STUDI KOMPARASI KONSEP PENDIDIKAN ISLAM AL...
-
Upload
nguyendung -
Category
Documents
-
view
224 -
download
0
Transcript of STUDI KOMPARASI KONSEP PENDIDIKAN ISLAM AL...
STUDI KOMPARASI KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
AL-GHAZALI DAN IBNU KHALDUN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh
AJI NADIYAH ZULIARTI
1110011000081
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
LEMBAR PEI\GESAHAN SI(RIPSI
STUDI KOMPARASI KONSEP PENDIDIKAN ISLAM AL.GHAZALI DANIBNU KHALDUN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Untuk MemenuhiSalah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I)
Oleh:
AJI NADIYAH ZULIARTI
NIM: 11100011000081
Menyetujui,
Pembimbing
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAMFAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA2015
Dr. H. MundziNIP. 19540707 1984 02 0001
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SI(RIPSI
Skripsi berjudul " Studi Kompanasi Konsep Pendidikan Islam Al-Ghazali dan
Ibnu Khaldun" yang disusun oleh Aji Nadiyah Zuliarti, NIM: 1110011000081,
Jurusan Pendidikan Agama Islam. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan
sahsebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqosah sesuai
ketentuan yang ditetapkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Maret 2015
Yang Mengesahkan,
DosenPembimbing
Dr. H. Mundzier Suparta. MA.
NIP.19540707 1984 02 0001
LEMBAR PENGESAHAN
Slcipsi bequdul "Studi Komparasi Konsep Pendidikan Islam Al-Ghazati dan
Ihnn Khalduu, disusun oleh Aji Nadiyah Zuliarli Nomor Induk Mahasiswa
111000111000081, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada
tanggal 5 Maret 2015 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak
memperoieh gelar sarjana sl {s.Fd.l) dalam bidang Fendidikax Agama Islam.
Jakarta, 5 Maret 2015
Panitia fljian Munaqasah
Ketn* Panitia (Ketu* JurusanlProgram St*di) Tanggal
Dr. H. Abdul Majid Khon. M. AgMP:19580707 1983 1 005
Sekretaris {Sekretaris Ju rusan/Prodi}
Hj. Marhamah Saleh. Lc. MAMP: 19720313 200801 2?rc
Penguji I
Drs. H. A. Basuni. M. AeMP: 19491126 197901 1001
Penguji II
Dr- Dimyati. M. AgMP: 196407A4 199303 I AA3
4r' , wt
MP: 195
UJI REFERENSI
Seluruh referensi yang digunakan dalam penelitian skripsi dengan judul "STUDI KOMPARASI
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM AL-GHAZALI DAN IBNU KHALDUN" yang disusun
oleh :
Nama
NIM
Jurusan
Fakultas
Angkatan
Aji NadiyahZuliafii
1 1 1001 1000081
Pendidikan Agama Islam
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
20t0
Telah diuji kebenarannya oleh dosen pembimbing pada tanggal 13 Februari 2015.
Jakarta, 13 Februari 2015
Pembimbing
NrP. 19540707 t984 02 0001
IV
SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama
Tempat/Tgl. Lahir
NIM
Jurusan
JudulSkripsi
: Aji Nadiyah Zl.iliarti
: Jakarta, 31 Juli'1992
:1110011000081
: Pendidikan Agama Islam
:
Studi Komparasi Konsep Pendidikan Islam Al-Ghazali dan
Ibau Khaldun
: Dr. H. Mundzier Suparta, MA.DosenPembimbing
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya
sendiri dan saya be*anggung jawab secara aksdemis atas apa yang saya tulis.
Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
Jakarta,
Yang Menyatakan
Aji Nadiyah Zuliarti
NrM 1110011000081
v
ABSTRAK
Aji Nadiyah Zuliarti (1110011000081)
Studi Komparasi Konsep Pendidikan Islam Ibnu Khaldun dan Al-Ghazali
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan konsep pendidikan
Islam Ibnu Khaldun dan Al-Ghazali secara mendalam dan mengkomparasikan
pemikiran pendidikan keduanya serta menemukan persamaan dan perbedaan konsep
pendidikan dari Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode library
research.Dalam penelitian library research ini yang dijadikan objek ialah literatur-
literatur yang berkaitan dengan pemikiran pendidikan Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun
serta konsep pendidikan Islam pada umumnya . Adapun sumber objek penelitian
tersebut adalah dokumen tertulis, baik berupa buku primer dari kedua tokoh yakni
Ihya Ulumuddin dan Muqaddimah Ibnu Khaldun, buku-buku yang berkaitan dengan
pembahasan konsep pendidikan kedua tokoh,kamus, internet dan lain-lain.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah konsep pendidikan Al-Ghazali
beranggapan bahwa seorang anak tumbuh dan berkembang tergantung orang yang
mendidiknya serta lingkungan yang membentuk anak tersebut. Konsep pendidikan
Ibnu Khaldun menyatakan seseorang terbentuk bukan dari nenek moyangnya,
melainkan terbentuk berdasarkan lingkungan sosial, alam dan adat-istiadat. Keduanya
memiliki persamaan yakni sama-sama berpaham empiris dan mengutamakan
keteladanan guru sebagai metode pendidikan serta syarat sebagai seorang pendidik.
Adapun perbedaannya adalah, secara keseluruhan Al-Ghazali lebih spesifik dalam
menerangkan tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan dan metode pendidikan
dibandingkan dengan Ibnu Khaldun.
vi
ABSTRACT
Comparative Study of Islamic Education Concepts
Ibn Khaldun and Al-Ghazali
The purpose of this study is to describe the concept of Islamic education Ibn
Khaldun and Al-Ghazali in depth and to compare the two educational thinking and
find similarities and differences in the concept of education of Al-Ghazali and Ibn
Khaldun.
The method used in this thesis is a method research.Dalam research library
research library is used as the object is literature related to educational thought Al-
Ghazali and Ibn Khaldun and the concept of Islamic education in general. The source
of the research object is a written document, either in the form of primary books of
both figures the Ihya Ulumuddin and Prolegomena of Ibn Khaldun, books related to
the discussion of the concept of education both figures, dictionaries, internet and
others.
The conclusion of this study is the concept of education Al-Ghazali thought
that a child grows and develops depending on the person and the environment that
shape educate the child. The concept of a person's education Ibn Khaldun states
formed instead of his ancestors, but are formed by the social environment, nature and
customs. Both have similarities which are equally sensible empirical and put
exemplary teachers as educational methods and requirements as an educator. The
difference is, on the whole Al-Ghazali more specific in explaining the purpose of
education, curriculum and methods of education compared to Ibn Khaldun.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Segala Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT
Yang telah memberikan segala kenikmatan, kesabaran, kekuatan, ketabahan serta
karunia dan rahmat-Nya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam
semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW beserta keluarga,
sahabat, dan pengikutnya.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan dari
berbagai pihak. Dengan ketulusan dan kerendahan hati, penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Bpk. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. SSDekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Marhamah Shaleh, Lc. MA Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. Khalimi, MA. Dosen pembimbing akademik yang senantiasa
memberikan saran dan masukan yang berarti dalam masalah akademik untuk
penulis.
5. Bapak Dr. H. Mundzier Suparta, MA. Dosen Pembimbing yang telah
membimbing, mendidik, memberikan saran dan motivasi, serta mengarahkan
penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh dosen Universitas Islam Negeri, Staff Perpustakaan Utama,
Perpustakaan FITK atas segala ilmu ikhlasnya, mendidik, memberi masukan,
bantuannya. Semoga apa yang telah diberikan menjadi keberkahan.
7. Kedua Orangtuaku tercinta, Bapak (Sukamto) dan Mamah (Jubaedah) yang
tak henti-hentinya memberikan dukungan, do’a, pengorbanan, perjuangan
serta semangat hingga dapat terselesaikannya skripsi ini.
viii
8. Adik-adikku tersayang, Wahid Ramadhan, Andika Tri Sucipto, Luthan
Maulana, dan Rif’at Hambali, yang telah memberikan semangat, dukungan,
beserta do’a.
9. Sahabat-sahabat kosan (masih) pelangi, Tiara Wenty Aulianda, Heni Lupita
Sari, Fauzia Hayatun Nufus, Nurdina Mecca Zathira, Uum Humairoh, Ulfah
Fauziyah, Liestiana Apriyani, Meylia Yuliandari, Novita Nurrahmi, Mary
Silvita, Disa Fajriah, Antik Natasha G Raila, terimakasih atas segala canda,
tawa, airmata, dukungan, dan mimpi-mimpi yang akan kita wujudkan
dikemudian hari. Thanks for everything, guys!
10. Sahabat setiaku, Sandra Devita Kusuma Ningsari dan Nur Fathiya
Herliyulyani, yang turut mendo’akan dan mendukung dalam penyelesaian
skripsi ini.
11. Orang-orang terkasih seperjuangan mengejar mimpi, Serli Widiyawati, Tiara
Syifa Fitria, Sofi Roziqoh, Siti Nuradillah Wahdah, Wilda Fizriyah, dan
seluruh keluarga besar P20AI serta kawan-kawanku di PAI angkatan 2010,
terimakasih atas dukungan dan bantuannya.
12. Dan kepada seluruh pihak yang pernah penulis kenal, yang tak bisa
disebutkan satu-persatu.
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat dan
dapat dijadikan masukan bagi guru PAI dan mahasiswa sebagai referensi untuk
penelitian selanjutnya.
Jakarta, 5 Maret 2015
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .......................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... ii
LEMBAR UJI REFRENSI ...................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................. v
ABSTRAK ................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ............................................................................... vii
DAFTAR ISI ............................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakangMasalah ........................................................ 1
B. IdentifikasiMasalahPembatasanMasalah. ............................ 5
C. PerumusanMasalah .............................................................. 5
D. TujuandanManfaatPenelitian ............................................... 6
BAB II KAJIAN TEORI
A. PengertianPendidikan Islam ................................................ 7
B. KonsepdanRuangLingkupPendidikan Islam ....................... 10
1. PengertianKonsepPendidikan Islam ............................... 10
2. RuangLingkupPendidikan Isla ........................................ 12
a. TujuanPendidikan Islam .......................................... 13
b. KurikulumPendidikan Islam .................................... 16
c. MetodePendidikan Islam ......................................... 17
C. Hasil Penelitian Yang Relevan ........................................... 19
x
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. ObyekdanWaktuPenelitian .................................................. 21
1. ObyekPenelitian .............................................................. 21
2. WaktuPenelitian .............................................................. 21
B. MetodePenulisan ................................................................. 22
C. FokusPenelitian ................................................................... 22
D. ProsedurPenelitian ............................................................... 22
1. PendekatanPenelitian .................................................... 22
2. InstrumenPenelitian ...................................................... 23
3. TeknikPengumpulan data ............................................. 23
4. TeknikAnalisis Data ..................................................... 24
BAB IV TEMUAN PENELITIAN
A. TemuanHasilAnilisis Deskriptif ......................................... 25
1. Al-Ghazali .................................................................... 25
a. Biografi .................................................................... 25
b. Konsep Pendidikan .................................................. 27
2. IbnuKhaldun ................................................................. 40
a. Biografi .................................................................... 40
b. Konsep ..................................................................... 41
B. Temuan Hasil Anilisis Komparatif ...................................... 51
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 59
B. Saran .................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 60
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut Islam pendidikan adalah pemberi corak hitam putihnya perjalanan
hidup seseorang. Oleh karena itu ajaran Islam menetapkan bahwa pendidikan
merupakan salah satu kegiatan yang wajib hukumnya bagi pria dan wanita, dan
berlangsung seumur hidup. Kedudukan tersebut secara tidak langsung telah
menempatkan pendidikan sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan hidup dan
kehidupan umat manusia.1
Dalam pengertian yang sederhana dan umum makna pendidikan sebagai usaha
manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik
jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan
kebudayaan. Usaha-usaha yang dilakukan untuk menananmkan nilai-nilai dan norma-
norma tersebut serta mewariskannya kepada generasi berikutnya untuk
dikembangkan dalam hidup dan kehidupan yang terjadi dalam suatu proses suatu
pendidikan.
Sebagai aktifitas yang bergerak dalam bidang pendidikan dan pembinaan
kepribadian, tentunya pendidikan Islam memmerlukan landasan kerja untuk memberi
arah bagi programnya. Sebab dengan adanya dasar juga berfungsi sebagai sumber
semua peraturan yang akan diciptakan sebagai pegangan langkah pelaksanaan dan
sebagai jalur langkah yang menentukan arah usaha tersebut.
Dasar pelaksanaan pendidikan Islam terutama adalah Al-Qur’an adalah
sebagai berikut:
1 zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), H. 1.
2
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah
kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab (Al Quran) dan tidak
pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya,
yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba
kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang
lurus.” (Q.S. As-Syuara [42]: 52).
Selain itu dalam pandangan Islam, pendidikan juga merupakan kegiatan yang
diwajibkan bagi setiap muslim, baik pria maupun wanita. Di dalam Hadis Rasul
bersabda:
د الخذري قال : قال رسول ع سع ه وسلم : طلب العلم ن أب اهلل صل اهلل عل
ضة على كل مسلم )رواه ابن ماجه( فز2
Dari Abi Sa’id al-Khudri, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Menuntut ilmu
adalah kewajiban atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah).
Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang
harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu
kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk
maju, sehajtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka. Semakin
tinggi cita-cita manusia semakin menuntuk kepada peningkatan mutu pendidikan
sebagai sarana untuk mencapai cita-cita tersebut. Jadi, antara kedudukan pendidikan
yang dilembagakan dalam berbagai bentuk dan model dalam masyarakat, dengan
dinamika masyarakatnya selalu berinteraksi (saling mempengaruhi) sepanjang
2 Muhammad bin Salamah bin Ja’far Abu Ja’far Abu Abdillah al Fidha’I, Musnad asy-Syihab,
(Beirut: Muassasah ar-Risaalah,t.th), Jilid I, h.137
3
waktu.3 Sehinggan Allah SWT. sangat memuliakan bagi orang yang senantiasa
mencari dan memperkaya ilmu pengetahuannya. Dalam Q.S. Al-Mujaadilah ayat 11
Allah SWT. berfirman:
“….Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mujadalah [58]: 11).4
Sebagaimana kita ketahui bahwasannya pendidikan Islam memiliki peran
aktif dalam pembentukan karakter anak didik., namun dewasa ini kehadiran
pendidikan Islam masih bersifat formalitas belaka bukan berpuncak pada tuntutan
dalam rangka melahirkan generasi insan kamil sebagaimana tujuan akhir dalam
pendidikan Islam.
Oleh karena itu, setiap pekerjaan yang mempunyai orientasi yang jelas dan
bertanggung jawab haruslah mempunyai sebuah tujuan. Suatu usaha yang tidak
mempunyai tujuan tidak akan memiliki arti apa-apa.5 Secara etimologi tujuan adalah
“Arah, maksud, atau haluan”. Dalam bahasa Arab “tujuan” diistilahkan dengan
“ghayat, ahdaf, atau maqasid”. Sementara dalam Bahasa Inggris diistilahkan dengan
“goa, purpose, objectives, atau aim. Secara terminooigi, tujuan berarti “sesuatu yang
diharapkan tercapai setelah sebuah usaha atau kegiataan selesai”.6
Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk
membentengi diri dari akses negatif globalisasi. Tetapi yang paling urgen adalah
bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu
berperan sebagai kekuatan pembebasan dari himpitan kemiskinan, kebodohan, dan
3 Fuad Hasan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta: PT. RINEKA CIPTA, 2003), hal.1-5
4 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta, Syamil Quran,2009), hal.543
5 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta: Logos, 1997), H. 45.
6 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002),
h. 15.
4
keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi.7 Hal ini menunjukkan bahwa
pendidikan Islam memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembentukan
individu yang yang tidak hanya cerdas, tapi juga berkepribadian yang baik serta
memilliki pemahaman beragama yang tidak hanya dipahami tapi juga diterapkan
dalam kehidupan.
Berbicara tentang pendidikan Islam, pastilah berbicara tentang konsep
pendidikannya. Konsep-konsep pendidikan Islam yang ada dewasa ini tidak lepas dari
bayang-bayang konsep pendidikan Islam di era klasik, yang terlahir dari pemikiran-
pemikar para tokoh filosof pendidikan Islam. Cukup banyak tokoh-tokoh pendidikan
Islam di era klasik yang menyumbangkan pemikiran-pemikirannya terhadap dunia
pendidikan, salah satunya konsep pendidikan Islam itu sendiri.
Di antara tokoh-tokoh pendidikan Islam yang lain, penulis mencoba
menjabarkan konsep pendidikan Islam menurut Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun , yang
masing-masing dari kedua tokoh tersebut pasti memiliki pemikiran yang berbeda.
Keduanya terkenal juga sebagai tokoh filosof dan pakar pendidikan yang
pastinya memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam menyusun suatu konsep dan
menetapkan tujuan pendidikan tergantung pada latar belakang dan bidang kajian
pendidikan para tokoh tersebut.8
Suatu rumusan konsep pendidikan maupun tujuannya harus mempunyai
muatan subyektifitas dari yang merumuskannya, artinya setiap pemikiran dari
seorang tokoh pasti menggambarkan tokoh tersebut, contohnya seperti tokoh pemikir
pendidikan Islam yang seringkali mengaitkan tujuan suatu pendidikan dengan
kebahagiaan yang abadi setelah kehidupan dunia, yakni kebahagiaan di akhirat.
Sedangkan jika dilihat dari pendidikan umum, biasanya hanya berorientasi pada
7 Moh. Shofan,Pendidikan Berparadigma Profetik, (Jogjakarta: IRcISOD, 2004), H. 28.
8 Nata, op. cit., hal. 46.
5
masalah kehidupan dunia, seperti pekerjaan yang akan didapat setelah menyelesaikan
pendidikan.
Berdasarkan uraian diatas yang merupakan gambaran untuk memperoleh hasil
pembelajaran yang lebih baik lagi mengenai konsep pendidikan dalam Islam, maka
penulis tertarik untuk membahas masalah ini dalam sebuah karya ilmiah dalam
bentuk skripsi yang berjudul “Studi Komparasi Konsep Pendidikan Islam Al-
Ghazali dan Ibnu Khaldun”.
B. Identifikasi Masalah
Dengan dasar pemikiran diatas maka penulis akan memberikan penjelasan
tentang identifikasi masalah yang ditemukan sebagai berikut :
1. Konsep-konsep pendidikan dewasa ini tidak lepas dari baying-bayang konsep
pendidikan terdahulu.
2. Setiap pemikiran para tokoh mengenai konsep pendidikan Islam berbeda-
beda.
C. Pembatasan Masalah
Pembahasan kajian skripsi ini untuk terfokus hanya kepada pembahasan
tentang konsep pendidikan Islam menurut Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun yang
meliputi tujuan, kurikulum, dan metode pendidikan.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang diuraikan di atas,
maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep pendidikan Islam Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun?
2. Apa persamaan konsep pendidikan Islam Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun?
3. Apa perbedaan konsep pendidikan Islam Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun?
6
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian Hasil Penelitian
Dengan membahas masalah seperti ini, penulis bertujuan:
1. Untuk dapat memberikan gambaran terhadap konsep pendidikan menurut
Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun.
2. Untuk mengetahui perbedaan konsep pendidikan menurut Al-Ghazali dan
Ibnu Khaldun.
3. Untuk mengetahui persamaan konsep pendidikan menurut Al-Ghazali dan
Ibnu Khaldun.
4. Untuk mengetahui pemikiran konsep pendidikan Al-Ghazali dan Ibnu
Khaldun.
Sedangkan manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini adalah:
1. Penulis dapat mengetahui konsep pendidikan yang lebih baik lagi dari
sebelumnya dengan melalui pandangan kedua tokoh tersebut.
2. Sebagai khazanah intelektual, khususnya bagi guru, calon guru, dan
khlayak umum yang bergelut dalam dunia pendidikan.
3. Sebagai upaya pengembangan diri bagi penulis maupun orang lain yang
membutuhkan.
4. Kajian ini juga dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian
selanjutnya.
7
BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Pengertian Pendidikan Islam
Dalam bahasa Arab, kata pendidikan, sering digunakan pada beberapa istilah,
antara lain, al-ta’lim, al-tarbiyah, dan al-ta’dib. Namun demikian, ketiga kata
tersebut memiliki makna tersendiri dalam menunjukkan pada pengertian
pendidikan.1Istilah pendidikan secara sederahana dapat diartikan sebagai usaha
manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat di
dalam masyarakat dan bangsa.2
Ta’lim merupakan kata benda buatan (masdhar) yang berasal dari akar kata
„allama.Sebagian para ahli menerjemahkan ta’lim dengan makna pengajaran.Maksud
dari ta’lim lebih mengarah pada aspek kognitif, seperti pengajaran mata pelajaran
matematika.
Kata tarbiyah diambil dari fi’il madhi-nya (Rabba) maka ia memiliki arti
memproduksi, mengasuh, menanggung, memberi makan, menumbuhkan,
mengembangkan memelihara, membesarkan dan menjinakkan. Pemahaman tersebut
diambil dari Al-Qur‟an sebagai berikut:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".(Q.S. Al-Isra‟ [17]:
24).3
1Nizar, Op. Cit., h. 85-86.
2Djumransjah dan Abdul Malik, Pendidikan Islam, Menggali Tradisi, Mengukuhkan
Eksistensi, (UIN Malang Press, 2007), h. 1. 3Al-Qur‟an dan Terjemah.
8
Sebagaimana arti yang terkandung dalam ayat di atas: “kamaa rabbayaanii shagiira,
sebagaimana mendidikku sewaktu kecil.”
Selanjutnya kata atta’dib diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tata
karma, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan etika.Ta’dib yang seakar dengan kata
adab memiliki arti pendidikan peradaban atau kebudayaan.Artinya orang yang
berpendidikan adalah orang yang berperadaban, sebaliknya, peradaban yang
berkualitas dapat diraih melalui pendidikan.4
H. M Arifin memandang pendidikan Islam adalah suatu proses system
pendidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba
Allah SWT. (anak didik) dengan berpedoman pada ajaran Islam.5 Selain itu, Samsul
Nizar menyimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah rangkaian proses yang
sistematis, terencana dan komprehensif dalam upaya mentransfer nilai-nilai kepada
anak didik, mengembangkan potensi yang ada pada diri anak didik, sehingga anak
didik mampu melaksanakaan tugasnya di muka bumi dengan sebaik-baiknya, sesuai
dengan nilai-nilai Ilahiyah yang didasarkan pada ajaran agama (Al-Quran dan Hadits)
pada semua dimensi kehidupannya.6
Abdul Mujib dan Yusuf dalam bukunya Pendidikan Islam merumuskan
pengertian Pendidikan Islam yakni: “Proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai
Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan,
pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan ppotensinya, guna mencapai
keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.”7
Selain itu, pendidikan Islam menurut Abdur Rahman Nahlawi sebagaimana
yang dikutip Hamdani dan Fuad adalah:
4Abdul Mujib, IlmuPendidikan Islam, (Jakarta: Putra Grafika, 2006), Cet. 1., h. 11-20
5 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 11. 6 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), h. 94. 7 Mujid, Op. Cit., h. 27-28.
9
ا يلك تقيبطت و املساال اقنتاع ىلي ادؤي يذال يعاوتجالا و يسفنال نالتر بيت الاسلا هيت هي التنظي
تعاوجال و درفال ةايي حف
“Pendidikan Islam adalah pengaturan pribadi dan masyarakat sehingga dapat
memeluk Islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan
individu maupun kolektif”8
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwasannya para pakar
pendidikan Islam berbeda pendapat mengenai rumusan pendidikan Islam.Ada yang
menitik beratkan tujuan pada pembentukan akhlak anak didik, ada yang
memfokuskan pada keseimbangan hidup dunia dan akhirat, ada pula yang teori dan
praktek.
Pada hakikatnya pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang
bertakwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan dan
perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam kearah titik
maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.9Pendidikan Islam juga dapat diartikan
sebagai usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai
dengan ajaran Islam atau suatu upaya dengan ajaran Islam, memikir, memutuskan dan
berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-
nilai Islam.10
Oleh karena itu pendidikan Islam merupakan sekaligus pendidikan
amal.Maksud dari pendidikan amal adalah pendidikan tingkah laku agar seorang anak
didik selain menjadi anak yang cerdas intelektualnya juga menjadi anak didik yang
cerdas moralnya.
8Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2007), h. 15. 9 M. Arifin, Op. Cit., h. 32.
10 Zuhairini, Op. Cit., h. 152.
10
B. Konsep dan Ruang Lingkup Pendidikan Islam
1. Pengertian Konsep Pendidikan Islam
Konsep adalah suatu medium yang menghubungkan subjek yang akan
diketahui dengan objek yang diketahui, dari sisi subjek konsep dapat diartikan
sebagai kegiatan pikiran untuk merumuskan suatu hal atau masalah, sedangkan di
lihat dari sisi objek, konsep itu sendiri dapat diartikan sebagai isi dari kegiatan
tersebut, arti, atau makna yang akan dicapai dalam menyelesaikan suatu hal atau
masalah.
Konsep dapat didefinisikan sebagai suatu gagasan atau ide yang relative
sempurna dan bermakna sedangkan dari pengertian lain konsep adalah rancangan
atau ide yang diabstrakan dari peristiwa konkret atau dapat diartikan pula sebagai
gambaran mental dari obyek, proses atau apapun yang berada di luar bahasa, yang
digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Konsep tunggal bisa
dinyatakan dengan bahasa apapun. Konsep bisa dinyatakan dengan hund dalam
bahasa Jerman chien dalam bahasa Perancis dan perro dalam bahasa spanyol. Dengan
demikian konsep merupakan suatu peta perencanaan untuk masa depan sehingga bisa
dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan segala kegiatan.11
Konsep pendidikan menurut Al-Qur‟an merujuk kepada informasi yang
terdapat didalam Al-Qur‟an, yaitu pendidikan yang mencakup segala aspek jagat raya
ini, bukan hanya terbatas pada manusia semata, yakni dengan menempatkan Allah
SWT. sebagai pendidik yang Maha Agung.Konsep pendidikan Al-Qur‟an sejalan
dengan konsep pendidikan Islam yang dipresentasikan melalui kata tarbiyah, ta‟lim
dan ta‟dib.Pendidikan dalam konsep tarbiyah lebih cenderung menerangkan kepada
manusia bahwa Allah SWT. memberikan pendidikan melalui utusan-Nya yaitu Nabi
Muhammad SAW. dan selanjutnya Nabi menyampaikan kepada para ulama,
kemudian dari ulama menyampaikan pada manusia. Sedangkan pendidikan dalam
11
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991),
Cet. 1. h. 456.
11
konsep ta’lim merupakan proses transfer ilmu pengetahuan untuk meningkatkan
intelektualitas peserta didik. Kemudian ta’dib merupakan proses mendidik yang lebih
tertuju pada pembinaan akhlak.
Konsep pendidikan menurut Al-Qur‟an terangkum dalam ayat-ayat Al-Qur‟an
yang berhubungan dengan pendidikan, seperti pada ayat-ayat yang telah dijelaskan
yaitu surat al-Baqarah ayat 31-34, 129, dan 151 yang menjelaskan tentang pelajaran
yang diberikan Allah kepada Nabi Adam AS, dan pokok-pokok pendidikan yang
diberikan Rasul kepada umatnya. Kemudian Surat Luqman ayat 13-14:
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-
bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua
orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”.(Q.S. Luqman [31]: 13-14).12
Ayat di atas berisi tentang konsep pendidikan utama yakni pendidikan orang
tua terhadap anaknya.13
Dalam pelaksanaan pendidikan Islam pada hakikatnya adalah mereka (orang
tua dan pendidik/guru) yang melaksanankan tugas dan tanggung jawab mendidik.
Pengertian mendidik dalam Islam sebenarnya bukan cuma dibatasi pada terjadinya
interaksi pendidikan dan pembelajaran antara guru dan peserta didik di depan kelas
saja, namun mengajak, mendorong (memotivasi) dan membimbing orang lain untuk
12
Al-Qur‟an dan Terjemah. 13
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003), h. 125.
12
memahami dan melaksanakan ajaran Islam merupakan bagian dari aktivitas
pendidikan Islam. Maka dari itu, kegiatan pendidikan dapat berlangsung kapan saja
dan di mana saja, bahkan oleh siapa saja sepanjang yang bersangkutan dapat
memenuhi syarat-syarat baik dilihat dari prinsip-prinsip pendidikan dan pembelajaran
maupun ajaran Islam.14
Dan di dalam konsep pendidikan itu sendiri juga terdapat ruang lingkup yang
mencakup beberapa ruang lingkup yang berupa tujuan, metode, serta kurikulum
pendidikan itu sendiri. Oleh sebab itu maka penulis akan membahas lebih lanjut lagi
mengenai ruang lingkup pendidikan ini secara lebih terperinci.
2. Ruang Lingkup Pendidikan Islam
Ruang lingkup pendidikan Islam sesungguhnya mencakup segala hal yang
terkait dengan kehidupan manusia di dunia, di mana manusia mampu
memanfaatkannya sebagai wadah untuk menanam bibit amaliah yang hasilnya dapat
dipetik di akhirat. Maka untuk pembentukan sikap serta nilai-nilai keislaman dalam
pribadi manusia akan efektif apabila dilakukan dengan melalui proses pendidikan
yang berjalan si atas kaidah-kaidah ilmu pengetahuan yang terkait dengan
pendidikan.15
Menurut M. Arifin di dalam bukunya “Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan
Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner” mengatakan bahwa
ruang lingkup pendidikan Islam mencakup tentang masalah yang terdapat dalam
kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah guru, materi
pendidikan, metode pendidikan, dan lingkungan pendidikan.16
14
Ahmad Syar‟I, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), Cet. 2, h. 31-32 15
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), h. 16. 16
Arifin,Op.Ccit., h. 9.
13
Setelah dilihat dari pernyataan M. Arifin maka penulis disini akan membahas
ruang lingkup konsep pendidikan Islam hanya mencakup tiga aspek saja, yaitu tujuan
pendidikan, kurikulum pendidikan, dan metode pendidikan. Dan penulis akan
membahas terlebih dahulu tentang tujuan pendidikan, selanjutnya penulis akan
membahas kurikulum dan metode pendidikan.
a. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan merupakan standar usaha yang dapat ditentukan, serta mengarahkan
usaha yang akan dilalui dan merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan
lain.17
Ada juga yang beranggapan jika berbicara tentang tujuan pendidikan tentu akan
mengajak kita bicara tentang tujuan hidup, yaitu tujuan hidup manusia. Sebab
pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara
kelanjutan hidupnya, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat.18
Tujuan
menurut Arifin yang dikutip oleh Ramayulis dalam bukunya “Ilmu Pendidikan
Islam” adalah sesuatu yang bisa jadi menunjukkan kepada futuritas (masa depan)
yang terletak pada suatu jarak tertentu yang tidak dapat dicapai dengan usaha untuk
melalui proses tertentu.19
Perumusan tujuan pendidikan Islam harus berorientasi pada hakikat
pendidikan yang meliputi beberapa aspeknya, misalnya tentang: pertama, tujuan dan
tugas hidup manusia. Ia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu,
sebagaimana firman Allah SWT.:
17
Mujib, Op. Cit., h. 71. 18
Nur, Op. Cit. h. 77. 19
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), cet-8, h. 133.
14
“ (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.”(Q.S. Ali Imran [3]:
191).20
Kedua, memerhatikan sifat-sifat dasar manusia, yaitu konsep tentang manusia
sebagai makhluk yang unik yang mempunyai beberapa potensi bawaan seperti, fitrah,
bakat, minat, sifat, dan karakter yang berkecenderungan pada al-hanif (rindu akan
kebenaran dari Tuhan) berupa agama Islam sebatas kemaampuan, kapasitas, dan
ukuran yang ada. Ketiga, tuntutan masyarakat, baik berupa pelestarian nilai-nilai
budaya yang telah melembaga dalam masyarakat, maupun pemenuhan terhadap
tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan dunia
modern.Keempat, dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam, yakni memanfaatkan dunia
sebagai bekal kehidupan di akhirat.21
Secara umum tujuan pendidikan Islam terbagi kepada tujuan umum, tujuan
sementara, tujuan akhir, dan tujuan operasional.22
1) Tujuan Umum
Tujuan umum merupakan tujuan yang hendak dicapai melalui semua kegiatan
pendidikan. Tujuan umum tersebut meliputi aspek sikap, tingkah laku,
penampilan, kebiasaan, dan pandangan. Bentuk insane kamil dengan pola takwa
harus dapat tergambar pada pribadi seseorang yang sudah dididik, walau dalam
ukuran kecil dan muru yang rendah, sesuai dengan tingkat-tingkat tersebut.
2) Tujuan Sementara
Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi
sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum
pendidikan formal. Pada tujuan sementara bentuk insane kamil sudah agak terlihat
20
Al-Qur‟an dan Terjemah. 21
Mujib, Loc. Cit., h. 71-73. 22
Arief, op. cit., h. 18.
15
meskipun dalam ukuran sederhana, paling tidak beberapa ciri pokok sudah terlihat
pada pribadi anak didik.
3) Tujuan Akhir
Pendidikan Islam berlangsung selama hidup, maka tujuan akhirnya terdapat
pada waktu hidup di dunia ini telah berakhir pula, yakni mati dalam keadaan
berserah diri kepada Allah SWT. sebagai muslim yang merupakan ujung dari
takwa sebagai akhir dari proses hidup jelas berisikan kegiatan pendidikan.
4) Tujuan Operasional
Tujuan operasional ialah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah
kegiatan pendidikan tertentu. Dalam tujuan operasional ini lebih banyak dituntut
dari anak didik suatu kemampuan dan keterampilan tertentu.23
Sebenarnya tujuan pendidikan memiliki tujuan yang amat penting dalam
menciptakan konsep pendidikan yang lebih baik dan terarah.Menurut Ahmad D.
Marimba yang dikutip oleh Ramayulis dalam bukunya „Ilmu Pendidikan Islam”,
menyebutkan ada empat fungsi tujuan pendidikan, pertama, tujuan berfungsi
mengakhiri suatu usaha.Suatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidaklah
mempunyai arti apa-apa. Dan suatu usaha akan berakhir kalau tujuan akhir telah
dicapai dengan baik. Kedua, tujuan berfungsi mengarahkan usaha, tanpa adanya
antisipasi kepada tujuan tersebut.Ketiga, tujuan dapat berfungsi sebagai titik pangkal
untuk mencapai tujuan lainnya.Keempat, fungsi dari tujuan ialah memberikan nilai
pada usaha itu.24
Di kalangan para ahli sendiri masih terdapat perbedaan pendapat mengenai
pemakaian istilah tujuan.Menurut Hasan Langgulung sendiri mengatakan bahwa
istilah tujuan sendiri banyak dicampur-adukkan penggunaannya dengan istilah
maksud.Sedangkan Ahmad Tafsir mencoba menjelaskan tujuan pendidikan Islam
dengan merujuk kepada beberapa pendapat pakar pendidikan Islam. Dari berbagai
23
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet. 1, h. 1. 24
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), Cet. 1, h. 134.
16
pendapat tersebut, ia membagai tujuan pendidikan Islam kepada yang bersifat umum
dan yang bersifat khusus. Menurutnya tujuan pendidikan secara umum harus
diketahui terlebih dahulu bagaimana ciri manusia yang sempurna menurut Islam,
yakni dengan mengetahui bagaimana lebih dahulu hakikat manusia menurut Islam,
karena bagaimanapun tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan gambaran ideal
dari manusia yang ingin diajari melalui pendidikan.
b. Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum berasal dari bahasa Latin “Curriculum”, semula berarti “a running
course, specialy a chariot race course” dan terdapat pula dalam bahasa Perancis
“Courir” artinya “to run” artinya “berlari”.25
Istilah ini pada mulanya digunakan alam
dunia olahraga yang berarti “a little race course” (suatu jarak yang harus ditempuh
dalam pertandingan olahraga).26
Kurikulum dalam pendidikan Islam dikenal dengan
kata “Manhaj” yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh pendidik bersama
anak didikanya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap
mereka.27
Salah satu komponen operasional pendidikan Islam adalah kurikulum, ia
mengandung materi yang diajarkan secara sistematis dengan tujuan yang telah
ditetapkan. Pada hakikatnya antara materi dan kurikulum mengandung arti yang
sama, yaitu bahan-bahan pelajaran yang disajikan dalam proses kependidikan dalam
suatu sistem institusional pendidikan.28
Samsul Nizar dalam bukunya mengatakan bahwa kurikulum itu adalah
landasan yang digunakan pendidikan untuk membimbing peserta didikknya kearah
tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah penngetahuan,
25
Arief, op. cit., h. 29. 26
Nizar, op. cit., h. 126. 27
Arief, op. cit., h. 30. 28
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam Menelusuri jejak sejarah pendidikan Era
Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2007), h. 11
17
keterampilan, dan sikap mental. Ini berarti bahwa proses pendidikan Islam bukanlah
suatu proses yang dapat dilakukan secara serampangan, tetapi hendaknya mengacu
pada konseptualisasi manusia transformasi sejumlah pengetahuan keterampilan dan
sikap mental yang harus tersusun dalam kurikulum pendidikan Islam.29
Adapun jenis-jenis materi pembelajaran dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Fakta, yakni segala hal yang berwujud berupa kenyataan dan kebenaran, meliputi
nama objek, peristiwa sejarah, nama tempat, dan lainnya.
2) Konsep, yakni segala sesuatu yang berwujud berupa pengertian baru yang bias
timbul sebagai hasil dari pemikiran seperti definisi, pengertian, dan lainnya.
3) Prinsip, berupa hala-hal yang utama dan pokok. Yang memiliki posisi penting
serta memiliki keterkaitan antara konsep yang menggambarkan implikasi sebab-
akibat.
4) Prosedur, yakni langkah yang sistematis atau berurutan dalam mengajarkan suatu
aktivitas dan kronologi dalam suatu system.
5) Sikap atau nilai, yang merupakan hasil belajar berupa nilai kejujuran, kasih
sayang, tolong menolong dan lain-lain.30
Dari pengertian-pengertian diatas penulis menyimpulkan, kurikulum adalah
seperangkat bahan ajar yang menjadi landasan berisi materi pelajaran pendidikan
Islam yang akan diberikan kepada peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan.
c. Metode Pendidikan Islam
Metode berasal dari kata meta yang artinya melalui, dan hados yang artinya
jalan atau cara. Jadi metode artinya suatu jalan yang ingin ditempuh untuk mencapai
suatu tujuan.31
Dalam bahasa Arab metode disebut “Thariqat”, dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, metode adalah: “Cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk
29
Nizar, op. cit., h. 126-127 30
Rusman Efendy, Materi Pendidikan, 2010, (http://info-makalah.blogspot.com) 31
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal.99
18
mencapai maksud” sehingga dapat dipahami bahwa metode berarti suatu cara yang
harus dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar tercapai tujuan pengajaran.32
Selain itu ada yang mengatakan bahwa metode adalah suatu sarana untuk
menemukan, menguji, dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan
disiplin tersebut. Adapun prinsip dari metode,yaitu:
1) Pendidikan Islam mengakui kebenaran adanya fitrah bagi kemampuan dasar yang
dikaruniakan Allah SWT. dalam tiap diri manusia.
2) Keyakinan pendidikan Islam tentang potensi fitrah itu mendorong pengaruh-
pengaruh negative terhadap perkembangan fitrah melalui program-program
kegiatan kependidikan yang mengarah pada cita-cita Islam.
3) Pendidikan Islam mengupayakan keseimbangan antara harmonisasi, keserasian,
dan keselarasan antara masukan instrumental dengan masukan environmental
(pengaruh lingkungan) dalam proses mencapai tujuan, sehingga produk
pendidikan benar-benar sesuai denngan idealitas Islam.
4) Pendidikan Islam memberikan motivasi kepada guru untuk berusaha menghindar
dari pengaruh negative terhadap perkembangan fitrah melalui program kegiatan
kependidikan yang mengarah pada cita-cita Islam.
5) Pendidikan Islam mengupayakan terciptanya model proses belajar mengajar yang
bersifat fleksibel terhadap tuntutan kebutuhan hidup murid sebagai hamba Allah
SWT. dan sebagai anggota masyarakat.
6) Pendidikan Islam, dalam segala usahanya senantiasa berpegang pada pola
perkembangan hidup manusia yang berorientasi pada potensi keimanan dan ilmu
pengetahuan yang saling menguatkan dalam hidup pribadi manusia muslim.33
32
Arief, op. cit., h.40. 33
Hamdani Ihsan dan,Op. Cit., (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), h. 164-165.
19
Dengan metode diharapkan tumbuh berbagai kegiatan belajar siswa
sehubungan dengan kegiatan mengajar guru. Dengan demikian maka terciptalah
proses belajar yang interaktif.34
Sementara itu, pendidikan merupakan usaha membimbing dan membina serta
bertanggung jawab untuk mengembangkan intelektual pribadi anak didik kearah
kedewasaan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka
pendidikan Islam adalah sebuah proses dalam membentuk manusia-manusia muslim
yang mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan dan
merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT., baik kepada
Tuhannya sesama manusia dan sesame makhluk lainnya. Pendidikan yang dimaksud
selalu berdasarkan kepada ajaran Al-Quran dan al-Hadits.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan metodologi pendidikan Islam adalah
cara yang dapat ditempuh dalam memudahkan pencapaian tujuan pendidikan Islam.35
C. Hasil Penelitian Relavan
Berdasarkan penelusuran penulis terhadap karya ilmiah skripsi di Perpustakaan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bahwa yang membahas tentang Konsep Pendidikan
Islam Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun belum penulis temukan secara khusus judul yang
sama dengan skripsi ini, namun ada beberapa skripsi yang mengaitkan denganKonsep
Pendidikan Ibnu Khaldun, yaitu skripsi saudara Ahmad Syarif (2013) Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, jurusan Pendidikan Agama Islam dengan judul Konsep
Manusia dan Pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun (dalam kitab
muqaddimah).Dia menjelaskan tentang konsep manusia menurut Ibnu Khaldun yang
bertujuan untuk mengenalkan kepada manusia itu sendiri mengenai eksistensinya
serta fungsi dan tugasnya sebagai „abd Allah SWT.Selain itu, beliau juga menjelaskan
tentang konsep Pendidikan Islam, yang mempunyai implikasi terhadap konsep
34
Nizar, op. cit., h. 16. 35
Arief, loc. cit., h. 40-41.
20
manusia dalam hal pendidikan baik dalam pendidikan informal, formal, maupun dan
non formal.
Skripsi dari saudari Resnamia Novianti (2012) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Jakarta dengan judul Studi
perbandingan konsep pendididkan Islam menurut Ibnu Miskawaih Ibnu Khaldun. Dia
menjelaskan tentang konsep pendidikan dari kedua tokoh tersebut dengan batasan
masalahnya yakni Tujuan, Materi dan metode. Terkait dengan judul yang penulis
ambil dengan saudari Resmania memamng memiliki persamaan namun ketika penulis
membaca skripsi saudari Resmania, Ia tidak menjelaskan materi pendidikan Ibnu
Khaldun secara rinci, melainkan hanya secara garis besarnya saja.
Selanjutnya Skripsi saudari Ani Rosidatul Isma (2011) dari fakultas Tarbiyah,
jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Malang dengan judul skripsi Konsep
Pendidikan Menurut Imam Ghozali Dalam Kitab Ayyuhal Walad. Skripsi ini
membahas tentang tujuan pendidikan, pendidik, anak didik, dan metode pendidikan
Al-Ghazali yang terdapat dalam kitab Ayyuhal Walad.
Selanjutnya skripsi karya saudari Siti Aisyah (2007) Fakultas Tarbiyah,
jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Malang, dengan judul Studi Komparasi
Konsep Pendidikan Al-Ghazali dan Paulo Freire. Skr. Dia menjelaskan perbedaan
dan persamaan kedua tokoh tersebut yang pematasan masalahnya meliputi konsep
pendidikan, tujuan pendidikan dan metode pendidikan.
Dari hasil pemaparan di atas, penulis menyimpulkan sekalipun terdapat
kesamaan nama tokoh namun tidak ada yang memadukan Al-Ghazali dan Ibnu
Khaldun. Terkait dengan pembatasan masalah ada beberapa pembatasan masalah
yang sama, namun penelitian pada penulisan skripsi ini tetap memiliki perbedaan
dengan skripsi-skripsi di atas, karena lebih difokuskan padakonsep tujuan pendidikan,
kurikulum pendidikan dan metode pendidikan.
21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Obyek dan Waktu Penelitian
1. Obyek Penelitian
Dalam penelitian library research ini yang dijadikan objek ialah literatur-
literatur yang berkaitan dengan pemikiran pendidikan Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun
serta konsep pendidikan Islam pada umumnya . Adapun sumber objek penelitian
tersebut adalah dokumen tertulis, baik berupa buku, kamus, internet dan lain-lain.
2. Waktu Penelitian
Waktu yang digunakan dalam penelitian Penelitian yang berjudul “STUDI
KOMPARASI KONSEP PENDIDIKAN ISLAM AL-GHAZALI DAN IBNU
KHALDUN’’ ini tidak ditentukan batasan waktunya, karena sejalan dengan
berkembangnya literatur yang sedang dibahas hingga benar-benar dinyatakan
selesai.Digunakan untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang
diperoleh dari teks books yang ada di perpustakaan.
B. Metode Penulisan
Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk
mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap,
kepercayaan, presepsi, pemikiran individual seseorang secara individual maupun
kelompok. Beberapa deskripsi digunakan untuk menemukan prinsip-prinsip dan
penjelasan yang mengarah pada penyimpulan. 1Dalam pengumpulan data, penulis
menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Untuk mendapatkan
1 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2001), h. 60.
22
data-data penelitian, penulis mengumpulkan bahan keperpustakaan, dengan cara
membaca, mengikuti kuliah, menelaah buku-buku, dan bahan-bahan informasi
lainnya terutama yang berkaitan dengan Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun dan Al-
Ghazali dan buku-buku penunjang ataupun pembanding terhadap judul yang akan
diteliti.
Adapun penulisan skripsi ini merujuk pada pedoman penulisan skripsi yang
diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2013.
C. Fokus Penelitian
”Pada penelitian kualitatif, penentuan fokus berdasarkan hasil studi
pendahuluan, pengalaman, referensi, dan disarankan oleh pembimbing atau orang
yang dipandang ahli."2
Fokus penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah Konsep Pendidikan Al-
Ghazali dan Ibnu Khaldun. Yaitu pemikiran kedua tokoh yang berkaitan dengan
tujuan, kurikulum dan metode pendidikan. Cara penyajiannya bersifat deskriptif
analitik. Penyajian deskriptif adalah menjelaskan tentang pengertian, ruang lingkup,
dan konsep dari sumber-sumber yang berkaitan sebagai penunjang dan pembanding
terhadap yang akan diteliti.
D. Prosedur Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam pendekatan penelitian penulisan skripsi ini peneliti menggunakan
metode penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang
dilakukan di perpustakaan dan mengambil setting perpustakaan sebagai tempat
2Sugiono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung : Alfabeta, 2011) h.378-
379
23
penelitian di mana objek penelitiannya adalah bahan-bahan perpustakaan. Penelitian
kepustakaan dilakukan oleh seseorang yang ingin mengetahui teori-teori apa yang
digunakan dari waktu ke waktu.3
Pendekatan ini digunakan oleh penulis karena pengumpulan data dalam
skripsi ini bersifat kualitatif dan juga dalam penelitian ini tidak bermaksud untuk
menguji hipotesis, dalam arti hanya menggambarkan dan menganalisis secara kritis
yang penulis kaji mengenaiKonsep Pendidikan Ibnu Khaldun dan Al-Ghazali.
2. Instrumen Penelitian
“Salah satu dari sekian banyak karakteristik penelitian kualitatif adalah
manusia sebagai instrument atau alat. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif
cukup rumit. Ia sekaligus merupakan perencana, pelaksana, pelaksana pengumpulan
data, analisis, penafsir data, dan pada akhirnya ia menjadi pelopor hasil
penelitiannya.4”
Untuk itu dalam penelitian ini, peneliti menggunakan diri sebagai instrument,
bertindak sebagai perencana, pelaksana, pelaksana pengumpulan data, analisis,
penafsir data mengenai Konsep Pendidikan Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, maka
teknik pengumpulan data yang tepat dalam penelitian library research adalah dengan
mengumpulkan mengumpulkan data-data tertulis kemudian menyelidiki bahan-bahan
tertulis yang terkait dengan konsep pendidikan kedua tokoh tersebut. Langkah ini
biasanya dikenal dengan dengan metode dokementasi.
3 Nuraida Khalid Alkaf, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Ciputat: Islamic Research
Publishing, 2009),Cet. 1, h. 20. 4Ibid.,h. 121.
24
Suharsimi berpendapat “bahwa metode dokumentasi adalah mencari data
mengenai hal-hal atau variable berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, agenda dan sebagainya”.5
Teknik ini digunakan oleh peneliti dalam rangka mengumpulkan data yang
berhubungan dengan Konsep Pendidikan Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun.
4. Teknik Analisis Data
Analisis data ditujukan untuk menghimpun dan menganalisis dokumen-
dokumen resmi, dokumen yang validitas dank eabsahannya terjamin baik dokumen
perundangan dan kebijakan maupun hasil-hasil penelitian. analisis juga dapat
dilakukan terhadap buku-buku teks, baik yang bersifat teoritis maupun empiris.6
Analisis dokumen dimulai dengan menyusun fakta-fakta hasil temuan pustaka berupa
dokumen-dokumen yang terkait dengan konsep pendidikan Al-Ghazali dan Ibnu
Khaldun. Kemudian membandingkan konsep dari kedua tokoh dengan menggunakan
analisis deskriptif dan komparatif sehingga menghasilkan kesimpulan dari kedua
konsep pendidikan, yakni konsep pendidikan Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun.
Dalam penelitian kualitatif peneliti tidak boleh menunggu dan membiarkan
data menumpuk, untuk kemudian menganalisisnya. Bila demikian halnya, ia akan
mendapatkan berbagai kesulitan dalam menangani data. Semakin sedikit data,
semakin mudah penanganannya. Mumpung sedikit, segeralah data itu dibereskan.
5Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta :Rineka Cipta, 2002), h. 206.
6 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2001), h. 81.
25
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN
A. Temuan Hasil Analisis Kritis Deskriptif
1. Al-Ghazali
a. Biografi
Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali (lebih dikenal dengan
sebutan al-Ghazali), lahir di Thus (wilayah Khurasan) pada tahun 450 H/1058 M. al-
Ghazali memiliki keahlian berbagai disiplin ilmu, baik sebagai filosuf, sufi, maupun
pendidik. Ia menyususn beberapa kitab dalam rangka menghidupkan kembali ilmu-
ilmu agama (Ihya ulum al-din).1Sejak kecil, Al-Ghazali dikenal sebagai anak yang
senang dengan ilmu pengetahuan. Sehingga tak mengherankan jika sejak masa anak-
anak ia telah belajar kepada sejumlah guru di kota kelahirannya.2
Imam Ghazali sejak kecilnya dikenal sebagai seorang anak pencinta ilmu
pengetahuanndan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa
duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa dan sengsara.3
Al-Ghazali memulai pendidikannya di wilayah kelahirannya, Tus dengan
mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi ke Nisyafur dan Khurasan
yang pada waktu itu kedua kota tersebut terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan
terpenting di dunia Islam. Di kota Nisyafur inilah al-Ghazali berguru kepada Imam
al-Haramain Abi al-Ma‟ali al-Juwainy.4
1 Al-Rasyid dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h.
85. 2Djalaludin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994),
h. 139. 3 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), h. 82. 4 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 209
26
Al-Ghazali mendapat gelar “bahrun mughriq” dari al-Juwaini karena
kecerdasannya.Al-Ghazali baru meninggalkan Nisyaur setelah Imam al-Juwaini
meninggal dunia tahun 1085.5
Kemudian Al-Ghazali meninggalkan Nisyafur ketika gurunya meninggal
dunia, menuju ke Istana Nizham Mulk yang menjadi seoramng perdana menteri
Sultan Bani Saljuk.Keikutsertaan Ghazali dalam suatu diskusi bersama sekelompok
ulama dan para intelektual di hadapan Nizham Mulk membawa kemenangan baginya.
Hal itu tidak lain berkat ketinggian ilmu filsafatnya, kekayaan ilmu pengetahuannya,
kefasihan lidahnya, dan kejituan argumentasinya. Nizham Mulk benar-benar kagum
melihat kehebatan beliau ini dan berjanji akan mengangkatnya sebagai guru besar di
Universitas yang didirikannya di Baghdad.6
Di tengah-tengah kesibukkannya di Madrasah Nizhamiyah, ternyata ia tidak
melupakan dunia jurnalistik.7Setelah empat tahun beliau memutuskan berhenti
mengajar di Baghdad. Lalu ditinggalkannya kota tersebut untuk menunaikan ibadah
haji. Setelah itu beliau menuju Syam, hidup dalam Jami‟ Umawy dengan kehidupan
penuh ibadah, mengembara ke berbagai padang pasir untuk melatih diri menjauhi
barang haram, meninggalkan kemewahan hidup.8
Karena banyak keahlian yang secara prima dikuasai al-Ghazali, maka tidaklah
mengherankan jika kemudian ia mendapat bermacam gelar yang mengharumkan
namanya, seperti gelar Hujjatul Islam (Pembela Islam), Syeikh al-Shufiyyin (Guru
Besar dalam Tasawuf), dan Imam al-Murabin (Pakar Bidang Pendidikan).9
5Djalaludin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994),
h. 139. 6 Nata, Op. Cit., h. 83.
7Al-Rasyidin,Op. Cit., h. 86.
8Nata, Op. Cit. h. 84.
9 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 159-
160.
27
Setelah mengajar diberbagai tempat –seperti Baghdad, Syam, dan Nisyafur-
akhirnya ia kembali ke kota kelahirannya, Thus pada tahun 1105 M. di sini, ia
kemudian mendirikan sebuah madrasah dan mengabadikan dirinya sebagai pendidik
hinggaia wafat pada tahun 1111M.10
b. Konsep Pendidikan
Dalam masalah pendidikan al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme.
Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan
terhadap anak didik. Menurutnya seorang anak tergantung kepada orang tua dan
orang yang mendidiknya.Hati seorang anak itu bersih, murni, laksana permata yang
sangat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun. Hal ini sejalan dengan
pesan Rasulullah SAW yang menegaskan:
مجسانو كل مىلىد يىلد على الفطرة فأبىاه يهىدانو أوينصرانو أوي
Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua orang tualah yang
menyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani, atau Majusi.(H.R.
Muslim).11
Terkait dengan hadist tersebut, al-Ghazali mengatakan jika anak menerima
ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik. Sebaliknya jika
anak itu dibiasakan melakukan perbuatan buruk dan dibiasakan kepada hal-hal yang
jahat, maka anak itu akan berakhlak jelek.12
a. Tujuan Pendidikan
Menurutnya, tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT, bukan untuk mencari kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan
10
Al-Rrasyidin, loc. Cit., 87. 11
Nata.Op. cit., h. 211. 12
Nata, Op. Cit., 212.
28
pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri pada Allah SWT, akan dapat
menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan.
Rumusan pendidikan yang demikian itu sejalan dengan firman Allah SWT.
tentang tujuan penciptaan manusia, yaitu:
Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku.
(Q.S. Al-Dzariyat [51]: 56).13
Pemikirannya tentang tujuan pendidikan Islam dapat diuraikan menjadi tiga:
1) Tujuan mempelajari ilmu semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri
sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT.
2) Tujuan utama pendidikan Islam yakni sebagai sarana pembentukan akhlak al-
karimah.
3) Tujuan pendidikan Islam untuk mengantarkan peserta didik mencapai
kebahagian dunia dan akhirat.14
Rumusan tersebut mencerminkan sikap kezuhudan dari Imam Ghazali
terhadap dunia, merasa cukup dengan yang ada, dan lebih banyak memikirkan
kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia.Rumusan tujuan pendidikan beliau yang
itu juga karena al-Ghazali memandang dunia ini bukan merupakan hal yang penting,
tidak abadi dan akan rusak, sedangkan maut dapat memutuskan kenikmatan kapan
saja.15
13
Al-Qur‟an dan Terjemah. 14
Al-Rasyidin, loc. Cit., h. 87. 15
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hal. 211-
212
29
Al-Ghazali menempatkan dua hal penting sebagai orientasi pendidikan;
pertama mencapai kesempurnaan manusia untuk secara kualitatif mendekatkan diri
kepada Allah SWT, kedua, mencapai kesempurnaan manusia untuk meraih
kebahagiaan di dunia dan akhirat.16
Secara rincinya Al-Ghazali membagi tujuan pendidikan menjadi dua, yakni
tujuan religius dan tujuan non-religius. Menurutnya tujuan pendidikan dilihat dalam
kaitannya dengan system pengajaran berdasarkan sifat pengetahuan yang dikaji,
yakni ilmu-ilmu agama, non agama, dan sufi.
Al-Ghazali dengan tegas menyatakan bahwa sekalipun ilmu-ilmu agama bisa
membantu seseorang mendapatkan tujuan-tujuan duniawi, seperti jabatan, pengaruh,
kekuasaan dan kekayaan, itu semua tidak boleh dijadikan sebagai tujuan dalam
mempelajari ilmu-ilmu agama.
Berbeda persoalan ketika yang dibicarakan adalah pendidikan di bidang ilmu-
ilmu non-agama.Al-Ghazali secara gamblang menyatakan bahwa seseorang boleh
mempelajari ilmu-ilmu semacam kedokteran dan matematika untuk tujuan material
dan kewibawaan.
Di bidang ilmu-ilmu sufi, jelas bahwa tujuan utama pendidikan adalah
pencapaian pengetahuan spiritual yang hanya mungkin terjadi bila hati telahh
sepenuhnya bersih dari kecenderungan buruk. Tujuan akhir ini adalah kebahagian
abadi di surga, dan puncak tertinggi dari kebahagiaan abadi ini adalah pertemuan dan
melihat Allah SWT.17
Selain tujuan tersebut di atas, menurut Al-Ghazali pendidikan juga harus
mampu membuat seorang peserta didik sadar terhadap hkum Islam dengan melalui
16
Asrorun Ni‟am Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam Mengurai Relevansi Konsep Al-
Ghazali Dalam Konteks Kekinian, (Jakarta: Elsas, 2006), Cet. 3., h. 79. 17
Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Islam Klasik Gagasan Pendidikan Al-Ghazali,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), h. 120-121.
30
pelajaran Al-Qur‟an dan Hadits agar peserta didik dapat menambah pengetahuan
tentang Islam. Tapi hal ini pun belum cukup, peserta didik juga harus dibiasakan
untuk shalat lima waktu, meneliti dan mengikuti kajian-kajian Islam lainnya.18
b. Kurikulum Pendidikan
Secara tradisional kurikulum berarti mata pelajaran yang diberikan kepada
anak didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar mampu beradaptasi
dengan lingkungannya.Kurikulum tersebut disusun sedemikian rupa agar dapat
mencapai tujuan yang telah ditentukan.19
Kurikulum yang dimaksud adalah kurikulum
dalam arti sempit, yaitu seperangkat ilmu yang diberikan oleh pendidik kepada
peserta didik.20
Dalam menyususun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian
khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana dilakukannya terhadap ilmu-
ilmu yang sangat menentukan bagi masyarakat.21
Pendapat Al-Ghazali terhadap
kurikulum dapat dilihat dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan yang
dibaginya dalam beberapa sudut pandang.22
Sebagaimana yang dikutip oleh Zainuddin dkk, dalam bukunya Seluk Beluk
Pendidikan Dari Al-Ghazali yang dikutip dari Ihya Ulumuddin juz I bagian
pembahasan ilmu pada bab kedua dan ketiga yang diterangkan secara luas dan
mendalam mengenai Ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan tatanan sosial
masyarakat, Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Berdasarkan tingkat kewajibannya
2. Berdasarkan sumbernya
18Alavi, Op. Cit., h. 66.
19 Nata, Loc. Cit., h. 216.
20Ibid.,h. 217.
21
Nata,pemikiran….Op. Cit., h. 92. 22
Nata, Loc. Cit., h. 217.
31
3. Berdasarkan fungsi sosialnya.23
Ilmu pengetahuan beradasarkan tingkat kewajibannya dibagi menjadi dua,
yakni ilmu pengetahuan yang bersifat fardhu „ain dan ilmu pengetahuan yang bersifat
fardhu kifayah.Penjelasan yang penulis kutip dari kitab Ihya Ulumuddin Al-Ghazali
(Mujahidin Muhayan, penrj) mengenai ilmu penegtahuan yang bersifat fardhu „ain
yakni seseorang wajib mempelajari peritah-perintah Allah SWT, seperti shalat dan
puasa, zakat, dan haji.
Seseorang juga wajib untuk mempelajari maksiat-maksiat yang wajib dia
tinggalkan sepanjang hari sesuai kebutuhan.Dia juga wajib mempelajari ilmu yang
menyelamatkan dari perkara-perkara yang merugikan serta mempelajari ilmu-ilmu
yang dapat mengantarkan kita mencapai derajat yang tinggi.24
Adapun ilmu pengetahuan fardhu kifayah Al-Ghazali mengatakan: “ialah
setiap ilmu pengetahuan yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakkan
kesejahteraan dunia, yaitu ilmu pengetahuan, manakala suatu masyarakat jika tidak
ada yang mengembangkan ilmu tersebutmaka akan mengalami kesulitan-kesulitan
dan kekacauan-kekacauan dalam kehidupan.”25
Kemudian ilmu pengetahuan berdasarkan sumbernya menurut Al-Ghazali
yang penulis kutip dari Djalaluddin dan Usman Said dibagi menjadi dua bagian:
1) Ilmu Syari‟at yang terdiri atas:
a) Ilmu Ushul (ilmu pokok) yang meliputi, Ilmu al-Qur‟an, Sunnah Nabi,
pendapat-pendapat sahabat dan Ijma‟.
b) Ilmu Furu‟ (cabang) terdiri atas Ilmu Fiqh, ilmu ihwal hati dan akhlak.
23
Zinuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h.
34. 24
Al-Ghazali, Jalan Menuju Penyucian Jiwa, Terj.dariIhya Ulumuddin oleh Mujahidin
Muhayan, (Jakarta: Pene Pundi Aksara, 2010), Cet. II, h. 7. 25
Zainuddin, Op. Cit., h. 35.
32
c) Ilmu pengantar (mukaddimah) yang terdiri atas Ilmu bahasa dan gramatika.
d) Ilmu pelengkap (mutammimah) yang terdiri atas Ilmu Qira‟at, Ilmu Hadits,
Ilmu Tafsir, dan Ilmu Atsar sahabat dan lainnya.
2) Ilmu bukan Syari‟ah terdiri atas:
a) Ilmu yang terpuji: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu perusahaan
dirinci menjadi, ilmu pokok dan utama, meliputi pertanian, penenunan,
pembangunan, dan tata pemerintahan. Ilmu penunjang meliputi, pertukangan
besi dan industri sandang. Ilmu pelengkap meliputi, pengolahan pangan.
b) Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan), kebudayaan, sastra, sejarah, dan
puisi.
c) Ilmu yang tercela (merugikan), ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian tertentu
dari filsafat.26
Dan yang terakhir dari pengklasifikasian ilmu, adalah ilmu pengetahuan
menurut fungsi sosialnya sebagaimana yang dikutip Zainuddin dalam bukunya, Al-
Ghazali membaginya menjadi dua macam:
a) Ilmu pengetahuan yang terpuji (Mahmud) ialah pengetahuan yang bermanfaat
dan tidak dapat ditinggalkan, bahkan kepada pengetahuan inilah aktivitas-
aktivitas kehidupan bergantung.
b) Ilmu pengetahuan yang terkutuk (Madzmum) yaitu pengetahuan yang
merugikan dan merusak manusia seperti, sihir, tenung, dan astrologi.27
c) Ilmu pengetahuan yang bisa dikatakan terpuji, tapi ada kalanya dikatakan
tercela. Ini dipengaruhi oleh kadar pendalaman ilmu tersebut, seperti filsafat
naturalisme. Menurut Al-Ghazali jika ilmu tersebut diperdalam makan
26
Djalaluddin, Op. Cit., h. 142-143. 27
Zainuddin, Op. Cit., h. 39.
33
akanmenimbulkan kekacauan pikiran serta keraguan, yang akhirnya sangat
mempengaruhi manusia kepada kufur dan ingkar.28
Terkait dengan penjabaran ilmu di atas, Al-Ghazali juga menambahkan aspek-
aspek pendidikan yang terbagi menjadi lima bagian:
1. Pendidikan keimanan
Sebagaimana yang penulis kutip dari Hamdani dan Fuad dalam buku Filsafat
Pendidikan Islam, Al-Ghazali menganjurkan agar pendidikan keimanan diterapkan
sejak anak usia dini:
“Ketahuilah, bahwa apa yang telah kami sebutkan itu mengenai penjelasan akidah
(keyakinan) maka sebaiknya didahulukan kepada anak-anak pada awal
pertumbuhannya.Supaya dihapalkan dengan baik, kemudian senantiasalah terbuka
pengertiannya nanti sedikit demi sedikit sewaktu dia telah besar.”
Dari kutipan diatas jelaslah bahwa pendidikan mengenai keimanan harus
diutamakan agar tumbuh secara sempurna dalam jiwa seorang anak perasaan ber-
Tuhan.
2. Pendidikan akhlak
Menurut Al-Ghazali, pendidikan akhlak juga perlu diajarkan sejak dini. Masa
anak-anak adalah masa paling berpengaruh untuk menanamkan dasar-dasar akhlak
yang baik, caranya dengan latihan-latihan dan pembiasaan diri yang sangat membantu
terhadap pembinaan kepribadian anak.
Jika seorang anak dididik untuk membiasakan melakukan kebaikan maka
kebiasaan itu akan tumbuh dalam kebaikan tersebut dan berpengaruh positif terhadap
kehidupannya di dunia dan akhirat. Dan sebaliknya, jika seorang anak sejak kecil
28
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat: Quantum
Teaching, 2005), h. 8.
34
telah dibiasakan dengan hal-hal buruk/mengerjakan keburukan, maka anak itu akan
celaka karena sebab rusaknya akhlak.29
Kemudian sebagaimana yang penulis kutip dari Zainuddin, Al-Ghazali
mengibaratkan akhlak yang baik itu serupa dengan keindahan bentuk lahir manusia
yang sempurna:
“maka demikian pula keindahan batin yang empat unsur harus baik seluruhnya. Ke
empat unsur itu adalah kekuatan ilmu, kekuatan godhob, kekuatan syahwat dan
kekuatan adil berada di antara tiga kekuatan tersebut”30
3. Pendidikan akliah
Menurut Al-Ghazali, akal merupakan sumber ilmu pengetahuan, teknologi
dan budaya. Akal pikiran dapat memberikan manusia ilmu pengetahuan yang
digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan sehari-hari.Selain akal, kemauan juga
memiliki peranan dalam mendorong manusia untuk melakukan suatu
perbuatan.Dengan begitu, akal dan kemauan memiliki kaitan yang erat.Akal
menghasilkan pedoman perbuatan melalui pengetahuannya dan kemauan
menghasilkan pendorong perbuatan.Oleh sebab ini lah pendidikan akliah memiliki
kepentingan untuk mengembangkan intelegensi manusia secara optimal.
4. Pendidikan Sosial
Dalam pendidikan sosial, beliau menganjurkan kepada pendidik “agar anak
dalam pergaulan dan kehidupannya mempunyai sifat-sifat yang mulia dan etika
pergaulan yang baik, sehingga ia dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan
dapat membatasi pergaulannya”.
29
Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Op. Cit., h. 237-240. 30
Zainuddin, Op. Cit., 103
35
Dalam pendidikan sosial ini, seorang anak sebaiknya diajarkan untuk
menghormati dan patuh kepada orang tua dan orang dewasa lainnya, sebagaimana
yang penulis kutip dari Hamdani dan Fuad mengenai pandangan Al-Ghazali
mengenai hal tersebut.Seorang anak hendaknya diajarkan untuk menghormati dan
memuliakan orang tua, jangan biarkan anak bermain-main ketika di hadapan orang
tua, dan membiasakan anak untuk mendengarkan dengan baik saat orang lain
berbicara.
Selain itu, orang tua dan pendidik seharusnya juga mengajarkan anak untuk
tawadhu dan lemah lembut, mengajarkan anak bersikap darmawan serta membatasi
pergaulan anak. Hal-hal tersebut termasuk kedalam pendidikan sosial karena dengan
itu semua anak didik dapat bersosialisasi dengan orang lain dan lingkungan dengan
baik.
5. Pendidikan jasmaniah
Adapun dalam pendidikan jasmaniah dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Kesehatan dan kebersihan
Dalam hal ini, Al-Ghazali mengaitkannya dengan tharah, beliau memandang
kebersihan sebagai salah satu faktor dalam kesehatan. Maka dari itu, pendidikan
jasmaniah tidak kalah pentingnya dengan pendidikan yang lain.
b. Membiasakan makan suatu makanan yang baik, serta tidak berlebihan.
Karena menurut beliau, bila makan kekenyangan akan menyebabkan hal-hal
yang mengganggu dalam proses belajar diantaranya anak malas belajar dan ibadah,
keras hati, menguatkan syahwat, dan menghilangkan ingatan.
c. Bermain dan berolah raga
36
Permainan harus memenuhi dua syarat, pertama permainan harus sesuai
etikadan norma kesusilaan masyarakat. Kedua permainan supaya disesuaikan dengan
usia tumbuh kembang anak. Menurut Al-Ghazali permainan bertujuan untuk
merefresh otak dan hiburan untuk anak didik.Dengan bermain anak didik dapat
melatih dirinya untuk bersosialisasi dengan kawan dan lingkungannya, selain itu
bermain juga dapat menjadi wadah untuk mengembangkan bakat anak.Secara
jasmaniah bermain juga dapat melatih dan menyehatkan otot-otot sehingga sekaligus
dapat menyehatkan dan mennguatkan tubuh anak.31
Sedangkan terkait mengenai materi pendidikan yang layak diajarkan kepada
anak didik, Al-Ghazali memberikan kriteria; pertama, materi tersebut dapat
memberikan manfaat untuk manusia dalam upaya mewujudkan sebuah kehidupan
yang religius, seperti pendidikan etika atau yang lain. Kedua, materi pendidikan dapat
memberi kemudahan kepada manusia untuk dapat mempelajari ilmu agama, misalnya
ilmu bahasa, gramatika dan lainnya.Ketiga, materi pendidikan yang memberikan
manfaat untuk bekal kehidupaan dunia, seperti kedokteran.Keempat, materi
pendidikan tersebut harus bermanfaat dalam membangun kebudayaan dan peradaban
manusia, seperti tentang sejarah, sastra, politik, dan lainnya.32
c. Metode Pendidikan
Al-Ghazali sangat menekankan terhadap pentingnya persiapan bahan ajar oleh
guru.Beliau juga menekankan bahwasanya guru harus mengamalkan ajaran-ajaran
yang telah diajarkannya kepada muridnya.Ia juga mengingatkan agar para guru
menghindari penyajiaan bahan pelajaran yang rumit, dan guru juga dianjurkan agar
memulai pelajaran dari yang paling mudah dan simple.33
31
Hamdani dab Fuad Ihsan, Op. Cit., h. 251-263. 32
Asrorun Ni‟am Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam Mengurai Relevansi Konsep Al-
Ghazali Dalam Konteks Kekinian, (Jakarta: Elsas, 2006), Cet. 3., h. 83. 33
Alavi,Op. Cit., h. 67.
37
Al-Ghazali juga mengklasifikasikan metode pendidikan menjadi dua bagian:
pertama, metode khusus pendidikan Agama, metode pendidikan agama ini memiliki
orientasi kepada pengetahuan aqidah karena pendidikan Agama pada nyatanyanya
lebih sulit dibanding dengan pendidikan umum yang lainnya, karena pendidikan
Agama menyangkut permasalahan keyakinan dan lebih menitikberatkan kepada
pembentukan kepribadian peserta didik. Sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad
Syar‟I dari Zakiah Dradjat bahwa: “pendidikan Agama dalam arti pembinaan
kepribadian sebenarnya telah dimulai sejak anak lahir, bukan sejak dalam
kandungan”.
Dengan demikian pendidikan akal yang terkait pada diri peserta didik selama
dalam proses pendidikan akan dapat dikendalikan, sehingga bukan hanya
mementingkan aspek rasio, rasa, berpikir sebenar-benarnya tanpa dzikir, melainkan
peserta didik yang memiliki kepribadian yang kamil. Dengan begitu, agama bagi
peserta didik menjadi pembimbing akal, maka terciptalah kehidupan yang seimbang.
Kedua, metode khusus pendidikan akhlak, Al-Ghazali memberi pengertian
tentang akhlak “Al-Khuluq (jamaknya Al-Akhlaq) ialah ibarat (sifat atau keadaan)
dari perilaku yang konstan (tetap) dan meresap dalam jiwa.34
Beliau mengatakan
“wajib atas para murid untuk membersihkan jiwanya dari kotoran/kerendahan
akhlak dan dari sifat-sifat yang tercela, karena bersihnya jiwa dan baiknya akhlak
menjadi asas bagi kesempurnaan ilmu yang dituntutnya.”35
Pendidikan akhlak ini
bias diterapkan dengan menggunakan metode latihan dan pembiasaan, selain itu juga
dapat menggunakan nasihat dan anjuran sebagai alat pendidikan dalam usaha
membina kepribadian anak didik sesuai dengan ajaran agama Islam tentunya. Dalam
pembentukan kepribadian ini diperlukan tahapan secara berangsur-angsur guna
mencapai kesempurnaan.36
34
Zinuddin, Op .Cit., h. 102. 35
Muzayyin, Op. Cit., h. 95. 36
Hamdani dan Fuad, Op. Cit., h. 240.
38
Al-Ghazali mengaitkan akhlak dengan jiwa dalam membahas pendidikan
akhlak. Beliau menekankan bahwasanya akhlak itu bersumber dari jiwa seseorang
yang kemudian menghasilkan tindakan-tindakan nyata, namun tindakan tersebut juga
dapat mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Inilah alasan beliau mengapa
pendidikan akhlak itu diperlukan.Ketika seseorang melakukan tindakan fisik dalam
beberapa waktu tertentu (sering) maka secara tidak disadari tindakan tersebut lah
yang melandasi dan mempengaruhi kualitas jiwa seseorang.
Dengan penjelasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa metode
pendidikan akhlak harus dilakukan dengan cara praktek secara continu dan
dibutuhkan waktu untuk pembiasaan sebagaimana yang dijelaskan Hamdani dan
Fuad mengenai pendapat Al-Gazali bahwasannya dalam pendidikan akhlak sebaiknya
dibentuk dengan cara prakter secara terus menerus dan pendidikan akhlak juga
memerlukan waktu untuk berproses.
Perhatian Al-Ghazali terhadap ilmu agama memang begitu besar.Secara
teknisnya Al-Ghazali menegaskan bahwa mempelajari ilmu agama harus dimulai
sejak dini. Dengan cara, mulanya anak-anak usia dini diajak untuk menghafal dasar-
dasar agama.
Kemudian seiringdengan perkembangan usianya dan kemampuan
intelektualitasnya barulah pendidikan diteruskan dengan memberikan penjelasan dan
pengertian atas suatu materi.Anak didik diajak untuk memahami substansinya dengan
disertai argumentasi yang rasional.
Dalam persoalan prinsip-prinsip keagamaan, metode pengajaran agama Al-
Ghazali dimulai dengan menghafal, lalu memahami, kemudian mempercayai dan
39
menerima.Selanjutnya penyajian bukti-bukti argumentative untuk memperkuat ajaran
yang telah diterima.37
Kemudian dalam hal mendidik, Al-Ghazali mengambil sistem yang
berasaskan keseimbangan antara kemampuan rasional dengan kekuasaan Tuhan,
antara kemampuan penalaran dengan penngalaman mistik yang memberikan ruang
bekerjanya akal pikiran, dan keseimbangan antara berpikir deduktif logis dengan
pengalaman empiris manusia.
Atas dasar pandangan al-Ghazali itu maka tergambar pula dalam metode
pendidikan yang diingingkan. Di antaranya beliau lebih menekankan pada perbaikan
sikap dan tingkah laku para pendidik dalam mendidik anak didik, seperti berikut:
a) Guru harusmencintai muridnya seperti anaknya sendiri.
b) Guru tidak boleh mengharapkan upah.
c) Guru harus memberi semangat kepada muridnya untuk mencari ilmu yang
manfaat.
d) Guru harus memberi contoh dan teladan yang baik.
e) Guru harus mengajarkan materi yang sesuai dengan kemampuan anak didiknya.
f) Guru harus mengamalkan ilmu yang sudah dipelajari, karena guru menjadi idola
di mata anak didiknya sehingga apapun yang dilakukan atau apapun yang terlihat
dari seorang guru sedikit-banyak akan ditiru oleh muridnya.
g) Guru harus paham terhadap jiwa anak didiknya.
h) Guru harus mendidik keimanan anak didiknya, sehingga tunduk kepada agama.38
Sebagaimana yang dikutip Zainuddin dalam bukunya Seluk Beluk Pendidikan
Dari Al-Ghazali, Al-Ghazali menyarankan pada guru:“seorang guru hedaklah dapat
memperkirakan daya pemahaman muridnya dan jangan diberikan pelajaran yang
37
Asrorun Ni‟am Sholeh, Op. Cit., h. 81-80. 38
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), hal. 94
40
belum sampai tingkat akal pikirannya, sehingga ia akan lari dari pelajaran atau
menjadikan tumpul otaknya”39
Maka dari itu jelaslah bahwa metode pendidikan yang harus dipergunakan
oleh para pendidik/pengajar adalah yang berprinsip pada child centered yang lebih
mementingkan anak didik daripada pendidik sendiri. Metode itu dapat diterapkan
dalam macam-macam metode seperti, metode contoh teladan, metode guidance &
counselling (bimbingan dan penyuluhan), metode cerita, metode motivasi, metode
reinforcement (mendorong semangat), dan lain sebagainya.40
“Selain itu Al-Ghazali menekankan agar guru menguasai pengetahuan secara
utuh dan kecakapan, kemampuan dan suka pada anak didiknya serta membuat
perencanan mengajarnya secaraa berurutan dan serasi.”41
2. Ibnu Khaldun
a. Biografi
„Abd al-Rahman Abu Zaid Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Khaldun
(lebih dikenal dengan Ibn Khaldun)lahir di Thunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732
H/27 Mei 1332 M. dan meninggal di Cairo tanggal 25 Ramadhan 808 H/19 Maret
1406 M.42
Sejak kecil, Ibnu Khaldun adalah seorang yang haus akan ilmu
pengetahuan, Ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah diperolehnya. Hal
ini menyebabkan beliau mempunyai banyak guru.Tidak heran jika beliau termasuk
orang yang pandai dalam ilmu Islam, tidak saja dalam bidang agama, tapi juga di
39
Zainuddin, Op. Cit., h. 78. 40
Muzayyin, Op. Cit., h. 95. 41
Zianuddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan,
(Bandung: Angkasa, 2003), h. 67. 42
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, edisi revisi, (Jakarta: Ciputat
Press, 2005), h. 91
41
bidang-bidang umum lainnya, seperti sejarah, ekonomi, sosiologi, antropologi, dan
lain-lain.43
Ketika sudah mencapai usia untuk belajar, beliau melanjutkan pelajarannya
dan berguru kepada sejumlah ahli. Ibnu Khaldun mulai menghafal Al-Qur‟an dan
tajwidnya sesuai dengan metode yang berlaku di sebagian besar Negara Islam.Ibnu
Khaldun juga belajar tentang dasar-dasar ilmu bahasa Arab, kesusastraan, gramatika,
lalu mendalami ilmu ushul fiqh dan fiqh dari mazhab Maliki.44
Sebagaimana parapemikir Islam lainnya, pendidikan masa kecilnya
berlangsung secara tradisional. Artinya, ia harus belajar membaca al-Qur‟an, hadits,
fiqih, sastra, dan nahwu sharaf dengan sarjana-sarjana terkenal pada masanya. Pada
umur 20 tahun ia telah bekerja sebagai sekretaris Sultan Fez di Maroko.45
Dalam menuntut berbagai ilmu tersebut, ada beberapa ulama yang dikenal
sebgaai gurunya, diantaranya dalam pelajaran bahasa beliau peroleh dari Abu
Abdullah Muhammad bin al-Arabi al-Hasyayiri, Abu al-Abbas Ahmad bin al-
Qaushhar, dan Abu Abdillah. Pelajaran hadis diperolehnya dari Syamsuddin Abu
Abdillah al-Wadiyasyi.Beliau juga belajar fiqh kepada Abdillah Muhammad al-Jiyani
dan Muhammad al-Qashir.46
b. Konsep Pendidikan
Menurut Khaldun, manusia bukan merupakan produk nenek moyangnya, akan
tetapi produk sejarah, lingkungan sosial, lingkungan alam, adat istiadat. Karena itu,
lingkungan sosial merupakan pemegang tanggung jawab dan sekaligus memberikan
43
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 45 44
Kosim, op. cit., h. 15. 45
Nata, loc. cit., h. 171. 46
Kosim, loc. Cit.
42
corak perilaku seorang manusia.Hal ini memberikan arti, bahwa pendidikan
menempati posisi sentral dalam rangka membentuk manusia ideal yang diinginkan.47
Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu menekankan pada segi
kepribadiannya, sebagaimana yang acapkali dibicarakan para filosof, baik Islam
maupun luar Islam.Ia lebih banyak melihat manusia dalam hubungannya dan
interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Dalam konteks
inilah ia sering disebut sebagai salah seorang pendiri sosiologi dan antropologi.48
Menurut Ibnu Khaldun, manusia memiliki perbedaan dengan makhluk
lainnya, khususnya binatang. Perbedaan ini antara lain karena manusia di samping
memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan
hidupnya, juga memiliki sikap hidup bermasyarakat yang kemudian dapat
membentuk suatu masyarakat yang antara satu dan lainnya saling menolong. Dari
keadaan manusia demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan dan
masyarakat.Pemikiran tersebut pada suatu saat diperlukan dalam menghasilkan
sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh panca indera. Ilmu yang demikian mesti
diperoleh dari orang lain yang telah dahulu mengetahuinya. Mereka itulah yang
kemudian disebut guru. Agar proses pencapaian ilmu yang demikian itu maka perlu
diselenggarakan kegiatan pendidikan.49
Dalam proses belajar, akal pikiran memungkinkan orang untuk menangkap
pengertian baik dari ucapan maupun dari tulisan serta mampu pula mengambil
kesimpulan-kesimpulan tentang hukum-hukum yang membentuk susunan dan relasi
antara berbagai pengertian yang berbeda. 50
47
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, op. cit., , h. 93 48
Nata, op. cit., 174 49
Zianuddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan,
(Bandung: Angkasa Press, 2003), h. 72 50
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara: 2005), h. 96.
43
Ibnu Khaldun juga berpendapat dalam proses belajar atau menuntut ilmu
pengetahuan manusia di samping harus bersungguh-sungguh juga harus memiliki
bakat. Menurutnya dalam mencapai pengetahuan yang bermacam-macam itu
seseorang tidak hanya membutuhkan ketekunan, tetapi juga bakat.Berhasilnya suatu
keahlian dalam suatu bidang ilmu atau disiplin memerlukan pengajaran.51
Dengan demikian, penulis ingin menjabarkan lebih lanjut lagi tentang konsep
pendidikan yang diterapkan oleh Ibnu Khaldun melalui beberapa aspek pendidikan,
seperti:
a. Tujuan Pendidikan
Ibnu Khaldun tidak menuliskan dalam satu pembahasan tentang tujuan
pendidikan Islam. Meskipun demikian para tokoh pendidikan Islam mencoba untuk
menyimpulkan tujuan pendidikan Islam yang ditawarkan Ibnu Khaldun dengan
melacak pemikirannya tentang pendidikan sebagaimana tertuang dalam kitab
Muqaddimah.52
Ibnu Khaldun percaya bahwa upaya mencapai dan memiliki
pengetahuan adalah kebutuhan pokok kehidupan manusia, karena manusia memiliki
kemampuan berpikir dan bernalar.53
Menurut Ibnu Khaldun, paling tidak ada 3 tingkatan tujuan yang hendak
dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:
1. Pengembangan kemahiran (al-makalah atau skill) dalam bidang tertentu. Orang
awam bisa memiliki pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan
seorang ilmuan. Akan tetapi, potensi al-makalah tidak bisa dimiliki oleh setiap
orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami dan mendalami satu disiplin
tertentu.
51
Alavi, loc. Cit., h. 72 52
Kosim.Op. cit., 58.. 53
Alavi, Loc. Cit., h. 72.
44
2. Penguasaan keterampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman link and
match. Dalam hal ini pendidikan hendaknya ditujukan untuk memperoleh
keterampilan yang tinggi pada profesi tertentu. Pendekatan ini akan menunjang
kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta peradaban umat manusia di
muka bumi. Pendidikan yang meletakan keterampilan sebagai salah satu tujuan
yang hendak dicapai, dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan dan
memajukan peradaban secara keseluruhan.
3. Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berpikir merupakan garis pembeda
antar manusia dengan binatang. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya diformat
dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan
perkembangan potensi-potensi psikologis peserta didik.54
Tujuan Pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah “untuk membuat kaum
Muslimin percaya dan meyakini Tuhan melalui mempelajari Al-Qur‟an dan ilmu
pengetahuan keagamaan.Ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan keyakinan dan
hukum Islam akan membuat kaum Muslimin mengetahui realitas yang diarahkan
pada upaya mendapatkan akhlak yang baik.”55
Dari tujuan di atas tampak bahwa menurut Ibnu Khaldun pendidikan atau
ilmu dan mengajar merupakan suatu kemestian dalam membangun masyarakat
manusia.Pernyataan ini mengindikasikan bahwa maksud dari pendidikan menurut
Ibnu Khaldun adalah mengubah nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk
dapat mempertahankan eksistensi manusia.56
b. Kurikulum Pendidikan
Dalam kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun memang tidak membicarakan
tentang definisi, komponen, atau karakteristik kurikulum secara sistematis.Beliau
54
Al-Rasyidin, op.cit., h. 94 55
Alavi, Loc. Cit., h. 72. 56
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-ruz Media, 2011), h. 241.
45
juga tidak menggunakan istilah kurikulum dalam kitab tersebut.Namun Ibnu Khaldun
banyak berbicara tentang ilmu dan klasifikasinya.Untuk itu, Muhammad Kosim
dalam bukunya mengelompokkan pemikiran tentang ilmu dan klasifikasi ini dalam
kurikulum.sebab, ilmu dan klasifikasinya tersebut merupakan materi dalam
pendidikan dan materi tersebut merupakan salah satu komponen dasar dalam
kurikulum.Dengan demikian, kurikulum yang dibicarakan disini bukanlah kurikulum
dalam arti luas, melainkan dalam arti sempit dan hanya terbatas pada materi saja.57
Macam-macam ilmu pengetahuan yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun di
dalam bukunya “Muqaddimah Ibnu Khaldun” ada dua macam yaitu:
1) Alami bagi manusia yaitu dengan melalui bimbingan pikirannya.
2) Tradisional yaitu pengetahuan yang diperoleh dari orang yang menciptakan.
Menurut Ibnu Khaldun, manusia memperoleh ilmu itu melalui
kemampuannya untuk berfikir, yang demikian itu sudah merupakan watak baginya
dan dengan persepsi manusiawinya manusia terbimbing kepada objek dengan
problem argument dan metode pengajaran sehingga mengetahui perbedaan antara
yang benar dan yang salah di dalam suatu ilmu. Ilmu yang tradisional yang semuanya
bersandar kepada informasi berdasarkan autoritas syari‟at yang diberikan, dasar dari
semua ilmu tradisional ini adalah materi al-Qur‟an dan sunah, yaitu hukum yang telah
berhubungan dengan materi tersebut, dalam arti bahwa kita dapat memetik manfaat
dari padanya.58
Menurut Ibnu Khaldun yang telah dikutip oleh Suwito dan Fauzan di dalam
bukunya “Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan” bahwa Ibnu Khaldun sangat
memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu-ilmu naqliyah, yaitu al-Qur‟an, Hadist,
57
Ibid., h. 64. 58
Ahmadie Thoha, Muqaddimah Ibnu Khaldun,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 543-544
46
dan Teologi spekulatif. Kemudian terdapat Ilmu aqliyah seperti ilmu pengetahuan
fisika dan filsafat.59
Pengklasifikasian Ibnu Khaldun yang dikutip oleh M. Arifin di dalam
bukunya “Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner” tentang ilmu dasar pengetahuan Islam yang bersumber
dari al-Qur‟an meliputi sebagai berikut:
1. Ilmu pengetahuan filosofis dan intelektual
Semua ilmu pengetahuan dapat dipelajari oleh manusia melalui akal pikiran dan
penalaran yang bersifat alami, yang terbawa sejak lahir.
2. Ilmu pengetahuan yang disampaikan (transmitted sciences)
3. Ilmu tersebut terdiri dari ilmu al-Qur‟an, tafsir, dan tajwid, ilmu hadist, ilmu
fiqih, teologi (ilmu ketuhanan), dan bahasa. Walaupun tidak semua ilmu
pengetahuan ditransmisikan melalui institusi pendidikan formal, namun ilmu
tersebut dapat berkembang dari zaman ke zaman.
Menurut Arifin, ilmu pengetahuan di atas banyak bergantung pada kepandaian
guru dalam mempergunakan metode-metode yang tepat dan baik. Oleh karena itu,
guru wajib mengetahui kegunaan dari suatu metode yang akan dipakai.60
Dalam sumber lain, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa pertumbuhan
pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh peradaban. Terjadinya perbedaan
lapisan sosial dalam masyarakat akibat dari hasil kecerdasan yang diperoses melalui
pengajaran.Beliau tidak setuju dengan pendapat sebagian kalangan yang mengatakan
terjadinya lapisan sosial disebabkan perbedaan hakikat kemanusiaaan.Ia membagi
ilmu pengetahuan menjadi 3 kelompok yaitu:
59
Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung: Angkasa Press,
2003), h. 71 60
M. Arifin, op. cit., h. 138.
47
1. Ilmu lisan (bahasa), yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramatika) sastra atau bahasa
yang tersusun secara puitis.
2. Ilmu naqli, yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah Nabi. Ilmu ini
berupa membaca kitab suci Al-Qur‟an dan tafsirnya, sanad dan hadits
pentashihannya serta istinbat tentang kaidah-kaidah fiqih.
3. Ilmu aqli, yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya pikir
kecerdasannya kepada filsafat dan semua pengetahuan, yang termasuk dalam
kategori ini adalah ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu teknik,
ilmu hitung, ilmu tingkah laku (psikologi), ilmu sihir, dan ilmu nujum.61
Berkenaan dengan pelajaran bahasa, Ibnu Khaldun memiliki pandangan,
bahwa belajar bahasa seperti belajar suatu keterampilan atau keahlian, dan hanya
orang yang memiliki kecakapan yang dapat mengatasi kesulitan dalam belajar
bahasa.62
c. Metode Pendidikan
Mengenai metode pendidikan dalam mengajara, Ibnu Khaldun memiliki enam
metode sebagaimana yang penulis kutip dari Kosim, yaitu:
1) Metode Hafalan
Tidak semua bidang‟mata pelajaran cocok menggunakan metode hafalan
ini.Metode ini lebih cocok digunakan dalam pelajaran yang terkait dengan bahasa.
Beliau beranggapan bahwa dengan banyak membaca dan menghafal seseorang
akan memperoleh keahlian berbahasa.
2) Metode Dialog
61
Ahmad, Op. Cit., h. 106-107. 62
Alavi, Op. Cit., h. 75.
48
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa tidak semua bidang pelajaran
cocok dengan metode hafalan terutama dalam hal penguasaan tentang suatu ilmu
secara utuh hingga memiliki kompetensi dalam ilmu tersebut. Menurut Ibnu
Khaldun, metode dialog lah yang paling tepat untuk digunakan dalam
memperoleh penguasaan terhadap disiplin ilmu. Hal ini dikarenakan metode
hafalan tidak dapat membuat anak didik menguasai persoalan, sehingga ia tidak
dapat memiliki kemampuan mengenai ilmu tersebut.
3) Metode Widya Wisata
Metode ini ditunjukkan oleh Ibnu Khaldun untuk orang yang menuntut ilmu
hanya melalui kitab-kitab, tanpa bertemu langsung dengan penulis kitab tersebut
dapat membuat bingung mereka dan tidak mengerti secara utuh apa yang
dimaksud oleh penulis kitab tersebut. Widya wisata yang dimaksud dari metode
ini adalah, mengunjungi penulis kitab secara langsung dan meminta penjelasan
langsung dari penulis/guru tersebut, sehingga dapat membuat peserta didik lebih
paham dan mengerti.
4) Metode Keteladanan
Seorang individu pasti memiliki kecenderungan untuk meniru karakter orang
lain. Seperti, kaum lemah yang cenderung meniru orang kuat, bawahan cenderung
meniru atasannya, termasuk anak-anak yang suka meniru orang dewasa.
Hubunganya dengan peserta didik adalah, seorang peserta didik sering kali
memperhatikan gurunya, baik sikap, gaya bicara ataupun penampilan. Seorang
guru secara tidak disadari merupakan idola bagi anak didiknya.Lalu jika dikaitkan
dengan pembelajaran metode keteladanan ini merupakan sarana bagi guru untuk
mengajarkan suatu materi kepada peserta didik, terutama materi yang berkaitan
dengan kepribadian. Hal tersebut dikarenakan sekalipun seorang guru telah
mempersiapkan materi dengan matang tapi jika tidak diimbangi dengan
49
keteladanan seorang guru, niscaya akan sulit membentuk kepribadian peserta
didik.
5) Metode Pengulangan dan Bertahap
Metode ini juga biasa disebut dengan at-tikrar dan at-tadrij, metode ini secara
tidak langsung menegaskan bahwa kemampuan peserta didik dalam menerima
ilmu itu membutuhkan proses. Metode ini dappat dilakukan melalui tiga tahapan:
pertama, guru memberikan baahasan maalah terkait dengan topic pokok suatu
bab, kemudian menerangkan secara umum tanpa menge-nyampingkan
kemampuan anak didik untuk memahaminya. Kedua, karena kemampuan anak
didik masih lemah, maka sebaiknya guru mengulangi lagi dengan pembahasan
yang sama hanya saja ditambahkan cakupannya dengan memberikan komentar
dan penjelasan mengenai perbedaan-perbedaan pandangan pada objek kajian.
Ketiga, jika anak didik telah memahami apa yang dijelaskan oleh guru, maka
seorang guru hendaknya kembali menerangkan materi pelajaran secara
mendalam. Dengan demikian maka murid dapat memiliki keahlian yang
sempurna.
6) Metode belajar Al-Qur‟an
Dalam mempelajari Al-Qur‟an, Ibnu Khaldun memiliki pandangan khusus
yang cukup keras.Beliau tidak menyukai apabila seorang anak membaca Al-
Qur‟an tetapi mereka tidak memahami maksudnya.Maka dari itu, beliau
menjadikan bahasa Arab sebagai dasar studi segala penegetahuan. Bahkan beliau
lebih mendahulukan pengajaran bahasa Arab dari pengetahuan-pengetahuan lain,
termasuk Al-Qur‟an. Karena menurut Ibnu Khaldun jika seorang anak belajar Al-
50
Qur‟an terlebih dahulu sebelum belajar bahasa Arab hanya akan mengacaukan
anak. Anak hanya akan mampu membaca tapi tidak memahami maksudnya.63
Ibnu Khaldun memberikan petunjuk bahwa seorang guru pertama kali harus
mengetahui dan memahami naluri, bakat dan karakter yang dimiliki para
siswa.Iaharus memulai pelajaran yang dipandang mudah dicerna oleh para siswa dan
setelah itu baru dilanjutkan pada materi pelajaran yang sulit dan rumit.64
Menurut Ibnu Khaldun mengajarkan pengetahuan kepada anak didik akan
berhasil apabila dilakukan dengan bertahap, setapak demi setapak dan sedikit demi
sedikit. Pandangan ini sesuai dengan salah satu metode yang digunakan Ibnu
Khaldun, yakni metode pengulangan dan bertahap. Dalam mengajarkan ilmu
pengetahuan kepada anak didik seorang guru pertama-tama ia harus diberi pelajaran
mengenai hal-hal seperti cabang pembahasan yang dipelajarinya. Penjelasan yang
diberikan harus secara umum dulu dengan memperhatikan kemampuan pikir anak
dan kesanggupannya memahami apa yang diberikan kepadanya. Apabila pembahasan
pokok telah dipahami, maka mereka baru memperoleh keahlian dalam cabang ilmu
pengetahuan yang dimaksud dan itu berarti belum lengkap.Sedangkan hasil
keseluruhan dapat dilihat dari hasil pemahaman anak didik terhadap seluruh
pembahasan beserta segala macam seluk-beluknya.Jika terdapat materi yang belum
dikuasai anak, maka harus diulangi kembali sampai dikuasai anak sebaik-baiknya.65
Ibnu Khaldun juga menunjukkan bahwa pelajar jangan dipaksa untuk
menguasai dua disiplin ilmu dalam waktu yang bersamaan, karena hal itu berarti telah
membagi perhatiannya dari suatu subjek pelajaran kepada subjek pelajaran lain, hal
63
Kosim, Op. Cit., h. 83-95. 64
Ibid., 65
Ahmad, Loc. Cit., h. 106.
51
ini membuat siswa berpikir bahwa kedua macam pelajaran tersebut sulit dan
meragukan.66
Dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak didik, Ibnu Khaldun
menganjurkan kepada guru agar mengajar dengan mennggunakan metode
pembelajaran yang baik.Kesulitan yang dialami anak dalam pembelajaran biasanya
lantaran guru tidak menguasai ilmu jiwa anak. Seorang anak yang diajar secara kasar,
keras dan cacian akan mengakibatkan gangguan jiwa pada anak. Anak akan menjadi
malas dan suka berbohong, murung dan tidak percaya diri serta berprilaku buruk,
sehingga anak mengemukakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataannya karena
ia takut. Maka dari itu, Ibnu Khaldun menyarankan supaya guru bersikap sopan dan
lemah lembut kepada muridnya.67
B. Temuan Hasil Analisis Kritis Komparatif
Mengenai konsep pendidikan Al-Ghazali, tujuan pendidikan menurut Al-
Ghazali yakni harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan
titik penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah SWT. dan
bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia
semata. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan selain untuk mendekatkan diri pada
Allah SWT. akan menyebabkan kemudaratan.
Al-Ghazali dengan tegas tidak membolehkan mempelajari ilmu agama
ditujukan untuk tujuan duniawi sekalipun ilmu agama dapat memudahkan seseorang
untuk mendapatkannya. Namun lain halnya dengan ilmu-ilmu non-agama, beliau
membolehkan mempelajari ilmu-ilmu non-agama untuk tujuan duniawi. Lain halnya
lagi dengan tujuan mempelajari ilmu sufi yang tujuan utamanya adalah untuk
66
Alavi, Loc. Cit., h. 76. 67
Ahmad, Op. Cit., h. 107.
52
pencapaian spiritual dan memiliki tujuan akhir yakni, kebahagiaan abadi di surga
yang puncak tertinggi dari kebahagiaan itu adalah pertemuan dengan Allah SWT.
Hal tersebut sebaiknya ditanamkan sejak awal pembelajaran kepada anak
didik, supaya anak didik menngerti apa yang sebenarnya menjadi tujuan pendidikan.
Pendidikan bukan sekedar untuk membangun kecerdasan intelektual, melainkan juga
untuk membangun kecerdasan moral dan spiritual, bagi Al-Ghazali hal ini penting
karena seseorang dikatakan berakal sehat apabila dapat menggunakan dunia sebagai
tujuan akhirat sehingga derajatnya lebih tinggi disisi Allah SWT. Dari sini dapat kita
lihat bahwa Al-Ghazali tidak sedikitpun menistakan dunia, melainkan menjadikan
dunia itu sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Padangan kurikulum Al-Ghazali lebih mengedepankan aspek pembagian
disiplin ilmu sesuai dengan tempat dan sasarannya. Sistem pembagian kurikulum Al-
Ghazali didasarkan pada tujuan dari masing-masing kurikulum itu sendiri, dalam hal
ini mata pelajaran. Al-Ghazali juga menerapkan status hukum mempelajari yang
dikaitkan dengan nilai kegunaannya, yakni fardhu „ain dan fardhu kifayah.
Maksudnya adalah ada ilmu yang memang wajib untuk dipelajari dan ada yang tidak
wajib untuk dipelajaritetapi harus ada diantara manusia untuk mempelajarinya.
Selain itu Al-Ghazali juga membagi ilmu berdasarkan sumbernya menjadi dua
bagian: yang pertama ilmu Syari‟at yang terdiri atas ilmu ushul, ilmu furu‟, ilmu
pengantar, dan ilmu pelengkap. Kedua, ilmu bukan Syari‟ah yang terdiri atas ilmu
yang terpuji, ilmu yang dibolehkan dan ilmu tercela, dalam hal ini adaa juga pendapat
yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan berdasarkan sumbernya sama dengan
ilmu pengetahuan berdasarkan fungsi sosialnya. Selain itu, beliau juga menambahkan
aspek-aspek pendidikan, yakni pendidikan keimanan, pendidikan akhlak, pendidikan
akliah, pendidikan sosial, dan pendidikan jasmani.
53
Al-Ghazali menganjurkan supaya guru memberikan materi yang bermanfaat
kepada anak didik, materinya harus yang bermanfaat untuk akhirat dan dunia,mampu
memberi kemudahan untuk mempelajari ilmu agama, serta dapat membangun
peradaban manusia.
Selanjutnya dalam hal penerapan metode, sebelumnya beliau
mengklasifikasikan metode menjadi dua, yakni metode khusus pendidikan agama dan
metode khusus pendidikan akhlak. Al-Ghazali menilai bahwa pendidikan Agama
lebih sulit karena berkenaan dengan aqidah dibandingkan dengan pendidikan umum
lainnya.Dalam pendidikan Agama sendiri, beliau memberi tahapan dalam mengajari
peserta didik yakni dimulai dengan menghafal, memahami, kemudian mempercayai
dan menerima, setelah dirasa cukup, barulah guru memberikan bukti-bukti sesuai
dengan materi yang diajarkan.
Dalam metode khusus pendidikan akhlak berdasarkan kutipan sebelumnya,
beliau menganggap betapa-pun pelajar telah menguasai berbagai ilmu pengetahuan,
akhlak mulia tetap harus menjadi dasar hidupnya.
Selanjutnya mengenai konsep pendidikan Ibnu Khaldun, secara umum konsep
pendidikan Ibnu Khaldun adalah bagaimana pendidikan tersebut dapat menghasilkan
nilai-nilai yang menunjukkan eksistensi manusia itu sendiri, artinya pendidikan
merupakan upaya untuk melestarikan sekaligus mewariskan nilai-nilai yang ada
dalam masyarakat. Pemikiran beliau tentang pembentukan kepribadian seseorang
dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, lingkungan alam dan adat istiadat.Ibnu Khaldun
tidak setuju dengan yang mengatakan bahwa manusia adalah produk nenek
moyangnya.Karena itulah menurutnya lingkungan memegang tanggung jawab yang
penting terhadap pembentukan kepribadian seseorang.
Terkait dengan tujuan pendidikan, Ibnu Khaldun memiliki tiga tujuan yang
ingin dicapai, pertama kemahiran anak didik dalam bidang tertentu, kedua anak didik
54
dapat menguasai keterampilan professional dan yang ketiga pembinaan pemikiran
yang baik.Selain itu tujuan pendidikan Ibnu Khaldun adalah “untuk membuat kaum
Muslimin percaya dan meyakini Tuhan melalui mempelajari Al-Qur‟an dan ilmu
pengetahuan keagamaan.Ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan keyakinan dan
hukum Islam akan membuat kaum Muslimin mengetahui realitas yang diarahkan
pada upaya mendapatkan akhlak yang baik.”68
Mengenai kurikulum pendidikan, beliau tidak menjelaskan definisi maupun
komponen yang terkait dengan kurikulum secara sistematis, melainkan hanya
membahas tentang ilmu dan klasifikasinya saja. Dalam ilmu pengetahuan pastilah
terdapat materi, karena materi merupakan salah satu komponen operasional
pendidikan. Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan berdasarkan sumbernya
menjadi dua, yakni alami dan tradisional.Ilmu alami, Ibnu Khaldun beranggapan
bahwa manusia memperoleh ilmu itu melalui kemampuannya untuk
berfikir.Sedangkan ilmu tradisional adalah ilmu yang bersandar kepada otoritas
syari‟at yang diberikan dan dasar dari ilmu tradisional ini adalah Al-Qur‟an dan
Sunnah. Selanjutnya Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan kepada tiga
kelompok, yakni ilmu lisan, ilmu naqli dan ilmu aqli.
Beralih kepada metode pembelajaran, dalam hal ini Ibnu Khaldun membagi
metode menjadi enam yaitu, metode hafalan, metode dialog, metode widya wisata,
metode keteladanan, metode pengulangan, dan metode belajar Al-Qur‟an. Ada dua
metode yang menarik dari Ibnu Khaldun, yakni metode widya wisata dan metode
belajar Al-Qur‟an. Kedua metode tersebut mencirikan pemikiran Ibnu Khaldun yang
ketat terhadap pendidikan. Karena harus betul-betul teliti dalam melaksanakan kedua
metode tersebut. Seperti pada metode widya wisata seorang murid harus bertemu
langsung dengan guru bidang kajian ilmu tertentu agar mendapatkan pemahaman
yang sempurna. Kemudian pada metode belajar Al-Qur‟an, seorang anak didik harus
68
Alavi, Loc. Cit., h. 72.
55
belajar bahasa Arab terlebih dulu aagar mampu memahami maksud dari yang ia baca.
Dari metode ini juga dapat diketahui bahwa Ibnu Khaldun memiliki perhatian khusus
pada ilmu bahasa.
Beliau juga menekankan bahwa seorang pendidik/guru harus memahami
kepribadian anak. Selain itu guru seharusnya memberi materi pelajarang yang
dipandang mudah dicerna oleh anak didik, baru kemudian setelah anak didik
memahami materi tersebut barulah guru melanjutkan kepada pelajaran yang lebih
sulit dari pelajaran sebelumnya. Beliau juga berpendapat bahwa ketika kita
mengajarkan sesuatu kepada anak didik harus secara bertahap, sedikit demi sedikit.
Jika seorang anak belum menguasai materi yang diajarkan, maka pendidik/guru harus
mengulang materi tersebut sampai anak betul-betul memahaminya.
Dengan melihat konsep tujuan pendidikan Islam dari kedua tokoh tersebut
dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan Ibnu Khladun terlihat lebih simple jika
dibandingkan Al-Ghazali. Hal ini ditunjukkan dengan pembagian tujuan pendidikan
berdasarkan sifat pengetahuan yang dikaji yang dibuat oleh Al-Ghazali, sedangkan
Ibnu Khaldun hanya membedakan tujuan proses tanpa menyinggung ilmu apa yang
dipelajari. Meskipun demikian terdapat persamaan antara tujuan proses pendidikan
Ibnu Khaldun dan tujuan tingkat pengklasifikasian tujuan pendidikan Al-Ghazali,
yakni sama-sama terfokus pada pendekatan diri kepada Allah SWT dan pada
pembentukan akhlak yang baik.
Selanjutnya mengenai konsep kurikulum yang digambarkan oleh masing-
masing tokoh memberikan gambaran bahwa keduanya memiliki konsep pemikiran
yang sama, dari segi ilmu pengetahuan apa saja yang dapat dipelajari. Sekalipun
demikian, tetap terdapat perbedaan antara keduanya, yakni Al-Ghazali lebih rinci
dalam hal yang terkait dengan hukum mempelajari suatu ilmu.
56
Dan yang terakhir yakni mengenai metode pendidikan, dalam hal ini Al-
Ghazali hanya membagi metode menjadi dua bagian saja, berbeda dengan Ibnu
Khaldu yang memiliki enam metode dalam konsep pendidikannya. Namun tetap ada
persamaan dalam penerapan metode Al-Ghazali dengan Ibnu Khaldun, sekalipun Al-
Ghazali tidak menjelaskan tentang metode keteladanan namun pada prakteknya
beliau menganjurkan agar seorang guru harus memberi teladan yang baik kepada
anak didiknya, artinya seorang harus mengamalkan ilmu yang sudah dipelajari karena
guru menjadi idola di mata anak didiknya.
57
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Konsep pendidikan menurut Al-Ghazali yakni seorang anak terlahir dalam
keadaan fitrah maka orang yang mendidiknya lah yang mempengaruhi anak
tersebut. Ini berarti jika seorang anak tumbuh dan berkembang dalam
lingkungan yang baik, dididik dengan cara yang baik dan dibiasakan
melakukan hal-hal yang baik, maka anak tersebut akan menjadi baik. Dan
sebaliknya, jika anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang buruk,
dididik dengan cara yang buruk dan dibiasakan melakukan hal-hal keburukan,
maka anak tersebut akan menjadi buruk. Konsep pendidikan Ibnu Khaldun
yakni manusia merupakan hasil dari sejarah, lingkungan sosial, lingkungan
alam, dan adat istiadat. menurutnya lingkungan sosial memiliki peran penting,
tanggung jawab terhadap pembentukan kkepribadian seseorang.
2. Pandangan Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun mengenai konsep pendidikan
memiliki persamaan yakni berpaham empiris yang berarti bahwa manusia
bukan produk nenek moyangnya melainkan dibentuk berdasarkan lingkungan
dan adat istiadat. selain itu persamaan yang didapat dari keduanya terletak
pada metode keteladanan yang harus dimiliki oleh seorang guru, hanya saja
Al-Ghazali menempatkan keteladanan tersebut merupakan sikap yang harus
dimiliki oleh seorang guru.
3. Konsep pendidikan Al-Ghazali berbeda dengan Ibnu Khaldun, beliau lebih
spesifik dan berhati-hati dalam memilih tujuan pendidikan. Hal ini dapat
dilihat dari pengklasifikasian tujuan pendidikan beliau yang telah penulis
uraikan. Al-Ghazali lebih mengarah kepada realisasi religius dan moral, yang
penekanannya adalah keutamaan dan pendekatan diri kepada Allah SWT.
58
Sedangkan tujuan pendidikan Ibnu Khaldun, penulis membaginya menjadi
dua : pertama, tujuan duniawi yakni di mana pendidikan bertujuan untuk
memperoleh kemahiran, keterampilan, professional, dan ditujukan untuk
membina pemikiran peserta didik. Kedua, tujuan ukhrawi yakni tujuan yang
ditujukan untuk kaum muslim agar mempercayai Allah SWT melalui Al-
Qur’an dan ilmu keagamaan sehingga menghasilkan tujuan hidup yang
sejalan dengan ajaran Islam. Ketika seseorang kehidupannya sudah sesuai
dengan ajaran Islam maka hal ini berdampak kepada orang tersebut, yakni
menjadikannya ber-akhlakul karimah. Dalam kurikulum pendidikan Al-
Ghazali dan Ibnu Khaldun memiliki pengklasifikasian yang berbeda dalam
penjabaran ilmu pengetahuan. pengklasifikasian ilmu dari pemikiran Al-
Ghazali sangat rinci, selain itu beliau juga menambahkan lima aspek
pendidikan terkait dengan ilmu. Sedangkan Ibnu Khaldun hanya membagi
ilmu pengetahuan menjadi dua, yakni aqliyah dan naqliyah. Aqliyah yakni
ilmu yang bersifat rasional, sedangkan ilmu naqliyah adalah ilmu yang
berkaitan dengan agama.
B. Saran
1. Untuk para pendidik, pengajar, praktis pendidikan dan pakar pendidikan
hendaknya memahami dan mengetahui konsep-konsep pendidikan yang
dikemukakan oleh Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun, karena dalam konsep
kedua tokoh tersebut diuraikan bahwasannya etika, akhlak dan jiwa
tersebut sangat berperan penting dalam ilmu pengetahuan dan pendidikan
dalam rangka membangun mutu dan kualitas sehingga tujuan dari
pendidikan tersebut dapat dicapai.
2. Para pakar pendidikan nasional diharapkan agar selalu memperhatikan
kondisidan peristiwa yang terjadi di dunia pendidikan, di mana pada saat
ini bangsa Indonesia dihadapkan pada suatu krisis multi dimensional,
59
khususnya krisis moral dimana pendidikan sangat memprihatinkan,
sebagai contoh kecil adalah tawuran, penyimpangan seksual, pergaulan
bebas sampai penggunaan obat-obat terlarang, oleh karena itu
sebagaimana yang dikemukakan oleh kedua tokoh pendidikan dunia
tersebut, bahwa moral dan iman harus ditingkatkan.
60
DAFTAR PUSTAKA
Alavi, Zianuddin. Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan.
Bandung: Angkasa Press. 2003.
Alkaf, Nuraida Khalid. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Islamic Research
Publishing. 2009.
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press.
2005.
Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2005.
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat
Pers 2002.
Asari, Hasan. Nukilan Pemikiran Islam Klasik Gagasan Pendidikan Al-Ghazali.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1999.
Djalaluddin, M. dan Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo.
1994.
Djumransjah dan Abdul Malik. Pendidikan Islam, Menggali Tradisi Mengukuhkan
Eksistensi. UIN Malang Press. 2007.
Ihsan, Fuad. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2003.
Jalaluddin. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT. Grafindo Persada. 2003.
Kosim, Muhammad. Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun. Jakarta: Rineka
Cipta. 2012.
Maimun, Ahmad. Membongkar Tabir Kehancuran Para Filosof. Terj. dari Tahafut
Al-Falasafah oleh Imam Al-Ghazali. Bandung: Marja. 2012.
Muhammad, Omar Al-Touny Al-Syaibany. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: PT.
Bulan Bintang. 1979.
Mujib, Abdul. IlmuPendidikan Islam. Jakarta: Putra Grafika. 2006.
Nizar, Samsul. Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya
Media Pratama. 2001.
61
. Sejarah Pendidikan Islam Menelusuri jejak sejarah pendidikan Era
Rasulullah Sampai Indonesia. Jakarta: Prenada Media. 2007.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam I. Jakarta: Logos. 1997.
. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2005.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
1991.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia. 2010.
Sholeh, Asrorun Ni’am. Reorientasi Pendidikan Islam Mengurai Relevansi Konsep
Al-Ghazali Dalam Konteks Kekinian. Jakarta: Elsas. 2006.
Shofan, Moh. Pendidikan Berparadigma Profetik. Jogjakarta: Ciputat Pers. 2002.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2001.
Susanto, A. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah. 2009.
Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-ruz Media. 2011.
Suwito dan Fauzan. Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan. Bandung: Angkasa
Press. 2003.
Syar’I, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2011.
Tafsir,Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2010.
Thoha, Ahmadie. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2000.
Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia. 1999.
Zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2004.
LEMBAR UJI REFBRENSI
Nama : Aji NadiyahZuliarti
NIM :1110011000081
Judul Skripsi : Studi Komparasi Konsep pendidikan Islam Ibnu Khaldun
dan Al-Ghazali
No Judul Buku/ReferensiParaf
Pembimbing
I Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam l. Jakarta.Logos. 1997.
2. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:Gaya Media Pratama. 2005.
1J. Abdul Mujib. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: putra
Grafika.2006. IJ4. Al-Rasyidin dan Samsul Nizar. Filsafot pendidikan
Islqm. Jakarta: Ciputat Press. 2005.1
5. Ahmad Maimun. Membongkar Tabir Kehancuran
Para Filosof. Terj. dat'r Tahafitt Al-Falasafah
oleh Imam Al-Ghazali. Bandung: Marja. 2012.\
6. Ahmad Syar'i. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:
Pustaka Firdaus. 2011.
1. Armai Arief. Pengantar llmu dan fuIetodologi
Pendidikan Islam. Jakaria: Ciputat pcrs 2002. 18. Asrorun Ni'am Sholeh. Reorientasi Pendidikan Islam
MengtLrai Relevansi Konsep Al-Ghazali DalomKonteks Kekinian. Jakarta: Elsas. 2006
_)
9. A. Susanto. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta:
Amzah.2A09.
110. Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam Perspektf
Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
2AIA.
11 Ahmadie Thoha. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta:
Pustaka Firdaus. 2000.
12. Djumransjah dan Abdul Malik. Pendidikan Islam,
Menggali Tradisi Mengulathkan Eksistensi.
UIN Malang Press. ZAV. J13. Fuad Ihsan. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: PT.
Rineka Cipta. 2003.1
t4. Hasan Asari. Nukilan Pemikiran Islam Klasik Gagasan
Pendidikan Al-Ghazali. Yogyakarta: Tiara
WacanaYogya. 1999.
15. M. Djalaluddin. dan Usman Said. Filsafat Pendidikan
Islam- Jakarta: Raja Grafindo. 1994.I
16. Moh. Shofan. Pendidikon Berparadigma Profetik.
Jogjakarta: Ciputat Pers. 2002.
t7. Muhammad Kosim. Pemikiran Pendidikan Islam lbnu
Khaldun. Jakarta: Rineka Cipta. 2012.
18. Muzayyin Arifin. Filsafot Pendidikan Islam. Jakarta:PT. Bumi Aksara. 2005.
1t9. Nana Syaodih Sukmadinata. Metode Penelitian
Pendidikan Bandung: PT. Rcmaja Rosdakarya.
2001.
20. Nuraida Khalid Alkaf. Metodologi Penelitian
Pendidikan Jakarta: Islamic Research
Publishing. 2A09.
v
z1 Nur Uhbiyati. Ilmu Pendidikan Islant. Bandung:
Pustaka Setia. 1999 .
22. Omar Muhammad Al-Touny Al-Syaibany. Falsafah
Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
1979.
23. Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam
Mulia.2010.1
24. Samsul Nizar. Pengantar Dasar-dasar Pemikiran
Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media
Pratama.2AU.
25. Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam Menelusurijejak sejarah pendidikan Era Rasulullah SampaiIndonesia. Jakarta: Prenada Media. 2007. .J
26. Jalaluddin. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT. Grafindo
Persada. 2003. 127. Suwito dan Fauzan. Sejarah Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan Bandung: Angkasa Press. 2003.
28. Toto Suharto. Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta:
Ar-ruz Media. 2011 _i29. W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakafta: Balai Pustaka. 1991.
130. Zianuddin Alavi. Pemikiran Pendidikan Islarn Pada
Abad Klasik dan Pertengahan. Bandung:
Angkasa Press. 2003.
11J1. Zulrailiiri. Fiiscyht Peiicliclikaii lsliliii. iakaiia: Burrii
Aksara. 2004.