Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

67
SUB MODUL 12 MEKANISME PENDANAAN SANITASI DI INDONESIA A. Pendahuluan - Latar belakang Saat ini pertumbuhan sektor sanitasi dinilai masih terlalu lambat, dibuktikan dengan belum tercapainya target MDG (Millennium Development Goals), terutama di daerah pedesaan. Hal ini menyebabkan buruknya pelayanan di bidang sarana sanitasi kepada masyarakat Indonesia. Faktor utama yang menjadi penyebabnya, antara lain: 1. Kesadaran yang rendah dari potential beneficaries dan political will dari pemerintahan daerah 2. Tidak adanya kejelasan atau tidak lengkapnya peraturan yang ada 3. Kurangnya komitmen dan kemampuan institusional untuk memiliki proses perencanaan yang memadai Penting adanya panduan dalam meningkatkan pendanaan dari sumber-sumber yang ada. Dana yang akan diakses pemerintah akan digunakan untuk menjalankan perencanaan pembangunan sanitasi. Hal ini tidak saja menyangkut kepentingan semua level pemerintahan, namun juga swasta yang akan berpartisipasi dalam pembangunan sanitasi. Di tingkat pemerintahan pusat, beberapa departemen yang mempunyai banyak dana untuk pembangunan sanitasi mengalami kesulitan dalam membelanjakan dana melalui program dan proyek yang sesuai karena kurangnya koordinasi dengan pemerintah daerah. Sebagai contoh, Departemen Pekerjaan Umum menyatakan bahwa mereka mempunyai dana namun sulit diakses pemerintahan daerah karena proyek yang akan dibiayai tidak ada dalam Rencana Kerja Anggaran Departemen Pekerjaan Umum. Hal ini menyangkut perencanaan yang disusun oleh pemerintah daerah. Sementara itu, Bappenas sebagai pembuat perencanaan usulan program dan kegiatan seringkali menunggu usulan proyek yang bagus dari departemen teknis dan pemerintah daerah agar dapat mengusulkan anggaran belanja sanitasi. Di sisi lain, banyak pemerintah daerah yang 1 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

description

Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Transcript of Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Page 1: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

SUB MODUL 12

MEKANISME PENDANAAN SANITASI DI INDONESIA

A. Pendahuluan- Latar belakang

Saat ini pertumbuhan sektor sanitasi dinilai masih terlalu lambat, dibuktikan dengan belum tercapainya target MDG (Millennium Development Goals), terutama di daerah pedesaan. Hal ini menyebabkan buruknya pelayanan di bidang sarana sanitasi kepada masyarakat Indonesia. Faktor utama yang menjadi penyebabnya, antara lain:

1. Kesadaran yang rendah dari potential beneficaries dan political will dari pemerintahan daerah

2. Tidak adanya kejelasan atau tidak lengkapnya peraturan yang ada 3. Kurangnya komitmen dan kemampuan institusional untuk memiliki proses perencanaan

yang memadaiPenting adanya panduan dalam meningkatkan pendanaan dari sumber-sumber yang ada.

Dana yang akan diakses pemerintah akan digunakan untuk menjalankan perencanaan pembangunan sanitasi. Hal ini tidak saja menyangkut kepentingan semua level pemerintahan, namun juga swasta yang akan berpartisipasi dalam pembangunan sanitasi.

Di tingkat pemerintahan pusat, beberapa departemen yang mempunyai banyak dana untuk pembangunan sanitasi mengalami kesulitan dalam membelanjakan dana melalui program dan proyek yang sesuai karena kurangnya koordinasi dengan pemerintah daerah. Sebagai contoh, Departemen Pekerjaan Umum menyatakan bahwa mereka mempunyai dana namun sulit diakses pemerintahan daerah karena proyek yang akan dibiayai tidak ada dalam Rencana Kerja Anggaran Departemen Pekerjaan Umum. Hal ini menyangkut perencanaan yang disusun oleh pemerintah daerah. Sementara itu, Bappenas sebagai pembuat perencanaan usulan program dan kegiatan seringkali menunggu usulan proyek yang bagus dari departemen teknis dan pemerintah daerah agar dapat mengusulkan anggaran belanja sanitasi. Di sisi lain, banyak pemerintah daerah yang mengatakan bahwa mereka masih kekurangan dana untuk pembangunan sanitasi.

Melihat kondisi tersebut maka jelas bahwa ada kesenjangan informasi dan koordinasi dalam perencanaan program sanitasi baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Akibatnya sumber-sumber pendanaan yang ada masih belum dapat digunakan secara maksimal. Oleh karena itu penting sekali adanya panduan yang memuat mekanisme koordinasi pendanaan sektor sanitasi.

- Maksud Maksud dari penyusunan modul ini adalah sebagai panduan praktis bagi pemerintah

dalam memahami sumber-sumber dana di sektor sanitasi yang potensial dan dapat mengerti mekanisme dalam pengaksesan pendanaan tersebut, sesuai dengan strategi pendanaan yang telah diidentifikasi

- Tujuan

1 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 2: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Adapun tujuan dari penyusunan modul ini adalah agar pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah dapat mengidentifikasi sumber dan mekanisme pendanaan yang tidak bekerja dengan baik dan selanjutnya bersama-sama membuat mekanisme tersebut berjalan dengan baik sehingga dapat diimplementasikan. Sedangkan tujuan lainnya adalah untuk memandu kelompok kerja sanitasi agar lebih optimal dalam mengakses maupun menggunakan sumber dan mekanisme pendanaan yang ada pada berbagai level pemerintahan.

- ManfaatManfaat dari modul ini adalah sebagai alat pemicu bagi pemerintah di berbagai level

agar dapat mendefinisikan dan melaksanakan dengan baik kewajibannya dimana salah satunya adalah menyediakan pendanaan bagi sektor sanitasi terutama pada kawasan perkotaan. Selain itu juga sebagai panduan bagi pemerintah di berbagai level, agar memiliki pemahaman yang komprehensif, sehingga dapat menyusun kebutuhan investasi seckor sanitasi secara realistis dan dapat merumuskan strategi pendanaan bagi pembangunan sanitasi yang lebih baik.

B. Gambaran Umum Sektor Sanitasi- Pengertian Sanitasi

Sanitasi adalah sarana atau sistem yang berfungsi menjaga kebersihan terutama dari kotoran yang timbul akibat aktivitas manusia

Sarana sanitasi diantaranya adalah jamban, saluran drainase (pembuangan) dan tempat pengolahan air limbah. Sarana sanitasi ini harus mendapatkan pemeliharaan yang baik dengan cara menjaga kebersihannya dan jika terjadi kerusakan harus segera dilakukan perbaikan. Kerusakan pada saluran pembuangan berupa kebocoran memungkinkan terjadinya pencemaran air tanah yang digunakan sebagai sumber air bersih.

Ada 2 jenis sistem sanitasi untuk air limbah, meliputi:

Sanitasi setempat (On Site Treatment) Pengolahan air limbah dengan sistem sanitasi setempat adalah pengolahan air limbah

yang berada di dalam persil (batas tanah yang memiliki), atau dengan kata lain pada titik dimana limbah tersebut timbul.

Sarana sistem sanitasi setempat dapat secara individual maupun secara komunal seperti pada sarana MCK (mandi, cuci dan kakus).

Keuntungan dan Kerugian On Site Treatment

2 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Sumber: persentasi_sanitasi_sekolah

Page 3: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

KEUNTUNGAN KERUGIAN

Biaya pembuatan murah Biasanya dibuat secara pribadi Teknologi serta pembangunannya relatif sederhana Sistem yang terpisah bagi tiap-tiap rumah dapat

menjaga “privacy” yang aman dan bebas Operasi dan pemeliharaannya mudah dan umumnya

merupakan tanggung jawab pribadi masing-masing, kecuali yang tidak terpisah atau dalam kelompok/blok.

Manfaatnya dapat dirasakan segera, seperti jamban menjadi bersih, terhindar dari bau dan lalat.

Tidak cocok bagi daerah dengan kepadatan penduduk sangat tinggi, sehingga lahan yang tersedia bagi sarana pembuangan menjadi sangat sempit.

Tidak cocok bila digunakan pada daerah dengan muka air tanah yang tinggi dan daya resap tanah rendah.

Sanitasi terpusat (Off Site Treatment) Sistem yang menggunakan sarana tertentu untuk membawa air limbah keluar daerah

persil dan mengolahnya di lokasi tertentu. Air limbah rumah tangga yang diolah secara terpusat di Instalasi Pengolahan Air Limbah

berasal dari kamar mandi, toilet dan dapur Keuntungan dan Kerugian Off Site Treatment

KEUNTUNGAN KERUGIAN

Tidak membutuhkan lahan luas untuk pembuatan tangki septik/cubluk

Kemungkinan pencemaran air tanah lebih kecil cocok untuk daerah dengan kepadatan tinggi

Umur pakai lama

Biaya pembangunan tinggi Membutuhkan tenaga terdidik/terampil untuk

menangani operasi dan pemeliharaannya. Membutuhkan perencanaan yang cermat

- Kondisi Sanitasi Di Indonesia Lingkaran setan bagi masyarakat miskin:

C. Pendanaan Pembangunan Sanitasi- Biaya –Biaya dalam pembangunan Sanitasi

A. Biaya SanitasiBiaya sanitasi meliputi biaya yang berkaitan dengan kegiatan non fisik dan kegiatan fisik.

3 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 4: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Kegiatan non fisik, berkaitan dengan:a. Penyusunan dan pelaksanaan proyek. Kegiatan ini erat kaitannya dengan konstruksi.b. Biaya advokasi kepada para pembuat keputusan untuk mengusahakan alokasi anggaran

dalam proses perencanaan propinsi dan nasionalc. Kegiatan pendukung untuk mewujudkan perubahan perilaku hidup bersihd. Pemasaran sanitasi untuk mewujudkan partisipasi sektor swastae. Merancang dan melaksanakan sistem monitoring dan evaluasi untuk menentukan

apakah solusi teknis, keuangan dan kelembagaan yang dilaksanakan sudah mencapai tujuan dan kelompok sasaran yang diinginkan

Kegiatan fisik, dibedakan menjadi:a. Biaya investasi prasarana dan layanan swastab. Biaya operai dan pemeliharaan untuk prasarana sanitasi rumah tanggac. Biaya investasi non-swasta. Biaya ini merupakan bagian yang harus ditanggung untuk

sistem sanitasi terpusat (off-site)d. Biaya operasi dan pemeliharaan sistem sanitasi terpusate. Biaya tak terduga. Biaya ini dianggarkan 5-10 % dari total biaya konstruksi untuk proyek

standar, tetapi 15 % jika berkaitan dengan teknologi yang belum pernah dicoba atau dengan proyek yang rumit, geografi yang sulit, dan lain-lain.

Pemerintah daerah yang menghitung kebutuhan pembiayaan jangka panjang proyek sanitasi harus mencantumkan semua biaya tersebut dan sumber pendanaan yang ada ke dalam perencanaan anggaran proyek multitahun. Dalam melakukan ini akan terlihat anggaran yang lebih realistis dan dapat menghindarkan kondisi keuangan yang jauh berbeda dari yang sudah direncanakan selama penyusunan.

Namun, pemulihan biaya juga bukan merupakan hal yang mudah dalam sektor sanitasi. Kondisi yang mungkin terjadi, meliputi:

Investasi nilainya tinggi, terutama untuk solusi teknis dalam pembuatan saluran air limbah dan untuk membangun sistem alternatif di daerah padat penduduk

Terjadi masalah ketika permintaan pembuatan sanitasi tidak sebesar permintaan akan air, sehingga kesediaan calon pengguna untuk berpartispasi dan membayar layanan juga cukup sulit.

Kurang adanya kemampuan membayar tarif bagi warga miskin terutama dalam investasi awal.

Tidak ada pendapatan untuk sub sektor drainase sehingga tidak bisa menarik investasi swasta. Pembangunan dan pemeliharaan menjadi tugas pemerintah. Namun, ada manfaat keuangan tidak langsung yaitu kecilnya kerugian yang harus ditanggung pemerintah jika terjadi banjir dan pendapatan pajak akan meningkat karena kalangan bisnis tidak banyak mengalami kerugian saat banjir.

B. Biaya Investasi Prasarana dan sarana individual dan fasilitasnya

Pada prinsipnya, ini harus menjadi tanggungan pengguna akhir. Di daerah miskin, harus mempertimbangkan kemampuan finansial mereka. Tanpa dukungan pemerintah, secara tradisional dianggap bahwa prasarana dan sarana tersebut harus berupa sarana sanitasi bertipe setempat (on-site), karena solusi sarana sanitasi terpusat (off-site) memerlukan lebih banyak investasi dan organisasi masyarakat.

Sebaliknya, dengan tidak melibatkan diri, pemerintah menanggung risiko baik dari segi teknis maupun lingkungan karena kurang layaknya solusi yang diberikan. Risiko tersebut meliputi lambatnya rasio cakupan, penambahan beban keuangan masyarakat

4 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 5: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

berpenghasilan rendah. Sebaiknya paling tidak pemerintah harus membantu dalam hal:

- Pengujian dan penyediaan informasi mengenai desain dan bahan yang baik- Mengawasi kontraktor swasta yang memberikan jasa kontruksi dan layanan- Memberdayakan dan memsubsidi pinjaman-mikro untuk investasi awal. Dari segi

ukuran, pembayaran tunai langsung semuanya tidak selalu menjadi opsi, juga untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

Prasarana dan sarana bersamaUnsur yang dimiliki atau dipakai bersama dalam suatu sistem sanitasi sering

memerlukan intervensi pemerintah agar bisa dibangun, karena biayanya terlalu mahal untuk ditanggung oleh pengguna akhir. Ini berlaku terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan untuk sebagian besar masyarakat pedesaan. Untuk daerah perkotaan menengah keatas ini berbeda dalam kasus perumahan baru. Disini, pengembang umumnya sepenuhnya bertanggung jawab atas semua prasarana sanitasi. Untuk sambungan ke sarana terpusat atau saluran limbah perkotaan, pemerintah daerah dan pengembang sebelumnya harus menyepakati pembagian biaya dan risiko yang akan dihadapi. Sistem saluran air limbah menimbulkan masalah keuangan terbesar karena memerlukan investasi dan biaya pemeliharaan yang mahal apalagi jika letaknya di pusat kota atau kawasan usaha terpusat, dengan penduduk padat dan penuh polusi.

C. Biaya Operasi dan Pemeliharaan Biaya Operasi Yang Berulang Dan Pengaruhnya Dengan Belanja Pembangunan

Melaksanakan proyek tanpa mempertimbangkan biaya operasi dan pemeliharaan akan mengakibatkan pemborosan biaya modal sehingga proyek tidak berfungsi dengan baik dan tidak beroperasi atau pengalihan dana publik yang jauh lebih besar ke sektor swasta melalui subsidi. Pertimbangan yang memperhitungkan waktu bisa mempengaruhi pemilihan teknologi yang lebih cocok, solusi lebih murah atau kontribusi pengguna dalam jumlah besar sebagai persyaratan subsidi.

Subsidi pemerintah untuk sebagian atau seluruh biaya operasi dan pemeliharaan, mempunyai beberapa karakteristik negatif.

a. Subsidi sering tidak transparan, jadi membuka peluang untuk penyelewengan dan korupsi

b. Subsidi selalu berulang setiap tahun dan biayanya akan semakin mahal karena fasilitas sudah sering digunakan dan membutuhkan lebih banyak perawatan, jadi menambah beban keuanagn pemerintah

c. Jika dilaksanakan oleh operator, maka mereka tidak mempunyai insentif untuk bekerja secara efisien.

d. Subsidi sering diambil dari anggaran pembangunan, terutama untuk perbaikan yang tak terduga dan tidak dianggarkan

Jika pemerintah tidak bisa menghindar dan harus membayar sebagian biaya operasi dan pemeliharaan, maka disarankan untuk menerapkan pengurangan subsidi secara bertahap atau membiayai misalnya pemeliharaan utama dari pendapatan lainnya.

Biaya Operasi Dan Pemeliharaan Prasarana Sanitasi Individual SetempatBiaya ini terdiri dari:

a. Pembersihan dan pemeliharaan (tidak perlu melibatkan pemerintah)

5 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 6: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

b. Penyedotan cubluk dan septik tank dan pembuangan/pengolahan endapan tinja.Penyedotan paling bagus dilaksanakan melalui kontrak layanan dengan

perusahaan bersertifikasi. Pengguna bisa melakukannya sendiri, karena layanan ini bagi warga miskin berarti mereka harus menabung dulu. Pembuangan endapan tinja yang benar, biasanya menjadi masalah jika ini dilakukan oleh orang atau perusahaan tanpa kontrol yang ketat. Apabila hal ini terjadi, maka manfaat bagi masyarakat akan hilang.

Layanan dari pemerintah untuk tugas seperti ini biasanya disediakan, tapi jarang ditawarkan di lingkungan yang miskin. Pemerintah perlu mempertimbangkan kemampuan untuk memberikan layanan ini untuk daerah yang tidak mampu, dengan jalan mengembangkan berbagai langkah pengaturan dan pemicu untuk sektor swasta agar mau melakukan hal ini dengan ongkos yang terjangkau. Jika biaya tersebut diperhitungkan, mungkin akan ditemukan solusi teknis lain yang bisa menjadi alternatif yang lebih baik dan memperkecil anggaran operasi dan pemeliharaan.

Biaya Operasi Dan Pemeliharaan Prasarana Sanitasi TerpusatUntuk sanitasi berlembaga, biaya operasi dan pemeliharaan harus ditutup oleh tarif pengguna. Untuk sistem berbasis masyarakat, masyarakat mengatur administrasi pendapatan dan memastikan bahwa pendapatan ini bisa menutup biaya yang diperlukan. Jika biaya ini lebih besar daripada kemampuan keuangan pengguna, maka perlu dirundingkan kesepakatan dengan pemerintah daerah untuk berbagi biaya sebelum sistem dibangun.

- Penyedia Pendanaan Sanitasi Sumber dana

Kemungkinan, penyedia dana sanitasi adalah:

1. Dana publik, yang mengalir dari pusat, propinsi lalu ke pemerintah kabupaten/kota dan yang didapat dari pajak. Biasanya dana ini berbentuk hibah atau pinjaman

2. Dana pembangunan asing (ODA): hibah dan pinjaman luar negeri dari Lembaga Keuangan Internasional-IFI, Bank Dunia dan Asian Development Bank

3. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Berbasis Masyarakat (OBM)4. Sektor swasta

Pemerintah perlu mempelajari berapa banyak yang bisa diperoleh dari sumber lain dari setiap proyek individual, jadi bisa membatasi pemakaian dana publik hanya benar-benar untuk pembiayaan yang diperlukan. Tetapi memang investasi pemerintah di daerah kumuh dan pedesaan masih kecil.

Bantuan pembangunan dari LSM merupakan instrumen penting untuk tempat-tempat tertentu untuk mengatasi masalah sanitasi, tapi sumber ini tidak bisa memenuhi kebutuhan diseluruh wilayah negara berkembang. Peran sektor swasta masih belum besar tetapi berpotensi, walau memerlukan banyak pekerjaan dan pengembangan kelembagaan untuk memobilisasi dana swasta.

Pembiayaan pembangunan sanitasi yang menyertakan masyarakat berpenghasilan rendahPendekatan pembiayaan yang ada untuk memungkinkan partisipasi warga miskin,

telah dibahas seperti kredit-mikro, subsidi dan bantuan untuk sanitasi berbasis masyarakat. Untuk meningkatkannya, tampaknya diperlukan inovasi dalam layanan pembiayaan untuk

6 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 7: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

kelompok masyarakat ini. Partisipasi sektor swasta mungkin lebih mudah di proyek sanitasi kecil, dan bisa mendorong ekonomi lokal.

Tapi masih ada satu pertanyaan yang harus dijawab, yakni apakah teknologi berbiaya rendah yang sering dipromosikan oleh pemerintah untuk warga miskin mencukupi. Solusi teknologi yang bermutu tinggi diperlukan di lingkungan perkotaan yang padat peduduk dan miskin. Karena itu, pemerintah harus selalu memainkan peran dalam skema pendanaan swadaya. Untuk memastikan bahwa standar mutu dipenuhi dan bahwa inisiatif masyarakat dijalankan secara berkelanjutan.

Untuk pembanguann sanitasi, fasilitas swasta lebih disukai tetapi tidak selalu bisa dilaksanakan di semua tempat. Untuk fasilitas bersama, teknologi baru yaitu eco-san dan pengolahan limbah mikro setempat bisa menarik terutama dari segi perolehan pendapatan dari produk turunannya yaitu biogas. Dalam kasus penyediaan IPAL komunal sederhana, sarana tersebut dapat lebih mudah untuk diakses masyarakat berpenghasilan rendah dengan cara:

Memperpanjang pinjaman lunak dengan umur pinjaman yang cukup panjang Menawarkan pengaturan pembayaran khusus untuk warga berpenghasilan kecil

(misalnya, pembayaran yang kecil tapi sering, kemungkinan pembayaran di tempat atau di lingkungan terdekat)

Pemotongan biaya jika memungkinkan, tanpa mengorbakan manfaat lingkungan Kerja sama dengan LSM.

Memodifikasi secara teknis untuk meningkatkan keterjangkauan biaya saluran air limbah bagi warga miskin, dengan jalan memotong biaya tanpa kehilangan manfaat. Dua contohnya adalah:

a. Penyediaan IPAL komunal kecil yang dikelola masyarakat, dengan pengolahan konsep ini maka memerlukan banyak bantuan dari pemerintah agar bisa terwujud.

b. Penyediaan sistem kondominal yaitu saluran limbah primer (dangkal, lobang kecil) di daerah miskin yang tersambung ke saluran-saluran utama limbah kota. Konsep ini banyak mengurangi biaya saluran limbah (lebih dari 50 %), tetapi masalahnya adalah harus meletakkan pipa besar di daerah padat penduduk.

- Langkah-langkah dalam mengakses pembiayaanSetiap pemerintah daerah harus menjalankan sejumlah langkah untuk melaksanakan

rencana pembiayaan untuk proyek sanitasi yang diusulkan.

a. Menyusun Strategi Sanitasi Kota (SSK) yang mencantumkan dan mendukung proyek saat usulannya diserahkan untuk sumber pendanaan dari luar.

b. Menyusun daftar panjang proyek/program yang cocok lalu menyusun daftar pendek yang bersama-sama membentuk suatu program.

c. Identifikasi opsi pendanaan yang adad. Mengevaluasi opsi yang layak dan memeriksa persyaratan kualifikasi. e. Menyusun rencana pembiayaan berdasarkan opsi terbaik (juga opsi yang tidak begitu baik

untuk mencapai 100 % cakupan layanan)f. Memobilisasi dan memakai danag. Memantau dan mengevaluasi kinerja proyek dan kecocokan sumber pendanaan yang ada

- Mengevaluasi Opsi Yang Layak Dan Memeriksa Persyaratan Kualifikasi untuk Menarik DanaLangkah yang bagus adalah secara cermat menjelaskan proyek yang diusulkan. Adapun

persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap pengusul kegiatan, yang terdiri dari dokumen sebagai berikut:

7 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 8: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

a) Studi kelayakan kegiatanStudi kelayakan kegiatan merupakan penelitian yang dilakukan dengan kriteria dan

metode tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran penilaian atas usulan kegiatan. Semakin besar dan semakin kompleks kegiatan yang direncanakan, akan memerlukan studi kelayakan yang lebih luas dan mendalam. Dalam pelaksanaan studi kelayakan, manfaat dan risiko dari kegiatan diperhitungkan dengan rinci secara kualitatif dan kuantitatif.

Analisis kelayakan dilihat dari berbagai aspek yang terkait dengan instansi pengusul, penerima manfaat maupun lingkungan dimana kegiatan akan dilaksanakan. Secara garis besar aspek-aspek yang dimaksud dapat dikelompokkan menjadi kelayakan teknis, kelayakan ekonomi dan kelayakan finansial. Suatu kegiatan dapat dikatakan layak untuk dilaksanakan apabila manfaat yang diperoleh dari kegiatan lebih besar daripada risiko yang ditimbulkan, serta terdapat cara untuk mengatasi risiko yang dihasilkan tersebut.

b) Kerangka Acuan Kerja (KAK)KAK disusun setelah melakukan studi kelayakan kegiatan. Dalam KAK menjelaskan

rancangan pelaksanaan kegiatan yang berisi bagaimana kegiatan dilaksanakan dan ketentuan apa saja yang harus dipenuhi oleh pelaksana kegiatan agar hasil yang didapatkan sesuai dengan yang diharapkan pada studi kelayakan. KAK disusun secara rinci dan jelas untuk menghindari permasalahan yang akan muncul akibat kesalahan dalam memahami KAK tersebut.

c) Daftar Isian Pengusulan Kegiatan (DIPK)Setelah melakukan studi kelayakan dan menyusun KAK, maka dokumen selanjutnya

yang harus disusun adalah DIPK. DIPK dimaksudkan untuk mempermudah para pengambil keputusan dalam menilai kelayakan kegiatan yang akan dibiayai dengan pinjaman dan/atau hibah luar negeri, selain untuk mengurangi korespondensi yang tidak perlu antara pihak pengusul kegiatan dengan Kantor Meneg PPN/Bappenas.

DIPK adalah daftar isian yang telah ditetapkan formatnya, sehingga pengusul kegiatan dapat mudah menyajikan informasi penting yang akan disampaikan dengan data yang mutahir dan akurat. DIPK dikelompokkan menjadi 4 kelompok bsar, yaitu 1) umum, 2) kegiatan, 3) pembiayaan, 4) dokumen persyaratan pengusulan kegiatan.

d) Lembar Ringkasan KegiatanAgar setiap usulan kegiatan dapat ditawarkan kepada calon pemberi pinjaman

dan/atau hibah luar negeri, perlu disusun ringkasan kegiatan yang berisi informasi gambaran mengenai rencana kegiatan. Ringkasan proyek berisikan data dan informasi yang disusun dalam format lembar sederhana. Pada hakekatnya kumpulan ringkasan kegiatan akan membentuk (Daftar Rencana Prioritas Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri Jangka Menengah (DRPHLN-JM) yang akan disampaikan pada calon pemberi pinjaman dan/atau hibah luar negeri dan pihak terkait untuk digunakan sebagai dasar dalam membahas persiapan pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

8 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 9: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Persyaratan khusus adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh pengusul kegiatan, yang disesuaikan dengan instansi pengusul dan jenis penyaluran pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Persyaratan khusus dijelaskan sebagai berikut:

a. Usulan dari Kementrian Negara/Lembaga dalam rangka penerushibahan kepada pemerintah daerah.

Pemerintah daerah harus melampirkan Surat Persetujuan Pemerintah Daerah Calon Penerima Penerushibahan. Hal ini dimaksudkan agar rencana kegiatan yang disusun oleh Kementrian Negara yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah telah dikoordinasikan serta seluruh syarat pelaksanaan kegiatan yang direncanakan telah disetujui oleh Pemerintah Daerah calon pelaksana kegiatan.

b. Usulan dari pemerintah daerah untuk peneruspinjamanMelampirkan Surat Persetujuan DPRD Calon Penerima Penerusan Pinjaman. Hal ini

dimaksudkan untuk meningkatkan pertanggungjawaban pemerintah daerah dalam menyusun rencanan kegiatan yang berisi rencana dampak beban keuangan di masa yang akan datang, yaitu berupa pengembalian pokok dan bunga pinjaman.

Ringkasan dana-dana yang tersedia, tidak termasuk pinjaman untuk sementara, meliputi:

Belanja APBD yang disediakan untuk investasi, operasi dan pemeliharaan Ketersediaan hibah dari pemerintah pusat secara garis besar akan diketahui oleh setiap

pemerintah daerah, nilainya berfluktuasi berdasarkan usulan proyek Kemungkinan hibah dari dana pembangunan asing (ODA) dan LSM/OBM harus dipelajari

dengan bertanya langsung. Secara umum, kondisinya adalah: Adanya dana pendamping untuk mendukung dana dari mereka Prioritas tematis yang harus ada dalam usulan Mereka hanya menyediakan dana untuk melengkapi rencana pembiayaan Mereka bekerja di daerah tertentu selama waktu tertentu

Potensi investasi sektor swasta tidak sama untuk setiap kota, tapi tidak boleh dilebih-lebihkan. Mendapatkan dana swasta adalah pekerjaan berat dan memerlukan tatanan kelembagaan dan insentif.

9 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 10: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Tabel 1. Ikhitisar persyaratan yang dikenakan oleh sumber pendanaan untuk pembangunan sanitasi

Pemerintah Pusat

Pemerintah Propinsi

Pemerintah Kabupaten/Kota

Bank Lokal Kredit/Pinjaman Internasional

Bilateral atau donor lain

LSM Lain Sektor Swasta Lain

Ukuran Permohonan Kecil, sedang

Kecil, sedang, besar

Kecil, sedang, besar

Sedang Besar, skala kota Skala kecil hingga sedang diorganisasi sebagai bagian dari rencana strategis

Kecil, khusus tingkat RW dan sekolah

Sedang, besar

Fokus usaha pembangunan

Daerah lokal

Proyek lintas-batas

Beragam (kota, desa, program berbeda, beberapa departemen berbeda)

Tingkat pengembalian investasi

Pendekatan pro warga miskin. Keberlanjutan investasi melalui tatanan kelembagaan, keuangan dan operasi serta pemeliharaan yang bagus

MDG dan manfaat yang khusus untuk masyarakat miskin, partisipasi masyarakat, gender dan lain-lain. Keterlibatan sektor swasta atau pengaturan kerja sama pemerintah dan swasta. Keberlanjutan investasi melalui tatanan kelembagaan, keuangan dan operasi serta pemeliharaan yang bagus

Masyarakat miskin. Partisipasi masyarakat. Berbagi biaya dengan masukan dari pemerintah daerah dan masyarakat.

Tingkat keuntungan perluasan pasar.

Ketersediaan dana Terbatas tetapi bisa

Cukup bagus tetapi belum terstruktur

Bervariasi, bisa meningkat

Kelayakan kredit terbatas

Terbatasnya kesediaan pemerintah daerah untuk meminjam bukan untuk sanitasi

Dibatasi oleh fokus donor, penekanan geografis, dan lain-lain. Cukup menyeluruh dari segi pemenuhan kebutuhan.

Sangat terbatas dan berkaitan dengan tempat operasi LSM.

Besar tetapi sulit untuk didapat kecuali untuk Solid Waste Disposal

Persyaratan pendanaan Proyek harus sesuai dengan siklus

Proyek harus sesuai dengan siklus pendanaan

Proyek harus sesuai dengan siklus anggaran tahunan. Hibah berbeda mengenakan persyaratan yang berbeda.

FIRR jaminan pinjaman. Arus kas yang terbukti.

Banyak, misalnya ukuran FIRR, EIRR.

Kontribusi ke pencapaian MDG (biasanya). Lokasi (donor menghindari bekerja terlalu dekat dengan donor lain, usahakan menyebar kegiatan)

Semua berbeda-perlu diperiksa diLSM

Tingkat keuangan Kontrak yang bagus kepercayaan

10 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 11: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

- Ikhtisar Sumber-sumber pendanaan Pembahasan masing-masing sumber pendanaan dan mekanismenya, juga akan membahas tidak saja sumber-sumber pendanaan yang sudah ada saat ini, namun juga akan membahas sumber-sumber pendanaan potensial yang dalam waktu dekat dapat diakses dengan beberapa pra kondisi yang harus dipenuhi oleh pemerintah.

Tabel 2. Sumber-sumber pendanaan sanitasi saat ini

1 2 3 4 5Pemerintah Pusat

Pemerintah Propinsi

Pemerintah Kota/Kabupaten

Donor Swasta

1.1 APBN 2.1 Hibah Propinsi

3.1 APBD 4.1 5.1 Pinjaman Bank (Komersial, kredit mikro, dana bergulir)

1.2 Hibah 2.2 Pinjaman 3.2 SILPA 4.2 Hibah 5.2 Investasi swasta,

1.3 Pinjaman Luar Negeri

3.3 Dana Cadangan, dana bergulir

5.3 Bentuk khusus investasi swasta

1.4 Mikrokredit 5.4 Hibah, CSR5.5 Tarif/kontribusi

penggunaSaat ini pembangunan sanitasi masih mengandalkan dana dari APBN dan APBD. Di

tingkat pusat pendanaan sanitasi fisik masih mengandalkan dana kementrian dan lembaga terutama Departemen Pekerjaan Umum. Sementara untuk pembangunan sanitasi non fisik (software) pendanaan tersedia dari Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri, Kementrian Lingkungan Hidup dan Bappenas. Secara umum sumber pendanaan kementrian dan lembaga, masih mengandalkan pendapatan negara, hibah dan pinjaman. Dalam kurun 5 tahun terjadi peningkatan, walau tidak signifikan, namun masih bekisar 1 % dari belanja APBN. Beberapa sumber pendanaan pemerintah pusat seperti dana desentralisasi (DAK/DAU), dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, kredit mikro, dana infrastruktur, dan lain-lain, masih mengalami kendala dalam mengaksesnya untuk pembangunan sanitasi.

Di tingkat pemerintah daerah, kondisinya beragam, kota/kabupaten yang telah mendapat bantuan berupa technical assistance mengenai pemahaman sanitasi dari fasilitator pemerintah (Pekerjaan Umum, Departemen Kesehatan) maupun donor (AusAID/USAID, UNICEF, Bank Dunia, Belanda, dan lain-lain) yang cenderung memiliki anggaran sanitasi lebih besar dari kota/kabupaten lainnya yang belum tersentuh bantuan peningkatan kapasitas. Bahkan kota-kota yang telah memiliki dokumen perencanaan sanitasi kota, belanja sanitasinya masih berkisar 4 % dari total belanja APBD. Sementara itu rata-rata pemerintah daerah kota/kabupaten di Indonesia, belanja sanitasinya masih berkisar 1 % dari total belanja APBD. Sumber-sumber pendanaan yang digunakan, di tingkat pemerintah kota, sebagian besar masih menggunakan APBD (belanja modal), DAK dan dana vertikal kementrian dan

11 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 12: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

lembaga. Sedangkan yang berasal dari sumber pendanaan potensial lainnya seperti Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SILPA), dana cadangan, penyertaan pemerintah daerah, instansi vertikal dalam bentuk RPIJM Pekerjaan Umum, masih kecil jumlahnya.

- Permasalahan dalam mengakses pendanaan Faktor Pembatas

Beberapa faktor baik dari segi keuangan maupun non-keuangan teridentifikasi dapat menghambat peluang alokasi anggaran dan pembiayaan proyek sanitasi. Faktor-faktor penghambat yang timbul tersebut dapat diidentifikasi pada berbagai level pemerintahan berikut ini:

Pemerintah PusatAspek Kelembagaan

Kementrian dan lembaga yang terkait sanitasi (Pekerjaan Umum, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kesehatan, Kementrian Lingkungan Hidup) memiliki koordinasi yang lemah baik horizontal (antar kementrian dan lembaga) maupun vertikal (kementrian dan lembaga dengan SKPD, maupun pokja pusat dengan pokja sanitasi kota). Masing-masing mengerjakan program dan kegiatan sanitasi namun seolah tidak saling memberi informasi atas apa yang telah dilakukan. Akibatnya, sering terjadi duplikasi pembiayaan namun tidak memberikan dampak yang signifikan. Sebagai contoh adalah subsektor persampahan dikerjakan oleh Departemen Pekerjaan Umum dan Kementrian Lingkungan Hidup, namun kedua kementrian dan lembaga memiliki koordinasi yang lemah. Sebagai akibatnya instansi vertikal dibawahnya mengalami kesulitan dalam menjalankan program dan kegiatan. Perbedaan pandangan mengenai beberapa hal penting antar Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri juga menyebabkan pemerintah daerah sulit untuk memanfaatkan beberapa sumber dan mekanisme pendanaan, misalnya pemanfaatan SILPA dan pembentukan BLUD.

Perencanaan Anggaran

Kendala yang dihadapi dalam pendanaan sektor sanitasi adalah pada besarnya alokasi anggaran sanitasi kementrian dan lembaga. Dari 3 kementrian dan lembaga yang memiliki alokasi dana pembangunan sanitasi (Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kesehatan, Kementrian Lingkungan Hidup) total alokasi anggarannya hanya sekitar Rp 1 triliun atau kurang dari 1 % dari total belanja APBN. Hal ini secara umum, karena kementrian dan lembaga tersebut secara internal harus bersaing dengan sektor lain yang telah eksis sebelumnya dan menjadi prioritas pemerintah yakni sektor jalan dan air minum. Dengan kata lain, sanitasi belum menjadi sektor prioritas pada kementrian dan lembaga terkait. Faktor lain adalah tidak sinkronnya perencanaan pemerintah pusat dengan perencanaan pemerintah daerah. Dimana sebetulnya apabila pemerintahan daerah melakukan sinkronisasi program kegiatannya dengan pemerintah pusat, banyak dana dapat diakses pemerintah daerah.

12 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 13: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Setelah sanitasi menjadi urusan wajib pemerintah daerah, maka pemerintah pusat berpendapat pemerintah daerahlah yang makin berperan. Apalagi, pemerintah masih menyalurkan dana perimbangan, dana bagi hasil dan dana pusat untuk daerah (dekonsentrasi dan tugas pembantuan) maka harapannya perkembangan sanitasi makin baik. Namun kenyataannya, perkembangan sanitasi di tingkat pemerintah daerah masih sangat lambat. Penyebabnya adalah lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah pada saat penyusunan program kegiatan yang akan dibiayai oleh dana pemerintah pusat.

Pemerintah PropinsiPendanaan sanitasi yang bersumber dari pemerintah propinsi yang meliputi dana

tugas pembantuan dan dana dekonsentrasi, dana DAK, dana vertikal kementrian dan lembaga pada institusi vertikal di propinsi dan pemanfaatan dana bagi hasil (pajak dan non pajak), sebetulnya cukup potensial. Namun, kendala yang dihadapi karena minimnya inovasi dan koordinasi yang masih dalam koridor perundangan yang berlaku untuk menyalurkan dan mengakses, baik dari sisi pemilik sumber dana maupun sisi pemerintah daerah kota/kabupaten. Selain itu sulitnya dana pemerintah propinsi untuk dapat diakses pemerintah kota/kabupaten karena tidak sinkronnya perencanaan program dan kegiatan kota/kabupaten dengan propinsi.

Pemerintah Kota/KabupatenWalaupun sanitasi merupakan urusan wajib daerah namun pengembangan alokasi

anggaran sanitasi mengalami banyak hambatan. Penyebabnya adalah:

a) SKPD yang mengurusi sanitasi masih menemui masalah kelembagaan, baik tupoksi maupun masalah dalam penyusunan RKPD, dimana sanitasi seringkali tidak direncanakan adanya program atau kegiatan.

b) Sanitasi masih belum menjadi prioritas pemerintah kota/kabupaten sehingga kalah bersaing dengan sektor lain dalam alokasi anggarannya. Hal ini terlihat bahwa sanitasi seringkali masih belum secara eksplisit ada dalam RPJMD maupun dokumen perencanaan strategis lainnya seperti Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang seharusnya menunjukkan komitmen kepala daerah atas suatu sektor.

c) Sedikit aparat pemerintah daerah yang mengerti aspek sanitasi dan juga mengerti sistem pengajuan anggaran secara utuh. Sementara itu aparat pemerintah daerah yang paham aspek keuangan daerah sedikit yang mengerti aspek sanitasi secara komprehensif.

d) Banyak pemerintah kota/kabupaten dengan alasan minimnya kapasitas aparatnya, tidak dapat mengakses sumber pendanaan pemerintah pusat maupun propinsi (RPIJM, DAK, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan maupun pinjaman dari hibah)

e) Rendahnya pemahaman akan aspek sanitasi menyebabkan minimnya perencanaan mengenai pembangunan sanitasi yang komprehensif dan terkait dengan aspek penting lain yang lebih luas. Seperti, keterkaitan sanitasi dengan aspek rencana tata ruang, perlindungan lingkungan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Hal ini menyulitkan dalam pengajuan alokasi anggaran SKPD terkait.

13 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 14: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

- Sumber-Sumber Pendanaan Sektor SanitasiSumber-sumber berikut diidentifikasi mempunyai potensi yang relatif baik untuk diakses

guna peningkatan pendanaan sanitasi, walaupun pemerintah dalam berbagai tingkatan harus melakukan berbagai macam tindakan pendukung untuk dapat mewujudkan potensi pendanaan ini. Bentuk-bentuk dukungan pemerintah yang dapat mewujudkan sumber pendanaan potensial, adalah sebagai berikut:

a. Sumber Pendanaan dari Pemerintah Pusat APBN

Peran penting APBN dalam pembiayaan pembangunan sanitasi masih sangat menentukan, bahkan selama beberapa tahun setelah desentralisasi tanggung jawab atas pembangunan infrastruktur sanitasi di pemerintah daerah masih rendah. Dana APBN yang ditransfer ke daerah jumlahnya mencapai lebih dari 40% dari total pengeluaran APBN. Dana yang dapat digunakan untuk proyek fisik di daerah yang berasal dari pusat (tugas pembantuan dan DAK) masing-masing adalah 1% untuk tugas pembantuan dan 2% untuk DAK dari total pengeluaran APBN.

Hingga tahun 2009, belanja pemerintah pusat untuk sektor sanitasi masih sangat kecil yakni sekitar 1% dari total belanja APBN. Tampaknya ini menunjukkan bahwa pemerintah belum sepenuhnya menyadari pentingnya sanitasi bagi kualitas hidup bangsa dan pembangunan ekonomi. Namun demikian, APBN tetap menjadi sumber penting untuk belanja sanitasi, tapi tidak dapat diandalkan untuk seluruh biaya investasi.

Dengan defisit APBN yang mencapai sekitar Rp 100an triliun, maka defisit anggaran pembangunan sanitasi yang mencapai rata-rata Rp 3,5 triliun per tahun, akan sulit ditutup, kecuali dengan langkah terobosan dan giant step dalam pembangunan sanitasi. Untuk menutup defisit anggaran sanitasi, Bappenas menyarankan pendanaan dari campuran hibah pemerintah, dana dari luar (pinjaman dan hibah) dan kontribusi sektor swasta. Sementara pemerintah daerah harus mendapatkan 50% dana pembangunan sanitasi yang diperlukan dari APBDnya, BUMD, sektor swasta dan lain-lain. Di sisi lain, pemerintah pusat akan menyediakan separuh sisa yang dibutuhkan pemerintah daerah, dengan memakai semua sumber, walaupun peraturan saat ini masih menyatakan bahwa pinjaman luar negeri hanya dapat diakses untuk proyek yang layak secara finansial.

Sumber dana lain dari APBN adalah program nasional seperti PNPM, Kredit Usaha Rakyat (kredit mikro), dan dana stimulus ekonomi (namun tidak setiap tahun ada). Sementara itu ada hibah dari luar negeri (hibah-hibah ataupun pinjaman-hibah) yang merupakan sumber potensial, harus dijadikan sumber dana prioritas dari pemerintah pusat dalam beberapa tahun kedepan.

14 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 15: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Hibah dari pemerintah pusatHibah dari pemerintah pusat yang disalurkan kepada pemerintah daerah

dananya berasal dari penerimaan hibah atau pinjaman dari donor bilateral dan donor multirateral. Hibah dari donor bilateral dan multilateral harus dijalankan dengan mekanisme APBN menggunakan rekening khusus dalam APBN yang diatur dengan PMK No. 168/PMK 07/ 2008 dan 169/PMK.07/2008. Secara garis besar PMK tersebut mengatur mekanisme pencatatan hibah di APBN yang selanjutnya memindahbukukan dana hibah tersebut dari rekening khusus ke kas daerah.

Hibah dari donor multilateral sebagian besar untuk dana penanggulangan bencana, hanya sedikit yang dialokasikan bagi pembiayaan program pembangunan yang dikelola kementrian dan lembaga. Sedangkan hibah dan donor bilateral dapat digunakan untuk pendanaan program-program berikut: (i) sektor ekonomi, (ii) sektor pendidikan, (iii) sektor kesehatan, (iv) sektor infrastruktur, perumahan dan pertanahan, (v) sektor kelembagaan, (vi) sektor keagamaan, (vii) sektor sosial kemasyarakatan dan (viii) sektor tata ruang.

Namun administrasi penyaluran hibah kepada pemerintah daerah mengalami keterlambatan dalam penyelesaian administrasinya, karena menyangkut beberapa kementrian dan lembaga. Sehingga banyak dana hibah dari donor tidak dapat tersalurkan. Hal ini membuat Departemen Pekerjaan Umum, sebagai departemen teknis yang bertugas menyalurkan dana hibah untuk sanitasi, memiliki wacana untuk mengalihkan rencana pembiayaan proyek dengan hibah dirubah menggunakan sumber lain, misalnya dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan.

Agar dapat memanfaatkan peluang ini dengan baik, pemerintah daerah terkait harus memadukan proyek yang ada dalam Strategi Sanitasi Kota dengan potensi pendanaan dari hibah. Strategi Sanitasi Kota harus dibuat agar dapat ditangani oleh donor. Sejauh ini, melalui hibah, donor hanya membiayai proyek sanitasi skala kecil, sehingga dampaknya terbatas. Maka praktis hingga kini hibah merupakan instrumen yang menguntungkan bagi hanya sedikit pemerintah kota dan kabupaten.

Pinjaman Donor (luar negeri)Pada level pemerintahan pusat, pinjaman luar negeri yang telah didapat berasal

dari beberapa sumber berikut:

Tiga lembaga pembiayaan internasional (IFI): Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan Bank Jepang untuk Kerjasama Internasional-JBIC dan JICA

Donor bilateral dan multilateral Bank Komersial Asing

Proyek sanitasi biasanya memerlukan pinjaman jangka panjang dengan suku bunga yang rendah, mengingat pemulihan biayanya yang lambat. Proyek yang paling layak dibiayai pinjaman luar negeri adalah persampahan dan air limbah berskala kota/besar. Oleh karena itu, saat ini pemerintah pusat cenderung untuk membatasi

15 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 16: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

pemakaian instrumen ini hanya pada proyek yang dilaksanakan melalui kemitraan pemerintah-swasta dan proyek-proyek yang membutuhkan bantuan teknis.

Perkembangan pinjaman luar negeri di Indonesia

1. Asian Development Bank akan membiayai pinjaman program berupa program MDG, yaitu program Reformasi Infrastruktur dan Program Keuangan Pemerintah daerah dan Reformasi Tata-Kelola Pemerintahan. Untuk kedua program ini, pemerintah Jepang akan memberikan dana pendamping.

2. Bank Dunia, dalam kaitannya dengan sanitasi, saat ini memberikan fasilitas pinjaman langsung berupa 1) Third Water Supply and Sanitation For Low Income Community Project, 2) Water Resource Management Programs untuk kelompok masyarakat melalui program PNPM.

3. Dalam waktu dekat, Bank Dunia akan membantu pemerintah dalam memberikan fasilitas pinjaman berupa proyek: 1) Pembangunan dan Implementasi Program Air Minum dan Sanitasi melalui mekanisme penggantian biaya berbasis kinerja, 2) Pinjaman kepada pengembangan kebijakan infrastruktur, 3) Fasilitas pinjaman untuk bantuan teknis, knowledge management dan pengembangan kelembagaan.

4. Pada saat yang bersamaan, Bank Dunia melalui kumpulan dana donor dari donor bilateral (AusAID, USAID, JICA, Negeri Belanda) membiayai investasi air minum dan Water Resource Management

5. Fasilitas pendanaan lain dari Bank Dunia, adalah membentuk IIFF atau perusahaan yang menyalurkan pinjaman dengan bunga komersial pada proyek infrastruktur, memberikan peningkatan kapasitas kredit yang akan diberikan bersamaan dengan Indonesia Guarantee Fund untuk investasi di sektor air minum dan sanitasi.

6. Sedangkan pinjamn proyek hanya akan diperuntukkan bagi rehabilitasi dan rekonstruksi daerah terdampak tsunami (Aceh dan Pulau Nias) dan untuk proyek regular dari ketiga IFI di atas.

Pinjaman luar negeri yang khusus membiayai sanitasi, hingga saat ini relatif masih sulit diakses, namun dengan sedikit langkah terobosan kemungkinan dapat diakses. Kendala utama berupa pemulihan biaya, dapat diantisipasi dengan digabungnya proyek sanitasi (air limbah) dengan air minum asalkan PDAM Kota/kabupaten telah menyatakan kesediaannya, sehingga dapat mengajukan pinjaman baru yang selanjutnya dipakai untuk pengembangan sarana air minum dan air limbah. Apalagi kota/kabupaten yang telah memiliki sarana sanitasi terpusat akan lebih mudah mengakses pinjaman donor. Untuk sektor persampahan, nampaknya tidak sesulit air limbah, walaupun kebanyakan melibatkan sektor swasta dalam pengelolaannya.

16 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 17: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Gambar 1. Sumber Pembiayaan APBN

Dana Alokasi Khusus (DAK)DAK berfungsi untuk membiayai kegiatan yang terkait dengan prioritas

pembangunan nasional dan di tingkal lokal yang tidak bisa dibiayai DAU. Dana ini dipakai khusus untuk membangun infrastruktur yang berumur panjang (lebih dari 3 tahun). Alokasi DAK didasarkan pada prioritas pembangunan nasional. Sektor terkait adalah pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Sub sektor ditentukan oleh departemen teknis yang terlibat dalam sektor. UU Nomor 33 Tahun 2004 menetapkan kriteria untuk alokasi DAK, yakni kriteria umum yang didasarkan dengan kapasitas fiskal daerah, kriteria khusus yang berdasar pada peraturan pemerintah daerah dan kriteria teknis yang ditentukan oleh departemen teknis yang bertanggung jawab. Kriteria umum dan khusus dibuat oleh Departemen Keuangan dan berlaku bagi semua sektor yang menerima DAK. Namun dalam praktek, alokasi dibuat oleh departemen teknis dan terkait dengan investasi modal untuk proyek yang diusulkan dan kriteria teknisnya. Meskipun alokasi sudah bersifat top down, masih memungkinkan untuk pemerintah daerah mengusulkan alokasi DAK ke departemen teknis, yang harus ditanda tangani oleh Departemen Keuangan (pendekatan bottom

17 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Foreign Loan/Grant

Domestic Loan/Grant

Ministries/

Insttuion

channeling

LOAN

Subsidiary Loan Agreement (SLA)/OLA

BUMD

PEMDA

BUMN

Equity

BUMN

BUMD PEMDA

BUMN

BUMD

Grant

OGA

Tax& non tax revenue

Page 18: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

up). Usulan pemerintah daerah harus menjadi bagian dari daftar panjang proyek pemerintah daerah, dan terdiri dari rencana-rencana proyek dengan spesifikasi kegiatan atau program multi tahun. Usulan ini harus disertai dengan rencana pembiayaan yang menunjukkan kemungkinan adanya sumber lain (PAD, Dana Bagi Hasil, DAU dan pinjaman), jika dana tidak mencukupi, minimum 10% total biaya proyek maka harus disediakan oleh pemerintah daerah.

Gambar 2. Mekanisme Penyiapan Program/Proyek

18 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Sesi Perencanaan Musrenbang

Rencana Kerja Pemerintah Daerah

Program

Prioritas

Kegiatan Tertentu

Departemen Teknis

Depdagri Depkeu Bappenas

Sumber: PP 55/2005, Depkeu, 2008

1

2

3

4 4 4

5

Page 19: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Gambar 3 Mekanisme Penyaluran DAK

19 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

BOBOT DAERAH

ALOKASI

DAERAH

(KRITERIA UMUM)

KEMAMPUAN DAERAH YA

yayaLAYAK

LAYAK DAERAH

TIDAK

(KRITERIA KHUSUS)

OTONOMI KHUSUS YA

LAYAKLAYAK

(KRITERIA TEKNIS)

BOBOT TEKNIS

TIDAK

(KRITERIA KHUSUS)

KARAKTERISTIK WILAYAH

INDEKS FISKAL DAN WILAYAH

INDEKS DAERAH

BOBOT DAK

INDEKS FISKAL DAN WILAYAH

LAYAKLAYAK

TIDAKLAYAK

TIDAKLAYAK

TIDAK “(IFW)<1

YA “(IF

YA yaya

Page 20: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13/2006 menegaskan komitmen pemerintah pusat untuk mengalokasikan anggaran bagi pembangunan sanitasi. Sekarang kategori DAK untuk sanitasi disebut ”DAK untuk Air Bersih Perlindungan Lingkungan”. Pada tahun 2010 DAK sanitasi akan benar-benar terpisah dari DAK air minum.

Peluang semakin meningkat bagi pendanaan proposal pembangunan sanitasi dari pemerintah daerah. Argumentasi paling penting yang dipakai pemerintah daerah dalam mengajukan DAK untuk sanitasi adalah untuk mencapai standar pelayanan minimum (SPM) untuk sektor sanitasi. Namun demikian, alokasi DAK saat ini tidak mempertimbnagkan Strategi Sanitasi Kota. Namun dimasa mendatang kriteria untuk mendapatkan DAK akan dikaitkan dengan kepemilikan Strategi Sanitasi Kota. Pemerintah daerah yang memiliki Strategi Sanitasi Kota memiliki peluang lebih besar untuk mengakses DAK sanitasi, dibandingkan pemerintah daerah yang belum memiliki Strategi Sanitasi Kota.

Selain itu adanya konversi dana-dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan untuk disalurkan dalam mekanisme DAK, akan memberikan peluang bagi proyek-proyek sanitasi dibiayai oleh DAK, terutama proyek-proyek fisik. Namun demikian ada kekhawatiran pemerintah pusat mengenai daya serap pemerintah daerah atas DAK sanitasi. Dikhawatirkan setelah dipisahnya DAK air minum dan DAK Sanitasi, pemerintah daerah menjadi tidak dapat membuat proposal atas proyek-proyek sanitasi dalam jumlah yang jauh lebih besar dari sebelumnya.

Dana Alokasi Umum (DAU)DAU adalah merupakan block grant yang dipakai untuk mengurangi perbedaan

antara pemerintah daerah yang kaya dan yang miskin dalam kerangka kebijakan perimbangan fiskal nasional, karena kebutuhan pembiayaan pemerintahan daerah yang miskin jauh lebih besar dari kapasitas fiskalnya. Kebijakan ini seharusnya menghilangkan argumentasi bahwa pemerintah daerah dengan kondisi yang kurang, tidak mampu memberikan tingkat dan mutu layanan dasar yang optimal. Dalam kondisi apapun jika bisa diusahakan seharusnya tetap memberikan mutu layanan yang maksimal, termasuk dalam hal ini yang berkaitan dengan sanitasi.

DAU sebagian besar dipakai untuk belanja pegawai dan biaya operasional pemerintah daerah, dalam memperbaiki tingkat layanan dasar. Pemerintah daerah harus dapat meraih tujuan dari otonomi daerah, seperti layanan dasar yang lebih baik dan lebih banyak serta layanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Menurut Permendagri yang terkait, DAU bahkan dapat juga dipakai untuk membiayai biaya non fisik (software) pembangunan sanitasi.

Dana Dekonsentrasi dan Tugas PembantuanDana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN untuk melaksanakan

kegiatan pusat, yang dilaksanakan oleh Gubernur, tidak termasuk dana yang

20 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 21: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Dana ini untuk membiayai kegiatan non-fisik (koordinasi, perencanaan, pelatihan, supervisi kontrol serta manajemen proyek). Dan ini dapat juga untuk mendukung kegiatan fisik program, asalkan tidak lebih dari 25% total anggaran program. Dana dekonsentrasi tidak meminta dana pendamping dari pemerintah daerah.

Dana tugas pembantuan merupakan dana kementrian dan lembaga, untuk membiayai kegiatan pusat di daerah (propinsi/kabupaten/kota), dimana memungkinkan untuk diakses oleh pemerintah daerah kota/kabupaten untuk kegiatan fisik, misalnya membeli tanah, jasa konstruksi bangunan jalan dan jaringan irigasi, mesin dan peralatan, dan lain-lain. Kegiatan non-fisik dapat juga dibiayai tugas pembnatuan hingga 10% dari total anggaran.

Bagaimana mengakses dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan

Agar pemerintah daerah dapat mengakses dana ini, maka pemerintah daerah harus dapat meyakinkan kementrian dan lembaga ketika menyusun Rencana Kerja Anggarannya sehingga program kegiatan dapat diarahkan pada daerah tertentu. Pemerintah daerah juga harus dapat membuktikan bahwa program yang diusulkan untuk dibiayai telah mengakomodir aspek kemampuan keuangan negara, keseimbangan pendanaan di daerah dimaksudkan agar alokasi dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah, berupa PAD dan dana transfer, kebutuhan pembangunan daerah, serta prioritas pembangunan nasional dan daerah. Potensi sanitasi untuk mendapat kucuran dana dekonsentrasi dan tugas pembnatuan sebagian besar melalui Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Kesehatan. Namun demikian, datanya yang khusus untuk pembangunan sanitasi sulit diperoleh.

Dana Khusus dan Lembaga-Lembaga Penyedia Dana“Dana Khusus” adalah istilah yang diusulkan untuk sumber dan mekanisme

pembiayaan yang dapat dipakai untuk pembangunan sanitasi dan yang bercirikan mekanisme penyaluran khusus atau berdasarkan pada kebijakan tertentu dari pemerintah pusat. Dana-dana khusus ini masih sedikit membiayai sanitasi, banyak kota/kabupaten belum menggunakannya. Namun beberapa kota/kabupaten telah menggunakannya.

Sumber pendanaan ini, tidak serta merta dapat langsung digunakan dalam APBD. Namun melalui satu tahapan terlebih dahulu, dimana dana di salurkan terlebih dahulu pada BUMN atau institusi yang ditunjuk pemerintah daerah, dimana selanjutnya pemerintah daerah dapat mengakses bahkan ikut memiliki melalui penyertaan didalamnya.

Dana Pembangunan Kota (MDF-Municipal Development Funds)

21 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 22: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

MDF membantu pemerintah daerah dalam pembiayaan yang inovatif untuk menyediakan peningkatan kapasitas kredit (mempertahankan arus ke proyek) dan memperpanjang periode pinjaman suatu proyek infrastruktur. Selain itu, sumber ini dapat memberikan bantuan teknis untuk pemerintah daerah, menyebarkan informasi kredit dan sebagai jembatan antar pemerintah daerah dan sektor swasta agar sektor swasta dapat berpartisipasi dalam proyek pembangunan. Pemerintah daerah dapat berinvestasi di MDF dan memilikinya sebagian. MDF ini dapat juga diberikan pada BUMD milik pemerintah propinsi maupun BUMD milik pemerintah kota/kabupaten, atau institusi yang ditunjuk.

Badan Investasi Pemerintah (BIP)

Badan Investasi Pemerintah (BIP) adalah suatu badan yang menampung dan mengelola investasi pemerintah. Badan ini berdiri berdasarkan PP No. 1/2008 yang menggantikan PP No.8/2007 yang mengatur investasi pemerintah. Investasi pemerintah secara umum dapat dilakukan dalam bentuk investasi tidak langsung (surat berharga, pembelian saham atau surat utang) maupun investasi langsung (penyertaan modal atau pemberian pinjaman). Sedangkan tujuan dari pembentukan BIP utamanya adalah untuk:

1. Meningkatkan investasi pemerintah di sektor infrastruktur dan sektor lain terkait untuk mencapai tujuan pembangunan pemerintah.

2. Menciptakan peluang untuk Kemitraan Pemerintah-Swasta (KPS) dalam pembangunan infrastruktur.Hingga saat ini proyek yang dapat dibiayai bank dapat dibiayai oleh BIP.

Investasi BIP yang signifikan jumlahnya adalah investasi sebesar Rp 2 triliun (USD 178 juta) untuk jalan tol, dengan suku bunga lebih rendah dari bunga bank (sebesar 9,5%). Sektor lain yang diharapkan dapat dibiayai oleh BIP adalah pembangkit listrik (bersama dengan investor asing). Untuk proyek sanitasi, hampir dapat dipastikan sub sektor persampahan adalah yang paling siap untuk mengakses dana ini, terlebih apabila volume sampah disuatu kota pasokannya terjamin serta layak untuk dikerjasamakan (profitable).

Indonesia Infrastructure Fund Facility (IIFF) adalah bentuk lain dari BIP yang difungsikan pada bulan Juni 2009, yang 30% sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia dan 70% dimiliki bersama olh donor (Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan Bank Pembangunan Jerman). IIFF diharapkan dapat memicu pihak-pihak lain untuk membiayai pembangunan infrastruktur serta mengantisipasi pembiayaan bank yang bersifat jangka pendek, karena dana dari IIFF masa pelunasannya yang lebih lama (15-20 tahun) dan suku bunganya lebih rendah dari bank (tergantung ukuran proyeknya).

Pemerintah daerah dapat memanfaatkan dana ini untuk pembangunan infrastruktur. Karena fasilitas IIFF merupakan program andalan Bank Dunia beberapa

22 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 23: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

tahun ke depan. Agar dapat mengakses dana ini, maka proyek sanitasi harus dinilai dapat menghasilkan keuntungan dan dapat melunasi pinjaman. Salah satu alternatifnya agar proyek sanitasi dapat dinilai layak, adalah penggabungan beberapa proyek, proyek sanitasi (air limbah) digabung dengan proyek air minum atau lainnya. Alternatif lain adalah pendanaan proyek air limbah skala kota melalui pentahapan Badan Layanan Umum menjadi Perusahan Daerah selanjutnya Perseroan Terbatas. Pengelolaan persampahan di TPA memiliki prospek yang baik dalam mengakses sumber ini apalagi apabila dikaitkan dengan CDM (Carbon Development Mechanism).

Kredit Usaha Rakyat (KUR)

Ini adalah program pemerintah pusat berdasarkan Inpres No.6/2007 yang disalurkan ke daerah dan berasal dari APBN. Penyalurannya melalui beberapa bank yang ditunjuk. Tujuannya adalah untuk:

Mempercepat perkembangan sektor riil, untuk usaha mikro kecil dan menengah Meningkatkan akses pendanaan sektor UKM dan koperasi Pengentasan kemiskinan dan memperluas lapangan pekerjaan

Peserta program KUR adalah Departemen Teknis dari pemerintah pusat; Bank Pemerintah (BRI, BNI, Bank Mandiri, BTN, Bukopin, Bank Syariah Mandiri); dan Perusahaan asuransi (PT Askrindo dan PT Sarana Pengembangan Usaha). Kredit dari KUR dapat mencapai Rp 500 juta (US 45.000). Nilai yang kecil ini mungkin karena adanya jaminan kredit dari perusahaan asuransi (hingga 70% dari setiap pinjaman). Proyek yang diusulkan harus layak secara finansial dari KUR mensyaratkan adanya jaminan. Beberapa waktu setelah program ini dimulai, nilai pinjaman maksimum per peserta diturunkan menjadi Rp 5 juta (USD 445) agar lebih banyak pengusaha kecil dapat mengakses.

Pemerintah daerah dapat ikut serta dalam program ini setelah membentuk Lembaga Lokal Penjamin Kredit dan menyerahkan dana pendamping. Namun, hingga kini kenyataannya adalah pelaksanaan konsep ini belum juga dimulai. Departemen Keuangan belum menerbitkan pedoman kegiatan KUR yang diperlukan untuk mengatur fungsi lembaga penjamin lokal, misalnya beberapa nilai yang harus disediakan oleh Pemerintah daerah sebagai dana jaminan untuk bank yang ikut serta. Jika pedoman tersebut telah tersedia dan peran berbagai mitra dalam KUR telah ditentukan, maka akses ke kredit mikro akan semakin mudah. Solusi sementara untuk pemerintah daerah adalah mengatur dana jaminan yang berasal dari dana cadangan dalam APBD.

Seperti halnya kredit komersial, sub sektor yang paling menarik bagi bank penyedia KUR adalah pengelolaan limbah padat (SWD). Bank pemilik program KUR menawarkan suku bunga yang besarnya bersaingan kepada usaha daur ulang (skala kecil). Pengusaha sanitasi lain seperti pengusaha kompos, jasa sedot lumpur tinja juga sangat potensial mengakses fasilitas ini. Hanya saja belum semua pemerintah

23 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 24: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

daerah kota/kabupaten memiliki mekanisme penyalurannya yang didukung pemerintah daerah. Beberapa telah memiliki mekanisme untuk penyalurannya yaitu melalui BKK (Badan Kredit kecamatan) yang dapat menerima permodalan dari pemerintah daerah untuk diterus pinjamkan.

Dana Bergulir

Dana bergulir diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan No.99 dan No. 05/2008. Pemerintah pusat telah membentuk Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) yakni Badan Layanan Umum (BLU) yang melayani koperasi atau usaha kecil dan menengah. Dana ini berasal dari Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Dalam mengakses dana bergulir, pemerintah daerah harus memfasilitasi pembentukan koperasi terlebih dahulu, selanjutnya koperasi tersebut yang akan melakukan penyaluran dana untuk pembangunan sanitasi baik skala rumah tangga maupun skala usaha kecil menengah. Menurut ketentuan, dana bergulir dikembalikan dengan masa 1-2 tahun dengan bunga tertentu, maka pemerintah daerah bekerja sama dengan pokja harus mengidentifikasi calon pengguna dan bergulir. Pemerintah daerah harus memfasilitasi dan membantu pembentukan kelompok masyarakat yang akan menggunakan dana bergulir tersebut guna membiayai subsektor persampahan atau air limbah.

b. Sumber Pendanaan dari Pemerintah Propinsi Hibah dari Propinsi

Dana dari propinsi yang dapat digunakan untuk membiayai sanitasi relatif banyak. Namun pemerintah daerah kota tidak dapat sepenuhnya bergantung karena sanitasi bukanlah sektor yang menjadi prioritas belanja propinsi. Pendanaan dari propinsi kepada pemerintah daerah kota dan kabupaten, seperti halnya dari pusat ke daerah terdiri dari dana desentralisasi (dana perimbangan-dana bagi hasil pajak non pajak) dan dana untuk membiayai program dan kegiatan instansi vertikal di daerah. Dana vertikal adalah dana dari SKPD propinsi yang diberikan kepada SKPD kota/kabupaten. Dana tugas pembantuan dapat digunakan untuk pembangunan sarana fisik dan non fisik (10% dari total dana) sedangkan dana dekonsentrasi, walaupun tidak dapat diakses pemerintah daerah kota/kabupaten, masih berpeluang diakses namun di bawah koordinasi propinsi. Dana bantuan propinsi lainnya yang sifatnya hibah adalah dana bantuan keuangan dan bantuan sosial. Namun yang terakhir berkurang jumlahnya dalam beberapa tahun terakhir, karena disinyalir banyak terjadi kebocoran.

Pendanaan propinsi akan lebih tepat bagi proyek-proyek besar berskala regional (melibatkan beberapa pemerintah daerah). Prioritas pembiayaan dari propinsi adalah untuk proyek-proyek persampahan (TPA-tempat pembuangan akhir) dan air limbah yang bila tidak dibantu propinsi dampaknya regional.

24 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 25: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

SILPASeperti halnya untuk pemerintah daerah kota dan kabupaten, pemerintah

propinsi juga mempunyai SILPA dimana dana ini dapat dimobilisasi untuk pembangunan sanitasi yang sifatnya regional atau yang memberikan dampak regional.

Pembiayaan dari Instansi VertikalInstansi di propinsi yang telah memberikan kucuran dana bagi sektor sanitasi

pada instansi vertikal dibawahnya adalah Dinas Pekerjaan Umum yang mengalokasikan cukup besar dana, disusul Dinas Kesehatan dan Dinas Lingkungan Hidup.

Beberapa kota mendapat kesulitan mengakses dana instansi vertikal, sebagian besar karena perbedaan prioritas propinsi dan daerah. Jika ada program dan kegiatan yang dapat dibiayai, masalah administrasi timbul karena kode program yang berbeda (perbedaan penomoran program). Masalah lain yang menghambat adalah jika dana propinsi dikaitkan dengan aspek sanitasi regional. Misalnya pengadaan TPA regional. Banyak pemerintah daerah tidak menemukan titik temu diantara pemerintah daerah calon penerima dana propinsi. Akibatnya dana sedikit sekali yang turun untuk keperluan tersebut.

c. Sumber Pendanaan dari Pemerintah Daerah (kota dan kabupaten) APBD

Banyak rekening APBD yang bisa dipakai untuk membiayai pembangunan sanitasi, namun nilainya masih terbatas. Beberapa bisa dipakai secara langsung, seperti hibah untuk investasi dan biaya operasional, SILPA dan/atau Dana Cadangan dan pinjaman. Ada beberapa kemungkinan untuk membiayai sanitasi melalui APBD kota/kabupaten:

Pos pendapatan, seperti PAD, dana perimbangan, pendapatan lain-lain (hibah, bantuan keuangan dan bantuan sosial propinsi).

Pos belanja operasional seperti biaya pegawai. Potensi pemanfaatannya masih terbatas untuk sanitasi, namun dalam pemerintah daerah kota/kabupaten dana ini digunakan untuk operasional pokja sanitasi.

Pos belanja langsung/belanja publik. Dimana belanja modal yang digunakan menjadi andalan pembiayaan sanitasi saat ini. Belanja modal pemerintah daerah untuk sanitasi masih berkisar rata-rata hanya 1% dari total belanja APBD

Pos pembiayaan seperti SILPA, dana cadangan, investasi modal dan pinjaman Pos dana transfer ke kelurahan atau desa. Bagian APBD ini meningkat karena

kebijakan perimbangan fiskal yang harus diberlakukan oleh Pemerintah Daerah pada pemerintahan yang lebih rendah.

Investasi, penyertaan pemerintah daerahMenurut PP 58/2006, pendanaan ini dapat berupa dana cadangan atau dalam

bentuk pinjaman dan penyertaan modal bagi BUMD, perusahaan atau lembaga yang bekerja sama dengan BUMD atau pemerintah daerah untuk pembangunan sanitasi.

25 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 26: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Investasi pemerintah daerah harus terlebih dahulu direncanakan dan dicantumkan dalam APBD, mempunyai dasar hukum dan dibuat mengikat melalui perda dan oleh pemerintah daerah. Partisipasi dapat berupa investasi langsung, pembelian obligasi atau surat berharga atau bantuan non-finansial (barang, bahan, aset).

Partisipasi harus didahului oleh studi mendalam mengenai tujuan investasi, agar investasi perlu disetujui oleh kepala daerah dan dapat dipertanggungjawabkan dan dibenarkan, serta menunjukkan manfaat dari partisipasi pemerintah daerah. Investasi pemerintah daerah dapat diberikan kepada Perusahan Daerah (PDAM atau PD-PAL), BLUD atau lembaga yang ditunjuk pemerintah daerah (Dana Pembangunan Masyarakat-MDF atau Badan Kredit Kecamatan-BKK) yang dapat membiayai sanitasi. Kemungkinan lain adalah pemberian bantuan lunak kepada Bank Pembangunan Daerah (BPD), yang kemudian menyalurkan dana ke organisasi berbasis masyarakat (Koperasi, BKK, dan lain-lain) yang akhirnya memberikan kredit kepada rumah tangga atau pengusaha di sektor sanitasi yang menjadi anggotanya.

Penggunaan SILPADana surplus APBD ini, disebut SILPA, terdiri dari dana-dana yang belum

dibelanjakan. PP No.8/2006 mengijinkan Pemerintah daerah untuk menginvestasikan dana ini pada beberapa instrumen keuangan (Sertifikat Bank Indonesia, deposito di Bank Pembangunan Daerah), namun hal ini menjadi kontroversi karena tidak memberikan multipler effect pada pembangunan ekonomi lokal.

Hampir semua pemerintah daerah memiliki SILPA untuk tujuan menjadi cadangan terhadap adanya risiko keuangan berupa keterlambatan transfer pemerintah pusat pada awal tahun anggaran. Hal ini mengakibatkan cadangan dana menjadi berlebihan dan tidak produktif. Selama mereka tetap mempertahankan sikap ini, maka akan membahayakan investasi mereka di sektor sanitasi.

SILPA ”non struktural” tidak disukai oleh Departemen Keuangan, karena dianggap berlawanan dengan usaha pemerintah pusat dalam menutup defisit anggaan. Di satu pihak Departemen Keuangan harus mencari sumber yang mahal untuk menutup defisit bahkan dari sumber luar negeri, sementara itu pemerintah daerah memiliki nilai surplus yang besar. Sebaliknya banyak pemerintah daerah mempunyai SILPA ”struktural” karena ada masalah dalam pembelanjaan anggaran atau ada proyek yang dibatalkan. Implikasinya pemerintah pusat membatasi penggunaan dana desentralisasi/perimbangan (terutama DAK dan DAU). Penyerapan DAK dimonitor secara triwulan. Jika ada pemerintah daerah yang tidak dapat melaporkan penyerapan setiap triwulan, maka penyaluran pada periode berikutnya akan ditunda atau dibatalkan oleh Departemen Keuangan. Hal ini diharapkan agar surplus berlebih dapat dihindarkan.

26 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 27: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Menurut PP No.88/2006 dan Permendagri No.59/2007, SILPA dapat digunakan untuk menutup defisit APBD, melunasi pinjaman, modal investasi untuk BUMD dan perusahan daerah jika menandatangani perjanjian dengan sektor swasta, perpanjangan pinjaman pemerintah pusat atau pemerintah daerah lain, kegiatan di bidang penyediaan layanan dasar yang telah dialokasikan dalam APBD, membantu menutup kekurangan keuangan pada proyek yang didanai dari APBD tahun anggaran sebelumnya yang belum terselesaikan dan membiayai proykl yang belum selesai dalam tahun anggaran bersangkutan.

Penggunaan SILPA harus dirancang agar memberi manfaat kepada kebutuhan pendanaan pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang menggunakan SILPA harus menggunakannya karena adanya defisit APBD, kemudian harus digunakan untuk kegiatan yang telah dianggarkan dalam APBD dan untuk program yang memberikan manfaat kepada masyarakat banyak dan yang terpenting adalah perlu ada konsultasi dan ijin DPRD. Jika hal tersebut telah dilakukan maka SILPA dapat langsung digunakan melalui mekanisme keuangan daerah.

SILPA untuk pembiayaan sanitasi jelas diijinkan, namun banyak pemerintah daerah masih ragu untuk melakukannya dan menunggu adanya peraturan tambahan dari Departemen Keuangan. Sebetulnya apabila pokja beserta aparat pemerintah daerah memiliki hubungan kerja yang kondusif dengan DPRD, maka penggunaan SILPA dapat menjadi lebih mudah terutama membiayai proyek-proyek saitasi yang kekurangan pendanaan.

Gambar 4. Alur Penggunaan SILPA

27 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Kebutuhan Pembangunan Infrastruktur

(Sanitasi)

Defisit

APBD

SILPA

Harus disetujui

Gunakan SILPA

DPRD

TidakDisetujui

Page 28: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Dana CadanganDana cadangan adalah dana yang berasal dari APBD, dimana pembentukannya

dapat melalui peraturan daerah dengan persetujuan DPRD, beberapa kegiatan penting dapat didanai dengan menggunakan dana cadangan dari pemilihan kepala daerah hingga investasi pemerintah daerah di perusahaan daerah.

Dalam Permendagri No.13/2006, penggunaan Dana Cadangan, diperbolehkan untuk investasi di perusahaan daerah, meningkatkan kesejahteraan sosial melalui program dan kegiatan pembiayaan yang dianggarkan untuk departemen teknis, secara khusus dapat dipakai untuk membiayai proyek yang harus diselesaikan dalam satu tahun anggaran atau untuk mmperpanjang pinjaman lunak untuk memicu ekonomi lokal, jika peminjam kesulitan melunasi secara tepat waktu.

Namun demikian, penggunaan dana cadangan yang harus seijin DPRD mengakibatkan banyak pemerintah daerah kesulitan membentuknya dalam APBD karena ada risiko ditolak. Namun dengan pendekatan yang baik dan teratur dan pemberian pemahaman akan penggunaannya serta pengelolaan yang bagus, setelah disetujui pemerintah daerah dapat menyiapkan dana ini untuk membiayai proyek-proyek penting dan prioritas.

Pemakaian dana cadangan bersifat khusus dan nilainya terbatas, namun dana ini dapat dipakai (disalurkan melalui BPD) dalam bentuk kredit mikro kepada masyarakat yang ingin meningkatkan sarana sanitasinya. Karena harus disetujui DPRD maka kegiatan advokasi oleh pemerintah daerah mengenai pentingnya proyek yang akan dibiayai dengan dana ini perlu dilakukan dengan cukup intens kualitas dan kuantitasnya.

Salah satu bentuk penggunaan dana cadangan adalah penanggulangan bencana baik bencana alam maupun bencana lainnya seperti timbulnya wabah penyakit. Terkait dengan sanitasi adalah penggunaan dana cadangan untuk mengatasi wabah muntaber dan demam berdarah. Namun seorang kepala daerah yang visioner tentu saja menggunakan kesematan menggunakan dana cadangan dalam arti luas. Misalnya tidak saja usaha kuratif saja yang dibiayai, namun juga membiayai usaha preventifnya.

PinjamanPinjaman daerah merupakan salah satu instrumen pembiayaan pembangunan

daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik. Pinjaman daerah terjadi karena APBD mengalami defisit. Dalam teori pengelolaan keuangan, ketika suatu institusi mengalami defisit bukan berarti organisasi tersebut mengalami kekurangan uang namun dalam rangka investasi untuk dapat mengambil keuntungan dalam memanfaatkan nilai dari pendanaan yang diperoleh.

28 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 29: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Dengan memanfaatkan pinjaman, pemerintah daerah seharusnya memiliki visi yang jauh ke depan untuk dapat mengelola potensi yang ada agar dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk dapat melayani masyarakat dengan baik. Namun mengingat pinjaman daerah mempunyai konsekuensi pada biaya masa yang akan datang, maka pengelolaan pinjaman daerah harus sangat diperhatikan.

Berdasarkan waktunya, pinjaman daerah terdiri dari pinjaman jangka pendek (maksimal 1 tahun), pinjaman menengah (lebih dari 1 tahun dan tidak melebihi sisa masa jabatan KDH) dan pinjaman jangka panjang (lebih dari 1 tahun). Menurut UU No 33/2004 dan PP 54/2005 sejumlah prinsip umum yang mengatur pinjaman oleh pemerintah daerah sebagai berikut:

Pemerintah daerah tidak dapat meminjam langsung dari pihak asing, kecuali obligasi daerah yang terjual di pasar modal nasional

Pemerintah daerah tidak dapat menjamin pinjaman pihak lain dan menjaminkan asset pemerintah daerah kecuali proyek yang dibiayai oleh obligasi daerah

Tidak boleh melebihi batasan tahunan untuk deficit APBD dan akumulasi hutang pemerintah daerah tidak dapat melebihi ketentuan yang ada saat ini (PMK No.95/PMK.07/2007)

Pinjaman yang dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur adalah pinjaman jangka menengah dan jangka panjang. Adapun persyaratannya adalah:

1. Kondisi keuangan yang bagus. Kemampuan membayar minimal harus lebih kecil atau sama dnegan 2,5 kali

2. Pinjaman (sisa pinjaman dan pinjaman baru) tidak boleh melebihi 75% dari penerimaan umum APBD tahun sebelumnya

3. Pemerintah daerah tidak memiliki tunggakan kepada pemerintah pusat4. Disetujui oleh DPRD. Pinjaman harus disetujui DPRD termasuk pinjaman yang

diteruspinjamkan kepada BUMD.Alternatif sumber-sumber pinjaman yang dapat dipilih oleh pemerintah daerah

adalah sebagai berikut:

Pinjaman Daerah dari pemerintah yang dananya bersumber dari pinjaman luar negeri

Pinjaman daerah yang bersumber dari pemerintah yang dananya berasal dari penerusan pinjaman luar negeri mengacu pada PP No.54/2005 tentang Pinjaman Daerah dan PP No.2/2006 tentang tata cara pengadaan pinjaman dan/atau penerimaan hibah serta penerusan pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Yang mengatur pelaksanaan kedua peraturan tersebut adalah Permen PPN/Kepala bappenas No 005/2006 dan PMK No.53/2006 tentang tata cara pengajuan usulan dan pemberian pinjaman daerah yang sumbernya dari pinjaman luar negeri. Pinjaman ini merupakan pinjaman jangka panjang yang digunakan untuk mendanai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan.

29 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 30: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Berdasarkan PMK No.53/2006, proses pengajuan pengadaan pinjaman/hibah luar negeri dimulai dengan pengajuan pinjmaan yang disampaikan kepada Kepala Bappenas kepada Menteri Keuangan untuk dievaluasi permohonan rencana pinjamannya. Menteri Keuangan akan meminta pertimbangan Menteri Dalam Negeri untuk aspek non keuangan (politik dan pemerintahan daerah). Apabila Menteri Keuangan berpendapat permohonan pinjamn dapat diteruskan, permohonan pinjaman akan dinilai lebih lanjut. Apabila disetujui maka dilakukan koordinasi dengan pemberi pinjaman untuk mendapatkan komitmen pendanaan.

Sementara pemerintah daerah pengusul harus mendapat surat persetujuan DPRD yang akan disampaikan kepada Menteri Keuangan. Surat persetujuan DPRD yang diperoleh dari hasil sidang paripurna memuat hal-hal pokok keuangan meliputi Plafond kredit, jangka waktu, bunga pinjaman, biaya komitmen, dana pendamping, mengalokasikan pembayaran angsuran pinjaman dalam APBD setiap tahun selama masa pinjaman dan bersedia dipotong DAU/DBH untuk pembayaran angsuran pinjaman yang masih belum terselesaikan.

Pinjaman daerah yang bersumber dari pinjaman luar negeri ini, dapat diakses pemerintah daerah untuk subsektor persampahan dan air limbah berskala kota (pengelolaan TPA dan air limbah system terpusat), karena menyangkut kelayakan proyek. Maka kerja sama dengan pihak swasta harus dilakukan agar resiko keuangan dapat diminimalisir, misalnya dengan membentuk perusahaan patungan yang akan mengajukan pinjaman atau melalui BUMD yang dimiliki pemerintah daerah. Fasilitas pinjaman yang tersedia saat ini adalah dari lembaga multilateral.

Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang dananya bersumber selain dari pinjamanPinjaman dalam negeri adalah pinajman daerah yang dananya bersumber

dari APBN murni dan disalurkan pemerintah melalui Rekening Pembangunan Daerah (RPD) yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No 347/KMK.07/2000 tentang Pengelolaan Rekening Pembangunan Daerah. Pinjaman dari RPD ini dibatasi hanya untuk pinjaman jangka panjang (maksimal 20 tahun) untuk membiayai kegiatan yang bersifat cost recovery yaitu pembangunan prasarana air bersih, persampahan, terminal angkutan darat serta terminal angkutan sungai/danau, pasar dan rumah sakit umum daerah.

Pinjaman daerah yang dananya berasal dari pendapatan dalam negeri harus melewati tahapan sebagai berikut: Pemerintah Daerah mengajukan usulan pinjaman daerah kepada Menteri Keuangan dengan melampirkan dokumen yang memuat Persetujuan DPRD dan studi kelayakan kegiatan yang akan dibiayai dari pinjaman daerah. Selanjutnya Menteri Keuangan melakukan penilaian atas usulan pinjaman yang telah disampaikan. Mentei Keuangan dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas usulan pinjaman. Apabila disetujui oleh Menteri

30 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 31: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Keuangan, Kepala Daerah dan Menteri Keuangan atau pejabat yang ditunjuk menandatangani perjanjian pinjaman.

Pinjaman dalam negeri sangat bergantung pada kondisi perekonomian nasional dan harus merupakan proyek yang menguntungkan. Maka persampahan merupakan subsektor yang paling potensial untuk mengaksesnya. Pemerintah kota paling berpeluang mengaksesnya dibandingkan pemerintah kaupaten. Maka kedepan pemerintah kota yang memiliki TPA yang layak secara bisnis dan telah memiliki sistem air limbah terpusat adalah calon peminjam potensial.

Pinjaman daerah dari sumber lain selain pemerintahProsedur pinjaman daerah yang bersumber selain dari pemerintah secara

garis besar terbagi menjadi dua berdasarkan lamanya masa peminjaman, meliputi:

a) Pinjaman Jangka PendekPinjaman ini tidak memerlukan persetujuan pihak lain selain kepala

daerah. Jika proposal disetujui, pinjaman daerah jangka pendek dapat diakses melaui perjanjian pinjaman yang ditandatangani oleh kepala daerah dan pemberi pinjaman dengan memperhatikan persyaratan yang paling menguntungkan pemerintah daerah.

b) Pinjaman Jangka Menengah dan PanjangPemerintah daerah wajib melaporkan rencana pinjaman yang

bersumber selain pemerintah kepada Menteri Dalam Negeri dengan menyampaikan dokumen-dokumen kerangka acuan proyek, APBD tahun yang bersangkutan, proyeksi DSCR dan rencana keuangan pinjaman yang akan diusulkan, serta surat persetujuan DPRD. Kemudian Mentri Dalam Negeri memberikan pertimbangan dalam rangka pemantauan defisit APBD dan batas kumulatif pinjaman daerah dimana proposal pinjaman didasarkan pada pertimbangan Menteri Dalam Negeri tersebut. Jika proposal disetujui, pinjaman daerah dilakukan melalui perjanjian pinjaman yang ditandatangani oleh Kepala Daerah dan pemberi pinjman. Perjanjian pinjaman tersebut wajib dilaporkan kepada menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri.

Walaupun saat pinjaman daerah khususnya untuk sektor sanitasi masih sulit diakses, namun bukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan, namun aplikasinya untuk sanitasi harus digabung dengan proyek lain yang lebih menguntungkan. Misalnya menggabngkan proyek air minum dengan air limbah terpusat atau menggabungkan pengelolaan TPA dengan CDM. Selain penggabungan proyek, lembaga penjamin harus dilibatkan untuk meutup resiko gagal bayar oleh pemerintah daerah atau perusahaan yang didirikan untuk mengakses pinjaman. Beberapa pemerintah daerah telah berhasil

31 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 32: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

mengakses dana perbankan namun belum ada yang dipeuntukkan bagi sanitasi.

Pinjaman dari sektor swasta-kredit mikroPembiayaan mikro merupakan bagian tak terpisahkan dari strategi

pembiayaan untuk meningkatkan cakupan layanan air minum dan sanitasi di daerah perkotaan sehingga dapat mempercepat perluasan sarana sanitasi dengan jalan memberdayakan pengguna untuk melakukan pembelanjaan diawal. Keterlibatan donor/LSM akan mewujudkan layanan dengan cakupan yang lebih besar dan lebih cepat.

Kredit mikro masa pinjamannya sekitar 1 tahun, diberikan kepada individu/keluarga yang dapat dijamin dengan slip gaji. Atau individu dapat bergabung dalam kelompok dimana kelompok tersebut yang mengajukan kredit. Bagi pengusaha sanitasi, ketentuannya seperti kredit biasa hanya lebih fleksibel bunganya.

Apabila jaminan berupa aset tidak ada, maka peminjam harus ada yang menjamin, misalnya donor, PDAM/PD-PAL atau LSM. Namun jika penjamin juga tidak ada, maka pemerintah daerah harus bekerja sama dengan perusahaan penjamin kredit (komisinya 1,5% dari nilai pinjaman) guna menutup risiko gagal bayar.

Bank Indonesia mensyaratkan setiap bank untuk memberikan fasilitas pinjaman untuk tujuan sosial. Bahkan beberapa bank berharap nasabah kredit mikro, kembali untuk kredit lain, misalnya kredit perbaikan rumah.

Kredit mikro disalurkan melalui bank-bank berikut ini: BPR, BRI, BNI, BTN, Bank Mandiri, BPD dan Bank Danamon. Kredit yang disalurkan oleh pihak swasta dijalankan dengan penjaminan. Beberapa Badan Kredit Kecamatan (BKK) sudah menjalankan skema kredit mikro dengan dana yang berasal dari pemerintah daerah. Keterlibatan pemerintah daerah dan BUMD dalam kredit mikro sangat dibutuhkan agar pihak yang akan menyalurkannya memiliki mitra dalam cost sharing maupun risk sharing.

Badan Kredit Kecamatan (BKK) BKK adalah lembaga kredit berbasis kecamatan dengan dana berasal dari

pemerintah daerah yang disalurkan kepada BPD setempat, kemudian oleh BPD diterus pinjamkan kepada BKK untuk tujuan mewujudkan tujuan pembangunan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. BKK dapat menjamin pinjaman, juga dengan dana pemerintah daerah. Seperti halnya dana bergulir, peminjam harus menjadi anggota koperasi terlebih dahulu. BKK dapat memberikan pinjaman untuk sektor sanitasi meskipun sebagian besar pemerintah daerah tidak memakai peluang tersebut hingga kini.

32 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 33: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Dana Pembangunan Masyarakat (CDF)Dapat dibentuk oleh pemerintah daerah dengan dana yang berasal dari hibah

(luar negeri, pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah daerah lain), partisipasi pemerintah atau akses kepada kredit mikro dari lembaga keuangan. Dana ini dapat digunakan untuk membangun fasilitas publik dan dapat dipakai untuk sarana sanitasi yang diusulkan oleh masyarakat sendiri (pendekatan bottom up). Dana ini dapat diperoleh dari kelompok-kelompok masyarakat seperti KSM yang mendapat kucuran dana dari APBD (melalui kecamatan/desa) atau koperasi-koperasi. Pemakaian dana ini bersifat langsung dari tidak perlu harus sesuai dengan peraturan pemerintah.

Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)BLUD adalah instansi pemerintah yang menjalankan usaha mengoperasikan

sarana publik, tapi dengan subsidi pemerintah daerah untuk menutup defisit. Pendapatan instansi ini berasal dari berbagai sumber: upah layanan, hibah, APBD, pendapatan dari investasi dan deposito, investasi swasta di BLUD, pinjaman dan lain-lain. Pembentukannya mendapatkan dukungan sepenuhnya dari instansi terkait dan pemerintah pusat (Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri). Pembentukan BLUD diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 61 tahun 2007.

Tujuan BLUD adalah untuk meningkatkan mutu dan cakupan layanan publik, dengan landasan keuangan yang lebih luas dan lebih luwes. BLUD boleh melakukan berbagai bentuk kemitraan dengan pihak swasta untuk tujuan tersebut. Bahkan BLUD boleh mengelola lebih dari satu sektor utilitas publik dan boleh dimiliki oleh satu atau lebih pemerintah daerah agar lebih kuat.

Secara teori maupun dari kebijakan instansi berwenang yaitu Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) dan Departemen Dalam Negeri menyatakan bahwa sebelum pemerintah daerah membentuk perusahaan daerah atau BUMD, akan lebih baik jika BLUD dibentuk terlebih dahulu. Kemudian, BLUD akan mengikuti jalur pengembangan bertahap. Setelah BLUD meningkatkan pengetahuan yang diperlukan mengenai aspek teknik, aspek keuangan dan pasar serta keterampilan sektor terkait, maka selanjutnya BLUD akan meningkat menjadi BUMD lalu kemudian menjadi Perseroan Terbatas (PT) sebagai entitas komersial yang dimiliki oleh permerintah daerah.

BLUD banyak memiliki kelebihan terutama dalam hal fleksibilitas pembiayaan karena adanya subsidi pemerintah daerah. Apabila BLUD telah memiliki keuntungan dapat tidak langsung disetor ke pemerintah daerah. Bahkan sistem pengadaan barang dan jasa BLUD juga dapat terpisah dari yang dilakukan pemerintah daerah. Bahkan BLUD dapat melakukan kerja sama dengan swasta melalui skim KPS (PPP dan PSP).

33 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 34: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Selain beberapa surat persetujuan dan pernyataan Kepala Daerah, proyeksi keuangan harus cukup meyakinkan. Dokumen lain adalah penjelasan atas kemampuan pelaksanaan, rencana usaha, rencana pengelolaan, laporan keuangan awal dan kelayakan usaha BLUD. Studi kelayakan harus menganalisis kapasitas dan kemauan membayar dari calon pengguna. Jika hasil perhitungan positif, maka bantuan keuangan masih diperlukan pada tahap awal operasi. Sementara bantuan teknis juga dibutuhkan dari Departemen Dalam Negeri.

Pemerintah pusat sangat berambisi untuk pembentukan BLUD karena BLUD hanya mengelola layanan publik sementara aset tetap milik pemerintah daerah, maka potensi masalah dalam kepemilikan aset tidak ada. Hal ini diperkuat melalui PP No. 38/2008 yang menyatakan bahwa aset menjadi milik pemerintah daerah jika dana APBD dipakai untuk membangun atau membeli aset tersebut.

Selain hal di atas, pemerintah pusat (terutama Departemen Dalam Negeri) juga berkeinginan agar pemerintah daerah menggali potensi pembiayaan sanitasi tidak hanya dari APBD namun dari sumber lain menggunakan potensi daerahnya. Karena pembiayaan melalui pembentukan BLUD tidak hanya bagi pemerintah daerah miskin, namun pemerintah daerah kaya pun mendapat banyak manfaat apabila membentuk BLUD.

BLUD cocok untuk pembangunan maupun pengelolaan sarana sanitasi perkotaan, karena kinerjanya dapat diukur dengan lebih mudah dibandingkan pengukuran kinerja instansi pemerintahan (SKPD). BLUD dapat menjadi cara yang tepat untuk memulai layanan sanitasi pada daerah yang belum terlayani, atau untuk meningkatkan sarana sanitasi yang ada dan yang berbasis lembaga (pengolaan air limbah). Walaupun kota sudah mempunyai PDAM namun peraturan masih mengijinkan pembentukan BLUD yang juga menyediakan layanan air bersih (misalnya untuk daerah pinggiran atau daerah tanpa pelanggan komersial).

BLUD sekarang dianggap sebagai sarana terbaik untuk mendapatkan hibah sanitasi dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Secara prinsip konsep ini cocok untuk menangani pembayaran transfer untuk pembangunan infrastruktur sanitasi berbasis kelembagaan. Namun advokasi perlu dilakukan secara lebih luas karena banyak pemerintah daerah tidak menyadari potensi BLUD (fleksibilitas keuangan) sehingga ragu-ragu untuk melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk membentuk BLUD.

HibahDalam PP Nomor 57 tahun 2005 dan PMK No 52/2006 yang dimaksud dengan

hibah adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, pemerintah badan/lembaga

34 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 35: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

dalam negeri atau perorangan baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.

Sumber-sumber hibah diperoleh dari dalam negeri dan/atau luar negeri. Hibah yang bersumber dari dalam negeri bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah lain, badan/lembaga organisasi swasta dalam negeri dan/atau kelompok masyarakat/perorangan. Sedangkan hibah yang bersumber dari luar negeri diperoleh dari lembaga/institusi, negara bilateral, multilateral dan donor lainnya.

Pemberian hibah kepada daerah yang sumbernya berasal dari pinjaman luar negeri akan didasarkan kapada peta kapasitas fiskal yang ditetapkan dalam peraturan Menteri Keuangan. Peta kapasitas fiskal daerah menggambarkan kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui penerimaan umum APBD dan jumlah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah berkoordinasi dengan Menteri pada kementrian dan lembaga terkait.

Hibah bersifat bantuan untuk menunjang program pembangunan sesuai dengan prioritas dan kebijakan pemerintah serta merupakan urusan daerah, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah berkoordinasi dengan Menteri pada Kementrian/pimpinan lembaga terkait.

Hibah yang bersumber dari pendapatan dalam negeri, kegiatannya merupakan kebijakan pemerintah atau diusulkan oleh kementrian dan lembaga. Perjanjian hibahnya dituangkan dalam NPPHD (Nota Perjanjian Pinjaman dan Hibah Dalam Negeri). Sedangkan hibah yang bersumber dari pinjaman luar negeri kegiatannya telah diusulkan oleh kementrian dan lembaga dan hibah yang bersumber dari hibah luar negeri, kegiatannya selain diusulkan oleh kementrian dan lembaga juga oleh pemerintah daerah. Perjanjian hibahnya dituangkan dalam naskah perjanjian hibah diteruskan oleh pemerintah kepada pemerintah daerah. Penerusnya dituangkan dalam naskah perjanjian hibah antara pemerintah dan pemerintah daerah.

Hibah yang bersumber dari pendapatan dalam negeri diberikan kepada daerah untuk melaksanakan kegiatan yang menjadi urusan pemerintah daerah yaitu peningkatan fungsi pemerintahan, layanan dasar umum dan pemberdayaan aparatur pemerintah daerah serta untuk kegiatan pemerintah yang berskala nasional/internasional di daerah.

Hibah yang bersumber dari pinjaman luar negeri, fokusnya pada kegiatan daerah yang terkait dengan prioritas nasional dengan prioritas pemerintah daerah dengan kapasitas fiskal rendah. Sedangkan hibah yang bersumber dari hibah luar negeri, penekanannya adalah pada pembiayaan kegiatan yang menjadi urusan daerah yaitu peningkatan fungsi pemerintahan, layanan dasar umum dan pemberdayaan aparatur daerah.

35 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 36: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Hibah disalurkan dari APBN ke APBD sesuai peraturan perundangan yaitu dengan menggunakan Bagian Anggaran Pembiayaan Dan Perhitungan (BAPP) yang dikelola oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan terpisah dari bagian anggaran yang dikelola kementrian dan lembaga. Dana hibah ditransfer melalui pemindahbukuan dari rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah. Beberapa hal yang enajdi kewajiban daerah penerima hibah adalah disediakannya fasilitas penunjang bagi kelancaran pekerjaan apabila hibah berupa jasa konsultan dan jasa lainnya. Apabila daerah tidak menganggarkan kegiatan maka pencairan hibah tidak dapat dilakukan.

Dana pendamping hibah harus dicantumkan dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran-Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD). Sementara Menteri Negara/Pimpinan Lembaga terkait melakukan pemantauan atas kinerja pelaksanaan kegiatan dan penggunaan hibah dalam rangka pencapaian target dan sasaran yang ditetapkan dalam perjanjian hibah. Walaupun sempat mengalami hambatan administrasi dalam penyaluran hibah ke daerah namun ke depan pembiayaan sanitai harus dapat mengakses pendanaan hibah lebih banyak. Program non fisik berikut ini sangat potensial dibiayai oleh hiba: peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah, pembuatan studi potensi pembentukan BLUD kota, pelatihan-pelatihan, pembuatan SSK hingga pembangunan sarana sanitasi kecil-menengah. Untuk hibah yang berasal dari pinjaman, pemerintah daerah dapat berkoordinasi dengan kementrian dan lembaga. Sedangkan hibah yang berasal dari hibah luar negeri, bappenas dapat memfasilitasi pemerintah daerah dalam berhubungan dengan kelompok donor sanitasi.

Wasap-D yang merupakan hibah untuk pembangunan sanitasi yang dananya bersumber dari hibah luar negeri dari donor segera akan cair. Penyalurannya sempat mengalami hambatan namun kahirnya dapat diatasi oleh Departemen Keuangan, Departemen Pekerjaan Umu dan Bappenas. Dimana dana 20% dari total hibah yang merupakan dan bagi konsultan proyek fisik, tidak lagi berada di daerah, namun berada di pusat. Hal ini untuk menghindari risiko tidak terserapnya dana hibah tersebut. Sedangkan 80% dana hibah sisanya tetap diberikan kepada pemrintah daerah ssuai dengan PK 168 dan PMK 169.

Hibah Daerah (Langsung dari Donor ke Daerah)Hibah dari donor langsung ke daerah dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu

dengan skim off budget melalui kementrian dan lembaga dimana pemerintah daerah tidak ada skim ini dan yang kedua melalui dana hibah langsung diberikan oleh donor ke daerah kepada potential beneficiaties. Hal ini memungkinkan pemerintah daerah mendapatkan hibah dari donor tanpa melalui pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau mekanisme pencatatan hibah yang ada.

36 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 37: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Namun demikian hibah seperti ini tidak memungkinkan untuk diberikan kepad a pemerintah daerah, namun diberikan kepada kelompok masyarakat (KSM, Paguyuban, koperasi atau organisasi berbasi masyarakat lain). Kemudian dana tersebut oleh kelompok masyarakat dapat diolah bagi kepentingan anggota menjadi dana bergulir untuk membiayai pembangunan sanitasi di level rumah tangga. Sebagai koordinator dari program yang dibiayaim hibah donor biasanya adalah lembaga multilateral yang memiliki kapasitas implementasi yang mencukupi.

Kelompok masyarakat yang telah terbentuk dengan baik di level kecamatan atau kelurahan, dapat menerima hibah dari donor baik secara langsung maupun melalui LSM atau lembaga non pemerintah yang ditunjuk lainnya, yang selanjutnya menggunakan dana hibah tersebut untuk membiayai pembangunan sanitasi. Karena tidak melalui mekanisme pemerintah daerah, maka tidak terkena peraturan PMK 168 dan PMK 169. Sehingga apabila pihak donor telah setuju dengan program yang akan dijalankan suatu kelompok masyarakat daerah tertentu (kebanyakan pembangunan sanitasi skala rumah tangga dan skala MCK) maka dana hibah donor dapat segera digunakan. Hibah dari donor untuk pembangunan sanitasi tidak saja untuk proyek fisik namun program non fisik dan asistensi teknis dan peningkatan kapasitas.

Walaupun sumber pendanaan ini merupakan sumber pendanaan potensial, namun bukannya tidak memiliki risiko di masa datang. Karena aset (kecuali yang skala rumah tangga) seperti MCK dan mini sewer akan dimiliki oleh masyarakat, maka sustainability dan biaya operasi serta pemeliharaan rawan adanya gangguan di masa yang akan datang. Selain itu klaim atas besarnya hibah yang telah disalurkan relatif sulit penilaiannya (berisiko menimbulkan multi penilaian).

d. Pendanaan bersumber dari sektor swastaSecara realistis sulit untuk meraih target MDG bidang sanitasi dengan periode

yang tersisa hingga 2010, apabila hanya mengandalkan dana publik tanpa keterlibatan sektor swasta. Maka pemerintah pusat menganggap sektor swasta sebagai sumber dana yang potensial. Perpres 67/2005 mengatur KPS berdasarkan sejumlah prinsip seperti kepentingan kedua pihak dan pentingnya analisis terlebih dahulu mengenai semua aspek terkait. Untuk mempromosikan KPS, pemerintah daerah harus membuat peraturan untuk mendukung implementasi KPS di daerah agar kegiatan bersama berjalan adil dan transparan dan akan menghasilkan manfaat nyata bagi kedua pihak. Beberapa alasan mengapa KPS dipilih sebagai model kerja sama adalah: efisiensi dana pemerintah, akses sanitasi yang lebih baik dan meningkatkan mutu dan efisiensi layanan. Dari sudut pandang investor swasta, KPS harus menekankan bahwa tingkat pengembalian investasi mencukupi (memerlukan periode kontrak yang cukup panjang), perjanjian kerja sama harus memuat masalah keuangan secara detail mencakup: tarif, pembagian risiko dan penyelesaian konflik, kriteria kinerja yang jelas dan terstandarisasi

37 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 38: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

serta stabilitas keuangan, ekonomi dan politik, termasuk analisis mengenai risiko politik jika investornya dari luar negeri.

Hingga saat ini KPS untuk sanitasi, baru menyentuh sub sektor persampahan terutama dalam pengelolaan TPA. Penyebab KPS di bidang sanitasi masih kurang diminati, faktor utamanya adalah tingkat pemulihan biayanya rendah. Selain itu, peraturan pendukung di daerah belum ada. Sebagian besar opsi KPS yang dapat dilakukan di sektor sanitasi memerlukan peranan yang besar dari pemerintah. Pemerintah juga masih harus membayar biaya investasi diawal dan sering juga sebagian biaya operasi dan perawatan sehingga keuntungan finansial dari KPS menjadi lebih kecil.

Bentuk partisipasi lain yang lebih luwes dan lebih cocok untuk pihak swasta dan pemerintah dalam membiayai proyek sanitasi berukuran kecil dan sedang adalah partisipasi sektor swasta. Sebelum perjanjian kerjasama KPS dilakukan, beberapa isu berikut harus disepakati agar menjadi dasar kerjasama yaitu komitmen pemerintah daerah dalam pembangunan sanitasi, manfaat sosio-ekonomi, kesiapan kelembagaan, kesiapan calon pengelola proyek, adanya standar kinerja operasi, sistem informasi manajemen untuk memantau dan mekanisme untuk menangani konflik.

Bentuk-bentuk KPS yang sering diaplikasikan di Indonesia adalah investasi langsung (tunai atau non tunai), misalnya melalui BUMD, operasi bersama, pekunasan kredit ke perusahaan swasta untuk modal kerja dan investasi, BOT dan Build Tranfer Operate (BTO), sub kontrak, outsourcing dan usaha bersama. Pemerintah pusat sedang menyusun peraturan yang mengatur bentuk kerja sama antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk pembangunan infrastruktur, selain melalui skim KPS. Agar KPS lebih mudah direalisasikan maka peraturan untuk pembentukan Badan Investasi Pemerintah Daerah (BIP-D) dan Permendagri yang baru mengenai tata cara investasi di daerah akan memberi peluang bagi keberhasilan KPS di sektor sanitasi.

Jika pemerintah daerah membentuk Badan Investasi di daerah dan Lembaga penjamin kredit daerah, lembaga ini dapat menyediakan modal dan memperlancar akses ke dana pembangunan sanitasi. Namun hingga kini, kedua lembaga masih belum terbentuk di daerah.

Tanggung ajawab perusahaan (CSR) didasaakan pada UU No 40/2007 mengatur cara bagaimana perusahaan terutama yang usahanya yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam) harus melaksanakan program sosial yang diwajibkan, dengan sasaran masyarakat yang membutuhkan dan tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dengan berbagai cara. Saat ini perusahaan yang tidak mengeksploitasi sumber daya alam sudah menjalankan program CSR untuk meningkatkan kredibilitas sosialnya.

Program CSR yang dijalankan oleh perusahaan di Indonesia mencakup bidang pendidikan, kesehatan, perlindungan lingkungan (pengelolaan limbah padat dan

38 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 39: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

pengelolaan air limbah) dan sektor kredit mikro juga kegiatan bermanfaat sosial lainnya. Perusahaan harus menyediakan bukan hanya dana tapi juga bantuan aktif dan lain-lain. Sementara mitra lokal yang berbasis masyarakat akan memantau pelaksanaan program.

Walau terlihat sederhana, program CSR perlu disusun dengan cermat dan perhatian diberikan pada beberapa faktor yang dapat menyebabkan target tidak dapat diraih, setelah kesepakatan dicapai. Semua pihak harus merumuskan dengan jelas manfaat apa yang ingin mereka peroleh dan harus membuat kompromi sebelum program dimulai agar nanti perbedaan harapan tidak menimbulkan konflik. CSR dapat berupa hibah dari perusahaan kepada pemerintah daerah maupun langsung kepada masyarakat.

e. Kontribusi penguna (tarip)PP No 65/2001 merinci wewenang pemerintah daerah di bidang ini. Pada

prinsipnya tarip dan retribusi dikategorikan menjadi 3 jenis:

1. Retribusi jasa umum, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

2. Retribusi jasa usaha, adalah retribusi yang disediakan pemerintah daerah yang menganut prinsip komersial. Pada dasarnya dapat disediakan oleh pihak swasta.

3. Retribusi perijinan, adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam pemberian ijin. Misalnya retribusi penerbitan ijin seperti bangunan, kegiatan komersial, eksploitasi sumber daya lam.

Untuk skala nasional, kontribusi pengguna di kota/kabupaten banyak menambah pendapatan asli daerah. Disini pemerintah daerah harus menetapkan beberapa prinsip yaitu realistis, memiliki hubungan positif dengan mutu pelayanan, dikelola dengan transparan dan akuntabel, selisihnya dengan biaya operasi dan pemeliharaan sekecil mungkin. Prosedur dalam menaikkan tarif relatif sulit dilakukan bahkan hanya sedikit perusahaan daerah mau melakukan kenaikan tarip untuk mengikuti laju inflasi.

Tabel 3. Ringkasan sumber-sumber pendanaan sanitasi

Sumber Dana Kelebihan Sumber ini Kekurangan sumber ini Cocok untuk kota

Pemerintah Pusat

APBN

Mudah diakses Pasti. Dengan pendekatan proaktif dapat ditingkatkan. Ada di DPU, Depkes, KLH, cukup besar dan sedikit di Bappesnas, Depdagri

Sering tidak sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah. Alokasi sering salah, daerah pemekaran baru yang tidak terlalu membutuhkan alokasinya besar dan sebaliknya. Membutuhkan komitmen tinggi pejabat terkait dalam menaikkan alokasi. Birokrasi dan koordinasi adalah kendala utama

Semua kota/kabupaten, mendukung proyek multi tahun

Hibah

39 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 40: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Sulit diakses Cocok untuk sanitasi. Banyak donor yang menawarkan. Ada grrup donor untuk sanitasi. Hibah donor bilateral sangat potensial.

Lama cairnya Kota kecil dengan kemampuan keuangan rendah

Pinjaman Luar Negeri

Sulit diakses Kurang cocok untuk sanitasi kecuali skala besar/kota. Apabila dikaitkan dengan air minum sangat potensial. Untuk persampahan yang cost recovery dapat diakses.

Kebijakan pemerintah pusat untuk pinjaman Luar Negeri yang disalurkan ke pemerintah daerah untuk sanitasi saat ini masih belum menunjang

Kota besar dengan kemampuan keuangan tinggi, untuk pembiayaan multitahun

DAK

Mudah diakses Potensial. Mekanismenya semakin baik dan cenderung naik apalagi ada konversi dekonsentrasi dan tugas pembantuan ke DAK

Top down.Nilainya masih dibawah Rp 5 miliar/tahun/kota untuk sanitasi. Rawan resistensi masyarakat

Semua kota (kecuali yang sangat kaya)

DAU

Mudah diakses Pasti dan besar. Dapat digunakan untuk kegiatan non fisik

Banyak pemerintah daerah belum mengetahui bahwa DAU dapat digunakan untuk pembangunan non fisik sanitasi/layanan dasar umum, sehingga dapat menjadi kontroversi

Semua kota, untuk mendukung semua sumber, sifatnya non fisik layanan dasar umum

Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

Dapat diakses dengan prakondisi

Pasti. Lebih besar dari DAK dan dalam kontrol kementrian dan lembaga

Rawan terjadi duplikasi pembiayaan dan kebocoran. Penggunaannya dalam sanitasi bercampur dengan sektor lain

Semua kota, tidak setiap tahun ada, non fisik (dekonsentrasi) dengan propinsi dan fisik (tugas pembantuan) langsung di kota, pusat tinggi kontrolnya

Dana Khusus

Dapat diakses dengan prakondisi

Peraturan pendukung untuk badan investasi pemerintah, lembaga pembangunan masayarakat sudah ada. Namun yang terealisasi baru KUR dan dana bergulir

Memerlukan kreativitas dan inovasi kepala daerah agar terealisasi. Hambatan utama adalah peraturan dan lembaga pendukung di daerah

Semua kota. Terutama yang BUMDnya dan kelompok masyarakatnya sudah mapan.

Pemerintah Propinsi

40 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 41: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Hibah

Mudah diakses Besar. Potensial. Terutama di propinsi yang kaya

Apabila pemerintah daerah dan pemerintah provinsi koordinasinya tidak baik, dana sulit diakses

Tidak semua kota, hanya beberapa yang sinkron dengan propinsi

SILPA

Sulit diakses Besar, potensial Sulit digunakan untuk pembangunan sanitasi regional. Selain jarang proyek sanitasi juga jarang dialokasikan di APBD propinsi

Tidak semua kota, sangat tergantung kebijakan propinsi

Instansi Vertikal

Dapat diakses dengan prakondisi

Pasti, besar dan potensial Kontrol dan lokasi kegiatan ditentukan pemerintah provinsi, pemerintah daerah kecil kontrolnya

Tidak semua kota, hanya yang sinkron dan dapat bekerja sama dengan propinsi yang dapat

Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten

APBD

Mudah diakses Pasti Masih kecil (rata-rat 1% dari belanja APBD). Tidak menyebar di SKPD terkait, masih didominasi Dinas PU

Semua kota, untuk mendukung proyek multitahun

Investasi/Penyertaan Modal Pemerintah Daerah

Mudah diakses Potensial Hanya pada pemerintah daerah yang telah memiliki BUMD sanitasi

Tidak semua kota, hanya yang mempunyai BUMD yang profitable, mendukung atau dapat menjadi sumber pendanaan proyek multitahun

SILPA

Mudah diakses Besar, potensial penggunaanya dijamin peraturan, harus seijin DPRD

Belum banyak yang menggunakan. Banyak pemerintah daerah ingin investasi yang aman dan sedikit usaha

Semua kota, fleksibilitas tinggi, mendukung proyek multitahun

Dana Cadangan

Mudah diakses Potensial. Dapat digunakan untuk membiayai sanitasi (kesejahteraan sosial, proyek infrastruktur yang tidak dapat terselesaikan) dengan persetujuan DPRD

Dinilai lama proses pencariannya Semua kota, fleksibilitas tinggi, mendukung sumber pendanaan proyek multitahun

41 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 42: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Pinjaman Daerah

Dapat diakses dengan prakondisi

Pemerintah daerah dengan kapasitas fiskal rendah berpotensi. Apalagi yang memiliki proyek sanitasi cost recovery (persampahan). Pinjaman yang bersumber selain dari peemrintah masih ada potensi hanya tidak single project namun beberapa proyek

Daerah dengan kapasitas fiskal tinggi enggan meminjam, padahal biasanya mereka yang membutuhkan dan memenuhi syarat untuk mengajukan pinjaman daerah. Banyak pemerintah daerah mengalami kendala menyiapkan proposal untuk mengajukan pinjaman terutama yang bersumber selain dari pemerintah. Yang bersumber dari pemerintah banyak pemerintah daerah terkendalam pinjaman lama yang macet

Tidak semua kota, hanya yang memenuhi persyaratan agar bunganya rendah, kota harus dengan kapasitas skala rendah. Sumber pendanaan proyek multitahun

Pinjaman Swasta

Dapat diakses dengan prakondisi

Potensial. Difasilitasi donor multilateral

Bunganya tinggi Tidak semua kota. Hanya kota yang memiliki proyek yang menguntungkan dan memiliki BUMD yang sehat, sumber pendanaan multitahun

BKK

Mudah diakses Potensial menjaring nasabah kecil terkait sanitasi (pengusaha limbah, kelompok masyarakat yang akan membangun IPAL komunal, dll)

Pengalaman masa lalu dimana banyak kredit macet di BKK membuat peemrintah daerah enggan berinvestasi di BKK

Semua kota, chanelling dari BPD. Kapasitas kecil untuk proyek sanitasi kecil

Dana Pembangunan Masyarakat

Dapat diakses dengan prakondisi

Potensial. Tergantung komitmen pemerintah daerah. Harus ada lembaga yang ditunjuk. Di tingkat propinsi dapat melalui BUMD khusus untuk pembnagunan infrastruktur atau instansi lain yang menyediakan dana. Banyak lembaga masyarakat yang dapat dipercaya mengelola sebagian dana

Sedikit pemerintah daerah yang melakukan penyertaan pada institusi yang ditunjuk untuk chanelling dana. Hal ini terkait SDM yang mampu merancang skim pendanaan dari pemerintah daerah ke lembaga yang ditunjuk dan disalurkan kepada kelompok masyarakat

Semua kota, chanelling dari pemerintah daerah kepada kelompok masyarakat. Kecil kapasitasnya. Untuk proyek multitahun skala kecil

BLUD

Dapat diakses dengan prakondisi

Fleksibilitas keuangan yang tinggi

Kapasitas pemerintah daerah dalam membentuk BLUD masih rendah

Semua kota, untuk proyek multitahun. Besar kapasitasnya

Hibah

42 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 43: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

Dapat diakses dengan prakondisi

Potensial. Baik donor melalui pemerintah, maupun yang langsung dari donor kepaa masyarakat lewat LSM. Kecenderungan meningkat

Sustainibility proyek dipertanyakan, administrasi proyek rawan kesalahan. Pemerintah daerah sedikit berperan

Tidak semua kota, hanya kota yang dipilih donor. Tidak dapat menjadi sumber pendanaan proyek multitahun. Nilainya kecil hingga menengah

Sektor Swasta/KPS

Sulit diakses Potensial. Dapat menghemat anggaran pemerintah daerah. Multipie effect ekonomi tinggi

Sulit dilaksanakan didaerah, belum ada petunjuk pelaksanaan KPS di daerah

Tidak semua kota, hanya kota dengan proyek besar yang menguntungkan dan telah memiliki BUMD yang sehat. Besar nilainya

Kontribusi Pengguna (Tarip)

Dapat diakses dengan prakondisi

Potensinya bisa mencapai 3-5 kali dari realisasi yang ada saat ini. Untuk biaya pemeliharaan dan operasional sarana sanitasi

Banyak peraturan daerah retribusi sanitasi merupakan produk lama, tidak mengantisipasi perubahan yang ada di kota/kabupaten. Sistem collection tarip masih sederhana, tidak dikelola dengan baik dan tidak dipandang sebagai potensi. Kaitan retribusi yang terkait sanitasi dengan aspek sanitasi masih belum optimal

Semua kota menjadi sumber biaya operasi dan pemeliharaan. Besar potensinya jika dikelola dengan profesional

- Usaha Pemerintah dalam meningkatkan akses pendanaan sanitasia. Pada Tingkat Pemerintah Pusat

1. Reformasi alokasi DAK dan DAU2. Meningkatkan perencanaan institusi yang ada dan mekanismenya untuk

pembangunan sanitasi perkotaan3. Memfasilitasi Penggunaan SILPA secara optimal bagi sarana sanitasi4. Memfasilitasi pemerintah daerah dalam implementasi PPP/SPP5. Membantu mempercepat pembentukan BLUD sanitasi

b. Pada Tingkat Pemerintah Propinsi1. Pemerintah propinsi membuka peluang pendanaan snaitasi yang dapat

diakses pemerintah daerah kota/kabupaten. Diantaranya adalah meningkatkan pendanaan instansi vertikal (Satuan Kerja Pekerjaan Umum atau kementrian dan lembaga lain dnegan SKPD) untuk mendanai baik proyek lintas wilayah, maupun proyek sanitasi di wilayah pemerintah daerah kota/kabupaten

2. Melalukan fasilitas atas sinkronisasi pengadministrasian program dan kegiatan propinsi dengan kota/kabupaten. Hal ini untuk optimalisasi penyaluran pendanaan sanitasi dari propinsi ke pemerintah daerah kota/kabupaten. Secara teknis pokja sanitasi propinsi membicarakan bersama dengan pokja sanitasi kota untuk melakukan sinkronisasi dan koordinasi

43 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 44: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

3. Mengalokasikan lebih banyak dana bantuan keuangan kepada pemerintah daerah untuk pembangunan sanitasi

4. Mendukung pemerintah daerah dalam pembentukan BLUD dalam bentuk bantuan dana, bantuan teknis, advokasi dan sosialisasi. Apabila bantuan propinsi merupakan kegiatan non fisik, maka dana dekonsentrasi dapat diupayakan penggunaannya setelah terlebih dahulu melakukan sinkronisasi program pusat dan propinsi.

5. Bekerja sama dengan pemerintah daerah kota/kabupaten untuk menyiapkan dan mencari peluang pendanaan bagi proyek sanitasi yang dapat dibiayai bersama (TPA regional, sanimas, dan lain-lain). Sehingga akan memudahkan mencari sumber pendanaan proyek

6. Mendukung pemerintah kota/kabupaten dalam mendanai program kegiatan sanitasi non fisik (dengan dana dekonsentrasi) dan program kegiatan fisik (dengan dana tugas pembantuan). Pemerintah propinsi harus mendukung pembiayaan sarana sanitasi yang berada di wilayah kota/kebupaten yang apabila tidak didukung dampaknya berakibat buruk wilayah regional

7. Kebijakan penerusan PBB dari propinsi kepada kota dinaikkan. Hal ini dnegan pertimbangan objek pajak berada di wilayah kota/kabupaten

c. Pada Tingkat Pemerintah Kota/Kabupaten1. Semua potensi pembiayaan sanitasi dari APBD harus dibuka lebar (DAK/DAU,

pinjaman, hibah, dana cadangan, dana bergulir, penyertaan pemerintah daerah, dan lain-lain) dan menjadi prioritas kota

2. Memasukkan isu sanitasi sejak dari penyusunan RKPD kemudian ada dalam KUA dan PPAS sehingga pembangunan sanitasi kota benar-benar menyatu dengan prioritas pembangunan kota. Karena KUA dan PPAS merupakan pedoman pembuatan RKA SKPD yang menjadi acuan dalam pengajuan anggaran.

3. Gunakan SILPA sesuai peruntukkannya seperti penyertaan modal atas bantuan keuangan pada BUMD, BLUD dan perusahaan swasta terutama yang aktif berperan dalam pembangunan sanitasi. Secara bersamaan membentuk Badan Investasi Daerah yang akan menyediakan pendanaan dan/atau memfasilitasi pemerintah daerah kepada akses sumber pendanaan sanitasi.

4. Advokasi multistakeholder yang lebih intens dari tingkat pemerintahan paling bawah hingga kepala SKPD, kepala daerah dan DPRD agar usulan program kegiatan pembangunan sanitasi aman untuk diajukan dalam musrenbang maupun kepada TAPD dan panitia anggaran DPRD

5. Kaitkan program dan kegiatan sanitasi dengan program kegiatan yang lebih luas. Misalnya mengaitkan sanitasi dengan program pendidikan, pembangunan perumahan, pemberdayaan masyarakat, kesehatan, koperasi dan UKM, perikanan dan kelautan (sanitasi daerah pesisir), perhubungan (saitasi di terminal) dan lain-lain. Hal ini akan memudahkan penambahan alokasi belanja sanitasi.

6. Memfasilitasi pertemuan-pertemuan pengusaha sanitasi dengan perbankan untuk membantu akses pengusaha sanitasi atas skim mikrokredit

7. Optimalkan peluang pendanaan hibah dan peluang kerja sama dengan pihak swasta (CSR dan PSP). Sementara itu juga menyiapkan daftar proyek potensial yang dapat dikerjasamakan dengan pihak swasta

44 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia

Page 45: Sub Modul 12-Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi

8. Membentuk dana pembangunan (infrastruktur) kota yang dapat mengumpulkan dana yang akan disalurkan kepada kelompok masyarakat, koperasi, BKK untuk pembangunan sanitasi

9. Segera mempersiapkan pembentukan BLUD dengan terlebih dahulu membuat studi kelayakan atas layanan sanitasi yang layak untuk dikelola oleh BLUD

10. Optimalisasi peluang pajak (pajak hotel, pajak restoran, pajak reklame, dan lain-lain) dan peningkatan retribusiretribusi daerah yang berpeluang untuk ditingkatkan, yaitu yang termasuk dalam retribusi jasa umum, jasa usaha dan retribusi perijinan. Sedangkan optimalisasi penagihan retribusi sanitasi perlu mendapat prioritas.

11. Dalam meningkatkan perolehan DAK, pemerintah daerah kota/kabupaten harus memiliki perencanaan yang baik (RKA SKPD) yang program kegiatannya tidak overlapping dengan program kegiatan yang dibiayai oleh pusat (dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, RPIJM PU)

Referensi:

Tim Teknis Pembangunan Sanitasi. 2009. Buku Panduan Sumber dan Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi.

45 Sub Module 12: Mekanisme Pendanaan Sanitasi di Indonesia