T PKKH 0908259 chapter2 -...

39
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Penalaran Moral 1. Penalaran Moral Penalaran dalam Suharnan (2005) sering disebut juga jalan pikiran, menurut Keraf (1991) adalah suatu proses berfikir yang berusaha menghubungkan fakta-fakta yang diketahui menuju pada suatu kesimpulan. Menurut Soekadijo (1988) penalaran adalah aktivitas menilai hubungan proposisi – proposisi yang disusun di dalam bentuk premis – premis, kemudian menentukan kesimpulannya. Pendapat serupa yang sangat sederhana diberikan oleh Kafie (1989) bahwa penalaran merupakan jalan pikiran (proses) ketika orang akan mengambil kesimpulan tertentu. Beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa penalaran ialah suatu proses kognitif dalam menilai hubungan diantara premis – premis yang akhirnya menuju pada penarikan kesimpulan tertentu. Dalam jurnal psikologi dan masyarakat dikatakan bahwa konsep moralitas yang diajukan oleh Kohlberg dengan istilah penalaran moral (moral reasoning, moral thinking, moral judgement) tidak terkait dengan kondisi sosio-budaya tertentu. Moralitas tidak ada kaitannya dengan jawaban atas pertanyaan apa yang baik/buruk, tetapi terkait dengan jawaban atas pertanyaan mengapa sesuatu dianggap baik/buruk. Penalaran moral mengacu pada proses penalaran dimana prilaku, institusi, atau kebijakan dinilai sesuai atau melanggar standar moral.

Transcript of T PKKH 0908259 chapter2 -...

Page 1: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Penalaran Moral

1. Penalaran Moral

Penalaran dalam Suharnan (2005) sering disebut juga jalan pikiran,

menurut Keraf (1991) adalah suatu proses berfikir yang berusaha

menghubungkan fakta-fakta yang diketahui menuju pada suatu kesimpulan.

Menurut Soekadijo (1988) penalaran adalah aktivitas menilai hubungan

proposisi – proposisi yang disusun di dalam bentuk premis – premis,

kemudian menentukan kesimpulannya. Pendapat serupa yang sangat

sederhana diberikan oleh Kafie (1989) bahwa penalaran merupakan jalan

pikiran (proses) ketika orang akan mengambil kesimpulan tertentu.

Beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa penalaran ialah suatu

proses kognitif dalam menilai hubungan diantara premis – premis yang

akhirnya menuju pada penarikan kesimpulan tertentu.

Dalam jurnal psikologi dan masyarakat dikatakan bahwa konsep

moralitas yang diajukan oleh Kohlberg dengan istilah penalaran moral

(moral reasoning, moral thinking, moral judgement) tidak terkait dengan

kondisi sosio-budaya tertentu. Moralitas tidak ada kaitannya dengan

jawaban atas pertanyaan apa yang baik/buruk, tetapi terkait dengan jawaban

atas pertanyaan mengapa sesuatu dianggap baik/buruk.

Penalaran moral mengacu pada proses penalaran dimana prilaku,

institusi, atau kebijakan dinilai sesuai atau melanggar standar moral.

Page 2: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

10

Penalaran moral adalah proses berpikir yang mendasari keputusan benar dan

salah.

Moralitas pada dasarnya dipandang oleh Kohlberg sebagai suatu

konflik antara kepentingan diri dan lingkungan, dan antara hak dan

kewajiban yang harus diselesaikan. Dengan demikian, moralitas, yang

diidentikkan dengan penyelesaian konflik antara kepentingan diri dan

lingkungan merupakan hasil timbang menimbang antara kedua komponen

tersebut. Dengan cara pandang seperti ini dapat diidentifikasi berbagai

macam pola pertimbangan, yang setelah dikaji dalam penelitian

longitudinal, ternyata didalamnya terdapat urutan tahap-tahap

perkembangan moral yang sifatnya universal.

Kohlberg mengidentifikasi perkembangan penalaran moral menjadi

enam tahap yang dibagi dalam tiga tingkat (level), yaitu tingkat pra-

konvensional, tingkat konvensional, dan tingkat pasca-konvensional.

Untuk memahami tahapan-tahapan tersebut, akan sangat membantu jika kita

memulai dengan tiga tingkatan moral. Tingkatan pra-konvensional ialah

tingkatan yang dicapai oleh sebagian besar anak di bawah umur 9 tahun,

sejumlah remaja, dan semakin banyak remaja serta pelaku tindak kriminal

usia dewasa. Tingkatan konvensional adalah tingkatan yang dicapai oleh

sebagian besar remaja serta orang dewasa dalam masyarakat Amerika dan

pada sebagian besar masyarakat lainnya. Tingkatan post-konvensional

dicapai oleh minoritas orang dewasa dan biasanya hanya dicapai setelah usia

20 – 25 tahun. Seperti yang telah ditegaskan sebelumnya, istilah

Page 3: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

11

konvensional bukan berarti bahwa setiap individu yang berada pada

tingkatan ini tidak mampu membedakan antara konvensi moralitas dengan

konvensi sosial namun lebih condong bahwa moralitas terdiri dari sistem

aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

Seseorang yang berada di tingkatan pre-konvensional belum benar-benar

memahami serta membenarkan norma-norma serta ekspektasi-ekspektasi

moral yang dibagi secara sosial. Mereka yang berada pada tingkatan post-

konvensional memahami dan biasanya bisa menerima aturan-aturan

masyarakat, namun penerimaan terhadap aturan-aturan masyarakat

didasarkan pada perumusan serta penerimaan prinsip-prinsip moral umum

yang mendasari aturan-aturan tersebut. Prinsip-prinsip tersebut pada

sejumlah kasus menimbulkan konflik dengan aturan-aturan masyarakat, di

mana kasus post-konvensional individual lebih dinilai oleh prinsip daripada

oleh konvensi.

2. Tahapan Penalaran Moral

Tingkat I: Pra-Konvensional

Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada

anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam

tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai

moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat

pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral,

dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.

Page 4: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

12

Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada

konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai

contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang

melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin

salah tindakan itu sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang

lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai

sejenis otoriterisme.

Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang

benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua

kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap

bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti

“kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu. Dalam tahap

dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang

bersifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-

konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua

tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka

dari tahap dua, perspektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif

secara moral.

Tingkat II: Konvensional

Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang

dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan

membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat

Page 5: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

13

konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan

moral.

Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran

sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-

orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap

peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk

memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan

hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan

mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang

mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule.

Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu

peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran

yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; ‘mereka bermaksud baik’.

Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan,

dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat.

Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan

penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus

melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang

benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang

bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu, sehingga ada

kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang

melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor

yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.

Page 6: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

14

Tingkat III: Pasca-Konvensional

Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip,

terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa

individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi

semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif

masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat

tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-

konvensional.

Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki

pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa

mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak

dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan

atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut,

‘memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak’? Sejalan

dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan

kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus

diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-

banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan

kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan

pada penalaran tahap lima.

Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak

menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada

keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk

Page 7: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

15

tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial

dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara

kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara

kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel Kant). Hal ini bisa

dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat

menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran

sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls). Tindakan yang diambil adalah

hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi

selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan

karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui

sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan

untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten.

Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, jarang sekali yang bisa mencapai tahap

enam dari model Kohlberg ini. Kohlberg menyebutkan contoh tokoh yang

mencapai penalaran moral tahap ke-6, yaitu Mahatma Gandhi, Martin Luther

King, dan Galileo.

Dalam proses perkembangan moral reasoning dengan enam tahapannya

seperti itu berlakulah dalil berikut:

1. Perkembangan moral terjadi secara berurutan dari satu tahap ke tahap

berikutnya.

2. Dalam perkembangan moral orang tidak memahami cara berfikir dari tahap

yang lebih dari dua tahap diatasnya.

Page 8: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

16

3. Dalam perkembangan moral, seseorang secara kognitif tertarik pada cara

berfikir dari satu tahap diatas tahapnya sendiri. Anak dari 2 tahap 2 merasa

tertarik kepada tahap 3, berdasarkan inilah Kohlberg percaya bahwa moral

reasoning dapat dan mungkin diperkembangkan.

4. Dalam perkembangan moral, perkembangan hanya akan terjadi apabila

diciptakan suatu diequilibrium kognitif pada diri si anak didik. Seseorang

yang sudah mapan dalam satu tahap tertentu harus diusik secara kognitif

sehingga ia terangsang untuk memikirkan kembali prinsip yang sudah

dipegangnya. Kalau ia tetap tentram dan tetap dalam tahapannya sendiri,

maka tidak mungkin ada perkembangan.

3. Peningkatan Tahap Perkembangan Penalaran Moral

Menurut teori perkembangan sosio-kognitif dalam jurnal psikologi

dan masyarakat, peningkatan tahap perkembangan penalaran moral terjadi

oleh karena adanya rangsangan. Rangsangan yang tentu saja didefinisikan

dalam pengertian struktur kognitif ini juga harus bersifat sosial, yakni

berhubungan dengan sesuatu yang datang dari interaksi sosial dan dari

pembuatan keputusan moral,dan dialog moral dan interaksi moral.

Rangsangan yang hanya mengandung aspek kognisi (penalaran logis) saja

memang merupakan dasar terjadinya peningkatan tahap perkembangan

moral (prerequisite- condition), tetapi tidak mempengaruhi perkembangan

penalaran moral secara langsung.

Page 9: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

17

Kohlberg mengutarakan bahwa terdapat paralelisme “terbatas”

(“terbatas” = tambahan penulis) antara perkembangan kognisi dan

perkembangan penalaran moral. Seseorang dengan tahap berkembangan

kognisi pada concrete operatinal akan terbatas tahap penalaran moralnya

pada tahap 1 dan 2. Seseorang dengan tahap perkembangan kognisi pada

formal operation yang rendah, akan terbatas pada penalaran moral tingkat

conventional (tahap 3 dan 4). Meskipun perkembangan kognisi merupakan

kondisi yang penting untuk perkembangan penalaran moral,itu belum cukup

(necessary but not sufficient condition). Menurut penelitian Colby &

Kohlberg, banyak individu yang tahap perkembangan kognisinya lebih

tinggi daripada tahap perkembangan penalaran moral yang seharusnya

merupakan paralelnya, dan tak ada seorang pun yang mempunyai tahap

penalaran moral yang lebih tinggi dari pada tahap perkembangan

kognisinya.

Selain paralelisme antara tahap perkembangan penalaran moral dan

tahap perkembangan kognisi, Kohlberg juga mengutarakan bahwa ada

hubungan yang erat antara tahap alih peran (role taking ) atau presepsi

sosial, atau perpektif sosial seperti yang diutarakan oleh Selman. Tahap alih

peran juga merupakan prerequisite condition dari tahap penalaran moral.

Urutan horisontal perkembangan di antara tiga domain tersebut

membawa konsekuensi pada konseptualisme rangsangan yang

menyebabkan peningkatan tahap penalaran moral. Telah diutarakan bahwa

untuk mencapai tahap perkembangan kognisi tertentu, dan ketiadaan

Page 10: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

18

rangsangan kognisi dapat menerangkan batas tahap tertinggi penalaran

moral yang dicapai. Kohlberg memberi contoh bahwa di suatu desa di Turki

tahap formal operation jarang ditemui. Sehubung dengan itu, kita tidak

dapat mengharapkan bahwa penalaran post-conventional dapat berkembang

dalam konteks kultur semacam itu.

Faktor lain yang penting sebagai rangsangan peningkatan tahap

penalaran moral adalah kesempatan-kesempatan alih peran (role taking

opportunities). Alih peran berarti mengambil sikap dari sudut pandang

orang lain, atau singkatnya, menempatkan diri pada posisi orang lain.

Ada beberapa kesempatan ahli peran yang mungkin dialami oleh

seseorang, seperti melalui hubungan antar individu dalam keluarga, dalam

kelompok sebaya, di sekolah, dan dalam masyarakat luas.

Dalam hubungan keluarga, salah satu faktor yang menentukan

peningkatan tahap perkembangan moral adalah bila orang tua mendorong

terjadinya dialog mengenai issue nilai-nila. Sebab, dalam dialog keluarga

semacam itu terjadi pertukaran sudut pandang serta sikap-sikap yang disebut

kesempatan alih peran. Dalam hubungan dengan teman sebaya, bagi anak

atau remaja yang banyak berpatisipasi dalam pergaulan teman sebaya,

kemungkinan peningkatan tahap perkembangan penalaran moral akan lebih

besar dibandingkan dengan mereka yang kurang bergaul. Dalam

hubungannya dengan status dalam masyarakat luas, Kohlberg telah

mengadakan penelitian kolerasi antara status sosial-ekonomi dan

perkembangan penalaran moral di berbagai kultur. Kohlberg beranggapan

Page 11: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

19

bahwa anak-anak dengan status sosial-ekonomi menengah lebih mempunyai

kesempatan untuk mengambil sudut pandang baik dari level atas maupun

dari level bawah. Dengan demikian, dapat diramalkan bahwa pada

umumnya tahap perkembangan penalaran moral anak-anak dari status

sosial-ekonomi menengah lebih tinggi daripada status sosial-ekonomi

lainnya.

B. Kemampuan Kognisi

1. Pengertian Kognisi

Kognisi merupakan kegiatan atau proses memperoleh pengetahuan

(termasuk kesadaran, perasaan, dsb) atau usaha mengenali sesuatu melalui

pengalaman sendiri (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia:269).

Istilah kognisi berbeda dengan istilah kecerdasan (intelegensi).

Tetapi kedua istilah tersebut sangat erat kaitannya. Kognisi dapat diartikan

sebagai proses memahami sesuatu yang diperoleh melalui interaksi dengan

lingkungan (Alimin, 2008). Dimana pemahaman tersebut diperoleh melalui

proses yaitu proses sensoris dan persepsi (visual, auditif, kinestetik, dan

taktual). Sedangkan kecerdasan (intelegensi) dapat diartikan sebagai

kemampuan untuk beradaptasi, mencapai prestasi, memecahkan masalah,

menginterpretasikan stimulus yang diperoleh, memodifikasi tingkah laku,

memahami konsep atau kemampuan untuk merespon terhadap butir-butir

pada tes inteligensi.

Page 12: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

20

Perkembangan kognitif adalah salah satu aspek perkembangan

manusia yang berkaitan dengan pengertian (pengetahuan), yaitu semua

proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari

dan memikirkan lingkungannya. Menurut Myers (1996), “Cognition refers

to all the mental activities associated with thinking, knowing, and

remembering. “Pengertian yang hampir senada juga diberikan oleh Margaret

W. Matlin (1994), yaitu : “cognition, or mental activity, involves the

acquisition, storage, retrieval, and use of konwledge. “Dalam Dictionary of

Psychology karya Drever, dijelaskan bahwa “kognisi adalah istilah umum

yang mencakup segenap model pemahaman, yakni persepsi, imajinasi,

penangkapan makna, penilaian dan penalaran.

Dari beberapa pengertian diatas maka dapat dipahami bahwa

perkembangan kognitif adalah sebuah istilah yang menunjuk pada semua

aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, imajinasi, penangkapan

makna penilaian dan penalaran, pengolahan informasi, memecahkan

masalah serta berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan

memikirkan lingkungannya.

2. Perkembangan Struktur Kognitif

Jean Piaget menyebut struktur kognitif sebagai skemata (Schemas),

yaitu kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat mengikat,

memahami, dan memberikan respons terhadap stimulus disebabkan karena

bekerjanya skemata ini. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai

hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya dan berlangsung terus-

Page 13: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

21

menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya. Proses terjadinya adaptasi

dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru tersebut dilakukan

dengan dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi.

Asimilasi adalah proses kognitif di mana seseorang

mengintegrasikan persepsi, konsep, atau pengalaman baru ke dalam skema

atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya (Suparno, 2001:22). Proses

ini bersifat subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi

pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa masuk ke dalam

skema yang sudah ada sebelumnya. Menurut Wadsworth dalam (Suparno,

2001:22) asimilasi tidak menyebabkan perubahan skema, tetapi

memperkembangkan skema. Sebagai contoh, seorang anak yang baru

pertama kali melihat harimau maka ia akan menyebut harimau itu sebagai

kucing besar, karena ia baru memiliki konsep kucing yang sering dilihatnya.

Ia memiliki konsep kucing dalam skemanya dan ketika ia melihat harimau

untuk pertama kalinya, maka konsep kucinglah yang paling dekat dengan

stimulus.

Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan

pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang

tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula

terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali. Sebagai contoh seorang

bayi yang menjatuhkan sebuah benda dengan cara yang berbeda-beda, maka

ia sedang memodifikasi skema cara menjatuhkan benda dalam rangka

mengambil berbagai objek yang berbeda. (Berk, 2003: 219)

Page 14: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

22

Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistim kognisi seseorang

berubah dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap

berikutnya. Proses penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena

ia ingin mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang

antara struktur kognisi dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang

akan selalu berupaya agar keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan

menggunakan kedua proses penyesuaian di atas.

3. Tahap Perkembangan Kognitif

Menurut para ahli psikologi perkembangan, perkembangan individu

berlangsung secara terus menerus dan tidak terjadi lompatan. Begitu pun

halnya dengan perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif individu

akan bergerak dari tahap dasar menuju tahap berikutnya secara berurutan

dimana tahap sebelumnya akan menjadi dasar bagi perkembangan tahap

selanjutnya.

Jean Piaget, seorang ahli psikologi, secara garis besar

mengelompokkan tahap-tahap perkembangan kognitif seorang anak menjadi

empat tahap, yaitu tahap sensorimotor, tahap praoperasional, tahap

operasional konkrit, dan tahap operasional formal.

a. Tahap Sensorimotor

Tahap paling awal perkembangan kognitif terjadi pada waktu bayi

lahir sampai sekitar berumur 2 tahun. Tahap ini disebut tahap

sensorimotor oleh Piaget. Ciri pokok perkembangannya adalah anak

Page 15: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

23

mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta mempelajari

permanensi obyek. Pada tahap sensorimotor, intelegensi anak lebih

didasarkan pada tindakan inderawi anak terhadap lingkungannya, seperti

melihat, meraba, menjamah, mendengar, membau dan lain-lain.

Pada tahap sensorimotor, gagasan anak mengenai suatu benda

berkembang dari periode “belum mempunyai gagasan” menjadi “ sudah

mempunyai gagasan”. Gagasan mengenai benda sangat berkaitan dengan

konsep anak tentang ruang dan waktu yang juga belum terakomodasi

dengan baik. Struktur ruang dan waktu belum jelas dan masih terpotong-

potong, belum dapat disistematisir dan diurutkan dengan logis.

Menurut Piaget, mekanisme perkembangan sensorimotor ini

menggunakan proses asimilasi dan akomodasi. Tahap-tahap

perkembangan kognitif anak dikembangkan dengan perlahan-lahan

melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema-skema anak

karena adanya masukan, rangsangan, atau kontak dengan pengalaman

dan situasi yang baru.

Tahap sensorimotor dibagi menjadi enam sub tahap:

1) Subtahap perilaku reflex. Di antara perilaku bawaan ini adalah reflex

untuk mengisap, reflex untuk memutar kepalanya ke arah benda yang

menyentuh pipinya, reflex untuk menggenggam, dan kecenderungan

untuk memfokuskan penglihatannya pada stimuli yang tingkat

kompleksitasnya cukup tinggi.

Page 16: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

24

2) Subtahap reaksi sirkuler primer (primary circular reactions), usia 1-4

bulan. Reaksi ini adalah gerakan reflex yang berulang dengan

sendirinya karena menimbulkan kesenangan (misalnya mengisap ibu

jari).

3) Subtahap reaksi sirkuler sekunder (secondary circular reactions), usia

4-8 bulan. Ini adalah gerakan berulang seperti reaksi primer tetapi

menggunakan benda di luar diri bayi, misalnya memukul-mukulkan

mainan ke pinggir tempat tidurnya.

4) Subtahap koordinasi reaksi sirkuler sekunder, usia 8-12 bulan. Anak

memiliki kemampuan untuk mengkombinasikan pola-pola perilaku,

dan mulai menggunakan satu kegiatan sebagai cara untuk melakukan

kegiatan lain; misalnya mendorong tangan ayah untuk mengambil

mainan yang diinginkannya.

5) Subtahap reaksi sirkuler tersier (tertiary circular reactions), usia 12-

15 bulan. Ini adalah tindakan yang diulang-ulang tetapi dengan pola

yang bervariasi; misalnya anak berulang-ulang menjatuhkan tempat

sabun dengan posisi yang berbeda-beda.

6) Subtahap penciptaan cara baru melalui kombinasi mental (invention of

new means through mental combination), usia 15-24 bulan. Subtahap

ini merupakan transisi ke tahap selanjutnya karena pada masa ini anak

mengembangkan kemampuan untuk melambangkan obyek dan

peristiwa secara simbolik. Untuk pertama kalinya, anak dapat berpikir

tentang hal-hal yang tidak dilihatnya, dan dapat memecahkan masalah

Page 17: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

25

dengan memikirkan suatu tindakan tertentu. Dengan kata lain, anak

sudah mulai belajar berpikir.

b. Tahap Praoperasional

Ciri pokok perkembangannya adalah penggunaan simbol atau

bahasa tanda dan konsep intuitif. Istilah “operasi” di sini adalah suatu

proses berfikir logik, dan merupakan aktivitas sensorimotor. Dalam tahap

ini anak sangat egosentris, mereka sulit menerima pendapat orang lain.

Anak percaya bahwa apa yang mereka pikirkan dan alami juga menjadi

pikiran dan pengalaman orang lain. Mereka percaya bahwa benda yang

tidak bernyawa mempunyai sifat bernyawa.

Tahap pra operasional ini dapat dibedakan atas dua bagian.

Pertama, tahap pra konseptual (2-4 tahun), dimana representasi suatu

objek dinyatakan dengan bahasa, gambar dan permainan khayalan.

Kedua, tahap intuitif (4-7 tahun). Pada tahap ini representasi suatu objek

didasarkan pada persepsi pengalaman sendiri, tidak kepada penalaran.

Karakteristik anak pada tahap ini adalah sebagai berikut:

1) Anak dapat mengaitkan pengalaman yang ada di lingkungan

bermainnya dengan pengalaman pribadinya, dan karenanya ia menjadi

egois. Anak tidak rela bila barang miliknya dipegang oleh orang lain.

2) Anak belum memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah-

masalah yang membutuhkan pemikiran “yang dapat dibalik

(reversible).” Pikiran mereka masih bersifat irreversible.

Page 18: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

26

3) Anak belum mampu melihat dua aspek dari satu objek atau situasi

sekaligus, dan belum mampu bernalar (reasoning) secara individu dan

deduktif.

4) Anak bernalar secara transduktif (dari khusus ke khusus). Anak juga

belum mampu membedakan antara fakta dan fantasi. Kadang-kadang

anak seperti berbohong. Ini terjadi karena anak belum mampu

memisahkan kejadian sebenarnya dengan imajinasi mereka.

5) Anak belum memiliki konsep kekekalan (kuantitas, materi, luas, berat

dan isi).

6) Menjelang akhir tahap ini, anak mampu memberi alasan mengenai apa

yang mereka percayai. Anak dapat mengklasifikasikan objek ke dalam

kelompok yang hanya mempunyai satu sifat tertentu dan telah mulai

mengerti konsep yang konkrit.

c. Tahap Operasi Konkrit

Ciri pokok perkembangannya anak mulai berpikir secara logis

tentang kejadian-kejadian konkrit. Tahap operasi konkrit (concrete

operations) dicirikan dengan perkembangan sistem pemikiran yang

didasarkan pada aturan-aturan tertentu yang logis. Anak sudah

memperkembangkan operasi-operasi logis. Operasi itu bersifat

reversible, artinya dapat dimengerti dalam dua arah, yaitu suatu

pemikiran yang dapat dikembalikan kepada awalnya lagi. Tahap operasi

konkrit dapat ditandai dengan adanya sistem operasi berdasarkan apa-apa

yang kelihatan nyata/konkrit.

Page 19: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

27

Ciri-ciri operasi konkrit yang lain, yaitu:

1) Adaptasi dengan gambaran yang menyeluruh

Pada tahap ini, seorang anak mulai dapat menggambarkan

secara menyeluruh ingatan, pengalaman dan objek yang dialami.

Menurut Piaget, adaptasi dengan lingkungan disatukan dengan

gambaran akan lingkungan itu.

2) Melihat dari berbagai macam segi

Anak pada tahap ini mulai dapat melihat suatu objek atau persoalan

secara sedikit menyeluruh dengan melihat aspek-aspeknya. Ia tidak

hanya memusatkan pada titik tertentu, tetapi dapat bersama-sama

mengamati titik-titik yang lain dalam satu waktu yang bersamaan.

2) Seriasi

Proses seriasi adalah proses mengatur unsur-unsur menurut semakin

besar atau semakin kecilnya unsur-unsur tersebut. Menurut Piaget ,

bila seorang anak telah dapat membuat suatu seriasi maka ia tidak

akan mengalami banyak kesulitaan untuk membuat seriasi

selanjutnya.

3) Klasifikasi

Menurut Piaget, bila anak yang berumur 3 tahun dan 12 tahun diberi

bermacam-maam objek dan disuruh membuat klasifikasi yang serupa

menjadi satu, ada beberapa kemungkinan yang terjadi.

Page 20: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

28

4) Bilangan

Dalam percobaan Piaget, ternyata anak pada tahap praoperasi

konkrit belum dapat mengerti soal korespondensi satu-satu dan

kekekalan, namun pada tahap tahap operasi konkrit, anak sudah

dapat mengerti soal korespondensi dan kekekalan dengan baik.

Dengan perkembangan ini berarti konsep tentang bilangan bagi anak

telah berkembang.

5) Ruang, waktu, dan kecepatan

Pada umur 7 atau 8 tahun seorang anak sudah mengerti tentang

urutan ruang dengan melihat interval jarak suatu benda. Pada umur 8

tahun anak sudah dapat mengerti relasi urutan waktu dan juga

koordinasi dengamn waktu, dan pada umur 10 atau 11 tahun, anak

sadar akan konsep waktu dan kecepatan.

6) Probabilitas

Pada tahap ini, pengertian probabilitas sebagai suatu perbandingan

antara hal yang terjadi dengan kasus-kasus yang mulai terbentuk.

7) Penalaran

Dalam pembicaraan sehari-hari, anak pada tahap ini jarang berbicara

dengan suatu alasan, tetapi lebih mengatakan apa yang terjadi. Pada

tahap ini, menurut Piaget masih ada kesulitan dalam melihat

persoalan secara menyeluruh.

Page 21: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

29

8) Egosentrisme dan Sosialisme

Pada tahap ini, anak sudah tidak begitu egosentris dalam

pemikirannya. Ia sadar bahwa orang lain dapat mempunyai pikiran

lain.

Pada tahap operasi konkrit siswa tidak akan bisa memahami konsep

tanpa benda-benda konkrit. Selain itu, pada tahap ini Piaget mengidentifikasi

adanya enam jenis konsep yang berkembang selama anak berada pada tahap

operasi konkrit,yaitu:

1) Kekekalan Banyak ( 6 – 7 Tahun )

Pada usia ini anak sudah mampu memahami konsep banyak yaitu jika

suatu benda yang sama banyaknya meskipun dibedakan susunannya

banyaknya akan tetap sama.

2) Kekekalan Materi ( 7 – 8 Tahun )

Pada usia ini anak sudah mampu memahami konsep kekekalan materi yaitu

jika 2 materi yang sama banyak, salah satunya dipindahkan ke tempat yang

lebih kecil atau lebih besar maka materi tersebut tetap berjumlah sama.

2) Kekekalan Panjang ( 7 – 8 Tahun )

Pada usia ini anak sudah mampu memahami konsep kekekalan panjang

yaitu panjang suatu benda jika diubah bentuknya akan tetap sama.

Page 22: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

30

3) Kekekalan Luas ( 8 – 9 Tahun )

Pada usia ini anak sudah mampu memahami konsep kekekalan luas yaitu

luas suatu benda akan tetap sama walau bentuk benda tersebut telah kita

ubah.

4) Kekekalan Berat ( 9 – 10 Tahun )

Pada usia ini anak sudah mampu memahami konsep kekekalan berat yaitu

berat suatu benda akan tetap sama walaupun benda tersebut dipindahkan

ketempat yang berbeda-beda atau di bagi 2.

d. Tahap Operasional Formal

Ciri pokok perkembangannya adalah hipotesis, abstrak, dan logis.

Tahap operasi formal (formal operations) merupakan tahap terakhir

dalam perkembangan kognitif menurut Piaget. Pada tahap ini, seorang

remaja sudah dapat berpikir logis, berpikir dengan pemikiran teoritis

formal berdasarkan proposisi-proposisi dan hipotesis, dan dapat

mengambil kesimpulan lepas dari apa yang dapat diamati saat itu. Cara

berpikir yang abstrak mulai dimengerti.

Sifat pokok tahap operasi formal adalah pemikiran deduktif

hipotesis, induktif saintifik, dan abstrak reflektif.

1) Pemikiran Deduktif Hipotesis

Pemikiran deduktif adalah pemikiran yang menarik kesimpulan

yang spesifik dari sesuatu yang umum. Kesimpulan benar hanya jika

premis-premis yang dipakai dalam pengambilan keputusan benar.

Page 23: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

31

Alasan deduktif hipotesis adalah alasan/argumentasi yang berkaitan

dengan kesimpulan yang ditarik dari premis-premis yang masih

hipotetis. Jadi, seseorang yang mengambil kesimpulan dari suatu

proposisi yang diasumsikan, tidak perlu berdasarkan dengan

kenyataan yang real.

Dalam pemikiran remaja, Piaget dapat mendeteksi adanya

pemikiran yang logis, meskipun para remaja sendiri pada

kenyataannya tidak tahu atau belum menyadari bahwa cara berpikir

mereka itu logis. Dengan kata lain, model logis itu lebih merupakan

hasil kesimpulan Piaget dalam menafsirkan ungkapan remaja, terlepas

dari apakah para remaja sendiri tahu atau tidak.

2) Pemikiran Induktif Saintifik

Pemikiran induktif adalah pengambilan kesimpulan yang lebih

umum berdasarkan kejadian-kejadian yang khusus. Pemikiran ini

disebut juga dengan metode ilmiah. Pada tahap pemikiran ini, anak

sudah mulai dapat membuat hipotesis, menentukan eksperimen,

menentukan variabel kontrol, mencatat hasil, dan menarik kesimpulan.

Disamping itu mereka sudah dapat memikirkan sejumlah variabel

yang berbeda pada waktu yang sama.

3) Pemikiran Abstraksi Reflektif

Menurut Piaget, pemikiran analogi dapat juga diklasifikasikan

sebagai abstraksi reflektif karena pemikiran itu tidak dapat

disimpulkan dari pengalaman.

Page 24: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

32

Faktor yang ketiga adalah interaksi sosial. Maryati dan Suryawati

(2003) menyatakan bahwa, “Interaksi sosial adalah kontak atau

hubungan timbal balik atau interstimulasi dan respons antar individu,

antar kelompok atau antar individu dan kelompok” (Jurnal-

sdm.blogspot.com). Interaksi sosial tidak hanya terjadi antara anak

dengan orang dewasa saja, tetapi antara anak dengan teman sebayanya

dan teman yang lebih besar atau lebih kecil dengannya.

4. Perkembangan Kognisi Anak Tunarungu

Inteligensi seorang tunarungu dalam Imas Diana (Disertasi,

2010),secara potensial pada umumnya sama dengan anak orang normal,

tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat

kemampuan berbahasa (Myklebust, dalam Moores, 1982:148). Keterbatasan

informasi dan kurangnya daya abstraksi pada seorang tunarungu akan

menghambat proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas, dengan

demikian perkembangan inteligensi secara fungsionalpun terhambat. Hal ini

mengakibatkan seorang tunarungu kadang menampakkan keterlambatan

dalam belajar.

Cruikshank yang dikutip oleh Siregar (1981:6) mengemukakan

bahwa:

Anak-anak tunarungu sering memperlihatkan keterlambatan dalam belajar dan kadang tampak terbelakang. Keadaan ini tidak hanya disebabkan oleh derajat gangguan pendengaran yang dialami oleh anak, tetapi juga tergantung pada potensi kecerdasan yang dimiliki, rangsangan mental, serta dorongan dari lingkungan luar yang

Page 25: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

33

memberikan kesempatan bagi anak untuk mengembangkan kecerdasan itu.

Pendapat senada dikemukakan Rittenhouse yang dikutip Hallahan &

Kauffman (1998:285) bahwa, “ … karena anak tunarungu berprestasi sangat

jauh di bawah rata-rata kelas sekolahnya terutama di kelas yang agak tinggi,

ada anggapan bahwa kemampuan kognitif mereka kurang”. Selanjutnya

dijelaskan bahwa “kesulitan akademik yang dihadapi anak tunarungu

bukanlah karena masalah kognitif yang kurang akan tetapi sebenarnya

kesulitan dalam berbahasa dan pendidiklah yang belum memaksimalkan

kelebihan kognitif anak tunarungu”.

Apa yang dikemukakan oleh Pintner (Moores, 1982:154) sangat

mempengaruhi persepsi orang tentang kemampuan kognitif anak tunarungu,

yang menyatakan bahwa “anak tunarungu jauh tertinggal dibandingkan anak

normal dan anak tunarungu itu inferior (rendah) inteligensinya”. Beberapa

hasil penelitian lain mempertegas pernyataan Pintner, diantaranya adalah

hasil penelitian MacKone et all, yang menyatakan bahwa inteligensi anak

tunarungu lebih rendah daripada anak normal.

Pengkajian Myklebust (1953) sebagai review terhadap Pintner,

memperlihatkan hasil yang berbeda, yaitu bahwa anak-anak tunarungu

secara umum tidaklah inferior inteligensinya. Namun Myklebust

menyatakan bahwa sekalipun apabila anak tunarungu secara kuantitatif

(skor IQ-nya) sama dengan anak normal, tetapi secara kualitatif mereka

belum tentu sama. Lebih lanjut dikatakan, aspek kualitatif dari fungsi

Page 26: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

34

perseptual dan konseptual dan penalaran anak tunarungu nampaknya

berbeda.

Rosenstein (1961), melakukan review terhadap sejumlah penelitian

terhadap orang tunarungu dan ditemukan bahwa tidak ada perbedaan antara

orang tunarungu dengan orang normal dalam performa konseptualnya,

asalkan faktor-faktor linguistik yang diberikannya dikenal oleh subjek.

Rosenstein menyimpulkan bahwa anak tunarungu juga dapat berfikir

abstrak.

5. Hambatan dalam Perkembangan Fungsi Kognitif Anak Tunarungu

Kerusakan pendengaran dapat menyebabkan gejala yang mirip dengan

keterbelakangan mental , karena anak tunarungu tidak dapat menangkap

petunjuk atau menunjukkan respons terhadap satu situasi di mana terjadi

satu situasi percakapan.

Keadaan seperti itu bukan karena anak tunarungu memiliki

kecerdasan yang rendah seperti anak terbelakang ,akan tetapi

disebabkan karena anak tunarungu tidak dapat menerima rangsangan

suara yang dapat ia pahami.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Myklebust (1964)

membuktikan bahwa anak tunarungu pada umumnya memiliki kemampuan

intelektual rata-rata sama seperti anak normal. Namun demikian

kemampuan intelektual yang berkaitan dengan aspek-aspek konseptual

yang berkaitan dengan bahasa jauh di bawah kemampuan anak normal.

Page 27: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

35

Hal ini sejalan dengan pendirian Piaget (1964) bahwa perkembangan

kognisi sangat tergantung pada perkembangan bahasa. Oleh karena itu

meskipun secara umum anak tunarungu memiliki kemampuan kecerdasan

relatif sama dengan anak normal, akan tetapi anak tunarungu

memiliki hambatan dalam perkembangan berbahasa , maka

perkembangan kognitif anak tunarungu jauh di bawah anak normal.

Sebagai contoh anak normal dapat memahami konsep-konsep: indah,

bahagia, jujur, adil,dan sebagainya. Secara otomatis dari pergaulan sehari-

hari, anak tunarungu mengalami kesulitan untuk memahami maksud dari

konsep-konsep tersebut, tanpa tindakan-tindakan khusus untuk

memahaminya. Karena kesulitan bahasa anak tunarungu tidak akan

memahami maksud sebuah konsep abstrak secara utuh dan akurat.

Anak tunarungu mengalami kesulitan dalam proses pembentukan

pengertian, oleh karena itu perkembangan pengetahuan anak tunarungu

sangat terbatas di bandingkan dengan anak normal. Anak tunarungu

menunjukan kemampuan terbaiknya dalam hal-hal yang berkaitan dalam

bidang mekanikal, bidang motorik dan pemahaman fakta-fakta kongkrit.

Hans Tursh (1973) membuktikan bahwa anak tunarungu mempunyai

kemampuan kognitif relatif sama dengan anak normal dalam menyelesaikan

tugas-tugas yang tidak memerlukan penjelasan lisan atau tugas-tugas yang

lebih banyak menggunakan persepsi visual seperti misalnya , memahami

konsep klasifikasi yaitu, menyimpulkan benda-benda berdasarkan ciri-ciri

tertentu misalnya ukuran bentuk atau warnanya, atau memahami konsep

Page 28: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

36

konstruksi , kemampuan menyadari bahwa jumlah atau isi sebuah objek

tidak akan berubah meskipun terjadi perubahan penampilan benda tersebut.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

keterampilan kognitif anak tunarungu tertinggal jauh di bawah anak

normal dalam hal-hal yang berhubungan dengan konsep yang bersifat

verbal, sedang keterampilan kognitif yang berkenaan dengan pemecahan

masalah-masalah yang kongkrit seperti konservasi dan klasifikasi, anak

tunarungu memiliki kemampuan yang relatif sama pendidikan bagi mereka.

C. Kemampuan Komunikasi

1. Pengertian Komunikasi

Komunikasi adalah keterampilan yang sangat penting dalam

kehidupan manusia, dimana dapat kita lihat komunikasi dapat terjadi pada

setiap gerak langkah manusia. Manusia adalah makhluk sosial yang

tergantung satu sama lain dan mandiri serta saling terkait dengan orang lain

dilingkungannya. Satu-satunya alat untuk dapat berhubungan dengan orang

lain dilingkungannya adalah komunikasi, baik secara verbal maupun non

verbal (bahasa tubuh dan isyarat yang banyak dimengerti oleh suku bangsa).

Komunikasi merupakan proses individu bertukar informasi dan

menyampaikan pikirannya, dimana ada pengirim pesan yang mengkodekan

pesan dan penerima mengkodekan pesan atau memahami pesan (Bernstein

& Tiegerman, 1993). Proses komunikasi terjadi melalui bahasa (Krech D.

dkk, 1982, hal:273). Bentuk bahasa yang berupa isyarat/gestur, tulisan,

Page 29: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

37

gambar, simbol atau wicara. Dalam proses komunikasi, komunikasi dan

komunikator menjalin hubungan yang saling memahami bahasa yang

digunakan sebagai alat penyampai pesan.

Istilah komunikasi (dalam bahasa Inggrisnya communication)

berasal dari kata latin, yaitu communicare yang berarti memberi (impart).

Communicare bersumber dari kata communis yang berarti sama makna

mengenai suatu hal (Permanarian, 2007).

Komunikasi terjadi karena adanya pematangan sistem biologis dan

sistem syaraf dalam tubuh anak. Maka bila pematangan sistem tersebut

terhambat, terhambat pulalah komunikasi seseorang.

Definisi komunikasi yang dikemukakan oleh Hybels & Weaver

dalam Permanarian Somad (2007:67), bahwa komunikasi adalah

penyampaian dan penerimaan pesan atau informasi diantara dua orang atau

lebih dengan menggunakan simbol verbal dan non verbal. Sedangkan

menurut kamus besar bahasa Indonesia, komunikasi adalah pengiriman dan

penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih dengan cara yang

tepat, sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.

Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa

lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 1980),

atau yang terwujud dalam sistem tanda yang dipahami orang untuk

melahirkan pikiran, perasaan (Purwadarminta, 1982), yang dapat

diisyaratkan sedemikian rupa kepada orang lain sehingga orang lain yang

menerima akan mengerti baik penyampaiannya dilakukan melalui tulisan,

Page 30: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

38

bicara, isyarat, mimik, pantomim atau gaste (Hurlock, 1980), (Imas Diana

Aprilia, 2010).

Dance dan Stappers 1970 (Purwaka Hadi, 2007:44) menyusun enam

katagori ‘serba makna’ tentang definisi komunikasi, yang intinya adalah: 1.

Komunikasi sebagai aktivitas dari suatu pihak, 2. Aktivitas datang dari

pihak lain sehingga terjadi pengaruh mempengaruhi, 3. Komunikasi

menekankan hubungan, 4. Komunikasi menekankan sharing atau

kepemilikan, 5. Komunikasi sebagai transmisi informasi, 6. Komunikasi

sebagai penggunaan lambang dan isyarat. Selanjutnya berdasarkan

pendefinisian tersebut maka disimpulkan bahwa: a. Komunikasi sebagai

proses sosial, b. Komunikasi sebagai peristiwa, c. Komunikasi sebagai ilmu,

d. Komunikasi sebagai kiat atau keterampilan.

2. Jenis Komunikasi

Pada dasarnya komunikasi digunakan untuk menciptakan atau

meningkatkan aktifitas hubungan antara manusia atau kelompok

Jenis komunikasi terdiri dari:

1. Komunikasi verbal dengan kata-kata

2. Komunikasi non verbal disebut dengan bahasa tubuh

Komunikasi Verbal mencakup aspek-aspek berupa ;

a. Vocabulary (perbendaharaan kata-kata). Komunikasi tidak akan efektif

bila pesan disampaikan dengan kata-kata yang tidak dimengerti, karena

itu olah kata menjadi penting dalam berkomunikasi.

Page 31: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

39

b. Racing (kecepatan). Komunikasi akan lebih efektif dan sukses bila

kecepatan bicara dapat diatur dengan baik, tidak terlalu cepat atau terlalu

lambat.

c. Intonasi suara: akan mempengaruhi arti pesan secara dramatik sehingga

pesan akan menjadi lain artinya bila diucapkan dengan intonasi suara

yang berbeda. Intonasi suara yang tidak proposional merupakan

hambatan dalam berkomunikasi.

d. Humor: dapat meningkatkan kehidupan yang bahagia. Dugan (1989),

memberikan catatan bahwa dengan tertawa dapat membantu

menghilangkan stress dan nyeri. Tertawa mempunyai hubungan fisik

dan psikis dan harus diingat bahwa humor adalah merupakan satu-

satunya selingan dalam berkomunikasi.

e. Singkat dan jelas. Komunikasi akan efektif bila disampaikan secara

singkat dan jelas, langsung pada pokok permasalahannya sehingga lebih

mudah dimengerti.

f. Timing (waktu yang tepat) adalah hal kritis yang perlu diperhatikan

karena berkomunikasi akan berarti bila seseorang bersedia untuk

berkomunikasi, artinya dapat menyediakan waktu untuk mendengar atau

memperhatikan apa yang disampaikan.

Komunikasi Non Verbal

Komunikasi non verbal adalah penyampaian pesan tanpa kata-kata

dan komunikasi non verbal memberikan arti pada komunikasi verbal.

Page 32: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

40

Yang termasuk komunikasi non verbal :

a. Ekspresi wajah. Wajah merupakan sumber yang kaya dengan komunikasi,

karena ekspresi wajah cerminan suasana emosi seseorang.

b. Kontak mata, merupakan sinyal alamiah untuk berkomunikasi. Dengan

mengadakan kontak mata selama berinterakasi atau tanya jawab berarti

orang tersebut terlibat dan menghargai lawan bicaranya dengan kemauan

untuk memperhatikan bukan sekedar mendengarkan. Melalui kontak mata

juga memberikan kesempatan pada orang lain untuk mengobservasi yang

lainnya

c. Sentuhan, adalah bentuk komunikasi personal mengingat sentuhan lebih

bersifat spontan dari pada komunikasi verbal. Beberapa pesan seperti

perhatian yang sungguh-sungguh, dukungan emosional, kasih sayang atau

simpati dapat dilakukan melalui sentuhan.

d. Postur tubuh dan gaya berjalan. Cara seseorang berjalan, duduk, berdiri

dan bergerak memperlihatkan ekspresi dirinya. Postur tubuh dan gaya

berjalan merefleksikan emosi, konsep diri, dan tingkat kesehatannya.

e. Sound (Suara). Rintihan, menarik nafas panjang, tangisan juga salah satu

ungkapan perasaan dan pikiran seseorang yang dapat dijadikan

komunikasi. Bila dikombinasikan dengan semua bentuk komunikasi non

verbal lainnya sampai desis atau suara dapat menjadi pesan yang sangat

jelas.

f. Gerak isyarat, adalah yang dapat mempertegas pembicaraan .

Menggunakan isyarat sebagai bagian total dari komunikasi seperti

Page 33: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

41

mengetuk-ngetukan kaki atau mengerakkan tangan selama berbicara

menunjukkan seseorang dalam keadaan stress bingung atau sebagai

upaya untuk menghilangkan stress

3. Proses Komunikasi

Berdasarkan paradigma Laswell, Effendi (1994:11-19) membedakan

proses komunikasi menjadi dua tahap, yaitu:

a. Proses komunikasi secara primer

Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian

pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan

menggunakan lambang sebagai media. Lambang sebagai media primer

dalam komunikasi adalah pesan verbal (bahasa), dan pesan nonverbal.

Komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam

pesan yang diterima oleh komunikan. Prosesnya sebagai berikut, pertama

komunikator menyandi (encode) pesan yang akan disampaikan kepada

komunikan. Ini berarti komunikator memformulasikan pikiran atau

perasaan ke dalam lambang (bahasa) yang diperkirakan akan dimengerti

oleh komunikan. Kemudian, komunikan menterjemahkan (decode) pesan

dari komunikator. Ini berarti komunikan menafsirkan lambang yang

mengandung perasaan dan pikiran komunikator.

Menurut Wilbur Schramm (dalam Effendy, 1994) menyatakan

bahwa komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh

komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni

Page 34: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

42

perpaduan pengalaman dan pengertian yang diperoleh komunikan.

Kemudian Schramm juga menambahkan, bahwa komunikasi akan

berjalan secara lancar apabila bidang pengalaman komunikator sama

dengan bidang pengalaman komunikan.

b. Proses komunikasi secara sekunder

Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan

oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana

sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama.

Seorang komunikator menggunakan media ke dalam dua komunikasi

karena komunikan sebagai sarana berada di tempat yang relatif jauh atau

jumlahnya banyak. Surat, telepon, fax, radio, dll merupakan media yang

sering digunakan dalam komunikasi.

4. Kemampuan Komunikasi Tunarungu

Menurut Anton Van Uden (dalam Bunawan dan Cecilia, 2000) bentuk

komunikasi pada anak tunarungu tidak berbeda dengan bentuk komunikasi

anak yang mendengar, yaitu dapat dibedakan antara bentuk komunikasi

ekspresif dan bentuk komunikasi reseptif. Komponen komunikasi ekspresif

meliputi bicara, berisyarat, berejaan jari, menulis dan memimik. Sedangkan

komponen komunikasi reseptif meliputi membaca ujaran, membaca isyarat,

membaca ejaan jari, membaca mimik serta memanfaatkan sisa pendengaran

dengan alat bantu.

Page 35: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

43

Kemampuan berkomunikasi seorang tunarungu berbeda dengan orang

mendengar, karena dampak langsung dari ketunarunguan itu mengakibatkan

(1) terbatasnya/kurangnya pemerolehan atau perbendaharaan bahasa

(vocabulary) akibatnya mereka mengalami kelambatan dalam perkembangan

komunikasi, (2) terhambatnya komunikasi secara reseptif

(menangkap/memahami pembicaraan orang lain) dan secara ekspresif (bicara).

Sejak kecil anak yang mendengar mampu belajar bicara dan berbahasa

dengan cara meniru kata-kata sebagai hasil dari kemampuan mendengar dari

lingkungannya. Anak mampu menangkap dan meniru sederetan bunyi yang

berarti yaitu berupa kata-kata, kalimat, bentuk kata, gagasan ataupun iramanya

dan berupaya untuk memperbaiki ucapannya sampai ucapan kata-katanya sama

benar dengan kata-kata yang didengarnya. Lain halnya dengan anak tunarungu,

ia tidak mampu menangkap kata-kata atau pembicaraan orang lain melalui

pendengarannya, sehingga tidak terjadi proses peniruan suara setelah masa

meraban. Proses peniruannya hanya terbatas pada peniruan visual atau

menangkap pembicaraan orang lain melalui gerak bibir.

D.A. Ramsdell (1962) yang dikutip Bunawan & Yuwati (2000:1)

menyatakan bahwa fungsi pendengaran bagi manusia ada beberapa jenjang,

yaitu (1) sebagai jenjang lambang adalah untuk memahami bunyi bahasa, (2)

sebagai jenjang tanda/peringatan yaitu sebagai pertanda akan adanya suatu

kejadian dalam lingkungan manusia, dan (3) jenjang primitif dimana bunyi

hanya berfungsi sebagai latar belakang segala kegiatan hidup sehari-hari.

Kondisi ketiga fungsi tersebut berlangsung secara progresif, simultan, dan

Page 36: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

44

terintegratif. Bagi seorang tunarungu proses pencapaian fungsi melalui jenjang

tersebut di atas, akan dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah sejak

kapan mengalami ketunarunguan, pada intensitas berapa kehilangan

pendengaran, dan dimana letak ketunarunguannya.

Ada beberapa cara untuk berkomunikasi dengan tunarungu, (1) bicara

harus berhadapan dan diusahakan sejajar, (2) harus melihat muka pembicara,

(3) jarak harus sesuai dengan daya jangkau penglihatan, (4) bicara wajar dan

jangan dibuat-buat, (5) berekspresi dan melodius, (6) cahaya harus cukup

terang, (7) mulut tidak tertutup dengan benda lain, (8) artikulasi jelas, (9)

kalimat sederhana, dan (10) pemakaian isyarat harus simultan.

Kualitas berkomunikasi seorang tunarungu pada akhirnya akan

dipengaruhi juga oleh terjadinya proses interaksi di mana didalamnya terjadi

umpan balik (feed back) sebagai modalitas yang akan membantu

mengoptimalisasikan diri sebagai makhluk sosial.

D. Keterkaitan antara Kemampuan Kognisi dan Kemampuan Komunikasi

terhadap Penalaran Moral Anak Tunarungu

Untuk menggambarkan bagaimana keterkaitan antara penalaran moral,

kemampuan kognisi, dan kemampuan komunikasi anak tunarungu dapat

diilustrasikan pada bagan sebagai berikut:

Page 37: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

45

Gambar 2.1

Keterkaitan Kemampuan Komunikasi dan Kemampuan Kognisi Pada Penalaran MoralAnak Tunarungu

Dalam kenyataan sehari-hari sering terdengar sebutan terhadap individu

yang mengalami gangguan pendengaran, diantaranya dengan istilah-istilah

seperti; tuna wicara, tuli bisu, cacat dengar dan ada istilah lain yaitu tunarungu.

Pada hakekatnya penyebutan istilah-istilah tersebut, tertuju pada satu objek

yaitu individu yang mengalami gangguan pendengaran atau hambatan

pendengaran.

Istilah yang tepat dalam dunia pendidikan adalah dengan sebutan

tunarungu, karena secara implisit mengandung dua pengertian yaitu tuli (deaf)

dan kurang dengar (hard of hearing). Gearhart (1980) yang dikutip Neely

(1982:95-96) dalam The Conference of Executives of America School for The

Deaf, mendefinisikan tunarungu sebagai berikut: “ A deaf person is one whose

hearing disability is so great that he or she cannot understand speech through

the use of the ear alone, with or without a hearing aid. A hard of hearing

person is one whose hearing disability makes it difficult to hear but who can,

KOMUNIKASI

BAIK

KOMUNIKASI

KURANG

KOGNISI

KOGNISI

PENALARAN MORAL

PENALARAN MORAL

Anak

Tunarungu

Page 38: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

46

with or without the use of hearing aid, understand speech”. Definisi tersebut

menekankan bahwa tunarungu merupakan istilah umum yang menunjukkan

kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang berat, yang digolongkan ke

dalam tuli dan kurang dengar.

Dampak langsung dari ketunarunguan adalah (1) terbatasnya/kurangnya

pemerolehan atau perbendaharaan bahasa (vocabulary) akibatnya mereka

mengalami kelambatan dalam perkembangan komunikasi, (2) terhambatnya

komunikasi secara reseptif (menangkap/memahami pembicaraan orang lain)

dan secara ekspresif (bicara).Proses komunikasi terjadi melalui bahasa (Krech

D. dkk, 1982, hal:273). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Myklebust (1964)

membuktikan bahwa anak tunarungu pada umumnya memiliki kemampuan

intelektual rata-rata sama seperti anak normal. Namun demikian kemampuan

intelektual yang berkaitan dengan aspek-aspek konseptual yang berkaitan

dengan bahasa jauh di bawah kemampuan anak normal.

Hal ini sejalan dengan pendirian Piaget (1964) bahwa perkembangan

kognisi sangat tergantung pada perkembangan bahasa. Oleh karena itu

meskipun secara umum anak tunarungu memiliki kemampuan kecerdasan

relatif sama dengan anak normal, akan tetapi anak tunarungu

memiliki hambatan dalam perkembangan berbahasa , maka perkembangan

kognitif anak tunarungu jauh di bawah anak normal.

Sebagai contoh anak normal dapat memahami konsep-konsep: indah,

bahagia, jujur, adil,dan sebagainya. Secara otomatis dari pergaulan sehari-hari,

anak tunarungu mengalami kesulitan untuk memahami maksud dari konsep-

Page 39: T PKKH 0908259 chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908259_chapter2(1).pdf · aturan-aturan, peran serta norma-norma moral yang dibagi secara sosial.

47

konsep tersebut, tanpa tindakan-tindakan khusus untuk memahaminya. Karena

kesulitan bahasa anak tunarungu tidak akan memahami maksud sebuah konsep

abstrak secara utuh dan akurat.

Persoalan penalaran moral sebagai sesuatu yang abstrak diperkirakan

akan sulit dipahami oleh anak-anak tunarungu. Karena belajar berprilaku

dengan cara yang disetujui oleh masyarakat merupakan proses yang panjang,

lama, dan terus berlanjut sampai masa remaja. Proses belajar tersebut dapat

mencapai hasil jika kemampuan anak untuk belajar tidak mengalami hambatan.

Artinya perkembangan moral seseorang anak banyak dipengaruhi oleh

kemampuan kognisinya. Walaupun kognisi bukan satu-satunya faktor yang

menjamin peningkatan penalaran moral (Berk, 2003:491).