Suku Bangsa Alifuru

12
1 Orang(Manusia) Alifuru atau Upao - bahasa tanah, adalah identitas jati diri dan nama sukubangsa yang mendiami wilayah kepulauan Maluku, termasuk juga yang mendiami deretan kepulauan di timur pulau Papua, dan bagian timur kepulauan Nusa Tenggara. Berbatas di bagian barat dengan pulau Sulawesi, di sebelah timur dengan pulau Papua, di selatan dengan negara Timor Leste serta Australia, di utara dengan kepulauan negara Philipina. Suku-bangsa Alifuru - secara garis besar agar tidak mengulang, merupakan Ras Melanesia )1 , yang bahkan bila diurut secara geografis ada keterkaitan ras serumpun dengan suku-bangsa di kepulauan Palau, Samoa, Nauru dan lainnya yang mendiami wilayah kepulauan di Samudera Pasifik. Menurut para ahli sejarah dan antropologi mengatakan demikian setelah membandingkan dan mempertimbangkan berbagai hal kesamaan dan perbedaan ras, bahasa, kehidupan sosial, dan budaya, diantara suku-bangsa tersebut menurut hasil pengamatan atau penelitiannya. Seperti itu masih diyakini hingga saat ini oleh orang Maluku keturunan suku-bangsa Alifuru. Kepustakaan sumber data yang akurat dan pasti tentang Alifuru tidak dapat ditemukan secara lengkap, baik secara tertulis ataupun melalui hal-hal bukti kebendaan yang menerangkan jejak-jejak awal sejarah keberadaan sukubangsa Alifuru yang mendiami kepulauan Maluku saat ini. Sama sekali tidak dapat ditelusur secara detail sejak awal mula keberadaannya sebagaimana bangsa-bangsa lain, kecuali melalui informasi lisan orang per orang. Melalui informasi penuturanlah kemudian melahirkan data tulisan sejak adanya kehadiran bangsa lain dari luar kepulauan Maluku. Melalui literature yang

description

Beta tidak bermaksud mengatakan hanya Supa-Maraina sebagai satu-satunya tempat asal-usul sukubangsa Alifuru dan menyepelekan atau mengabaikan Nunu-Saku, tetapi dari rangkaian pemahaman mempelajari penulisan sejarah sukubangsa Alifuru sejauh ini, sepertinya ada satu dua matarantai yang terlewatkan atau hilang, sehingga sejarah sukubangsa Alifuru masih dibaca terputus-putus. Nunu-Saku di barat, dan Supa-Maraina di tengah - timur pulau Seram, keduanya aikon awal sejarah sukubangsa Alifuru secara mitologi, tapaknya – bakas tampa kaki, masih harus terus ditelusur, apakah tapak langkah maju atau berjalan mundur, agar ditemui pemiliknya, siapa dia dan dimana sesungguhnya berada.

Transcript of Suku Bangsa Alifuru

Page 1: Suku Bangsa Alifuru

1

Orang(Manusia) Alifuru atau Upao - bahasa tanah, adalah identitas jati diri dan

nama sukubangsa yang mendiami wilayah kepulauan Maluku, termasuk juga yang

mendiami deretan kepulauan di timur pulau Papua, dan bagian timur kepulauan Nusa

Tenggara. Berbatas di bagian barat dengan pulau Sulawesi, di sebelah timur dengan

pulau Papua, di selatan dengan negara Timor Leste serta Australia, di utara dengan

kepulauan negara Philipina. Suku-bangsa Alifuru - secara garis besar agar tidak

mengulang, merupakan Ras Melanesia)1, yang bahkan bila diurut secara geografis ada

keterkaitan ras serumpun dengan suku-bangsa di kepulauan Palau, Samoa, Nauru dan

lainnya yang mendiami wilayah kepulauan di Samudera Pasifik. Menurut para ahli

sejarah dan antropologi mengatakan demikian setelah membandingkan dan

mempertimbangkan berbagai hal kesamaan dan perbedaan ras, bahasa, kehidupan

sosial, dan budaya, diantara suku-bangsa tersebut menurut hasil pengamatan atau

penelitiannya. Seperti itu masih diyakini hingga saat ini oleh orang Maluku keturunan

suku-bangsa Alifuru.

Kepustakaan sumber data yang akurat dan pasti tentang Alifuru tidak dapat ditemukan

secara lengkap, baik secara tertulis ataupun melalui hal-hal bukti kebendaan yang

menerangkan jejak-jejak awal sejarah keberadaan sukubangsa Alifuru yang mendiami

kepulauan Maluku saat ini. Sama sekali tidak dapat ditelusur secara detail sejak awal

mula keberadaannya sebagaimana bangsa-bangsa lain, kecuali melalui informasi lisan

orang per orang. Melalui informasi penuturanlah kemudian melahirkan data tulisan

sejak adanya kehadiran bangsa lain dari luar kepulauan Maluku. Melalui literature yang

Page 2: Suku Bangsa Alifuru

2

telah ada, keberadaan sukubangsa Alifuru mula dibukukan kurang-lebih abad ke-16,

yang ditulis oleh para penulis bangsa Eropa.

Bangsa China di daratan benua Asia yang bertetangga dengan kepulauan Maluku dan

dikenal sebagai bangsa penjelajah samudera sejak masa sebelum perhitungan tahun

Masehi. Dalam literaturnya hanya diketahui keterangan sebatas penggunaan rempah-

rempah, yang antara lain menerangkan tentang cengkeh, sekalipun tidak secara spesifik

menjelaskan secara detail lokasi serta kondisi masyarakat dimana cengkeh itu berada.

Setidaknya itu yang bisa saya dapatkan sedikit pedoman setelah membaca tulisan

dengan judul “Jejak China di Maluku” yang ditulis oleh Elifas Tomix Maspaitella)2. Tulisan

tersebut cukup istimewa dan aktual, karena merujuk pada beberapa buku yang pernah

ditulis, walau tidak dalam konteks khusus mengulas tentang sejarah sukubangsa Alifuru.

Tetapi ada banyak hal yang termuat dan setidaknya mengindikasikan petunjuk, tentang

jejak lain sebagai informasi dan pedoman menelusur sejarah sukubangsa Alifuru lebih

jauh ke belakang. Tidak semata Nederlanscentris – kata penulis di atas.

Kecuali itu, terdapat “cahaya berbeda” sejarah sukubangsa Alifuru, juga versi mitologis,

lokus Supa-Maraina – Gunung Murkele)3, tetapi lebih merangkum dan menjelaskan

mulai dari tanjung Sial di barat hingga tanjung Siritoun di timur pulau Seram. Pieter

Jacob Pelupessy dalam Esurium Orang Bati, Disertasi Doktor – telah dibukukan, adalah

hasil dari 23 tahun (1985-2008) pengabdian beliau meneliti kebradaan Orang Bati, sub-

sukubangsa Alifuru, patut diapresiasi maksimal segenap Orang Maluku. Bahwa ada

pencerahan, perspektif baru, yang memungkinkan ditemukan rangkaian yang hilang

atau menjadi jalur yang lebih melebar untuk menelusur lebih luas dan dalam pada yang

mungkin masih samar, begitupun peluang menuju kesesuaian untuk menemukan

kebenaran sesungguhnya dari “misteri” sejarah perjalanan sukubangsa Alifuru.

Antara Nunu-Saku dan Supa-Maraina

Sejarah masa lalu sukubangsa Alifuru secara tertulis adanya setelah kehadiran

pendatang bangsa asing dari luar kepulauan Maluku, sayangnya lebih banyak

mengungkap tentang sejarah bertendensi politis demi kepentingan ekonomi dan

penyebaran agama. Apakah itu dari wilayah barat kepulauan Nusantara, dari Asia timur,

Asia tengah, Jazirah Arab, hingga bangsa-bangsa dari benua Eropa, sama dan sebangun.

Rekam jejak sukubangsa Alifuru tidak berbeda dalam cara pengungkapannya, semua

bersumber dari penuturan lisan sebagai data primer yang belum tentu mewakili secara

lengkap gambaran sesungguhnya. Harus dipahami bahwa persaingan diantara sesama

sukubangsa Alifuru untuk saling mendominasi dalam banyak hal dan khususnya

kekuasaan, adalah bagian dari sifat asli sukubangsa Alifuru, tidak hanya oleh

Page 3: Suku Bangsa Alifuru

3

sukubangsa lain. Namun demikian ada kebaikannya yaitu pada ikatan persaudaraan dan

persahabatan yang tak mudah dianeksasi, sekali terkait untuk selamanya.

Sejauh ini sejarah awal mula keberadaan sukubangsa Alifuru, versi terpublikasi selama

ini umumnya dipahami berasal dari suatu tempat di bagian paling barat pulau Seram

yang disebut Nunu-Saku, terletak di hulu sumber tiga sungai besar yaitu Tala, Eti dan

Sapalewa. Pemahaman merujuk kepada sumber-sumber penulisan sebelumnya yang

diketahui ditulis oleh para penulis bangsa asing bermula sejak adanya kehadiran

pendatang bangsa-bangsa asing dari luar kepulauan Maluku di abad pertengahan

Masehi, baru sekitar empat hingga lima abad yang lalu, itulah yang dijadikan referensi

pembenaran sejarah Alifuru.

Sejarah Alifuru hanya berpatokan kepada satu bagian tempat tertentu dari luasnya

wilayah pulau Seram. Lalu bagaimana dengan wilayah lain di pulau Seram, Alifuru pulau

Buru dan juga pulau Halmahera, ketiganya merupakan pulau terbesar di kepulauan

Maluku. Dalam sejarah ratusan tahun penjajahan oleh bangsa-bangsa Eropa, mereka

berhasil menguasai paling banyak seper-empat dari area pulau Seram, hanya yang

terdapat di bagian ujung barat dan sebagian pesisir selatan. Begitupun sama seperti oleh

kerajaan-kerajaan dari utara kepulauan Maluku, sebelum bangsa Eropa.

Sebaliknya, keyakinan turun-temurun oleh sukubangsa Alifuru khususnya yang hingga

saat ini masih berdiam di pedalaman hutan dataran tinggi pegunungan Manusela, bagian

tengah pulau Seram, maupun sebagian yang telah bermukim di pesisir pantai selatan

dan bagian timur pulau Seram. Mereka percaya nenek-moyang Alifuru, lahir dari gunung

Murkele dan menjalani kehidupan awalnya di wilayah bernama Supa-Maraina. Tempat

ini berada di dataran tinggi pegunungan Manusela, bagian timur laut gunung tertinggi di

pulau Seram dan kepulauan Maluku yaitu gunung Binaya (3027meter.dpl).

Masyarakat yang ada di perbukitan dan kaki pegunungan Manusela bagian selatan,

hingga pesisir pantai selatan pulau Seram, khususnya di wilayah Teluk Telutih

(Tounlutih – ujung/tanjung putih - buih ombak) mulanya adalah penyebaran dari Supa-

Maraina, dan dari kelompok dengan komunitas terbesar.

Ketika menyebar dari Supa-Maraina di dataran tinggi pegunungan Manusela, mereka

lebih memilih untuk menuju wilayah selatan, karena lebih bisa menghindari ancaman

dan serangan terus-menerus orang-orang asing dari arah utara, maupun dari barat yang

selalu melewati laut utara pulau Seram. Wilayah bagian utara topografinya tidak

strategis dari sisi keamanan untuk didiami, selain kesulitan untuk memantau pendatang

dari luar, wilayah utara cenderung datar hingga pesisir. Sehingga ribuan tahun pesisir

pantai utara tidak pernah ditempati, baru beberapa ratus tahun belakangan ini setelah

kehadiran orang-orang dari kerajaan-kerajaan di utara kepulauan Maluku. Kondisi

Page 4: Suku Bangsa Alifuru

4

berbeda dengan pantai selatan yang berbukit bergunung dan curam, sangat

menguntungkan dari sisi pemantauan dan pertahanan terhadap musuh dari luar pulau.

Alifuru Selatan atau disebut juga Upao Malia-mato, diperkirakan pada abad ke-15,

kehadiran penyiar agama Islam yang diantar atau datang bersama Alifuru Nunu-Saku

dari Huamual, yaitu dari mata-rumah Wala, Mahu, Lesi, Tuni, Moni, Peisina, dan Iha-

Tansailo)4. Sebagian Upao Malimato kemudian masuk menganut Agama Islam, tetapi

tetap masih bermukim menyebar di pedalaman. Hingga saat penjajah Belanda telah

menguasai Maluku dan dengan kepentingan politik Hongi-nya di abad ke-17, yang

membutuhkan banyak tenaga lokal untuk perang, tebang dan tanam –cengkeh dan pala,

maka terjadi semacam “pemaksaan” untuk dimukimkan di pesisir pantai, maka

terbentuklah pemukiman pertama di pesisir selatan teluk Telutih dengan nama

Namasina. Tentang “Sejarah Namasina” akan penulis jelaskan dilain tulisan.

Supa-Maraina terletak di dataran tinggi pegunungan Manusela, menyatu dengan gunung

Murkele Besar dan Murkele Kecil sebagai area mitologi sukubangsa, adalah merupakan

situs atau tempat keramat yang paling dihormati dan dilindungi. Kedua gunung tersebut

masih tetap terjaga dan tidak tersentuh atau dimasuki oleh “orang luar”. Tidak diijinkan

untuk siapapun orang luar atau sembarang orang, jangankan menginjakan kaki di

tempat itu, mendekatinyapun tidak diperkenankan, bila nekad nyawa taruhannya.

Hanya bisa oleh mata-rumah tertentu, dan harus terlebih dahulu melalui prosesi ritual

adat sumpah sirih-pinang, untuk memastikan benar-tidaknya yang bersangkutan

memang berasal dari tempat dimaksud, barulah dapat menjelajahi dan menjejakkan

kaki di dua gunung tersebut.

Sakralnya gunung Murkele (besar dan kecil) bagi sukubangsa Alifuru khususnya di

Seram bagian tengah adalah keniscayaan yang tidak dapat dinafikan, walaupun telah

lama menganut agama-agama samawi, Islam atau Kristen. Gunung Murkele oleh yang

mengakar mitologi Alifuru, masih dipercaya sebagai tempat lahirnya “Manusia Alifuru”,

nenek-moyang suku bangsa Alifuru. Sampai pun Orang Bati atau “manusia ilang-ilang”

dan komunitas yang selama ini dianggap bisa pergi kemana saja dengan cara terbang,

sebagai salah satu sub-sukubangsa Alifuru yang mendiami gunung Bati – pegunungan di

bagian paling timur pulau Seram, gunung Murkele merupakan tempat paling utama

dikeramatkan selain gunung Bati, karena diyakini adalah tempat asal usul Manusia Bati,

nenek-moyang Orang Bati)6.

Di dataran tinggi pegunungan Manusela yang sekarang telah menjadi bagian dari area

Taman Nasional Manusela, terdapat pemukiman yang sejak ribuan tahun lalu telah ada,

seperti kampung atau negeri Manusela, Maraina, Serumena – tiga kampong besar tertua,

dan banyak lagi perkampungan kecil. Masih sebagaimana jaman dahulu, lingkungan

Page 5: Suku Bangsa Alifuru

5

dimana mereka berada tetap terjaga dan lestari hingga kini, dan bukan hal yang perlu

dipertanyakan. Tempat asal “Manusia Alifuru”, nenek-moyang sukubangsa Alifuru

menjadi alasan utama dalam ritme kehidupan menempati wilayah ini, sehingga ragam

keburukan dan ambisi keduniaan diminimalisir melalui kearifan untuk selamanya

menjaga, melindungi, diselaraskan dengan kebaikan alam, karena dipercaya telah

memelihara dan mengantar kehidupannya hingga kini.

Beta tidak bermaksud mengatakan hanya Supa-Maraina sebagai satu-satunya tempat

asal-usul sukubangsa Alifuru dan menyepelekan atau mengabaikan Nunu-Saku, tetapi

dari rangkaian pemahaman mempelajari penulisan sejarah sukubangsa Alifuru sejauh

ini, sepertinya ada satu dua matarantai yang terlewatkan atau hilang, sehingga sejarah

sukubangsa Alifuru masih dibaca terputus-putus. Nunu-Saku di barat, dan Supa-

Maraina di tengah - timur pulau Seram, keduanya aikon awal sejarah sukubangsa Alifuru

secara mitologi, tapaknya – bakas tampa kaki, masih harus terus ditelusur, apakah tapak

langkah maju atau berjalan mundur, agar ditemui pemiliknya, siapa dia dan dimana

sesungguhnya berada.

Bahasa Alifuru

Sukubangsa Alifuru sangat kaya dengan perbendaharaan bahasa komunikasi, saat

ini setidaknya terdapat 117 bahasa lokal yang masih digunakan dari yang pernah ada

lebih 130-an bahasa lokal)7. Terdapat masing-masing bahasa komunikasi di setiap area

komunitas suatu wilayah tertentu, sehingga sangat banyak bahasa setempat yang

ditemui pada semua pemukiman masyarakat atau orang-orang sukubangsa Alifuru

diseluruh kepulauan Maluku. Ada perbedaan dialek dalam irama masing-masing bahasa,

tetapi sebagian besar bahasa memiliki kesamaan pengertian. Dialek atau irama dan

tekanan ucap berbahasa dan pengaruh tambahan pada awalan, imbuhan maupun

akhiran kata ketika berbahasa, memunculkan anggapan ada perbedaan. Ternyata tidak,

bila secara saksama dan detail diteliti, apalagi pada bahasa tanah, kental dan padu

penggunaan bahasa yang hampir sama persis di semua tempat kediaman kumunitas

sukubangsa Alifuru.

Dari sekian banyak bahasa yang dipergunakan sebagai sarana atau alat komunikasi

bercakap dalam kehidupan sosial diantara mereka, terdapat hanya ada satu jenis bahasa

khusus yang tidak dapat dipercakapkan atau tidak untuk digunakan sebagai bahasa

kumunikasi dua arah, yaitu Bahasa Tana(h) atau Kapata, di wilayah pulau Seram bagian

tengah-selatan disebut juga dengan Talili.

Page 6: Suku Bangsa Alifuru

6

Tatanan kehidupan sukubangsa Alifuru, sejarahnya dapat diketahui dan dipahami

melalui pemahaman tutur Bahasa Kapata sebagai Ibu dari bahasa-bahasa sukubangsa

Alifuru, karena “Bahasa Kapata” adalah bahasa pustaka sebagai cara Alifuru merekam

dan menuliskan sejarahnya dalam bentuk lisan)8. Khusus bahasa ini, hanya pergunakan

sebagai alat tutur menceriterakan suatu peristiwa, menerangkan suatu kejadian,

menunjuk dan menerangkan suatu tempat, dan paling utama adalah untuk

menyampaikan suatu pesan bijak. Sebab sukubangsa Alifuru pada masa lalu tidak

memiliki dan mengenal bahasa tulis, tetapi perbendaharaan kekayaan intelektual

berbahasa telah melahirkan ratusan bahasa pada masing-masing wilayah kediamanan

komunitas sukubangsa Alifuru.

Akan sangat mudah memahami bahasa-bahasa seluruh sukubangsa Alifuru, diyakini

demikian dengan terlebih dahulu memiliki pengetahuan berbahasa dari salah satu jenis

bahasa lokal yang digunakan masyarakat setempat. Belajar lebih dahulu berbahasa

lokal, barulah kemudian menelusur bahasa-bahasa lainnya, karena akan diketahui

bahwa ternyata ada kesamaan-kesamaan dan memungkinkan dapat menelusur untuk

mengerti bahasa pustaka Alifuru yaitu Bahasa Kapata.

Menurut tata berbahasa Alifuru maka dapat dibedah untuk mendapatkan pemahaman

kata atau kalimat sebutan yang menunjuk keterangan terhadap suatu tempat, sehingga

kata sebutan tentang sesuatu dalam percakapan bisa saja diartikan memiliki keragaman

dan kedalaman maksud yang bisa saja berbeda makna. Bukan perbedaan, tetapi

pergeseran dalam ucapan akibat irama atau ritme berucap dan oleh penyebutan

berulang-ulang dari waktu ke waktu akan menghasilkan kata sebagaimana saat ini

dikenal atau didengar.

Supa-Maraina sebagai kata contoh rujukan, berasal dari ucapan penyebutan terhadap

penamaan tempat yang dianggap sebagai tempat asal-usul Manusia Alifuru. Pengaruh

oleh ucapan, dialek atau irama bahasa, maka dapat memunculkan beberapa pengertian

dan maksud dari sukukata supa-maraina. Secara leterlek, Supa berarti beringin – pohon,

dan Maraina terdapat dua suku kata yaitu marai yang artinya dialek, aksen, atau irama

bahasa dan na adalah kata sambung tanpa makna karena oleh pengaruh irama ucapan.

Lebih jauh, Supa, mungkin juga berasal dari kata sopa yang artinya sembah, atau dari

dua kata sou dan pa. Sou artinya bahasa, dan pa artinya seperti, apa atau apakah.

Maraina, pengertiannya seperti pecahan dua kata di atas. Dalam praktek ucapan ; sou pa

- (pamo na), marai na, sehingga Supa-Maraina, berarti bahasa apa dialek.

Dalam pengertian lain - supa-maraina, bila supa yang dimaksud sopa – somba, atau

sembah dan marai adalah bahasa, ucapan, atau suara berirama seperti nyanyian, maka

bisa diartikan nyanyian persembahan. Tempat dimana dilakukannya ritual persembahan

Page 7: Suku Bangsa Alifuru

7

kepada nenek-moyang Alifuru dengan cara menyanyi dan menari, oleh karena diyakini

sebagai tempat asal-usul lahirnya nenek moyang suku-bangsa Alifuru. Yang terakhir ini,

tari-tarian sambil bernyanyi, mengarah kepada perbendaharaan adat upacara ritual

Alifuru, seperti tari Maku-maku, tari Pukare)9, tari Toti )10, Kahua)11 dan beberapa tarian

lainnya, bukanlah tarian biasa sebagaimana dikenal tari cakalele sebagai tari perang

karena tidak menggunakan nyanyian hanya irama pukulan tifa. Tetapi tari maku-maku,

pukare, toti, ditarikan dengan diiringi nyanyian, diselenggarakan dalam suatu upacara

ritual adat karena kebutuhan. Isi nyanyian dalam bahasa tanah (kapata) yang

mengandung kisah dan pesan sejarah, nasehat bijak, puji-pujian kepada nenek-moyang

dan alam lingkungannya dan penghotmatan kepada sang Penguasa manusia serta alam

semesta.

Contoh lain, Manusela atau Mansela. Terdiri dari dari dua kosa kata, Manu - man dan

sela. Manu atau man artinya burung dan sela artinya sisir - menyisir. Burung yang

terbang menyisir rendah ke tanah atau pepohonan. Manusela disematkan untuk

menyebut wilayah dataran tinggi di tengah-tengah pulau Seram, masih satu area dengan

Supa_Maraina, yang sangat kaya oleh melimpahnya keberadaan jenis burung-burung

cantik dan indah khas Wallacea, “birds of paradise”)12. Burung-burung ini memang liar,

tetapi senang hinggap di cabang dan ranting pepohonan yang dekat dari tanah, ketika

terbangpun secara rendah menyisir permukaan tanah. Itulah Manusela.

Supa-Maraina, apapun artinya – dalam terjemahan penulis di atas, tidak bermaksud

dapat mempengaruhi apalagi untuk merubah keyakinan terhadap posisi tempat

dimaksud, tetap saja tempat bersejarah, yang dipercaya sebagai lokasi awal asa-usul

Manusia Alifuru, nenek-moyang sukubangsa Alifuru.

Sejarah masa lalu sukubangsa Alifuru hanya dapat ditelusur dan diketahui melalui

sumber lisan(oral story). Dalam penafsiran sejarah berdasarkan perekaman dari sumber

lisan atau penuturan, bisa saja bergeser bahkan berbeda makna dan berbeda dari

maksud, sehingga kehati-hatian dengan telaah lebih dalam, dapat meminimalisir

kekeliruan suatu informasi atas suatu rekaman lisan peristiwa sejarah. Mengetahui latar

belakang penutur, kemampuan daya ingat dan struktur bertutur, merupakan cara cerdas

mengukur kualitas informasi atau keterangan yang disampaikan. Kelemahan oral story,

selalu ada pada kurang dan lebih-nya, oleh banyak sebab.

Sarana utama sebagai pengantar mengetahui dan memahami lebih baik sejarah Alifuru,

adalah bisa berbahasa salah satu dari sekian banyak bahasa lokal sukubangsa Alifuru,

pelajari dan cakaplah berbahasa Alifuru, terutama oleh anak-cucu masyarakat Alifuru di

sebagian negeri-negeri yang saat ini telah lenyap bahasa lokalnya.

Page 8: Suku Bangsa Alifuru

8

Hanya ada suku-bangsa Alifuru

Seringkali dalam pemahaman terucap maupun tulisan yang dipublikasikan banyak

orang, disebut terdapat begitu banyak suku-suku di Maluku, lebih khusus komunitas-

komunitas masyarakat di pulau Seram yang sebelumnya atau masih berkediaman jauh

dari pesisir pantai yaitu di pedalaman hutan-hutan, dataran tinggi, maupun pegunungan.

Dimaksudkan seperti masyarakat Nuaulu, Fuauru, Huauru, saat ini dan bahkan seperti

masyarakat Alune dan Wemale di masa lalu.

Kerancuan akibat ketidak pemahaman terhadap bahasa ucap dan komunikasi, juga

dikeruhkan dengan memformalkan suatu sebutan atas dasar kekurang-pengertian

terhadap keberadaan identitas asli penduduk sukubangsa Alifuru pada suatu tempat.

Nama komunitas sukubangsa Alifuru didasari letak keberadaan pemukimannya pada

suatu tempat atau wilayah, yang kemudian menjadi identitas keterangan tempat tinggal

atau asal-usul mereka. Harusnya seperti demikian, sebab penduduk asli pulau Seram,

pulau Buru dan seluruh pulau di kepulauan Maluku, hanya ada satu nama suku atau

bangsa, yaitu Alifuru. Tidak ada nama suku lain, yang benar hanya ada nama tempat atau

lokasi(area) di mana komunitas subsuku dari sukubangsa Alifuru bermukim.

Nuaulu atau Nuauru? Bukanlah nama suku ! Tetapi nama tempat(kampung) pemukiman

orang atau masyarakat Alifuru yang menempati atau tinggal dan berdiam di hulu sungai

Nua. Sungai(wae)Nua – wae Nua, berhulu di sebelah selatan – barat laut kaki gunung

Binaya dan mengalir ke arah timur, bermuara di teluk Telutih, selatan negeri Sunolu

Kecamatan Tehoru. Ulu atau uru artinya orang, Nuaulu artinya orang (dari) sungai Nua.

Demikian dengan Fuaru atau ucapan aslinya Vouaru, untuk pemukim di area hutan yang

banyak terdapat tumbuhan paku-paku dan pakis Seram – pakis binaya(cyathea

binayana). Huaru, di wilayah sekitar gunung Huale di sebelah timur Supa-Maraina, yang

banyak terdapat tumbuhan pohon pinang, khususnya pinang buah putih besar. Hua

artinya buah(pohon) pinang.

Nuauru, Fouauru atau Huauru, dan masih banyak lagi, sedemikian sama saja dengan

Alune maupun Wemale. Alune, adalah sebutan bahasa Alifuru yang artinya dari atas, di

atas, di atau dari gunung, Alifuru dari gunung. Alune padanan kata Alifuru-nya laun atau

a laun artinya di atau berarti juga daun, menunjuk pada sesuatu yang adanya dari atau di

atas. Wemale padanannya mahale, sama-sama artinya ke bawah, kesana – di atau ke

pantai, Alifuru yang tinggal atau turun ke bawah gunung atau pantai. Kata lain male yang

artinya pergi – jalan, petualang(berkeliling). Alune untuk menyebut masyarakat Alifuru

yang berada di pegunungan dan Wemale sebutan bagi yang telah keluar, pergi dari

gunung dan berdomisili atau menempati wilayah di pesisir pantai.

Page 9: Suku Bangsa Alifuru

9

Pemukim di pegunungan atau di pesisir pantai adalah masyarakat sukubangsa Alifuru,

hanya berbeda lokasi, tidak ada nama suku lain. Menyebut “suku-bangsa” mengartikan

Alifuru bukan hanya sekadar identitas sebatas suku, tetapi sekaligus suatu bangsa,

tetapi sebutan demikian menjadi tidak lazim. Disadari bahwa masyarakat Alifuru hari ini

berada dalam satu kesatuan sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik

Indonesia(NKRI), yang juga dikonotasikan sebagai sebuah bangsa yaitu Bangsa

Indonesia. Alifuru pun menjadi sub dari bangsa Indonesia, atau diposisikan hanya

sebagai suku dari yang seharusnya sebuah bangsa. Maka ditulis menjadi

sukubangsa(suku-bangsa), walaupun dalam kenyataan identitas ras dan karakter Alifuru

memang berbeda dengan umumnya sukubangsa lain di Indonesia.

Sub-suku atau Anak-suku Alifuru, lebih mungkin bisa digunakan dalam penyebutan

maupun penulisan, tidak menggunakan sebutan kata “suku” untuk suatu komunitas

masyarakat Alifuru di wilayah tertentu, selain hanya ada Suku-bangsa Alifuru. Kepada

Orang Maluku Alifuru khususnya, virus devide at ampera, bila itu niatnya, lenyapkanlah

segera bila tidak ingin kehilangan identitas jatidiri. Bila pun tidak, apakah mungkin anda

setuju bila setiap negeri, kampung, atau pulau, berdasarkan nama domisilinya masing-

masing saat ini disebut juga dengan suku ? Misalnya suku Amahei, suku Kairatu, suku

Tulehu, suku Eti, suku Sawai, suku Tehoru, suku Pelaw, suku Geser, suku Taniwel, suku

Namlea, suku Luhu, suku Tual, suku Saparua, suku Ternate, suku Tidore, dan lain negeri,

kota, pulau, masing-masing di Maluku mulai sekarang dikelompokkan sebagai suku.

Apakah ini semacam upaya mendegradasi, amputasi, atau mungkin mutilasi, yang bisa

dimaknai bermaksud mengingkari kesatuan identitas, dengan meretakkannya dalam

subsistem atas dasar kesadaran yang bermaksud pemecah-belah atau memang karena

ketidak pemahaman sehingga melabelkannya demikian. Semacam kerancuan pola pikir

dan pemahaman yang terjadi secara tergeneralisasi, apakah dari orang luar atau dari

oleh anak-cucu keturunan sukubangsa Alifuru sendiri. Disadari atau tidak sejarah

keberadaan masyarakat asli kepulauan Maluku yang terjadi di masa lalu dan hingga

sekarang, tulis iko beta pung mau – sesuka penulisnya, semoga saja tidak demikian.

Fenomena Kembalinya Jatidiri Alifuru

“Sampai saat ini sebutan Alifuru masih dianggap negatif dikalangan orang Maluku

sendiri karena menunjukan pada orang liar, kotor, bodoh, menakutkan, menyeramkan,

dan sebagainya. Sebutan ini sering dihindari ketika berlangsungnya interaksi dikalangan

masyarakat Maluku)13.

Page 10: Suku Bangsa Alifuru

10

Beta mengulang lagi sekadar mengingat, bahwa kerancuan dan kekeliruan pemahaman

mengenal identitas penduduk asli Maluku, setidaknya sejarahnya bermula dari dan demi

kepentingan kolonialisme bangsa Belanda di Maluku. Politik ekonomi Hongi - Tochten)14,

untuk memonopoli perdagangan komoditas cengkeh di pertengahan abad ke-17,

disertai dengan menjalankan falsafah politik kotor dan tidak beradab ; devide at impera,

pecah belah dan kuasai. Bukan hanya menguasai wilayah, orang, dan sumber hidup

ekonomi penduduk, tetapi juga merubah perjalanan sejarah tentang identitas dan

jatidirinya, pranata adat, budaya dan sistem kepemimpinan ribuan tahun, sengaja dan

terencana diganti, dirubah, hingga dilenyapkan.

Pilihan kepada orang Maluku (suku-bangsa Alifuru) saat itu, yang mau bergabung

dengan Belanda akan mendapat berbagai hak dan keistimewaan, serta yang paling

bergengsi adalah mendapat predikat dan stempel lebih beradab, pintar, bersih, dan

maju. Bagi yang tidak akan dipandang dan dijuluki sebagaimana kalimat di atas.

Masyarakat Alifuru terpecah-belah dalam pengaruh dan kungkungan Belanda, hingga

melahirkan anggapan salah, bahkan masih hingga kini, yang sebenarnya telah menghina

diri sendiri.

Virus politik penganuliran dan pembodohan oleh bangsa Belanda disuntikkan secara

sengaja dan berkesinambungan ke segenap persendihan dan otak masyarakat orang

Maluku. Kemudian terpelihara lalu dijangkitkan secara sadar dan diluaskan wabahnya,

diendemikkan, diinformasikan dan bahkan dikukuhkan kepada para cendekiawan

peneliti pendatang dari luar Maluku yang dating untuk menulis tentang sejarah Alifuru,

baik di masa lalu, bahkan dikemudian hari hingga saat ini.

Belakangan ini terdapat beberapa fenomena menarik dikalangan masyarakat Maluku –

Alifuru, yang menganggap diri telah pintar, bersih dan lebih modern, kebalikan dari

gambaran di awal sub judul tulisan ini, ternyata ketika menyelenggarakan upacara adat

mereka, nyata dan tanpa malu-malu mempraktekkan tata cara upacara adat sukubangsa

Alifuru, identitas dan budaya yang sudah pernah dengan sadar telah dihina dan

disingkirkan. Mungkinkah ini pertanda telah kembalinya ingat setelah sadar selama ini

ternyata telah kehilangan identitas sehingga merasa tidak mengenal lagi jatidirinya,

semoga demikian, tetapi harus apa adanya alias jujur.

Dalam fenomena lain, sekarang masyarakat Maluku sedang dalam proses pengembalian

identitas jati diri sebagai sukubangsa Alifuru. Lembaran-lembaran baru sejarah ditulis,

dikarang, lalu dipublikasikan. Meluas hingga komunitas geneologis pada masing-masing

mata-rumah, bahkan ada dalam satu mata-rumah bisa lebih dari satu versi sejarah.

Cenderung mengagungkan dan melebih-lebihkan secara sepihak matarumah, soa, negeri

atau wilayah masing-masing, sementara versi akurat dan lengkap mungkin saja masih

Page 11: Suku Bangsa Alifuru

11

retak dan sebagian serpihannya entah di mana. Sayangnya, tidak membantu

menjadikan sejarah Alifuru lebih baik, kian menjauh dari kebenaran sesungguhnya,

serta makin memperkeruh perseteruan melalui silang pendapat atas keakuratan sumber

dan relatifnya data sejarah Alifuru yang dapat diterima semua pihak.

Untuk itu, penulis cenderung pada penyampaian yang sifatnya menggugah semua pihak,

lepas dari keinginan dan egosentris sebagai anak-cucu keturunan Alifuru Supa-Maraina.

Jangan membacanya dari sisi pemikiran seakan sok tau dan dalam keinginan

terselubung untuk memperkeruh atau melebarkan silang pendapat. Sebagai harapan

agar kita lebih bijak bersikap dan kembali secara cerdas dan seimbang, sama-sama

melihat dan menelusur sejarah Alifuru. Menemukan pangkalnya tanpa melebih-lebihkan

yang kurang, menghindari ego yang dapat mengurangi apalagi menghilangkan

kebenaran sesungguhnya.

Kepustakaan yang ditulis tentang jejak awal sukubangsa Alifuru sepertinya belum

lengkap dan selesai penelusuran dan pengungkapannya, beberapa hal kebendaan dan

lingkungan alam, sama dengan melalui penuturan orang per orang atau sumber lisan,

juga karena waktu yang kian menjauh menjadikannya makin bias tak beraturan.

Tulisan ini sebagai penggugah dan ungkapan rasa, sekaligus pengetahuan sejarah yang

diketahui yang tentu mungkin belum sempurna, mungkin juga ada hal yang kemudian

dipertanyakan. Sejatinya, menjadi kewajiban dan pengenalan penulis sebagai anak-cucu

sukubangsa Alifuru dari garis-lurus keturunan Kapitane Lele Iha-Tehuayo. Satu dari tiga

keluarga Kapitang – Tehuayo, Ilela dan Lilihata, yang pernah memiliki kekuasaan dan

komunitas besar pada jamannya di wilayah Seram bagian tengah, khususnya dataran

tinggi pegunungan Manusela hingga pesisir dan laut selatan teluk Telutih.

Mungkin belum banyak, tetapi dari sekian literatur yang pernah ditelusur, dihimpun,

dibaca dan dipelajari, beta berkesimpulan bahwa pengungkapan tentang sejarah

sukubangsa Alifuru belum final.

Misteri, tetapi bukan mustahil, itulah sukubangsa Alifuru.

Alifuru mese !

Depok 20 Januari 2016

M.Thaha Pattiiha )*

----------------------------------------------------------

)*Pemerhati Alifuru, berdomisili di Kota Depok.

Page 12: Suku Bangsa Alifuru

12

Sumber ; 1) - Stephanie Lawson, ‘Melanesia’ (CS) - The History and Politics of an Idea, The Journal of Pacific History Vol.48, Issue 1, 2013. - Foreign bodies : Oceania and the science of race 1750-1940 /editors: Bronwen Douglas, Chris Ballard. ANU(The Australian

National University) E Press, by E-mail.

2) Elifas Tomix Maspaitella; Jejak China di Maluku, http://kutikata.blogspot.co.id/2010/05/jejak-dina-di-maluku.html

3) Pieter Jacob Pelupessy ; Eseriun Orang Bati, hal. 96 dan 167, Universitas Kristen Satya Wacana, item: http://repository.uksw.edu/handle/123456789/736

4) Arsyad Leuli(Wolu), Sejarah Perjalanan Guru Leuli di Telutih, penuturan – Ambon 1995. 5) Abdullah ‘Rinjani’ Tehuayo, Tutur Sejarah matarumah Kapitang Tehuayo, Telutih Baru 1990 6) Pieter Jacob Pelupessy ; hal. 96 dan 167, idem 7) Bahasa, Profil Investasi Provinsi Maluku hal.9, BKMD Provinsi Maluku 2005 8) Bahasa Tana(h)-Kapata; https://plus.google.com/+MThahaPattiiha/posts/Bftp8qCyr6v

9) Pukare, upacara ritual-“vulgar dan liar”, (tari & nyanyi)waktunya malam hari tanpa penerangan. Ket.peserta“SN”,1996. 10) Toti adalah tarian persembahan ( perang)–Kapata diringi tifa, penari laki-laki. A. Kumkelo(Laimu), Bekasi 2007. 11) Kahua, upacara ritual persembahan(tarian & nyanyi) mengawali pembangunan rumah atau pemukiman. Ket.“SN”,1996 12) Zonasi Taman Nasional Manusela, Kab.Malteng.Prov.Maluku hal.1, Balai Taman Nasional Manusla, 2011.

13) Pieter Jacob Pelupessy ; hal. 96 dan 167, idem. 14) Hany Tuarissa, AGAMA, BUDAYA DAN ADAT NEGERI TIHULALE http://kartope.blogspot.co.id/2014/03/agama-budaya-dan-adat-negeri-tihulale.html 15) http://www.everyculture.com/knowledge/Spices.html