Sufisme Dan Peran Mengurai Ambivalensi Agama

4
Sufisme dan Peran Mengurai Ambivalensi Agama Oleh: Zulfan Taufik Kekerasan atas nama agama sering mewarnai kehidupan manusia. Di Indonesia misalnya, selama lebih dari satu dasawarsa, berbagai insiden kekerasan terkait dengan isu- isu keagamaan seringkali terjadi. Bentuk dan modusnya pun bervariasi. Mulai dari kerusuhan atau amuk massa yang berdampak pada jatuhnya korban jiwa dan kerusakan properti milik kelompok keagamaan, bentrok antar komunitas agama di berbagai wilayah, serangan teror pengeboman yang menimpa berbagai gereja di berbagai kota besar Indonesia, serta berbagai kekerasan sektarian yang menimpa kelompok atau aliran keagamaan yang dipandang sesat seperti Ahmadiyah. Disharmoni tersebut, tidak jarang disebabkan oleh keyakinan bahwa semua agama adalah berbeda, baik dalam dimensi eksoterik maupun dalam dimensi esoterik, bahkan bertentangan satu sama lain. Keyakinan tersebut mengakibatkan munculnya berbagai kelompok yang rela terlibat konflik, bahkan berperang dan membunuh dengan berbagai penganut agama lain. Selama berabad-abad, agama telah menjadi pengawal peradaban manusia. Kebudayaan dengan pelabagai perniknya berkembang subur dan berbunga harum tak lepas dari peranan agama dan agamawan, di mana agama dianggap sebagai bagian kebudayaan itu sendiri, bahkan menjadi elemen dasar kehidupan baik komunal maupun individual. Namun, tak dapat disangkal pula bahwa agama telah mendapat tantangan berat dan kini sedang dipertaruhkan pamornya. Sejarah menunjukkan bahwa cinta kasih, pengorbanan diri, dan pengabdian kepada orang lain sering kali memang berakar pada pandangan dunia keagamaan; Pada saat yang sama, sejarah dengan jelas menunjukkan pula bahwa agama sering kali justru 1

description

Sufisme dan Pluralisme

Transcript of Sufisme Dan Peran Mengurai Ambivalensi Agama

Page 1: Sufisme Dan Peran Mengurai Ambivalensi Agama

Sufisme dan Peran Mengurai Ambivalensi Agama

Oleh: Zulfan Taufik

Kekerasan atas nama agama sering mewarnai kehidupan manusia. Di Indonesia misalnya, selama lebih dari satu dasawarsa, berbagai insiden kekerasan terkait dengan isu-isu keagamaan seringkali terjadi. Bentuk dan modusnya pun bervariasi. Mulai dari kerusuhan atau amuk massa yang berdampak pada jatuhnya korban jiwa dan kerusakan properti milik kelompok keagamaan, bentrok antar komunitas agama di berbagai wilayah, serangan teror pengeboman yang menimpa berbagai gereja di berbagai kota besar Indonesia, serta berbagai kekerasan sektarian yang menimpa kelompok atau aliran keagamaan yang dipandang sesat seperti Ahmadiyah.

Disharmoni tersebut, tidak jarang disebabkan oleh keyakinan bahwa semua agama adalah berbeda, baik dalam dimensi eksoterik maupun dalam dimensi esoterik, bahkan bertentangan satu sama lain. Keyakinan tersebut mengakibatkan munculnya berbagai kelompok yang rela terlibat konflik, bahkan berperang dan membunuh dengan berbagai penganut agama lain.

Selama berabad-abad, agama telah menjadi pengawal peradaban manusia. Kebudayaan dengan pelabagai perniknya berkembang subur dan berbunga harum tak lepas dari peranan agama dan agamawan, di mana agama dianggap sebagai bagian kebudayaan itu sendiri, bahkan menjadi elemen dasar kehidupan baik komunal maupun individual. Namun, tak dapat disangkal pula bahwa agama telah mendapat tantangan berat dan kini sedang dipertaruhkan pamornya. Sejarah menunjukkan bahwa cinta kasih, pengorbanan diri, dan pengabdian kepada orang lain sering kali memang berakar pada pandangan dunia keagamaan; Pada saat yang sama, sejarah dengan jelas menunjukkan pula bahwa agama sering kali justru memperlihatkan contoh terburuk perilaku manusia. Dengan kata lain, di satu sisi agama diharapkan turut ambil bagian dalam gerak aktual proses humanisasi, di sisi lain agama kerap kali justru merusak dan menghambat proses tersebut.

Melihat agama di dalam konteks sosial, tidak dapat semata dimaknai sebagai ritus, doa, dan pengalaman mistik yang bersifat personal dan unik, namun ia juga hadir dengan fungsi manifes dan laten yang kadang tidak dikehendaki oleh pemeluknya sendiri. Di satu sisi, agama dapat menjadi sarana integrasi sosial, mengikat solidaritas sesama penganutnya dalam jamaah, gereja, sangha, dan komunitas-komunitas keagamaan, wahana pencipta, pembangun, dan pemelihara perdamaian dan kedamaian; sekaligus instrumen yang cukup efektif bagi disintegrasi sosial, mencipta konflik, ketegangan, friksi, kontradiksi, dan bahkan perang.

Charles Kimball (2003: 15) mengingatkan bahwa ketika agama ditempatkan secara keliru, bisa berubah menjadi kekuatan pembunuh yang mengerikan, korup, dan jahat. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa membuat agama busuk dan menjadi

1

Page 2: Sufisme Dan Peran Mengurai Ambivalensi Agama

bencana dengan mendukung terciptanya ideologisasi konflik dan kekerasan atas nama agama, peminggiran yang lain dan berbeda, dan penegasian atas pluralitas keberagamaan. Pertama, bila agama mengklaim kebenaran dirinya sebagai kebenaran mutlak, absolut, dan tak tergugat. Sementara klaim kebenaran agama-agama lain adalah palsu dan tidak benar. Kedua, kepatuhan buta kepada pimpinan agama. Ketiga, kecenderungan pada zaman yang ideal. Zaman ini dipahami sebagai zaman di mana manusia terbebaskan dari beban dosa, kekacauan, kejahatan, dan yang paling penting tercapainya kebahagiaan hidup yang sejati nan sempurna. Keempat, agama melakukan pembenaran terhadap segala cara untuk mencapai tujuan. Kelima, agama menyerukan perang suci (holy war). Perang suci yang semestinya dipahami sebagai pembelaan defensif, justru sering kali diinterpretasikan sebagai bentuk perlawanan ofensif.

Dari sini dapat dipahami bahwa keberadaan agama mengemban dua fungsi sekaligus, yaitu memupuk persaudaraan dan perpecahan. Manakala agama selalu mengedepankan absolutisme klaim kebenaran, memotivasi diri dengan mekanisme ketakutan, dan mereduksi dirinya hanya pada tataran institusi, maka agama akan selalu terperangkap dalam kecenderungan-kecenderungan kontradiktif. Ketidakpekaan agama terhadap kecenderungan-kecenderungan kontradiktifnya akan membuatnya semakin lemah, terutama ketika harus berhadapan dengan modernitas yang antara lain ditandai oleh penghargaan terhadap otonomi manusia dan pengutamaan perspektif sekuler yang memang relativistik. Bila agama tak menyadari itu semua, maka kehidupan religius akan mengalami, apa yang disebut Claude Geffra (1969: 85) sebagai “alienasi kultural”.

Kenyataan ambivalensi demikian, menuntut adanya suatu pendekatan baru dalam pemahaman agama yang lebih progresif, pluralis, dan inklusif, sehingga kita bisa lebih optimis untuk kehidupan keagamaan di masa depan dan tidak terjebak pada truth claim dan peggunaan double standard yang ada dalam masing-masing agama. Dalam konteks inilah, sufisme menjadi wakil Islam yang paling kompeten untuk melakukan dialog sejati antara Islam dan agama-agama lain berkat kemampuannya menggali makna batini (the inner meaning) dengan menerobos bentuk-bentuk lahiriah.

Ibn al-‘Arabi, misalnya, berpandangan bahwa orang yang menyalahkan atau mencela kepercayaan-kepercayaan lain tentang Tuhan adalah orang yang bodoh. Pasalnya, Tuhan dalam kepercayaannya sendiri, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan yang disalahkannya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya. Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya tidak dapat diketahui. Ini sama dengan “mengetahui Tuhan yang tidak dapat diketahui” (to know the Unknowable God). Orang seperti itu mengakui hanya Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau kepercayaan kelompoknya sendiri dan mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk berbagai kepercayaan lain. Padahal, Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan yang berbeda-beda itu adalah satu dan sama.

Perjumpaan dan dialog agama-agama bagi para sufi, sangat dianjurkan dengan sikap dan pemahaman yang terbuka, sehingga dapat memberikan kontribusi bagi kerukunan antar umat beragama. Keyakinan dan pemahaman seperti ini sangat

2

Page 3: Sufisme Dan Peran Mengurai Ambivalensi Agama

dibutuhkan untuk memberikan perspektif baru kepada masyarakat dalam memandang agama lain. Sehingga dengan pemikiran yang “terbuka” terhadap keyakinan agama lain, konflik yang melibatkan agama dapat diminimalisasi dan bahkan ditiadakan.

3