Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
Transcript of Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
1/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998 1
Kesukubangsaan dan Primordialitas:
Program Ayam di Desa Mwapi, Timika,
Irian Jaya1
Parsudi Suparlan
(Universitas Indonesia)
Abstract
In this article, Suparlan uses both concept's of ethnicity and primordialism
in explaining the failure of Poultry Farming Assistance Program carried out
by the local office of the general of Animal Housebandry in Mwapi Villlage,
Irian Jaya. Among the Komoro's who live in this village are devided into two
clans: Muare and Pigapu. Their culture is called Ndaitita which mainly
based on egalitarianism. They do not have a formal social stratification.
Each person percieved as atomistic individual. Concepts of state and larger
societies do not exist in Komoro's culture. Their social relation base on
family and clan. When the head of Mwapi villages had task to coordinate
the chicken program, he only recruited the persons from his clan: Muare.
According to Suparlan, the heads start his ethnicity in forming make this group. But the programs started to ruin when the group had to work
together. Komoro' peoples are very individualistic. So, the programs had
failure. To cover up this problems. Chief starts his primordialism as the core
beliefs.
1 Naskah aslinya disampaikan dalam Widyakarya Nasional Antropologi 1997, Jakarta 25-
28 Agustus 1997.
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
2/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 19982
Kesukubangsaan sebagai sebuah konsep ilmiah telah bergeser
pengertiannya dari mengenai isi kebudayaan menjadi mengenai jatidiri atauidentitas yang muncul dalam interaksi sosial, dan yang karena itu kajian
mengenai kesukubangsaan menjadi terfokus pada batas-batas sukubangsa dimana artibut-atribut kesukubangsaan yang mencakup simbol-simbol kebudayaan
sebagaimana didefinisikan oleh para pelakunya menentukan corakkesukubangsaan yang bersangkutan. Pergeseran tersebut dimulai oleh Frederik
Barth (1969:9-38) yang menunjukkan bahwa kajian mengenai sukubangsa bukanlah kajian mengenai kolektiva dengan isi atau taksonomi kebudayaannya,
tetapi kajian mengenai organisasi sosial yang askriptif berkenaan dengan asalmuasalnya yang mendasar dan umum dari para pelakunya; sebab, jika kajiannya
mengenai kolektiva dan isi kebudayaannya yang dilakukan secara taksonomimaka yang dihasilkan adalah kajian-kajian mengenai taksonomi kebudayaan,
pola-pola kebudayaan, akulturasi budaya, atau perubahan kebudayaan; dan
bukan kajian mengenai kesukubangsaan adalah (?) kajian yang memusatkan
perhatian pada antar hubungan di antara para pelaku, dengan jati dirisukubangsanya sebagai atribut-atribut yang digunakan dalam interaksi-interaksisosial. Karena itu Barth dalam tulisannya tersebut mengemukakan
pentingnya perhatian kajian mengenai sukubangsa pada batas-batas sukubangsa,yang terwujud dalam hubungan antarsukubangsa, karena dalam interaksi tersebut
perbedaan-perbedaan jati diri dari para pelaku nampak jelas ditunjukkan; yangterwujud baik dengan sengaja maupun dilakukan secara spontan, maupun
yang terwujud sebagai atribut-atribut fisik, simbol-simbol yang tersurat maupunyang tersirat, serta yang rasit (?). Berbagai tulisan mengenai kesukubangasaan
setelah tulisan Frederik Barth tersebut telah memenuhi khasanah kepustakaanantropologi, dan tulisan yang paling terakhir mengenai masalah kesukubangsaan
adalah hasil karya Jenkins (1997).
Jenkins (1997) tertarik untuk mendalami konsep kesukubangsaan denganmemusatkan perhatiannya pada permasalahan jati diri, yang dikajinya secaraakademik dan intelektual, dengan melihatnya dari sejarah perkembangan
penggunaan konsep ini yang dimulai oleh Max Weber, memperbandingkannya
dengan konsep ras, dan bahkan melihat konsep kesukubangsaan secarataksonomik untuk kemudahan analisis ( sic!). Dalam upaya untuk
mengoperasionalkan konsep kesukubangsaannya secara membumi, diamenggunakan kasus-kasus masyarakat negara di Eropa, yang dilihatnya secara
makro. Apa yang terabaikan dalam kajian Jenkins seperti tersebut di atasadalah batas-batas sukubangsa yang ditekankan pentingnya oleh Frederik
Barth. Batas-batas sukubangsa yang terwujud sebagai arena-arena interaksi
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
3/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998 3
yang terwujud dalam birokrasi, dalam tempat-tempat umum-lokal serta pasar,
yang mewujudkan adanya macam kebudayaan dominan atau bukan dominan pada tingkat makro (Bruner 1974: 251-280), yang mempengaruhi dan bahkan
dalam beberapa hal menentukan corak jati diri dari para pelakunya (Suparlan1995).
Permasalahan lainnya yang juga tercakup dalam kajian Jenkins (1997)tersebut di atas adalah sorotannya mengenai primor- dialitas yang dikemukakan
oleh Clifford Geertz (1973b: 268, 306), yang dilihat oleh Jenkins (1997:13,41)sebagai sama dengan kesukubangsaan. Padahal, dalam tulisannya tersebut
Clifford Geertz sama sekali tidak berbicara mengenai kesukubangsaan, walaupundia memang menyinggung masalah etnosentrisme di dalam pembahasannya
mengenai teori kebudayaan (1973a: 4), tetapi etnosentrisme berbeda atau tidaksama pengertiannya dari pengertian kesukubangsaan atau ethnicity. Yangdibicarakan oleh Geertz (1973b: 250) adalah primordialitas atau ikatan-ikatan
primordial, yang didefinisikannya sebagai 'sesuatu yang berakar pada sesuatu
yang 'sudah takdirnya' ( given) atau....di mana seseorang terikat secara moraloleh berbagai rasa tanggungjawab yang timbal balik pada anggota-anggotakerabatnya, tetangganya, sesama penganut agamanya, .... setidak-tidaknya
primordialitas tersebut sebagian terbesar terwujud oleh adanya kesadaran moralatas sesuatu kemutlakan yang penting atau utama yang dapat diperhitungkan
secara untung rugi semata-mata, yang diatributkan pada ikatan dirinyasendiri'. Dengan kata-kata yang lebih sederhana, Geertz (1973b: 268)
mengartikan primordialitas sebagai 'sebuah dunia jati diri perorangan atau pribadi,yang secara kolektif diratifikasi dan secara publik diungkapkan, yang merupakan
sebuah keteraturan dunia'. Primordalitas adalah sesuatu yang utama, atau primordial, yaitu perasaan yang dipunyai orang perorang, berkenaan dengan
keha- dirannya dengan kehidupannya di dunia ini sebagai suatu takdir bahwa
dia dilahirkan dan dibesarkan dalam suatu lingkungan keluarga dan kerabat,keyakinan keagamaan, bahasa, berbagai adat serta sistem-sistem makna yangada dalam kebudayaannya, yang dirasakan sebagai dunia kehidupannya yangutama karena tidak dapat terpisahkan dari dirinya, bukan hanya dalam hal-hal
yang rasional tetapi juga mencakup keseluruhan rasa yang dipunyainya. Konsep primordialitas ini oleh Geertz 1973b: 256-310) digunakan untuk memahami
proses-peoses integrasi nasional yang terjadi di negara-negara yang sedangterbentuk atau berkembang pada beberapa dekade yang lalu, di mana negara
yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip ideologi atau keyakinan nasionalismeserta negara secara utuh, karena adanya ikatan-ikatan atau sentimen-sentimen
primordial yang dipunyai oleh warganya secara orang perorang yang terungkap
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
4/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 19984
secara kolektif dan sosial.
Apa yang menarik dari interpretasi Jenkins (1997: 47-79) yang melihat primordialitas sama dengan kesukubangsaan, adalah penolakannya terhadap
konsep primordialitas, yang mengikuti pendapat berbagai ahli lainnya sebagaisebuah konsep yang obsolete, karena dia melihat bahwa primordialitas
sebenarnya tidaklah primordial (utama) tetapi primer (pertama), sebagai hasildari sosialisasi pada tahap-tahap pertama ( primary socialization) dari kehidupan
seseorang. Karena itu, menurut pendapatnya tersebut, konsep primordialitasdapat dilupakan begitu saja. Apa yang dikemukakan oleh Jenkins tersebut
harus dilihat dalam perspektif metodologi atau pendekatan yang digunakannya.Kalau permasalahan kesukubangsaan hanya akan dilihat dalam kaitannya
taksonomi jati diri serta dilihat dengan kaitannya dengan berbagai permasalahan jati diri, termasuk ras, seperti yang telah dilakukan oleh Jenkins, maka primordilitas memang menjadi sesuatu yang obsolete. Tetapi bila
kesukubangsaan dan primordilitas dilihat dari perspektif para pelakunya di
dalam melihat dan menginterpretasi dunia atau lingkungan yang dihadapinya, dimana perasaan-perasaan yang mendasar dan umum yang dianggap para pelakutersebut adalah sebagai yang utama, yang digunakannya sebagai sistem-sistem
acuan (reference systemm) yang selektif penggunaannya dalam mewujudkan jatidiri atau kesukubangsaan dalam interaksi bagi mempertahankan sesuatu
kehormatan ataupun memenangkan sesuatu dalam persaingan sumberdaya,maka primordialitas bukanlah sesuatu yang obsolete, dan utama atau primordial
karena tidak dilihat sebagai proses primer dari sosialisasi, tetapi menjadi bagiandari proses-proses terwujudnya jati diri dan batas-batas sukubangsa.
Saya akan menggunakan konsep kesukubangsaan dan primordialitas untukmenjelaskan kasus ketidakberhasilan Program Ayam dari Dinas Peternakan
Propinsi Irian Jaya yang diselenggarakan di desa Mwapi, Kelurahan Wania,
Kecamatan Mimika Timur, Kabupaten Mimika, Irian Jaya. Apa yang ingin sayatunjukkan adalah bahwa konsep kesukubangsaan dan konsep primordialitasadalah dua buah konsep yang sebenarnya berbicara mengenai sebuah
permasalahan yang sama, dan selalu ada dalam setiap gejala sosial dalam
kehidupan sebuah masyarakat yang tidak mengenal atau memahami makna-makna dari konsep-konsep masyarakat dan negara serta berbagai konsep lainnya
yang berkaitan dengan itu. Walaupun kesukubangsaan dan primordialitas tersebut berbicara mengenai masalah yang sama, tetapi, masing-masing mempunyai
penekanan dan implikasi ruang lingkup permasalahan yang berbeda dan yangkarena itu pendekatan taksonomik yang digunakan oleh Jenkins seperti tersebut di
atas menjadi tidak relevan.
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
5/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998 5
Latar belakang
Warga desa Mwapi adalah Orang Kamoro yang dalam kepustakaanantropologi dikenal dengan nama Orang Mimika (Pouwer 1955). Kebudayaan
Orang Kamoro yang dideskripsikan oleh Pouwer lebih dari 40 tahun yang lalu, pada dasarnya masih berlaku bagi umumnya Orang Kamoro di KabupatenMimika (Trenkenschuh 1970; Widjojo 1997), dan bagi Orang Kamoro yang
tinggal di desa Mwapi (Suparlan 1996a, 1996b, 1997a, 1997b, dan juga 1997c).Desa Mwapi terletak di sebelah timur kota Timika, termasuk kelurahan Wania,
Kecamatan Mimika Timur. Desa ini dibangun oleh Dinas Sosial Propinsi padatahun 1982, di sebidang tanah hak adat Orang Kaugapu yang telah diserahkan
kepada Dinas Sosial Propinsi Irja. Di sebelah utara desa Mwapi terdapatsungai Kauga, di sebelah selatan dibatasi oleh jalan raya yang menghubungkan
kota Timika dengan Mapura Jaya yang menjadi ibu kota kecamatan TimikaTimur. Warga desa Mwapi berasal dari warga masyarakat desa Muare Lama
dan Pigapu Pantai yang tinggal tersebar di tepi-tepi pantai dan rawa-rawa dimuara sungai Kamaro. Penduduk desa Mwapi, jika dilihat asal muasalnya
adalah keluarga-keluarga yang tergolong dalam salah satu dari dua taparu yangada di desa Mwapi, yaitu: Muare dan Pigapu. Bahkan nama Mwapi
sebenarnya adalah gabungan dari singkatan nama Mua (Mwa) dan Pi singkatandari Pigapu.
Walaupun kebudayaan Orang Kamoro di desa Mwapi dan di Timika pada
umumnya memperlihatkan pola-pola yang sama dengan yang dipunyainyakira-kira empat puluh tahun yang lampau, seperti dinyatakan di atas, tetapi
sesungguhnya kebudayaan mereka ini telah mengalami perubahan yang tidakkecil. Perubahan ini terutama disebabkan oleh PT Freeport-Indonesia (PTFI)
yang melakukan penambangan tembaga dan emas di daerah pegununganGrassberg dan dibangunnya kota serta pelabuhan pertambangan di Timika.
Penambangan yang dimulai pada tahun 1973 dan mulai berkembang pesat sejakakhir tahun 1980an membawa dampak masuknya pendatang-pendatang
spontan dari luar Timika dan dari luar Irian Jaya. Bersamaan dengan inimasuk dan mantapnya sistem ekonomi uang ke dalam kehidupan Orang
Kamoro, meningkatnya kebutuhan-kebutuhan konsumsi serta kebutuhan-kebutuhan kehidupan lainnya yang harus dipenuhi sementara kemampuan
produktif mereka untuk dapat dipasarkan secara relatif adalah tetap samadengan kemampuan produktif mereka sebelumnya. Kondisi yang mereka
punyai ini telah menyebabkan mereka di satu pihak ingin mengejarkemampuan dan kemakmuran yang berada di depan mereka serta mereka
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
6/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 19986
hadapi sehari-hari tetapi di lain pihak mereka itu menjadi putus asa karena
ketidak mampuan untuk meraihnya dan karena itu hidup dengan mengikuti pola-pola kebudayaan secara tradisional berlaku dalam kehidupan mereka.
Semakin besar dan berkembangnya PTFI dan semakin mantapnya kekuasaan pemerintah Republik Indonesia di Timika berdampak pada semakin sadarnya
Orang Kamoro, termasuk warga desa Mwapi, akan ketergantungankehidupan mereka pada pemerintah. Bagi mereka PTFI dan pemerintah adalah
memberi rezeki atau kemakmuran dan tempat menggantungnya nasib kehidupanmereka. Bagi mereka pemerintah adalah kekuasaan yang dapat menghancurkan
mereka tetapi juga pemberi hadiah-hadiah yang murah hati, pemaaf, dan yangharus disenangkan hatinya.
Jumlah penduduk Kamoro di Mwapi pada tahun 1996 ada 608 orang,yang terdiri atas 95 keluarga. Di antara penduduk Kamoro di desa Mwapiterdapat 29 keluarga, atau 155 orang, yang tinggal di permukiman sementara di
dekat peternakan sapi "Pangan Sari", yang terletak di sebelah barat dari kota
Timika. Mereka ini, yaitu orang dewasa dan kepala keluarga bekerja di perusahaan peternakan tersebut. Di samping Orang Kamoro yang menjadi penduduk desa Mwapi, juga terdapat warga desa tersebut yang berasal dari
luar Kamoro. Jumlah mereka ada 4 keluarga atau 29 orang, yang berasal dariKei yang hidup di desa tersebut sebagai guru SD setempat atau ikut keluarga
guru tersebut. Jumlah warga taparu Muare dibandingkan dengan jumlah wargataparu Pigapu yang tinggal di desa tersebut kira-kira sama dengan 70%
dibanding 30%. Masing-masing anggota atau keluarga hidup mengelompokdalam lingkungan taparunya sendiri. Sehingga, bila kita berkunjung ke desa
Mwapi, terdapat kesan bahwa desa tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu:di bagian sebelah barat desa Mwapi adalah rumah-rumah dan pekarangannya
yang dihuni oleh keluarga taparu Muare dan di bagian sebelah timurnya
adalah hunian dari para warga taparu Pigapu. Kepala desa Mwapi berasal daritaparu Muare, yang terpilih sebagai kepala desa karena jumlah pemilih asaltaparu Muare lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pemilih dari taparu Pigapu.
Mata pencaharian utama mereka adalah memangkur sagu, menangkap
ikan dan kerang serta kepiting di sungai, rawa-rawa, dan di tepi pantai, meramuhasil hutan, berburu dan menjerat babi hutan serta burung, dan berkebun.
Bercocok tanam bukanlah mata pencaharian utama mereka tetapi mereka itumembuat kebun atau ladang juga walaupun tidak baik perawatannya. Hutan
yang telah ditebangi atau bekas kebun lama yang telah ditebang dan ditebasi
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
7/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998 7
semak belukarnya, ditanami pohon pisang, ubi kayu, ubi manis, keladi, pepaya,
dan tembakau. Mereka tidak mengenal konsep tebas-bakar dalam pembuatanladang atau kebun. Tanaman-tanaman tersebut setelah tumbuh lalu
ditinggalkan, dan pada waktu menurut perki- raan mereka telah ada tanamanyang pantas dipanen maka mereka datang ke kebun. Rumah-rumah mereka
biasanya dibangun di tepi sungai tidak jauh dari kebun-kebun mereka atau ditepi pantai, begitu juga kebun-kebun mereka itu biasanya dibuat di tepi-tepi
sungai, di daerah-daerah yang kering atau tidak berpaya.Secara tradisional mereka itu hidup mengelompok dalam satuan
kekerabatan yang dinamakan taparu atau klen, yang pada dasarnya mengikuti prinsip matri-bilateral, yang juga merupakan sebuah kesatuan hidup teritorial,
yang terdiri atas beberapa keluarga atau fam, yang merupakan sebuah perkampungan atau desa. Menurut keterangan kepala desa Mwapi, OrangMuara berasal dari desa Muare Lama, yang dibangun oleh pemerintah penjajahan
Belanda pada tahun 1953 untuk memukimkan keluarga-keluarga yang
tergolong dalam taparu-taparu yang termasuk suku Mauripi. Keberadaan dankelestarian sebuah taparu tidak langgeng. Sesuai dengan konteksnya, sebuahkeluarga atau fam atau sebuah kampung dapat berubah menjadi sebuah taparu,
tergantung pada pentingnya fam atau keluarga tersebut bagi pengorganisasiankehidupan sosial untuk terwujudnya pengelompokan teritorial atau perkampungan
dapat mensejahterakan kehidupan mereka. Di kampung Muare Lama, sebagaicontohnya, yang terletak di tepi pantai di muara sungai Kamora terdapat
empat buah taparu (Pouwer 1955: 283), yang taparu-taparu tersebut di desaMwapi berubah menjadi fam atau hilang diganti dengan nama fam yang lain.
Bahkan, taparu Muare di desa Mwapi sebenarnya adalah nama kampungMuare Lama yang merupakan tempat hunian teritorial dari pengelompokan
empat taparu, seperti tersebut di atas. Pemerintah jajahan Belanda di Irian
Jaya dan pemerintah Indonesia, mengupayakan supaya kelompok-kelompoktaparu yang kecil jumlah warganya itu dapat bermukim dalam sebuah'kampung' (jaman pemerintah Belanda) atau dalam sebuah 'desa' (jaman peme-rintahan Indonesia) secara bersama-sama. Hasil dari kebijaksanaan tersebut,
sebagaimana yang telah kita lihat pada masa sekarang, adalah adanya desa-desa Orang Kamoro yang dihuni oleh setidak-tidaknya dua taparu, seperti yang
berlaku dalam desa Mwapi.Hidup dari sagu sebagai makanan pokok dan ikan sebagai lauk utama,
dan sekali-kali menyantap hasil kebun (pisang,singkong, ubu manis, ataulainnya), nasi dan/atau supermie telah menyebabkan bahwa mereka itu secara
tetap dan terus menerus melakukan perpindahan dari hulu sungai (tempat
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
8/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 19988
dusun-dusun sagu tempat mereka memangkur sagu), ke muara sungai (tempat
menangkap ikan, kerang, dan kepiting) dan kebun-kebun mereka (antara huludan muara sungai). Sampai sekarang pola kehidupan seperti ini masih mereka
ikuti, termasuk mereka yang telah menjadi warga permukiman transmigrasisetempat di kabupaten Mimika. Sehingga desa-desa Orang Kamoro hanya
pada waktu-waktu tertentu saja warganya lengkap, termasuk desa Mwapi.Dalam kehidupan Orang desa Mwapi, dan ini juga berlaku dalam kehidupan
Orang Kamoro pada umumnya, corak keluarga adalah keluarga batih; danrumah tangga atau dapur adalah yang utama. Kewajiban terhadap sesama
anggota keluarga adalah dalam tolong menolong bila ada kesusahan, danhubungan antara keponakan dengan saudara laki-laki ibu serta hubungan
antara menantu laki-laki dengan mertua adalah lebih penting dari hubungan-hubungan kekerabatan lainnya. Kasih sayang di antara sesama anggotakeluarga batih serta di antara mereka yang sekerabat adalah yang mengikat
hubungan-hubungan di antara mereka yang sekerabat.
Walaupun demikian posisi seorang individu sebagai perorangan dalamkeluarga adalah unik atau atomistik, yang terwujud dalam berbagai bentukkepemilikan individual atas benda-benda berharga untuk sumber-sumber
kehidupan mereka maupun dalam bentuk atribut-atribut untuk jati diri. Masing-masing anggota keluarga, anak-anak mempunyai kebebasan individual yang
relatif besar dalam mengemukakan pendapat dan dalam kebebasanmelakukan berbagai kegiatan sehari-hari, termasuk adalam hal kebiasaan
makan. Masing-masing anggota keluarga bila ingin makan, secara bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri dalam waktu yang bersamaan maupun
dalam waktu yang berbeda-beda, mengambil sagu dari tumong atau tempat sagumentah yang terbuat dari anyaman daun sagu yang tersimpan di dapur, untuk
membuat sagu bakar sendiri untuk dimakannya sendiri. Hanya anak-anak balita
yang dipersiapkan makanan dan minumannya oleh orang tuanya, terutama olehibunya masing-masing.
Pada masa sekarang, di mana anak-anak harus tinggal di desa untuk
bersekolah sementara orang tua harus pergi memangkur sagu atau mencari ikan,menjadikan kemandirian anak-anak tetap bagian utama dari sosialisasi. Oleh
orang tua mereka, masing-masing anak diberi satu atau beberapa batang pohonkelapa untuk mereka ambil buahnya bagi makanan mereka selama orang tua
mereka harus pergi untuk memangkur sagu di dusun sagu 'milik' fam mereka, fam kerabat mereka, atau milik taparu mereka di hulu sungai, atau pergi
menangkap ikan di pantai selama dua atau tiga minggu. Dalam keadaan
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
9/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998 9
demikian anak-anak tersebut ikut dengan orang tua mereka, atau bila anak-
anak tersebut harus tetap tinggal di desa untuk bersekolah mereka itu dititipkan pengawasannya kepada kerabat dekat, sementara sejumlah sagu mentah juga
dititipkan pada kerabat tersebut untuk makanan anak-anak, yang harus merekamakan dengan cara memasaknya sendiri.
Kemandirian dari orang perorang, mencakup juga kemandirian dalam halkerja dan hasil kerja yang menjadi miliknya sendiri, dan tidak perlu dibagikan
sebagian hasilnya kepada orang lainnya. Bahkan dalam kegiatan kerja sama, prinsip hak kepemilikan perorangan ini tetap berlaku. Banyak contoh-contoh
mengenai hal ini dalam kehidupan Orang Kamoro di desa Mwapi, untuk itu sayaakan mengambil sebuah contoh dalam kegiatan memangkur sagu di hulu sungai
Pika, yang terletak di bagian sebelah utara timur laut dari desa Mwapi.Sepanjang sungai Pika adalah daerah rawa-rawa yang ditumbuhi oleh
pohon-pohon sagu yang hidup dalam kelompok-kelompok dusun sagu. Masing-
masing dusun sagu ini secara tradisional merupakan milik dari taparu-taparu
dan fam-fam yang pada masa sekarang hidup di desa Mwapi. Perjalanan daridesa Mwapi ke dusun-dusun sagu tersebut bisa memakan waktu 2-3 haridengan menyusuri sungai Kauga ke arah hilir dan kemudian berbelok ke arah
kanan di pertemuan sungai Kauga dengan sungai Pika, lalu terus menyusurisungai tersebut ke arah hulu. Rombongan peramu sagu ini biasanya terdiri atas
tiga sampai dengan lima keluarga. Sesampai di daerah sagu yang menjadi hakadat mereka, masing-masing membersihkan atau memperbaiki gubuk-gubuk
yang sudah ada, yang telah dibangun masa lampau oleh orang-orang tua merekamasing-masing, untuk tempat menginap. Selama kira-kira dua minggu mereka
tinggal di gubuk-gubuk tersebut, dan masing-masing keluarga (suami isteridengan dibantu oleh anak mereka yang sudah remaja, bila ada) berpencar ke
dusun-dusun sagu yang secara adat adalah milik keluarga atau famnya untuk
memangkur sagu, menjerat babi dan burung, dan menangkap ikan untuk laukmakan mereka. Setelah waktu yang mereka setujui untuk memangkur sagu ituhabis, mereka kembali lagi ke desa Mwapi secara bersama-sama. Masing-masing dengan perolehan jumlah tumang sagu yang berbeda. Ada yang bisa
mengumpulkan sampai dua puluh lima tumang sagu dan ada yang hanyamampu mengumpulkan sepuluh tumang sagu saja. Perolehan ini tergantung
pada waktu kerja yang telah mereka curahkan untuk memangkur sagu, atauuntuk kegiatan-kegiatan lainnya, selama mereka berada di dusun sagu
tersebut. Apa yang telah mereka peroleh adalah hak milik mereka masing-masing, dan tidak ada konsep untuk memberikan sedikit sagu pun bagi mereka
yang sedikit perolehannya. Dengan kata lain, tidak ada konsep gotong royong
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
10/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 199810
atau bekerja sama untuk kepentingan bersama. Yang ada dalam konsep
kebudayaan mereka adalah, bekerja bersama-sama tetapi perolehannya untukmereka masing-masing yang mengerjakannya.
Prinsip lain yang mendasar yang ada dalam kebudayaan mereka, sebagaisesuatu yang teradatkan dan utama dalam kehidupan mereka, yang mereka
namakan ndaitita , atau pedoman bagi kehidupan yang ditentukan oleh dandiwarisi dari nenek moyangnya yang mereka anggap sebagai yang sakral serta
bersanksi gaib. Prinsip yang utama dalam ndaitita adalah prinsip timbal balikatau reciprocity, yang mereka namakan aopao. Prinsip timbal balik ini terwujud
di hampir keseluruhan aspek kehidupan mereka, baik dalam hu- bungannyadengan sesama di dunia yang nyata, maupun dalam hu- bungannya dengan
dunia gaib. Di antara prinsip timbal balik yang menonjol, yang relevan dengantulisan ini adalah yang dinamakan nawarapoka yang artinya pembayarankembali atas segala sesuatu yang telah diterima dari pemberian oleh pihak
lainnya, yang menghasilkan adanya kegiatan balas membalas pemberian baik
berupa materi maupun berupa jasa-jasa atau pujian. Di samping itu ada prinsip paiti, yang arti harafiahnya adalah malu. Konsep paiti ini merupakan pendukung atau pendorong bagi dilaksanakannya aopao atau nawarapoka oleh
para pelaku yang bersangkutan; karena, kalau hanya mau menerima pemberiansaja itu maka hal itu sangat memalukan bagi si penerima di mata para pelaku
lainnya.Prinsip timbal balik beserta keseluruhan konsep-konsep budaya
pendukung yang mendorong perwujudannya dalam berbagai bentuk tindakansehari-hari maupun dalam upacara-upacara, terutama berlaku dalam lingkungan
kerabat dan taparu, atau orang-orang luar kerabat dan taparu yang dianggapsebagai teman dekat. Contoh tadi dilaksanakannya prinsip aopao yang terwujud
sebagai nawarapoka yang melibatkan paiti adalah kewajiban pengabdian
menantu laki-laki kepada mertua dan keluarganya. Menantu laki-laki diperlakukansebagai sapi perah yang harus menghidupi mertua dan keluarganya, karenadia telah diberi anak perempuan oleh sang mertua untuk dikawininya, atau untukmenjadi isterinya. Apa yang menarik dari prinsip aopao, yang juga berlaku di
hampir semua kebudayaan sukubangsa di Irian Jaya, adalah bahwa imbalanatau pembayaran tersebut harus dituntut, yaitu dengan cara mengingatkan
bahwa kalau tidak dilakukan pembayaran nawarapoka maka hal itumemalukan ( paiti), dan kalau tidak juga dilakukan nawarapoka atau imbalam
pembayaran oleh orang yang menerima pemberian walaupun sudahdipermalukan, maka si pemberi merasa dipermalukan dan untuk menghapus rasa
malu tersebut maka si pemberi akan mengimbanginya dengan cara melakukan
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
11/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998 11
pembalasan, dengan menggunakan berbagai cara tenung atau sihir.
Dari uraian tersebut di atas corak masyarakat desa Mwapi serta OrangKamoro pada umumnya adalah egalitarian. Yaitu sebuah masyarakat yang
relatif tidak mempunyai sistem penjenjangan secara formal (Fried, 1967), dankarena itu secara relatif terdapat kesamaan dalam hak dan kewajiban dari
individu-individu warga masyarakatnya. Individu-individu mempunyai ciri-ciri yangatomistik. Hubungan-hubungan di antara sesamanya terikat melalui berbagai
sistem kekerabatan yang berdasarkan atas pilihan-pilihan pribadi dan diatur berdasarkan atas prinsip timbal balik. Kemunculan tokoh atau orang yang
berprestasi (we ayku) mulai ada dalam sejarah kebudayaan Orang Kamoro,tetapi konsep we ayku ini punah bersama dengan mantapnya kekuasaan
penjajahan Belanda di Timika yang menekankan kekuasaan administrasi desadengan kepala desa yang ditunjuk. Pada masa sekarang seorang kepaladesa, yang dipilih oleh warga desa, bukanlah seorang we ayku. Kepala desa
dipilih oleh warga desa karena dia adalah anggota taparunya atau karena dia
kerabat dari anggota taparunya, dalam persaingannya dengan calon kepaladesa lainnya yang ada adalah anggota taparu lain.
Orang Mwapi dan orang-orang luar
Dalam kehidupan Orang Mwapi hanya anggota keluarga dan kerabat
yang tergolong sebagai taparu mereka yang dapat mereka percayai, merekamintai tolong, dan hidup dengan prinsip timbal balik atau aopao, yang merekagolongkan sebagai orang-dalam, sebagai lawan dari kategori orang-luar. Di luar
kategori tersebut semua orang digolongkan sebagai orang-luar. Anggota-anggota taparu lainnya, yang sama sekali tidak ada hubungan kekerabatan
malalui hubungan perkawinan, yang hidup bersama dalam satu desa, jugadigolongkan sebagai orang-luar. Konsep orang-dalam lawan orang-luar tidak
terwujud sebagai sebuah konsep tersendiri, tetapi ada dalam konsep umum we yang artinya manusia. Tercakup dalam konsep we ini terdapat konsep yang
mendasar yang dinamakan iwoto atau manusia yang beradab yang mengenalkasih sayang sebagai manusia yang dibedakan dari orang-luar atau juga dari
hewan. Tidak adanya konsep orang-luar sebagai sebuah konsep kebudayaantersendiri, dalam khazanah tradisi budaya mereka, mungkin disebabkan oleh
keberadaan orang-luar yang menurut mitologi mereka sebenarnya berasal darimereka sendiri yang telah mengembara meninggalkan mereka dan sekarang
kembali sebagai anak cicit nenek moyang tersebut. Orang-luar tersebut biasanya dilihat sebagai orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan dalam
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
12/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 199812
pengetahuan, teknologi, dan kekayaan yang membuat mereka tunduk atau
mengalah karenanya. Konsep orang-luar, sebagaimana yang sekarang ada dalamkebudayaan mereka, secara tradisional justru mengacu pada penggolongan
berdasarkan perbedaan pengelompokan secara kekerabatan, berdasarkan atas perbedaan asal taparu dan desa atau kampung.
Dalam sistem penggolongan masa kini yang dipunyai oleh Orang Mwapimengenal orang-luar, golongan yang paling luar adalah orang-orang pendatang
dari luar Irian Jaya yang mereka tandai berdasarkan atas ciri-ciri fisik dankebudayaannya. Selanjutnya, secara berturut-turut, sistem penggolongan orang-
luar mencakup para pendatang dari berbagai asal sukubangsa di Irian Jaya,orang-orang Kamoro dari desa-desa lainnya, orang-orang yang berasal dari
taparu lain tetapi menjadi warga desa yang sama, orang-orang dari fam ataukeluarga luas yang matri-bilateral lain tetapi berasal dari taparu yang sama,orang-orang dari rumah tangga atau keluarga batih lainnya tetapi masih berada
dalam satu famatau keluarga luas, dan terakhir adalah individu atau perorangan
lainnya di luar dirinya walaupun masih sesama anggota rumahtangga ataukeluarga batih. Konsep mengenai orang-luar yang tercakup dalam berbagaigolongan tersebut seringkali dikacaukan oleh pentingnya hubungan perorangan
di antara mereka dengan orang-luar. Hubungan-hubungan perorangan yangdekat dapat meniadakan batas-batas serta jarak-jarak sosial yang jauh yang
seharusnya terwujud sesuai dengan sistem penggolongan tersebut.
Pengalaman-pengalaman menghadapi orang-luar, yang di satu pihak menguntungkan kehidupan ekonomi sehamereka, lain juga mereka rasakan sebagai merugikan kehidupan mereka secara menyeluruh, telah membuat m
tidak berani untuk menentang atau melawannya. Trenkenschuh (1970) telah membahasnya serta menyimp bahwa kebudayaan orang Kamoro telah dihancurkan sebagai akibat hubungan-hubungan mereka dengan
penyebar agama Katolik, dengan sistem penjajahan Belanda yang menuntut pajak dan kerja rodi, dan dengan pe
Jepang yang lebih kejam lagi. Yang mereka punyai sekarang adalah rasa rendah diri serta tidak percaya dirimenghadapi orang-luar, dan untuk membangkitkan rasa percaya diri tersebut mereka lari ke minuman beralSelama penelitian saya di lapangan, saya mengamati kebenaran pendapat Trenkenschuh tersebut dalam bentuk ggejala pemabokan yang umum berlaku dalam kehidupan mereka. Tetapi saya juga melihat adanya kemampuan
Kamoro, terutama di desa Mwapi untuk menyembunyikan kelemahan tersebut dengan cara berlaku sopanmenghadapi orang-luar. Gejala tersebut terutama dapat diamati dalam hubungan mereka dengan para pejabat
biasanya datang untuk memberi hadiah-hadiah kepada mereka, berkomunikasi dengan para tamu pejabat yang d berkunjung dengan menggunakan idiom-idiom sesuai dengan kategori pejabat atau orang-luar yang mereka h
tersebut (hal ini juga dikemukakan oleh Widjojo (1997) dalam pembahasannya mengenai hubungan Orang K dengan orang-luar). Karena itu Orang Kamoro memberikan kesan sebagai golongan sukubangsa di Kabu
Timika, yang dapat dibedakan dari ciri-ciri kebudayaan suku-sukubangsa lainnya, karena mereka ini berpena
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
13/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998 13
sopan, penurut, dan indecisive atau tidak mempunyai ketegasan dalam memutuskan sesuatu masala
ciri Orang Kamoro mirip dengan stereotip yang dikenakan pada Orang Jawa yang dikatakan, kalausesuatu suruhan dari atasan adalah dengan cara mengatakan inggih (ya) tetapi tidak dikerjakan, p
ingin menyatakan mboten (tidak). Atau menyatakan mbesuk (besok), padahal artinya bisa kapatersebut tidak pernah dikerjakan.
Berkaitan dengan performansi dalam interaksi dengan orang-luar
tersebut, kemampuan memainkan peranan sebagai pemain panggung padaOrang Mwapi juga cukup tinggi. Apa yang dikemukakan dalam rapat-rapat atau
pertemuan-pertemuan desa dengan pejabat yang datang berkunjung biasanyahanya basa-basi untuk memuaskan ego para pejabat yang bersangkutan. Kecuali
bila dia atau mereka itu tahu bahwa si pejabat atau si pengunjung itumengetahui seperti apa sebenarnya isi dari kebudayaan atau ndaitita yangmereka punya itu. Dalam keadaan demikian itu biasanya tidak lagi dapat
menjadi pemain panggung ( front stage), tetapi sebaliknya mereka itu akan
bertindak biasa sebagai Orang Kamoro yang mengungkapkan keadaansebenarnya mengenai kehidupan mereka (back stage), bila kita menggunakanmodel interaksi dari Goffman (1959) di dalam kita memahami gejala-gejala
tersebut. Gejala lain yang saya amati dari dampak hubungan dengan orang-luaryang menyebabkan mereka menjadi merasa rendah diri adalah, mengatasi
rasa rendah diri mereka dengan cara melarikan diri ke dalam dunia Kamoroatau ndaitita yang mereka ciptakan atau bangun kembali, baik secara sadar
ataupun secara tidak sadar. Mereka menekankan kembali pentingnya hidupsubsistensi yang berpindah-pindah dari hulu sungai ke tepi pantai dan tepi pantai
ke kebun, yang mereka lakukan secara terus menerus dan berulang-ulang dariwaktu ke waktu, dan dari satu generasi berikutnya. Dengan cara-cara tersebut,
mereka itu merasa memperoleh kebebasan pribadi dari berbagai perasaan
tertekan secara sosial, ekonomi, dan politik yang mereka hadapi sehari-hari.Melalui cara-cara hidup seperti tersebut di atas, mereka menciptakan
serta menghidupkan kembali ikatan-ikatan primordial yang telah dihancurkan oleh pemerintah jajahan Belanda dan Jepang dan oleh gereja. Keluarga, kerabat, dan
taparu adalah yang utama dalam kehidupan mereka; dan, kesemuanya itudidukung oleh serta mendorong terwujudnya kegiatan-kegiatan sosial,
ekonomi, dan politik yang menekankan pentingnya ikatan-ikatan primordialtersebut. Dalam dunia yang primordial, yang mereka bangun kembali inilah
mereka merasa menjadi manusia kembali.Karena itu, saya tidak menjadi kaget pada waktu saya mengamati adanya
perdebatan dan pertengkarang yang cukup sengit di antara sesama warga
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
14/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 199814
taparu Muare berkaitan dengan masalah nawarapoka dan paiti berkenaan
dengan macam serta besarnya sumbangan pada kerabat untuk mas kawin salahseorang warga yang akan kawin dengan seorang wanita asal Asmat. Saya juga
tidak heran pada waktu terjadi pertengkaran antara seorang warga taparu Muare dengan warga taparu Pigapu berkenaan dengan sejarah nenek moyang
mereka dan hubungan-hubungan yang terjadi di masa lampau di antaranenek moyang tersebut dalam kaitannya dengan penguasaan dan hak-hak atas
dusun-dusun sagu dan wilayah-wilayah penangkapan ikan mereka. Masalah-masalah ini, di mata mereka sekarang ini, bukanlah masalah sepele, tetapi
sebuah masalah berkenaan dengan jatidiri dan atribut-atribut kehormatan bagi jatidiri tersebut. Saya tertawa dan bersamaan dengan itu mengajak pastor dari
paroki Mapurujaya, yang juga menjadi pastor dari Orang Mwapi, untukmemahaminya pada waktu dia bercerita bahwa pada suatu hari di tahun 1994,
pada waktu masa Paskah, ada sejumlah warga desa yang justru secara
sembunyi-sembunyi melakukan upacara mbi (patung nenek moyang) sebagai
patung bis pada Orang Asmat.
Program Ayam dan kelompok masyarakat
Pada suatu hari di bulan September 1996, seorang petugas dari DinasPeternakan Propinsi Irian Jaya menemui saya di Kantor Perwakilan
Departemen Transmigrasi dan PPH di Timika. Dari staf Kantor PerwakilanDepartemen Transmigrasi dan dari warga masyarakat desa Mwapi diamengetahui bahwa saya sedang mengadakan penelitian di desa Mwapi dan
Kaugapu. Petugas Dinas Peternakan Propinsi tersebut mengatakan bahwa diadatang dari Jayapura ke Timika dengan membawa 352 ekor ayam buras yang
diangkutnya dengan pesawat Merpati. Bersamaan dengan ayam tersebut jugadibawanya persediaan makanan-jadi berupa pelet, serta obat-obatan anti
penyakit ayam. Dia meminta pendapat saya mengenai Program Ayam ini.Saya katakan sangat bagus sebab akan membantu meningkatkan mutu gizi
makanan warga desa Mwapi, akan menguntungkan secara ekonomi, dan akanmeningkatkan kemampuan warga desa tersebut dalam berpikir secara ekonomi
yang berorientasi ke pasar. Saya katakan, segera saja dibagikan keseluruhanayam tersebut kepada seluruh keluarga yang menjadi warga desa Mwapi, secara
merata dan adil, berikut pelet atau makanan-jadi ayam, serta obat-obatan. Dan, jangan lupa untuk memberi petunjuk-petunjuk pemeliharaan ayam yang sehat
dan menguntungkan, secara terperinci dan sejelas-jelasnya kepada mereka, petunjuk-petunjuk cara membuat pelet, dan cara pengobatannya bila ayam
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
15/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998 15
diserang penyakit. Dan, mungkin untuk selama kira-kira satu bulan, sebaiknya
tinggal di desa, Mwapi, dan betul-betul mensupervisi pemeliharaan ayamtersebut secara perorangan, dari satu keluarga ke keluarga lainnya secara
keseluruhan.Tetapi, kemudian dia mengatakan bahwa cara pemberian atau bantuan
ayam kepada warga desa Mwapi tidaklah seperti yang saya bayangkan.Menurut dia Program Ayam ini adalah sebuah program pembangunan ayam
yang bergulir. Artinya di desa Mwapi dibentuk sebuah kelompok masyarakatyang akan mengelola ayam tersebut di bawah pimpinan kepala desa Mwapi.
Setelah satu atau dua tahun, yaitu setelah ayam tersebut berkembang biakmenjadi banyak, maka akan dibentuk sebuah kelompok masyarakat lainnya untuk
pemeliharaan ayam di desa Kaugapu atau desa-desa lainnya secara bergiliran,dengan menggunakan hasil pembiakan kelompok masyarakat ayam tersebut.Saya katakan bahwa bila cara kelompok masyarakat yang akan digunakan untuk
memelihara dan mengembang biakkan ayam, maka dia akan gagal. Terkecuali
bila dia sendiri yang memimpin pembentukan kelompok masyarakat dengandibantu oleh kepala desa Mwapi, sampai kelompok masyarakat untuk
pemeliharaan ayam tersebut telah betul-betul mantap mekanisme kerjanya;
setelah itu baru dia tinggalkan. Untuk itu paling tidak akan harus memerlukanwaktu selama satu tahun pembinaan dan pembimbingan yang disertai dengan
kerja keras secara mental dan fisik, baik oleh penyuluh atau pembimbingnyamaupun oleh warga setempat. Terutama bagi warga masyarakat setempat
keberadaan serta mekanisme kerja kelompok masyarakat tersebut akan berubahkeseluruhan pola-pola kebudayaan subsistensi dan berpindah-pindah secara
berkala dari hulu sungai (dusun sagu) ke pantai (menangkap ikan) atau ke rawa-rawa, dan ke desa (menengok anaknya yang sekolah, menjual hasil perolehan,
atau menikmati waktu istirahat) serta kebunnya (memetik hasil kebun).
Alasannya adalah, karena Orang Kamoro, mencakup juga Orang Kamorodi desa Mwapi, tidak mengenal konsep masyarakat atau negara, sebagaimanayang seharusnya, dan karena itu tidak mempu-nyai konsep untuk bekerja
bersama-sama tetapi untuk diri sendiri masing-masing. Saya berikan contohnya
kegagalan program IDT di desa Mwapi, dan desa-desa lainnya di kabupatenTimika yang menggunakan model kelompok masyarakat. Tetap dia
mengatakan bahwa 'itu kan IDT'. Yang jelas dia tidak mempercayai kata-katasaya. Setelah menyerahkan ayam berikut makanan dan obat-obatan ayam
kepada kepala desa Mwapi, dia segera berangkat kembali ke Jayapura. Diamenyerahkan seluruh permasalahan pemeliharaan ayam tersebut, dari mulai
pembentukan kelompok masyarakat sampai dengan cara-cara pembuatan
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
16/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 199816
kandang serta pemeliharaan ayam dan perawatan pengobatan ayam yang sakit
tersebut kepada kepala desa Mwapi yang telah dibekalinya dengan petunjuk- petunjuk yang cukup. Dia mengatakan kepada saya bahwa dia akan kembali pada
akhir bulan Oktober nanti, untuk berkonsultasi lagi dengan saya.Pada akhir bulan November 1966 dia berada kembali di Timika dengan
membawa ayam serta berbagai perlengkapan pemeliharaannya untuk OrangKamoro di desa Miyoko; dan pada permulaan bulan Desember dia menemui
saya. Kedatangannya di Timika juga dimaksudkan untuk menengok ayam yangtelah dibagikannya kepada warga desa Mwapi. Alangkah kagetnya bapak
petugas peternakan ini. Karena, ayam yang semula berjumlah 352 ekor padawaktu diberikan kepada desa Mwapi sekarang hanya tinggal 116 ekor. Jawaban
yang diperoleh dari kepala desa dan anggota-anggota kelompok masyarakattersebut seragam, yaitu: ada yang dimakan anjing, dibawa lari ular, ada yangmati karena saling berkelahi, dan ada yang hilang barangkali dicuri orang pada
malam hari. Bapak petugas ini mengeluhkan nasibnya kepada saya dan anggota-
anggota tim penelitian, yang pada waktu itu sedang mentabulasi data kwesionerdi wisma transmigrasi di Timika. Kami mau tertawa tetapi kami tahan,karena kasihan membayangkan nasibnya yang harus membuat
pertanggungjawaban kepada atasannya, karena jumlah ayam yang seharusnyamenjadi banyak karena berkembang biak tetapi justru menjadi susut jumlahnya.
Sekarang dia meminta saran saya.Saya nasehatkan untuk membuat laporan Program Ayam sebagaimana
adanya kepada pejabat yany menjadi atasannya, dan kalau dia takut disangka berbohong saya bersedia membantunya dengan kesaksian saya. Selanjutnya,
dia harus membagikan sisa ayam yang berjumlah 116 ekor tersebut kepadaseluruh keluarga yang pada saat ini berada di desa Mwapi dengan seadil-
adilnya dan merata, sebelum hari Natal. Kalau tidak ayam tersebut akan habis
tidak ketahuan rimbanya. Sedangkan untuk desa Miyoko, sebaiknya diameminta kepala desa Miyoko untuk memerintahkan kepala -kepala keluargasegera membuat kandang ayam yang baik dan kuat untuk ayam-ayam yangakan mereka terima. Lalu, ayam-ayam yang mereka bawa tersebut dibagikan
secara adil dan merata kepada semua keluarga-keluarga yang menjadi wargadesa Miyoko. Bersama dengan itu dia juga harus juga memberikan petunjuk-
petunjuk pemberian makanan kepada ayam, pembuatan makanan ayam, dancara-cara pengobatan bila ayam-ayam tersebut terserang penyakit.
Sebenarnya, apa yang terjadi di desa Mwapi pada waktu ayam-ayamtersebut akan diserahkan kepada kepala desa jauh lebih kompleks dari pada
hilangnya ayam-ayam tersebut. Pada waktu kepala desa Mwapi mendapat
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
17/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998 17
berita bahwa desanya akan mendapat ayam, dan untuk itu dia diminta oleh
petugas peternakan tersebut untuk membuat kelompok masyarakat, dia merasasenang. Kepala desa telah berpengalaman dalam membuat kelompok masyarakat
dan memberdayakannya untuk kepentingan anggota-anggotanya dalam program IDT, walaupun program IDT itu tersendiri bangkrut. Untuk
kepentingan penerimaan ayam serta pemeliharaannya tersebut, dipanggilnya 20kepala keluarga, yang kesemuanya adalah dari taparu Muare, yang sebagian
besar adalah kerabat-kerabat dekat istrinya dan sisanya adalah kerabat-kerabatnya atau teman-teman dekatnya yang mempunyai hubungan-hubungan
aopao dan nawarapoka. Para anggota kelompok masyarakat tersebutkemudian secara bersama-sama diberi tugas oleh kepala desa untuk
memperbaiki kandang-kandang ayam dan pagar bambu yang mengelilingikandang-kandang tersebut, bekas atau sisa peninggalan program ayam IDT,yang letaknya di wilayah hunian taparu Muare dari desa Api. Ketika ayam
diserahkan kepada kepala desa, langsung dimasukkan ke dalam kandang
ayam. Bapak petugas merasa senang karena merasa bahwa ayam-ayam yangdiserahkannya tersebut akan menjadi ayam bergulir, karena melihat bahwakandang ayam telah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Dengan keyakinan
akan keberhasilannya, dia meninggalkan desa Mwapi dan Timika untuk kembalike Jayapura.
Pada waktu kepala desa Mwapi menyampaikan berita kepada perangkat desa, yang juga anggota-anggota kerabatnya, sedangkan perangkat
desa yang bukan kerabatnya atau yang bersal dari taparu Pigapu tidak diberitahu mengenai program ayam ini, bahwa mereka akan menerima ayam dari
Dinas Peternakan Propinsi untuk program pembangunan ayam, ada jugaanggota-anggota dari taparu Pigapu yang mendengarnya. Beberapa orang dari
taparu Pigapu yang merasa dirinya sebagai tokoh atau pimpinan taparu
tersebut mendatangi kepala desa dan meminta agar mereka juga diberi bagian.Kepala desa mengatakan bahwa hal itu tidak bisa dilakukannya. Denganmengutip kata-kata bapak petugas peternakan dia mengatakan kepada merekayang mewakili taparu Pigapu, bahwa ayam ini harus diberikan kepada kelompok
masyarakat yang jumlahnya 20 keluarga. Kelompok masyarakat ini akanmemeliharanya, dan kalau sudah dua tahun ayam-ayam tersebut akan
digulirkan kepada kelompok masyarakat lainnya yang akan dibentuk kemudian.Untuk pemeliharaan yang berikutnya, kelompok masyarakat tersebut bisa terdiri
atas orang-orang Pigapu. Wakil-wakil dari taparu Pigapu bersungut-sunguttetapi mereka meninggalkan si kepala desa karena mendengar dia mengutip
kata-kata bahasa Indonesia seolah-olah terdengar seperti kata-kata si bapak
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
18/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 199818
petugas. Dari kata-kata si kepala desa mereka menyadari bahwa kata-kata dan
makna yang terkandung di dalamnya bukanlah urusan si kepala desa tetapiurusannya si petugas. Mereka harus berbicara sendiri dengan si petugas.
Beberapa warga taparu Pigapu yang kemudian mendengar bahwa hanyawarga taparu Muare saja yang akan memperoleh ayam menjadi marah.
Menurut keterangan yang saya peroleh, ada yang mabok-mabok dan mencacimaki kepala desa dan kerabat-kerabatnya. Ada pula yang bertengkar dengan
warga taparu Muare, dan menuduh bahwa kelompok masyarakat bergulirhanya tipu-tipu kepala desa Mwapi saja. Ada beberapa keluarga, yang karena
merasa tidak dihargai sehubungan dengan perbuatan kepala desa yang hanyamenguntungkan kerabat-kerabatnya yang Orang Muare, lalu pergi ke bekas
desa Pigapu Lama di muara sungai Kamora untuk bermukim dan hidup di situdengan cara mencari ikan dan kerang di tempat tersebut yang hasilnya dijualkepada para tengkulak asal Makassar. Pada waktu permasalahan kelompok
masyarakat yang anggota-anggotanya terseleksi tersebut telah mereda, muncul
lagi masalah baru. Yaitu, siapa sebenarnya yang harus merawat ayam-ayamtersebut! Karena ada sejumlah anggota-anggota kelompok masyarakat yangsama sekali tidak mau ikut mengurusi ayam-ayam tersebut, ada juga yang hanya
pura-pura mengurusi tetapi sebenarnya hanya duduk-duduk mengobrol sajasekitar kandang ayam. Yang merasa benar-benar mengurusi ayam tersebut
menjadi kecewa. Untuk apa berlelah-lelah mengurusi ayam, sedangkan yangtidak ikut mengurusi nantinya akan juga memperoleh bagian keuntungan dari
kegiatan pemeliharaan ayam tersebut. Lebih baik tidak akan mengurusi, demikiankira-kira keluhan tersebut.
Sambil menggerutu mereka itu secara sembunyi-sembunyi mulaimengambil ayam milik kelompok masyarakat tersebut, yang mereka anggap
sebagai imbalan atas jerih payah mereka. Yang melihat perbuatan tersebut
ikut-ikutan juga, karena ayam tersebut sebenarnya ayam yang tidak ketahuansiapa sebenarnya pemiliknya; sehingga kalau ada yang hilang tidak ada yangmenuntut ganti rugi kepada mereka. Saya sendiri memergoki mereka, dalamwaktu-waktu yang berbeda, menyembunyikan ayam dalam gulungan sarung di
kendaraan umum yang melaju ke pasar Timika. Baru belakangan kepala desamengetahui bahwa kelompok masyarakat untuk program pengembangan ayam
ini telah berubah menjadi kelompok masyarakat untuk mengkonsumsi ayam.Dia tidak bisa berbuat apapun. Mereka itu semua adalah kerabatnya. Dia
terikat dalam saling hubungan aopoa dan nawarapoka dengan mereka itusemua. Cara terbaik, menurut pertimbangannya, adalah membuat sebuah
skenario yang masuk akal, untuk melindungi kerabat-kerabatnya yang anggota
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
19/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998 19
kelompok masyarakat ayam tersebut, dengan cara menyalahkan anjing, ular,
penyakit, dan pencuri yang tidak diketahui siapa adanya. Dengan cara ini diamenyelamatkan dirinya sendiri dari rasa malu dalam menghadapi anggota-
anggota taparu Pigapu. Sedangkan dalam menghadapi petugas peternakan diatidak merasa malu, karena menurut keyakinanya, pemerintah masih kaya dan
karena itu tidak akan rugi kalau kalau ayam yang hanya berjumlah sekian ituhilang. Lagipula, menurut pikirannya, berdasarkan pengalamannya, tugas
pemerintah adalah memberikan hadiah-hadiah kepada rakyatnya terutamawarga desa Mwapi karena baru sedikit yang telah diterima dari pemberian
pemerintah. Bahkan kalau perlu meminta tambahan ayam lagi.
Pembahasan dan kesimpulan
Corak masyarakat desa Mwapi yang egalitarian, di mana tidak ada sistem penjenjangan sosial yang formal dan di mana berlaku hak-hak dan kewajiban
perorangan yang sama dari semua warga masyarakat dalam kaitannya dengankerja, menyebabkan bahwa konsep mengenai masyarakat luas dan/atau negara
tidak ada dalam kebudayaan mereka. Dalam tradisi atau kehidupan sehari-harimereka yang berpindah-pindah dalam rotasi secara berkala dan tetap, dengan
mata pencaharian yang taraf ekonominya subsistensi, konsep masyarakat luasdan negara tidak relevan dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Yang lebih relevan
dalam menghadapi lingkungan alam bagi berbagai pemenuhan kebutuhankehidupan mereka adalah keluarga, keluarga luas, dan taparu.
Berbagai dorongan untuk pemenuhan kebutuhan bagi kehidupan mereka
atau untuk bertindak bagi mengungkapkan keinginan-keinginan mereka hanyamungkin terwujud dalam konteks-konteks yang relevan. Konteks-konteks yang
relevan ini mencakup kondisi-kondisi pelaku dan suasana-suasana yang ada danyang relevan dari situasi-situasi yang mereka hadapi. Bila dua faktor ini tidak
relevan dengan keinginan-keinginan atau dorongan-dorongan untuk pemenuhankebutuhan-kebutuhan maka tindakan-tindakan yang mengungkapkan
keinginan-keinginan untuk pemenuhan kebutuhan tersebut terjadi tidakterwujud.
Acuan dan mekanisme kontrol dalam kehidupan Orang Kamoro adalahndaitita atau kebudayaan mereka yang mereka yakini kebe-narannya dan
kesakralannya yang berasal dari nenek moyang untuk dapat hidup sejahterasebagai Orang Kamoro. Sistem-sistem penggolongan, konsep-konsep, teori-teori,
dan paradigma-paradigma yang ada dalam kebudayaan tersebut pada dasarnyamenekankan kehidupan yang egalitarian, menekankan pentingnya hubungan-
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
20/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 199820
hubungan keseimbangan yang berdasarkan asas timbal balik di antara orang-
perorang dengan mahkluk atau kekuatan gaib, dan dengan lingkungan alam dimana mereka itu hidup. Segala tindakan, dalam konsep budaya mereka, dari
pengamatan sehari-hari mengenai apa yang mereka lakukan, harus selalu berada dalam konteks-konteks yang relevan dengan tindakan-tindakan mereka
tersebut. Apa yang tidak ada dalam ndaitita adalah konsep-konsep mengenainegara berikut kekuasaannya.
Apa yang kritikal dalam kaitannya dengan program ayam dan pembentukan kelompok masyarakat adalah makna program ayam dan
kelompok masyarakat dalam konteksnya; yaitu, yang mereka lihat sebagai perwujudan dari kekuasaan pemerintah. Pemerintah yang dapat dan mampu
memaksakan kehendaknya dengan cara halus dan dengan cara kekerasanserta penghukuman bagi yang menentangnya. Tetapi di lain pihak pemerintah
juga baik hati karena memberikan hadiah-hadiah dan pemaaf kalau suruhannya
gagal karena alasan-alasan yang masuk akal. Konsep mengenai pemerintah
atau kekuasaan pemerintah seperti tersebut di atas, berkenbang dan menjadimantap melalui pengalaman-pengalaman orang-orang tua mereka, sertamelalui pengalaman-pengalaman yang mereka alami sendiri. Konsep mereka
mengenai pemerintah tersebut menjadi mantap karena pola-pola tindakan para pejabat atau petugas dalam berbagai pelaksanaan program pembangunan
memperlihatkan kesamaan-kesamaan sebagaimana yang dilihat dan dialami olehOrang Kamoro. Pola-pola tersebut mancakup para pejabat atau petugas itu ingin
mendengarkan kata-kata persetujuan dan pujian mereka yang langsungdiungkapkan secara bertatapan muka. Semua petunjuk dan suruhan di-iya-kan.
Di belakang nanti tidak dikerjakan tidak jadi soal, karena banyak alasan untukmenjelaskannya, tetapi yang terpenting jangan sampai menyinggung perasaan
para pejabat atau petugas.
Dalam tulisan ini telah saya tunjukkan kegagalan program pengembangan ayam melalui kelompok masyarakat di desa Mwapi. Melaluiuraian secara sederhana mengenai apa yang terjadi dalam proses-proses
pembentukan kelompok masyarakat dan pengelolaan ayam oleh kelompok
masyarakat tersebut saya perlihatkan bahwa ikatan-ikatan primordialmerupakan acuan utama bagi mengorganisasi diri untuk menguasai sumberdaya
serta pendistribusiannya dan dalam upaya menghadapi dunia-luar yang ingin turutcampur menikmati sumberdaya yang telah berada di tangan mereka. Dalam
menghadapi dunia luar, yaitu pemerintah yang diwakili oleh petugas dan anggota-anggota taparu Pigapu, ikatan-ikatan primordial tersebut memperkuat solidaritas
pengelompokan kerabat yang pada dasarnya telah terikat oleh saling hubungan
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
21/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998 21
aopao dan kewajiban nawarapoka. Kepala desa Mwapi yang melihat
permasalahan ini dari perspektif kepentingan dirinya dan kerabatnya, dapat dilihatsebagai:
(1) Dirinya adalah kelompok kerabatnya, dan kelompok kerabatnya
adalah dirinya. Sebuah hubungan timbal balik yang berupa salingketergantungan, yang disadari atau tidak disadari yang menunjukkan bahwa
tanpa dirinya kelompok kerabatnya akan hancur beran- takan, dan kalaukelompoknya hancur berantakan maka dia juga akan hancur berantakan, karena
yang utama dan satu-satunya sistem acuan yang dikenalnya serta yang paling dipercayainya dalam kehidupan di desa Mwapi dalam menghadapi
berbagai situasi adalah kelompok kerabatnya. Dengan demikian, gejala-gejalayang diuraikan dan dibahas seperti tersebut di atas bukanlah sesuatu yang'primer' yang berlaku di dalam proses-proses sosialisasi sebagaimana
dikemukakan oleh Jenkins dalam bahasannya mengenai konsep primordial dari
Geertz, tetapi sesuatu yang utama, yang berupa perasaan-perasaan sertakeyakinan-keyakinan yang utama yang dipunyai oleh masyarakat-masyarakatyang hidup dalam suasana keterbelakangan serta tidak mempunyai konsep
masyarakat dan negara di dalam kebudayaan mereka.(2) Primordialitas, sebagaimana telah dikemukakan oleh Geertz dalam
tulisan ini adalah gejala yang terwujud 'sebagai jati diri perorangan yang secarakolektif diratifikasi dan secara publik diungkapkan', yang dapat diinterpretasi
bahwa primordialitas adalah gejala perorangan yang berisikan perasaan- perasaan dan keyakinan-keyakinan mengenai dirinya dan dunianya yang
paling utama, karena mendasar dan umum berkenaan dengan takdir kela -hirannya dan ketergantungan hidupnya dalam dunianya tersebut. Cara-cara
penanganan kepala desa dalam pembentukan kelompok masyarakat untuk
pengembangan ayam memperlihatkan ciri-ciri tindakan-tindakannya yang primordialitas. Primordialitas ini juga terungkap dalam tindakan-tindakannyamenangani kehilangan ayam dan kegagalan kelompok masyarakat yangdipimpinnya.
(3) Batas-batas sukubangsa antara taparu Muare dan Pigapu diperjelas,dan tidak dapat diseberangi dalam masalah ayam di desa Mwapi, sebagaimana
diuraikan dalam tulisan ini. Siapa kami dan siapa mereka dipertegas perbedaannya, dan kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa menjadi tampak
sebagai gejala perorangan yang terungkap secara individual maupun secarakolektif dalam interaksi-interaksi yang digunakan dalam tujuan untuk
memenangkan kompetisi sumberdaya dan kehormatan atau untuk
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
22/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 199822
mempertahankan sumberdaya yang telah dikuasainya berikut alokasinya.
Dari penjelasan tersebut di atas, kesukubangsaan dan primordialitas
sebenarnya adalah dua konsep yang saling tumpang tindih atau melengkapi.Untuk itu, kesukubangsaan harus dilihat sebagai gejala perorangan, yang berupa
jati diri yang mengacu pada atri-but-atribut sukubangsa dan kebudayaan dari pelakunya, yang terungkap dalam interaksi. Primordialitas adalah sentimen-
sentimen atau perasaan-perasaan dan keyakinan yang utama yang mengacu pada(?) sebagaimana para pelakunya melihat dirinya dan dunianya dalam kaitannya
dengan keluarga, kerabat, sukubangsa dan kebudayaannya. Tanpa sesuatu yang primordial maka juga kesukubangsaan tidak berarti apa-apa, karena bila
demikian maka sukubangsa adalah sama dengan sebuah kategori sosial yangumum dan karena itu juga maka kesukubangsaan adalah sebuah jati diri sosialyang umum. Padahal kesukubangsaan bertahan lama dan mantap dalam
kehidupan masyarakat majemuk atau masyarakat multi-ethnic seperti di
Mwapi, atau di Timika, serta di Irian Jaya dan Indonesia pada umumnya, dimana permasalahan asal muasal merupakan acuan utama dalam interaksi-interaksi yang berlaku.
Kepustakaan
Barth, F.
1969 'Introduction' dalam Frederik Barth (ed.) Ethnic Groups and
Boundaries. Boston: Little, Brown, hlm.8-39.
Bruner, E.M.
1974 'The Expression of Ethnicity in Indonesia', dalam Abner Cohen (ed).
Urban Ethnicity. A.S.A. Monograph (12) London: Tavistock, hlm. 251-280.
Fried, M.
1967 The Evolution of Political Society. An Essay in Political
Antropology. New York: Random.
Geertz, C.
1973a 'Thick Description: Toward an Interpretive Theory of Culture', The
Interpretation of Cultures. New York: Basic, hal.3-32.
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
23/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998 23
1973b 'The Integrative Revolution: Primordial Sentiments and Civil
Politics in the New States', The Interpretation of Cultures. New
York: Basic, hal. 255-310.
Goffman, E.
1959 The Presentation of Self in Everyday Life. Garden City, N.Y.:
Doubleday Anchor.
Jenkins, R.
1997 Rethinking Ethnicity: Arguments and Exploration.London: Sage.
Pouwer, J.
1955 Enkele Aspecten van de Mimika-Cultuur (Nederlands Nieuw
Guinea). 's -Gravenhage: Staatsdrukerij.
Suparlan, P.
1995 The Javanese in Surinam: Ethnicity in an Ethnically Plural Society.
Tempe, Arizona: Program for Southeast Asian Studies, Arizona State
University.
1996a Interim Report. Tim Penelitian Sosial Budaya Transmigrasi di Desa
Mwapi dan Kaugapu, Kelurahan Waina, Kecamatan Timika Timur.
Jakarta: Departemen Transmigrasi dan PPH, R.I., 26 Oktober 1996.
1996b Model Sosial Budaya Bagi Penyelenggaraan Pembangunan
Transmigrasi Untuk Desa Mwapi dan Kaugapu. Ekspose Hasil
Penelitian untuk Departemen Transmigrasi dan PPH, R.I.Timika, 19
Desember 1996.
1997a Pembangunan Transmigrasi Model Pemugaran Bagi Orang Kamoro di
desa Mwapi dan Kaugapu, Timika Timur. Diskusi Panel Terbatas,
dengan Menteri Transmigrasi dan PPH, R.I., Ditjen Bina Masyarakat
Transmigrasi, Jakarta, 24 Januari 1997.
1997b 'Transmigrasi dalam Pembangunan Wilayah dan Kelestariannya dengan
Perspektif Sosial Budaya: Model untuk Irian Jaya', Analisis CSIS
-
8/18/2019 Suku Bangsa dan Primordialisme.pdf
24/24
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 199824
3(26): 219-244.
1997c Transmigrasi dalam Pembangunan Daerah Perbatasan Irian
Jaya . Puslitbang Kependudukan dan Ketenagakerjaan LIPI. Jakarta,12 Agustus 1997.
Trenkenschuh, F.
1969 'Border Areas of Asmat: The Timika', An Asmat Sketchbook , (1) hal.
77-82. Agats: Museum Asmat.
Widjojo, M.S
1995 Orang Kamoro dan Perubahan Sosial Budaya di Timika Irian Jaya.
Jakarta: LIPI.