T PKKH 0908259 chapter2 -...
Transcript of T PKKH 0908259 chapter2 -...
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Penalaran Moral
1. Penalaran Moral
Penalaran dalam Suharnan (2005) sering disebut juga jalan pikiran,
menurut Keraf (1991) adalah suatu proses berfikir yang berusaha
menghubungkan fakta-fakta yang diketahui menuju pada suatu kesimpulan.
Menurut Soekadijo (1988) penalaran adalah aktivitas menilai hubungan
proposisi – proposisi yang disusun di dalam bentuk premis – premis,
kemudian menentukan kesimpulannya. Pendapat serupa yang sangat
sederhana diberikan oleh Kafie (1989) bahwa penalaran merupakan jalan
pikiran (proses) ketika orang akan mengambil kesimpulan tertentu.
Beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa penalaran ialah suatu
proses kognitif dalam menilai hubungan diantara premis – premis yang
akhirnya menuju pada penarikan kesimpulan tertentu.
Dalam jurnal psikologi dan masyarakat dikatakan bahwa konsep
moralitas yang diajukan oleh Kohlberg dengan istilah penalaran moral
(moral reasoning, moral thinking, moral judgement) tidak terkait dengan
kondisi sosio-budaya tertentu. Moralitas tidak ada kaitannya dengan
jawaban atas pertanyaan apa yang baik/buruk, tetapi terkait dengan jawaban
atas pertanyaan mengapa sesuatu dianggap baik/buruk.
Penalaran moral mengacu pada proses penalaran dimana prilaku,
institusi, atau kebijakan dinilai sesuai atau melanggar standar moral.
10
Penalaran moral adalah proses berpikir yang mendasari keputusan benar dan
salah.
Moralitas pada dasarnya dipandang oleh Kohlberg sebagai suatu
konflik antara kepentingan diri dan lingkungan, dan antara hak dan
kewajiban yang harus diselesaikan. Dengan demikian, moralitas, yang
diidentikkan dengan penyelesaian konflik antara kepentingan diri dan
lingkungan merupakan hasil timbang menimbang antara kedua komponen
tersebut. Dengan cara pandang seperti ini dapat diidentifikasi berbagai
macam pola pertimbangan, yang setelah dikaji dalam penelitian
longitudinal, ternyata didalamnya terdapat urutan tahap-tahap
perkembangan moral yang sifatnya universal.
Kohlberg mengidentifikasi perkembangan penalaran moral menjadi
enam tahap yang dibagi dalam tiga tingkat (level), yaitu tingkat pra-
konvensional, tingkat konvensional, dan tingkat pasca-konvensional.
Untuk memahami tahapan-tahapan tersebut, akan sangat membantu jika kita
memulai dengan tiga tingkatan moral. Tingkatan pra-konvensional ialah
tingkatan yang dicapai oleh sebagian besar anak di bawah umur 9 tahun,
sejumlah remaja, dan semakin banyak remaja serta pelaku tindak kriminal
usia dewasa. Tingkatan konvensional adalah tingkatan yang dicapai oleh
sebagian besar remaja serta orang dewasa dalam masyarakat Amerika dan
pada sebagian besar masyarakat lainnya. Tingkatan post-konvensional
dicapai oleh minoritas orang dewasa dan biasanya hanya dicapai setelah usia
20 – 25 tahun. Seperti yang telah ditegaskan sebelumnya, istilah
11
konvensional bukan berarti bahwa setiap individu yang berada pada
tingkatan ini tidak mampu membedakan antara konvensi moralitas dengan
konvensi sosial namun lebih condong bahwa moralitas terdiri dari sistem
aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.
Seseorang yang berada di tingkatan pre-konvensional belum benar-benar
memahami serta membenarkan norma-norma serta ekspektasi-ekspektasi
moral yang dibagi secara sosial. Mereka yang berada pada tingkatan post-
konvensional memahami dan biasanya bisa menerima aturan-aturan
masyarakat, namun penerimaan terhadap aturan-aturan masyarakat
didasarkan pada perumusan serta penerimaan prinsip-prinsip moral umum
yang mendasari aturan-aturan tersebut. Prinsip-prinsip tersebut pada
sejumlah kasus menimbulkan konflik dengan aturan-aturan masyarakat, di
mana kasus post-konvensional individual lebih dinilai oleh prinsip daripada
oleh konvensi.
2. Tahapan Penalaran Moral
Tingkat I: Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada
anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam
tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai
moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat
pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral,
dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
12
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada
konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai
contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang
melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin
salah tindakan itu sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang
lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai
sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang
benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua
kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap
bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti
“kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu. Dalam tahap
dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang
bersifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-
konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua
tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka
dari tahap dua, perspektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif
secara moral.
Tingkat II: Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang
dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan
membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat
13
konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan
moral.
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran
sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-
orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap
peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk
memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan
hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan
mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang
mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule.
Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu
peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran
yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; ‘mereka bermaksud baik’.
Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan,
dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat.
Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan
penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus
melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang
benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang
bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu, sehingga ada
kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang
melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor
yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
14
Tingkat III: Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip,
terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa
individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi
semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif
masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat
tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-
konvensional.
Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki
pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa
mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak
dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan
atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut,
‘memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak’? Sejalan
dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan
kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus
diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-
banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan
kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan
pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak
menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada
keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk
15
tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial
dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara
kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara
kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel Kant). Hal ini bisa
dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat
menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran
sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls). Tindakan yang diambil adalah
hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi
selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan
karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui
sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan
untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten.
Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, jarang sekali yang bisa mencapai tahap
enam dari model Kohlberg ini. Kohlberg menyebutkan contoh tokoh yang
mencapai penalaran moral tahap ke-6, yaitu Mahatma Gandhi, Martin Luther
King, dan Galileo.
Dalam proses perkembangan moral reasoning dengan enam tahapannya
seperti itu berlakulah dalil berikut:
1. Perkembangan moral terjadi secara berurutan dari satu tahap ke tahap
berikutnya.
2. Dalam perkembangan moral orang tidak memahami cara berfikir dari tahap
yang lebih dari dua tahap diatasnya.
16
3. Dalam perkembangan moral, seseorang secara kognitif tertarik pada cara
berfikir dari satu tahap diatas tahapnya sendiri. Anak dari 2 tahap 2 merasa
tertarik kepada tahap 3, berdasarkan inilah Kohlberg percaya bahwa moral
reasoning dapat dan mungkin diperkembangkan.
4. Dalam perkembangan moral, perkembangan hanya akan terjadi apabila
diciptakan suatu diequilibrium kognitif pada diri si anak didik. Seseorang
yang sudah mapan dalam satu tahap tertentu harus diusik secara kognitif
sehingga ia terangsang untuk memikirkan kembali prinsip yang sudah
dipegangnya. Kalau ia tetap tentram dan tetap dalam tahapannya sendiri,
maka tidak mungkin ada perkembangan.
3. Peningkatan Tahap Perkembangan Penalaran Moral
Menurut teori perkembangan sosio-kognitif dalam jurnal psikologi
dan masyarakat, peningkatan tahap perkembangan penalaran moral terjadi
oleh karena adanya rangsangan. Rangsangan yang tentu saja didefinisikan
dalam pengertian struktur kognitif ini juga harus bersifat sosial, yakni
berhubungan dengan sesuatu yang datang dari interaksi sosial dan dari
pembuatan keputusan moral,dan dialog moral dan interaksi moral.
Rangsangan yang hanya mengandung aspek kognisi (penalaran logis) saja
memang merupakan dasar terjadinya peningkatan tahap perkembangan
moral (prerequisite- condition), tetapi tidak mempengaruhi perkembangan
penalaran moral secara langsung.
17
Kohlberg mengutarakan bahwa terdapat paralelisme “terbatas”
(“terbatas” = tambahan penulis) antara perkembangan kognisi dan
perkembangan penalaran moral. Seseorang dengan tahap berkembangan
kognisi pada concrete operatinal akan terbatas tahap penalaran moralnya
pada tahap 1 dan 2. Seseorang dengan tahap perkembangan kognisi pada
formal operation yang rendah, akan terbatas pada penalaran moral tingkat
conventional (tahap 3 dan 4). Meskipun perkembangan kognisi merupakan
kondisi yang penting untuk perkembangan penalaran moral,itu belum cukup
(necessary but not sufficient condition). Menurut penelitian Colby &
Kohlberg, banyak individu yang tahap perkembangan kognisinya lebih
tinggi daripada tahap perkembangan penalaran moral yang seharusnya
merupakan paralelnya, dan tak ada seorang pun yang mempunyai tahap
penalaran moral yang lebih tinggi dari pada tahap perkembangan
kognisinya.
Selain paralelisme antara tahap perkembangan penalaran moral dan
tahap perkembangan kognisi, Kohlberg juga mengutarakan bahwa ada
hubungan yang erat antara tahap alih peran (role taking ) atau presepsi
sosial, atau perpektif sosial seperti yang diutarakan oleh Selman. Tahap alih
peran juga merupakan prerequisite condition dari tahap penalaran moral.
Urutan horisontal perkembangan di antara tiga domain tersebut
membawa konsekuensi pada konseptualisme rangsangan yang
menyebabkan peningkatan tahap penalaran moral. Telah diutarakan bahwa
untuk mencapai tahap perkembangan kognisi tertentu, dan ketiadaan
18
rangsangan kognisi dapat menerangkan batas tahap tertinggi penalaran
moral yang dicapai. Kohlberg memberi contoh bahwa di suatu desa di Turki
tahap formal operation jarang ditemui. Sehubung dengan itu, kita tidak
dapat mengharapkan bahwa penalaran post-conventional dapat berkembang
dalam konteks kultur semacam itu.
Faktor lain yang penting sebagai rangsangan peningkatan tahap
penalaran moral adalah kesempatan-kesempatan alih peran (role taking
opportunities). Alih peran berarti mengambil sikap dari sudut pandang
orang lain, atau singkatnya, menempatkan diri pada posisi orang lain.
Ada beberapa kesempatan ahli peran yang mungkin dialami oleh
seseorang, seperti melalui hubungan antar individu dalam keluarga, dalam
kelompok sebaya, di sekolah, dan dalam masyarakat luas.
Dalam hubungan keluarga, salah satu faktor yang menentukan
peningkatan tahap perkembangan moral adalah bila orang tua mendorong
terjadinya dialog mengenai issue nilai-nila. Sebab, dalam dialog keluarga
semacam itu terjadi pertukaran sudut pandang serta sikap-sikap yang disebut
kesempatan alih peran. Dalam hubungan dengan teman sebaya, bagi anak
atau remaja yang banyak berpatisipasi dalam pergaulan teman sebaya,
kemungkinan peningkatan tahap perkembangan penalaran moral akan lebih
besar dibandingkan dengan mereka yang kurang bergaul. Dalam
hubungannya dengan status dalam masyarakat luas, Kohlberg telah
mengadakan penelitian kolerasi antara status sosial-ekonomi dan
perkembangan penalaran moral di berbagai kultur. Kohlberg beranggapan
19
bahwa anak-anak dengan status sosial-ekonomi menengah lebih mempunyai
kesempatan untuk mengambil sudut pandang baik dari level atas maupun
dari level bawah. Dengan demikian, dapat diramalkan bahwa pada
umumnya tahap perkembangan penalaran moral anak-anak dari status
sosial-ekonomi menengah lebih tinggi daripada status sosial-ekonomi
lainnya.
B. Kemampuan Kognisi
1. Pengertian Kognisi
Kognisi merupakan kegiatan atau proses memperoleh pengetahuan
(termasuk kesadaran, perasaan, dsb) atau usaha mengenali sesuatu melalui
pengalaman sendiri (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia:269).
Istilah kognisi berbeda dengan istilah kecerdasan (intelegensi).
Tetapi kedua istilah tersebut sangat erat kaitannya. Kognisi dapat diartikan
sebagai proses memahami sesuatu yang diperoleh melalui interaksi dengan
lingkungan (Alimin, 2008). Dimana pemahaman tersebut diperoleh melalui
proses yaitu proses sensoris dan persepsi (visual, auditif, kinestetik, dan
taktual). Sedangkan kecerdasan (intelegensi) dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk beradaptasi, mencapai prestasi, memecahkan masalah,
menginterpretasikan stimulus yang diperoleh, memodifikasi tingkah laku,
memahami konsep atau kemampuan untuk merespon terhadap butir-butir
pada tes inteligensi.
20
Perkembangan kognitif adalah salah satu aspek perkembangan
manusia yang berkaitan dengan pengertian (pengetahuan), yaitu semua
proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari
dan memikirkan lingkungannya. Menurut Myers (1996), “Cognition refers
to all the mental activities associated with thinking, knowing, and
remembering. “Pengertian yang hampir senada juga diberikan oleh Margaret
W. Matlin (1994), yaitu : “cognition, or mental activity, involves the
acquisition, storage, retrieval, and use of konwledge. “Dalam Dictionary of
Psychology karya Drever, dijelaskan bahwa “kognisi adalah istilah umum
yang mencakup segenap model pemahaman, yakni persepsi, imajinasi,
penangkapan makna, penilaian dan penalaran.
Dari beberapa pengertian diatas maka dapat dipahami bahwa
perkembangan kognitif adalah sebuah istilah yang menunjuk pada semua
aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, imajinasi, penangkapan
makna penilaian dan penalaran, pengolahan informasi, memecahkan
masalah serta berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan
memikirkan lingkungannya.
2. Perkembangan Struktur Kognitif
Jean Piaget menyebut struktur kognitif sebagai skemata (Schemas),
yaitu kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat mengikat,
memahami, dan memberikan respons terhadap stimulus disebabkan karena
bekerjanya skemata ini. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai
hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya dan berlangsung terus-
21
menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya. Proses terjadinya adaptasi
dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru tersebut dilakukan
dengan dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif di mana seseorang
mengintegrasikan persepsi, konsep, atau pengalaman baru ke dalam skema
atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya (Suparno, 2001:22). Proses
ini bersifat subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi
pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa masuk ke dalam
skema yang sudah ada sebelumnya. Menurut Wadsworth dalam (Suparno,
2001:22) asimilasi tidak menyebabkan perubahan skema, tetapi
memperkembangkan skema. Sebagai contoh, seorang anak yang baru
pertama kali melihat harimau maka ia akan menyebut harimau itu sebagai
kucing besar, karena ia baru memiliki konsep kucing yang sering dilihatnya.
Ia memiliki konsep kucing dalam skemanya dan ketika ia melihat harimau
untuk pertama kalinya, maka konsep kucinglah yang paling dekat dengan
stimulus.
Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan
pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang
tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula
terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali. Sebagai contoh seorang
bayi yang menjatuhkan sebuah benda dengan cara yang berbeda-beda, maka
ia sedang memodifikasi skema cara menjatuhkan benda dalam rangka
mengambil berbagai objek yang berbeda. (Berk, 2003: 219)
22
Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistim kognisi seseorang
berubah dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap
berikutnya. Proses penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena
ia ingin mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang
antara struktur kognisi dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang
akan selalu berupaya agar keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan
menggunakan kedua proses penyesuaian di atas.
3. Tahap Perkembangan Kognitif
Menurut para ahli psikologi perkembangan, perkembangan individu
berlangsung secara terus menerus dan tidak terjadi lompatan. Begitu pun
halnya dengan perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif individu
akan bergerak dari tahap dasar menuju tahap berikutnya secara berurutan
dimana tahap sebelumnya akan menjadi dasar bagi perkembangan tahap
selanjutnya.
Jean Piaget, seorang ahli psikologi, secara garis besar
mengelompokkan tahap-tahap perkembangan kognitif seorang anak menjadi
empat tahap, yaitu tahap sensorimotor, tahap praoperasional, tahap
operasional konkrit, dan tahap operasional formal.
a. Tahap Sensorimotor
Tahap paling awal perkembangan kognitif terjadi pada waktu bayi
lahir sampai sekitar berumur 2 tahun. Tahap ini disebut tahap
sensorimotor oleh Piaget. Ciri pokok perkembangannya adalah anak
23
mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta mempelajari
permanensi obyek. Pada tahap sensorimotor, intelegensi anak lebih
didasarkan pada tindakan inderawi anak terhadap lingkungannya, seperti
melihat, meraba, menjamah, mendengar, membau dan lain-lain.
Pada tahap sensorimotor, gagasan anak mengenai suatu benda
berkembang dari periode “belum mempunyai gagasan” menjadi “ sudah
mempunyai gagasan”. Gagasan mengenai benda sangat berkaitan dengan
konsep anak tentang ruang dan waktu yang juga belum terakomodasi
dengan baik. Struktur ruang dan waktu belum jelas dan masih terpotong-
potong, belum dapat disistematisir dan diurutkan dengan logis.
Menurut Piaget, mekanisme perkembangan sensorimotor ini
menggunakan proses asimilasi dan akomodasi. Tahap-tahap
perkembangan kognitif anak dikembangkan dengan perlahan-lahan
melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema-skema anak
karena adanya masukan, rangsangan, atau kontak dengan pengalaman
dan situasi yang baru.
Tahap sensorimotor dibagi menjadi enam sub tahap:
1) Subtahap perilaku reflex. Di antara perilaku bawaan ini adalah reflex
untuk mengisap, reflex untuk memutar kepalanya ke arah benda yang
menyentuh pipinya, reflex untuk menggenggam, dan kecenderungan
untuk memfokuskan penglihatannya pada stimuli yang tingkat
kompleksitasnya cukup tinggi.
24
2) Subtahap reaksi sirkuler primer (primary circular reactions), usia 1-4
bulan. Reaksi ini adalah gerakan reflex yang berulang dengan
sendirinya karena menimbulkan kesenangan (misalnya mengisap ibu
jari).
3) Subtahap reaksi sirkuler sekunder (secondary circular reactions), usia
4-8 bulan. Ini adalah gerakan berulang seperti reaksi primer tetapi
menggunakan benda di luar diri bayi, misalnya memukul-mukulkan
mainan ke pinggir tempat tidurnya.
4) Subtahap koordinasi reaksi sirkuler sekunder, usia 8-12 bulan. Anak
memiliki kemampuan untuk mengkombinasikan pola-pola perilaku,
dan mulai menggunakan satu kegiatan sebagai cara untuk melakukan
kegiatan lain; misalnya mendorong tangan ayah untuk mengambil
mainan yang diinginkannya.
5) Subtahap reaksi sirkuler tersier (tertiary circular reactions), usia 12-
15 bulan. Ini adalah tindakan yang diulang-ulang tetapi dengan pola
yang bervariasi; misalnya anak berulang-ulang menjatuhkan tempat
sabun dengan posisi yang berbeda-beda.
6) Subtahap penciptaan cara baru melalui kombinasi mental (invention of
new means through mental combination), usia 15-24 bulan. Subtahap
ini merupakan transisi ke tahap selanjutnya karena pada masa ini anak
mengembangkan kemampuan untuk melambangkan obyek dan
peristiwa secara simbolik. Untuk pertama kalinya, anak dapat berpikir
tentang hal-hal yang tidak dilihatnya, dan dapat memecahkan masalah
25
dengan memikirkan suatu tindakan tertentu. Dengan kata lain, anak
sudah mulai belajar berpikir.
b. Tahap Praoperasional
Ciri pokok perkembangannya adalah penggunaan simbol atau
bahasa tanda dan konsep intuitif. Istilah “operasi” di sini adalah suatu
proses berfikir logik, dan merupakan aktivitas sensorimotor. Dalam tahap
ini anak sangat egosentris, mereka sulit menerima pendapat orang lain.
Anak percaya bahwa apa yang mereka pikirkan dan alami juga menjadi
pikiran dan pengalaman orang lain. Mereka percaya bahwa benda yang
tidak bernyawa mempunyai sifat bernyawa.
Tahap pra operasional ini dapat dibedakan atas dua bagian.
Pertama, tahap pra konseptual (2-4 tahun), dimana representasi suatu
objek dinyatakan dengan bahasa, gambar dan permainan khayalan.
Kedua, tahap intuitif (4-7 tahun). Pada tahap ini representasi suatu objek
didasarkan pada persepsi pengalaman sendiri, tidak kepada penalaran.
Karakteristik anak pada tahap ini adalah sebagai berikut:
1) Anak dapat mengaitkan pengalaman yang ada di lingkungan
bermainnya dengan pengalaman pribadinya, dan karenanya ia menjadi
egois. Anak tidak rela bila barang miliknya dipegang oleh orang lain.
2) Anak belum memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah-
masalah yang membutuhkan pemikiran “yang dapat dibalik
(reversible).” Pikiran mereka masih bersifat irreversible.
26
3) Anak belum mampu melihat dua aspek dari satu objek atau situasi
sekaligus, dan belum mampu bernalar (reasoning) secara individu dan
deduktif.
4) Anak bernalar secara transduktif (dari khusus ke khusus). Anak juga
belum mampu membedakan antara fakta dan fantasi. Kadang-kadang
anak seperti berbohong. Ini terjadi karena anak belum mampu
memisahkan kejadian sebenarnya dengan imajinasi mereka.
5) Anak belum memiliki konsep kekekalan (kuantitas, materi, luas, berat
dan isi).
6) Menjelang akhir tahap ini, anak mampu memberi alasan mengenai apa
yang mereka percayai. Anak dapat mengklasifikasikan objek ke dalam
kelompok yang hanya mempunyai satu sifat tertentu dan telah mulai
mengerti konsep yang konkrit.
c. Tahap Operasi Konkrit
Ciri pokok perkembangannya anak mulai berpikir secara logis
tentang kejadian-kejadian konkrit. Tahap operasi konkrit (concrete
operations) dicirikan dengan perkembangan sistem pemikiran yang
didasarkan pada aturan-aturan tertentu yang logis. Anak sudah
memperkembangkan operasi-operasi logis. Operasi itu bersifat
reversible, artinya dapat dimengerti dalam dua arah, yaitu suatu
pemikiran yang dapat dikembalikan kepada awalnya lagi. Tahap operasi
konkrit dapat ditandai dengan adanya sistem operasi berdasarkan apa-apa
yang kelihatan nyata/konkrit.
27
Ciri-ciri operasi konkrit yang lain, yaitu:
1) Adaptasi dengan gambaran yang menyeluruh
Pada tahap ini, seorang anak mulai dapat menggambarkan
secara menyeluruh ingatan, pengalaman dan objek yang dialami.
Menurut Piaget, adaptasi dengan lingkungan disatukan dengan
gambaran akan lingkungan itu.
2) Melihat dari berbagai macam segi
Anak pada tahap ini mulai dapat melihat suatu objek atau persoalan
secara sedikit menyeluruh dengan melihat aspek-aspeknya. Ia tidak
hanya memusatkan pada titik tertentu, tetapi dapat bersama-sama
mengamati titik-titik yang lain dalam satu waktu yang bersamaan.
2) Seriasi
Proses seriasi adalah proses mengatur unsur-unsur menurut semakin
besar atau semakin kecilnya unsur-unsur tersebut. Menurut Piaget ,
bila seorang anak telah dapat membuat suatu seriasi maka ia tidak
akan mengalami banyak kesulitaan untuk membuat seriasi
selanjutnya.
3) Klasifikasi
Menurut Piaget, bila anak yang berumur 3 tahun dan 12 tahun diberi
bermacam-maam objek dan disuruh membuat klasifikasi yang serupa
menjadi satu, ada beberapa kemungkinan yang terjadi.
28
4) Bilangan
Dalam percobaan Piaget, ternyata anak pada tahap praoperasi
konkrit belum dapat mengerti soal korespondensi satu-satu dan
kekekalan, namun pada tahap tahap operasi konkrit, anak sudah
dapat mengerti soal korespondensi dan kekekalan dengan baik.
Dengan perkembangan ini berarti konsep tentang bilangan bagi anak
telah berkembang.
5) Ruang, waktu, dan kecepatan
Pada umur 7 atau 8 tahun seorang anak sudah mengerti tentang
urutan ruang dengan melihat interval jarak suatu benda. Pada umur 8
tahun anak sudah dapat mengerti relasi urutan waktu dan juga
koordinasi dengamn waktu, dan pada umur 10 atau 11 tahun, anak
sadar akan konsep waktu dan kecepatan.
6) Probabilitas
Pada tahap ini, pengertian probabilitas sebagai suatu perbandingan
antara hal yang terjadi dengan kasus-kasus yang mulai terbentuk.
7) Penalaran
Dalam pembicaraan sehari-hari, anak pada tahap ini jarang berbicara
dengan suatu alasan, tetapi lebih mengatakan apa yang terjadi. Pada
tahap ini, menurut Piaget masih ada kesulitan dalam melihat
persoalan secara menyeluruh.
29
8) Egosentrisme dan Sosialisme
Pada tahap ini, anak sudah tidak begitu egosentris dalam
pemikirannya. Ia sadar bahwa orang lain dapat mempunyai pikiran
lain.
Pada tahap operasi konkrit siswa tidak akan bisa memahami konsep
tanpa benda-benda konkrit. Selain itu, pada tahap ini Piaget mengidentifikasi
adanya enam jenis konsep yang berkembang selama anak berada pada tahap
operasi konkrit,yaitu:
1) Kekekalan Banyak ( 6 – 7 Tahun )
Pada usia ini anak sudah mampu memahami konsep banyak yaitu jika
suatu benda yang sama banyaknya meskipun dibedakan susunannya
banyaknya akan tetap sama.
2) Kekekalan Materi ( 7 – 8 Tahun )
Pada usia ini anak sudah mampu memahami konsep kekekalan materi yaitu
jika 2 materi yang sama banyak, salah satunya dipindahkan ke tempat yang
lebih kecil atau lebih besar maka materi tersebut tetap berjumlah sama.
2) Kekekalan Panjang ( 7 – 8 Tahun )
Pada usia ini anak sudah mampu memahami konsep kekekalan panjang
yaitu panjang suatu benda jika diubah bentuknya akan tetap sama.
30
3) Kekekalan Luas ( 8 – 9 Tahun )
Pada usia ini anak sudah mampu memahami konsep kekekalan luas yaitu
luas suatu benda akan tetap sama walau bentuk benda tersebut telah kita
ubah.
4) Kekekalan Berat ( 9 – 10 Tahun )
Pada usia ini anak sudah mampu memahami konsep kekekalan berat yaitu
berat suatu benda akan tetap sama walaupun benda tersebut dipindahkan
ketempat yang berbeda-beda atau di bagi 2.
d. Tahap Operasional Formal
Ciri pokok perkembangannya adalah hipotesis, abstrak, dan logis.
Tahap operasi formal (formal operations) merupakan tahap terakhir
dalam perkembangan kognitif menurut Piaget. Pada tahap ini, seorang
remaja sudah dapat berpikir logis, berpikir dengan pemikiran teoritis
formal berdasarkan proposisi-proposisi dan hipotesis, dan dapat
mengambil kesimpulan lepas dari apa yang dapat diamati saat itu. Cara
berpikir yang abstrak mulai dimengerti.
Sifat pokok tahap operasi formal adalah pemikiran deduktif
hipotesis, induktif saintifik, dan abstrak reflektif.
1) Pemikiran Deduktif Hipotesis
Pemikiran deduktif adalah pemikiran yang menarik kesimpulan
yang spesifik dari sesuatu yang umum. Kesimpulan benar hanya jika
premis-premis yang dipakai dalam pengambilan keputusan benar.
31
Alasan deduktif hipotesis adalah alasan/argumentasi yang berkaitan
dengan kesimpulan yang ditarik dari premis-premis yang masih
hipotetis. Jadi, seseorang yang mengambil kesimpulan dari suatu
proposisi yang diasumsikan, tidak perlu berdasarkan dengan
kenyataan yang real.
Dalam pemikiran remaja, Piaget dapat mendeteksi adanya
pemikiran yang logis, meskipun para remaja sendiri pada
kenyataannya tidak tahu atau belum menyadari bahwa cara berpikir
mereka itu logis. Dengan kata lain, model logis itu lebih merupakan
hasil kesimpulan Piaget dalam menafsirkan ungkapan remaja, terlepas
dari apakah para remaja sendiri tahu atau tidak.
2) Pemikiran Induktif Saintifik
Pemikiran induktif adalah pengambilan kesimpulan yang lebih
umum berdasarkan kejadian-kejadian yang khusus. Pemikiran ini
disebut juga dengan metode ilmiah. Pada tahap pemikiran ini, anak
sudah mulai dapat membuat hipotesis, menentukan eksperimen,
menentukan variabel kontrol, mencatat hasil, dan menarik kesimpulan.
Disamping itu mereka sudah dapat memikirkan sejumlah variabel
yang berbeda pada waktu yang sama.
3) Pemikiran Abstraksi Reflektif
Menurut Piaget, pemikiran analogi dapat juga diklasifikasikan
sebagai abstraksi reflektif karena pemikiran itu tidak dapat
disimpulkan dari pengalaman.
32
Faktor yang ketiga adalah interaksi sosial. Maryati dan Suryawati
(2003) menyatakan bahwa, “Interaksi sosial adalah kontak atau
hubungan timbal balik atau interstimulasi dan respons antar individu,
antar kelompok atau antar individu dan kelompok” (Jurnal-
sdm.blogspot.com). Interaksi sosial tidak hanya terjadi antara anak
dengan orang dewasa saja, tetapi antara anak dengan teman sebayanya
dan teman yang lebih besar atau lebih kecil dengannya.
4. Perkembangan Kognisi Anak Tunarungu
Inteligensi seorang tunarungu dalam Imas Diana (Disertasi,
2010),secara potensial pada umumnya sama dengan anak orang normal,
tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat
kemampuan berbahasa (Myklebust, dalam Moores, 1982:148). Keterbatasan
informasi dan kurangnya daya abstraksi pada seorang tunarungu akan
menghambat proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas, dengan
demikian perkembangan inteligensi secara fungsionalpun terhambat. Hal ini
mengakibatkan seorang tunarungu kadang menampakkan keterlambatan
dalam belajar.
Cruikshank yang dikutip oleh Siregar (1981:6) mengemukakan
bahwa:
Anak-anak tunarungu sering memperlihatkan keterlambatan dalam belajar dan kadang tampak terbelakang. Keadaan ini tidak hanya disebabkan oleh derajat gangguan pendengaran yang dialami oleh anak, tetapi juga tergantung pada potensi kecerdasan yang dimiliki, rangsangan mental, serta dorongan dari lingkungan luar yang
33
memberikan kesempatan bagi anak untuk mengembangkan kecerdasan itu.
Pendapat senada dikemukakan Rittenhouse yang dikutip Hallahan &
Kauffman (1998:285) bahwa, “ … karena anak tunarungu berprestasi sangat
jauh di bawah rata-rata kelas sekolahnya terutama di kelas yang agak tinggi,
ada anggapan bahwa kemampuan kognitif mereka kurang”. Selanjutnya
dijelaskan bahwa “kesulitan akademik yang dihadapi anak tunarungu
bukanlah karena masalah kognitif yang kurang akan tetapi sebenarnya
kesulitan dalam berbahasa dan pendidiklah yang belum memaksimalkan
kelebihan kognitif anak tunarungu”.
Apa yang dikemukakan oleh Pintner (Moores, 1982:154) sangat
mempengaruhi persepsi orang tentang kemampuan kognitif anak tunarungu,
yang menyatakan bahwa “anak tunarungu jauh tertinggal dibandingkan anak
normal dan anak tunarungu itu inferior (rendah) inteligensinya”. Beberapa
hasil penelitian lain mempertegas pernyataan Pintner, diantaranya adalah
hasil penelitian MacKone et all, yang menyatakan bahwa inteligensi anak
tunarungu lebih rendah daripada anak normal.
Pengkajian Myklebust (1953) sebagai review terhadap Pintner,
memperlihatkan hasil yang berbeda, yaitu bahwa anak-anak tunarungu
secara umum tidaklah inferior inteligensinya. Namun Myklebust
menyatakan bahwa sekalipun apabila anak tunarungu secara kuantitatif
(skor IQ-nya) sama dengan anak normal, tetapi secara kualitatif mereka
belum tentu sama. Lebih lanjut dikatakan, aspek kualitatif dari fungsi
34
perseptual dan konseptual dan penalaran anak tunarungu nampaknya
berbeda.
Rosenstein (1961), melakukan review terhadap sejumlah penelitian
terhadap orang tunarungu dan ditemukan bahwa tidak ada perbedaan antara
orang tunarungu dengan orang normal dalam performa konseptualnya,
asalkan faktor-faktor linguistik yang diberikannya dikenal oleh subjek.
Rosenstein menyimpulkan bahwa anak tunarungu juga dapat berfikir
abstrak.
5. Hambatan dalam Perkembangan Fungsi Kognitif Anak Tunarungu
Kerusakan pendengaran dapat menyebabkan gejala yang mirip dengan
keterbelakangan mental , karena anak tunarungu tidak dapat menangkap
petunjuk atau menunjukkan respons terhadap satu situasi di mana terjadi
satu situasi percakapan.
Keadaan seperti itu bukan karena anak tunarungu memiliki
kecerdasan yang rendah seperti anak terbelakang ,akan tetapi
disebabkan karena anak tunarungu tidak dapat menerima rangsangan
suara yang dapat ia pahami.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Myklebust (1964)
membuktikan bahwa anak tunarungu pada umumnya memiliki kemampuan
intelektual rata-rata sama seperti anak normal. Namun demikian
kemampuan intelektual yang berkaitan dengan aspek-aspek konseptual
yang berkaitan dengan bahasa jauh di bawah kemampuan anak normal.
35
Hal ini sejalan dengan pendirian Piaget (1964) bahwa perkembangan
kognisi sangat tergantung pada perkembangan bahasa. Oleh karena itu
meskipun secara umum anak tunarungu memiliki kemampuan kecerdasan
relatif sama dengan anak normal, akan tetapi anak tunarungu
memiliki hambatan dalam perkembangan berbahasa , maka
perkembangan kognitif anak tunarungu jauh di bawah anak normal.
Sebagai contoh anak normal dapat memahami konsep-konsep: indah,
bahagia, jujur, adil,dan sebagainya. Secara otomatis dari pergaulan sehari-
hari, anak tunarungu mengalami kesulitan untuk memahami maksud dari
konsep-konsep tersebut, tanpa tindakan-tindakan khusus untuk
memahaminya. Karena kesulitan bahasa anak tunarungu tidak akan
memahami maksud sebuah konsep abstrak secara utuh dan akurat.
Anak tunarungu mengalami kesulitan dalam proses pembentukan
pengertian, oleh karena itu perkembangan pengetahuan anak tunarungu
sangat terbatas di bandingkan dengan anak normal. Anak tunarungu
menunjukan kemampuan terbaiknya dalam hal-hal yang berkaitan dalam
bidang mekanikal, bidang motorik dan pemahaman fakta-fakta kongkrit.
Hans Tursh (1973) membuktikan bahwa anak tunarungu mempunyai
kemampuan kognitif relatif sama dengan anak normal dalam menyelesaikan
tugas-tugas yang tidak memerlukan penjelasan lisan atau tugas-tugas yang
lebih banyak menggunakan persepsi visual seperti misalnya , memahami
konsep klasifikasi yaitu, menyimpulkan benda-benda berdasarkan ciri-ciri
tertentu misalnya ukuran bentuk atau warnanya, atau memahami konsep
36
konstruksi , kemampuan menyadari bahwa jumlah atau isi sebuah objek
tidak akan berubah meskipun terjadi perubahan penampilan benda tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
keterampilan kognitif anak tunarungu tertinggal jauh di bawah anak
normal dalam hal-hal yang berhubungan dengan konsep yang bersifat
verbal, sedang keterampilan kognitif yang berkenaan dengan pemecahan
masalah-masalah yang kongkrit seperti konservasi dan klasifikasi, anak
tunarungu memiliki kemampuan yang relatif sama pendidikan bagi mereka.
C. Kemampuan Komunikasi
1. Pengertian Komunikasi
Komunikasi adalah keterampilan yang sangat penting dalam
kehidupan manusia, dimana dapat kita lihat komunikasi dapat terjadi pada
setiap gerak langkah manusia. Manusia adalah makhluk sosial yang
tergantung satu sama lain dan mandiri serta saling terkait dengan orang lain
dilingkungannya. Satu-satunya alat untuk dapat berhubungan dengan orang
lain dilingkungannya adalah komunikasi, baik secara verbal maupun non
verbal (bahasa tubuh dan isyarat yang banyak dimengerti oleh suku bangsa).
Komunikasi merupakan proses individu bertukar informasi dan
menyampaikan pikirannya, dimana ada pengirim pesan yang mengkodekan
pesan dan penerima mengkodekan pesan atau memahami pesan (Bernstein
& Tiegerman, 1993). Proses komunikasi terjadi melalui bahasa (Krech D.
dkk, 1982, hal:273). Bentuk bahasa yang berupa isyarat/gestur, tulisan,
37
gambar, simbol atau wicara. Dalam proses komunikasi, komunikasi dan
komunikator menjalin hubungan yang saling memahami bahasa yang
digunakan sebagai alat penyampai pesan.
Istilah komunikasi (dalam bahasa Inggrisnya communication)
berasal dari kata latin, yaitu communicare yang berarti memberi (impart).
Communicare bersumber dari kata communis yang berarti sama makna
mengenai suatu hal (Permanarian, 2007).
Komunikasi terjadi karena adanya pematangan sistem biologis dan
sistem syaraf dalam tubuh anak. Maka bila pematangan sistem tersebut
terhambat, terhambat pulalah komunikasi seseorang.
Definisi komunikasi yang dikemukakan oleh Hybels & Weaver
dalam Permanarian Somad (2007:67), bahwa komunikasi adalah
penyampaian dan penerimaan pesan atau informasi diantara dua orang atau
lebih dengan menggunakan simbol verbal dan non verbal. Sedangkan
menurut kamus besar bahasa Indonesia, komunikasi adalah pengiriman dan
penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih dengan cara yang
tepat, sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.
Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa
lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 1980),
atau yang terwujud dalam sistem tanda yang dipahami orang untuk
melahirkan pikiran, perasaan (Purwadarminta, 1982), yang dapat
diisyaratkan sedemikian rupa kepada orang lain sehingga orang lain yang
menerima akan mengerti baik penyampaiannya dilakukan melalui tulisan,
38
bicara, isyarat, mimik, pantomim atau gaste (Hurlock, 1980), (Imas Diana
Aprilia, 2010).
Dance dan Stappers 1970 (Purwaka Hadi, 2007:44) menyusun enam
katagori ‘serba makna’ tentang definisi komunikasi, yang intinya adalah: 1.
Komunikasi sebagai aktivitas dari suatu pihak, 2. Aktivitas datang dari
pihak lain sehingga terjadi pengaruh mempengaruhi, 3. Komunikasi
menekankan hubungan, 4. Komunikasi menekankan sharing atau
kepemilikan, 5. Komunikasi sebagai transmisi informasi, 6. Komunikasi
sebagai penggunaan lambang dan isyarat. Selanjutnya berdasarkan
pendefinisian tersebut maka disimpulkan bahwa: a. Komunikasi sebagai
proses sosial, b. Komunikasi sebagai peristiwa, c. Komunikasi sebagai ilmu,
d. Komunikasi sebagai kiat atau keterampilan.
2. Jenis Komunikasi
Pada dasarnya komunikasi digunakan untuk menciptakan atau
meningkatkan aktifitas hubungan antara manusia atau kelompok
Jenis komunikasi terdiri dari:
1. Komunikasi verbal dengan kata-kata
2. Komunikasi non verbal disebut dengan bahasa tubuh
Komunikasi Verbal mencakup aspek-aspek berupa ;
a. Vocabulary (perbendaharaan kata-kata). Komunikasi tidak akan efektif
bila pesan disampaikan dengan kata-kata yang tidak dimengerti, karena
itu olah kata menjadi penting dalam berkomunikasi.
39
b. Racing (kecepatan). Komunikasi akan lebih efektif dan sukses bila
kecepatan bicara dapat diatur dengan baik, tidak terlalu cepat atau terlalu
lambat.
c. Intonasi suara: akan mempengaruhi arti pesan secara dramatik sehingga
pesan akan menjadi lain artinya bila diucapkan dengan intonasi suara
yang berbeda. Intonasi suara yang tidak proposional merupakan
hambatan dalam berkomunikasi.
d. Humor: dapat meningkatkan kehidupan yang bahagia. Dugan (1989),
memberikan catatan bahwa dengan tertawa dapat membantu
menghilangkan stress dan nyeri. Tertawa mempunyai hubungan fisik
dan psikis dan harus diingat bahwa humor adalah merupakan satu-
satunya selingan dalam berkomunikasi.
e. Singkat dan jelas. Komunikasi akan efektif bila disampaikan secara
singkat dan jelas, langsung pada pokok permasalahannya sehingga lebih
mudah dimengerti.
f. Timing (waktu yang tepat) adalah hal kritis yang perlu diperhatikan
karena berkomunikasi akan berarti bila seseorang bersedia untuk
berkomunikasi, artinya dapat menyediakan waktu untuk mendengar atau
memperhatikan apa yang disampaikan.
Komunikasi Non Verbal
Komunikasi non verbal adalah penyampaian pesan tanpa kata-kata
dan komunikasi non verbal memberikan arti pada komunikasi verbal.
40
Yang termasuk komunikasi non verbal :
a. Ekspresi wajah. Wajah merupakan sumber yang kaya dengan komunikasi,
karena ekspresi wajah cerminan suasana emosi seseorang.
b. Kontak mata, merupakan sinyal alamiah untuk berkomunikasi. Dengan
mengadakan kontak mata selama berinterakasi atau tanya jawab berarti
orang tersebut terlibat dan menghargai lawan bicaranya dengan kemauan
untuk memperhatikan bukan sekedar mendengarkan. Melalui kontak mata
juga memberikan kesempatan pada orang lain untuk mengobservasi yang
lainnya
c. Sentuhan, adalah bentuk komunikasi personal mengingat sentuhan lebih
bersifat spontan dari pada komunikasi verbal. Beberapa pesan seperti
perhatian yang sungguh-sungguh, dukungan emosional, kasih sayang atau
simpati dapat dilakukan melalui sentuhan.
d. Postur tubuh dan gaya berjalan. Cara seseorang berjalan, duduk, berdiri
dan bergerak memperlihatkan ekspresi dirinya. Postur tubuh dan gaya
berjalan merefleksikan emosi, konsep diri, dan tingkat kesehatannya.
e. Sound (Suara). Rintihan, menarik nafas panjang, tangisan juga salah satu
ungkapan perasaan dan pikiran seseorang yang dapat dijadikan
komunikasi. Bila dikombinasikan dengan semua bentuk komunikasi non
verbal lainnya sampai desis atau suara dapat menjadi pesan yang sangat
jelas.
f. Gerak isyarat, adalah yang dapat mempertegas pembicaraan .
Menggunakan isyarat sebagai bagian total dari komunikasi seperti
41
mengetuk-ngetukan kaki atau mengerakkan tangan selama berbicara
menunjukkan seseorang dalam keadaan stress bingung atau sebagai
upaya untuk menghilangkan stress
3. Proses Komunikasi
Berdasarkan paradigma Laswell, Effendi (1994:11-19) membedakan
proses komunikasi menjadi dua tahap, yaitu:
a. Proses komunikasi secara primer
Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian
pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan
menggunakan lambang sebagai media. Lambang sebagai media primer
dalam komunikasi adalah pesan verbal (bahasa), dan pesan nonverbal.
Komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam
pesan yang diterima oleh komunikan. Prosesnya sebagai berikut, pertama
komunikator menyandi (encode) pesan yang akan disampaikan kepada
komunikan. Ini berarti komunikator memformulasikan pikiran atau
perasaan ke dalam lambang (bahasa) yang diperkirakan akan dimengerti
oleh komunikan. Kemudian, komunikan menterjemahkan (decode) pesan
dari komunikator. Ini berarti komunikan menafsirkan lambang yang
mengandung perasaan dan pikiran komunikator.
Menurut Wilbur Schramm (dalam Effendy, 1994) menyatakan
bahwa komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh
komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni
42
perpaduan pengalaman dan pengertian yang diperoleh komunikan.
Kemudian Schramm juga menambahkan, bahwa komunikasi akan
berjalan secara lancar apabila bidang pengalaman komunikator sama
dengan bidang pengalaman komunikan.
b. Proses komunikasi secara sekunder
Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan
oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana
sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama.
Seorang komunikator menggunakan media ke dalam dua komunikasi
karena komunikan sebagai sarana berada di tempat yang relatif jauh atau
jumlahnya banyak. Surat, telepon, fax, radio, dll merupakan media yang
sering digunakan dalam komunikasi.
4. Kemampuan Komunikasi Tunarungu
Menurut Anton Van Uden (dalam Bunawan dan Cecilia, 2000) bentuk
komunikasi pada anak tunarungu tidak berbeda dengan bentuk komunikasi
anak yang mendengar, yaitu dapat dibedakan antara bentuk komunikasi
ekspresif dan bentuk komunikasi reseptif. Komponen komunikasi ekspresif
meliputi bicara, berisyarat, berejaan jari, menulis dan memimik. Sedangkan
komponen komunikasi reseptif meliputi membaca ujaran, membaca isyarat,
membaca ejaan jari, membaca mimik serta memanfaatkan sisa pendengaran
dengan alat bantu.
43
Kemampuan berkomunikasi seorang tunarungu berbeda dengan orang
mendengar, karena dampak langsung dari ketunarunguan itu mengakibatkan
(1) terbatasnya/kurangnya pemerolehan atau perbendaharaan bahasa
(vocabulary) akibatnya mereka mengalami kelambatan dalam perkembangan
komunikasi, (2) terhambatnya komunikasi secara reseptif
(menangkap/memahami pembicaraan orang lain) dan secara ekspresif (bicara).
Sejak kecil anak yang mendengar mampu belajar bicara dan berbahasa
dengan cara meniru kata-kata sebagai hasil dari kemampuan mendengar dari
lingkungannya. Anak mampu menangkap dan meniru sederetan bunyi yang
berarti yaitu berupa kata-kata, kalimat, bentuk kata, gagasan ataupun iramanya
dan berupaya untuk memperbaiki ucapannya sampai ucapan kata-katanya sama
benar dengan kata-kata yang didengarnya. Lain halnya dengan anak tunarungu,
ia tidak mampu menangkap kata-kata atau pembicaraan orang lain melalui
pendengarannya, sehingga tidak terjadi proses peniruan suara setelah masa
meraban. Proses peniruannya hanya terbatas pada peniruan visual atau
menangkap pembicaraan orang lain melalui gerak bibir.
D.A. Ramsdell (1962) yang dikutip Bunawan & Yuwati (2000:1)
menyatakan bahwa fungsi pendengaran bagi manusia ada beberapa jenjang,
yaitu (1) sebagai jenjang lambang adalah untuk memahami bunyi bahasa, (2)
sebagai jenjang tanda/peringatan yaitu sebagai pertanda akan adanya suatu
kejadian dalam lingkungan manusia, dan (3) jenjang primitif dimana bunyi
hanya berfungsi sebagai latar belakang segala kegiatan hidup sehari-hari.
Kondisi ketiga fungsi tersebut berlangsung secara progresif, simultan, dan
44
terintegratif. Bagi seorang tunarungu proses pencapaian fungsi melalui jenjang
tersebut di atas, akan dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah sejak
kapan mengalami ketunarunguan, pada intensitas berapa kehilangan
pendengaran, dan dimana letak ketunarunguannya.
Ada beberapa cara untuk berkomunikasi dengan tunarungu, (1) bicara
harus berhadapan dan diusahakan sejajar, (2) harus melihat muka pembicara,
(3) jarak harus sesuai dengan daya jangkau penglihatan, (4) bicara wajar dan
jangan dibuat-buat, (5) berekspresi dan melodius, (6) cahaya harus cukup
terang, (7) mulut tidak tertutup dengan benda lain, (8) artikulasi jelas, (9)
kalimat sederhana, dan (10) pemakaian isyarat harus simultan.
Kualitas berkomunikasi seorang tunarungu pada akhirnya akan
dipengaruhi juga oleh terjadinya proses interaksi di mana didalamnya terjadi
umpan balik (feed back) sebagai modalitas yang akan membantu
mengoptimalisasikan diri sebagai makhluk sosial.
D. Keterkaitan antara Kemampuan Kognisi dan Kemampuan Komunikasi
terhadap Penalaran Moral Anak Tunarungu
Untuk menggambarkan bagaimana keterkaitan antara penalaran moral,
kemampuan kognisi, dan kemampuan komunikasi anak tunarungu dapat
diilustrasikan pada bagan sebagai berikut:
45
Gambar 2.1
Keterkaitan Kemampuan Komunikasi dan Kemampuan Kognisi Pada Penalaran MoralAnak Tunarungu
Dalam kenyataan sehari-hari sering terdengar sebutan terhadap individu
yang mengalami gangguan pendengaran, diantaranya dengan istilah-istilah
seperti; tuna wicara, tuli bisu, cacat dengar dan ada istilah lain yaitu tunarungu.
Pada hakekatnya penyebutan istilah-istilah tersebut, tertuju pada satu objek
yaitu individu yang mengalami gangguan pendengaran atau hambatan
pendengaran.
Istilah yang tepat dalam dunia pendidikan adalah dengan sebutan
tunarungu, karena secara implisit mengandung dua pengertian yaitu tuli (deaf)
dan kurang dengar (hard of hearing). Gearhart (1980) yang dikutip Neely
(1982:95-96) dalam The Conference of Executives of America School for The
Deaf, mendefinisikan tunarungu sebagai berikut: “ A deaf person is one whose
hearing disability is so great that he or she cannot understand speech through
the use of the ear alone, with or without a hearing aid. A hard of hearing
person is one whose hearing disability makes it difficult to hear but who can,
KOMUNIKASI
BAIK
KOMUNIKASI
KURANG
KOGNISI
KOGNISI
PENALARAN MORAL
PENALARAN MORAL
Anak
Tunarungu
46
with or without the use of hearing aid, understand speech”. Definisi tersebut
menekankan bahwa tunarungu merupakan istilah umum yang menunjukkan
kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang berat, yang digolongkan ke
dalam tuli dan kurang dengar.
Dampak langsung dari ketunarunguan adalah (1) terbatasnya/kurangnya
pemerolehan atau perbendaharaan bahasa (vocabulary) akibatnya mereka
mengalami kelambatan dalam perkembangan komunikasi, (2) terhambatnya
komunikasi secara reseptif (menangkap/memahami pembicaraan orang lain)
dan secara ekspresif (bicara).Proses komunikasi terjadi melalui bahasa (Krech
D. dkk, 1982, hal:273). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Myklebust (1964)
membuktikan bahwa anak tunarungu pada umumnya memiliki kemampuan
intelektual rata-rata sama seperti anak normal. Namun demikian kemampuan
intelektual yang berkaitan dengan aspek-aspek konseptual yang berkaitan
dengan bahasa jauh di bawah kemampuan anak normal.
Hal ini sejalan dengan pendirian Piaget (1964) bahwa perkembangan
kognisi sangat tergantung pada perkembangan bahasa. Oleh karena itu
meskipun secara umum anak tunarungu memiliki kemampuan kecerdasan
relatif sama dengan anak normal, akan tetapi anak tunarungu
memiliki hambatan dalam perkembangan berbahasa , maka perkembangan
kognitif anak tunarungu jauh di bawah anak normal.
Sebagai contoh anak normal dapat memahami konsep-konsep: indah,
bahagia, jujur, adil,dan sebagainya. Secara otomatis dari pergaulan sehari-hari,
anak tunarungu mengalami kesulitan untuk memahami maksud dari konsep-
47
konsep tersebut, tanpa tindakan-tindakan khusus untuk memahaminya. Karena
kesulitan bahasa anak tunarungu tidak akan memahami maksud sebuah konsep
abstrak secara utuh dan akurat.
Persoalan penalaran moral sebagai sesuatu yang abstrak diperkirakan
akan sulit dipahami oleh anak-anak tunarungu. Karena belajar berprilaku
dengan cara yang disetujui oleh masyarakat merupakan proses yang panjang,
lama, dan terus berlanjut sampai masa remaja. Proses belajar tersebut dapat
mencapai hasil jika kemampuan anak untuk belajar tidak mengalami hambatan.
Artinya perkembangan moral seseorang anak banyak dipengaruhi oleh
kemampuan kognisinya. Walaupun kognisi bukan satu-satunya faktor yang
menjamin peningkatan penalaran moral (Berk, 2003:491).