Study Guide Logic Phil
Transcript of Study Guide Logic Phil
SEKOLAH TINGGI ILMU KOMUNIKASI
THE LONDON SCHOOL OF PUBLIC RELATIONS
STUDY GUIDE
LOGIC AND PHILOSOPHY OF SCIENCE
I. KETERANGAN
MATAKULIAH INI BERISIKAN
1. Subject Outline
Menerangkan mengenai garis besar matakuliah, serta ulasan yang memperkenalkan
pengajar atau penulis Study Guide
2. Scheme of Work
Berisikan apa yang akan dipelajari pada setiap pertemuan. Setiap bab, termasuk jadwal
ujian tengah dan akhir semester.
3. Study Guide
Berisikan pengenalan terhadap Materi dan keterangan tiap topic. Dilengkapi dengan
referensi penunjang pada tiap topic.
4. Sources
Referensi yang digunakan penulis dalam membuat Study Guide.
5. Rearings
Bahan bacaan yang direkomendasikan selama dipelajari matakuliah ini.
II. STUDY GUIDE WRITER
Tutik Dwi Winarni
Saya mulai mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) – The London
School of Public Relations – Jakarta mulai tahun 2001 sebagai Dosen Tetap. Saat ini
saya mengajar matakuliah Logic and Philosophy of Science.
Saya menyelesaikan studi magister manajemen Trisakti pada tahun 1998. Selain sebagai
Dosen Tetap, saya juga dipercaya untuk memegang jabatan Thesis Coordinator untuk
Campus C dengan Major Public Ralations dan Marketing.
Selamat datang untuk mengikuti matakuliah Logic and Philosophy of Science dan apabila
ada pertanyaan sehubungan dengan materi matakuliah tersebut dapat menghubungi
pengajar atau melalui email [email protected] dan dilengkapi email anda:
- Nama lengkap dan kelas
- Pertanyaan atau pesan yang akan disampaikan
1. PENGANTAR
1. Tentang study guide
Mencerna isi kuliah filsafat dan logika, bagi para mahasiswa semester awal,
bukanlah soal yang mudah. Demikian juga membaca buku dan tulisan dengan materi
tentang filsafat dan logika bagi mereka bukanlah perkara gampang. Dua-duanya sama
berat, tetapi dua-duanya merupakan syarat mutlak yang harus dijalani para mahasiswa
jika mereka ingin berhasil memperoleh nilai yang baik dari matakuliah yang sedang
mereka ikuti.
Study guide adalah pedoman atau tuntunan belajar bagi para mahasiswa untuk
bisa lebih mudah memahami isi kuliah, baik yang disampaikan dalam kelas maupun yang
tersaji dalam buku materi yang dipakai sebagai referensinya. Itu artinya, study guide tidak
sama persis dengan buku teks yang dipakai dalam kuliah, juga tidak sama persis dengan
seluruh materi yang dikuliahkan di kelas. Dia hanya merupakan pedoman dan garis besar
(outline) untuk mengerti kuliah dan pedoman dalam membaca materi pada buku teks
yang dikuliahkan.
Karena itu, setiap mahasiswa tetap harus mendalami materi kuliah secara lengkap
dan detil, selain aktif dalam kuliah di kelas. Pendalaman itu hanya bisa dilakukan dengan,
terutama, membaca buku-buku referensi yang dipakai dalam kuliah. Memahami kuliah
tidak cukup dengan mendasarkan kegiatan membaca study guide semata. Namun, study
guide tetap diperlukan para mahasiswa, apalagi mereka yang baru di semester awal,
sebagai pintu masuk untuk mengerti isi kuliah, baik secara lisan di kelas, maupun yang
ada di buku-buku referensi.
Apa yang disampaikan dalam study guide hanya merupakan ringkasan yang
cukup terstruktur dan sistematis mengenai isi materi yang dikuliahkan. Ringkasan materi
kuliah ini akan tergambar dengan sangat jelas pada bagian kedua dari study guide ini
dalam bentuk SAP (Satuan Acara Perkuliahan). Bagian ini sangat penting untuk
diperhatikan oleh setiap mahasiswa, karena substasni dari seluruh perkuliahan disajikan
di sini dalam bentuk outlinenya. Selain itu, pada SAP juga disajikan beberapa konsep dan
kata-kata kunci dari setiap topik yang dikuliahkan. Keseluruhan study guide terdiri dari
bagian pengantar (1), SAP (11), dan Soal dan latihan Logika (111).
2. Tentang Matakuliah
Dalam tradisi studi filsafat, filsafat ilmu pengetahuan dan logika sesungguhnya
merupakan dua dari sekian banyak cabang filsafat yang berdiri sendiri. Karena itu, dalam
perkuliahan, sebagaimana lazimnya di lingkungan pendidikan filsafat, baik logika
maupun filsafat ilmu pengetahuan diberikan sebagai dua matakuliah yang terpisah,
sekalipun keduanya masih berkaitan erat. Lingkup kajian dan pokok permasalahan yang
menjadi fokus kedua matakuliah ini berbeda. Namun persoalan dalam filsafat ilmu
pengatahuan, salah satunya, juga terkait dengan logika. Menurut Hempel, sekedar
menyebut salah satu filsuf, persoalan filsafat ilmu pengatahuan (epistemologi) adalah
persoalan menyangkut struktur logisnya. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan, menurut
Hempel, hanya dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan apabila mempunyai struktur
logis. Filsuf lain tentu mempunyai pendapat berbeda. Namun apa pun kata mereka, dan
betapa pun pendapat mereka berbeda-beda, semuanya dapat dipertanggungjawabkan
melalui argumen-argumen yang kritis-rasional.
Dalam lingkup studi di London School of Public relations-Jakarta, kedua
matakuliah ini tidak berdiri sendiri dan diberikan secara terpisah, tetapi digabung jadi
satu matakuliah. Karena fokus studi di tempat ini bukanlah tentang filsafat, tetapi
komunikasi. Kuliah filsafat juga diberi tempat, tetapi tentu tidak bisa lebih banyak seperti
halnya kuliah-kuliah tentang komunikasi. Karena itu, kuliah seperti logika dan filsafat
ilmu pengetahuan terpaksa harus digabung agar tidak mengurangi porsi untuk matakuliah
lain, terutama kuliah-kuliah tentang komunikasi.
Logika membahas masalah tentang penalaran manusia. Setiap manusia, karena dibekali
dengan rasio, pada dasarnya memiliki kemampuan untuk berpikir. Bernalar adalah bagian
dari kegiatan berpikir yang disertai dengan penarikan kesimpulan. Sejauhmana
kesimpulan yang kita hasilkan, dalam bernalar tadi, sudah tepat atau tidak. Dalam
ungkapan yang lebih gamblang, apakah penalaran atau pemikiran kita itu logis atau tidak.
Itulah bagian yang menjadi kajian dalam logika.
Sedangkan filsafat ilmu pengetahuan atau epistemologi adalah cabang filsafat yang
mempelajari hal-hal yang berkenaan dengan persoalan dalam ilmu pengetahuan sendiri:
kebenaran, metode, sumber pengetahuan dst. Setiap cabang ilmu pengetahuan mengkaji
berbagai hal sesuai dengan bidangnya masing-masing. Ilmu pengetahuan berusaha untuk
mengungkap kebenaran tentang realitas yang dipelajarinya. Tetapi ilmu pengetahuan
tidak bertanya atau mempersoalkan, misalnya, apa ukuran bagi kita untuk mengatakan
bahwa sesuatu itu benar? Apa itu kebenaran? Apakah pengetahuan yang benar itu? Ada
berapa macam kebenaran? Dari mana sumber pengetehuan itu? Apakah pengetahuan itu
bersumber dari pengamatan kita (sebagaimana yang dikatakan oleh kaum empiristis),
atau bersumber dari pemikiran kita (seperti yang ditegaskan oleh kaum rasionalis).
Apakah metode ilmiah itu bersifat tunggal atau ada banyak jenis metode? Secara lebih
spesifik, apakah metode ilmu sosial, termasuk ilmu komunikasi, harus sama dengan dan
sekaligus mengikuti metode ilmu alam? Jika begitu, lalu apa implikasinya? Pertanyaan-
pertanyaan seperti ini, dan masih banyak yang lain, tidak dibahas dalam ilmu
pengetahuan, tetapi menjadi pokok kajian dalam filsafat ilmu pengetahuan.
Dengan kata lain, para mahsiswa mempelajari filsafat ilmu pengetahuan supaya
menjadi lebih kritis dan semakin memahami persoalan-persoalan mendasar dalam ilmu
pengatahuan seperti masalah tentang kebenaran, metode, sumber pengathuan dst. Ilmu
pengetahuan mengkaji perihal kenyataan (alam maupun sosial), dan filsafat ilmu
pengathuan mengakji persoalan ilmu pengetahuan.
Struktur kuliah
Karena filsafat ilmu pengetahuan dan logika merupakan bagian dari filsafat, atau filsafat
adalah “payung” yang menaungi keduanya, maka pemahaman tentang keduanya
mengandaikan sebuah pengantar filsafat. Dengan demikian, secara keseluruhan,
perkuliahan ini akan disajikan dengan struktur sbb:
a. Pengantar Filsafat ( pertemuan 1, dan 2)
b. Filsafat Ilmu Pengetahuan (pertemuan 3-7)
c. UTS (pertemuan 8)
d. Logika (pertemuan 9-15)
e. UAS (pertemuan 16)
Penilaian
UTS : 30%
TGS : 30%
UAS : 40%
Jumlah tugas yang harus dikerjakan para mahasiswa minimal dua, dan maksimal empat
tugas. Sifat tugas bisa individual, dan bisa juga dikerjakan dalam kelompok. Sedangkan
bentuk tugas bisa dalam beberapa alternatif. Para mahasiswa bisa mengerjakan latihan
soal (untuk materi logika), atau membuat rangkuman disertai tanggapan kritis atas materi
yang dikuliahkan (untuk pengantar filsafat dan filsafat ilmu pengetahuan). Jika tugas
dikerjakan kelompok maka rangkuman dibuat dalam makalah yang kemudian
dipresentasikan dan dibahas dalam diskusi.
Tujuan kuliah
Logika membantu mahasiswa untuk menjadi lebih terlatih dalam berpikir secara logis.
Mereka diharapkan bisa bernalar secara tepat. Sementara melalui kuliah filsafat ilmu
pengetahuan, para mahasiswa diarahkan untuk mampu berpikir secara mandiri, dan kritis
serta terbuka terhadap berbagai pemikiran dan pandangan. Mandiri dalam arti mahasiswa
dilatih untuk berani berpikir sendiri dan mengajukan pendapat sendiri dan tidak sekedar
mengikuti pandangan orang lain. Mereka diharapkan untuk tidak lagi berpikir dengan
cara menghafal. Kritis dalam arti sebuah sikap untuk tidak menerima begitu saja suatu
pandangan, tetapi mau mempertanyakan kembali, termasuk mempertanyakan pandangan
sendiri. Pertanyaan itu bisa tentang apa saja. Para mahasiswa bisa mempertanyakan
tentang kebenaran, metode, obyektivitas dalam ilmu pengetahuan, termasuk dalam ilmu
komunikasi sendiri.
11. Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
Bagian kedua dari study guide ini berisi garis besar dari seluruh materi yang akan
dikuliahkan dosen selama satu semester, yang terdiri dari sejumlah tatap muka di kelas.
Biasanya jumlah pertemuan kuliah selama satu semester sebanyak rata-rata 14 kali,
belum temasuk ujian tengah dan akhir semester.
Satuan Acara Perkuliahan (SAP) dalam masing-masing pertemuan memuat
beberapa hal pokok seperti: pokok bahasan, sub- pokok bahasan, sumber bahan yang
digunakan dosen dan mahasiswa untuk kuliah, tujuan atau sasaran yang diharapkan
dapat dicapai setelah setiap pertemuan kuliah, yang biasanya disebut dengan istilah TIK
(Tujuan Instruksional Khusus).
Kemudian ada sejumlah pertanyaan atau latihan sebagai penterjemahan atau
derivasi dari TIK. Selain itu, kadang-kadang, disampaikan juga hal-hal penting atau hal-
hal pokok berupa kata-kata dan pengetiannya yang perlu dipelajari untuk diketahui para
mahasiswa.
Pertemuan Pertama
Pokok Bahasan : Introduksi (bagian 1)
Sub pokok bahasan : Pengertian filsafat
Obyek filsafat
Metode filsafat
Cabang filsafat
Sejarah filsafat
Tik:
Supaya para mahasiswa mampu menjelaskan pengertian filsafat, obyek filsafat, sejarah
filsafat, cabang filsafat dan ciri-ciri pemikiran filsafat.
Beberapa pertanyaan:
1) Berikan beberapa definisi tentang filsafat!
2) Sebutkan dan jelaskan cabang-cabang filsafat
3) Sebutkan dan jelaskan periodisasi sejarah filsafat (Barat)!
Sumber:
1) K. Bertens, Pengantar Filsafat (materi kuliah dalam bentuk stensilan)
2) Mark B. Woodhouse, Berfilsafat sebuah langkah awal, 2000, hal. 3-23
3) A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu pengetahuan Tinjauan filosofis, 2001,
hal. 13-19
Pertemuan Kedua
Pokok Bahasan : Introduksi (bagian 2)
Sub pokok bahasan : kesamaan dan perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan
Kesamaan dan perbedaan antara filsafat dan agama
Hubungan antara filsafat dan agama
Hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan
Tik:
Agar para mahasiswa mampu menjelaskan perbedaan maupun kesamaan ciri antara
filsafat, ilmu pengetahuan, dan agama. Juga agar para mahasiswa dapat menjelaskan
kaitan antara filsafat dengan agama, dan filsafat dengan ilmu pengetahuan.
Beberapa Pertanyaan:
1) Sebutkan dan kemudian jelaskan ciri-ciri dari pemikiran filsafat!
2) Apa perbedaan ciri antara filsafat dengan ilmu pengetahuan?
3) Apa kesamaan ciri antara filsafat dengan ilmu pengetahuan?
4) Jelaskan perbedaan ciri antara filsafat dengan agama!
5) Jelaskan sumbangan filsafat untuk agama, dan bagi orang beragama!
Sumber:
1) K. Bertens, Pengantar Filsafat (stensilan)
2) Franz Magnis-Suseno, Berfilsafat dari Konteks,Gramedia, 1991, hal. 16-25
Pertemuan Ketiga
Pokok Bahasan : Pengantar filsafat ilmu pengetahuan
Sub pokok bahasan : pengetahuan dan ilmu pengetahuan
Filsafat pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan
Pengetahuan dan keyakinan
Skeptisisme
Tik:
Supaya para mahasiswa dapat menjelaskan pengertian pengetahuan, ilmu pengetahuan,
filsafat ilmu, filsafat ilmu pengetahuan, dan keyakinan serta skeptisime.
Beberapa pertanyaan:
1) Apa itu pengetahuan?
2) Apa itu ilmu pengetahuan?
3) Apa itu filsafat pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan?
4) Apa itu skeptisisme? Bagaimana isi pandangan kaum skeptis tentang pengetahuan
manusia?
Sumber:
A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan sebuah Tinjauan filosofis,
Kanisius, 2001, hal.13-42
Pertemuan Keempat
Pokok Bahasan : Sumber pengetahuan ilmiah
Sub pokok bahasan : pandangan Rasionalisme
Pandangan Empirisme
Sintesa antara keduanya
Konstruktivisme
Konstruktivisme sosial
Tik:
Agar para mahasiswa dapat menjelaskan berbagai teori (rasionalisme, empirisme,
konstruktivisme, konstruktivisme sosial) tentang sumber pengetahuan manusia.
Beberapa Pertanyaan:
1) Apa itu rasionalisme, dan siapa filsuf pendukung pandangan ini?
2) Apa itu empirisme, dan siapa pendukung paham empirisme?
3) Bandingan antara empirisme dan rasionalisme!
4) Apa paham konstruktivisme tentang pengetahuan manusia?
5) Bagaimana konsep konstruktivisme sosial tentang pengetahuan manusia?
Sumber:
1) A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan sebuah Tinjauan
Filosofis, Kanisius, 2001, hal. 43-64
2) Stephen W. Littlejohn, Theories of Human communication, 1999, hal. 31-32
Pertemuan Kelima
Pokok Bahasan : Kebenaran ilmiah
Sub pokok bahasan : Berbagai teori tentang kebenaran ilmiah
Ciri dasar kebenaran ilmiah
Kepastian kebenaran ilmiah
Tik:
Supaya para mahasiswa mampu menjelaskan berbagai pandangan dan teori tentang
kebenaran ilmiah. Juga supaya para mahasiswa dapat menyebutkan dan menjelaskan ciri-
ciri dasar dari sebuah kebenaran ilmiah.
Beberapa Pertanyaan:
1) Bagaimana pandangan teori tentang kebenaran sebagai keteguhan?
2) Bagaimana pandangan teori kebenaran sebagai persesuaian?
3) Apakah kebenaran ilmiah itu bersifat pasti atau relatif?
4) Sebutkan dan jelaskan ciri-ciri dari sebuah kebenaran ilmiah itu?
Sumber:
1) A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan sebuah Tinjauan
filosofis, Kanisius, 2001, hal 65-86
2) Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah pengantar populer, Pustaka
Sinar Harapan, 2002, hal. 55-59
Pertemuan Keenam
Pokok Bahasan : Metode induksi dan permasalahan induksi
Sub pokok bahasan : Induksi gaya Bacon
Kritik terhadap induksi Bacon
Langkah-langkah metode induksi
Situasi masalah
Perumusan dan pengujian hipotesa
Tik:
Supaya para mahasiswa dapat menjelaskan pandangan metode induksi menurut F.Bacon
sekaligus bisa menjelaskan kelemahan dari metode ini. Para mahasiswa juga dapat
menjelaskan tahap-tahap dari cara kerja induksi.
Beberapa Pertanyaan:
1) Jelaskan pandangan Francis Bacon tenang metode induksi!
2) Sebutkan langkah-langkah metode induksi Bacon!
3) Apa kelemahan/kekurangan dari metode induksi Bacon?
4) Apa itu situasi masalah?
5)
Sumber:
A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan sebuah Tinjauan filosofis,
Kanisius, 2001, hal 99-117.
Pertemuan Ketujuh
Pokok Bahasan : Hukum dan teori ilmiah
Sub pokok bahasan: Hukum sebagai hubungan Sebab-akibat
Sifat hukum ilmiah
Hukum, kebetulan, dan kontinuitas alam
Evolusi dan kontinuitas pengetahuan
Dari hukum menuju teori
Tik:
Agar para mahasiswa mampu menjelaskan apa itu hukum, dan teori. Juga supaya para
mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dari sebuah hukum ilmiah. Juga agar para
mahsiswa mampu menjelaskan proses terbentuknya hukum ilmiah.
Beberapa Pertanyaan:
1) Apa itu hukum ilmiah?
2) Apa perbedaan antara hipotesis dan hukum ilmiah
3) Sebutkan dan jelaskan ciri-ciri dari sebuah hukum ilmiah?
4) Jelaskan bagaimana terjadinya sebuah hukum ilmiah itu!
Sumber:
A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan, sebuah Tinjauan filosofis,
Kanisius, 2001. hal. 118-130.
Pertemuan Kedelapan : UTS
Pertemuan kesembilan
Pokok bahasan : Pengantar logika
Sub pokok bahasan : Arti logika
Jenis logika
Obyek logika
Logika dan bahasa
Logika dan dialektika
Logika dan filsafat
Tik:
Supaya para mahasiswa dapat menjelaskan arti logika, jenis-jenis logika, hubungan
antara logika dengan bahasa, dan hubungan antara logika dan filsafat.
Beberapa Pertanyaan:
1) Apa itu logika?
2) Sebutkan jenis-jenis logika?
3) Apa yang menjadi obyek kajian logika? Dan apa perbedaannya dengan Psikologi
4) Jelaskan hubungan logika dengan filsafat pada umumnya, dan filsafat ilmu
pengetahuan pada khususnya!
Sumber:
1) Embu Henriquez, Logika (diktat), hal. 1-11
2) R.G. Soekadijo, Logika Dasar, Gramedia, 1994, hal.3-9
Pertemuan Kesepuluh
Pokok Bahasan : Term, pengertian, dan definisi
Sub pokok bahasan : Arti term
Arti pengertian
Arti definisi
Macam-macam definisi
Cara menguji definisi sebagai tugas dari filsafat
Tik:
Supaya para mahasiswa dapat menjelaskan arti term dan jenis-jenis term; dapat
mendefinisikan pengertian, dan menjelaskan arti dari definisi; juga supaya para
mahasiswa dapat menyebutkan dan menjelaskan berbagai jenis definisi.
Sumber:
1) Embu Henriquez, Logika, (diktat), hal. 12-27
2) Mark B. Woodhouse, 2000, hal. 56-80.
Pertemuan Kesebelas
Pokok Bahasan : Porposisi
Sub pokok bahasan : Arti proposisi
Proposisi kategoris
Proposisi hipotetis
Diagram Venn dan lambang Boole untuk proposisi
Tik:
Supaya para mahsiswa mampu menjelaskan arti proposisi, jenis-jenis proposisi, dan luas
proposisi; juga supaya para mahasiswa dapat menggunakan lambang Boole dan digram
Venn untuk menggambarkan sebuah proposisi.
Sumber:
1) Embu Henriquez, Logika (diktat), hal.28-48
2) R.G. Soekadijo, Logika dasar, hal. 27-39
Pertemuan Keduabelas
Pokok Bahasan : Kesesatan (berpikir)
Sub pokok bahasan : Arti kesesatan
Kesesatan karena bahasa
Kesesatan relevansi
Rasionalitas kesesatan
Tik:
Supaya para mahasiswa mampu menunjukkan letak dri kesesatan dalam sebuah penalran
dan sekaligus menjelaskan mengapa keseatan penalaran itu terjadi.
Sumber:
1) R.G. Soekadijo, Logika Dasar, Gramedia, 1994, hal. 11-22
2) Arthur K. Bierman & Robin N. Assali, The Critical Thinking Handbook, Prentice Hall,
New Jersey, 1996, hal. 145-180,
Pertemuan Ketigabelas
Pokok Bahasan : Silogisme/argumen kategoris (deduktif)
Sub pokok bahasan : Arti silogisme/argumen
Prinsip-prinsp silogisme/argumen
Hukum-hukum silogisme/argumen kategoris
Tik:
Agar para mahasiswa dapat mengaplikasikan prinsip-prinsp dan hukum-hukum silogisme
dalam bernalar/berargumentasi; juga agar para mahasiswa dapat menunjukkan sahih-
tidaknya sebuah silogisme/argumen.
Sumber:
1) Embu Henriquez, Logika, (diktat), hal.49-67
2) R.G. Soekadijo, Logika Dasar, Gramedia, 1994, hal. 40-61
3) Mark B. Woodhouse, 2000, hal. 81-116
Pertemuan Keempatbelas
Pokok Bahasan : Silogisme/argumen hipotetis
Sub pokok bahasan : Silogisme hipotetis kondisional
Silogisme hipotetis disyungtif
Silogisme hipotetis konyungtif
Tik:
Supaya para mahasiswa dapat menjelaskan bentuk-bentuk silogisme hipotetis, dan
sekaligus dapat mengaplikasikan hokum-hukum silogisme ini dalam penalaran dan
argumentasi.
Sumber:
1) Embu Henriquez, Logika (diktat), hal. 75-81
2) Mark B. Woodhouse, 2000, hal. 81-116
Pertemuan Kelimabelas
Pokok Bahasan : Argumen induktif
Sub Pokok bahasan : Arti induksi
Ciri-ciri penalaran induktif
Generalisasi dalam penalaran induktif
Analogi induktif
Sebab-akibat
Tik:
Supaya para mahasiswa dapat menjelaskan arti induksi, dan bentuk penalaran induktif;
juga agar para mahasiswa dapat menjelaskan kelemahan dari penalaran induktif.
Sumber:
R.G. Soekadijo, Logika Dasar, Gramedia, 1994, hal. 131-178
Pertemuan Keenambelas : UAS
Daftar Pustaka
Bertens, K. (1995). Pengantar Filsafat (Diktat kuliah di Unika Atma Jaya-Jakarta)
_________ (1999). Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarat: Kanisius
_________ (2005). Panorama Filsafat Modern. Jakarta: Teraju
Bierman Arthur K.& Robin N. Assali (1996). The Critical Thinking Handbook.
New Jersey: Pretince Hall
Haton, Y.P. (1999). Logika Prinsip-Prinsip Bernalar Tepat, Lurus dan Teratur.
Jakarta: ISTN
Henriquez, Embu (1996). Logika (diktat kuliah di Unika Atma Jaya – Jakarta)
Keraf, Sonny A. & Mikhael Dua (2001). Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan filosofis.
Jogyakarta: Kanisius.
Littlejohn,Stephen W. (1999) Theories of Human Communication. New Mexico:
Wadsworth Publishing Company.
Magnis-Suseno, Franz (1991). Berfilsafat Dari Konteks. Jakarta: Gramedia
Shah, A.B. (1986). Metodologi Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Soekadijo, R. M. (1994). Logika Dasar. Jakarta: Gramedia
Suriasumantri, Jujun S. (2002) Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Woodhouse, Mark B. (2000). Berfilsafat Sebuah Langkah awal. Jogyakarta: Kanisius.
111. Soal dan Latihan Logika
3.1. Mengenai Term dan Pengertian
1). Tuhan itu maha baik. DIA menerbitkan matahari dan menurunkan hujan untuk
orang saleh maupun untuk orang berdosa. Pasangan kata yang bergaris bawah
(baik) dalam kalimat di atas digunakan dalam arti:
A. ekuivokal
B. univocal
C. analogis
D. sinonim
2). Makanan itu rasanya tidak bisa ditelan bila saya mengenang kembali ratusan ribu
nyawa manusia yang ditelan gelombang tsunami di daerah istimewa Aceh belum
lama ini. Pasangan kata yang digarisbawahi dalam kalimat di atas digunakan
dalam arti mana?
A. ekuivokal
B. analogis
C. univocal
D. Tunggal
3). Kalau disusun dari pengertian yang isinya paling padat (besar) ke pengertian
yang isinya paling sedikit (kecil), maka pengertian (1) perhiasan emas, (2) logam,
kalung emas, (4) logam mulia, (5) benda, (6) benda padat, harus diurutkan
sebagai berikut:
E. (1), (3), (4), (2), (6), (5).
F. (6), (5), (2), (4), (1), (3).
G. (3), (1), (4), (2), (6), (5).
H. (2), (4), (1), (3), (5), (6).
4). Dari kelompok pengertian-pengertian: kursi, tempat duduk, kursi malas, perabot
rumahtangga, dan alat, manakah yang merupakan atasan terdekat (genus
proximum) dari pengertian kursi?
A. Perabot rumahtangga
B. Kursi malas
C. Alat
D. Tempat duduk
5) Banyak anggota DPR-RI yang namanya tidak tercantum lagi dalam daftar caleg
sebenarnya tidak menolak bila dicalonkan lagi.
Luas term subyek dari proposisi di atas adalah:
A. Universal
B. Partikular
C. Distributif
D. Singular
6) Kesebelasan Persija Jakarta mengalami kekalahan melawan kesebelasan Persib
Bandung pada pertandingan final sepak bola PON ke-14 yang lalu.
Luas term subyek dan sifat term subyek dari proposisi di atas adalah:
A. Singular distributif
B. Universal distributif
C. Partikular kolektif
D. Universal kolektif
3.2. Mengenai fungsi bahasa dan definisi
1) Pernyataan “Demi menghindari bahaya terkena lemparan batu, para
penumpang KA Argobromo dimohon untuk tidak membuka sedikitpun
jendela KA selama perjalanan dari Jakarta menuju Surabaya” merupakan
ungkapan bahasa:
A. Ekspresif
B. Persuasif
C. Praktis
D. Performatif
2) “Pepsodent membuat gigi anda terlindungi dari kuman selama 12 jam.”
Fungsi bahasa seperti apakah yang digunakan dalam ungkapan di atas ini?
A. Ekspresif
B. Informatif
C. Persuasif
D. Logis
3) “Jika jarak Jakarta-Surabaya 1100 km, dan anda pergi ke Surabaya dengan
mengendarai mobil kijang, dan setiap 11 km perjalanan anda membutuhkan
satu liter bensin, maka untuk menempuh perjalanan Jakarta-Surabaya anda
membutuhkan besin sebanyak 100 liter.” Fungsi bahasa yang digunakan
dalam kalimat di atas adalah fungsi:
A. Ekspresif
B. Persuasif
C. Seremonial
D. Logis
4) Air adalah zat yang terbentuk dari persenyawaan antara dua atom Hidrogen
dan satu atom oksigen. Pernyataan ini termasuk jenis definisi…
A. Sinonim
B. Etimologis
C. Deskriptif
D. Kausal
5) Semua definisi ini termasuk definisi yang benar, kecuali:
A. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh nyamuk anopheles
B. Moralitas adalah orang yang melakukan perbuatan baik ditinjau dari sudut
etika.
C. Arloji adalah suatu mekanisme untuk menunjukkan waktu
D. Mahasiswa adalah orang yang sedang menjalani tugas belajar di perguruan
tinggi.
6) Manakah dari keempat definisi di bawah ini yang melanggar prinsip “harus
ada kesejajaran antara definisi dengan yang didefinisikan”.
A. Harimau adalah binatang buas
B. Kursi adalah bukan bangku
C. Kemerdekaan adalah orang yang hidup dalam keadaan tanpa tekanan dan
paksaan.
D. Manusia adalah mahluk hidup yang memiliki akal budi.
7) “Jujur adalah orang yang bertutur-kata dan bertindak sesuai dengan hati
nuraninya.” Definisi ini salah karena…
A. definiens tidak sungguh-sungguh menjelaskan
B. definiens tidak dapat dibolak-balikkan dengan definiendum
C. definiens tidak bersifat paralel dengan definiendum
D. definiendum terdapat di dalam definiens
3.3. Mengenai kesesatan dalam penalaran
1) “Pria dan wanita muda di desa ini harus ikut serta dalam kegiatan penghijauan
lingkungan.” Apa nama kesesatan bahasa di atas ini?
A. amfiboli
B. metaforis
C. ekuivokasi
D. aksidensi
2) “Saya pikir pendapat pak Hardiman mengenai kemungkinan dibukanya hubungan
diplomatik RI-Israel dapat diterima karena beliau adalah seorang pakar politik
Timur tengah yang sudah sangat teruji.”
Penalaran di atas mengandung kesesatan yang disebut…
A. argumentum ad ignorantiam
B. argumentum ad hominem
C. argumentum ad verecundiam
D. argumentum elenchi
3) “Tawuran antarpelajar yang terjadi akhir-akhir ini berlatarbelakang kecemburuan
sosial.” Apa nama kesesatan penalaran di atas ini?
A. kesesatan karena generalisasi tergesa-gesa
B. kesesatan non causa pro causa
C. kesesatan karena komposisi
D. kesesatan aksidensi
4) Rumah yang baru saja dibangun itu besar. Sudah pasti kamarnya juga besar-besar.
Pernyataan ini termasuk kesesatan…
A. non causea pro causa
B. aksidensi
C. ignorantio elenchi
D. misericordiam
3.4. Hubungan perlawanan antarproposisi
Buatlah perlawanan (subalterna, kontraris, sub-kontraris, dan kontradiktoris) dari
proposisi-proposisi berikut ini.
A. Tidak semua orang jujur itu hidupnya makmur
1) ______________________________________________________ (subalterna)
2) ______________________________________________________ (subkontraris)
3) ____________________________________________________ (kontradiktoris)
4) ________________________________________________________ (kontraris)
B. Tidak ada mahasiswa London School yang tidak bolos kuliah
5) ________________________________________________________(subalterna)
6) ______________________________________________________ (subkontraris)
7) ____________________________________________________ (kontradiktoris)
8) _________________________________________________________ (kontraris)
3.5. Mengenai nilai benar dan salah dari proposisi
Tentukan nilai kebenaran dari proposisi-proposisi berikut ini dengan menulis huruf
B jika benar, dan huruf S jika salah, atau B/S jika bisa benar dan bisa salah.
A. Jika proposisi “Tidak ada binatang yang tidak dapat dijinakan” diketahui
Benar, lalu bagaimana nilai kebenaran dari proposisi-proposisi berikut ini:
1) Semua binatang tidak dapat dijinakkan ( __________________ )
2) Binatang itu, hampir semuanya tidak dapat dijinakkan ( __________________ )
3) Tidak semua binatang tidak dapat dijinakkan ( __________________ )
4) Semua binatang tidak dapat dijinakkan ( __________________ )
B. Jika proposisi “semua orang jujur itu cepat mati” diketahui salah.
Bagaimana nilai kebenaran dari sejumlah proposisi berikut?
1) Orang jujur itu pada umumnya cepat mati ( __________________ )
2) Tidak semua orang jujur itu cepat mati ( __________________ )
3) Tidak ada orang jujur yang cepat mati ( __________________ )
4) Ada orang jujur yang tidak cepat mati ( __________________ )
3.6. Mengenai proposisi, lambang Boole, dan diagram Venn
Tulislah proposisi-proposisi kategoris di bawah ini dalam bentuk lambang Boole dan
diagram Venn. Term subyek dilambangkan dengan S, dan term predikat dengan P.
1) Tidak semua barang buatan luar negeri terjamin kualitasnya
Lambang Boole: Diagram Venn
2) Tidak ada koruptor yang tidak kaya.
Lambang Boole: Diagram venn
3) Ada mahasiswi London School yang bermain sinetron.
Lambang Boole: Diagram Venn
4) Semua orang yang jujur itu bukan pejabat Negara.
Lambang Boole: Diagram Venn
5) Ada mahasiswa yang tidak pernah mengkonsumsi narkoba.
Lambang Boole: Diagram Venn
3.7. Mengenai sahih tidaknya silogisme kategoris
Semua silogisme berikut ini tidak sahih. Para mahasiswa diminta untuk menjelaskan
berdasarkan hukum silogisme kategoris, mengapa tidak sahih. Lalu apa modus dan figur
dari silogisme-silogisme ini?
1) Orang kaya tidak semuanya hidup bahagia
Semua orang desa hidupnya bahagia
Jadi, sebagian orang desa itu bukan orang kaya.
a. Tidak sahih karena _______________________________________
_______________________________________________________
_______________________________________________________
b. Figurnya _______________ c. Modusnya ______________________
2) Semua orang yang mempunyai jabatan adalah orang kaya
Tidak semua orang kaya adalah orang yang jujur
Jadi, sebagian orang yang jujur adalah bukan orang yang mempunyai jabatan
a.Tidak sahih karena ___________________________________________
____________________________________________________________
____________________________________________________________
b. Figurnya ________________ c. Modusnya _______________
3) Ada karyawan London School bergelar sarjana
Tidak semua yang bergelar sarjana itu berpenghasilan tinggi
Jadi, semua yang berpenghasilan tinggi itu bukan karyawan London School
a. Tidak sahih karena ___________________________________________
__________________________________________________________
__________________________________________________________
b. Figurnya ____________________ c. Modusnya ____________________
4) Semua model selalu berpenampilan modis
Ada mahasiswi London School berpenampilan modis
Jadi, sebagian model adalah mahasiswi London School
a. Tidak sahih karena ___________________________________________
__________________________________________________________
__________________________________________________________
b. Figurnya ___________________ c. Modusnya _____________________
5) Semua yang banyak bicara adalah tukang ngibul
Semua politisi di negeri ini banyak bicara
Jadi, semua tukang ngibul adalah politisi
a. Tidak sahih karena ___________________________________________
__________________________________________________________
__________________________________________________________
b. Figurnya ______________________ c. Modusnya __________________
6) Tidak ada koruptor yang tidak dibenci orang
Sebagian pejabat adalah koruptor
Jadi, sebagian yang dibenci orang adalah bukan pejabat
a. Tidak sahih karena ___________________________________________
__________________________________________________________
__________________________________________________________
b. Figurnya _____________________ c. Modusnya ___________________
3.8 Membaca tulisan untuk mencermati isi penalaran yang ada di dalamnya
Berikut ini adalah sebuah tulisan yang secara khusus membahas dan
mempersoalkan masalah tentang argumentasi dan penalaran yang digunakan oleh
seseorang ketika yang bersangkutan menyampaikan pendapatnya tentang sebuah
masalah. Dari judul tulisan, “Argumentasi sang Jenderal”, Ignas Kleden, sang penulis,
mempertanyakan bagaimana inkonsistensinya argumentasi dari jenderal Wiranto, ketika
beliau tampil di media untuk menjelaskan persoalan yang terkait dengan masalah
pelanggaran HAM di Timor Timur pasca jajak pendapat pada tahun 1999.
Argumentasi dan penalaran adalah bagian utama yang menjadi subyek kajian
dalam logika. Melalui tulisan ini, mau dikatakan bahwa logika sesungguhnya bukan
semata sebuah hal yang hanya dipelajari di dalam buku teks, tetapi ia menjadi sesuatu
yang hadir nyata dan menjadi bagian dalam hidup kita sehari-hari ketika kita
berkomunikasi. Ia bisa muncul dalam debat, dsikusi, dialog baik secara langsung maupun
melalui media, juga muncul dalam berbagai tulisan-tulisan baik populer maupun ilmiah.
Lebih jauh adalah dengan membaca tulisan-tulisan seperti ini, para mahasiswa
pun diharapkan untuk bisa mengikuti alur berpikir seseorang maupun argumen-argumen
yang ada di dalamnya.
Argumentasi Sang Jenderal
(Ignas Kleden)
Mudurnya Jenderal Wiranto untuk sementara dari jabatan Menko Polkam membawa suatu
perkembangan perkembangan lain bagi dirinya sebagai orang “bintang” radio dan televisi dengan
penampilan yang impresif. Tidak mustahil banyak simpati yang diberikan kepadanya setelah dia
memberikan berbagai wawancara. Yang penting untuk perkembangan politik ialah bahwa dengan
ini dimulai suatu tradisi akuntabilitas politik yang selama ini dituntut. Wiranto tampil, dan
wartawan tanpa sungkan boleh menanyakan segala sesuatunya menyangkut dugaan
keterlibatannya (sebagai Panglima ABRI waktu itu) dalam pelanggaran HAM di Timor Timur
menjelang dan sesudah referendum.
Tulisan ini mencoba memberi apresiasi kepada berbagai hal yang diungkapkan Wiranto dalam
wawancara radio dan televisi. Beberapa kritik yang diajukan di sini tidak bermaksud lain dari
memberikan substansi kepada apresiasi itu, karena akuntabilitas barulah mecapai maknanya kalau
apa yang diungkapkan secara publik dihargai melalui tanggapan yang bersifat publik pula.
Penulis tidak mempunyai banyak kompetensi untuk mengevaluasi berbagai data yang
disampaikan secara amat kronologis oleh Wiranto. Sebaliknya, pihak lain yang mempunyai data
tandingan dapat ditampilkan dalam suatu panel diskusi dengan Wiranto supaya publik
mendapatkan bahan perbandingan. Dilihat secara sepintas lalu, tentu amat mengesankan bahwa
4.000 orang asing semuanya aman dan terlindungi selama referendum dan tak seorang pun
mengalami cedera.
Suatu pertanyaan sentral yang berulangkali diajukan adalah apakah TNI sebagai suatu institusi
mempunyai keterlibatan dalam pelanggaran HAM di Timor Timur pada saat itu. Wiranto
memberikan jawaban yang hampir-hampir bersifat baku terhadap pertanyaan itu. Bahwa
sekalipun ada orang-perorangan yang terlibat, dan hal itu memang terbukti dan diakui oleh
Wiranto sendiri, namun penyelewengan itu harus dipandang sebagai penyelewengan orang-
perorangan dan tidak bisa dikaitkan dengan kenyataan bahwa mereka anggota suatu pranata
bernama TNI.
Alasan untuk argumen ini pun dikemukakan dengan relatif jelas. Bahwa dalam suatu operasi
militer tedapat berbagai jenjang pengambilan keputusan. Keputusan tertinggi berada pada
pimpinan, yang kemudiaan diterjemahkan secara operasional pada tingkat di bawah, yang
kembali diterjemahkan secara taktis pada jenjang yang lebih ke bawah lagi, dan akhirnya
diterjemahkan secara teknis dalam pelaksanaan di lapangan. Kalau terjadi penyelewengan pada
tingkat lapangan dalam pelaksanaan teknisnya, hal ini harus dipandang sebagai kekeliruan atau
penyelewengan perorangan dalam menterjemahkan keputusan dari atas. Mereka harus dipandang
secara orang-perorangan dan tidak bisa digeneralisasi sebagai representasi dari institusi TNI.
Argumen ini kelihatannya masuk akal dan sepintas lalu memperlihatkan (untuk meminjam
vocabulary para fenomenolog) suatu plausibility structure yang tinggi,tetapi menimbulkan pada
diri saya beberapa kesulitan secara logis. Pertama, apakah semua penyelewengan yang terjadi
oleh para anggota TNI harus diasumsikan hanya terjadi pada tingkat pelaksanaan teknis, atau
dapat juga merupakan akibat salah terjemahan/salah interpretasi pada tingkat taktis dan bahkan
pada tingkat operasional? Kalau kesalahan ini tejadi pada jenjang yang lebih tinggi, apakah ini
pun masih dapat dinamakan kesalahan perorangan atau dapat dianggap sebagai kesalahan
institusi?
Pertanyaan ini perlu diajukan karena semua tahu bahwa garis komando militer selalu berjalan dari
atas ke bawah. Bisa diandaikan pula di sini bahwa dalam komando militer, kejelasan dan
eksplisitnya suatu perintah harus cukup terjamin untuk mengeliminasikan sejauh ungin makna
ganda dalam perintah tersebut yang dapat memberi peluang bagi interpretasi lain dari yang
dikehendaki oleh pemberi komando. Oleh karena itu, kalau terjadi suatu tindakan yang melangar
HAM pada tingkat lapangan, apakah hal itu terjadi karena para prajurit di lapangan telah dengan
sengaja menyelewengkan perintah itu, atau karena tidak jelasnya perintah yang diberikan?
Kemungkinan apa saja yang diambil tetap saja timbul kesulitan dalam menjawab pertanyaan ini.
Kalau diambil kemungkinan bahwa para prajurit telah melakukan penyelewengan, dan
penyelewengan ini dilakukan karena mereka dengan sengaja elah melanggar perintah ataupun
karena mereka tidak mampu memahami perintah, maka patut dipersoalkan kualitas pembinaan
dan pendidikan para prajurit kita selama ini. Kalau untuk meahami perintah komandannya saja
mereka mengalami kesulitan, apakah mereka telah memenuhi syarat minimal untuk menjadi
prajurit (atau sebaliknya, apakah para komandan sudah cukup terlatih dengan baik sehingga dapat
emberi perintah yang tidak disalahtafsirkan)?
Demikian juga kalau penyelewengan terjadi karena para prajurit di lapangan telah dengan sengaja
melanggar perintah yang diberikan oleh komandannya, maka patutlah dipersoalkan disiplin
ketaatan dalam pendidikan militer kita. Bagi orang luar, belum pernah terdengar bahwa dalam
militer dimungkinkan military disobedience. Mungkin hanya dalam militerlah berlaku asas
Gehorsamkeit ist blinde Gehorsamkeit (taat berarti taat secara buta).
Kalau diambil kemungkinan kedua bahwa perintah komandan kurang jelas dan kurang eksplisit
sehingga dapat memberi peluang untuk tafsiran ganda, maka apakah “cacat” dalam perintah dan
komando ini tetap saja dianggap sebagai kesalahan orang-perorang, padahal kesalahan itu
mungkin saja terjadi pada tingkat taktis, operasioal dan bahkan pada tingkat strategis? Demikian
juga kalau terbukti bahwa perintah yang diberikan itu tidak jelas, maka bukankah pemberi
perintah itu yang selayaknya dihukum dan bukannya para prajurit yang melaksanakan perintah
tersebut?
Kesulitan kedua adalah bahwa seakan-akan ada asimetri logis dalam argumentasi seperti ini.
Kalau kesalahan yang terjadi dalam pelaksanaan teknis di lapangan per definisi harus dianggap
sebagai kesalahan orang per orang maka di mana letak tanggung jawab TNI sebagsi Lembaga?
Pertanyaan ini menyangkut etika kelembagaan dan oraganisasi. Kalau prajurit di lapangan
melakukan kesalahan maka mereka bagaika dicopot dari afiliasinya dengan lembaganya,
sedangkan kalau mereka berhasil melaksanakan tugas maka TNI amat berbangga menghasilkan
prajurit-prjurit yang teguh dan berdedikasi tinggi.
Dengan singkat, kalau mereka baik, mereka adalah anggota institusi, sedangkan kalau mereka
bersalah maka mereka adlah orang-perorangan. Hal ini kebetulan sedang menimpa TNI dan
Jenderal Wiranto, teta[pi merupakan suatu pertanyaan yang menyangkut banyak Lembaga politik
kita yang lain. Sejauh mana suatu Lembaga turut bertanggung jawab terhadap kesalahan
amggotanya, kalau kesalahan itu dilakukan dalam tugasnya sebagai anggota Lembaga tersebut.
Apakah ada teori yang sanggup memenarkan institutional infallibility dengan konsekuensi yang
amat aneh dalam kenyyataannya?
Dengan asumsi seperti ini, institusi selalu dianggap benar (the institution can do no wrong),
sedangkan kesalahan anggotanya akan dianggap bersifat non-institusional dan hanya bersifat
individual. Akan tetapi, asumsi ilmu pemerintahan tentang can do no wrong adalah sisi lain dari
can do no right. Raja dan ratu Inggris dianggap can do no wrong karena tidak mempunyai
kekuasaan apa pun dalam pemerintahan, selain hak-hak simbolis dan seremonial. Jadi, kalau TNI
sebagai institusi dianggap selalu tidak terlibat dalam kesalahan dan penyelewengan para
anggotanya di lapangan (karena ini adalah kesalahan orang-perorangan), maka selayaknya TNI
sebagai institusi juga tidak bisa mengklaim keberhasilannya, kalau para prajuritnya dapat
menjalankan semua perintah dengan ketepatan tinggi, dedikasi yang total, dan keahlian yang
andal (karena semua ini harus juga dianggap sukses orang-perorangan ). Akan tetapi, kalau ini
yang terjadi apalagi yang dapat mejadi dasar bagi eksistensi TNI sebagai institusi?
Dalam kenyataannya, kita semua tahu bahwa pimpinan TNI mempunyai wewenang penuh kepada
para bawahannya. Menurut padangan dan harapan saya, barangkali dalam militerlah seharusnya
berlaku secara tegas etos noblese oblige yang merupakan sistem nilai yang membimbing tingkah
laku para aristokrat zaman dahulu dan membuatnya menjadi seorang gentleman.
Dalam sistem nilai feodal (di Eropah dan Jepang misalnya) yang telah mencapai tahapan
aristokrasi yang matang, seorang pimpinan bertanggung jawab terhadap kesalahan anak-buahnya,
dan sebaliknya memberikan kredit penuh kepada anak-buahnya kalau yang terakhir ini mencapai
suatu prestasi. Hal ini dilakukan sebagai tanda bahwa para aristokrat itu bukanlah hanya pemilik
tanah, pemilik status dan berbagai gelar kehormatan, tetapi juga pemimpin politik dari orang-
orang yang berada dalam kekuasaannya. Secara analog, seorang bapak atau ibu amat berbangga
kalau anaknya menjadi juara di sekolah, atau mendapat hadiah dalam perlombaan musik dan
olahraga, tegtapi kalau anaknya terlibat narkotik lalu melepaskan tanggung jawab dengan
mengatakan bahwa si anak sendirilah yang harus bertangung jawab, karena dia telah
mengabaikan bimbingan dan nasihat orang tua, maka anak itu (dan kita semua juga) akhirnya
tahu orang tua macam mana yang sedang kita hadapi.
Sebetulnya, pola ini bukanlah suatu hal yang luar biasa, melainkan konsekuensi logis belaka dari
kepemimpinan. Seorang pimpinan bertanggung jawab terhadap orang-orang bawahannya, for
better or for worse. Akan menjadi sangat lucu kalau pimpinan merasa bertanggung jawab kalau
bawahannya berkelakuan baik, berdisiplin tinggi, dan memperlihatkan prestasi yang meyakinkan,
tetapi kemudian tidak bertanggung jawab lagi kalau bawahannya bertindak slebor, kacau
disiplinnya, dan gagal dalam semua tugas yang dipercayakan kepada mereka. Untuk meminjam
Jenderal Wiranto, selama bawahan bertindak disiplin dan berprestasi, mereka adalah bagian
institusi, dan pada saat mereka menyeleweng dan melakukan pelanggaran Ham, mereka adalah
orang-perorangan.
Mudah-mudahan jelas bagi pembaca bahwa tulisan ini sama sekali tidak mempersoalkan materi
data yang diperdebatkan dalam pelangaran HAM di Timor Timur (yang berada di luar
kompetensi penulis ini). Yang menjadi fokus uraian adalah caranya seorang pimpinan
memandang tanggung jawab terhadap mereka yang dipimpin. Adalah hal yang perlu disyukuri
bahwa Jenderal Wiranto telah berani tampil di depan publik untuk memberikan beberapa
pertanggungjawaban mengenai perannya sendiri dan peran TNI dalam masa menjelang dan
sesudah referendum.
Penampilan Wiranto kemudian mengungkapkan suatu pola pikir yang menurut pendapat saya
amat dominan dalam subkultur kepemimpinan kita selama Orde baru, yang tidak mustahil masih
berakar dalam pikiran banyak pimpinan kita pada masa sekarang, yaitu bahwa institusi dan
pemimpin institusi can do no wrong dan yang bersalah hanyalah oknum-oknum. Kalau pola ini
tidak diubah, maka yang kita dapati dalam negara kita bukan lagi para pemimpin, melainkan
hanya pialang kekuasaan yang menghubungkan pihak penguasa yang lebih tinggi dengan orang-
orang yang berada di bawah. Pola kepemimpinan ABS (asal bapak senang) sebetulnya hanya
nama lain dari kecenderungan ABB (asal bapak benar). Cara untuk memantapkannya dengan
menggiring semua kredit dan prestasi ke atas (seperti upeti) dan mendorong semua kesalahan dan
tanggung jawab (sebagai beban) ke lapisan yang lebih bawah.
Pola ini bukan saja bersifat ademokratis, melainkan anti-demokratis. Dalam demokrasi,
kekuasaan berasal dari bawah dan berjalan ke atas. Oleh karena itu, secara logis, tanggung jawab
harus berjalan dari atas ke bawah, karena pemimpin adalah sekaligus bawahan dari rakyatnya.*
(diambil dari Ignas Kleden Menulis Politik: INDONESIA SEBAGAI UTOPIA, Penerbit buku
KOMPAS, 2001)
Tugas:
Susunlah ulang secara ringkas dan sistematis:
1) pendapat Wiranto dan argumen/alasan pendukung
2) Kritik Ignas Kleden atas pandangan Wiranto disertai dengan
argumen pendukung.
Daftar Pustaka
Bertens, K. (1995). Pengantar Filsafat (Diktat kuliah di Unika Atma Jaya-Jakarta)
_________ (1999). Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarat: Kanisius
_________ (2005). Panorama Filsafat Modern. Jakarta: Teraju
Bierman Arthur K.& Robin N. Assali (1996). The Critical Thinking Handbook.
New Jersey: Pretince Hall
Haton, Y.P. (1999). Logika Prinsip-Prinsip Bernalar Tepat, Lurus dan Teratur.
Jakarta: ISTN
Henriquez, Embu (1996). Logika (diktat kuliah di Unika Atma Jaya – Jakarta)
Keraf, Sonny A. & Mikhael Dua (2001). Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan filosofis.
Jogyakarta: Kanisius.
Littlejohn,Stephen W. (1999) Theories of Human Communication. New Mexico:
Wadsworth Publishing Company.
Magnis-Suseno, Franz (1991). Berfilsafat Dari Konteks. Jakarta: Gramedia
Shah, A.B. (1986). Metodologi Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Soekadijo, R. M. (1994). Logika Dasar. Jakarta: Gramedia
Suriasumantri, Jujun S. (2002) Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Woodhouse, Mark B. (2000). Berfilsafat Sebuah Langkah awal. Jogyakarta: Kanisius.
PERTEMUAN PERTAMA : POKOK BAHASAN INTRODUKSI (BAGIAN 1)
A. PENGERTIAN FILSAFAT :
1). FILSAFAT ADALAH BAGIAN DARI HUMANIORA (BAHASA LATIN
HUMANUM = MEMANUSIAWIKAN MANUSIA) ATAU ILMU-ILMU YANG
DIANGGAP MEMPUNYAI TUJUAN MEMBUAT MANUSIA LEBIH
BERBUDAYA.
SELAIN FILSAFAT BEBERAPA ILMU-ILMU LAIN YANG TERMASUK
DALAM HUMANIORA ADALAH TEOLOGI, ILMU HUKUM, ILMU
SEJARAH, FIOLOGI (ILMU YANG MEMPELAJARI BAHASA DALAM
BENTUK TEKS), ILMU BAHASA, KESUSASTRAAN, DAN KESENIAN.
2). SECARA ETIMOLOGIS (ASAL USUL KATA) :
FILSAFAT BERARTI MENCINTAI (PHILO), KEBENARAN (SOPHIA).
JIKA DIPAHAMI DALAM BENTUK KATA KERJA ADALAH SEBUAH
PROSES MENCINTAI KEBENARAN. SUATU DORONGAN DAMBAAN
YANG TERUS MENERUS UNTUK MENCARI KEBENARAN.
SINGKATNYA FILSAFAT ADALAH ILMU YANG BERUPAYA MENCARI
“YANG PALING AKHIR”, “ YANG PALING DALAM”, “YANG PALING
BENAR”.
3). FILSAFAT SECARA TERMINOLOGI
ADALAH ARTI YANG DIKANDUNG OLEH ISTILAH FILSAFAT.
A). MENURUT PLATO :
PENGETAHUAN YANG MENCOBA UNTUK MENCAPAI PENGETAHUAN
TENTANG KEBENARAN YANG ASLI.
B). MENURUT ARISTOTELES :
ILMU (PENGETAHUAN) YANG MELIPUTI KEBENARAN YANG DI
DALAMNYA TERKANDUNG ILMU-ILMU METAFISIKA, LOGIKA,
RETORIKA, ETIKA, EKONOMI, POLITIK, DAN ESTETIKA (FILSAFAT
KEINDAHAN).
C). MENURUT AL FARABI :
ILMU (PENGETAHUAN) TENTANG HAKIKAT BAGAIMANA ALAM
MAUJUD YANG SEBENARNYA.
D). MENURUT RENE DESCARTES :
KUMPULAN SEMUA PENGETAHUAN DI MANA TUHAN, ALAM, DAN
MANUSIA MENJADI POKOK PENYELIDIKAN.
E). MENURUT EMMANUEL KANT :
ILMU (PENGETAHUAN) YANG MENJADI PANGKAL DARI SEMUA
PENGETAHUAN YANG ADA DI DALAMNYA TERCAKUP MASALAH
EPISTEMOLOGI (FILSAFAT PENGETAHUAN) YANG MENJAWAB
PERSOALAN APA YANG DAPAT KITA KETAHUI.
F). MENURUT LANGEVELD:MAHAGURU RIJKS-UNIVERSITEIT UTRECHT:
BEPIKIR TENTANG MASALAH-MASALAH YANG AKHIR DAN YANG
MENENTUKAN, YAITU MASALAH-MASALAH MENGENAI MAKNA
KEADAAN, TUHAN, KEABADIAN, DAN KEBEBASAN.
G). HASBULLAH BAKRY :
ILMU YANG MENYELIDIKI SEGALA SESUATU DENGAN MENDALAM
MENGENAI KETUHANAN, ALAM SEMESTA JUGA MANUSIA
SEHINGGA BISA MENGHASILKAN PENGETAHUAN TENTANG
BAGAIMANA HAKIKATNYA SEJAUH YANG DAPAT DICAPAI AKAL
MANUSIA DAN BAGAIMANA SIKAP MANUSIA SEHARUSNYA SETELAH
MENCAPAI PENGETAHUAN ITU.
H). N. DRIYAKARA :
FILSUF INDONESIA INI BERPENDAPAT BAHWA FILSAFAT
PERENUNGAN YANG SEDALAM-DALAMNYA TENTANG SEBAB-SEBAB
“ADA DAN BERBUAT”, PERENUNGAN TENTANG KENYATAAN
(REALITY) YANG SEDALAM-DALAMNYA SAMPAI KE “MENGAPA
YANG PENGHABISAN”.
I). NOTONEGORO :
ILMU YANG MENELAAH TENTANG HAL-HAL YANG MENJADI
OBYEKNYA DARI SUDUT INTINYA YANG MUTLAK DAN YANG
TERDALAM, YANG TETAP DAN YANG TIDAK BERUBAH, YANG
DISEBUT HAKIKAT.
B). OBYEK FILSAFAT
OBYEK ADALAH SESUATU YANG MERUPAKAN BAHAN DARI SUATU
PENELITIAN ATAU PEMBENTUKAN ILMU PENGETAHUAN PASTI
MEMPUNYAI OBYEK. YANG DIBEDAKAN MENJADI DUA, YAITU OBYEK
MATERIAL DAN OBYEK FORMAL.
1). OBYEK MATERIAL ADALAH SUATU BAHAN YANG MENJADI
TINJAUAN PENELITIAN ATAU PEMBENTUKAN PANGETAHUAN ITU.
OBYEK MATERIAL JUGA ADALAH HAL YANG DISELIDIKI,
DIPANDANG ATAUPUN DISOROT OLEH SUATU DISIPLIN ILMU,
OBYEK MATERIAL MENYANGKUT APA SAJA, BAIK HAL-HAL YANG
KONGKRIT MAUPUN YANG ABSTRAK.
2). OBYEK FORMAL FILSAFAT ADALAH : SUDUT PANDANG YANG
DITUJUKAN PADA BAHAN DARI PENELITIAN ATAU PEMBENTUKAN
PENGETAHUAN ITU, ATAU SUDUT DARI MANA OBYEK MATERIAL
ITU DISOROT. OBYEK FORMAL SUATU ILMU TIDAK HANYA
MEMEBERI KEUTUHAN SUATU ILMU, TETAPI PADA SAAT YANG
SAMA MEMBEDAKAN DARI BIDANG-BIDANG LAIN.
CONTOHNYA : OBYEK MATERIALNYA ADALAH “MANUSIA” DAN
MANUSIA INI DITINJAU DARI BERBAGAI SUDUT
PANDANGAN SEHINGGA MENIMBULKAN ILMU YANG
BERBEDA-BEDA SEHINGGA ADA BEBERAPA ILMU
YANG MEMPELAJARI MANUSIA DIANTARANYA :
PSIKOLOGI, ATRIPOLOGI, SOSIOLOGI DAN
SEBAGAINYA.
C. METODE FILSAFAT
METODE (BAHASA YUNANI METODIS = JALAN YANG DITEMPUH/
YANG DIIKUTI TERUS). FILSAFAT SULIT DIUNGKAPKAN SECARA
KONGKRET BERSIFAT EMPIRIS SEPERTI ILMU PENGETAHUAN.
FILSAFAT BERSIFAT META EMPIRIS (MELEBIHI FAKTA), MISALNYA
FILSAFAT MEMPERTANYAKAN APAKAH KEHENDAK MANUSIA ITU
BEBAS?, APAKAH JIWA MANUSIA ITU ADA?, SECARA EMPIRIS ILMU
KEDOKTERAN TAK PERNAH MENEMUKAN JIWA MANUSIA YANG
DIPERIKSA DENGAN SEKSAMA SEKALIPUN MALALUI TUBUH
MANUSIA YANG EMPIRIS ITU. ATAU PERTANYAAN FILSAFAT INI
“HARUSKAH ADA BADAN SENSOR DALAM MASYARKAT YANG
BEBAS? TAK DAPAT DIJAWAB DENGAN METODE EMPIRIS.
MESKIPUN DEMIKIAN METODE FILSAFAT BERSIFAT SISTEMATIS,
YAITU MEMBERI TUJUAN YANG MENYELURUH, BUKAN YANG
SEPOTONG-POTONG. ADA AWAL, ADA LANGKAH-LANGKAH
MENURUT URATAN TERTENTU DAN ADA AKHIRNYA.
D. CABANG FILSAFAT : (KERAF DAN DUA, 2000 : 19)
SECARA UMUM DIBEDAKAN MENJADI LIMA CABANG YAITU:
1) METAFISIKA ATAU ILMU TENTANG YANG ADA SEBAGAI ADA
(CAANG INI BERBICARA MENGENAI REALITAS BAGAIMANA
ADANYA)
2) EPISTIMOLOGI ATAU FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN
3) ETIKA ATAU FILSAFAT MORAL YANG BERBICARA BAIK
BURUKNYA PRILAKU MANUSIA
4) LOGIKA BERBICARA MENGENAI BAGAIMANA BERPIKIR SECARA
TEPAT
5) ESTETIKA ATAU FILSAFAT SENI YANG BERBICARA TENTANG
KEINDAHAN
E. SEJARAH FILSAFAT : (BERTENS, DIKTAT KULIAH PENGANTAR
FILSAFAT HAL 9) :
ADA EMPAT PERIODE FILSAFAT BARAT :
1) ZAMAN YUNANI DAN ROMAWI KUNO :
FILSAFAT LAHIR DI YUNANI KUNO ABAD KE - 6 S.M. JADI UMUM
FILSAFAT SEKARANG INI SUDAH MENDEKATI 26 ABAD. NAMA-
NAMA BESAR FILSUF ZAMAN INI : SOKRATES (469-399 SM), PLATO
(427-348 SM), ARISTOTELES (384-322 SM), DAN PLOTINOS (203/4 – 269/70)
2) ABAD PERTENGAHAN MELIPUTI ABAD 9 SAMPAI ABAD 14. DALAM
PERIODE INI FILSAFAT ARAB DENGAN AGAMA, MULA-MULA
DENGAN AGAMA ISLAM DENGAN DUA TOKOH PENTING YAITU: IBN.
SINA (980-1037) DAN IBN RUSHD DENGAN DUA TOKOH PENTING
SEPERTI THOMAS AQUINUS (1225-1274)
3) ZAMAN MODERN
ZAMAN MODERN MULAI DENGAN PERIODE YANG DISEBUT
“RENAISSNCE” MULAI ABAD 15 DAN 16. TETAPI FILSAFAT MODERN
DALAM ARTI SEBENARNYA BARU MULAI ABAD 17 YANG DITANDAI
DENGAN PEMIKIRAN SEORANG TOKOH PERANCIS BERNAMA RENE
DESCARTES (1596-1650) DENGAN UCAPANNYA YANG TERKENAL
“AKU BERPIKIR MAKA AKU ADA” ADA BANYAK TOKOH
SELANJUTNYA YAITU EMMANUEL KANT (1724-1804), LALU DARI
ABAD 18 ADALAH HEGEL (1770-1831) DAN MARX (1818-1883).
4) FILSUF ABAD 20 :
FILSAFAT ABAD 20 YANG DISEBUT FILSAFAT KONTEMPORER,
DIMANA DIDALAMNYA TERMASUK POST MODERNISME BIASANYA
DIBAHAS TERSENDIRI.
PERTEMUAN KEDUA :
POKOK BAHASAN INTRODUKSI (BAGIAN 2)
SUB POKOK BAHASAN :
1. KESAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA FILSAFAT ILMU DAN ILMU
PENGETAHUAN
ADA TIGA CIRI PENTING ILMU PENGETAHUAN
A. RASIONAL : DIDASARKAN PADA RASIO. FILSAFAT SAMA SEPERTI
ILMU PENGETAHUAN, BUKAN PADA EMOSI ATAU
PERASAAN.
ADA TIGA HAL YANG BERLAKU UNTUK SETIAP URAIAN RASIONAL
YAITU:
APA YANG BERSIFAT RASIONAL HARUS DAPAT DIMENGERTI,
JIKA TIDAK DAPAT DIMENGERTI DISEBUT IRASIONAL.
APA YANG BERDASARKAN RASIO HARUS LOGIS SESUAI HUKUM-
HUKUM LOGIKA.
APA YANG BERDASARKAN RASIO HARUS TERBUKA TERHADAP
KRITIK DAN TIDAK BERSIFAT RASIONAL.
B. METODIS (MEMPUNYAI METODE) BAIK FILSAFAT MAUPUN ILMU
PENGETAHUAN MEMILIKI METODE, HANYA SAJA METODENYA
BERBEDA YAITU : METODE ILMU PENGETAHUAN ADALAH EMPIRIS,
SEDANGKAN METODE FILSAFAT BERSIFAT META EMPIRIS DAN
JUGA NON EMPIRIS.
C. SISTEMATIS YAITU YANG MEMBERIKAN URAIAN YANG
MENYELURUH, TIDAK SEPOTONG-POTONG (FRAGMATARIS),
MESKIPUN SIFATNYA SISTEMATIS LEBIH TERLIHAT PADA ILMU
PENGETAHUAN DARIPADA FILSAFAT.
2. KESAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA FILSAFAT DENGAN AGAMA
ANTARA LAIN :
KESAMAAN : BAIK AGAMA MAUPUN FILSAFAT MENGANDUNG SUATU
PANDANGAN YANG MENYELURUH TENTANG MAKNA
KEHIDUPAN MANUSIA, TENTANG ASAL USUL DAN
TUJUAN DUNIA, TENTANG SEGALA SESUATU YANG ADA,
BAIK YANG KELIHATAN MAUPUN YANG TIDAK DAPAT
DILIHAT.
PERBEDAAN : FILSAFAT BERDASARKAN RASIO BELAKA, SEDANGKAN
AGAMA BERDASARKAN KEIMANAN.
KEBENARAN FILSAFAT DIPEROLEH DENGAN AKAL BUDI
SEDANGKAN KEBENARAN DALAM AGAMA BERASAL
DARI WAHYU YANG MELAMPAUI AKAN AKAL BUDI.
RASIO DIPAKAI JUGA UNTUK MENGOLAH DAN MENDALAMI KEIMANAN
SEPERTI DALAM TEOLOGI.
B. HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN AGAMA :
FILSAFAT DAN AGAMA ATAU BERSAHABAT ATAU BERMUSUHAN
SATU SAMA LAIN, TAK PERNAH BERADA DALAM HUBUNGAN
NETRAL.
TEOLOGI MENGGUNAKAN HASIL PEMIKIRAN FILSAFAT UNTUK
MEREFLEKSIKAN IMANNYA.
TEOLOGI HANYA DIPRAKTEKKAN UNTUK OLEH ORANG
BERIMAN, SEDANGKAN BERFILSAFAT DAPAT DIPRAKTEKKAN
OLEH SEMUA ORANG, YANG AGNOTIS MAUPUN ATEIS.
HUBUNGAN FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN :
A. FILSAFAT MENYELIDIKI DASAR DAN LATAR BELAKANG YANG
TIDAK DIPERHATIKAN OLEH ILMU PENGETAHUAN KARENA TIDAK
TERMASUK TUGAS ILMU PENGETAHUAN.
PADA SAAT ILMU PENGETAHUAN BERHENTI PADA SUATU
KESIMPULAN, DAN FILSAFAT MELANGKAH LEBIH JAUH.
MISALNYA FILSAFAT MEMPERTANYAKAN APA ITU
MATEMATIKA?, APA ITU BILANGAN?
B. ILMU PENGETAHUAN EMPIRIS (BAIK ILMU ALAM MAUPUN ILMU
MANUSIA) DAN TEKNOLOGI BERPERAN SANGAT PENTING
SEKARANG INI.
NAMUN TIDAK BISA DISANGKAL BAHWA ILMU PENGETAHUAN
SERING TERKOTAK-KOTAK DALAM SPESIALISASINYA MASING-
MASING YANG SEMAKIN SEMPIT.
ILMUAN HANYA MENYOROTI SEBAGIAN KECIL SAJA DARI
REALITAS.
MISALNYA AHLI PENYAKIT KULIT BERSAMA TEKNOLOGI HANYA
MENYOROTI PERMASALAHAN KULIT MANUSIA, PADALAH
MANUSIA JAUH LEBIH BESAR DAN LEBIH LUAS DARI PADA
SEKEDAR KULITNYA BELAKA.
FILSAFAT DAPAT MEMBANTU ILMU PENGETAHUAN UNTUK
MEMBANTU UNTUK MEMPEROLEH PANDANGAN YANG LEBIH LUAS.
TUBUH MANUSIA KHUSUSNYA KULIT YANG MENJADI OBYEK SPESIALIS
KULIT. BAGI FILSAFAT IALAH TUBUH “KU”, TUBUH SESEORANG,
TUBUH YANG KONGKRIT, BUKAN TUBUH PADA UMUMNYA.
KARENA ITU FILSAFAT MERUPAKAN MITRA DIALOG DENGAN ILMU-
ILMU EMPIRIS DALAM KERJA SAMA MULTIDISIPLINER ATAU
INTERDISIPLINER.
PERTEMUAN KETIGA :
POKOK BAHASAN : PENGANTAR FILSAFAT
ILMU PENGETAHUAN.
SUB POKOK BAHASAN :
1. PENGETAHUAN & ILMU PENGETAHUAN
A. MEMBUTUHKAN SUBYEK HARUS TERARAH PADA OBYEK
B. OBYEK TERBUKA DAN TERARAH PADA SUBYEK YANG DIKENAL
C. PENGETAHUAN ADALAH PERISTIWA YANG TERJADI DALAM DIRI
MANUSIA
CONTOH :
MANUSIA SENDIRI JASMANI BAGIAN DARI OBYEK DAN MANUSIA
MEMILIKI SUBYEK YAITU JIWA YANG MENGATASI TUBUH
JASMANINYA YANG DISEBUT DENGAN AKAL BUDI AGAR
PENGETAHUAN INDRAWINYA YANG JASMANIAH DAPAT
DIABSTRAKSIKAN, DIREFLEKSIKAN YANG BERSIFAT UMUM DAN
UNIVERSAL.
D. SIFAT PENGETAHUAN YANG ABSTRAK, UMUM, UNIVERSAL DAPAT
DIJANGKAU OLEH MANUSIA PADA SEGALA RUANG DAN
WAKTUMANAPUN.
E. PENGETAHUAN DIKOMUNIKASIKAN, DITURUNALIHKAN DARI
GENERASI KE GENERASI, DIPELAJARI, DIPERSOALKAN, DIDALAMI,
DIUBAH DAN DIKEMBANGKAN DAN TERUS DISEMPURNAKAN.
F. ISI PENGETAHUAN DAPAT DIPERTANGGUNG JAWABKAN. DIKRITIK
DAN PERTAHANKAN, MAKA LAHIRLAH ILMU PENGETAHUAN.
G. PENGETAHUAN ADALAH KESELURUHAN DARI PEMIKIRAN,
GAGASAN, IDE, KONSEP DAN PEMAHAMAN YANG DIMILIKI DUNIA
DENGAN SEGALA ISINYA, TERMASUK MANUSIA DAN
KEHIDUPANNYA.
H. ILMU PENGETAHUAN ADALAH KESELURUHAN PENGETAHUAN
MANUSIA YANG TELAH DIBAKUKAN SECARA SISTEMATIS.
I. DALAM ILMU PENGETAHUAN ADA METODE, ADA CARA, ADA POLA
YANG SELALU DIIKUTI DAN DIJADIKAN TRADISI DAN DIBAKUKAN.
2. FILSAFAT PENGETAHUAN DAN FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN.
A. PENGETAHUAN JAUH LEBIH LUAS DARIPADA ILMU PENGETAHUAN,
KARENA MELIPUTI PRAKTEK & PENGETAHUAN TEKNIS DALAM
MEMECAHKAN PERSOALAN HIDUP YANG BELUM DILAKUKAN
METODIS DAN SISTEMATIS.
CONTOH:
PENGOBATAN TRADISIONAL MERUPAKAN SUATU PENGETAHUAN
SEDANGKAN YANG ILMIAH DISEBUT DENGAN ILMU KEDOKTERAN.
B. PEMBEDAAN TERSEBUT MEMBEDAKAN JUGA FILSAFAT
PENGETAHUAN DAN FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN
C. FILSAFAT PENGETAHUAN BERKAITAN DENGAN PENGKAJIAN
SEGALA SESUATU YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGETAHUAN
MANUSIA PADA UMUMNYA, TERUTAMA MENYANGKUT DENGAN
GEJALA PENGETAHUAN DAN SUMBER PENGETAHUAN MANUSIA
CONTOHNYA :
BAGAIMANA MANUSIA BISA TAHU?
APAKAH MANUSIA DAPAT SAMPAI PADA PENGETAHUAN YANG PASTI?
APAKAH PENGETAHUAN YANG PASTI ITU MUNGKIN?
D. SEDANGKAN FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN ADALAH CABANG
FILSAFAT YANG MEMPERSOALKAN DAN MENGKAJI SEGALA
PERSOALAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN ILMU PENGETAHUAN.
CONTOHNYA :
APA ITU KEBENARAN?
APA METODE ILMU PENGETAHUAN ITU?
METODE MANAKAN YANG PALING DAPAT DIANDALKAN?
APA KELEMAHAN METODE YANG ADA?
APA ITU TEORI?
APA ITU HIPOTESIS?
E. DENGAN ADANYA FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN DIKEMBANGKAN
BEBERAPA METODE YANG BUKAN HANYA SEKEDAR MENEMUKAN
SEBAB DAN AKIBAT BERBAGAI PERISTIWA TERTENTU,
MELAINKAN JUGA MENJELASKAN HUBUNGAN ANTARA
PERISTIWA SATU DENGAN YANG LAINNYA.
CONTOHNYA :
PENYEBAB KANKER PARU ADALAH ROKOK, DAN PEROKOK PASIFPUN
TERNYATA DAPAT TERKENA KANKER PARU.
3. PENGETAHUAN DAN KEYAKINAN
A. PENGETAHUAN TIDAK SAMA DENGAN KEYAKINAN MESKIPUN
ADA KEERATAN HUBUNGAN ANTARA KEDUANYA
B. KEDUANYA SAMA-SAMA MERUPAKAN SIKAP MENTAL
SESEORANG DALAM HUBUNGAN DENGAN OBYEK TERTENTU
YANG DISADARINYA SEBAGAI ADA ATAU YANG TERJADI
C. BEDANYA DALAM KEYAKINAN OBYEK YANG DISADARI SEBAGAI
ADA ITU TIDAK PERLU HARUS ADA SEBAGAIMANA ADANYA.
D. JADI KEYAKINAN DAPAT KELIRU, NAMUN SYAH SEBAGAI
KEYAKINAN.
E. DALAM PENGETAHUAN OBYEK YANG DISADARI ITU MEMANG
ADA SEBAGAIMANA ADANYA, MAKNA TIDAK DAPAT SALAH
ATAU KELIRU.
F. KARENA JIKA TERBUKTI SALAH ATAU KELIRU TIDAK DAPAT
DIANGGAP LAGI SEBAGAI PENGETAHUAN. BERUBAH MENJADI
KEYAKINAN.
CONTOHNYA :
ADA KEYAKINAN SESEORANG BERSALAH, NAMUN UNTUK SAMPAI
TAHU BAHWA DIA BERSALAH PERLU BUKTI, FAKTA DAN SAKSI YANG
DAPAT DIPERTANGGUNGJAWABKAN.
G. PENGETAHUAN SELALU MENGANDUNG KEYAKINAN, NAMUN
KEYAKINAN BELUM MERUPAKAN PENGETAHUAN JIKA TIDAK
DIDUKUNG OLEH KENYATAAN SEBAGAIMANA YANG DIYAKINI
ITU.
4. SKEPTISME :
ADALAH PANDANGAN YANG MERAGUKAN KEMUNGKINAN MANUSIA
DAN KEMAMPUAN ILMU PENGETAHUAN DALAM MENYIKAP REALITAS.
MANUSIA MUSTAHIL ATAU PALING TIDAK DAPAT MERASA PASTI
APAKAH IA DAPAT MENCAPAI PENGETAHUAN TERTENTU.
BAGI SKEPTISME MANUSIA SULIT MEMBERIKAN BUKTI ATAS
PROPOSISI APAPUN YANG DIKLAIM SEBAGAI PENGETAHUAN. BAGI
PANDANGAN INI PENGETAHUAN ITU TIDAK ADA ATAU MUSTAHIL
DICAPAI.
BAGAIMANAPUN ADA YANG POSITIF DARI SKEPTTISME YAITU :
A. SIKAP MERAGUKAN SECARA POSITIF DARI SKEPTISME YAITU :
SIKAP MERAGUKAN SECARA POSITIF SETIAP KLAIM DAN BUKTI
YANG DIPEROLEH SAMPAI TINGKAT TERTENTU, MERUPAKAN
SIKAP KRITIS YANG TIDAK MUDAH PERCAYA BEGITU SAJA
TERHADAP APAPUN.
DENGAN MERAGUKAN SEGALA SESUATU MANUSIA DAPAT
MELANGKAH MENCAPAI KEBENARAN YANG PASTI DAN LEBIH
SEMPURNA.
KRITIK TERHADAP SKEPTISME :
- MERAGUKAN SEGALA SESUATU BUKAN BERARTI BAHWA
PENGETAHUAN MUSTAHIL DAPAT DICAPAI
- KELIRU ANGGAPAN SKEPTISME BAHWA PENGETAHUAN KITA
TAK DAPAT SALAH. SALAH ADALAH PROPOSISI TAK SESUAI
KENYATAAN, BENAR ADALAH YANG SESUAI DENGAN
KENYATAAN, NAMUN BISA MENDEKATI KENYATAAN ADALAH
SEBUAH PENGETAHUAN.
Pertemuan Keempat
Pokok Bahasan : Sumber Pengetahuan Ilmiah
Sub Pokok Bahasan:
1. Pandangan Rasionalis
Manusia dapat sampai pada pengetahuan yang pasti hanya dengan
mengandalkan akal budi. Beberapa tokoh rasionalisme : Plato (428-348 SM)
dan Rene Descartes (1596-1650).
Beberapa catatan penting:
- Kaum rasionalis lebih mengandalkan geometri dan matematika. Ilmu
ukur dan matematika sebagai model bagi cara kerja ilmu-ilmu lain.
- Kaum rasionalis meremehkan peranan pengalaman dan pengamatan
pancaindra bagi pengetahuan, karena pancaindra dianggap tidak dapat
diandalkan untuk memberi pengetahuan yang sahih.
- Metode yang diterima adalah yang deduktif. Proses pengetahuan
manusia adalah melakukan deduksi, menurunkan pengetahuan-
pengetahuan partikular dari prinsip-prinsip umum atau pertama yang
bersifat pasti dan universal. Hal itu disebabkan bahwa prisip=prinsip
umum universal tersebut merupakan bawaan manusia dalam akal
budinya jauh sebelum ia mengalami atau pancaindranya menangkap
obyek di dunia.
- Semua pengetahuan adalah pengetahuan apriori yang mengandalkan
silogisme. Data atau fakta tidak begitu penting bagi munculnya
pengetahuan, walaupun mungkin berguna, tetapi yang penting adalah
kemampuan akalbudi manusia untuk menarik kesimpuilan dari prinsip
umum tertentu yang sudah ada dalam benaknya. Misalnya, semua
manusai pasti mati. Sokrates adalah manusia. Maka Sokrates pasti mati.
Hal ini tak perlu dicek kepada kenyataannya, pernyataan “Sokrates pasti
mati” harus dianggap benar.
Posisi kaum rasionalis menurut Littlejohn (Littlejohn, 1996:34) menekankan
bahwa pengetahuan dihasilkan oleh „kekuatan akalbudi semata-mata untuk
mengetahui kebenaran (“I call „em as they are”).
2. Pandangn Emprisime
Manusia dapat sampai pada pengetahuan yang pasti dengan mengandalkan
pancaindera (penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan dan
pengecapan) yang memberi informasi tentang obyek tertentu. Tokoh-tokoh
empirisme yang terkenal: John Locke (1632-1704) dan David Hume (1711-
1776).
Beberapa catatan penting:
- Pandangan empirisme mengakui bahwa persepsi atau proses pengindraan
sampai tingkat tertentu tidak dapat diragukan. Bila terjadi kekeliruan,
bukan karena pancindera tetapi daya nalar manusia dalam menangkap
dan memutuskan apa yang ditangkap pancaindra itu. Kebenaran sejati
satu-satunya adalah pengetahuan lewat pengalaman.
- Yang dipersoalkan oleh empirisme adalah pengetahuan tentang dunia
(manusia dan alam semesta) yang dialami manusia. Diakui bahwa ada
pengetahuan tertentu yang tidak diperoleh lewat pengalaman inderawi.
Yang ditekankan adalah metode pengatahuan induktif, yaitu cara kerja
ilmu-ilmu empiris yang mendasarkan diri pada pengamatan, pada
eksperimen untuk bisa sampai pada pengetahuan umum yang tidak dapat
diragukan lagi. Pengetahuan ini disebut pengetahuan aposteriori.
- Kepastian mengenai pengetahuan empiris harus dicek berdasarkan
pengamatan, data, pengalaman, dan bukan berdasarkan akal budi.
Kaum empiris menurut Littlejohn (Littlejohn, 1996:34) menyatakan bahwa
pengetahuan didapat dalam persepsi. Kita mengalami dunia dan
melaporkan “penglihatan” atas apa yang terjadi (“I call „em as I see „em).
3. Sintesa antara keduanya
Kedua pandangan diatas sama-sama setengah benar. Hanya saja kaum
empirisme tidak sesinis kaum rasionalis dalam melecehkan pandangan
lawannya. Empirisme memberi tempat yang cukup bagi akal budi dalam
proses mengetahui, sebaliknya rasionalisme benar-benar mengabaikan
peran pancaindera dan pengalamannya. Sintesis antara kedua pandangan
tersebut secara sederhana telah diperlihatkan lewat pandangan Aristoteles
(384-322 SM) yang mengatakan: “Tidak ada sesuatupun dalam akal budi
yang tidak ada terlebih dahulu dalam indera.” Belakangan, seorang tokoh
Jerman bernama Immanuel Kant (1724-1804) menadamaikan kedua aliran
pemikiran tersebut. Bagi Kant, pengetahuan memang awalnyua berasal dari
pengalaman pancainderea akan dunia, namun dalam diri manusia sudah
terdapat kategori-kategori, bentuk yang memungkinkan manusia dapat
menangkap benda-benda sebagaimana adanya. Kategari-kategori itu
adalah: ruang dan waktu serta hukum sebab dan akibat dalam menangkap,
mengamati, dan mengalami segala sesuatu di alam semesta. “Kacamata”
tersebut tak dapat dilepaskan dan berperan secara apriori dalam mengalah
hasil pengamatan untuk mendapatkan pengetahuan yang sebenarnya.
Setidaknya juga ada dua unsur yang ikut melahirkan pengetahuan manusia
yaitu kondisi eksternal (benda-benda yang tidak dapat diketahui sebelum
tertangkap oleh pancaindera atau disebut obyek material) dan kondisi
internal yang ada didalam diri manusia (“kacamata” atau disebut obyek
formal pengetahuan).
Dengan demikian baik pengetahuan empiris maupun rasionalis diandalkan
dalam pengetahuan, juga metode deduktif dan metode induktif, keduanya
berperan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.
4. Konstruktivisme (Littlejohn, 1996:34)
Selain kedua posisi pandangdan di atas masih ada pandangan lain yaitu
konstruktivisme. Pandangan ini menganggap bahwa manusia menciptakan
pengetahuan untuk tujuan fungsi peragmatisnya di dunia dan bahwa
manusia memproyeksi diri mereka sendiri kepada apa yang dialaminya
(They ain‟t nothin‟ till I call „em”). Konstruktivis percaya bahwa gejala yang
ada di dunia dapat dipahami dengan jelas dalam banyak cara yang berbeda
dan bahwa pengetahuan adalah apa yang telah dibuat manusia tentang
dunia.
5. Konstruksivisme sosial (Littlejohn, 1996:34)
Konstruksivisme sosial mengajarkan bahwa pengetahuan adalah sebuah
hasil interaksi simbolik yang terjadi diantara kelompok-kelompok sosial.
Dengan kata lain, realitas dikonstruksikan secara sosial dan merupakan
sebuah produk dari kelompok dan kehidupan kultural (bagaimanapun sang
wasit pada akhirnya akan menyimpulkan : “They‟re what we agree they are”)
Pertemuan Kelima
Pokok Bahasan: Kebenran ilmiah
Sub pokok bahasan:
1. Berbagai teori tentang kebenaran ilmiah
Setidaknya ada empat teori yang berupaya menjawab apakah kebenaran
itu?:
(1) Teori kebenaran sebagai persesuaian (the correspondence theory of
truth):
Menurut teori ini kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa
yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya.
Kebenaran terletak antara kesesuaian antara subyek dengan obyek,
antara apa yang diketahui subyek dan realitas sebagaimana adanya.
Kebenarannya adalah kebenaran empiris. (Keraf & Dua, 2000: 66-
67).
(2) Teori kebenaran sebagai keteguhan (the coherence theory of truth):
Kebenaran menurut teori ini terletak dalam relasi antara proposisi
baru dengan proposisi yang sudah ada. Maka suatu pengetahuan,
teori, pernyataan, proposisi, atau hipotesis dianggap benar jika
sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi atau hipotesis lainnya,
yaitu jika proposisi itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi
sebelumnya yang dianggap benar. Kebenarannya adalah
kebenaran logis. (Keraf & Dua, 2000: 68-71).
(3) Teori pragmatis tentang kebenaran (the pragmatic theory of truth):
Bagi kaum pragmatis, kebenaran sama artinya dengan kegunaan.
Jadi ide, konsep, pernyataan atau hipotesis yang benar adalah ide
yang berguna. Kriteria utama dalam menentukan kebenaran
adalah berhasil dan berguna. Kebenarannya menyangkut
“pengetahuan bagaimana” (know-how). (Keraf & Dua, 2000: 71-
74).
(4) Teori performatif tentang kebenaran (the performative theory of
thruth):
Menurut teori ini. Suatu pernyataan dianggap benar kalau
pernyataan tersebut menciptakan realitas. Misalnya: “Dengan ini
saya meluluskan kamu”. (Keraf & Dua, 2000: 74).
2. Ciri dasar kebenaran ilmiah:
Ada tiga ciri dasar kebenaran ilmiah yaitu: (Keraf & Dua, 2000: 75-76).
(1) struktur yang rasional-logis: kebenaran ilmiah selalu dapat dicapai
berdasarkan kesimpulan yang logis dan rasional dari proposisi-
proposisi atau premis-premis tertentu yang berupa teori atau
hokum ilmiah yang sudah terbukti dan diterima sebagai benar atau
yang mengungkap data/fakta baru tertentu. Prosesnya dapat
didapat secara induksi maupun deduktif.
(2) Isi empiris: bagaimanapun kebenaran ilmiah perlu diuji dengan
kenyataan yang ada, meskipun sampai tingkat tertentu spekulasi
diterima.
(3) Dapat diterapkan (pragmatis): kedua sifat kebenaran diatas
digabungkan dalam sifat pragmatis. Jadi jika sebuah pernyataan
dianggap benar secara logis dan empiris, pernyataan tersebut harus
berguna untuk membantu manusia memecahkan berbagai
persoalan hidupnya.
3. Kepastian kebenaran ilmiah : (Keraf & Dua, 2000: 77-86).
Ilmuan seharusnya memiliki sikap rendah hati terhadap kebenaran ilmiah.
Meskipun kaum rasionalis kebenaran logis-rasional bersifat pasti, namun
kepastian itu bersifat sementara. Setiap teori memiliki kemungkinan untuk
salah kemudian hari. Sedangkan bagi kaum empiris, diakui ada semacam
pengakuan bahwa suatu pengetahuan ilmiah memiliki kebenaran, namun
kebenaran yang diakui itu tetap terbuka untuk dikritik (yang disebut
dengan falibilisme: sikap pengakuan akan kebenaran yang terbuka untuk
dikritik).
Pertemuan keenam
Pokok Bahasan: Metode induksi dan permasalahan induksi
Sub pokok bahasan:
1. Induksi gaya Bacon: (Keraf & Dua, 2000: 100-102)
Induksi adalah cara kerja ilmu pengetahuan yang bertolak atas dasar
sejumlah fenomena, fakta atau data tertentu yang dirumuskan dalam
proposisi-proposisi tunggal tertentu yang lalu ditarik kesimpulan yang
dianggap benar dan beralaku umum. Harus dipahami bahwa kebenaran
kesimpulan itu bersifat sementara dan tidak mutlak. Metode induksi
dikembangkan oleh Francis Bacon (1561-1626). Inti dari induksi gaya Bacon
adalah bahwa ilmu pengetahuan harus berawal dan dikendalikan oleh
pengamatan yang tidak terpengaruh oleh pengandaian apapun (bebas nilai,
opini, praduga, dan sejenisnya).
Ada tiga hal pokok pandangan Bacon:
(1) Ketika melakukan penelitian ilmiah, ilmuan harus bebas dari
pangandaian, spekulasi awa,l anggapan, dugaan pikiran teori agar
penelitian bebas dari bisa ilmiah, sehingga mencapai kebenaran objektif.
(2) Jangan hanya memperhatikan fakta yang cocok satu sama lain tetapi
harus memperhatikan fakta dan data yang bertentangan atau bebeda
yang tak diduga sebelumnya.
(3) Setelah pengamatan atas obyek dan menumpulkan fakta dan data
tentang obyek, maka semua itu diklasifikasi, dirumuskan dan
dikumpulkan dengan menggunakan segala macam konsep dan teori yang
diketahui untuk mengolah data tersebut.
Manfaat dari metode induksi Bacon:
(1) dengan metode ini ilmuan dapat melihat kenyataan secara objektif,
bukan lewat kacamata tertentu maka ilmuan dapat sampai ke
kebenaran objektif pula.
(2) Kegiatan ilmuan dengan metode induksi tidak jatuh menjadi ideologi.
2. Kritik terhadap induksi Bacon: (Keraf & Dua, 2000: 102-107)
Dua keberatan atas metode induksi Bacon:
(1) Pada kenyataannya hampir tidak mungkin melakukan penelitan
tanpa bias atau bebas nilai sama sekali.
(2) Fakta, data fenomena tidak pernah menampilkan dirinya begitu saja,
semua itu perlu penfsiran, maka spekulasi ilmiah tak terelakan.
3. Langkah-langkah metode induksi: (Keraf & Dua, 2000: 107-111)
a. Langkah-langkah metode induksi murni
1. identifikasi masalah
2. pengamatan dan pengumpulan data
3. merusmuskan hipotesis
b. Langkah metode yang telah dimodifikasi
1. situasi masalah
2. pengajuan hipotesis
3. penelitian lapangan
4. pengujian hipotesis
4. Situasi masalah: (Keraf & Dua, 2000: 111-114)
Yang perlu diperhatikan dalam situasi masalah adalah adanya masalah
tertentu yang sulit dijawab dengan menggunakan pengetahuan yang ada,
maka penelitian dilakukan untuk menjawab dan menjelaskannya.
Beberapa ciri masalah yang baik:
a. masalah tersebut harus mempunyai nilai untuk diteliti
b. masalah tersebut harus feasible atau mempunyai kemungkinan
untuk diteliti
c. masalah tersebut harus sesuai dengan kualifikasi peneliti
5. Perumusan dan pengujian hipotesis: (Keraf & Dua, 2000: 114-117)
Masalah yang ada tersebut dirumuskan lalu berikutnya membuat hipotesis.
Hipotesis adalah pernyataan yang berisikan dugaan sementara sebab dari
suatu masalah tertentu, entah berupa fakta ataupun peristiwa yang
dianggap benar untuk dibuktikan kebenarannya lebih lanjut. Sebagai alat
bantu ilmiah, hipotesis memiliki beberapa kegunaan yaitu:
(1) memberi batasan serta kerangaka penelitian
(2) mengarahkan perhatian peneliti pada gejala, fakta, dan data, dan
hubungannya di antara berbagai gejala fakta, dan data yang ada,
yang bermanfaat bagi penelitian.
(3) Berfungsi sebagai alat sederhana untuk mengaitkan fakta dan data
yang tercerai berai tanpa koordinasi ke dalam satu kesatuan yang
menyeluruh, yang memperlihatkan keterkaitan diantara fakta dan
data tersebut (tool analysis).
Setelah perumusan hipotesis, lalu dilakukan pengujian hipotesis, lewat
membuat predikis tentang berbagai data dan fakta yang telah dirumuskan
dalam hipotesis, dan hasil prediksi tersebut dapat merupakan suatu bukti
apakah hipotsisnya benar atau tidak.
Pertemuan Ketujuh
Pokok Bahasan: Hukum dan teori ilmiah
Sub pokok bahasan:
1. Hukum sebagai hubungan sebab akibat: (Keraf & Dua, 2000: 118-121)
Hubungan sebab akibat dalam ilmu pengetahuan adalah peristiwa yang satu
menjadi sebab dari peristiwa lain. Ilmu pengetahuan mengakaji dan
meneliti hubungan sebab akibat antara berbagai peristiwa dalam alam dan
hidup manusia. Hubungan yang bersifat pasti akan disebut hokum sebab
akibat atau hukum ilmiah. Hukum ilmiah tersebut menjadi obyek material
utama dari ilmu pengetahuan.
2. Sifat hokum ilmiah: (Keraf & Dua, 2000: 121-124)
a. lebih pasti
b. berlaku umum atau universal
c. memiliki daya terang yang lebih luas sebagai ekspansi ilmiah
3. Hukum, kebetulan, dan kontinuitas alam: (Keraf & Dua, 2000: 124-127)
Dihayati secara filosofis bahwa alam sebagai obyek ilmu pengetahuan selalu
berkembang kepada keteraturan (regularitas) dan hukum. Ilmuan alam
tunduk pada hokum (ada keteraturan/regulitas dan kesamaan/uniformitas
pada hukum alam), maka alam dapat dipahami karena hukumnya terbuka
bagi pikiran manusia. Dapat dimengerti juga bahwa fenomena ekperimental
tidak dapat dipahami dari sebuah chaos (ketidakteraturan). Hukum
berkembang dari kebetulan, sejauh variasi kebetulan tersebut tunduk pada
hokum yang suatu ketika kebetulan-kebetulan tersebut menjadi sebuah pola
sendiri yang teratur dan mantap, maka dapat dipahami.
Tahap hipotesis belum berbicara tentang hokum yang tetap, melainkan
suatu tendensi atau kecenderungan. Hal ini terjadi karena alam selalu
berkembang dan mengalami diversitas. Jika memperhatikan evolusi,
berbagai kebetulan dalam peristiwa alam dapat terlihat, dan kebetulan itu
berkembang memunculkan varietas baru, jadi uniformitas yang terjadi
dalam perkembangan alam, bukan homogenitas. Meskipun demikian,
varietas-verietas baru dalam alam itu bukanlah suatu yang terlepas,
melainkan merupakan suatu kontinuitas.
4. Evolusi dan kontinuitas pengetahuan: (Keraf & Dua, 2000: 127-128)
Dengan adanya hokum, kebetulan dan kontinuitas maka hokum alam
sebagai suatu kebenaran ilmiah yang pernah ditemukan seorang ilmuan
akan juga mengalami perkembangan, berevolusi dalam kontinuitas.
5. Dari hokum menuju teori: (Keraf & Dua, 2000: 129-130)
Ilmuan tidak hanya puas berada pada tahap hipotesis dan pembuktiannya,
melainkan ingin menyempurnakan hipotesis-hipotesis menjadi suatu hokum
ilmiah dan teori yang dapat menjelaskan hukum ilmiah tersebut. Teori
sendiri memiliki dua fungsi:
(1) merupakan upaya tentatif (sementara) untuk membangun hubungan
yang cukup luas antara sejumlah hukum ilmiah
(2) berfungsi menjelaskan hukum-hukum yang mempunyai hubungan satu
sama lain itu sehingga hukum-hukum tersebut dapat dipahami sebagai
masuk akal. Jadi, jika teori diterima dengan benar, maka hukum yang
dijelaskannya juga dengan sendirinya benar. Teori juga menjelaskan
hukum dengan pemberi pernyataan yang jauh dikenal umum atau
diterima.
Pertemuan Kesembilan
Pokok Bahasan: Pengatar Logika
Sub Pokok Bahasan : Arti logika
Jenis logika
Obyek logika
Logika dan bahasa
Logika dan dialektika
Logika dan filsafat
Sinopsis:
Ada berbagai definisi tentang logika. Dari sekian banyak definisi itu, kita
menggunakan definisi yang diberikan oleh Irving M. Copi karena dianggap sebagai
definisi yang lebih mendekati kebenaran tentang hakekat logika dibandingkan
dengan definisi lainnya. Menurut Copi, dalam bukunya Introduction to Logic (1986:
3), logika adalah suatu kajian tentang metode-metode dan prinsip-prinsip yang
digunakan untuk bisa membedakan antara penalaran yang tepat dengan penalaran
yang tidak tepat. Dengan mengacu pada definisi ini, kita dapat mengetahui perihal
obyek dari logika. Logika membahas perihal berpikir atau bernalar (obyek
material) dengan memfokuskan pada aspek ketepatan dalam bernalar (obyek
formal).
Logika dapat dilasifikasikan berdasarkan sejumlah kriteria. Berdasarkan
dari sumber dari mana manusia memperoleh kemampuan untuk berlogika, maka
kita mengenal ada dua macam logika, yaitu: logika kodratiah/alamiah dan logika
ilmiah. Berdasarkan apek historis dan penggunaan lambing bahasa, kita mengenal
logika klasik/Aristoteles dan logika modern. Dilihat dari aspek kebenaran, maka
ada dua jenis logika, yaitu: logika formal, yang mempelajari kebeneran dari segi
bentuk, dan logika material, yang mempelajari kebenaran dari segi isinya.
Sementara jika ditinjau dari cara penarikan kesimpulan, maka kita mengenal dua
jenis logika, yaitu: logika induktif dan logika deduktif.
Pikiran seseorang dapat dikatakan logis atau tidak akan terungkap melalui
bahasa yang digunakan, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Jadi, selain
memiliki sejumlah fungsi seperti fungsi informatif, fungsi performatif, fungsi
ekspresif, fungsi praktis, fungsi seremonial, dan fungsi perusasif, bahasa juga
memiliki fungsi logis. Dalam fungsi logis itulah kita melihat adanya hubungan erat
antara bahasa dan logika. Bahasa yang baik dan benar menunjukan sebuah cara
berpikir dbernalar yang lurus dan tepat dari si pemakai bahasa itu. Sebaliknya,
kekacauan dalam berbahasa sekaligus menandakan kekacauan atau ketidak-
tepatan dalam berpikir dan bernalar.
Disamping cara berpikir logis, yang biasanya kita kenal dalam lingkup ilmu
pengetahuan, ada juga cara berpikir yang disebut dengan dialektika. Dialektika
adalah sebuah cara atau metode berpikir yang terdiri dari tiga tahap, yaitu: tesa,
anti tesa, dan sintesa, yang mendamaikan hal-hal yang saling bertentangan. Cara
berpikir ini pun, selain cara berpikir logis, merupakan hal yang lazim dalam
pemikiran filsafat, baik filsafat Timur (Hindhuisme, Buddhisme, Taoisme
Konfusianisme, dan filsafat Jawa) maupun filsafat Barat (Herakleitos, Arstoteles,
Hegel). Jika asas berpikir dalam logika adalah identitas (=non kontradiksi), maka
asas berpikir dalam dialektika justru sebaliknya, yaitu kontradisi (=non identitas).
Hubungan antara logika dan filsafat, termasuk filsafat ilmu pengetahuan,
sangat erat. Pertama-tama karena cara berpikir filsafat itu bersifat rasional, dan
sesuatu yang rasional itu juga berarti logis. Logika, menurut Aristoteles memang
bukan, merupakan cabang ilmu pengetahuan maupun filsafat, tetapi sebagai
organon (=alat) supaya kita bisa mempraktekan ilmu pengetahuan dan filsafat
(Bertens, 1999: 168).
Pertemuan Kesepuluh
Pokok Bahasan : Term, pengertian, dan defisni
Sub pokok bahasan : Arti term
Arti pengertian
Arti definisi
Macam-macam definisi
Cara menguji definisi sebagai tugas dari filsafat
Sinopsi:
Salah satu unsur yang dipelajari dalam logika adalah term. Term adalah
kata atau sekumpulan kata yang merupakan ekspresi verbal dari pengertian, dan
dapat berfungsi sebagai subyek dan predikat (dalam proposisi) juga sebagai
penengah (dikenal dengan istilah term medium dan biasanya dengan M) dalam
silogisme.
Ada banyak jenis term. Berdasarkan luasnya, kita mengenal tiga jenis term
yaitu: term singular, term particular, dan term universal. Berdasarkan sifatnya, term
dibagi menjadi term distributif dan term kolektif. Berdasarkan kriterium arti, maka
ada tiga jenis term, yaitu: term univokal, term analogis, dan term ekulvokal.
Berdasarkan komponennya ada dua jenis term, yaitu term tunggal dan term
majemuk. Sedangkan jika dilihat dari fungsinya baik dalam proposisi maupun
silogisme, maka kita mengenal ada tiga jenis term, yaitu: term subyek, term predikat,
dan term menengah (middle term).
Sedangkan pengertian, yang biasanya diekspresikan secara verbal dalam
bentuk term, merupakan hasil tangkapan akal budi manusia tentang esensi atau
hakekat dari sesuatu. Ketika kita berbahasa (tulisan maupun lisan), kita
mengungkapkan sebuah pengertian atau sejumlah pengertian, dan hubungan
antarpengertian. Dalam setiap pengertian terkandung isi dan luasnya.
Isi pengertian (komperhensi) adalah keseluruhan unsur yang termuat dalam
pengertian. Sedangkan luas pengertian (ekstensi) adalah seluruh cakupan atau
lingkup realitas yang dapat ditunjuk dengan pengertian itu. Hubungan antara isi
dan luas pengertian merupakan sebuah perbandingan terbalik. Jika isi
pengertiannya besar, maka luas pengertian kecil; dan sebaliknya, jika isi
pengertiannya kecil, maka luas pengertian besar.
Berdasarkan pengertian atau pemahaman kita tentang sesuatu, maka kita
dapat membuat klasifikasi. Klasifikasi adalah suatu cara atau metode untuk
menempatkan/mengelompokkan sejumlah hal ke dalam satu atau beberapa
kelompok kecil berdasarkan kriteria tertentu. Sekedar contoh, kita ingin
mengklasifikasikan kumpulan mahasiswa yang ada dalam sebuah ruangan. Kita
dapat mengelompokkan mereka ke dalam kelompok-kelompok kecil menurut
sejumlah kriteria seperti angkatan (misalnya mahasiswa angkatan 2001, 2002, 2003,
2004 dst), fakultas (misalnya mahasiswa fakultas Hukum, Ekonomi, Kedokteran,
Komunikasi, dst), jenis kelamin (Laki dan Perempuan) dst. Pengelompokan dengan
cara seperti ini dinamakan klasifikasi.
Dalam membuat klasifikasi ada sejumlah syarat. Pertama, klasifikasi harus
dilakukan secara lengkap. Kedua, klasifikasi harus didasarkan pada ukuran atau
kriteria yang sama juga jelas. Ketiga, klasifikasi harus dibuat sesuai dengan
tujuannya.
Masih terkait dengan pengertian, selain klasifikasi, adalah definisi. Definisi
yang kita rumuskan tentang sesuatu menunjukkan pemahaman atau pengertian
kita tentang sesuatu yang kita definisikan. Karena itu, definisi juga menjadi salah
satu topic yang dibahas dalam logika.
Definisi (dari kata bahasa Latin definiere yang berarti membatasi lingkup
dari sesuatu) adalah perumusan yang singkat, jelas, padat tentang makna yang
terkandung dalam sebuah term atau kata yang didefinisikan. Kata atau term yang
didefinisikan itu disebut definiendum (yang didefinisikan). Sedangkan definisinya
atau isi rumusan disebut definiens (yang mendefinisikan).
Bagian yang dianggap penting dalam pembicaraan tentang defines adalah
jenis definisi, dan syarat-syarat definisi. Dari segi jenisnya, ada beberapa macam
definisi. Secara garis besar dikenal dua kelompok definisi. Pertama adalah definisi
realis (real definition/definition rel). Yang termsuk dalam kategori realis adalah
definisi esensial, definisi deskriptif, definisi klausal, definisi final, dan definisi genetis.
Jika definisi realis adalah definisi dalam arti sesungguhnya karena
mengungkapkan hakekat dari sesuatu yang mau didefinisikan, maka definisi dalam
kelompok kedua ini adalah definisi yang hanya memberi keterangan tentang nama
dari term atau istilah yang didefinisikan. Definisi kelompok kedua ini dinamakan
definisi nominalis. Disebut demikian karena dalam definisi ini, yang diungkapkan
bukanlah hakekat dari sesuatu yang didefinisikan, tetapi hanyalah keterangan
tentang nama dari kata atau istilah yang kita definisikan. Definisi nominalis terdiri
dari beberapa jenis: sinonim, definisi etimologis, dan definisi dengan memberikan
contoh.
Sebuah definisi yang baik harus memenuhi criteria sbb:
Pertama, definisi (=definiens) harus bisa ditukar tempat dengan hal yang
didefinisikan (definiendum), dan luasnya harus tetap sama. Kedua, definiendum
tidak boleh masuk atau disebut lagi dalam definiens. Ketiga, definisi tidak boleh
dirumuskan secara negative, jika bisa dirumuskan secara positif. Khusu
menyangkut syrat ketiga, ada beberapa pengecualian. Artinya, ada beberapa hal
yang hanya bisa didefinisikan secara negatif. Salah satu dari hal-hal itu adalah apa
yang disebut dengan istilah term privatif. Yang dimaksud dengan term privatif
adalah term yang mengandung pengertian negatif. Contoh-contoh term privatif
seperti: tuli, buta, lumpuh, mati, bisu, dst. Keempat, syarat terakhir, definisi harus
paralel atau sejajar dengan definiendum.
Pertemuan Kesebelas
Pokok Bahasan : Proposisi
Sub pokok bahasan : Arti proposisi
Proposisi kategoris
Proposisi hipotesis
Diagram Venn dan lambing Boole untuk proposisi
Sinopsis:
Jika term adalah ekspresi verbal dari pengertian, maka proposisi
merupakan ekspresi verbal dari putusan yang berisi pengakuan atau pengingkaran
sesuatu (=predikat) terhadap sesuatu yang lain (=subyek).
Dalam setiap proposisi terdapat paling kurang dua unsur yaitu term subyek,
dan term predikat. Kadang-kadang terdapat unsur ketiga yang disebut dengan
istilah kopula. Kopula berfungsi sebagai penghubung atara term subyek dengan
term predikat, sekaligus memberi bentuk (pengakuan atau pengingkaran) pada
hubungan itu. Berikut ini adalah contoh mengenai proposisi yang memuat ketiga
unsur tersebut di atas.
Petani adalah buruh yang bekerja di sawah
Dalam contoh proposisi ini, term subyek adalah petani. Term predikat adalah
buruh yang bekerja disawah. Dan kata adalah merupakan kopula. Selanjutnya
contoh berikut adalah proposisi yang hanya terdiri dari dua unsur yaitu term
subyek dan term predikat, tanpa kopula.
Mahasiswa yang memperoleh nilai tertinggi mendapatkan hadiah dari dosennya
Untuk contoh proposisi yang disebut terakhir, term subyek adalah mahasiswa yang
memperoleh nilai tertinggi. Term predikat adalah mendapatkan hadiah dari
dosennya. Baik term subyek maupun term predikat masing-masing terdiri dari
sekumpulan kata. Term seperti ini (lihat kembali topik tentang term, khususnya
tentang jenis-jenis term yang dibahas dalam pertemuan kesepuluh) dinamakan
term majemuk.
Dalam bahasa kita mengenal bahwa struktur sebuah kalimat minimal terdiri
dari unsur subyek dan predikat. Unsur subyek dan predikat juga menjadi unsur
dari sebuah proposisi. Jadi, sebuah proposisi adalah kalimat, tetapi harus
ditambahkan bahwa kalimat yang dimaksud adalah kalimat berita. Dengan kata
lain, hanya kalimat berita yang sekaligus merupakan proposisi. Sebaliknya, tidak
semua kalimat adalah proposisi. Kalimat tanya dan kalimat perintah tidak
termasuk proposisi. Kalimat berita adalah proposisi karena kalimat ini memuat
pernyataan yang bisa dibuktikan benar atau salah.
Secara garis besar proposisi dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok,
yaitu proposisi hipotetis dan proposisi kategoris. Pengklasifikasian ini didasarkan
pada cirri ada tidaknya syarat dalam pengakuan atau pengingkaran predikat
terhadap subyek. Jika hubungan pengingkaran atau pengakuan dalam proposisi
itu terjadi tanpa syarat, maka proposisi itu adalah proposisi kategoris. Jika
hubungan itu disertai dengan syarat, maka proposisi itu adalah proposisi hipotesis.
Proposisi kategoris terbagi menjadi beberapa jenis proposisi berdasarkan
sejumlah criteria. Berdasarkan kuantitas (luasnya), maka ada tiga jenis proposisi.
Proposisi singular, proposisi partikular, dan proposisi universal. Luas sebuah
proposisi ditentukan oleh luas term subyeknya. Jika luas term subyek sebuah
proposisi adalah singular, maka proposisi itu luasnya singular. Begitu pun yang
sama berlaku untuk proposisi particular dan universal.
Berdasarkan kualitas, proposisi terdiri dari proposisi afirmatif, dan
proposisi negatif. Jika dua kriteria ini (kuantitas dan kualitas) digabung, maka
jenis-jenis proposisi adalah sbb: proposisi singular afirmatif, proposisi partikular
afrimatif, proposisi universal afirmatif, proposisi singular negatif, proposisi
partikular negatif, dan proposisi universal negatif.
Jenis-jenis proposisi kategoris
Kriteria Jenis-jenis proposal
Berdasarkan Luas (kuantitas) Proposisi Singular
Proposisi Partikular
Porposis Universal
Berdasarkan Kualitas Proposisi Afirmatif
Proposisi Negatif
Berdasarkan Kuantitas dan kualitas Proposisi Singular Afirmatif
Proposisi Partikular Afirmatif
Proposisi Universal Afirmatif
Proposisi Singular Negatif
Proposisi Partikular Negatif
Proposisi Universal Negatif
Dalam logika, keenam jenis proposisi hasil pembagian berdasarkan aspek
kuantitas dan kualitas, biasanya disimbolkan dengan empat huruf, yaitu: A, I, E, O.
Huruf A adalah symbol untukproposisi singular dan universal Afrimatif. Huruf I
menjadi symbol untuk proposisi partikular afirmatif. Huruf E menjadi symbol
untuk proposisi singular dan universal negative, dan huruf O menjadi symbol
untuk proposisi partikular negatif.
Huruf-huruf itu diambil dari kata bahasa latin EgO (diambil huruf E dan O.
Kata ini berakar dari kata kerja Negara yang berarti menyangkal), dan Affirme
(diambil huruf A dan I. Kata ini berakar dari kata Affimare yang berarti
membenarkan, mengiyakan). Berikut ini adalah contoh keenam jenis proposisi
beserta simbolnya masing-masing.
Simbol Nama Proposisi Contoh Proposisi
A Singular Afirmatif Nina Rahardjo adalah seorang mahasiswa
jurusan periklanan STIKOM LSPR
angkatan 2005
A Universal Afirmatif Semua mahasiswa STIKOM LSPR
mengikuti kuliah filsafat ilmu pengetahuan
dan logika
E Partikular Afirmatif Beberapa mahasiswa STIKOM LSPR
mengikuti kuliah filsafat ilmu pengetahuan
dan logika
E Singular Negatif Nina Rahardjo adalah bukan mahasiswa
jurusan perikalanan STIKOM LSPR
angkatan 2005
E Universal Negatif Semua mahasiswa STIKOM LSPR tidak
mengikuti kuliah filsafat ilmu pengetahuan
dan logika
O Partikular Negatif Sebagian mahasiswa STIKOM LSPR tidak
mengikuti kuliah filsafat ilmu pengetahuan
dan logika
Setiap proposisi dapat digambarkan dalam bentuk diagram venn.
Ketentuan membuat diagram venn untuk proposisi adalah sbb: Pertama, kita
membuat dua buah lingkaran yang saling berpotongan. Lalu pada sisi luar masing-
masing lingkaran diberi huruf untuk melambangkan term subyek (S) dan term
predikat (P). Kedua, kita membuat tanda silang (X) yang berarti ada anggotanya,
atau tanda arsir yang berarti tidak ada anggota atau kelas kosong pada bagian-
bagian lingkaran tergantung dari proposisi yang ada. Ketiga, pemberian tanda
diagram adalah sebagaimana tampak pada tabel berikut.
Proposisi Simbol Tanda diagram Letak tanda diagram
Singular Afirmatif
Universal Afirmatif
A Arsir (dan silang) Di kiri atau di kanan
tergantung dari subyek
Singular Negatif
Universal Negatif
E Arsir Di tengah
Partikular Afirmatif I Silang Di tengah
Partikular Negatif O Silang Di kiri atau kanan
tergantung subyek
Pertemuan Keduabelas
Pokok bahasan : Kesesatan (berpikir)
Sub pokok bahasan : Arti kesesatan
Kesesatan karena bahasa
Kesesatan relevansi
Sinopsis:
Kesesatan adalah suatu kekeliruan atau kesalahan yang terjadi ketika
manusia bernalar. Ada berbagai sebab atau alasan mengapa kesesatan dalam
penalaran itu bisa terjadi. Sebuah penalaran dapat sesat karena bentuknya
(kesesatan formal), factor bahasa, dan juga karena tidak ada hubungan logis atau
relevansi antara premis dan kesimpulan (kesesatan relevansi). Untuk kesesatan
yang terjadi karena faktor bentuk dapat diketahui dengan memperhatikan hukum-
hukum silogisme kategoris. Karena itu jenis kesesatan seperti ini tidak dibahas di
sini. Pembahasan kita hanya terfokus pada jenis kesesatan karena factor bahasa
dan kesesatan relevansi.
Dalam argumentasi atau penalaran yang dilakukan sebetulnya orang ingin
membuktikan dan meyakinkan perihal sebuah pendapat yang dikemukakan.
Namun upaya melalui penalaran itu dapat saja menyesatkan pikiran orang lain.
Jika penalaran yang sesat itu terjadi bukan karena sebuah kesengajaan, dan yang
bersangkutan juga tidak mengetahui bahwa penalaran itu sesat, maka penalaran
semacam itu disebut paralogis. Sebaliknya, jika sebuah penalaran sesat itu terjadi
karena memang disengaja, artinya yang bersangkutan mengetahui bahwa
penalarannya memang sesat, tetapi tetap melakukannya dengan tujuan untuk
mengelak dari kebenaran dan sekaligus memenangkan pendapatnya, maka jenis
penalaran seperti itu disebut sofisme (Soekadijo, 1994: 11). Istilah sofisme itu tentu
ada kaitan dengan kaum sofis, yaitu sekelompok filsuf pada era Yunani kuno yang
hidup sezaman dengan Socrates. Mereka ini adalah orang-orang yang mahir
berpidato dan pandai beragumentasi. Salah satu pendirian dari kaum sofis ini
adalah bagaimana mengajarkan orang untuk bisa “membuat argumentasi yang
paling lemah menjadi yang paling kuat”. Pendirian ini terkait dengan pandangan
mereka bahwa kebenaran itu bersifat relatif, dan manusia adalah pusat untuk
segala-galanya, termsuk dalam soal tentang kebenaran. (K.Bertens, 1999: 83-88).
Kesesatan karena bahasa
Penalaran yang sesat karena faktor bahasa biasanya terkait dengan soal
makna dari penggunaan kata-kata dalam penalaran itu sendiri. Sebuah kata yang
sama bisa bermakna lebih dari satu. Hal semacam itu bisa terjadi karena beberapa
alasan antara lain: tekanan dalam pengucapan, konteks penggunaan yang berbeda,
atau karena kata yang sama itu memang memiliki arti lebih dari satu (ekuivokal).
Macam-macam kesesatan yang terjadi karena faktor bahasa adalah sbb:
1. Kesesatan karena aksen
Kesesatan ini terjadi karena perbedaan makna kata yang sama dalam
penalaran yang terjadi akibat dari perubahan tekanan pengucapan terhadap
kata tersebut.
Contoh:
Semua orang kaya itu beruang banyak
Beruang adalah binatang
Jadi, semua orang kaya adalah binatang
2. Kesesatan karena term ekulvok
Kesesatan ini terjadi karena kata yang sama yang digunakan dalam penalaran
ternyata memiliki arti lebih dari satu. Kata atau term seperti ini disebut kata
atau ekuivokal.
Contoh:
Setiap murid yang pandai bisa mengerjakan soal-soal yang sulit dari
pelajaran Matematika
Bisa adalah racun yang terdapat pada beberapa jenis binatang melata
Jadi murid yang pandai adalah racun yang terdapat pada beberapa
binatang melata
3. Kesesatan karena arti kiasan/kesesatan metaforis
Kesesatan ini terjadi karena dalam penalaran orang menggunakan sebuah
kiasan atau analogi. Arti kiasan dan arti sebenarnya memang berbeda. Namun
orang memahami makna kata yang dipakai dalam penalaran itu sebagai makna
yang sebenarnya, dan bukan lagi makna atau arti kiasan. Dari sinilah kesesatan
itu terjadi.
Contoh:
Kepala Negara itu ibarat kepala manusia. Sebagaimana kepala manusia,
jika dipenggal maka manusia akan mati, demikian juga halnya dengan
kepala Negara, jika dibunuh maka hancurlah Negara itu. (dikutip dari Y.P
Hayon, Logika, 2001:76)
4. Kesesatan Amfiboli
Kesesatan jenis ini terjadi ketika penyusunan atau konstruksi sebuah kalimat
sedemikian rupa sehingga menyebabkan maknanya menjadi bercabang.
Berikut adalah contoh kesesatan amfiboli.
Pemilik rumah makan di jalan sawo yang terkenal itu baru saja memenangkan
kuis Rp. 100.000.000,-
Kalimat seperti ini memang dapat menimbulkan kesesatan karena sebutan
“yang terkenal itu”, bisa saja menunjuk pada pemiliknya, bisa juga menunjuk
pada rumah makan, atau bisa juga yang dimaksud adalah jalan sawo.
Kesesatan Relevansi
Kesesatan jenis ini terjadi apabila dalam sebuah argumen orang menarik
kesimpulan yang tidak sesuai/tidak relevan dengan premis-premisnya. Berikut
adalah sejumlah nama atau istilah dalam logika yang menunjuk pada jenis-jenis
kesesatan relevansi.
1. Argumentum ad hominem
Kesesatan seperti ini terjadi ketika orang menerima atau menolak sebuah
pendapat tidak didasarkan pada alasan-alasan yang dikemukakan dalam
penalaran, tetapi didasarkan pada kepentingan atau pada orang yang
menyampaikan pendapat itu. Dengan kata lain, kita menerima atau menolak
sebuah pendapat bukan karena argumennya, tetapi karena orangnya.
2. Argumentum ad baculum
Baculum berarti tongkat. Kesesatan ini terjadi karena kita menerima atau
menolak pendapat seseorang tidak karena alasan atau pertimbangan pada
penalarannya tetapi karena ancaman hukuman. Teror atau tekanan
merupakan salah satu bentuk ancaman yang dapat mempengaruhi sikap kita
untuk menerima atau menolak sebuah ide atau gagasan.
3. Argumentum ad verecundiam atau argumentum auctoritatis
Kesesatan ini terjadi ketika kita menolak atau menerima sebuah pendapat
bukan karena penalarannya tetapi karena factor kekuasaan atau kewibawaan
yang dimilikinya.
4. Argumentum ad miserlcordiam
Kesesatan ini terjadi ketika kita menerima sebuah argument bukan karena
penalarannya tetapi karena faktor belas kasihan yang dengan sengaja
ditimbulkannya. Beragumen untuk membangkitkan perasaan belaskasihan itu
yang disebut argumentum ad miserlcordiam.
5. Argumentum ad populum
Ini sebuah argument atau penalaran yang ditujukan kepada orang banyak
dengan lebih menekankan faktor bagaimana membangkitkan semangat massa,
daripada melihat segi pembuktian penalarannya. Jenis argument seperti ini
banyak kita jumpai dalam pidato kampanye politik.
6. Kesesatan non causa pro causa
Kesesatan ini terjadi ketika kita menganggap sesuatu sebagai sebab, padahal
bukan merupak sebab, atau sebab yang sesungguhnya.
7. Kesesatan aksidensi
Kesesatan karena aksidensi terjadi ketika kita memberlakukan prinsip atau
pernyataan umum dalam sebuah peristiwa tertentu yang karena sifatnya yang
aksidental (khusus atau kebetulan) menyebabkan pemberlakuan atau
penerapan prinsip umum itu menjadi tidak sesuai.
8. Kesesatan karena komposisi dan divisi
Kesesatan semacam ini dalam penalaran terjadi ketika kita memberlakukan
sifat-sifat yang kebetulan ada pada individu-individu atau anggota dari sebuah
kelompok pada seluruh anggota kelompoknya. Sebaliknya juga bisa terjadi,
kalau ada ciri atau sifat yang dianggap berlaku secara umum dalam sebuah
kelompok, maka kita cenderung menyimpulkan bahwa setiap anggota dari
kelompok itu pasti memiliki sifat atau ciri yang dimaksud. Kesesatan ini tidak
hanya berlaku pada sebuah kelompok dan anggotanya, tetapi dapat juga
berlaku pada sebuah kesatuan dan bagian-bagiannya.
9. Petitio principii
Kesesatan seperti ini terjadi manakala kita menggunakan argument untuk
membuktikan sesuatu, tetapi susunan argument itu dibuat sedemikian sehingga
apa yang sesungguhnya menjadi kesimpulan (unsur yang mau dibuktikan itu)
ternyata juga merupakan premis (alasan atau dasarnya) walaupun itu
dirumuskan dengan cara yang berbeda. Argumen atau penalaran seperti ini
berbentuk melingkar. Bentuk argument yang sesat seperti ini disebut juga
circulus vitiousus.
10. Ignoratio elenchi
Kesesatan seperti ini terjadi ketika sebuah kesimpulan yang kita turunkan tidak
sesuai atau relevan dengan premis-premisnya. Jika melihat dari segi relevansi
antara kesimpulan (konklusi) dengan premis, maka argumentum ad hominem,
argumentum ad baculum, argumentum ad populum termasuk dalam kategori
kesesatan ignoration elenchi.
11. Kesesatan karena pertanyaan yang kompleks
Kesesatan seperti ini timbul ketika kita mengajukan sebuah pertanyaan atau
menyampaikan sebuah pernyataan yang sebenarnya di dalamnya terkandung
beberapa pertanyaan atau pernyataan lain. Sehingga jika pertanyaan atau
pernyataan sepert itu diajukan, maka dapat memberikan beberapa
kemungkinan jawaban atau dapat memungkinkan beberapa kemungkinan
penafsiran.
12. Argumentum ad ignorantiam
Ini merupakan sebuah bentuk kesesatan ketika orang menyimpulkan sesuatu
dalam penalarannya, dan kesimpulan itu didasarkan pada kenyataan bahwa
negasinya tidak terbukti salah, atau menyimpulkan bahwa sesuatu konklusi itu
salah karena negasinya (penolakannya) ternyata tidak terbukti benar.
Pertemuan Ketigabelas
Pokok bahasan : Silogisme/argument kategoris (dedutif)
Sub pokok bahasan : Arti silogisme/argument
Prinsip-prinsip silogisme/argument
Hukum-hukum silogisme/argument kategoris
Sinopsis:
Silogisme adalah sebuah argument yang terdiri dari tiga proposisi; dua
proposisi yang pertama disebut premis, dan berdasarkan dua proposisi ini lalu
diturunkan proposisi ketiga yang disebut kesimpulan atau konklusi. Berikut ini
adalah contoh sebuah silogisme.
Semua manusia berakal budi
Socrates adalah manusia
Jadi, Socrates berakal budi
Menurut jenisnya, silogisme dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok
silogisme. Pertama adalah silogisme kategoris yang semuanya terdiri dari
proposisi-proposisi kategoris. Kedua adalah silogisme hipotetis (tentang) jenis
silogisme ini akan dibahas pada bagian setelah silogisme kategorisl.
Dalam silogisme terdapat sejumlah prinsip yang menjadi ketentuan dasar,
dan dari prinsip-prinsip inilah diturunkan beberapa ketentuan lain yang kita sebut
sebagai hukum silogisme (kategoris). Keempat prinsip itu adalah sbb:
Pertama, prinsip saling identik dengan hal ketiga
Untuk memahami prinsip ini, juga prinsip berikutnya, perlu dijelaskan dahulu
bahwa dalam silogisme itu terdapat tiga proposisi, dan dalam tiga proposisi itu
terdapat tiga term, yaitu term subyek (S), term predikat (P), dan term menengah
(middle term) yang biasa disingkat (M). Prinsip ini jika diperjelas maka bunyinya
menjadi “jika dua term, masing-masing identik dengan term ketiga, maka dua term itu
juga pasti saling identik”.
Sekarang rumusan ini kita perjelas dengan menggunakan ketiga term sebagaimana
sudah disebutkan, yaitu S, P, dan M dalam sebuah silogisme kategoris. Contoh:
M = P Semua manusia dapat mati
S = M Socrates adalah manusia
S = P Jadi, Socrates dapat mati
Contoh silogisme diatas menunjukan bahwa term S dan term P adalah identik,
karena masing-masing identik dengan term ketiga yaitu term M.
Kedua, prinsip saling tidak identik dengan hal ketiga
Prinsip ini menegaskan bahwa “jika dua term, salah satu dari padanya identik
dengan term ketiga, sedangkan term yang lainnya tidak identik dengan term ketiga,
maka kedua term juga tidak saling identik”.
Contoh: Sapi adalah binatang
Socrates adalah bukan binatang
Jadi, Socrates itu bukan sapi
Ketiga, prinsip Dictum de Omni (The law of all)
Prinsip ini menegaskan bahwa apa yang diakui dalam keseluruhan logis, juga
diakui dalam bagian logis. Dirumuskan dengan cara lain prinsip ini mau
mengatakan bahwa “apa yang diakui tentang suatu term yang ada (=genus), akan
berlaku juga bagi term lain yang menjadi bagian tau bawahan dari term yang
pertama tadi”.
Untuk menjelaskan maksud dari rumusan prinsip ini, mari kita perhatikan
silogisme pada contoh berikut ini.
Semua anjing bisa menggonggong (pengakuan/afirmasi)
Bleki adalah anjing
Jadi, bleki bisa menggonggong (pengakuan/afirmasi)
Pada premis pertama berisi pengakuan bahwa “semua anjing bisa menggonggong”,
Bleki adalah nama seekor anjing. Karena bleki adalah bagian dari anggota kelas
anjing, dan kita telah mengakui bahwa semua anjing itu bisa menggonggong, maka
otomatis pengakuan itu juga harus berlaku buat bleki. Bleki adalah bagian dari
himpunan anjing sebagai keseluruhan. Pengakuan terhadap keseluruhan logis
(himpunan seluruh anjing) dengan sendirinya harus berlaku juga buat bleki
(bagian logis).
Keempat, Prinsip Dictum de Nullo (The law of none)
Prinsip ini berbunyi demikian: “apa yang diingkari dalam keseluruhan logis,
otomatis berlaku juga untuk bagian logis”. Berikut ini adalah contoh silogisme
yang dapat menggambarkan prinsip tersebut.
Semua penjahat itu bukan orang baik (pengingkaran/negasi)
Koruptor adalah penjahat
Jadi, koruptor itu bukan orang baik (pengingkaran/negasi)
Kita mengingkari atau menolak semua orang dalam kategori penjahat sebagai
orang baik. Sementara koruptor adalah bagian dari himpunan para penjahat.
Karena kita telah mengingkari atau tidak mengakui semua penjahat sebagai orang
baik, maka pengingkaran itu juga harus secara otomatis berlaku untuk koruptor.
Sebab koruputor termasuk bagian dari himpunan penjahat.
Dari prinsip-prinsip ini kemudian diturunkan sejumlah aturan sebagai
hokum silogisme kategoris. Hukum-hukum silogisme ini mengatur perihal term
dan juga proposisi. Sebab dalam silogisme, sebagaimana sudah dikatakan, terdapat
tiga proposisi (dua yang pertama disebut premis, dan yang ketiga disebut
kesimpulan), dan juga tiga term. Berdasarkan pemahaman tentang hukum-hukum
silogisme ini kita dapat menguji dan mengetahui sahih atau tidaknya sebuah
argumen.
Hukum Silogisme Kategoris Tentang Term
Hukum tentang term biasanya hanya mengatur tiga hal, yaitu jumlah term, luas
term, dan letak term.
1. Jumlah term silogisme kategoris hanya tiga, tidak boleh lebih juga tidak
boleh kurang dari tiga
2. Luas term Subyek (S) dan term Predikat (P) pada kesimpulan, baik sendiri-
sendiri maupun dua-duanya, tidak boleh lebih besar dari term yang sama
yang terdapat pada premis
3. Term Menengah (M) tidak boleh terdapat pada kesimpulan
4. Luas term M sekurang-kurangnya satu kali universal, tidak boleh dua-
duanya partikular.
Hukum Silogisme Kategoris Tentang Proposisi
Seperti sudah diketahui, proposisi dalam silogisme berjumlah tiga. Dua yang
pertama adalah premis, dan proposisi ketiga adalah kesimpulan. Karena itu bunyi
hukum silogisme kategoris tentang proposisi mengatur soal premis dan kesimpulan.
No Jika
Premis
Maka
Kesimpulan
1 Dua premis afirmatif Afirmatif
2 Dua premis negatif Tidak sahih
3 Satu premis partikular Partikular
4 Satu premis negatif Negatif
5 Satu premis particular dan negatif Partikular dan negatif
6 Dua premis partikular Tidak sahih
Hukum silogisme kategoris adalah salah satu cara (terbaik) untuk menguji juga
mengetahui sahih tidaknya sebuah silogisme atau argumen. Di samping hukum
silogosme, masih ada cara lain yang juga dapat digunakan untuk menguji sahih
tidaknya sebuah silogisme. Kedua cara itu adalah pertama Figur dan Modus, dan
kedua diagram venn. Berikut ini adalah penjelasan tentang figur dan modus, lalu
menyusul tentang diagram venn.
Figur dan Modus
Yang dimaksudkan dengan figur dalam silogisme kategoris adalah susunan
atau letak term menengah (M) dalam kedua premis pada silogisme kategoris.
Berdasarkan letaknya, maka kita mengenal ada empat macam figur. Keempat
macam figur itu adalah masing-masing: predikat-subyek (disingkat pre-sub),
predikat-predikat (disingkat pre-pre), subyek-predikat (disingkat sub-pre), dan
subyek-subyek (disingkat sub-sub).
Kalau figur sebuah silogisme adalah predikat-subyek atau pre-sub artinya
term menengah (M) menempati posisi sebagai Predikat pada premis pertama, dan
sebagai subyek pada premis kedua. Ketentuannya harus dibaca dari atas ke
bawah, dan tidak sebaliknya. Untuk gampang diingat, term apa pun (S, P, M) yang
berada di depan tanda sama dengan (=) statusnya adalah sama dengan Subyek.
Sedangkan term apapun yang ada setelah/di belakang tanda sama dengan (=)
statusnya adalah sama dengan Predikat. Berikut ini adalah contoh-contoh dari
semua figur yang dimaksud.
Figur Pre-Sub: Figur Pre-Pre: Figur Sub-Pre: Figur Sub-Sub:
P = M P = M M = P M = P
M = S S = M S = M M = S
-------- -------- --------- --------
S = P S = P S = P S = P
Semua contoh di atas sebenarnya menggambarkan silogisme yang semua
proposisinya afirmatif. Hal itu tampak dari tanda sama dengan (=). Namun dalam
silogisme ada juga proposisi negative, yang biasanya digambarkan dengan tanda
tidak sama dengan. Namun sekedar contoh, kiranya hanya itu yang disampaikan,
walaupun harus diingat bahwa silogisme itu bervariatif proposisinya, baik itu
universal maupun particular, baik itu afirmatif maupun yang negatif.
Kemudian yang dimengerti tentang modus adalah susunan proposisi dalam
silogisme kategoris dilihat dari segi kuantitas (luas) maupun kualitasnya. Semua
proposisi itu (jumlahnya tiga) digambarkan atau disimbolkan dalam bentuk huruf-
huruf: A, I, E, dan O. Susunan huruf-huruf itulah yang disebut dengan modus.
Berikut ini adalah contohnya.
(1) Semua manusia berakal budi A
Aristoteles berakal budi A
Jadi, Aristoteles adalah manusia A
(2) Semua yang belajar lulus ujian A
Sebagian mahasiswa STIKOM LSPR tidak lulus ujian O
Jadi, sebagian mahasiswa STIKOM LSPR tidak belajar O
Pada silogisme yang pertama (1), proposisi pertama adalah universal
afirmatif, proposisi kedua dan ketiga masing-masing adalah singular afirmatif.
Simbol untuk ketiga proposisi ini adalah A. Karena itu Modus untuk silogisme ini
adalah AAA.
Sedangkan pada silogisme contoh yang kedua (2), proposisi pertama adalah
universal afirmatif (A). Proposisi kedua adalah partikular negatif (O), dan
proposisi ketiga adalah juga partikular negatif (O). Jadi Modus untuk silogisme ini
adalah AOO.
Lalu bagaimana sekarang kita bisa mengetahui atau mengecek sahih
tidaknya sebuah silogisme kategoris berdasarkan unsur modus dan figur. Berikut
ini adalah contoh silogisme tidak sahih.
Semua yang cantik itu enak dipandang
Semua mahasiswi STIKOM LSPR itu enak dipandang
Jadi, semua mahasiswi STIKOM LSPR itu cantik
Jika bukan modus dan figur dari contoh silogisme diatas ini, maka bentuknya
adalah sbb:
A P=M
A S=M
-----------
A S=P
Modus silogisme ini adalah AAA, sedangkan figurnya adalah Pre-Pre. Itu
berarti term menengah pada kedua premis menempati posisi sebagai predikat
(letaknya sesudah tanda =). Kalau kita mengingat hukum tentang Luas Term
Predikat (hukum itu mengatakan: kalau proposisinya afirmatif maka luas term
predikatnya adalah partikular dan kalau proposisi negatif, luas term predikatnya
universal), maka kita akan mengetahui bahwa silogisme tersebut diatas tidak sahih.
Karena proposisi pada kedua premisnya afirmatif. Dan term M pada kedua premis
itu menempati posisi sebagai predikat. Dengan begitu hukum tentang luas term
predikat berlaku. Luas kedua term itu, masing-masing partikular. Sedangkan
hukum silogisme kategoris tentang term mengatakan, luas term M paling kurang
satu kali harus universal. Jika dua-duanya partikular, maka silogisme itu tidak
sahih.
Diagram Venn Untuk Silogisme
Sebuah silogisme, seperti juga pada proposisi, dapat juga diungkapkan
dalam bentuk diagram venn. Karena dalam silogisme ada tiga term (S, P, dan M),
maka gambar diagram venn juga harus terdiri dari tiga buah lingkaran yang saling
berpotongan. Berdasarkan pada gambar ini kita bisa mengetahui apakah silogisme
yang hendak kita buatkan dalam bentuk diagram tadi sahih atau tidak. Berikut ini
adalah ketentuan atau langkah-langkah tentang bagaimana menggambarkan
diagram venn untuk sebuah silogisme:
1. Kita membuat tiga buah lingkaran yang saling berpotongan, dan pada sisi luar
dari masing-masing lingkaran diberi huruf misalnya S, P, dan M untuk
mewakili tiga kelas/himpunan.
2. Kita mulai mengerjakan proposisi pertama dengan cara memberi tanda arsir
atau silang dengan memperhatikan ketentuan tentang pembuatan diagram venn
untuk proposisi (lihat ketentuan ini pada pembahasan tentang proposisi). Jika
proposisinya A, maka tanda yang diberi hanya arsir, tanpa silang.
3. Kita mengerjakan proposisi kedua dengan cara yang sama seperti kita
mengerjakan proposisi pertama. Jika proposisinya A, maka tanda diagramnya
adalah arsir sekaligus silang. Proses pembuatan diagram selesai sampai pada
tahap ini. Apabila proposisi ketiga (= kesimpulan) sudah tergambar atau
terwakili dalam diagram, maka silogisme ini sahih. Sebaliknya, apabila posisi
ketiga atau kesimpulan belum tertampung/terwakili dalam gambar diagram,
maka itu artinya silogisme ini tidak sahih.
Pertemuan Keempatbelas
Pokok bahasan : Silogisme/argumen hipotetis
Sub pokok bahasan : Silogisme hipotetis kondisional
Silogisme hipotetis disyungtif
Silogisme hipotetis konyungtif
Sinopsis:
Silogisme hipotetis adalah silogisme yang salah satu premisnya (biasanya
premis mayor) adalah proposisi hipotetis (lihat kembali definisi tentang proposisi
hipotetis), dan dua proposisi lainnya (premis minor dan kesimpulan) adalah
proposisi kategoris.
Berdasarkan bentuk perumusan pada premis mayornya, ada tiga bentuk
silogisme hipotetis. Masing-masing adalah silogisme hipotetis kondisional, silogisme
hipotetis disyungtif, dan silogisme hipotetis kongyutif. Rumusan premis mayor pada
silogisme hipoteti kondisional adalah “jika…, maka…” Rumusan premis mayor
pada silogisme hipotetis disyungtif adalah “…atau….atau…” Dan rumusan premis
mayor pada silogisme hipotetis kongyutif adalah “…tidak bisa sekaligus…dan…”
Silogisme Hipotetis Kondisional
Silogisme jenis ini ditandai dengan bentuk rumusan “jika…maka...” yang
terdapat pada premis mayor. Berikut ini adalah contoh silogisme hipotetis
kondisional.
Jika hujan, maka jalan basah
Ternyata hari ini hujan
Jadi, jalan basah
Bagian pertama pada premis mayor yang dimulai dengan “jika…,” disebut
antesedens. Dan bagian kedua dimulai dengan “maka…” disebut konsekuens.
Hukum silogisme hipotetis kondisional berbunyi sbb:
1. Pengakuan terhadap antesedens (=premis minor) harus disusul pula dengna
pengakuan terhadap konsekuens (=kesimpulan).
2. Pengingkaran terhadap konsekuens (=premis minor) harus disusul pula dengan
pengingkaran terhadap antesedens (=kesimpulan).
Pengakuan/pengingkaran Premis Minor Kesimpulan
Pengakuan Antesedens (+) Konsekuens (+)
Pengingkaran Konsekuens (-) Antesedens (-)
Hukum silogisme hipotetis kondisional sebagaimana disebut di atas sekaligus
menegaskan bahwa hanya ada dua modus yang sahih. Pertama adalah modus
ponens, dan kedua adalah modus tollens. Modus Ponens menegaskan bahwa jika
antesedens diakui (+) dalam premis minor, maka koneskuens juga harus diakui (+)
dalam kesimpulan. Sedangkan Modus Tollens menegaskan bahwa jika konsekuens
disangkal (-) dalam premis minor, maka antesedens juga harus disangkal (-) dalam
kesimpulan. Masing-masing modus yang sahih memiliki 4 macam variasi
sebagaimana dapat dilihat pada contoh berikut ini.
Modus Ponens
Jika hujan, maka jalan basah Jika tidak hujan, maka saya pergi kuliah
Ternyata hari ini hujan Ternyata tidak hujan
Jadi, jalan pasti basah Jadi, saya pergi kuliah
Jika hujan, maka saya tidak ke kampus Jika tidak ada dosen, saya tidak kuliah
Ternyata hari ini hujan Ternyata tidak ada dosen
Jadi, saya tidak ke kampus Jadi, saya tidak kuliah
Modus Tollens
Jika hujan, maka jalan basah Jika tidak ada dosen, maka saya tidak kuliah
Ternyata jalan tidak basah Ternyata saya kuliah
Jadi, tidak hujan Jadi, ada dosen
Jika hujan, saya tidak pergi kuliah Jika tidak hujan, saya pergi belanja
Ternyata saya pergi kuliah Ternyata saya tidak pergi belanja
Jadi tidak hujan Jadi, hujan
Silogisme Hipotetis Disyungtif
Silogisme hipotetis disyungtif (SHD) adalah sebuah silogisme hipotetis yang
terdiri dari satu proposisi hipotetis disyungtif pada premis mayor, dan dua
proposisi kategoris pada premis minor dan kesimpulan.
SHD Dalam Arti Sempit
Ada dua jenis SHD. Pertama adalah SHD dalam arti sempit, dan SHD
dalam arti luas. Dalam SHD arti sempit, premis mayor harus terdiri dari proposisi
hipotetis disyungtif dalam arti sempit (artinya hanya salah satu dari dua
pilihan/alternative yang benar, dan yang lainnya salah). Pilihan adlam premis
mayor bersifat saling mengeksklusifkan. Hukum untuk SHD dalam arti sempit
adalah sbb:
1. Jika satu kemungkinan benar, maka kemungkinan lainnya pasti salah
2. Jika satu kemungkinan salah, maka kemungkinan lainnya pasti benar
Modus yang sahih untuk SHD Dalam Arti Sempit ada dua, yaitu modus ponendo
tollens, dan modus tolledo ponens. Modus pertama menegaskan “mengakui atau
mengafirmasi kemungkinan/pilihan yang satu pada premis minor, berarti
menolak/menyangkal kemungkinan/pilihan lain dalam kesimpulan”. Sedangkan
modus yang disebut kedua menegaskan “mengingkari/menyangkal
kemungkinan/pilihan satu pada premis minor berarti harus mengakui/mengafirmasi
kemungkinan/pilihan lain dalam kesimpulan”.
Berikut ini adalah contoh dari kedua modus tersebut.
Modus Ponendo Tollens Modus Tolledo Ponens
Anjing yang terkapar itu atau hidup atau mati Anjing yang terkapar itu atau hidup atau mati
Anjing yang terkapar di itu ternyata hidup Anjin g yang terkapar itu ternyata tidak hidup
Jadi anjing yang terkapar itu tidak mati Jadi, anjing yang terkapar itu mati
Silogisme Hipotetis Konyungtif
Silogisme hipotetis konyungtif (SHK) adalah sebuah silogisme yang terdiri
dari satu proposisi hipotetis konyungtif pada premis mayor yang menyatakan ada
dua kemungkinan pilihan dimana dua-duanya tidak bisa sama-sama benar, dandua
proposisi kategoris pada premis minor dan pada kesimpulan.
Hukum SHK menegaskan bahwa:
1. Jika pilihan yang satu pada premis minor diakui (benar), maka pilihan lain
pada kesimpulan harus disangkal (salah)
2. Jika pilihan yang satu pada premis minor disangkal, maka pilihan lain pada
kesimpulan menjadi tidak pasti, bisa benar juga bisa salah
Dengan kata lain, SHK menjadi sahih apabila premis minor berisi pengakuan
terhadap salah satu dari dua kemungkinan pilihan yang ada. Sebaliknya SHK
menjadi tidak sahih apabila premis minor berisi penyangkalan. Berikut ini adalah
contoh SHK yang sahih:
Kamu tidak bisa sekaligus berada di kampus dan di plaza semanggi (P Mayor)
Ternyata kamu berada di kampus (P Minor – Pengakuan)
Jadi, kamu tidak berada di plaza semanggi (Kesimpulan – pengingkaran)
Selanjutnya adalah contoh SHK yang tidak sahih:
Kamu tidak bisa sekaligus berada di kampus dan di plaza semanggi (P Mayor)
Ternyata kamu tidak berada di kamus (P Minor – Pengingkaran)
Jadi, kamu tidak berada di plaza semanggi (Kesimpulan-pengakuan)
Silogisme contoh kedua dikatakan tidak sahih karena premis minor berisi
pengingkaran yaitu bahwa “kamu tiak berada di kampus”. Lalu dari kenyataan ini
kemudian disimpulkan bahwa “kamu pasti ada di plaza semanggi‟. Kesimpulan ini
jelas tidak sahih karena ada kemungkinan lain selain di plaza semanggi. Boleh jadi
kamu berada di tempat lain (di plaza senayan atau plaza Blok M, atau mungkin di
rumah atau di tempat lain yang tidak diketahui).
SHD Dalam Arti Luas
Berbeda dengan SHD dalam arti sempit, SHD dalam arti luas hanya memiliki satu
modus yang sahih yaitu modus ponendo tollens. Jika premis mayor dalam SHD
dalam arti sempit berisi pilihan atau kemungkinan pilihan yang sifatnya saling
mengekskusifkan, maka dalam silogisme ini, justru kemungkinan pilihannya tidak
saling mengeksklusifkan. Dengan kata lain, di antara dua pilihan yang ada
(atau…atau…), ada kemungkinan pilihan yang ketiga. Berikut ini adalah
contohnya.
Modus Ponenedo Tollens
Tahanan yang berada dalam ruang tahanan itu atau sedang duduk atau berdiri
Tahanan yang berada dalam ruang tahanan itu sedang duduk
Jadi, dia tidak sedang berdiri
Tahanan yang berada dalam ruang tahanan itu atau sedang duduk atau berdiri
Tahanan yang ada dalam ruang tahanan itu sedang berdiri
Jadi, dia tidak duduk
Silogisme ini menjadi tidak sahih kalau premis minor berisi penyangkalan. Ada
kemungkinan ketiga di antara dua pilihan yang ada (duduk atau berdiri), yaitu
berbaring.