SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY Ilibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab5/lmm2003-0001... ·...

9
CHAPTER FIVE SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY .- Faculty of Letters English Department THE THREE SIGNIFICANT DJFFERENT ASPECTS OF THE 1995 , , . I FILM OF SCARLET LETTER IN COMPARISON WITH HAWTHORNE'S NOVEL Dalia 0400491093 Karya sastra tulisan, seperti novel, telah lama menjadi inspirasi bagi terna sebuah film. Hal itu dirnungkinkan karena baik novel rnaupun film rnernpunyai beberapa elemen yang sarna seperti rnisalnya, plot, karakterisasi, setting, dan lain sebagainya. Pengadaptasian sebuah karya tulisan rnenjadi film adalah sebuah fenornena yang terus berlanjut. Namun fenornena ini tidak selalu disertai dengan ketepatan dalam penerjemahan karya yang diadaptasi. Banyak orang menjadi kecewa rnisalnya setelah menonton film adaptasi yang temyata berbeda dari karya aslinya. Namun lebih parah lagi ada orang yang tergelincir pada anggapan bahwa sebuah film adaptasi pastilah sama dengan karya

Transcript of SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY Ilibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab5/lmm2003-0001... ·...

  • CHAPTER FIVE

    SUMMARY

    BINA NUSANTARA UNIVERSITY

    .-

    Faculty of Letters

    English Department

    I THE THREE SIGNIFICANT DJFFERENT ASPECTS OF THE 1995 , , .

    I FILM OF SCARLET LETTER IN COMPARISON WITH

    HAWTHORNE'S NOVEL

    Dalia

    0400491093

    Karya sastra tulisan, seperti novel, telah lama menjadi inspirasi bagi terna sebuah

    film. Hal itu dirnungkinkan karena baik novel rnaupun film rnernpunyai beberapa

    elemen yang sarna seperti rnisalnya, plot, karakterisasi, setting, dan lain sebagainya.

    Pengadaptasian sebuah karya tulisan rnenjadi film adalah sebuah fenornena yang terus

    berlanjut.

    Namun fenornena ini tidak selalu disertai dengan ketepatan dalam penerjemahan

    karya yang diadaptasi. Banyak orang menjadi kecewa rnisalnya setelah menonton film

    adaptasi yang temyata berbeda dari karya aslinya. Namun lebih parah lagi ada orang

    yang tergelincir pada anggapan bahwa sebuah film adaptasi pastilah sama dengan karya

  • 67

    aslinya. Hal yang terakhir agak membahayakan, terutama bagi mahasiswa Fakultas

    Sastra, yang akan berhadaban dengan tugas membaca karya sastra.

    Faktanya, seperti disebutkan dalam Workshop Film Adaptasi yang diadakan oleh

    the British Council di Jakarta tanggal 18 April 2002, "adaptation is a new property".

    Artinya bahwa sebuah karya adaptasi a&~lah sebuah karya yang sama sekali b m ,

    dengan pemilik hak cipta yang baru pula. Dengan demikian seseorang tidak dapat

    menghakimi dengan mengatakan bahwa sebuah film adaptasi 'gagal' ketika film itu

    tidak sesuai dengan karya aslinya. Karena -.: kenyataannya, . kebanyakan pembuat film - . - . . . . >,

    lebih peduli dengan lmil d a i film i k setelah jadi daripada sumber aslinya

    (Naremore, 1997, p.21). . ,

    Dengan pengertian atas ha1 tersebut seseorang akan menjadi lebih maklum ketika

    menemukan karya adaptasi yang berbeda dengan karya aslinya, dan akan lebih berhati-

    hati ketika mencoba memahami sebuah karya sastra. Jangan sampai, karena enggan

    membaca, lantas seseorang berpaling dari bacaan tersebut kepada versi filmnya, dan

    akhimya karena versi adaptasi yang berbeda, maka interpretasi terhadap bacaan tersebut

    menjadi salah.

    Namun perbedaan yang timbul dalam sebuah karya adaptasi memiliki alasan

    yang kuat di belakangnya. Beberapa ada yang mengatakaq karena sifatnya sebagai

    'budaya massa', sebuah film cendemng mempertimbangkan unsur komersial maka film

    pun disesuaikan dengan selera pasar. Dan karena perbedaan media yang

    menyampaikannya, novel bersifat visual imaginative sedangkan film bersifat audio

    visual, maka antara keduanya tidak akan pemah mencapai kesamaan.

    Meskipun demikian karya tulis ini tidak mempermasalahkan perbedaan media.

    Sebaliknya perbedaan sifat media tersebut dipandang sebagai kelebihan masing-masing

  • 68

    yang memberikan sifat khas. Terlebil~ lagi karya tulis ini menggunakan Cultural Studies

    sebagai landasan teori denian pendekatan kontekstual.

    Film merupakan salah satu bahasan dalam Cultural Studies. Dalam teori ini, film

    dipandang sebagai teks. Artinya bahwa film itu meskipun tidak berbentuk tulisan namun

    tetap dapat dibaca dan dianalisis seperti halnya ketika menganalisis sebuah novel. Film

    sebagai bagian dari karya populer tidaklah dipandang sebagai karya yang mutunya lebih

    rendah dari novel. Cultural Studies mematahkan anggapan bahwa satu karya lebih agung

    . ,- . tergantung kepada konteksnya. Sebagai contoh film The Scarlet Letter yang di rilis

    tcrhun 1995, dan mempakan bahasan utama &lam , karya tulis ini, dianggap oleh

    beberapa orang sebagai karya 'sampah.'. Meskipun ada juga yang menganggap versi

    iilmnya lebih memperjelas isi novelnya, namun lebih banyak lagi yang menganggap

    bahwa film ini adalah 'pelecehan' terhadap karya sastra klasik.

    Berdasarkan fakta tersebut karya tulis ini bemsaha memberikan pemahaman

    dengan cara mengangkat perbedaan yang mendasar antara novel dan film, sekaiigus

    mencari kaitannya dengan konteks budaya masing-masing. Penemuan keterhubungan

    inilah yang akan menjelaskan alasan mengapa film tersebut berbeda dengan karya

    Penelitian mendapatkan bahwa film The Scarlet Letter memiliki kaitan dengan

    tujuh mitos yang paling populer di Amerika. Ketujuh mitos itu adalah the myth of

    educational empowerment (mitos pemberdayaan pendidikan), yang artinya bahwa orang

    Amerika percaya pendidian yang dikombinasikan dengan kerja keras akan mernbawa

    pa& keberhasilan. Kedua, the myti1 of model family (mitos keluarga teladan) ,

    maksudnya bahwa di Amerika kelwga mempunyai peranan yang penting. Bahkan sejak

  • 68

    yang memberikan sifat khas. Terlebil~ lagi karya tulis ini menggunakan Cultural Studies

    sebagai landasan teori dengan pendekatan kontekstual.

    F i merupakan salah satu bahasan dalam Cultural Studies. Dalam teori h i , film

    dipandang sebagai teks. Artinya bahwa film itu meskipun tidak berbentuk tulisan namun

    tetap dapat dibaca dan dianalisis seperti halnya ketika menganalisis sebuah novel. Film

    sebagai bagian dari karya populer tidaklah dipandang sebagai karya yang mutunya lebih

    rendah dari novel. Cultural Studies mematahkan anggapan bahwa satu karya lebih agung

    tahun 1995, clan merupakan bahasan utama dalam karya tulis ini, dianggap oleh

    beberapa orang sebagai karya 'sampah.'. Meskipun a& juga yang menganggap versi

    fdmnya lebih memperjelas isi novelnyq namun lebih banyak lagi yang menganggap

    bahwa film ini adalah 'pelecehan' terhadap karya sastra klasik.

    Berdasarkan fakta tersebut karya tulis ini berusaha memberikan pemahaman

    dengan cara mengangkat perbedaan yang mendasar antara novel dan film, sekaligus

    mencari kaitannya dengan konteks budaya masing-masing. Penemuan keterhubungan

    inilah yang akan menjelaskan alasan mengapa film tenebut berbeda dengan karya

    aslinya.

    Penelitian mendapatkan bahwa f i The Scarlet Letter memiliki kaitan dengan

    tujuh mitos yang paling populer di Amerika. Ketujuh mitos itu adalah the myth of I educational empowerment (mitos pemberdayaan pendidikan), yang artinya bahwa orang Amerika percaya pendidikan yang dikombinasikan dengan kerja keras akan membawa pada keberhasilan. Kedua, the myth of model family (mitos keluarga teladan) , maksudnya bahwa di Amerika keluarga mempunyai peranan yang penting. Bahkan sejak

  • 69

    dahulu peran ayah dalam keluarga sangat dominan. Namun, seiring berjalannya waktu

    hcluarga A~nel.ika mcn,jadi lebil~ demobatis dan setiap anggota keluarga menjadi lebih

    mantliri. Ketiga, /he ri?;ll7 qjgentkr (mitos gender). Dalam mitos ini terdapat pembedaan

    aniara pria dan rvanita tlalam pandangan mengenai kemampuan dan kesempatan. Dalam

    scjarahnya mitos ini seringkali mengarah pada penempatan wanita sebagai anggota

    masyarakat nomor dua, sehingga menimbulkan berbagai gerakan ferninisme di Amerika. I

    1 Selanjutnya yang keempat, adalah the myth of melting pot. (mitos wa&h peleburan) Dalam mitos ini Amerika digambarkan sebagai . tempat bersatunya berbagai macam

    - . . . . ... , ,: . . .. i budaya yang dibawa oleh para imigan. Namun dalam praktiknya, semangat persatuan

    yang ingin dititnbulkan tidak terlalu berjalan lancar. Masih banyak masyarakat Amerika , J .

    yang berkelompok-kelompok dan lneniinbulkan masalah rasisme. Kini mitos ini telah

    diganti dengan konsep "&lad bowQ' yang secara harfiah berarti 'mangkuk salad'.

    Konsep yang balu itu leb~h memberikan kesempatan kepada berbagai macam bu&ya

    yang atla di Amerika untuk berkembang dan memperkaya budaya Amerika tanpa

    ~neninggalkan ciri khasnya masing-masing. Kelima, the myth of individual opportunify

    (mitos kesempatan individu), dari namanya jeias mitos ini ingin menunjukkan kekuatan

    dan kesempatan individu yang ada di Amerika. Orang Amerika khususnya diabad ke dua

    puluh percaya bal~wa kesuksesan scseorang ditentukan oleh dirinya sendiri , bukan oleh

    masyarakat. Keenam, tlza m.~tl7 of progress (mitos kemajuan). Sejak &hulu Amerika

    dipandang sebagai tanah impian yang menjanjikan keberhasilan. Namun keberhasilan itu

    tidak lepas dari aclanya kekayaan alam, sumber &ya, serta teknologi yang

    mendukungnya. Terakl~ir the n1,vth of freedom (mitos kebebasan), mitos ini

    menyampaikan semangat kebehasan yang diinspirasikan dari suku asli Amerika, yaitu

  • 70

    Indian, yang menganggap bahwa setiap manusia adalah sama, baik wanita, pria, anak-

    anak maupun orang tua. ~ l r e k a semua adalah makhluk yang bebas secara personal.

    Ivlitos yang atla dan berkembang di Amerika tersebut tentu saja mempengamhi

    pola pikir dan tingkah laku masyarakat dan lembaga yang a& di negara itu. Hollywood

    meiupaknn salah sahl industri tli iimzrika yang mempakan industri film terbesar di

    dunia. Sebagai bagian dari budaya .4merika, Hollywood selalu menyampaikan simbol

    yang erat kaitamya dengan mitos yang ada. Pertama bahwa Holywood mempakan

    symbol kesuksesan. Simbol +i berkaitan d e n g v . .. .. , the ttiyth of individual opportuniw. - . .

    . ' ' '," ,I{- ,; Dalam praktiknya? sirnbol ini digilmbnrkanrkebagai kombinasi antara uang dan seks.

    Hollywood juga me~upakan simbol dunia khayal yang ada kaitannya dengan the myth of . , .

    progress, di lnana Amerika digambarkan sebagai the "New Eden". Maka, demikian juga

    Hollyw-ood yang dianggap sebagai tempat di mana segalanya mungkin terjadi. D a h

    penampilamya banyak film Hollywootl yang memunculkan akhu cerita bahagia dan

    kemenangan tokoh uiamanya. Hollywood sering pula menjadi simbol individualitas

    yang masih berkaitan dengan the tnyth individual opportuniq dun the myth of freedom.

    Sebagai rwjud dnri sirnbol ini adalnh cerita dengan tema'cinderella'di mana yang lemah

    dengan usaha individual pasti akan mencapai apa yang diimpikan. Selain itu

    individualitas juga ditarnpilkan dalam bentuk adanya kebebasan personal tokoh cerita.

    Selanjutnya, Hollywood mempakan simbol peningkatan &n kemajuan, maka di

    Hollywood optimisme menjadi doininan. Hal ini berkaitan dengan the myth of progress

    yang menggambarkan Amerika sebagai tempat yang indah. Melalui simbol ini,

    Hollywood selalu be~usaha memunculkan keindahan serta kemajuan Amerika. Dan, I Hollywootl dalain pantlimgan secara umum merupakan simbol persamaan bagi semua

    i I

    I i

  • 71

    01-nng. Dalam nil i , IIollywood selnlu bemsaha rnenyarnpaikan konsep bahwa setiap

    ornrlg boleh berharap. hareh setiap orang sama dalam ha1 kesempatan.

    Dalam film TIE S c ~ ~ r l e t Letter. pengadopsian rnitos dan simbol Hollywood

    I tergambar dalam tiga perbedaan mendasar yang membedakan film ini dari novelnya. Pe~tarna aspek ferninisme kuat yang digarnbarkan pada karakter Hester Prynne. Berbeda

    dengnn di novelnya, di film, 13ester Prynne terlihat lehih mandiri dan percaya diri, lebih

    teguh pendirinnnya dan kritis terhadap keadaan sekelilingnya. Hal itu mempakan ha1

    yang luar biasa untuk seorang wanita yang ..: hidup ,. di jamannya. Maka jelas bahwa . . .~ . . .-,. .i ,,

    penggarnbaran karakter Hester Prynne yang hetigarah'l>ada feminisme dipengaruhi oleh

    rnitos dan simbol yang ada di Arnerika dan Hollywood saat film itu dibuat. Dalam ha1 . > .

    ini karakter Hester P~ynne dipengaiuhi oleh tlze mnytl~ of individual opportunily, the myth

    oj'gencler, don the myth of educational en~powerment. Selain itu karakter Hester prynne

    dipeng'aruhi oleh simbol kesuksesan clan kebebasan di Hollywood.

    Kedua, The Scarlet Letter lebil~ menonjolkan aspek romantis dan erotis. Banyak

    sekali adegan yang rnenggambarkan kedua ha1 tersebut yang tidak ada samasekali di

    novelnyn. Beberapa adegan yang sama dengan di novel pun tetap digambarkan berbeda

    dengan aslinya, dalam arti ditambahkan bumbu erotis dan romantis. Perbedaan paling

    jelas dalam aspek ini adalnh bahwa di novel pemyataan cinta antara Dimsdale dan

    EIester tidak peinah disa~npaikan secara teixurat, sedangkan di filmnya pemyataan cinta

    dikemukan dengari jelas rnelalui kata-kata dan tindakan. Kedua aspek ini jelas

    dipengaiuhi ole11 the nytl7 offee'lom serta sirnbol dunia khayal clan simbol kesuksesan

    Hollywood, di nlana romaniisme clan erotismc menjadi salah satu bagiannya.

    Ketiga, aspek suku asli hnc~-ikn atau Indian. Di dalam novelnya isu Indian sama

    sckali tidak ditampilkan, namun di film, aspek ini n~enjadi bagian cerita yang penting.

  • i Sejak nwal di~nulainya film, isu mengenai Indian inilah yang mengawali dan terus

    1:. mewamai cerita san~pai akhir. Hal ini dipzngaruhi oleh beberapa mitos yang

    berhubungan dengan Indian itu sendiri seperti the ntyth of.freedom. Seperti diketahui

    konsep 'freedom' yang tlianut orang Amerika didhami oleh konsep Indian. Selain itu

    aspek ini juga dipengaluhi oleh the nig~tl? ofprogress yang banyak berbicara mengenai

    I . . alam d m sumber dayanya. Film ini bemsaha menyampaikan bahwa Indian banyak

    berjasa dalam sejarah Amerika dan banyak pula nilai-nilai mereka yang digunakan orang

    w- Anerika sekarang. Msalnya, pandangan . . - orang . . .~ Indian terhadap agama. Orang Indian . . .~ . . , ,, : :: ,- .

    Z'. - . menganggap bahwa manusia tidak dapat inenentukan atau berbicara atas nama Tuhan.

    Hal itu juga terdapat d;~lam film ntelalui kalimat terakhir yang muncul: "who is to say, . # .

    I:': what is a sin in God's eye." (Siapa yang dapat mengatakan, apa yang Tuhan pandang

    r sebagai dosa?)

    Jika berpegang pada alur cerita, film The Scarlet Letter hampir dapat dikatakan

    tidak sama dengan novelnya. Terlebih lagi akhir ceritanya, yaitu &lam novel salah satu

    tokoh utamanya,yaitu I )imsdale, meninggal sedangkan di film ia hidup bahagia bersama

    Elester Prynne, kekasilmya. Namun dari semua perbedaan yang ada ketiga ha1 diataslah

    yang paling signifikan. Dari perbandingan antara keduanya jelaslah bahwa secara

    umum perbedaan yang ada di film di antaranya dipengaruhi oleh berbedanya zaman

    ant;lra ketika novelnya ditulis dan tahun dibuatnya film tersebut. Filmnya sangat

    dipengaruhi oleh mitos budaya, sunnhol Hollywood dan isu yang berkembang di Amerika

    pada abad dua pululian. Hal lain seperti pemenuhan pasar dan ldoallemo pombuat 82m

    pun turut berperan.

    Bagaimanapun baik novel maupun film mempunyai kekuatan masing-masing.

    Melalui berbagai perumpaniaan, Hawthorne telah menjadikan The Scarlet Letter sebagai

  • 73

    suatu karya yang indah. Sedangkan perbedaan yang ~nuncul di film, meskipun

    me~upakan rekaan tambahan si pembuat, tetaplah membantu dalam upaya memahami

    dan memperkaya isi cerita. Maka dari itu hendaknya para kritikus tidak cepat-cepat

    mcnyimpulkan balria sebuah film adaptaui yang berbeda dari teks aslinya adalah sebuah