suppo-101203174024-phpapp01
Transcript of suppo-101203174024-phpapp01
JURNAL PRAKTIKUM
FORMULASI TEKNOLOGI SEDIAAN NON STERIL
SEDIAAN SUPPOSITORIA
BAB I
TINJAUAN FARMAKOLOGI
1.1. Indikasi
Parasetamol umumnya digunakan sebagai analgetik dan antipiretik, tetapi
tidak antiradang. Umumnya dianggap sebagai antinyeri yang paling aman untuk
swamedikasi (pengobatan mandiri). Sebagai analgesik, parasetamol bekerja dengan
meningkatkan ambang rangsang rasa sakit. Sebagai antipiretik, parasetamol diduga
bekerja langsung pada pusat pengatur panas di hipotalamus. Wanita hamil dapat
menggunakan parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air
susu ibu (Tjay dkk., 2008).
1.2. Farmakokinetik
Parasetamol diabsorpsi melalui saluran gastrointestinal dengan konsentrasi
puncak plasma menccapai sekitar 10-60 menit dengan rute per oral. Parasetamol
didistribusikan ke hampir semua jaringan tubuh. Melewati plasenta dan mengalir
melalui air susu. Ikatan protein plasma dapat diabaikan pada konsentrasi terapeutik
normal, namun dapat meningkat dengan peningkatan konsentrasi. Waktu paruh
eliminasi dari parasetamol bervariasi antara 1 hingga 3 jam (Sweetman, 2002).
Pada penggunaan per oral parasetamol diserap dengan cepat melalui saluran
cerna. Kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 30 menit sampai 60
menit setelah pemberian. Parasetamol dimetabolisme dalam hati dan diekskresi
melalui urine sebagai glukoronide dan sulfat konjugasi. Kurang dari 5% diekskresi
sebagai parasetamol. Eliminasi terjadi kira-kira 1-4 jam. Ikatan protein plasma dapat
diabaikan pada konsentrasi normal tetapi dapat meningkat dengan peningkatan
konsentrasi (Reynolds, 1989).
Parasetamol sebagian besar dimetabolisme di hati dan disekresi lewat urin
terutama dalam bentuk glucoronide dan konjugasi sulfat. Kurang dari 5 %
dikeluarkan dalam bentuk tetap parasetamol. Suatu metabolit terhidroksilasi (N-
acetyl-p-benzoquinoneimine), selalu diproduksi dengan jumlah yang sedikit oleh
isoenzim sitokrom P450 (terutama CYP2E1 dan CYP3A4) didalam hati dan ginjal.
Metabolit ini selalu terdetoksifikasi melalui konjugasi dengan glutasion, tetapi dapat
terjadi akumulasi diikuti dengan overdosis parasetamol dan menyebabkan kerusakan
jaringan (Sweetman, 2002).
1.3. Mekanisme Kerja
Parasetamol dapat menurunkan demam dengan bekerja pada hipotalamus
yang mengakibatkan vasodilatasi dan pengeluaran keringat (Turkoski dkk., 2003).
Pada dosis terapeutik, inhibisi sintesis prostaglandin tidak signifikan pada jaringan
peripheral, sehingga parasetamol memiliki efek anti inflamasi yang rendah.
Meskipun parasetamol menginhibisi dengan lemah isolasi cyclo-oxygenase (COX)-
1 dan COX-2 secara in vitro, tetapi bersifat inhibitor kuat dari sintesis prostaglandin
didalam system selular pada saat konsentrasi dari asam arachidonat rendah
(Mashford, 2007).
1.4. Efek Samping
Efek samping jarang terjadi lewat dosis sedang seperti mual, muntah, nyeri
perut, menggigil. Dosis lebih berkepanjangan dapat mengakibatkan neutropenia,
leukopenia, trombositopenia, pensilopenia, agranulositosis, reaksi hipersensitivitas,
udem laring, lesi mukosa, eritemia atau ruam, udem angioneurotik dan demam.
Reaksi hipersensitivitas meliputi gejala urtikaria, disponoea, dan hipotensi, hal ini
dapat terjadi setelah penggunaan parasetamol baik pada dewasa maupun anak-anak.
Juga dilaporkan terdapat angioedema (Sweetman, 2002).
1.5. Kontraindikasi
Penderita dengan gangguan fungsi hati yang berat, gangguan fungsi ginjal,
dan penderita dengan riwayat hipersensitivitas pada parasetamol (Lacy, 2004).
1.6. Peringatan dan Perhatian
Hati-hati penggunaan obat ini pada penderita gangguan fungsi ginjal.
Bila setelah 5 hari nyeri tidak menghilang, atau demam tidak menurun setelah 3
hari, segera hubungi unit pelayanan kesehatan.
Penggunaan obat ini pada penderita yang mengkonsumsi alkohol dapat
meningkatkan resiko kerusakan hati
1.7. Interaksi Obat
Efek analgetis parasetamol diperkuat oleh kodein dan kafein. Pada dosis
tinggi dapat memperkuat efek antikoagulansia tetapi pada dosis biasa tidak
interaktif. Masa paruh kloramfenikol dapat sangat diperpanjang. Kombinasi dengan
obat AIDS zidovudin meningkatkan resiko akan neutropenia (Tjay dkk., 2008).
Pemberian bersama-sama diflusinal mengakibatkan kenaikan konsentrasi plasma.
Resin penukar anion : kolesteramin menurunkan absorbsi parasetamol. Penggunaan
antikoagulan dan parasetamol dalam jangka waktu yang lama mungkin
meningkatkan konsentrasi warfarin. Metoclopramide dan domperidon
metoclopramis mempercepat absorbsi parasetamol (meningkatkan efek) (Anonim c,
2005).
1.8. Penyimpanan
Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya (Anonim a, 1979).
BAB II
SIFAT FISIKA KIMIA BAHAN OBAT
2.1 Tinjauan Sifat Fisiko-Kimia Zat Aktif paracetamol
Definisi :
Acetaminophen mengandung tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari
101,0% C8H9NO2, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan (Depkes, 1979).
Struktur dan Berat Molekul :
Struktur kimia :
(Moffat, 2005).
Berat molekul : 151,16
Pemerian
Hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa pahit(Anonim a, 1979)
Kelarutan :
Parasetamol agak sukar larut dalam air (1 : 70), larut dalam air mendidih (1 :
20), mudah larut dalam alkohol (1 : 7 atau 1: 10), larut dalam aseton (1 : 13),
agak sukar larut dalam gliserol (1: 40), mudah larut dalam propilen glikol (1: 9),
sangat sukar larut dalam kloroform, praktis tidak larut dalam eter, larut dalam
larutan alkali hidroksida (Reynolds, 1989).
Stabilitas :
Terhadap cahaya: Tidak stabil terhadap sinar UV
Terhadap suhu: peningkatan suhu dapat mempercepat degradasi obat
Hidrolisis dapat terjadi pada keadaan asam ataupun basa. Hidrolisis
minimum terjadi pada rentang pH antara 5-7
Titik Lebur :
1690 sampai 1720 (Anonim a, 1979)
2.2 TINJAUAN SIFAT FISIKO-KIMIA BAHAN TAMBAHAN
1. Oleum cacao ( Lemak Coklat )
o Pemerian
Lemak padat, putih kekuningan, bau khas aromatik, rasa khas lemak, agak
rapuh.
o Kelarutan
Sukar larut dalam etanol (95%) P, mudah larut dalam kloroform P, dalam
eter P, dan dalam eter minyak tanah P.
o Kegunaan
Zat tambahan.
o Titik leleh
300-360C
o Indeks bias
1,4564 sampai 1,4575; penetapan dilakukan pada suhu 40°.
o Bilangan asam
tidak lebih dari 4,0.
o Bilangan iodium
35 sampai 40.
o Bilangan penyabunan
188° sampai 196°
(Anonim a, 1979).
Oleum cacao USP, didefinisikan sebagai lemak yang diperoleh dari biji
theobroma cacao yang dipanggang. Secara kimia adalah trigliserida ( campuran
gliserin dan satu atau lebih asam lemak yang berbeda ) terutama
oleopalmitostearin dan oleodistearin. Oleh karena oleum cacao meleleh pada
300-360C merupakan basis supositoria yang ideal, yang dapat melumer padas
suhu tubuh tapi tetap dapat bertahan sebagai bentuk padat pada suhu kamar
biasa. Akan tetapi oleh karena kandungan trigliseridanya oleum cacao
menunjukkan sifat polimorfisme atau keberadaan zat tersebut dalam berbagai
bentuk kristal. Oleh karena itu, bia oleum cacao tergesa – gesa atau tidak hati –
hati dicairkan pada suhu yang melebihi suhu minimumnya, lalu segera
didinginkan maka hasilnya berbentuk kristal metastabil (suatu bentuk kristal)
dengan titik lebur yang lebih rendah dari titik lebur oleum cacao asalnya.
Bahan – bahan seperti fenol dan kloralhidrat cenderung menurunkan titik
lebur dari oleum cacao sewaktu bercampur dengan bahan tersebut. Jika titik
lebur menurun sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi dijadikan
supositoria yang padat dengan menggunakan oleum cacao sebagai basis tunggal,
maka bahan pengeras seperti lilin setil ester ( + 20%) atau malam tawon ( + 4 %
) dapat dilebur dengan oleum cacao untuk mengimbangi pengaruh pelunakan
dari bahan yang ditambahkan.
(Ansel, 1989)
2. Cetaceum (Spermaceti)
o Pemerian
Malam padat murni diperoleh dari minyak lemak yang terdapat pada kepala
lemak dan badan Physeter Catodon L. Hyperoodan costralos Muller
(Billberg). Massa hablur, bening, licin, putih mutiara; baud an rasa lemah.
o Kelarutan
Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol 95% P dingin; larut dalam 20
bagian etanol 95% P mendidih, dalam kloroform P, dalam eter P, dalam
karbondisulfida P, dalam minyak, dan dalam minyak atsiri.
o Bobot jenis
Lebih kurang 0,95
o Suhu lebur
42o sampai 50o
o Bilangan asam
Tidak lebih dari 1,0
o Bilangan iodium
3 sampai 5
o Bilangan penyabunan
125o sampai 136o
o Penyimpanan
Dalam wadah tertutup baik.
o Khasiat dan penggunaan
Zat tambahan
(Anonim a, 1979)
Spermaceti adalah lilin padat yang diperoleh dari kepala paus Sperms (Physeter
catodon L.). Spermaceti mengandung 80%campuran setil palmitat dan setil miristat
dengan perbandingan yang sama. Juga terdapat sejumlah kecil ester dari asam lemak
seperti asam laurat. Spermaceti mengandung 51,5-53% lilin alkohol.
BAB III
BENTUK BAHAN, DOSIS DAN CARA PEMAKAIAN
3.1 Bentuk atau Kekuatan Sediaan
Supositoria adalah suatu bentuk sediaan padat yang berbentuk torpedo,
bentuk ini memiliki kelebihan yaitu bila bagian yang besar masuk melalui otot
penutup dubur, maka supositoria akan tertarik masuk dengan sendirinya (Anief,
2006).
Umumnya, supositoria rectum panjangnya ± 32 mm (1,5 inci), berbentuk
silinder dan kedua ujungnya tajam. Beberapa supositoria untuk rectum diantaranya
ada yang berbentuk seperti peluru, torpedo atau jari-jari kecil tergantung kepada
bobot jenis bahan obat dan habis yang digunakan, beratnya pun berbeda-beda. USP
menetapkan berat supositoria 2 gram untuk orang dewasa apabila oleum cacao yang
digunakan sebagai basis. Sedang supositoria untuk bayi dan anak-anak, ukuran dan
beratnya ½ dari ukuran dan berat untuk orang dewasa, bentuknya kira-kira seperti
pensil. Supositoria untuk vagina yang juga disebut pessarium biasanya berbentuk
bola lonjong atau seperti kerucut, sesuai dengan kompendik resmi beratnya 5 gram,
apabila basisnya oleum cacao. Supositoria untuk saluran urin yang juga disebut
bougie bentuknya ramping seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan ke dalam
saluran urin pria atau wanita. Supositoria saluran urin pria bergaris tengah 3-6 mm
dengan panjang ± 140 mm, walaupun ukuran ini masih bervariasi satu dengan
lainnya. Apabila basisnya dari oleum cacao maka beratnya ± 4 gram. Supositoria
untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya ½ dari ukuran untuk pria, panjang ±
70 mm dan beratnya 2 gram dan basisnya oleum cacao (Ansel, 1989).
3.2 Dosis
Dosis obat yang digunakan melalui rectum mungkin lebih besar atau lebih
kecil daripada obat yang dipakai secara oral, tergantung kepada faktor-faktor seperti
keadaan tubuh pasien, sifat fisika kimia obat dan kemampuan obat melewati
penghalang fisiologi untuk absorpsi dan sifat basis supositoria serta kemampuannya
melepaskan obat supaya siap untuk diabsorpsi (Ansel, 1989).
Bobot supositoria bila tidak dinyatakan lain adalah 3 gram untuk orang
dewasa dan 2 gram untuk anak (Anief, 2006).
Umur Dosis Keterangan
1-5 tahun 125-250 mgTiap 4-6 jam, maks 4x
sehari
6-12 tahun 250-500 mgTiap 4-6 jam, maks 4x
sehari
dewasa 0,5-1 gramTiap 4-6 jam, maks 4x
sehari
BNFC merekomendasikan dosis rektal pada bayi sebagai berikut:
Neonatus usia 28-32 minggu, 20 mg/kg sebagai dosis tunggal, kemudian 15
mg/kg tiap 12 jam bila diperlukan, dengan dosis maksimum 30 mg/kg sehari.
Neonatus usia diatas 32 minggu, 30 mg/kg sebagai dosis tunggal, kemudian 20
mg/kg tiap 8 jam bila diperlukan, dengan dosis maksimum 60 mg/kg sehari.
Bayi usia 1-3 bulan, 30-60 mg tiap 8 jam bila diperlukan, dengan dosis
maksimum 60 mg/kg sehari.
Bayi usia 2-12 bulan, 60-125 mg tiap 4-6 jam bila diperlukan hingga maksimum
4 kali dalam 24 jam.
Anak usia 5-12 tahun, 250-500 mg tiap 4-6 jam bila diperlukan hingga
maksimum 4 kali dalam 24 jam.
Pada gejala yang berat, anak-anak usia 1-3 bulan dapat diberikan 30 mg/kg
sebagai dosis tunggal, kemudian diikuti dengan 20 mg/kg tiap 8 jam hingga
maksimum 60 mg/kg sehari. Anak-anak dengan usia lebih besar dapat diberikan
40 mg/kg dalam dosis tunggal yang diikuti dengan 20 mg/kg tiap 4-6 jam hingga
maksimum 90 mg/kg sehari dalam 48 jam, bila diperlukan, sebelum diturunkan
mencapai 15 mg/kg tiap 6 jam (Sweetman, 2002)
3.3 Cara Pemberian
Pemberian obat parasetamol dengan sediaan suppositoria dengan
memasukkan obat melalui anus atau rektum dalam bentuk suppositoria
Petunjuk pemakaian : Cuci tangan sampai bersih, buka pembungkus suppositoria,
kemudian tidur dengan posisi miring. Supositoria dimasukkan ke rektum dengan
cara bagian ujung supositoria didorong dengan ujung jari, kira-kira ½ - 1 inci pada
bayi dan 1 inci pada dewasa, bila perlu ujung supositoria di beri air untuk
mempermudah penggunaan. Untuk nyeri dan demam satu supositoria diberikan
setiap 4 – 6 jam jika diperlukan. Gunakan supositoria ini 15 menit setelah buang air
besar atau tahan pengeluaran air besar selama 30 menit setelah pemakaian
supositoria.
Hanya untuk pemakaian rektal. Hentikan penggunaan dan hubungi dokter jika
sakit berlanjut hingga 3 hari. Jauhkan dari jangkauan anak-anak. Jika tertelan atau
terjadi over dosis segera hubungi dokter (Monson, 2007)
BAB IV
MACAM-MACAM FORMULASI
4.1. Formula Baku
Formulasi 1
No. 1 No. 2
150 mg 500 mg
I. Paracetamol, fine powder ...............................15.4 g 50.0 g
Aerosil 200 [4] ..................................................0.2 g –
II. Lutrol E 400 [1] ............................................... – 10.0 g
Lutrol E 1500 [1] ...........................................129.0 g 60.0 g
Lutrol E 4000 [1]..............................................55.4 g 80.0 g
(Buhler, 1998)
Formulasi 2
Parasetamol 120 mg
PEG 300 180,8 mg
PEG 4000 723,2 mg
(Reynolds, 1989).
Formula 3
Parasetamol 250 mg
PEG 4000 33%
PEG 6000 47%
Air 20%
(Reynolds, 1989).
Formula 4
Parasetamol (Asetaminofen) 6,25 %
Oleum cacao 95,8 %
Cetaceum 5 %
(Reynolds, 1989).
4.2. Formula yang Digunakan
Parasetamol (Asetaminofen) 6,25 %
Oleum cacao 95,8 %
Cetaceum 5 %
4.3. Permasalahan
1. Sifat karakteristik dari oleum cacao dimana jika pemanasannya tinggi akan
mencair sempurna seperti minyak dan kehilangan semua inti kristal yang stabil
yang berguna untuk memadat, bila didinginkan di bawah 15o akan mengkristal
dalam bentuk kristal metastabil (Anief, 2006).
2. Oleum cacao memiliki kemampuan menyerap air yang rendah
3. Oleum caco cenderung lengket pada cetakan
4. Oleum cacao mudah meleleh dimana titik leburnya 30-36oC
5. Pada pengisian masa supositoria ke dalam cetakan, oleum cacao cepat membeku
dan pada pendinginan terjadi susut volume hingga terjadi lubang di atas masa
(Anief, 2006).
6. Oleum cacao mudah mencair dan menjadi tengik selama penyimpanan.
4.4. Pengatasan Permasalahan
1. Pemanasan oleum cacao tidak boleh melebihi suhu minimumnya. Harus dilebur
perlahan-lahan di atas penangas air berisi air hangat untuk menghindari
terjadinya bentuk kristal yang tidak stabil dan untuk menjamin retensi dalam
cairan dari bentuk kristal β yang lebih stabil sehingga akan membentuk inti
dimana pengentalan mungkin terjadi sewaktu pengentalan cairan tersebut
(Ansel, 2005)
2. Untuk meningkatkan kemampuan oleum cacao dalam menyerap air maka
ditambahkan cetaceum dengan rentang 4-6%
3. Untuk mencegah lengket pada cetakan maka sebelum digunakan cetakan dilapisi
dengan gliserin.
4. Untuk meningkatkan titik lebur oleum cacao dapat digunakan tambahan
cetaceum tidak lebih dari 6% dan tidak kurang dari 4% (Anief, 2006)
5. Pada pengisian cetakan harus diisi lebih, baru setelah dingin kelebihannya
dipotong (Anief, 2006).
6. Oleum cacao harus disimpa pada tempat dingin, kring dan terlindung dari
cahaya (Lachman, 1994)
4.5. Perhitungan Formulasi
Berat Suppositoria = 2 gr
Kadar parasetamol tiap 1 suppositoria = 125 mg = 6,25%
Nilai tukar paracetamol terhadap Oleum cacao = 1,5 (Lachman, 1994)
Dibuat 10 sediaan suppositoria
Parasetamol yang ditimbsng = 10 x 0,125 gram = 1,25 gram
Berat suppositoria = 10 x 2 gram = 20 gram
Nilai tukar parasetamol = 1,5 x 1,25 gram = 1,875 gram
Jumlah oleum cacao yang digunakan = (20-1,875) gram = 18,125 gram
Berat cetaceum = 5% x berat basis yang diperlukan
= 5% x 18,125 gram
= 0,906 gram
4.6. Penimbangan
Tiap penimbangan bahan ditambahkan bobotnya 5% untuk zat aktif dan 10% zat
tambahan.
Bahan FungsiPersentase
(%)
Penimbangan
10 sediaan (gr)
Penambah
an bobot
Penimbangan
akhir (gr)
Parasetamol Zat aktif 6,25 1,25 5% 1,3125
Oleum
cacao
Basis
suppo95,8 18,125 10% 19,9375
CetaceumZat
tambahan5 0,906 10% 0,9966
Ditimbang semua bahan dengan seksama
Dileburkan cetaceum di atas penangas air terlebih dahulu hingga melebur semua
BAB V
PROSEDUR KERJA
5.1. Alat dan Bahan
Alat :
Timbangan
Mortar dan stamper
Gelas ukur
Penangas air
Sendok tanduk
Pipet tetes
Kertas perkamen
Batang pengaduk
Cetakan suppositoria
Gelas beaker
Sudip
Bahan :
Parasetamol
Oleum cacao
Cetaceum
Gliserin
5.2. Cara Kerja
Dimasukkan basis yang telah ditimbang ke dalam cawan yang telah berisi leburan cetaceum dan dilebur kembali sampai semua melebur sempurna pada suhu 300-360C secara perlahan-lahan
Dicampurkan zat aktif parasetamol sedikit demi sedikit ke dalam leburan basis sambil dilakukan pengadukan
Setelah basis dan zat aktif tercampur semua, campuran kemudian dituang kedalam cetakan
Ditunggu hasil tuangan tersebut sampai beku, kemudian dikeluarkan dari cetakan
Supositoria yang sudah beku, ditimbang dan ditentukan bobotnya kemudian dibungkus dengan aluminium foil serta dikemas dalam kotak
BAB VI
EVALUASI SEDIAAN
6.1 Fisika
Uji Kisaran Leleh
Uji ini disebut juga uji kisaran meleleh makro, dan uji ini merupakan
suatu ukuran waktu yang diperlukan supositoria untuk meleleh sempurna bila
dicelupkan dalam penangas air dengan temperatur tetap (370C). Sebaliknya uji
kisaran meleleh mikro adalah kisaran meleleh mikro adalah kisaran leleh yang
diukur dalam pipa kapiler hanya untuk basis lemak. Alat yang biasa digunakan
untuk mengukur kisaran leleh sempurna dari supositoria adalah suatu Alat
Disintegrasi Tablet USP. Supositoria dicelupkan seluruhnya dalam penangas air
yang konstan, dan waktu yang diperlukan supositoria untuk meleleh sempurna
atau menyebar dalam air sekitarnya diukur (Anonim b, 1995).
Uji Pencairan atau Uji Waktu Melunak dari Supositoria Rektal
Sebuah batangan dari kaca ditempatkan di bagian atas supositoria sampai
penyempitan dicatat sebagai waktu melunak. Ini dapat dilaksanakan pada
berbagai temperatur dari 35,5 sampai 370C sebagai suatu pemeriksaan
pengawasan mutu, dan dapat juga diukur sebagai kestabilan fisika terhadap
waktu. Suatu penangas air dengan elemen pendingin dan pemanas harus
digunakan untuk menjamin pengaturan panas dengan perbedaan tidak lebih dari
0,10C (Anonim b, 1995).
Uji Kehancuran
Uji kehancuran dirancang sebagai metode untuk mengukur kekerasan
atau kerapuhan suppositoria. Alat yang digunakan untuk uji tersebut terdiri dari
suatu ruang berdinding rangkap dimana suppositoria yang diuji ditempatkan. Air
pada 370C dipompa melalui dinding rangkap ruang tersebut, dan suppositoria
diisikan ke dalam dinding dalam yang kering, menopang lempeng dimana suatu
batang dilekatkan. Ujung lain dari batang tersebut terdiri dari lempeng lain
dimana beban digunakan. Uji dihubungkan dengan penempatan 600 g diatas
lempeng datar. Pada interval waktu 1 menit, 200 g bobot ditambahkan, dan
bobot dimana suppositoria rusak adalah titik hancurnya atau gaya yang
menentukan karakteristik kekerasan dan kerapuhan suppositoria tersebut. Titik
hancur yang dikehendaki dari masing-masing bentuk suppositoria yang beraneka
ragam ditetapkan sebagai level yang menahan kekuatan (gaya) hancur yang
disebabkan oleh berbagai tipe penanganan yakni; produksi, pengemasan,
pengiriman, dan pengangkutan dalam penggunaan untuk pasien (Anonim b,
1995).
Uji disolusi
Pengujian awal dilakukan dengan penetapan biasa dalam gelas piala
yang mengandung suatu medium. Dalam usaha untuk mengawasi variasi pada
antarmuka massa/medium, digunakan keranjang kawat mesh atau suatu
membrane untuk memisahkan ruang sampel dari bak reservoir. Sampel yang
ditutup dalam pipa dialysis atau membran alami juga dapat dikaji. Alat sel alir
digunakan untuk menahan sampel di tempatnya dengan kapas, saringan kawat,
dan yang paling baru dengan manic-manik gelas (Anonim b, 1995).
Uji keseragaman bobot
Timbang suppo satu persatu dan hitung rata-ratanya. Hitung persen
kelebihan masing-masing suppo terhadap bobot rata-ratanya.
Keseragaman/variasi bobot yang didapat tidak boleh lebih dari 5% (Anonim
b, 1995).
6.2 Kimia
Penetapan kadar
Timbang 300 mg dengan seksama larutkan dalam 8 mL asam sulfat
bebas nitrogen titrasi dengan asam sulfat 0,1 N dengan indikator larutan merah
metil-biru metilen. 1 mL asam sulfat 0,1 N setara dengan 15,116 mg
paracetamol (Galichet, 2004 ).
Identifikasi
Apabila ditambahkan feriklorida→ biru; folin ( reagen ciocatalteu )→
biru; Lieberman test→violet; reagen nessler’s→coklat. Bila 0,1 g dipanaskan
dengan 1 ml asam hidrokloric selama 3 menit kemudian ditambahkan 10 ml air
kemudian didinginkan dan ditambahkan 0,05 ml potassium bikromat 0,02
M→viloet ( Galichet, 2004 ).
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. 2006. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Anonim a. 1979. Farmakope Indonesia Edisi II Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Anonim b. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Ansel C. Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta. UI Press.
Buhler, Volker. 1998. Generic Drug Formulation 2nd Edition. BASF Fine Chemical.
Lachman, L., H. A. Libermen, dan J.L. Kanig. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri, Edisi Ketiga. Jakarta : UI Press.
Lacy, C. F., rt al. 2006. Drug Information Handbook. Ohio : Lexi-comp.
Mashford, M. L. 2007. Theraputic Guidelines: Analgesic, Version 5. Australia : Therapeutic Guidelines Limited.
Moffat, Antony C., MDavid Osselton, dan Brian Widdop. 2005. Clarke’s Analysis of Drug and Poisons. 3rd editions. The Pharmaceutical press.
Monson, K, and A. Schoenstadt. 2007. Acetaminophen Suppository Dosing Chart. (cited 2010 Nov, 26). Available at : http://kids.emedtv.com/
Reynolds, J.E.F. 1989. Martindale The Extra Pharmacopoeia, Twenty-ninth edition. London. The Pharmaceutical Press.
Sweetman, Sean C. 2002. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-Third edition. London Chicago. Pharmaceutical Press.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2008. Obat-Obat Penting. Edisi ke-VI. Jakarta. PT. Elex Media Komputindo.