STUDI PENYEBARAN DAN PERSEPSI MASYARAKAT … · Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem...
Transcript of STUDI PENYEBARAN DAN PERSEPSI MASYARAKAT … · Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem...
STUDI PENYEBARAN JENIS TUMBUHAN EKSOTIK DAN
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENGGANTIANNYA
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
(Studi Kasus di Stasiun Penelitian Cikaniki)
SHANTI SUSANTI
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
STUDI PENYEBARAN JENIS TUMBUHAN EKSOTIK DAN
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENGGANTIANNYA
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
(Studi Kasus di Stasiun Penelitian Cikaniki)
SHANTI SUSANTI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan
pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
RINGKASAN
SHANTI SUSANTI. Studi Penyebaran Jenis Tumbuhan Eksotik dan Persepsi
Masyarakat terhadap Penggantiannya di Taman Nasional Gunung Halimun Salak
(Studi Kasus di Stasiun Penelitian Cikaniki). Dibimbing oleh SISWOYO dan
HANDIAN PURWAWANGSA.
Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dikelilingi
oleh berbagai macam penggunaan lahan, seperti pemukiman, pertanian dan
perkebunan, sehingga kawasan ini menjadi rentan terhadap gangguan, salah
satunya adalah serbuan spesies asing (eksotik) yang masuk ke dalam kawasan.
Masuknya jenis tumbuhan eksotik ke dalam kawasan TNGHS mempunyai
dampak negatif terhadap keberadaan jenis-jenis tumbuhan asli. Oleh karena itu
perlu pengelolaan terhadap jenis tumbuhan eksotik tersebut. Sebagai langkah awal
untuk melakukan pengelolaan tersebut dibutuhkan data mengenai penyebaran,
pemanfaatan, dan persepsi masyarakat terhadap jenis tumbuhan eksotik.
Penelitian ini memiliki tiga tujuan, yaitu mengetahui : (1) penyebaran jenis
tumbuhan eksotik di lokasi Stasiun Penelitian Cikaniki,TNGHS, (2) pemanfaatan
jenis tumbuhan eksotik di lokasi Stasiun Penelitian Cikaniki, TNGHS, dan (3)
persepsi masyarakat terhadap penggantian jenis tumbuhan eksotik di lokasi
Stasiun Penelitian Cikaniki, TNGHS. Penelitian ini dilaksanakan di Stasiun
Penelitian Cikaniki, TNGHS dan Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,
Kabupaten Bogor pada bulan Juli – Agustus 2009. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil
analisis vegetasi dengan menggunakan metode jalur berpetak dan hasil
wawancara dengan menggunakan ”snowball” method terhadap 30 responden.
Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari Balai TNGHS, pemerintahan
Desa Malasari dan studi literatur. Data vegetasi hutan yang terkumpul dianalisis
dengan menghitung : frekuensi jenis, kerapatan jenis, dominansi jenis, indeks nilai
penting, keanekaragaman jenis, indeks dominansi, dan pola penyebarannya. Data
hasil wawancara ditabulasikan dan diberi skor yang kemudian dijelaskan secara
deskriptif. Untuk mengukur keeratan hubungan antara karakteristik responden
dengan tingkat persepsi digunakan Uji Korelasi Spearman.
Jenis tumbuhan eksotik yang ditemukan di lokasi penelitian adalah
harendong bulu (Clidemia hirta), ki rinyuh (Eupatorium pallescens), kecubung
(Brugmansia suaveolens), kaliandra (Calliandra calothyrsus), dan seuseureuhan
(Piper aduncum). Jenis-jenis tumbuhan eksotik tersebut berada pada ketinggian
tempat 1.000 – 1.077 m dpl, dengan pola penyebaran yang mengelompok. Jenis
tumbuhan eksotik yang dimanfaatkan oleh masyarakat diantaranya adalah
kaliandra (Calliandra calothyrsus), sesuseureuhan (Piper aduncum), pinus (Pinus
merkusii), ki rinyuh (Eupatorium pallescens), teh (Camellia sinensis), sengon
(Paraserianthes falcataria), dan kayu afrika (Maesopsis eminii). Jenis-jenis
tersebut dimanfaatkan untuk kayu bakar, obat, dan pakan ternak. Persepsi masyarakat terhadap jenis tumbuhan eksotik menyebar secara merata yaitu rendah
(0-2), sedang (3-5) dan tinggi (6-8) masing-masing sebesar 33,33%. Masyarakat
sebagian besar (53,33%) menyatakan setuju jika dilakukan penggantian jenis
tumbuhan eksotik.
Kata Kunci : Eksotik, Penyebaran, Persepsi, TNGHS
SUMMARY
SHANTI SUSANTI. Study of Eksotic Plant Spread and Society Perception
Toward it Changes at Gunung Halimun Salak National Park (Case Study at
Cikaniki Research Station). Under Supervision of SISWOYO and HANDIAN
PURWAWANGSA.
Gunung Halimun Salak National Park (TNGHS) surrounded by the area of
rural district, agricultural and plantation. So that this area becomes susceptible one
of them is the attack of strange species (eksotik) which came to the area. The
coming of eksotik plan to the TNGHS has a negative impact to the existence of
genuine plant. So that, it has to manage the eksotik plan. The first step to manage
is the needed of the data of spread, benefit and the perception of society toward
the eksotik plan.
This research has three purpose, they are: (1) spread of eksotik plant at
Cikaniki research station (TNGHS), (2) the benefit of eksotik plant at Cikaniki
research station (TNGHS), and (3) society perception on eksotik plan substitution
in Cikaniki research station (TNGHS). This research carrying out at Cikaniki
research station (TNGHS) Malasari village, Nanggung Sub district, Bogor
regency on July until August 2009. Primary data and secondary data are use in
they research. Primary data obtained from the analysis of vegetation using
compartmentalized stripe and result of interview which using snowball method
toward 30 respondents. Secondary data obtained from house of TNGHS, the
government of Malasari village and literature study. Forest vegetation data
obtained analyze by calculate: type frequency, the density of type, type
domination, emphatic value index, varied type, dominate index and spread
pattern. Tabulation and scoring of interview result then describe in descriptive.
To measure relationship closeness between respondent characteristic and
level perception, used correlation spearman test.
The eksotik plant which found in research location are: harendong bulu
(Clidemia hirta), ki rinyuh (Eupatorium pallescens), kecubung (Brugmansia
suaveolens), kaliandra (Calliandra calothyrsus), and seuseureuhan (Piper
aduncum). It growth at 1.000-1.077 m dpl, and has grouping spreaded pattern.
The kind of eksotik plant which used by the society are kaliandra (Calliandra
calothyrsus), sesuseureuhan (Piper aduncum), pinus (Pinus merkusii), ki rinyuh
(Eupatorium pallescens), teh (Camellia sinensis), sengon (Paraserianthes
falcataria), and kayu afrika (Maesopsis eminii). It used for firewood, medicine
and cattle food. Society perception toward eksotik plan spread justify; low (0-2),
medium (3-5), and high (6-8) they are 33,33%. A lot of society (53,33%) states
that they are agree with tes subtition of eksotik plant.
Key words: eksotik, spread, perception, TNGHS
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Studi Penyebaran Jenis
Tumbuhan Eksotik dan Persepsi Masyarakat terhadap Penggantiannya di Taman
Nasional Gunung Halimun Salak (Studi Kasus di Stasiun Penelitian Cikaniki)”
adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing
dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau
lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2010
Shanti Susanti
NRP E34050440
Judul Skripsi : Studi Penyebaran Jenis Tumbuhan Eksotik dan Persepsi
Masyarakat terhadap Penggantiannya di Taman Nasional
Gunung Halimun Salak (Studi Kasus di Stasiun Penelitian
Cikaniki)
Nama : Shanti Susanti
NIM : E34050440
Menyetujui :
Pembimbing I, Pembimbing II,
Ir. Siswoyo, M.Si. Handian Purwawangsa, S.Hut., M.Si.
NIP. 19650208 199203 1 003 NIP. 19790101 20051 1 003
Mengetahui :
Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor,
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS.
NIP. 19580915 198403 1 003
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Penyebaran Jenis Tumbuhan Eksotik
dan Persepsi Masyarakat terhadap Penggantiannya di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (Studi Kasus di Stasiun Penelitian Cikaniki)”. Skripsi ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan
IPB.
Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai
pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ayahanda Abdurahman SP dan Ibunda Sutiwi Rayani serta keluarga tercinta
yang selalu memberikan doa dan kasih sayang serta pengorbanan baik moril
maupun materi.
2. Ir. Siswoyo, M.Si. selaku dosen pembimbing I dan Handian Purwawangsa,
S.Hut., M.Si. selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan arahan dan
bimbingan selama penelitian serta penyusunan dan penulisan skripsi.
3. Ir. Ahmad Hadjib, MS selaku dosen penguji dari Departemen Manajemen
Hutan, Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc. selaku dosen penguji dari Departemen
Hasil Hutan, dan Dr.Ir. Nurheni Wijayanto, MS selaku dosen penguji dari
Departemen Silvikultur.
4. Pengelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Pemerintahan Desa
Malasari atas bantuannya selama penelitian.
5. Lina Nurhayati atas bantuannya selama penelitian dan kebersamaan serta
persahabatan selama ini.
6. Sahabat-sahabat tersayang Robiatuh Samsiah, Prastiwi, Lela, Titi, Susan, dan
teman-teman KSHE Tarsius 42 atas kenangan yang telah dilalui bersama.
7. Semua pihak yang telah memberikan bantun selama penyusunan skripsi ini.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan dunia kehutanan pada khususnya.
Bogor, Januari 2010
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kuningan, Jawa Barat pada tanggal 18 April 1987
sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Abdurahman, SP dan Ibu
Sutiwi Rayani.
Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Kuningan dan pada
tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB. Penulis memilih Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Fakultas Kehutanan.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di beberapa organisasi
kemahasiswaan, yakni sebagai staf Departemen Pengembangan Sumberdaya
Manusia Badan Eksekutif Mahasisa (BEM) TPB IPB tahun 2006-2007, staf
Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia DKM Ibaadurrahman tahun
2007-2008, dan panitia Masa Perkenalan Fakultas tahun 2008 dan 2009.
Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di
Taman Nasional Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan dan RPH Cemara
Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (2007). Pada tahun 2008 penulis melaksanakan
Praktek Umum Konservasi Ex- situ di Wana Wisata Penangkaran Rusa Jonggol
dan Kebun Raya Bogor. Penulis melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP)
di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur (2009). Selain itu penulis pernah
menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Pendidikan Agama Islam (2008-
2009).
Sebagai syarat menjadi Sarjana Kehutanan IPB, penulis melaksanakan
penelitian yang berjudul ”Studi Penyebaran Jenis Tumbuhan Eksotik dan Persepsi
Masyarakat terhadap Penggantiannya di Taman Nasional Gunung Halimun Salak
(Studi Kasus di Stasiun Penelitian Cikaniki)”, di bawah bimbingan Ir. Siswoyo,
M.Si dan Handian Purwawangsa, S.Hut, M.Si.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... vii
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Tujuan ........................................................................................... 2
1.3. Manfaat ........................................................................................ 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 3
2.1. Biodiversitas (Biodiversity) ......................................................... 3
2.2. Tumbuhan Eksotik ....................................................................... 4
2.3. Invasi ............................................................................................ 5
2.4. Penyebaran ................................................................................... 6
2.5. Persepsi ........................................................................................ 7
III. KONDISI UMUM ........................................................................... 8
3.1. Sejarah Kawasan ......................................................................... 8
3.2. Kondisi Fisik Kawasan ............................................................... 8
3.2.1. Letak kawasan ....................................................................... 8
3.2.2. Topografi dan tanah ............................................................... 9
3.2.3. Iklim ...................................................................................... 10
3.2.4. Hidrologi ................................................................................ 10
3.3. Kondisi Biotik ............................................................................. 11
3.3.1. Flora ....................................................................................... 11
3.3.2. Fauna ..................................................................................... 12
3.4. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Malasari .................. 12
IV. METODE PENELITIAN ................................................................ 13
4.1. Lokasi dan Waktu ........................................................................ 13
4.2. Bahan dan Alat ............................................................................ 13
4.3. Metode ........................................................................................ 13
4.3.1. Pengumpulan data ................................................................. 13
4.3.2. Teknik pengumpulan data ..................................................... 14
4.3.2.1. Data sekunder .................................................................. 14
4.3.2.2. Data primer ..................................................................... 14
4.3.3. Analisis data .......................................................................... 16
4.3.3.1. Analisis vegetasi ............................................................. 16
4.3.3.2. Analisis data hasil wawancara ........................................ 20
V. Hasil dan Pembahasan ...................................................................... 21 5.1. Komposisi Vegetasi .................................................................... 21
5.1.1. Jumlah jenis dan famili ......................................................... 21
5.1.2. Dominansi ............................................................................. 22
5.1.3. Keanekaragaman jenis .......................................................... 24
5.2. Tumbuhan Eksotik ...................................................................... 25
5.2.1. Jumlah jenis tumbuhan eksotik ............................................. 25
5.2.2. Regenerasi tumbuhan eksotik ............................................... 26
5.2.3. Penyebaran tumbuhan eksotik .............................................. 28
5.3. Persepsi Masyarakat terhadap Penggantian Jenis Tumbuhan Eksotik 29
5.3.1. Karakteristik responden ........................................................... 29
5.3.2. Pemanfaatan SDA oleh masyarakat ......................................... 35
5.3.2.1. Jenis-jenis SDA yang dimanfaatkan oleh masyarakat .......... 35
5.3.2.2. Hubungan karakteristik responden dengan tingkat
pemanfaatan SDA ................................................................. 41
5.3.3. Persepsi masyarakat ................................................................. 43
5.4. Rekomendasi Penggantian Jenis ....................................................... 46
VI. Kesimpulan dan Saran .................................................................... 48
6.1. Kesimpulan ....................................................................................... 48
6.2. Saran ................................................................................................. 48
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 49
LAMPIRAN ............................................................................................. 52
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Jenis Data yang Dikumpulkan dalam Penelitian ........................... 13
2. Jumlah Jenis Tumbuhan Pada Petak Contoh ................................ 21
3. Perbandingan INP Tumbuhan Eksotik dengan INP Seluruh Jenis di
Lokasi Penelitian ............................................................................ 22
4. Indeks Dominansi (C) di Lokasi Penelitian .................................. 24
5. Indeks Keanekaragaman Jenis pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan
(H’) di Lokasi Penelitian ................................................................. 24
6. Jenis Tumbuhan Eksotik di Lokasi Penelitian ............................... 25
7. Kerapatan Jenis Tumbuhan Eksotik di Lokasi Penelitian ............ 27
8. Penyebaran Jenis Tumbuhan Eksotik di Lokasi Penelitian ........... 28
9. Distribusi Responden Menurut Umur ........................................... 30
10. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ............... 31
11. Distribusi Responden Berdasarkan Mata Pencaharian ................. 32
12. Sebaran Responden Berdasarkan Pendapatan ............................... 33
13. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Rumah Tangga 33
14. Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Tempuh ke Hutan........ 34
15. Rekapitulasi SDA yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat .............. 36
16. Jenis-jenis Kayu yang Dimanfaatkan untuk Kayu Bakar oleh
Masyarakat .................................................................................... 37
17. Jenis-jenis Tumbuhan yang Dimanfaatkan sebagai Obat oleh
Masyarakat .................................................................................... 40
18. Hubungan Faktor Internal Responden dengan Tingkat Pemanfaatan
SDA ............................................................................................... 41
19. Jenis Tumbuhan Eksotik Menurut Pengetahuan Masyarakat di
Stasiun Penelitian Cikaniki dan Lahan Masyarakat ...................... 44
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Peta Lokasi Penelitian di Stasiun Penelitian Cikaniki dan Desa
Malasari ......................................................................................... 9
2. Sungai Cikaniki ............................................................................ 11
3. Skema Penempatan Transek dan Petak-petak Pengukuran pada
Analisis Vegetasi dengan Metode Garis Berpetak ....................... 15
4. Pemilihan Responden dengan Snowball Method .......................... 16
5. Jenis-Jenis Tumbuhan Eksotik (1) Ki rinyuh (2) Seuseureuhan
(3) Kecubung (4) Kaliandra (5) Harendong bulu........................... 26
6. Pengambilan Rumput oleh Masyarakat ....................................... 38
7. Persentase Pemanfaatan Rumput oleh Masyarakat ...................... 38
8. Jenis-jenis Tumbuhan yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat Untuk
Obat (1) Cangkore (2) Ficus (3) Reundeu ................................... 39
9. Sebaran Persepsi Responden Terhadap Penggantian Jenis
Tumbuhan Eksotik ....................................................................... . 43
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Indeks Nilai Penting pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan ........... 52
2. Pola Penyebaran Tumbuhan pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan 58
3. Kuisioner Pemanfaatan SDA untuk Pengumpulan Data dalam
Penelitian Studi Penyebaran Jenis Tumbuhan Eksotik dan Persepsi
Masyarakat terhadap Penggantiannya di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (Studi Kasus di Stasiun Penelitian Cikaniki) ....... 64
4. Kuisioner Persepsi Masyarakat untuk Pengumpulan Data dalam
Penelitian Studi Penyebaran Jenis Tumbuhan Eksotik dan Persepsi
Masyarakat terhadap Penggantiannya di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (Studi Kasus di Stasiun Penelitian Cikaniki) ........ 67
5. Sistem Skor untuk Karakteristik Rumahtangga Masyarakat ........ 70
6. Sistem Skor Untuk Penilaian Pemanfaatan SDA di Hutan Cikaniki
oleh Masyarakat ............................................................................ 71
7. Hasil Uji Korelasi Spearman ........................................................ 73
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan salah satu
kawasan lindung yang pengelolaannya diarahkan untuk melindungi sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa beserta
ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati beserta
ekosistemnya. TNGHS adalah penggabungan dari dua kawasan konservasi, yaitu
Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) dengan hutan lindung Gunung Salak.
Penyatuan kedua kawasan konservasi ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003, dengan luas kawasan
113.357 ha.
Saat ini TNGHS merupakan salah satu taman nasional yang memiliki
ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Jawa. Di kawasan tersebut
terdapat banyak keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya, baik
berupa flora maupun fauna. Lebih dari 700 jenis tumbuhan berbunga hidup di
hutan alam di dalam TNGHS, yang meliputi 391 marga dari 119 suku (Harada et
al. 2002).
Kawasan TNGHS dikelilingi atau berbatasan dengan lahan pemukiman,
pertanian, perkebunan, kawasan hutan Perum Perhutani dan kegiatan
perindustrian, sehingga kawasan ini menjadi rentan karena memiliki peluang yang
tinggi untuk mengalami banyak gangguan, salah satunya adalah serbuan spesies
asing (eksotik) yang masuk ke dalam kawasan.
Kegiatan manusia baik secara sengaja maupun tidak, telah menyebabkan
terjadinya perpindahan beribu-ribu spesies ke tempat-tempat baru di dunia.
Beberapa spesies eksotik ini mempunyai dampak negatif terhadap spesies-spesies
lokal. Sebagian besar spesies eksotik tidak dapat bertahan di daerah barunya
karena lingkungan tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan hidupnya, namun
beberapa spesies lainnya dapat bertahan hidup, dan bahkan membentuk koloni
yang kuat di tempat baru tersebut. Kadangkala mereka mengalahkan spesies asli
di daerah tersebut melalui kompetisi dalam memperebutkan makanan atau ruang
hidup yang jumlahnya terbatas.
Lebih dari 100 jenis tumbuhan hutan dimanfaatkan untuk obat tradisional,
upacara adat, bahan bangunan dan manfaat penting lainnya oleh masyarakat di
sekitar kawasan TNGHS (Harada et al. 2002). Beberapa jenis yang dimanfaatkan
oleh masyarakat merupakan jenis eksotik yang berada di dalam kawasan.
Karena spesies eksotik banyak berdampak negatif, maka perlu dilakukan
pengendalian terhadap spesies tersebut. Salah satu kendala yang dihadapi dalam
menyusun rencana dan pelaksanaan pengendalian spesies eksotik adalah belum
tersedianya data dan informasi tentang penyebaran dan pemanfaatan spesies
eksotik tersebut oleh masyarakat, sehingga pengumpulan data dan informasi
tentang penyebaran dan pemanfaatannya sangatlah diperlukan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan untuk mengetahui penyebaran
jenis tumbuhan eksotik, penggunaannya oleh masyarakat, serta persepsi
masyarakat terhadap rencana penggantian spesies tersebut, maka penelitian ini
perlu dilakukan.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1. Penyebaran jenis tumbuhan eksotik di lokasi Stasiun Penelitian Cikaniki,
TNGHS.
2. Pemanfaatan jenis tumbuhan eksotik di lokasi Stasiun Penelitian Cikaniki oleh
masyarakat sekitar.
3. Persepsi masyarakat terhadap rencana penggantian jenis tumbuhan eksotik di
lokasi Stasiun Penelitian Cikaniki, TNGHS.
1.3. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan masukan bagi pihak
pengelola TNGHS dalam rangka penyusunan rencana dan pelaksanaan
pengendalian jenis-jenis tumbuhan eksotik.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biodiversitas (Biodiversity)
Biodiversitas atau keanekaragaman hayati adalah berbagai macam bentuk
kehidupan, peranan ekologi yang dimilikinya dan keanekaragaman plasma nutfah
yang terkandung di dalamnya (Wilcox 1984 dalam Mackinnon et al. 1993).
Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 tentang konvensi PBB mengenai
keanekaragaman hayati, pengertian biodiversitas adalah keanekaragaman di antara
daratan, lautan dan ekosistem akuatik lainnya serta kompleks-kompleks ekologi
yang merupakan bagian dari keanekaragaman di dalam spesies, antara spesies dan
ekosistem (Soemarwoto 2001). Keanekaragaman hayati berhubungan dengan
keanekaragaman/variasi ekosistem dan macam-macam tipe serta perubahan
hewan, tumbuh-tumbuhan dan mikroorganisme yang hidup di dunia (Kantor
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup 1992).
Keanekaragaman berarti keadaan berbeda atau mempunyai berbagai
perbedaan dalam bentuk atau sifat. Di daerah yang keanekaragaman spesies
tumbuhannya besar, di sana sering terdapat jumlah spesies hewan yang besar pula.
Hal ini disebabkan karena dengan cara yang bagaimanapun, setiap spesies hewan
mungkin bergantung pada kelompok spesies tumbuhan tertentu untuk makanan
dan kebutuhan lainnya (Ewusie 1990).
Soemarwoto (1991) mengemukakan banyak jenis tumbuhan, hewan dan
jasad renik memproduksi zat-zat yang sangat berguna bagi manusia. Untuk dapat
mendukung kebutuhan manusia yang makin meningkat perlu adanya sumberdaya
gen dengan keanekaragaman yang tinggi.
Saat ini terjadi pengurangan keanekaragaman hayati yang sangat besar.
Hal ini dapat terjadi dalam bentuk kepunahan jenis maupun variasi jenis hewan
dan tumbuhan tertentu. Penyebab kepunahan ini bermacam-macam, antara lain
berkurangnya luas habitat, rusaknya habitat, eksploitasi yang berlebihan, dan
penggunaan teknologi yang tidak bijaksana.
Keanekaragaman hayati ini harus dijaga dari bahaya kepunahan.
Kepunahan jenis atau variasi jenis hewan dan tumbuhan dapat pula terjadi akibat
kerusakan habitat walaupun luasnya tidak berkurang, misalnya berubahnya areal
hutan menjadi alang-alang. Untuk mempertahankan biodiversitas, maka
kerusakan habitat harus dicegah dengan membentuk kawasan yang dilindungi dan
memperkecil gangguan terhadap kawasan tersebut.
2.2. Tumbuhan Eksotik
Jenis eksotik adalah jenis-jenis yang bukan merupakan jenis asli di suatu
daerah atau habitat (Widada et al. 2006). Seluruh spesies di dunia ini tidak
menyebar secara merata. Penyebaran spesies secara geografik dibatasi oleh
penghalang lingkungan. Iklim, pegunungan, laut, sungai, dan gurun merupakan
contoh-contoh penghalang tersebut. Iklim yang sangat berbeda antara berbagai
tempat di belahan bumi juga akan menghalangi penyebaran spesies. Misalnya
iklim di Indonesia yang merupakan negara tropis sangat berbeda dengan iklim di
negara-negara Eropa yang mempunyai empat musim.
Kegiatan manusia baik secara sengaja maupun tidak, telah menyebabkan
terjadinya perpindahan beribu-ribu spesies ke tempat-tempat baru di dunia.
Beberapa spesies eksotik ini mempunyai efek negatif terhadap spesies-spesies
lokal. Sebagian besar spesies eksotik tidak dapat bertahan di daerah barunya
karena lingkungan tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan hidupnya, namun
beberapa spesies lainnya dapat bertahan hidup, dan bahkan membentuk koloni
yang kuat di tempat baru tersebut. Kadangkala mereka mengalahkan spesies asli
daerah tersebut melalui kompetisi dalam memperebutkan makanan atau ruang
hidup yang jumlahnya terbatas (Widada et al. 2006).
Tumbuhan eksotik atau alien plant species, dibedakan atas dua kategori,
yakni tumbuhan eksotik yang tidak bersifat invasif dan tumbuhan eksotik yang
bersifat invasif. Di Asia Tenggara banyak jenis tanaman yang termasuk kategori
jenis tumbuhan eksotik, seperti karet (Hevea brasiliensis), kelapa sawit (Elaeis
guinensis), cabai (Capsicum annum), jagung (Zea mays), kentang (Solanum
tuberosum), dll. Namun tidak bersifat invasif sehingga keberadaannya tidak
menimbulkan ancaman kerusakan ekosistem, habitat dan jenis tumbuhan lokal
yang ada dalam satu areal. Menurut Tjitrosemito (2004) dalam Utomo (2006) di
Pulau Jawa ditemui tidak kurang dari 2.000 jenis tumbuhan eksotik dan beberapa
diantaranya bersifat invasif.
Tumbuhan eksotik yang bersifat invasif atau lebih dikenal dengan invasif
alien plant spesies (IAS) adalah jenis tumbuhan yang tumbuh di luar habitat
alaminya yang berkembang pesat dan menimbulkan gangguan dan ancaman
kerusakan bagi ekosistem, habitat dan jenis tumbuhan lokal dan berpotensi
menghancurkan habitat tersebut. Menurut Tjitrosemito (2004) dalam Utomo
(2006) tumbuh-tumbuhan ini memiliki karakter yang menyebabkannya mampu
mendominasi kawasan tempat tumbuhnya, yaitu :
1. Pertumbuhan yang cepat.
2. Cepat mengalami fase dewasa, sehingga cepat menghasilkan biji.
3. Biji yang dihasilkan juga banyak, sehingga cepat mendominasi areal.
4. Metode penyebaran biji yang efektif.
5. Beberapa jenis tumbuhan eksotik tidak begitu memerlukan serangga
penyerbuk karena dapat berkembang secara vegetatif.
6. Mampu menggunakan penyerbuk lokal, sehingga dapat memproduksi biji.
7. Cepat membentuk naungan, produksi bunga lebih cepat daripada
tumbuhan lokal, sehingga memberi perlindungan dan pangan bagi
penyerbuk bila sumber pangan dari jenis tumbuhan lokal belum tersedia.
8. Selain tajuk yang rapat, perakarannya juga banyak dan rapat, sehingga
mendominasi perakaran di sekitarnya.
9. Seringkali memiliki allelopathy yang menghambat pertumbuhan jenis
lokal.
10. Bebas hama karena berada di luar habitat alaminya.
2.3. Invasi
Invasi adalah pergerakan satu atau beberapa jenis tumbuhan dari satu
tempat ke tempat lain yang pada akhirnya tempat tersebut mereka kuasai (Weafer
1938 dalam Utomo 2006). Invasi merupakan proses yang kompleks dimana
migrasi dan kompetisi memegang peran yang penting. Invasi ke tempat yang baru
dimulai dengan migrasi (perpindahan tempat), diikuti dengan agregasi
(pengumpulan) dan kompetisi (persaingan).
Invasi dapat terjadi di daerah kosong atau daerah yang siap ditempati oleh
tumbuh-tumbuhan. Menurut Weafer (1983) dalam Pasaribu (2002), keberhasilan
invasi yang bersifat lokal biasanya merupakan invasi secara besar-besaran, seperti
invasi ternak ke padang rumput. Invasi dikatakan sempurna apabila pergerakan
spesies penyerbu ke dalam komunitas sangat besar dan mengusir spesies asli.
Invasi tumbuhan eksotik dan dominansinya pada kawasan bekas hutan
merupakan salah satu bentuk disklimaks dalam dinamika komunitas. Oosting
(1958) mengemukakan bahwa disklimaks ini terjadi karena adanya gangguan
manusia pada suatu kawasan, dan munculnya jenis yang mendominasi. Jenis
dominan ini muncul karena adanya kondisi yang tidak normal dan umumnya
menginvasi kawasan yang relatif luas dan cepat.
2.4. Penyebaran
Kebanyakan komunitas tumbuhan memperlihatkan adanya diferensiasi
baik secara vertikal maupun horizontal, yakni setiap jenisnya tersebar dengan
tinggi yang berbeda-beda di atas permukaan tanah dan juga tersebar pada lokasi
dan jarak yang berbeda-beda. Penyebaran secara vertikal dari suatu jenis
tumbuhan biasanya dipengaruhi oleh adanya perbedaan intensitas cahaya
matahari. Jenis-jenis dengan tajuk daun yang menjulang tinggi paling teratas
berada dalam keadaan cahaya penuh (100%), sedangkan jenis-jenis dengan tajuk
daun yang rendah yang dekat dengan permukaan tanah berada dalam keadaan
cahaya yang sangat kurang.
Penyebaran tumbuhan secara horizontal di permukaan tanah adalah sangat
kompleks. Whittaker (1970) dalam Sastroutomo (1990) telah mengidentifikasikan
empat macam penyebaran dari setiap jenis tumbuhan secara horizontal di dalam
suatu komunitas (juga untuk setiap individu dalam suatu populasi), yaitu
penyebaran secara random, mengelompok (kontagius), regular (kontagius
negatif), dan penyebaran secara kombinasi pengelompokan individu kedalam
koloni dan distribusi regular.
Pada komunitas alami setiap jenis tumbuhan biasanya dijumpai tersebar
secara acak dan tidak pernah dijumpai penyebaran yang sangat teratur dengan
jarak yang relatif sama dari individu yang satu ke individu yang lainnya. Keadaan
seperti ini dapat dijumpai pada komunitas tanaman pertanian dimana paling tidak
tanaman pokoknya ditanam dengan jarak yang sama dalam satu barisan. Beberapa
jenis penyebaran lainnya selain yang acak juga dijumpai pada komunitas alami.
Penyebaran yang mengelompok di sana sini dapat terjadi sebagai akibat dari pola
pemancaran biji dari tumbuhan induknya, gradasi lingkungan mikro, atau
kekerabatan antar jenis baik yang positif maupun yang negatif.
Para ahli ekologi telah memahami bahwa setiap jenis tumbuhan dalam
suatu komunitas akan mempunyai pola penyebaran yang tersendiri. Pola ini dapat
memiliki persamaan dengan jenis lainnya tetapi tidak mungkin seluruhnya sama.
Oleh karena itu, komunitas tumbuhan merupakan suatu gabungan dari beberapa
pola penyebaran berjenis-jenis tumbuhan yang satu sama lainnya saling tumpang
tindih dan berinteraksi satu sama lain (Sastroutomo 1990).
2.5. Persepsi
Persepsi adalah pandangan dan pengamatan; pengertian dan interpretasi
seseorang atau individu terhadap suatu kesan/objek yang diinformasikan kepada
dirinya dan lingkungan tempat ia berada sehingga dapat menentukan tindakannya
(Kartini 1984 dalam Mauludin 1994).
Menurut Lockard (1977) dalam Tampang (1999), persepsi dipengaruhi
dari variabel-variabel yang berkombinasi satu dengan lainnya, yaitu : (1)
pengalaman masa lalu, apa yang pernah dialami; (2) indoktinasi budaya,
bagaimana menerjemahkan apa yang dialami; (3) sikap pemahaman, apa yang
diharapkan dan apa yang dimaksud dari hal tersebut. Persepsi dipengaruhi oleh
faktor-faktor intern yang ada dalam individu tersebut. Bakat, minat, kemauan,
perasaan, fantasi, kebutuhan, motivasi, jenis kelamin, umur, kepribadian,
kebiasaan dan lain-lain serta sifat lain yang khas dimiliki oleh seseorang termasuk
pengetahuan. Persepsi juga dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan sosial
ekonomi seperti pendidikan, lingkungan tempat tinggal, suku bangsa dan lain-lain.
III. KONDISI UMUM LOKASI
3.1. Sejarah Kawasan
Berawal dari Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) seluas 40.000 ha,
kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di
Indonesia pada tahun 1935 sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Pebruari 1992 dengan luas 40.000 ha di bawah
pengelolaan sementara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan nama
Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Selanjutnya pada tanggal 23 Maret
1997 pengelolaan kawasan TNGH resmi dipisah dari TNGP, dikelola langsung
oleh Unit Teknis Balai TNGH, Dirjen PHKA, Departemen Kehutanan.
Atas dasar perkembangan kondisi kawasan di sekitarnya terutama kawasan
hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut yang terus terdesak akibat
berbagai kepentingan masyarakat dan pembangunan, serta adanya desakan dan
harapan berbagai pihak untuk melakukan penyelamatan kawasan konservasi
Halimun Salak yang lebih luas, maka ditetapkanlah SK Menteri Kehutanan No.
175/Kpts-II/2003, yang merupakan perubahan fungsi kawasan eks Perum
Perhutani atau eks Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas di sekitar TNGH
menjadi satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun-
Salak (TNGHS).
Berdasarkan SK penunjukan tersebut luas kawasan TNGHS adalah
113.357 ha dan terletak di Provinsi Jawa Barat dan Banten yang meliputi
Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Lebak. Dimana, saat ini TNGHS merupakan
salah satu taman nasional yang memiliki ekosistem hutan hujan tropis
pegunungan terluas di Jawa (BTNGHS 2007).
3.2. Kondisi Fisik Kawasan
3.2.1. Letak kawasan
Secara geografis TNGHS terletak diantara 106o13’ – 106
o46’ BT dan
06o32’ – 06
o55’ LS. Secara administratif wilayah kerja TNGHS termasuk dalam
tiga wilayah administratif pemerintahan tingkat kabupaten, yaitu Kabupaten
Bogor, Sukabumi dan Lebak. Batas-batas wilayah TNGHS berdasarkan
administrasi pemerintah adalah :
a. Sebelah utara, dibatasi oleh Kecamatan Nanggung dan Jasinga, Kabupaten
Bogor serta Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak.
b. Sebelah barat, dibatasi oleh Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor dan
Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi.
c. Sebelah selatan, dibatasi oleh Kecamatan Cikidang dan Kecamatan
Cisolok, Kabupaten Sukabumi serta Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak.
d. Sebelah timur, dibatasi oleh Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak
(BTNGHS 2007).
Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian di Stasiun Penelitian Cikaniki dan Desa
Malasari.
3.2.2. Topografi dan Tanah
Kawasan TNGHS memiliki ketinggian tempat berkisar antara 500-2.000
meter di atas permukaan laut. Topografi di kawasan ini pada umumnya
bergelombang, berbukit dan bergunung-gunung. Kemiringan lahan berkisar antara
25 - 44%. Beberapa gunung yang terdapat di kawasan ini, antara lain G. Salak 1
(2.211 mdpl), G. Salak 2 (2.180), G. Sanggabuana (1.920 mdpl), G. Halimun
Utara (1.929 mdpl), G. Halimun Selatan (1.758 mdpl), G. Kendeng (1.680 mdpl),
G. Botol (1.850) dan G. Pangkulahan (1.150 mdpl).
Secara geologis, kawasan Gunung Halimun terbentuk oleh pegunungan
tua yang terbentuk akibat adanya gerakan tektonik yang mendorong ke atas.
Kawasan pada bagian Gunung Salak merupakan gunung berapi strato type A,
dimana tercatat terakhir Gunung Salak meletus tahun 1938, memiliki kawah yang
masih aktif dan lebih dikenal dengan nama Kawah Ratu.
Berdasarkan Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Barat skala 1 : 250.000 dari
Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1966, jenis tanah di kawasan TNGHS
terdiri atas asosiasi adosol coklat dan regosol coklat, asosiasi latosol coklat
kekuningan, asosiasi latosol coklat kemerahan dengan latosol coklat, asosiasi
latosol merah, latosol coklat kemerahan dan literit air tanah, komplek latosol
kemerahan dan litosol, asosiasi latosol coklat dan regosol kelabu (BTNGHS
2007).
3.2.3. Iklim
Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim di daerah TNGHS dan
sekitarnya tergolong tipe iklim B dengan nilai Q sebesar 24,7%, yaitu tipe iklim
tanpa musim kering dan tergolong ke dalam hutan hujan tropika yang selalu hijau.
Adapun curah hujan rata-rata 4.000-6.000 mm/tahun, musim hujan terjadi pada
bulan Oktober – April dan musim kemarau berlangsung pada bulan Mei-
September dengan curah hujan sekitar 200 mm/bulan. Jumlah hari hujan setiap
tahunnya rata-rata 203 hari. Suhu rata-rata harian 20 – 30oC dan kondisi angin
dipengaruhi oleh angin muson yang berubah arah menurut musim. Di sepanjang
musim kemarau angin bertiup dari arah timur laut dengan kecepatan rendah.
Kelembaban udara rata-rata sebesar 80% (BTNGHS 2007).
3.2.4. Hidrologi
TNGHS merupakan wilayah tangkapan air yang sangat penting bagi
wilayah sekitar kawasan. Dari kawasan TNGHS mengalir beberapa sungai yang
berair sepanjang tahun. Di sebelah utara mengalir tiga sungai besar, yaitu Sungai
Ciberang, Ciujung dan Cidurian yang mengalir ke arah Jakarta, Serang dan
berakhir di Laut Jawa. Di sebelah selatan mengalir Sungai Cisukawayana, Cimaja
dan Cibareno yang bermuara di Pantai Pelabuhan Ratu serta Sungai Citarik di
sebelah timur (BTNGHS 2007).
Gambar 2 Sungai Cikaniki.
3.3. Kondisi Biotik
3.3.1. Flora
Terdapat lebih dari 700 jenis tumbuhan berbunga hidup di hutan alam di
dalam TNGHS, yang meliputi 391 marga dari 119 suku (Harada et al. 2000). Tipe
hutan alam di kawasan TNGHS dibagi menjadi hutan hujan dataran rendah (100-
1000 m dpl) yang didominasi oleh Zona Collin (500-1000 m dpl), hutan hujan
pegunungan bawah atau sub montana (ketinggian tempat 1000-1.500 m dpl) dan
hutan hujan pegunungan tengah atau hutan montana (ketinggian tempat 1.500-
1.929 m dpl). Pada ketinggian tempat 1.400-1929 m dpl banyak dijumpai jenis-
jenis Gymnospermae seperti jamuju (Dacrycapus imbricatus), kiputri
(Podocarpus neriifolius) dan kibima (P. amara), sedangkan pada ketinggian
tempat 1.000-1.200 m dpl terdapat pohon-pohon yang tingginya mencapai 40-45
m dengan diameter mencapai 120 cm, jenis-jenisnya, antara lain; rasamala
(Altingia excelsa), saninten (Castanopsis argentea), pasang (Quercus sp) dan huru
(Litsea sp). Pada ketinggian tempat 600-700 m dpl beberapa jenis anggota Suku
Dipterocarpaceae yang merupakan ciri hutan hujan dataran rendah dapat
ditemukan di kawasan Gunung Halimun, yaitu : Dipterocarpus trinervis, D.
gracilis dan D. hasseltii (BTNGHS 2007).
Lebih dari 100 jenis tumbuhan hutan dimanfaatkan untuk obat tradisional,
upacara adat, bahan bangunan dan manfaat penting lainnya oleh masyarakat di
sekitar kawasan TNGHS (Harada et al. 2002). Didalam TNGHS tercatat 12 jenis
bambu, antara lain : bambu cangkore (Dinochola scandens) dan bambu tamiang
(Schyzostachyum sp.) yang merupakan tumbuhan asli Jawa Barat.
3.3.2. Fauna
TNGHS memiliki keanekaragaman satwa liar yang tinggi, diantaranya 244
jenis burung, 61 jenis mamalia, 27 jenis amfibi, 50 jenis reptilia, berbagai jenis
serangga, diantaranya capung. Jenis penciri (Flagship species) adalah owa jawa
(Hylobates molloch), macan tutul (Panthera pardus melas) dan elang jawa
(Spizaetus bartelsi), serta kukang (Nycticebus coucang) (BTNGHS 2007).
3.4. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Malasari
Desa Malasari merupakan salah satu desa yang berada di kawasan
TNGHS, terletak di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor. Luas wilayah secara
keseluruhan adalah 8.262,22 Ha. Batas desa ini adalah :
a. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Cisarua dan Curug Bitung
b. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Bantar Karet
c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi
d. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Kiara Sari Kecamatan Sukajaya
Jumlah penduduk Desa Malasari adalah 7.592 jiwa, terdiri dari 3.948 laki-
laki dan 3.644 perempuan. Masyarakat Desa Malasari 100% merupakan pemeluk
agama Islam. Mayoritas penduduk bermatapencaharian sebagai petani dan
karyawan kebun, selebihnya merupakan pedagang, peternak, pengusaha, dan lain-
lain (Desa Malasari 2008).
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Stasiun Penelitian Cikaniki,
TNGHS dan Desa Malasari Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Penelitian
ini dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2009.
4.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain : dokumen/laporan
yang terkait dengan pengelolaan tumbuhan di kawasan TNGHS, peta kawasan
TNGHS, data monografi Desa Malasari, tally sheet, dan buku identifikasi
tumbuhan.
Peralatan yang digunakan, antara lain : GPS, kompas, tambang plastik 50
meter, parang, pita diameter, gunting, kamera digital, panduan wawancara, dan
alat tulis-menulis (busur, penggaris, pensil, dan bulpoin).
4.3. Metode
4.3.1. Pengumpulan data
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data sekunder dan data primer,
seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Jenis Data yang Dikumpulkan Dalam Penelitian
No . Jenis Data Sumber Data
a. Data Sekunder
1. Kondisi umum TN Gunung Halimun Salak Rencana Pengelolaan TN
Gunung Halimun Salak
Periode 2007-2026
2. Kondisi sosial ekonomi masyarakat Desa Malasari Data monografi Desa Malasari
tahun 2008
3. Peta kawasan TN Gunung Halimun Salak
4. Jenis-jenis tumbuhan dan pengelolaannya di TN Gunung
Halimun Salak
Dokumen dan laporan terkait
pengelolaan tumbuhan.
5. Jenis tumbuhan eksotik di TN Gunung Halimun Salak Dokumen dan laporan terkait
pengelolaan tumbuhan
b. Data Primer
1. Penyebaran jenis tumbuhan eksotik dan analisis vegetasi Pengukuran langsung di
lapangan.
2. Penggunaan jenis tumbuhan eksotik oleh masyarakat Wawancara masyarakat
3. Persepsi masyarakat terhadap penggantian jenis
tumbuhan eksotik
Wawancara masyarakat
4.3.2. Teknik pengumpulan data
4.3.2.1. Data sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi literatur terhadap
laporan-laporan/dokumen-dokumen dan peta-peta terkait yang terdapat di kantor
TNGHS dan instansi terkait.
4.3.2.2. Data primer
Pengumpulan data primer dilakukan melalui dua cara yaitu analisis vegetasi
dan wawancara terpandu dengan menggunakan kuesioner kepada masyarakat.
a. Analisis vegetasi
Analisis vegetasi dalam plot pengamatan dilakukan dengan menggunakan
metode kombinasi jalur garis berpetak pada unit contoh berbentuk jalur sepanjang
500 m, dengan arah tegak lurus kontur atau aliran sungai. Metode analisis
vegetasi mengikuti metode yang dikembangkan oleh Soerianegara & Indrawan
(2005), yakni pengamatan vegetasi dilakukan pada suatu petak yang dibagi-bagi
kedalam petak-petak berukuran 20x20 m2, 10x10 m
2, 5x5 m
2, dan 2x2 m
2. Petak
berukuran 20x20 m2 digunakan untuk pengambilan data vegetasi tingkat
pertumbuhan pohon (diameter ≥20 cm), epifit, dan liana; petak berukuran 10x10
m2 untuk pengambilan data vegetasi tingkat tiang (diameter 10-<20 cm); petak
berukuran 5x5 m2 digunakan untuk pengambilan data vegetasi tingkat pancang
(diameter <10 cm, tinggi > 1.5 m); dan 2x2 m2 digunakan untuk pengambilan data
vegetasi tingkat semai (anakan pohon yang baru tumbuh hingga anakan pohon
yang mempunyai tinggi hingga 1,5 m) dan tumbuhan bawah. Bentuk unit contoh
pengamatan vegetasi seperti disajikan pada Gambar 3.
Data yang dicatat dalam pengamatan vegetasi pada seluruh tingkat
pertumbuhan parameter yang diukur pada setiap petak contoh, meliputi:
1. Jenis, jumlah, tinggi bebas cabang, tinggi total dan diameter tingkat pohon
(pohon-pohon yang memiliki diameter setinggi dada atau dbh ± 130 cm dari
permukaan tanah atau 20 cm di atas banir) lebih besar dari 20 cm.
2. Jenis, jumlah, tinggi bebas cabang, tinggi total dan diameter tingkat tiang
(pohon-pohon yang memiliki diameter setinggi dada dari permukaan tanah
atau 20 cm di atas banir) adalah 10 - 20 cm.
3. Jenis, jumlah, tinggi bebas cabang dan diameter tingkat pancang (anakan
pohon dengan tinggi > 1,5 meter atau pohon muda dengan diameter setinggi
dada < 10 cm).
4. Jenis dan jumlah tingkat semai (anakan pohon mulai dari tingkat kecambah
sampai yang memiliki tinggi < 1,5 meter), liana, epifit, parasit dan tumbuhan
bawah yaitu tumbuhan selain permudaan pohon misalnya rumput, herba dan
semak belukar.
D C B A
Transek
Keterangan:
A = Petak pengukuran untuk pohon, epifit, liana dan parasit (20 x 20 m2)
B = Petak pengukuran untuk tiang (10 x 10 m2)
C = Petak pengukuran untuk pancang (5 x 5 m2)
D = Petak pengukuran untuk semai dan tumbuhan bawah (2 x 2 m2)
Gambar 3 Skema Penempatan Transek dan Petak-petak Pengukuran pada
Analisis Vegetasi dengan Metode Garis Berpetak.
b. Wawancara
Data primer mengenai penggunaan jenis tumbuhan eksotik oleh
masyarakat dan persepsi masyarakat terhadap penggantian jenis tumbuhan
eksotik, diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner (Lampiran
3 dan Lampiran 4) pada responden yang terpilih. Pemilihan responden dilakukan
dengan metode “bola salju” (snowball method), responden yang diambil sebanyak
30 orang. Gambar 4 memberikan ilustrasi cara menentukan responden dengan
snowball method.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, meliputi :
1. Data karakteristik responden
Parameter yang ingin diketahui dari pengumpulan data tentang
karakteristik rumahtangga masyarakat sekitar Pusat Penelitian Cikaniki ini
adalah sebagai berikut : umur responden, jumlah anggota rumahtangga,
tingkat pendidikan, status sosial dalam masyarakat, matapencaharian pokok,
tingkat pendapatan, waktu tempuh ke hutan, dan lama bermukim.
2. Data kegiatan pemanfaatan SDA khususnya jenis tumbuhan eksotik di Pusat
Penelitian Cikaniki oleh masyarakat sekitar.
Parameter yang ingin diketahui dari pengumpulan data kegiatan
pemanfaatan SDA khususnya jenis tumbuhan eksotik di Pusat Penelitian
Cikaniki oleh masyarakat sekitar adalah sebagai berikut : jenis SDA yang
dimanfaatkan, jumlah yang dimanfaatkan, frekuensi pemanfaatan, dan cara
pemanfaatan
3. Data persepsi masyarakat terhadap rencana penggantian jenis tumbuhan
eksotik.
Parameter yang ingin diketahui dari pengumpulan data persepsi
masyarakat terhadap rencana penggantian jenis tumbuhan eksotik adalah
sebagai berikut : tanggapan masyarakat terhadap penggantian jenis tumbuhan
eksotik, aspek yang mempengaruhi tanggapan masyarakat, dan keinginan
masyarakat jika dilakukan penggantian jenis tumbuhan eksotik.
Gambar 4 Pemilihan Responden dengan Snowball Method.
4.3.3. Analisis data
4.3.3.1. Analisis vegetasi
Data vegetasi hutan yang terkumpul selanjutnya dianalisis dengan dihitung
nilai-nilai : frekuensi jenis, kerapatan jenis, dominansi jenis, indeks nilai penting,
keanekaragaman jenis, kesamaan komunitas, dan pola penyebarannya dengan
menggunakan rumus-rumus sebagai berikut :
1). K, KR, F, FR, D, DR, dan INP
Rumus-rumus yang digunakan dalam perhitungan analisis vegetasi dengan
metode garis berpetak adalah (Soerianegara dan Indrawan 2005) :
Jumlah individu suatu jenis
Kerapatan (batang/ha) = Luas Seluruh Petak
Kerapatan suatu jenis
Kerapatan Nisbi (%) = x 100 %
Kerapatan seluruh jenis
Basal Area suatu jenis
Dominansi (m2/ha) =
Luas seluruh petak
Dominansi suatu jenis
Dominansi Nisbi (%) = x 100 %
Dominansi seluruh jenis
Jumlah petak terisi suatu jenis
Frekuensi =
Jumlah seluruh petak
Frekuensi suatu jenis
Frekuensi Nisbi (%) = x 100%
Frekuensi seluruh jenis
Indeks Nilai Penting = KN + FN + DoN
Khusus untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah, Indeks Nilai Penting
cukup dihitung berdasarkan rumus :
Indeks Nilai Penting = KN + FN
2). Keanekaragaman hayati
Pengolahan selanjutnya adalah menghitung Indeks Keanekaragaman
Shannon-Wiener (Shannon Index of Diversity) dan potensi vegetasi. Untuk
menghitung Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener digunakan rumus sebagai
berikut (Pileou 1969 dalam Krebs 1972) :
Indeks Keanekaragaman (D) = - Σ [ pi. ln pi]
ni
pi =
N Keterangan:
D = Indeks Keanekaragaman Shannon (Shannon Index of Diversity)
ni = Indeks Nilai Penting suatu jenis
N = Jumlah Indeks Nilai Penting dari seluruh jenis
3) Indeks dominansi
Indeks dominansi merupakan nilai kuantitatif untuk mengetahui suatu
jenis yang dominan di dalam komunitas, dengan rumus (Misra 1980 dalam
Rosalia 2008) :
2
1
( / )n
i
C ni N
Keterangan :
C : Indeks Dominansi
ni : Jumlah individu suatu jenis
N : Jumlah seluruh individu
3). Pola sebaran spesies
Untuk mengetahui bagaimana penyebaran jenis yang dominan pada
komunitas tingkat pohon, tiang, pancang, semai dan tumbuhan bawah apakah
menyebar secara merata (uniform), atau mengelompok (clumped), sehingga dapat
diketahui kecenderungan bentuk penyebaran jenis yang mendominasi suatu
tingkat pertumbuhan komunitas. Untuk itu dihitung dengan rumus penyebaran
Morista (Morista 1965 dalam Krebs 1972) :
( x2 - x)
Id = n
( x)2 - x
Keterangan : Id = Derajat penyebaran Morisita
n = Jumlah petak ukur
x2 = Jumlah kuadrat dari total individu suatu jenis pada suatu komunitas
x = Jumlah total individu suatu jenis pada suatu komunitas
Selanjutnya dilakukan uji dengan Chi-square, dengan rumus :
Derajat Keseragaman (Uniform Index)
X20,975
- n + xi
Mu =
( xi) – 1
Keterangan : X20,975 = Nilai chi-square dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan
97,5%.
xi = Jumlah individu dari suatu jenis pada petak ukur ke-i.
n = Jumlah petak ukur
Derajat Pengelompokan (Clumped Index)
X20,025
- n + xi
Mc =
( xi) - 1 Keterangan :
X20,025 = Nilai chi-square dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan
2,5%.
xi = Jumlah individu dari suatu jenis pada petak ukur ke-i.
n = Jumlah petak ukur
Standar derajat Morisita (Ip) dihitung dengan empat rumus sebagai berikut :
Bila Id Mc > 1.0, maka dihitung :
Id - Mc
Ip = 0,5 + 0,5 ( ) n - Mc
Bila Mc > Id 1.0, maka dihitung :
Id - 1
Ip = 0,5 ( ) Mc – 1
Bila 1,0 > Id > Mu, maka dihitung :
Id - 1
Ip = -0,5 ( ) Mu – 1
Bila 1,0 > Mu > Id, maka dihitung :
Id - Mu
Ip = -0,5 + 0,5 ( ) Mu
Standar derajat penyebaran Morisita (Ip) mempunyai interval : -1,0 - 1,0
dengan selang kepercayaan 95% pada batas 0,5 dan -0,5. Nilai Ip digunakan
untuk menunjukkan pola penyebaran jenis-jenis yang dominan pada suatu
komunitas tumbuhan pada selang nilai :
Ip = 0, menunjukan pola penyebaran secara acak (random)
Ip > 0, menunjukan pola penyebaran mengelompok (clumped)
Ip < 0, menunjukan pola penyebaran merata (uniform)
4.3.3.2. Analisis Data Hasil Wawancara
Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner
terhadap responden ditabulasikan dan diberi skor (Lampiran 5 dan Lampiran 6)
yang selanjutnya dijelaskan secara deskriptif. Nilai akhir skor tersebut
diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Panjang
selang untuk tiap kelas ini ditentukan dengan rumus :
P = Nmax - Nmin
∑ n
Keterangan : P : Panjang selang interval tiap kelas
Nmax : Nilai skor maksimum
Nmin : Nilai skor minimum
n : Jumlah kelas
Untuk mengukur keeratan hubungan antara karakteristik responden
dengan tingkat persepsi masyarakat terhadap jenis tumbuhan eksotik dilakukan
Uji Korelasi Spearman. Besarnya nilai koefisien korelasi berkisar pada 0 (tidak
ada korelasi sama sekali) dan 1 (korelasi sempurna). Tanda – (negatif) pada
output menunjukkan adanya arah yang berlawanan, sedangkan tanda + (positif)
menunjukkan arah yang sama (Santoso 2001 dalam Gunawan 2004).
Untuk signifikasinya digunakan hipotesis sebagai berikut :
H0 : Tidak ada hubungan (korelasi) antara dua variabel atau nilai koefisien
korelasi 0.
H1 : Ada hubungan (korelasi) antara dua variabel atau nilai koefisien korelasi
tidak 0.
Dasar pengambilan keputusan untuk pengujian ini adalah berdasarkan
probabilitas sebagai berikut :
1. Jika probabilitas > 0,05, maka H0 diterima.
2. Jika probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak.
Adapun proses penghitungan secara statistik dilakukan dengan
menggunakan software SPSS (Statistical Product and Service Solutions) Versi
10.0.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Komposisi Vegetasi
5.1.1. Jumlah jenis dan famili
Berdasarkan inventarisasi pada petak contoh dengan menggunakan metode
analisis vegetasi teknik jalur berpetak dengan luas 1 ha didapatkan kekayaan dan
komposisi jenis tumbuhan sebanyak 137 jenis dan 59 famili. Daftar jenis
tumbuhan yang ditemukan di lokasi penelitian pada berbagai tingkat pertumbuhan
secara lengkap disajikan pada Lampiran 1, sedangkan rekapitulasinya disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah Jenis Tumbuhan pada Petak Contoh
No. Tingkat Pertumbuhan Jumlah Spesies Jumlah Famili
1. Semai 60 42
2. Pancang 80 48
3. Tiang 45 33
4. Pohon 31 20
Total Jenis Tumbuhan 137 59
Kekayaan jenis tumbuhan pada tingkatan semai, pancang, tiang dan pohon
cukup bervariasi. Apabila dilihat secara menyeluruh, maka tingkat pohon
mempunyai jumlah jenis yang paling sedikit dibandingkan dengan jumlah jenis
pada tingkat pertumbuhan yang lain. Hal ini dapat disebabkan karena pada tingkat
pohon mengalami regenerasi, yang menyebabkan tumbuh banyak anakan sebagai
regenerasi berikutnya, sedangkan pohon yang sudah tua mengalami kematian atau
dapat juga tumbang karena diterpa angin.
Secara umum komposisi dan stuktur hutan di lokasi penelitian hampir
sama dengan karakteristik hutan hujan tropis di Indonesia. Tajuk pohon hutan
hujan tropis yang sangat rapat, ditambah lagi adanya bentuk tumbuhan yang
memanjat, menggantung, dan menempel pada dahan-dahan pohon, misalnya
rotan, anggrek dan paku-pakuan. Hal ini menyebabkan sinar matahari tidak dapat
menembus tajuk hutan hingga ke lantai hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi
semak untuk berkembang di bawah naungan tajuk pohon kecuali spesies
tumbuhan yang telah beradaptasi dengan baik untuk tumbuh di bawah naungan.
5.1.2. Dominansi
Dominansi suatu jenis terhadap jenis lainnya dapat dihitung dengan
menggunakan besaran-besaran sebagai berikut : kerapatan, persen penutupan
tajuk, volume, dan biomas dan atau produktivitas. Pada tingkat tiang dan pohon
dalam menentukan dominansi lebih lazim digunakan luas bidang dasar.
Dominansi dapat dinyatakan sebagai dominansi nisbi yang sebenarnya adalah luas
bidang dasar relatif, yaitu persentase jumlah bidang dasar suatu jenis terhadap
jumlah bidang dasar seluruh jenis. Pada tingkat semai harendong bulu (Clidemia
hirta) merupakan jenis yang mendominasi, pada tingkat pancang mara (Molutes
sp) yang mendominasi, tingkat tiang jenis yang mendominasi adalah maja (Aegle
marmelos), dan pada tingkat pohon yang mendominasi adalah jenis huru (Phoebe
excelsa). Perbandingan INP tumbuhan eksotik dengan INP seluruh jenis di lokasi
penelitian disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Perbandingan INP Tumbuhan Eksotik dengan INP Seluruh Jenis di
Lokasi Penelitian
Tingkat
Pertumbuhan Jenis
INP
(%)
INP Seluruh
Jenis (%)
Perbandingan INP
Tumbuhan Eksotik dengan
INP Seluruh Jenis
Semai Harendong
bulu
21,98
200,00 10,99
Ki rinyuh 1,38 200,00 0,6
9
Kecubung
Kaliandra
4,85
1,74
200,00
200,00
2,4
3
0,8
7
Pancang Kecubung 1,07 200,00 0,5
4
Kaliandra 2,14 200,00 1,0
7
Seuseureuhan 1,07 200,00 0,5
4
Tiang Kaliandra 4,09 300,00 1,3
6
Seuseureuhan 5,55 300,00 1,8
5
Indeks Nilai Penting merupakan indikator yang sesuai untuk melihat
pengaruh perubahan jumlah jenis dalam petak di lokasi penelitian. Berkurangnya
individu dalam satu jenis menyebabkan bergesernya nilai INP jenis tersebut.
Pergeseran ini merubah tingkat INP suatu jenis secara beraturan.
Peranan suatu jenis dalam komunitas dapat dilihat dari besarnya INP
dimana jenis yang mempunyai nilai INP tertinggi merupakan jenis dominan.
Sutisna (1981) dalam Rosalia (2008) menyatakan bahwa suatu jenis tumbuhan
dapat dikatakan berperan jika INP untuk tingkat semai dan pancang lebih dari
10%, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon 15%. Harendong merupakan jenis
tumbuhan eksotik yang mempunyai nilai INP paling tinggi bila dibandingkan
dengan jenis tumbuhan eksotik lainnya, maka dapat dikatakan bahwa harendong
merupakan jenis tumbuhan eksotik yang dominan dan berperan. Hal ini
menunjukkan bahwa jenis tersebut mempunyai tingkat kesesuaian terhadap
lingkungan yang lebih tinggi dari jenis yang lain.
Indeks Nilai Penting yang tinggi menunjukan tingkat vegetasi yang
mempunyai jumlah individu yang paling banyak, kerapatan yang paling tinggi dan
merupakan jenis yang mendominasi. Smith (1977) dalam Rosalia (2008)
menyatakan bahwa jenis dominan adalah yang dapat memanfaatkan lingkungan
yang ditempatinya secara efisien. Dominasi ini terjadi diduga karena kondisi
lingkungan (tanah dan iklimnya) sesuai dengan yang dibutuhkan oleh jenis-jenis
tersebut. Jenis-jenis tersebut mampu bersaing dengan jenis lainnya dan dapat
beradaptasi dengan lingkungannya. Di dalam masyarakat hutan, sebagai akibat
persaingan jenis-jenis tertentu lebih berkuasa (dominant) daripada yang lain..
Selain jenis yang mendominasi, ada juga yang terhambat pertumbuhannya
dan kalah dengan tumbuhan yang mendominasi. Dari data yang diperoleh
kecubung dan seuseureuhan pada tingkat pertumbuhan pancang mempunyai nilai
INP paling rendah dibandingkan dengan jenis tumbuhan eksotik lainnya pada
berbagai tingkat pertumbuhan. Hal ini diduga karena jenis-jenis tersebut kurang
dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungannya dan kalah bersaing dengan jenis-
jenis dominan.
Secara umum dapat dilihat bahwa pada tingkat pertumbuhan pohon
memiliki nilai indeks dominansi tertinggi bila dibandingkan dengan tingkat
pertumbuhan lainnya. Nilai indeks dominansi di lokasi penelitian dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4 Indeks Dominansi (C) di Lokasi Penelitian
Tingkat Pertumbuhan C
Semai 0,06 Pancang 0,05 Tiang 0,04 Pohon 0,07
Besarnya nilai C pada berbagai tingkat pertumbuhan tidak terlalu
bervariasi, hanya berkisar 0,04 – 0,07. Nilai C akan bernilai 1 atau mendekati 1
apabila dominansi dipusatkan pada satu atau sedikit jenis. Sebaliknya, jika
beberapa jenis yang mendominasi secara bersama-sama, maka nilai C akan
bernilai rendah atau bahkan mendekati nol. Berdasarkan kriteria tersebut dapat
disimpulkan bahwa di lokasi penelitian tidak ada pemusatan suatu jenis tertentu,
karena nilai indeks dominansi jenisnya rendah atau hampir mendekati nol untuk
semua tingkat pertumbuhan.
5.1.3. Keanekaragaman Jenis
Berdasarkan perhitungan indeks keanekaragaman di lokasi penelitian
diketahui bahwa tingkat keanekaragamannya dapat dikatakan tinggi. Nilai indeks
keanekaragaman jenis di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Indeks Keanekaragaman Jenis pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan (H’)
di Lokasi Penelitian
Tingkat Pertumbuhan Keanekaragaman Jenis
Semai 3,59 Pancang 4,07 Tiang 3,70 Pohon 3,13
Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa indeks keanekaragaman untuk masing-
masing tingkat pertumbuhan beragam, berkisar antara 3,13 – 4,07. Indeks
keanekaragaman tertinggi pada tingkat pancang sebesar 4,07. Menurut kriteria
penilaian parameter vegetasi hutan (Tim Studi IPB 1997) bahwa keanekaragaman
tinggi bila mempunyai nilai ≥3, keanekaragaman sedang bila mempunyai kisaran
2-3, dan keanekaragaman rendah bila mempunyai nilai ≤ 2. Berdasarkan kriteria
tersebut menunjukan bahwa keanekaragaman jenis tumbuhan pada lokasi
penelitian termasuk kategori keanekaragaman jenis yang tinggi.
Nilai H’ menggambarkan tingkat keanekaragaman jenis dalam suatu
tegakan. Bila nilai ini makin tinggi maka makin meningkat keanekaragamannya
dalam tegakan tersebut. Odum (1971) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis
cenderung tinggi di dalam komunitas yang lebih tua dan rendah di dalam
komunitas yang baru terbentuk. Kemantapan habitat merupakan faktor utama
yang mengatur keanekaragaman jenis.
Perbedaan nilai H’ menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis dalam
suatu komunitas sangat dibatasi oleh kondisi lingkungan. Dalam ekologi hutan,
keanekaragaman jenis di suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh banyaknya
jenis, tetapi juga oleh banyaknya individu setiap jenis.
5.2. Tumbuhan Eksotik
5.2.1. Jumlah jenis tumbuhan eksotik
Jika dibandingkan dengan semua jenis tumbuhan yang terdapat di lokasi
penelitian, beberapa jenis tumbuhan eksotik termasuk jenis yang kehadirannya
rendah. Jenis tumbuhan eksotik yang ditemukan pada lokasi penelitian hanya
berjumlah lima jenis. Daftar jenis tumbuhan eksotik untuk masing-masing tingkat
pertumbuhan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Jenis Tumbuhan Eksotik di Lokasi Penelitian
No. Nama Lokal Nama Ilmiah Semai Pancang Tiang Pohon
1. Harendong bulu Clidemia hirta (L.) D.
Don. *
2. Ki rinyuh Euphatorium
pallescens DC. *
3. Kecubung Brugmansia
suaveolens * *
4. Kaliandra Calliandra calothyrsus * * *
5. Seuseureuhan Piper aduncum L. * *
Keterangan * : Terdapat jenis tumbuhan eksotik
Harendong bulu merupakan jenis tumbuhan eksotik yang frekuensi
kehadirannya sangat tinggi bila dibandingakan dengan jenis tumbuhan eksotik
lainnya. Jenis ini ditemukan hampir disemua petak contoh penelitian. Sedangkan
jenis tumbuhan eksotik lainnya frekuensi kehadirannya tergolong jenis yang
kehadirannya rendah.
Seuseureuhan merupakan jenis tumbuhan eksotik yang hanya ditemukan
pada tingkat pertumbuhan pancang dan tiang, sedangkan pada tingkat
pertumbuhan semai tidak ditemukan sama sekali. Hal ini dapat disebabkan karena
rapatnya penutupan tajuk-tajuk dari tingkat tiang maupun pohon di areal
penelitian, sehingga menyebabkan jenis-jenis tertentu tidak dapat bertahan hidup
karena sifatnya yang intoleran (tidak tahan naungan) atau dengan kata lain jenis-
jenis tertentu tersebut cukup cahaya matahari untuk dapat hidup dan tumbuh. Di
samping itu adanya persaingan untuk mendapatkan hara mineral, air dan ruang
tumbuh antar individu-individu dari suatu jenis atau berbagai jenis. Persaingan ini
menyebabkan terbentuknya susunan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang tertentu
baik bentuknya, macam maupun banyaknya jenis dan jumlah individu-
individunya, yang sesuai dengan keadaan tempat tumbuhnya (Soerianegara &
Indrawan 2005).
(1) (2) (3)
(4) (5)
(5)Gambar 5 Jenis-Jenis Tumbuhan Eksotik (1) Ki rinyuh (2) Seuseureuhan (3)
Kecubung (4) Kaliandra (5)Harendong bulu.
5.2.2. Regenerasi tumbuhan eksotik
Suatu populasi yang stabil biasanya mempunyai distribusi umur yang khas
dalam suatu kawasan. Kadangkala suatu kelas umur, terutama individu muda
tidak ditemukan atau hanya terdapat dalam jumlah yang sedikit. Gejala ini
menunjukkan bahwa populasi akan menurun. Sebaliknya apabila anakan dan
individu terdapat dalam jumlah besar berarti populasi berada dalam keadaan stabil
dan bahkan mungkin akan mengalami peningkatan (Primack 1998 dalam Rosalia
2008).
Untuk melihat kestabilan dari populasi tersebut dilakukan perhitungan
potensi jenis tumbuhan eksotik berdasarkan jumlah individu di lokasi penelitian.
Kerapatan jenis tumbuhan eksotik di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Kerapatan Jenis Tumbuhan Eksotik di Lokasi Penelitian
No Nama Lokal Nama Ilmiah Kerapatan (individu/ha)
Semai Pancang Tiang Pohon
1 Harendong bulu Clidemia hirta (L.) D.
Don. 9.000
2 Ki rinyuh Euphatorium
pallescens DC. 400
3 Kecubung Brugmansia
suaveolens 1.600 16
4 Kaliandra Calliandra calothyrsus 600 32 4
5 Seuseureuhan Piper aduncum L. 16 8
Dari Tabel 7 terlihat bahwa jenis yang mempunyai permudaan paling
banyak adalah harendong yaitu 9.000 ind/ha, akan tetapi pada tingkat
pertumbuhan lainnya tidak ditemukan individu harendong tersebut. Hal ini juga
terjadi pada jenis ki rinyuh yang hanya mempunyai 400 ind/ha pada tingkat semai.
Kecubung, kaliandra, dan seuseureuhan mempunyai permudaan lebih banyak
dibandingkan tingkat pertumbuhan berikutnya. Hal ini sesuai dengan kaidah
umum dalam hutan alam dimana secara umum struktur tegakan hutannya
berbentuk huruf ”J” terbalik, yang berarti jumlah individu muda lebih banyak
daripada individu tua.
Lebih sedikitnya jumlah individu tua pada ketiga jenis tersebut
dikarenakan semakin bertambahnya waktu, individu-individu tersebut mengalami
pertumbuhan yang memerlukan banyak energi sehingga terjadilah persaingan baik
antarindividu dalam satu jenis maupun antar berbagai jenis agar dapat tetap hidup
dan tumbuh. Persaingan ini mengakibatkan terjadi pengurangan jumlah individu
yang bertahan hidup pada tiap tingkatan pertumbuhan.
5.2.3. Penyebaran tumbuhan eksotik
Hilangnya suatu jenis dalam petak, salah satunya disebabkan oleh pola
penyebaran jenis dan jumlah masing-masing individu bervariasi. Menurut
Sudirman (2002) dalam Rosalia (2008) bahwa pada umumnya jenis tumbuhan
memiliki pola penyebaran yang berbeda untuk semua tingkat pertumbuhan
disemua komunitas hutan. Hal tersebut diduga akibat adanya perubahan selama
proses pertumbuhan dari tingkat semai sampai pohon. Tumbuhan akan mengalami
berbagai kemampuan dalam hidupnya dan interaksinya terhadap lingkungan. Jenis
tumbuhan eksotik banyak ditemukan pada jalur 2 dan jalur 3 dengan ketinggian
tempat 1.056 m dpl (Tabel 8). Hal ini disebabkan lokasi tersebut merupakan jalur
yang sering dilalui oleh masyarakat dan juga digunakan untuk jalur ekowisata.
Tabel 8 Penyebaran Jenis Tumbuhan Eksotik di Lokasi Penelitian
Tingkat
Pertumbuhan Nama lokal Nama Ilmiah
Petak
Ditemukan
Ketinggian
tempat (m
dpl)
Indeks
Morishita
Semai Harendong
bulu
Clidemia
hirta
Jalur 1 (Petak 1
dan 3 )
Jalur 2 (Petak 6
dan 8 )
Jalur 3 (Petak 11,
14, dan 15)
Jalur 5 (Petak 22
dan 25)
1.000
1.040
1.056
1.077
0,62
Ki rinyuh Euphatorium
pallescens
Jalur 2 (Petak 11) 1.056 1,00
Kecubung
Kaliandra
Brugmansia
suaveolens
Calliandra
calothyrsus
Jalur 3 (Petak 13
dan 14)
Jalur 4 (Petak 18)
Jalur 3 (Petak 13
dan 14)
1.056
1.056
1.056
0,69
1,00
Pancang Kecubung Brugmansia
suaveolens
Jalur 3 (Petak 13
dan 14)
1.056 1,00
Kaliandra Calliandra
calothyrsus
Jalur 3 (Petak 13
dan 14)
1.056 0,78
Seuseureuhan Piper
aduncum
Jalur 4 (Petak 17) 1.056 1,00
Tiang Kaliandra Calliandra
calothyrsus
Jalur 3 (Petak 14) 1.056 -
Seuseureuhan Piper
aduncum
Jalur 4 (Petak 18) 1.056 1,00
Keterangan (-) : Indeks Morishita tidak terdefinisi
Semua jenis tumbuhan eksotik yang ditemukan di lokasi penelitian
memiliki pola penyebaran secara mengelompok, kecuali jenis kaliandra pada
tingkat tiang yang tidak diketahui pola penyebarannya. Pola penyebaran yang
tidak diketahui pada kaliandra dikarenakan nilai indeks morishita yang tidak
terdefinisi.
Naughton & Wolf (1990) dalam Rosalia (2008) menjelaskan bahwa
kondisi iklim dan faktor ketersediaan hara merupakan faktor lingkungan yang
sangat berperan dalam penyebaran. Apabila di sekitar lokasi induk jenis tumbuhan
menyediakan hara yang cukup untuk pertumbuhan, maka akan cenderung
membentuk pola penyebaran mengelompok (pola penyebaran yang umum terjadi
di hutan primer).
Hal ini didukung oleh pendapat Soegianto (1994) yang menyatakan bahwa
sebenarnya pola penyebaran organisme di alam jarang yang ditemukan dalam pola
yang seragam (teratur), tetapi umumnya mempunyai pola penyebaran
mengelompok. Hal ini disebabkan karena adanya naluri dari individu-individu
tersebut untuk mencari lingkungan tempat hidup yang cocok untuknya. Individu
tersebut akan dapat hidup dan tumbuh apabila lingkungan tempat tumbuhnya
mendukung, tapi apabila lingkungan tidak mendukung maka dapat dipastikan
individu tersebut akan mati.
Pendapat Istomo (1994) juga mendukung pernyataan diatas bahwa
individu-individu tersebut akan mengelompok dalam tempat-tempat tertentu yang
lebih menguntungkan. Hal ini kemungkinan karena adanya interaksi yang saling
menguntungkan diantara individu-individu tersebut.
5.3. Persepsi Masyarakat terhadap Penggantian Jenis Tumbuhan Eksotik
5.3.1. Karakteristik responden
Karakteristik responden adalah gambaran dari karakteristik masing-masing
responden atau secara keseluruhan. Data yang ditampilkan berupa data secara
umum dari masing-masing pengkalsifikasian berdasarkan karakteristik responden.
Karakteristik responden dibagi menjadi umur, pendidikan, pekerjaan, penghasilan,
jumlah anggota rumahtangga, dan waktu tempuh ke hutan.
5.3.1.1. Umur
Usia mempengaruhi tingkat pemanfaatan sumberdaya hutan. Semakin tua
usia seseorang maka semakin kurang produktif, sehingga pemanfaatan
sumberdaya hutan yang ada juga relatif kecil. Usia masyarakat yang
memanfaatkan sumberdaya hutan sebagian besar berada pada usia produktif.
Girsang (2006) mengemukakan bahwa usia produktif untuk bekerja di negara-
negara berkembang, pada umumnya adalah 15-55 tahun.
Responden termuda dalam penelitian ini berumur 19 tahun dan tertua
berusia 64 tahun. Dengan memperhatikan sebaran umur mereka, maka responden
dibagi menjadi tiga kelompok umur (Tabel 9) , yaitu : 1) Muda ( 19 – 33), 2)
Sedang (34 – 48), dan 3) Tua (49 – 64).
Tabel 9 Distribusi Responden Menurut Umur
No. Kelompok Umur Responden
(Orang)
Persen
(%)
1. Muda (19-33 tahun) 11 36,67
2. Sedang (34-48 tahun) 16 53,33
3. Tua (49-64 tahun) 13 10,00
Jumlah 30 100,00
Tabel 9 menunjukkan dari 30 responden yang diwawancarai dalam
penelitian ini 53,33 % berusia sedang, sepertiga berusia muda dan selebihnya
berusia tua. Secara umum Tabel 11 menunjukan bahwa responden di lokasi
penelitian masih termasuk kedalam kelompok berusia produktif (usia kerja).
Mayoritas responden yang diamati berusia dibawah atau sama dengan 50 tahun.
Sebagian kecil berusia lanjut (tua).
5.3.1.2. Pendidikan
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan tingkat pendidikan adalah
pendidikan terakhir yang pernah/telah ditempuh oleh masyarakat yang menjadi
responden. Tingkat pendidikan masyarakat berpengaruh terhadap tingkat
pemanfaatan sumberdaya hutan dan tingkat persepsi. Hal ini terkait dengan ilmu
pengetahuan yang dimiliki, penguasaan teknologi, keterampilan, dan informasi
pasar yang diperoleh. Tingkat pendidikan yang rendah, penguasaan teknologi dan
keterampilan yang terbatas, serta kurangnya informasi pasar menyebabkan
pemanfaatan sumberdaya hutan terutama untuk jenis-jenis komersil menjadi tidak
terkendali. Hal ini tentunya akan berdampak negatif terhadap kelestarian
sumberdaya hutan tersebut. Terbatasnya teknologi dan keterampilan yang dimiliki
menyebabkan rendahnya kemampuan untuk menghasilkan produk olahan yang
mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi. Kurangnya informasi pasar yang
dimiliki menyebabkan terjadinya eksploitasi terhadap jenis-jenis sumberdaya
hutan tertentu.
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam menunjang kualitas
manusia. Tingginya tingkat pendidikan sangat berpengaruh pada jenis
pekerjaanya, yang kemudian turut mempengaruhi tingkat pendapatan. Dalam
penelitian ini tingkat pendidikan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : (1) rendah,
(2) sedang, dan (3) tinggi. Hasil penelitian tentang distribusi responden menurut
pendidikan dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No. Tingkat Pendidikan Responden
(Orang)
Persen
(%)
1. Tidak Sekolah – Tamat SD 27 90,00
2. SMP – Tamat SMP 1 3,33
3. SMA – Tamat SMA 2 6,67
Jumlah 30 100,00
Tingkat pendidikan responden pada penelitian ini tergolong rendah. Hal
ini dapat dilihat dari jumlah responden yang mampu melaksanakan wajib belajar 9
tahun atau lulus SMP yang hanya berjumlah 1 orang (3,33%). Sedangkan yang
melanjutkan ke jenjang SMA sebanyak 2 orang (6,67%), sebanyak 25 orang
(83,33%) memiliki tingkat pendidikan SD, dan 2 orang (6,67%) tidak pernah
sekolah.
Dari Tabel 10 terlihat bahwa dominasi responden memiliki tingkat
pendidikan yang rendah, ada sebagian masyarakat yang telah mengenyam tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, hal ini sangat positif karena kondisi ini secara
langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan terjadinya transfer ilmu
pengetahuan, keterampilan dan informasi pasar.
Rendahnya tingkat pendidikan, keterampilan dan informasi yang dimiliki
oleh masyarakat sekitar hutan juga menyebabkan masyarakat sulit untuk bersaing
dan memasuki pasar lapangan kerja secara umum. Hal ini tentunya berdampak
pada semakin sempitnya peluang mereka untuk memperoleh lapangan pekerjaan
yang layak dan memadai. Pilihan pekerjaan sebagai pemanfaat sumberdaya hutan
tidak mensyaratkan tingkat pendidikan maupun keterampilan tertentu, sehingga
tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan menjadi sangat
besar.
5.3.1.3. Mata pencaharian
Mata pencaharian masyarakat sekitar lokasi penelitian yang menjadi
rseponden yaitu buruh, petani, karyawan perkebunan, dan pedagang. Petani
adalah orang yang memiliki dan mengelola lahan, baik itu lahan milik sendiri
maupun lahan garapan/lahan sewaan. Kelompok masyarakat yang
bermatapencaharian sebagai petani meliputi petani sawah dan petani ladang.
Sedangkan kelompok buruh meliputi buruh tani dan buruh kebun musiman. Buruh
ini merupakan orang yang tidak memiliki lahan, baik lahan milik sendiri maupun
lahan sewaan. Aktivitas buruh pertanian dan buruh perkebunan pada umumnya
bersifat musiman, tergantung permintaan pemilik lahan dan perusahaan
perkebunan. Karakteristik responden berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat
pada Tabel 11.
Tabel 11 Sebaran Responden Berdasarkan Mata Pencaharian
No. Mata Pencaharian Responden
(Orang)
Persen
(%)
1. Buruh 6 20,00
2. Petani & Karyawan Perkebunan 22 73,33
3. Pedagang 2 6,67
Jumlah 30 100,00
Mayoritas responden bermatapencaharian sebagai petani dan karyawan
perkebunan. Hal ini sesuai dengan keadaan lahan yang berada disekitar mereka.
Terdapat lahan untuk sawah dan juga terdapat perkebunan dimana masyarakat
dapat bekerja di perusahaan perkebunan teh tersebut baik sebagai pegawai tetap
maupun sebagai pegawai musiman.
5.3.1.4. Pendapatan
Pendapatan responden yang diwawancarai berkisar antara Rp 200.000., -
Rp 2.370.000. Dalam penelitian ini tingkat pendapatan responden dibagi menjadi
tiga kelompok, yaitu : 1) rendah ( Rp 200.000 – Rp 923.333), 2) sedang (Rp
924.000 – Rp 1.624.333), 3) tinggi (> Rp 1.648.000). Sebaran responden
berdasarkan tingkat pendapatan dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Sebaran Responden Berdasarkan Pendapatan
No. Pendapatan Responden
(Orang)
Persen
(%)
1. Rp 200.000 – Rp 923.333 27 90,00
2. Rp 924.000 – Rp 1.624.333 - -
3. > Rp 1.648.000 3 10,00
Jumlah 30 100,00
Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa tingkat pendapatan rendah pada
responden paling mendominasi (90%), hal ini dipengaruhi oleh jenis pekerjaan
responden dan tingkat pendidikan yang rendah. Pendapatan yang tinggi hanya
dimiliki oleh 10% responden.
5.3.1.5. Jumlah anggota rumah tangga
Besar keluarga dilihat dari jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam
satu pengelolaan sumberdaya keluarga. Besar keluarga dari responden berkisar
dari 2 orang sampai 7 orang. Dalam penelitian ini besar keluarga dibagi menjadi
tiga kelompok yaitu : 1) keluarga kecil (2-3 orang), 2) keluarga sedang (4-5
orang), 3) keluarga besar (6-7 orang). Sebaran responden berdarkan jumlah
anggota rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Rumah Tangga
No. Jumlah Anggota RT Responden
(Orang)
Persen
(%)
1. Keluarga kecil (2-3 orang) 10 33,33
2. Keluarga sedang (4-5 orang) 15 50,00
3. Keluarga besar (6-7 orang) 5 16,67
Jumlah 30 100,00
Apabila besar keluarga ini dikelompokkan berdasarkan kriteria Norma
Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (BPS, 2001) yaitu terdiri dari ayah, ibu dan
dua orang anak, maka sebanyak 76,67% tergolong dalam kelompok tersebut,
sedangkan lainnya tergolong keluarga sedang dan keluarga besar. Sebagian
responden mempunyai jumlah anggota rumah tangga yang besar hal ini
disebabkan masih ada yang merupakan bentuk keluarga luas (extended family),
yaitu keluarga yang tidak hanya terdiri dari keluarga inti (ayah, ibu dan anak)
tetapi juga ditambah dengan anggota keluarga lain seperti kakek, nenek,
keponakan atau sepupu.
Besar kecilnya sebuah keluarga pemanfaat sumberdaya hutan akan
berpengaruh terhadap peningkatan dan pengurangan pemanfaatan sumberdaya
hutan. Semakin besar sebuah keluarga menunjukkan bahwa semakin besar pula
ketersediaan tenaga kerja. Banyaknya tenaga kerja yang bekerja memanfaatkan
sumberdaya hutan berpengaruh langsung terhadap jumlah sumberdaya hutan yang
dimanfaatkan dan jumlah pendapatan keluarga. Namun, dilain pihak banyaknya
anggota rumahtangga akan mempengaruhi pengeluaran belanja keluarga tersebut.
Hal ini terkait dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk biaya
konsumsi rumah tangga. Tidak hanya itu saja, semakin banyak anggota
rumahtangga, maka semakin banyak pula kebutuhan hidup yang harus dipenuhi.
Kondisi ini tentunya akan berpengaruh terhadap peningkatan pemanfaatan
sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
5.3.1.6. Waktu tempuh ke hutan
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat yang menjadi responden,
diketahui bahwa waktu tempuh mereka ke hutan berkisar antara 5 menit sampai
120 menit. Distribusi responden berdasarkan lamanya waktu tempuh ke hutan di
sajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Tempuh ke Hutan
No. Waktu Tempuh Responden
(Orang)
Persen
(%)
1. Dekat (<30 menit) 7 23,33
2. Sedang (30 – 60 Menit) 20 66,67
3. Jauh (>60 menit) 3 10,00
Jumlah 30 100,00
Dalam penelitian ini waktu tempuh ke hutan dikelompokkan menjadi tiga
yaitu dekat (< 30 menit), sedang (30 – 60 menit), dan jauh (>60 menit).
Responden terbanyak berada pada kelompok kedua yaitu jarak tempuh yang
sedang berkisar antara 30 – 60 menit. Waktu tempuh masing-masing orang relatif,
tergantung kecepatan masing-masing individu. Waktu tempuh ke dalam hutan
sedikit banyak akan mempengaruhi tingkat pemanfaatan seseorang terhadap
sumberdaya hutan, semakin dekat jaraknya dengan hutan maka akan semakin
tinggi tingkat pemanfaatannya terhadap sumberdaya hutan. Selain itu juga, waktu
tempuh dapat mempengaruhi tingkat persepsi seseorang terutama mengenai SDA,
dalam hal ini adalah jenis tumbuhan eksotik. Semakin sering seseorang
berinteraksi dengan suatu objek maka akan semakin baik tingkat persepsinya.
5.3.2. Pemanfaatan SDA oleh masyarakat
5.3.2.1. Jenis-Jenis SDA yang dimanfaatkan oleh masyarakat
Interaksi masyarakat dengan hutan telah berlangsung sejak lama.
Keberadaan hutan telah memberikan banyak manfaat bagi kehidupan umat
manusia. Bagi masyarakat desa sekitar hutan, keberadaan kawasan hutan sangat
berarti untuk keberlangsungan hidupnya, mereka bergantung pada sumberdaya-
sumberdaya yang ada di hutan seperti kayu bakar, bahan makanan, bahan
bangunan, dan hasil-hasil hutan lainnya, yang dapat memberikan nilai tambah
bagi kehidupannya. Interaksi sosial masyarakat desa dengan hutan, dapat terlihat
dari ketergantungan mereka akan sumber-sumber kehidupan dasar seperti air,
sumber energi (kayu bakar dan bahan-bahan makanan yang dihasilkan dari hutan),
bahan bangunan, dan sumberdaya lainnya. Bentuk-bentuk interaksi sosial
masyarakat desa dengan hutan tercermin dari kegiatan-kegiatan masyarakat
seperti : mengumpulkan hasil-hasil hutan berupa kayu bakar sebagai sumber
energi, rumput untuk makan ternak, umbi-umbian dan buah-buahan untuk bahan
makanan dan hasil-hasil hutan lainnya.
Kondisi di atas juga terjadi ditempat yang menjadi objek penelitian.
Masyarakat banyak memanfaatkan sumberdaya yang berasal dari hutan . Hal ini
terjadi karena letak geografis wilayah tersebut cukup strategis dan berbatasan
langsung dengan kawasan hutan. Adapun beberapa jenis sumberdaya hutan yang
dimanfaatkan oleh masyarakat yang menjadi responden tersebut meliputi : kayu
bakar, rumput, tumbuhan penghasil makanan, kayu bangunan, tumbuhan
penghasil buah, dan tumbuhan obat. Rekapitulasi pemanfaatan oleh masyarakat
disajikan dalam Tabel 15.
Tabel 15 Rekapitulasi SDA yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat
No. Jenis SDA Responden
(Orang)
Persentase
(%)
1. Kayu bakar 11 36,57
2. Tumbuhan obat 6 20,00
3. Rumput 6 20,00
4. Kayu bangunan 1 3,33
5. Tumbuhan penghasil buah 7 23,33
6. Tumbuhan penghasil makanan 3 10,00
Tebel 15 tersebut di atas menunjukkan bahwa masyarakat memanfaatkan
beberapa SDA hutan dengan persentase yang berbeda. Sebagian besar responden
memanfaatkan lebih dari satu jenis hasil hutan. Kayu bakar adalah jenis yang
paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Besarnya persentase pemanfaatan
kayu bakar menunjukan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat sangat tinggi
dalam hal kebutuhan energi rumah tangga.
Beberapa jenis hasil hutan dan kegiatan pemanfaatan yang dilakukan oleh
masyarakat sekitar Stasiun Penelitian Cikaniki :
1. Kayu bakar
Pemanfaatan kayu bakar sebagai salah satu sumber energi rumah tangga
masih banyak dilakukan oleh masyarakat desa sekitar hutan. Demikian halnya
dengan masyarakat dilokasi penelitian. Sebagian besar masyarakatnya masih
memanfaatkan kayu bakar sebagai sumber energi rumah tangga, walaupun ada
juga masyarakat yang sudah menggunakan minyak tanah dan gas sebagai energi
rumah tangganya. Pada umumnya masyarakat memanfaatkan kayu bakar hanya
untuk pemenuhan kebutuhan mereka sendiri.
Sebagian besar kegiatan pengambilan kayu bakar dilakukan dengan cara
dipikul dan berjalan kaki. Hampir tidak ditemui pengambilan kayu bakar dengan
menggunakan alat angkut seperti sepeda, sepeda motor atau alat transportasi
lainnya.
Pengambilan kayu bakar yang dilakukan masyarakat sekitar hutan
biasanya dalam bentuk ranting-ranting atau cabang-cabang pohon yang sudah
kering, dan kayu-kayu yang kondisinya sudah lapuk, serta kayu-kayu yang sudah
mati. Jenis-jenis kayu yang diambil berdasarkan hasil wawancara dapat dilihat
pada Tabel 16.
Tabel 16 Jenis-Jenis Kayu yang Dimanfaatkan untuk Kayu Bakar oleh
Masyarakat
No. Nama lokal Nama Ilmiah Pemanfaat
(orang)
Persentase
(%)
1. Babanjaran Calamagrostis australis 1 3,13
2. Bambu Dinochloa sp 1 3,13
3. Batarua n.a 4 13,33
4. Kaliandra * Calliandra calothyrsus 2 6,67
5. Ki dage Alangium sp 1 3,13
6. Ki huut Aporosa fructescens 1 3,13
7. Ki rinyuh* Euphatorium pallescens 1 3,13
8. Ki sampang Euodia latifolia 1 3,33
9. Mara Molutes sp 1 3,13
10. Pasang Lithocarpus sp. 3 10,00
11. Pinus* Pinus merkusii 5 16,67
12. Pongokan n.a 1 3,13
13. Puspa Schima wallichii 4 13,33
14. Rasamala Altingia excelsa 5 16,67
15. Sengon* Paraserianthes falcataria 1 3,13
16. Teh* Camellia sinensis 1 3,13 Keterangan * : Jenis tumbuhan eksotik
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa pinus dan rasamala merupakan
tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk dijadikan
sebagai kayu bakar. Hal ini dikarenakan kayu-kayu tersebut mudah untuk
didapatkan. Terdapat beberapa jenis kayu bakar yang termasuk kedalam jenis
tumbuhan eksotik yaitu kaliandra, ki rinyuh, pinus, sengon, dan teh. Pemanfaatan
jenis tumbuhan eksotik oleh masyarakat cukup tinggi seperti untuk jenis pinus dan
kaliandra, sedangkan pemanfaatan untuk jenis tumbuhan eksotik lainnya tidak
terlalu tinggi seperti teh, sengon, dan ki rinyuh.
Sebenarnya semua kayu dapat dijadikan sebagai kayu bakar, namun ada
beberapa jenis yang sering digunakan oleh masyarakat karena alasan tertentu
seperti mudah didapatkan, kemudahan terbakar dan tidak banyak menimbulkan
asap.
2. Rumput
Masyarakat desa sekitar hutan yang dijadikan sebagai responden sebagian
besar memiliki hewan ternak seperti kambing dan domba. Oleh karena itu
sebagian besar masyarakat memanfaatkan rumput yang berada didalam ataupun
sekitar kawasan untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak.
Kegiatan pemanfaatan rumput dilakukan dengan cara pengambilan rumput
yang dilakukan dalam rangka mencukupi pakan ternak selama di kandang.
Pemanfaatan tersebut berlangsung sepanjang tahun dengan intensitas pemanfaatan
yang terjadi setiap hari. Para pemanfaat rumput biasanya mengambil rumput
dengan cara dipikul, dengan volume pemanfaatan rumput untuk satu pikulan
biasanya 1-2 ikat. Rumput yang dimanfaatkan oleh masyarakat, pada umumnya
hanya digunakan untuk konsumsi saja tidak untuk diperjualbelikan, namun
berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden, diketahui bahwa jika
komoditas rumput tidak tersedia, maka masyarakat harus mengeluarkan biaya
untuk memenuhi kebutuhan akan rumput tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
jenis komoditas ini sangat dibutuhkan keberadaanya oleh masyarakat.
Gambar 6 Pengambilan Rumput oleh Masyarakat.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat yang memanfaatkan
rumput didalam ataupun sekitar kawasan terdapat 4 jenis rumput yang biasa
mereka gunakan. Jenis-jenis tersebut adalah nampong, hamerang, seuhang, dan
jampang pait. Persentase pemanfaatan rumput dapat dilihat pada Gambar 7.
0.13
0.10
0.03
0.10
0.00
0.02
0.04
0.06
0.08
0.10
0.12
0.14
Nampon
g
Hamera
ng
Seuha
ng
Jam
pang
pait
Jenis Rumput
Per
sen
tase
(%
)
Gambar 7 Persentase Pemanfaatan Rumput oleh Masyarakat.
Nampong (Eupatorium odoratum) merupakan jenis yang frekuensi
pemanfatannya paling tinggi bila dibandingkan dengan rumput lainnya.
Sedangkan hamerang dan jampang pait pemanfaatannya tidak terlalu tinggi. Dari
keempat jenis rumput tersebut tidak didapatkan jenis tumbuhan eksotik yang
dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai pakan ternak.
3. Kayu bangunan
Dari 30 responden yang diwawancarai hanya satu orang yang mengambil
hasil hutan untuk dijadikan sebagai kayu bangunan. Jenis yang biasa diambil yaitu
huru gemblung sebanyak 8 - 10 batang. Menurut responden, kayu tersebut
digunakan untuk memperbaiki rumahnya dan tidak untuk diperjualbelikan. Huru
gemblung tersebut bukan termasuk jenis tumbuhan eksotik.
4. Tumbuhan obat
Terdapat 19 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
obat. Pemanfaatan yang paling banyak yaitu terhadap jenis ki kunti (Ficus
edelfeltii) sebesar 10,00% digunakan untuk mengobati batuk dan sebagai obat
mata. Untuk jenis lainnya tingkat pemanfaatan sama yaitu sebesar 3,33%. Dari
semua jenis tumbuhan yang dimanfaatkan untuk obat terdapat satu jenis tumbuhan
eksotik yaitu seuseureuhan. Jenis ini digunakan untuk obat tetes mata.
Pemanfaatan yang dilakukan masyarakat terhadap jenis ini tergolong rendah
hanya sebesar 3,33% saja.
Jenis-jenis tumbuhan tersebut digunakan untuk mengobati penyakit yang
biasa mereka derita sehari-hari seperti batuk, demam, sakit mata, penutup luka,
dan sebagainya. Dari data di atas diketahui bahwa banyak jenis tumbuhan yang
biasa digunakan oleh mereka untuk obat tetes mata.
(1) (2) (3)
Gambar 8 Jenis-jenis Tumbuhan yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat Untuk
Obat (1) Cangkore (2) Ficus (3) Reundeu.
Terdapat beberapa jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat
untuk dijadikan sebagai obat. Jenis-jenis tersebut dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17 Jenis-jenis Tumbuhan yang Dimanfaatkan sebagai Obat oleh Masyarakat
No. Nama Lokal Nama Ilmiah Kegunaan
Persentase
Pemanfaat
(%)
1. Cangkore Dinochloa
scandens
Obat tetes mata 3,33
2. Pacing Costus
speciosus
Penawar racun bisa
ular, obat gatal, obat
tetes mata
3,33
3. Lumut kaso Saccharum
spontaneum
Obat demam 3,33
4. Ki kunti Ficus edelfeltii Obat mata, obat batuk, 10,00
5. Capituheur Mikania
odorata
Untuk mengobati luka 3,33
6. Nampong Eupatorium
odoratum
Untuk mengobati luka 3,33
7. Laja Catimbium
malaccensis
Mengurangi bengkak-
bengkak, untuk luka
bakar
3,33
8. Taleus Colocasia
esculenta
Obat batuk 3,33
9. Kapol Amomum
cardamomum
Obat batuk 3,33
10. Reundeu Staurogyne
elongata
Memperlancar buang
air kecil
3,33
11. Hariang Begonia
robusta
Obat untuk amandel
dan ginjal
3,33
12. Seuseureuhan* Piper aduncum Obat tetes mata 3,33
13. Kawung Arenga pinata Obat tetes mata 3,33
14. Tabat barito Ficus
deltoidea
Aprodisiak 3,33
15. Ki cantum n.a Diminum sebagai
tonik
3,33
16. Katutungkul Polygala
venenosa
Obat batuk 3,33
17. Ficus Ficus spp Obat penutup luka 3,33
18. Ki balik sumpah n.a. Obat mata 3,33 Keterangan * : Jenis tumbuhan eksotik
5. Tumbuhan penghasil buah
Di dalam dan sekitar kawasan terdapat jenis-jenis tumbuhan yang
menghasilkan buah. Masyarakat biasa mengambil dan memanfaatkannya untuk
konsumsi pribadi. Pengambilan buah dilakukan tidak sepanjang tahun akan tetapi
hanya dilakukan pada musim-musim tertentu saja. Jenis-jenis yang biasa mereka
ambil buahnya adalah canar, saninten, kalimorot, menteng, pinding, dan kupa.
Volume pengaambilan buah dari jenis tersebut hanya sedikit, menurut hasil
wawancara terhadap responden mereka hanya mengambil buah sebanyak satu
kantong plastik berukuran kecil.
6. Tumbuhan penghasil makanan
Beberapa jenis tumbuhan biasa digunakan masyarakat untuk makanan
seperti rendeu, poh-pohan dan pakis. Ketiga jenis tumbuhan tersebut biasa mereka
makan sebagai lalapan. Lalapan merupakan salah satu makanan yang biasa
dimakan oleh masyarakat etnis sunda. Masyarakat yang menjadi responden
banyak yang merupakan etnis sunda, sehingga mereka banyak memanfaatkan
jenis tumbuhan untuk dijadikan lalapan.
5.3.2.2. Hubungan karakteristik responden dengan tingkat pemanfaatan
SDA
Beberapa karakteristik responden yang terpilih dicari hubungannya dengan
persepsi masyarakat mengenai penggantian jenis tumbuhan eksotik, karakteristik
tersebut adalah umur, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, jumlah anggota rumah
tangga, waktu tempuh ke hutan, dan tingkat pemanfaatan SDA. Hubungan faktor
internal masyarakat dengan tingkat persepsi dapat diketahui dengan melakukan
Uji Korelasi Peringkat Spearman. Hasil penelitian tentang hubungan faktor
internal responden dengan tingkat persepsi, serta hasil analisis korelasinya dapat
dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18 Hubungan Faktor Internal Responden dengan Tingkat Pemanfaatan SDA
No. Faktor Internal Responden
Tingkat Persepsi
Nilai Probabilitas
(Uji Dua Pihak)
Nilai Koefisien
Korelasi (rs)
1.
Umur
0,091
0,314
2. Pendidikan 0,504 0,127
3. Pekerjaan 0,001 0,586**
4. Jumlah anggota rumahtangga 0,786 0,052
5. Waktu tempuh ke hutan 1,000 0,000
6. Tingkat Pemanfaatan SDA 0,305 0,194
Keterangan ** : Correlation is significant at the .01 level (2-tailed)
Hasil dari uji korelasi Spearman dapat dilihat bahwa faktor internal yang
berhubungan dengan tingkat persepsi masyarakat adalah pekerjaan. Faktor yang
mempunyai nilai hasil uji korelasi peringkat Spearman yang paling besar dan
bernilai positif yaitu pekerjaan sebesar 0,586 yang menunjukkan adanya
hubungan yang substansial antara pekerjaan dengan persepsi (Young 1982) dalam
(Sulaiman 2003). Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat pekerjaan
responden maka semakin baik tingkat persepsinya. Seseorang yang mempunyai
pekerjaan tinggi hampir dipastikan mempunyai pengetahuan dan pengalaman
yang cukup memadai mengenai sesuatu hal terutama yang berkaitan dengan
profesinya.
Faktor umur memiliki korelasi yang rendah terhadap persepsi masyarakat.
Hal ini dikarenakan faktor umur tidak mewakili variabel serta tidak adanya gap
yang signifikan, sehingga faktor umur tersebut dalam penelitian ini tidak
mempengaruhi persepsi yang terbentuk. Faktor internal lainnya yaitu pendidikan,
jumlah anggota rumahtangga, waktu tempuh ke hutan dan tingkat pemanfaatan
SDA mempunyai nilai koefisien korelasi kurang dari 0,20 yang berarti dapat
diabaikan (Sulaiman 2003).
Menurut Lockard (1977) dalam Tampang (1999), persepsi dipengaruhi
dari variabel-variabel yang berkombinasi satu dengan lainnya, yaitu : (1)
pengalaman masa lalu, apa yang pernah dialami; (2) indoktinasi budaya,
bagaimana menerjemahkan apa yang dialami; (3) sikap pemahaman, apa yang
diharapkan dan apa yang dimaksud dari hal tersebut. Persepsi dipengaruhi oleh
faktor-faktor intern yang ada dalam individu tersebut. Bakat, minat, kemauan,
perasaan, fantasi, kebutuhan, motivasi, jenis kelamin, umur, kepribadian,
kebiasaan dan lain-lain serta sifat lain yang khas dimiliki oleh seseorang termasuk
pengetahuan. Persepsi juga dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan sosial
ekonomi seperti pendidikan, lingkungan tempat tinggal, suku bangsa dan lain-lain.
Jadi menurut Lockard (1977) dalam Tampang (1999) bahwa umur dan
pendidikan harusnya mempengaruhi persepsi, akan tetapi dalam penelitian ini
umur responden tidak mewakili variabel umur, karena umur responden berada
pada kisaran umur yang sudah mempunyai persepsi yang sama dan pemikiran
yang sama. Pada faktor pendidikan responden tidak ada gap yang signifikan.
5.3.3. Persepsi masyarakat
Persepsi masyarakat dalam penelitian ini digolongkan menjadi tiga
kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Dari hasil wawancara diketahui bahwa
persepsi masyarakat menyebar secara merata ke dalam tiga kategori tersebut.
Sebaran persepsi masyarakat dapat dilihat pada Gambar 9.
33.33% 33.33% 33.33%
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
Pers
en
tase (
%)
Rendah Sedang Tinggi
Tingkat Persepsi
Gambar 9 Sebaran Persepsi Responden terhadap Penggantian Jenis
Tumbuhan Eksotik.
Masing-masing responden mempunyai tingkat pengetahuan yang berbeda
mengenai jenis tumbuhan eksotik, sehingga tingkat persepsi yang dimiliki
beranekaragam. Berdasarkan pengamatan di lapangan faktor utama yang
menyebabkan tingkat persepsi responden berbeda-beda yaitu interaksi responden
terhadap jenis tumbuhan eksotik. Pada umumnya responden yang mempunyai
persepsi tinggi mempunyai tingkat interaksi yang sering dengan jenis tumbuhan
eksotik, seperti pemanfaatan terhadap jenis tersebut. Sebaliknya responden yang
mempunyai tingkat persepsi yang rendah, tingkat interaksi dengan jenis tumbuhan
eksotik tidak terlalu sering.
Berdasarkan hasil wawancara mengenai jenis tumbuhan eksotik terhadap
30 orang responden, sebanyak 73,33% mengetahui mengenai jenis tumbuhan
eksotik dan 26,67% menyatakan tidak mengetahui mengenai jenis tumbuhan
eksotik. Responden yang menyatakan tidak mengetahui jenis tumbuhan eksotik
hampir sebagian besar merupakan responden yang tingkat pemanfaatan terhadap
SDA tergolong rendah. Tingkat pemanfaatan terhadap SDA sedikit banyak dapat
berpengaruh terhadap pengetahuan masyarakat mengenai sumberdaya alam yang
ada didalam kawasan. Rendahnya tingkat pemanfaatan akan SDA
mengindikasikan bahwa kurangnya interaksi terhadap kawasan. Sehingga mereka
kurang mengetahui mengenai keberadaan jenis tumbuhan eksotik yang berada
didalam kawasan.
Responden yang mengetahui mengenai keberadaan jenis tumbuhan eksotik
di dalam kawasan merupakan responden yang tingkat pemanfaatan SDA
tergolong sedang sampai tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa interaksi mereka
terhadap kawasan dan SDA cukup tinggi, sehingga mereka banyak mengetahui
mengenai jenis tumbuhan eksotik yang berada di dalam kawasan. Menurut
pengetahuan responden, terdapat 24 jenis tumbuhan eksotik yang berada di dalam
mapun sekitar kawasan. Jenis tumbuhan eksotik menurut pengetahuan masyarakat
disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Jenis Tumbuhah Eksotik Menurut Pengetahuan Masyarakat di Stasiun
Penelitian Cikaniki dan Lahan Masyarakat
No. Nama lokal Nama ilmiah Persentase Pengetahuan (%)
1. Kaliandra Calliandra calothyrsus 50,00
2. Manglid Magnolia Blumei 4,55
3. Sengon Paraserianthes falcataria 22,73
4. Kayu Afrika Maesopsis eminii 45,45
5. Nangka Artocarpus heterophyllus 31,82
6. Durian Durio zibethinus 13,64
7. Menteng Baccaurea racemosa 9,09
8. Kopi dengkung Polynema integrifolia 4,55
9. Manggu Garcinia mangostana 9,09
10. Rambutan Nephelium sp 4,55
11. Petai Parkia speciosa 4,55
12. Salak Salacca edulis 4,55
13. Limus Magifera foetida 4,55
14. Jambu Syzygium aqueum 4,55
15. Pinus Pinus merkusii 31,82
16. Honje Nikolaia sp 4,55
17. Kamper Cinnamomum camphora 4,55
18. Kupa Eugenia polycephala 4,55
19. Jengkol Pithecelobium jiringa 4,55
20. Jati Tectona grandis 4,55
21. Tepus Amomum coccineum 4,55
22. Reundeu Staurogyne elongata 4,55
23. Harendong bulu Clidemia hirta 4,55
24. Suren Toona sureni 4,55
Diketahui bahwa kaliandra merupakan jenis tumbuhan eksotik yang paling
banyak diketahui oleh masyarakat yang menjadi responden. Jenis lainnya yang
banyak diketahui yaitu kayu afrika, pinus, nangka, sengon, dan durian, sedangkan
jenis lainnya hanya beberapa responden saja yang mengetahui. Pada umumnya
mereka mengetahui jenis tumbuhan eksotik dari banyaknya interaksi dengan
kawasan dan SDA tersebut. Jenis-jenis tumbuhan eksotik yang diketahui oleh
mereka banyak yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti untuk kayu
bakar. Selain itu juga jenis-jenis tersebut banyak yang terdapat disekitar
pemukiman masyarakat dan juga ada beberapa jenis yang mereka budidayakan.
Masyarakat yang menjadi responden hampir semuanya menyatakan tidak
mengetahui mengenai dampak adanya jenis tumbuhan eksotik didalam kawasan.
Hanya satu orang yang mengetahui mengenai adanya dampak tumbuhan eksotik
terhadap kawasan. Responden tersebut menyatakan bahwa dengan adanya jenis
tumbuhan eksotik di dalam kawasan maka akan mengakibatkan rusaknya
ekosistem hutan.
Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai dampak adanya jenis
tumbuhan eksotik di dalam kawasan dikarenakan tingkat pendidikan mereka yang
tergolong rendah dan kurangnya sosialisasi dari pihak pengelola mengenai jenis
tumbuhan eksotik. Pengetahuan akan jenis eksotik dan dampaknya sangat penting
untuk diketahui oleh masyarakat karena masyarakat merupakan salah satu agen
penyebar masuknya jenis tumbuhan eksotik ke dalam kawasan. Jika mereka telah
mengetahui mengenai dampak yang akan ditimbulkan dengan masuknya jenis
tumbuhan eksotik ke dalam kawasan maka mereka akan berhati-hati terhadap
jenis-jenis tumbuhan asing yang mereka manfaatkan atau gunakan.
Masyarakat yang menjadi responden sebanyak 53,33% menyatakan
persetujuan jika dilakukan penggantian jenis tumbuhan eksotik dengan jenis
tumbuhan asli. Sedangkan selebihnya (46,67%) menyatakan tidak setuju jika
dilakukan penggantian jenis tumbuhan tersebut.
Masing-masing responden mempunyai alasan tertentu menyetujui dan
tidak menyetujui kegiatan penggantian jenis eksotik tersebut. Beberapa alasan
responden menyetujui penggantian jenis tumbuhan eksotik diantaranya adalah
untuk menjaga keaslian ekosistem, ada jenis eksotik yang merusak kesuburan
tanah seperti pinus, serta adanya ketakutan dari masyarakat untuk menebang
pohon tersebut jika pohon-pohon tersebut merupakan pohon jenis asli kawasan.
Sedangkan alasan responden tidak menyetujui penggantian jenis tumbuhan
eksotik tersebut diantaranya adalah beberapa jenis eksotik dimanfaatkan oleh
masyarakat seperti untuk kayu bakar serta ada jenis tumbuhan eksotik yang
dibudidayakan oleh mereka dan mereka mengambil bibitnya dari dalam kawasan
yaitu kayu afrika. Menurut pengakuan responden bibit kayu afrika dari dalam
kawasan lebih bagus dibandingkan dengan bibit yang mereka beli dipasaran.
5.4. Rekomendasi Penggantian Jenis
Introduksi jenis eksotik di Indonesia telah lama terjadi, baik disengaja
maupun tidak sengaja. Introduksi jenis asing tersebut dalam beberapa kasus telah
menimbulkan dampak yang cukup besar. Jenis asing berupa gulma jahat telah
menimbulkan kerugian yang cukup besar di sektor pertanian. Sementara itu ada
pula jenis asing yang berubah menjadi jenis yang dominan dan berkompetisi
dengan jenis lokal yang pada akhirnya mengganggu keberadan jenis lokal.
Dalam pengelolaan sumberdaya alam hayati untuk keseimbangan
ekosistem khususnya di kawasan Pelestarian Alam, salah satu kebijakan
pengelolaannya yaitu dengan mendatangkan atau memasukkan jenis-jenis eksotik
ke dalam kawasan pelestarian tersebut. Yang menjadi masalah pemasukan jenis-
jenis eksotik tersebut tidak melalui pertimbangan yang matang. Sehingga jenis-
jenis eksotik yang pada dasarnya memiliki dampak yang positif dan negatif
terhadap kawasan pelestarian baik dari sisi ekonomi, lingkungan dan sosial
keberadaanya sulit untuk dikendalikan, khususnya untuk jenis eksotik yang
mempunyai dampak negatif sebagai kompetitor dan penyebab terjadinya polusi
genetik. Bila tidak cepat dikendalikan jenis-jenis eksotik tersebut akan menginvasi
dan menjadi dominan, tumbuh dan berkembang yang pada akhirnya mengancam
kelestarian jenis-jenis flora dan fauna endemik serta keberadaan eksoisitem
kawasan pelestarian alam
TNGHS merupakan salah satu bentuk kawasan pelestarian alam, dimana
mengemban mandat untuk menjaga keaslian eksosistemnya. Oleh karena itu,
perlu adanya perhatian khusus terhadap keberadaan jenis eksotik sebelum
terjadinya dominasi dari jenis eksotik ini dan mengancam keberadaan eksositem
yang ada. Banyak aspek yang harus dipertimbangkan dalam melakukan
pengendalian jenis tumbuhan eksotik, diantaranya adalah aspek ekologi, ekonomi
dan manfaat dari jenis tumbuhan eksotik tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan TNGHS khususnya di
Stasiun Penelitian Cikaniki telah dimasuki oleh jenis tumbuhan eksotik yaitu
harendong bulu, ki rinyuh, kecubung, seseureuhan, dan kaliandra. Meskipun jenis-
jenis tersebut belum menginvasi kawasan perlu dilakukan tindakan pengelolaan
yang lebih dini sehingga kawasan tersebut tidak terinvasi oleh jenis tumbuhan
eksotik. Salah satu tindakan yang harus diambil adalah dengan melakukan
penggantian jenis tumbuhan eksotik dengan jenis asli agar kawasan tersebut dapat
terjaga keasliannya, seperti saninten (Castanopsis argentea), pasang (Lithocarpus
sp), Ficus spp, ki seueur (Antidesma sp), puspa (Schima wallichii), dan
harendong (Melastoma malabathricum).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penyebaran jenis-jenis
tumbuhan eksotik adalah mengelompok, hal ini akan lebih memudahkan dalam
melakukan pengelolaan terhadap jenis-jenis tersebut. Beberapa upaya yang dapat
dilakukan yaitu pemberantasan secara kimiawi dan pemberantasan secara fisik
(penebangan/pemotongan pohon, pencabutan pohon, dan pembongkaran pohon).
Dalam proses penggantian jenis tumbuhan eksotik, peran masyarakat tidak
dapat diabaikan. Oleh kerena itu pelibatan masyarakat sekitar perlu diperhatikan
dalam proses pengambilan kebijakan pengelolaan jenis tumbuhan eksotik
tersebut. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pekerjaan mempunyai korelasi
yang substansial dengan tingkat persepsi terhadap jenis tumbuhan eksotik, hal ini
dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam melakukan penggantian
jenis tumbuhan eksotik. Masyarakat yang sebagian besar merupakan petani dan
karyawan kebun dapat dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan tersebut.
Mereka banyak berinteraksi dengan kawasan dan sedikit banyak mengetahui
mengenai jenis tumbuhan eksotik.
Sebagian besar masyarakat mengetahui jenis tumbuhan eksotik, akan
tetapi tidak mengetahui dampak yang ditimbulkan jenis tumbuhan eksotik tersebut
terhadap kawasan konservasi. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya peningkatan
pengetahuan masyarakat terhadap jenis tumbuhan eksotik secara menyeluruh
seperti melalui penyuluhan. Agar masyarakat berhati-hati dalam melakukan
tindakan yang berhubungan dengan jenis tumbuhan eksotik, karena salah satu
agen penyebar masuknya jenis eksotik adalah manusia.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Jumlah jenis tumbuhan eksotik yang ditemukan di lokasi penelitian
sebanyak lima jenis, meliputi harendong bulu (Clidemia hirta), ki rinyuh
(Eupatorium pallescens), kecubung (Brugmansia suaveolens), kaliandra
(Calliandra calothyrsus), dan seuseureuhan (Piper aduncum). Penyebaran
jenis tumbuhan eksotik mengelompok.
2. Jenis tumbuhan eksotik yang dimanfaatkan oleh masyarakat diantaranya
adalah kaliandra (Calliandra calothyrsus), sesuseureuhan (Piper
aduncum), pinus (Pinus merkusii), ki rinyuh (Eupatorium pallescens), teh
(Camellia sinensis), sengon (Paraserianthes falcataria), dan kayu afrika
(Maesopsis eminii). Jenis-jenis tersebut dimanfaatkan untuk kayu bakar,
obat, dan pakan ternak
3. Persepsi masyarakat terhadap jenis tumbuhan eksotik menyebar secara
merata yaitu rendah (0-2), sedang (3-5) dan tinggi (6-8) sebesar 33,33%.
Masyarakat sebagian besar (53,33%) menyatakan setuju jika dilakukan
penggantian jenis tumbuhan eksotik.
6.2. Saran
1. Perlu dilakukan penggantian jenis tumbuhan eksotik dengan jenis
tumbuhan asli seperti saninten (Castanopsis argentea), pasang
(Lithocarpus sp), Ficus spp, ki seueur (Antidesma sp), puspa (Schima
wallichii), dan harendong (Melastoma malabathricum), agar kawasan
tersebut tetap terjaga keaslian ekosistemnya.
2. Pelibatan masyarakat dalam mengambil keputusan untuk pengelolaan jenis
tumbuhan eksotik sangat diperlukan karena masyarakat banyak
berinterkasi dengan jenis tumbuhan eksotik tersebut.
3. Peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap jenis tumbuhan eksotik
secara menyeluruh salah satunya melalui penyuluhan, agar masyarakat
dapat lebih berhati-hati dalam melakukan tindakan yang berhubungan
dengan jenis tumbuhan eksotik.
DAFTAR PUSTAKA
Backer CA. 1963. Flora of Java Vol I. N.V.P. Noordhoff Groningen The
Netherlands.
--------------. 1965. Flora of Java Vol II. N.V.P. Noordhoff Groningen The
Netherlands
--------------. 1968. Flora of Java Vol III. N.V.P. Noordhoff Groningen The
Netherlands
[BTNGHS] Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2007. Rencana
Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Periode 2007-2026.
Gunung Halimun-Salak National Park Management Project.
Daniel WW. 1989. Statistik Nonparametrik Terapan. Jakarta.
Desa Malasari. 2008. Data Monografi Desa Malasari. Bogor (tidak diterbitkan).
Ewusie JY. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Bandung : Penerbit ITB Bandung.
Girsang RE. 2006. Pemanfaatan Sumberdaya Hutan oleh Masyarakat Sekitar
Hutan Jati di BKPH Bancar, KPH Jatirogo, Perum Perhutani Unit II Jawa
Timur [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Gunawan W. 2004. Analisis Pengelolaan Koridor antara Kawasan Hutan Taman
Nasional Gunung Halimun Salak dengan Kawasan Hutan Lindung
Gunung Salak Berdasarkan Kondisi Masyarakat Sekitar [tesis]. Bogor:
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Harada K, Widada, Arief A.J. 2000. Taman Nasional Gunung Halimun:
Menyingkap Kabut Gunung Halimun. Biodiversity Conservation Project,
JICA – LIPI – PKA. Bogor.
Istomo. 1994. Hubungan antara Komposisi, Struktur dan Penyebaran Ramin
(Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz.) dengan Sifat-sifat Tanah Gambut
(Studi Kasus di Areal HPH PT Inhutani III, Kalimantan Tengah [tesis].
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Kependudukan dan Lingkungan Hidup. 1992.
Keanekaragaman Hayati.
Krebs, CJ. 1972. Ecology : The Experimental Analysis of Distribution and
Abundance. New York Evanston San Francisco London. Harper & Row
Publisher.
MacKinnon, J., K. MacKinnon, G. Child, dan J.Thorsell. 1993. Pengelolaan
Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Amir, HH., penerjemah.
Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : Managing
Protected Areas in The Tropics.
Mauludin UU. 1994. Persepsi Masyarakat Kotamadya Bogor terhadap Hutan Kota
di Wilayah Kotamadya Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor.
Odum, EP. 1971. Fundamental of Ecology. 3rd
Edition. W.B. Saunders.
Oosting, HJ. 1958. The Study of Plant Communities. San Francisco: W.H.
Freeman and Company.
Pasaribu, EN. 2002. Perubahan Komposisi dan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan
pada Daerah Tepi Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di
Resort Goalpara, Resort Cibodas, dan Resort Gedeh, Jawa Barat [skripsi].
Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Rosalia, N. 2008. Penyebaran dan Karakteristik Tempat Tumbuh Pohon Tembesu
(Fragraea fragrans Roxb.) (Studi Kasus di Kawasan Taman Nasional
Danau Sentarum Kapuas Hulu Kalimantan Barat) [tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sastroutomo, SS. 1990. Ekologi Gulma. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Soemarwoto, O. 1991. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangungan. Jakarta:
Penerbit Djambatan.
-------------------. 2001. Atur-Diri-Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press.
Soegianto A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Surabaya : Penerbit Usaha Nasional.
Soerianegara I dan Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium
Ekologi Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Sulaiman W. 2003. Statistik Non Parametrik Contoh Kasus dan Pemecahannya
dengan SPSS. Yogyakarta: ANDI.
Tampang. 1999. Persepsi Masyarakat terhadap Pencemaran Udara dan Kebisingan
Energi Diesel (Kasus Kabupetan Bogor) [tesis]. Bogor: Program Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Undang-undang No.5 Tahun 1994 tentang Konvensi Keanekaragaman Hayati.
Utomo B. 2006. Peran Seed Bank terhadap Regenerasi Hutan Kaitannya dengan
Invasi Tumbuhan Eksotik di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
[disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Widada, Mulyati S, dan Kobayashi H. 2006. Sekilas tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta: Ditjen PHK – JICA.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Indeks Nilai Penting pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan
No. Nama Lokal Nama Ilmiah Suku INP (%)
Semai Pancang Tiang Pohon
1. Acung leutik Arisaema filiformis Araceae 0,85
2. Andam Glechenia vulgaris Gleicheniaceae 1,74
3. Argostema Argostema sp Rubiaceae 2,73
4. Banjaran Calamagrostis australis Buese. Poaceae 1,07
5. Bareubeuy Myrsine hasseltii Myrsinaceae 3,62
6. Bengang Neesia altissima (Blume) Blume Bombaceae 4,29
7. Beunying Ficus hispida L. Moraceae 1,70 4,28 7,15
8. Beunying cai Ficus fistulosa Reinw. Moraceae 1,07 6,47 3,07
9. Bingbin Pinanga coronata (Blume ex Martelli) Blume Arecaceae 1,07
10. Bubukuan Strobilanthus filiformis Bl. Acantaceae 4,47 2,14
11. Buntiris Cyrtanda picta Gesneriaceae 4,82
12. Burununggul Bridelia minutiflora Euphorbiaceae 0,85 4,28 3,81 14,76
13. Candar leutik Smilax macrocarpa Smilacaceae 0,85
14. Cangkore Dinochloa scandens (Blume ex Nees) O. Kuntze Poaceae 3,97
15. Cariang Schismatoglottis rupestris Zollinger & Moritzi Araceae 16,27
16. Cau Leuweung Mussa acuminata Colla Musaceae 0,85
17. Cecengkehan Urophyllum arboreum Rubiaceae 0,85 8,56 6,66
18. Cempaka Michelia campaka Linn. Magnoliaceae 3,28
19. Ceremean Schefflera aromatica (Harms) Araliaceae 1,07
20. Ceuri Garcinia parvifolia (Miquel) Miquel Cluciaceae 2,14 4,97
21. Congkok Blumeodendron elateriospermum Euphorbiaceae 3,09
22. Darangdan Ficus sinuata Thunb. Moraceae 2,14
Lampiran 1. Indeks Nilai Penting pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan (lanjutan)
No. Nama Lokal Nama Ilmiah Suku INP (%)
Semai Pancang Tiang Pohon
23.
24.
25.
Etek / seureuh leutik
Ganitri
Gelam
Piper sulcatum
Elococarpus ganitrus
Syzygium sp
Piperaceae
Elaeocarpaceae
Myrtaceae
1,70
1,07
1,07
6,82
3,33
26. Gewor Commelina nudiflora Linn. Commelinaceae 4,03
27. Gompong Schfflera aromatica Araliaceae 7,55 4,79
28. Hamerang Ficus padana Burm. F. Moraceae 3,82
29. Hamirung Vernonia arborea Buch.Ham Asteraceae 0,85 5,35 17,13 13,64
30. Hanjawar Actinorhytis calapparia Wendl. & Drude 1,07
31. Hantap Stercullia rubiginosa Vent. Sterculiaceae 1,03
32. Harendong Melastoma malabathricum L. Melastomataceae 1,07
33. Harendong bulu Clidemia hirta (L.) D. Don. Melastomaceae 21,98
34. Hareueus Rubus rosaefolius J.E. Smith Malvaceae 0,85
35. Hariang Begonia robusta Begoniaceae 14,65
36. Haruman Pitchecolobium montanum Benth. Fabaceae 3,79
37. Hunyur buut Kadsura scandens (Blume) Blume Schisandraceaea 1,38
38. Huru Phoebe excelsa Ness. Lauraceae 1,07 4,87 24,26
39. Huru bako Tounefortia argenta Linn. Boraginaceae 3,99
40. Huru bengang Neesia altissima (Blume) Blume Bombacaceae 1,07
41. Huru bodas Litsea Sp Lauraceae 2,14 4,09
42. Huru gemlong Litsea diversifolia Bl. Lauraceae 1,07
43. Huru hejo Litsea elliptica Lauraceae 1,07
44. Huru Leueur Persea rimosa Lauraceae 1,07
Lampiran 1. Indeks Nilai Penting pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan (lanjutan)
No. Nama Lokal Nama Ilmiah Suku INP (%)
Semai Pancang Tiang Pohon
45.
46.
47.
48.
49.
Huru lunglum
Huru sintok
Ipis kulit
Jahe-jahean
Jejerukan
Litsea noronhoe Bl
Cinnamomum javanicum Blume
Descaspermum sp
Panicum repens Linn.
Aqui ilex
Lauraceae
Lauraceae
Myrtaceae
Poaceae
3,41
6,03
2,14
1,07
2,14
1,07
11,43
3,16
50. Jirak Symplocos javanica Roxb. Symplocaceae 6,42 3,48 3,24
51. Kacapi Sandoricum koetjape Meliaceae 1,07
52. Kakawatan Ischaemum timorense Kunth. Poaceae 3,29
53. Kali morot Castanopsis tunggurut Fagaceae 2,14 7,82
54. Kaliandra Calliandra calothyrsus Fabaceae 1,74 2,14 4,09
55. Kalincir Gynura sarmentosa DC. Asteraceae 0,85
56. Kanyere Bridellia minitiflora Euphorbiaceae 4,87 7,49
57. Karas tulang Turpinia montana (Blume) Kurz Staphyleaceae 2,23
58. Kawoyang Prunus arborea (Bl.) Kalkm. Rosaceae 2,56 6,42 4,55 4,46
59. Kecubung Brugmansia suaveolens Solanaceae 4,85 1,07
60. Kelapa ciung Horsfielda glabra Warb. Myristicaceae 6,70
61. Kenung Helicia robusta Proteaceae 1,07
62. Ki ajag Ardisia fuliginosa Bl. Myrsinaceae 5,35 3,69
63. Ki anak Castanopsis acuminatisima Fagaceae 0,85 1,07 7,35 13,74
64. Ki besi Lindera bibracteata (Nees) Boerl. Lauraceae 1,07
65. Ki bonteng Platea excelsa Icacinaceae 2,14 3,48 3,47
66. Ki careuh Alangium begonifolium Royo. Alangiaceae 1,07
67. Ki cengkeh Lasianthus sp Rubiaceae 3,21
Lampiran 1. Indeks Nilai Penting pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan (lanjutan)
No. Nama Lokal Nama Ilmiah Suku INP (%)
Semai Pancang Tiang Pohon
68. Ki ceuri Garcinia dioica BL. Cluciaceae 1,07
69. Ki dage Alangium sp Alangiaceae 1,07 6,19 17,68
71. Ki haji Dysoxilum Sp Meliaceae 2,14
72. Ki hiur Castanopsis javanica Fagaceae 8,80
73. Ki hujan Poliosma ilicifolia Bl. Saxifragaceae 3,21
76. Ki kopi Hypobathrum frutescens Rubiaceae 1,07
77. Ki kores Mycetia cauliflora Reinw. Rubiaceae 7,49
78. Ki leho Saurauia pendula Blume Actinidiaceae 8,21 2,14
79. Ki leho beureum Saurauia micrantha Bl. Actinidaceae 1,07
80. Ki mokla Knema cinerea Myristicaceae 2,14 7,51
81. Ki nangsi Villebrunea rubescens Blume Urticaceae 5,42
82. Ki pare Bridelia cauliflora Euphorbiaceae 7,70
83. Ki rinyuh Euphatorium pallescens DC. Astraceae 1,38
84. Ki sampang Euodia latifolia DC. Rutaceae 0,85 1,07 15,61 5,96
85. Ki serut Sterblus asper Lour. Moraceae 1,03
86. Ki seueur Antidesma tentrandum Euphorbiaceae 3,21 6,13
87. Ki sireum Syzygium lineatum (DC.) Merril & Perry Myrtaceae 0,85 3,16
88. Ki uncal Platycerium difurcatum C.Chr Polypodiaceae 2,14
89. Kokopian Lasianthus purchatus Rubiaceae 6,88 5,35 3,48
90. Kopi Coffea javanica Rubiaceae 5,17
91. Kopo Eugenia operculata Roxb. Myrtaceae 8,56 8,85 13,87
92. Lame areuy Alixia renwartiana Apocynaceae 2,41
Lampiran 1. Indeks Nilai Penting pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan (lanjutan)
No. Nama Lokal Nama Ilmiah Suku INP (%)
Semai Pancang Tiang Pohon
93. Leuleus Calamus asperrimus BL. Arecaceae 2,14 5,42
94. Lolo Anodendrum microstachyum Araceae 8,94
95. Maja Aegle marmelos Correa Rutaceae 1,07 6,51 6,25
96. Majahit Magnolia elegans (Bl.) King Magnoliaceae 1,07
97. Manggong Macaranga rhizinoides Euphorbiaceae 5,64
98. Mara Molutes sp Euphorbiaceae 1,70 12,83 7,16 5,87
99. Mara bodas Macaranga tanarius Euphorbiaceae 1,07
100. Marasi Curculigo latifolia Dryand. Hypoxidaceae 2,23
101. Nusa endah Mussaenda pubescens Rubiaceae 1,56
102. Pacar tere Impatiens platypetala Lindl. Balsaminaceae 1,03
103. Pakis Didimoclaena sp. Athyriaceae 0,85
104. Pakis beunyeur Diplazium esculentum (Retzius) Swartz Athyriaceae 0,85
105. Paku-pakuan Athyrium sp Athyriaceae 10,12
106. Palem-paleman Pinanga coronata Arecaceae 0,85
107. Pandan Pandanus sp Pandanaceae 0,85
108. Panggang Schefflera sp Araliaceae 0,85 2,14 6,14
109. Pasang Lithocarpus sp. Fagaceae 3,47 9,63 17,60 31,70
110. Pasang parengpeng Quersus oidocarpa Fagaceae 1,07
111. Patat Phrynium pubinerve Blume Maranthaceae 0,85
112. Pedes-pedesan Cinnamomum parthenoxylon Meissn. Lauraceae 0,85
113. Pulus Laportea stimulans Miquel Urticaceae 6,42
114. Puspa Schima wallichii (DC) Korth. Theaceae 0,85 3,21 12,75 13,73
Lampiran 1. Indeks Nilai Penting pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan (lanjutan)
No. Nama Lokal Nama Ilmiah Suku INP (%)
Semai Pancang Tiang Pohon
115. Ramo Kuya Argostema montanum Bl. Ex Dc. Rubiaceae 5,56
116. Rane Selaginella plana (Desv.) Hieron. Selaginelaceae 3,12
117. Rasamala Altingia excelsa Norhonha. Hammamelidaceae 1,07 9,25 28,24
118. Rawag Acalypha caturus BL. Euphorbiaceae 4,09
119. Rengas Melanochyla caesia Staphyleaceae 1,07 6,14
120. Renjung Aporosa microcalya Hassk. Euphorbiaceae 2,14
121. Rotan Calamus viminalis Arecaceae 8,94
122. Salam Syzygium polyantha Myrtaceae 1,07 4,39
123. Saninten Castanopsis argentea Fagaceae 3,21 27,72
124. Sauheun Panicum palmifolium Wild. Poaceae 2,23
125. Sereuh leuweung Piper baccatum Bl. Piperaceae 1,70
126. Seuhang Ficus fulva Reinw. Ex Blume Moraceae 1,07
127. Seuseureuhan Piper aduncum L. Piperaceae 1,07 5,55
128. Soka Ixora longituba (Mig) Boerl. Rubiaceae 2,14 5,64
129. Suji Dianella montana Bl. Dileniaceae 1,07 3,28
130. Sulangkar Leea indica (Burm. F) Merrill Leeaceae 0,85
131. Suren Toona sureni Meliaceae 1,07
132. Tali said Torrestia glabra Hassk. Commelidaceae 3,62
133. Tepus Amomum coccineum K.Schum. Zingiberaceae 1,03 3,21
134. Teureup Artocarpus elasticus Moraceae 2,14 7,52 3,85
135. Tokbray Blumeodendron tokbrai (Bl). Kurtz Euphorbiaceae 2,14 7,35
136. Walen Ficus ribes Rein.W. Moraceae 1,07
137. Wangkung Caryota mitis Arecaceae 1,07 3,47
Lampiran 2. Pola Penyebaran Tumbuhan pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan
No. Nama Lokal Nama Ilmiah Suku Pola Penyebaran
Semai Pancang Tiang Pohon
1. Acung leutik Arisaema filiformis Araceae Clumped
2. Andam Glechenia vulgaris Gleicheniaceae Clumped
3. Argostema Argostema sp Rubiaceae Clumped
4. Banjaran Calamagrostis australis Buese. Poaceae Clumped
5. Bareubeuy Myrsine hasseltii Myrsinaceae Clumped
6. Bengang Neesia altissima (Blume) Blume Bombaceae Clumped
7. Beunying Ficus hispida L. Moraceae Clumped Clumped -
8. Beunying cai Ficus fistulosa Reinw. Moraceae Clumped
9. Bingbin Pinanga coronata (Blume ex Martelli) Blume Arecaceae Clumped
10. Bubukuan Strobilanthus filiformis Bl. Acantaceae Clumped
11. Buntiris Cyrtanda picta Gesneriaceae Clumped
12. Burununggul Bridelia minutiflora Euphorbiaceae Clumped Clumped - -
13. Candar leutik Smilax macrocarpa Smilacaceae Clumped
14. Cangkore Dinochloa scandens (Blume ex Nees) O.
Kuntze
Poaceae Clumped
15. Cariang Schismatoglottis rupestris Zollinger & Moritzi Araceae Clumped
16. Cau Leuweung Mussa acuminata Colla Musaceae -
17. Cecengkehan Urophyllum arboreum Rubiaceae - Clumped - Clumped
18. Cempaka Michelia campaka Linn. Magnoliaceae Clumped
19. Ceremean Schefflera aromatica (Harms) Araliaceae -
20. Ceuri Garcinia parvifolia (Miquel) Miquel Cluciaceae Clumped
21. Congkok Blumeodendron elateriospermum Euphorbiaceae Clumped
22. Darangdan Ficus sinuata Thunb. Moraceae Clumped
Lampiran 2. Pola Penyebaran Tumbuhan pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan (lanjutan)
No. Nama Lokal Nama Ilmiah Suku Pola Penyebaran
Semai Pancang Tiang Pohon
23.
24.
25.
Etek / Seureuh leutik
Ganitri
Gelam
Piper sulcatum
Elococarpus ganitrus
Syzygium sp
Moraceae
Elaeocarpaceae
Myrtaceae
Clumped
Clumped
-
Clumped
Clumped
Clumped
26. Gewor Commelina nudiflora Linn. Commelinaceae - -
27. Gompong Schfflera aromatica Araliaceae Clumped Clumped Clumped -
28. Hamerang Ficus padana Burm. F. Moraceae Clumped Clumped Clumped -
29. Hamirung Vernonia arborea Buch.Ham Asteraceae Clumped
30. Hanjawar Actinorhytis calapparia Wendl. & Drude Clumped
31. Hantap Stercullia rubiginosa Vent. Sterculiaceae Clumped
32. Harendong Melastoma malabathricum L. Melastomataceae -
33. Harendong bulu Clidemia hirta (L.) D. Don. Melastomaceae -
34. Hareueus Rubus rosaefolius J.E. Smith Malvaceae Clumped Clumped
35. Hariang Begonia robusta Begoniaceae -
36. Haruman Pitchecolobium montanum Benth. Fabaceae Clumped Clumped Clumped
37. Hunyur buut Kadsura scandens (Blume) Blume Schisandraceaea Clumped Clumped
38. Huru Phoebe excelsa Ness. Lauraceae Clumped
39. Huru bako Tounefortia argenta Linn. Boraginaceae Clumped Clumped -
40. Huru bengang Neesia altissima (Blume) Blume Bombacaceae - Clumped -
41. Huru bodas Litsea Sp Lauraceae Clumped
42. Huru gemlong Litsea diversifolia Bl. Lauraceae -
43. Huru hejo Litsea elliptica Lauraceae Clumped
44. Huru Leueur Persea rimosa Lauraceae Clumped
45. Huru lunglum Litsea noronhoe Bl Lauraceae - Clumped Clumped Clumped
Lampiran 2. Pola Penyebaran Tumbuhan pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan (lanjutan)
No. Nama Lokal Nama Ilmiah Suku Pola Penyebaran
Semai Pancang Tiang Pohon
46.
47.
48.
Huru sintok
Ipis kulit
Jahe-jahean
Cinnamomum javanicum Blume
Descaspermum sp
Panicum repens Linn.
Lauraceae
Myrtaceae
Poaceae
-
-
Random
Clumped Clumped Clumped
49. Jejerukan Aqui ilex Clumped
50. Jirak Symplocos javanica Roxb. Symplocaceae Clumped
51. Kacapi Sandoricum koetjape Meliaceae -
52. Kakawatan Ischaemum timorense Kunth. Poaceae -
53. Kali morot Castanopsis tunggurut Fagaceae -
54. Kaliandra Calliandra calothyrsus Fabaceae -
55. Kalincir Gynura sarmentosa DC. Asteraceae -
56. Kanyere Bridellia minitiflora Euphorbiaceae - - Clumped Clumped
57. Karas tulang Turpinia montana (Blume) Kurz Staphyleaceae -
58. Kawoyang Prunus arborea (Bl.) Kalkm. Rosaceae - Clumped Clumped
59. Kecubung Brugmansia suaveolens Solanaceae Clumped
60. Kelapa ciung Horsfielda glabra Warb. Myristicaceae Clumped
61. Kenung Helicia robusta Proteaceae Clumped - -
62. Ki ajag Ardisia fuliginosa Bl. Myrsinaceae Clumped
63. Ki anak Castanopsis acuminatisima Fagaceae Clumped
64. Ki besi Lindera bibracteata (Nees) Boerl. Lauraceae Clumped Clumped
65. Ki bonteng Platea excelsa Icacinaceae Clumped
66. Ki careuh Alangium begonifolium Royo. Alangiaceae Clumped -
67. Ki cengkeh Lasianthus sp Rubiaceae -
68. Ki ceuri Garcinia dioica BL. Cluciaceae Clumped Clumped Clumped
Lampiran 2. Pola Penyebaran Tumbuhan pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan (lanjutan)
No. Nama Lokal Nama Ilmiah Suku Pola Penyebaran
Semai Pancang Tiang Pohon
69.
70.
71.
Ki dage
Ki endog
Ki haji
Alangium sp
Stemonurus secondiflorus
Dysoxilum Sp
Alangiaceae
Icacinaceae
Meliaceae
Clumped
-
Clumped
Clumped
-
72. KI hiur Castanopsis javanica Fagaceae -
73. Ki hujan Poliosma ilicifolia Bl. Saxifragaceae Clumped Clumped
74. Ki huut Aporosa fructescens Bl. Euphorbiaceae Clumped -
75. Ki kawat Garcinia rostrata Clusiaceae -
76. Ki kopi Hypobathrum frutescens Rubiaceae - -
77. Ki kores Mycetia cauliflora Reinw. Rubiaceae Clumped
78. Ki leho Saurauia pendula Blume Actinidiaceae -
79. Ki leho beureum Saurauia micrantha Bl. Actinidaceae - -
80. Ki mokla Knema cinerea Myristicaceae - -
81. Ki nangsi Villebrunea rubescens Blume Urticaceae -
82. Ki pare Bridelia cauliflora Euphorbiaceae -
83. Ki rinyuh Euphatorium pallescens DC. Astraceae -
84. Ki sampang Euodia latifolia DC. Rutaceae -
85. Ki serut Sterblus asper Lour. Moraceae - -
86. Ki seueur Antidesma tentrandum Euphorbiaceae -
87. Ki sireum Syzygium lineatum (DC.) Merril &
Perry
Myrtaceae Clumped
88. Ki uncal Platycerium difurcatum C.Chr Polypodiaceae Clumped
89. Kokopian Lasianthus purchatus Rubiaceae -
90. Kopi Coffea javanica Rubiaceae Clumped
91. Kopo Eugenia operculata Roxb. Myrtaceae Clumped Clumped
Lampiran 2. Pola Penyebaran Tumbuhan pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan (lanjutan)
No. Nama Lokal Nama Ilmiah Suku Pola Penyebaran
Semai Pancang Tiang Pohon
92.
93.
94.
Lame areuy
Leuleus
Lolo
Alixia renwartiana
Calamus asperrimus BL.
Anodendrum microstachyum
Apocynacea
Arecaceae
-
Clumped
-
95. Maja Aegle marmelos Correa Rutaceae Clumped
96. Majahit Magnolia elegans (Bl.) King Magnoliaceae -
97. Manggong Macaranga rhizinoides Euphorbiaceae Clumped Clumped
98. Mara Molutes sp Euphorbiaceae Clumped Clumped
99. Mara bodas Macaranga tanarius Euphorbiaceae - - Clumped
100. Marasi Curculigo latifolia Dryand. Hypoxidaceae -
101. Nusa endah Mussaenda pubescens Rubiaceae -
102. Pacar tere Impatiens platypetala Lindl. Balsaminaceae - -
103. Pakis Didimoclaena sp. Athyriaceae -
104. Pakis beunyeur Diplazium esculentum (Retzius)
Swartz
Athyriaceae - Clumped
105. Paku-pakuan Athyrium sp Athyriaceae Clumped Clumped -
106. Palem-paleman Pinanga coronata Arecaceae Clumped
107. Pandan Pandanus sp Pandanaceae Clumped
108. Panggang Schefflera sp Araliaceae Clumped
109. Pasang Lithocarpus sp. Fagaceae - Clumped Clumped
110. Pasang parengpeng Quersus oidocarpa Fagaceae -
111. Patat Phrynium pubinerve Blume Maranthaceae Clumped
112. Pedes-pedesan Cinnamomum parthenoxylon Meissn. Lauraceae - - -
113. Pulus Laportea stimulans Miquel Urticaceae Clumped -
114. Puspa Schima wallichii (DC) Korth. Theaceae -
Lampiran 2. Pola Penyebaran Tumbuhan pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan (lanjutan)
No. Nama Lokal Nama Ilmiah Suku Pola Penyebaran
Semai Pancang Tiang Pohon
115.
116.
117.
Ramo kuya
Rane
Rasamala
Argostema montanum Bl.Ex DC.
Selaginella plana (Desv.) Hieron.
Altingia excelsa Norhonha.
Rubiaceae
Selaginelaceae
Hammamelidaceae
Clumped
Clumped
-
Clumped
Clumped
Clumped
118. Rawag Acalypha caturus BL. Euphorbiaceae Clumped -
119. Rengas Melanochyla caesia Staphyleaceae Clumped
120. Renjung Aporosa microcalya Hassk. Euphorbiaceae -
121. Rotan Calamus viminalis Arecaceae -
122. Salam Syzygium polyantha Myrtaceae -
123. Saninten Castanopsis argentea Fagaceae -
124. Sauheun Panicum palmifolium Wild. Poaceae -
125. Sereuh leuweung Piper baccatum Bl. Piperaceae -
126. Seuhang Ficus fulva Reinw. Ex Blume Moraceae -
127. Seuseureuhan Piper aduncum L. Piperaceae -
128. Soka Ixora longituba (Mig) Boerl. Rubiaceae -
129. Suji Dianella montana Bl. Dileniaceae -
130. Sulangkar Leea indica (Burm. F) Merrill Leeaceae Clumped
131. Suren Toona sureni Meliaceae -
132. Tali said Torrestia glabra Hassk. Commelidaceae -
133. Tepus Amomum coccineum K.Schum. Zingiberaceae Clumped -
134. Teureup Artocarpus elasticus Moraceae -
135. Tokbray Blumeodendron tokbrai (Bl). Kurtz Euphorbiaceae -
136. Walen Ficus ribes Rein.W. Moraceae Clumped
137. Wangkung Caryota mitis Arecaceae Clumped
Lampiran 3. Kuisioner Pemanfaatan SDA untuk Pengumpulan Data dalam
Penelitian Studi Penyebaran Jenis Tumbuhan Eksotik dan Persepsi
Masyarakat terhadap Penggantiannya di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (Studi Kasus di Stasiun Penelitian Cikaniki)
A. Data Responden
1. Kode responden :
2. Nama :
3. Jenis Kelamin :
4. Umur :
5. Jumlah anggota rumahtangga (orang tua + anak + lainnya) :
6. Pendidikan Formal Terakhir :Tidak sekolah/SD/SMP/SMA/Perguruan Tinggi
7. Keanggotaan dalam Organisasi Kemasyarakatan :
a. Ya
a.1. Nama Organisasi :
a.2. Jabatan :
b. Tidak
8. Pekerjaan Pokok :
9. Pekerjaan Sampingan :
10. Waktu tempuh ke hutan :
11. Asal Daerah :
B. Kegiatan Pemanfaatan SDA di Stasiun Penelitian Cikaniki oleh Masyarakat
Sekitar
1. Apakah Bapak/Ibu pernah memasuki hutan Cikaniki ?
a. Ya
b. Tidak
2. Berapa kali dalam sebulan Bapak/Ibu memasuki kawasan hutan Cikaniki?
a. 1 kali
b. 4 kali
c. 8 kali
d. Lebih dari 8 kali
3. Kegiatan apa yang Bapak/ibu lakukan di sana ?
a. Melintas untuk berkunjung ke desa lain
b. Berekreasi/melihat pemandangan alam
c. Mengambil SDA yang terapat di hutan Cikaniki
4. SDA apa saja yang Bapak/Ibu manfaatkan hutan tersebut?
No Jenis SDA Nama
Jenis
Jumlah
Setiap Ambil
Frekuensi
Ambil
Cara
Ambil
Kegunaan Dijual/digu
nakan Sendiri
Harga
per unit
Tempat
jual
1 Kayu
2 Tumbuhan
obat
3 Bambu
4 Tumbuhan
penghasil
pangan
5 Tumbuhan
penghasil
buah
6 Rotan 7 Rumput
pakan ternak
8 Kayu
bangunan
9
10
5. Apa kompensasi yang Bapak/Ibu inginkan, seandainya kegiatan pemanfaatan
SDA dilarang?
a. Disediakan lokasi khusus di luar hutan untuk melakukan kegiatan
budidaya terhadap jenis-jenis SDA yang bisa dimanfaatkan
b. Disediakan lapangan pekerjaan lain untuk mengalihkan kegiatan
pemanfaatan SDA
c. Disediakan barang pengganti terhadap jenis-jenis SDA yang bisa
dimanfaatkan
d. Tidak ingin apa-apa
e. Tidak tahu
f. Lainnya, sebutkan …………………………………………………………
6. Apakah jenis-jenis SDA yang dimanfaatkan tersebut ada yang
ditanam/dibudidayakan oleh BapakIbu di kebun/pekarangan?
a. Ya
b. Tidak
7. Jenis-jenis SDA apa saja yang ditanam/dibudidayakan di kebun/pekarangan?
a. ……………….
b. ……………….
c. ……………….
d. ……………….
8. Apakah pada saat Bapak/Ibu melakukan kegiatan di hutan Cikaniki pernah
berjumpa dengan petugas kehutanan ?
a. Ya
b. Tidak (lanjutkan ke pertanyaan nomor 10)
9. Apa yang dilakukan petugas kehutanan tersebut terhadap Bapak/Ibu ketika
berjumpa di hutan Cikaniki ?
a. Menyapa Bapak/Ibu
b. Menanyakan tujuan dan kegiatan yang Bapak/Ibu lakukan di hutan
Cikaniki
c. Menanyakan surat ijin masuk ke hutan Cikaniki
d. Melarang Bapak/Ibu melakukan kegiatan di hutan Cikaniki
e. Memberikan penyuluhan kepada Bapak/Ibu tentang pelestarian hutan
Cikaniki
f. Lainnya, sebutkan …………………………………………………………
10.Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu terhadap petugas kehutanan dalam
menjalankan tugasnya ?
a. Petugas kehutanan sebaiknya melakukan sosialisasi mengenai peraturan
yang berlaku berkaitan dengan keberadaan hutan Cikaniki
b. Petugas kehutanan harus tegas dalam menjalankan tugasnya
c. Petugas kehutanan harus rutin melakukan patroli di hutan Cikaniki
d. Petugas kehutanan sebaiknya memperbolehkan kegiatan pemanfaatan
SDA di hutan Cikaniki.
e. Lainnya, sebutkan …………………………………………………………
Lampiran 4. Kuisioner Persepsi Masyarakat untuk Pengumpulan Data dalam
Penelitian Studi Penyebaran Jenis Tumbuhan Eksotik dan Persepsi
Masyarakat terhadap Penggantiannya di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (Studi Kasus di Stasiun Penelitian Cikaniki)
A. Data Responden
1. Kode responden :
2. Nama :
3. Jenis Kelamin :
4. Umur :
5. Jumlah anggota rumahtangga (orang tua + anak + lainnya) :
6. Pendidikan Formal Terakhir :Tidak sekolah/SD/SMP/SMA/Perguruan Tinggi
7. Keanggotaan dalam Organisasi Kemasyarakatan :
a. Ya
a.1. Nama Organisasi :
a.2. Jabatan :
b. Tidak
8. Pekerjaan Pokok :
9. Pekerjaan Sampingan :
10. Waktu tempuh ke hutan :
11. Asal Daerah :
B. Persepsi Masyarakat terhadap Rencana Penggantian Jenis Tumbuhan
Eksotik di Stasiun Penelitian Cikaniki
1. Apakah Bapak/Ibu mengetahui mengenai jenis tumbuhan eksotik (jenis
tumbuhan yang berasal dari luar hutan Cikaniki)?
a. Ya
b. Tidak
2. Jenis tumbuhan apa saja yang Bapak/Ibu ketahui ?
a. ……………….
b. ……………….
c. ……………….
d. ……………….
3. Apakah Bapak/Ibu mengetahui dampak adanya jenis tumbuhan eksotik (jenis
tumbuhan yang berasal dari luar hutan Cikaniki) terhadap kawasan TNGHS?
a. Ya
b. Tidak
4. Jika ya, sebutkan ………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………….
5. Dari mana Bapak/Ibu mengetahuinya?
a. Petugas kehutanan e. Tokoh masyarakat
b. Kader konservasi f. Teman
c. Aparat desa g. Saudara
d. Tokoh Masyarakat h. Lainnya,……………………..
6. Apakah Bapak/Ibu setuju jika akan dilakukan rencana penggantian jenis
tumbuhan eksotik (jenis tumbuhan yang berasal dari luar hutan Cikaniki)?
a. Ya
b. Tidak
7. Sebutkan alasannya, …………………………………………………………...
…………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………….
8. Apakah Bapak/Ibu bersedia terlibat dalam kegiatan rencana penggantian jenis
tumbuhan eksotik?
a. Ya
b. Tidak
9. Sebutkan alasannya, …………………………………………………………...
…………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………….
10. Menurut Bapak/Ibu jika dilakukan kegiatan penggantian jenis tumbuhan
eksotik, permasalahan/kendala apa yang akan dihadapi ?
…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………….
11. Harapan Bapak/Ibu terhadap rencana kegiatan penggantian jenis tumbuhan
eksotik…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………….
12. Menurut Bapak/Ibu dampak apa yang akan ditimbulkan jika rencana kegiatan
penggantian jenis tumbuhan eksotik ini dilaksanakan ?
…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………….
Lampiran 5. Sistem Skor untuk Karakteristik Rumahtangga Masyarakat
No Pertanyaan Jawaban Skor
1 Umur Responden Umur 19 – 33
Umur 34 – 48
Umur 49 – 64
1
2
3
2 Pekerjaan Buruh
Petani & pekerja perkebunan
Pedagang
1
2
3
3 Pendidikan Tidak sekolah – Tamat SD
SMP – Tamat SMP
SMA – Tamat SMA
1
2
3
4 Pendapatan Rp 200.000 – Rp 923.333
Rp 924.000 – Rp 1.647.333
> Rp 1.648.000
1
2
3
5 Jumlah Anggota Rumahtangga Kecil (2 – 3 )
Sedang (4 – 5)
Besar (6 – 7)
1
2
3
6 Waktu tempuh ke hutan Dekat (< 30 menit)
Sedang (30 – 60 menit)
Jauh (> 60 menit)
1
2
3
Lampiran 6. Sistem Skor Untuk Penilaian Pemanfaatan SDA di Hutan Cikaniki oleh Masyarakat
No Pertanyaan Berkaitan dengan Pemanfaatan SDA Jawaban Skor
1 Frekuensi ke hutan Cikaniki a. Sering (≥ 2 kali sebulan)
b. Jarang (< 2 kali sebulan)
c. Tidak pernah
Jika jawaban a 2
Jika jawaban b 1
Jika jawaban c 0
2 Kegiatan yang dilakukan di hutan Cikaniki a. Mengambil SDA
b. Berekreasi/melihat pemandangan alam
c. Melintas untuk berkunjung ke desa lain
Jika jawaban a + b + c 3
Jika hanya 2 antara a,b,c 2
Jika hanya 1 antara a,b,c 1
3 Jumlah jenis SDA yang diambil dari hutan Cikaniki a. > 3 jenis
b. 3 jenis
c. 2 jenis
d. 1 jenis
Jika jawaban a 4
Jika jawaban b 3
Jika jawaban c 2
Jika jawaban d 1
4 Jumlah kayu bakar yang diambil per bulan dari hutan
Cikaniki
a. ≥ 4 pikul
b. 3 pikul
c. 2 pikul
d. 1 pikul
e. Tidak ada
Jika jawaban a 4
Jika jawaban b 3
Jika jawaban c 2
Jika jawaban d 1
Jika jawaban e 0
5 Jumlah rumput yang diambil per bulan dari hutan Cikaniki a. ≥ 30 ikat
b. 12 – 29 ikat
c. < 12 ikat
d. Tidak ada
Jika jawaban a 3
Jika jawaban b 2
Jika jawaban c 1
Jika jawaban d 0
6 Jumlah kayu bangunan yang diambil per tahun dari hutan
Cikaniki
a. ≥ 12 batang
b. 2- 11 batang
c. < 2 batang
d. Tidak ada
Jika jawaban a 3
Jika jawaban b 2
Jika jawaban c 1
Jika jawaban d 0
7 Jumlah jenis tumbuhan obat yang diambil dari hutan Cikaniki a. 3 jenis
b. 2 jenis
c. 1 jenis
d. Tidak ada
Jika jawaban a 3
Jika jawaban b 2
Jika jawaban c 1
Jika jawaban d 0
8 Jumlah bambu yang diambil per tahun dari hutan Cikaniki a. ≥ 12 batang Jika jawaban a 3
b. 2- 11 batang
c. < 2 batang
d. Tidak ada
Jika jawaban b 2
Jika jawaban c 1
Jika jawaban d 0
9 Jumlah jenis SDA dari hutan Cikaniki yang
ditanam/dibudidayakan di kebun/pekarangan
a. ≥ 2 jenis
b. 1 jenis
c. Tidak ada
Jika jawaban a 2
Jika jawaban b 1
Jika jawaban c 0
N max = 27
N min = 0
P = 9
Tingkat pemanfaatan Kisaran Skor Nilai
Rendah 0 – 8
Sedang 9 – 17
Tinggi 18 - 27
Lampiran 7. Hasil Uji Korelasi Spearman
Correlations
1.000 -.001 .250 -.088 .009 -.308 -.341 .194
. .998 .182 .644 .962 .098 .065 .305
30 30 30 30 30 30 30 30
-.001 1.000 .624** -.009 .106 .115 .036 .314
.998 . .000 .964 .576 .545 .852 .091
30 30 30 30 30 30 30 30
.250 .624** 1.000 -.240 -.261 -.070 -.034 .052
.182 .000 . .202 .163 .712 .860 .786
30 30 30 30 30 30 30 30
-.088 -.009 -.240 1.000 .491** .234 -.317 .127
.644 .964 .202 . .006 .213 .088 .504
30 30 30 30 30 30 30 30
.009 .106 -.261 .491** 1.000 .299 -.157 .586**
.962 .576 .163 .006 . .109 .407 .001
30 30 30 30 30 30 30 30
-.308 .115 -.070 .234 .299 1.000 .062 .408*
.098 .545 .712 .213 .109 . .746 .025
30 30 30 30 30 30 30 30
-.341 .036 -.034 -.317 -.157 .062 1.000 .000
.065 .852 .860 .088 .407 .746 . 1.000
30 30 30 30 30 30 30 30
.194 .314 .052 .127 .586** .408* .000 1.000
.305 .091 .786 .504 .001 .025 1.000 .
30 30 30 30 30 30 30 30
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
SDA
UMUR
JUMLAH
PENDIKN
PEKERJAN
PENGHSLN
WAKTU
PERSEPSI
Spearman's rho
SDA UMUR JUMLAH PENDIKN PEKERJAN PENGHSLN WAKTU PERSEPSI
Correlation is significant at the .01 level (2-tailed).**.
Correlation is significant at the .05 level (2-tailed).*.