat perduli terhadap keluarga kami sebab

dulu saat Ayah kami masih hidup, beliau pernah menolong A Sian saat dia terkena

musibah tabrak lari, Sejak saat itulah A Sian dekat dengan keluarga kami.

Page 3: Takbir terakhir

Sebelum meninggalkan toko kelontong milik A Sian aku masih memandang

wajah pemilik toko itu lekat-lekat, tak akan pernah aku lupakan kebaikanmu Ko,

batinku dalam hati. Aku mengayuh sepeda jengki tua itu cepat-cepat. Rumahku

hampir 3,5 km jauhnya dari toko kelontong itu, aku menangis saat pejalanan

pulang, aku menangis karena mendengar keadaan Ibuku tercinta, aku menangis

terharu karena masih ada orang yang perduli dengan keluarga kami. Air mataku

terus keluar sepanjang perjalanan, rasanya seperti jantungku sedang dipukul oleh

godam. Sakit sekali.

Sesampainya di rumah aku langsung menyandarkan sepeda jengki tua itu di

pagar bambu rumahku, aku lekas berlari masuk kedalam rumah. Di kamar Ibuku

terlihat Mak Inah sedang menemani Ibu yang masih belum siuman juga.“Mak, Ibu

ingin tahu. “mak juga nggak tau nduk, mak tadi kebetulan mampir tapi Ibumu

sudah pingsan di depan rumah” jawab Mak Inah. Mak Inah pamit untuk pulang,

kini aku yang menjaga Ibu. Aku mengamati badan Ibuku dari atas sampai bawah,

ku amati se detail-detailnya untuk melihat apakah ada luka di tubuh Ibuku, Aku

menatap lekat-lekat wajah wanita yang begitu kucintai.

Selang beberpa waktu Ibuku terbangun, aku sangat senang sekali. Aku takut

Ibuku pingsan lagi, jadi kubiarkan Ibuku untuk kembali beristirahat. Aku teringat

surat yang diberikan A Sian padaku, surat inilah yang kemungkinan membuat

Ibuku sampai hilang kesadaran seperti itu. Aku berjalan ke teras depan rumah,

duduk di atas bangku bambu buatan mendiang Ayahku. Kubuka surat itu secara

perlahan. Aku kaget melihat siapa yang mengirim surat itu kepada Ibu. Ternyata

kakak pertamaku, Mas Ilham.

Untuk Ibuku, Siti rabiyyah

Assalamualaikum wr.wb

Ibu aku tidak ingin membuat Ibu sedih, tapi aku juga tidak ingin terus –

menerus hidup kekurangan seperti ini. Aku kan pergi merantau jauh bu, Ilham

sudah berjanji pada diri Ilham sendiri kalau anakmu ini belum sukses, tidak akan

kembali kerumah. Ilham sebelumnya tidak pamit karena Ilham yakin Ibu pasti

tidak akan memperbolehkan Ilham untuk pergi. Sampai matipun Ilham tidak akan

Page 4: Takbir terakhir

pulang kalau Ilham belum sukses. Doakan Ilham bu, salam untuk adikku

tersayang, Nurmi. Tolong jaga Ibu selama aku pergi.

Wassalamualaikum wr.wb

Anakmu,

Ilham

Deg, deg, Jantungku kembali berdebar setelah membaca surat dari kakak

pertamaku ini, pantas saja Ibu sampai pingsan lama sekali. Ibu sangat mencintai

setiap anaknya, aku tahu alasan Ibu tidak memperbolehkan mas Ilham pergi

terlalu jauh, sebab mas Ilham menderita penyakit hepatitis B, sejak diketahui

kalau mas Ilham terjangkit penyakit tersebut, Ibu selalu memperhatikan mas

Ilham baik-baik. Aku sangat menyayangi mas Ilham, dia begitu memperhatikanku

sejak Ayah meninggal. Tetapi ingin sekali rasanya aku menegur mas Ilham karena

perbuatannya, tetapi mas Ilham sama sekali tidak meninggalkan alamat di surat

ini. Aku harus secepatnya mencari tahu tempat tinggal mas Ilham yang baru.

Surat mas Ilham ini tidak menyebutkan nama kakak keduaku, Rahman. Mas

Ilham sangat marah kepada mas Rahman aku tidak tahu mengapa, Ibu dan mas

Ilham tidak ada yang mau memberitahuku. Mas Rahman pun sekarang tinggal

bersama temannya didesa lain. Aku pernah mengunjunginya disana, tetapi mas

Rahman selalu mengusirku.

“Nduk, Nurmi, kamu dimana nduk?” tanya Ibuku perlahan, aku kaget

mendengar Ibu berjalan kearahku, segera ku lipat surat mas Ilham yang kubaca

tadi. “Iya bu, Nurmi disini.” Aku segera menuju ke tempat Ibuku berdiri. Ibu

mengamatiku dengan baik-baik, “Kamu kenapa nduk, wajahmu tegang sekali.”

Aku merilekskan diri, “Nurmi mencemaskan keadaan Ibu.”. “Ibu sudah tidak apa-

apa nduk.” Jawab Ibu singkat. Aku lantas memeluk tubuh Ibuku yang telah renta

ini erat-erat, “Ibu, aku mencintaimu.” Aku mencium kening Ibuku. Ibu membalas

menciumku. Aku berjandi dalam hatiku, tidak akan aku biarkan seorangpun

menyakiti Ibuku.

Page 5: Takbir terakhir

Memasuki bulan Dzulhijjah orang-orang disekitar ramai membicarakan

tentang berkurban, Ibu bercerita kepadaku betapa inginnya Ibu bisa berkurban.

Aku pun makin bekerja keras untuk Ibuku. Pagi siang malam aku sempatkan

untuk terus bekerja, sampai-sampai tak pernah terpikirkan olehku untuk mencari

seorang pria untuk menjadi pasangan hidupku. Umurku sudah melampaui 24tahun

tetapi tak seorangpun pria yang istimewa dihatiku, pikiran dan hatiku hanya ingin

membahagiakan Ibu. Ya, Pernah sekali aku jatuh hati pada seorang pria, dia

bekerja sebagai Guru di salah satu sekolah dasar negeri di desaku. Aku

mengenalnya karena dia adalah teman mas Ilham. Menurut penjelasan mas Ilham

dia juga jatuh hati padaku, tetapi dia tidak berani mengungkapkannya. Kami

saling merahasiakan perasaan kami satu sama lain. Mas Ilham pun tidak tahu

kalau aku juga jatuh hati pada sahabatnya itu. Perasaan terpendam kami

berlangsung hampir dua tahun, tetapi ternyata pria itu bukan jodohku. Ayah dan

Ibunya menjodohkannya dengan seorang wanita di kota. Hatiku sakit, sejak saat

itu aku berusaha berhati-hati dalam mencintai seseorang.

Bekerja begitu keras membuatku jatuh sakit selama satu minggu, uang yang

selama ini aku kumpulkan untuk membeli hewan ternak, harus berkurang untuk

biaya pengobatanku. Aku sangat merasa bersalahang penting kesehatan kepada

Ibu. “Sudahlah nduk, jangan lagi terlalu kau pikirkan masalah ternak, yang

terpenting itu kesehatanmu. Justru Ibu sangat merasa bersalah sampai membuat

kamu jatuh sakit seperti ini. Kamu memang anak yang baik Nurmi, Ibu sangat

menyayangimu.” Ibu memelukku sangat erat, aku hanya bisa membalas dalam

hati karena pak mantri masih melarangku untuk berbicara. Semenjak aku sakit,

aku sangat kesulitan untuk beribadah, salah satunya untuk menunaikan kewajiban

shalat lima waktu. Ibuku selalu sabar merawatku, aku berwudhu dengan

tayamum, dan melaksanakan shalat pun dengan posisi berbaring. Tak akan pernah

ku tinggalkan kewajibanku ini kepada Allah dengan alasan apapun, sebab semua

hal itu datangnya dari kehendak Allah, dan aku hanyalah makhluk yang kecil.

Yang tidak dapat hidup tanpa adanya cinta dari Allah kepadaku.

Besok adalah Hari Raya Idul Adha, Alhamdulillah kondisiku sudah

membaik, jadi malam ini aku berjalan-jalan dengan Ibu di jalanan desa kami

Page 6: Takbir terakhir

karena desa kami mengadakan takbiran keliling. Ibuku sangat bahagia sekali

karena masih diberi waktu untuk merasakan kembali datangnya hari Lebaran.

“Rahman, man.” Teriak Ibu ke seberang jalan, aku sangat keheranan

mendengar suara serak Ibuku memanggil-manggil nama mas Rahman. “Dimana

mas Rahman bu?”tanya Ibu keheranan. “Diseberang jalan nduk, itu lho masmu.”

Jawab Ibu yakin. Tapi aku sama sekali tidak melihat ada mas Rahman. Tanpa

sepengetahuanku Ibu segera berlari ke seberang jalan, baru saat itu aku melihat

ada mas Rahman disana, Ibu mengejar mas Rahman. Akupun segera menghampiri

Ibuku dan mas Rahman disana.

Dari kejauhan aku mendengar mas Rahman membentak Ibu keras-keras,

makin ku percepat langkahku. Ibu menangis, ingin rasanya aku menampar wajah

mas Rahman saat itu juga. Tetapi Ibu melarangku. Ibu hanya ingin mas Rahman

pulang kerumah, tetapi mas Rahaman terus menolak. Aku bergegas membelikan

Ibu sebotol air mineral agar Ibu lebih tenang.

Brakk

Aku sangat kaget mendengar suara itu, sepertinya ada yang barusaja

tertabrak mobil, keras sekali. Aku menghampiri sekerumunan orang yang

melingkari korban kecelakaan. “Astaghfirullah hal adzim, Ibu, Ibu, maaf permisi,

permisi, ini Ibu saya.” Teriakku pada orang-orang agar memberikanku ruang

untuk berjalan dan mencapai ke Ibuku. “Ada apa ini? mengapa Ibu,” suaraku

terhenti, aku melihat mas Rahman disisi Ibu. “Mas Rahman? Mas ada apa ini

mas? Ibu kenapa bisa tertabrak.” Tanyaku panik. “Maafkan aku Nur. Ini salahku.”

Kata Mas Rahman merasa bersalah. “Nanti saja mas kita bicara di Rumah, ayo

kita bawa Ibu ke Rumah Sakit.” Ajakku buru-buru. “Sudah terlambat Nur, Ibu

sudah tidak ada.” Tangis Mas Rahman Meledak.”Ibu” aku menangis sejadi-

jadinya. Ibuku meninggal, kini kami bertiga yatim piatu. Malam ini malam

Lebaran, Ibu sudah menanti-nanti datangnya Hari Lebaran ini belum sempat Ibu

melaksanakan Shalat idul fitri esok pagi, malam ini Ibu sudah kembali ke

pangkuan Allah SWT.

Page 7: Takbir terakhir

Seusai Shalat Ied. aku, Mas Rahman, A Sian, dan warga desa memakamkan

Jenazah Ibu. Aku menangis dalam hati. Aku berusaha untuk tegar, aku tidak mau

Ibu sedih melihat aku menangisi kepergiannya. Di tengah-tengah prosesi

pemakaman tiba-tiba Mas Ilham datang dengan mat apenuh air mata, “Nur, Ibu.”

“Iya Mas, Ibu sudah tidak ada” jawabku. Mas Ilham memegang nisan Ibu sambil

menangis, lalu sesekali Mas Ilham melihat kearah Mas Rahman yang terus

tertunduk. Sepulang pemakaman banyak warga yang mengunjungi kami sambil

bersilaturahmi. Mas Ilham menghampiriku, “Aku punya perasaan tidak enak

tentang Ibu, ternyata setelah aku kembali, Ibu sudah tiada. Apakah si Rahman

yang membuat Ibu seperti ini?”. “Ibu meninggal karena tertabrak mobil mas saat

Ibu mencoba mengejar mas Rahman.” Aku berkata smbil menunduk. “Ada apa

lagi dengan si Rahman itu, bisa-bisanya dia membunuh kedua orang tua kita

karena perilakunya. Akan ku hajar dia nanti.” Mas Ilham geram. “ Sudahlah mas,

semua ini sudah terjadi, Ibu dan bapak pasti akan sedih bila ada perselisihan

diantara Mas Ilham dan Mas Rahman.” Aku berusaha menenangkan mas Ilham.

Sampai malam hari pun mas Rahman tidak berbicara kepada kami, mungkin

dia merasa bersalah karena meninggalnya Ibu, mas Rahman terus memandangi

dan memeluk foto kedua orangtua kami sambil sesekali meneteskan air mata, tak

pernah aku melihat mas Rahman menangis. Mas Ilham pun akhirnya mengajak

kami berdua shalat berjamaah dan kemudian bersama-sama mendoakan Ibu agar

Ibu ditempatkan di tempat yang baik di sisi Allah SWT. Karena sesungguhnya

doa anak yang shalih akan diperhitungkan oleh Allah SWT. Hari ini adalah hari

Lebaran terakhir untuk Ibuku tercinta, semoga Ibu bahagia bersama Ayah di alam

sana. “Kami mencintai kalian karena Allah” Batinku dalam hati bambil

menitikkan air mata.

Selesai

Oleh : Angelina N.D