Sumber: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 1 ...

31
Edisi Cetak Lepas Versi Digital ISSN: 0852-8489 Gerakan Sosial dalam Aksi Penyelenggaraan Sekolah untuk Anak Miskin Penulis: Abdi Rahmat Sumber: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 1, Januari 2014: 27-56 Dipublikasikan oleh: Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI Jurnal Sosiologi MASYARAKAT diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Email: [email protected] ; [email protected] Website: www.journal.ui.ac.id/jsm SK Dirjen Dikti Akreditasi Jurnal No. 80/DIKTI/Kep/2012 Untuk mengutip artikel ini: Rahmat, Abdi. 2014. “Gerakan Sosial dalam Aksi Penyelenggaraan Sekolah untuk Anak Miskin.” Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 1, Januari 2014: 27-56.

Transcript of Sumber: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 1 ...

Edisi Cetak Lepas Versi Digital ISSN: 0852-8489

Gerakan Sosial dalam Aksi Penyelenggaraan Sekolah untuk Anak Miskin

Penulis: Abdi Rahmat

Sumber: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 1, Januari 2014: 27-56

Dipublikasikan oleh: Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI

Jurnal Sosiologi MASYARAKAT diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Email: [email protected]; [email protected] Website: www.journal.ui.ac.id/jsm

SK Dirjen Dikti Akreditasi Jurnal No. 80/DIKTI/Kep/2012

Untuk mengutip artikel ini: Rahmat, Abdi. 2014. “Gerakan Sosial dalam Aksi Penyelenggaraan Sekolah untuk Anak Miskin.” Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 1, Januari 2014: 27-56.

Gerakan Sosial dalam Aksi Penyelenggaraan Sekolah untuk Anak Miskin

A b d i R a h m a tJurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

Email: [email protected]

Abstrak

Artikel ini menunjukkan arti penting peran civil society dalam penyelenggaraan sekolah untuk anak miskin yang dilihat dalam konteks struktur sosial masyarakat dan kebijakan negara. Selama ini, penyelenggaraan sekolah untuk anak miskin oleh kalangan civil society organisation (CSO) di Indonesia lebih sering dipahami sebagai fenomena mikro persekolahan yang terlepas dari konteks struktur sosial yang lebih luas. Apa yang mereka lakukan sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari konteks struktur makro tersebut. Untuk itu, argumen utama tulisan ini menggunakan kerangka konsep gerakan sosial yang menekankan dinamika aktor CSO dan penyelenggaraan pendidikan dalam menghadapi persoalan kemiskinan struktural yang terjadi. Pada bagian awal tulisan ini menguraikan beberapa dimensi gerakan sosial dalam penyelenggaraan sekolah untuk anak miskin yang menjadi karakteristik CSO tersebut. Argumen tulisan akan diakhiri dengan uraian mengenai peluang untuk pengembangan dan keberlanjutan gerakan CSO tersebut. Artikel ini berangkat dari hasil riset kualitatif yang menggunakan studi kasus sebagai strategy of inquriy. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, pengamatan, dan studi dokumen dan dianalisis dengan analisis data kualitatif yang diperkaya dengan studi literatur yang ekstensif.

Abstract

This article shows the importance of civil society in the implementation of a school for poor children that are seen in the context of the social structure and state policies. During this time, the implementation of the school for poor children—done by the civil society organization (CSO) in Indonesia—is often understood as a micro phenomenon regardless of the context of broader social structures. What they do in fact can not be separated from the context of the macro structure. To that end, the main argument of this paper using the framework of the concept of social movement that emphasizes the dynamics of CSO actors and providing education in the face of structural poverty problems that occur. In the early part, this paper outlines some of the dimensions of social movements in the implementation of the school for poor children that are cha-racteristic of the CSO. Arguments will end with a description of the opportunities for the development and sustainability of the CSO movement. This article departs from the results of a qualitative research using case study as a strategy of inquriy. Data were collected through interviews, observation, and study of documents and analyzed with qualitative data analysis is enriched by an extensive literature study.

Kata kunci: civil society, civil society organisation/CSO

28 | A B D I R A H M A T

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

PE N DA H U LUA N

Ada banyak keterlibatan masyarakat dalam pendidikan. Lebih khusus lagi keterlibatan masyarakat dalam menyediakan layanan pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin. Hanya saja, penyelenggaran pendidikan alternatif oleh kalangan civil society ini terlihat masih berjalan sendiri-sendiri, sehingga potensi daya dukung dari banyak kalangan sering kurang bisa dioptimalisasi, terlebih bila ada agenda atau isu yang harus disuarakan di ruang publik sering menjadi tidak terdengar (lihat Rahmat, dkk 2007).

Potensi berserak civil society penyelenggara pendidikan alternatif ini tentu dapat berdampak pada optimalisasi pelayanan mereka baik dari sisi kuantitas maupun kualitas (Rahmat dkk 2007). Dari sisi isu dan agenda, sebenarnya kepedulian civil society tersebut dapat menjadi alasan atau potensi untuk diperjuangkan bersama secara sistematis, terorganisasi, dan berkelanjutan. Sesungguhnya isu pendidikan—ter-utama untuk kalangan masyarakat lapis bawah—sudah menjadi ke-pedulian masyarakat dunia.

Di sisi lain, selama ini, aksi pelayanan dan pemberdayaan yang dilakukan civil society sering dilihat atau dikaji tidak dalam konteks struktur yang lebih makro. Banyak studi tentang mereka lebih sering mengkaji aspek-aspek mikro pengelolaan sekolah untuk anak miskin, seperti proses belajar mengajar (Suminar 2005; Hendriani 2005), pengembangan kurikulum, pengembangan keterampilan hidup (Kusmiadi 2000; Mulyadi 2005), manajemen sekolah (Dedi 2005; Suharno 2005; Agung 2007) dan beberapa aspek mikro sosial lainnya seperti pola orientasi pendidikan anak pada keluarga miskin (Mustafa 2004). Oleh karena itu, mereka seolah seperti aktor yang bekerja di ruang sosial atau komunitas mereka sendiri yang terasing dari konteks kebijakan pendidikan, ekonomi masyarakat apalagi politik nasional.

Padahal, penyelenggaraan sekolah untuk anak miskin yang dilakukan civil society organisation (selanjutnya disingkat CSO) tidak bisa dilepaskan dari konteks struktur makro baik sosial, ekonomi, maupun politik. Apa yang mereka lakukan sebenarnya berangkat dari konteks persoalan kemiskinan struktural dan kebijakan negara. Karena itu, aksi mereka dalam studi ini dilihat sebagai aksi dari aktor sosial dalam konteks struktur sosial yang lebih luas. Untuk memahami hal tersebut konseptualisasi teori gerakan sosial dapat membantu melihat apa yang mereka lakukan dalam konteks struktural. Gerakan sosial

G E R A K A N S O S I A L A K S I P E N Y E L E N G G A R A A N S E K O L A H | 29

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

yang dimaksud di sini tampaknya lebih dekat dengan konseptualisasi gerakan sosial baru (new social movement).

Gerakan sosial baru merujuk pada suatu konsepsi yang membedakannya dengan konsep gerakan sosial yang lama di mana gerakan sosial lama cenderung politis, melibatkan aksi massa serta berorientasi kelas. Gerakan sosial baru cenderung dipahami sebagai gerakan yang cenderung kultural, tidak melibatkan aksi massa, lebih dekat dengan issu sehari-hari, dalam hal ini adalah kesempatan mengenyam pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin (Larana ed. 1994; Johston dan Klandermans 1995; Pichardo 1997).

Aksi penyelenggaraan sekolah untuk anak miskin menjadi menarik untuk dikaji sebagai aksi gerakan sosial. Karena itu, artikel ini bermaksud mendeskripsikan keterlibatan CSO dalam penyelenggaraan sekolah bagi anak-anak miskin yang akan diuraikan berdasarkan dimensi-dimensi konsep gerakan sosial, antara lain: konteks gerakan, aktor, organisasi gerakan, dan model aksi gerakan. Kemudian, artikel ini mencoba menawarkan arah pengembangan aksi CSO dalam penyelenggaraan pendidikan anak miskin agar bisa lebih efektif dan berkelanjutan.

M E TODE PE N E L I T I A N

Artikel ini berangkat dari hasil penelitian yang mengunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan studi kasus sebagai strategy of inquiry. Kasus yang diangkat adalah empat CSO di Jakarta dan sekitarnya, yaitu PKBM (pusat Kegiatan Belajar Mengajar) Harapan Mandiri, Sekolah Masjid Terminal (Master) Bina Insan Mandiri, Yayasan Remaja Masa Depan, dan Sekolah Smart Ekselensia Dompet Dhuafa. Informan dalam penelitian adalah tiga orang (pimpinan, pengelola, dan guru senior) dari masing-masing CSO. Pemilihan tiga informan dimaksudkan juga sebagai strategi validasi data, sedangkan teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah wawancara mendalam yang didukung dengan pengamatan dan studi terhadap dokumen. Kemudian, riset pustaka dilakukan secara ekstensif untuk mendapatkan pemahaman yang lebih menyeluruh terhadap data yang telah dikumpulkan.

30 | A B D I R A H M A T

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

PE N DI DI K A N A NA K M ISK I N: DA R I CI V I L SOCI E T Y H I NG G A GE R A K A N SOSI A L BA RU

Penyelenggaraan pendidikan untuk anak miskin dapat dilihat dengan menggunakan kerangka konsep civil society dan gerakan sosial. Civil society sebagai aktor penyelenggaran pendidikan dipahami dalam kerangka fikir berikut. Civil society sendiri dipahami dari dua perspektif. Perspektif pertama memahami civil society sebagai ruang sosial (civic sphere) di luar negara dan pasar tempat anggota-anggota masyarakat melakukan aktualisasi diri untuk kepentingan anggota-anggota masyarakatnya. Penekanan pada posisi di luar negara dan pasar di sini terlihat ingin menunjukkan kemandirian aktifitas kolektif masyarakat tersebut dari pengaruh dan kepentingan kekuasaan politik serta kepentingan pemodal besar (Foley dan Edward 1996; Cohen dan Arato 1997; Culla 1999; Hikam 1999; Chendooke 2001; Wollstein dan Koch 2008; Edwards 2011).

Perspektif kedua melihat civil society sebagai aktor sosial di dalam ruang civil society tersebut yang relatif terorgnisasi dan mandiri dari pengaruh negara dan pasar yang bekerja untuk kepentingan masya-rakat luas atau kelompok-kelompok dalam masyarakat (public goods). Mereka dicirikan sebagai kelompok yang mandiri, voluntaristik, dan tidak berorientasi profit (Rahmat 2003; Morris 2000). Dalam penger-tian sekolompok masyarakat tersebut, civil society diidentifikasi sebagai civil society organisation (CSO).

Sementara itu, konseptualisasi gerakan sosial baru merujuk pada suatu konsepsi yang membedakannya dengan konsep gerakan sosial yang lama di mana gerakan sosial lama cenderung politis, melibatkan aksi massa serta berorientasi kelas. Gerakan sosial baru cenderung dipahami sebagai gerakan yang cenderung kultural, tidak melibatkan aksi massa, lebih dekat dengan isu sehari-hari, dalam hal ini adalah kesempatan mengenyam pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin (Larana ed. 1994; Johston dan Klandermans 1995; Pichardo 1997; Porta dan Diani 2006).

C SO PE N Y E L E NG G A R A PE N DI DI K A N U N T U K A NA K M ISK I N

Ada empat CSO yang menjadi kasus dalam studi ini, yaitu Yaya-san Remaja Masa Depan (RMD), PKBM Harapan Mandiri, Sekolah

G E R A K A N S O S I A L A K S I P E N Y E L E N G G A R A A N S E K O L A H | 31

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

Masjid Terminal (Master), dan Sekolah Smart Ekselensia Dompet Dhuafa.

1. Yaya san Remaja Masa Depan (R MD)

Yayasan Remaja Masa Depan (RMD) menyelenggarakan sekolah dan pendidikan untuk anak-anak miskin. RMD berdiri tahun 2001. Awalnya, mereka menyelenggarakan program kesetaraan paket B dan Paket C. Namun, sejak dua tahun terakhir (2012) RMD tidak lagi menyelenggarakan program kesetaraan, melainkan menggantinya dengan bimbingan belajar gratis. RMD mengintegrasikan penyelenggaraan pendidikan ini dengan beberapa program pemberdayaan lainnya yang terkait. Program tersebut adalah panti asuhan yang dimaksudkan agar anak-anak dari keluarga yang tak mampu dan berkeinginan melanjutkan sekolah tapi tempat tinggalnya jauh dapat bersekolah di RMD. Program lainnya adalah modal bergulir di mana di antara kelompok sasarannya adalah para orang tua dari siswa-siswa RMD.

2 . PK BM Harapan Mandir i

PKBM Harapan Mandiri adalah penyelenggara program pendidikan kesetaraan berupa PAUD, Paket A, Paket B, dan Paket C. PKBM Harapan Mandiri terletak di Kelurahan Meruyung, Kecamatan Limo, Kota Depok. PKBM Harapan Mandiri berdiri sejak 1 Juli 2002 di bawah naungan Yayasan Harapan Mandiri Depok. Dari awal berdiri sampai sekarang (2013), ada sekitar 1000 orang yang mengikuti program paket C, 600-an orang paket B, dan 250-an orang paket A di PKBM Harapan Mandiri. Sementara itu, para pengajar—biasa disebut tutor—berjumlah empat belas orang yang hampir semuanya adalah sarjana S1. Mereka umumnya adalah para guru yang terpanggil untuk mendarmabaktikan kemampuannya untuk melayani anak-anak yang tak terjangkau pelayanan sekolah formal.

32 | A B D I R A H M A T

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

3 . Sekolah Maste r (Mas j id Terminal)

Sekolah Master adalah penyelenggara sekolah alternatif bagi anak-anak marjinal di Depok, khususnya anak-anak di sekitar terminal bus Depok. Sekolah Master berdiri pada tahun 2000 dan mendapat legalitas tahun 2006. Sekolah Master menyelenggarakan pendidikan kesetaraan berupa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), paket A setara SD, paket B setara SMP, Paket C setara SMA, SMP Terbuka, dan SMA Terbuka. Di samping pendidikan kesetaraan, Sekolah Master membekali siswanya dengan berbagai keterampilan, seperti desain grafis, sablon, melukis, dan musik.

Sekolah Master dikelola oleh Yayasan Bina Insan Mandiri (BIM). Yayasan BIM ini dikelola oleh pendiri awal yaitu Nurrohim, tokoh utama sekolah Master, dan para pengurus Ikatan Remaja Masjid Al-Muttaqien (Ikrama) Masjid Terminal Depok. Para tutor pun kebanyakan dari pengurus Ikrama tersebut serta relawan mahasiswa dari perguruan tinggi di sekitar Depok.

4 . Sekolah Smar t Ekse l en s ia

Sekolah Smart Ekselensia dikelola secara mandiri di bawah organisasi Dompet Dhuafa. Dompet Dhuafa sendiri merupakan sebuah lembaga penggalang filantrofi Islam yang sudah cukup dikenal secara nasional bahkan internasional. Sekolah Smart Ekselensia, berdiri sejak tahun 2003, merupakan sekolah SMP dan SMA berasrama dengan siswanya adalah anak-anak dari keluarga tidak mampu (fakir atau miskin) yang mempunyai kemampuan kecerdasan yang baik dari berbagai dari daerah di Indonesia. Sekolah Smart Ekselensia menggunakan program akselerasi yang hanya membutuhkan waktu lima tahun untuk menyelesaikan program pendidikan di tingkat SMP dan SMA. Setiap tahunnya diterima sekitar 35 sampai 40 orang yang dibagi menjadi dua kelas. Uraian secara ringkas profil keempatnya yang terangkum dalam tabel 1:

G E R A K A N S O S I A L A K S I P E N Y E L E N G G A R A A N S E K O L A H | 33

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

Tabel 1. Profil Ringkas CSO

Harapan Mandiri

Master RMD Smart

Konsep Sekolah Sekolah malam Sekolah alternatif, program kesetaraan, sekolah terbuka, ada asrama

Sekolah formal, program kesetaraan, Bimbel, ada panti asuhan

Akselerasi (SMP-SMA 5 thn), berasrama

Biaya sekolah Murah (paket c 20.000)

Gratis (iuran) Murah (paket c 30.000), Bimbel gratis

Gratis

Kelompok sasaran

Anak miskin komunitas

Anak miskin, anak jalanan komunitas & sekitar

Anak miskin, anak jalanan komunitas & sekitar

Anak miskin cerdas nasional

Pembekalan khs

Ketrampilan usaha (inti plasma anggrek)

Ketrampilan usaha

Kebanggaan sekolah formal

Kreatifitas & kecerdasan

Pengelola/pengajar

Guru-guru pengurus Yayasan

Relawan Mahasiswa

Relawan, mahasiswa

Guru profesional

Sumber: diolah dari data lapangan (2010 & 2013)

PE R M A S A L A H A N S T RU K T U R A L PE N Y E L E NG G A R A A N PE N DI DI K A N SEBAG A I KON T EK S GE R A K A N

Aksi penyelenggaraan sekolah oleh keempat CSO dalam riset ini berangkat dari keprihatinan mereka terhadap permasalahan struktural di lingkungan mereka yang menimpa anak-anak dari keluarga miskin yang tidak mampu melanjutkan sekolah. Menurut mereka, pendidikan secara konstitusional adalah hak anak-anak tersebut. Hal ini dipandang disebabkan oleh struktur makro di tingkat nasional. Keprihatinan ini mendorong CSO melakukan aksi penyelenggaraan sekolah untuk anak-anak tersebut.

Jumlah anak putus sekolah menurut aktor-aktor CSO tersebut begitu memprihatinkan. Persoalan ini terjadi di lingkungan komunitas mereka, kecuali Sekolah Smart yang memang melihat persoalan sekolah anak-anak dhuafa adalah masalah nasional. Harus diakui angka putus sekolah memang cukup tinggi. Semakin

34 | A B D I R A H M A T

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

tinggi level sekolah semakin tinggi pula anak-anak yang tidak melanjutkan pendidikan mereka. Hal ini dapat dilihat dari data angka partisipasi kasar (APK) anak usia sekolah pada tabel 2. Data tersebut menunjukkan ada sekitar 15% anak usia SMP dan 40% anak usia SMA yang tidak melanjutkan sekolah. Anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah ini umumnya disebabkan oleh masalah ekonomi yang menimpa keluarga mereka. Artinya, secara umum, persoalan kemiskinanlah yang menyebabkan anak-anak tersebut tidak bisa sekolah. Studi penulis sebelumnya menunjukkan sekitar 75% warga belajar paket B dan Paket C yang diselenggarakan PKBM-PKBM di Depok dan Kabupaten Bogor disebabkan oleh kondisi ekonomi orang tua mereka (Rahmat dkk 2007).

Tabel 2. Angka Partisipasi Kasar (APK) Tahun 2006-2009

Jenjang Tahun Jumlah (%)SMP/Mts 2006 81,87SM/MA 2006 56,69SMP/Mts/Â Paket B 2007 86,37SM/MA/Â Paket C 2007 59,46SMP/Mts/Â Paket B 2008 86,86SM/MA/Â Paket C 2008 59,06SMP/Mts/Â Paket B 2009 81,25SM/MA/Â Paket C 2009 62,55

Sumber: BPS-RI Susenas 2003-2009

Kondisi kemiskinan ini dipandang oleh kalangan CSO disebabkan oleh struktur makro yang melingkupi lingkungan mikro mereka. Kemiskinan struktural secara konseptual dipahami sebagai kondisi kemiskinan yang diakibatkan oleh ketimpangan yang terjadi dalam relasi-relasi sosial dalam masyarakat terutama akibat kebijakan dari penguasa yang melahirkan struktur yang timpang. Sebagaimana disampaikan Amartya Sen, kemiskinan terkait dengan kesempatan yang minim yang tersedia bagi orang miskin untuk meningkatkan kualitas hidupnya (lihat Sen 1999; Turner 2006:463-4; Bredshaw 2006:10). Hal berbeda dikonseptualisasikan dalam kemiskinan kultural di mana kemiskinan disebabkan oleh ketidakmampuan individu serta karena adanya budaya dan tradisi masyarakat yang menghambat (Turner 2006; Bredshaw 2006:10). Asumsi Kemiskinan kultural ini ditolak oleh kalangan CSO dalam riset ini yang memandang bahwa masyarakat Indonesia sesungguhnya mempunyai

G E R A K A N S O S I A L A K S I P E N Y E L E N G G A R A A N S E K O L A H | 35

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

etos pekerja keras. Namun, karena struktur pekerjaan yang ada tidak memungkinkan mereka bisa mengakses pada pekerjaan yang layak. Terlebih lagi, menurut mereka, hal ini karena ketidakmampuan negara, sehingga membuat banyak masyarakat Indonesia menjadi miskin.

Menurut aktor-aktor CSO tersebut kemiskinan sebenarnya lebih disebabkan oleh struktur makro yang terlihat dari ketidakmampuan penguasa mengelola sumber daya kekayaan negara, sistem ekonomi yang cenderung berpihak pada pemodal besar dan asing, serta kebijakan pendidikan yang dianggap tidak berpihak pada kalangan masyarakat miskin.

Ketidakmampuan negara sering dikonfirmasi oleh beberapa hasil studi (lihat World Bank 2006; Rais 2008; Cahyaningrum 2009). Dari perspektif ekonomi politik, negara memang dipandang sebagai arena di mana kelompok-kelompok kepentingan berusaha untuk meraih keuntungan (rent seeking). Aktor dalam negara yang berburu rente adalah para politisi yang biasanya menduduki jabatan-jabatan politis maupun aparat birokrasi sebagai profesional karir. Perilaku berburu rente aparat negara ini memungkinkan terjadinya kolaborasi dengan kelompok swasta baik nasional maupun multinasional yang bisa mengakibatkan keuntungan yang berlipat ganda bagi kedua belah pihak (Clark 1991; Rais 2008)

Kalangan aktor CSO pun mempunyai penilaian yang sama. Mereka berpendapat bahwa Indonesia sesungguhnya negeri yang kaya terutama sumber daya alam. Namun, karena bobroknya kualitas penyelenggara negara mengakibatkan banyak kebocoran pendapatan negara. Ketidakmampuan negara memberikan pelayanan kepada masyarakat juga terlihat dari kebijakan pendidikan. Sekolah-sekolah saat ini, menurut mereka, lebih ditujukan untuk kalangan berduit saja. Sekolah menjadi mahal sehingga anak-anak dari keluarga miskin tidak bisa melanjutkan sekolah.

Kombinasi keprihatinan terhadap persoalan kemiskinan dan anak putus sekolah dengan kekecewaan terhadap ketidakmampuan struktur makro terutama pemegang otoritas formal dalam menyelesaikan persoalan tersebut mendorong kalangan CSO tergerak melakukan aksi kolektif menyelenggarakan sekolah untuk anak-anak miskin. Mereka prihatin terhadap situasi ketidakadilan yang dialami banyak anak-anak miskin dan marjinal sehingga tidak bisa sekolah. Mereka juga kecewa terhadap negara yang tidak mampu memberikan hak anak

36 | A B D I R A H M A T

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

untuk bersekolah, serta terhadap situasi atau struktur makro baik ekonomi maupun politik yang dianggap mengakibatkan masyarakat menjadi miskin.

Keprihatinan dan kekecewaan (social grievance) tersebut dalam konseptualisasi gerakan sosial disebut sebagai deprivasi relatif. Deprivasi relatif adalah situasi di mana harapan masyarakat tentang kondisi kehidupan yang lebih baik terhalangi. Orang-orang merasakan situasi ketidakadilan (unfairness/injustice), tetapi juga dibarengi perasaan simpati dan solidaritas. Oleh karena itu, kemudian mereka terdorong untuk memperbaiki situasi tersebut (Larana dkk 1994:21-24; Klandermans 1997:205; Walker dkk 2002: 288; Halcli 2000; McAdam 2003:282; Turner ed. 2006:503-4). Dalam diskursus teoritik awal terutama dalam perspektif psikologi sosial seperti Runciman (1966) dan Townsend (1979), deprivasi relatif ini dipandang sebagai faktor utama terjadinya gerakan sosial. Namun, dalam perkembangannya, posisi deprivasi relatif tidak lagi menjadi faktor utama gerakan sosial, tetapi tetap dipandang penting terutama sebagai titik berangkat kalangan aktor melakukan gerakan sosial. Seperti yang dikatakan Klandermans bahwa perasaan ketidakadilan adalah akar dari gerakan sosial (dikutip dalam Manalu 2009:40).

DA R I LOK A L H I NG G A NA SIONA L: C SO SEBAG A I A K TOR DA N ORG A N IS A SI GE R A K A N

Jika gerakan penyelenggaraan sekolah dilihat dari sisi aktor-aktor yang terlibat, maka akan tampak bahwa umumnya para aktor tersebut adalah aktor-aktor lokal yang mempunyai kesadaran lokal atau komunitas. Sementara dari sisi organisasionalnya, mereka adalah civil society organization (CSO) dengan organisasi yang sederhana yang beroperasi di tingkat lokal (community based oranization), meskipun ada pula dengan organisasi modern yang lebih kompleks dan pengelolaan yang lebih profesional serta mempunyai jaringan nasional. Begitu pula, organisasi CSO ini dapat bergerak melakukan aksi penyelenggaraan sekolah karena diikat oleh komitmen terhadap suatu nilai atau spirit bersama (shared values) yang memberi energi kepada mereka untuk terus melakukan aksi.

Peran aktor CSO dalam riset ini lebih merupakan kesadaran dan aksi lokal para aktor tersebut terhadap persoalan yang terjadi di komunitas mereka. Dalam kasus PKBM Harapan Mandiri, Sekolah

G E R A K A N S O S I A L A K S I P E N Y E L E N G G A R A A N S E K O L A H | 37

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

Master, dan Yayasan RMD tokoh-tokoh utama adalah aktor-aktor lokal yang memiliki keprihatinan terhadap persoalan yang terjadi di komunitas mereka. Mereka terdorong melakukan aksi karena mempunyai keterikatan (embedded) dalam bentuk solidaritas dan tanggung jawab terhadap komunitas mereka. Aksi ini bisa dipahami sebagai jawaban yang bisa mereka berikan terhadap persoalan yang ada di komunitas mereka tersebut (Ansel 2003:126).

Adapun Sekolah Smart Ekselensia yang bisa dikecualikan karena dikategorikan sebagai aktor di level nasional melalui organisasi Dompet Dhuafa (DD). CSO dikenal sebagai organisasi filantrofi yang menghimpung dana zakat masyarakat dengan jaringan operasi yang luas secara nasional. Dengan demikian, Sekolah Smart Ekselensia adalah aktor atau CSO nasional yang melakukan program aksi penyelenggaraan sekolah yang menggunakan jaringan nasional pula dalam rekrutmen kelompok sasarannya.

Banyak studi menunjukkan keterlibatan komunitas lokal dalam melakukan gerakan kolektif dan perubahan sosial. Komunitas lokal dapat melakukan aksi kolektif dengan menggunakan modal sosial yang mereka miliki, terutama melalui kemampuan mereka melakukan mobilisasi sumber daya sehingga mampu meningkatkan partisipasi anggota komunitas lokal untuk terlibat dalam gerakan aksi mereka. Organisasi berbasis komunitas ini memang ditujukan untuk mengagregasi kepentingan bersama komunitas, baik melalui usaha pemandirian masyarakat (people empowerment) ataupun melalui perubahan kebijakan negara (advokasi) (Hunter dan Staggenborg 1988; Mc.Pherson 1988; Milofski 1988; Kaufmann 1997; Brent 2009).

Para aktor lokal dalam riset ini adalah para guru, mahasiwa, usahawan mikro, bahkan mantan anak jalanan. Pendiri dan pengelola PKBM Harapan Mandiri adalah para guru yang ada di Meruyung, Depok. Nurrohim, pendiri Sekolah Master, adalah usahawan mikro di terminal Depok, sementara tutor-tutornya kebanyakan adalah relawan dari kalangan mahasiswa. Firdaus, pimpinan Yayasan RMD, adalah mantan anak jalanan. Para tutornya juga kebanyakan adalah relawan dari kalangan mahasiswa. Sementara di Sekolah Smart Ekselensia, pengelolanya adalah aktivis CSO dari Dompet Dhuafa yang ditugaskan mengelola Sekolah Smart Ekselensia. Para guru yang terlibat di Sekolah Smart Ekselensia adalah para guru yang direkrut melalui proses seleksi yang profesional. Para aktor tersebut bukanlah elit atau mewakili kelas menengah baru. Hal ini berbeda dengan

38 | A B D I R A H M A T

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

Melucci yang mengonseptualisasi aktor gerakan sosial sebagai new middle class yang memiliki pendidikan yang tinggi, ekonomi yang baik, serta keterampilan, dan jaringan luas yang bisa diandalkan untuk mengaggregasi aksi gerakan terutama menghadapi kekuatan sistem (Melucci 1989; Halcli 2000; Case dan Caragata 2009). Mungkin hanya pengelola Smart yang mewakili kelas menengah baru sebagaimana yang dimaksudkan oleh Melucci.

Organisasi penyelenggara sekolah umumnya organisasi sederhana dengan payung hukum yayasan. Pengelolaan organisasi lebih bersifat kekeluargaan dengan pembagian kerja yang cair dan tidak kompleks. Basis nilainya adalah kepercayaan dan pengabdian. Model pengelolaan organisasi seperti ini terlihat pada PKBM Harapan Mandiri dan Sekolah Master. Bagi keduanya yang terpenting adalah bagaimana sekolah mereka bisa tetap berlanjut. Namun demikian, ada upaya profesionalisasi pengelolaan organisasi seperti yang dilakukan oleh Yayasan RMD dan Sekolah Smart Ekselensia. Bagi Yayasan RMD meskipun beroperasi di tingkat komunitas, pengelolanya berupaya mengelola organisasinya secara profesional. Firdaus, pimpinan Yayasan RMD, mengatakan bahwa pekerja sosial bukanlah pekerja gratisan. Begitu pula yang terjadi di Sekolah Smart Ekselensia. Sebagai sekolah yang diinisiasi oleh organisasi (CSO) nasional, Sekolah Smart Ekselensia dikelola berdasarkan prinsip-prinsip manajemen modern dan profesional. Aturan main manejerial telah disusun terlebih dahulu sehingga bisa menjadi panduan pengelolaan manajerial organisasi.

Pada aspek kepemimpinan, Sekolah Smart Ekselensia mengelola kepemimpinan organisasi berdasarkan sistem manajerial tadi, sehingga tidak bergantung pada satu figur tertentu. Hal yang berbeda terjadi pada ketiga CSO lainnya. Faktor kepemimpinan aktor utama sangat penting. Pada kasus Yayasan RMD dan Sekolah Master, peran pemimpinnya, dalam hal ini Firdaus dan Nurrohim, sangat sentral. Mereka berperan dari sejak ide pendirian, memobilisasi tenaga pengajar, begitu juga memobilisasi para calon siswa. Di samping itu, mereka sangat berperan dalam memobilisasi sumber daya sarana dan prasarana dan membangun jaringan hingga sekolah mereka bisa berkembang. Pada kasus PKBM Harapan Mandiri, kepemimpinan yang terjadi lebih merupakan kepemimpinan kolegial, yaitu para inisiator yang terdiri dari delapan orang guru. Secara formal, memang ada struktur kepemimpinan organisasi di Yayasan dan PKBM Harapan Mandiri, yaitu Naimun sebagai ketuanya. Tapi dalam

G E R A K A N S O S I A L A K S I P E N Y E L E N G G A R A A N S E K O L A H | 39

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

praktiknya, kepemimpinan dan manajemen dilakukan secara kolegial. Aspek kepemimpinan dalam gerakan CSO ini dapat dibandingkan dengan konseptualisasi Diani (2003) dan Melucci (1996).

VOLU N TA R ISM E R E L I J I US SEBAG A I SH A R ED VA LUE S GE R A K A N

Dalam menjalankan aksi penyelenggaraan sekolah, CSO dalam riset ini membangun nilai-nilai tertentu menjadi komitmen dan nilai bersama (shared values) organisasi dan seluruh pengelolanya. Nilai-nilai organisasi dan komitmen tersebut nampaknya bermuara pada spirit voluntarisme relijius. Voluntarisme memang sering menjadi penggerak gerakan sosial. Terlebih lagi ketika voluntarisme tersebut didasari oleh kesadaraan keberagamaan.

Harapan Mandiri mengembangkan nilai bahwa menyelenggarakan dan mengajar di sekolah malam adalah suatu pengabdian berbagi ilmu tanpa pamrih. Karena itu, seluruh pengelola PKBM Harapan Mandiri diharapkan keikhlasannya. Mereka tidak dibayar. Mereka yakin akan menjadi tabungan untuk akhirat mereka. Suasana pengelolaan sekolah pun dibangun dengan semangat kekeluargaan.

Spirit voluntarisme relijius juga terlihat pada Sekolah Master. Nurrohim dengan tegas menyatakan tidak ada imbalan materi yang bisa didapatkan oleh para pengelola Sekolah Master. Mereka beranggapan aktivisme mereka di Sekolah Master adalah ladang amal dan pengabdian yang karena itu membutuhkan keikhlasan, keyakinan, dan doa.

Hal sama juga terjadi di Sekolah Smart Ekselensia. Para pengelolanya memang membangun suasana relijiusitas (keislaman) terutama karena mereka sebenarnya hanya pelaksana pemanfaatan dana zakat. Zakat sendiri dalam ajaran agama Islam merupakan ajaran keagamaan yang sangat sentral, sehingga pengelolaannya juga harus berdimensikan nilai-nilai ajaran keislaman. Sedangkan pada dimensi pembelajaran, nilai yang dikembangkan di kalangan pengelola Sekolah Smart Ekselensia yaitu setiap orang di Sekolah Smart Ekselensia harus tampil sebagai motivator.

Hal yang sedikit berbeda terjadi di Yayasan RMD. Meskipun tetap dalam semangat voluntarisme, namun spirit relijiusitas tidak terlalu kental terbangun di Yayasan RMD. Hal yang justru ditekankan

40 | A B D I R A H M A T

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

adalah semangat pelayanan sosial dan profesionalisme. Bagi mereka pekerja sosial harus profesional dalam menjalankan tugasnya.

Fenomena voluntarisme relijius yang terjadi pada para CSO dalam riset ini menjadi menarik. Sebenarnya, voluntarisme suatu yang melekat sebagai ciri dari aktivisme CSO terutama organisasi-organisasi pekerja sosial semisal NGO (Morris 2000; Rahmat 2003). Meskipun voluntarisme bermakna kesukarelaan, namun tidak bisa dipungkiri pekerja sosial dan aktivis CSO, terutama NGO, selalu menerima imbalan dengan nominal yang layak, bahkan cukup tinggi.

Fenomena kesukarelaan yang berbasis spirit relijiusitas di kalangan aktifis CSO dalam riset ini jgua menjadi fenomena yang unik. Spirit keagamaan memang ditengarai membuat orang bisa bekerja ikhlas tanpa pamrih. Hal ini terjadi karena keyakinan mereka bahwa apa yang mereka lakukan agar diganjar dengan setimpal oleh Tuhan mereka. Jadi, faktor keyakinan keagamaan menjadi kata kunci dalam memahami fenomena voluntarisme relijius yang terjadi pada aktivis CSO dalam studi ini (Abubakar dan Bamualim ed. 2006). Hal ini berbeda dengan hasil studi di masyarakat barat yang ditelaah oleh Wilson yang menyimpulkan lemahnya hubungan nilai, termasuk agama, dengan voluntarisme (lihat Wilson 2000:218-219). Walaupun dalam studi yang lain justru menemukan akar keagamaan dari aktivisme voluntarisme seperti yang ditunjukkan oleh Susan Eckstein (2001:837-839).

Dengan segala keterbatasannya, CSO dalam riset ini, kecuali Sekolah Smart, mempunyai energi yang besar untuk bisa tetap bertahan. Voluntarisme dengan spirit keagamaan bisa menghasilkan energi yang bisa membuat aksi gerakan menjadi berkelanjutan. Meskipun, pernyataan ini tidak dimaksudkan sebagai generalisasi. Hal ini diperkuat dengan pandangan Alexis de Tocquiville, dalam perspektif yang lebih umum, bahwa voluntarisme adalah etik yang menjadi generator keterlibatan dan kepedulian seseorang terhadap persoalan yang dihadapi masyarakatnya, atau spirit untuk menjadi lebih bermakna atau lebih berguna di tengah masyarakat (lihat Ogilvie 2004).

G E R A K A N S O S I A L A K S I P E N Y E L E N G G A R A A N S E K O L A H | 41

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

GE R A K A N K U LT U R A L U N T U K PE RU BA H A N S T RU K T U R A L: MODE L A K SI GE R A K A N

Aksi CSO yang menyelenggarakan sekolah untuk anak miskin dapat dipahami sebagai gejala aksi kolektif yang dimaksudkan untuk suatu visi perubahan sosial tertentu. Gerakan aksi para CSO dalam riset ini memilih model aksi gerakan kultural yaitu menyelenggarakan sekolah untuk anak miskin. Dalam penyelenggaraan sekolah tersebut, mereka mengembangkan kekhasan terentu yang sebenarnya terkait dengan visi perubahan yang mereka harapkan.

Keempat CSO dalam riset ini melakukan hal yang sama yaitu menyelenggarakan sekolah untuk anak-anak yang tidak beruntung. Biaya yang dibebankan kepada para siswa diupayakan agar bisa terjangkau oleh keluarga miskin. PKBM Harapan Mandiri menetapkan biaya hanya Rp. 20.000 per anak per bulan untuk tingkat SMA. Meskipun dalam kenyataannya hanya 20% saja yang membayar lunas. Sementara, Yayasan RMD membebaskan siswa dari biaya bimbingan belajar. Sekolah Master tidak membebankan biaya kepada siswanya. Begitu juga halnya dengan Sekolah Smart yang menanggung keseluruhan biaya siswanya termasuk biaya hidup di asrama.

Konsep sekolah yang diterapkan oleh keempat CSO pada prinsipnya sama yaitu sekolah formal. Sekolah formal di sini dalam pengertian sosiologis dan konseptual yaitu sekolah yang mempunyai kurikulum terstruktur, berjenjang, dan terlembaga dengan proses belajar mengajar yang konvensional (Combs dan Ahmed 1985:10; Rogers 2005; UNESCO 2006). Hanya saja, ketentuan formal sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia menempatkan sekolah yang diselenggarakan oleh CSO tersebut, kecuali sekolah Smart, sebagai sekolah nonformal yang kemudian disetarakan dengan pendidikan formal melalui ujian kesetaraan (lihat UU no. 20 tahun 2003).

PKBM Harapan Mandiri membuat sekolah malam dengan maksud agar anak-anak dari keluarga miskin tetap bisa bekerja membantu orang tua mereka di siang hari, sementara mereka bersekolah di malam hari. Sekolah Master menyebut sekolah mereka sebagai sekolah alternatif. Spiritnya bahwa sekolah bisa dilakukan di mana saja dengan menggunakan sumber belajar apa saja yang tersedia di lingkungan sekitar. Sementara itu, Yayasan RMD membangun spirit bahwa sekolah Paket C adalah sekolah formal. Hal ini menurut

42 | A B D I R A H M A T

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

mereka penting bagi para siswa agar mereka mempunyai harga diri serta kepercayaan diri meskipun bersekolah di program Paket C di mana selama ini program-program Paket A, Paket B, ataupun Paket C sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat (lihat Rahmat dkk. 2007). Sekolah prestisius dikembangkan oleh Sekolah Smart Ekselensia dengan menggunakan model sekolah akselerasi, yaitu sekolah SMP dan SMA yang hanya ditempuh selama lima tahun. Hal ini dilakukan di samping memfasilitasi kecerdasan anak-anak didiknya, juga dimaksudkan agar dana zakat yang digunakan untuk membiayai sekolah Smart dapat dimanfaatkan oleh lebih banyak lagi anak-anak miskin.

Di samping kegiatan belajar dan mengajar formal, sekolah-sekolah yang diselenggarakan keempat CSO ini mengembangkan kekhasannya masing-masing terutama terkait dengan pembekalan kemampuan tertentu agar para siswa kelak bisa mandiri. Kemampuan kemandirian memang menjadi kompetensi yang dikembangkan oleh sekolah-sekolah ini, karena para penyelenggara menyadari bahwa untuk bisa bertahan dan menembus struktur lapisan sosial masyarakat dibutuhkan kemampuan kemandirian. Bekal kemampuan kemandirian dilakukan secara berbeda oleh keempat CSO. PKBM Harapan Mandiri dan Sekolah Master membekali para siswa mereka dengan keterampilan teknis dan wirausaha. PKBM Harapan Mandiri bahkan secara khusus telah melatih kemampuan wirausaha para siswanya dengan usaha budi daya anggrek. Sementara itu, Yayasan RMD lebih menekankan kepercayaan diri bahwa para siswa adalah setara dengan anak-anak dari sekolah formal lainnya. Sedangkan kemandirian yang dikembangkan di Sekolah Smart Ekselensia bertumpu pada pengembangan kemampuan kecerdasan dan kreatifitas siswa.

JA R I NG A N SOSI A L A K TOR U N T U K MOBI L IS A SI SU M BE R DAYA

Untuk menyelenggarakan sekolah untuk anak miskin, para CSO membutuhkan dukungan sumber daya baik untuk pembiayaan pengelolaan sekolah, dukungan pengelolaan proses pembelajaran, penyaluran lulusan, serta dukungan sosial lingkungan sekitar. Kemampuan memobilisasi sumber daya bertumpu pada kemampuan aktor mengembangkan jaringan sosialnya. Pada kasus CSO dalam

G E R A K A N S O S I A L A K S I P E N Y E L E N G G A R A A N S E K O L A H | 43

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

studi ini, mobilisasi sumber daya tersebut berakar dari jaringan sosial yang dimiliki oleh aktor-aktor pengelola sekolah/CSO, terutama tokoh utamanya. Jaringan ini merupakan unsur penting dalam konseptualisasi gerakan sosial (Diani 2003:117-120).

Biasanya tokoh utama sekolah memiliki jaringan yang lebih luas dibanding aktfis lainnya. Yayasan RMD dan Sekolah Master bertumpu pada kemampuan membangun jaringan yang dimiliki oleh aktor utama mereka. Yayasan RMD melalui sosok Firdaus dan Sekolah Mater melalui figur Nurrohim. Meskipun dalam pelaksanaannya, aktivis lain tetap terlibat membangun jaringan untuk memobilisasi sumber daya tersebut. Sementara, di PKBM Harapan Mandiri karena kepemimpinannya kolegial maka mobilisasi sumber daya mengadalkan jaringan sosial tokoh-tokoh kolegial tersebut. Lain halnya dengan Sekolah Smart Ekselensia, patronase kepada lembaga filantrofi nasional telah cukup memadai bagi mereka untuk ketersediaan sumber daya terutama untuk pembiayaan.

PKBM Harapan Mandiri lebih menitikberatkan kepada jaringan sosial lokal serta modal ekonomi dan modal kultural yang dimiliki para pengelola untuk memfasiliasi penyelenggaraan sekolah. Hal yang sama terjadi pada Sekolah Master. Bahkan, jaringan dukungan yang terbentuk banyak diinisiasi oleh Nurrohim selaku pimpinan sekolah Master. Di tingkat praktik, Nurrohim juga mendorong seluruh staf sekolah Master untuk terlibat aktif membangun jaringan. Sekolah Master juga dibantu oleh liputan media massa yang beberapa kali mengangkat kisah sekolah gratis tersebut. Liputan ini kemudian bisa diakses secara luas karena juga diangkat melalui media digital berbasis internet.

Pada kasus Yayasan RMD, ada upaya modernisasi jaringan sosial sekolah melalui pemanfaatan media digital. Yayasan RMD membangun website sendiri yang menginformasikan profil dan perkembangan aktifitas sekolah. Pemanfaatan media digital ini kemudian menghasilkan dukungan yang cukup luas. Sejauh ini, telah ada beberapa perusahaan yang menjalin kerjasama dengan RMD untuk penyaluran lulusan, seperti kerjasama dengan perusahaan GE Electric. Sementara, donatur lebih banyak dari perorangan. Begitu pula dengan volunter lainnya yang bekerja sama memberikan pelatihan atau bentuk pelatihan lainnya kepada siswa Yayasan RMD, seperti latihan bela diri dan mengaji. Sedangkan pada Sekolah Smart Ekselensia, pembangunan jaringan pembiayaan banyak dilakukan

4 4 | A B D I R A H M A T

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

oleh lembaga patron mereka yaitu Dompet Dhuafa melalui mobilisasi dana zakat. Sementara, kerjasama dengan volunter untuk peningkatan kualitas pembelajaran bisa dilakukan oleh pihak Dompet Dhuafa dan pengelola sekolah.

Hanya saja tidak terlihat jaringan berbentuk aliansi dengan CSO-CSO lainnya baik sejenis (dalam bidang pendidikan) maupun dengan CSO dengan bidang kerja lainnya. PKBM Harapan Mandiri sering ikut forum komunikasi PKBM di Depok. Akan tetapi, biasanya forum tersebut lebih merupakan upaya koordinasi dan kontrol yang diinisiasi oleh Dinas Pendidikan setempat (Rahmat dkk. 2007). Hanya RMD yang pernah ikut terlibat dalam beberapa aliansi dengan CSO lainnya, seperti dalam jaringan Aliansi LSM di Jakarta.

PE RU BA H A N S T RU K T U R A L M E M U T US R A N TA I K E M ISK I NA N

Model gerakan aksi yang dilakukan oleh CSO dalam penelitian ini bukanlah gerakan protes seperti lazimnya gerakan sosial. Bukan pula gerakan penuntutan hak seperti yang banyak muncul dalam konseptualisasi gerakan sosial baru. Model aksi yang dilakukan oleh para CSO ini adalah aksi penyelenggaraan sekolah yang bisa diakses untuk anak-anak dari keluarga miskin sampai ke jenjang menengah. Jenjang menengah di sini menjadi penting, karena perhatian negara dan masyarakat internasional tentang hak dan akses anak miskin hanya sampai ke jenjang pendidikan dasar. Oleh karena itu, tindakan aksi para CSO dalam riset ini menjadi sangat penting terutama untuk memfasilitasi mobilitas sosial anak miskin agar bisa naik ke strata sosial ekonomi yang lebih baik.

Harapan perubahan struktural ini terlihat menginspirasi visi keempat CSO ini. Keempatnya tampaknya sepakat bahwa sekolah yang mereka selenggarakan dapat memutus rantai kemiskinan yang selama ini membelenggu keluarga miskin dari generasi ke generasi (poverty cycle). Meskipun sekolah sejatinya adalah gerakan kultural yang lebih menitikberatkan pada pembekalan individu, dengan meminjam kategorisasi Bourdieu, mengenai modal-modal yang diperlukan untuk berkontestasi di arena obyektif. Modal-modal tersebut utamanya adalah modal kultural dan modal simbolik. Akan tetapi, implikasi pembekalan tersebut terjadi di ruang sosial kelak ketika si peserta didik telah lulus. Hal ini yang dimaksud dengan

G E R A K A N S O S I A L A K S I P E N Y E L E N G G A R A A N S E K O L A H | 45

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

mengubah mustahik (penerima zakat/infak/sedekah) menjadi muzakki (pemberi zakat/infak/sedekah) seperti yang diandaikan oleh pengelola Sekolah Smart Ekselensia.

Pembekalan kemampuan ini menjadi modal simbolik bagi para siswa untuk dapat meraih kesuksesan di arena-arena sosial baik prestasi-prestasi personal maupun pencapaian struktural di ruang ekonomi, politik, maupun kultural (Bourdieu 2004; Ritzer 2005; Turner 2006). Artinya, meskipun secara teoritik/konseptual, sekolah yang diselenggarakan oleh para CSO dikategorikan sebagai sekolah nonformal, namun mereka tetap dapat memberikan kontribusi dalam prestasi kultural para peserta didiknya, seperti juara olimpiade nasional, diterima di perguruan tinggi negeri, maupun mendapatkan pekerjaan yang layak. Demikian juga, kontribusi sekolah terhadap pencapaian struktural peserta didiknya di arena sosial lainnya, seperti menjadi pengusaha atau menjadi pejabat publik.

Diskursus mengenai peran sekolah dalam memutuskan mata rantai kemiskinan juga menjadi diskusi masyarakat dunia, terlebih dengan ditetapkankannya pendidikan sebagai salah satu MDGs. Hall dan Midgley menunjukkan bahwa pendidikan dapat menjadi sarana untuk meningkatkan peluang untuk kehidupan yang lebih produktif, baik dalam pendapatan, kehidupan sosial, dan kesehatan (Hall dan Midgley 2004:163). Sementara UNICEF menempatkan pendidikan sebagai sarana memerangi kemiskinan, memberdayakan perempuan, mempromosikan hak asasi manusia, serta melestarikan lingkunan hidup. Pendidikan juga dipandang sebagai kekuatan penting untuk perubahan sosial (UNICEF 1999). Jellema (2000) menilai pendidikan dasar sebagai senjata ampuh dalam memerangi kemiskinan, membuka akses kepada pengetahuan dan keterampilan, dan membantu memecah hambatan yang mengeksklusi masyarakat marjinal dan miskin dari kehidupan politik dan ekonomi. Begitu juga studi yang menunjukkan bahwa pendidikan dan kemampuan keterampilan menjadi salah satu faktor yang membuat seseorang dapat keluar dari kemiskinan (moving out poverty) (Marianti 2009).

Penyelenggaraan sekolah oleh keempat CSO dalam riset ini dapat dipandang sebagai gerakan aksi yang dilakukan komponen civil society di ruang yang kosong atau tak terjangkau pelayanan negara. Konseptualisasi peran CSO di ruang civil society sering dihubungkan dengan ruang kosong yang tidak mampu dijangkau negara atau di ruang di mana kelompok masyarakat terpinggirkan akibat dari

46 | A B D I R A H M A T

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

kebijakan negara dan aktifitas dunia usaha (Rahmat 2003; Edward 2010).

Di ruang sosial tersebut, ada peranan yang bisa dimainkan oleh CSO yaitu peran pemberdayaan (empowerment), peran advokasi, dan peran intermediary (Rahmat 2003). Hal ini juga dapat terlihat dari keterlibatan CSO dalam pembangunan pendidikan di banyak negara berkembang. Ada beberapa pola keterlibatan CSO dalam pembangunan pendidikan yaitu partisipasi dalam perumusan kebijakan pendidikan, pengawasan terhadap implementasi kebijakan pendidikan, komplementer dengan memberikan pelayanan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan, serta peran penyelenggara pendidikan alternatif. Hal ini juga berkaitan dengan sumber-sumber kekuasaan, yaitu negara/pemerintah sebagai sumber kekuasaan politik dan dana, serta lembaga donor internasional yang memiliki sumber daya finansial (Miller dkk. 2002; Kruse 2003; Rogers 2005; Cheryl dan Mundy 2007; Haggerty dkk. 2007; Maclure dkk. 2007; Rahmat 2007; Sivasubramaniam 2007; Mundy ed. 2008; Mundy 2008)

PE NGE M BA NG A N GE R A K A N PE N Y E L E NG G A R A N PE N DI DI K A N U N T U K A NA K M ISK I N

Apa yang dilakukan CSO dalam riset ini menunjukkan bahwa aksi mereka memberi kontribusi penting dalam pemerataan akses sekolah bagi anak-anak miskin sekaligus membangun fondasi bagi perubahan struktural berupa pemutusan rantai kemiskinan. Setelah memaparkan berbagai dimensi gerakan mereka, bagian ini akan menawarkan pemikiran konseptual, tentunya berangkat dari data empirik, tentang ke mana arah pengembangan gerakan kontributif mereka. Secara ringkas, model pengembangan peran CSO tersesbut dapat dilihat dalam bagan 1.

Dimensi pertama adalah konteks struktural di mana sejatinya gerakan mereka adalah menjadi kewajiban negara yang didelegasikan secara konstitusional kepada masyarakat. Namun demikian, negara tidak boleh “lepas tangan”. Persoalannya adalah selama ini terlihat tidak ada linking antar kebijakan negara dan aksi pendidikan masyarakat di akar rumput. Pemerintah, ibaratnya, hanya penyedia piring atau wadah bagi masyarakat yang berkeingingan berkontribusi memberikan layanan pendidikan kepada warga miskin. Namun,

G E R A K A N S O S I A L A K S I P E N Y E L E N G G A R A A N S E K O L A H | 47

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

pemerintah relatif tidak memberi isi sedikitpun di piring tersebut. Masyarakatlah, dalam hal ini para CSO, yang memberi isi atau makanan di piring tersebut sehingga bisa disantap anak-anak dari keluarga miskin.

Beberapa kasus keterlibatan CSO dalam pendidikan di negara-negara berkembang memang dikarenakan keterbatasan anggaran negara serta ketidakmampuan negara memberikan layanan pendidikan kepada masyarakat di tempat-tempat yang tidak terjangkau layanan negara. Di situ, CSO bersama counterpart internasionalnya, NGO internasional dan lembaga donor, memainkan peran penting memberikan layanan pendidikan bagi masyarakat yang tak terjangkau layanan pemerintah. Namun demikinan, keterlibatan meraka tetap berada dalam kontrol negara, terutama adanya koordinasi antara negara dengan CSO tersebut, misalnya dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi yang dilakukan secara bersama antara negara dengan CSO lokal, NGO internasional, dan lembaga donor (Miller dkk. 2002; Kruse 2003; Cheryl dan Mundy 2007; Haggerty dkk. 2007; Maclure dkk. 2007; Sivasubramaniam 2007; Mundy ed. 2008; Mundy 2008).

Hal ini tampaknya tidak terjadi dalam kasus riset ini. CSO-CSO dalam riset ini cenderung berinisiatif sendiri, menggalang sumber daya sendiri, membangun infrastruktur sendiri, dan seterusnya. Negara terlihat tidak hadir dalam usaha para CSO tersebut menyelenggarakan layanan pendidikan kepada anak-anak dari keluarga miskin. Padahal, secara konsitusional, negara memiliki tanggung jawab ganda kepada anak-anak miskin, yaitu pendidikan adalah hak warga negara dan karena itu menjadi tanggung jawab negara, serta fakir miskin dan anak terlantar juga menjadi tanggungjawab negara (UUD 1945 pasal 31 ayat 1 jo pasal 34 ayat 2). Kehadiran negara terlihat hanya ketika melegalisasi keberadaan sekolah-sekolah CSO tersebut, membantu pelatihan para tutor yang terlihat tidak intensif, serta memfasilitasi keharusan CSO untuk ikut ujian kesetaraan saat di akhir sekolah para siswa mereka. Selebihnya, hal itu menjadi masalah CSO sendiri.

Studi ini memang tidak dimaksudkan mengevaluasi kebijakan negara. Namun, dari pengalaman empiris para CSO, perlu dibangun hubungan yang lebih sinergis dan komplimentatif antar CSO dan negara dalam memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak miskin. Dalam hal ini, bisa dipetik pelajaran dari kasus kerjasama negara dan CSO dalam pelayanan pendidikan di negara-negara berkembang.

48 | A B D I R A H M A T

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

Negara-negara tersebut berusaha mendapatkan bantuan dari lembaga-lembaga donor internasional dan mengundang NGO internasional untuk terlibat dalam membiayai pendidikan bagi warganya. Begitu juga, pemerintah melibatkan secara intensif lembaga internasional tersebut begitu juga dengan CSO nasional dan lokal dalam mendesain kebijakan pendidikan, implementasinya, serta evaluasi kebijakan tersebut (Miller dkk. 2002; Kruse 2003; Cheryl dan Mundy 2007; Haggerty dkk. 2007; Maclure dkk. 2007; Sivasubramaniam 2007; Mundy ed. 2008; Mundy 2008;).

Bagan 1. Kerangka Pengembangan CSO Penyelenggara Sekolah untuk Anak Miskin

Sumber: diolah dari data primer

Dimensi kedua adalah upaya mandiri para CSO untuk memobilisasi sumber daya untuk mendukung gerakan mereka. Selama ini upaya mobilisasi tersebut dilakukan CSO masing-masing. Belum ada jaringan kerja di antara sesama CSO pendidikan untuk bersinergi menggalang sumber daya untuk membiayai dan meningkatkan kualitas sekolah mereka. Maka, CSO yang mampu membangun jaringan yang luas relatif bisa menghimpun sumber daya yang memadai. Pada kasus Yayasan RMD, kemampuan pengelolanya memanfaatkan kemajuan teknologi informasi membuat mereka relatif mampu membangun jaringan yang relatif luas, termasuk dengan lembaga donor. Pentingnya

G E R A K A N S O S I A L A K S I P E N Y E L E N G G A R A A N S E K O L A H | 49

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

jaringan menjadi salah satu kajian menarik dalam fenomena gerakan sosial. Jaringan sosial sangat penting dalam memobilisasi partisipasi dan dukungan terhadap agenda gerakan sosial (Porta dan Diani 2006; Diani dan Mc Adam ed. 2003).

Jaringan ini juga terkait dengan artkulasi harapan perubahan struktural seperti yang muncul di kalangan CSO dalam studi ini. CSO dalam riset ini lebih memfokuskan gerakan mereka pada gerakan kultural atau dalam klasifikasi kerangka peran CSO adalah peran pemberdayaan (Rahmat 2003). Wilayah kultural dan pemberdayaan ini perlu dihubungkan (bridging) dengan gerakan-gerakan lain yang memfokuskan diri pada isu advokasi dan perubahan kebijakan. Sehingga, pemberdayaan melalui sekolah yang dilakukan oleh CSO dalam riset ini bisa mendapatkan penguatan kebijakan melalui advokasi.

Dimensi berikutnya adalah pengembangan kapasitas internal organisasi kalangan CSO. Tuntutan untuk memperhatikan kualitas pembelajaran menjadi penting karena anak-anak miskin tidak saja berhak untuk mendapatkan pendidikan tapi juga pendidikan yang berkualitas. Memang, jika dinilai dengan ukuran-ukuran formal kualitas sekolah dan pembelajaran, penyelenggaraan pembelajaran di sekolah-sekolah CSO ini, kecuali Sekolah Smart Ekselensia, jauh dari kata berkualitas. Misalnya, ketersedian sarana dan prasarana pembelajaran, kualifikasi tenaga pengajar yang harus berpendidikan sarjana (banyak tutor belum sarjana) dan administrasi dan organisasi pembelajaran yang seadanya. Meskipun, keterbatasan dari kriteria formal tidak lantas menjadikan proses pembelajaran di sekolah CSO tidak berkualitas, tetapi tetap ada prestasi yang bisa diraih oleh para siswa sekolah tersebut. Oleh karena itu, yang perlu dikembangkan adalah konseptualisasi ilmiah tentang pembelajaran yang tepat guna dan efektif untuk warga belajar sekolah CSO ini. Hal ini ditunjukkan oleh studi tentang sekolah nonformal yang memiliki keunggulan tersendiri (Combs 1985; Hall dan Midgley 2004). Misalnya, konseptualisasi metode pembelajaran kontekstual. Hal ini perlu didukung oleh riset dari kalangan perguruan tinggi. Dengan pengembangan beberapa dimensi dari gerakan CSO ini diharapkan kontribusi kalangan CSO pendidikan ini dapat lebih sistematis dan signifikan lagi.

50 | A B D I R A H M A T

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

K E SI M PU L A N

CSO dalam penelitian ini terlibat dalam penyelenggaraan pendi-dikan di ruang yang tak terjangkau layanan negara. Mereka memberi-kan layanan pendidikan kepada anak-anak miskin. Berbagai kekhasan dikembangkan oleh CSO pada sekolah mereka. Namun, sejauh ini belum terlihat ada lingking dengan pemerintah sebagai penanggung-jawab pendidikan warga negara dan anak-anak miskin.

Aksi penyelenggaraan pendidikan CSO dalam penelitian ini dapat dipahami dalam perspektif teori gerakan sosial. Aksi CSO berangkat dari keprihatinan terhadap persoalan struktural yang menimpa anak-anak dari keluarga miskin. Mereka kecewa terhadap negara yang tidak mampu menyelesaikan persoalan struktural tersebut. Keprihatinan dan kekecewaan ini adalah deprivasi relatif yang mendorong kalangan CSO melakukan aksi penyelenggaraan sekolah.

CSO penyelenggara sekolah ini adalah aktor gerakan. Mereka adalah aktor lokal. Hal ini berbeda dengan konseptualisasi gerakan sosial baru di mana aktor gerakan sosial berasal dari kalangan kelas menengah baru. Model organisasi CSO dalam riset ini adalah model community based organisation (CBO). Pengelolaan organisasi dilakukan secara sederhana, meskipun ada CSO nasional dengan pengelolaan secara profesional.

Aksi gerakan CSO ini diikat oleh nilai bersama berupa voluntarisme relijius. Nilai inilah yang memberi energi bagi CSO ini untuk tetap bertahan dan sekolah mereka tetap berlanjut. Kemudian, jaringan sosial yang dibangun bertumpu pada aktor utama gerakan, kecuali kasus Sekolah Smart Ekselensia. Jaringan sosial merentang dari jaringan lokal sampai ke jaringan nasional.

Kalangan CSO ini mengandaikan adanya perubahan struktural dari aksi gerakan mereka, yaitu berupa pemutusan rantai kemiskinan. Meskipun, gerakan mereka sebenarnya adalah gerakan kultural berupa pemberdayaan dan pembekalan modal kultural dan modal simbolik yang dapat digunakan olah para lulusan, kelak para lulusan itu melakukan aksi struktural di ruang sosial. Oleh karena itu, riset ini memberikan beberapa saran, baik praktis maupun konseptual. Secara praktis, perlu dibangun lingking dengan pemerintah yang lebih sinergis dan komplementatif. Perlu dibangun bridging dengan CSO-CSO lain, terutama untuk memobilisasi dukungan dan sumber daya. Mereka juga perlu memfasilitasi peningkatkan kualitas pelayanan

G E R A K A N S O S I A L A K S I P E N Y E L E N G G A R A A N S E K O L A H | 51

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

pembelajaran terhadap kalangan CSO, terutama melalui kerjasama dengan kalangan perguruan tinggi melalui riset dan pelatihan.

Secara konseptual, studi ini masih memerlukan pengembangan lebih lanjut, terutama mengenai kaitan antara aksi CSO dengan kebijakan negara serta mengenai masing-masing dimensi dari gerakan sosia kalangan CSO tersebut.

DA F TA R PUS TA K A

Abubakar, Irfan dan Chaider Bamualim. Ed. 2006. Filantrofi Islam dan Keadilan Sosial. Jakarta: CSRC

Agung, Iskandar. 2007. “Hambatan Birokratis dalam Penyelenggaraan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat.” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Vol. 13 No. 68:909-922

Ansel, Christopher. 2003. “Community Embeddedness and Collaborative Governance in the San Fransisco Bay Area Environmental Movement.” dalam Diani, Mario dan Mc.Adam Doug. Ed. Social Movement and Network. Oxford: Oxford University Press

Anzhar, Uzma. 2003. Islamic Education, A Brief History of Madrasah With Comments on Curricula and Current Pedagogical Practices. Draft Paper. Diakses dari: http://www.uvm.edu/~envprog/madrassah/madrassah-history.pdf

Bappenas. 2007. Laporan Perkembangan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007. Jakarta. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional

BPS. 2003a. Diakses dari http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php? tabel=1&daftar= 1&id_subyek=28&notab=3

BPS. 2003b. Diakses dari http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php? tabel=1&daftar= 1&id_subyek=28&notab=2

Bourdieu, Pierre. 2004. “The Forms of Capital.” dalam Ball, Stephen J. The Routledge Falmer Reader in Sociology of Education. London. Routledge Falmer

Bray, Mark. 2003. “Community Initiatives in Education: Goals, Dimensions And Linkeages with Governments.” Journal of Compare, Vol. 33, No. 1

Bray, Mark. 2000. Community Partnership in Education: Dimensions, Variations and Implications. Paris: UNESCO

Bredshaw, Ted K. 2006. Theories of Poverty and Anti-Poverty Programs in Community Development. Rural Poverty Research Center (RPRC) Working Paper No. 05-06

52 | A B D I R A H M A T

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

Brent, Jeremy. 2009. Searching For Community, Representation, Power And Action On An Urban Estate. Bristol: The Policy Press

Canel, Eduardo. 1997. “New Social Movement Theory and Resource Mobilization Theory: The Need for Integration” dalam Michael Kaufman and Haroldo Dilla Alfonso. Ed. Community Power And Grassroots Democracy, The Transformation of Social Life. London: Zed Books

Case, Robert dan Lea Caragata. 2009. “The Emergence of a New Social Movement; Social Network and Collective Action on Water Issues in Guelph, Ontario,” Community Development. 2009. 40:247-261

Chendoke, Neera. 2001. Benturan Negara dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: Istawa

Cherry, Suzanne, & Karen Mundy. 2007. Civil Society and the Governance of Basic Education, Mali Country Field Study. Comparative and International Development Education Centre, OISE/UT. Diakses dari http://cide.oise.utoronto.ca/civil_society/

Clark, Barry. 1991. Political Economy, Comparative Perspectives. Westport: Praeger Publisher

Cohen, Jean L., dan Andrew Arato. 1997. Civil Society and Political Theory. London: MIT press

Combs, Philip H, dan Manzoor Ahmed. 1985. Memerangi Kemiskinan di Pedesaan Melalui Pendidikan Non Formal. Jakarta: Rajawali Press. Cet.2

Cresswell, John W. 2003. Research Design. California: Sage PublicationCulla, Adi Suryadi. 1999. Masyarakat Madani. Jakarta: Rajawali PressDedi, Kurniadi. 2005. Kemampuan Manajerial Pengelola Dalam

Peningkatan Prestasi Kelembagaan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat; Studi Kasus pada PKBM Konengsari, Kecamatan Ngamprak, Kabupaten Bandung. Disertasi Program Doktor Pendidikan Luar Sekolah. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung

Diani, Mario dan Mc.Adam Doug. Ed. 2003. Social Movement and Network. Oxford: Oxford University Press

Eckstein, Susan. 2001. “Community as Gift-giving: Collectivistic Roots of Volunteerism.” American Sociological Review 66:6.

Edward, Michael. 2011. The Oxford Handbook of Civil Society. Oxford: Oxford University Press

Evans, Peter. 1995. Embedded Autonomy; State and Industrial Transformation. Princeton: Princeton University Press.

Fakih, Mansour. 1996. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial, Yogyakarta, Tiara Wacana

Fakih, Mansour. 2001. Pendidikan Popular, Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Insist Press

G E R A K A N S O S I A L A K S I P E N Y E L E N G G A R A A N S E K O L A H | 53

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

Foley, Michael W dan Bob Edward. 1996. The Paradox of Civil Society. Dalam Journal of Democracy. 7.3

Haggerty, Megan, Caroline Manion, Karen Mundi. 2007. Civil Society and the Governance of Basic Education; Tanzania Country Field Study. Comparative and International Development Education Centre, OISE/UT. Diakses dari http://cide.oise.utoronto.ca/civil_society/

Halcli, Abigail. 2000. “Social Movement.” dalam Browning, Halcli dan Webster. Ed. Understanding Contemporary Sosiety. London: Sage Publication

Hall, Anthony dan James Midgley. 2004. Social Policy for Development, London: Sage Publication

Harney, Stefano dan Rita Olivia. 2003. Civil Society and Civil Society Organization in Indonesia. Geneva: ILO

Hendriani, Ani. 2005. Penerapan Prinsip Pembelajaran Orang Dewasa oleh Tutor dalam Pembelajaran Program Life Skills di PKBM Alpa Kota Bandung Jawa Barat. Tesis Program Pascasarjana Pendidikan Luar Sekolah, Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung

Hikam, AS. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ESHunter, Albert dan Suzanne Staggenborg. 1988. “Local Communities

and Organized Action.” dalam Milofsky, Carl, Ed. Community Organizations, Studies in Resource Mobilization and Exchange. New York: Oxford Universtiy Press

Ibrahim, Rustam. 2002. Mengapa LSM Membutuhkan Kode Etik? Makalah Tim Fasilitasi LP3ES: Jakarta

Ilyas, Husna, Abdi Rahmat, dan Tirta Murlina. 2007. Kebijakan Nasional tentang Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dalam Hubungannya dengan Pemerataan Pendidikan Dasar Periode 1994-2006 di Propinsi DKI Jakarta. Jakarta: Balitbang Depdiknas. Laporan Penelitian

International Conference on Education (ICE). 2001. Synthesis Report on Special Session on the Involvement of Civil Society in Education for All. Geneva: 5-8 September 2001

Jellema. 2000. Trends in Basic Education: London: EarthscanJohnston, Hank dan Bert Klandermans, eds. 1995. Social Movement

and Culture. Menneapolis: University of Minnesota PressKaufman, Michael. 1997. “Community Power, Grassroots Democracy,

and the Transformation of Social Life.” dalam Michael Kaufman dan Haroldo Dilla Alfonso. Ed. Community Power And Grassroots Democracy, The Transformation of Social Life. London: Zed Books

Kruse, Stein-Erik. 2003. SWAPs and Civil Society, The Roles of Civil Society Organisations in Sector Programmes. Oslo: NORAD’s Systhesis Report

54 | A B D I R A H M A T

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

Kusmiadi, Ade. 2000. Pembelajaran Model Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Alpa Pada Pengembangan Kewirausahaan (Studi Kasus Tentang Keterpaduan Pembelajaran Keterampilan Suku Cadang Speda Motor Dengan Kewirausahaan Pada Pkbm Alpa Di Kota Bandung). Tesis Program Pascasarjana Pendidikan Luar Sekolah, Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung

Larana, Enrique, Hank Johnston dan Gusfield. 1994. “Identities, Grievance and New Social Movement” dalam Larana, Enrique, Hank Johnston dan Gusfield. Ed. New Social Movement, from Ideology to Identity. Philadelphia. Temple University Press

Maclure, Kabore, Lavan Meyong dan Mundy. 2007. Civil Society and the Governance of Basic Education Partnership or Cooptation?Burkina Faso Country Field Study. Comparative and International Development Education Centre, OISE/UT. Diakses dari http://cide.oise.utoronto.ca/civil_society/

Manalu, Dampos. 2009. Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Marianti, Ruly. 2009. Mencari Jalan Keluar dari Kemiskinan di Jawa Timur, Maluku Utara dan Timor Barat. Jakarta: SMERU. Laporan Penelitian

McPherson, Miller. “A Theory of Voluntary Organization.” dalam Milofsky, Carl, Ed. 1988. Community Organizations, Studies in Resource Mobilization and Exchange. New York: Oxford Universtiy Press

Melucci, Alberto. 1996. Challenging Code: Collective Action in the Information Age. Cambridge: Cambridge University Press

Miller-Grandvaux, Yolande, Michel Welmond, Joy Wolf. 2002. Evolving Partnerships:The Role of NGOs in Basic Education in Africa. Washington: Academy for Educational Development. United States Agency for International Development, Bureau for Africa, Office of Sustainable Development

Milofsky, Carl. 1988. “Scarcity And Community: A Resource Allocation Theory Of Community And Mass Society Organizations.” dalam Milofsky, Carl, Ed. Community Organizations, Studies in Resource Mobilization and Exchange. New York: Oxford Universtiy Press

Morris, Susannah. 2000. “Defining Non-profit Sector, some Lessons From History.” dalam Voluntas: International Journal of Voluntary and Non-Profit Organization, Vol. 11, No. 1.

Mulyadi, Sima. 2005. Penumbuhan Kemandirian melalui Kewirausahaan Kelompok Belajar Paket B di PKBM Kota Cimahi; Studi Kasus PKBM Mitra Dikmas. Tesis Program Pascasarjana Pendidikan Luar Sekolah, Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung

Mundy, Karel. Et.al. 2008. Basic Education, Civil Society Participation and the New Aid Architecture: Lessons from Burkina Faso, Kenya,

G E R A K A N S O S I A L A K S I P E N Y E L E N G G A R A A N S E K O L A H | 55

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

Mali and Tanzania. Comparative and International Development Education Centre, OISE/UT. Diakses dari http://cide.oise.utoronto.ca/civil_society/

Mundy, Karen. 2008. “From NGOs to CSOs: Social Citizenship, Civil society and ‘Education for All’.--An Agenda for Further Research” Dalam jurnal Current Issues in Comparative Education. Vol. 10 (1/2):32-40

Mustafa. 2004. Pendidikan Anak Pada Keluarga Miskin, Studi Kasus Pada Keluarga Miskin di Jakarta. Tesis Program Pascasarjana Sosiologi, Universitas Indonesia. Depok

O’Brien, Robert. 2010. Reassessing Complex Multilateralism. Amsterdam. Makalah International Seminar on Civil Society Advocacy and Education for All: Strategies, Outcomes and Future Challenges

OECD. 2009. Civil Society and Aid Effectiveness; Findings, Recommendations and Good Practice. OECD

Ogilvie, Robert S. 2004. Voluntarism, Community Life, and the American Ethic. Bloomington: Indiana University Press

Ordonez, Victor, Kasaju, Prem K, dan Seshadri, C. 1997. Basic Education for Empowerment of the Poor; Report of a Regional Studi on Literacy as a Tool for Empowerment of the Poor. Bangkok. UNESCO/PROAP

Pichardo, Nelson A. 1997. New Social Movements: A Critical Review. Dalam Annual Review of Sociology; 1997; 23

Porta, Donatella della, dan Diani, Mario. 2006. Social Movement, an Introduction. Oxford: Blackwell Publishing

Purdue, Derrick. Ed. 2007. Civil Society and Social Movement. London: Routledge

Rahmat, Abdi. 2003. Peran LSM Dalam Penguatan Civil Society. Tesis S2 Departemen Sosiologi FISIP UI

Rahmat, Abdi, Husna Ilyas, dan Tirta Murlina. 2007. Peran PKBM dalam Meningkatkan Pemerataan Akses terhadap Pendidikan Dasar dan Menengah di Kab. Bogor dan Kota Depok. Jakarta: Laporan Penelitian UNJ

Rais, Amin. 2008. Selamatkan Indonesia. Yogyakarta: PSPKRitzer, George. Ed. 2005. Encyclopedia of Social Theory. Vol I. & II.

London: Sage PublicationRogers, Alan. 2005. Non-Formal Education; Flexible Schooling or

Participatory Education? New York: Kluwer Academic PublisherSinaga, Kastorius. 1995. NGO’s in Indonesia; the Roles of NGOs in

Development Process. SaarbruckenSivasubramaniam, Malini, dan Karen Mundy. 2007. Civil Society

and the Governance of Basic Education, Kenya Country Field Study. Comparative and International Development Education Centre, OISE/UT. Diakses dari http://cide.oise.utoronto.ca/civil_society/

56 | A B D I R A H M A T

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:27-56

Suharno. 2005. Manajemen Pembelajaran Paket C (Setara SMA): Studi Multi Kasus di PKBM Sidoharjo dan PKBM Slogohimo Kabupaten Wonogiri. Tesis Program Pascasarjana Manajemen Pendidikan. Universitas Muhammdiyah Surakarta

Suminar, Uum. 2005. Hubungan Kemampuan Manajerial, Motivasi Kerja, dan Persepsi Pengelola terhadap Program Pemberdayaan dengan Mutu Pelayanan PKBM di Kabupaten Garu. Bandung: Tesis Program Pascasarjana Pendidikan Luar Sekolah. Universitas Pendidikan Indonesia.

Walker, Ian, Ngai Kin Wong, dan Kerry Kretzschmar. 2002. “Relative Deprivation and Attribution; From Grievance to Action.” dalam Walker, Ian dan Smith, Heather J. Relative Deprivation; Specification, Development, and Integration. Csmbridge: Cambridge Universtiy Press

Wilson, John. 2000. “Volunteering.” dalam Annual Review of Sociology 26:215

Wirutomo, Paulus. 2001. Membangun Masyarakat Adab, suatu Sumbangan Sosiologi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia

Wollstein, Stefanie Edler, Beate Kohler Koch. 2008. It’s about participation, stupid. Is It? Civil Society Concepts in Comparative Perspectives. Dalam Jobert, Bruno dan Beate Kohler-Koch, ed. Changing Images of Civil Society; from Protest to Governance. Londan. Routledge

World Bank. 2006. Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: World Bank

Wright, Stephen C. and Linda R.Tropp. 2002. Collective Action in Response to Disadvantage Intergroup Perceptions, Social Identification, and Social Change. dalam Walker, Ian dan Smith, Heather J. Relative Deprivation; Specification, Development, and Integration. Cambridge Universtiy Press

Taylor, Marylee C.. 2002. Fraternal Deprivation, Collective Threat, and Racial Resentment, Perspective on White Racism. Dalam dalam Walker, Ian dan Smith, Heather J. Relative Deprivation; Specification, Development, and Integration. Cambridge Universtiy Press

Turner, Bryan S. Ed. 2006. Cambridge Dictionary of Sociology. Cambridge. Cambridge University Press

UNESCO. 2006. Guidebook for Planning Education in Emergencies and Reconstruction. Paris. International Institute for Educational Planning

UNICEF. 1999. The State of the Worlds Children. Geneva: UNICEFUnited Nations. 2010. The Millenium Developmeng Goals Report 2010.

New York: United Nations.