STUDI PERBANDINGAN HUKUM PERLINDUNGAN SAKSI DAN … · tindakan yang harus dilakukan aparat penegak...
Transcript of STUDI PERBANDINGAN HUKUM PERLINDUNGAN SAKSI DAN … · tindakan yang harus dilakukan aparat penegak...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
STUDI PERBANDINGAN HUKUM PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
TERKAIT PRINSIP KERAHASIAAN DAN KERINGANAN HUKUMAN BAGI
WHISTLE BLOWER MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN
2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
DENGAN US MARSHAL SERVICE WITNESS
SECURITY PROGRAM USA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
ENDRI WIDAKDO
NIM. E 1107022
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI PERBANDINGAN HUKUM PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
TERKAIT PRINSIP KERAHASIAAN DAN KERINGANAN HUKUMAN BAGI
WHISTLE BLOWER MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN
2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
DENGAN US MARSHAL SERVICE WITNESS
SECURITY PROGRAM USA
Oleh Endri Widakdo NIM. E1107022
Telah diterima dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada:
Hari : Selasa Tanggal : 31 Januari 2012
DEWAN PENGUJI
1. Edy Herdyanto, S.H., M.H. ( ....................................)
2. Bambang Santoso, S.H.,M.Hum. ( ....................................)
3. Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. ( ....................................)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
ABSTRAK
Endri Widakdo, E 1107022. 2012. STUDI PERBANDINGAN HUKUM PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN TERKAIT PRINSIP KERAHASIAAN DAN KERINGANAN HUKUMAN BAGI WHISTLE BLOWER MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN US MARSHAL SERVICE WITNESS SECURITY PROGRAM USA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai persamaan dan perbedaan, kelebihan dan kelemahan terhadap perlindungan saksi dan korban terkait prinsip kerahasiaan dan keringanan hukuman bagi whistle blower menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan US Marshal Service Witness Security Program USA.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif besifat preskriptif, menemukan hukum in concreto ada tidaknya persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan kelemahan perlindungan saksi dan korban terkait prinsip kerahasiaan dan keringanan hukuman bagi whistle blower menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan US Marshal Service Witness Security Program USA. Sumber bahan hukum yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan cyber media. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan yaitu studi kepustakaan. Analisis bahan hukum yang dilaksanakan menggunakan teknik analisis bahan hukum kualitatif dengan mengumpulkan bahan hukum, mengkualifikasikan kemudian memperbandingkan serta menghubungkan dengan teori yang berhubungan dengan masalah dan menarik kesimpulan untuk menentukan hasil.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, persamaannya, tujuan memerangi extraordinary crime, prosedur pemberian perlindungan dan penghentian perlindungan terhadap whistleblower, pembiayaan menjadi tanggung jawab negara. Perbedaan kesatu definisi mengenai whistleblower. Kedua, di Indonesia, perlindungan di bawah satu lembaga negara di Amerika Serikat berada pada tiga lembaga negara. Ketiga, prinsip keringanan hukuman di Indonesia hanya sepanjang pemberian keringanan hukuman, sedangkan di Amerika Serikat meliputi sebelum, selama dan sesudah pemberian kesaksian. Kelebihannya, Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 sebagai langkah awal untuk memerangi kejahatan yang terorganisir. Kelemahan, tidak terdapat penjelasan tentang whistleblower yang berkedudukan sebagai pelaku yang bekerjasama secara jelas sehingga penegakan hukum belum dapat dilaksanakan secara pasti dan nyata. Kelebihan US Marshal Service Witness Security Program USA proses pembentukan perlindungan lebih menyeluruh. Kelemahan, tidak disertainya ketentuan pidana yang jelas mengenai intimidasi dan kejelasan tindakan yang harus dilakukan aparat penegak hukum,.
Kata kunci : Perbandingan hukum, whistleblower, Prinsip Kerahasiaan dan Keringanan Hukuman
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRACT
Endri Widakdo, E 1107022 2010. A COMPARATIVE STUDY IN LEGAL PROTECTION OF WITNESS AND VICTIMS RELATED TO SECRECY AND COMMUTATION PRINCIPLE OF LAW FOR WHISTLE BLOWER ACCORDING TO PROTECTION WITNESS AND VICTIMS ACT NUMBER 13 2006 AGAINST US MARSHAL WITNESS SECURITY PROGRAM USA. The aims of this research is to find the similarities and differences, the positive and negative side between Legal Protection of Witness and Victims related to Secrecy and Commutation Principle of Law for Whistle Blower According to Act Number 13 2006 about Protection Witness and Victims against US MARSHAL WITNESS SECURITY PROGRAM USA. This research is a prescriptive normative research, finding in concreto law. It is have a tendency to find a similarities or differences, positive or negative side about Protection of Witness and Victims related to Secrecy and Commutation Principle of Law for Whistle Blower According to Protection Witness and Victims Act Number 13 2006 against US MARSHAL WITNESS SECURITY PROGRAM USA. Sources of legal materials are primary legal materials, secondary legal materials and cyber media. The technique that are used to collecting the legal materials is literary study. This study using qualitative legal materials technique. Firstly, collecting and qualifying the legal materials, then comparing and relating with the theoretical problems, finally finding the conclusion to define the result. According to the result of the research and discussion, there is a conclusion. The similarities are to fight against extraordinary crime, procedure of giving and terminating protection against whistle blower and financing is the responsibility of the state. The differences are: the definition of whistle blower, in Indonesia, the protection under one state gazette, in America the protection under three state gazettes, principle of commutation of Law in Indonesia just over granting a commutation whereas America covers before, during and after giving a testimony. The positive side is the act no. 13 in 2006 as a first step to fight against organized crime. The negative side is there is no clear explanation about whistle blower which serves as suspect who is clearly working together so that law enforcement cannot be implemented with certainty and tangible. The positive side of US MARSHAL WITNESS SECURITY PROGRAM USA is the process of the protection more comprehensive than in Indonesia. Weaknesses of US MARSHAL WITNESS SECURITY PROGRAM USA, there are no clear provisions regarding criminal intimidation and clarity of actions from the law enforcement. Keyword: Comparative Law study, whistle blower, secrecy and commutation principle of Law.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
MOTTO
Tetap semangat,Jangan pernah menyerah sebelum mencoba dan berusaha.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
PERSEMBAHAN
Penulisan hukum ini penulis persembahkan
kepada:
v ALLAH S.W.T
v Bapak dan Ibu , kakak-kakakku , adik-
adikku , serta kakek dan nenek yang selalu
ada disekelilingku yang menjadi
penyemangat untuk segala kebaikan dan
meraih kesuksesan.
v Semua teman-temanku.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis persembahkan kepada Allah SWT, karena dengan rahmat
dan hidayah-Nya yang telah menyertai Penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “ STUDI
PERBANDINGAN HUKUM PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
TERKAIT PRINSIP KERAHASIAAN DAN KERINGANAN HUKUMAN
BAGI WHISTLE BLOWER MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13
TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
DENGAN US MARSHAL SERVICE WITNESS SECURITY PROGRAM
USA“.
Penulisan Hukum ini merupakan rangkaian persyaratan dan tugas yang harus
dipenuhi guna mencapai gelar Sarjana Strata-1 pada Ilmu hukum khususnya
hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dengan terselesaikannya Penulisan Hukum ini, Penulis mengucapkan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu
kelancaran dalam penyelesaian Penulisan Hukum ini.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasihyang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Prof. Dr.Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta .
2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara.
3. Bapak Bambang Santosa, S.H., M.Hum. selaku pembimbing Skripsi yang
telah memberikan bimbingan, memberi masukan, arahan dan pengetahuan
sehingga mempermudah penulis untuk menyelesaikan penulisan Hukum
ini serta memberi semangat penulis.
4. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H.,M.H. selaku pembimbing Skripsi yang
sangat membantu penulisan hukum ini.
5. Bapak Kristiyadi, SH.M.Hum, selaku Dosen Hukum Acara Pidana yang
telah berbagi ilmu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
6. Ibu Diana Tantri, S.H, M. Hum. selaku Pembimbing Akademik yang telah
membimbing, memberi saran dan arahan selama penulis kuliah di Fakultas
Hukum UNS.
7. Bapak Harjono Pusponegoro, SH.,M.H. Ketua Program Non Regular.
8. Pengelola Penulisan Hukum (PPH), khususnya Mas Wawan yang telah
membantu dalam mengurus prosedur-prosedur skripsi mulai dari
pengajuan judul, pelaksanaan seminar proposal sampai pendaftaran ujian
skripsi.
9. Keluarga Baru JrR, semoga kalian bisa jadi team yang solid dan
membanggakan, amin.
10. Anak-anak Non Regular Hukum 2007,
11. Semua pihak yang tidak bisa Penulis sebutkan satu-persatu yang telah
membantu baik moril maupun material dalam Penulisan Hukum ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ........................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................. v
HALAMAN MOTTO...................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 7
E. Metode Penelitian .................................................................... 8
F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................. 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 16
A. Kerangka Teori ......................................................................... 16
1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum ................ 15
2. Tinjauan Umum Tentang Karakteristik Sistem Common Law
dan Civil Law....................................................................... 19
3. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 26
a. Pengertian Perlindungan ............................................... 26
b. Pengertian Saksi ........................................................... 26
c. Pengertian Korban ........................................................ 28
4. Tinjauan Umum Tentang Whistleblower ............................ 29
a. Pengertian Whistleblower .............................................. 29
b. Sejarah Whistleblower .................................................. 30
B. Kerangka Pemikiran ................................................................ 32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............................... 35
A. Hasil penelitian mencermati ketentuan perbandingan terhadap
kedua sistem hukum regulasi prinsip kerahasiaan dan
keringanan hukuman bagi whistle blower menurut Undang-
Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban dengan US Marshal Service Witness Security
Program USA ...........................................................................
1. Pengaturan Program Perlindungan Saksi dan Korban
dalam UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban ......................................................................... 35
a. Latar Belakang Undang-Undang 13 tahun 2006 ........... 35
b. Perlindungan Hukum Terhadap whistleblower............... 37
c. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ..................... 44
d. Pengaturan Pemberian Perlindungan dan Bantuan
LPSK .............................................................................. 47
e. Ketentuan Pidana .......................................................... 52
f. Ketentuan Peralihan ........................................................ 52
2. Pengaturan Perlindungan Saksi dan Korban dalam
Regulasi Prinsip Kerahasiaan dan Keringanan Hukuman
dalam US Marshal Service Witness Security Program
USA ..................................................................................... 52
a. Latar Belakang US Marshal Service Witness Security
Program USA ............................................................... 52
b. US Marshal Service ...................................................... 55
c. Perlindungan Bagi Saksi dan Korban ........................... 56
d. Syarat dan Tata Cara Pemberian Perlindungan dan
Bantuan.......................................................................... 64
3. Pembahasan Mencermati Hasil Penelitian Prinsip
Kerahasiaan dan Keringanan Hukuman Bagi Whistle
Blower menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan US
Marshal Service Witness Security Program USA ............... 70
a. Persamaan dan Perbedaan ............................................ 70
b. Kelebihan dan Kelemahan ............................................ 76
BAB IV PENUTUP ...................................................................................... 81
A. Simpulan..................................................................................... 81
B. Saran .......................................................................................... 82
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berdasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pasal 1 dan Pasal 184 disebutkan bahwa seorang saksi yang melihat, mendengar
dan mengalami sendiri merupakan salah satu alat bukti yang sah untuk
menentukan suatu perbuatan tindak pidana. Oleh karena itu saksi memiliki
peranan yang menentukan bagi hakim dalam menemukan keyakinan dan
membuat terang benderang suatu peristiwa tindak pidana. Hal tersebut diperkuat
dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang menyatakan keterangan saksi
yang sah adalah keterangan yang dinyatakan di Pengadilan. Bagi saksi yang
meringankan terdakwa (a de charge) kehadirannya di dalam sidang bukan
merupakan suatu hal yang berat. Lain halnya jika yang harus hadir dan
memberikan kesaksian adalah saksi yang memberatkan kedudukan terdakwa (de
charge), tidak terelakkan beban psikologi saksi juga harus menjadi pertimbangan
aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya untuk memberikan
perlindungan hukum terhadap saksi. Sesungguhnya apabila kita cermati dalam
kenyataannya, kondisi saksi tidak jauh berbeda dengan tersangka/terdakwa,
mereka sama-sama memerlukan perlindungan,karena:
1. Bagi saksi (apalagi yang awam hukum), memberikan keterangan bukanlah
suatu hal yang mudah.
2. Bila keterangan yang diberikan ternyata tidak benar, ada ancaman pidana
baginya karena dianggap bersumpah palsu.
3. Keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya mendapat
ancaman, teror, intimidasi dari pihak yang dirugikan.
4. Memberikan keterangan membuang waktu dan biaya
5. Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti seorang
Tersangka dan atau terdakwa (Fatimah, 6: 2010).
Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan
Korban Nomor 13 Tahun 2006 yang di dalamnya juga dimuat mengenai
perlindungan terhadap saksi atau korban yang menjadi saksi dalam kejahatan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
dilakukan. Diharapkan dengan adanya prinsip kerahasiaan dan keringanan
hukuman dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, saksi pelapor maupun
korban bersedia memberikan bantuan kepada negara dalam bentuk informasi yang
berguna bagi pemberantasan tindak pidana korupsi. Sehingga pemberlakuan UU
No. 13 tahun 2006 bersifat lex specialis derogate lex generalis terhadap UU No. 8
Tahun 1981, khususnya mengenai perlindungan terhadap saksi dan korban
diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi saksi dan korban yang merasa
kesaksian yang akan diberikannya akan mengancam kehidupan maupun
privasinya. Diperlukan adanya suatu keberanian dari seorang untuk memulai
membuka “kotak pandora” kejahatan bersama yang merugikan negara.
Dalam beberapa peristiwa sering terdengar adanya istilah whistleblower atau peniup peluit terjadinya suatu penyimpangan atau tindak pidana. Istilah whistleblower dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “peniup peluit”, disebut demikian karena sebagaimana halnya wasit dalam pertandingan sepak bola atau olahraga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran (Anwar Usman, 1: 2010).
Dalam tulisan ini, istilah whistleblower diartikan sebagai orang yang
mengungkap fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik,
korupsi atau suatu perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana. Whistleblower
dapat dikatakan sebagai seorang saksi yang mengetahui adanya suatu perbuatan
yang dilarang Undang-Undang (Anwar Usman, 6: 2010). Oleh karena itu
keberadaannya sangat penting dalam memberikan informasi kepada penyidik
untuk membongkar adanya suatu perbuatan yang patut diduga sebagai suatu
tindak pidana. Namun fakta hukum di Indonesia menunjukan bahwa peranan dan
kedudukan wistleblower belum mendapat perlindungan hukum yang memadai.
Tidak ada penghargaan maupun manfaat bagi seseorang yang bersedia menjadi
whistleblower terkecuali jika ada seorang yang sudah menjadi tersangka dan atau
terdakwa. Dalam keadaan yang demikian si tersangka dan atau terdakwa tersebut
akan dengan suka rela menjadi whistleblower bagi orang-orang yang ikut
melakukan tindak pidana bersamanya. Di Indonesia beberapa peristiwa dan fakta
menunjukan adanya peranan penting whistleblower dalam mengungkap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
keterlibatan orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana. Berikut beberapa
data yang dapat dijadikan rujukan akan peran penting whistleblower.
1. Gayus Tambunan PNS golongan IIa dengan gaji Rp 1.655.800 dengan
kekayaan yang dimilikinya melebihi batas kewajaran pegawai PNS
golongan IIa. Gayus terlibat dalam makelar kasus penggelapan pajak
yang merugikan keuangan negara dalam jumlah milyaran beberapa
perusahaan besar negara. Di dalam persidangan Gayus telah
menyebutkan beberapa nama perusahaan besar yang terlibat, namun
sampai sekarang hanya Gayus yang sudah mendapatkan putusan vonis
pidana hakim (Yanz Blog wordpress.com).
2. Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian negara Republik
Indonesia Komisaris Jenderal Susno Duadji yang menyampaikan dugaan
mafia hukum dalam penanganan pidana penggelapan di PT Salmah
Arwana Lestari. Modusnya adalah mengubah kasus yang sebenarnya
perdata menjadi pidana. Ia menyebut soal Mr X (akhirnya diketahui
sebagai Sjahril Djohan mantan diplomat Indonesia) dan seorang
purnawirawan jenderal polisi berbintang tiga yang diduga terlibat. Pada
akhirnya sampai sekarang hanya Susno Duadji yang dijerat hukum
dengan hukuman 3 tahun 6 bulan (Blog Koran Anak Indonesia).
3. Kasus dugaan pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi (MK) yang
dilaporkan oleh Zainal Arifin Hoesein, salah seorang panitera MK.
Zainal melaporkan dugaan kasus pemalsuan surat MK pada 10 Februari
2010, kemudian pada 7 Juli 2011 Zainal juga melaporkan pemalsuan
tandatangannya ke Bareskrim Polri. Namun pada akhirnya oleh Polri
Zainal-lah yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri (Kompas, Rabu
24 Agustus 2011).
4. Mantan bendahara partai demokrat Muhammad Nazarudin yang
disangka telah melakukan korupsi atas dana wisma atlet. Dalam
kesaksiannya menyebutkan keterlibatan beberapa nama politikus besar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
maupun pejabat KPK yang sampai sekarang belum tersentuh proses
hukum.
Berdasarkan beberapa data dan berita yang beredar di media massa
maupun media cetak telah terjadi fenomena munculnya peranan whistleblower
yang belum mendapat manfaat bagi dirinya sendiri atas informasi yang diberikan.
Hal tersebut perlu dicermati dalam kaitannya dengan terjadinya suatu tindak
pidana yang merugikan keuangan negara maupun integritas negara sebagai salah
satu negara hukum dan kejelasan status hukum perlindungannya di dalam UU No.
13 Tahun 2006. Yang menjadikan fenomena tersebut perlu mendapat kajian selain
apa kemanfaatan yang didapat bagi si pelapor baik dari segi keamanan,
kerahasiaan juga bagaimana jaminan perlindungan hukum maupun keringanan
hukuman jika memang si pelapor merupakan bagian dari suatu tindak pidana
tersebut.
Untuk memahami bagaimana suatu sistem hukum telah berjalan dengan
baik atau belum maka diperlukan suatu perbandingan terhadap suatu sistem
hukum lainnya. Amerika Serikat sebagai salah satu negara liberal pencetus
tentang perlindungan terhadap hak asasi manusia dapat menjadi bahan
pembanding terhadap sistem hukum Indonesia, khususnya mengenai
whistleblower, mengingat bahwa kedua negara juga merupakan negara demokrasi.
Pertama kali Amerika Serikat secara khusus membuat produk hukum untuk
melindungi whistleblower pada tahun 1863 yang pada waktu itu mencoba untuk
memerangi penipuan oleh pemasok senjata bagi pemerintah Amerika Serikat
selama Perang Saudara. Pemerintah federal justru mendorong whistleblower
dengan menjanjikan uang ganti kerugian dari pemerintah dan melindungi mereka
dari pemecatan dari karir yang telah dijalaninya (www.wikipedia.com).
Perlindungan hukum terhadap saksi ini berada di bawah lembaga US Marshal
Service, namun di Amerika Serikat perlindungan hukum terhadap para peniup
peluit terjadinya perbuatan illegal yang dilarang oleh negara ini tidak hanya
dikelola oleh satu lembaga negara.
Berdasarkan pada uraian latar belakang diatas, untuk mengkaji sejauh
mana lembaga hukum mampu memberikan perlindungan hukum bagi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
whistleblower diperlukan adanya kajian mengenai persamaan dan perbedaan
sistem hukum Amerika Serikat dengan Indonesia serta kelebihan dan kelemahan
sistem hukum kedua negara dalam memberikan jaminan perlindungan hukum
terhadap saksi dan korban terkait prinsip kerahasiaan dan keringanan hukuman.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk menyusun penulisan hukum dengan judul
“STUDI PERBANDINGAN HUKUM PERLINDUNGAN SAKSI DAN
KORBAN TERKAIT PRINSIP KERAHASIAAN DAN KERINGANAN
HUKUMAN BAGI WHISTLE BLOWER MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN
KORBAN DENGAN US MARSHAL SERVICE WITNESS SECURITY
PROGRAM USA”.
A. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti
merumuskan permasalahan untuk dikaji lebih rinci. Adapun beberapa
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu :
1. Apakah persamaan dan perbedaan perlindungan saksi dan korban terkait
prinsip kerahasiaan dan keringanan hukuman bagi whistle blower menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban dengan US Marshal Service Witness Security Program USA?
2. Apakah kelebihan dan kelemahan perlindungan saksi dan korban terkait
prinsip kerahasiaan dan keringanan hukuman bagi whistle blower menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban dengan US Marshal Service Witness Security Program USA?
B. Tujuan Penelitian
Penelitian merupakan kegiatan ilmiah dengan mengumpulkan berbagai
data dan informasi, kemudian dirangkai dan dianalisis yang bertujuan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan juga dalam rangka pemecahan
masalah-masalah yang dihadapi (Soerjono Soekanto, 1986: 2).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Tujuan merupakan target yang ingin dicapai sebagai pemecahan atas
permasalahan yang dihadapi (tujuan obektif) maupun untuk memenuhi
kebutuhan perorangan (tujuan subyektif). Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Tujuan Obyektif :
a. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan perlindungan saksi dan
korban terkait prinsip kerahasiaan dan keringanan hukuman bagi
whistle blower menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan US Marshal Service
Witness Security Program US.
b. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan perlindungan saksi dan
korban terkait prinsip kerahasiaan dan keringanan hukuman bagi
whistle blower menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan US Marshal Service
Witness Security Program USA.
2. Tujuan subyektif :
a. Untuk memperoleh bahan hukum serta informasi yang penulis
pergunakan dalam penyusunan skripsi sebagai syarat dalam mencapai
gelar Sarjana Strata Satu dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum di
Unversitas Sebelas Maret Surakarta.
c. Untuk memperdalam pengetahuan penulis mengenai hukum acara
pidana, terkhusus dalam segi penerapan prinsip kerahasiaan dan
keringanan hukuman bagi whistle blower menurut Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
dengan US Marshal Service Witness Security Program USA.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum
pada umumnya, dan terkhusus dalam hukum acara pidana dalam
kaitannya dengan penerapan prinsip kerahasiaan dan keringanan
hukuman bagi whistle blower menurut Undang-Undang Nomor 13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan cara
membandingkannya dengan US Marshal Service Witness Security
Program USA, serta guna menambah literatur dan bahan-bahan
informasi ilmiah.
b. Memperkaya referensi tentang kajian perbandingan hukum guna
mengetahui lebih dalam, sejauh mana suatu produk hukum dan atau
penerapan suatu sistem hukum telah berjalan secara berhasil guna dan
berdaya guna bagi masyarakat dengan cara membandingkannya
dengan produk hukum dan atau sistem hukum yang lainnya.
2. Manfaat Praktis
a. Meningkatkan wawasan dalam pengembangan pengetahuan bagi
peneliti akan permasalahan yang diteliti, dan dapat dipergunakan
sebagai bahan masukan serta tambahan pengetahuan bagi para pihak
yang terkait dengan masalah yang diteliti, dan berguna bagi para
pihak yang berminat pada masalah yang sama.
b. Memberi jawaban atas permasalahan yang diteliti.
D. Metode Penelitian
Penelitian Hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi (Peter Mahmud, 2006:35). Penelitian hukum dilakukan
untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu,
penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di
dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud, 2006:41).
Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian
dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah peneliti harus terlebih
dulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin
ilmunya (Johnny Ibrahim, 2006:26). Dalam penelitian hukum, konsep ilmu
hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan
peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dam aktualitasnya (Johnny Ibrahim,
2006: 28).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan penelitian judul dan rumusan masalah, penelitian yang
dilakukan termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan. Penelitian Hukum normatif memiliki
definisi yang sama dengan penelitian doktrinal yaitu penelitian
berdasarkan bahan-bahan hukum yang fokusnya pada membaca dan
mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder (Johny Ibrahim,
2006:44).
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri.
Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif, artinya
sebagai ilmu yang bersifat preskriptif ilmu hukum mempelajari tujuan
hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter Mahmud,
2005:22).
Dalam penelitian ini penulis akan memberikan preskriptif mengenai
persamaan dan perbedaan perlindungan saksi dan korban terkait prinsip
kerahasiaan dan keringanan hukuman bagi whistleblower menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban dengan US Marshal Service Witness Security Program USA serta
kelebihan dan kelemahan perlindungan saksi dan korban terkait prinsip
kerahasiaan dan keringanan hukuman bagi whistle blower menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban dengan US Marshal Service Witness Security Program USA.
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Johnny Ibrahim, dalam penelitian hukum terdapat beberapa
pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (satute approach),
pendekatan konseptual (concentual approach), pendekatan analitis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
(analytical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan filsafat
(philosophical approach) dan pendekatan kasus (case approach) (Johnny
Ibrahim, 2006:300).
a. Pendekatan Perundang-Undangan
Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan
perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan
hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.
Untuk itu penulis harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya
terkait antara satu dengan lain secara logis.
2. All-inclusive artinya bahwa kumpulan norma hukum tersebut
cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada,
sehingga tidak akan kekurangan hukum.
3. Systematic, bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang
lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis.
b. Pendekatan Konsep
Konsep dalam pengertian yang relevan adalah unsur-unsur abstrak
yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang
kadang kala menunjuk pada hal-hal universal yang diabstrakkan dari
hal-hal yang partikular. Salah satu fungsi logis dari konsep ialah
memunculkan objek-objek yang menarik perhatian dari sudut
pandangan praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-
atribut tertentu. Berkat fungsi tersebut, konsep-konsep berhasil
menggabungkan kata-kata secara tepat dan menggunakannya dalam
proses pikiran.
c. Pendekatan Analitis
Maksud utama analisis terhadap bahan hukum adalah mengetahui
makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam
aturan perundang-undangan secara konseptional sekaligus mengetahui
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan hukum. Hal ini
dilakukan melalui dua pemeriksaan:
a. pertama, sang penulis berusaha memperoleh makna baru yang
terkandung dalam aturan hukum yang bersangkutan.
b. kedua, menguji istilah-istilah hukum tersebut dalam praktik
melalui analisis terhadap putusan-putusan hukum.
d. Pendekatan Perbandingan
Pentingnya pendekatan ilmu hukum karena dalam bidang hukum
tidak memungkinkan dilakukan suatu eksperimen, sebagaimana yang
biasa dilakukan dalam ilmu empiris. Pendekatan perbandingan
merupakan salah satu cara yang digunakan dalam penelitian normative
untuk membandingkan salah satu lembaga hukum (legal institution)
dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum (yang kurang
lebih sama dari system hukum) yang lain. Dari perbandingan tersebut
dapat ditemukan unsur-unsur persamaan dan perbedaan kedua system
hukum itu.
e. Pendekatan Historis/ Sejarah
Setiap aturan perundang-undangan memiliki latar belakang sejarah
yang berbeda. Menurut perspektif sejarah, ada dua macam penafsiran
terhadap aturan perundang-undangan. Pertama, penafsiran menurut
sejarah hukum dan kedua, penafsiran menurut sejarah penetapan
peraturan perundang-undangan.
f. Pendekatan Filsafat
Dengan sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar dan spekulatif,
penjelajahan filsafat akan mengupasnya secara mendalam.
Berdasarkan ciri khas filsafat tersebut, dibantu beberapa pendekatan
yang tepat, seyogyanya apa yang dinamakan Ziegler sebagai
Fundamental Research, yaitu penelitian untuk memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam terhadap implikasi sosial dan efek
penerapan suatu aturan perundang-undangan terhadap masyarakat atau
kelompok masyarakat yang melibatkan penelitian terhadap sejarah,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
filsafat, ilmu bahasa, ekonomi serta implikasi sosial dan politik
terhadap pemberlakuan suatu aturan hukum.
g. Pendekatan Kasus
Pendekatan kasus dalam penelitian normatif bertujuan untuk
mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang
dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang
telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi
terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian. Jelas kasus-
kasus yang terjadi bermakna empiris, namun dalam suatu penelitian
normatif, kasus-kasus itu dipelajari untuk memperoleh gambaran
terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam
praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan
masukan dalam eksplanasi hukum.
Dari ketujuh pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan
dengan penelitian hukum ini adalah pendekatan undang-undang, dan
pendekatan perbandingan. Pendekatan Undang-Undang digunakan
untuk mengkaji sinkronisasi antara hukum sebagai tool social of
engineering dengan pelaksanaan jaminan perlindungan hak asasi
manusia yang dimiliki oleh tersangka untuk kemudian digunakan
untuk mengkaji persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan
kelemahan sistem hukum yang dianut oleh Indonesia dan Amerika
Serikat. Sedangkan pendekatan perbandingan digunakan untuk
mengetahui penerapan hukum acara kedua negara.
4. Jenis Dan Sumber Bahan Hukum
Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud,
mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal
adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum dalam hal ini
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang
terdiri dari;
1) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke IV.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
2) Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana
3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban
4) US Marshal Service Witness Security Program USA
5) Universal Declaration of Human Right
b. Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud, 2005:141).
Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dalam penelitian ini yaitu
buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel,
internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung
penelitian ini.
5. Kumpulan Bahan Hukum
Prosedur pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan bahan hukum
dengan jalan membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-
dokumen resmi maupun literature-literatur yang erat kaitannya dengan
permasalahan yang dibahas berdasarkan bahan sekunder. Dari bahan
tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai bahan hukum
penunjang di dalam penelitian ini.
Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yaitu menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006: 393).
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis bahan
hukum kualitatif yaitu dengan mengumpulkan bahan hukum,
mengkualifikasikan kemudian menghubungkan teori yang berhubungan
dengan masalah dan menarik kesimpulan untuk menentukan hasil.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
E. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM
Guna mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai bahasan dalam
penulisan hukum ini, penulis dapat menguraikan sistematika penulisan hukum ini
sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang
masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian yang
digunakan dalm penyusunan penulisan hukum ini.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai teori yang menjadi
landasan atau memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan
literature-literature yang berkaitan dengan penulisan hukum ini.
Kerangka teori tersebut meliputi tinjauan tentang peristilahan atau
definisi perbandingan hukum, tinjauan umum tentang karakteristik
sistem hukum common law dan civil law, tinjauan umum tentang
perlindungan saksi dan korban, tinjauan umum tentang
whistleblower.
BAB III : PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil
yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah
yang diteliti, terdapat hal pokok permasalahan yang dibahas dalam
bab ini yaitu persamaan dan perbedaan perlindungan saksi dan
korban terkait prinsip kerahasiaan dan keringanan hukuman bagi
whistle blower menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan US Marshal
Service Witness Security Program USA serta kelebihan dan
kelemahan perlindungan saksi dan korban terkait prinsip
kerahasiaan dan keringanan hukuman bagi whistle blower menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Saksi dan Korban dengan US Marshal Service Witness Security
Program USA.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai kesimpulan yang
dapat diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses
meneliti, serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada
para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritis
1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum
1.Definisi dan Istilah Perbandingan Hukum.
Istilah perbandingan hukum, dalam bahasa asing, diterjemahkan: comparative law (bahasa Inggris), vergleihende rechstlehre (bahasa Belanda), droit comparé (bahasa Perancis). Istilah ini, dalam pendidikan tinggi hukum di Amerika Serikat, sering diterjemahkan lain, yaitu sebagai conflict law atau dialihbahasakan, menjadi hukum perselisihan, yang artinya menjadi lain bagi pendidikan hukum di Indonesia (Romli Atmasasmita, 2000 : 6).
Istilah yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini, adalah
perbandingan hukum (pidana). Istilah ini sudah memasyarakat di kalangan
teoritikus hukum di Indonesia, dan tampaknya sudah sejalan dengan istilah
yang telah dipergunakan untuk hal yang sama di bidang hukum acara, yaitu
perbandingan hukum acara pidana. Untuk memperoleh bahan yang lebih
lengkap, maka perlu dikemukakan definisi perbandingan hukum dari
beberapa pakar hukum terkenal sebagai berikut :
Rudolf B. Schlesinger mengatakan bahwa, perbandingan hukum merupakan metoda penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu. Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu masalah hukum. Winterton mengemukakan, bahwa perbandingan hukum adalah suatu metoda yaitu perbandingan sistem-sistem hukum dan perbandingan tersebut menghasilkan data sistem hukum yang dibandingkan. Gutteridge menyatakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu metoda yaitu metoda perbandingan yang dapat digunakan dalam semua cabang hukum. Gutteridge membedakan antara comparative law dan foreign law (hukum asing), pengertian istilah yang pertama untuk membandingkan dua sistem hukum atau lebih, sedangkan pengertian istilah yang kedua, adalah mempelajari hukum asing tanpa secara nyata membandingkannya dengan sistem hukum yang lain (Winterton, dalam The Am.J.of Comp. L., 1975 : 72).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
“Perbandingan hukum adalah metoda umum dari suatu perbandingan
dan penelitian perbandingan yang dapat diterapkan dalam bidang hukum.
Para pakar hukum ini adalah : Frederik Pollock, Gutteridge, Rene David,
dan George Winterton” (Romli Atmasasmita, 2000 : 8).
Lemaire mengemukakan, perbandingan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan (yang juga mempergunakan metoda perbandingan) mempunyai lingkup : (isi dari) kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya dan dasar-dasar kemasyarakatannya. Ole Lando mengemukakan antara lain bahwa perbandingan hukum mencakup : “analysis and comparison of the laws”. Pendapat tersebut sudah menunjukkan kecenderungan untuk mengakui perbandingan sebagai cabang ilmu hukum. Hesel Yutena mengemukakan definisi perbandingan hukum sebagai berikut: Comparative law is simply another name for legal science, or like other branches of science it has a universal humanistic outlook : it contemplates that while the technique nay vary, the problems of justice are basically the same in time and space throughout the world (Winterton, dalam The Am.J.of Comp. L., 1975 : 72).
Perbandingan hukum hanya suatu nama lain untuk ilmu hukum dan merupakan bagian yang menyatu dari suatu ilmu sosial, atau seperti cabang ilmu lainnya perbandingan hukum memiliki wawasan yang universal, sekalipun caranya berlainan, masalah keadilan pada dasarnya sama baik menurut waktu dan tempat di seluruh dunia (Romli Atmasasmita, 2000 : 9).
Orucu mengemukakan suatu definisi perbandingan hukum
sebagai berikut : Comparative law is legal discipline aiming at
ascertaining similarities and differences and finding out
relationship between various legal systems, their essence and style,
looking at comparable legal institutions and concepts and typing to
determine solutions to certain problems in these systems with a
definite goal in mind, such as law reform, unification etc.
Definisi lain mengenai kedudukan perbandingan hukum
dikemukakan oleh Zweigert dan Kort yaitu : Comparative law is
the comparison of the spirit and style of different legal system or of
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
comparable legal institutions of the solution of comparable legal
problems in different system.
“Romli Atmasasmita yang berpendapat perbandingan hukum
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari secara sistematis
hukum (pidana) dari dua atau lebih sistem hukum dengan
mempergunakan metoda perbandingan” (Romli Atmasasmita, 2000
: 12).
2. Macam Perbandingan Hukum
Perbandingan Hukum dapat dibedakan dalam dua macam,
yaitu Perbandingan Hukum Umum dan Perbandingan Hukum
Khusus.
a) Perbandingan Hukum Umum
Perbandingan Hukum Umum merupakan suatu ilmu
pengetahuan yang membandingkan hukum secara keseluruhan
dari berbagai negara atau daerah atau golongan warga negara
dari suatu zaman tertentu. Misalnya, membandingkan hukum
Indonesia dengan hukum Amerika Serikat dari abad XX.
b) Perbandingan Hukum Khusus
Perbandingan Hukum Khusus adalah ilmu pengetahuan
yang membandingkan lembaga-lembaga hukum dari berbagai
negara, daerah atau golongan warga negara dari suatu zaman
tertentu. Misalnya, membandingkan lembaga perkawinan versi
Burgerlijk Wetboek (BW) dengan lembaga perkawinan menurut
hukum adat dari abad XX.
3. Tujuan Perbandingan Hukum
Menurut Satjipto Rahardjo penggarapan dalam perbandingan
hukum dapat dilakukan atas dasar keinginan, antara lain :
a) Menunjukkan perbedaan dan persamaan yang ada diantara
sistem hukum atau bidang-bidang hukum yang dipelajari.
b) Menjelaskan mengapa terjadi persamaan atau perbedaan yang
demikian itu, faktor-faktor apa yang menyebabkannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
c) Memberikan penilaian terhadap masing-masing sistem yang
digunakan.
d) Memikirkan kemungkinan-kemungkinan apa yang bisa ditarik
sebagai kelanjutan dari hasil-hasil studi perbandingan yang telah
dilakukan.
e) Merumuskan kecenderungan-kecenderungan yang umum pada
perkembangan hukum, termasuk di dalamnya irama dan
keteraturan yang dapat dilihat pada perkembangan hukum
tersebut.
f) Salah satu segi yang penting dari perbandingan ini adalah
kemungkinan untuk menemukan asas-asas umum yang didapat
sebagai hasil dari pelacakan yang dilakukan dengan cara
membandingkan tersebut (Satjipto Rahardjo, 1996: 348-349).
4. Kegunaan Perbandingan Hukum
Kegunaan mempelajari perbandingan hukum ada dua, yaitu :
a) Kegunaan yang bersifat teoritis Studi perbandingan hukum
dapat mendukung perkembangan ilmu hukum pada
umumnya dan hukum pidana pada khususnya. Kegunaan
teoritis ini meliputi dua hal, yaitu:
(1) Erat kaitannya dengan riset di bidang filsafat hukum
dan sejarah hukum.
(2) Erat kaitannya dengan pemahaman dan pengembangan
hukum nasional.
(3) Kegunaan yang bersifat praktis Studi perbandingan
hukum memberikan masukan positif bagi
perkembangan pembentukan hukum pada umumnya
dan pembentukan hukum pidana pada khususnya
(Romli Atmasasmita, 2000: 14-15).
Menurut Soedarto sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita,
kegunaan studi perbandingan hukum adalah:
a) Unifikasi hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
b) Harmonisasi hukum.
c) Mencegah adanya chauvinisme hukum nasional.
d) Memahami hukum asing.
e) Pembaharuan hukum (Romli Atmasasmita, 2000: 16).
2. Tinjauan Umum Tentang Karakteristik Sistem Common Law dan
Sistem Civil Law
1) Karakteristik sistem hukum Inggris (common law) pada umumnya,
khususnya dalam hukum pidana dan acara pidana.
Pertama. Sistem hukum Inggris bersumber pada :
a) Custom, merupakan sumber hukum yang tertua di inggris.
Lahir dan berasal dari (sebagian) hukum romawi. Tumbuh dan
berkembang dari kebiasaan suku Anglo Saxon yang hidup pada
abad pertengahan. Pada abad ke-14 Custom melahirkan
“common law” dan kemudian digantikan dengan precedent.
b) Legislation; berarti undang-undang yang dibentuk melalui
parleman. undang-undang yang dibentuk itu disebut statutes.
Sebelum abad ke-15, legislation bukanlah merupakan salah
satu sumber hukum di inggris. Pada masa itu undang-undang
dikeluarkan oleh Raja dan “Grand-Council” (terdiri dari kaum
bangsawan terkemuka dan Penguasa Kota London). Selama
abad ke-13 dan ke-14 Grand Council kemudian dirombak dan
terdiri dari dua badan yaitu, Lords dan Common; kemudian
dikenal sebagai Parlemen (Parliament). Sampai abad ke-17,
Raja dapat bertindak tanpa melalui Parlemen. Akan tetapi
sesudah abad ke-17 dengan adanya perang saudara di Inggris,
telah ditetapkan bahwa di masa yang akan datang semua
undang-undang harus memperoleh persetujuan Parlemen sejak
tahun 1832 dengan Undang-Undang Pembaharuan (Reformasi
Act), House of Common merupakan suatu badan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
demokratis dan mewakili seluruh penduduk Inggris dan karena
itu merupakan wakil perasaan keadilan seluruh rakyat Inggris.
Sejak saat itu Legislation merupakan salah satu sumber hukum
yang penting sejak Code Napoleon (1805) dikembangkan,
Inggris telah mengambil manfaat dari apa yang terjadi di
Perancis, dan legislation dipergunakan sebagai alat
pembaharuan hukum di Inggris.
c) Case-law, sebagai salah satu sumber hukum Inggris
mempunyai karakteristik yang utama. Seluruh hukum
kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat tidak melalui
Parlemen, akan tetapi dilakukan oleh para hakim, sehingga
dikenal dengan istilah ”Judge-made law”. Setiap putusan
hakim di inggris merupakan precedent bagi hakim yang akan
datang, sehingga lahirlah doktrin Precedent sampai sekarang.
Kedua. Sebagai konsekuensi dipergunakannya case-law
dengan doktrin precedent yang merupakan ciri utama maka sistem
hukum Inggris tidak sepenuhnya menganut asas legalitas.
Ketiga. Bertitik tolak dari doktrin precedent tersebut, maka
kekuasaan hakim di dalam sistem hukum Common Law sangat luas
dalam memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan yang
tercantum dalam undang-undang. Bahkan hakim di Inggris
diperbolehkan tidak sepenuhnya bertumpu pada ketentuan suatu
undang-undang jika diyakini olehnya bahwa ketentuan tersebut
tidak dapat diterapkan dalam kasus pidana yang sedang
dihadapinya. Dalam hal demikian hakim dapat menjatuhkan
putusannya sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan atau melaksanakan
asas precedent sepenuhnya. Dilihat dari segi kekuasaan hakim
Inggris yang sangat luas dalam memberikan penafsiran tersebut,
sehingga dapat membentuk hukum baru, maka nampaknya sistem
hukum Common Law kurang memperhatikan kepastian hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Keempat. Ajaran Kesalahan dalam sistem hukum Common
Law (Inggris) dikenal melalui doktrin Mens-Rea yang dilandaskan
pada maxim: “Actus non est reus nisi mens sit rea”, yang berarti:
“suatu perbutan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali
jika pikiran orang itu jahat”. Ajaran Mens-Rea ini dalam sistem
hukum Inggris dirumuskan berbeda-beda tergantung dari
kualifikasi delik yang dilakukan seseorang. Pada sistem hukum
Common Law, doktrin Mens-Rea secara klasik diartikan setiap
perkara pelanggaran hukum yang dilakukan adalah disebabkan
karena pada diri orang itu sudah melekat sikap batin yang jahat
(evil will), dan karenanya perbuatan tersebut dianggap merupakan
dosa. Lord Denning, seorang hakim terkemuka di Inggris
memberikan komentar atas doktrin Mens-Rea, dengan mengatakan:
“In order that an act should be punishable it must be morally
blame-worthy”. Sedangkan Jerome Hall, mengatakan bahwa
Means-Rea adalah “a voluntary doing of morally wrong act
forbidden by penal law”.(Roeslan Saleh, 1982:23).
Kelima. Dalam sistem Common Law (Inggris)
pertanggungjawaban pidana tergantung dari ada atau tidaknya: a)
actus-reus dan b) mens-rea. Namun demikian unsur “mens-rea” ini
adalah merupakan unsur yang mutlak dalam pertanggungjawaban
pidana dan harus ada terlebih dulu pada perbuatan tersebut
sebelum dilakukan penuntutan (Roeslan Saleh,1982:28). Dewasa
ini dalam peraturan perundangan modern unsur “mens-rea” ini
tidak lagi dianggap sebagai syarat utama, misalnya pada delik-
delik tentang ketertiban umum atau kesejahteraan umum.
Keenam. Sistem hukum Inggris dan negara-negara yang
menganut sistem Common Law tidak mengenal perbedaan antara
Kejahatan dan Pelanggaran. Sistem Common Law membedakan
tindak pidana (secara klasik) dalam: Kejahatan berat atau
“felonies”, kejahatan ringan atau “misdemeanors” dan kejahatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
terhadap negara atau “treason”. Setelah dikeluarkannya “Criminal
Law Act” (1967) pembedaan sebagai berikut:
a) Indictable Offences, adalah kejahatan-kejahatan berat yang hanya
dapat diadili dengan sistem Juri melalui pengadilan yang disebut
Crown Court.
b) Summary Offences, adalah kejahatan-kejahatan kurang berat yang
hanya dapat diadili oleh suatu pengadilan (magistrate court) tanpa
dengan sistem Juri.
c) Arrestable Offence, adalah kejahatan-kejahatan yang diancam
dengan hukuman di bawah 5 (lima) tahun kepada seorang pelaku
kejahatan yang belum pernah melakukan kejahatan. Penangkapan
terhadap pelaku tersebut dilakukan tanpa surat perintah penangkapan.
Klasifikasi terbaru mengenai tindak pidana dalam sistem hukum
pidana Inggris dicantumkan dalam criminal law act tahun 1977.
Ketujuh. Sistem hukum acara pidana yang berlaku di negara-
negara Common Law pada prinsipnya menganut “sistem accusatoir” atau
yang secara populer dikenal dengan sebutan “Advesary System”. Sistem
accusatoir atau adversary system menempatkan tersangka dalam proses
pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan di muka sidang-sidang
pengadilan sebagai subjek hukum yang memiliki hak (asasi) dan
kepentingan yang harus dilindungi.
Kedelapan. Sistem pemidanaan yang berlaku pada umumnya
negara-negara yang menganut sistem Common Law adalah bersifat
komulatif. Sistem pemidanaan tersebut memungkinkan seseorang
dituntut dan dijatuhi pidana karena melakukan lebih dari satu tindak
pidana. Jika kesemua tuntutan tersebut terbukti di muka sidang
pengadilan maka pelaku tindak pidana tersebut dijatuhi sekaligus semua
ancaman hukuman yang dikenakan kepadanya.
2) Karakteristik Sistem Hukum Belanda (civil law) pada umumnya,
khususnya dalam hukum pidana dan acara pidana
Pertama. Sistem hukum Belanda (Civil Law System)
bersumber pada :
a) Undang-Undang Dasar;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
b) Undang-undang;
c) Kebiasaan case-law;
d) Doktrin.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum
pidana umum adalah sebagai berikut :
a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Penal Code atau
Wetboek van Strafrecht).
b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Code of Crime
Procedure atau Wetboek van Strafvordering).
c) Undang-Undang tentang Susunan, organisasi, kekuasaan dan
tugas-tugas Pengadilan dan Sistem Penuntutan (Judicial Act
atau Wet op de Rechterlijke Organisatie).
Kedua. Karakateristik kedua dari sistem hukum Belanda
(Civil Law System) adalah dianutnya asas legalitas atau “the
principles of legality”. Asas ini mengandung makna sebagi berikut:
a) Tiada suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana, kecuali
telah ditentukan dalam undang-undang terlebih dahulu.
Undang-undang dimaksud adalah hasil dari perundingan
Pemerintah Parlemen.
b) Ketentuan undang-undang harus ditafsirkan secara harfiah dan
pengadilan tidak diperkenankan memberikan suatu penafsiran
analogis untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak
pidana.
c) Ketentuan undang-undang tidak berlaku surut.
d) Mentapkan bahwa hanya pidana yang tercantum secara jelas
dalam undang-undang yang boleh dijatuhkan.
Dalam praktik penyelesaian perkara pidana di negeri
belanda prinsip legalitas dan penafsiran yang diperbolehkan dari
prinsip tersebut diserahkan sepenuhnya kepada para pelaksana /
praktisi hukum, seperti, jaksa dan hakim. Mengingat penafsiran
yang bersifat kaku terhadap ketentuan undang-undang menurut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
asas legalitas ini, maka peranan putusan Mahkamah Agung
menjadi lebih penting. (Romli Atmasasmita, 2000 : 48).
Ketiga. Dianutnya asas legalitas sebagaimana diuraikan
dalam butir kedua diatas, sangat berpengaruh terhadap soal
pertanggungjawaban pidana (criminal liability atau strafbaarheid).
Syarat umum bagi adanya pertanggungjawaban pidana menurut
hukum pidana Belanda adalah adanya gabungan antara perbuatan
yang dilarang dan pelaku yang diancam dengan pidana. Perbuatan
pelanggaran hukum dari pelaku harus memenuhi syarat sebagai
berikut :
a) Bahwa perbuatan tersebut (berbuat atau tidak berbuat)
dilakukan seseorang.
b) Diatur dalam ketentuan undang-undang termasuk lingkup
definisi pelanggaran.
c) Bersifat melawan hukum.
Ketiga syarat bagi adanya suatu pertanggungjawaban
pidana tersebut di atas sesungguhnya merupakan suatu konstruksi
gabungan dari syarat-syarat adanya sifat pertanggungjawaban
pidana dan kekecualian-kekecualian dari pertanggungjawaban
pidana.
Keempat. Dianutnya asas legalitas dalam sistem hukum
pidana Belanda mengakibatkan keterikatan hakim terhadap isi
ketentuan undang-undang dalam menyelesaikan perkara pidana.
Hakim tidak diperbolehkan memperluas penafsiran terhadap isi
ketentuan undang-undang sedemikian rupa sehingga dapat
membentuk delik-delik baru.
Kelima. Sistem hukum pidana belanda mengenal
pembedaan antara Kejahatan (Misdrijven) dan Pelanggaran
(Overtredingen). Pembedaan dimaksud berasal dari perbedaan
antara mala in se dan mala prohibita yaitu perbedaan yang dikenal
dalam hukum Yunani. Mala in se adalah perbuatan yang disebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
sebagai kejahatan karena menurut sifatnya adalah jahat. Sedangkan
Mala prohibita, suatu perbuatan yang dilarang. Pembedaan antara
kejahatan karena undang-undang menetapkan sebagai perbuatan
yang dilarang. Pembedaan anatara kejahatan dan pelanggaran
tersebut semula didasarkan atas pertimbangan tentang adanya
pengertian istilah “rechtedelict” dan ”wetdelict”; namun perbedaan
tersebut tidak dianut lagi dalam doktrin. Perbedaan kejahatan dan
pelanggaran dewasa ini didasarkan atas ancaman hukumannya;
kejahatan memperoleh ancaman hukum yang lebih berat dari
pelanggaran.
Keenam. Sistem peradilan yang dianut di semua negara
yang berlandaskan “Civil Law System” pada umumnya adalah
sistem Inquisatoir. Sistem Inquisatoir menempatkan tersangka
sebagai objek pemeriksaan baik pada tahap pemeriksaan
pendahuluan maupun pada tahap pemeriksaan di muka sidang
pengadilan.
Ketujuh. Sistem pemidanaan yang dianut pada umumnya di
negara-negara yang berlandaskan civil law system adalah sistem
pemidanaan Alternatif dan Alternatif-kumulatif, dengan batas
minimum dan maksimum anaman pidana yang diperkenankan
menurut Undang-Undang.
Sesungguhnya apabila kita telusuri karakteristik yang
melekat pada kedua sistem hukum sebagaimana telah diuraikan di
atas, pendekatan dari segi historis, khususnya mengenai
perkembangan hukum pidana di Eropa Continental yang menganut
sistem “Civil Law” lebih menonjol dan lebih menampakkan dirinya
keluar dari batas wilayah yuridiksi sistem “Common Law”.
Perkembangan penerapan sistem “Civil Law” di negara dunia
ketiga pada awalnya dipaksakan jika dibandingkan dengan
penerapan penggunaan sistem “Common Law” di negara-negara
bekas jajahan-jajahannya. Sebagai contoh penggunaan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
pemakaian sistem hukum Belanda di Indonesia dan sistem hukum
Inggris dan Malaysia atau Singapura. Satu-satunya karakteristik
yang sama antara kedua sistem hukum (legal system) tersebut
adalah bahwa keduanya menganut falsafah dan doktrin liberalisme
(Romli Atmasasmita, 2000 :50).
3. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Saksi dan Korban
1) Pengertian Perlindungan
Istilah perlindungan dalam Undang-ndang PSK adalah bentuk
perbuatan untuk memberikan tempat bernaung atau berlindung bagi
seseorang yang membutuhkan, sehingga merasa aman terhadap
ancaman sekitarnya. Pengertian perlindungan ini hampir sama dengan
pengertian perlindungan dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 2 Tahun
2002 yang menyatakan bahwa perlindungan adalah suatu bentuk
pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau
aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun
mental, kepada korban dan saksi dari ancaman, gangguan, teror, dan
kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
2) Pengertian Saksi
Pengertian saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) menggunakan
konsep tentang pengertian saksi seperti yang diatur oleh Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Saksi dinyatakan sebagai
orang yang hendak memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/ atau ia alami
sendiri. Perbedaan dengan rumusan KUHAP adalah bahwa rumusan
saksi dalam Undang-Undang PSK mulai dari tahap penyelidikan sudah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
dianggap sebagai saksi sedangkan KUHAP hanya dimulai dari tahap
penyidikan.
Tentang perlindungan terhadap Pelapor sendiri telah lebih awal
diatur dalam Pasal 31 Undang-undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjelaskan bahwa
pelapor tidak dapat diajukan dalam sidang pengadilan melainkan harus
dilindungi identitas dan alamatnya. Saksi dalam rumusan Undang-
undang PSK dinyatakan sebagai saksi yang akan memberikan
keterangan untuk mendukung proses penyelesaian perkara pidana.
Saksi dalam definisi ini terpisah dengan pihak lain yang ada korelasi
dengan saksi yang bisa terlibat atau mendapatkan hak-hak yang
tercatum dalam Undang-Undang ini.
Pembentuk Undang-Undang lebih memilih pihak-pihak yang
termasuk dalam pengertian saksi dalam Undang-Undang ini dipisah
yaitu antara saksi itu sendiri dengan keluarga saksi. Pada poin 5 Pasal 1
Undang-Undang PSK menjelaskan tentang siapa yang dimaksud
dengan keluarga saksi yaitu orang yang mempunyai hubungan darah
dalam garis lurus ke atas atau kebawah, atau mempunyai hubungan
perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan saksi dan atau
korban. Rumusan tentang saksi yang demikian berbeda, misalnya,
dengan pengertian saksi dalam Undang-Undang tentang perlindungan
saksi negara Kanada yang menyatakan bahwa seorang saksi dalam
program ini adalah:
1) saksi adalah seseorang yang memberikan atau setuju untuk
memberikan informasi atau bukti atau yang ambil bagian dalam
suatu hal yang terkait dengan suatu penyelidikan atau investigasi
atau penuntutan suatu kejahatan, dan yang mungkin membutuhkan
perlindungan karena resiko keamanan atas dirinya dalam kaitan
dengan penyelidikan, investigasi, atau penuntutan tersebut, atau
2) seseorang yang karena hubungan atau ikatannya dengan orang yang
disebut pada bagian diatas mungkin juga membutuhkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
perlindungan karena alasan yang sama seperti bagiana diatas
(www.elsam.or.id/031807/html).
Ketentuan mengenai dapat dimasukkannya pihak lain selain saksi
dan keluarga saksi akan menjamin bahwa pihak-pihak lain yang
mempunyai hubungan dengan saksi juga akan mendapatkan
perlindungan. Undang-undang perlindungan saksi Negara Kanada.tidak
mendefenisikan saksi, namun langsung menyatakan pihak-pihak yang
dapat ikut dalam program perlindungan.
Undang-Undang Perlindungan Saksi di Quensland (Queensland,
Witness Protection Act 2000) juga menyatakan bahwa seseorang yang
boleh diikutsertakan ke dalam perlindungan saksi adalah orang yang
membutuhkan perlindungan dari suatu bahaya yang muncul karena
orang tersebut telah membantu, atau sedang membantu, suatu badan
penegak hukum dalam menjalankan fungsinya. Namun, jika menurut
Undang-Undang Perlindungan Saksi di Afrika Selatan (South
Afrika,Witness Protection Bill 1998) saksi didefinisikan sebagai setiap
orang yang sedang atau dapat diminta, atau yang telah member
kesaksian dalam suatu persidangan.
3) Pengertian Korban
Korban dalam Undang-Undang PSK dinyatakan sebagai
seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/ atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Sedangkan
pengertian keluarga korban dalam Undang-undang ini adalah orang
yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau
kebawah, atau mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang
menjadi tanggungan saksi dan atau korban.
Pengertian tentang korban juga dapat dilihat dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang tata cara pemberian
perlindungan kepada saksi dan korban pelanggaran HAM berat yaitu
menyatakan bahwa korban adalah orang perseorangan atau kelompok
orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan
mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak
manapun.
Pengertian korban menurut Resolusi Majelis Umum PBB Nomor.
40/34 Tahun 1985 memiliki cakupan yang lebih luas, yaitu korban
adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang
menderita kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar
hukum pidana yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan yang
melarang penyalahgunaan kekuasaan.
Pengertian kerugian (harm) menurut Resolusi Majelis Umum
PBB Nomor. 40/34 Tahun 1985, meliputi kerugian fisik maupun mental
(physical or mental injury), penderitaan emosional (emotional
suffering), kerugian ekonomi (economic loss), atau perusakan
substansial dari hak-hak asasi para korban (substansial impairment of
their fundamental rights). Selanjutnya disebutkan, bahwa seseorang
dapat dipertimbangkan sebagai korban tanpa melihat apakah si pelaku
kejahatan itu sudah diketahui, ditahan, dituntut, atau dipidana dan tanpa
memandang hubungan keluarga antara si pelaku dan korban. Istilah
korban juga mencakup keluarga dekat atau orang-orang yang menjadi
tanggungan korban, dan juga orang-orang yang menderita kerugian
karena berusaha mencegah terjadinya korban.
4. Tinjauan Umum tentang Whistleblower (Peniup Peluit)
1) Pengertian Whistleblower
a) Adapun istilah pengungkap fakta (whistleblower) dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelindungan
Saksi dan Korban tidak memberikan pengertian tentang
“pengungkap fakta” dan berkaitan dengan itu hanya
memberikan pengertian tentang saksi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006
kewenangan untuk memberikan perlindungan terhadap saksi dan
korban diberikan kepada lembaga perlindungan saksi dan
korban.
b) Adapun pengertian whistleblower menurut PP Nomor.71 Tahun
2000 adalah orang yang memberi suatu informasi kepada
penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak
pidana korupsi dan bukan pelapor (Ketua Badan Litbang Diklat
Kumdil MA-RI).
c) Seorang whistleblower (whistle-blower atau peniup peluit)
adalah orang yang memberitahu publik atau seseorang yang
berkuasa tentang kegiatan tidak jujur atau ilegal yang diduga
terjadi di sebuah departemen pemerintah, organisasi publik atau
swasta, atau perusahaan. Para pelanggar diduga dapat
diklasifikasikan dalam banyak cara, misalnya, sebuah
pelanggaran terhadap hukum, aturan, peraturan dan atau
ancaman langsung terhadap kepentingan umum, seperti, penipuan
pelanggaran, keselamatan, dan korupsi (Claim False Act 1986
USA’s).
US Marshals Sevice adalah salah satu lembaga yang diberikan
kewenangan oleh Negara untuk memberikan perlindungan
terhadap saksi dan korban.
2) Sejarahnya Whistleblower
Whistleblower sangat erat kaitanya dengan organisasi
kejahatan ala mafia sebagai organisasi kejahatan tertua dan terbesar
di Italia yang berasal dari Palermo, Sicilia, sehingga sering disebut
Sicilian Mafia atau Cosa Nostra. Kejahatan terorganisasi yang
dilakukan oleh para Mafioso (sebutan terhadap anggota mafia)
bergerak dibidang perdagangan heroin dan berkembang diberbagai
belahan dunia, sehingga kita mengenal organisasi sejenis diberbagai
Negara seperti Mafia di Rusia, cartel di Colombia, triad di Cina, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Yakuza di Jepang. Begitu kuatnya jaringan organisasi kejahatan
tersebut sehingga orang-orang mereka bias menguasai berbagai
sektor kekuasaan, apakah itu eksekusf, legislatif maupun yudikatif
termasuk aparat penegak hukum (Eddy O.S. Haijerj, 23: 2010).
Tidak jarang suatu sindikat bisa terbongkar karena salah
seorang dari mereka ada yang berkhianat. Artinya, salah seorang
dari mereka melakukan tindakan sendiri sebagai peniup peluit
(whistleblower) untuk mengungkap kejahatan yang mereka lakukan
kepada publik atau aparat penegak hukum. Sebagai imbalannya
whistleblower tersebut dibebaskan dari segala tuntutan hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
5. Kerangka Pemikiran
Gambar. 1
Kerangka Pemikiran
Keterangan :
Dalam hukum pelaksanaan hukum acara pidana, peranan saksi
yang melihat, mendengar dan atau mengetahui sendiri suatu kejadian
tindak pidana merupakan salah satu alat bukti dan alat bantu bagi hakim
untuk mengungkap suatu tindak pidana menjadi terang benderang dan
membantu menemukan keyakinan dalam memutus perkara.
Kedudukannya yang bersinggungan dengan suatu kejadian tindak pidana
baik yang meringankan kedudukan tersangka dan atau terdakwa maupun
yang memberatkan kedudukan si tersangka dan atau terdakwa perlu
Menurut Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006
Menurut US Marshal Service Witness Security Program
USA
Perlindungan hukum terhadap whistleblower
Persamaan dan Perbedaan
Kelebihan dan Kelemahan
Jaminan perlindungan terkait prinsip kerahasiaan dan keringanan hukuman bagi whistleblower
Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban
US Marshal Service
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
mendapat perlindungan hukum, terlebih jika saksi tersebut merupakan
seorang whistleblower.
Bagi seorang whistleblower, kedudukannya sebagai informan
dalam mengungkap suatu tindak pidana selain penting juga sangat rawan
terhadap adanya proses viktimisasi terhadap dirinya sendiri. Mencermati
tidak tertutupnya kemungkinan bahwa niat untuk memberikan informasi
terhadap aparat penegak hukum dapat menjadikannya sebagai salah satu
tersangka dan diproses terlebih dahulu sebelum terungkap aktor
intelektual dari tindak pidana yang dilaporkannya. Mengingat
bahwasanya Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan saksi dan Korban (UU PSK) tidak memberikan pengertian
secara jelas kedudukan seorang whistleblower maka perlu dikaji sejauh
mana Undang-Undang tersebut dapat berperan sebagai jaring pengaman
bagi whistleblower dalam memberikan informasi terhadap terjadinya
suatu tindak pidana. Dalam Undang-Undang PSK kewenangan untuk
memberikan perlindungan kepada saksi dan korban diberikan kepada
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Berangkat dari prinsip
kerahasiaan dan keringanan hukuman bagi seorang whistleblower LPSK
diharapkan mampu memberikan jaminan perlindungan terhadap prinsip
tersebut.
Untuk mengkaji sejauh mana Undang-Undang Nomor. 13 Tahun
2006 dan LPSK dapat memberikan jaminan hukum terkait prinsip
kerahasiaan dan keringanan hukuman, diperlukan adanya bahan
perbandingan hukum yang cukup dari peraturan mengenai Criminal
Procedure Law negara yang memiliki sistem hukum yang berbeda pula
dengan Indonesia, yaitu negara-negara yang menganut sistem “Common
Law (Anglo Saxon)” khususnya di negara Amerika Serikat, khususnya
mengenai prinsip kerahasiaan dan keringanan hukuman bagi
whistleblower. Berangkat dari konsep tersebut penulis mencoba
memperbandingkan mekanisme penerapan prinsip kerahasiaan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
keringanan hukuman melalui hukum dan lembaga yang berkembang
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia (eropa kontinental) dan proses
perlindungan hukum yang berkembang dalam sistem peradilan pidana
Amerika Serikat (common law ). Hal tersebut diperlukan untuk
mengetahui persamaan dan perbedaan dalam hal penerapan mekanisme
perlindungan saksi dan korban serta kelemahan dan kelebihan masing-
masing sistem hukum tersebut dalam memberikan jaminan perlindungan
hak whistleblower atau pihak ketiga yang berkepentingan atas
dilakukannya tindakan hukum terhadap informasi yang diberikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian mencermati ketentuan perbandingan terhadap kedua
sistem hukum regulasi prinsip kerahasiaan dan keringanan hukuman
bagi whistle blower menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan US Marshal Service
Witness Security Program USA
1. Pengaturan Program Perlindungan Saksi dan Korban dalam UU
No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
a. Latar Belakang UU No. 13 tahun 2006
Salah satu aspek penting dalam proses peradilan yang fair
adalah perlindungan terhadap saksi, terlebih untuk kasus-kasus
khusus yang sulit pembuktiannya. Keberadaan saksi sangat
penting guna mengungkap persekongkolan jahat, yang sulit
ditembus dengan pendekatan formal. Dalam konteks hukum di
Indonesia, perlindungan hukum bagi saksi tampaknya belum
memperoleh perhatian serius, khususnya oleh penyelenggara
negara. Bahkan, seringkali para saksi yang seharusnya
memperoleh perlindungan malah mendapatkan perlakuan yang
tidak semestinya dari aparat penegak hukum. Ada kasus Gayus
tambunan dan Susno Duadji yang dapat dirujuk sebagai fenomena
lemahnya perlindungan hukum bagi saksi pelapor dan atau
tersangka dan atau terdakwa yang memberikan laporan mengenai
tindak pidana yang dilakukan. Di Indonesia, tingkat terjadinya
extraordinary crime semakin meningkat dan dibutuhkan pula
penanganan yang bersifat luarbiasa pula (Eddie O.S. Hiariej, 4:
2011). Kasus korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, money
laundring, penggelapan pajak dan illegal logging merupakan
beberapa sampel yang dapat dijadikan tolok ukur perlunya
memberantas tindak kejahatan tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Menurut Komariah E. Sapardjaja, peran whistleblower sangat
penting dan diperlukan dalam rangka proses pemberantasan tidak
pidana korupsi. Namun demikian, asal bukan semacam suatu gosip
bagi pengungkapan kasus korupsi maupun mafia peradilan. Yang
dikatakan whistleblower itu benar-benar didukung oleh fakta
konkret, bukan semacam surat kaleng atau rumor saja. Penyidikan
atau penuntut umum kalau ada laporan seorang whistleblower
harus hati-hati menerimanya, tidak sembarangan apa yang
dilaporkan itu langsung diterima dan harus diuji terlebih dahulu
(Newsletter Komisi Hukum Nasional, Juli 2010).
Istilah whistleblower dalam bahasa Inggris diartikan sebagai
“peniup peluit”, disebut demikian karena sebagaimana halnya
wasit dalam pertandingan sepak bola atau olahraga lainnya yang
meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya
pelanggaran. Secara terjemahan harfiah dalam Bahasa Indonesia
adalah “peniup peluit” maksudnya adalah orang-orang yang
memberi peringatan kepada publik. (Anwar Usman, Whistleblower
Dalam Perdebatan). Dalam tulisan ini, istilah whistleblower
diartikan sebagai pelapor atau orang yang mengungkap fakta
kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau
korupsi.
Dalam hukum positif Indonesia, perlindungan terhadap saksi,
pelapor dan korban diatur dalam Undang-Undang No. 13 tahun
2006. Secara eksplisit perlindungan terhadap seorang
whistleblower dapat diketemukan payung hukumnya pada UU No.
13 tahun 2006 ini. Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat
dalam mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang
kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan
keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan
suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang
telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan
keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak
merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya.
Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut,
diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan
masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak
pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena
khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu. Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 50
sampai dengan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan
terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan
dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia.
Dengan latar belakang pemikiran yang demikian diharapkan
kehadiran UU No. 13 tahun 2006 dapat mengakomodasi terhadap
perlindungan saksi dan korban serta demi kepentingan
terungkapnya lebih banyak extraordinary crime dapat menjadi
penyeimbang sebagai wujud dari asas kesamaan di depan hukum
(equality before the law) yang menjadi salah satu ciri negara
hukum, bahwasanya saksi dan korban dalam proses peradilan
pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum.
b. Perlindungan hukum terhadap whistleblower
Perkembangan modus tindak pidana kejahatan
extraordinary crime di negeri kita akhir-akhir ini menunjukkan
skala yang meluas dan semakin canggih. Kenyataan ini juga
mendorong upaya pengungkapan kasus-kasus untuk keluar dari
cara-cara konvensional. Adapun, salah satu cara untuk
mengungkap terorganisirnya extraordinary crime tersebut
diperlukan peran whistleblower yang dapat mendorong
pengungkapan modus tindak pidana tersebut menjadi relatif lebih
mudah untuk dibongkar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Mencermati fenomena dan upaya diperlukannya peran
whistleblower dalam pengungkapan kejahatan terorganisir perlu
adanya regulasi yang jelas untuk menjamin perlindungan hukum
baginya. Oleh karena itu, Penulis akan mengkaji beberapa
peraturan hukum yang dapat dijadikan pisau analisa sekaligus
rujukan sebagai payung hukum whistleblower.
1) Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban
Pengaturan mengenai perlindungan Whistleblower
(pengungkap fakta atau pelapor) secara eksplisit diatur dalam
Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
saksi dan korban. Pasal 10 Ayat (1) menyebutkan bahwa
“Seorang saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut
secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan
kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan “. Aturan
yang dimuat dalam Pasal 10 Ayat (1) UU No.13 tahun 2006 ini
menjadi ambigu dan bersifat kontradiktif terdapat pasal yang
sama dalam Pasal 10 Ayat (2) yang menyebutkan : “Seorang
saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat
dibebaskan dari tuntutan pidana apbila ia ternyata terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya
dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan
pidana yang akan dijatuhkan”. Isi Pasal 10 Ayat (2) UU No.13
Tahun 2006, terdapat kata-kata ”saksi yang juga tersangka”
merupakan rumusan yang kurang bisa dipahami secara
konsisten terhadap saksi yang juga berstatus sebagai saksi
pelapor kemudian tiba-tiba berubah menjadi tersangka. Hal ini
dapat menimbulkan multitafsir dan menimbulkan
ketidakpastian hukum.
Apabila kita tengok diberbagai Negara tentang
Whistleblower dipastikan berada dalam suatu jaringan mafia,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
yang jelas mengetahui adanya permukafatan jahat, sehingga
tidak jarang kemudian adanya sindikat kejahatan itu dapat
dibongkar, dikarenakan adanya suatu pembangkangan yang
dilakukan oleh si peniup peluit (Whistleblower) untuk
membongkar atau mengungkap apa yang dilakukan oleh
kelompok mafia. Sebagai imbalan sang peniup peluit
(Whistleblower) tadi dibebaskan dari tuntutan pidana (AM.
Mujahidin, 5: 2010). Menurut pakar hukum pidana Eddy O.S.
Hiariej, bahwa Pasal 10 Ayat (2) UU No.13 Tahun 2006
adalah bertentangan dengan semangat Whistleblower, karena
pasal ini tidak memenuhi prinsip perlindungan terhadap
seorang Whistleblower, dimana yang bersangkutan tetap akan
dijatuhi hukuman pidana bilamana terlibat dalam kejahatan
tersebut. Lebih lanjut Eddy O.S. Hiariej memberikan penilaian
bahwa pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006
terdapat 3 (tiga) kerancuan.
- Pertama, saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama
akan menghilangkan hak excusatie terdakwa. Hal ini
merupakan salah satu unsur objektifitas peradilan. Ketika
Whistleblower sebagai saksi dipengadilan maka
keterangannya sah sebagai alat bukti jika diucpkan dibawah
sumpah. Apabila Whistleblower berstatus sebagai terdakwa
yang diberikan tidak dibawah sumpah.
- Kedua, disitulah letak adanya ambigu, siapa yang akan
disidangkan terlebih dahulu atau disidangkan secara
bersamaan.
- Ketiga, ketentuan Pasal 10 Ayat (2) UU No.13 Tahun 2006
bersifat kontra legem dengan Ayat (1) dalam pasal dan
Undang-Undang yang sama, pada hakikatnya menyebutkan
bahwa saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara
hukum baik pidana maupun perdata atas laporan kesaksian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
yang akan, sedang atau telah diberikan (Eddy O.S. Hiariej,
4: 2010).
Pasal 10 Ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 membuat
pemahaman terhadap saksi yang juga tersangka semakin tidak
jelas, karena disana dijelaskan seorang saksi yang juga
tersangka tidak dapat dibebaskan dari tuntutan hukum. Hal ini,
berarti bisa saja pada waktu bersamaan seorang saksi menjadi
tersangka. Meskipun menurut Pasal 10 Ayat (2) ini,
memungkinkan akan memberikan keringanan hukuman bagi
whistleblower, namun kemungkinan tersebut tetap tidak dapat
membuat seorang yang menjadi whistleblower akan bernafas
lega atau bahkan sama sekali membuat seseorang tertarik
untuk menjadi whistleblower. Hal demikian harus dipisahkan
antara pemahaman seorang saksi mahkota, terdakwa yang
menjadi saksi bagi terdakwa lain, dengan seorang
whistleblower yang berkedudukan sebagai saksi terlebih
dahulu dan kemungkinan akan terjerat menjadi seorang
tersangka bahkan terdakwa.
Selain ketentuan Pasal 10 Ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006, Pasal 191 Ayat (1) KUHAP menentukan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemerikasaan di sidangkan pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Sementara Whistleblower yang juga sebagai pelaku tindak pidana diduga kuat telah melakukan kesalahan.dan karenanya sangat mudah untuk membuktikannya secara sah dan meyakinkan di Pengadilan. Yang memungkinkan baginya adalah lepas dari tuntutan hukum sebagimana terdapat dalam Pasal 191 Ayat (2) KUHAP yang menyebutkan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepadanya terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Hanya saja untuk lepas dari tuntutan hukum juga sulit, karena Whistleblower yang juga sebagai pelaku tindak pidana yang diduga kuat telah melakukan kesalahan, tindakannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
tidak termasuk dalam kerangka dasar penghapusan pidana (Anwar Usman, 4: 2010).
Seorang yang telah menjadi Whistleblower, apabila
mengacu Pasal 10 Ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006, harapan
untuk lepas dari tuntutan hukum sangat sulit, karena pasal ini
telah menegaskan bahwa seorang saksi yang juga tersangka
dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan
pidana apabila ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah.
Untuk bisa lepas dari tuntutan hukum adalah menjadi harapan
bagi Whistleblower yang sekaligus juga sebagai pelaku tindak
pidana, karena untuk dapat bebas dari tuntutan hukum, hampir
tidak mungkin.
Menurut Ahmad Yani di Indonesia belum ada pengaturan
secara jelas mengenai whistleblower. Dalam UU No. 13 Tahun
2006. hanya mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan
korban, bukan terhadap pelapor. Lebih lanjut menurut Yani,
whistleblower itu tidak dapat dituntut secara pidana maupun
perdata atas perkara-perkara yang dikemukakan kepada
penegak hukum. Kasus-kasus besar seperti mafia perpajakan
itu biasanya dibongkar oleh orang dalam sendiri, oleh karena
itu perlu ada pengaturan perlindungan terhadap whistleblower
(Ahmad Yani, 8: 2010). Contoh fakta dari pendapat Ahmad
Yani adalah dipidananya Vincentius Amin Sutanto. Vincentus
sebagai orang internal dalam Dirjen Pajak adalah orang yang
banyak mengetahui tindak pidana yang sedang diproses oleh
Dirjen Pajak, yang diduga merugikan keuangan Negara sangat
besar. Dan hanya dengan kesaksiannya, akan dapat diungkap
kasus tersebut, dan uang negara diselamatkan. Peran besar
Vincent dalam mengungkap kasus tersebut, ternyata tidak
diimbangi dengan perlindungan yang memadai. Vincent pada
akhirnya harus meringkuk dalam penjara, dengan tuduhan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
melakukan tindak pidana pencucian uang. Oleh Pengadilan,
Vincent diganjar 11 tahun penjara. Putusan Pengadilan Negeri
ini kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
Agung (Legal Anotasi Catatan Hukum Bagi Whistleblower, 3:
2008).
Menghadapi kejahatan yang terorganisir diperlukan
kemauan dan keberanian memberikan perlindungan seseorang
dan juga keluarga seseorang tersebut yang bersedia berkorban
menjadi whistleblower. Konsekuensi perbuatan hukum dan
akibat hukum yang luas dan masif bagi dirinya maka reward
pengembalian yang layak ditawarkan adalah kepastian hukum
akan jaminan kerahasiaan dan juga keringanan hukuman.
2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan
United Natlons Convention Against Corruption, 2003
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)
Dengan diratifikasikannya United Nations Convention Againts
Corruption (UNCAC) melalui UU No. 7 tahun 2006 Indonesia
telah memasuki babak baru dalam perlindungan terhadap
Pelaku yang Bekerjasama. Dasar hukum tersebut menyatakan
bahwa setiap negara anggota UNCAC harus
mempertimbangkan pengambilan tindakan atau upaya untuk
mendorong insentif, termasuk dengan memberikan
pengurangan hukuman hingga imunitas kepada pelaku yang
mau bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam
mengungkap korupsi atau tindak pidana yang terorganisir.
Dalam Article 37 UNCAC dikatakan:
1. Each State Party shall take appropriate measures to
encourage persons who participate or who have
participated in the commission of an offence established in
accordance with this Convention to supply information
useful to competent authorities for investigative and
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
evidentiary purposes and to provide factual, specific help to
competent authorities that may contribute to depriving
offenders of the proceeds of crime and to recovering such
proceeds.
2. Each State Party shall consider providing for the
possibility, in appropriate cases, of mitigating punishment
of an accused person who provides substantial cooperation
in the investigation or prosecution of an offence established
in accordance with this Convention.
3. Each State Party shall consider providing for the
possibility, in accordance with fundamental principles of its
domestic law, of granting immunity from prosecution to a
person who provides substantial cooperation in the
investigation or prosecution of an offenceestablished in
accordance with this Convention.
Secara tersurat bahwasanya menyebutkan kewajiban
negara anggota UNCAC untuk mempertimbangkan
pengambilan tindakan atau upaya untuk memberikan
perlindungan fisik dan psikis bagi Pelaku yang Bekerjasama
sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UNCAC.
Pelaku yang Bekerjasama dapat didefinisikan sebagai Orang yang juga pelaku tindak pidana yang membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dan/atau pengembalian aset-aset/hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan kesaksian, laporan atau informasi lain (Jurnal Buku Perlindungan Terhadap Pelaku Yang Bekerjasama, 11: 2010).
Yang menjadi catatan dalam regulasi ini adalah apakah
pelaku yang bekerjasama dapat dipersamakan dengan
whistleblower. Mencermati lebih jauh dari Jurnal Buku
Perlindungan Terhadap Pelaku Yang Bekerjasama Ada 2
(dua) aspek penting dalam definisi di atas. Pertama, status
pelaku yang bekerjasama dapat berupa saksi, pelapor, atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
’hanya’ informan. Yang lebih menjadi penekanan, adalah nilai
dari informasi yang diberikannya untuk mengungkap tindak
pidana yang lebih besar atau mengembalikan aset hasil tindak
pidana dalam jumlah besar. Kedua, orang tersebut adalah
pelaku tindak pidana. Tindak pidana yang dimaksud di sini
adalah tindak pidana yang ia laporkan (pula) atau tindak
pidana lain. Karenanya bisa jadi seorang pejabat kepegawaian
di suatu kementerian yang tengah diproses karena menerima
suap dalam kasus penerimaan pegawai dijadikan pelaku yang
bekerjasama karena ia bersedia mengungkapkan praktek
korupsi sistemik dalam proses pengadaan barang di
kementerian tempat ia bekerja (Jurnal Perlindungan Terhadap
Pelaku Yang Bekerjasama, 11: 2010).
Jika mendasarkan pada definisi pelaku yang bekerjasama
dan juga penjelasan atas definisi tersebut, maka penulis
sependapat jika pengaturan perlindungan Undang-Undang
Nomor 7 tahun 2006 merupakan salah satu payung hukum bagi
whistleblower yang dengan itikad baik mau bekerjasama
dengan aparat penegak hukum dalam melawan kejahatan
extraordinary crime, sekaligus merupakan kewajiban bagi
negara untuk memberikan perlindungan hukum.
c. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dalam ketentuan umumnya telah
menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban,
yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang bertugas
dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain
kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang. Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (UU
PSK) tidak merinci tugas dan kewenangan dari LPSK tersebut
lebih lanjut. Perumus Undang-Undang kelihatannya tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
menjabarkan tugas dan kewenangan LPSK dalam suatu bagian
atau bab tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006
seperti peraturan lainnya, melainkan menyebarkan di seluruh UU.
Adapun tugas dan kewenangan LPSK yang tersebar dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, yaitu:
1) Menerima permohonan saksi dan atau korban untuk
perlindungan.
2) Memberikan keputusan pemberian perlindungan saksi dan
atau korban.
3) Memberikan perlindungan kepada saksi dan atau korban.
4) menghentikan program perlindungan saksi dan atau korban.
5) mengajukan ke pengadilan (berdasarkan keinginan korban)
Berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak
asasi manusia yang berat; dan hak atas restitusi atau ganti
kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
6) Menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang
mewakili korban untuk bantuan.
7) Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang
diperlukan diberikannya bantuan kepada saksi dan atau
korban.
8) Bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dalam
melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan.
Jika dilihat dari tugas maupun kewenangan yang diberikan
oleh Undang-Undang PSK terhadap LPSK, secara umum terkesan
sudah mencukupi. Namun jika diperhatikan dengan teliti dengan
mandat dari undang-undangnya untuk melindungi saksi dan korban
maka kewenangan dari lembaga ini masih kurang memadai jika
dikaitkan dengan perlindungan terhadap whistleblower. Dalam
extraordinary crime banyak diatur mengenai tatacara pemberian
perlindungan bagi saksi, korban dan atau saksi pelapor disesuaikan
dengan ketentuan hukum khusus manakah yang dilanggarnya, akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
tetapi tugas dan kewenangan mandatoris dalam pemberian
perlindungan terhadap saksi dan korban berada di bawah Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Keputusan LPSK dalam memberikan perlindungan bagi saksi
dan korban membawa konsekuensi yuridis bagi orang dan atau
badan hukum yang memaksakan kehendaknya meminta keterangan
dan atau kesaksian si pelapor. Mencermati konsekuensi yuridis dan
manfaat dari keberadaan LPSK, maka saksi dan atau korban yang
berada di bawah LPSK dapat terhindar dari abuse of power
penguasa dan atau orang-orang yang berkepentingan terhadap
kesaksian si pelapor.
Dalam pengungkapan kasus tindak pidana serius, termasuk
korupsi atau mafia hukum, keberadaan whitleblower dianggap
sangat penting karena sulit dan/atau besarnya sumberdaya yang
harus dikeluarkan untuk mengungkap tindak pidana semacam itu
tanpa adanya informasi dari “orang dalam”. Hal ini disebabkan
karena beberapa hal antara lain:
1) tindak pidana semacam ini kerap dilakukan secara terorganisir;
2) para pelaku sama-sama diuntungkan dengan adanya tindak
pidana sehingga sulit mengharapkan adanya laporan dari pihak
yang dirugikan;
3) pelaku tindak pidana tidak jarang melibatkan pihak yang
memiliki kekuatan (kekuasaan/jabatan, finansial, dsb) sehingga
orang yang mengetahui tindak pidana tersebut takut untuk
melaporkan ke aparat penegak hukum;
4) pelaku mengetahui cara dan semakin canggih dalam
menyembunyikan tindak pidana (transaksi dilakukan tunai,
melakukan money laundring, melalui perantara, menghindari
percakapan agar tidak terekam, dan sebagainya) sehingga tidak
mudah untuk menemukan bukti-bukti tindak pidana tersebut
(www.ELSAM.com).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Pertanyaannya, apa keuntungan atau insentif bagi wistleblower
yang mungkin juga pelaku tindak pidana untuk membantu aparat
penegak hukum mengungkap tindak pidana dimana ia sendiri
terlibat dan terancam pidana pula? Untuk menjawabnya dan
memberikan jaminan perlindungan dibawah LPSK, maka perlu
diketahui terlebih dahulu, apakah orang tersebut dapat
dikategorikan, saksi, pelapor atau korban yang dapat dilindungi
oleh Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006.
d. Pengaturan Pemberian Perlindungan dan Bantuan LPSK
Whistleblower yang hanya berkedudukan sebagai seorang
saksi yang memberikan informasi mengenai tindak pidana
sepenuhnya akan mendapat perlindungan LPSK sesuai dengan
prosedur yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor. 13 Tahun
2006. Namun jika whistleblower tersebut adalah saksi yang juga
turut serta melakukan tindak pidana, hukum positif Indonesia
belum secara memadai. Dikatakan tidak memadai, karena secara
yuridis dan fakta dibeberapa kasus pengungkapan tindak pidana
yang melibatkan whistleblower sebagai pelaku yang turut serta
belum terdapat regulasi yang jelas mengenai perlindungan
hukumnya. Oleh karena hal tersebut, maka yang akan menjadi
pokok permasalahan untuk diberikan perlindungan adalah
pengertian saksi sebagai seorang pelaku yang bekerjasama
dengan memberikan informasi ke aparat penegak hukum.
Jika LPSK dan lembaga penegak hukum lainnya mau
menerima perluasan definisi saksi, maka perlindungan bagi saksi,
pelapor dan atau pelaku yang bekerjasama yang terkait dengan
tindak pidana yang dilaporkan secara langsung baik yang terkait
sebagai orang yang turut serta dan atau saksi yang berkedudukan
sebagai korban dari tindak pidana tersebut secara eksplisit dalam
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 telah mengatur mengenai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
adanya perlindungan fisik, dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang menyatakan:
Seorang Saksi dan Korban berhak:
a) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga,
dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang
berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikannya;
b) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan;
c) memberikan keterangan tanpa tekanan;
d) mendapat penerjemah;
e) bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f) mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g) mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
h) mendapat identitas baru;
i) mendapatkan tempat kediaman baru;
j) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan;
k) mendapat nasihat hukum;
l) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas
waktu perlindungan berakhir;
m) mendapatkan pendampingan dalam penyidikan sampai
dengan pemeriksaan di pengadilan;
n) mendapatkan tempat kediaman sementara; dan/atau
o) tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana, administrasi
maupun perdata atas kesaksian, informasi lain yang akan,
sedang, atau telah diberikannya.
Perluasan definisi saksi yang penulis maksud dalam hal ini
adalah, pengertian saksi dalam Undang-Undang Nomor. 13
Tahun 2006 telah diberi batasan dalam pasal 1 angka 1 Undang-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Undang Nomor. 13 Tahun 2006 yaitu orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan/atau ia alami sendiri, hal demikian menjadi rancu
karena pengertian saksi pelapor dan saksi yang dalam waktu
bersamaan menjadi tersangka tidak dapat berlindung dalam aturan
ini.
Dalam pemberian perlindungan secara psikologis terhadap
pelaku yang bekerjasama. Perlindungan dapat diberikan dengan
memberi perlindungan terhadap kerahasiaan identitas. Karena jika
merujuk pada ketentuan KUHAP saksi de charge selama
penyelidikan jika berkedudukan sebagai pelaku yang bekerjasama
dapat ditahan dan kerahasiaannya tidak dapat disembunyikan
karena berkaitan dengan pemeriksaan bagi tersangka lain yang.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006 adalah regulasi
yang terlewat dalam pengaturan pemberian perlindungan atas
kerahasiaan identitas bagi saksi (termasuk pelapor dan pelaku
yang bekerjasama), yang dalam kondisi-kondisi tertentu perlu
dirahasiakan dan pemisahan tempat penahanan. Hal ini perlu
diakomodir dalam revisi Undang-Undang tersebut. Khusus untuk
whistleblower yang dikategorikan sebagai pelaku yang
bekerjasama perlu pula dijamin adanya tempat penahanan dan
penghukuman yang berbeda atau terpisah dari tahanan atau
narapidana lain yang tindak pidananya diungkap oleh pelaku yang
bekerjasama. Hal ini penting untuk menjamin keamanan dan
keselamatan pelaku yang bekerjasama serta menghindari adanya
kemungkinan upaya dari pihak yang akan diungkap tindak
pidananya untuk mempengaruhi dukungan pengungkapan tindak
pidana yang akan dilakukan oleh pelaku yang bekerjasama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Jika pengaturan mengenai perlindungan secara fisik dan
psikis dapat terpenuhi maka dapat diberlakukan dasar hukum
yang memungkinkan whistleblower dan atau pelaku yang
bekerjasama dalam memberantas tindak pidana yang terorganisir.
Secara jelas Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13/2006
mengatur bentuk perlindungan hukum bagi saksi dan pelapor,
yakni bahwa mereka tidak dapat dituntut secara hukum baik
pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan,
sedang, atau telah diberikannya. Pengecualian dari jaminan
hukum tersebut adalah jika mereka memberikan keterangan tidak
dengan itikad baik, misalnya memberikan keterangan palsu,
sumpah palsu, dan permufakatan jahat (Pasal 10 ayat 3 dan
penjelasannya). Masalahnya, dapat terjadi konflik jika seseorang
(Pelapor) melaporkan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
orang lain (Terlapor) ke kepolisian dan si Terlapor melaporkan
balik si Pelapor ke kepolisian atas dasar, misal, “keterangan atau
sumpah palsu“. Dalam konflik semacam ini Undang-Undang
tidak mengatur permasalahan tentang prosedur yang seharusnya
ditempuh untuk menjamin perlindungan hukum bagi pelapor di
satu sisi dan hak terlapor di sisi lain.
14p Pelau e. Ketentuan Pidana
1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik
menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang
menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh
perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf a atau huruf d sehingga Saksi dan/atau Korban tidak
memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat mana
pun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
sedikit Rp.40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp.200. 000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan
luka berat pada Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.80.000.000,00
(delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan
matinya Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama seumur hidup dan
pidana denda paling sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
4) Setiap orang yang menghalang-halangi dengan cara apapun,
sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan
atau bantuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf a dan huruf d, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1), dipidana
denganpidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
5) Setiap orang yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau
keluarganya kehilangan pekerjaan karena Saksi dan/atau Korban
tersebut memberikan kesaksian yang benar dalam proses
peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
6) Setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau
dikuranginya hak-hak Saksi dan/atau Korban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1) karena
Saksi dan/atau Korban memberikan kesaksian yang benar dalam
proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
7) Setiap orang yang memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau
Korban yang tengah dilindungi dalam suatu tempat khusus yang
dirahasiakan oleh LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) huruf j, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
8) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37,
Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 dilakukan oleh pejabat
publik, ancaman pidananya ditambah dengan 1/3.
f. Ketentuan Peralihan
Pada saat Undang-Undang ini diundangkan, peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan
terhadap Saksi dan/atau Korban dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
2. Pengaturan Perlindungan Saksi dan Korban dalam Regulasi
Prinsip Kerahasiaan dan Keringanan Hukuman dalam US
Marshal Service Witness Security Program USA
a. Latar Belakang US Marshal Service Witness Security Program
USA
Whistleblower adalah orang yang memberitahu publik atau
orang yang melakukan tindakan ilegal yang diduga ( kesalahan )
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
yang terjadi di sebuah departemen pemerintah, organisasi publik
atau swasta, atau perusahaan. Para pelanggaran diduga dapat
diklasifikasikan dalam banyak cara, misalnya, suatu pelanggaran
terhadap hukum , aturan, peraturan dan atau ancaman langsung
terhadap kepentingan umum, seperti penipuan pelanggaran,
kesehatan atau keselamatan, dan korupsi. Whistleblowers dapat
membuat tuduhan mereka secara internal (misalnya, untuk orang
lain dalam organisasi dituduh) atau eksternal (untuk regulator,
penegak hukum, untuk media atau kelompok yang bersangkutan
dengan masalah) (www.wikipedia.com). Salah satu hukum pelapor
pertama yang dilindungi adalah False Claim Act (direvisi tahun
1986) tahun 1863 di Amerika Serikat yang mencoba untuk
memerangi penipuan oleh pemasok dari pemerintah Amerika
Serikat selama Perang Saudara. Tindakan itu mendorong
whistleblower dengan menjanjikan mereka persentase dari uang
yang kembali atau ganti rugi akibat kerusakan yang dimenangkan
oleh pemerintah dan melindungi mereka dari pemecatan salah.
Namun yang menjadi permasalahan adalah whistleblower sering
menghadapi aksi pembalasan, kadang-kadang di tangan organisasi
atau kelompok yang mereka tuduhkan, kadang-kadang dari
organisasi terkait, dan kadang-kadang di bawah hokum.
Program keamanan saksi (witnes security program, WITSEC)
federal Amerika Serikat dibentuk oleh Undang-Undang tentang
kejahatan terorganisir Tahun 1970. Program ini digambarkan
sebagai usaha pemerintah yang paling menyeluruh dan metodis
dalam mengambil langkah untuk melawan tindakan kejahatan
yang serius seperti kejahatan terorganisir, kejahatan kerah putih,
distribusi obat-obatan terlarangdan korupsi (Montanino 501: 1984,
dalam buku Nicholas, 2006). Dilema yang dihadapi dalam sistem
hukum Amerika Serikat adalah tingginya tingkat intimidasi
bahkan pembunuhan terhadap saksi-saksi yang berada di bawah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Program Perlindungan. Salah satu indikasi yang menunjukan skala
permasalahan yang ada diperoleh dari data Departemen
Kehakiman pada tahun 1979 yang memperkirakan 10% dari
korban kasus pembunuhan yang terkait dengan kejahatan
terorganisir dalam waktu empat tahun adalah saksi dari para jaksa
penuntut, sementara pada periode empat tahun sebelumnya,
Departemen Kehakiman melaporkan sebanyak 25 informan
terbunuh (Graham, 85:1985). Fakta ini berbanding lurus dengan
pendapat dari Gerald Schur bahwa “alat tertua dan terampuh yang
dimiliki oleh kejahatan terorganisir dalam melawan proses
penuntutan kriminal adalah membunuh para saksi yang bersaksi
melawan mereka” (Nicholas: 23: 2006).
US Marshall Service adalah lembaga penegakan hukum
pemerintah federal di Amerika Serikat, namun kantor eksekutif
untuk US Marshall, itu sendiri diciptakan baru ada pada tahun
1965 sebagai organisasi pertama untuk mengawasi Program
Perlindungan, salah satunya sebagai lembaga yang diberi tugas
dan wewenang atas pertunjuk Jaksa untuk memberikan
perlindungan berdasarkan pada WITSEC. Terbentuk dan
pengambil alihan tugas dan wewenang dalam program
perlindungan dapat sedikit membantu menekan perasaan takut
(psikologis) sebagai dampak dari perbuatan hukumnya
memberikan kesaksian. Penulis sengaja memberikan penilaian
bahwa perlindungan di bawah US Marshall Service hanya sedikit
memberikan pertolongan dalam rasa aman karena Penulis setuju
dan mendasarkan pada kajian dari Komisi Nasional Pengamat dan
Penegak Hukum yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan keadilan
ditakdirkan untuk menderita karena beban ekonomi dan psikologis
yang tidak masuk akal yang dibebankan pada saksi saat bersaksi di
Pengadilan (Roberts, 2: 1991). Dalam konteks saksi yang
berkedudukan sebagai pelaku yang bekerjasama, maka penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
sepaham dan mampu memahami beban psikologis yang
ditimbulkan sebagai bagian dari intimidasi kejahatan yang
terorganisir. Dari sisi ekonomi, biaya dan waktu yang terkuras
adalah beban materi sekaligus psikologis yang menekan para
saksi. Sebagai contoh para saksi mungkin harus pergi ke
Pengadilan berkali-kali untuk memberikan kesaksian dan
kehilangan sumber pendapatan.
Pada saat adanya pergeseran paradigma untuk memberikan
perlindungan kepada korban dan saksi serta usaha pemerintah
Amerika Serikat untuk memberantas kejahatan terorganisir
dibentuklah WITSEC yang mengakomodasi perlindungan kepada
saksi dan korban. Pada masa awal terbentuknya aturan ini,
keseluruhan pengawasan berada di tangan pemerintah federal
masing-masing negara bagian. Mengingat besarnya ancaman bagi
saksi dan korban, maka pemerintah secara khusus mendelegasikan
kewenangan kepada US Marshall untuk turut membantu dan
memberikan perlindungan secara menyeluruh. Meskipun
berdasarkan kajian dari Montanino yang menggambarkan
bagaimana keadaan saksi yang diterima di dalam program
perlindungan bagaikan masuk dalam lingkar kematian dan
kelahiran sosial, namun keberadaan lembaga ini tidak bisa
dinisbikan sumbangsihnya bagi pengawalan saksi dan korban.
b. US Marshal Service
US Marshals Service adalah bagian dari eksekutif cabang
pemerintah, dan bagian dari pengadilan federal Amerika Serikat
(AS). Para Marshals AS bertanggung jawab untuk melindungi
petugas pengadilan dan operasi yang efektif dari pengadilan,
khususnya mengenai kejahatan terorganisir. Layanan ini juga
membantu dengan keamanan pengadilan dan transportasi tahanan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
melayani perintah penangkapan, dan mencari buronan (www.US
Marshals Service.com).
US Marshals Service bertanggung jawab untuk menangkap
buronan, memberikan perlindungan untuk peradilan federal,
mengangkut tahanan federal, melindungi saksi federal yang
terancam, dan mengelola aset yang disita dari perusahaan kriminal.
Marshals Service bertanggung jawab atas 55,2 persen dari
penangkapan federal buronan. US Marshall Service juga
mengeksekusi semua surat perintah yang sah, proses, dan perintah
yang dikeluarkan di bawah otoritas Amerika Serikat, dan perintah
yang diperlukan untuk melaksanakan tugasnya. US Marshall tidak
dapat menggunakan tentara untuk tugas penegakan hukum saat
dalam seragam yang mewakili unit mereka (www.wikipedia.com).
c. Perlindungan Bagi Saksi dan Korban
Dalam hal pelaksanaan WITSEC, perlindungan terhadap
saksi melibatkan beberapa tahapan kunci (Graham, 87-88: 1985).
Seorang jaksa di Amerika Serikat yang mencari perlindungan bagi
seorang saksi harus membuat suatu permintaan tertulis kepada
Wakil Jaksa Agung di Kantor Pelaksanaan Penegakan (Office of
Enforcement Operations, OEO) di Departemen Kehakiman.
Dalam menilai aplikasi yang masuk, OEO akan
mempertimbangkan permintaan jaksa penuntut umum yang
berkaitan dengan beberapa kriteria, termasuk di dalamnya nilai
kepentingan dari penuntutan, bahaya yang dihadapi saksi dan
pandangan bagian Pelayanan Keamanan Publik (Marshal Service)
Amerika Serikat mengenai kelayakan saksi untuk dapat menjadi
bagian dari WITSEC. Bila permintaan itu disetujui maka Marshal
Service akan mengambil alih kuasa atas saksi. Seorang petugas
akan menghubungi saksi untuk menginformasikan mereka tentang
detail program dan mengumpulkan informasi latar belakang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
mengenai riwayat kerja dan kesehatan mereka (dan keluarganya).
Bila saksi membutuhkan perlindungan segera, maka mereka akan
dipindahkan sementara ke motel di luar “daerah bahaya”. Marshal
Service berkonsultasi dengan saksi lalu memilih daerah relokasi
dan mengatur kepindahan saksi, keluarga dan kepemilikan mereka
ke daerah itu. Di daerah relokasi, saksi diawasi oleh Deputy
Marshal yang berrtindak sebagai penghubung dan mengatur akses
para saksi dan keluarganya pada perumahan, pelayanan kesehatan
dan lainnya. Saksi kemudian diberikan bantuan dalam mencari
pekerjaan di daerah relokasi dan dibayar dengan tunjangan hidup
per bulan yang mencukupi yang biasanya berakhir dalam 120 hari
setelah masuk ke dalam program WITSEC. Para saksi dan
keluarganya juga diberikan dokumentasi yang diperlukan untuk
mengganti identitas mereka, termasuk akte kelahiran, surat izin
mengemudi, passport, dan catatan kesehatan dan sekolah.
Meskipun para saksi bisa berhubungan dengan keluarga dan
teman-teman mereka di daerah asal, hal itu hanya bisa dilakukan
melalui saluran penghubung surat yang aman yang diawasi oleh
Marshal Service.
Ada tiga organisasi federal yang berbeda yang terlibat
dalam menempatkan seorang saksi dalam program Perlindungan
Saksi dan mereka masing-masing fokus pada bidang tertentu
dalam program. Organisasi-organisasi ini dan area tanggung
jawab mereka adalah:
1) US Marshall Service
Memastikan bahwa para peserta perlindungan saksi dalam
persidangan yang tidak masuk penjara berada dalam keadaan
yang aman;
2) Kantor Operasi Penegakan (Office of Enforcement Operations,
OEO)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Organisasi ini menentukan siapa yang dibolehkan untuk
ditempatkan ke dalam program setelah mereka telah
memberikan kesaksian mereka;
3) Federal Bureau of Prisons
Organisasi ini mengawasi penahanan terhadap mereka yang
dianggap bersalah setelah sidang.
Untuk mempermudah pemahaman mengenai kewenangan
serta prosedur pemberian perlindungan saksi di Amerika Serikat,
maka Penulis akan memberikan gambaran prosedurnya dalam
bentuk gambar sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Gambar 2. Alur prosedur pemberian perlindungan dan lembaga berwenang yang terkait
Sumber : Supriyadi Widodo, www.perlindungansaksi.wordpress.com
Jaksa , Penuntut Umum, badan penyelidikan lainnya yang
membutuhkan program perlindungan saksi
Jaksa Agung US
KANTOR OPERASI PENEGAKAN
Unit Perlindungan saksi, Divisi Criminal,
Departemen of Justice US
Lembaga lain yang relevan
seperti :
Kantor naturalisasi dan imigrasi
FBI Pemerintahan negara
bagian
Bureau of Prison
United States
Marshals Service
Pengadilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Dalam memberikan perlindungan program US Marshall
membaginya dalam tiga tahapan yang harus dilalui. Tahapan yang
harus dilalui oleh seorang yang setuju untuk masuk dala program
perlindungan adalah sebagai berikut :
1) Perlindungan Pra Persidangan
Setelah seseorang telah dianggap membutuhkan program
Perlindungan Saksi, US Marshall kemudian memberikan
identitas baru bagi saksi tersebut, sehingga di Amerika Serikat
sering dikenal istilah fall off the face of the earth (jatuh dari
muka bumi) atau orang yang baru saja dilahirkan dengan paket
identitas diri yang lengkap (www.stuff.com). Ini termasuk hal-
hal seperti menciptakan identitas baru untuk saksi dan
keluarganya, serta menemukan tempat relokasi bagi mereka.
Menciptakan identitas baru tidak dilakukan oleh US Marshall
saja. Ini melibatkan banyak instansi pemerintah yang berbeda
dan tingkat kerahasiaan tinggi. Sebelumnya yang diperlukan
adalah harus dipenuhi kewajiban-kewajiban orang tersebut
sebelum orang tersebut akan ditempatkan ke dalam
Perlindungan Saksi. Setelah saksi telah bertemu dengan US
Marshal Service, mereka dan keluarga mereka, dan setiap orang
yang terancam keberadaannya yang terkait dengan kasus ini,
akan diambil dari lokasi mereka saat ini dan segera akan
dipindahkan ke lokasi lain. Rumah baru mereka, itu hanya lokasi
sementara di mana mereka akan tetap aman sebelum
memindahkan mereka ke tempat yang lebih aman.
Saksi memang akan dapat memulai hidup baru bagi diri
mereka sendiri sekali dalam lokasi permanen yang baru. US
Marshall Service akan memberitahu penegak hukum lokal apa
yang saksi lakukan di lokasi baru dan akan mengungkapkan
semua rincian dari setiap kegiatan kriminal masa lalu US
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Marshall juga akan membantu saksi menyesuaikan diri dengan
kehidupan di komunitas baru mereka serta mereka dapat.
Mereka akan:
a) Mendapatkan satu kesempatan mencari pekerjaan;
b) Bantuan saksi menemukan tempat tinggal;
c) Menyediakan mereka dengan dana untuk hidup, sekitar $
60.000 setahun;
d) Pengaturan untuk bimbingan konseling yang diperlukan.
Untuk waktu masa percobaan saksi berada dalam
perlindungan saksi, US Marshall akan memberikan
keamanan 24-jam, terutama ketika situasi yang berisiko
tinggi seperti pada saat percobaan dan pra-sidang proses
(www.stuff.com).
2) Perlindungan Dalam Masa Persidangan (Ketika Saksi Bersaksi)
Saksi belum akan berada di lokasi baru mereka, selama
mereka dibutuhkan untuk bersaksi di pengadilan. Mereka justru
akan masih berada di lokasi sementara dan aman sewaktu
pertama kali ditempatkan setelah memasuki program. Ketika
saksi perlu bersaksi dalam sidang, tindakan pencegahan banyak
sekali yang diambil untuk memastikan bahwa saksi akan tetap
aman sampai waktunya bagi mereka untuk pindah ke rumah
baru mereka. Selama persidangan, jika ada saksi yang sudah
tidak berada dalam program perlindungan, mereka masih akan
diberi perlindungan untuk memastikan bahwa mereka juga tetap
aman selama persidangan. Pengaman tersebut dicontohkan pada
saat, saksi datang dibawa dengan helikopter, truk dan bahkan
bisa menggunakan perahu nelayan.
Keamanan dilakukan dengan ketat karena saksi berada di
dekat intimidasi hadirnya tersangka yang mungkin ingin
menyakiti, sebelum mereka memberikan kesaksian mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Untuk saksi yang muncul di pengadilan, permintaan harus
datang dari US Marshals atau OEO dan saksi harus diberitahu
10 hari pemberitahuan terlebih dahulu (Supriyadi Widodo, 11:
2005). Mereka yang ingin meminta kesaksian saksi harus
melakukannya di sebuah lokasi yang dirahasiakan dan netral,
yang ditentukan oleh US Marshals. Hal ini mungkin tampak
seperti masalah besar bagi pemerintah, terutama dalam segi
pembiayaan, tetapi mereka melakukannya untuk alasan yang
sangat bagus. Sejak program ini dimulai pada tahun 1970,
Perlindungan Saksi telah mendapat tingkat keyakinan 89%
melalui keterangan saksi direlokasi dan lebih dari 10.000
penjahat telah dihukum (www.stuff.com).
3) Perlindungan Setelah Masa Persidangan (Ketika Saksi
Direlokasi)
Setelah saksi telah dipindahkan ke lokasi baru mereka,
mereka tidak pernah harus kembali ke lokasi yang mereka pergi.
Mereka juga tidak pernah harus menghubungi anggota keluarga
atau teman yang tidak dilindungi. Saksi juga harus agresif
mengejar kesempatan kerja dan jika mereka gagal untuk
melakukannya, semua pembayaran dari pemerintah otomatis
akan dihentikan. Setelah saksi menetap ke dalam kehidupan
baru mereka, mereka masih harus menghubungi pejabat
pemerintah setahun sekali. Namun, mereka harus selalu
menghubungi pemerintah jika memilih untuk berpindah-pindah
tempat.
Berdasarkan prosedur pemberian saksi di Amerika Serikat,
jika ada keinginan seseorang untuk menghubungi saksi setelah
mereka direlokasi, mereka hanya dapat melakukannya bila
mereka telah membuat permintaan ke US Marshals Service atau
OEO tersebut. Setelah menyetujui beberapa fase tahapan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
terhadap program perlindungan, maka sebagai kompensasi atas
keberaniannya untuk menjadi whistleblower maka pemerintah
akan memberikan penghargaan. Beberapa penghargaan yang
ditawarkan bagi adanya program perlindungan adalah sebagai
berikut :
1) Pembayaran Uang Penghargaan
Kantor Operasi Penegakan harus diberitahu tentang
setiap pembayaran uang penghargaan bagi peserta Program
Keamanan Saksi. Kantor pusat badan investigasi
bersangkutan harus menyampaikan laporan tertulis tentang
pembayaran semacam itu. Dalam laporan itu tertera alasan
perbayaran itu dan bukti bahwa Jaksa yang menangani
perkara menyetujui pembayarannya.
2) Pengamanan Khusus
Semua dokumen menyangkut saksi yang dilindungi atau
seseorang yang dicalonkan untuk dilindungi harus mendapat
penanganan khusus hal ini di lakukan untuk menjamin bahwa
informasi itu hanya akan dibuka berdasarkan alasan yang
jelas.
3) Tanggungjawab untuk Keberlangsungan Perlindungan
Begitu diterima ke dalam Program Keamanan Saksi,
bahkan bila tidak lagi di dalam Program, seorang saksi akan
mendapatkan perlindungan di dalam ruang sidang saat ia
bersaksi untuk kasus-kasus mana ia diikutsertakan dalam
Program. Bila saksi tidak lagi di bawah Program, tetapi
tinggal di tempat yang dianggap tidak berbahaya baginya,
Kantor Marsekal AS dapat juga memperbolehkan mereka
untuk bersaksi. Akan tetapi, jika jelas-jelas terbukti bahwa
saksi yang telah mengundurkan diri dari Program berada
dalam bahaya mendesak yang disebabkan oleh keterlibatan
sebelumnya yang bukan karena kesalahan saksi sendiri,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
kelanjutkan layanan perlindungan baginya akan
dipertimbangkan, dan bila dianggap pantas akan
dilaksanakan.
4) Permohonan Informasi
Semua permintaan akan informasi langkah-langkah
hukum terkini yang berkaitan dengan kesaksiaannya.
5) Dana Kompensasi Korban
Sesuai ketentuan Judul 18 Kitab Pidana AS bagian
3525, Dana Kompensasi Korban telah dibentuk untuk
memberi ganti rugi kepada korban kejahatan tertentu.
Umumnya, dana ini akan dipakai untuk membayar biaya
pengobatan dan atau penguburan dan pendapatan yang hilang
jika berkedudukan sebagai saksi sekaligus korban. Kepada
Kantor Operasi Penegakan telah diberikan wewenang untuk
mengatur pengelolaan dana ini dan harus dihubungi bila ada
yang membutuhkan informasi tentang dana itu atau ada klaim
pembayaran (Supriyadi Widodo, 19-20: 2005).
d. Syarat dan Tata Cara Pemberian Perlindungan dan Bantuan
Perlindungan saksi sangat penting untuk aparat penegak
hukum dan orang-orang di pengadilan yang perlu mendapatkan
kesaksian penting dari kejahatan yang terorganisir. Namun, ada
kasus-kasus tertentu di mana besar kemungkinan bahwa individu
yang bersaksi akan terintimidasi atau dibunuh untuk memberikan
kesaksian yang penting tersebut. Kasus yang telah melibatkan
Mafia adalah beberapa kasus di mana Program Perlindungan
Saksi diperlukan. Program Perlindungan Saksi diciptakan pada
tahun 1970 oleh Gerald Shur. (Nicholas R Fyfe, 19: 2006). Gerald
menyadari bahwa saksi takut untuk maju dalam Peradilan, karena
konsekuensi yang kemungkinan besar mereka akan menderita.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Oleh karena itu dirumuskan syarat dan prosedur pemberian
program perlindungan terhadap saksi dan korban.
1) Syarat Mendapatkan Program Perlindungan Saksi
Untuk mempermudah pengurusan permohonan yang
diajukan oleh Jaksa Pemerintah untuk mengikutsertakan
seorang saksi dalam Program Perlindungan Saksi , Unit
Perlindungan Saksi pada Kantor Operasi Penegakan (OEO)
telah menyiapkan suatu formulir permohonan yang
mensyaratkan informasi tertentu untuk mendukung suatu
permohonan. Sebagian besar informasi tersebut telah
dirumuskan dalam UU tentang Reformasi Keamanan Saksi
dimana Jaksa Agung harus mendapatkan dan mengevaluasi
semua informasi yang diberikan mengenai pengikutsertan
seorang saksi ke dalam Program. Informasi ini meliputi
ancaman yang dialami saksi, riwayat kriminal saksi (bila
ada), penilaian psikologis atas saksi dan setiap identitas
menyangkut anggota rumah tangganya yang telah dewasa (
berumur 18 tahun atau lebih) yang akan diikutsertakan ke
dalam Program (Supriyadi Widodo, 2: 2005).
Selain itu, Jaksa Agung diwajibkan juga untuk
membuat sebuah penilaian tertulis atas resiko yang mungkin
diderita suatu komunitas dimana saksi dan anggota
keluarganya yang sudah dewasa akan dipindahkan. Faktor-
faktor yang mesti dievaluasi dalam penilaian tentang resiko
ini meliputi, catatan kriminal, kemungkinan serta alternatif
lain (selain mengikutsertakan dalam Program perlindungan)
dan kemungkinan mendapatkan informasi yang dibutuhkan
dari sumber lain. Jika diyakini bahwa ada bahaya (resiko)
yang lebih besar yang akan diterima oleh bagi suatu
komunitas (tempat dimana saksi dan anggota keluarganya
yang dewasa dipindahkan) daripada pentingnya memulai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
persidangan dari suatu kasus maka Jaksa Agung dapat
diminta untuk mengeluarkan saksi dari Program Keamanan
Saksi.
Sebelum secara resmi masuk ke dalam Program, saksi-
saksi akan diwajibkan membayar semua hutang yang dapat
dibuktikan keberadaannya secara valid atau membuat
perencanaan yang menyakinkan untuk membayarnya,
membereskan semua kewajiban di bidang pidana maupun
perdata (misalnya: denda, kewajiban kepada komunitas,
restitusi), menyiapkan dokumen-dokumen pemeliharaan anak
yang tepat, dan menyediakan dokumen-dokumen imigrasi
yang tepat jika diperlukan. Selain itu, agar seorang saksi
diterima resmi ke dalam Program, Departemen Kehakiman
boleh (bila dianggapnya perlu) memberitahu badan penegak
hukum lokal tentang keberadaaan saksi dalam suatu
komunitas dan riwayat kriminalnya, mewajibkan
dilakukannya tes obat bius dan alkohol dan atau konseling
tentang penyalahgunaan obat-obatan, dan menetapkan syarat-
syarat lain yang dipercaya akan sangat berguna bagi
Program.
Berdasarkan kajian yang dilakukan US Marshals untuk
menghindari penundaan yang tidak penting dalam
memproses suatu permohonan untuk masuk dalam Program,
Jaksa Pemerintah sebaiknya memperhatikan hal-hal berikut:
Pertama, untuk memastikan agar permohonan seorang saksi
untuk masuk ke dalam Program benar-benar sesuai dan tepat
waktu, maka sebelum diterima ke dalam Program, saksi harus
hadir atau bersaksi di hadapan dewan juri atau dengan cara
tertentu bersumpah bahwa dia akan bersaksi di persidangan.
Syarat ini terkait dengan komitmen saksi untuk bersaksi dan
dimaksudkan untuk memastikan bahwa kesaksian saksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
tersebut akan tersedia pada saat persidangan. Syarat yang
juga sama pentingnya adalah bahwa Penuntut Umum
menginginkan si saksi untuk bersaksi dan bahwa
kesaksiannya benar-benar mendasar dan penting untuk
suksesnya persidangan. Kedua, perlindungan atau
pemindahan saksi dan anggota keluarganya adalah pekerjaan
yang mahal dan rumit. Selain itu, Departemen Kehakiman
wajib menjamin keselamatan dan kesejahteraan saksi yang
dilindungi dan anggota keluarganya dalam waktu yang lama
sesudah saksi memberi kesaksian (www. marshals
service.com). Oleh karena itu, sudah seharusnyalah Jaksa
yang mendukung masuknya seorang saksi ke dalam Program
hanya sebaiknya membuat permohonan setelah memastikan
bahwa kesaksian dari saksi itu benar-benar mendasar dan
penting untuk suksesnya persidangan.
Ada persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh negara
jika ada individu, atau kasus, yang membutuhkan regulasi
Perlindungan Saksi. Kriteria pertama yang harus dipenuhi
adalah bahwa kesaksian individu harus dianggap kredibel dan
dianggap sangat penting untuk kasus dalam rangka untuk
Perlindungan Saksi untuk mengambil tempat. Saksi juga
harus dipertimbangkan dapat diandalkan dalam kesediaannya
memberikan kesaksian. Ini berarti bahwa hal itu harus dibuat
jelas bahwa saksi tidak akan mundur dari memberikan
kesaksian mereka di pengadilan. Hal ini akan ditegaskan
dalam wawancara pendahuluan dengan Jaksa. Kriteria lain
bahwa terjadi pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan
dengan yurisdiksi dan atau kepentingan dari keberadaan
program perlindungan. Berikut beberapa pelanggaran yang
menjadi salah satu kriteria pemberlakuan program
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
perlindungan (sistem hukum common law tidak membedakan
istilah antara pelanggaran dan kejahatan) :
1) Setiap pelanggaran yang tertulis dari United States Code
Bab 18, Section 1961 yang melibatkan kejahatan
terorganisir dan pemerasan;
2) Setiap pelanggaran yang tertulis dalam United State Code
Bab 21, yang melibatkan perdagangan narkoba;
3) Pelanggaran kejahatan yang akan menempatkan individu
dalam bahaya membahayakan tubuh, atau ancaman
kekerasan fisik, setelah mereka telah memberikan
kesaksian mereka;
4) Pelanggaran negara yang menyerupai salah satu
pelanggaran yang tercantum di atas;
5) Beberapa kasus perdata dan administrasi yang akan
menempatkan saksi dalam bahaya setelah mereka telah
memberikan kesaksian mereka (Supriyadi Widodo, 2-6:
2005).
Untuk mempermudah pemahaman mengenai jenis pelanggaran dan
kewenangan lembaga federal yang manakah yang berhak memberikan
perlindungan serta prosedur pemberian perlindungan saksi di Amerika
Serikat, maka Penulis akan memberikan gambaran prosedurnya dalam
bentuk gambar sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Gambar 3. Lembaga-lembaga (institusi) yang berkaitan erat dengan program
perlindungan saksi di Amerika serikat
Sumber : Supriyadi Widodo, www.perlindungansaksi.wordpress.com
Jenis saksi yang masuk kualifikasi dalam program
perlindungan saksi, departemen of justice US Yang diatur oleh witnes protection
(kualifikasi ini kemudian akan memilki implikasi dalam perbedaan prosedur dan administratif)
Saksi dalam status biasa, dibedakan menjadi saksi: Dalam lingkup federal Dan saksi dalam lingkup lokal atau negara bagian
Saksi yang berstatus tahanan
Saksi yang berstatus orang asing -ilegal
Saksi yang berstatus narapidana
Saksi yang berstatus informan atau informan yang masuk dalam program perlindungan saksi
Lembaga yang paling terkait
US Marshals
Lembaga yang palingterkait Bureau of Prison
Lembaga terkait US Marshals Kantor Imigrasi
Lembaga yang paling terkait Bureau of prison
Lembaga yang paling terkait
US Marshals
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
B. Pembahasan Mencermati Hasil Penelitian Prinsip Kerahasiaan dan
Keringanan Hukuman Bagi Whistle Blower menurut Undang-Undang
No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan
US Marshal Service Witness Security Program USA
1. Persamaan dan Perbedaan
Dengan memperbandingkan regulasi perlindungan seperti yang
telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik suatu pembahasan yang
menjelaskan mengenai persamaan dan perbedaan di antara keduanya.
Ditinjau dari sudut sejarahnya Indonesia dan Amerika Serikat adalah
negara yang sama-sama menempatkan hukum sebagai landasan
fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai negara
hukum yang memiliki kiblat berbeda dalam sistem hukum yang
dianutnya yakni, sistem hukum Eropa Kontinental dan sistem hukum
common law, namun semua sistem hukum yang ada dan dianut oleh
negara-negara di dunia memiliki persamaan akan jaminan perlindungan
hak asasi manusia dalam penegakan hukum. Hal ini telah menjadi
prinsip universal yang berlaku di seluruh dunia tanpa melihat sistem
hukum yang dianut.
Sebagai negara hukum (rule of law) keadilan harus tetap
ditegakkan dengan tetap memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh
orang yang diduga bersalah, karena pada hakikatnya orang yang
dianggap bersalah belum tentu bersalah sampai ada suatu putusan
hukum yang tetap. Hukum formil dirancang sebagai suatu alat untuk
melaksanakan dan mempertahankan pelaksanaan terhadap hukum
materiil. Idealnya hukum formil mampu memberikan alat bagi aparat
penegak hukum untuk melakukan pengungkapan kejahatan dan
perlindungan terhadap para pihak yang dinyatakan terlibat melakukan
pelanggaran dalam hukum materiil sampai ada putusan dari hakim yang
bersifat tetap (in kracht van gewijsde). Melihat posisi hukum formil
yang demikian, memberikan pemahaman seberapa pentingnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
melakukan kajian terhadap ketentuan hukum formil, salah satunya
adalah dengan cara memperbandingkan dengan ketentuan hukum
negara lain. Dari memperbandingkan ketentuan sistem hukum yang
berbeda dapat dilihat persamaan dan perbedaan yang dapat dijadikan
bahan materiil untuk mengetahui seberapa jauh sistem hukum di
Indonesia memberikan kewajiban dan hak bagi para pihak yang terkait.
Persamaan perlindungan bagi whistle blower menurut UU No. 13
Tahun 2006 dengan US Marshal Service Witness Security Program
USA dapat dikaji dari tujuan pembentukan hukum formil bagi kedua
negara. Pembentuk undang-undang menghendaki adanya suatu sistem
hukum yang memberikan perlindungan terhadap saksi, pelapor dan atau
pelaku yang bekerjasama dalam rangka memerangi extraordinary crime
yang meliputi kejahatan yang terorganisir. Seperti yang telah
dipaparkan pada hasil penelitian, Indonesia dan Amerika Serikat
berupaya memerangi kejahatan extraordinary crime yang telah
membuat kerugian bagi negara dan berdampak bagi masyarakat luas.
Oleh karena hal tersebut maka diperlukan cara-cara yang extraordinary
untuk menanggulanginya.
Cara-cara yang extraordinary untuk menanggulanginya diberikan
negara dengan memberikan jenis berupa perlindungan fisik, relokasi,
penyamaran identitas dan kepemilikan, serta perubahan identitas yang
dilindungi oleh undang-undang. Prinsip kerahasiaan yang menjadi
penekanan bagi salah satu cara pemberian perlindungan dapat
diberlakukan bagi perlindungan fisik, relokasi dan penyamaran
identitas. Prosedur pemberian perlindungan Saksi dan atau korban yang
bersangkutan dapat diperoleh baik atas inisiatif sendiri maupun atas
permintaan pejabat dan atau lembaga yang berwenang. Demikian
halnya dengan cara memperoleh penghentian perlindungan dilakukan
berdasarkan pada ketentuan undang-undang, yang keseluruhan
pembiayaan untuk perlindungan bagi saksi dan korban, berasal dari
anggaran pendapatan dan belanja negara di Indonesia diusulkan oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
DPR dan Presiden, di Amerika Serikat di usulkan oleh house of
representativie.
Mencermati persamaan yang didapat dari hasil penelitian, maka
dapat dipaparkan pula perbedaan kedua sistem hukum yang dianalisis
dari hasil penelitian yang diperoleh. Perbedaan yang fundamental pada
perlindungan yang diberikan dapat dicermati pada perbedaan definisi
whistleblower, perbedaan prinsip pada pengertian definisi sistem
hukum Indonesia secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang nomor
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban. Pasal 10 Ayat
(1) menyebutkan bahwa Seorang saksi, korban dan pelapor tidak dapat
dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan
kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan. Menurut PP No.71
Tahun 2000 adalah orang yang publik suatu informasi kepada penegak
hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi
dan bukan pelapor (Ketua Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI).
Dalam sistem hukum Amerika Serikat dimaknai seorang whistleblower
(whistle-blower atau peniup peluit) adalah orang yang memberitahu
publik atau seseorang yang berkaitan dengan kegiatan tidak jujur atau
ilegal yang diduga terjadi di sebuah departemen pemerintah, organisasi
publik atau swasta, atau perusahaan (Claim False Act 1986 USA’s).
Sebagai alat perlindungan yang disediakan oleh negara dalam
rangka memerangi kejahatan extraordinary crime dan dibiayai oleh
negara maka secara atributive kewenangan memberikan perlindungan
berada di bawah lembaga negara. Di Indonesia kewenangan atributive
berada di bawah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), di
Amerika Serikat kewenangan atributive berada pada tiga lembaga
negara yaitu US Marshall Service, Kantor Operasi Penegakan (Office of
Enforcement Operations, OEO) Di bawah depatemen Kehakiman, dan
Federal Bureau of Prisons. Pada prinsip kerahasiaan kedua sistem
hukum sama-sama memberikan perlindungan yang sama, tidak
demikian halnya dengan prinsip keringanan hukuman. Dalam Undang-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Undang No. 13 tahun 2006 disebutkan pasal 10 yaitu: seorang saksi
yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari
tuntutan pidana apabila jika terbukti bersalah, tetapi kesaksiannya dapat
dijadikan pertimbangan. Di Amerika Serikat seorang whistleblower
setelah menjalani hukuman, diberikan perlakuan khusus sebelum,
selama, dan sesudah memberikan kesaksian. Perbedaan terakhir ada
pada ketentuan pidana yang terdapat pada Undang-Undang No. 13
Tahun 2006 yang tidak dikenal dalam US Marshals Service witness
security program USA.
Agar lebih mempermudah memahami pembahasan Penulis, maka
akan dipaparkan persamaan dan perbedaan antara keduanya dalam
format yang berbentuk tabel sebagai berikut :
a. Persamaan :
Tabel 1. Persamaan perlindungan bagi whistle blower menurut UU No. 13 Tahun
2006 dengan US Marshal Service Witness Security Program USA
No. Persamaan Keterangan
1. Tujuan Memberikan perlindungan terhadap saksi, pelapor dan atau
pelaku yang bekerjasama dalam rangka memerangi
extraordinary crime yang meliputi kejahatan yang
terorganisir
2. Jenis
perlindungan
saksi dan korban
dalam undang
undang
Perlindungan fisik, relokasi, penyamaran identitas dan
kepemilikan, serta perubahan identitas.
3. Prinsip
Kerahasiaan
Berlaku bagi perlindungan fisik, relokasi dan penyamaran
identitas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
4. Prosedur
pemberian
perlindungan
Saksi dan atau korban yang bersangkutan, baik atas
inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat dan atau
lembaga yang berwenang.
5. Pembiayaan Pembiayaan untuk perlindungan bagi saksi dan korban,
berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara di
Indonesia diusulkan oleh DPR dan Presiden, di Amerika
Serikat di usulkan oleh house of representativie (Nicholas
R. Fyfe)
6. Penghentian Perlindungan
- Saksi dan/atau Korban atas inisiatif sendiri meminta
dihentikan perlindungan
- Pejabat yang berwenang berpendapat bahwa Saksi
dan/atau Korban tidak lagi memerlukan perlindungan
- Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam Saksi
dan/atau Korban melanggar ketentuan sebagaimana
tertulis dalam perjanjian.
b. Perbedaan :
Tabel 2. Perbedaan perlindungan bagi whistle blower menurut UU No. 13 Tahun
2006 dengan US Marshal Service Witness Security Program USA
No. Keterangan Indonesia Amerika Serikat
1. Definisi - Secara eksplisit diatur
dalam Undang-Undang
nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan saksi
dan korban. Pasal 10 Ayat
(1) menyebutkan bahwa
“Seorang saksi, korban
Seorang whistleblower (whistle-
blower atau peniup peluit)
adalah orang yang memberitahu
publik atau seseorang yang
berkaitan dengan kegiatan tidak
jujur atau ilegal yang diduga
terjadi di sebuah departemen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
dan pelapor tidak dapat
dituntut secara hukum baik
pidana maupun perdata
atas laporan kesaksian
yang akan, sedang, atau
telah diberikan
- menurut PP No.71 Tahun
2000 adalah orang yang
publik suatu informasi
kepada penegak hukum
atau komisi mengenai
terjadinya suatu tindak
pidana korupsi dan bukan
pelapor (Ketua Badan
Litbang Diklat Kumdil
MA-RI).
pemerintah, organisasi publik
atau swasta, atau perusahaan
(Claim False Act 1986 USA’s)
2. Lembaga
dan pejabat
khusus yang
menangani
perlindungan
saksi dan
korban
Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK)
- US Marshall Service
- Kantor Operasi Penegakan
(Office of Enforcement
Operations, OEO), (Di
bawah depatemen
Kehakiman)
- Federal Bureau of Prisons
3. Prinsip
Keringanan
Hukuman
Disebutkan dalam pasal 10
yaitu: seorang saksi
yang juga tersangka dalam
kasus yang sama tidak dapat
dibebaskan dari tuntutan
pidana apabila jika terbukti
Diberikan perlakuan khusus
sebelum, selama, dan sesudah
memberikan kesaksian. (84%
dari mereka yang menjalani
hukuman adalah saksi yang
terlibat dalam kejahatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
bersalah, tetapi kesaksiannya
dapat dijadikan pertimbangan
terorganisir)
4. Ketentuan Pidana
- Terdapat ketentuan pidana
dalam UU No.13 Tahun
2006 tentang perlindungan
saksi dan korban
- Dalam US Marshals Service
witness security program
USA tidak dicantumkan
ketentuan pidana.
2. Kelebihan dan Kelemahan
Berdasarkan pada perbandingan sebagaimana telah diuraikan pada
point sebelumnya, maka dapat dijelaskan suatu pembahasan mengenai
kelebihan dan kelemahan keduanya, antara lain sebagai berikut :
a. Pengaturan perlindungan bagi whistle blower menurut UU No. 13
Tahun 2006
1) Kelebihan perlindungan bagi whistle blower menurut UU No. 13
Tahun 2006
Sebagai negara hukum dan baru mengesahkan UU
Perlindungan Saksi dan Korban pada tahun 2006, keberadaan
dan kajian terhadap penguatan perlindungan dan LPSK oleh
pemerintah dan atau lembaga yang terkait patut untuk
diapresiasi sebagai langkah awal untuk memerangi kejahatan
yang terorganisir. Melihat fenomena yang berkembang pada
masyarakat mengenai khususnya tindak pidana korupsi, dengan
hadirnya LPSK, negara berusaha mendorong munculnya
whistleblower dan atau pelaku yang bekerjasama untuk
membongkar salah satu dari extraordinary crime yang
meresahkan masyarakat. Penyertaan ketentuan pidana yang jelas
dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban No.13 Tahun 2006
secara tersurat dan tersirat memberikan kepastian hukum bagi
pelaku kejahatan yang bekerjasama untuk melaporkan tindak
pidana yang dilakukannya secara terorganisir.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
2) Kelemahan perlindungan bagi whistle blower menurut UU No.
13 Tahun 2006
Pilar hukum selain kepastian hukum juga berupa keadilan
dan kemanfaatan. Kepastian hukum dengan diterbitkannya
Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006 belum mampu
memberikan dan mencerminkan pilar hukum keadilan dan
kemanfaatan. Tidak terdapat penjelasan tentang whistleblower
yang berkedudukan sebagai pelaku yang bekerjasama secara
jelas belum memberi keadilan dan kemanfaatan bagi seorang
yang berniat membongkar extraordinary crime. Hukum tidak
melulu bekerja pada jenjang Undang-Undang saja, implementasi
penegakan hukum juga dibutuhkan untuk memberi kepastian
hukum pada whistleblower. Penegakan hukum terkait saksi,
pelapor dan korban baik dari segi perlindungan fisik dan
psikologis belum dapat dilaksanakan secara nyata. (tidak
terdapat penjelasan tentang pengaturan pemberian identitas
baru).
b. Pengaturan perlindungan bagi whistle blower menurut US Marshal
Service Witness Security Program USA
1) Kelebihan perlindungan bagi whistle blower menurut US
Marshal Service Witness Security Program USA
Proses pembentukan perlindungan yang telah dikaji
selama 30 tahun memberikan perlindungan kepada saksi secara
menyeluruh dari pra-persidangan hingga setelah berakhirnya
kesaksian. WITSEC telah digambarkan oleh seorang pengamat
hukum Amerika Serikat, Graham, sebagai pelayanan yang
paling tidak biasa yang pernah ditawarkan oleh pemerintahan
manapun (selama) masa-masa damai. Konsistensi penerapan
hukum antara satu lembaga dengan lembaga negara lain dan
pengaturan kewenangannya yang jelas, menjadi modal yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
kuat untuk membangun sistem birokrasi yang efektif dan
efisien dalam negara. Dari hal tersebut dapat terwujud
penegakan hukum yang konsisten antara hal yang tersurat yang
dikehendaki pembuat undang-undang untuk memberikan
perlindungan bagi whistleblower guna memerangi kejahatan
yang terorganisir dengan implementasi eksekusi janji yang
diberikan pemerintah dalam hal perlindungannya.
2) Kelemahan perlindungan bagi whistle blower menurut US
Marshal Service Witness Security Program USA
Tidak disertainya ketentuan pidana yang jelas mengenai
intimidasi dan kejelasan tindakan yang harus dilakukan aparat
penegak hukum, sehingga saksi menanggung beban fisik dan
psikologis yang tinggi. Perlu diketahui, dari hasil penelitian
dapat dianalisis bahwa tindak kejahatan, khususnya kejahatan
terorganisir yang masif, membuat saksi tidak berani
memberikan kesaksian. Berdasarkan pendapat G. Schur bahwa
alat terampuh yang dimiliki kejahatan terorganisir adalah
dengan membunuh para saksi yang terlibat delam proses
persidangan. Dari resiko tinggi yang dihadapi oleh
whistleblower, lembaga negara yang berwenang juga
menerapkan sistem perlindungan dengan sangat ketatnya. Bagi
para whistleblower penerapan sistem perlindungan dapat
memberikan akibat bagi anggota keluarga dan orang-orang
disekitarnya, demikian juga perlindungan yang diberikan
negara dapat menjadi tempat para pelaku kejahatan untuk
berlindung dari hasil kejahatan yang telah diperbuatnya.
Agar lebih mempermudah memahami pembahasan Penulis, maka
akan dipaparkan kelebihan dan kelemahan antara keduanya dalam
format yang berbentuk tabel sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Tabel 3. Kelebihan dan kelemahan perlindungan bagi whistle blower menurut UU
No. 13 Tahun 2006 dengan US Marshal Service Witness Security Program USA
No. Negara Kelebihan Kelemahan
1. Amerika
Serikat
- Proses pembentukan
perlindungan yang telah
dikaji selama 30 tahun
memberikan perlindungan
kepada saksi secara
menyeluruh dari pra-
persidangan hingga setelah
berakhirnya kesaksian.
- WITSEC telah
digambarkan oleh seorang
pengamat hukum USA
Graham sebagai pelayanan
yang paling tidak biasa
yang pernah ditawarkan
oleh pemerintahn manapun
(selama) masa-masa damai
- Tidak disertainya ketentuan
pidana yang jelas mengenai
intimidasi dan kejelasan
tindakan yang harus dilakukan
aparat penegak hukum,
sehingga saksi menanggung
beban fisik dan psikologis
yang tinggi.
- Tindak kejahatan, khususnya
kejahatan terorganisir yang
masif, membuat saksi tidak
berani memberikan kesaksian.
Berdasarkan pendapat G.
Schur bahwa alat terampuh
yang dimiliki kejahatan
terorganisir adalah dengan
membunuh para saksi yang
terlibat delam proses
persidangan.
2. Indonesia - Sebagai negara hukum
dan baru mengesahkan
UU Perlindungan Saksi
dan Korban pada tahun
2006, keberadaan dan
kajian terhadap penguatan
perlindungan dan LPSK
- Indonesia tidak terdapat
penjelasan tentang
whistleblower yang
berkedudukan sebagai pelaku
yang bekerjasama secara jelas
- Penegakan hukum terkait
saksi, pelapor dan korban baik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
oleh pemerintah dan atau
lembaga yang terkait patut
untuk diapresiasi sebagai
langkah awal untuk
memerangi kejahatan
yang terorganisir.
- terdapat ketentuan pidana
yang jelas dalam UU
Perlindungan Saksi dan
Korban No.13 Tahun
2006
dari segi perlindungan fisik
dan psikologis belum dapat
dilaksanakan secara nyata.
(tidak terdapat penjelasan
tentang pengaturan pemberian
identitas baru)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan
1. Persamaan dan perbedaan perlindungan saksi dan korban terkait prinsip
kerahasiaan dan keringanan hukuman bagi whistle blower menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban dengan US Marshal Service Witness Security Program USA?
Persamaan perlindungan oleh Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
dengan US Marshal Service Witness Security Program USA, pertama satu
tujuan memerangi extraordinary crime yang meliputi kejahatan yang
terorganisir. Kedua, jenis perlindungan saksi dan korban dalam undang
undang, prinsip kerahasiaan, prosedur pemberian perlindungan dan
penghentian perlindungan terhadap whistleblower memiliki cara yang
sama. Ketiga, keseluruhan pembiayaan atas pemberlakuan perlindungan
menjadi tanggung jawab negara.
Perbedaan perlindungan oleh Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
dengan US Marshal Service Witness Security Program USA, pertama
definisi mengenai whistleblower memiliki perbedaan yang mendasar.
Kedua, di Indonesia, Undang-Undang menunjuk di bawah satu lembaga
negara sedangkan di Amerika Serikat berada pada tiga lembaga negara
yang berbeda. Ketiga, terkait prosedur pemberian perlindungan mengenai
prinsip keringanan hukuman di Indonesia hanya sepanjang pemberian
keringanan hukuman, sedangkan di Amerika Serikat meliputi sebelum,
selama dan sesudah pemberian kesaksian, serta mengenai prosedur
perlindungan adanya sanksi ketentuan pidana yang dikenal dalam Undang-
Undang No. 13 Tahun 2006 yang tidak dikenal dalam US Marshal Service
Witness Security Program USA.
2. Kelebihan dan kelemahan perlindungan saksi dan korban terkait prinsip
kerahasiaan dan keringanan hukuman bagi whistle blower menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban dengan US Marshal Service Witness Security Program USA?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
Kelebihan, perlindungan oleh Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
sebagai negara hukum keberadaan dan kajian terhadap penguatan
perlindungan dan LPSK oleh pemerintah dan atau lembaga yang terkait
patut untuk diapresiasi sebagai langkah awal untuk memerangi kejahatan
yang terorganisir.
Kelemahan, perlindungan oleh Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
Indonesia tidak terdapat penjelasan tentang whistleblower yang
berkedudukan sebagai pelaku yang bekerjasama secara jelas sehingga
penegakan hukum terkait saksi, pelapor dan korban baik dari segi
perlindungan fisik dan psikologis belum dapat dilaksanakan secara pasti
dan nyata.
Kelebihan, perlindungan dengan US Marshal Service Witness
Security Program USA proses pembentukan perlindungan yang telah dikaji
selama 30 tahun memberikan perlindungan kepada saksi secara
menyeluruh dari pra-persidangan hingga setelah berakhirnya kesaksian.
Kelemahan, tidak disertainya ketentuan pidana yang jelas mengenai
intimidasi dan kejelasan tindakan yang harus dilakukan aparat penegak
hukum, sehingga saksi menanggung beban fisik dan psikologis yang
tinggi, karena tindak kejahatan, khususnya kejahatan terorganisir yang
masif, membuat saksi tidak berani memberikan kesaksian.
B. Saran
1. Memperluas definisi dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
whistleblower yang mencakup saksi yang berkedudukan hukum sebagai
pelaku yang bekerjasama memberikan kesaksian.
2. Penegakan hukum dalam bentuk konsistensi penerapan hukum dengan
apa yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan serta
semangat pembentukan hukum untuk memerangi kejahatan
extraordinary crime.