Sustainable Excellence - Melakukan Nasehat Anda, Aron Cramer, Zachary Karabel
-
Upload
novi-pipin-sadikin -
Category
Documents
-
view
60 -
download
7
description
Transcript of Sustainable Excellence - Melakukan Nasehat Anda, Aron Cramer, Zachary Karabel
Model Kebijakan Pengelolaan Ekowisata Secara Bersama dan Kolaboratif Menghadapi Dinamika Lingkungan
Studi Kasus: Kabupaten Lombok Utara
PIPIN NOVIATI SADIKIN
P062110171
PS. Pengelolaan Sumberdaya Alam & Lingkungan Institut Pertanian Bogor
Kata pengantarDaftar isi
I. Pendahuluan ................................................................................................ 21.1 Latar belakang......................................................................................... 21.2 Tujuan...................................................................................................... 51.3 Kerangka pemikiran................................................................................. 61.4 Perumusan masalah................................................................................ 71.5 Manfaat penelitian................................................................................. 111.6 Novelty ................................................................................................... 12
II. Tinjauan pustaka...........................................................................................132.1 Ekowisata ...............................................................................................132.2 Pariwisata Keberlanjutan ......................................................................142.3 Kerentanan dan Indikator Parameter Kerentanan Biofisik dan Sosial Ekonomi.............................................................................................152.4 Adaptasi ................................................................................................162.5 Pengelolaan Bersama dan Adaptif (ACM) .............................................172.6 Valuasi Ekonomi, Analisis Permintaan dan Multiplier Effect..................192.7 Pendekatan Sistem ................................................................................192.8 Modelling...............................................................................................20
2.9 Validitas dan sensitivitas model.............................................................21III. Metodologi Penelitian................................................................................. 24
3.1 Lokasi dan waktu penelitian...................................................................243.2 Bahan dan alat....................................................................................... 243.3 Jenis dan sumber data........................................................................... 243.4 Pelaksanaan penelitian.......................................................................... 243.4.1 Metode Pengumpulan Data ...............................................................243.4.1.1 Studi Pustaka ...................................................................................243.4.1.2 Participation Action Research..........................................................253.4.1.3 Focus Group Discussion....................................................................253.4.2 Analisis data....................................................................................25
3.4.2.1 Pengembangan Model Kebijakan Pengelolaan Ekowisata Bersama dan Adaptif..............................................................25
3.4.2.2 Survey KAB dan Persepsi.......................................................253.5 Analisis Kerentanan dengan IKL atau ESI ..............................................25
3.6 Valuasi ekonomi, analisis permintaan dan multiplier effect ................. 273.7 Validitas model.......................................................................................29
3.8 Pendekatan sistem dalam pengelolaan ekowisata ...............................292.8.1 Analisis kebutuhan ..............................................................................302.8.2 Formulasi masalah ..............................................................................313.8.3 Identifikasi sistem ................................................................................313.9 Model Pengelolaan Ekowisata Bersama dan Adaptif..............................343.10 Analisis Pengembangan skenario...........................................................34
Daftar Pustaka
pg. 1
Bab I
Pendahuluan
1.1. Latar belakang
Sektor pariwisata sangat sensitif terhadap dinamika lingkungan, terutama bagi
sektor pariwisata di Indonesia yang sangat mengandalkan sumberdaya alam dan
keanekaragaman hayati, baik yang berada di perairan atau laut, maupun di daratan atau
pegunungan. Dinamika lingkungan yang mengakibatkan perubahan pada lingkungan terjadi
akibat aktivitas manusia dan perubahan alam. Perubahan akibat kegiatan manusia misalnya
pembangunan. Sementara perubahan akibat fenomena alam, misalnya perubahan geologis
dan iklim.
Dinamika lingkungan mempengaruhi system alam dan aktivitas manusia: gaya hidup,
ekonomi, kesehatan, pertanian, perikanan dan kesejahteraan sosial, termasuk pariwisata.
Pengaruh dinamika lingkungan terhadap sector pariwisata dapat langsung terlihat misalnya
meningkatnya pencemaran akan ketersediaan air bersih bagi wisatawan, meningkatnya
kerusakan terumbu karang yang menjadi objek wisata, meningkatnya banjir, meningkatnya
erosi yang merusak fasilitas pariwisata, atau meningkatnya curah hujan yang mengubah
musim atau cuaca ekstrim yang menghalangi penyelaman atau pendakian gunung.
Sementara permintaan wisatawan terhadap sebuah proses pariwisata adalah adanya
kenyamanan, keamanan, dan kepuasan karena mendapatkan interpretasi atau sesuatu dari
daerah tujuan wisata yang diinginkannya. Ketika diprediksi bahwa suatu perjalanan wisata
akan tidak nyaman, tidak aman, dan sulit mencapai daerah tujuan wisata harapannya, maka ia
akan segera mengambil keputusan untuk berganti daerah tujuan wisata ketempat atau negara
lain yang diperkirakan bisa memenuhi harapannya.
Indonesia memang merupakan Negara kepulauan di Asia Tenggara yang berdasarkan
toponomi terdiri dari 13.000 pulau besar dan kecil, yang menyebar di sekitar khatulistiwa.
Terkait dengan letak geografis ini, Indonesia merupakan salah satu Negara dengan mega-
biodiversity selain Brazil. Karena itulah, Indonesia memiliki daya tarik besar sebagai tujuan
wisata yang berbasiskan sumberdaya alam dan lingkungan. Diantara begitu banyaknya tujuan
wisata di Indonesia, Kabupaten Lombok Utara di pulau Lombok propinsi NTB menjadi salah
satu tujuan wisata.
Pariwisata merupakan salah satu sector ekonomi yang penting bagi Indonesia. Pada
tahun 2009, pariwisata menempati urutan ketiga, setelah komoditi minyak dan gas bumi,
pg. 2
serta minyak kelapa sawit. Pada tahun 2010, jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke
Indonesia sebesar 7 juta lebih, atau mengalami pertumbuhan sebesar 10,74% dibandingkan
tahun sebelumnya. Pariwisata menyumbangkan devisa bagi Negara Indonesia sebesar
7.603,45 juta dolar Amerika Serikat atau sekitar 10% dari GNP.
Pemerintah mencanangkan pariwisata menjadi salah satu andalan pembangunan
Indonesia.Keppres No. 38 tahun 2005 mengamanatkan bahwa seluruh sector dalam negeri
perlu mendukung pembangunan pariwisata. Berdasarkan data tahun 2008, tren pariwisata
tahun 2020 perjalanan wisata dunia akan mencapai 1,6 milyar orang. Diantaranya 438 juta
orang akan berkunjung ke kawasan Asia Pasifik, termasuk Cina dan Indonesia. Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3I) menetapkan menetapkan
target bahwa pada tahun 2011-2025, wisatawan mancanegara mencapai jumlah 20 juta
wisman per tahun, dengan pintu gerbang pariwisata melalui Bali dan Nusa Tenggara.
Komposisi penerimaan PDB mencapai 21% di Bali dan Nusa Tenggara. Sementara itu, sebesar
40% kedatangan pesawat asing masuk melalui Bali. Dengan demikian, Nusa Tenggara Barat
yang lokasinya bertetangga dengan Bali dan memiliki karakteristik alam dan budaya unik
seperti Bali pun, mendapat perhatian sebagai salah satu tujuan pariwisata internasional dan
nasional.
Selain wisatawan mancanegara, wisatawan domestic juga akan mengalami
pertumbuhan sejalan dengan peningkatan rata-rata pendapatan masyarakat yang diharapkan
akan menembus angka lebih dari 300 juta orang dengan lebih dari 300 juta perjalanan (trips).
Dengan demikian harapannya akan terjadi peningkatan di bidang investasi, penyerapan
tenaga kerja, pengentasan kemiskinan dan peningkatan kontribusi kegiatan pariwisata
terhadap pendapatan pemerintah dan masyarakat.
Indonesia memang merupakan Negara kepulauan di Asia Tenggara yang terdiri dari
13.000 pulau besar dan kecil, yang menyebar di sekitar khatulistiwa yang memberikan cuaca
tropis. Terkait dengan letak geografis ini, Indonesia merupakan salah satu Negara dengan
mega-biodiversity selain Brazil.Karena itulah, Indonesia memiliki daya tarik besar sebagai
tujuan wisata yang berbasiskan sumberdaya alam dan lingkungan.Diantara begitu banyaknya
tujuan wisata di Indonesia, pulau Lombok menjadi salah satu tujuan wisata.Berdasarkan data
BPS, pada tahun 2010, banyaknya wisatawan yang datang ke Nusa Tenggara Barat mencapai
2.095 per hari. Banyaknya wisatawan local yang datang ke Lombok adalah 782 orang per hari
dan wisatawan asing 1.313 orang per hari. Jumlah kunjungan wisatawan baik wisatawan
nusantara maupun mancanegara ke daerah itu mencapai 300 ribu orang di 2011, atau hampir
setengah dari jumlah kunjungan wisatawan ke wilayah NTB (Pulau Lombok dan Sumbawa
pg. 3
serta sejumlah gili) yang menurut versi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi NTB
mencapai 886.880 orang. Perolehan pendapatan asli daerah dari wisata bahari di kabupaten
ini mencapai Rp 183,33 juta atau 75 persen dari keseluruhan pendapatan sektor pariwisata.
Sebanyak 70 persen atau sebagian besar PAD Kabupaten Lombok Utara itu bersumber dari
sektor pariwisata. Pendapatan Asli Daerah (PAD) daerah otonom yang baru berusia tiga tahun
itu telah mencapai Rp25 miliar, yang terus meningkat dari tahun pertama sebesar Rp6,7
miliar.
Di sisi lain, dampak perubahan iklim, khususnya terhadap sektor pariwisata masih
berupa wacana. Dampak perubahan iklim ini memang sering dikatakan masih ”diperkirakan”,
tetapi perubahan pola cuaca, intensitas hujan dan musim kering, serta peningkatan bencana
dan cuaca ekstrim sudah mulai dirasakan sekarang, tidak perlu menunggu 2030 atau 2050. Sri
Woro mengatakan bahwa perubahan iklim juga bisa berpengaruh terhadap sektor pariwisata
Indonesia, yang terwujud dalam bentuk alam dan lingkungan akan kehilangan daya tarik,
hilangnya daya tarik wisata alam dan kerusakan infrastruktur pariwisata. Kenaikan muka laut
dan kecepatan angin yang meningkat akan menimbulkan ancaman dan paling rawan terjadi
pada jalur pantai, menyebabkan erosi pantai dan hilangnya daerah pantai berharga. Suhu
permukaan laut meningkat akan mempengaruhi pemutihan karang di perairan dangkal,
sementara sumber daya laut juga akan hilang rusaknya keindahan lingkungan bawah laut.
Gelombang laut tinggi yang merupakan ancaman bagi transportasi laut serta curah hujan yang
berlebihan dapat menyebabkan banjir yang sering menghambat transportasi darat.
Perubahan lingkungan di Kabupaten Lombok Utara adalah perubahan penggunaan
lahan dan pemanfaatan hutan, abrasi pantai, banjir, longsor pencemaran air, pendangkalan
sungai, rusaknya fasilitas. Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, yang meliputi 5
kecamatan, 33 desa, 322 dusun memiliki risiko ancaman bencana alam. Bentang
kenampakan alam lima kecamatan di KLU di belakang daratannya yang relatif sedikit ada
lereng perbukitan dan hutan, dan di depannya ada laut. Akibatnya, daerah dari barat ke
timur, mulai pesisir Desa Malaka di Kecamatan Pamenang, tetangga obyek wisata Senggigi di
Lombok Barat, Desa Medana di Kecamatan Tanjung, Desa Gondang di Kecamatan Gangga,
pg. 4
No Tahun PAD (Rp) Wisatawan
lokal
Wisatawan
mancanegara
Wisatawan
/tahun
2011 25 miliar 364.196 522.684 886.880
2010 285.430 479.245 764.675
Desa Selengen di Kecamatan Kayangan, dan Desa Mumbul Sari di Kecamatan Bayan, rawan
longsor, banjir, serta air pasang. Karena berada di kawasan Gunung Baru Jari (2.376 meter)
yang masih aktif, penduduk desa itu paling awal akan terkena awan panas, lava pijar, dan
hujan abu yang disemburkan anak Gunung Rinjani (3.725 meter).
Lingkungan dalam hal ini dikatakan Mitchell (2009) selalu mengandungperubahan,
kompleksitas, ketidakpastian, dan konflik.Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian
mengenai pengelolaan ekowisata yang adaptif dan kolaboratif terhadap perubahan
lingkungan.Salah satu cara mengahadapi kompleksitas dan ketidakpastian adalah melalui
pengelolaan lingkungan adaptif. Lee (1993) dalam Mitchell (2010) melihat pengelolaan
lingkungan adaptif dikaitkan dengan upaya untuk mencapai pembangunan ekonomi yang
berdasarkan pelestarian lingkungan. Pengelola adaptif secara jelas memperhatikan
ketidakpastian dan kekurangpahaman, dengan menggunakan intervensi manusia dalam
system alam sebagai proses eksperiment.Yang dimaksud adaptif disini adalah berbasis
kepada adaptasi.
Ada beberapa pengertian tentang adaptasi atau mekanisme penyesuaian diri, yaitu:
W.A. Gerungan (1996) dalam Wikipedia menyebutkan bahwa “Penyesuaian diri adalah
mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi juga mengubah lingkungan sesuai
dengan keadaan (keinginan diri)”. Menurut UNDP (2004) Adaptasi adalah suatu proses
dimana strategi ini bertujuan untuk moderat, mengatasi danmengambil keuntungan atas
konsekuensi dari kejadian iklim yang meningkat, dikembangkandan diimplementasikan.
(Simpson, Gossling, Scott, Hall, & Gladin, 2008). Menurut Sutamihardja (2009a), adaptasi
khususnya terhadap perubahan iklim, berarti meminimalkan kerusakan-kerusakan yang
memproyeksikan dapat terjadi pada aspek sosio-ekonomi yang disebabkan oleh perubahan-
perubahan fisik pada iklim.Adaptasi secara sederhana adalah berbagai tindakan penyesuaian
diri terhadap kejadian yang diakibatkan oleh terjadinya perubahan iklim/pemanasan global.
Oleh karena itu, untuk melakukan upaya guna meminimalkan risiko yang berdampak
lebih jauh kepada industri pariwisata itu dengan keterkaitan aspek sosial, ekonomi dan
lingkungan, maka perlu penelitian mengenai pengelolaan ekowisata secara bersama yang
adaptasi yang memadai untuk meminimalkan dampak perubahan iklim terhadap sektor
pariwisata di pulau Lombok. Untuk itu, diperlukan suatu keterpaduan dan komprehensif,
karena faktor-faktor yang ada tersebut saling berkaitan.
pg. 5
1.2. Tujuan
Tujuan utama penelitian ini adalah:
“Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan model kebijakan pengelolaan
ekowisata secara bersama dan adaptif di Kabupaten Lombok Utara”.
Sub tujuan Penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi kesenjangan antara kesadaran dan perilaku adaptasi para
mitra (stakeholder ekowisata) di Kabupaten Lombok Utara
2. Mengetahui kerentanan sektor pariwisata yang termasuk ke dalam sektor
sosial ekonomi, ketika berhadapan dengan dinamika lingkungan Kabupaten
Lombok Utara
3. Mengidentifikasi indicator strategi adaptasi yang cocok bagi pariwisata di
Kabupaten Lombok Utara.
4. Mengembangkan metode pengelolaan ekowisata secara bersama dan
adaptif.
5. Melakukan valuasi ekonomi, analisis permintaan terhadap paket-paket
ekowisata yang menerapkan ACM dan multiplier effect bagi masyarakat.
6. Melakukan analisis keberlanjutan ekowisata berdasarkan hasil-hasil
pengkajian sebelumnya.
1.3. Kerangka pemikiran
Perubahan lingkungan di kawasan yang rentan telah menyebabkan penurunan
kualitas lahan, pencemaran lingkungan serta mengakibatkan sumberdaya alam yang
berpotensi untuk ekowisata menjadi rusak. Permasalahan sumberdaya alam dan lingkungan
selalu terkait dengan perubahan, ketidakpastian, penuh kompleksitas dan rentan konflik. Oleh
karena itu, ekowisata perlu diarahkan ke ekowisata dengan pengelolaan secara bersama dan
adaptif.
Meskipun konsekuensi dari perubahan lingkungan akan bervariasi di berbagai
daerah, semua negara dan sektor ekonomi harus bersaing dengan tantangan perubahan
lingkungan tersebut melalui adaptasi dan kolaborasi. Pariwisata tidak terkecuali dan dalam
dekade ke depan, perubahan lingkungan akan menjadi isu penting bagi pengembangan
pariwisata dan manajemen.
Daerah yang terkena dampak perubahan lingkungan yang relevan untuk tujuan
pariwisata dan turis, membutuhkan adaptasi dari semua pemangku kepentingan pariwisata
pg. 6
utama. Memang, perubahan lingkungan bukan pengendali peristiwa di masa depan untuk
pariwisata. Akan tetapi, berbagai macam dampak dari perubahan lingkungan teridentifikasi
dengan jelas pada tujuan wisata di seluruh dunia dan mempengaruhi pengambilan keputusan
di sektor pariwisata.
Analisis kebijakan dilakukan untuk menganalisi elemen utama analisis kebijakan yang
terdiri dari (1) tujuan (goals), termasuk constraint normatif dan bobot relatif dari tujuan (2)
Kebijakan, program, proyek, keputusan (decisions), opsi, means dan alternatif lainnya yang
tersedia atau digunakan untuk pencapaian goal. (3) Hubungan antara kebijakan-kebijakan dan
tujuan-tujuan, termasuk hubungan yang terjadi (established by) intuisi, kewenangan, statistik,
observasi, deduksi, perkiraan dan sebagainya. (4) Penarikan konklusi tentatif mana kebijakan
atau kombinasi kebijakan yang terbaik yang diadopsi untuk tujuan, kebijakan dan hubungan-
hubungan. Dalam hal ini analisis kebijakan dibutuhkan untuk menghasilkan rekomendasi
kebijakan bagi penyelenggaraan ekowisata adaptif dan kolaboratif yang berkelanjutan.,
Konsep kerentanan telah menjadi alat analisis yang kuat untuk menggambarkan
keadaan kerentanan terhadap bahaya, ketidakberdayaan, dan marjinalitas sistem baik fisik
maupun sosial, dan untuk mengarahkan analisis kepada tindakan untuk meningkatkan
kesejahteraan melalui adaptasi dan pengurangan risiko serta peningkatan kapasitas adaptasi.
Kerentanan sosial-ekologi sistem melengkapi dan secara signifikan dapat menambah
pengembangan penelitian pada tantangan yang dihadapi oleh interaksi lingkungan manusia di
bawah tekanan akibat perubahan lingkungan dan sosial global. Sementara Adaptasi perlu
dilakukan, selain tindakan mitigasi, sebagai upaya menghadapi perubahan lingkungan.
Adaptive management (PM), juga dikenal sebagai manajemen sumber daya adaptif
(ARM), adalah terstruktur, iteratif proses pengambilan kuat keputusan dalam menghadapi
ketidakpastian, dengan tujuan untuk mengurangi ketidakpastian dari waktu ke waktu melalui
sistem pemantauan. Dengan cara ini, pengambilan keputusan secara bersamaan memenuhi
tujuan satu atau lebih sumber daya manajemen dan, baik pasif atau aktif, mencatat informasi
yang diperlukan untuk meningkatkan manajemen masa depan. Pengelolaan adaptif adalah
alat yang harus digunakan tidak hanya untuk mengubah suatu sistem, tetapi juga untuk
belajar tentang sistem (Holling 1978). Karena pengelolaan adaptif didasarkan pada proses
pembelajaran, meningkatkan kapasitas dan lama memperoleh hasil pengelolaan, maka
tantangan dalam menggunakan pendekatan manajemen adaptif terletak dalam menemukan
keseimbangan yang benar antara memperoleh pengetahuan untuk meningkatkan manajemen
di masa depan dan mencapai yang terbaik pendek - hasil jangka berdasarkan kondisi saat ini
(Stankey & Allan 2009)*.
pg. 7
Valuasi ekonomi lingkungan juga merupakan suatu alat untuk dijadikan dasar
pengambilan keputusan pengelolaan sumber daya alam. Dengan valuasi ini akan diketahui
berapa kontribusi ekowisata terhadap kesejahteraan masyarakat, sehingga menjadi dasar bagi
para pemangku kepentingan untuk menentukan perencanaan dan pengelolaan lebih lanjut.
Dari valuasi ekonomi ini juga akan dilakukan analisis permintaan kunjungan wisatawan
terhadap ekowisata, sebagai konsekuensi dari pengelolaan adaptif dan kolaboratif yang
dilakukan di kawasan.
Salah satu cara menghadapi kompleksitas dan ketidakpastian adalah melalui
pengelolaan lingkungan adaptif. Lee (1993) dalam Mitchell (2010) melihat pengelolaan
lingkungan adaptif dikaitkan dengan upaya untuk mencapai pembangunan ekonomi yang
berdasarkan pelestarian lingkungan. Pengelola adaptif secara jelas memperhatikan
ketidakpastian dan kekurangpahaman, dengan menggunakan intervensi manusia dalam
system alam sebagai proses eksperiment.
Gambar 1. Kerangka PemikiranModel Kebijakan Pengelolaan Ekowisata Secara Bersama dan Adaptif
pg. 8
Degradasi lahanerosi
antropogenik
Banjirkekeringan
Cuaca ekstrim
Iklim
KebijakanEkowisataTata ruangBencana
Ekowisata Berkelanjutan
ekowisataekowisata
Permintaan
Valuasi Ekonomi
ekowisata
rentan
ACM
1.4. Perumusan masalah
Di balik daya tarik dan keindahannya Lombok tersembunyi ancaman dan berakibat
kepada perubahan lingkungan. Isu tentang perubahan lingkungan memang sudah
memasyarakat luas. Akan tetapi upaya pengelolaan dan pengembangan mitigasi dan
adaptasi terhadap isu ini belum optimal. Permasalahan tersebut biasanya terjadi pada saat
perencanaan, pengembangan, pengoperasian, pemeliharaan, pengendalian, penggunaan
teknologi yang tidak tepat, perencanaan wilayah yang tidak tepat, adanya kesenjangan
permintaan dan penawaran, gejolak sosial-budaya di masyarakat, nilai tambah yang tidak
dimengerti oleh masyarakat, dan tidak jelasnya kebijakan dan institusi pengelola serta
masalah pembiayaan. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan, kelestarian dan pemanfaatan
pariwisata di pulau Lombok, selain bergantung pada faktor fisik alami seperti curah hujan
dan fisik lingkungan objek wisata setempat, juga bergantung dari faktor manusianya.
Menurut Didi S Agusta Wijaya1, struktur geologi Kabupaten Lombok Utara (KLU)
termasuk Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, merupakan hasil erupsi Gunung Rinjani yang
berupa campuran tufa, batu apung, pasir, dan kerikil yang labil, mudah rontok, serta rentan
longsor dan erosi. Tanah yang mudah longsor itu digali sembarangan untuk diambil batu
apungnya. Dalam pandangan Ir Lolita Endang 2S MP, penambangan batu apung dengan
sistem terbuka, terowongan, dan irisan tegak pada lereng bukit itu sangat mengancam
keselamatan penambang, mengusik sifat alami tanah, menurunkan produktivitas tanah yang
nantinya mengganggu aktivitas usaha tani. Indikasinya terlihat, tiap tahun di Dusun Minder,
Desa Mumbul Sari, Kecamatan Bayan, hubungan transportasi terputus karena sebuah
jembatan ambruk pada 18 Januari 2011. Jembatan yang ada diseret air bah yang membawa
material setelah turun hujan selama tiga hari. Hampir saban tahun Dusun Muara Putat, Desa
Pamenang Barat, dan Dusun Kandang Kao di Desa Tanjung, selalu tergenang air pasang yang
meluber 200-500 meter dari pasang surut air laut ke permukiman warga.
Di obyek wisata hutan Pusuk, Kecamatan Pamenang, tempat wisatawan biasa
bercengkerama dengan kera, tercatat lebih dari 10 titik rawan longsor. Lumpur yang
mengeras pada badan dan aspal jalan yang bergelombang dan berlubang di jalur
transportasi Kecamatan Tanjung-Kecamatan Bayan, pendangkalan sungai, rusaknya sarana-
prasarana irigasi menunjukkan KLU seluas 809,53 kilometer persegi dengan penduduk
207.998 jiwa itu tidak bebas dari bencana alam. Padahal, Gunung Rinjani dan kawasan
hutannya (125.000 hektar) adalah sumber air irigasi dan air minum bagi rakyat Pulau
1 geolog dan dosen pada Fakultas Teknik Universitas Mataram (Unram),2 dosen pada Fakultas Pertanian Unram,
pg. 9
Lombok, sekaligus sumber plasma nutfah flora-fauna dan daerah sebaran burung endemik
seperti burung pengisap madu lombok, koakiau, dan kecial, yang dua dekade terakhir sangat
jarang terlihat di kawasan itu.
Pola curah hujan di Pulau Lombok saat ini (1991-2007) relatif sudah berbeda dengan
pola sebelumnya (1961-1990), dimana curah hujan pada bulan Desember saat ini lebih
rendah daripada masa sebelumnya, namun hal yang sebaliknya terjadi pada bulan Maret-
April. Pola temperatur udara juga mengalami perubahan dimana terlihat ada kenaikan
sebesar 0,5 oC sd 1 oC pada saat ini (1991-2007) relatif terhadap pola sebelumnya (1961-
1990), khususnya pada bulan November-April, sedangkan pola temperatur udara pada bulan
Mei-Oktober relatif tidak berubah. (ICCSR, 2010)
Dalam kajian Risiko dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Pulau Lombok Provinsi
NTB pada tahun 2009, yang dilakukan atas kerjasama pemerintah Indonesia Jerman,
dikatakan bahwa Pulau Lombok sangat mudah terpengaruh oleh kenaikan tinggi muka air
laut, terutama terhadap bahaya banjir (ROB), sedimentasi dan erosi. Kondisi ini akan
semakin rentan dengan meningginya frekuensi iklim ekstrim seoerti El Nino dan La Nina.
Daerah pantai yang rentan terhadap banjir dan genangan air selama musim angina Barat
(penghujan, northwest monsoon), menjadi lebih rentan dengan adanya fenomena kenaikan
tinggi muka air laut.Pulau Lombok sebelah Barat dengan dataran rendah yang terbentang
sepanjang beberapa kilometer dari pantai, merupakan daerah potensi banjir selama musim
penghujan dengan puncaknya pada bulan Desember sampai Pebruari. Kajian ini juga
menyebutkan bahwa salah satu sektor yang secara langsung terancam terhadap bahaya
kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim adalah sektor pesisir dan laut. Manusia dan
ekosistem wilayah pesisir dan laut menghadapi bahaya akibat kenaikan muka air laut serta
perubahan parameter-parameter laut lainnya yang disebabkan perubahan iklim seperti
badai pasut (rob) atau banjir pasang surut, gelombang badai, ENSO terhadap wilayah pesisir,
menyebabkan perubahan lingkungan berupa:
Penggenangan lahan basah dan dataran rendah, yang beresiko hilangnya pulau-pulau
kecil
Erosi pantai dan pengurangan lahan pesisir
Perubahan kisaran pasang surut (pasut) di teluk dan muara sungai
Kerusakan ekosistem pesisir, yang terdiri dari mangrove, terumbu karang, padang lamun
dan estuary
Instrusi air asin dan penurunan kualitas air
pg. 10
Banjir dan suplai sedimen ke wilayah pesisir akibat perubahan curah hujan dan limpasan
permukaan.
Meningkatkan frekuensi “overtoping” pada bangunan pantai
Perubahan pola arus, baik secara horizontal maupun vertical (upwelling dan
downwelling)
Gambar 2. Kerangka Permasalahan ekowisata menghadapi dinamika lingkungan di Pulau Lombok
1.5 Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa saran-saran
kepada berbagai pihak dan stakeholder, yang terdiri dari:
Bagi pemerintah daerah, informasi ini dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam memformulasi kebijakan dalam pengelolaan ekowisata
secara bersama yang adaptif di Kabupaten Lombok Utara.
Bagi masyarakat model pengelolaan ekowisata secara bersama yang adaptif
ini bisa menjadi suatu alat untuk sumber mata pencaharian dan pengelolaan
sumberdaya alam agar berkelanjutan.
Bagi pelaku usaha model pengelolaan ekowisata secara bersama yang
adaptif ini bisa menjadi acuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan
berkelanjutan.
pg. 11
Menurunnya jumlah wisatawan
Perubahan lingkungan
Menurunnya pendapatan dari sector pariwisata
Menurunnya keindahan, daya tarik
dan kenyamanan
Rendahnya kemampuan adaptasi
mitra
Rendahnya kesadaranstakeholderDegradasi
LingkunganKemiskinan dan konflik sosial
Perilaku stakeholder
pariwisata dan non-stakeholder yang tidak ramah
lingkungan
Lemahnya Penerapan Kebijakan
1.6 Novelty (Keterbaruan)
1. Pendekatan pengelolaan ekowisata dengan konsep ACM atau Adaptive
Collaborative Management masih jarang dilakukan di Indonesia.
2. Pendekatan yang selama ini dilakukan di sektor pariwisata di Lombok
kurang memperhatikan aspek lingkungan dan social, serta cenderung
memisahkan antara aspek ekologi, social dan ekonomi.
3. Pendekatan yang selama ini dilakukan tidak menggunakan pendekatan
system. Sehingga penelitian ini menggunakan pendekatan system, dengan
pendekatan system ekologi, social dan ekonomi.
pg. 12
Bab IITinjauan pustaka
2.1 Ekowisata
Menurut The International Ecotourisme Society atau TIES (1991) ekowisata adalah
perjalanan wisata ke wilayah-wilayah alami dalam rangka mengkonversasi atau
menyelamatkan lingkungan dan memberi penghidupan penduduk local.
Ekowisata adalah bentuk baru dari perjalanan bertanggungjawab ke area alami dan
berpetualang yang dapat menciptakan industri pariwisata (Eplerwood, 1999).
Menurut World Conservation Union (WCU), ekowisata adalah perjalanan wisata ke
wilayah-wilayah yang lingkungan alamnya masih asli, dengan menghargai warisan budaya dan
alamnya, mendukung upaya-upaya konservasi, tidak menghasilkan dampak negatif, dan
memberikan keuntungan social ekonomi serta menghargai partisipasi penduduk local.
Australian Department of Tourism (Black, 1999) yang mendefinisikan ekowisata
adalah wisata berbasis pada alam dengan mengikutkan aspek pendidikan dan interpretasi
terhadap lingkungan alami dan budaya masyarakat dengan pengelolaan kelestarian ekologis.
Definisi ini memberi penegasan bahwa aspek yang terkait tidak hanya bisnis seperti halnya
bentuk pariwisata lainnya, tetapi lebih dekat dengan pariwisata minat khusus, alternative
tourism atau special interest tourism dengan obyek dan daya tarik wisata alam.
United Nations Comission on Sustainable Development (dalam bidang sesi ke 8
tahun 2000) menyatakan bahwa ekowisata adalah sustainable tourisme yang:
1. Menjamin partisipasi yang setara, efektif dan aktif dari seluruh stakeholders
2. Menjamin partisipasi penduduk local menyatakan YA atau TIDAK dalam
kegiatan pengembangan masyarakat, lahan dan wilayah
3. Mengangkat mekanisme penduduk local dalam hal pengendalian dan
pemeliharaan sumber daya.
Menurut WWF dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2009), istilah
“ekowisata” dapat diartikan sebagai perjalanan oleh seorang turis ke daerah terpencil dengan
tujuan menikmati dan mempelajari mengenai alam, sejarah dan budaya di suatu daerah, di
mana pola wisatanya membantu ekonomi masyarakat local dan mendukung pelestarian alam.
Para pelaku dan pakar di bidang ekowisata sepakat untuk menekankan bahwa pola ekowisata
sebaiknya meminimalkan dampak yang negatif terhadap lingkungan dan budaya setempat dan
mampu meningkatkan pendapatan ekonomi bagi masyarakat setempat dan nilai konservasi.
Beberapa aspek kunci dalam ekowisata adalah:
pg. 13
Jumlah pengunjung terbatas atau diatur supaya sesuai dengan daya dukung
lingkungan dan sosial-budaya masyarakat (vs mass tourism)
Pola wisata ramah lingkungan (nilai konservasi)
Pola wisata ramah budaya dan adat setempat (nilai edukasi dan wisata)
Membantu secara langsung perekonomian masyarakat lokal (nilai ekonomi)
Modal awal yang diperlukan untuk infrastruktur tidak besar (nilai partisipasi
masyarakat dan ekonomi).
2.2 Pariwisata Keberlanjutan
Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development adalah proses
pembangunan (lahan, kota, bisnis, desa, masyarakat dll) yang berprinsip "memenuhi
kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan"
(menurut Brundtland Report dari PBB, 1987. Pembangunan berkelanjutan harus menghadapi
pencapaian pembangunan dengan memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan
kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
Ekowisata adalah sebagian dari sustainable tourism. Sustainable tourism adalah
sector ekonomi yang lebih luas dari Ekowisata yang mencakup sektor-sektor pendukung
kegiatan wisata secara umum, meliputi wisata bahari (beach and sun tourism), wisata
pedesaan (rural and agro tourism), wisata alam (natural tourism), wisata budaya (cultural
tourism) atau perjalanan (business travel). Ekowisata berpijak pada tiga kaki sekaligus, yakni
wisata pedesaan, wisata alam dan wisata budaya. (Nugroho, 2011)
Dimensi-dimensi Ekonomi, Ekologi, Sosial dan Budaya dalam Pariwisata Berkelanjutan
Tabel 1. Dimensi: Ekonomi, Ekologi, Sosial dan Budaya dalam Pariwisata Berkelanjutan (Damanik & Weber, 2006)
Dimensi Wisatawan Penyedia Jasa EkowisataEkonomi Peningkatan kepuasan
wisata Peningkatan belanja
wisata di daerah destinasi
Peningkatan dan pemerataan pendapatan semua pelaku wisata
Penciptaan kesempatan kerja terutama bagi masyarakat local
Peningkatan kesempatan berusaha/diversifikasi pekerjaan
Ekologi Penggunaan produk dan layanan wisata berbasis lingkungan (green product)
Kesediaan membayar lebih mahal untuk
Penentuan dan konsistensi pada daya dukung lingkungan
Pengelolaan limbah dan peningkatan penggunaan bahan baku hemat energi
Prioritas pengembangan produk dan layanan jasa berbasis lingkungan
pg. 14
produk dan layanan wisata ramah lingkungan
Peningkatan kesadaran lingkungan dengan kebutuhan konservasi.
Sosial Kepedulian sosial yang meningkat
Peningkatan konsumsi produk local
Pelibatan sebanyak mungkin stakeholder dalam perencanaan, implementasi dan monitoring
Peningkatan kemampuan masyarakat local dalam pengelolaan jasa-jasa wisata
Pemberdayaan lembaga-lembaga local dalam pengambilan keputusan pengembangan wisata
Menguatnya posisi masyarakat lokal terhadap masyarakat luar
Terjaminnya hak-hak dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata
Berjalannya aturan main yang adil dalam pengusahaan jasa wisata
Budaya Penerimaan kontak dan perbedaan budaya
Apresiasi budaya masyarakat lokal
Intensifikasi komunikasi lintas budaya Penonjolan cirri atau produk budaya lokal dalam
penyediaan atraksi, aksesibilitas dan amenitas Perlindungan warisan budaya, kebiasaan-
kebiasaan dan kearifan lokal
2.3 Kerentanan dan Indikator Parameter Kerentanan Biofisik dan Sosial Ekonomi
Secara garis besar kerentanan dapat dilihat berdasarkan lima jenis kerentanan,
yaitu kerentanan sosial, kelembagaan, sistem, ekonomi, dan lingkungan. Davidson dalam
Suganda (2000) menjelaskan bahwa kerentanan terbagi ke dalam tiga subfaktor yaitu:
1. Kerentanan fisik binaan/infrastruktur menggambarkan perkiraan tingkat
kerusakan terhadap fisik bangunan bila ada faktor bahaya alam tertentu.
Indikator dari kerentanan fisik adalah kepadatan bangunan.
2. Kerentanan sosial dan kependudukan menunjukkan perkiraan tingkat
kerentanan terhadap keselamatan jiwa penduduk apabila terjadi bahaya alam.
Indikator dari kerentanan sosial dan kependudukan adalah kepadatan
penduduk.
3. Kerentanan ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atau rusaknya
kegiatan ekonomi (proses-proses ekonomi) apabila terjadi bahaya alam.
ACCCRN (2011) melakukan pendekatan kajian kerentanan dalam tiga aspek yaitu (1)
kerentanan klimatologi (2) kerentanan dan kapasitas adaptasi berbasis komunitas (3) kajian
kerentanan dan kapasitas adaptasi pemerintahan dan institusi.
Indeks kepekaan lingkungan pada dasarnya adalah mengukur kemudahan/ potensi
kehilangan nilai ekonomi, sosial, fisik dan biologi dari lahan yang ada (Peterson, 2002).
pg. 15
Indeks kepekaan lingkungan disusun untuk mengetahui tingkat karaktersitik dan features
kepekaan/ sensitivitas dan kerentanan/vulnerabilitas sumberdaya yang ada di pesisir.
2.4 Adaptasi
Teori cultural ecology Steward (1955) menjadi rujukan dalam menjelaskan respons
masyarakat terhadap perubahan perilaku dalam pengelolaan sumberdaya alam sebagai
strategi adaptasi masyarakat. Adaptasi cultural ecology secara operasional dijabarkan melalui
konsep ekologi yaitu geografi, demografi, ekonomi, dan politik serta upaya masyarakat dalam
merespons perubahan dan mencari pola baru (Geertz 1983, Kuntowijoyo, 2002, Fox 1996).
Tabel 2. Proposisi Adaptasi Manusia
Manusia adalah bagian yang terpadu atau terintegrasi dari sebuah ekosistem.
Manusia bisa berperan sebagai pemelihara atau penyebab kerusakan lingkungan dan
sumberdaya alam. Perubahan pada lingkungan akan menimbulkan berbagai alternatif adaptasi
pg. 16
manusia. Bagi sekelompok manusia yang berkemampuan adaptasi rendah memerlukan
penguatan kelembagaan, baik secara sosial maupun kelembagaan ekonomi. Percepatan
pemulihan habitat yang rusak dan pengurangan tekanan manusia kepada habitat akan
menghasilkan hubungan yang harmonis antara alam dan manusia. (Susilo et al., 2006)
Ada beberapa pengertian tentang adaptasi atau mekanisme penyesuaian diri, yaitu:
W.A. Gerungan (1996) dalam Wikipedia menyebutkan bahwa “Penyesuaian diri adalah
mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi juga mengubah lingkungan sesuai
dengan keadaan (keinginan diri)”. Menurut UNDP (2004) adaptasi adalah suatu proses dimana
strategi ini bertujuan untuk moderat, mengatasi dan mengambil keuntungan atas konsekuensi
dari kejadian iklim yang meningkat, dikembangkan dan diimplementasikan. (Simpson,
Gossling, Scott, Hall, & Gladin, 2008). Menurut Sutamihardja (2009a), adaptasi khususnya
terhadap perubahan iklim, berarti meminimalkan kerusakan-kerusakan yang memproyeksikan
dapat terjadi pada aspek sosio-ekonomi yang disebabkan oleh perubahan-perubahan fisik
pada iklim. Adaptasi secara sederhana adalah berbagai tindakan penyesuaian diri terhadap
kejadian yang diakibatkan oleh terjadinya perubahan iklim/pemanasan global.
2.5 Pengelolaan Bersama dan Adaptif (ACM)
Lingkungan dalam hal ini dikatakan Mitchell (2009) selalu mengandung perubahan,
kompleksitas, ketidakpastian, dan konflik. Salah satu cara menghadapi kompleksitas dan
ketidakpastian adalah melalui pengelolaan lingkungan adaptif. Lee (1993) dalam Mitchell
(2010) melihat pengelolaan lingkungan adaptif dikaitkan dengan upaya untuk mencapai
pembangunan ekonomi yang berdasarkan pelestarian lingkungan. Pengelola adaptif secara
jelas memperhatikan ketidakpastian dan kekurangpahaman, dengan menggunakan
intervensi manusia dalam system alam sebagai proses eksperimen.Yang dimaksud adaptif
disini adalah berbasis kepada adaptasi. Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian mengenai
pengelolaan ekowisata secara bersama (kolaboratif) yang adaptif terhadap perubahan
lingkungan.
Untuk mengelolanya secara adaptif: dalam Mitchell (2010). Penekanan pengelolaan
adaptif lebih pada ekosistematik daripada aspek hukum/kebijakan. Dengan kata lain,
pendekatan adaptif lebih menggunakan batas-batas ekosistem daripada politik atau
administrasi. Akibatnya setiap pendekatan adaptif selalu menghasilkan unit analisis dan
kesimpulan yang secara spasial melewati batas-batas pengelolaan wilayah atau lingkungan
secara administrative. Penekanan pengelolaan adaptif adalah pada populasi atau ekosistem,
bukan organism individu atau proyek. Kegagalan pada tingkat individu harus diterima atau
pg. 17
dipahami untuk mendapatkan pemahaman tentang populasi atau ekosistem. Resiko yang
diambil oleh individu diterima untuk meningkatkan kapasitas populasi secara keseluruhan.
Skala waktu pengelolaan adaptif lebih bersifat skala biologis daripada perputaran
bisnis, waktu pemilihan pengurus suatu organisasi atau jangka waktu pembiayaan.
Definisi pertama yang diformulasikan oleh CIFOR pada (2001) ACM adalah
Pengelolaan Bersama secara Adaptif (ACM) merupakan pendekatan nilai tambah yang
mengakomodasi masyarakat yang berkepentingan untuk bersama-sama bertindak dalam
merencanakan, mengamati, serta belajar dari pelaksanaan rencana mereka, sejalan dengan
pemahaman bahwa rencana seringkali gagal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
ACM dicirikan oleh upaya yang sungguh-sungguh di antara kelompok yang ada untuk
berkomunikasi, berkolaborasi, bernegosiasi, dan mencari peluang pembelajaran secara
kolektif tentang dampak tindakan mereka tersebut. Defini ini kemudian, ditambahkan
dengan definisi tambahannya pada tahun 2008, yaitu: Bekerja dengan kelompok masyarakat
tertentu menuntut dilibatkannya pihak lain yang bertindak dalam skala yang berbeda —
biasanya, setidaknya satu tingkat ke bawah dan satu tingkat ke atas (contoh, kelompok
pengguna hutan dalam suatu masyarakat dan pejabat pemerintah kabupaten ke atas,
seperti halnya di Zimbabwe, Nepal, Indonesia, Filipina). Fasilitasi yang efektif dapat berfungsi
sebagai katalis untuk memberdayakan masyarakat dalam memperbaiki kondisi mereka
sendiri, kondisi manusia maupun lingkungan.
Dari sudut pandang filosofis, ACM dibangun berdasarkan tujuan demokrasi, keadilan
dan kesetaraan, mengakui pentingnya kekuasaan dan berjuang untuk menyeimbangkan
arena dengan proses pemberdayaan. ACM memiliki tiga tema, yaitu:
• Tema horisontal; pemangku kepentingan dalam hutan tertentu bekerjasama menuju
tujuan bersama, mengatasi isu yang menjadi perhatian hutan tersebut serta masyarakat
yang hidup di dalam dan di sekitar hutan tersebut,
• Tema vertikal; masyarakat setempat dan pelaku pada skala yang lain
mengembangkan mekanisme komunikasi dua arah yang efektif, kerjasama, dan
penyelesaian sengketa, serta
• Tema yang bersifat iteratif atau progresif. Dalam tema ini para pemangku
kepentingan belajar secara terus menerus tentang pengelolaan sumber daya dan
masyarakat, dalam rangkaian kegiatan yang berkembang dari pemahaman yang terus
meningkat.
Peubah Strategi Pengelolaan Adaptif (Rondinelli, 1993: 5a) dalam Mitchell et al., 2010:
pg. 18
Tabel 3. Peubah Strategi Pengelolaan Adaptif
Karakteristik Strategi PengelolaanAdaptif
Lingkungan Tidak pastiTugas: InovatifProses pengelolaan:Perencanaan BertahapPengambilan keputusan TerbagiOtoritas KolegialKepemimpinan PartisipatifKomunikasi Interaktif, formal dan informalKoordinasi FasilitatifPemantauan Penyesuaian strategi dan
rencanaKontrol Ex-postAturan formal dan perundangan
Rendah
Dasar penyusunan staf TujuanStuktur OrganikNilai-nilai staf Toleransi tinggi terhadap
ketidakjelasan
Analisis pengelolaan adaptif dan kolaboratif (ACM) Menggunakan metode AHP.
Untuk menentukan strategi ACM yang sesuai diterapkan di kawasan Kabupaten Lombok
Utara.
2.6 Valuasi Ekonomi, Analisis Permintaan dan Multiplier Effect
Valuasi ekonomi lingkungan juga merupakan suatu alat untuk dijadikan dasar
pengambilan keputusan pengelolaan sumber daya alam. Dengan valuasi ini akan diketahui
berapa kontribusi ekowisata terhadap kesejahteraan masyarakat, sehingga menjadi dasar bagi
para pemangku kepentingan untuk menentukan perencanaan dan pengelolaan lebih lanjut.
Dari valuasi ekonomi ini juga akan dilakukan analisis permintaan kunjungan wisatawan
terhadap ekowisata, sebagai konsekuensi dari pengelolaan adaptif dan kolaboratif yang
dilakukan di kawasan.
2.7 Pendekatan sistem
Pendekatan sistem merupakan suatu metodologi untuk mencari solusi dan
menyelesaikan suatu masalah. Pendekatan sistem merupakan suatu cara penyelesaian
masalah yang penuh kompleksitas yang saling terkait dalam suatu lingkungan yang dinamis
melalui metodologi yang berorientasi kepada tujuan (Cybernetic), bersifat keseluruhan
(Holistic), dan efektif (Effective).
pg. 19
Menurut Marimin (2004) pada dasarnya pendekatan sistem adalah penerapan dari
sistem ilmiah dalam manajemen. Dengan demikian, faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku dan keberhasilan suatu organisasi atau suatu sistem bisa diidentifikasi. Metode ilmiah
akan bisa membantu pengambilan keputusan yang sederhana dan searah karena kesalahan
identifikasi penyebab permasalahan tunggal. Lebih jauh, menurut Marimin (2004),
pendekatan sistem memberikan landasan untuk memahami lebih luas lagi perilaku suatu
sistem dan penyebab ganda dari suatu permasalahan dalam suatu kerangka sistem.
Sumberdaya alam dan lingkungan merupakan merupakan suatu kerangka sistem
dimana elemen-elemen di dalamnya mengandung kompleksitas, ketidakpastian, perubahan
dan konflik. Elemen-elemen tersebut perlu diformulasikan secara ilmiah untuk suatu
perbaikan secara terorganisir pada perilaku manusia. Menurut Eriyatno (1998), pemikiran
sistem selalu mencari keterpaduan antarbagian atau elemen melalui pemahaman yang utuh.
Karena itu, untuk menyelesaikan permasalahan-permasalah sumberdaya alam dan lingkungan
perlu menggunakan pendekatan sistem. Eriyatno (2007) menguraikan bahwa pada
pendekatan kesisteman dalam penyelesaian suatu permasalahan selalu ditandai dengan (1)
pengkajian terhadap semua faktor penting yang berpengaruh dalam rangka mendapatkan
solusi untuk pencapaian tujuan dan (2) adanya model-model untuk membantu pengambilan
keputusan lintas disiplin, sehingga permasalahan yang kompleks dapat diselesaikan secara
komprehensif.
System approach atau pendekatan sistem merupakan suatu metodologi
penyelesaian suatu masalah yang dimulai dari mengidentifikasikan tujuan dan hasil identifikasi
tersebut adalah suatu sistem operasi yang bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan
permasalahan dengan efektif. Pendekatan sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian
melalui pemahaman yang utuh. Menurut Eriyatno (2003), pendekatan sistem umumnya
ditandai oleh dua hal, yaitu (1) mencari semua faktor yang ada dalam mendapatkan solusi
yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk
membantu keputusan secara rasional.
Karakteristik dalam penyelesaian masalah dengan pendekatan sistem yaitu (1)
cybernetic (berorientasi pada tujuan), artinya pernyelesaian permasalahan selalu berorientasi
pada tujuan, yang diperoleh dari analisis kebutuhan (2) holistik, artinya adalah keterpaduan
dan cara pandang yang utuh terhadap totalitas sistem, atau menyelesaikan permasalahan
secara menyeluruh, utuh dan terpadu (3) efektif, artinya adalah tepat guna dalam
menyelesaikan permasalahan, yaitu dengan dengan hasil yang bisa dilaksanakan secara
operasional, dan bukan hanya pada tataran teori. Untuk itu, beragam metode pada bidang
pg. 20
disiplin ilmu lain bisa digunakan sebagai alat bantu dalam mengembangkan suatu sistem
untuk mencari solusi.
Lebih lanjut Eriyatno (2003), menyatakan bahwa untuk menyelesaikan permasalahan
yang kompleks dengan pendekatan sistem melalui beberapa tahapan, yaitu (1) analisis
kebutuhan, bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan semua pelaku dalam sistem (2)
formulasi masalah, yang merupakan kombinasi dari semua permasalahan yang ada dalam
sistem (3) identifikasi sistem, bertujuan untuk menentukan variabel-variabel sistem dalam
rangka memenuhi kebutuhan semua pelaku dalam sistem (4) pemodelan abstrak, pada tahap
ini mencakup suatu proses interaktif antara analisis sistem dengan pembuatan keputusan,
yang menggunakan model untuk mengeksplorasi dampak dari berbagai alternatif dan variabel
keputusan terhadap berbagai kriteria sistem. (5) implementasi, tujuan utamanya adalah untuk
memberikan wujud fisik dari sistem yang diinginkan dan (6) operasi, pada tahap ini akan
dilakukan validasi sistem. Pada tahap ini terjadi modifikasi-modifikasi tambahan karena
cepatnya perubahan lingkungan dimana sistem tersebut berfungsi.
2.8 Modelling
Pramudya (1989) mendefinisikan model adalah suatu abstraksi dari keadaan
sesungguhnya atau merupakan pernyataan sistem nyata untuk memudahkan pengkajian
suatu sistem. Model adalah tiruan dari keadaan yang nyata. Menurut Hatrisari (2007) model
merupakan penyederhanaan sistem. Model disusun dan digunakan untuk memudahkan dalam
pengkajian sistem karena sulit dan hampir tidak mungkin untuk bekerja pada keadaan
sebenarnya. Karena sistem sangat kompleks, tidak mungkin model dapat menggambarkan
seluruh proses yang terjadi dalam sistem. Oleh sebab itu, model hanya memperhitungkan
beberapa faktor dalam sistem guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Lebih jauh Hatrisari (2007) menguraikan bahwa tujuan model adalah (1) pemahaman
proses yang terjadi dalam sistem, artinya model harus dapat menggambarkan mekanisme
proses yang terjadi dalam sistem terkait dengan tujuan yang ingin dicapai, mulai dari proses
awal suatu sistem hingga proses akhir. Model yang disusun berdasarkan pemahaman proses
dapat menjelaskan mekanisme proses yang terjadi dalam sistem. (2) prediksi, artinya hanya
model yang bersifat kuantitatif yang dapat melakukan prediksi. Dalam hubungan ini,
ketepatan (accuracy) atau model yang akuran menjadi penting. (3) menunjang pengambilan
keputusan, artinya model yang disusun berdasarkan pemahaman proses serta yang
mempunyai kemampuan prediksi dapat dijadikan alat untuk perencana guna membantu
proses pengambilan keputusan. Simulasi model dapat dilakukan dengan menggunakan
pg. 21
berbagai skenario sebagai input. Berdasarkan variasi output yang dihasilkan dapat dipilih
alternatif terbaik dari berbagai skenario yang merupakan input model tersebut. Model ini
berfungsi sebagai alat bantu dalam menunjang pengambilan keputusan.
2.9 Validitas dan sensitivitas model
Menurut Hatrisari (2007), model merupakan penyederhanaan dari sistem. Seorang
pengkaji sistem perlu menetapkan tolak ukur model yang baik untuk mengetahui kinerja
model. Ia perlu meyakinkan pengguna bahwa model yang dibangun sesuai untuk penyelesaian
permasalahan yang dihadapi sehingga hasil eksekusi model dapat digunakan sebagai dasar
pengambilan keputusan. Seringkali pengujian model hanya difokuskan kepada replikasi dari
data historis. Pengujian model seharusnya dilakukan juga untuk mengenali keterbatasan
kinerja model sehingga dapat ditentukan kesesuaian penggunaan model dalam rangka
penyelesaian masalah yang dihadapi.
Dalam uraian Hatrisari (2007) dijelaskan bahwa secara umum, pengujian model
terdiri dari tahapan verifikasi dan validasi. Verifikasi adalah untuk menyatakan kebenaran,
ketepatan atau kenyataan. Sedangkan validasi adalah untuk mendapatkan hasil kesimpulan
yang benar, berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan. Validasi harus
ditunjang oleh kebenaran yang bersifat objektif.
Lebih jauh Hatrisari (2007) mengatakan bahwa seorang pengkaji sistem atau
pengembang model perlu mengkaji ulang manfaat penyusunan model. Salah satu tujuan
model adalah sebagai dasar untuk pengambilan keputusan dalam penyelesaian permasalahan
spesifik yang dihadapi. Pengkaji sistem bertanggung jawab dalam menyusun dan
menghasilkan model yang optimal, meskipun memiliki keterbatasan, dalam kerangka untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Model akan membantu penggunaan dalam
menyediakan informasi bagi pengambilan keputusan. Pengkaji sistem atau penyusun model
yang berpengalaman akan (1) Memfokuskan diri terhadap kesesuaian model dengan keadaan
nyata meskipun dengan variabel terbatas, daripada mencoba menyatakan validasi model
dengan teknik-teknik kuantitatif yang rumit (2) Menunjukkan hubungan antara teori yang ada
dengan mekanisme dalam sistem yang dikaji, daripada memperlihatkan tahapan teoritis
dalam pembuktian model yang sering tidak realistis (3) Secara jujur menyatakan keterbatasan
model yang disusun daripada menunjukkan bukti bahwa model telah diuji dan memberikan
derajat kesalahan yang relatif kecil.
pg. 22
Bab III
Metodologi Penelitian
3.1 Lokasi dan waktu penelitian
Waktu Penelitian diselenggarakan pada bulan Juni 2012 di Kabupaten Lombok Utara.
Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, yang terdiri dari 5 kecamatan, 33 desa, 322
dusun. Penelitian dilakukan di tiga spot ekowisata.
3.2 Bahan dan alat
Alat dan bahan yang digunakan adalah ATK dan media-media diskusi untuk FGD dan
wawancara pada proses PAR, kuesioner, program (software) Word, Excell, ArcGis dan
Powersim.
3.3 Jenis dan sumber data
Jenis data yang diambil dalam penelitian ini adalah data teks. Data teks
dapat berupa alfabet atau numerik. Jenis data yang dilihat dari sumber data yang
dikumpulkan adalah:
1. Data Primer, yang meliputi : Tingkat pengetahuan, sikap, perilaku dan persepsi
para stakeholder. Karakteristik wisatawan, seluruh biaya perjalanan yang
dikeluarkan ofeh wisatawan dan penilaian wisatawan terhadap kawasan rekreasi
di Kabupaten Lombok Utara. Data primer diperoleh dengan melakukan
wawancara, FGD dan observasi di lapangan.
2. Data Sekunder, yang meliputi: Karakterisik obyek wisata, Jumlah pengunjung
ke Kabupaten Lombok Utara dan Kependudukan didapatkan dari berbagai data
yang disediakan oleh instansi pemerintah dan swasta.
3.4 Pelaksanaan penelitian3.4.1 Metode Pengumpulan Data3.4.1.1 Studi Pustaka
Salah satu metode adalah dengan melakukan studi pustaka dar beberapa literatur dan junal-jurnal yang relevan dengan objek penelitian.
pg. 23
3.4.1.2 Participatory Action Research (PAR)
Participatory Action Research (PAR) atau Kajitindak Partisipatif merupakan
perpaduan antara metodologi pengkajian (riset); pendidikan dan penyadaran masyarakat,
perencanaan, pelaksanaan kegiatan (aksi); monitoring dan evaluasi yang dilaksanakan dalam
satu kesatuan yang utuh oleh para pemangku kepentingan (stakeholders).
3.4.1.3 Focus Group Discussion
Diskusi kelompok yang terfokus mengenai topik-topik yang relevan dengan
penelitan yang disusun dalam suatu pertanyaan kunci (semacam kuesioner). Proses ini akan
dipandu oleh fasilitator.
3.4.2 Pengembangan Model Kebijakan Pengelolaan Ekowisata Bersama dan Adaptif
3.4.2.1 Survey KAB dan Persepsi
Pada tahap ini, dilakukan pengkajian untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan
perilaku serta persepsi para stakeholder ekowisata dan Kebutuhannya.
Sub pokok bahasan:
i. Konsep komunitas
ii. Analisis Struktur Sosial
iii. Analisis Gender
iv. Analisis Pemangku Kepenting
v. Analisis KAB (Pengetahuan, Sikap dan Perilaku) dengan survey KAB
Dengan menggunakan bahan-bahan diskusi (metode) sebagai berikut:
1. Analisis Piramida Masyarakat
2. Analisis Gender
3. Matriks Analisa Pemangku Kepentingan
3.5 Analisis Kerentanan dengan IKL atau ESI
Untuk mengetahui kerentanan sector ekowisata yang termasuk ke dalam sector
social ekonomi, ketika dihadapkan kepada perubahan lingkungan dan perubahan iklim,
dibuatlah Indeks KL (IKL) atau Environmental Sensitivity Indeks (ESI) yang hasilnya akan
dipetakan.
Rumus:
pg. 24
IKL = TK x NE x NS
Kriteria yang digunakan <=25 = kurang peka, 26-50 = cukup peka, 51-75 =
moderate, 76-100 = peka, >=101 = sangat peka
TK : Tingkat Kerentanan
NE : Nilai Ekologi
NS : Nilai Sosial
Peubah (parameter) Nilai Ekologis, Terumbu Karang sebagai daya tarik wisata:
Jenis terumbu karang (Lifeform-bercabang/tidak)
Persentase tutupan karang hidup (60 %)
luas dan tebal hamparan karang
Slope terumbu karang
kelimpahan Ikan (melimpah)
Spesies Endemik dan dilindungi
Peubah (parameter) pemanfaatan kawasan wisata:
Ekonomi Tingkat kunjungan Tingkat Biaya kunjungan Fasilitas yang tersedia
Sosial Tenaga kerja yang terlibat Aksesibilitas
(1) Menghitung Indeks Sosial Ekonomi
Membentuk Skor
1. Prinsip skala ordinal
2. Penggunaan Skala Likert (Rensis Likert):
Jawaban berjenjang
Nilai setiap jawaban dijumlahkan (method of summated ratings)
Mudah dan sederhana (Nazir, 1985)
Contoh untuk kelimpahan : sangat banyak=5, banyak=4, cukup=3,
sedikit=2, sangat sedikit=1
pg. 25
3. Membagi kelas (kelompok data) sesuai dengan kategori yang
diinginkan, contoh: 5 kelas seperti sangat tinggi, tinggi, cukup tinggi,
kurang tinggi, sangat pendek
4. Menghitung batas bawah dan batas atas kelas berdasarkan beda nilai
max dan min dengan jumlah kelas yang diiinginkan
5. Teknik agregasi dengan rataan geometrik
Rumus:
Dimana:
NS=indeks nilai sosial ekonomi
E1..Ei =skor dari masing-masing peubah ekonomi
S1..Sj =skor dari masing-masing peubah sosial
(2) Pemetaan dengan ArcGIS
Setelah diperoleh Indeks Kerentanan Lingkungan, maka akan dipetakan dengan
menggunakan soft ware arcGIS.
3.6 Valuasi Ekonomi, Analisis Permintaan dan Multiplier Effect
Tujuan dasar dari TCM adalah ingin mengetahui nilai kegunaan dari sumberdaya
alam melalui proxy. Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari
sumberdaya alam digunakan sebagai proxy untuk menentukan harga dari sumberdaya alam
tersebut (Fauzi 2004). Dengan demikian biaya perjalanan dari lokasi asal ke lokasi tujuan
wisata dapat diduga dengan persamaan sebagai berikut.
X = f(c, d, I, u,P) ...................................................................(2)
Dimana:
X = jumlah kunjungan
c = biaya perjalanan
d = jarak
I = pendapatan
u= umur
pg. 26
NS=( i+ j)√E1∗E2∗. . .∗Ei∗S1∗S2∗. ..∗S j
P = harga barang substitusi.
Selanjutnya, fungsi biaya perjalanan dapat diduga dengan persamaan sebagai
berikut.
lnVt = βo + β1 ln TCi + β2 ln INCi ....................................(3)
Dimana:
Vt = Tingkat kunjungan
TCi = Biaya perjalanan
INCi = Pendapatan individu.
Untuk menentukan surplus konsumen dapat diestimasi dengan menggunakan
persamaan, sebagai berikut, (Christiansson 2000 dalam Adrianto 2006).
TCS = - Vi / β1 .......................................................................(4)
Dimana:
Csi = konsumen surplus individu
Vi = tingkat kunjungan individu
1 = nilai regresi dari biaya perjalanan/TC.
Nilai ekonomi lokasi rekreasi (total consumers surplus) dapat diestimasi dengan
menggandakan nilai surplus konsumen rata-rata individu dengan total kunjungan pada tahun
tertentu (Vt), dengan persamaan sebagai berikut.
TCS = CSi x Vt .................................................................(5)
Dimana:
TCS = Total consumers surplus
CSi = Konsumen surplus individu
Vt = Total kunjungan pada tahun analisis (tahun ke-t).
pg. 27
3.7 Validitas model
Berdasarkan Hatrisari (2007) jenis data yang sering digunakan dalam pemodelan
adalah numerik, data tertulis dan mental. Data numerik adalah data yang berupa angka, dan
biasanya bersifat time series. Data tertulis dapat berupa prosedur operasi, struktur organisasi,
serta hal lainnya yang dapat dijadikan arsip. Data mental adalah semua informasi yang dimiliki
oleh orang, termasuk hal yang diceritakan dan cara bagaimana seseorang menentukan
keputusan. Data mental hanya dapat dikumpulkan melalui wawancara dan observasi. Proses
validasi ini bisa menggunakan tabel Sterman (2000) dalam Hatrisari (2007) sebagai arahan bagi
pengguna dalam memahami model. Forrester (1961) dalam Hatrisari (2007), menyatakan
bahwa model yang baik tidak saja tergantung kepada sifat numerik atau non numerik,
melainkan kepada kecermatan penyusun model dalam memilah variabel penting untuk
digunakan dalam model.
Menurut Hatrisari (2007), pengujian kesesuaian model dimaksudkan untuk (a)
melihat apakah persamaan-persamaan yang digunakan sudah benar, (b) melihat kesesuaian
prosedur perhitungan dan (c) meyakinkan bahwa model telah bebas dari kesalahan-kesalahan
teknis. Evaluasi model ditujukan untuk (a) melihat kesesuaian antara hasil model dengan
realitas dan (b) melihat kesesuaian antara hasil model dengan tujuan yang ditentukan pada
awalnya. Validasi model ditujukan untuk melihat kesesuaian hasil model dibandingkan dengan
realitas bila model dijalankan dengan data yang lain. Sementara analisis sensitivitas
dibutuhkan untuk mengetahui sejauh mana model dapat digunakan apabila ada perubahan
pada asumsi. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas secara umum menyatakan sejauh mana
kesimpulan hasil model dapat berubah bila variabel model diubah.
3.8 Pendekatan Sistem dalam Pengelolaan Ekowisata Secara Bersama dan Adaptif
Sumberdaya alam dan lingkungan merupakan merupakan suatu kerangka sistem
dimana elemen-elemen di dalamnya mengandung kompleksitas, ketidakpastian, perubahan
dan konflik. Ekowisata yang memanfaatkan keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan
sebagai suatu konsep untuk pengelolaan mengandung kompleksitas, ketidakpastian,
perubahan dan juga konflik, dan juga terdapat interaksi antara elemen-elemen ekonomi,
sosial dan lingkungan. Menurut Nugroho (2011), interaksi yang tinggi dalam wilayah ekowisata
perlu diidentifikasi dan diuraikan menjadi faktor-faktor ekowisata, kemudian dioptimalkan
berlandaskan kaidah ilmiah, sehingga memungkinkan untuk melakukan perubahan-perubahan
yang senantiasa menuju atau mendekati gagasan (full idea) yang lebih baik dan berkelanjutan.
pg. 28
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa relatif sulit untuk mengisolasi daerah
tujuan wisata dari interaksi dan pengaruh dari daerah sekitarnya atau dari elemen lainnya
dalam sistem ekowisata tersebut. Menurut Nugroho (2011), wilayah ekowisata menjadi sistem
atau wilayah terbuka yang dapat menerima aliran-aliran energi, materi dan informasi dari
wilayah sekitarnya. Berdasarkan Rambo (1981) dalam Nugroho (2011), yaitu the system model
of human ecology, maka dinamika wilayah ekowisata juga dapat digambarkan sebagai proses
kontinyu dari interaksi antara subsistem sosial, subsistem ekonomi dan subsistem ekologi.
Lebih jauh diuraikan, bahwa sebagai sebuah sistem terbuka, ekowisata dapat menerima input
dan mengeluarkan output nergi, materi dan informasi kepada subsistem sosial, subsistem
ekonomi dan subsistem ekologi. Aliran input dan output itu selain mempengaruhi internal
dinamic melalui struktur dan fungsi dari setiap komponen juga mencerminkan integritas dan
dinamika dari sistem secara keseluruhan. Begitu kompleks interaksi yang terjadi, Rambo
dalam Nugroho (2011) mengemukakan bahwa kecermatan dan kehati-hatian sangat penting
dalam menelaah sistem ekowisata ini.
3.8.1 Analisis Kebutuhan
Menurut Eriyatno (1998), pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian
permasalahan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah
kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap
efektif.
Tabel 4. Analisis Kebutuhan Para Pelaku Ekowisata
KomponenInformasi
PelakuPemerintah Masyarakat Pelaku Usaha
(Swasta)LSM Wisatawan
Jenis kegiatan pariwisata √√ √√ √√ √√ √√
Kondisi lingkungan tujuan wisata √√ √√ √ √√ √√
Pengelolaan lingkungan √√ √√ √ √√ √√
Adaptasi yang dimiliki stakeholders/mitra
√√ √√ √ √√ √
Adaptasi berbasis konstruksi √√ √ √ √√ -
Adaptasi berbasis ekologi √√ √ √ √√ -
Adaptasi berbasis perilaku √√ √ √ √√ -
Jumlah stakeholders yang memiliki perilaku ramah lingkungan
√√ √√ √ √√ √
Pendidikan/komunikasi mengenai climate change dan adapatasi
√√ √√ √√ √√ √√
Partisipasi stakeholder √√ √√ √√ √√ √√
pg. 29
Peningkatan jumlah kunjungan wisata
√√ √√ √√ √ -
Peningkatan lamanya wistawan menginap
√ √√ √√ √ -
Peningkatan pendapatan √√ √√ √√ √ -
Penyerapan tenaga kerja √√ √√ √ √√ -
Penerapan kebijakan/regulasi √√ √√ √√ √√ √
Penegakan hukum √√ √ √ √√ √
3.8.2 Formulasi Masalah
Tabel 5. Formulasi Masalah
3.8.3 Identifikasi Sistem
Menurut Hatrisari (2007), pada tahap ini pengkaji sistem mencoba memahami
mekanisme yang terjadi dalam sistem. Hal ini dimaksudkan untuk mengenali hubungan antara
“pernyataan kebutuhan” dengan “pernyataan masalah” yang harus diselesaikan dalam rangka
memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah
menyusun diagram lingkar sebab-akibat (Causal loop diagram) atau diagram input-output
(black box diagram).
pg. 30
Pendapatanmeningkat
Strategikegiatanadaptasi
Penerapankebijakan/
regulasi
Penegakanhukum
Jeniskegiatan
pariwisata
jumlahkunjungan
wisata
lama wisatawanmenginap
partisipasistakeholder Pendidikan/
komunikasibagi
stakeholder
Kondisilingkungan
Kondisilingkungan
tujuan wisata
Pengelolaanlingkungan
Stakeholderramah
lingkungan
Adaptasistakeholder
adaptasi basiskonstruksi
adaptasi basisekologi
adaptasi basisperilaku
Gambar 3. Diagram lingkar sebab-akibat (causal-loop diagram)
sistem pengelolaan ekowisata secara bersama dan adaptif
pg. 31
Pada diagram Input-Output berikut ini, digambarkan variabel-variabel yang mempengaruhi kinerja sistem pengelolaan ekowisata secara bersama dan adaptif.
Gambar 4. Diagram masukan keluaran (black box diagram)
sistem pengelolaan ekowisata secara bersama dan adaptif
pg. 32
Input Terkendali Jumlah kunjungan
wisata Jumlah
hotel/penginapan Jumlah pelaku usaha Jumlah UKM Jumlah aktivitas
komunikasi Penegakan hukum Pengetahuan tentang
isu adaptasi dan perubahan lingkungan
Output yang Tidak Diinginkan Rusaknya ekologi dan
lingkungan Rendahnya kesadaran
tentang isu ekowisata dan climate change
Meningkatnya pengangguran dan premanisme
Menurunnya jumlah kunjungan wisatawan
Pengelolaan Ekowisata Adaptif
kolaboratif Terhadap Perubahan
Lingkungan di Kab Lombok Utara
Input Tidak Terkendali Curah hujan Hari hujan Tinggi gelombang Sikap dan perilaku
tentang isu adaptasi dan climate change
Premanisme
TujuanModel Pengelolaan Ekowisata Adaptif kolaboratif Terhadap Perubahan Lingkungan di Kab
Lombok Utara
Output yang Diinginkan: Strategi dan kegiatan
adaptasi ekowisata yang partisipatif dan berkelanjutan
Pendapatan masyarakat dan daerah meningkat
Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan kegiatan adaptasi ekowisata yang partisipatif dan berkelanjutan
Input Lingkungan UU No. 27 thn 2007 ttg
Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP-3-K)
RAN-PI (Rencana Aksi Nasional-Perubahan Iklim)
RPJMN (Rencana Jangka Panjang Pembangunan Nasional)
Roadmap Sektoral
3.9 Model Pengelolaan Ekowisata Secara Bersama dan Adaptif
Model adalah tiruan dari keadaan yang nyata. Menurut Hatrisari (2007) model
merupakan penyederhanaan sistem. Model disusun dan digunakan untuk memudahkan dalam
pengkajian sistem karena sulit dan hampir tidak mungkin untuk bekerja pada keadaan
sebenarnya. Karena sistem sangat kompleks, tidak mungkin model dapat menggambarkan
seluruh proses yang terjadi dalam sistem. Oleh sebab itu, model hanya memperhitungkan
beberapa faktor dalam sistem guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Model pengelolaan ekowisata secara bersama dan adaptif dikembangkan pada
kondisi yang terjadi di lapangan dikombinasikan dengan studi literatur. Perangkat lunak yang
digunakan adalah Powersim. Konsep pengelolaan ekowisata yang akan dituangkan ke dalam
model ini adalah terdiri dari pengelolaan ekowisata secara bersama dan adaptif dalam
kerangka lingkungan, ekonomi dan sosial, serta industri wisata itu sendiri. Karena itu, model
ini akan dikembangkan dengan memadukan empat submodel yang terdiri dari (1) submodel
sosial (2) submodel lingkungan (3) submodel ekonomi (4) submodel industri ekowisata.
3.10 Analisis pengembangan skenario pengelolaan ekowisata secara bersama dan adaptif
Analisis pengembangan skenario kebijakan pengelolaan ekowisata secara bersama
dan adaptif dilakukan dengan menggunakan analisis prospektif. Analisis prospektif merupakan
analisis untuk mengeksplorasi kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dari
analisis ini akan didapatkan informasi mengenai faktor kunci, tujuan, serta keterlibatannya
sesuai dengan kebutuhannya di dalam sistem pengelolaan ekowisata secara bersama dan
adaptif. Selanjutnya Simulasi skenario dilakukan sebagai suatu rancangan kebijakan yang
memungkinkan dilakukan dalam keadaan nyata didasarkan pada model yang dibuat. Sebagai
suatu strategi pengelolaan keberlanjutan, kebijakan dilakukan melalui penyusunan skenario
yang telah dibuat. Ada dua skenario yang disimulasikan, yaitu : pertama, model skenario tetap
(kondisi eksisting) dengan laju % pertambahan keragaman hayati ekowisata (KHP) dan
kealamian pulau (KAP) sebesar % tertentu , dan kedua, model skenario tetap (kondisi
eksisting) dengan laju % penyusutan lingkungan (KHP) dan kealamiannya (KAP) sebesar %
tertentu. Faktor kunci ini digunakan untuk mendeskripsikan perubahan kemungkinan masa
depan pengelolaan ekowisata secara bersama dan adaptif yang berkelanjutan. Penentuan
pg. 33
faktor kunci ini adalah pendapat pakar yang kompeten sebagai pelaku atau aktor di dalam
sistem pengelolaan ekowisata, dengan menggunakan kuesioner dan wawancara atau FGD.
Pengembangan membantu untuk menegakkan ketertiban dan arah pada
kompleksitas hubungan antara elemen-elemen dari sistem. Langkah-langkah yang perlu
dilakukan dalam penggunaan teknik ini adalah sebagai berikut (Eriyatno dan Sofyar 2007;
Marimin 2004; Eriyatno 2003) :
1) Identifikasi elemen: Elemen sistem diidentifikasi dan didaftar. Hal ini dapat
diperoleh melalui penelitian, brainstroming, FGD, PRA dan lain-lain.
2) Hubungan konstektual: Sebuah hubungan konstektual antar elemen
dibangun, tergantung pada tujuan dari permodelan.
3) Pembuatan matriks interaksi tunggal terstruktur (structural self interaction
matrix/SSIM). Matriks ini mewakili elemen persepsi responden (pakar perikanan) terhadap
elemen hubungan yang dituju. Empat simbol (VAXO) yang digunakan untuk mewakili tipe
hubungan yang ada antara dua elemen dari sistem yang dipertimbangkan adalah :
V : hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, tidak sebaliknya.
A : hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, tidak sebaliknya.
X : hubungan interrelasi antara Ei dan Ej (dapat sebaliknya).
O : menunjukkan bahwa Ei dan Ej tidak berkaitan.
4) Pembuatan matriks reachability (reachability matrix/RM): Sebuah RM yang
dipersiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah matriks biner. Aturan-
aturan konversi berikut menerapkan:
Jika hubungan Ei terhadap Ej = V dalam SSIM, maka elemen Eij = 1 dan Eji = 0
dalam RM;
Jika hubungan Ei terhadap Ej = A dalam SSIM, maka elemen Eij = 0 dan Eji = 1
dalam RM;
Jika hubungan Ei terhadap Ej = O dalam SSIM, maka elemen Eij = 0 dan Eji = 0
dalam RM;
RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect
reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1, maka Eik = 1.
5) Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam
level-level yang berbeda dari struktur ini. Untuk tujuan ini, dua perangkat diasosiasikan dengan tiap
elemen Ei dari sistem: reachability set (Ri), adalah sebuah set dari seluruh elemen yang dapat
dicapai dari elemen Ei, dan antecedent set (Ai), adalah sebuah set dari seluruh elemen dimana
elemen Ei dapat dicapai. Pada iterasi pertama seluruh elemen, dimana Ri = Ri ∩ Ai, adalah
pg. 34
elemen-elemen level 1. Pada iterasi-iterasi berikutnya elemen-elemen diidentifikasi seperti elemen-
elemen level dalam iterasi-iterasi sebelumnya dihilangkan, dan elemen-elemen baru diseleksi
untuk level-level berikutnya dengan menggunakan aturan yang sama. Selanjutnya, seluruh
elemen sistem dikelompokkan ke dalam level-level yang berbeda.
6) Pembuatan matriks canonical: Pengelompokan elemen-lemen dalam level
yang sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian besar dari elemen-
elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan terendah 1. Matriks ini selanjutnya digunakan
untuk mempersiapkan digraph.
7) Pembuatan Digraph: adalah konsep yang berasal dari directional graph
sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan langsung, dan level hierarki.
Digraph awal dipersiapkan dalam basis matriks canonical. digraph awal tersebut selanjutnya
dipotong dengan memindahkan semua komponen yang transitif untuk membentuk digraph akhir.
8. Pembangkitan Interpretative structural modelling: dibangkitkan dengan
memindahkan seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh
sebab itu, ada gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem dan alur
hubungannya
pg. 35
Daftar Pustaka
Amir, Sadikin. 2011. Disertasi. Optimasi Pemanfaatan Wisata Bahari Bagi Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Berbasis Mitigasi (Kasus Kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anonim. 2009. Kajian Risiko dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat: Analisis dan Proyeksi Kenaikan Muka Laut dan Iklim Ekstrim. Kerjasama Republik Indonesia-Republik Federal German. GTZ. Kementerian Lingkungan Hidup. WWF. Provinsi Nusa Tenggara Barat. Lombok.
Barnett, Jon. 2001. Adapting to Climate Change in Pacific Island Countries: The Problem of Uncertainty. Elsevier Science Ltd. Great Britain.
Boer, R., Heriansyah, A., Impron, Dasanto, B. D., Suciantini, Hartati, F., et al. (2009). Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Daerah Rawa yang Sudah Dikembangkan. Bogor: CCROM SEAP - Pusat Kajian Peluang dan Resiko Iklim Kawasan Asia Tenggara.
Craig, R. K. (2008). Coral Reefs, Fishing, and Tourism: Tensions in U.S. Ocean Law and Policy Reform. Stanford Environmental Law Journal vol. 27:3.
Dirawan, Gurfan Darma. 2006. Ringkasan Disertasi. Strategi Pengembangan Ekowisata: Studi Kasus Suaka Margasatwa Mampie Lampoko. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Eriyatno. 2007. Riset Kebijakan: Metode Penelitian untuk Pascasarjana. IPB Press. Bogor
Hanafi, Febryanto Rakhmat. Ciptomulyono, Udisubakti. 2010. Jurnal. Penentuan Prioritas Pembangunan Pariwisata di Pulau Lombok Dengan Menggunakan Metode Location Quotient (LQ) dan Analytical Network Process (ANP). Institut Teknologi Sepuluh November (ITS). Surabaya.
Hatrisari. 20017. Sistem Dinamik: Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. SEAMEO BIOTROP. Bogor.
Hilman, M., et al. 2007. Rencana Aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Hindriani, Heny. 2010. Makalah. Model Pengendalian Pencemaran Sungai Ciujung. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Klock, J. (2008). Artikel. Hystoric Hydrologic Landscape Modification and Human Adaptation in Central Lombok, Indonesia from 1894 to the Present.
Lise, W., Tol, R. S. 2002. Impact of Climate on Tourist Demand. Climatic Change 55: 429–449, 2002 - Kluwer Academic Publishers, Netherlands.
Mahmud. Skenario Perubahan Variabilitas Iklim Indonesia . Prosiding Seminar Nasional Pemanasan Global dan Perubahan Global: Fakta, Mitigasi, dan Adaptasi. Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN. Jakarta
pg. 36
Mangunjaya, Fachruddin Majeri. 2012. Ringkasan Disertasi. Desain Ekopesantren Dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Marimin. 2004. Tehnik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Cetakan kedua. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta
Nugroho. 2011. Ekowisata dan Pembangungan Berkelanjutan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Rani, C. 2007. Perubahan Iklim: Kaitannya dengan Terumbu Karang. Universitas Hasanudin. Makassar.
Scott, Daniel. 2007. Climate Change and Tourism: Responding to Global Challenges. UNWTO. UNEP. WMO.
Shurland, Deirdre. De Jong, Pieter. 2008. Disaster Risk Management For Coastal Tourism Destinations Responding To Climate Change: A Practical Guide for Decision Makers. UNEP. ISDR. CAST. Paris.
Sutamirhardja, RTM. 2009. Perubahan Lingkungan Global: Sebuah Antologi Tentang Bumi Kita. Yayasan Pasir Luhur Bogor. Bogor.
Wicaksono, Andhie. Inisiatif Dalam Pengembangan Wisata Budaya : Kasus Desa Miau Baru.
Santoso, Heru. Tjiu, Albertus. Muhammad, Ari. 2011. Vulnerability of Ecosystem Dependent Villagers to Climate Variability: A Case Study From Two Villages by The Sentarum Lake-Kalimantan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia & World Wide Fund. Bandung.
Sasmoyo, Sasmiyarsi K. 1997. Pengelolaan dan Upaya Pengembangan Wisata Bahari Berwawasan Lingkungan dan Berkesinambungan. Prosiding Pelatihan dan Lokakarya Perencanaan Pariwisata Berkelanjutan ITB. Institut Teknologi Bandung. Bandung
Simpson, M., Gossling, S., Scott, D., Hall, C. M., & Gladin, E. (2008). Climate Change Adaptation and Mitigation in the Tourism Sektor: Frameworks, Tools and Practices. UNEP, University of Oxford, UNWTO, WMO. Paris. France.
Sutamirhardja, RTM. 2009. Perubahan Lingkungan Global: Sebuah Antologi Tentang Bumi Kita.Yayasan Pasir Luhur Bogor. Bogor.
Syarifudin, Ahmad. Sudarsono, Dwi. Hakim, Muhammad Ridha. Moeliono, Ilya M. Sulistyono. Kukuh, T. 2011. Rinjani Terluka: Jejak Pergulatan Mengembalikan Makna. Santiri Foundation. Mataram.
UNDP Indonesia. 2007. Sisi Lain Perubahan Iklim: Mengapa Indonesia Harus Beradaptasi untuk Melindungi Rakyat Miskinnya. UNDP Indonesia. Jakarta.
pg. 37