Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â...
-
Upload
nguyenduong -
Category
Documents
-
view
219 -
download
0
Transcript of Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat â...
13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada periode 2010-2015 selepas muktamar jelang satu abadnya yang
ke-46, Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah (PPA) justru memindahkan posisi humas dari
statusnya sebagai state of being menjadi aktivitas komunikasi yang dapat
dijalankan tanpa harus berada dalam posisi formal yang bernama humas. Pada
periode kepemimpinan 2005 – 2010 sebelum muktamar ke-46, PPA memiliki
bagian humas yang bernama Lembaga Humas dan Penerbitan lengkap dengan
ketua lembaga, staf hingga karyawan kantor khusus. Namun, menurut Sekretaris
PPA 2010 - 2015, Setiawati, dalam rapat pleno di awal periode 2010 – 2015
(Pleno II, 21 Juli 2010), diputuskan bahwa lembaga humas dan publikasi
dihapuskan dari struktur PPA. Adapun mekanisme kehumasan diembankan
kepada Sekretaris PPA yang dipimpin oleh sekretaris umum organisasi beserta
dua orang sekretaris. Di bawah jabatan sekretaris umum dan sekretaris tersebut
ada karyawan kantor PPA yang menunjang laju kesekretariatan pada tataran
teknis.
Secara rinci, Keputusan Pleno II tersebut menyatakan bahwa humas secara
institusi melekat pada organisasi dengan mekanisme pelaksanaannya di bawah
sekretaris. Alasan dari penghapusan Lembaga Humas dan Penerbitan tersebut
tidak tertulis dalam data Keputusan Pleno II PPA (2010), maupun Keputusan
Pleno III (2010) dan IV (2011) yang masih membahas perihal pelekatan tersebut.
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
Meskipun demikian, efisiensi disinyalir menjadi salah satu faktor pemindahan
pelaksanaan humas di bawah mekanisme sekretaris. Pasalnya, dengan pelekatan
tersebut, PPA kini tinggal memiliki dua lembaga yakni Lembaga Kebudayaan
serta Lembaga Pengkajian dan Pengembangan. Dengan demikian, secara kuantitas,
terjadi perampingan jumlah anggota PPA yang memungkinkan terjalinnya
komunikasi yang lebih efisien. Di samping itu, dengan melekatkan humas pada
sekretaris, maka anggaran yang dialokasikan juga dapat diminimalisir dengan
harapan hasil yang sama atau lebih baik. Tak hanya itu, sekretaris juga
merupakan posisi yang paling dekat dengan para ketua yang turut menandakan
dekatnya posisi tersebut dengan eksekutif puncak organisasi baik untuk
kepentingan administrasi maupun komunikasi.
Setiawati menambahkan bahwa dalam mekanisme organisasi Pimpinan
Pusat ‘Aisyiyah, pengaturan struktur merupakan wewenang dari pimpinan.
Itulah sebabnya, keputusan terkait alih fungsi kehumasan dari Lembaga Humas
dan Penerbitan kepada sekretaris PPA diputuskan dalam rapat pleno yang hanya
dihadiri pimpinan pusat, dan bukan muktamar yang diikuti oleh pimpinan pusat
hingga daerah bahkan cabang. Meskipun demikian, posisi muktamar sendiri
menjadi momen penting karena menandai pergantian struktur pimpinan yang
berhak dan bahkan wajib menyelenggarakan sidang pleno guna memutuskan
kebijakan-kebijakan organisasi.
Di samping itu, rentang waktu dua periode kepemimpinan PPA dengan
praktik penerapan humas yang berbeda menunjukkan kuatnya unsur longitudinal
pada kasus ini yang sukar untuk dicari kesamaannya dengan lembaga lain yang
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
sejenis. Di samping memang, sejauh pengamatan peneliti pada berbagai struktur
organisasi sosial keagamaan perempuan di Indonesia di tingkat pusat atau
nasional yang menjadi anggota KOWANI, hanya Wanita Islam dan ‘Aisyiyah
yang memiliki sebuah bagian dengan nama Lembaga Humas yang tertulis secara
eksplisit dalam rentang 10 tahun terakhir ini.
Adapun dari sisi tempat, perubahan kelembagaan humas itu terjadi pada
pimpinan paling puncak dari organisasi ini. Lazimnya, pimpinan puncak
memiliki komposisi paling purna dan lengkap dalam suatu organisasi. Sebab,
segala urusan dari tingkat ranting, cabang, daerah hingga wilayah akan
bermuara pada pimpinan pusat. Namun, Lembaga Humas dan Penerbitan yang
sebelumnya ada dalam struktur, justru ditiadakan dalam periode 2010-2015 ini.
Konsekuensinya, susunan kepemimpinan pada tingkat wilayah dan daerah, cabang
maupun ranting pasti akan menginduk pada tingkat pusat, baik sebagian maupun
keseluruhannya.
Sedangkan dari sisi waktu, keputusan untuk melekatkan fungsi mekanisme
kehumasan pada bagian sekretaris itu justru terjadi saat representasi dari
organisasi sosial keagamaan perempuan ini akan menapaki usianya yang ke-1
abad. Rentang waktu yang telah dilewati tersebut tentu juga menunjukkan
beragamnya relasi komunikasi yang perlu dibangun dengan berbagai stakeholder.
Meskipun demikian, setelah berpengalaman memiliki LHP selama satu periode,
PPA justru meniadakan lembaga yang semestinya membangun dan
mengembangkan beragam komunikasi tersebut pada periode kepemimpinan
2010-2015.
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
Sejauh ini, sedikit sekali, kalaupun ada, penelitian yang dilakukan untuk
mengkaji status penerapan humas di Indonesia, khususnya pada zona organisasi
sosial keagamaan perempuannya. Itulah sebabnya, penelitian yang menganalisis
domain tersebut sangat diperlukan. Penelitian ini mencoba menjawab urgensi
tersebut. Selain mengkaji model penerapan humas PPA sebagai bagian dari
gerakan sosial keagamaan perempuan di Indonesia, urgensi penelitian ini juga
terletak pada upaya untuk membuktikan apakah humas memang perlu diampu
oleh lembaga khusus, atau sebenarnya secara aplikatif, khususnya dalam konteks
organisasi sosial keagamaan perempuan di Indonesia, pelekatan mekanisme
humas humas pada bagian lain seperti yang dilakukan ‘Aisyiyah itu tidak
membuat perbedaan praksis yang signifikan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah model humas yang diterapkan oleh Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah
pra Muktamar Jelang Satu Abad Ke-46 di Yogyakarta?
2. Bagaimanakah model humas yang diterapkan oleh Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah
paska Muktamar Jelang Satu Abad Ke-46 di Yogyakarta?
3. Mengapa Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah menerapkan humas dengan model
tersebut?
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan humas PPA
melalui tipologi model-model humas serta faktor-faktor yang mempengaruhi
penerapan tersebut. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
sumbangan teoritis terkait urgensi kelembagaan humas dalam organisasi sosial
khususnya yang berbasis keagamaan dan digerakkan oleh perempuan. Selain itu,
hasil penelitian ini, diharapkan dapat menjadi rekomendasi penting bagi PPA pada
muktamarnya ke-47 yang akan datang terkait aspek humas untuk mengoptimalkan
efektifitas organisasi.
D. Obyek Penelitian
Obyek penelitian ini adalah PPA terkait dengan penerapan humas yang
dilakukan sebelum dan sesudah Muktamar Ke-46. Unit analisisnya adalah
organisasi, dalam hal ini Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, khususnya Lembaga Humas
dan Penerbitan yang mengelola humas pada periode 2005 – 2010 dan Sekretaris
yang mengelola humas pada periode 2010 – 2015.
E. Pendekatan Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini bersifat kualitatif dengan menggunakan
pendekatan interpretatif. Hal ini dianggap paling tepat karena penelitian ini ingin
menggambarkan dimensi-dimensi penerapan model humas pada PPA pra dan
paska Muktamar Ke-46 yang sesungguhnya secara natural dan mendalam.
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
Pendekatan interpretatif sendiri berdasarkan pada keyakinan bahwa realitas sosial
lebih eksis dalam alam ide daripada dalam fakta konkret. Pemaknaan atas realitas
sosial kemudian terjadi melalui interaksi sosial antar individu dan cara
masing-masing individu memaknai lingkungannya yang terdiri atas beragam
simbol maupun perilaku individu tersebut. Dengan demikian, pendekatan
interpretatif percaya bahwa individu memiliki peran penting dalam membentuk
lingkungan dan aktivitas organisasi. Hal ini membuat pendekatan interpretatif
sesuai dengan penelitian ini. Sebab, penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan
pemahaman atas proses penerapan humas dalam organisasi melalui sudut pandang
para pelaku penerapan humas PPA di lapangan daripada stabilitas organisasi itu
sendiri.
F. Kerangka Pemikiran
Pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah model humas yang
diterapkan oleh PPA sebelum dan sesudah Muktamar Ke-46 serta latar dari
penerapan model tersebut. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada dua konsep
utama yang perlu dipahami. Pertama, model humas serta dimensi-dimensinya
yang membantu memetakan penerapan humas pada level organisasi. Kedua,
faktor – faktor yang mempengaruhi penerapan humas. Faktor – faktor tersebut
diketengahkan karena secara teoritis dapat membantu menganalisis latar
penerapan model humas tertentu oleh suatu institusi. Selain itu, karena
sub-ordinasi humas dari Lembaga Humas dan Penerbitan PPA menjadi latar dari
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
permasalahan yang akan dijawab oleh penelitian ini maka pembahasan tentang
kelembagaan humas dalam suatu organisasi juga akan diketengahkan.
1. Model – Model Humas
Sederhananya, model atau tipologi merupakan representasi dari sesuatu,
baik berupa barang, proses maupun ide. Dengan kata lain, model yang dipakai
dalam menganalisis penerapan humas merupakan sebuah simplifikasi atau cara
cepat untuk memahami praktik atau penerapan humas yang dilakukan.
Penerapan humas dalam penelitian ini merupakan perihal mempraktikkan
aktivitas-aktivitas humas yang dilakukan oleh obyek penelitian, dalam hal ini
organisasi sosial keagamaan perempuan yang diwakili oleh PPA. Pemaknaan
tersebut berangkat dari Istilah “penerapan” yang berasal dari kata dasar “terap”
yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2009) memuat 3 makna utama
yaitu proses, cara, perbuatan menerapkan; pemasangan; serta pemanfaatan
atau perihal mempraktikkan. Praktik tersebut terutama pada proses komunikasi
karena dasar humas adalah komunikasi. Wolvin dan Wolvin menyebutkan bahwa
model komunikasi “help us to see the components of communication from a
perspective that allows for analysis and...understanding of the complexities of the
process” (Uyo, 2006: 40). Dalam hal ini, teori tentang model humas menyediakan
alat-alat yang dapat digunakan untuk mengkaji penerapan humas dalam organisasi
(Lihat Hon dan Grunig, 1999; Rhee, 2004; Uyo, 2006; Gale, 2007; Putra, 2008;
Laskin, 2009).
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
a. The Hunt Grunig Model
The Hunt Grunig Model atau yang juga dikenal dengan The Four Models
merupakan teori middle-range yang diturunkan dari excellence theory. Menurut
Grunig (2006), excellence theory merupakan grand theory atas nilai keseluruhan
fungsi humas terhadap organisasi. Walaupun tidak menjelaskan segala sesuatu
tentang humas, teori ini menyediakan cara berfikir komprehensif untuk
menyelesaikan beragam masalah humas baik yang bersifat positif maupun
normatif. Laskin (2009) menyebutnya sebagai perspektif teoritis yang dominan
dalam penelitian humas. Oleh karena itu, perspektif yang membingkai teori ini
juga bertumpu pada excellence theory yang meyakini bahwa penerapan humas
yang excellence adalah humas yang bersifat dua arah (two way) dan memiliki efek
komunikasi yang seimbang bagi institusi maupun publik (simetris).
Model PR yang diutarakan oleh Hunt dan Grunig mensimplifikasi
humas ke dalam 4 model (lihat Pētersone, 2004 dan Laskin, 2009). Model
pertama adalah keagenan pers (press agentry), yakni humas yang bertujuan untuk
propaganda atau memperoleh publisitas yang bagus dari pers atau media.
Menurut Grunig dan tim excellence project-nya, model yang diinisiasi oleh
Phineas T. Barnum ini merupakan tipologi dari humas yang bertugas membuat
cerita luar biasa tentang organisasi dengan nilai berita yang sedikit. Oleh karena
itu, model ini sering disebut sebagai PR-like activities. Model ini lebih banyak
diterapkan oleh organisasi – organisasi yang bergerak dalam bidang olahraga,
teater serta promosi produk. Dewasa ini, model keagenan pers termasuk model
yang paling jarang digunakan.
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
Model kedua adalah informasi publik (public information), yaitu humas
yang bertujuan untuk menyebarkan informasi terpercaya bagi publik. Baik model
keagenan pers atau model informasi publik sama-sama bersifat satu arah karena
humas tidak mengambil input dari publik atau hanya menjadikan publik sebagai
obyek semata. Model yang diinisiasi oleh Ivy Leedbetter Lee ini merupakan
model humas yang saat ini paling banyak digunakan. Sebagian besar yang
menggunakan model ini adalah humas pemerintah dan asosiasi non profit.
Model ketiga adalah asimetris dua arah (two-way asymmetrical model),
yaitu humas yang bertujuan untuk melakukan persuasi ilmiah kepada publik
sehingga publik akan bertinndak sesuai dengan yang diinginkan oleh organisasi.
Model yang diinisiasi oleh George Creel dan Edward Bernays ini banyak
digunakan oleh para agensi humas serta organisasi – organisasi profit.
Model The Hunt Grunig yang terakhir adalah simetris dua arah (two-way
symmetrical model), yaitu humas yang bertujuan untuk mencapai pemahaman dua
arah dengan publik sekaligus memperoleh efek komunikasi yang seimbang.
Dengan demikian, organisasi yang digawangi humas dapat memahami keinginan
publik, dan begitu juga sebaliknya. Sehingga, proses komunikasi antara humas
dengan publik tak hanya bersifat dua arah, namun juga simetris. Salah satu
penanda utama model ini adalah perencanaan komunikasi humas yang matang
dengan berbagai khalayak kunci. Sayangnya, sulit untuk menelusuri historisitas
model ini. Dan hingga saat ini, model simetris dua arah termasuk model yang
sangat jarang digunakan, susah diukur, memiliki reliabilitas rendah serta tidak
memiliki diferensiasi yang jelas antara asimetris dan simetris.
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22
Pembagian model ala Hunt dan Grunig tersebut berdasarkan pada arah
(two way or one way) dan keseimbangan efek komunikasi yang dituju (simetris
atau tidak simetris) (Rhee, 2004; Laskin, 2009). Model keagenan pers dan
informasi publik mencerminkan komunikasi yang dilakukan humas pada publik
hanya bersifat satu arah dan tidak simetris. Sementara itu, model dua arah
menunjukkan kategori humas yang melibatkan publik dalam komunikasi yang
dilakukan. Sedangkan indikator-indikator dari aktivitas humas yang simetris dan
asimetris dapat dilihat dari simpulan Hon dan Grunig (1999: 16-17) dan Rhee
(2004: 40-41) sebagai berikut:
Indikator asimetris dua arah adalah:
1. Contending: upaya organisasi meyakinkan publik untuk menerima posisi
organisasi.
2. Avoiding: upaya organisasi menghindari konflik dengan publik, baik yang
bersifat psikis maupun fisik.
3. Accommodating: upaya organisasi mendengar aspirasi publik.
4. Compromising: upaya organisasi dalam berkompromi dengan publik pada
berbagai hal, namun dengan tetap berada pada posisi yang diinginkannya.
Dengan demikian, hasil kompromi tersebut belum tentu memuaskan semua
pihak.
Indikator simetris dua arah adalah:
1. Cooperating: baik organisasi maupun publik bekerja sama untuk mencapai
hubungan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
2. Being unconditionally costructive: upaya organisasi untuk memberikan yang
terbaik menurut mereka bagi hubungannya dengan publik, meskipun harus
merelakan posisinya, dan atau tidak mendapatkan sikap timbal balik.
3. Saying win-win solution or no deal: upaya organisasi dan publik untuk
menyepakati keputusan yang bersifat mutual bagi keduanya. Dan atau
sama-sama sepakat untuk tidak sepakat-no deal. Kesediaan untuk sama-sama
tidak sepakat ini merupakan komunikasi yang simetris karena menunjukkan
bahwa kedua belah pihak menyadari potensi untuk saling sepakat pada
keputusan yang mutual pada waktu yang akan datang.
Grunig menyebutkan bahwa praktik kehumasan yang paling bagus dan
paling dapat diterima adalah model simetris dua arah (Putra, 2008: 2.4). Pasalnya,
model ini menuntut humas untuk tidak egois. Dengan kata lain, humas diminta
mendengarkan aspirasi publik yang disasarnya kemudian mengakomodir aspirasi
tersebut dalam aktivitas-aktivitas kehumasannya untuk mewujudkan hubungan
yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Artinya, humas tidak memaksakan
kehendak pihak manajemen organisasi semata melainkan bertindak arif dengan
melibatkan aspirasi publik.
Dalam perkembangannya, empat model humas di atas tidak lepas dari pro
dan kontra, khususnya terkait model simetris dua arah. Kritik yang dilancarkan
oleh berbagai pihak menyatakan bahwa model ini dianggap sebagai teori normatif
atau produk akademik belaka yang tak pernah terjadi di dunia nyata. Apalagi, data
penerapan humas oleh organisasi besar dengan model dua arah simetris ini jarang
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
ditemukan. Karenanya, ia disebut model yang terlalu utopis (Murphy, 1991;
Laskin, 2009).
Model simetris dua arah itu juga dianggap tidak realistis karena hampir
tidak mungkin organisasi akan mengorbankan diri sepenuhnya untuk
mengakomodir kepentingan publik. Di samping itu, kecil sekali kemungkinan
bagi publik untuk bisa bekerjasama dengan organisasi dalam posisi yang setara
karena sebagian besar mereka memiliki tingkat sumber daya dan akses ke media
yang lebih rendah daripada organisasi (Pētersone, 2004).
Menjawab beragam kritikan itu, Grunig (2006) sendiri menyebutkan bahwa
akademisi humas perlu mengembangkan teori positif maupun normatif. Teori
positif adalah teori yang sesuai dengan kondisi faktual di lapangan. Sementara itu,
teori normatif membantu untuk meningkatkan realitas yang ada karena ia
menyediakan idealitas dari apa yang seharusnya terjadi di lapangan (lihat juga
Bowen, 2004).
Lagipula, konsep sismetris bukan berarti organisasi mengakomodir
sepenuhnya kepentingan publik. Sebab, simetris di sini merujuk pada
keseimbangan akomodasi atas kepentingan organisasi dan publik. Tidak heran
jika Grunig, dkk dalam Laskin (2009) mengemukakan, “we did find that the four
models still provide an accurate and useful tool to describe PR practice and
worlview.” Terlebih lagi, model ini memang sudah populer digunakan untuk
menganalisis penerapan humas pada level organisasi, dan bukan pada level
program semata (Sriramesh, 2009).
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
Dalam merespon pro dan kontra penggunaan model The Hunt Grunig yang
berkisar pada positif versus normatif itu, peneliti cenderung tidak
mengesampingkan model tersebut, sebab model – model tersebut membantu kita
memahami penerapan humas yang kompleks. Hal tersebut tentu tidak terlepas
dari teori global public relations yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip
penerapan humas yang efektif sebaiknya diaplikasikan sesuai kondisi ekonomi,
politik, dan budaya yang melatarbelakangi suatu institusi (Grunig, 2009). Itulah
sebabnya, untuk memahami penerapan humas dalam organisasi sosial keagamaan
perempuan di Indonesia, diperlukan pemahaman terhadap hal-hal yang terkait
dengan organisasi sosial keagamaan perempuan itu sendiri selaku latar dalam
penelitian.
Selain itu, khususnya terkait dengan sisi etis, peneliti cenderung
mengasumsikan bahwa setiap institusi memiliki kondisi atau lingkungan yang
berbeda-beda. Tak hanya itu, aspirasi publik pun tak selamanya benar meskipun
dengan mendengarkan mereka akan menunjukkan kesan aspiratif bagi
tindakan-tindakan humas. Dengan demikian, apa pun model kehumasan yang
diterapkan oleh suatu lembaga tidak bisa dicap salah atau benar, melainkan dikaji
dan dipahami dulu secara seksama apa, bagaimana dan mengapa suatu humas
dalam institusi menjalankan aktivitas atau program-program kehumasannya dalam
tipologi tersebut.
Ringkasnya, The Hunt Grunig Model menjadi tipologi model humas
utama yang dipilih untuk menggambarkan penerapan humas di PPA dalam
penelitian ini karena beberapa hal berikut. Pertama, dengan posisinya sebagai
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26
middle-range theory, The Hunt Grunig Model menjadi satu-satunya yang
mengacu langsung pada perspektif dominan atau grand theory keilmuan humas.
Kedua, model-model lain yang mencoba menggambarkan humas pada level
organisasi merupakan pengembangan dari The Hunt Grunig model dan oleh
karenanya, esensi-esensi model-model tersebut sudah ada dalam The Hunt Grunig
model.
Meskipun demikian, karena penelitian ini berupaya untuk mengeksplorasi
fakta yang ada di lapangan, model – model humas yang lain dapat menjadi pisau
analisis pendukung. Di samping itu, terbuka pula kemungkinan munculnya model
humas yang baru dari hasil analisis penelitian ini. Apalagi jika ternyata penerapan
humas di PPA memiliki esensi-esensi yang berbeda dari model – model humas
The Hunt Grunig atau model – model lain yang sudah ditemukan terlebih dahulu
pada penelitian – penelitian sebelumnya.
b. Model-Model Humas Lain
The Hunt Grunig Model telah menginisiasi munculnya beberapa model
humas yang lain, di antaranya adalah model pengaruh personal, model interpreter
kultural dan mixed motive model. Model pengaruh personal ditemukan oleh
Sriramesh setelah melakukan kajian mendalam di India. Model ini
menggambarkan upaya praktisi humas yang menjalin hubungan baik yang bersifat
personal, dengan individu-individu kunci di bidang politik dan media, supaya
mereka mendapatkan perlakuan baik dari regulator dan atau pemberitaan positif di
media yang dikelola individu-individu kunci tersebut. Dengan demikian,
meskipun tanpa menulis pers release atau menggelar konferensi pers sekalipun,
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27
para praktisi humas dapat memperoleh porsi pemberitaan positif di media
(Pētersone, 2004; Puspa, 2007). Model ini merupakan derivasi dari model
keagenan pers dan atau informasi publik ala The Hunt Grunig. Sebab, para
praktisi yang menggunakan model pengaruh personal menujukan aktivitas humas
mereka untuk meraih pencitraan positif bagi organisasi dan atau memberikan
informasi untuk publik.
Sedangkan model interpreter kultural menggambarkan bagaimana
perusahaan – perusahaan multinasional di Yunani menggerakkan aktivitas
humasnya supaya bisa menerjemahkan norma-norma lokal untuk disesuaikan
dengan tujuan-tujuan mereka. Model ini ditemukan oleh Lyra pada tahun 1991
yang mencoba mengembangkan temuan Grunig, dkk tentang penerapan humas di
luar kultur Anglo-Saxon. Seperti model pengaruh personal, model ini juga disebut
sebagai derivasi dari The Hunt Grunig Model karena tujuan awal penelitian Lyra
adalah untuk melihat bagaimana humas diterapkan pada level organisasi di luar
kultur Anglo-Saxon dengan mengacu pada penemuan-penemuan Grunig, dkk
sebelumnya (Puspa, 2007; Gupta & Bartlett, 2009).
Sementara itu, mixed motived model lahir dari kontra atas model simetris
dua arah ala The Hunt Grunig Model yang mendominasi pengertian model humas
yang ideal pada level organisasi. Model yang ditemukan oleh Murphy ini
diderivasikan dari game theory yang mengkombinasikan elemen model simetris
dan asimetris The Hunt Grunig. Seperti laju suatu permainan, relasi antara
organisasi dengan publik dianggap berada pada kontinum kompetisi murni dan
kooperasi murni. Model ini bertumpu pada proposisi bahwa humas harus mampu
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
28
menyatukan kebutuhan-kebutuhan organisasi dan publik dengan
menyeimbangkan kompetisi dan kooperasi di antara kedua belah pihak. Sebab,
Murphy percaya bahwa kooperasi murni (simetris) itu terlalu utopis untuk dibawa
ke dunia nyata. Menanggapi Murphy, Grunig dkk mengajukan argumen bahwa
model simetris dua arah bukan berarti mengakomodasi secara total kebutuhan
publik namun integrasi dari kebutuhan kedua belah pihak. Dengan demikian,
model simetris adalah mixed motive model yang dimaksud oleh Murphy itu
sendiri (Murphy, 1991; Pētersone, 2004).
c. Dimensi – Dimensi Penerapan Humas.
Pada akhirnya, teori model humas ala Grunig dan Hunt mengalami evolusi
saat Grunig dan para akademisi humas mencoba untuk kembali pada
dimensi-dimensi yang digunakan untuk mengkategorikan penerapan humas oleh
suatu institusi, dalam rangka merekonseptualisasi model humas. Beberapa murid
Grunig seperti Huang, Rhee dan Sha mencoba memberikan solusi terkait dimensi
apa saja yang dapat diukur untuk melihat praktik humas dalam organisasi.
Terakhir, Grunig, dkk memberikan 7 dimensi atau skala baru yang oleh para
akademisi terlihat sebagai sebuah model alih-alih sekedar dimensi. Ketujuh
dimensi itu adalah One-way, Two-way, Asymmetrical, Symmetrical,
Interpersonal, Mediated dan Ethical (Laskin, 2009).
Ketujuh dimensi di atas juga kerap disederhanakan menjadi 4 dimensi
yakni arah komunikasi yang meliputi one-way dan two-way, efek komunikasi
yang dituju (asimetris dan simetris), bentuk komunikasi yang terdiri atas
interpersonal dan termediasi, dan terakhir dimensi etik. Peneliti sendiri juga lebih
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
29
cenderung untuk menyederhanakannya menjadi 4 dimensi. Penyederhanaan
tersebut sama sekali tidak mengubah esensi dari ketujuh dimensi di atas.
Sha (2007) menyebutkan indikator-indikator dari dimensi-dimensi
strategis atau dimensi yang dianggap mewakili penerapan humas yang ideal.
Pertama, indikator komunikasi dua arah mencakup kemauan organisasi untuk
mendengarkan opini publik, melakukan penelitian sebelum melakukan aktivitas
humas dan mencoba mengerti publik. Di samping itu, organisasi yang
bersangkutan juga melakukan evaluasi setelah menyelesaikan kegiatan humas.
Kedua, indikator pada komunikasi simetrikal mencakup kemauan
organisasi untuk tidak hanya mengubah sikap dan perilaku publik, akan tetapi
juga mengubah sikap dan perilaku manajemen organisasi setelah menyerap opini
publik. Selain itu, organisasi hendaknya juga berkonsultasi dengan publik yang
terpengaruh oleh kebijakannya selama pengambilan keputusan. Organisasi juga
diharapkan untuk memainkan peran yang kompleks dalam memediasi konflik
yang terjadi antara organisasi dengan publik.
Adapun indikator komunikasi etikal mencakup kesadaran organisasi
bahwa aktivitas-aktivitas yang dilakukannya berdampak pada publik serta
kesediaannya untuk menyediakan data faktual yang akurat bagi publik meskipun
data ini menempatkan organisasi pada posisi yang tidak diinginkan. Selain itu,
organisasi menyerap kepentingan mayoritas lebih banyak daripada kepentingan
personal dan bersedia menyampaikan motif dan alasan dari aktivitas-aktivitas
yang mereka lakukan kepada publik.
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
30
Sedangkan indikator komunikasi termediasi meliputi penerbitan news
release untuk menjangkau media massa, penggunaan media massa seperti televisi
dan sebagainya, penerbitan material tercetak untuk merepresentasikan organisasi,
seperti brosur atau pamflet serta penggunaan internet atau World Wide Web untuk
menerima dan mengirimkan informasi.
Terakhir, indikator – indikator pada komunikasi interpersonal meliputi
pengontakan anggota publik secara personal, pengontakan anggota publik via
telepon, penggunaan metode komunikasi tatap muka dalam frekuensi yang sering
serta penyelenggaraan pertemuan-pertemuan personal dengan anggota publik.
Secara umum, interpersonal adalah metode komunikasi yang lebih banyak
digunakan oleh humas dengan model komunikasi dua arah. Sedangkan dimensi
komunikasi termediasi lebih cenderung digunakan oleh humas yang menerapkan
model komunikasi satu arah (Laskin, 2009). Adapun dimensi etis memuat
ketentuan bahwa keputusan dan kebijakan humas yang dilakukan organisasi harus
sesuai dengan norma-norma maupun kewajiban universal (Bowen, 2004).
Humas yang menerapkan dimensi simetris dua arah secara inherent merupakan
humas yang memenuhi dimensi etik ini.
Di samping itu, meskipun tidak diadopsi secara luas layaknya The Hunt
Grunig Model, dimensi sebenarnya memiliki reliabilitas yang lebih tinggi dari
model. Dimensi-dimensi penerapan humas ini disebut juga sebagai model karena
ia menerangkan aktivitas-aktivitas yang dilakukan humas dalam setiap cluster-nya
(Laskin, 2009).
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
31
Dalam perjalanannya, Pētersone (2004) menyebutkan bahwa Larissa Grunig
dkk mengaplikasikan dimensi-dimensi tersebut ke dalam The Hunt-Grunig Model.
Model keagenan pers terdiri atas dimensi asimetrikal, satu arah dan unethical serta
menggunakan bentuk komunikasi termediasi. Model informasi publik terdiri atas
dimensi asimetrikal, satu arah, cenderung serta lebih banyak menggunakan bentuk
komunikasi termediasi namun cenderung lebih beretika daripada model keagenan
pers. Sedangkan model asimetris dua arah terdiri atas dimensi dua arah
komunikasi, keseimbangan komunikasi yang dituju bersifat asimetris, dapat
dipraktikkan secara etis maupun non etis serta dapat menjalankan dua macam
bentuk komunikasi baik interpersonal maupun termediasi. Adapun model simetris
dua arah mencakup dimensi simetrikal, dua arah, etikal dan mencakup bentuk
komunikasi interpersonal dan termediasi. Petersone menambahkan bahwa studi
yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan bahwa The Hunt-Grunig
Model yang sudah disempurnakan dengan dimensi-dimensi penerapan humas ini
dapat diaplikasikan secara internasional.
Peneliti sendiri lebih cenderung pada upaya mengkaji penerapan humas
melalui The Hunt-Grunig Model yang sudah disempurnakan dengan beragam
dimensi tersebut. Sebab, model tersebut memiliki konsep deskripsi kategorisasi
penerapan humas yang lebih jelas daripada model – model humas The
Hunt-Grunig sebelumnya. Hal ini ditandai dengan indikator-indikator dari
masing-masing dimensi tersebut. Adapun untuk menandai dimensi satu arah dan
asimetris dapat dikaji melalui keterpenuhan pelaksanaan indikator-indikator dua
arah dan simetris, karena sifat kedua dimensi tersebut yang saling berlawanan.
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
32
Dari sisi arah komunikasi, satu arah merupakan oposisi dari dua arah. Sementara
dari segi keseimbangan efek komunikasi yang diharapkan, asimetris berlawanan
dengan simetris.
Selain itu, indikator satu arah bisa jadi sama dengan dua arah, namun
tujuannya berbeda. Pada indikator mendengarkan opini publik bisa jadi dilakukan
juga oleh komunikasi satu arah, namun tujuannya adalah untuk publikasi dan atau
penyampaian informasi. Sedangkan tujuan dua arah adalah dialog. Indikator
pelaksanaan penelitian sebelum melakukan aktivitas humas memang tidak
dilakukan oleh satu arah. Adapun indikator melaksanakan evaluasi setelah
menyelesaikan kegiatan humas, bisa jadi juga dilakukan oleh satu arah hanya saja,
berbeda dengan dua arah, evaluasi yang dilakukan pada dimensi satu arah tidak
melibatkan publik yang terkait.
Di samping itu, indikator asimetris bisa jadi sama dengan indikator
simetris. Hanya saja tujuan dari indikator-indikator penerapan tersebut berbeda.
Bila melihat Hon dan Grunig (1999) dan Rhee (2004) di atas, maka tujuan-tujuan
dari indikator dimensi asimetris adalah contending, avoiding, accommodating dan
compromising. Sedangkan tujuan dari indikator simetris bertujuan untuk
cooperating, being unconditionally constructive dan saying win-win solution or
no deal.
Dengan demikian, penelitian ini menggunakan dimensi-dimensi humas
yang dikemukakan oleh Grunig dkk (Laskin, 2009) sebagai kerangka kerja
analisis. Semua praktik humas PPA pertama kali dianalisis melalui 4 dimensi
humas yang terdiri atas arah komunikasi, efek komunikasi yang diharapkan,
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
33
bentuk komunikasi dan penerapan etika. Selanjutnya, penerapan humas PPA
tersebut diklasifikasikan ke dalam model – model humas The Hunt Grunig yang
terdiri atas model keagenan pers, informasi publik, asimetris dua arah dan simetris
dua arah.
2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi
Penerapan Humas
Dozier dkk menyebutkan bahwa humas yang ideal (excellence) terdiri atas
3 hal yang saling melengkapi, yaitu pengetahuan, harapan terbagi dan kultur yang
partisipatif (Laskin, 2009). Pengetahuan di sini adalah inti dari humas yang ideal
di mana bagian humas harus memiliki pengetahuan yang memadai untuk
melakukan komunikasi dua arah dengan publik, melakukan penelitian dan
memahami ilmu sosial dalam konteks komunikasi yang diembannya. Harapan
terbagi maksudnya adalah baik manajer puncak dan bagian humas memiliki
perspektif yang sama dalam menilai humas. Artinya, kedua pihak tidak hanya
memandang humas sebagai petugas yang menerbitkan pers release atau
menyambut tamu protokoler organisasi, namun juga sebagai bagian yang
menangani manajemen komunikasi antara organisasi dengan khalayak-khalayak
kunci. Sedangkan kultur partisipatif bermakna bahwa lingkungan kerja organisasi
memiliki budaya kerjasama yang kondusif. Dozier dkk juga menambahkan bahwa
faktanya, organisasi “that value team work, widely involve employees in
decision making, and are open to ideas of outside the organization are more likely
to have excellent programs.” Menurut peneliti, ketiga hal yang menentukan
ideal atau tidaknya humas tersebut dapat menjadi pisau analisis untuk
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
34
mengidentifikasi mengapa suatu organisasi menerapkan humas dengan model
tertentu daripada model yang lain.
J. Grunig dan L. Grunig sendiri selain mengajukan 2 variabel humas
ideal yakni arah dan tujuan atau efek komunikasi yang kemudian dituangkan
dalam empat model humas di atas, juga mengajukan 3 variabel lain yang dapat
menjadi pisau analisis mengapa suatu organisasi menerapkan model humas
tertentu. Ketiga hal yang menjadi faktor – faktor yang mempengaruhi penerapan
humas tersebut adalah kultur organisasi, potensi departemen humas dan skema
humas (Pētersone, 2004).
Kultur organisasi terdiri atas nilai-nilai, simbol-simbol, makna-makna,
asumsi-asumsi, kepercayaan-kepercayaan dan harapan-harapan yang menyatu dan
menyatukan sekelompok orang yang bekerja sama. Kultur tersebut mempengaruhi
penentuan kebijakan organisasi, termasuk keputusan yang terkait dengan
penerapan model-model humas. Terkait hal itu, secara inherent, organisasi yang
menerapkan manajemen sistem tertutup cenderung menerapkan dimensi asimetris.
Sebaliknya, organisasi dengan manajemen yang mempraktikkan sistem
manajemen terbuka cenderung menerapkan dimensi simetris. Kultur organisasi
sendiri berada pada kontinuum autoritarian ke partisipatif.
Faktor kedua adalah potensi departemen humas yang mencakup
pengetahuan praktisi humas, khususnya mengenai model dua arah. Jika praktisi
humas memiliki pengetahuan dan keterampilan terkait model humas yang
excellence, maka organisasi yang bersangkutan juga cenderung menerapkan
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
35
humas yang simetris dua arah. Di samping itu, semakin besar potensi departemen
humas tersebut, maka semakin besar pula kemungkinan bagi praktisi senior untuk
bergabung dalam lingkar pengambil kebijakan puncak pada organisasi tersebut.
Faktor ketiga adalah skema humas yang mencakup pemahaman dan
keterampilan manajer senior terhadap humas. Hal tersebut tergantung pada dua
hal. Pertama, praktisi humas yang memiliki pengetahuan dan keterampilan humas
terlibat dalam koalisi manajerial puncak dan memfasilitasi pemahaman para
manajer puncak terkait humas. Atau kedua, para manajer puncak itu mengedukasi
diri mereka sendiri soal humas.
Peneliti sendiri lebih cenderung menggunakan istilah dari Dozier dkk
tanpa mengabaikan substansi dari faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan
humas dari Grunig di atas. Sebab, pengetahuan dan keterampilan humas ala
Dozier dkk sama dengan potensi departemen humas dari Grunig, harapan terbagi
mewakili skema humas di mana praktisi humas dan para manajer puncak
organisasi memiliki pemahaman yang sama soal humas, dan kultur partisipatif
selaras dengan kultur organisasi dari Grunig, di mana semakin autoritarian kultur
suatu organisasi maka efek-efek komunikasi humas cenderung asimetris.
Sebaliknya, semakin partisipatif kultur suatu organisasi, maka efek-efek atau
tujuan komunikasi humas akan lebih cenderung simetris.
Merujuk pada kerangka teori yang telah dijelaskan di atas, operasionalisasi
dimensi – dimensi penerapan humas tersebut secara detail dapat dilihat dalam
Tabel 1 berikut:
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
36
TABEL 1.
DIMENSI PENERAPAN HUMAS
Dimensi Makna Dimensi Indikator Panduan Pertanyaan dalamWawancara
ArahKomunikasi (satuarahversus duaarah)
Penyampaianinformasi dariorganisasi kepadapublik. Komunikasisatu arah tidakmemfasilitasi umpanbalik dari publikkepada organisasidan sebaliknya.
1. Relasidenganpublik
1. Siapa saja publik internalPPA?
2. Siapa saja publikeksternal PPA?3. Bagaimana cara PPAmenjalin relasi denganpublik?
2. AktivitasKomunikasi
1. Apa saja kegiatan,aktivitas atau program -program Lembaga Humasdan Publikasi?2. Bagaimana dengan paskaMuktamar Ke-46? Bagianmana yang menjalankanaktivitas - aktivitas humastersebut?3. Mengapaprogram-program LembagaHumas dan Publikasidisublimasi ke bagiantersebut setelah MuktamarKe-46?
3.Perencanaan programhumas
1. Bagaimanalangkah-langkah PPA dalammenjalankan programhumas?2. Bagaimana rencanaevaluasi program humasyang dijalankan?
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
37
EfekKomunikasi(asimetrisversussimetris)
Tujuan dariaktivitas-aktivitashumas organisasi.Jika tujuan dariorganisasi adalahpersuasi kepadapublik supayamelakukan hal-halyangmenguntungkan bagiorganisasi maka efekdari komunikasiyang ditujuorganisasi itu disebutasimetris karenatidak seimbang.Sebaliknya, jikatujuannya adalahsupaya terciptadialog antaraorganisasi danpublik maka efekkomunikasi yangdituju organisasi itudisebut simetris.
1. TujuanKomunikasi
2.Penyikapanterhadapkonflikdenganpublik
1. Apakah tujuan dariprogram-program LembagaHumas dan Publikasi?Apakah tujuan-tujuantersebut berubah setelahLembaga Humas danPublikasi disublimasi kebagian lain?2. Apakah opini publikdapat mengubah perilakudan kebijakan organisasi?Jika bisa, faktor - faktorapakah yang memungkinkanhal itu terjadi?3. Apakah publik dilibatkansaat pihak manajemen PPAakan menetapkan suatukebijakan? Mengapa?4. Jika iya, bagaimanaproses pelibatan tersebut?1. Apakah selama ini PPApernah menemui sikap atauperilaku publik yang tidaksesuai dengan kepentinganorganisasi?2. Jika ada, bagaimana sikapdan perilaku manajemendalam menghadapi haltersebut? Mengapa sikapdan atau perilaku tersebutyang dipilih?
BentukKomunikasi(interpersonal versustermediasi)
Cara yang ditempuhorganisasi dalamberkomunikasidengan publik. Jikasebagian besaraktivitas komunikasidengan publikdilakukan secarapersonal, bentukkomunikasiorganisasi itu disebutinterpersonal dansebaliknya.
1. Strategikomunikasi
1. Bagaimana cara PPAmelakukan kontak denganpublik? Mengapa cara ituyang dipilih?
2. Apakah ada anggotapublik yang dihubungisecara personal?3. Jika ada, bagaimanaproses kontak personal itudilakukan?
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
38
3. Apakah PPA memilikidaftar buku telepon yangberisi no telepon anggotapublik?4. Apakah PPA melakukankontak via telepon denganpublik?5. Jika iya, apakah adapetugas khusus yangbertugas melakukan kontakvia telepon tersebut?6. Apakah metodekomunikasi tatap muka jugadilakukan PPA saat berelasidengan publik?7. Apakah PPAmenyelenggarakanpertemuan personal dengananggota publik?8. Apakah PPAmenerbitkan materialtercetak untukmerepresentasikanorganisasi kepada publik?9. Jika ada, apa saja jenismaterial tercetak itu?10. Apakah PPAmenggunakan internetdalam berkomunikasidengan publik?11. Jika iya, apa saja jenislayanan internet yangdigunakan oleh PPA?12.Apakah ada perubahanpengelolaan manajemeninformasi melalui internetsepanjang pra dan paskaMuktamar Ke-46?13. Bagaimana cara PPAmenjangkau media massa?14. Apakah PPA jugamenerbitkan news release?
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
39
15. Adakah media massaorganisasi yang digunakanPPA dalam berkomunikasidengan publik?16. Jika ada, apa sajakahmedia massa tersebut?17. Apakah ada perubahanjenis media massaorganisasi sepanjang pradan paska MuktamarKe-46?
Etik Kesesuaiankomunikasikehumasanorganisasi dengannorma-normamaupun kewajibanuniversal.
1. Sifatinformasi
1. Bagaimanakah sifatinformasi yang disampaikanPPA pada publik?2. Apakah data yangmenempatkan PPA padaposisi yang tidak diinginkanjuga disampaikan padapublik?3. Aspirasi manakah yanglebih diserap PPA: publikmayoritas atau personal?4. Apakah semua motifmaupun alasan dariaktivitas-aktivitas yangdilakukan organisasi perludisampaikan pada publik?5. Jika iya, bagaimanamekanisme penyampaiantersebut?
2.Pengamalankode etik
Apakah PPA mengadopsisuatu kode etik tertentudalam berelasi denganpublik?2. Mengapa kode etiktersebut yang diadopsi?3. Apakah menurut Andakode etik itu aplikatifdengan kondisi organisasi?
Selain itu, karena penelitian ini tidak sekedar mengkaji bagaimana model
humas yang diterapkan oleh PPA, namun juga menganalisis latar atau alasan
dari diterapkannya model tersebut maka peneliti juga melakukan operasionalisasi
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
40
konsep terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi model penerapan humas.
Selain konsep Operasionalisasi konsep tersebut dapat dilihat pada TABEL 2
berikut:
TABEL 2
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
MODEL PENERAPAN HUMAS
Faktor –Faktor yang
MempengaruhiPenerapan
Humas
Makna Indikator Panduan Pertanyaandalam Wawancara
Pengetahuan danKeterampilan
Pengetahuanpraktisi humasyang memadaiuntukmelakukankomunikasi duaarah denganpublik,melakukanpenelitianhumas danmemahami ilmusosial dalamkontekskomunikasiyangdiembannya.
1. Latarpendidikandanprofesional
1. Mohon diskripsikanlatar pendidikan danprofesional Anda.
2.Pemaknaanterhadaphumas danaktivitas-aktivitasnya
1. Berdasarkanpengalaman Anda,bagaimana Andamendefinisikan humas?2. Berdasarkanpengalaman Anda,aktivitas-aktivitas apasajakah yang termasukdalam istilah humas?
3.Keterampilan dalammengelolaprogramhumas
1. Mohon diskripsikanprogram-program humasPPA yang Anda terlibat didalamnya.2. Apakah tujuan dariprogram-programtersebut?3. Mengapaprogram-program tersebutpenting?4. Langkah apa saja yangditempuh dalam mengelolaprogram tersebut?
Harapan Terbagi Kesamaanperspektif
1. Perspektifterhadap
1. Bagaimanakahpandangan Anda terhadap
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
41
antara manajerpuncak denganbagian humasdalam menilaihumas itusendiri.
humas humas?
2. Apakah menurut Anda,organisasi sosialkeagamaan perempuanseperti PPA memerlukanbagian humas? Mengapa?
2.Pandanganterhadapkinerjahumas
1. Menurut Anda,bagaimanakah kinerjaLembaga Humas danPublikasi pra MuktamarKe-46 yang lalu?2. Berdasarkanpengalaman Anda, apakahpenerapan humas PPAakan lebih efektif jikaberada pada bagian khusushumas atau jikadisublimasi pada bagianyang lain? Mengapa?
KulturPartisipatif
Kondusifitaslingkungankerjaorganisasi.
1.KarakterOrganisasi
2.Lingkungankerjaorganisasi
1. Mohon jelaskanidentitas organisasi'Aisyiyah?
Apa tujuan organisasi'Aisyiyah?2. Apakah menurut AndaPPA memiliki budayakerja yang kondusif?Mengapa?
3.Bagaimana partisipasikaryawan kantor PPAdalam mendukungaktivitas organisasi?
4. Bagaimana kondisi fisikkantor PPA?
2. Sikapterhadappandangannon
1. Bagaimanakah PPAmenyikapipemikiran-pemikiran yangdatang dari luarorganisasi?
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
42
organisasi 2. Apakah organisasipernah mengalamiperubahan sikap dan atauperilaku yang disebabkanoleh pandangan dari luarorganisasi?
Kerangka konsep di atas menjadi panduan bagi peneliti dalam melakukan
wawancara dengan informan yang dituju, dokumentasi dan observasi.
3. Kelembagaan Humas
Organisasi disebut efektif jika mampu memilih dan mencapai
tujuan-tujuan yang sesuai dengan kepentingannya sekaligus harmoni dengan
kepentingan publik baik internal maupun eksternal. Hal ini diperlukan supaya
publik yang membentuk lingkungan organisasi tidak menghalangi maksud dan
tujuan yang ingin dicapai, bahkan mendukung organisasi dalam mewujudkan
tujuan-tujuannya. Untuk itu, organisasi perlu membangun dan menjaga hubungan
jangka panjang yang bersifat terbuka, jujur dan saling menguntungkan dengan
publik. Di sinilah nilai penting keberadaan humas untuk mewujudkan organisasi
yang efektif terlihat. Sebab, humas yang excellence bertugas untuk
mengidentifikasi publik kunci organisasi, menjalin hubungan jangka panjang
dengan mereka dan menyediakan informasi yang memadai bagi manajemen
organisasi terkait dengan publik strategis tersebut untuk memuluskan jalan
organisasi dalam mencapai tujuan. (Rhee, 2004; Wilcox dan Cameron, 2009).
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
43
Meskipun demikian, tidak semua organisasi memiliki departemen
atau lembaga humas secara khusus. Terkait dengan perlu tidaknya sebuah struktur
humas yang terlembaga dalam sebuah korporasi atau organisasi, Karpel
menyebutkan, “it doesn’t matter what the structure is as long as everyone works
together” (Pophal, 2006). Kelembagaan humas sendiri dimaknai sebagai
penempatan humas dalam struktur manajemen organisasi.
Lebih lanjut. Harlow menyebutkan bahwa fungsi humas memang dapat
dimaknai sebagai kegiatan komunikasi yang tidak terlembaga maupun
perwujudan kegiatan komunikasi yang dilembagakan (Ruslan, 1999). Sebagai
kegiatan komunikasi, fungsi humas dapat dijalankan oleh setiap pimpinan
organisasi, tanpa harus ditempatkan pada bagian tertentu dalam struktur. Adapun
sebagai state of being, harus ada pejabat humas khusus yang berada pada struktur
organisasi.
Tegasnya, humas tidak harus dilembagakan dalam struktur yang baku.
Sebab, aktivitas ini dapat dilakukan oleh tim virtual yang secara struktur tidak
diberi nama Departemen atau Lembaga humas. Bahkan, perencanaan hingga
eksekusi kegiatan humas bisa saja dilakukan oleh pihak eksternal yang disewa
suatu korporasi, yang lazim disebut dengan ‘konsultan’. Keberadaannya dalam
lingkup internal sendiri tidak terlepas dari potensi negatif. Setiap organisasi juga
tidak selalu memiliki kesamaan pandangan soal bagaimana menempatkan humas
dalam kaitannya dengan fungsi manajemen yang lain seperti sumber daya
manusia (SDM), hukum dan sebagainya. Untuk itu, humas memiliki beberapa
pilihan skenario.
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
44
Pertama, co-existent di mana masing-masing fungsi manajemen bergerak
secara independen. Kedua, combative, yakni masing-masing fungsi manajemen
saling berlawanan. Ketiga, co-optive, yaitu salah satu fungsi manajemen
mendominasi yang lain, baik humas yang didominasi maupun yang mendominasi.
Keempat, celibate, di mana hanya ada satu fungsi yang eksis. Salah satu sebab
suatu fungsi manajemen disub-ordinasi atau dihilangkan fungsinya ialah
kesimpulan bahwa fungsi manajemen tersebut menjadi cost center dan bukan
profit center. Begitu juga sebaliknya. Selanjutnya adalah coordinated, yakni
masing-masing fungsi bergerak secara independen namun saling bekerja sama.
Dan terakhir adalah combined, di mana fungsi humas disatukan dengan fungsi
manajemen yang lain seperti SDM atau pemasaran dalam satu departemen atau
bagian tunggal.
Lantas, bagaimanakah humas sebaiknya diterapkan, khususnya dalam
hubungannya dengan fungsi-fungsi manajemen yang lain untuk mengoptimalkan
kontribusinya dalam mengefektifkan organisasi? Hasil penelitian oleh Grunig dkk
yang dibiayai oleh International Association of Business Communicators (IABC)
merumuskan 14 generic principles of excellent public relations yang dapat
digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Empat di antaranya
mencerminkan pentingnya menempatkan humas dalam posisi yang strategis
termasuk kaitannya dengan fungsi manajemen yang lain (Grunig dan Grunig,
1998; Rhee, 2004) :
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
45
a. Humas sebaiknya ditempatkan dalam struktur organisasi sehingga ia memiliki
akses dengan pembuat kebijakan utama yang menangani manajemen strategis
dalam organisasi.
b. Semua program komunikasi sebaiknya dikoordinasikan dan diprogramkan
oleh humas.
c. Humas sebaiknya tidak disub-ordinasi pada fungsi manajemen yang lain.
d. Humas sebaiknya memiliki struktur horisontal yang mampu merefleksikan
publik strategis yang dikelolanya.
Berdasarkan empat prinsip generik humas di atas, peneliti berasumsi
bahwa posisi coordinated dimana humas dan fungsi manajemen yang lain dapat
bergerak secara independen namun saling bekerjasama merupakan posisi yang
paling tepat. Sebab, humas tidak mendominasi namun juga tidak didominasi
fungsi manajemen yang lain. Selain itu, faktor saling bekerjasama dengan fungsi
manajemen yang lain mengindikasikan adanya koordinasi tujuan yang ingin
dicapai sehingga masing-masing fungsi manajemen saling mendukung untuk
terwujudnya pencapaian yang ingin diraih organisasi.
G. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian ini memuat metode, lokasi, desain, penentuan
informan, teknik pengumpulan data, metode analisis data, hingga limitasi
penelitian.
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
46
1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Sebab, penelitian ini
menekankan pada sifat realita yang terbangun secara sosial, hubungan yang erat
antara peneliti dengan subyek yang diteliti, dan tekanan situasi yang membentuk
penyelidikan. Selain itu, metode studi kasus sendiri digunakan karena sesuai
dengan tujuan penelitian ini yang menekankan pada upaya mengkaji konteks
penerapan model humas PPA secara empiris melalui proposisi – proposisi dari
teori model-model humas dan bukan untuk menguji teori itu sendiri. Itulah
sesebabnya, gambaran detail mengenai latar belakang dan sifat dari kasus yang
diteliti menjadi sangat penting. Untuk sampai kepada tujuan penelitian, gambaran
yang mendetail tersebut kemudian dikonstruksi guna memperoleh deskripsi dan
penjelasan atas pertanyaan penelitian.
Di samping itu, pokok pertanyaan yang diajukan adalah dalam bentuk
“bagaimana” dan “mengapa”. Pertanyaan bagaimana akan diarahkan kepada
serangkaian peristiwa kontemporer di mana peneliti hanya memiliki peluang
yang kecil atau bahkan tidak memiliki peluang sama sekali untuk melakukan
kontrol terhadap peristiwa tersebut. Artinya, peneliti tidak berpeluang melakukan
kontrol terhadap peristiwa yang telah terjadi.
Selain itu, peneliti berupaya membandingkan antar kasus yang diteliti.
Artinya, dalam penelitian ini, peneliti akan membandingkan penerapan humas
oleh PPA sebelum dan sesudah pengalihan mekanisme kehumasan dari Lembaga
Humas dan Penerbitan kepada bagian fungsi sekretaris paska Muktamar Ke-46.
Metode perbandingan dalam studi kasus ini dilakukan agar peneliti bisa
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
47
memusatkan perhatian hanya pada atribut-atribut khusus yang sedang
diperbandingkan sekaligus mengabaikam informasi-informasi lain yang tidak
perlu tentang suatu kasus. Penelitian dengan metode studi kasus ini sendiri
bersifat deskriptif, di mana peneliti mendalami faktor-faktor yang menjadi bagian
dari peristiwa yang terjadi dan menggambarkannya melalui tulisan.
Hasil perbandingan penerapan tersebut kemudian dievaluasi dengan
pertanyaan “mengapa”. Pertanyaan tersebut diarahkan untuk mengetahui
serangkaian kondisi dan pemikiran yang mendorong penerapan humas PPA pada
model tertentu.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan pada kantor pusat ‘Aisyiyah yang berlokasi
di Jl. KH. A. Dahlan 32, Yogyakarta. Sebab, seluruh kegiatan administratif dan
manajerial lebih banyak dilakukan dari kantor ini meskipun ‘Aisyiyah pusat juga
memiliki kantor di Jakarta.
3. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain studi
kasus tunggal. Desain studi kasus tunggal dipilih karena peristiwa sublimasi
humas pada PPA ini merupakan kasus yang unik, jarang dan memiliki unsur
longitudinal. Rentang waktu dua periode kepemimpinan PPA dengan eksistensi
humas pra Muktamar ke-46 dan sub-ordinasi humas pada periode sesudahnya
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
48
menunjukkan kuatnya unsur longitudinal pada kasus ini yang sukar untuk dicari
kesamaannya dengan lembaga lain yang sejenis. Apalagi dalam rentang 10 tahun
ini, sejauh penelusuran peneliti pada organisasi sosial keagamaan perempuan di
Indonesia yang menjadi anggota KOWANI, baru ‘Aisyiyah dan Wanita Islam
yang memiliki bagian humas dalam struktur kepemimpinannya di tingkat pusat.
Hal ini membuat kasus perubahan kelembagaan humas pada PPA tidak hanya
memiliki unsur longitudinal tapi juga jarang ditemui. Selain itu, keunikan kasus
ini dapat digambarkan dari sisi waktu, tempat dan fenomena, sebagai berikut:
a. Dari sisi waktu, keputusan untuk mensub-ordinasi fungsi Lembaga Humas
dan Penerbitan pada bagian sekretaris itu justru terjadi saat representasi dari
organisasi sosial keagamaan perempuan ini akan menapaki usianya yang ke-1
abad. Satu abad rentang waktu yang telah dilewati tersebut tentu juga
menunjukkan beragamnya relasi komunikasi yang perlu dibangun dengan
beragam stakeholder. Meskipun demikian, setelah berpengalaman memiliki
Lembaga Humas dan Penerbitan selama satu periode, PPA justru meniadakan
lembaga yang semestinya membangun dan mengembangkan beragam
komunikasi tersebut pada periode kepemimpinan 2010-2015.
b. Dari sisi tempat, sub-ordinasi fungsi humas itu terjadi pada kepemimpinan
paling puncak dari organisasi ini. Lazimnya, pimpinan puncak memiliki
komposisi paling purna dan lengkap dalam suatu organisasi. Sebab, segala
urusan dari tingkat ranting, cabang, daerah hingga wilayah akan bermuara
pada pimpinan pusat. Namun, sebagai organisasi yang dipandang mampu
merepresentasikan gerakan sosial keagamaan perempuan di Indonesia,
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
49
Lembaga Humas dan Penerbitan yang sebelumnya ada dalam struktur, justru
ditiadakan dalam periode 2010-2015 ini. Konsekuensinya, susunan
kepemimpinan pada tingkat wilayah dan daerah, cabang maupun ranting tentu
akan menginduk pada tingkat pusat, baik sebagian maupun keseluruhannya.
Organisasi perempuan dengan puluhan ribu amal usaha praksis seperti
‘Aisyiyah tentu memiliki fenomena tersendiri yang menarik untuk dikaji
terkait hal itu.
c. Dari sisi wacana, subordinasi lembaga yang menangani bagian humas
tersebut terjadi saat wacana soal pentingnya PR bagi organisasi non profit
semakin menguat. Meskipun demikian, organisasi ini juga tetap terjaga
eksistensinya dalam masyarakat. Khususnya bila dilihat dari tidak adanya
arus penolakan publik yang disiarkan oleh media massa. Hal ini tentu
berpotensi untuk menimbulkan kesenjangan tersendiri antara teori dan praktik
sehingga diperlukan upaya pengkajian yang lebih mendalam.
Adapun kriteria untuk menilai kualitas desain penelitian terdiri atas
beberapa komponen berikut:
a. Konstruk validitas: dilakukan dengan menggunakan beberapa sumber data
yang diperoleh melalui penggunaan lebih dari satu teknik pengumpulan data
(triangulasi metode) dan penelusuran informan-informan kunci.
b. Validitas eksternal: dilakukan dengan menggunakan teori sebagai pisau
analisis pada studi kasus tunggal. Teori utama yang digunakan dalam
penelitian ini adalah The Hunt Grunig Model yang sudah disempurnakan
dengan beragam dimensinya. Meskipun demikian, sesuai dengan metode
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
50
penelitian yang digunakan, penelitian ini lebih ditujukan untuk menguji
konteks dari kasus yang dikaji, bukan untuk menguji dari teori.
c. Reliabilitas: dilakukan dengan menggunakan protokol studi kasus yang
memuat urutan atau jadwal penelitian saat melakukan pengumpulan data.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk ketajaman analisis, peneliti menganggap sumber data dari
dokumentasi wawancara, dan observasi merupakan sumber data yang paling
relevan untuk digunakan sebagai sumber data utama. Sebab, upaya mendapatkan
data tersebut secara administratif relatif lebih memungkinkan daripada sumber
lain. Secara rinci dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Dokumentasi: merupakan instrumen pengumpulan data dengan menelusuri
dokumen baik dokumen publik maupun dokumen privat. Dokumentasi ini
akan digunakan peneliti untuk menelusuri dokumen baik arsip-arsip publik
maupun privat organisasi yang terkait dengan penerapan humas pada PPA.
Panduan pertanyaan dalam wawancara di atas juga menjadi panduan dalam
dokumentasi. Sebagai rancangan awal, identifikasi dokumen-dokumen yang
akan dikumpulkan mencakup dokumen-dokumen berikut:
1. Biografi atau curriculum vitae para informan.
2. Struktur kepemimpinan organisasi.
3. Sejarah Organisasi ‘Aisyiyah.
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
51
4. Keputusan – keputusan Rapat Pleno II – V periode 2010 – 2015 yang
memuat sublimasi Lembaga Humas dan Publikasi.
5. Buku telepon anggota publik PPA.
6. Program PPA periode 2005-2010 dan 2010 – 2015.
7. Laporan pertanggungjawaban Lembaga Humas dan Publikasi PPA pada
Muktamar ke-46.
8. News Release organisasi.
9. Material tercetak organisasi seperti brosur atau leaflet.
b. Wawancara: Penelitian ini akan menggunakan wawancara semi terstruktur.
Wawancara terstruktur ditujukan untuk mendapatkan data yang akurat dari
karakteristik yang dapat dikodekan guna menjelaskan perilaku yang telah
dikategorikan sebelumnya. Sedangkan wawancara tak terstruktur digunakan
untuk memahami kompleksitas perilaku anggota masyarakat tanpa adanya
kategori absolut yang dapat membatasi kekayaan data yang bisa diperoleh.
Maka, wawancara semi terstruktur merupakan penggabungan dari wawancara
terstruktur dan tidak terstruktur. Artinya, meskipun periset telah memiliki
haluan pertanyaan seperti yang tercantum dalam kerangka pemikiran di atas,
namun pertanyaan tersebut bersifat terbuka. Hal ini memungkinkan bagi
informan untuk bebas menyampaikan pendapat. Selain itu, periset juga dapat
memberikan pertanyaan di luar haluan yang telah ditetapkan sebagai
tanggapan dari respon informan.
c. Observasi: pengamatan terencana yang dilakukan peneliti pada latar
penelitian ini menggunakan observasi langsung. Jenis observasi ini dipilih
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
52
dengan pertimbangan bahwa jenis situasi yang akan diamati tidak sepenuhnya
bersifat historis, sehingga peneliti dapat memfokuskan pengamatan pada
situasi-situasi tertentu. Selain itu, kontrol peneliti dapat diminimalisir melalui
jenis observasi langsung ini, sehingga diharapkan dapat mengurangi bias pada
hasil yang mungkin didapat. Adapun hasil observasi akan dikumpulkan dalam
kartu data seperti berikut ini:
GAMBAR 1.
KARTU DATA
Sebagai rancangan awal, identifikasi peristiwa yang akan diobservasi meliputi
suasana kerja kantor PPA, rapat pimpinan organisasi, dan pengelolaan media
organisasi.
5. Penentuan Informan
Sumber informasi dalam penelitian ini adalah para pihak terkait dengan
obyek penelitian. Mereka yang berperan sebagai pengambil kebijakan organisasi
sampai kepada mereka yang memiliki andil inisiatif dalam mendesain dan
KARTU DATA
No:
Hari/Tanggal:
Waktu:
Tempat:
Pelaku:
Peristiwa:
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
53
menjalankan humas, termasuk di dalamnya. Pada level pimpinan organisasi,
informan utama dalam penelitian ini adalah mantan anggota Lembaga Humas dan
Publikasi, sekretaris umum, hingga sekretaris yang bertanggungjawab terhadap
pelaksanan humas. Informan pendukung terdiri atas para pimpinan maupun
sumber lain yang dianggap relevan terkait dengan penerapan humas oleh PPA pra
dan paska Muktamar ke-46 sesuai dengan kebutuhan peneliti saat berada di
lapangan. Secara spesifik, berdasarkan penelusuran awal peneliti, para informan
dari jajaran eksekutif puncak tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Chamamah Soeratno: Saat ini mengemban amanah sebagai ketua PPA yang
berkonsentrasi pada hubungan luar negeri. Meskipun demikian, ia adalah
ketua umum PPA pra Muktamar ke-46 yang bertugas untuk mengendalikan
organisasi secara keseluruhan termasuk humas.
b. Siti Noordjannah Djohantini: Saat ini mengemban amanah sebagai ketua
umum PPA yang bertugas mengendalikan organisasi secara keseluruhan
termasuk sekretaris yang menangani mekanisme pelaksanaan humas paska
Muktamar ke-46.
c. Dyah Siti Nur’aini: Saat ini mengemban amanah sebagai sekretaris umum
yang bertanggungjawab mengelola mekanisme humas sesuai dengan
keputusan pleno pertama paska Muktamar ke-46.
d. Trias Setiawati: Saat ini mengemban amanah sebagai sekretaris yang secara
khusus menangani mekanisme pelaksanaan humas.
e. Twediana Budi Hapsari: Saat ini tidak terlibat dalam kepengurusan
‘Aisyiyah tingkat pusat. Namun, pra Muktamar ke-46, ia merupakan anggota
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
54
aktif lembaga humas dan publikasi. Mantan Ketua Lembaga Humas dan
Publikasi sendiri, Siti Hariti Sastriani, sudah meninggal dunia pada trimester
pertama tahun 2012.
f. Witriani: Saat ini mengemban amanah sebagai anggota lembaga
pengembangan dan penelitian. Namun, seperti Hapsari, ia merupakan anggota
aktif lembaga humas dan publikasi sebelum Muktamar ke-46.
Keseluruhan informan di atas tidak bersifat baku. Pada saat penelitian
berlangsung, informan yang diwawancara bisa saja berubah dengan menghormati
faktor tanggung jawab informan pada organisasi maupun rekomendasi dari
informan awal yang diwawancara.
6. Metode Analisis Data
Peneliti sebagai instrumen pokok penelitian akan mendeskripsikan secara
konstruktif data yang dikumpulkan untuk kemudian dianalisis guna mengetahui
bagaimana model – model humas diterapkan oleh PPA, pra dan paska
Muktamar ke-46. Dengan kata lain, penelitian ini mengikuti kajian secara
konstruktivis yang dikembangkan oleh para peneliti kasus yang bercorak
naturalistik. Hal ini memungkinkan periset untuk menggabungkan deskripsi
objektif dan interpretasi personalistik dalam menganalisis data, disertai dengan
sikap hormat dan rasa keingintahuan serta sikap empatik pada fenomena yang
sedang diteliti.
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
55
Secara umum strategi analisis studi kasus yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penyandaran pada proposisi – proposisi teoritis (relying on
theoretical propositions). Proposisi – proposisi teoritis utama dalam penelitian ini
merujuk pada The Hunt Grunig Model yang sudah dioperasionalisasikan pada
kerangka pemikiran di atas. Proposisi – proposisi tersebut akan membantu peneliti
dalam memprioritaskan data yang dianalisis untuk dikategorikan dalam dimensi –
dimensi penerapan humas, digolongkan dalam tipologi atau model tertentu dan
dikaji latar belakangnya. Meskipun demikian, dalam proses analisis penelitian ini
juga tetap terbuka terhadap perspektif teoritis yang lain jika fakta di lapangan
ternyata berbeda sama sekali dengan proposisi-proposisi The Hunt Grunig Model.
Secara khusus, teknik yang digunakan adalah pattern matching di mana
peneliti memasukkan data yang terkumpul dalam kategori-kategori tertentu sesuai
dengan kemiripan pola – pola data tersebut dengan teori yang dirujuk untuk
kemudian diinterpretasi dan diambil kesimpulannya. Secara detail, tahap – tahap
pengolahan analisis data tersebut terdiri atas:
a. Editing: pada tahap editing, data yang telah terkumpul ditranskrip dan dibaca
kembali dengan memperhatikan kelengkapan dan kesempurnaan data,
kejelasan tulisan, pemahaman catatan, konsistensi data, keseragaman satuan
yang digunakan dalam data dan kesesuaian jawaban.
b. Koding: pemberian kode pada data untuk memudahkan analisis. Dalam hal
ini, data yang telah terkumpul diberi kode atau dimasukkan dalam kategori
tertentu. Peneliti menggunakan tiga kategori dan empat sub-kategori. Tiga
kategori tersebut adalah model penerapan humas, faktor – faktor yang
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
56
mempengaruhi penerapan humas serta karakteristik tambahan penerapan
humas PPA yang tidak termasuk dalam kategori sebelumnya. Adapun empat
sub-kategori terdiri atas empat dimensi penerapan humas yakni komunikasi
satu arah versus dua arah, efek komunikasi asimetris versus asimetris, bentuk
komunikasi interpersonal versus termediasi dan dimensi etis.
c. Tabulasi data: penyajian atau diskripsi data dalam bentuk tabel atau daftar
yang mendiskripsikan data secara kronologis berdasarkan kategori-kategori
yang telah dibuat untuk memudahkan pengamatan dan evaluasi.
d. Interpretasi data: penafsiran yang dilakukan dengan menghubungkan data
mengenai pola-pola penerapan humas yang sudah diperoleh dengan teori –
teori terkait topik penelitian yang diadaptasi.
e. Kesimpulan: pemberian konklusi atas interpretasi data sebagai hasil
penelitian.
7. Limitasi Penelitian
Agar lebih fokus dan terarah, peneliti membatasi penelitian ini pada
penerapan humas oleh Lembaga Humas dan Penerbitan (LHP) pra Muktamar
Ke-46 dan oleh sekretaris PPA paska Muktamar ke-46. Dalam hal ini,
pelaksanaan humas oleh sekretaris PPA atau paska Muktamar Ke-46 tersebut
ditandai dengan keluarnya keputusan rapat pleno yang mensub-ordinasi
tugas-tugas LHP pada sekretariat PPA pada Juli 2010 hingga peneliti turun ke
lapangan untuk melakukan penelitian. Dengan demikian, hal sejenis yang
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
57
mungkin dilakukan selain oleh ‘Aisyiyah tingkat pusat, seperti Pimpinan Wilayah,
Daerah, Cabang maupun Ranting ‘Aisyiyah lewat beragam bagian strukturnya,
tidak termasuk dalam lingkup yang akan dijangkau oleh penelitian ini. Selain itu,
penelitian ini juga tidak menjangkau pelaksanaan humas yang bisa jadi juga
dilakukan oleh bagian lain dalam struktur PPA di luar LHP dan sekretaris.
Studi Kasus Penerapan Model Humas Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pra dan Paska Muktamar Ke-46Kholifatul FauziahUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/