Studi Alokasi Dana Desa

download Studi Alokasi Dana Desa

of 118

Transcript of Studi Alokasi Dana Desa

Laporan

STUDI ALOKASI DANA DESA DI ENAM KABUPATENLimapuluh Kota, Sumedang, Magelang, Tuban, Selayar, Jayapura

Kerjasama: Ditjen PMD Depdagri PERFORM Tifa Foundation GTZ Promis-NT Ford Foundation Forum Pengembangan Pembaharuan Desa

ffDesember 2004LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

1

Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................... Daftar Isi ............................................................ Bab I Pendahuluan 1. Latar Belakang ..................................... 2. Tujuan Penelitian .................................. 3. Keluaran Penelitian ............................... 4. Indikator Penelitian ............................... 5. Metode Penelitian ................................. 5.1. Jenis dan Data Penelitian ............... 5.2. Jalannya Penelitian ........................ 5.3. Cakupan Data ............................... 5.4. Instrumen Penelitian dan Cakupan ... 5.5. Tim Penelitian ...............................

i iii

1 3 3 4 4 4 4 5 5 9 11 12 16 17 17 18

Bab II Deskripsi Daerah Penelitian 1. Letak Geografi dan Kependudukan .......... 2. Ekonomi .............................................. 3. APBD dan PAD ..................................... 4. Pemerintahan Desa ............................... 4.1. Jumlah Kecamatan dan Desa .......... 4.2. Tata Pemerintahan ........................ Bab III Kontek Kelahiran Kebijakan dan Substansi ADD 1. Konteks Kelahiran ................................ 2. Substansi ADD ..................................... 2.1. Istilah ADD .................................. 2.2. Formula .......................................

21 34 34 36

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

2

Bab IV Mekanisme Kelembagaan, dan Pengelolaan ADD 1. Instistusi Pengelola ADD ........................ 47 2. Perencanaan Anggaran dan Partisipasi Masyarakat .......................................... 54 3. Prosedur Pendistribusian ADD ke Desa .... 62 4. ADD dalam POS Anggaran APBDes .......... 73 5. Monitoring dan Pengawasan ................... 79 Bab V Manfaat ADD Bagi Kabupaten dan Desa 1. Manfaat Bagi Kabupaten ........................ 87 1.1. Efisiensi Pembiayaan Pembangunan.. 88 1.2. Pemerataan Pembangunan dan Peningkatan Pelayanan .................. 89 1.3. Meningkatkan Peran Desa .............. 91 2. Manfaat Bagi Desa ................................ 93 2.1. Kemandirian Desa ......................... 94 2.2. Meningkatkan Partisipasi & Demokrasi Desa ........................................... 95 2.3. Penguatan APBDes bagi Pembangunan dan Pemberdayaan ........................ 98 2.4. Peningkatan Sumber Daya Manusia .. 101

Bab VI Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Kesimpulan ......................................... 103 2. Rekomendasi ....................................... 110 Daftar Pustaka 1. Kabupaten Magelang ............................. 2. kabupaten Limapuluh Kota ..................... 3. Kabupaten Sumedang ........................... 4. Kabupaten Selayar ................................ 5. Kabupaten Tuban ................................. 6. Kabupaten Jayapura ............................. 113 114 117 120 120 121

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

3

Daftar Tabel

Tabel 1.1. Indokator, Kisi Pertanyaan dan Instrumen Penelitian ............................................... Tabel 1.2. Daftar Peneliti di Enam Kabupaten ............. Tabel 1.3. Jadwal dan Rangkaian Kegiatan Penelitian .. Tabel 2.1. Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Enam Kabupaten Penelitian ............. Tabel 2.2. Persentase Penduduk Miskin di Enam Kabupaten Penelitian ...................................... Tabel.2.3. PDRB di Enam Kabupaten Penelitian Tahun 2003 ...................................................... Tabel 2.4. APBD dan PAD di Enam Kabupaten Penelitian Tabel 2.5. Jumlah Kecamatan, Desa dan Dusun di Enam Kabupaten Penelitian ............................... Tabel 3.1. Rumusan Pembobotan ADD di Kabupaten Selayar .................................................. Tabel 4.1. Kisi-kisi MONEV ADD di Kabupaten Tuban.... Tabel 5.1. Belanja Desa di Empat Kabupaten Tahun 2002-2003 .............................................

6 9 10 12 14 15 16 17 44 84 100

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

4

Kata Pengantar

Otonomi desa sekedar menjadi semacam eforia bila pemerintahan desa tidak mampu meningkatkan kinerja pelayanan publik dan pemberdayaan masyarakatnya. Akan tetapi, dapat dipastikan kebanyakan desa tidak akan mampu menjalankan kedua fungsi itu secara maksimal karena keterbatasan anggaran yang bersumber dari Pendapatan Asli Desa (PADes). Desa semacam itu bahkan dapat menjadi beban bagi masyarakatnya yang rata-rata memiliki tingkat kesejahteraan yang masih rendah. Oleh karena itu, sudah semestinya bahwa ADD (Alokasi Dana Desa) menjadi elemen yang penting untuk mendukung bekerjanya pemerintahan desa di dalam menyelenggarakan pelayanan publik dan pembangunan. Penelitian ADD di enam kabupaten di Indonesia ini membuktikan betapa pentingnya anggaran ini bagi desa sebagaimana tertuang dalam APBDes. Dengan adanya ADD maka pemerintah desa tidak hanya meningkat anggarannya tetapi pengelolaan ADD yang baik dapat menunjang terwujudnya tata pemerintahan yang demokratis dan partisipatif serta membuahkan peningkatan pelayanan publik dan pembangunan. Desa bahkan dapat dipercaya untuk menjalankan fungsi desentralisasi sehingga dengan fungsi ini desa belajar bertanggungjawab mengelola dana milik negara dan masyarakatnya serta mampu mengalokasikan anggaran sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

5

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, kami berharap bahwa kebijakan ADD di enam kabupaten yang dipelajari ini dapat menjadi bahan masukan bagi Depdagri dan kabupaten lain dalam mengembangkan ADD di kemudian hari. Sementara itu, kami juga menyadari bahwa untuk sampai ketujuan itu tidak mustahil kami harus merevisi laporan penelitian ini. Karena itu kami mengundang berbagai pihak untuk mengritisi kualitas laporan penelitian ini sehingga akan menjadi laporan yang semakin baik. Penelitian ini terlaksana berkat dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan banyak terima kasih atas partisipasinya. Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih kepada Ford Foundation, PERFORM, Yayasan TIFA dan GTZ Promis-NT atas dukungan dana yang memadai. Kami memuji pula kesediaan sejumlah donor tersebut untuk menyumbangkan tenaga ahlinya untuk bergabung dengan kami. Ucapan terima kasih juga kami hadirkan kepada Ditjen PMD Depdagri karena penelitian ini berangkat dari rekomendasinya. Tidak ketinggalan kami mengucapkan terima kasih kepada enam Bupati, yaitu Bupati Limapuluh Kota, Sumedang, Magelang, Tuban, Selayar dan Jayapura mewakili priabadi dan seluruh staff serta masyarakatnya atas kesediaanya memfasilitasi kegiatan penelitian kami. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh staff pendukung dari FPPD sehingga penelitian ini terlaksana dengan lancer.

Jogjakarta, 15 Desember 2004 Koordinator Peneliti Bambang HudayanaLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

6

BAB I PENDAHULUAN1. Latar BelakangPelaksanaan otonomi daerah sebagaimana terkandung dalam makna UU nomor 22 Tahun 1999 adalah guna terwujudnya kemandirian daerah yang bertumpu pada pemberdayaan potensi lokal. Meskipun titik berat otonomi diletakkan pada tingkat Kabupaten/Kota, namun secara esensi sebenarnya kemandirian tersebut harus dimulai dari level pemerintahan di tingkat paling bawah, yaitu Desa, sehingga pembangunan daerah seharusnya lebih terfokus pada pemberdayaan masyarakat dan Desa. Selama ini, pembangunan desa masih banyak bergantung dari pendapatan asli desa dan swadaya masyarakat yang jumlah maupun sifatnya tidak dapat diprediksi. Selain itu, desa memperoleh pula bantuan pembangunan dari dinas/instansi pemerintah Kabupaten, dimana penentuan program-programnya lebih ditetapkan oleh dinas/instansi itu sendiri (top down). Meskipun programnya baik tetapi sering tidak ketemu dengan asas manfaat karena tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh desa, sehingga sering kita jumpai masyarakat kurang peduli dalam mendukung program ini maupun memeliharanya. Sesuai dengan PP 76 tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa, disebutkan bahwa desa juga memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sesuai dengan kewenangan asli maupun yang diberikan. Untuk melaksanakan kewenangan tersebut,LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

7

pemerintah desa memiliki sumber-sumber penerimaan yang digunakan untuk membiayai kegiatan yang dilakukan. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam mendukung proses pelaksanaan pembangunan di setiap desa adalah adanya kepastian untuk pembiayaannya. Penetapan pembiayaan pembangunan dapat berasal dari berbagai sumber seperti dari Pemerintah, swasta maupun masyarakat. Beberapa Kabupaten telah melakukan inovasi dengan pengalokasian dana langsung ke desa dari APBD-nya untuk mendukung pembangunan di wilayah pedesaan. Alokasi dana ke desa ini, telah terbukti mampu untuk mendorong penanganan beberapa permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat desa secara mandiri, tanpa harus lama menunggu datangnya program-program dari pemerintah Kabupaten. Dengan adanya alokasi dana ke desa, perencanaan partisipatif akan lebih berkelanjutan karena masyarakat dapat langsung merealisasikan beberapa kebutuhannya yang tertuang dalam dokumen perencanaan di desa. Beberapa manfaat dari alokasi dana ke desa adalah: 1. Masyarakat pedesaan akan lebih leluasa berekspresi mencapai kemajuan. Aspirasi masyarakat lebih terakomodir karena pengambil kebijakan berada di tengah-tengah masyarakat, bahkan mereka sendiri bagian dari pengambil keputusan. 2. Pelaksanaan pembangunan di desa menjadi maksimal karena realistis, dikerjakan sendiri dan mendapat dukungan swadaya dari masyarakat. 3. Kontrol langsung secara intensif dari masyarakat memungkinkan dan dapat meminimalisir bahkan meniadakan penyimpangan. 4. Semakin berfungsi lembaga Pemerintahan Desa dan Lembaga Kemasyarakatan di Desa/Kelurahan.

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

8

Pentingnya dukungan pembiayaan dari Kabupaten ke Desa ini, juga merupakan salah satu hasil kesepakatan yang dicapai dari Lokakarya Penentuan Program Prioritas Pemberdayaan dan Pembaharuan Desa yang diselenggarakan oleh Ditjen PMD (Depdagri) dan FPPD (Forum Pengembangan Pembaharuan Desa) di Jakarta, 28 Juli 2004. Oleh sebab itu, maka Ditjen PMD menawarkan untuk mengeluarkan suatu regulasi tingkat Nasional yang dapat dijadikan pedoman bagi Kabupaten dalam merumuskan serta menerapkan dukungan pembiayaan dari Kabupaten ke Desa. Dalam rangka menanggapi penawaran Ditjen PMD, maka beberapa program bantuan Donor FPPD (Ford Foundation), PERFORM (USAID), Promis NT (GTZ), dan Yayasan TIFA melakukan kajian (penelitian) terhadap pelaksanaan Dana Perimbangan Desa (DPD) atau nama lain yang sejenis di sejumlah Kabupaten yang telah menerapkannya, sebagai referensi dalam perumusan regulasi nasional tersebut.

2. Tujuan Penelitian1. Mengeksplorasi urgensi dan relevansi ADD dalam konteks pengembangan kapasitas desa mengelola pemerintahan dan pembangunan. 2. Mengeksplorasi pengalaman kebijakan ADD di daerah yang menjadi bahan formulasi panduan dalam Surat Edaran yang akan dikeluarkan Depdagri.

3. Keluaran Penelitian1. Tersedianya panduan untuk Kabupaten dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan DPD. 2. Rancangan produk hukum Depdagri mengenai kebijakan perimbangan keuangan Kabupaten-Desa.LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

9

4. Indikator Penelitian1. Konteks lingkungan/latar belakang lahirnya ADD. 2. Dukungan Regulasi dan Substansi ADD 3. Proses Perencanaan, Implementasi serta Evaluasi dan Monitoring ADD. 4. Manfaat ADD bagi Desa dan Kabupaten.

5. Metode Penelitian5.1. Jenis dan Data PenelitianPenelitian merupakan studi deskriptif-eksploratif di enam kabupaten yang memiliki ADD. Keenam kabupaten yang dipilih diharapkan bervariasi karakteristiknya berdasarkan wilayah geografisnya (Jawa versus luar Jawa), dan pola-pola pengeloaan ADD. Data penelitian ini meliputi data sekunder yang terdiri atas produk dokumen regulasi dan pelaksanaan ADD (lihat cakupan data); dan data primer yang dikumpulkan dengan memakai metode wawancara mendalam, serta Focus Group Discussion (FGD).

5.2. Jalannya PenelitianStudi kasus dilaksanakan di enam kabupaten, yaitu: Sumedang (Jawa Barat), Limapuluh Kota (Sumatera Barat), Magelang (Jawa Tengah), Tuban (Jawa Timur), Selayar (Sulawesi Selatan), dan Kabupaten Jayapura (Papua). Kabupaten-kabupaten ini dipilih karena diketahui telah menerapkan kebijakan ADD. Selain itu, beberapa daerah tersebut telah menjadi program NGO untuk pengembangan pembaharuan desa. Pada tahap pertama, penelitian ini melakukan sharing ide dan pengalaman mengenai munculnya dan implementasi ADD di masing-masing daerah. Kemudian pada tahap kedua dilakukan studi lapangan untuk melengkapi data sekunderLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

10

dan mengumpulkan data primer. Pada tahap kedua ini dilakukan kajian singkat (asessment) di sejumlah kabupaten yang merupakan dampingan dari program bantuan donor untuk melengkapi informasi yang akan dikumpulkan pada kegiatan penelitian mendalam. Selain itu dilakukan kajian singkat mengenai sejumlah penelitian dan wacana mengenai ADD dengan mereview gagasan-gagasan yang dimunculkannya.

5.3. Cakupan DataBeberapa hal yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah menyangkut: 1. Latar belakang lahirnya ADD 2. Regulasi tingkat nasional dan daerah terkait dengan kewenangan dan ADD 3. Kewenangan desa yang ada dan yang dibutuhkan 4. Bentuk serta jenis alokasi dana dari Kabupaten ke Desa 5. Formula pengalokasian dana dari Kabupaten ke desa (% dari APBD), serta proses perumusannya. 6. Mekanisme distribusi dana dari Kabupaten ke desa. 7. Mekanisme pemanfaatan dana oleh desa, beserta hambatan dan manfaat yang ditemukan. 8. Mekanisme pertanggungjawaban serta pengawasan, baik dari pemerintah desa ke masyarakat atau pun ke pemerintah Kabupaten. 9. Kondisi desa setelah menerima dana dari Kabupaten. 10. Kebijakan di tingkat nasional yang dibutuhkan.

5.4. Instrumen Penelitian dan CakupanTabel berikut ini menyajikan indikator, kisi-kisi pertanyaan, instrumen penelitian dan sumber data penelitian. Pada prinsipnya semua indikator, metode dan sumber data diperhatikan dalam penelitian ini. NamunLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

11

demikian, problem ketersediaan dan aksesibilitas mengumpulkan data telah membuat data yang dikumpulakan di masing-masing daerah tidak seluruhnya terkumpul dengan menggunakan indikator dan metode penelitian tersebut. Tabel 1.1. Indikator, Kisi Pertanyaan dan Instrumen PenelitianIndikator dan aspeknya Konteks a. Hukum Konsideran/land asan Payung hukum Data Sekunder Kantor Kabupaten (Bagian Hukum) Kelompok I (DPRD, Pemkab, NGO yang memfasilitasi desa, Tomas, Ass BPD) Kelompok II (Pemdes, BPD, Perkumpulan Warga, Panitia Pelaksana) Kelompok I (DPRD, Pemkab, NGO yang memfasilitasi desa, Tomas, Ass BPD) Kelompok II (Pemdes, BPD, Perkumpulan Warga, Panitia Pelaksana) Kisi Pertanyaan Metode Pengumpulan Data Sumber Data/ Partisipan

b. Politik & Sosial

Inisiator/sejarah FGD (pemerintah, DPRD, ornop, pemerintahan desa, donor, dll.) Semangat kedaerahan Kebijakan pembagian kewenangan dan fungsi Sumberdaya Kemiskinan Ketimpangan pembangunan & pelayanan FGD, wawancara

c. Ekonomi

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

12

Indikator dan aspeknya Proses

Kisi Pertanyaan

Metode Pengumpulan Data

Sumber Data/ Partisipan

Studi a. Perencanaan Keterlibatan dokumen, stakeholders wawancara (pemerintah, DPRD, ornop, pemerintah desa, donor, dll.) Tahapan penyusunan & jangka waktunya Konseptor beserta kelembagaannya b. Pelaksanaan Tahapan pelaksanaan (sosialisasi, pembuatan pedoman) Kelembagaan Metoda & instrumen Pelaksana Periode Block grant/ specific grant/ matching grant/ dana abadi, dll Bantuan selain DPD Studi dokumen, wawancara

Kantor Kab, PMD, Bapeda, Bapekab, Pemdes, ornop,

Kantor Kab, PMD, Bapeda, Bapekab, Pemdes, ornop,

c. Monitoring & Evaluasi

Studi dokumen, wawancara

Kantor Kab, PMD, Bapeda, Bapekab, Pemdes, ornop, Kantor Kab, PMD, Bapeda, Bapekab, Pemdes, ornop,

Substansi a. Bentuk & Jenis Studi dokumen, wawancara

b. Formula

Studi Variabel dokumen, Bobot wawancara Indikator (pemerataan atau keadilan) Persentase dari APBD Kabupaten & Provinsi, DAU, PAD, DAK

Kantor Kab, PMD, Bapeda, Bapekab, Pemdes, ornop,

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

13

Indikator dan aspeknya c. Mekanisme distribusi

Kisi Pertanyaan Kelembagaan Metode dan waktu Persyaratan

Metode Pengumpulan Data Studi dokumen, wawancara Studi dokumen, wawancara

Sumber Data/ Partisipan Kantor Kab, PMD, Bapeda, Bapekab, Pemdes, ornop Kantor Kab, PMD, Bapeda, Bapekab, Pemdes, ornop, Bawasda, BPD

Kelembagaan d. Mekanisme pelaporan & Metode, bentuk pertanggung dan waktu (pemerintah dan -jawaban masyarakat) Persyaratan Sanksi d. Alokasi Rasio untuk rutin penggunaan dan pembangunan Rasio per sektor (pendidikan, infra-struktur, ekonomi, sosial, marginal) Proses perumusan & penetapannya Pelaksana Manfaat a. Pelayanan Produktivitas pemerintah- efektivitas an desa

Studi dokumen, wawancara, FGD

Masyarakat dan pemerintah desa, dokumen LPJ kades

Wawancara, Masyarakat dan FGD di desa pemerintah desa, dokumen LPJ kades

b. Pembangun- Penyertaan dana Wawancara, Masyarakat dan an swadaya dan/ atau FGD di desa pemerintah desa, dokumen kemitraan; LPJ kades Penggunaan (untuk apa dan bagaimana) Keterkaitan dengan dokumen perencanaan desa

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

14

5.5. Tim PenelitiPenelitian ini dilaksanakan secara kolaboratif oleh FPPD sebagai koordinator dengan menggalang kerjasama dari para peneliti dan praktisi dari PMD, GTZ, Perform, FPPD serta mitra dari institusi tersebut. Susunan Tim Peneliti adalah sebagai berikut: 1. Penanggung jawab : FPPD 2. Koordinator Penelitian : Bambang Hudayana Tabel 1.2. Daftar Peneliti ADD di Enam KabupatenNo 1. 2. Lokasi Jayapura Limapuluh Kota Nama Peneliti Sutoro Eko Ismail Amir Muhammad Najib Bambang Hudayana Susmanto Firman Siagian Stepanus Warno Hadi Winarno Suprayitno Haryo Habirono Rossana Dewi Wilda Hetharia Pietra Widiadi Farid Hadi Rahman Lembaga Asal STPMD APMD Bina Swagiri PERFORM FPPD GTZ-SfDM PMD GTZ Promis Dialog PMD FPPD Gita Pertiwi PMD CPAD PERFORM Tempat Tinggal Yogyakarta Tuban Jakarta Yogyakarta Jakarta Jakarta NTT Sidoarjo Jakarta Salatiga Solo Jakarta Sidoarjo Makasar

3. 4.

Sumedang Tuban

5.

Magelang

6.

Selayar

Staff pendukung 1. Asisten peneliti 2. Skretaris 3. Keuangan 4. Kasir 5. Dukumentasi 6. Office Boy

: : : : : :

Alif Basuki Erni Herawati Sukasmanto Asruri Adri Warsena M. Tri Sumirat 15

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

5.6. Jadual KegiatanPenelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan dimulai bulan Agustus dan berakhir pada bulan Oktober 2004. Tabel 1.3. Jadual dan Rangkaian Kegiatan PenelitianNo 1. 2. Jenis Kegiatan Penyusunan proposal Lokakarya "Sharing ide dan pengalaman tentang ADD" Penulisan draf laporan penelitian I Presentasi dan diskusi terbatas laporan penelitian I Pengumpulan data lapangan Penulisan draf laporan penelitian akhir Presentasi dan diskusi terbatas draf laporan penelitian akhir Perbaikan laporan penelitian akhir Lokakarya Nasional Evaluasi & Laporan Akhir AgustusII III IV I

SeptemberII III IV I

OktoberII III

3. 4. 5. 6. 7.

8. 9. 10.

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

16

BAB II DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

1. Letak Geografi dan KependudukanSecara geografis, setiap kabupaten penelitian mempunyai karakteristik yang khas. Jayapura merupakan wilayah Provinsi Papua yang relatif terisolasi dari pusat pembangunan ekonomi yang terkonsentrasi di Jawa. Wilayah yang luas dengan desa-desa yang kecil dan terpencar-pencar merupakan ciri khas dari kabupaten ini. Meskipun demikian, kabupaten ini relatif lebih terbuka daripada kabupaten lainnya di wilayah Papua. Selayar juga merupakan salah satu contoh kabupaten kepulauan dan berada dalam posisi terisolasi di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Ia merupakan kabupaten kepulauan yang berada di bagian selatan provinsi ini. Sementara itu Kabupaten Limapuluh Kota termasuk wilayah Sumatera Barat, dulunya terisolir, tetapi kemudian terbuka dan menjadi pintu masuk ke wilayah Provinsi Riau dan Sumatera Utara. Berbeda dengan ketiga Kabupaten di luar Jawa, Kabupaten Tuban, Magelang dan Sumedang merupakan daerah yang sudah terbuka. Magelang merupakan kabupaten yang tumbuh menjadi pusat kegiatan ekonomi di Jawa dan berada dalam lintas perseberangan antara poros pusat pertumbuhan ekonomi di Yogyakarta dan Semarang. Magelang dikenal produsen pertanian untuk menyuplai kotaLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

17

Magelang, dan Semarang, sama seperti Sumedang untuk menyuplai produksi pertanian bagi kota Bandung. Tuban merupakan daerah yang dekat dengan Surabaya, sebagai pusat kegiatan Ekonomi di Jawa Timur. Tuban dikenal sebagai kawasan Industri Semen Gresik dan tambak. Kondisi ini mirip dengan Sumedang yang dekat dengan Bandung sebagai pusat pemerintahan provinsi Jawa Barat. Dari segi luas wilayah, Jayapura merupakan kabupaten terluas, disusul Lima Puluh Kota, Tuban, Magelang, Selayar , dan Sumedang. Adapun dari segi jumlah dan kepadatan penduduk, Magelang, Sumedang dan Tuban paling besar dan padat penduduknya, sedangkan kabupaten lainnya yang berada di luar Jawa, Khususnya Jayapura termasuk rendah jumlah dan kepadatan penduduknya. Tabel 2.1. Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Enam Kabupaten PenelitianNo. Nama Kabupaten Luas Wilayah (KM) Jumlah Penduduk (jiwa) Kepadatan Penduduk (KM)

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Lima Puluh Kota Sumedang Magelang Tuban Selayar Jayapura

3.354 522 1.086 1.893 903 61.493

313,445 970.461 1.123.937 1.076.203 109.979 NA

117 625 1.034 568.5 122 2,28

Sumber: Kabupaten dalam Angka dan dokumen resmi di masingmasing kabupaten penelitian

2. EkonomiDeskripsi tentang aspek ekonomi difokuskan pada hal-hal yang yang relevan dengan program ADD. Pertama adalah masalah kemiskinan. Keragaman kondisi geografis antara kabupaten itu nampaknya diikuti dengan perbedaanLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

18

pola ekonomi. Dari segi basis ekonomi, penduduk asli Jayapura masih menggantungkan hidupnya pada ekonomi subsisten melalui praktik perladangan dan perburuan. Kini sektor pertanian sedang tumbuh dengan munculnya usaha tani persawahan, diikuti juga dengan sektor perkebunan dan kehutanan. Berbeda dengan Jayapura, ekonomi penduduk Selayar menggantungkan pada perikanan laut, meskipun sektor pertanian menjadi sumber pendapatan utama. Kabupaten yang penduduknya terkosentrasi pada usaha tani adalah Kabupaten Limapuluh Kota. Mereka mengandalkan usaha tani persawahan karena didukung oleh adanya lembah pertanian yang subur. Selain itu mereka merupakan produsen gambir yang merupakan tanaman lokal yang marketabel di pasar nasional dan dunia (Kompas, 2003). Adapun penduduk Tuban, Magelang dan Sumedang juga menggantungkan dari sektor pertanian, meskipun sektor industri telah berkembang menjadi sumber ekonomi mereka juga. Perkembangan ekonomi berpengaruh dengan tingkat kemiskinan. Di Jayapura tingkat kemiskinan penduduk sangat tinggi. Kabupaten lainnya kecuali Magelang dan Sumedang mempunyai angka kemiskinan yang cukup tinggi. Tingginya angka kemiskinan itu dalam banyak studi di Indonesia dapat disebabkan oleh kemiskinan struktural dan kultural serta sebagai implikasi dari imbas krisis ekonomi 1997 di mana jumlah penduduk miskin yang semula telah turun sekitar 15% menjadi 60% (Wahono, 1999). Tingginya angka kemiskinan di empat kabupaten penelitian telah mendorong pemerintah daerah untuk mencanangkan agenda pengentasan kemiskinan melalui berbagai pendekatan. ADD nampaknya dimaksudkan sebagai salah satu jalan keluar untuk mengatasi kemiskinan karena dana ADD diperuntukkan bagi pembangunan di wilayahLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

19

pedesaan. Di Kabupaten Limapuluh Kota, pemerintah bahkan mencanangkan kebijakan pengembangan ekonomi masyarakat dengan berbasis pada peningkatan komoditas unggulan nagari sehingga mempercepat proses peningkatan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan visi dari kabupaten. Ini artinya pemerintah memfasilitasi nagari dalam mengembangkan ekonominya, dengan mendorong agar ADD-nya untuk mengembangkan sentra ekonomi sesuai dengan produk unggulannya. Tabel 2.2. Persentase Penduduk Miskin di Enam Kabupaten PenelitianNo. Nama Kabupaten Persentase Penduduk Miskin

1. 2. 3. 4. 5. 6.Sumber:

Lima Puluh Kota 2003 Sumedang 2003 Magelang 2003 Tuban 2003 Selayar 2003 Jayapura

22% (17,488 KK) 5,6% (54.625 jiwa) 9,7% (109.259 Jiwa) 24% 24% NA

Data mentah dan hasil analisis data sekunder LPJ Bupati, atau SK para Bupati tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Penelitian.

Kedua: profil nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di enam kabupaten yang tersedia datanya. Data ini perlu untuk memberikan gambaran tentang sumbangan sektor ekonomi terhadap ekonomi daerah secara umum. Nampak bahwa PDRB di enam kabupaten penelitian, kecuali Sumedang menunjukkan masih tingginya PDRB dari sektor pertanian. PDRB Kabupaten Tuban rangking ke-1, dan sektor yang menjadi pendukung PDRB adalah berasal dari sektor pertanian 28,79%; industri pengolahan 19,26%; pertambangan dan penggalian 8,91%; perdagangan,LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

20

restoran dan hotel 17,68%; konstruksi 7,16%; dan sisanya keuangan dan jasa, gas dan air relatif kecil masing-masing di bawah 5%. PDRB Kabupaten Magelang menempati rangking ke-4, dan sektor yang menjadi pendukung PDRB adalah berasal dari sektor pertanian 34,88%; industri 19,17%; jasa 14,69%; perdagangan, restoran dan hotel 19,91% dan lainlain 15,35%. Adapun PDRB Sumedang menempati rangking ke-5 dengan pendukung dari sektor pertanian 0,70%; pertambangan dan galian 9,18%; industri pengolahan 4,41%; listrik, gas dan air bersih 6,82%; bangunan dan konstruksi 5,14%; perdagangan, hotel dan restoran 4,16%; angkutan dan komunikasi 6,22%; keuangan, persewaan dan jasa 8,23% dan jasa-jasa 4,63%. Tabel 2.3. PDRB di Enam Kabupaten Penelitian Tahun 2003No Nama Kabupaten PDRB Tahun Terakhir (dalam Juta rupiah) Rangking Tertinggi

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Lima Puluh Kota Sumedang Magelang Tuban Selayar Jayapura

NA 1.171.094,92 1.021.815,49 4.654.807,29 395.243,52 NA

NA 2 3 1 5 NA

Sumber: Hasil analisis data sekunder LPJ Bupati, atau SK para Bupati tahun 2003 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Penelitian.

Potensi dan kondisi alam yang bersifat kepulauan kecil membuat daerah ini mengandalkan pada sumberdaya pertanian dan perikanan. Oleh karena itu, PDRB Kabupaten Selayar tahun 2003 atas dasar harga berlaku, relatif kecil yaitu sebesar Rp 395.243,52 juta. Kontribusi terbesar didominasi oleh sektor pertanian (peternakan) lebih dariLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

21

48%; baru kemudian sektor perdagangan 14,89%; jasa 13,36%; angkutan dan komunikasi 10,55%; bangunan 6,89%; industri 5,22%; serta sisanya lain-lain.

3. APBD dan PADMencermati APBD di enam daerah penelitian diperlukan untuk menyimak perkembangan keuangan daerah belakangan ini. ADD selalu dikaitkan dengan kemampuan daerah untuk membiayai pos pembangunan dan rutin, sedangkan besarnya ADD kadang disesuaikan dan diambilkan dari sisa anggaran kedua pos belanja tersebut. Tabel 2.4. APBD, dan PAD di Enam Kabupaten PenelitianNo Nama Kabupaten APBD (Pendapatan) PAD Tahun Terakhir % PAD dari APBD

Lima Puluh 242.429.160.364 9.734.560.841 4.01 Kota 2003 2. Sumedang 351.655.359.000 41.752.295.000 11.87 2003 3. Magelang 359.629.075.416 25.511.800.845 7.09 4. Tuban 2003 407.373.300.718 54.481.564.336 13.08 5. Selayar 2003 138.598.914.000 7.310.960.000 5.27 6. Jayapura NA NA NA Sumber: Hasil analisis data sekunder LPJ Bupati, atau SK para Bupati tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Penelitian.

1.

Tabel di atas mengungkapkan bahwa APBD setiap kabupaten penelitian masih menggantungkan dari Dana Perimbangan Pusat-Daerah (DAU). Hal ini nampak dari masih kecilnya sumbangan PAD yang besarnya di bawah 10%, kecuali untuk Sumedang dan Tuban. Tabel di atas memberikan pelajaran bahwa kemunculan ADD di enam kabupaten bukan karena mereka mempunyai pos pendapatan dalam APBD yang besar danLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

22

PAD yang besar pula. ADD di enam kabupaten itu lebih dipengaruhi oleh semangat para penyelenggara pemerintahan untuk memberikan semacam hak kepada desa agar dapat menjalankan peran sebagai kekuatan yang jitu untuk melaksanakan pembangunan di wilayahnya.

4. Pemerintahan Desa4.1. Jumlah Kecamatan dan DesaKeenam kabupaten penelitian memiliki jumlah kecamatan dan desa yang beragam. Khusus untuk Kabupaten Limapuluh Kota, pemerintahan desa telah diganti dengan pemerintahan nagari dan menggabungkan desa lama (jorong) ke dalam satuan wilayah nagari sehingga jumlah nagarinya menjadi paling sedikit. Tabel 2.5. Jumlah Kecamatan, Desa, dan Dusun di Enam Kabupaten PenelitianNo Nama Kabupaten Jumlah Kecamatan 13 26 21 19 10 NA Jumlah Desa/ Nama lain 76 262 365 311 66 NA Jumlah Kelurahan 7 5 17 7 NA Jumlah Dusun/ Nama lain 382 NA NA 844 NA NA

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Lima Puluh Kota Sumedang Magelang Tuban Selayar Jayapura

Sumber: Kabupaten dalam Angka dan LPJ Bupati di masing-masing daerah penelitian dan dokumen resmi.

Tabel 2.5 mengungkapkan bahwa keenam kabupaten penelitian memiliki jumlah kecamatan dan desa/kelurahan yang cukup banyak. Barangkali hal itu berkaitan dengan tingkat jumlah dan kepadatan penduduk. Tabel ini jugaLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

23

memberikan pelajaran bahwa banyak-sedikitnya desa dan dusun tidak menjadi penghalang bagi kabupaten untuk menelorkan kebijakan ADD karena kabupaten-kabupaten tersebut mempunyai jumlah desa yang berbeda-beda. Bahkan banyaknya dusun (Jorong) diperhatikan dalam merumuskan besarnya ADD seperti yang terjadi di Kabupaten Limapuluh Kota seperti yang dipaparkan di belakang.

4.2. Tata PemerintahanTata pemerintahan desa yang disimak dalam laporan ini meliputi aspek demokrasi dan otonomi sebagaimana terlihat pada (1) struktur organisasi pemerintahan, (2) sistem rekruitmen jabatan, dan (3) keuangan. Keenam kabupaten, kecuali Kabupaten Limapuluh Kota memiliki struktur pemerintahan desa yang relatif sama, yakni terdiri dari pemerintah desa sebagai lembaga eksekutif yang dipimpin kepala desa dan BPD (Badan Perwakilan Desa) sebagai lembaga legislatif. Di Limapuluh Kota, desa diartikan sebagai nagari yang pernah hidup sebelum berlakunya UU No 5/1979. Nagari tersebut menghapus desa yang ada yang dulunya memiliki wilayah administrasi di Jorong yang merupakan wilayah terendah dari nagari. Di dalam nagari terdapat paling tidak tiga lembaga penting, yaitu wali nagari yang sejajar dengan kepala desa sebagai lembaga eksekutif, Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN) yang sejajar dengan BPD, dan Lembaga Anak Nagari (LAN) yang berfungsi sebagai lembaga yang mengatur sengketa adat, dan Badan Musyawarah Adat dan Syarak (BMAS) yang berfungsi sebagai lembaga musyawarah besar antar elemen dalam masyarakat yang berperan sebagai lembaga konsultatif untuk pemerintah nagari. Oleh karena itu, susunan pemerintahan desa tidak sekompleks pemerintahan nagari.LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

24

Terdapat pola yang sama pada desa-desa penelitian tentang struktur organisasi pemerintahan dan rekruitmen jabatan. Perda yang melandasi struktur organisasi itu mengamanatkan susunan pemerintah desa terdiri dari kepala desa yang dipilih secara langsung, dibantu oleh kepala dusun yang juga dipilih secara langsung serta aparat desa seperti sekretaris (carik) dan Kepala Urusan (Kaur) yang diangkat dengan memperhatikan suara BPD. Adapun BPD beranggotakan sekitar 13 orang tergantung dari jumlah penduduk dan dusun, serta mereka ini dipilih secara langsung. Khusus untuk nagari, wali nagari dipilih secara langsung sedangkan wali jorong diangkat melalui proses penggalian aspirasi warga di setiap jorong. Penggalian aspirasi ditampung wali nagari dan diangkat dengan minta persetujuan dari BPAN. Pemerintahan desa di kabupaten penelitian itu diberi status otonom, dalam arti bupati tidak mengurusi rumah tangga desa di dalam mengisi jabatan dalam struktur pemerintahan. Tugas bupati hanya mengesahkan jabatan kepala desa dan BPD yang diselenggarakan sendiri oleh desa. Bupati hanya akan memberhentikan kepala desa atas usul dari BPD dengan menggunakan aturan yang berlaku. Dalam kaitannya dengan ADD, bupati mempunyai kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban atas dana yang diserahkan itu. Dalam menjalankan peran sebagai fasilitator dan kontrol terhadap penggunaan ADD bupati dapat menugaskan camat. Hubungan nagari dengan bupati juga mirip hubungan antara bupati dengan desa. Bupati Kabupaten Limapuluh Kota menugaskan camat dan juga kepala Kantor Pemberdayaan Nagari (PMN) untuk memfasilitasi dan mengkoordinasi pemberdayaan nagari dan penggunaan ADD.

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

25

Keuangan desa dipegang oleh bendahara, dan APBDes disusun sesuai dengan UU No 22/1999, dan Perda tentang tata pemerintahan desa serta SK Bupati masingmasing untuk menindaklanjuti ketentuan-ketentuan dalam undang-undang dan peraturan daerah. Sumber pendapatan APBDes terutama berasal dari ADD dan PAD. ADD di enam kabupaten itu, kecuali di Jayapura diintegrasikan dalam APBDes dan karenanya menjadi bagian integral dari kegiatan rutin dan pembangunan desa yang pendanaannya didukung dengan PAD. Khusus untuk Jayapura, PAD dikelola oleh kantor kecamatan sebagai program pembangunan pemerintahan desa. PAD bersumber dari kekayaan desa, pajak dan retribusi. Di Kabupaten Limapuluh Kota, nagari telah mengembangkan PAD karena didukung oleh Perda yang mengijinkan nagari untuk menggali potensinya masingmasing. Banyak dana bagi hasil usaha yang masuk ke nagari dan berbagai iuran warga yang dipatuhi oleh para warganya. Bagan 2.1. Pola Struktur Organisasi Pemerintahan Desa

Bupati Camat Kepala Desa BPD

Aparat Desa (Sekretaris, Kaur, Bendahara dll) Para Kepala Dusun/Kampung

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

26

BAB III KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBTANSI ADD

1. Konteks KelahiranKelahiran ADD di enam kabupaten penelitian ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor seperti (1) romantisme dan semangat mengisi otonomi daerah, (2) kebijakan memanfaatkan UU No. 22/1999 sebagai kerangka landasan mewujudkan otonomi desa yang ideal, (3) merespon tuntutan proposal pembangunan desa yang kompleks, (4) tuntutan dari masyarakat sipil dan jaringan LSM, dan (5) kebijakan populis Bupati. Kelima faktor itu tidak muncul semuanya di setiap kabupaten dan setiap kabupaten nampaknya mempunyai kecenderungan memiliki konteks kelahiran yang khas. Faktor pertama nampaknya hanya muncul di Kabupaten Limapuluh Kota, sedangkan faktor kedua terutama muncul di Kabupaten Selayar dan Jayapura, dan disusul kemudian di semua kabupaten. Ini artinya bahwa pihak eksekutif dan legislatif di kabupaten memandang bahwa UU No. 22/1999 memberikan amanat untuk menghidupkan desa sebagai pemerintahan terbawah yang juga dapat menjalankan fungsi administrasi pemerintahan dan pembangunan serta pelayanan publik. Adapun faktor keempat terutama muncul di Kabupaten Sumedang dan Tuban, sedangkan faktor kelima muncul di semua

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

27

kabupaten. Ini artinya Bupati merupakan aktor yang penting di dalam memprakarsai kebijakan ADD tersebut. Faktor pertama itu muncul di Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat yang secara terpaksa telah mengganti pemerintahan nagari menjadi desa sesuai dengan tuntutan UU No 5/1979. Dengan berlakunya UU No 22/1999, romantisme dan semangat mengisi otentiksitas otonomi daerah telah merasuki elite lokal dan masyarakatnya. Mereka itu sepaham dengan para elite di tingkat provinsi di dalam memaknai UU NO. 22/1999 sebagai kerangka landasan yuridis untuk menghidupkan kembali identitas kedaerahan, dan nagari dipandang sebagai identitas otentik yang menjadi bagian integral dari otonomi daerah. Mereka menostalgiakan nagari sebagai self governing community yang kredibel dan mencerminkan struktur dan kerjasama sosial dalam masyarakat. Dengan terbitnya Perda Provinsi Sumatra Barat No. 1 tahun 2000 tentang Pemerintahan Nagari, wacana mengembalikan nagari menjadi sebuah agenda yang populer di masyarakat di seluruh kabupaten di provinsi ini termasuk di Kabupaten Limapuluh Kota. Oleh karena itu, para calon Bupati di kabupaten ini berusaha menggunakan agenda itu untuk mempromosikan karier politiknya agar diterima oleh DPRD. Ketika para calon Bupati diminta untuk mempromosikan programnya, salah satu program yang ditampilkan dan dianggap penting adalah kembali ke nagari sebagai bagian yang penting dari renstra kabupaten menuju terwujudnya masyarakat yang sejahtera. Gagasan para Bupati itu kemudian direspon positif oleh anggota DPRD dan oleh Bupati terpilih semua gagasan para calon Bupati diakomodasi melalui kebijakan Dana Bagi Hasil Nagari dan Dana Alokasi Umum Nagari dan dana lainnya yang dimaksudkan untuk memperkuat pemerintahan dan lembaga adat nagari.LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

28

Gagasan mewujudkan kembali nagari yang dituangkan di dalam Perda memberikan penegasan untuk melahirkan nagari sebagai self governing community, maka nagari harus memiliki anggaran yang memadai melebihi dari anggaran desa karena satuan masyarakat nagari lebih besar daripada desa. Oleh karena itu, dalam pasal-pasal Perda tentang pemerintahan nagari diperjelas mengenai sumber pendapatan dan belanja nagari yang secara eksplisit menegaskan adanya dana perimbangan dan dana bantuan dari pemerintah kabupaten ke nagari. Berbeda konteks kelahiran ADD di Kabupaten Limapuluh Kota, kelahiran ADD di Kabupaten Selayar disemangati oleh kepentingan untuk mewujudkan otonomi desa yang ideal. Pada masa lalu hingga Orde Baru jumlah desa kurang dari 50 buah, dan kebanyakan tidak menjalankan fungsi pemerintahan dengan baik. Pada waktu itu hampir semua aktivitas desa dibiayai oleh masyarakatnya, tetapi karena masyarakatnya relatif miskin maka praktis pembangunan desa tidak berkembang. Meskipun pada masa Orde Baru terdapat dana untuk pemerintahan desa, dari INPRES Dana Pembangunan Desa atau Kelurahan (DPDK), tetapi dana ini dipandang terlalu kecil untuk menjamin pemerintahan desa dapat bekerja dan menjalankan fungsi pembangunan. Dengan adanya UU No. 22/1999, Pemkab menemukan kerangka landasan yang kuat untuk menghidupkan dan menata ulang pemerintahan desa di dalam menjalankan fungsi pembangunan. Proses sejarah perkembangan tentang desa di Selayar pada masa lalu nampaknya mengundang juga para pengambil kebijakan di Selayar untuk merestrukturisasi desa. Hal ini karena pada masa lalu desa dimaknai sebagai unit pemukiman dan kemudian dikembangkan menjadi unit administrasi pemerintahah. Sebelum atau semasa awal pemerintahanLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

29

Hindia-Belanda terdapat pembagian wilayah yang disebut Kabusungan atau juga biasa disebut dengan Galarang yang dipimpin oleh Kepala Kabusungan yang disebut Opu. Setelah pemerintahan Hindia-Belanda berjalan, Kabusungan sebagai bentuk pemerintahan adat berubah menjadi Distrik. Sekalipun sudah berubah menjadi distrik, kepala distrik masih juga disebut dengan Opu. Opu ini menjalankan pemerintahan distrik didukung dengan diberikan kekayaan distrik berupa kokolohe (artinya kebun yang luas). Kokolohe ini merupakan kekayaan desa yang dipakai untuk membiayai fungsi pemerintahan, yaitu pelayanan kepada masyarakat dan sekaligus sebagai gaji bagi Opu. Pada sekitar tahun 1950, distrik dilebur dalam kecamatan dan atau desa. Artinya, terdapat beberapa distrik yang berubah menjadi kecamatan dan ada satu distrik yang dimekarkan menjadi beberapa desa. Dengan berubahnya status distrik menjadi kecamatan dan atau desa maka ada perubahan status Kokolohe. Perubahan status ini secara langsung menghapuskan kekayaan desa sehingga kemudian banyak kokolohe tersebut ada yang berubah menjadi tanah adat, tanah negara atau tanah yang dibagikan kepada warga masyarakat. Dari latar belakang historis itu nampak bahwa kondisi kekayaan desa di Kabupaten Selayar yang berbeda-beda. Umumnya desa yang masih memiliki kokolohe merupakan desa induk dari desa yang dimekarkan atau dibagi dalam beberapa desa, atau merupakan desa yang daerahnya masih bagian dari distrik dan tidak terbagi dalam beberapa desa. Namun sebagian besar desa tidak memiliki kekayaan desa, baik berupa tanah atau pun alat produksi yang lain. Oleh karena itu, desa memerlukan bantuan anggaran yang besar agar dapat menjalankan fungsi pemerintahannya. Restrukturisasi desa di Selayar tampak dari munculnya Perda tentang desa yang mengamanatkan desaLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

30

bukan hanya menjalankan fungsi administrasi tetapi juga fungsi pelayanan dan pembangunan. Oleh karena itu Perda tersebut ditindaklanjuti dengan mengamanatkan perimbangan keuangan desa-kabupaten. Hampir mirip dengan Kabupaten Selayar, kebijakan Kabupaten Jayapura melahirkan ADD merupakan tindakan kongkrit untuk mempercepat proses pembangunan di daerah, dan rujukan yang jitu tertuju pada wilayah pedesaan. Pemaknaan otonomi daerah sebagai agenda untuk menghidupkan fungsi desa sebenarnya muncul juga di seluruh wilayah Papua sebagai konsekuensi dari terwujudnya otonomi khusus di wilayah ini. Provinsi ini mempunyai kekhasan (kekhususan) yang berbeda dengan daerahdaerah lain di Indonesia. Perbedaan antara Papua dengan daerah-daerah lain bukan semata terletak pada kondisi geografis maupun sosio-kulturalnya, melainkan juga pada kebijakan negara dalam memperlakukan Provinsi Papua. UU No. 21/2001 memberikan status otonomi khusus kepada Provinsi Papua sebagai upaya untuk memperkuat integrasi Papua dalam NKRI, sekaligus untuk memberikan pengakuan atas eksistensi Papua (sosial budaya, struktur pemerintahan, sumberdaya alam, dan lain-lain), menghormati HAM bagi masyarakat Papua, maupun mewujudkan pemerintahan dan pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Meski di Papua terjadi pergolakan yang sengit dengan hadirnya Organisasi Papua Merdeka (yang hendak memperjuangkan kemerdekaan bagi Papua untuk lepas dari Indonesia), tetapi wacana otonomi khusus memperoleh sambutan yang lebih luas, yang mereka yakini sebagai babak baru untuk mengakhiri ketidakadilan, diskriminasi dan marginalisasi yang menimpa Papua. Otonomi khusus tentu telah memberikan kewenangan secara signifikan bagi Papua untuk mengelola rumah tangganya sendiri. Berbeda dengan format otonomi daerahLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

31

versi UU No. 22/1999, otonomi khusus telah memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada pemerintah provinsi, serta memperoleh perimbangan keuangan yang cukup proporsional. Pemerintahan daerah tidak hanya dimonopoli oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi, tetapi juga melibatkan Majelis Rakyat Papua yang keanggotaannya terdiri dari pemimpin adat, tokoh agama dan tokoh perempuan, yang kesemuanya adalah orang asli Papua. Di sisi lain, kabupaten/kota juga memperoleh keleluasaan dan keuangan yang memadai sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999. Berbeda dengan Selayar dan Jayapura, ADD di Kabupaten Magelang yang dikenal dengan sebutan block grant muncul sebagai respon pemerintah daerah terhadap tuntutan Formas (Forum Masyarakat) yang anggotanya meliputi unsur pemerintahan desa, LSM, dan Perkasa (Persatuan Perangkat Desa). Tuntutan mereka ini mempertanyakan kebijakan pemerintah sekarang terhadap desa. Jika pemerintah Orde Baru memberikan bantuan ke desa, mengapa pemerintah sekarang tidak memberikan kepedulian yang semakin besar kepada desa. Masalahnya pemerintah bukan tidak sama sekali belum memberikan dana bantuan ke desa. Dalam kenyataannya pemerintah daerah telah memberikan penyaluran dana-dana melalui banyak pintu yaitu dinasdinas dan kantor yang ada di Kabupaten yang kegiatannya berkaitan dengan desa. Masalah lainnya adalah dari pihak desa terus bermunculan proposal-proposal pembangunan desa ke pemerintah kabupaten. Oleh karenanya, kebijakan ADD di Kabupaten Magelang dilakukan dengan maksud untuk menyatu-pintukan dana-dana dari kabupaten kepada desa. Kebijakan ADD di Kabupaten Magelang muncul juga karena mempertimbangkan adanya Dana AspirasiLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

32

Masyarakat. Dana ini bisa dicairkan kepada masyarakat atas rekomendasi anggota DPRD sebesar Rp. 100 juta per anggota DPRD. Terhadap dana-dana ini, Pemerintah Kabupaten mempunyai niat untuk menghapuskannya karena menurut pengalaman prioritas pemanfaatannya hampir selalu tidak sesuai dengan prioritas dan kebutuhan riil masyarakat. Pemanfaatan dana Aspirasi Masyarakat yang hanya bisa dilakukan atas rekomendasi anggota DPRD cenderung bermuatan politis. Di beberapa desa, pemanfaatan dana ini dinyatakan cukup merepotkan (baca; membingungkan) pemerintah desa. Alasannya, seringkali tanpa sepengetahuan pemerintah desa dan BPD, suatu kegiatan pembangunan di desa dilaksanakan dan dibiayai, sementara banyak prioritas pembangunan desa yang lain tidak mendapatkan pembiayaan. Akhirnya, kepala desa dan BPD hanya bisa menerima saja kegiatan pembangunan itu, daripada dananya dialihkan ke desa lain. Implikasi yang diharapkan atas pertimbanganpertimbangan ini, yaitu menyatu-pintukan dana-dana pemerintah kabupaten kepada desa, dimana di tingkat desa telah diberikan berbagai acuan dasar yaitu Perda-perda tentang desa, pemerintah kabupaten mengharapkan munculnya Otonomi Desa secara lebih baik. Desa diharapkan mampu mengatur pembangunan dan tata kehidupan masyarakatnya sendiri sesuai dengan koridor-koridor hukum yang ditetapkan oleh kabupaten. Pihak-pihak lain yang turut mendorong lahirnya kebijakan ADD di Kabupaten Magelang adalah Perkasa yaitu Asosiasi atau Pekumpulan Kepala Desa se-Kabupaten Magelang serta adanya juga dorongan dari Program Pembaharuan Tata Pemerintahan Daerah (P2TPD) dan Program dasar Pembangunan Partisipatif (PDPP). Kebijakan ADD di Kabupaten Magelang menggunakan judul (di dalam Perda-nya) Perimbangan KeuanganLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

33

Kabupaten dan Desa. Judul Perda ini mengadopsi judul dan dasar pemikiran UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Oleh karenanya, di dalam Perda No. 8/2004 Bab II pasal 2 dinyatakan bahwa Sumber DAU (Dana Alokasi Umum) Desa meliputi: (a) Bagian dari Penerimaan Pajak Daerah, (b) Bagian dari penerimaan Retribusi Daerah tertentu, dan (c) Bagian dari penerimaan Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diterima pemerintah kabupaten. Selanjutnya pada pasal 8 dinyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten dapat memberikan DAK (Dana Alokasi Khusus) Desa bagi desa-desa tertentu untuk membiayai kegiatan yang sudah ditentukan pemerintah kabupaten. Munculnya kebijakan ADD sebagai tuntutan dari bawah nampak lebih menonjol di Kabupaten Sumedang daripada di Magelang, khususnya para penyelenggara pemerintahan desa, baik kepala desa maupun anggota BPD. Terutama sejak tahun 2000-2001, masyarakat Sumedang sering melakukan unjuk rasa kepada Pemerintah Kabupaten dan DPRD, untuk menyampaikan aspirasi yang menyangkut upaya peningkatan dan perbaikan masyarakat Desa. Bupati Kepala Daerah yang saat itu Drs. H. Misbach, sangat respon terhadap aspirasi masyarakat yang muncul dan meminta jajaran di eksekutif melakukan inventarisasi masalah yang dihadapi masyarakat desa. Menindaklanjuti UU 22/99 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 64/1999 tentang Pedoman Pengaturan Desa, Sebelum kebijakan pemda dirumuskan, di Kabupaten Sumedang umumnya diawali dengan pertemuan informal antara Bupati dengan DPRD yang dimaksudkan untuk menyamakan persepsi tentang perumusan masalah, penentuan alternatif kebijakan dan pokok-pokok substansi yang akan dirumuskan dalam kebijakan pemerintah daerah.

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

34

Setelah disepakati dan diundangkan Perda-perda tentang Pengaturan Desa, di kalangan eksekutif dan legislatif muncul pikiran-pikiran tentang Otonomi Desa. Pikiran-pikiran tersebut diawali dengan pengalaman singkat dari implementasi otonomi daerah. Kalau pemerintah telah melakukan Otonomi Daerah yang disertai dengan desentralisasi fiskal, maka Eksekutif dan Legislatif di Kabupaten Sumedang juga berpikiran positif tentang desentralisasi fiskal kabupaten ke desa. Disepakati oleh mereka, bila DESA telah KUAT maka KABUPATEN pun akan KUAT, dan untuk itu perlu ada perimbangan keuangan antara kabupaten dengan desa/kelurahan. Melalui Dana Perimbangan Desa akan muncul: Penguatan Lembaga Pemerintahan Desa dan Lembaga Kemasyarakatan di Desa/Kelurahan, dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Kebijakan ADD di Sumedang menetapkan menghasilkan kesepakatan sebagai berikut. Pertama: Dana Perimbangan Desa (DPD), sekurang-kurangnya sebesar 10% dari: Pendapatan Asli Daerah + (Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah setelah dikurangi gaji Pegawai/PNS) + Bagi hasil pajak Provinsi. Kedua: Diupayakan jumlah DPD meningkat nilai/jumlah rupiahnya setiap tahunnya. Ketiga: Bupati membuat rambu-rambu dalam pelaksanaannya setiap tahun. Setelah Dana Perimbangan Desa ditetapkan dalam Peraturan Daerah, maka dampak yang terjadi pada saat itu menurut DPRD adalah: (1) unjuk rasa masyarakat mulai menurun, (2) iklim demokratisasi berkembang, (3) peningkatan prakarsa masyarakat dalam berbagai segi secara umum semakin baik, dan (4) surat-surat dari masyarakat yang ditujukan kepada DPRD semakin banyak

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

35

terutama yang menyangkut kepemimpinan kepala desa dan ketidaktepatan penggunaan DPD. Hampir sama dengan di Sumedang, ADD di Tuban itu nampaknya muncul sebagai akibat tuntutan dari bawah yang kuat dengan melibatkan peran LSM Bina Swagiri. Kebijakan PPM bukan melalui proses yang instant, melainkan melalui sebuah proses panjang sehingga sampai pada sebuah kristalisasi ide dan komitmen dari berbagai stakeholder seperti eksekutif, legislatif dan LSM maupun sebagai hasil dari berbagai pengalaman empirik oleh pelaku-pelaku program pemberdayaan masyarakat desa/miskin seperti FPLP (Forum Lintas Pelaku) dan lain sebagainya. Meskipun peran masyarakat dan LSM sangat signifikan di dalam memunculkan kebijakan tentang ADD di Tuban, tetapi patut dicatat bahwa kebijakan itu nampaknya lahir juga karena adanya semangat pemerintah daerah untuk memaknai UU No.22/1999 dan UU No.25/1999 sebagai bagian yang penting di dalam mewujudkan otonomi desa yang lebih baik. Oleh karena itu, semangat Pemerintah Daerah Tuban dalam konteks ini sama seperti Pemerintah Kabupaten Selayar, Kabupaten Limapuluh Kota dan Kabupaten Jayapura. Perhatian Pemda Tuban terhadap pelaksanaan otonomi daerah nampaknya sangat serius khususnya dalam konteks otonomi desa. Pada tataran yuridis keseriusan ini terlihat dengan diterbitkannya 13 Perda yang khusus mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan desa. Kemudian dalam rangka mendukung keuangan desa dan sebagai wujud menciptakan adanya rasa keadilan antara Pemda dan desa telah ditetapkannya 2 buah Perda, yaitu Perda No.7/2003 tentang Bagian Desa dari hasil penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah kemudian Perda No.6/2004 tentang Bagian Desa dari hasil penerimaan pajak bumi dan bangunan. Pada tataran implementasi keseriusanLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

36

Pemda terlihat jelas melalui penyediaan sejumlah dana untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan pembangunan dan penguatan kelembagaan desa/kelurahan melalui apa yang disebut dengan Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM) yang efektif pelaksanaannya sejak tahun 2001. Pijakan Pemda Tuban dalam upaya memperkuat posisi desa khususnya dalam rangka memperlancar penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa didasarkan pada Renstra 2001-2006. Kendatipun Renstra kekuatan hukumnya di bawah Perda, namun posisi Renstra dalam kebijakan pembangunan di Tuban cukup kuat dalam menentukan visi, misi, tujuan, sasaran, kebijaksanaan, program dan kegiatan karena Renstra tersebut mengacu pada Perda No.27/2001. Renstra Kabupaten Tuban terdiri dari dua kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung mengutamakan pemberdayaan desa. Pertama: kebijakan bidang pembangunan, ketentraman masyarakat dan ketertiban umum dengan fokus pada program pengentasan kemiskinan melalui pola pemberdayaan masyarakat. Kedua: kebijakan bidang politik, pada sub bidang pemerintahan desa dengan fokus pada pemberdayaan masyarakat melalui percepatan pembangunan pedesaan. Berdasarkan pada kedua kebijakan tersebut Pemda Tuban melalui Surat Bupati mengeluarkan pedoman pelaksanaan PPM yang setiap tahunnya mengalami penyesuaian. Munculnya dua kebijakan antara pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat sebagai dua isu yang saling terkait mengungkapkan kuatnya komitmen Pemda untuk menguatkan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakatnya. Akhirnya tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan ADD di enam kabupaten penelitian merupakan buah prakarsa dariLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

37

para pengambil kebijakan terutama adalah bupatinya. Hampir semua kebijakan ADD merupakan produk dari inisiatif para bupati. Di Kabupaten Limapuluh Kota, bupatinya dikenal sebagai pakar tentang sosiologi nagari. Ia mempromosikan ADD dalam konteks reinventing nagari governance. Ia merumuskan tentang formula dana bagi hasil dan dana alokasi umum untuk nagari. Dia juga yang mengembangkan konsep pembangunan nagari dari tahap instalasi dalam bentuk pembangunan fisik sampai dengan tahap pemberdayaan sumberdaya manusia. Ia melihat bahwa Dana Bagi Hasil dan DAUN akan mampu mengantarkan proses pemberdayaan nagari itu menuju self governing community sekaligus menjalankan fungsi pelayanan yang diserahkan oleh kabupaten. Bupati Jayapura, Habel M Suwae, misalnya, termasuk aktor yang visioner dan kritis terhadap otonomi khusus bagi Papua. Otonomi khusus tidak ada artinya kalau tidak membawa perubahan bagi kesejahteraan rakyat. Otonomi harus bermanfaat untuk rakyat, karena rakyat adalah pemegang saham terbesar bagi republik ini, dan kami semua bekerja untuk rakyat, demikian tutur Bupati Jayapura (Wawancara, Kamis 16/09/2004). Tetapi di pihak lain, pemerintah provinsi dan kabupaten-kabupaten lain tidak merespons isu otonomi untuk rakyat. Karena itu, Kabupaten Jayapura melangkah sendirian untuk mewujudkan gagasan otonomi untuk rakyat. Bupati Jayapura menelorkan kebijakan gila dan populis dalam bentuk alokasi dana sebesar 1 milyar rupiah untuk distrik yang dibingkai dengan Program Pemberdayaan Distrik (PPD). Secara politik kebijakan ini merupakan sebuah respons cepat terhadap transisi otonomi khusus, yakni menyambut euforia masyarakat terhadap otonomi khusus dan mewujudkan stabilitas politik lokal di tengah-tengah pergolakan OPM di Papua (Wawancara dengan staf-staf Perform Papua danLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

38

Asisten II Sekda Kabupaten Jayapura, 14 dan 15 September 2004). Dalam konteks ini, Pemkab Jayapura menegaskan tiga alasan penting kelahiran PPD. Pertama, PPD merupakan jawaban terhadap kebutuhan pemerataan pelayanan publik sampai ke level masyarakat bawah, sebab selama ini pelayanan publik cenderung bias kota dan akses masyarakat yang berada di pedalaman mengalami kesulitan serius. Pemda belum membayangkan terlalu jauh tentang dimensi keadilan dalam PPD yang selama ini menjadi persoalan serius bagi masyarakat Papua. Pemerataan memang belum tentu menciptakan keadilan, tetapi kalau kita mencari keadilan berarti kita harus bertengkar terus-menerus, demikian ungkap Asisten II Sekda, Purnomo, yang sebelumnya menjabat Kepala Bapeda yang mengawali peluncuran PPD 2002. Kedua, PPD merupakan jawaban terhadap jangkauan dan rentang kendali yang terlalu jauh antara kabupaten dengan masyarakat di kampung. Apalagi kondisi geografis dan sosial Papua yang begitu luas sehingga mempersulit jangkauan transportasi, komunikasi dan akses masyarakat terhadap layanan publik. Selama ini diakui bahwa pihak dinas-dinas teknis di Kabupaten Jayapura tidak mengetahui persis dan tidak mampu menjangkau ke pelosok daerah, sehingga proyek-proyek sektoral (kesehatan, air bersih, perumahan, pendidikan dan lain-lain) hanya terkonsentrasi di kawasan kota. Dengan demikian, PPD dimaksudkan untuk mendekatkan jangkauan atau rentang kendali sekaligus untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Ketiga, PPD merupakan jawaban terhadap masalah dan kegagalan perencanaan pembangunan (bottom-up planning) yang selama ini diterapkan. Pemda Kabupaten Jayapura sadar betul bahwa mekanisme perencanaan dari bawah seperti itu tidakLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

39

mungkin membuka akses partisipasi masyarakat karena jangkauannya yang jauh, dan tidak mungkin mengcover seluruh aspirasi (kebutuhan) dari bawah yang sudah dirumuskan di tingkat bawah karena pendekatan prioritas mau tidak mau harus melakukan pemotongan aspirasi dari bawah. Banyak pihak menyadari bahwa usulan dari bawah sering mengalami distorsi dan manipulasi sehingga tidak naik ke atas, apalagi masing-masing dinas teknis di kabupaten selalu berebut proyek ketika menggelar forum Rakorbang bersama Bappeda. Bupati Selayar juga pemrakarsa ADD yang sangat fantastis. Hal ini karena dialah yang berani mengajukan besarnya ADD senilai 10% dari dana DAU. Angka ini sangat tinggi dan dikhawatirkan pemerintah akan kedodoran. Namun demikian kebijakan ini bisa direalisasikan karena dia mengembangkan kebijakan zero growth untuk penambahan PNS di daerahnya. Bupati Sumedang juga muncul sebagai tokoh penting terhadap lahirnya DPD karena ia responsif terhadap tuntutan masyarakat. Terutama sejak tahun 2000-2001, masyarakat Sumedang sering melakukan unjuk rasa kepada pemerintah kabupaten dan DPRD, untuk menyampaikan aspirasi yang menyangkut upaya peningkatan dan perbaikan masyarakat Desa. Bupati Misbach, kemudian menyerap aspirasi masyarakat yang muncul dan meminta jajaran di eksekutif melakukan inventarisasi masalah yang dihadapi masyarakat desa.

2. Subtansi ADD2.1. Istilah ADDADD di kabupaten penelitian mempunyai istilah yang beragam. Di Kabupaten Limapuluh Kota, itu disebut Dana Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan Nagari. Dalam tulisan ini disebut dengan kependekan DBH-BKN, atau dengan istilahLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

40

DAUN, sebuah istilah yang lazim dipakai dan populer di Kabupaten Limapuluh Kota. Di kabupaten Sumedang, ADD disebut Dana Perimbangan Desa (DPD). Di Magelang dikenal dengan nama DAU Desa, dan sering dikenal luas dengan nama Block Grant, karena dana ini dikesankan diserahkan sepenuhnya kepada desa untuk mengelolanya. di Tuban disebut Proyek Pemberdayaan Desa (PPM). Di Selayar disebut seperti di Magelang, yaitu Dana Alokasi Umum Desa (DAU Desa). Adapun di Kabupaten Jayapura disebut Program Pemberdayaan Distrik. Dari segi substansi ADD di enam kabupaten itu diinspirasi oleh dana perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Daerah yang dilandasi dengan UU No. 25/1999. Secara umum ada tiga alasan yang dijadikan kebijakan transfer fiskal antar pemerintahan tersebut, yaitu 1) untuk menutupi kesenjangan fiskal, 2) untuk mewujudkan pemerataan, dan 3) alasan ekternalitas. Di enam daerah penelitian, lima diantaranya lebih didasari oleh alasan mewujudkan pemerataan, kecuali di Kabupaten Jayapura, transfer fiskal ke distrik yang selain alasan pemerataan juga didasari oleh alasan ekternalitas, adanya otonomi khusus dan menyambut euforia masyarakat di tengah-tengah pergolakan OPM. Sejak kelahirannya di masing-masing kabupaten, ADD merupakan dana yang diakokasikan secara rutin dengan diambilkan dari APBD. Dana itu juga dialokasikan dengan dilandasi oleh kebijakan yang tertuang dalam Suratsurat Keputusan Bupati. Surat-surat keputusan beserta lampirannya berisi tentang pedoman penetapan besarnya ADD yang dikenal dengan fomula ADD, penggunaan ADD, prosedur penyaluran dan pertanggungjawaban penggunaan ADD sampai dengan mekanisme kelembagaan untuk pengelolaan ADD. Pada bagian ini perlu diketengahkan dulu tentang formula ADD.LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

41

2.2. FormulaApa yang dimaksud dengan formula di sini adalah sebuah rumusan yang berisi tentang indikator-indikator dan bobot dari masing-masing indikator untuk menentukan besar kecilnya ADD ke setiap desa. Formula seperti itu tidak menentukan besarnya total ADD setiap tahun yang diterima oleh seluruh desa. Besarnya total ADD ke seluruh desa ditentukan oleh Pemkab dengan berpedoman pada APBD. Dalam setiap APBD dialokasikan ADD dan untuk pos anggaran relatif masih kecil, walaupun pihak kabupaten dapat berargumentasi bahwa angkanya sudah besar dan proporsional. ADD di Selayar nampaknya paling besar karena besarnya adalah 10% dari APBD. Di kabupaten lainnya besarnya bervariasi antara 5-10% dari APBD setelah dikurangi belanja rutin gaji pegawai. Barangkali formula yang dituangkan di sini dapat mengindikasikan besarnya ADD yang akan diterima oleh Desa, karena formula itu terbagi menjadi dua, yaitu bantuan dan bagi hasil. Untuk formula Bagi Hasil seperti pajak, maka desa dapat memperkirakan besarnya nilai rupiah Bagi Hasil sesuai dengan besarnya pajak dikumpulkan dari masyarakat desanya. Akan tetapi, untuk formula Bantuan, Desa hanya akan mengetahui besarnya proporsi bantuan yang diterima sesuai dengan indikator dan bobotnya, bukan angka riil nilai rupiahnya. Besarnya nilai rupiah yang akan diterima akan diketahui setelah pihak kabupaten mempunyai APBD dan menentukan besarnya total ADD yang akan diberikan ke seluruh desa. Formula dibuat dengan menggunakan sejumlah indikator. Setiap Kabupaten sepertinya membuat indikator yang beragam di dalam menyusun fomula. Namun demikian, pada dasarnya kabupaten berusaha untuk memberikan kepastian tentang besarnya ADD bagi setiap Desa yang

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

42

memiliki keragaman masalah dan potensi sosialekonominya. Kabupaten Limapuluh Kota menyusun tiga kelompok indikator sesuai dengan jenis bantuan yang akan diberikan ke nagari. Untuk Indikator DAUN, yaitu bantuan murni untuk pembangunan nagari, maka yang dipakai untuk indikator adalah: a) Jumlah penduduk, b) Jumlah keluarga miskin, c) Jarak nagari ke ibukota kabupaten, d) Jumlah jorong, dan e) Luas wilayah nagari. Adapun indikator untuk Bantuan murni untuk belanja rutin nagari adalah: a) Jumlah jorong, b) Jarak nagari ke ibukota kabupaten, dan c) Jumlah penduduk. Sementara itu indikator Bagi Hasil untuk nagari dan dana yang diterima dapat dipakai untuk pembangunan atau rutin. Indikator tersebut adalah: a) Target dan realisasi PBB, b) Jumlah penduduk, dan c) Luas wilayah nagari. Tidak ada bobot yang berlainan antar indikator, setiap indikator mempunyai skor yang sama. Kabupaten menetapkan komposisi besarnya DBH-BKN antar tiga sumber penerimaan nagari itu, yaitu 60% DAUN, 23% rutin dan 17% Bagi Hasil. Pengaturan proporsi bantuan itu setiap nagari dapat menerima dana yang besar bila memiliki skor yang tinggi untuk indikator DAUN, rutin dan bagi hasil.

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

43

DAUN utk masing masing Nagari=

Ratio Nagari x plafon Ratio Nagarise Kabupaten

Dengan rumus tersebut, ternyata memberikan perbedaan besarnya bantuan yang cukup menonjol antar nagari. Oleh karena itu, banyak nagari yang mendapatkan DAUN yang rendah tidak puas padahal kebutuhan dana pembangunan dari DAUN cukup besar. Pada tahun 2004, misalnya DAUN yang mengalir ke nagari bervariasi antara Rp 70 150 juta. Berbeda dengan, Kabupaten Limapuluh Kota, Kabupaten Sumedang menggunakan tiga instrumen dasar yang diambil dari Profil Desa/Kelurahan, yaitu: a) Indeks Kesehatan Masyarakat, b) Indeks Pendidikan Masyarakat, dan c) Indeks Ekonomi Desa/Kelurahan Ketiga indikator di atas digunakan untuk menentukan bobot desa yang digunakan menentukan 30% dana berdasarkan keadilan, sedang yang 70% diperhitungkan merata untuk semua desa. Rumus Dana Perimbangan Desa (DPD) di kabupaten Sumedang pada tahun 2004 memperlihatkan aspek pemerataan dan keadilan bagi setiap desa. Rumus tersebut adalah:DPDi = IPDi + Rumus DPDi (Pemerataan dan Keadilan) = 100 KMi + PDi + EDi 3 + Rumus DPDi (Pemerataan dan Keadilan)

( 30% )+( 70% )

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

44

Dalam menentukan besarnya DPD ke setiap desa pada tahun 2004 untuk meme pemerataan dan keadilan sebesar 70%, maka rumusannya adalah:

DPDi =

[{(DAU - Gaji Peg.)x10%} + {BHP/BP x 10%} + {PDx10%x50 %} + {PBB SKBx10% 269

+ R{(PDx10%x 50%)xBobot PD} + {(PBB SKBx10%x50 %)xBobot PBB} + {(BHPPx10% )xBobot Desa} + (PPJx10%)x Bobot Rumah Tangga}

Keterangan: DPDi : IPDi : KMi : PDi : Edi : DAU : BHP/BP : PD : PBB SKB : BHPP : Dana Perimbangan Desa Ke-i Indek Perkembangan Desa pada Desa/ Kelurahan Ke-i Indek Kesehatan Masyarakat pada Desa/ Kelurahan Ke-i Indek Pendidikan Desa pada Desa/Kelurahan Ke-i Indek Ekonomi Desa pada Desa/Kelurahan Ke-i Dana Alokasi Umum Bagi Hasil Pajak/ Bukan Pajak Pajak Daerah Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan Bagi Hasil Pajak Provinsi

Di Kabupaten Sumedang hampir mirip dengan Kabupaten Magelang, karena keduanya memperhatikan aspek pemerataan. Indikator yang dipakai di Magelang adalah: a) Luas wilayah, b) Jumlah penduduk tahun sebelumnya, c) Jumlah KK miskin tahun sebelumnya, d) Keterjangkauan desa, e) Potensi desa tahun sebelumnya, f) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun sebelumnya, dan g) Luas tanah desa yang diolah untuk pertanian, peternakan, perikanan, dll. Indikator tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan bobot desa yang menjadi dasar berapa dana yang diterima oleh desa bersangkutan, 75% rata dan 25% tertimbang. Adapun formula sebagai berikut : perhitungan DAU Desa (ADD)

DAU DesaKeterangan DAU Desa : RT : BDi : BT :

= RT + (BDi x BT)

Besaran DAU masing-masing desa Besaran bantuan rata-rata masing-masing desa Bobot suatu desa Alokasi bantuan secara tertimbang

Dengan rumus itu, maka setiap desa pasti menerima bantuan minimum kemudian baru diberikan bantuan yang berbeda sesuai dengan bobot seluruh indikator formulanya dikalikan dengan besarnya alokasi bantuan tertimbang yang ditetapkan oleh pihak kabupaten.LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

46

Bobot suatu desa diperhitungkan dari kebutuhan desa, potensi desa, insentif desa, dan tanah desa. Khusus mengenai kebutuhan desa diperhitungkan dari luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah Kepala Keluarga (KK) miskin, dan keterjangkauan desa. Adapun perhitungan yang rinci mengenai Bobot suatu Desa (BDi) mengikuti rumus sebagai berikut :

BDi = a1 IKDi + a2 IPDi + a3 IIDi + a4 ITDiAtau secara lebih rinci lagi diuraikan demikian:BDi = a1 (b1 ILWi + b2 IJPi + b3 IJPMi + b4 IKTJi) + a2 IPDi + a3 IIDi + a4 ITDi

Keterangan: BD i : Bobot Desa i IKD i : Indeks Kebutuhan diuraikan:

Desa

i,

yang

selanjutnya

ILW i : Indeks Luas Wilayah Desa i, dihitung: Luas Wilayah Desa i dibagi total luas wilayah seluruh desa seKabupaten Magelang IJP i : Indeks Jumlah Penduduk Desa i, dihitung: Jumlah Penduduk Desa i dibagi total jumlah penduduk seluruh desa se-Kab. Magelang IJPM i: Indeks Jumlah Penduduk (KK) Miskin Desa i, dihitung: Jumlah KK Desa i dibagi total jumlah KK seluruh desa se-Kabupaten Magelang IKTJ i: Indeks Keterjangkauan Desa i, dihitung: Skor Keterjang-kauan Desa i dibagi total skor keterjangkauan seluruh desa se Kab. Magelang, atau {(0,6 x jarak Desa ke Kabupaten) + (0,4 x jarak Desa ke Kecamatan)} dibagi total skor keterjangkauan seluruh desa se Kabupaten Magelang

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

47

b1, b2, b3, b4 = bobot masing-masing indeks dalam perhitungan IKD i b1, b2, b3, b4 = 1

IPD i

: Indeks Potensi Desa i, dihitung: Skor potensi Desa i dibagi total skor potensi seluruh desa se Kab. Magelang, atau (Pokok PBB Desa i dibagi luas wilayah Desa i) dibagi (total skor potensi seluruh desa se Kab. Magelang) : Indeks Insentif Desa i, dihitung: Skor insentif Desa i dibagi total skor insentif seluruh desa se Kab. Magelang, atau (Realisasi Pemasukan PBB Desa i dibagi Pokok PBB Desa i) dibagi (total skor insentif seluruh desa se Kab. Magelang) : Indeks Tanah Desa i , dihitung: Skor tanah Desa i dibagi total skor tanah seluruh desa se Kab. Magelang bobot masing-masing indeks dalam

IID i

ITD i

a1, a2, a3, a4 = penghitungan BD i a1, a2, a3, a4 = 1

Besaran bobot masing-masing indeks (b1, b2, b3, b4) dalam penghitungan Indeks Kebutuhan Desa i (IKD i) dan besaran bobot masing-masing indeks (a1, a2, a3, a4) dalam penghitungan Bobot Desa i (BD i) masih harus ditetapkan dengan Keputusan Bupati. Kabupaten Tuban menggunakan delapan indikator, dan salah satu indikator yang menarik adalah partisipasi dalam program tahun yang lalu. Kedelapan indikator itu adalah: a) Luas wilayah, b) Jumlah penduduk, c) Jumlah penduduk miskin, d) Keterjangkauan,LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

48

e) f) g) h)

Indikator pendapatan desa, Adanya program lain, Indikator kelunasan PBB, dan Partisipasi masyarakat pada program tahun sebelumnya.

Kedelapan indikator diatas digunakan untuk menetapkan bobot dan nilai proporsi desa yang ditetapkan berdasarkan kuesioner yang disebarkan oleh Tim Koordinasi Pelaksana Program (TKPP). Yang menarik di Tuban, indikator ini selalu berubah dari tahun ke tahun. Pada awalnya hanya tiga indikator, luas wilayah, jumlah penduduk dan keterjangkauan, tahun 2002 menjadi 7 indikator, dan tahun 2003-2004 menjadi 8 indikator. Setiap indikator mempunyai bobot berbeda. Hampir mirip dengan Kabupaten Tuban, Kabupaten Selayar menggunakan empat kriteria untuk menentukan besarnya dana alokasi umum desa, meliputi : a) Luas wilayah, b) Jumlah penduduk, c) Kondisi geografis desa, dan d) Pertumbuhan ekonomi desa. Keempat kriteria tersebut, seperti halnya Kabupaten Magelang, selanjutnya dipergunakan untuk menentukan bobot desa. Kabupaten Selayar memiliki rumus yang mudah untuk menentukan besarnya ADD ke setiap desa, sebagaimana nampak berikut ini. Bobot Desa Ybs Jml Bobot seluruh Desa

Penerimaan Desa = Jumlah bagian DAU semua Desa x

[

]

Penetapan perhitungan DAU berdasarkan bobot desa ini dilakukan oleh Panitia Perimbangan Keuangan Daerah yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati yang diketuai olehLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

49

Sekretaris Daerah Kabupaten Selayar dan anggotanya terdiri dari berbagai unsur Pemda. Masalah yang muncul dalam mengoperasionalkan formula adalah kelengkapan data. Di Selayar masalah indikator pertumbuhan ekonomi belum terukur dengan baik. Tabel 3.1. Rumusan Pembobotan ADD di Kabupaten SelayarIndikator Kriteria Bobot

Luas Wilayah

Jumlah Penduduk

Kondisi Geografis

a) b) c) d) a) b) c) d) a) b) c) d)

s.d 1.000 Ha 1.000 1.500 Ha 1.500 2.000 Ha 2.000 Ha keatas s.d 1.000 Jiwa 1.000 1.500 Jiwa 1.500 2.000 Jiwa 2.000 Jiwa keatas Sangat rendah Mudah Sulit Sangat sulit

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1

Pertumbuhan Ekonomi Desa

Berbeda dengan semua kabupaten di atas, Kabupaten Jayapura belum menggunakan kriteria formula untuk menetapkan besarnya dana yang dibagikan ke Distrik. Semua Distrik menerima alokasi dana secara rata, masingmasing sebesar satu milyar. Melihat dari beberapa indikator kriteria untuk menentukan bobot desa yang digunakan di enam kabupaten tersebut, terdapat empat kabupaten yaitu Limapuluh Kota, Magelang, Selayar, dan Tuban menggunakan empat indikator sama, yakni luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, dan keterjangkauan. Di Selayar istilah keterjangkauan diterjemahkan dengan istilah kondisiLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

50

geografis desa. Sedang Sumedang menggunakan indeks kesehatan, pendidikan, dan ekonomi desa. Ada dua daerah yang sama-sama menggunakan indeks ekonomi sebagai kriteria menentukan besarnya dana desa, yakni Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Selayar. Namun di Kabupaten Selayar indeks ekonomi desa ini belum bisa digunakan karena kelemahan data pendukungnya, sehingga praktis di Selayar baru memakai tiga kriteria untuk menentukan besarnya alokasi dana desa. Sementara itu, di tiga kabupaten, yaitu: Tuban, Limapuluh Kota, dan Magelang, menetapkan kemiskinan atau kesejahteraan masyarakat sebagai kriteria untuk menentukan besarnya dana desa. Sumedang menetapkan kesehatan, pendidikan dan ekonomi desa sebagai ukuran besarnya Alokasi Dana Desa. Apabila dilihat dari kriteria yang digunakan oleh daerah dalam menentukan besarnya Alokasi Dana Desa, maka tampaknya sebagian besar daerah menggunakan kriteria-kriteria yang digunakan untuk program Jaring Pengaman Sosial (JPS), artinya prinsip saving yang diterapkan untuk menentukan besarnya transfer fiskal ke desa, semakin besar beban dan ketertinggalan desa semakin besar pula dana yang ditransfer. Hal ini menunjukkan bahwa alasan mewujudkan pemerataan membantu desa-desa yang tertinggal mendasari formula daerah memberikan transfer dana ke desa. Dalam FGD ditemukan bahwa masyarakat sering merasakan formula ADD di daerahnya terlalu rumit. Di Magelang, misalnya, banyak kepala desa, anggota BPD dan tokoh masyarakatnya mengaku bingung meskipun pihak pemerintah kabupaten telah beberapa kali menjelaskan.

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

51

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

52

BAB IV MEKANISME KELEMBAGAAN DAN PENGELOLAAN ADD1. Institusi Pengelola ADDSemua kabupaten telah menyusun tentang mekanisme kelembagaan agar dana tersebut dikelola dengan baik. Pertama-tama setiap kabupaten menetapkan tentang institusi yang diberi wewenang dan tugas untuk mengelola ADD, dan kemudian menetapkan tentang mekanisme penyusunan rancangan anggaran, dan penggunaan ADD. Kebijakan ADD diimplementasikan dengan membentuk Kepanitiaan. Studi ini menemukan bahwa bentuk kepanitiaan Pengelolaan ADD dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: (1) Kepanitiaan Kompleks, contoh: Kabupaten Limapuluh Kota, Sumedang, dan Tuban, dan (2) Kepanitiaan Sederhana, contoh: Kabupaten Magelang, Selayar, dan Jayapura. Dalam kepanitiaan yang secara nyata melibatkan masyarakat yaitu Kabupaten Selayar. Dalam kepanitian yang kompleks, nampak bahwa banyak unsur pemerintahan kabupaten terlibat dalam pengorganisasian ADD. Di kabupaten Limapuluh kota, kepengurusan berjenjang dari kabupaten sampai ke desa. A. Tim Pembina di tingkat Kabupaten, beranggotakan: 1. Bupati (Penanggungjawab) 2. Wakil Bupati (Wakil Penanggungjawab) 3. Sekretaris Daerah (Ketua) 4. Asisten I (Wakil Ketua 1) 5. Asisten II (Wakil Ketua 2)LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

yang

53

6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Kantor Pemberdayaan Nagari (Sekretaris) Bappeda (Anggota) Badan Pengelola Keuangan Daerah (Anggota) Badan Pengawas Daerah (Anggota) Kantor Satpol PP (Anggota) Dinas PU (Anggota) Bagian Tata Pemerintahan (Anggota) Bagian Hukum (Anggota)

B. Tim Pengendali di tingkat Kecamatan C. Tim Pengelola/Pelaksana struktur: 1. Penanggungjawab : 2. Pemegang kas : 3. Pemimpin Kegiatan : di tingkat Nagari, dengan Wali Nagari Staf Wali Nagari Staf Wali Nagari

Tim Pembina inilah yang menjadi konseptor sekaligus pengelola dan pengawas dari kebijakan tentang DBH-BKN. Setiap anggota dalam Tim Pembina memiliki fungsi sendirisendiri sesuai dengan Tugas Pokok dan Fungsi instansi masing-masing. Sebagai contoh: BPKD sebagai institusi yang memberikan otoritas dalam penggunaan anggaran, sedangkan Kantor PMN bertugas dalam penyaluran dan pelaporan DBH-BKN. Adapun tugas Tim Pembina dalam mensosialisasikan mekanisme pengelolaan dan pelaksanaan kepada seluruh nagari serta monitoring terhadap pelaksanaan DBH-BKN dilakukan bersama-sama oleh setiap anggota. Meskipun posisi Sekretaris Daerah sebagai Ketua dari Tim Pembina, tetapi peranan Kantor PMN dalam mengkoordinasikan penyiapan dan pengelolaan DBH-BKN sangat tinggi. Untuk menunjang pelayanan kepada Nagari, Kepala Kantor PMN membentuk kelompok-kelompok kerja berdasarkan Kecamatan-Kecamatan yang beranggotakan para staf Kantor PMN. Dengan adanya sistem seperti ini, maka para Wali Nagari dapat secara jelas mengetahui siapaLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

54

yang perlu dihubungi sewaktu mereka hendak melaporkan kegiatan atau sekedar berkonsultasi. Lengkapnya berbagai instansi di Pemerintah Kabupaten yang berkepentingan terhadap penyiapan, pengelolaan sekaligus pengawasan DBH-BKN di keanggotan Tim Pembina ditambah kejelasan tentang tanggungjawab masing-masing, menjadikan Tim Pembina dapat bekerjasama dengan baik. Seringkali ditemui banyak kelembagaan seperti Tim Pembina di beberapa kecamatan tidak berfungsi dengan baik, karena tidak tersedia kejelasan tentang tanggungjawab masing-masing dan kesepahaman tentang waktu serta kegiatan yang membutuhkan koordinasi bersama. Pada pengelolaan DBH-BKN, Kecamatan difungsikan sebagai Tim Pengendali yang memiliki tugas dalam melakukan bimbingan dan pembinaan kepada Pemerintah Nagari mulai dari proses perencanaan sampai dengan evaluasi. Selain itu, Tim Pengendali diharapkan menerima tembusan dari berbagai dokumen untuk kelengkapan pencairan dana DBH-BKN serta menyusun rekapitulasi laporan kemajuan kegiatan dan pelaporan keuangan DBHBKN kepada Tim Pembina. Mirip seperti di Kabupaten Limapuluh Kota, tim pengelola ADD di Kabupaten Sumedang didukung oleh semua unsur dalam pemerintah di tingkat kabupaten. Untuk mempersiapkan pengimplementasian Peraturan Daerah No. 51 Tahun 2001, maka setiap tahun ditetapkan Keputusan Bupati tentang Pembentukan Tim Pembina dan Sekretariat Tim Pembina Dana Perimbangan Desa.

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

55

Susunan Keanggotaan Tim Pembina DPD tahun 2004 di Kabupaten Sumedang, adalah sebagai berikut: Penanggung Jawab Pengarah : Sekretaris Daerah Kabupaten Sumedang : 1. Asisten Pemerintahan Setda Kabupaten Sumedang; 2. Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setda Kabupaten Sumedang; 3. Asisten Administrasi Setda Kabupaten Sumedang; 4. Kepala Bappeda Kabupaten Sumedang; 5. Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sumedang. : Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial Kabupaten Sumedang : Kepala Bidang Pengembangan Ekonomi Masyarakat pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial Kabupaten Sumedang : 1. Kepala Sub Dinas Perencanaan dan Pengendalian pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sumedang; 2. Kepala Bagian Keuangan Setda Kabupaten Sumedang; 3. Kepala Bagian Pemerintahan Desa Setda Kabupaten Sumedang; 4. Kepala Bagian Pemerintahan Setda Kabupaten Sumedang; 5. Kepala Bidang Sosial dan Budaya pada Bappeda Kabupaten Sumedang; 6. Pimpinan Bank Jabar Cabang Sumedang; 7. Sekretaris Dewan Pengawas PD. BPR Kabupaten Sumedang; 8. Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Sumedang. 56

Ketua

Sekretaris

Anggota

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

Kemudian untuk mendukung pelaksanaan tugas Tim Pembina, dibentuk Sekretariat Tim Pembina yang berkedudukan di Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial (BPMKS). Susunan keanggotaan Sekretariat Tim Pembina DPD tahun 2004 di Kabupaten Sumedang adalah sebagai berikut: I. Pengarah : Tim Pembina Dana Perimbangan Desa Kabupaten Sumedang II. Pelaksana Harian Sekretaris : Kepala Bidang Pengembangan Ekonomi Masyarakat pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial Kabupaten Sumedang Anggota : 1. Kepala Sub Bidang Bantuan Pembangunan pada Bidang Pengembangan Ekonomi BPMKS Kabupaten Sumedang; 2. Kepala Sub Bagian Perbendaharaan pada Bagian Keuangan Setda Kabupaten Sumedang; 3. Kepala Sub Bagian Bina Pendapatan dan Kekayaan Desa pada Bagian Pemerintahan Desa Setda Kabupaten Sumedang; 4. Kepala Sub Bagian Bina Perangkat Daerah pada Bagian Pemerintahan Setda Kabupaten Sumedang; 5. Kepala Sub Bidang Pemerintahan, Penerangan dan Komunikasi pada Bidang Sosial dan Budaya Bappeda Kabupaten Sumedang; 6. Kepala Seksi Pengelolaan Pendapatan Lain-lain pada Sub Dinas Perencanaan dan Pengendalian Dipenda Kabupaten Sumedang; 7. Kepala Sub Bagian Peraturan Perundangundangan pada Bagian Hukum Setda Kabupaten Sumedang; 8. Sekretaris Dewan Pengawas PD. BPR Kabupaten Sumedang.LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

57

Tim Pembina DPD Kabupaten yang didukung Sekretariat mempersiapkan bahan-bahan untuk penetapan Dana Perimbangan Desa. Penyiapan bahan dan materi dimulai sejak penampungan aspirasi yang berkembang pada musyawarah perencanaan/Diskusi UDKP di Kecamatan dan Rakorbang Kabupaten. Aspirasi tersebut disampaikan kepada Tim Eksekutif dan Tim Legislatif yang mempersiapkan PraAPBD dan sekaligus melakukan pembahasan aspirasi awal terutama digunakan pada penentuan besar secara keseluruhan DPD, karena di dalam perda diatur sekurangkurangya 10%. Dengan demikian apabila usulan aspirasi masyarakat tinggi maka dimungkinkan besarnya lebih dari 10%. Namun hal ini terkait pula dengan rencana penerimaan keuangan daerah. Adapun di Kabupaten Tuban setiap tahun dikembangkan suatu mekanisme untuk persiapan pelaksanaan PPM yaitu dengan pembentukan Organisasi Pengelola Kegiatan di tingkat Kabupaten, kecamatan dan desa serta tim ini mempersiapkan Penetapan alokasi dana untuk masing-masing desa. Dalam pelaksanaannya Kantor PMD merupakan unit yang bertanggungjawab memeriksa persyaratan kelengkapan administrasi desa sebelum dana dicairkan. Dengan demikian ADD atau dana PPM yang ada pada APBD Pemda Tuban berada dalam pos anggaran belanja publik kantor PMD. Sedangkan Pengelolaan PPM berada di bawah pengelolaan sebuah Tim Koordinasi Pengelola Program (TKPP) terdiri dari tim pengarah yang diketuai oleh Bupati Tuban dan tim pelaksana yang terdiri dari unsur Bappeda, kantor PMD, Bagian pemerintahan, Dinas pengelolaan keuangan dan kas daerah, Dinas Kimpraswil. Tim koordinasi ini secara struktural dibentuk juga pada level kecamatan dengan nama Tim Pembina Kecamatan (TPK) dan pada level desa dengan nama Tim Pelaksana Kegiatan Desa (TPKD).LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

58

Berbeda dengan ketiga kabupaten di atas, di Kabupaten Magelang, pemerintah tidak banyak mengatur pengelolaan anggaran, kecuali dalam hal mekanisme penggunaan dan pencairan. Pemerintah Kabupaten tidak banyak mengaturnya, melainkan mengharapkan munculnya otonomi desa secara lebih baik. Desa diharapkan mampu mengatur pembangunan dan tata kehidupan masyarakatnya sendiri sesuai dengan koridor-koridor hukum yang ditetapkan oleh Kabupaten. Di Selayar, terdapat 4 pihak yang terlibat aktif, yaitu LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat), BPD (Badan Perwakilan Desa), Aparat desa dan tokoh (masyarakat). Secara umum, biasanya tokoh masyarakat diidentikkan dengan representasi warga masyarakat disamping BPD. Dalam perencanaan umumnya desa-desa ini jarang sekali melakukan analisa kebutuhan (community need assesment) dari tingkat akar rumput, atau dengan kata lain tidak dilaksanakan melalui pendekatan partisipatif. Adapun di Kabupaten Jayapura, Di tingkat distrik dibentuk organisasi pelaksana terdiri: Penanggung jawab Anggaran: Kepala Distrik dan Pemegang kas: Staf kantor Distrik 1 orang. Tahapan pelaksanaan dimulai dengan menyusun petunjuk pengelolaan program, Sosialisasi oleh kepala Distrik kepada para kepala kampung dan pelaksanaan kegiatan proyek/bantuan keuangan langsung kepada masyarakat. Pola pelaksanaan ditempuh sebagai berikut: 1. Swakelola (adalah program/proyek yang tidak memerlukan spesifikasi teknis dan dapat langsung dikerjakan oleh masyarakat). 2. Ditenderkan/diborongkan, (adalah proyek yang memerlukan spesifikasi teknis dan tidak bisa dikerjakan langsung oleh masyarakat).

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

59

3. Bantuan keuangan langsung diberikan kepada masyarakat secara langsung dengan disaksikan publik dan di ekspos di media.

2. Perencanaan Anggaran dan Partisipasi MasyarakatDi dalam mendistribusikan dana ke desa atau nagari, setiap kabupaten telah menetapkan peraturan tentang APBDes atau APBNagari. Kebanyakan kabupaten tersebut menetapkan bahwa ADD/DAUN diintegrasikan ke dalam APBDes atau APPBNagari dan di dalam menyusun rencana anggaran itu diamanatkan adanya partisipasi masyarakat. Dalam mengatur tentang APBDes dan APBNagari itu, beberapa kabupaten mengacu pada Surat Edaran Bersama Bappenas dan Depdagri SEB No 50/744/Sj/2004 tanggal 24 Maret 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Forum Musrenbang dan Perencanaan Partisipatif. Dalam SEB tersebut terdapat ketentuan untuk melibatkan publik. Tahap perencanaan di tingkat desa disebut dengan Musrenbang desa, partisipan yang berhak mengikuti forum ini adalah pihak-pihak yang menjadi bagian dari desa di mana pembangunan akan dilaksanakan. Kebijakan ini cukup memihak masyarakat dan merupakan perangkat kebijakan nasional yang seharusnya menjadi acuan Kabupaten. Namun demikian perangkat ini ternyata tidak serta merta diacu oleh sebagian kabupaten yang diteliti. Namun demikian telah ada perangkat kebijakan yang mendorong publik memiliki hak dalam proses pengambilan kebijakan. Publik yang berhak menjadi partisipan dalam forum antara lain: Seluruh komponen masyarakat yang berada di Desa, seperti: Ketua RT/RW; Kepala Dusun, Kepala Desa dan perangkat Desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Kelompok Perempuan, Kelompok

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

60

Pemuda, Organisasi Masyarakat, Pengusaha, kelompokkelompok masyarakat marginal, dan lain-lain. Musrenbang tingkat Desa diselenggarakan untuk mempertemukan berbagai kebutuhan masyarakat yang diperoleh dari forum musyawarah perencanaan pada tingkat di bawahnya sehingga menjadi suatu usulan yang terpadu untuk dilaksanakan di Desa dan atau dibahas kembali ke tingkat Kecamatan sebagai usulan desa. Bagan 4.1. Alur Musrenbang Tk Desa.Persiapan Musyawarah RT/RW Musrenbang Tk Desa Musrenbang Tk Kecamatan Musrenbang Tk Kabupaten

Tahapan pelaksanaan Musrenbang Desa terdiri dari1: 1. Persiapan, dengan kegiatan sebagai berikut : a. Menetapkan fasilitator yang berasal dari aparat (ditentukan oleh Kepala Desa/Lurah) dan masyarakat (dipilih oleh warga); b. Menyusun jadual dan agenda Musrenbang Desa/Kelurahan; c. Mempersiapkan bahan/materi untuk Musrenbang Desa/Kelurahan; d. Mengumumkan secara terbuka tentang jadual, agenda, dan tempat Musrenbang Desa/Kelurahan; e. Melakukan musyawarah/rembug dusun/RW.1

SEB No 50/744/Sj/2004 tanggal 24 Maret 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Forum Musrenbang dan Perencanaan Partisipatif.

LaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

61

2. Pelaksanaan, dengan agenda sebagai berikut : a. Mempresentasikan prioritas masalah Desa/Kelurahan (seperti kemiskinan, pengangguran, kesehatan, dan pendidikan); b. Membahas Dokumen RPJM desa/kelurahan. c. Menyampaikan informasi tentang perkiraan jumlah Dana Alokasi Desa/Kelurahan yang berasal dari pemerintah Kabupaten; d. Menyampaikan informasi tentang isu-isu strategis Kabupaten; e. Membahas pelaksanaan pembangunan Desa/Kelurahan tahun sebelumnya termasuk mendiskusikan tentang jumlah usulan yang dihasilkan pada forum sejenis di tahun sebelumnya yang telah teralisasikan; f. Merumuskan kriteria prioritas untuk menyeleksi usulan; g. Membahas prioritas pembangunan tahun yang akan datang beserta pendanaannya sesuai dengan potensi serta permasalahan Desa/Kelurahan; h. Menetapkan wakil Desa/Kelurahan untuk menghadiri Musrenbang tingkat Kecamatan. Selain perangkat alur perencanaan tersebut juga ditetapkan tentang bagaimana kepanitiaan penyelenggara disiapkan. Secara umum proses perencanaan penggunaan ADD berjalan berdasarkan pada kebutuhan rakyat melalui mekanisme yang telah ditetapkan di masing-masing kabupaten. Partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBDes terlihat hampir di lima kabupaten penelitian. Di Kabupaten Limapuluh Kota penyusunan RAPBN dilakukan oleh Wali Nagari dengan menggerakkan perangkat nagari untuk melakukan penjaringan aspirasi di masyarakat. Para jorong mengadakan pertemuan dengan warganya untuk menampung aspirasi dan kemudian disampaikan kepada Wali Nagari untuk disusun skala prioritas kegiatan danLaporanStudiADDFPPDdiEnamKabupaten

62

besarnya anggaran. Wali Nagari kemudian membawa rancangan RAPBNagari kepada BMAS atau langsung ke BPAN. Sementara itu anggota BMAS dan BPAN juga melakukan kegiatan penjaringan aspirasi ke bawah dan dalam sidang membahas RAPBNagari diperhatikan semua usulan dari bawah. Akhirnya Wali Nagari menyusun RAPBN dan dibawa ke BPAN untuk ditetapkan. Di Kabupaten Sumedang, alur penyusunan RAPBDes menunjukkan tingginya partisipasi masyarakat. Alur ini dikembangkan berdasarkan Perda No. 51/ 2001, Sekretariat pelaksana mempersiapkan bahan-bahan untuk penetapan Dana Perimbangan Desa. Secara detail alur perencanaan yang ditemukan, yaitu: 1. Penyiapan bahan dan materi dimulai sejak penampungan aspirasi yang berkembang pada musyawarah perencanaan/Diskusi UDKP di Kecamatan dan Rakorbang Kabupaten. 2. Aspirasi tersebut disampaikan kepada Tim Eksekutif dan Tim Legislatif yang mempersiapkan Pra-APBD dan sekaligus melakukan pembahasan aspirasi awal terutama digunakan pada penentuan besar secara keseluruhan DPD. Di Sumedang telah ditetapkan proses penyusunan rencana kegiatan, yaitu: Kepala Desa, BPD dan LPM menjelang tahun anggaran baru atau berak