SUB-MODUL 9 Skenario Penyelenggaraan SIstem Sanitasi
-
Upload
enik-wahyuniati -
Category
Documents
-
view
8 -
download
2
description
Transcript of SUB-MODUL 9 Skenario Penyelenggaraan SIstem Sanitasi
17
Collaborative Knowledge Network Indonesia
SUB-MODUL 9SUB-MODUL 9SKENARIO PENYELENGGARAANSKENARIO PENYELENGGARAAN
SISTEM SANITASI NASIONAL SISTEM SANITASI NASIONAL
9.1 Pendahuluan
9.1.1. Latar Belakang
Sesuai dengan semangat otonomi daerah maka visi Direktorat Jenderal Cipta Karya adalah
terwujudnya kemandirian daerah untuk menyiapkan dan menangani prasarana dan sarana ke
Ciptakaryaan. Berdasarkan visi tersebut maka salah satu misi Ditjen. Cipta Karya yaitu
meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat dalam penyelenggaraan prasarana
dan sarana tersebut. Sehingga, untuk mencapai maksud tersebut adalah menjadi kewajiban
pemerintah pusat untuk melaksanakan pembinaan kepada pemerintah daerah agar
pembangunan drainase, persampahan dan air limbah permukiman dapat terselenggara sehingga
akan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan perlindungan lingkungan.
Kondisi prasarana dan sarana (PS) sanitasi di Indonesia saat ini masih sangat terbatas, dan
akses masyarakat terhadap PS sanitasi dapat dilihat pada diagram yang disajikan sebagai berikut.
Gambar 1. Kondisi akses masyarakat terhadap sanitasi
Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional
Akses ke P&S100%
Tak terditeksi25,98%
Perkotaan37,53%
Perdesaan36,50%
Tanpa diolah 8,16%
On-site 28,10%
Off-site 1,36%
Tanpa diolah 14,54%
On-site 21,96%
Off-site 0%
17
Collaborative Knowledge Network Indonesia
Maka langkah awal dalam pembinaan adalah mendorong daerah dapat usaha
meningkatkan akses sanitasi dasar dan pelaksanaan konservasi Lingkungan. Salah satu upaya
pembinaan adalah melalui penyediaan perangkat lunak berupa skenario sistem pelayanan air
limbah permukiman.
9.1.2. Maksud dan tujuan
Skenario penyelenggaraan sistem sanitasi nasional ini adalah dimaksudkan sebagai
panduan bagi perencana, pelaksana, serta masyarakat dalam penentuan kriteria dan batasan
teknis yang diperlukan dalam penanganan sub. Bidang Air Limbah Permukiman.
Tujuan: Penyediaan data dan informasi kriteria teknis bidang air limbah sesuai skala
penanganan yang dibutuhkan.
Kritera ini digunakan sebagai bahan penguji apakah suatu perencanaan dan pelaksanaan
memenuhi syarat, dan sebagai bahan penaksir dalam program - tapi bukan pedoman - untuk
membuat detail design. Sedangkan untuk detail design (DED), diperlukan petunjuk khusus berupa
Pedoman Perencanaan.
9.1.3. Cakupan Skenario Sistem Penyelenggaraan Air Limbah.
Skenario ini meliputi antara lain:
Prinsip dasar penanganan air limbah artinya untuk apa air limbah tersebut ditangani
Azas yang digunakan dalam penanganan air limbah
Landasan operasional yang digunakan untuk pelaksanaan sistem air limbah
Penerapan faktor lingkungan sosial dan ekonomi untuk penanganan air limbah
Konsep pemilihan teknologi yang digunakan untuk Penanganan limbah
Kriteria Teknis dari masing-masing teknologi pilih
9.1.4. Landasan Konsepsional Air limbah
Konsepsi dasar dalam penanganan air limbah adalah bahwa penanganan air limbah harus
memenuhi prinsip-prinsip kesehatan (hygenic) dan kelestarian lingkungan (environmental
conservation).
Artinya: Dari segi public health mencegah penularan penyakit lewat air dan dari sisi
lingkungan membantu upaya konservasi SDA dengan mengurangi pencemaran limbah domestik
Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional
17
Collaborative Knowledge Network Indonesia
terhadap badan air. Air limbah merupakan urusan individual yang harus dikelola sektor publik
karena penanganan yang tidak layak akan menyebabkan konflik kepentingan publik.
9.1.5. Azas Penanganan
Azas pemerataan: bahwa Sanitasi adalah kebutuhan dasar untuk kesehatan maka hak
setiap orang untuk memperoleh akses pada sanitasi yang layak
Azas kesehatan: mencegah kontaminasi langsung dan tidak langsung air limbah tehadap
manusia dan kegiatannya.
Azas kelestarian lingkungan: bahwa kualitas lingkungan harus dipertahankan terhadap
penurunan akibat pencemaran oleh air limbah.
Azas pencemar membayar (polluter pays principal): kewajiban retribusi air limbah.
Azas Internalisasi externalitas: faktor-faktor dampak lingkungan dimasukkan dalam
biaya.
9.1.6. Landasan OperasionalMaximum Net Benefit-Cost dan the Most Cost
EffectivenessArtinya:Memilih sistem penanganan air limbah memberikan manfaat yang
besar terhadap lingkungan dengan biaya yang kecil.
Mencari alternatif penanganan utk mencapai goal yang tepat dengan biaya yang paling
rendah.
9.2 ASPEK YANG MEMPENGARUHI PENGELOLAAN AIR LIMBAH
9.2.1. Demografi
Di perkotaan atau perdesaan mempunyai kawasan- kawasan dalam bentuk klaster-klaster
dengan kepadatan penduduk yg berbeda, dengan kondisi sosial yang berbeda. Sehingga
sekelompok orang dapat membuat sarana sanitasinya dengan septik tank tetapi sebagian lain
hanya mampu dengan membuat cubluk, dan banyak masyarakat tidak mampu yang tidak
mempunyai sarana untuk membuang hajat. Sedangkan secara teknis dan kesehatan untuk
kepadatan tertentu yaitu > 50 org/ha, penggunaan cubluk sudah mengakibatkan kontaminasi
pada sumur-sumur tetangga. Di atas kepadatan 200 org/ha penggunaan septik tank dengan
bidang resapannya akan memberikan dampak kontaminasi bakteri koli dan pecemaran pada
tanah dan air tanah.1
1 Kasus kawasan padat/kumuh di Jakarta.
Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional
17
Collaborative Knowledge Network Indonesia
Disamping itu kategori kota dan desa yang dibedakan secara administratif akan berdampak
pada institusi pengelolaan limbah cair. Pembagian ini sangat dikotomis dari sudut ‘public utility,
karena penerapan teknologi air limbah sangat ditentukan oleh unsur kepadatan penduduk.
Kasus desa-desa di Jawa dan perkampungan nelayan yang berkelompok tidak mungkin lagi
menerapkan murni sistem onsite bagi sarana air limbahnya, setidaknya komunalisasi sistem
sudah harus dilakukan, meskipun belum mengarah pada sistem off site secara murni. Jadi
pengelolaan sistem air limbah ditinjau dari sudut demografi lebih melihat pada kategori
perkotaan (urbanise area) dan perdesaan (remote area) dan bukan berdasarkan pembatasan
administrasi.
Regionalisasi sistem pengelolaan limbah lebih melihat pada sisi ekonomis pelayanan,
sebagai contoh untuk Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja yang melayani beberapa daerah
administratif berdekatan, maka akan jauh lebih ekonomis daripada membuat sistem-sistem
tersendiri secara skala kecil.
Berdasarkan data pencemaran pada 35 kota utama seperti yang disajikan pada Bab I,
secara umum diperkirakan bahwa sesuai tingkat pengenceran rata-rata sungai yang melalui kota-
kota tersebut, dapat disimpulkan bahwa setiap pertambahan 200.000 penduduk perkotaan akan
meningkatkan kadar BOD pada badan air 1 ppm. Maka secara umum dapat arahan strategi
penanganan sistem off site adalah sebagai berikut:
Berapa ppm BOD badan air akan diturunkan;
Setiap ppm penurunan tersebut dikalikan 200 ribu jiwa = total jiwa yang hendak
ditangani dengan sistem off site;
Selanjutnya dipilihkan kawasan padat yang yang perlu diterapkan denan sistem
tersebut; dan
Pilih skala penanganan berdasarkan pertimbangan ekonomi dan finansial, dan
tetapkan kawasan yang sesuai untuk pengolahan air limbah skala komunal, skala
modul (sekitar 1000 KK) atau sekala kawasan.9.2.2. EkonomiAspek ekonomi
juga merupakan hal yang akan menentukan dalam penentuan pemilihan sistem
pengelolaan air limbah. Uraian terpenting pada aspek ini adalah terhadap sisi
kelayakan secara ekonomis. Diantaranya “trade off” antara biaya sanitasi off-site dan
sistem sanitasi on-site terjadi pada titik kepadatan sekitar 300 org/ha.Maksimum net
benefit-cost tercapai bila terjadi marginal fungsi benefit –marginal fungsi cost = 0 atau
pada simpangan terbesar antara dua fungsi tersebut. Artinya berapa besar biaya
pencemaran yang diperlukan dibanding dengan keuntungan secara ekonomi yang
diperoleh, antara lain dengan berkurangnya biaya pengobatan untuk penyakit yang
ditularkan melalui air, turunnya biaya bahan kimia PDAM oleh turunnya BOD pada air
bakunya.Teknologi pengelolaan limbah yang digunakan untuk mencapai biaya effektif
sangat tergantung pada tingkat objektivitas yang harus dicapai. Penerapan teknologi
Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional
17
Collaborative Knowledge Network Indonesia
pengolahan air limbah tergantung dari standard efluen yang diperkenankan dan
sampai tingkat mana kondisi lingkungan yang akan diperbaiki. Misalnya untuk kondisi
sistem komunal mungkin effluan pada jangka menengah dapat diizinkan dibawah 100
ppm.Pemilihan kapasitas sistem pengelolaan harus memenuhi skala ekonomi. Hal ini
dimaksud bahwa sistem yang dibangun harus memberikan return optimal baik
pengembalian secara ekonomis (benefit) maupau finansial. Dengan demikian jangan
sampai cost/kapita dari satu sistem menjadi tinggi disebabkan oleh jumlah pelayanan
yang tidak layak.9.2.3. SosialPenduduk pada suatu kawasan mempunyai
tingkat sosial-ekonomi yang berbeda, sehingga akan sangat terkait dengan
kemampuan membayar retribusi air limbah, dan hal ini akan sangat mempengaruhi
dan berdampak secara teknis terhadap konsep sanitasi yang akan diterapkan. Kondisi
sosial ini akan menjadi kompleks karena dana yang mampu dialokasikan oleh
pemerintah sangat terbatas, sedangkan penerapan sistem cross subsidi untuk konteks
penanganan air limbah tidak layak diterapkan secara kawasan. Karena, jika seseorang
dikenakan pungutan atas jasa melebihi dari nilai jasa yang dia terima, maka orang
tersebut dapat menolak, sedangkan dalam halnya sanitasi, maka akan ada alternatif
lain, misalnya hotel dapat membuat individual treatment sendiri.Kondisi sosial juga
akan membedakan tingkat pencemaran yang dihasilkan. Dibandingkan dengan negara
maju, umumnya tingkat BOD per kapita per hari di Indonesia tidak terlalu tinggi karena
masih sekitar antara 30 gram sampai dengan 40 gram. Jumlah ini akan berpengaruh
terhadap beban organik pada suatu pengolahan limbahBila tingkat kesadaran pada
masyarakat kurang mampu akan pentingnya sanitasi dan lingkungan bagi kesehatan,
tentu akan mendorong mereka membentuk sistem sanitasi komunal. Maka untuk
membangun kesadaran ini sangat diperlukan dorongan motivasi yang antara lain
dengan mengeluarkan insentif sebagai stimulan.9.2.4. LingkunganIklim
tropis sangat menolong pengolahan secara anaerob seperti septik tank Imhoff tank,
kolam anerobik dan sebagainya. Jadi pengolahan anaerob merupakan suatu tahap
yang penting dari seluruh rangkaian serial pengolahan limbah;
Intensitas hujan tropis yang tinggi akan memberikan run off yang sangat besar dibanding
aliran air limbah, sehingga sistem sewer (saluran) terpisah antara air hujan dan air limbah
permukiman akan relatif lebih ekonomis dan sehat, kecuali untuk kawasan-kawasan
terbatas dapat diterapkan sistem interseptor;
Posisi bangunan sanitasi kawasan pasang surut harus memperhatikan muka air tertinggi,
untuk sanitasi onsite penggunaan septik tank dengan upword flow yang disebut vertikal
septik tank dapat diterapkan;
Kepadatan 100 org/ha memberikan dampak pencemaran cukup besar terhadap
lingkungan maka kawasan-kawasan tertentu dengan masyarakat mampu dapat
menerapkan sistem off site pada kawasan tersebut;
Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional
17
Collaborative Knowledge Network Indonesia
Untuk pengelolaan air limbah pada kawasan-kawasan dengan effluen yang dibuang ke
danau dan waduk, selain harus memperhatikan kadar BOD/COD dan SS juga harus
mengendalikan kadar nitrogen dan fosfor yang akan memicu pertumbuhan algea biru dan
gulma yang akan menutupi permukaan air danau;
Kawasan perairan untuk wisata renang harus dijaga kadar COD tidak melebihi 5 ppm dan
tidak mengandung logam berat;Jika tidak ada penetapan kuota pencemaran maka
penetapan kualitas effluan hasil pengolahan limbah harus memperhitungkan kemampuan
badan air penerima untuk “natural purification” bagi berlangsungnya kehidupan akuatik
secara keseluruhan.9.2.5. Teknis dan KesehatanPenanganan secara teknis
air limbah dimaksud agar input hardware ((konstruksi), proses, output dan outcome
memenuhi essensi kesehatan, diantaranya:Jarak bidang resapan tangki septik dengan
sumber air minum harus dijaga dengan jarak > 10 m untuk jenis tanah liat dan > 15 m
untuk tanah berpasir;
Kepadatan 100 orang/ ha dengan menggunakan sanitasi setempat memberikan dampak
kontaminasi bakteri coli yang cukup besar terhadap tanah dan air tanah. Jadi bagi
pengguna sanitasi inidividual pada kawasan dengan kepadatan tersebut, penerapan
anaerobic filter sebagai pengganti bidang resapan dan effluennya dapat dibuang ke
saluran terbuka, atau secara komonitas menggunakan sistem off site sanitasi;
Air limbah dari toilet tidak boleh langsung dibuang ke perairan terbuka tanpa
pengeraman (digesting) lebih dari 10 hari terlebih dahulu, dan lumpurnya harus ada
pengeraman 3 minggu untuk digunakan di permukaan tanah (sebagai pupuk);
Hasil pengolahan limbah cair harus dibebaskan dari bakteri coli dengan proses maturasi
atau menggunakan desinfektan. Dengan demikian setiap Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL) harus dilengkapi salah satu dari kedua jenis sarana tersebut;
Sebaiknya alat-alat saniter (WC, urinoir, kitchen zink, wash-basin dll) mnggunakan water
trap (leher angsa) untuk mencegah bau dan serangga keluar dari pipa buangan ke
peralatan tersebut. Penggunaan pipa pembuang udara (vent) pada sistem plumbing
harus mencapai cieling (plafon) teratas.
9.3 SKENARIO TEKNIS KRITERIA PENYELENGGARAAN SISTEM SANITASI
9.3.1 Asumsi Dasar
Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional
17
Collaborative Knowledge Network Indonesia
Dalam menyusun kriteria teknis air limbah, maka asumsi dasar perlu digunakan seperti
telah disajikan pada bab sebelumnya yaitu :
Konsumsi air rata-rata yang digunakan pelanggan air minum sekitar 120 ltr/jiwa setiap hari
dan air limbah yang dihasikan sekitar 80 % nya atau 100 ltr/jiwa hari.
BOD/capita : 11 gr (excreta) + 24 gr (air bekas) = 35 gr /hari 2
Setiap penambahan penduduk 200.000 orang pada satu kawasan akan meningkatkan 1
ppm BOD pada badan air
Kepadatan diatas 100 orang/ha untuk penggunaan sistem on-site akan memberikan
dampak pencemaran yang sangat nyata terhadap air tanah dan air permukaan sekitarnya
20 ppm BOD pada badan air adalah tingkat pencemaran kritis utuk kehidupan akuatik .
Biaya investasi/kapita dan operasi pemeliharaan/ rumah tangga :
Kemampuan pendanaan/thn: pemerintah Rp 70 milyar, Pinjaman Rp 200 milyar, total
daerah Rp 150 milyar dan total masyarakat Rp 220 milyar. Hal ini berdasarkan pengeluaran
rata-rata sejak dekade 90 an
Kemampuan membayar untuk pelayanan sewerage sekitar 1/3 tagihan air minum atau 1%
dari incame rumah tangga. Asumsi ini diambil dari tagihan untuk IPAL di Bandung,
Banjarmasin , Balikpapan dan Medan.9.3.2. Alternatif PelayananBerdasarkan asumsi
dasar di atas maka:Penanganan sanitasi untuk on-site berbasis masyarakat dengan
stimulan untuk masyarakat tidak mampu.Sedangkan penanganan off-site sampai dengan
tahun 2015 didasarkan pilihan atas alternatif-alternatif sebagai berikut :
a. Menahan tingkat pencemaran badan air pada tingkat tahun 2000
b. Menahan tingkat pencemaran badan air dan menurunkan pencemaran sesuai baku mutu
badan air (stream standard)
2 Hasil studi Jakarta Sewerage.
Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional
- Sewerage < 100 org/ha= US$150-200- 100 org/ha < sewerage<300 org/ha = US$ 110-50- On-site sistem < 100 org/ha = US$ 30 – 20- 100 org/ha < onsite < 300 org/ha = US$ 40-50- Biaya pengolahan sewerage Rp 1.000-1.500/m3 atau Rp 20.000/rt/bln/kk- Biaya Onsite (lumpur septik) Rp 10.000/bln/kk
17
Collaborative Knowledge Network Indonesia
c. Menurunkan pencemaran hanya pada badan air yang strategis pada tingkat kemampuan
pendanaan masyarakat dan pemerintah Alternatif yg kemungkinan sesuai dana tersedia
adalah alternatif c.
a. Konsekwensinya penanganan sewerage hanya pada kota- kota besar saja.
9.3.3. Pemilihan sistem
Terdapat dua macam sistem dalam pengelolaan air limbah domestik/permukiman yaitu:
a. Sanitasi sistim setempat atau dikenal dengan sistem sanitasi on-site yaitu fasilitas sanitasi
individual seperti septik tank atau cubluk
b. Sanitasi sistem off-site atau dikenal dengan istilah sistem terpusat atau sistem sewerage,
yaitu sistem yang menggunakan perpipaan untuk mengalirkan air limbah dari rumah-rumah
secara bersamaan dan kemudian dialirkan ke IPAL.
Persyaratan untuk pemilihan sistem seperti dijelaskan di bawah ini :
1. Sistem on site diterapkan pada:
Kepadatan < 100 org/ha
Kepadatan > 100 org/ha sarana on site dilengkapi pengolahan tambahan seperti
kontak media dengan atau tanpa aerasi
Jarak sumur dengan bidang resapan atau cubluk > 10 m
Instalasi pengolahan lumpur tinja minimal untuk melayani penduduk urban >
50.000 jiwa atau bergabung dengan kawasan urban lainnya
2. Sistem off site diterapkan pada kawasan
Kepadatan > 100 org/ha
Bagi kawasan berpenghasilan rendah dapat menggunakan sistem septik
tank komunal (descentralised water treatment) dan pengaliran dengan konsep
perpipaan shallow sewer. Dapat juga melalui sistem kota/modular bila ada subsidi
tarif.
Bagi kawasan terbatas untuk pelayanan 500–1000 sambungan rumah disarankan
menggunakan basis modul. Sistem ini hanya menggunakan 2 atau 3 unit
pengolahan limbah yg paralel.
9.3.4. Alternatif Teknologi Sanitasi Sistem On-Site
Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional
17
Collaborative Knowledge Network Indonesia
Pada sistem on site ada dua jenis sarana yang digunakan untuk menampung kotoran tinja
manusia yaitu cubluk dan septik tank. Cubluk adalah lubang yang digali didalam tanah dengan
diameter 1.5 m sedalam 2m dan bisanya diberi dinding batu kosong untuk memudahkan
penyerapan air ke dalam tanah. Air dan kotoran dari kakus dialirkan ke dalam lubang ini.
Septik tank adalah bak di dalam tanah dari pasangan batu kedap air yang terdiri dari dua
kompertemen yang dibatasi oleh sekat berlubang utuk meningkatkan effisiensi pengendapan.
Bangunan septik tank dilengkapi bidang peresapan air. Air dan kotoran dari kakus dialirkan ke bak
ini, dan kemudian terjadi proses pengendapan yang memisahkan antara lumpur dan
cairan/supernatan. Air kemudian dialirkan ke bidang peresapan (terdiri dari batu kral dilapisi ijuk)
untuk diresapkan ke dalam tanah. Lumpur kotoran pada septik tank berakumulasi sampai penuh
(biasanya s/d 2 thn) untuk siap disedot oleh truk tinja dan dibawa ke Instalasi pengolahan lumpur
tinja (IPLT).
Kriteria Pemakaian cubluk :
Mempunyai lahan pekarangan cukup (>500 m2)
Ditempatkan berjarak > 10 m dari sumber air
Kedalaman air tanah > 3 m
Dasar galian berjarak > 50 cm dari muka air tanah
Jenis tanah tidak mudah longsor
Digunakan diperumahan dengan kepadatan penduduk rendah di pedesaan
Diupayakan tidak dimasuki air hujan dan air permukaan
Ditutup agar tidak bau dan tidak dimasuki serangga (lalat&nyamuk)
Dihubungkan dgn kakus yg menggunakan leher angsa
Perencanaan lubang cubluk utk dapat menampung lumpur anggota rumah tangga dengan
rate 30 ltr/org.thn
Lubang diuruk setelah penuh dan dibiarkan lumpur jadi kompos selama 0.5 tahun
Kompos dapat dikeluarkan dan kemudian dijadikan pupuk, dan kemudian lubang
tersebut dapat dipergunakan kembali
Ketika lubang cubluk penuh dan menunggu proses pengkomposan, perlu disediakan
cubluk cadangan/baru .
Penggunaan septik tank :
Pembuatannya memerlukan cukup pendanaan.
Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional
17
Collaborative Knowledge Network Indonesia
Dilengkapi dengan bidang resapan untuk meresapkan cairan supernatan yang keluar dari
tangki septik.
Bagi kepadatan hunian dengan > 100 org/ha dan belum ada sistem sewerage dan sistem
komunal, maka bidang resapan perlu digantikan dengan anaerobik bio filter.
Luas dan dalam bidang resapan tergantung permeabilitas tanahnya yg dilhitung dari hasil
test perkulasi.
Bagi daerah yang muka air tanahnya tinggi (kawasan pasang surut) dianjurkan
penggunaan septik- tank vertikal dan dilengkapi bio filter.
Kondisi air payau akan mempengaruhi degradasi bahan organik yang prosesnya lebih
lambat, maka proses di septik tank dan bio-filter harus kedap terhadap air payau.
Pengurasan tangki septik :
Menggunakan vakum-truck: artinya tangki yang dihubungkan ke tangki septik dengan
pipa penyedot dan kompressor berfungsi menyedot udara dalam tangki, sehingga
lumpur akan tersedot kedalam tangki yang tersedia pada truk.
Dinding tangki pada truk harus kuat terbuat dari plat baja yang cukup tebal untuk dapat
menahan tekanan negatif.
Filter anaerobik (bio filter)
Bahan filter batu pecah ukuran 5 s/d 10 cm atau bahan yang mengapung 5c, s/d 15 cm
yang diletakkan diatas plat beton yang berlubang
Perhitungan dimensi = 4- 5 kg COD/ m3 .hari.
Aliran vertikal dari bawah (naik) atau dari atas (turun)
9.3.5. Alternatif Teknologi Sanitasi Sistem Off -Site
Pengolahan sanitasi sistem off-site terutama bertujuan untuk menurunkan kadar pencemar
didalam air buangan. Ada beberapa tingkat pengolahan yang umumnya dilakukan untuk
mengolah air buangan agar tidak berbahaya bagi lingkungan dan dapat diklasifikasikan menjadi
dua golongan, yaitu:
1) Pengolahan berdasarkan unit operasi dan unit proses, dibedakan atas:
a. Pengolahan secara fisik
Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional
17
Collaborative Knowledge Network Indonesia
Merupakan proses pengolahan yang biasanya dilakukan dengan penyaringan, pemarutan,
penghilangan bahan butiran dan padatan organik tersuspensi. Unit pengolahannya
berupa sumur pengumpul, screen, mixer, bak pengendap dan filter.
b. Pengolahan secara biologis
Merupakan proses pengolahan melalui aktivitas mikroorganisme, misalnya bakteri dan
ganggang. Pengolahan ini ditujukan untuk menghilangkan bahan organik yang dapat
didegradasi dalam air buangan.
Pengolahan secara biologis dapat dibedakan menurut pemakaian oksigennya, yaitu:
proses aerobik, yaitu proses yang memerlukan oksigen, misalnya pada activated sludge,
aerated lagoon, aerobic digester dan trickling filter.
Proses anaerobik, yaitu proses yang tidak memerlukan oksigen,misalnya pada
anaerobic digestion, anaerobic filter dan anaerobic ponds.
Proses fakultatif, yaitu proses yang bisa berjalan dengan atau tanpa adanya oksigen,
misalnya pada fakultative lagoon dan maturation ponds.
2) Pengolahan berdasarkan tingkatannya, yaitu:
a. Pengolahan Primer (Tahap I)
Merupakan proses pengolahan tahap awal yang biasanya berupa pengolahan secara
Fisik.
b. Pengolahan Sekunder (Tahap II)
Merupakan proses pengolahan tahap kedua yang biasanya merupakan gabungan antara
proses kimia dan biologis, dimana pengolahan ini bertujuan utnuk mengurangi jumlah
bahan organik di dalam air buangan.
c. Pengolahan Tersier (Tahap III)
Merupakan proses pengolahan lanjutan dari pengolahan sekunder yang bertujuan untuk
menghilangkan konstituen yang tidak dapat dihilangkan dalam pengolahan sekunder,
misalnya fosfor dan nitrogen.
Proses pengolahan air buangan menghasilkan lumpur yang umumnya mengandung
0,25%– 12% padatan. Kandungan padatan ini tergantung dari unit operasi dan unit proses yang
digunakan. Adapun tujuan pengolahan lumpur adalah:
Mereduksi volume lumpur
Menjaga agar proses pembusukan yang terjadi tidak membahayakan
Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional
17
Collaborative Knowledge Network Indonesia
Memanfaatkan lumpur sebagai pupuk
Unit pengolahan lumpur antara lain; sludge thickener, sludge digester dan sludge drying
bed. Diagram alir proses pengolahan merupakan kombinasi dari unit operasi dan unit proses.
Pemilihan unit operasi dan unit proses yang digunakan tergantung dari:
1) Pengalaman
2) Peraturan yang berlaku terhadap metoda pengolahan
3) Ketersediaan peralatan pengolahan
4) Pemanfaatan terhadap unit-unit yang sudah ada
5) Biaya investasi dan Operasional Pemeliharaan (O & M)
6) Karakteristik air limbah sebelum dan sesudah pengolahan
Terdapat beberapa alternatif pengolahan air buangan yang bisa dipilih sehubungan
dengan beban pengolahan yang harus diolah sehingga dapat menghasilkan efluen yang sesuai
dengan baku mutu air buangan yang telah ditentukan.
Sebelum menentukan pilihan alternatif, maka terlebih dahulu perlu diketahui dasar
pemikiran pemilihan tersebut. Adapun kriteria dalam memilih unit pengolahan yang tepat adalah
sebagai berikut:
1) Efisiensi pengolahan
Ditujukan agar efisiensi pengolahan menghasilkan efluen yang sesuai dengan persyaratan
yang ditentukan untuk dibuang ke badan air atau dimanfaatkan kembali.
2) Aspek teknis
a. Segi konstruksi
Menyangkut teknis pelaksanaan, tenaga ahli, kemudahan material konstruksi dan
instalasi pembangunan.
b. Segi operasional dan pemeliharaan
Menyangkut tenaga ahli, kemudahan pengoperasian dan pemeliharaan instalasi.
3) Aspek ekonomis
Menyangkut masalah pembiayaan (finansial) dalam hal konstruksi, operasi dan pemeliharaan
IPAL.
4) Aspek lingkungan
Kemungkinan terjadinya gangguan yang dirasakan oleh penduduk akibat adanya ketidak-
seimbangan faktor ekologis.
Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional
17
Collaborative Knowledge Network Indonesia
Dari masing-masing tahap seri pengolahan terdapat beberapa alternatif unit-unit
pengolahan untuk dipilih. Pemilihan unit-unit tersebut didasarkan atas:
Standar effluen yang diperkenankan
Nilai present value dari beberapa alternatif unit yang dipilih
Sedangkan nilai present value dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut :
1) Biaya investasi
2) Biaya tenaga listrik (power cost)
3) Biaya sumber daya manusia (SDM).
4) Biaya lahan (tanah) untuk lokasi IPAL.
9.4 PENGALIRAN AIR LIMBAH MELALUI PERPIPAAN
9.4.1. Pengertian
Sistem perpipaan pada pengaliran air limbah berfungsi untuk membawa air limbah dari
satu tempat ketempat lain agar tidak terjadi pencemaran pada lingkungan sekitarnya.
Prinsip pengaliran air limbah pada umumnya adalah gravitasi tanpa tekanan, sehingga pola
aliran adalah seperti pola aliran pada saluran terbuka. Dengan demikian ada bagian dari
penampang pipa yang kosong. Pada umumnya perbandingan luas penampang basah dengan luas
penampang pipa A adalah sebagai berikut :
Untuk pipa dengan diameter : Ø < 150 mm ; a/A = 0,5 dan
Diameter Ø >150 mm ; a/A = 0,7
Jaringan pipa dilengkapi lubang pemeliharaan (manhole) pada jarak-jarak tertentu dan
pada pertemuan silangan pipa. Adapun jarak manhole harus disesuaikan dengan diameter
pipanya.
Untuk jaringan pipa dengan diameter :
Ø < 150 mm, jarak manhole 50 m
Ø 200 mm s/d 400 mm, jarak manhole 75 m
Ø 500 mm s/d 1000 mm, jarak manhole 100 m
Ø > 1000 mm, maka jarak manhole maksimum 150 m sd 200 m
Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional
17
Collaborative Knowledge Network Indonesia
Jaringan pipa air buangan terdiri dari:
Pipa kolektor (lateral) sebagai pipa penerima air bungan dari rumah-rumah dialirkan ke
pipa utama.
Pipa utama (main pipe) sebagai pipa penerima aliran dari pipa kolektor untuk disalurkan
ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) atau ke trunk sewer
Trunk sewer digunakan pada jaringan pelayanan air limbah yang luas (> 1000 ha) untuk
menerima aliran dari pipa utama dan untuk dialirkan ke IPAL.
9.4.2. Fluktuasi pengaliran (flow rate)
Perlu diperhatikan pola kebiasaan masyarakat dalam menggunakan air. Umumnya
pemakaian maksimum air pada pagi dan sore hari, dan ada saat minimum yaitu umumnya pada
larut malam. Besarnya fluktuasi aliran air limbah yang masuk ke pipa tergantung pada jumlah
populasi di suatu kawasan. Besarnya fluktuasi terhadap aliran rata-rata adalah sebagai berikut:
Untuk pelayanan < 10.000 jiwa Q max/Qaverage = 4 s/d 3,5 dan Q min/Qaverage = 0,2 s/d 0.35
Untuk pelayanan antara 10.000 jiwa s/d 100.000 Q max/Qaverage = 3,5 s/d 2 dan Qmin/Qaverage
= 0,35 s/d 0,55
Untuk pelayanan > 100.000 jiwa Q max/Q average = 2,0 s/d 1,5 dan Q min/Q average = 0,55 s/d
0,6
Rata-rata pemakaian air = 120 ltr/kapita dan air limbah yang masuk ke jaringan perpipaan
(perpipaan 80 % nya atau kira-kira 100 ltr/ capita.hari)
Kecepatan aliran maksimum tergantung jenis pipa yang digunakan dan pada umumnya
berkisar antara 2 m/det s/d 4 m/det. Kecepatan aliran minimum diharapkan menghindari
terjadinya pengendapan dalam pipa, maka kecepatan aliran minimum harus > 0,6 m/det.
9.4.3. Pemilihan Alternatif Sistem Perpipaan
a. Conventional sewer digunakan pada:
Kawasan perdagangan daerah pendapatan tinggi
Pipa utama (main) dan trunk sewer (pipa transmissi)
Pipa untuk pelayanan > 200 SR atau areal pelayanan > 5 ha
Minimal pipa diameter 200 mm
Beberapa ketentuan yang perlu mendapat perhatian :
Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional
17
Collaborative Knowledge Network Indonesia
Kecepatan aliran dalam pipa harus minimal berada = > 0,6 m/det sehingga
memerlukan kemiringan hydrolis yang lebih curam dengan demikian memerlukan
galian penanaman pipa yang lebih dalam.
Kedalaman galian terbuka (open trench) tidak boleh lebih dari 6 meter. Galian dengan
kedalaman > dari 1,5 m
Galian pada tanah pasir atau tanah dengan air tanah tinggi pada saat penggalian harus
dilengkapi turap penahan longsor (trench protection). Untuk penanaman pipa > 6m
diusahakan dengan metode pipe jacking atau micro tunnelling.
b. Shallow sewer, dengan kriteria sebagai berikut:
Digunakan untuk penduduk kepadatan tinggi > 200 jiwa/ha agar jumlah volume air cukup
untuk self cleansing,
Pada kawasan berpenghasilan rendah.
Diameter pipa minimal 150 mm
Maximum genangan air 0.8 diameter pipa dan minimum 0.2 diameter pipa
Hydrolic gradient minimum= 0.006
Kedalaman penanaman pipa minimum 0.4 m
Penggunaan shallow sewer dikembangkan atas dasar system pengaliran yang
mengandalkan penggelontoran pada penggunaan air saat pemakaian puncak, Sehingga
memerlukan kemiringan hidrolis yang lebih landai dari sistem konvensional. Perencanaan
aliran debit minimum hanya 0,3 s/d 0,4 m/det. Sistem ini sebaiknya dilengkapi dengan
sarana air penggelontor/pembilas yang disadap dari saluran drainase.
Sedangkan manhole yang digunakan hanya berupa pipa yang dihubungkan vertical
dengan pipa sewer dengan Tee Y. yang memungkinkan selang water jet dapat dimasukkan.
Kecuali pada pertemuan silang pipa, maka manhole yang digunakan harus sejenis manhole
yang digunakan pada sistem konvensional.
c. Small bore sewer
Kriteria yang dipergunakan adalah sebagai berikut:
Pipa hanya menerima effluen dari tangki septik (tidak termasuk lumpurnya) dan air bekas
mandi dan cuci
Keberadaan tangki septik harus dipertahankan
Diameter pipa minimum 100 mm
Kedalaman renang minimum 0.8 diameter dan maksimum 0.8 diameter
Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional
17
Collaborative Knowledge Network Indonesia
Hydrolic gradient minimum 0.005
Sistem ini diterapkan pada kawasan yang sudah jelas atau establish dengan tangki septik,
dan dipilih untuk menghidari pembongkaran lantai rumah untuk memindahkan pipa kakus -
septic tank menjadi pipa kakus - sewer. Sedangkan pipa air bekas bisa langsung disadap ke sewer
pada ujung tumpahnya (out fall) ke saluran drainase.
d. Penyadapan Air Limbah Dari Saluran Drainase (Interseptor)
Kriteria yang digunakan adalah:
Saluran drainase tertutup digunakan sebagai kolektor air limbah dari rumah – rumah
Keberadaan septic tank harus dipertahankan
Penyadapan dilengkapi bak penangkap pasir dan saringan sampah sebelum masuk pipa
utama
Penyadapan maksimum dari saluran drainase yg melayani untuk 100 rumah
Pada jangka panjang saluran drainase sebagai kolektor air limbah diganti dengan pipa. Air
yang disadap dari saluran drainase adalah air limbah saja (dray weather flow). Jadi jika
saluran drainase melebihi daya tampung penyadapan, maka air akan lolos menuju
badan air. Perbandingan debit aliran air hujan dengan air buangan sangat besar =(±
100 : 5), sehingga memerlukan saluran kecil untuk dray weather flow agar lancar pada
saat kemarau dan menghindari terjadinya endapan. Referensi:Kriteria Teknis Air Limbah,
Departemen PU
Sub-Module 9 : Skenario Penyelenggaraan Sistem Sanitasi Nasional