SUB-MODUL 9 Skenario Penyelenggaraan SIstem Sanitasi

20
17 Collaborative Knowledge Network Indonesia SUB-MODUL 9 SUB-MODUL 9 SKENARIO PENYELENGGARAAN SKENARIO PENYELENGGARAAN SISTEM SANITASI NASIONAL SISTEM SANITASI NASIONAL 9.1 Pendahuluan 9.1.1. Latar Belakang Sesuai dengan semangat otonomi daerah maka visi Direktorat Jenderal Cipta Karya adalah terwujudnya kemandirian daerah untuk menyiapkan dan menangani prasarana dan sarana ke Ciptakaryaan. Berdasarkan visi tersebut maka salah satu misi Ditjen. Cipta Karya yaitu meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat dalam penyelenggaraan prasarana dan sarana tersebut. Sehingga, untuk mencapai maksud tersebut adalah menjadi kewajiban pemerintah pusat untuk melaksanakan pembinaan kepada pemerintah daerah agar pembangunan drainase, persampahan dan air limbah permukiman dapat terselenggara sehingga akan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan perlindungan lingkungan. Kondisi prasarana dan sarana (PS) sanitasi di Indonesia saat ini masih sangat terbatas, dan akses masyarakat terhadap PS sanitasi dapat dilihat pada diagram yang disajikan sebagai berikut. Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional Akses ke P&S 100% Tak terditeksi 25,98% Perkotaan 37,53% Perdesaan 36,50% Tanpa diolah 8,16% On-site 28,10% Off-site 1,36% Tanpa diolah 14,54% On-site 21,96% Off-site 0%

description

Skenario Penyelenggaraan SIstem Sanitasi

Transcript of SUB-MODUL 9 Skenario Penyelenggaraan SIstem Sanitasi

Page 1: SUB-MODUL 9 Skenario Penyelenggaraan SIstem Sanitasi

17

Collaborative Knowledge Network Indonesia

SUB-MODUL 9SUB-MODUL 9SKENARIO PENYELENGGARAANSKENARIO PENYELENGGARAAN

SISTEM SANITASI NASIONAL SISTEM SANITASI NASIONAL

9.1 Pendahuluan

9.1.1. Latar Belakang

Sesuai dengan semangat otonomi daerah maka visi Direktorat Jenderal Cipta Karya adalah

terwujudnya kemandirian daerah untuk menyiapkan dan menangani prasarana dan sarana ke

Ciptakaryaan. Berdasarkan visi tersebut maka salah satu misi Ditjen. Cipta Karya yaitu

meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat dalam penyelenggaraan prasarana

dan sarana tersebut. Sehingga, untuk mencapai maksud tersebut adalah menjadi kewajiban

pemerintah pusat untuk melaksanakan pembinaan kepada pemerintah daerah agar

pembangunan drainase, persampahan dan air limbah permukiman dapat terselenggara sehingga

akan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan perlindungan lingkungan.

Kondisi prasarana dan sarana (PS) sanitasi di Indonesia saat ini masih sangat terbatas, dan

akses masyarakat terhadap PS sanitasi dapat dilihat pada diagram yang disajikan sebagai berikut.

Gambar 1. Kondisi akses masyarakat terhadap sanitasi

Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional

Akses ke P&S100%

Tak terditeksi25,98%

Perkotaan37,53%

Perdesaan36,50%

Tanpa diolah 8,16%

On-site 28,10%

Off-site 1,36%

Tanpa diolah 14,54%

On-site 21,96%

Off-site 0%

Page 2: SUB-MODUL 9 Skenario Penyelenggaraan SIstem Sanitasi

17

Collaborative Knowledge Network Indonesia

Maka langkah awal dalam pembinaan adalah mendorong daerah dapat usaha

meningkatkan akses sanitasi dasar dan pelaksanaan konservasi Lingkungan. Salah satu upaya

pembinaan adalah melalui penyediaan perangkat lunak berupa skenario sistem pelayanan air

limbah permukiman.

9.1.2. Maksud dan tujuan

Skenario penyelenggaraan sistem sanitasi nasional ini adalah dimaksudkan sebagai

panduan bagi perencana, pelaksana, serta masyarakat dalam penentuan kriteria dan batasan

teknis yang diperlukan dalam penanganan sub. Bidang Air Limbah Permukiman.

Tujuan: Penyediaan data dan informasi kriteria teknis bidang air limbah sesuai skala

penanganan yang dibutuhkan.

Kritera ini digunakan sebagai bahan penguji apakah suatu perencanaan dan pelaksanaan

memenuhi syarat, dan sebagai bahan penaksir dalam program - tapi bukan pedoman - untuk

membuat detail design. Sedangkan untuk detail design (DED), diperlukan petunjuk khusus berupa

Pedoman Perencanaan.

9.1.3. Cakupan Skenario Sistem Penyelenggaraan Air Limbah.

Skenario ini meliputi antara lain:

Prinsip dasar penanganan air limbah artinya untuk apa air limbah tersebut ditangani

Azas yang digunakan dalam penanganan air limbah

Landasan operasional yang digunakan untuk pelaksanaan sistem air limbah

Penerapan faktor lingkungan sosial dan ekonomi untuk penanganan air limbah

Konsep pemilihan teknologi yang digunakan untuk Penanganan limbah

Kriteria Teknis dari masing-masing teknologi pilih

9.1.4. Landasan Konsepsional Air limbah

Konsepsi dasar dalam penanganan air limbah adalah bahwa penanganan air limbah harus

memenuhi prinsip-prinsip kesehatan (hygenic) dan kelestarian lingkungan (environmental

conservation).

Artinya: Dari segi public health mencegah penularan penyakit lewat air dan dari sisi

lingkungan membantu upaya konservasi SDA dengan mengurangi pencemaran limbah domestik

Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional

Page 3: SUB-MODUL 9 Skenario Penyelenggaraan SIstem Sanitasi

17

Collaborative Knowledge Network Indonesia

terhadap badan air. Air limbah merupakan urusan individual yang harus dikelola sektor publik

karena penanganan yang tidak layak akan menyebabkan konflik kepentingan publik.

9.1.5. Azas Penanganan

Azas pemerataan: bahwa Sanitasi adalah kebutuhan dasar untuk kesehatan maka hak

setiap orang untuk memperoleh akses pada sanitasi yang layak

Azas kesehatan: mencegah kontaminasi langsung dan tidak langsung air limbah tehadap

manusia dan kegiatannya.

Azas kelestarian lingkungan: bahwa kualitas lingkungan harus dipertahankan terhadap

penurunan akibat pencemaran oleh air limbah.

Azas pencemar membayar (polluter pays principal): kewajiban retribusi air limbah.

Azas Internalisasi externalitas: faktor-faktor dampak lingkungan dimasukkan dalam

biaya.

9.1.6. Landasan OperasionalMaximum Net Benefit-Cost dan the Most Cost

EffectivenessArtinya:Memilih sistem penanganan air limbah memberikan manfaat yang

besar terhadap lingkungan dengan biaya yang kecil.

Mencari alternatif penanganan utk mencapai goal yang tepat dengan biaya yang paling

rendah.

9.2 ASPEK YANG MEMPENGARUHI PENGELOLAAN AIR LIMBAH

9.2.1. Demografi

Di perkotaan atau perdesaan mempunyai kawasan- kawasan dalam bentuk klaster-klaster

dengan kepadatan penduduk yg berbeda, dengan kondisi sosial yang berbeda. Sehingga

sekelompok orang dapat membuat sarana sanitasinya dengan septik tank tetapi sebagian lain

hanya mampu dengan membuat cubluk, dan banyak masyarakat tidak mampu yang tidak

mempunyai sarana untuk membuang hajat. Sedangkan secara teknis dan kesehatan untuk

kepadatan tertentu yaitu > 50 org/ha, penggunaan cubluk sudah mengakibatkan kontaminasi

pada sumur-sumur tetangga. Di atas kepadatan 200 org/ha penggunaan septik tank dengan

bidang resapannya akan memberikan dampak kontaminasi bakteri koli dan pecemaran pada

tanah dan air tanah.1

1 Kasus kawasan padat/kumuh di Jakarta.

Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional

Page 4: SUB-MODUL 9 Skenario Penyelenggaraan SIstem Sanitasi

17

Collaborative Knowledge Network Indonesia

Disamping itu kategori kota dan desa yang dibedakan secara administratif akan berdampak

pada institusi pengelolaan limbah cair. Pembagian ini sangat dikotomis dari sudut ‘public utility,

karena penerapan teknologi air limbah sangat ditentukan oleh unsur kepadatan penduduk.

Kasus desa-desa di Jawa dan perkampungan nelayan yang berkelompok tidak mungkin lagi

menerapkan murni sistem onsite bagi sarana air limbahnya, setidaknya komunalisasi sistem

sudah harus dilakukan, meskipun belum mengarah pada sistem off site secara murni. Jadi

pengelolaan sistem air limbah ditinjau dari sudut demografi lebih melihat pada kategori

perkotaan (urbanise area) dan perdesaan (remote area) dan bukan berdasarkan pembatasan

administrasi.

Regionalisasi sistem pengelolaan limbah lebih melihat pada sisi ekonomis pelayanan,

sebagai contoh untuk Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja yang melayani beberapa daerah

administratif berdekatan, maka akan jauh lebih ekonomis daripada membuat sistem-sistem

tersendiri secara skala kecil.

Berdasarkan data pencemaran pada 35 kota utama seperti yang disajikan pada Bab I,

secara umum diperkirakan bahwa sesuai tingkat pengenceran rata-rata sungai yang melalui kota-

kota tersebut, dapat disimpulkan bahwa setiap pertambahan 200.000 penduduk perkotaan akan

meningkatkan kadar BOD pada badan air 1 ppm. Maka secara umum dapat arahan strategi

penanganan sistem off site adalah sebagai berikut:

Berapa ppm BOD badan air akan diturunkan;

Setiap ppm penurunan tersebut dikalikan 200 ribu jiwa = total jiwa yang hendak

ditangani dengan sistem off site;

Selanjutnya dipilihkan kawasan padat yang yang perlu diterapkan denan sistem

tersebut; dan

Pilih skala penanganan berdasarkan pertimbangan ekonomi dan finansial, dan

tetapkan kawasan yang sesuai untuk pengolahan air limbah skala komunal, skala

modul (sekitar 1000 KK) atau sekala kawasan.9.2.2. EkonomiAspek ekonomi

juga merupakan hal yang akan menentukan dalam penentuan pemilihan sistem

pengelolaan air limbah. Uraian terpenting pada aspek ini adalah terhadap sisi

kelayakan secara ekonomis. Diantaranya “trade off” antara biaya sanitasi off-site dan

sistem sanitasi on-site terjadi pada titik kepadatan sekitar 300 org/ha.Maksimum net

benefit-cost tercapai bila terjadi marginal fungsi benefit –marginal fungsi cost = 0 atau

pada simpangan terbesar antara dua fungsi tersebut. Artinya berapa besar biaya

pencemaran yang diperlukan dibanding dengan keuntungan secara ekonomi yang

diperoleh, antara lain dengan berkurangnya biaya pengobatan untuk penyakit yang

ditularkan melalui air, turunnya biaya bahan kimia PDAM oleh turunnya BOD pada air

bakunya.Teknologi pengelolaan limbah yang digunakan untuk mencapai biaya effektif

sangat tergantung pada tingkat objektivitas yang harus dicapai. Penerapan teknologi

Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional

Page 5: SUB-MODUL 9 Skenario Penyelenggaraan SIstem Sanitasi

17

Collaborative Knowledge Network Indonesia

pengolahan air limbah tergantung dari standard efluen yang diperkenankan dan

sampai tingkat mana kondisi lingkungan yang akan diperbaiki. Misalnya untuk kondisi

sistem komunal mungkin effluan pada jangka menengah dapat diizinkan dibawah 100

ppm.Pemilihan kapasitas sistem pengelolaan harus memenuhi skala ekonomi. Hal ini

dimaksud bahwa sistem yang dibangun harus memberikan return optimal baik

pengembalian secara ekonomis (benefit) maupau finansial. Dengan demikian jangan

sampai cost/kapita dari satu sistem menjadi tinggi disebabkan oleh jumlah pelayanan

yang tidak layak.9.2.3. SosialPenduduk pada suatu kawasan mempunyai

tingkat sosial-ekonomi yang berbeda, sehingga akan sangat terkait dengan

kemampuan membayar retribusi air limbah, dan hal ini akan sangat mempengaruhi

dan berdampak secara teknis terhadap konsep sanitasi yang akan diterapkan. Kondisi

sosial ini akan menjadi kompleks karena dana yang mampu dialokasikan oleh

pemerintah sangat terbatas, sedangkan penerapan sistem cross subsidi untuk konteks

penanganan air limbah tidak layak diterapkan secara kawasan. Karena, jika seseorang

dikenakan pungutan atas jasa melebihi dari nilai jasa yang dia terima, maka orang

tersebut dapat menolak, sedangkan dalam halnya sanitasi, maka akan ada alternatif

lain, misalnya hotel dapat membuat individual treatment sendiri.Kondisi sosial juga

akan membedakan tingkat pencemaran yang dihasilkan. Dibandingkan dengan negara

maju, umumnya tingkat BOD per kapita per hari di Indonesia tidak terlalu tinggi karena

masih sekitar antara 30 gram sampai dengan 40 gram. Jumlah ini akan berpengaruh

terhadap beban organik pada suatu pengolahan limbahBila tingkat kesadaran pada

masyarakat kurang mampu akan pentingnya sanitasi dan lingkungan bagi kesehatan,

tentu akan mendorong mereka membentuk sistem sanitasi komunal. Maka untuk

membangun kesadaran ini sangat diperlukan dorongan motivasi yang antara lain

dengan mengeluarkan insentif sebagai stimulan.9.2.4. LingkunganIklim

tropis sangat menolong pengolahan secara anaerob seperti septik tank Imhoff tank,

kolam anerobik dan sebagainya. Jadi pengolahan anaerob merupakan suatu tahap

yang penting dari seluruh rangkaian serial pengolahan limbah;

Intensitas hujan tropis yang tinggi akan memberikan run off yang sangat besar dibanding

aliran air limbah, sehingga sistem sewer (saluran) terpisah antara air hujan dan air limbah

permukiman akan relatif lebih ekonomis dan sehat, kecuali untuk kawasan-kawasan

terbatas dapat diterapkan sistem interseptor;

Posisi bangunan sanitasi kawasan pasang surut harus memperhatikan muka air tertinggi,

untuk sanitasi onsite penggunaan septik tank dengan upword flow yang disebut vertikal

septik tank dapat diterapkan;

Kepadatan 100 org/ha memberikan dampak pencemaran cukup besar terhadap

lingkungan maka kawasan-kawasan tertentu dengan masyarakat mampu dapat

menerapkan sistem off site pada kawasan tersebut;

Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional

Page 6: SUB-MODUL 9 Skenario Penyelenggaraan SIstem Sanitasi

17

Collaborative Knowledge Network Indonesia

Untuk pengelolaan air limbah pada kawasan-kawasan dengan effluen yang dibuang ke

danau dan waduk, selain harus memperhatikan kadar BOD/COD dan SS juga harus

mengendalikan kadar nitrogen dan fosfor yang akan memicu pertumbuhan algea biru dan

gulma yang akan menutupi permukaan air danau;

Kawasan perairan untuk wisata renang harus dijaga kadar COD tidak melebihi 5 ppm dan

tidak mengandung logam berat;Jika tidak ada penetapan kuota pencemaran maka

penetapan kualitas effluan hasil pengolahan limbah harus memperhitungkan kemampuan

badan air penerima untuk “natural purification” bagi berlangsungnya kehidupan akuatik

secara keseluruhan.9.2.5. Teknis dan KesehatanPenanganan secara teknis

air limbah dimaksud agar input hardware ((konstruksi), proses, output dan outcome

memenuhi essensi kesehatan, diantaranya:Jarak bidang resapan tangki septik dengan

sumber air minum harus dijaga dengan jarak > 10 m untuk jenis tanah liat dan > 15 m

untuk tanah berpasir;

Kepadatan 100 orang/ ha dengan menggunakan sanitasi setempat memberikan dampak

kontaminasi bakteri coli yang cukup besar terhadap tanah dan air tanah. Jadi bagi

pengguna sanitasi inidividual pada kawasan dengan kepadatan tersebut, penerapan

anaerobic filter sebagai pengganti bidang resapan dan effluennya dapat dibuang ke

saluran terbuka, atau secara komonitas menggunakan sistem off site sanitasi;

Air limbah dari toilet tidak boleh langsung dibuang ke perairan terbuka tanpa

pengeraman (digesting) lebih dari 10 hari terlebih dahulu, dan lumpurnya harus ada

pengeraman 3 minggu untuk digunakan di permukaan tanah (sebagai pupuk);

Hasil pengolahan limbah cair harus dibebaskan dari bakteri coli dengan proses maturasi

atau menggunakan desinfektan. Dengan demikian setiap Instalasi Pengolahan Air Limbah

(IPAL) harus dilengkapi salah satu dari kedua jenis sarana tersebut;

Sebaiknya alat-alat saniter (WC, urinoir, kitchen zink, wash-basin dll) mnggunakan water

trap (leher angsa) untuk mencegah bau dan serangga keluar dari pipa buangan ke

peralatan tersebut. Penggunaan pipa pembuang udara (vent) pada sistem plumbing

harus mencapai cieling (plafon) teratas.

9.3 SKENARIO TEKNIS KRITERIA PENYELENGGARAAN SISTEM SANITASI

9.3.1 Asumsi Dasar

Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional

Page 7: SUB-MODUL 9 Skenario Penyelenggaraan SIstem Sanitasi

17

Collaborative Knowledge Network Indonesia

Dalam menyusun kriteria teknis air limbah, maka asumsi dasar perlu digunakan seperti

telah disajikan pada bab sebelumnya yaitu :

Konsumsi air rata-rata yang digunakan pelanggan air minum sekitar 120 ltr/jiwa setiap hari

dan air limbah yang dihasikan sekitar 80 % nya atau 100 ltr/jiwa hari.

BOD/capita : 11 gr (excreta) + 24 gr (air bekas) = 35 gr /hari 2

Setiap penambahan penduduk 200.000 orang pada satu kawasan akan meningkatkan 1

ppm BOD pada badan air

Kepadatan diatas 100 orang/ha untuk penggunaan sistem on-site akan memberikan

dampak pencemaran yang sangat nyata terhadap air tanah dan air permukaan sekitarnya

20 ppm BOD pada badan air adalah tingkat pencemaran kritis utuk kehidupan akuatik .

Biaya investasi/kapita dan operasi pemeliharaan/ rumah tangga :

Kemampuan pendanaan/thn: pemerintah Rp 70 milyar, Pinjaman Rp 200 milyar, total

daerah Rp 150 milyar dan total masyarakat Rp 220 milyar. Hal ini berdasarkan pengeluaran

rata-rata sejak dekade 90 an

Kemampuan membayar untuk pelayanan sewerage sekitar 1/3 tagihan air minum atau 1%

dari incame rumah tangga. Asumsi ini diambil dari tagihan untuk IPAL di Bandung,

Banjarmasin , Balikpapan dan Medan.9.3.2. Alternatif PelayananBerdasarkan asumsi

dasar di atas maka:Penanganan sanitasi untuk on-site berbasis masyarakat dengan

stimulan untuk masyarakat tidak mampu.Sedangkan penanganan off-site sampai dengan

tahun 2015 didasarkan pilihan atas alternatif-alternatif sebagai berikut :

a. Menahan tingkat pencemaran badan air pada tingkat tahun 2000

b. Menahan tingkat pencemaran badan air dan menurunkan pencemaran sesuai baku mutu

badan air (stream standard)

2 Hasil studi Jakarta Sewerage.

Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional

- Sewerage < 100 org/ha= US$150-200- 100 org/ha < sewerage<300 org/ha = US$ 110-50- On-site sistem < 100 org/ha = US$ 30 – 20- 100 org/ha < onsite < 300 org/ha = US$ 40-50- Biaya pengolahan sewerage Rp 1.000-1.500/m3 atau Rp 20.000/rt/bln/kk- Biaya Onsite (lumpur septik) Rp 10.000/bln/kk

Page 8: SUB-MODUL 9 Skenario Penyelenggaraan SIstem Sanitasi

17

Collaborative Knowledge Network Indonesia

c. Menurunkan pencemaran hanya pada badan air yang strategis pada tingkat kemampuan

pendanaan masyarakat dan pemerintah Alternatif yg kemungkinan sesuai dana tersedia

adalah alternatif c.

a. Konsekwensinya penanganan sewerage hanya pada kota- kota besar saja.

9.3.3. Pemilihan sistem

Terdapat dua macam sistem dalam pengelolaan air limbah domestik/permukiman yaitu:

a. Sanitasi sistim setempat atau dikenal dengan sistem sanitasi on-site yaitu fasilitas sanitasi

individual seperti septik tank atau cubluk

b. Sanitasi sistem off-site atau dikenal dengan istilah sistem terpusat atau sistem sewerage,

yaitu sistem yang menggunakan perpipaan untuk mengalirkan air limbah dari rumah-rumah

secara bersamaan dan kemudian dialirkan ke IPAL.

Persyaratan untuk pemilihan sistem seperti dijelaskan di bawah ini :

1. Sistem on site diterapkan pada:

Kepadatan < 100 org/ha

Kepadatan > 100 org/ha sarana on site dilengkapi pengolahan tambahan seperti

kontak media dengan atau tanpa aerasi

Jarak sumur dengan bidang resapan atau cubluk > 10 m

Instalasi pengolahan lumpur tinja minimal untuk melayani penduduk urban >

50.000 jiwa atau bergabung dengan kawasan urban lainnya

2. Sistem off site diterapkan pada kawasan

Kepadatan > 100 org/ha

Bagi kawasan berpenghasilan rendah dapat menggunakan sistem septik

tank komunal (descentralised water treatment) dan pengaliran dengan konsep

perpipaan shallow sewer. Dapat juga melalui sistem kota/modular bila ada subsidi

tarif.

Bagi kawasan terbatas untuk pelayanan 500–1000 sambungan rumah disarankan

menggunakan basis modul. Sistem ini hanya menggunakan 2 atau 3 unit

pengolahan limbah yg paralel.

9.3.4. Alternatif Teknologi Sanitasi Sistem On-Site

Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional

Page 9: SUB-MODUL 9 Skenario Penyelenggaraan SIstem Sanitasi

17

Collaborative Knowledge Network Indonesia

Pada sistem on site ada dua jenis sarana yang digunakan untuk menampung kotoran tinja

manusia yaitu cubluk dan septik tank. Cubluk adalah lubang yang digali didalam tanah dengan

diameter 1.5 m sedalam 2m dan bisanya diberi dinding batu kosong untuk memudahkan

penyerapan air ke dalam tanah. Air dan kotoran dari kakus dialirkan ke dalam lubang ini.

Septik tank adalah bak di dalam tanah dari pasangan batu kedap air yang terdiri dari dua

kompertemen yang dibatasi oleh sekat berlubang utuk meningkatkan effisiensi pengendapan.

Bangunan septik tank dilengkapi bidang peresapan air. Air dan kotoran dari kakus dialirkan ke bak

ini, dan kemudian terjadi proses pengendapan yang memisahkan antara lumpur dan

cairan/supernatan. Air kemudian dialirkan ke bidang peresapan (terdiri dari batu kral dilapisi ijuk)

untuk diresapkan ke dalam tanah. Lumpur kotoran pada septik tank berakumulasi sampai penuh

(biasanya s/d 2 thn) untuk siap disedot oleh truk tinja dan dibawa ke Instalasi pengolahan lumpur

tinja (IPLT).

Kriteria Pemakaian cubluk :

Mempunyai lahan pekarangan cukup (>500 m2)

Ditempatkan berjarak > 10 m dari sumber air

Kedalaman air tanah > 3 m

Dasar galian berjarak > 50 cm dari muka air tanah

Jenis tanah tidak mudah longsor

Digunakan diperumahan dengan kepadatan penduduk rendah di pedesaan

Diupayakan tidak dimasuki air hujan dan air permukaan

Ditutup agar tidak bau dan tidak dimasuki serangga (lalat&nyamuk)

Dihubungkan dgn kakus yg menggunakan leher angsa

Perencanaan lubang cubluk utk dapat menampung lumpur anggota rumah tangga dengan

rate 30 ltr/org.thn

Lubang diuruk setelah penuh dan dibiarkan lumpur jadi kompos selama 0.5 tahun

Kompos dapat dikeluarkan dan kemudian dijadikan pupuk, dan kemudian lubang

tersebut dapat dipergunakan kembali

Ketika lubang cubluk penuh dan menunggu proses pengkomposan, perlu disediakan

cubluk cadangan/baru .

Penggunaan septik tank :

Pembuatannya memerlukan cukup pendanaan.

Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional

Page 10: SUB-MODUL 9 Skenario Penyelenggaraan SIstem Sanitasi

17

Collaborative Knowledge Network Indonesia

Dilengkapi dengan bidang resapan untuk meresapkan cairan supernatan yang keluar dari

tangki septik.

Bagi kepadatan hunian dengan > 100 org/ha dan belum ada sistem sewerage dan sistem

komunal, maka bidang resapan perlu digantikan dengan anaerobik bio filter.

Luas dan dalam bidang resapan tergantung permeabilitas tanahnya yg dilhitung dari hasil

test perkulasi.

Bagi daerah yang muka air tanahnya tinggi (kawasan pasang surut) dianjurkan

penggunaan septik- tank vertikal dan dilengkapi bio filter.

Kondisi air payau akan mempengaruhi degradasi bahan organik yang prosesnya lebih

lambat, maka proses di septik tank dan bio-filter harus kedap terhadap air payau.

Pengurasan tangki septik :

Menggunakan vakum-truck: artinya tangki yang dihubungkan ke tangki septik dengan

pipa penyedot dan kompressor berfungsi menyedot udara dalam tangki, sehingga

lumpur akan tersedot kedalam tangki yang tersedia pada truk.

Dinding tangki pada truk harus kuat terbuat dari plat baja yang cukup tebal untuk dapat

menahan tekanan negatif.

Filter anaerobik (bio filter)

Bahan filter batu pecah ukuran 5 s/d 10 cm atau bahan yang mengapung 5c, s/d 15 cm

yang diletakkan diatas plat beton yang berlubang

Perhitungan dimensi = 4- 5 kg COD/ m3 .hari.

Aliran vertikal dari bawah (naik) atau dari atas (turun)

9.3.5. Alternatif Teknologi Sanitasi Sistem Off -Site

Pengolahan sanitasi sistem off-site terutama bertujuan untuk menurunkan kadar pencemar

didalam air buangan. Ada beberapa tingkat pengolahan yang umumnya dilakukan untuk

mengolah air buangan agar tidak berbahaya bagi lingkungan dan dapat diklasifikasikan menjadi

dua golongan, yaitu:

1) Pengolahan berdasarkan unit operasi dan unit proses, dibedakan atas:

a. Pengolahan secara fisik

Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional

Page 11: SUB-MODUL 9 Skenario Penyelenggaraan SIstem Sanitasi

17

Collaborative Knowledge Network Indonesia

Merupakan proses pengolahan yang biasanya dilakukan dengan penyaringan, pemarutan,

penghilangan bahan butiran dan padatan organik tersuspensi. Unit pengolahannya

berupa sumur pengumpul, screen, mixer, bak pengendap dan filter.

b. Pengolahan secara biologis

Merupakan proses pengolahan melalui aktivitas mikroorganisme, misalnya bakteri dan

ganggang. Pengolahan ini ditujukan untuk menghilangkan bahan organik yang dapat

didegradasi dalam air buangan.

Pengolahan secara biologis dapat dibedakan menurut pemakaian oksigennya, yaitu:

proses aerobik, yaitu proses yang memerlukan oksigen, misalnya pada activated sludge,

aerated lagoon, aerobic digester dan trickling filter.

Proses anaerobik, yaitu proses yang tidak memerlukan oksigen,misalnya pada

anaerobic digestion, anaerobic filter dan anaerobic ponds.

Proses fakultatif, yaitu proses yang bisa berjalan dengan atau tanpa adanya oksigen,

misalnya pada fakultative lagoon dan maturation ponds.

2) Pengolahan berdasarkan tingkatannya, yaitu:

a. Pengolahan Primer (Tahap I)

Merupakan proses pengolahan tahap awal yang biasanya berupa pengolahan secara

Fisik.

b. Pengolahan Sekunder (Tahap II)

Merupakan proses pengolahan tahap kedua yang biasanya merupakan gabungan antara

proses kimia dan biologis, dimana pengolahan ini bertujuan utnuk mengurangi jumlah

bahan organik di dalam air buangan.

c. Pengolahan Tersier (Tahap III)

Merupakan proses pengolahan lanjutan dari pengolahan sekunder yang bertujuan untuk

menghilangkan konstituen yang tidak dapat dihilangkan dalam pengolahan sekunder,

misalnya fosfor dan nitrogen.

Proses pengolahan air buangan menghasilkan lumpur yang umumnya mengandung

0,25%– 12% padatan. Kandungan padatan ini tergantung dari unit operasi dan unit proses yang

digunakan. Adapun tujuan pengolahan lumpur adalah:

Mereduksi volume lumpur

Menjaga agar proses pembusukan yang terjadi tidak membahayakan

Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional

Page 12: SUB-MODUL 9 Skenario Penyelenggaraan SIstem Sanitasi

17

Collaborative Knowledge Network Indonesia

Memanfaatkan lumpur sebagai pupuk

Unit pengolahan lumpur antara lain; sludge thickener, sludge digester dan sludge drying

bed. Diagram alir proses pengolahan merupakan kombinasi dari unit operasi dan unit proses.

Pemilihan unit operasi dan unit proses yang digunakan tergantung dari:

1) Pengalaman

2) Peraturan yang berlaku terhadap metoda pengolahan

3) Ketersediaan peralatan pengolahan

4) Pemanfaatan terhadap unit-unit yang sudah ada

5) Biaya investasi dan Operasional Pemeliharaan (O & M)

6) Karakteristik air limbah sebelum dan sesudah pengolahan

Terdapat beberapa alternatif pengolahan air buangan yang bisa dipilih sehubungan

dengan beban pengolahan yang harus diolah sehingga dapat menghasilkan efluen yang sesuai

dengan baku mutu air buangan yang telah ditentukan.

Sebelum menentukan pilihan alternatif, maka terlebih dahulu perlu diketahui dasar

pemikiran pemilihan tersebut. Adapun kriteria dalam memilih unit pengolahan yang tepat adalah

sebagai berikut:

1) Efisiensi pengolahan

Ditujukan agar efisiensi pengolahan menghasilkan efluen yang sesuai dengan persyaratan

yang ditentukan untuk dibuang ke badan air atau dimanfaatkan kembali.

2) Aspek teknis

a. Segi konstruksi

Menyangkut teknis pelaksanaan, tenaga ahli, kemudahan material konstruksi dan

instalasi pembangunan.

b. Segi operasional dan pemeliharaan

Menyangkut tenaga ahli, kemudahan pengoperasian dan pemeliharaan instalasi.

3) Aspek ekonomis

Menyangkut masalah pembiayaan (finansial) dalam hal konstruksi, operasi dan pemeliharaan

IPAL.

4) Aspek lingkungan

Kemungkinan terjadinya gangguan yang dirasakan oleh penduduk akibat adanya ketidak-

seimbangan faktor ekologis.

Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional

Page 13: SUB-MODUL 9 Skenario Penyelenggaraan SIstem Sanitasi

17

Collaborative Knowledge Network Indonesia

Dari masing-masing tahap seri pengolahan terdapat beberapa alternatif unit-unit

pengolahan untuk dipilih. Pemilihan unit-unit tersebut didasarkan atas:

Standar effluen yang diperkenankan

Nilai present value dari beberapa alternatif unit yang dipilih

Sedangkan nilai present value dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut :

1) Biaya investasi

2) Biaya tenaga listrik (power cost)

3) Biaya sumber daya manusia (SDM).

4) Biaya lahan (tanah) untuk lokasi IPAL.

9.4 PENGALIRAN AIR LIMBAH MELALUI PERPIPAAN

9.4.1. Pengertian

Sistem perpipaan pada pengaliran air limbah berfungsi untuk membawa air limbah dari

satu tempat ketempat lain agar tidak terjadi pencemaran pada lingkungan sekitarnya.

Prinsip pengaliran air limbah pada umumnya adalah gravitasi tanpa tekanan, sehingga pola

aliran adalah seperti pola aliran pada saluran terbuka. Dengan demikian ada bagian dari

penampang pipa yang kosong. Pada umumnya perbandingan luas penampang basah dengan luas

penampang pipa A adalah sebagai berikut :

Untuk pipa dengan diameter : Ø < 150 mm ; a/A = 0,5 dan

Diameter Ø >150 mm ; a/A = 0,7

Jaringan pipa dilengkapi lubang pemeliharaan (manhole) pada jarak-jarak tertentu dan

pada pertemuan silangan pipa. Adapun jarak manhole harus disesuaikan dengan diameter

pipanya.

Untuk jaringan pipa dengan diameter :

Ø < 150 mm, jarak manhole 50 m

Ø 200 mm s/d 400 mm, jarak manhole 75 m

Ø 500 mm s/d 1000 mm, jarak manhole 100 m

Ø > 1000 mm, maka jarak manhole maksimum 150 m sd 200 m

Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional

Page 14: SUB-MODUL 9 Skenario Penyelenggaraan SIstem Sanitasi

17

Collaborative Knowledge Network Indonesia

Jaringan pipa air buangan terdiri dari:

Pipa kolektor (lateral) sebagai pipa penerima air bungan dari rumah-rumah dialirkan ke

pipa utama.

Pipa utama (main pipe) sebagai pipa penerima aliran dari pipa kolektor untuk disalurkan

ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) atau ke trunk sewer

Trunk sewer digunakan pada jaringan pelayanan air limbah yang luas (> 1000 ha) untuk

menerima aliran dari pipa utama dan untuk dialirkan ke IPAL.

9.4.2. Fluktuasi pengaliran (flow rate)

Perlu diperhatikan pola kebiasaan masyarakat dalam menggunakan air. Umumnya

pemakaian maksimum air pada pagi dan sore hari, dan ada saat minimum yaitu umumnya pada

larut malam. Besarnya fluktuasi aliran air limbah yang masuk ke pipa tergantung pada jumlah

populasi di suatu kawasan. Besarnya fluktuasi terhadap aliran rata-rata adalah sebagai berikut:

Untuk pelayanan < 10.000 jiwa Q max/Qaverage = 4 s/d 3,5 dan Q min/Qaverage = 0,2 s/d 0.35

Untuk pelayanan antara 10.000 jiwa s/d 100.000 Q max/Qaverage = 3,5 s/d 2 dan Qmin/Qaverage

= 0,35 s/d 0,55

Untuk pelayanan > 100.000 jiwa Q max/Q average = 2,0 s/d 1,5 dan Q min/Q average = 0,55 s/d

0,6

Rata-rata pemakaian air = 120 ltr/kapita dan air limbah yang masuk ke jaringan perpipaan

(perpipaan 80 % nya atau kira-kira 100 ltr/ capita.hari)

Kecepatan aliran maksimum tergantung jenis pipa yang digunakan dan pada umumnya

berkisar antara 2 m/det s/d 4 m/det. Kecepatan aliran minimum diharapkan menghindari

terjadinya pengendapan dalam pipa, maka kecepatan aliran minimum harus > 0,6 m/det.

9.4.3. Pemilihan Alternatif Sistem Perpipaan

a. Conventional sewer digunakan pada:

Kawasan perdagangan daerah pendapatan tinggi

Pipa utama (main) dan trunk sewer (pipa transmissi)

Pipa untuk pelayanan > 200 SR atau areal pelayanan > 5 ha

Minimal pipa diameter 200 mm

Beberapa ketentuan yang perlu mendapat perhatian :

Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional

Page 15: SUB-MODUL 9 Skenario Penyelenggaraan SIstem Sanitasi

17

Collaborative Knowledge Network Indonesia

Kecepatan aliran dalam pipa harus minimal berada = > 0,6 m/det sehingga

memerlukan kemiringan hydrolis yang lebih curam dengan demikian memerlukan

galian penanaman pipa yang lebih dalam.

Kedalaman galian terbuka (open trench) tidak boleh lebih dari 6 meter. Galian dengan

kedalaman > dari 1,5 m

Galian pada tanah pasir atau tanah dengan air tanah tinggi pada saat penggalian harus

dilengkapi turap penahan longsor (trench protection). Untuk penanaman pipa > 6m

diusahakan dengan metode pipe jacking atau micro tunnelling.

b. Shallow sewer, dengan kriteria sebagai berikut:

Digunakan untuk penduduk kepadatan tinggi > 200 jiwa/ha agar jumlah volume air cukup

untuk self cleansing,

Pada kawasan berpenghasilan rendah.

Diameter pipa minimal 150 mm

Maximum genangan air 0.8 diameter pipa dan minimum 0.2 diameter pipa

Hydrolic gradient minimum= 0.006

Kedalaman penanaman pipa minimum 0.4 m

Penggunaan shallow sewer dikembangkan atas dasar system pengaliran yang

mengandalkan penggelontoran pada penggunaan air saat pemakaian puncak, Sehingga

memerlukan kemiringan hidrolis yang lebih landai dari sistem konvensional. Perencanaan

aliran debit minimum hanya 0,3 s/d 0,4 m/det. Sistem ini sebaiknya dilengkapi dengan

sarana air penggelontor/pembilas yang disadap dari saluran drainase.

Sedangkan manhole yang digunakan hanya berupa pipa yang dihubungkan vertical

dengan pipa sewer dengan Tee Y. yang memungkinkan selang water jet dapat dimasukkan.

Kecuali pada pertemuan silang pipa, maka manhole yang digunakan harus sejenis manhole

yang digunakan pada sistem konvensional.

c. Small bore sewer

Kriteria yang dipergunakan adalah sebagai berikut:

Pipa hanya menerima effluen dari tangki septik (tidak termasuk lumpurnya) dan air bekas

mandi dan cuci

Keberadaan tangki septik harus dipertahankan

Diameter pipa minimum 100 mm

Kedalaman renang minimum 0.8 diameter dan maksimum 0.8 diameter

Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional

Page 16: SUB-MODUL 9 Skenario Penyelenggaraan SIstem Sanitasi

17

Collaborative Knowledge Network Indonesia

Hydrolic gradient minimum 0.005

Sistem ini diterapkan pada kawasan yang sudah jelas atau establish dengan tangki septik,

dan dipilih untuk menghidari pembongkaran lantai rumah untuk memindahkan pipa kakus -

septic tank menjadi pipa kakus - sewer. Sedangkan pipa air bekas bisa langsung disadap ke sewer

pada ujung tumpahnya (out fall) ke saluran drainase.

d. Penyadapan Air Limbah Dari Saluran Drainase (Interseptor)

Kriteria yang digunakan adalah:

Saluran drainase tertutup digunakan sebagai kolektor air limbah dari rumah – rumah

Keberadaan septic tank harus dipertahankan

Penyadapan dilengkapi bak penangkap pasir dan saringan sampah sebelum masuk pipa

utama

Penyadapan maksimum dari saluran drainase yg melayani untuk 100 rumah

Pada jangka panjang saluran drainase sebagai kolektor air limbah diganti dengan pipa. Air

yang disadap dari saluran drainase adalah air limbah saja (dray weather flow). Jadi jika

saluran drainase melebihi daya tampung penyadapan, maka air akan lolos menuju

badan air. Perbandingan debit aliran air hujan dengan air buangan sangat besar =(±

100 : 5), sehingga memerlukan saluran kecil untuk dray weather flow agar lancar pada

saat kemarau dan menghindari terjadinya endapan. Referensi:Kriteria Teknis Air Limbah,

Departemen PU

Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional