Surat Kabar

9
Medan Prijaji Medan Prijaji adalah surat kabar berbahasa Melayu yang terbit di Bandung pada Januari 1907 hingga Januari 1912 . Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan, dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Surat kabar ini didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo . Medan Prijaji menjadi koran pertama yang dikelola pribumi dengan uang dan perusahaan sendiri. Sebelum menerbitkan "Medan Prijaji", pada Januari 1904 Tirto Adhi Soerjo bersama H.M. Arsad dan Oesman mendirikan dulu badan hukum N.V. Javaansche Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften. "Medan Prijaji" beralamat di Djalan Naripan, Bandung , yaitu di Gedung Kebudayaan (sekarang Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan-YPK). N.V. ini dicatat sebagai N.V. pribumi pertama dan sekaligus NV pers pertama dengan modal sebesar f 75.000 yang terdiri atas 3.000 lembar saham. Dengan dana tersebut terbitlah Medan Prijaji dengan format mingguan yang terbit tiap hari Jum'at. Surat kabar yang berukuran seperti buku atau jurnal mungil (12,5x19,5 cm) tersebut dicetak di percetakan Khong Tjeng Bie, Pancoran, Betawi. Rubrik tetapnya adalah mutasi pegawai, salinan Lembaran Negara dan pasal-pasal hukum, cerita bersambung, iklan, dan surat-surat. Terkadang artikel-artikel panjang itu didesain dalam dua kolom, namun sebagian besar dituliskan dalam satu kolom seperti jurnal. Suara koran ini menjadi kritik pedas bagi pemerintah kolonial dan alamat pengaduan bagi setiap pribumi yang diperlakukan tidak adil oleh kekuasaan. Oleh karena itu diperlukan usaha mandiri mencetaknya. Maka dengan pengetahuan dan pengalaman niaganya, diwajibkan bagi calon pelanggan untuk terlebih dahulu membayar uang muka berlangganan selama satu kuartal, setengah, atau satu tahun, yang saat ini kita kenal dengan sebutan saham. Dilobinya beberapa pangrehpraja yang tertarik dengan gagasannya. Jadilah dua orang penyumbang dana besar, yakni Bupati Cianjur RAA Prawiradiredja dan Sultan Bacan Oesman Sjah. Masing-masing menyumbang f 1.000 dan f 500.

Transcript of Surat Kabar

Page 1: Surat Kabar

Medan PrijajiMedan Prijaji adalah surat kabar berbahasa Melayu yang terbit di Bandung pada

Januari 1907 hingga Januari 1912. Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan, dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Surat kabar ini didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo. Medan Prijaji menjadi koran pertama yang dikelola pribumi dengan uang dan perusahaan sendiri.

Sebelum menerbitkan "Medan Prijaji", pada Januari 1904 Tirto Adhi Soerjo bersama H.M. Arsad dan Oesman mendirikan dulu badan hukum N.V. Javaansche Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften. "Medan Prijaji" beralamat di Djalan Naripan, Bandung, yaitu di Gedung Kebudayaan (sekarang Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan-YPK). N.V. ini dicatat sebagai N.V. pribumi pertama dan sekaligus NV pers pertama dengan modal sebesar f 75.000 yang terdiri atas 3.000 lembar saham.

Dengan dana tersebut terbitlah Medan Prijaji dengan format mingguan yang terbit tiap hari Jum'at. Surat kabar yang berukuran seperti buku atau jurnal mungil (12,5x19,5 cm) tersebut dicetak di percetakan Khong Tjeng Bie, Pancoran, Betawi. Rubrik tetapnya adalah mutasi pegawai, salinan Lembaran Negara dan pasal-pasal hukum, cerita bersambung, iklan, dan surat-surat. Terkadang artikel-artikel panjang itu didesain dalam dua kolom, namun sebagian besar dituliskan dalam satu kolom seperti jurnal.

Suara koran ini menjadi kritik pedas bagi pemerintah kolonial dan alamat pengaduan bagi setiap pribumi yang diperlakukan tidak adil oleh kekuasaan. Oleh karena itu diperlukan usaha mandiri mencetaknya. Maka dengan pengetahuan dan pengalaman niaganya, diwajibkan bagi calon pelanggan untuk terlebih dahulu membayar uang muka berlangganan selama satu kuartal, setengah, atau satu tahun, yang saat ini kita kenal dengan sebutan saham. Dilobinya beberapa pangrehpraja yang tertarik dengan gagasannya. Jadilah dua orang penyumbang dana besar, yakni Bupati Cianjur RAA Prawiradiredja dan Sultan Bacan Oesman Sjah. Masing-masing menyumbang f 1.000 dan f 500.

Page 2: Surat Kabar

Edisi perdana

Ketika pertama kali terbit di Bandung, "Medan Prijaji" mencantumkan moto di bawah nama "Medan Prijaji" sbb: "Ja'ni swara bagai sekalijan Radja2. Bangsawan Asali dan fikiran dan saoedagar2 Anaknegri. Lid2 Gemeente dan Gewestelijke Raden dan saoedagar bangsa jang terperentah lainnja jang dipersamakan dengan Anaknegri di seloereoeh Hindia Olanda".

Delapan asas yang diturunkan Tirto Adhi Surjo di halaman muka edisi perdana, antara lain memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, mencari pekerjaan, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi dan mengorganisasikan diri, membangunkan dan memajukan bangsanya, serta memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan.

Menurut buku Sejarah Pers Sebangsa, disebut nama-nama para pengelola Medan Prijaji. Sebagai pemimpin redaksi (hoofdredacteur) adalah Tirto Adi Soerjo, dengan redaktur A.W. Madhie, Raden Tjokromidjojo, Raden Soebroto (ketiganya dari Bandung), R.M. Prodjodisoerjo dan R. Kartadjoemena di Bogor, dan P.t (Paduka tuan) J.J. Meyer, pensiunan Asisten Residen di 's Gravenhage, sebagai redaktur di Belanda. Juga disebut adanya beberapa journalist bangsa Tiong Hoa dan pribumi antara lain Begelener, Hadji Moekti dan lain-lain.

Surat kabar harian

Pada tahun 1910 di Betawi, "Medan Prijaji" terbit tiap hari kecuali hari Jumat dan Minggu dan hari raya. Nomor 1 terbit pada 5 Oktober 1910.

Rubrik yang paling digemari adalah surat dan jawaban serta penyuluhan hukum gratis yang disediakan Medan Prijaji kepada rakyat yang berperkara. Usaha inilah yang menjadikan koran ini berkembang. Simpati pun datang melimpah-limpah hingga pada tahun ketiga terbitannya, tepatnya Rebo 5 Oktober 1910, Medan Prijaji berubah menjadi harian dengan 2000 pelanggan yang menurut laporan Rinkes: "untuk harian Eropa di Hindia pun sudah merupakan jumlah bagus, lebih-lebih untuk harian Melayu...."

Ketika pertama kali terbit menjadi harian tetap, mengambil tahun IV karena tahun I, II, dan III masih mingguan yang terbit di Bandung. Di bawah judul surat kabar harian "Medan Prijaji" itu tertulis moto: "Orgaan boeat bangsa jang terperentah di H.O. Tempat akan memboeka swaranya Anak-Hindia". Di zaman itu, merupakan sebuah keberanian luar biasa mencantumkan moto seperti itu. Medan Prijaji menjadi surat kabar pembentuk pendapat umum, berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Hindia-Belanda pada masa itu. Kecaman hebat dan pedas yang pernah dilontarkannya terhadap tindakan-tindakan kontroler.

Medan Prijaji mengambil posisi sebagai corong suara publik. Sebagai aktivis pergerakan, tulisan-tulisan Tirto dalam Medan Prijaji tak pernah berbasa-basi, tapi menunjuk muka langsung. Hampir tak ada satu pun kebijakan kolonial yang dirasa memberatkan rakyat yang lolos dari pemberitaan Medan Prijaji. Di seluruh karesidenan Jawa, Medan Prijaji bukan lagi taman, tapi benar-benar medan berkelahi. Di Banten, Rembang, Cilacap, Bandung, diperkarakannya banyak hal.

Page 3: Surat Kabar

Salah satu kasus terkenal adalah perkara di Kawedanan Cangkrep Purworejo. Medan Prijaji dengan bahasa terbuka memuat artikel tentang persekongkolan jahat antara Aspirant Controleur Purworejo A Simon dengan Wedana Tjorosentono yang mengangkat lurah Desa Bapangan yang tak beroleh dukungan warga. Sementara kandidat pertama yang didukung, Mas Soerodimedjo, malah ditangkap dan dikenakan hukuman krakal. Terbakar oleh amarah melihat penyalahgunaan wewenang itu Tirto menyebut pejabat tersebut sebagai monyet penetek atau ingusan dalam Medan prijaji No 19, 1909. Investigasi atas kasus itu didukung 236 warga Desa Bapangan dan warga ini pula mengirim surat kepada Tirto yang berisi dukungan pasang-badan kalau-kalau Tirto kena denda atas tulisannya.

Tirto memang kalah dalam perkara persdelict dengan A Simon itu dan dibuang ke Lampung dua bulan. Tapi dari kasus itu, Medan Prijaji mendapat perhatian pers di Belanda dan Tirto berkesempatan berkenalan dengan Anggota Majelis Rendah Belanda Ir HH van Kol dan pemuka politik etik Mr C Th van Deventer dipasarkan hingga di daratan Eropa.

Dari sepak terjang itu Medan Prijaji pun menjadi model pertama dari apa yang kelak disebut sebagai surat kabar pergerakan, mendahului Sarotomo, Soeloeh Indonesia, ataupun Daulat Ra'jat. Yang khas Medan Prijaji terletak pada kegiatannya yang tak berhenti dengan sekadar memberitakan sebuah peristiwa atau kebijakan yang merugikan publik, namun terjun langsung menangani kasus-kasus yang menimpa si kawula. Medan Prijaji, lagi-lagi, menjadi pelopor dari genre jurnalisme, yang puluhan tahun kemudian dikenal dengan sebutan jurnalisme advokasi.

Edisi terakhir

Nomor terakhir terbit 3 Januari 1912 tahun VI. Pada 23 Agustus 1912 Medan Prijaji pun ditutup. Mas Tirto Adhi Surjo, juga dituduh menipu sejumlah orang yang berhimpun di Vereeniging van Ambtenaren bij het Binnenlandsch Bestuur (Perhimpunan Amtenar Pangreh Praja). Dua bulan setelah tutup, Jaksa Agung Hindia Belanda A Browner menjatuhkan vonis bahwa Tirto bersalah telah menulis penghinaan kepada Bupati Rembang. Mas Tirto Adi Soerjo disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku U Tjahaja Timoer adalah surat kabar zaman dahulu yang khusus merekam perekonomian pada masa penjajahan Hindia Belanda.

Tjahaja TimoerKoran ini terbit pertama kali pada Januari 1907 di Malang, Jawa Timur, hampir bersamaan dengan terbitnya Medan Prijaji. Koran yang dipimpin oleh R.M Bintarti ini dicetak dan dikembangkan oleh Sneepers dan Stendrukkkerij Kwee.

Koran ini banyak memotret persaingan ekonomi antara kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, khususnya Pekalongan, yang menjadi sentra batik, yang merupakan salah satu sektor perdagangan paling ramai masa itu. Ramainya perdagangan masa itu dimulai sejak 1911, ketika kongsi-kongsi dagang yang dipelopori orang Arab dan Tionghoa bermunculan dan mendesak kaum pribumi.

Koran ini terbit berkala setiap Senin, Rabu, dan Jumat, kecuali hari besar. Koran ini juga penuh dengan iklan, dari iklan kacamata hingga emas.

Page 4: Surat Kabar

Tjahaja Siang: Legenda Surat Kabar Pertama di Indonesia Timur

Suplemen Tjahaja Siang 27 Februari 1869, edisi yang keluar sepekan dari edisi pertamanya. (foto: netsain.

Dunia jurnalisme juga milik Sulawesi Utara. Dari Tanah Toar Lumimuut pada 1800-an pernah terbit koran lokal bernama Tjahaja Siang, sebuah legenda surat kabar yang pertama di Indonesia Timur

Diketahui dari blog milik Boudewyn Grey Talumewo, Tjahaja Siang dimotori Nicolaas Graafland, pakar pedagogi Belanda yang datang ke Sulut sebagai misionaris. Nomor perkenalan Tjahaja Siang atau proefnummer, keluar pada September 1868. Namun baru lima bulan kemudian tepatnya 20 Januari 1869 edisi pertamanya diterbitkan.

Seperti halnya koran-koran modern, Tjahaja Siang juga punya tagline “Kertas Chabar Minahasa”, tulisan yang ditempatkan di bawah nama media. Koran ini secara umum menjadi pembawa kabar injil di Sulut. Isinya pun tidak terlepas dari kegiatan keagamaan, nats-nats Alkitab dan kental dengan tulisan mengenai nilai-nilai Kristiani. Para penulis adalah warga Belanda yang didatangkan untuk melakukan misi penginjilan. Penulis muda merupakan putra Graafland sendiri.

Setengah abad setelah edisi awalnya diterbitkan, redaksi Tjahaja Siang mulai dipegang pewarta lokal, namun tidak lepas dari figur-figur rohaniawan. Muncul nama-nama seperti HW Soemoelang sebagai pemimpin redaksi, JA Frederik, S Sondakh, AJHW Kawilarang, H. Loing Jz., Z Taloemepa, AA Maramis, W Wangke, A. Wartabone. Setahun kemudian Soemoelang meninggal, penggantinya adalah AA Maramis yang sebelumnya kepala biro Manado.

Page 5: Surat Kabar

Tjahaja Siang tak hanya milik pribumi. Di bagian percetakan tercipta kerja sama dengan warga Tionghoa. Liem Oei Tiong terlihat di dalam masthead sebagai kepala drukker, Handeldrukkerij Liem Oei Tiong & Co di Menado. Selain itu Liem juga menjadi Vertegenwoordiger dan Administratie buat biro Manado

Di masa-masa itu, visi beritanya sudah banyak bicara tentang masalah sosial dan persoalan publik. Namun ciri sebagai koran pembawa berita injil masih dipertahankan, lewat pembahasan ayat-ayat Alkitab kendati tidak sedominan di masa-masa awal media ini terbit

Dari sisi bisnis, Tjahaja Siang tumbuh sehat. Dia tidak hidup dari iklan walaupun cukup banyak pemasangnya. Koran ini disokong oleh sirkulasi untuk membiayai ongkos produksi dan operasional lainnya. Tjahaja Siang melegenda, karena menjadi koran kedua setelah Bintang Timoer di Padang yang terbit di luar Jawa, dan koran pertama di Kawasan Timur Indonesia. Di Sulut, mungkin belum ada yang sebesar dirinya, baik kini atau masa datang.

Asia Raja

Asia Raja (Ejaan yang Disempurnakan: Asia Raya) adalah sebuah surat kabar yang diterbitkan di Hindia Timur Belanda (sekarang Indonesia) pada masa pendudukan Jepang.

Koran Asia – Raja ( Asia Raja )

Latar belakang

Saat Kekaisaran Jepang menduduki Hindia Timur Belanda pada tahun 1942, mereka menugaskan sekelompok penulis dan intelektual untuk menyatukan penduduk pribumi; hal ini juga dilakukan di negara lain yang diduduki Jepang. Sekitar 190 orang dalam "Divisi Propaganda" ini, termasuk novelis Tomoji Abe, tiba di Batavia (sekarang Jakarta) pada awal 1942. Di antara upaya mereka adalah pendirian sebuah surat kabar bernama Asia Raja. Surat kabar ini melibatkan pekerja Jepang dan pribumi dalam manajemen dan penerbitannya.

Page 6: Surat Kabar

Sejarah

Edisi pertama Asia Raja, dengan total empat halaman, diterbitkan pada tanggal 29 April 1942. Koran ini diterbitkan setiap hari, kecuali Minggu dan hari libur, namun edisi khusus yang mengulas peristiwa penting bisa diterbitkan kapan saja. Gelombang cetakan pertama sebanyak 15.000 eksemplar terjual dengan harga masing-masing 10 sen Hindia Belanda. Kebanyakan staf editorial pribuminya berasal dari jurnal Berita Oemoem, sebuah terbitan konservatif milik Partai Indonesia Raya (Parindra). Staf lainnya berasal dari kelompok masyarakat yang lebih radikal dan cenderung kekirian.

Pada bulan Februari 1943, biro penyensoran mengeluarkan keputusan bahwa Asia Raja tidak diizinkan lagi terbit empat halaman setiap hari. Karena kelangkaan kertas akibat upaya perang Jepang, surat kabar ini terbit dua halaman setiap harinya, dengan edisi empat halaman seminggu sekali; dewan redaksi juga mengusulkan kenaikan tarif langganan. Kenaikan ini diberlakukan pada Maret 1943. Tahun 1944, biaya tambahan diterapkan untuk membantu membayar gaji pekerja paksa dan tentara Pembela Tanah Air (PETA).

Pada tanggal 12 Maret 1945, Asia Raja mengadakan konferensi meja bundar di Hotel Miyako di Batavia. Sejumlah pembicara dari Gerakan Hidoep Baroe yang dipimpin Soekarno dan Mohammad Hatta mendiskusikan cara memperkuat gerakan kemerdekaan. Para pembicara yang hadir meliputi calon Menteri Luar Negeri Oto Iskandar di Nata dan Maria Ulfah Santoso, serta calon Perdana Menteri Indonesia Sutan Sjahrir. Asia Raja menerbitkan transkripsi lengkap mengenai pertemuan ini selama tiga hari.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Asia Raja terus terbit. Harian ini lebih membahas pemerintahan baru yang dijalankan pribumi dan pengeboman Hiroshima dan Nagasaki.Harian ini terus terbit sampai 7 September 1945, ketika mereka menulis judul besar "Asia Raja Minta Diri" yang serta merta mengakhiri masa terbitnya karena bergantinya pemerintahan.

Hari ini, setiap edisi Asia Raja disimpan dalam bentuk mikrofilm di Arsip Nasional Republik Indonesia.