Strukturalisme Dan Pascastrukturalisme

16
STRUKTURALISME DAN PASCASTRUKTURALISME: SEBUAH PERJALANAN TEORI SASTRA Oleh Alfian Rokhmansyah, S.S. Abstrak Dalam kurun waktu satu abad, perkembangan teori sastra tampaknya sangat pesat. Ketika pertama kali muncul, teori sastra hanya berkutat pada struktur karya sastra yang sering disebut teori strukturalisme. Teori strukturalisme merupakan teori yang telah ada sejak jaman Aristoteles, tetapi secara terus- menerus diperbaharui sampai awal abad ke-20. Pergerakan kaum-kaum yang menolak tradisi strukturalis merupakan penyebab utama perkembangan teori sastra. Perkembangan teori sastra diawali dengan teori strukturalisme yang melihat karya sastra adalah struktur yang otonom. Dalam perkembangan selanjutnya, teori strukturalisme mulai ditinggalkan dan dan digantikan teori pascastrukturalis yang menolak serta ingin melepaskan diri dari belenggu struktural. Teori pascastrukturalisme berupaya untuk memberikan teori sastra yang tidak hanya berkutat pada struktur karya sastra, tetapi juga pada struktur ekstrinsik dan hubungan sastra dengan lingkungan. Beberapa teori strukturalisme adalah formalisme Rusia, New Criticism, strukturalisme dinamik, strukturalisme genetik, naratologi, dan semiotika. Sedangkan teori pascastrukturalisme adalah postmodernisme, postkolonialisme, dekonstruksi, resepsi sastra, intertekstual, feminisme sastra, dan teori-teori naratologi pascastrukturalis. Teori strukturalisme dan pascastrukturalisme dapat digunakan untuk menganalisis sastra klasik maupun modern. Hal ini karena teori-teori sastra dapat digunakan untuk memahami objek yang berbeda. Selain itu, perkembangan teori sastra juga disebabkan oleh kebutuhan teori- teori dari disiplin ilmu lain yang dapat mendukung studi sastra. Hal ini yang menyebabkan munculnya teori interdisipliner dalam sastra. Kata kunci : teori sastra, strukturalisme, pascastrukturalisme PENGANTAR Dalam suatu disiplin ilmu pengetahuan, istilah teori memang sudah tidak asing. Teori dapat dianggap sebagai 1

Transcript of Strukturalisme Dan Pascastrukturalisme

Page 1: Strukturalisme Dan Pascastrukturalisme

STRUKTURALISME DAN PASCASTRUKTURALISME:SEBUAH PERJALANAN TEORI SASTRA

OlehAlfian Rokhmansyah, S.S.

Abstrak

Dalam kurun waktu satu abad, perkembangan teori sastra tampaknya sangat pesat. Ketika pertama kali muncul, teori sastra hanya berkutat pada struktur karya sastra yang sering disebut teori strukturalisme. Teori strukturalisme merupakan teori yang telah ada sejak jaman Aristoteles, tetapi secara terus-menerus diperbaharui sampai awal abad ke-20. Pergerakan kaum-kaum yang menolak tradisi strukturalis merupakan penyebab utama perkembangan teori sastra. Perkembangan teori sastra diawali dengan teori strukturalisme yang melihat karya sastra adalah struktur yang otonom. Dalam perkembangan selanjutnya, teori strukturalisme mulai ditinggalkan dan dan digantikan teori pascastrukturalis yang menolak serta ingin melepaskan diri dari belenggu struktural. Teori pascastrukturalisme berupaya untuk memberikan teori sastra yang tidak hanya berkutat pada struktur karya sastra, tetapi juga pada struktur ekstrinsik dan hubungan sastra dengan lingkungan. Beberapa teori strukturalisme adalah formalisme Rusia, New Criticism, strukturalisme dinamik, strukturalisme genetik, naratologi, dan semiotika. Sedangkan teori pascastrukturalisme adalah postmodernisme, postkolonialisme, dekonstruksi, resepsi sastra, intertekstual, feminisme sastra, dan teori-teori naratologi pascastrukturalis. Teori strukturalisme dan pascastrukturalisme dapat digunakan untuk menganalisis sastra klasik maupun modern. Hal ini karena teori-teori sastra dapat digunakan untuk memahami objek yang berbeda. Selain itu, perkembangan teori sastra juga disebabkan oleh kebutuhan teori-teori dari disiplin ilmu lain yang dapat mendukung studi sastra. Hal ini yang menyebabkan munculnya teori interdisipliner dalam sastra.

Kata kunci : teori sastra, strukturalisme, pascastrukturalisme

PENGANTAR

Dalam suatu disiplin ilmu pengetahuan, istilah teori memang sudah tidak asing.

Teori dapat dianggap sebagai suatu bumbu, sedangkan ilmu pengetahuan adalah

masakan. Secara umum, yang dimaksudkan dengan teori adalah suatu sistem ilmiah

atau pengetahuan sistematik yang menetapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-

gejala yang diamati. Teori berisi konsep atau uraian tentang hukum-hukum umum suatu

objek ilmu pengetahuan dari sudut pandang tertentu. Suatu teori dapat dideduksi secara

logis dan dicek kebenarannya atau dibantah kesahihannya pada objek atau gejala yang

diamati tersebut.

1

Page 2: Strukturalisme Dan Pascastrukturalisme

Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, kriteria yang dapat diacu dan dijadikan

titik tolak dalam telaah di bidang sastra. Sedangkan studi terhadap karya konkret disebut

kritik sastra dan sejarah sastra. Ketiganya berkaitan erat sekali. Tidak mungkin kita

menyusun teori sastra tanpa kritik sastra dan teori sastra, kritik sastra tanpa teori sastra

dan sejarah sastra (Wellek dan Warren 1989: 38–39).

Pada awal kemunculannya, teori sastra berkutat pada struktur karya sastra, yang

sering disebut dengan periode strukturalisme. Teori-teori strukturalisme merupakan

teori yang secara genesis telah ada sejak zaman Aristoteles, tetapi secara terus-menerus

diperbaharui sepanjang sejarahnya hingga awal abad ke-20 (Ratna 2009: 5).

Perkembangan teori strukturalisme sejak zaman Formalisme Rusia hingga

pascastrukturalisme mengalami banyak perubahan yang dilakukan para pembawa

teorinya. Hal ini menunjukkan bahwa teori sastra mengalami perkembangan yang besar.

Sebenarnya semua teori sastra sejak zaman Aristoteles telah menekankan pentingnya

pemahaman struktur dalam analisis sebuah karya sastra. Akan tetapi istilah kritik

strukturalisme secara khusus mengacu kepada praktik kritik sastra yang mendasarkan

model analisisnya pada teori linguistik modern.

Teori-teori strukturalisme maupun pascastrukturalisme dapat digunakan untuk

menganalisis sastra lama dan sastra modern. Hal ini karena teori sastra dapat

dimodifikasi sebagai upaya memahami objek-objek yang berbeda. Menurut Ratna

(2009: 15–16) pesatnya perkembangan teori sastra hingga saat ini dipicu oleh beberapa

sebab, antara lain (1) medium sastra adalah bahasa yang mempunyai problematika yang

luas; (2) sastra memasukkan berbagai dimensi kebudayaan yang mengandung

permasalahan yang beragam; (3) teori-teori utama dalam bidang sastra telah

berkembang sejak zama Aristoteles yang telah dimatangkan dalam berbagai displin

ilmu; (4) kesulitan dalam memahami gejala sastra memicu para ilmuwan untuk

menemukan teori baru; dan (5) ragam sastra berkembang secara dinamis sehingga

memerlukan cara peahaman yang berbeda.

IKHTISAR TEORI SASTRA MODERN

Teori-Teori Strukturalisme

Perkembangan teori sastra dimulai sejak awal abad ke-20. Perkembangan teori

sastra ini sejalan dengan berkembangnya genre sastra. Hal ini menunjukkan bahwa

2

Page 3: Strukturalisme Dan Pascastrukturalisme

dengan berkembangnya suatu genre sastra akan memengaruhi berkembang dan

munculnya teori sastra baru agar lebih relevan. Pada masa awal ini strukturalisme

berhasil menjadi daya pikat dalam penelitian terhadap karya sastra masa itu.

Sebelum muncul teori-teori strukturalisme muncul teori yang berkembang di Rusia,

yaitu teori formalisme yang dibawa oleh kelompok Formalisme Rusia. Teori

formalisme muncul sebagai akibat penolakan pada paradigma positivme abad ke-19

yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas dan sebagai reaksi terhadap studi

biografi. Pada umumnya Formalisme Rusia dianggap sebagai pelopor bagi tumbuh dan

berkembangnya teori-teori strukturalisme.

Tokoh utama formalis adalah Roman Jakobson yang kemudian membantu

mendirikan Kalangan Linguistik Praha pada tahun 1926. Kaum formalis mulai

memproduksi teori sastra yang bersangkutan dengan kecakapan teknis penulis dan

keterampilan kerja tangan (Selden 1993: 2). Tujuan utama formalisme adalah studi

ilmiah mengenai sastra. Mereka percaya bahwa studi mereka akan meningkatkan

kemampuan pembaca untuk membaca teks sastra dengan caya yang tepat. Persepsi

lewat bentuk artistik memperbaiki kesadaran dunia dan membangkitkan banyak hal

(Nuryatin 2005: 3).

Setelah banyak tokoh yang menolak teori formalis, muncul teori baru karena

ketidakpuasan terhadap formalisme, yaitu teori strukturalisme. Meskipun strukturalisme

masih berhubungan dengan formalisme Rusia, strukturalisme pada umumnya dianggap

sebagai perkembangan dari formalisme. Sebelum perkembangan strukturalisme, di

Amerika Serikat berkembang sebuah teori dan model aliran sastra baru, yaitu New

Criticism. Istilah new criticism pertama kali dikemukakan oleh John Crowe Ransom

dalam bukunya The New Criticism (1940) dan ditopang oleh I.A. Richard dan T.S.

Eliot. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap kritik sastra sebelumnya yang terlalu

fokus pada aspek-aspek kehidupan dan psikologi pengarang serta sejarah sastra. Para

new criticism menuduh ilmu dan teknologi menghilangkan nilai perikemanusiaan dari

masyarakat dan menjadikannya berat sebelah. Manurut mereka, ilmu tidak memadai

dalam mencerminkan kehidupan manusia. Sastra dan terutama puisi merupakan suatu

jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan lewat pengalaman. Tugas kritik sastra adalah

memperlihatkan dan memelihara pengetahuan yang khas, unik dan lengkap seperti yang

ditawarkan kepada kita oleh sastra agung (Van Luxemburg dkk, 1988: 52-54).

3

Page 4: Strukturalisme Dan Pascastrukturalisme

Strukturalisme sebenarnya merupakan paham filsafat yang memandang dunia

sebagai realitas berstruktur. Hal ini yang diterapkan dalam sastra sehingga menganggap

karya sastra adalah suatu struktur yang otonom. Dalam teori-teori strukturalisme

terdapat sebuah konsep antarhubungan yang menyatakan bahwa karya sastra adalah

sebuah struktur yang terdiri atas unsur-unsur yang berhubungan antara bagian yang satu

dengan bagian yang lainnya. Unsur-unsur itu hanya memperoleh artinya di dalam relasi,

baik relasi asosiasi ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan

dengan mikroteks (kata, kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun

intertekstual (karya-karya lain dalam periode tertentu).

Strukturalisme sastra mengupayakan adanya suatu dasar yang ilmiah bagi teori

sastra, sebagaimana dituntut oleh disiplin-disiplin ilmiah lainnya. Untuk itu objek

penelitiannya, yakni karya sastra diidentifikasi sebagai suatu benda seni yang indah

karena penggunaan bahasanya yang khusus. Objek studi teori strukturalisme itu

ditempatkan dalam suatu sistem atau susunan relasi yang memudahkan pengaturannya.

Dengan sistem ini kita menghimpun dan menemukan hubungan-hubungan yang ada

dalam realitas yang diamati.

Dalam perkembangan selanjutnya muncul beberapa kelompok teori strukturalisme,

seperti teori-teori strukturalisme dinamik, strukturalisme genetik, strukturalisme

naratologi, dan semiotik. Teori-teori tersebut mempunyai ciri khas masing-masing yang

dipergunakan dalam penelitian sastra. Strukturalisme dinamik (Ratna 2009: 93), yang

pertama kali dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felik Vodicka, didasarkan atas

kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai

perkembangan dari formalisme. Strukturalisme dinamik bertujuan untuk

menyempurnakan strukturalisme yang hanya memprioritaskan unsur-unsur intrinsik

karya sastra.

Strukturalisme genetik senada dengan strukturalisme dinamik yang dikembangkan

atas dasar penolakan terhadap analisis strukturalisme murni, yaitu analisis pada unsur

intrinsik. Sktrukturalisme dinamik dan strukturalisme genetik menolak fungsi bahasa

sastra sebagai bahasa yang khas. Tetapi dalam lingkup komunikasi sastra,

strukturalisme dinamik hanya terbatas pada peranan penulis dan pembaca sastra,

sedangkan strukturalisme genetik dapat melangkah lebih jauh ke struktur sosial. Tokoh

utama dalam strukturalisme genetik adalah Lucien Goldmann. Strukturalisme genetik

4

Page 5: Strukturalisme Dan Pascastrukturalisme

memiliki implikasi yang lebih dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu-ilmu

kemanusiaan pada umumnya. Sebuah struktur, bagi Goldmann, harus disempurnakan

agar memiliki makna, di mana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan

struktur yang lebih luas, demikian seterusnya hingga setiap unsur menopang totalitasnya

(Ratna 2009: 121–122).

Dalam perkembangan strukturalisme, terdapat kelompok strukturalisme naratologi.

Naratologi juga disebut teori wacan (teks) naratif. Baik naratologi maupun teori wacana

(teks) naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan penceritaan.

Naratologi berkembang atas dasar analogi linguistik, seperti model sintaksis,

sebagaimana hubungan antara subjek, predikat, dan objek penderita (Ratna 2009: 128).

Awal perkembangan teori narasi terdapat beberapa tokoh pelopornya, seperti: Poetica

Aristoteles (cerita dan teks), Henry James (tokoh dan cerita), Forster (tokoh bundar dan

datar), Percy Lubbock (teknik naratif), Vladimir Propp (peran dan fungsi), Claude Levi-

Strauss (struktur mitos), Tzvetan Todorov (historie dan discours), Claude Bremond

(struktur dan fungsi), Mieke Bal (fabula, story, text), Greimas (tata bahasa naratif dan

struktur aktan), dan Shlomith Rimmon-Kenan (story, text, narration). Pada umumnya

periode strukturalis terlibat ke dalam dikotomi fabula dan sjuzhet (cerita dan plot).

Teori dalam periode struktural terdapat istilah teori semiotik. Strukturalisme dan

semiotik umumnya dipandang termasuk dalam suatu bukan teoritis yang sama.

Sebetulnya apa yang dinamakan semiotik sastra bukan merupakan suatu aliran ilmu

sastra. Berbagai aliran seperti strukturalisma dan ilmu sastra linguistik dapat dinamakan

semiotik (Van Luxemburg dkk, 1984: 44–46). Hal ini berbeda dengan pendapat Culler

(dalam Ratna 2009: 97) yang menyebutkan bahwa strukturalisme dan semiotika adalah

dua teori yang hampir sama, strukturalisme memusatkan pada karya sedangkan

semiotika pada tanda. Sedangkan Selden (1993: 55) mengungkapkan bahwa

strukturalisme dan semiotika adalah dua bidang ilmu yang sama sehingga keduannya

dapat dioperasikan secara bersama-sama. Analisis semiotika merupakan tindak lanjut

dari analisis strukturalisme.

Teori-Teori Pascastrukturalisme

Pada akhir tahun 1960-an lahir paham baru yang dianggap sebagai penyempurna

dan tindak lanjut dari paham sebelumnya, yaitu pascastrukturalisme. Pikiran

5

Page 6: Strukturalisme Dan Pascastrukturalisme

pascastrukturalis telah menemukan kodrat pemaknaan yang tidak stabil secara esensial.

Dibalik munculnya paham pascastrukturalisme adalah karena kelemahan strukturalisme,

seperti (1) model analisis strukturalisme dianggap kaku karena hanya didasarkan pada

struktur dan sistem tertentu, (2) strukturalisme lebih memberikan perhatian pada karya

sastra sebagai suatu sistem yang otonom sehingga melupakan pengarang dan

pembacanya, dan (3) hasil analisis seolah-olah hanya untuk kepentingan karya sastra itu

dan melupakan kepentingan masyarakat. Kelahiran pascastrukturalisme dimaksudkan

untuk mengantisipasi berbagai distorsi sistem semantis sehingga karya sastra dapat

berfungs dalam masyarakat.

Pada masa pascastrukturalis muncul beberapa teori yang banyak berkembang

hingga saat ini, seperti teori postmodernisme, postkolonialisme, resepsi sastra,

intertekstual, feminisme sastra, dekonstruksi, dan naratologi pascastrukturalis.

Munculnya pascastrukturalis secara otomatis akan melupakan struktur dan akan

mendekonstruksi karya sastra sehingga pascastrukturalis juga sering disebut dengan

istilah dekonstruksi. Dekontruksi merupakan ragam teori sastra yang tidak begitu

menghiraukan struktur karya sastra. Menurut Ratna (2009: 222) dekonstruksi, yang

dipelopori oleh Jaques Derrida, menolak adanya logosentrisme dan fonosentrisme yang

secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lain yang bersifat

hierarkis dikotomis.

Abrams mengungkapkan bahwa dekonstruksi pada hakikatnya merupakan cara

membaca teks yang menumbangkan anggapan bahwa sebuah teks itu memiliki

landasan, dalam sistem bahasa yang berlaku untuk menegaskan struktur, keutuhan, dan

makna yang telah menentu. Teori ini menolak anggapan bahwa bahasa telah memiliki

makna yang pasti, tertentu, dan konstan sebagaimana halnya pandangan strukturalisme

klasik (dalam Nurgiyantoro 1998: 59).

Menurut Endraswara (2008b: 167–168) pascastrkturalis dapat dikatakan sebagai

periode postmodernis. Hal ini disebabkan karena postmodernis merupakan lawan dari

modernisme yang masih memanfaatkan teori-teori struktural dalam analisis karya sastra.

Paham modernisme yang dibawa kaum modernis akan berhenti pada kajian struktural

sastra. Ciri utama postmodernis adalah penolakan terhadap adanya satu pusat,

kemutlakan, narasi-narasi besar, metanarasi, gerak sejarah yang monolinier.

6

Page 7: Strukturalisme Dan Pascastrukturalisme

Postmodernis mensubversi uniformitas, homogenitas, dan totalitas dengan memberikan

intensitas pada perbedaan-perbedaan, relativitas, dan pluralisme.

Naratologi yang berkembang pada masa pascastrukturalis pada umumnya

mendekonstruksi dikotomi parole dan langue, fabula, dan sjuzhet dengan ciri-ciri naratif

nonliterer, interdisipliner, termasuk feminis dan psikoanalisis. Para pelopornya, di

antaranya: Gerard Gennet (urutan, durasi, frekuensi, modus, dan suara), Gerald Prince

(struktur narratee), Seymoeur Chatman (struktur naratif), Jonathan Culler (kompetensi

sastra), Roland Barthes (kernels dan satellits), Mikhail Bakhtin (wacana polifonik),

Hayden White (wacana sejarah), Marry Louise Pratt (tindak kata), Umberto Eco

(wacana dan kebohongan), Michel Foucault (wacana dan kekuasaan), Jean-Francois

Lyotard (metanarasi), dan Jean Baudrillad (hiperealitas, pastiche). (Ratna 2009: 242)

Dalam periode pascastrukturalis, teori resepsi dan interteks berkembang dengan

pesat. Resepsi memberikan perhatian pada pembaca, sedangkan interteks pada

hubungan antara karya yang satu dengan yang lain. Dalam arti luas, resepsi sastra

merupakan pengolahan teks yaitu cara-cara pemberian makna terhadap karya sastra

sehingga dapat memberika respon terhadap karya sastra itu. Dalam dunia kesusastraan,

teori resepsi yang banyak digunakan adalah teori resepsi Hans Robert Jauss (horizon

harapan) dan Wolfgang Iser (pembaca implisit). Namun pada perkembangannya banyak

tokoh yang memunculkan teori resepsi sastra, seperti Jonathan Culler dengan teori

konvensi pembaca.

Teori interteks tidak akan lepas dari teori Riffaterre mengenai konsep hipogram.

Menurut Riffaterre (dalam Endraswara 2008b: 132) hipogram adalah modal utama

dalam sastra yang akan melahirkan karya sastra berikutnya. Jadi dapat diartikan bahwa

hipogram merupakan karya sastra yang akan menjadi latar belakang munculnya karya

sastra berikutnya yang dinamakan karya transformasi. Prinsip dasar intertekstualitas

adalah karya sastra hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya

dengan teks lain yang menjadi hipogram.

Dalam perkembangan selanjutnya, teori-teori pascastrukturalis juga mendapat

kontribusi dari teori kontemporer pada tahun 1960-an, yaitu teori feminis yang

dipelopori oleh Virginia Woolf (Ratna 2009: 183). Konsep feminisme adalah

membalikkan paradigma bahwa perempuan berada di bawah dominasi laki-laki,

perempuan adalah pelengkap, dan perempuan sebagai makhluk kedua. Sejalan dengan

7

Page 8: Strukturalisme Dan Pascastrukturalisme

konsep itu, studi feminisme dalam sastra adalah studi literer perempuan, pengarang

perempuan, pembaca perempuan, tokoh perempuan, dan sebagainya.

Teori pascastrukturalis yang dapat dikatakan masih baru adalah teori-teori

postkolonialisme. Teori postkolonial dapat didefinisikan sebagai teori kritis yang

mencoba mengungkapkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kolonialisme (Ratna

2008: 120). Analisis menggunakan teori postkolonial dapat digunakan untuk menelusuri

aspek-aspek tersembunyi atau dengan sengaja disembunyikan sehingga dapat diketahui

bagaimana kekuasaan itu bekerja, selain itu untuk membongkar disiplin, lembaga, dan

ideologi yang mendasarinya. Dalam hubungan inilah, bahasa, sastra, dan kebudayaan

dapat memainkan peranan sebab dalam ketiga gejala tersebut mengandung wacana

sebagaimana diintensikan oleh kelompok kolonialis (2008: 104). Teori postkolonial

awalnya dikhususkan bagi penelitian negara-negara yang secara langsung pernah

menjadi koloni. Tetapi pada perkembangannya, postkolonialisme dianggap telah

berpengaruh secara global.

Teori-Teori Interdisipliner

Perkembangan teori-teori interdisipliner muncul akibat adanya kebutuhan para

peneliti sastra terhadap teori-teori disiplin ilmu lain yang dapat dimanfaat dalam studi

sastra. Sebenarnya teori interdispliner ini sudah dibicarakan sejak zaman strukturalis

yaitu oleh Wellek dan Warren dalam buku Teori Kesusastraan. Dalam buku tersebut

Wellek dan Warren memberikan hubungan antara karya sastra dengan bidang lain, yaitu

sastra dan pemikiran, sastra dan ilmu jiwa, sastra dan masyarakat, sastra dan biografi.

Hubungan antara sastra dengan ilmu jiwa dan masyarakat banyak berkembang hingga

saat ini. Teori-teori interdisipliner dalam sastra yang banyak ditemukan adalah teori-

teori dalam bidang psikologi sastra, sosiologi sastra, dan antropologi sastra. Dalam

praktiknya, penelitian interdisipliner ini menggunakan teori-teori strukturalisme dan

pascastrukturalisme di samping teori-teori disiplin ilmu lain.

Bidang psikologi sastra adalah bidang interdisipliner ilmu sastra dengan ilmu-ilmu

psikologi. Tokoh psikologi yang banyak dimanfaatkan teorinya dalam studi sastra

adalah Sigmund Freud dengan teori psikoanalisisnya. Selain itu juga banyak digunakan

teori psikologi lain seperti Carl Gustav Jung (psikologi kepribadian), Hurlock (psikologi

perkembangan), dan beberapa tokoh lainnya. Dalam penerapannya dalam studi sastra,

8

Page 9: Strukturalisme Dan Pascastrukturalisme

psikologi dapat digunakan untuk menganalisis psikologi pengarang, psikologi tokoh,

dan pesikologi pembaca.

Bidang sosiologi sastra merupakan bidang interdisipliner ilmu sastra dengan teori-

teori ilmu sosial. Teori-teori ilmu sosial yang banyak dimanfaatkan dalam studi sastra

adalah teori hegemoni yang dibawa Antonio Gramsci, teori strukturalisme genetik oleh

Lucian Goldmann, teori-teori Marxis oleh Karl Marx, teori ideologi, teori trilogi

pengarang-karya-pembaca, dan teori dialogis (Ratna 2009: 339).

Bidang antopologi sastra merupakan bidang interdisipliner antara sastra dengan

ilmu antropologi, khususnya bidang kajian antropologi budaya. Dalam bidang ini

banyak berkembang studi-studi yang memanfaatkan teori-teori naratologi strukturalis

maupun pascastrukturalis. Umumnya teori-teori antropologi sastra digunakan untuk

menganalisis folklor, baik folklor lisan maupun folklor yang telah dibukukan. Dalam

perkembangannya antropologi sastra juga berkembang ke dalam kajian etnografi dan

kebudayaan yang ada dalam sastra. Hal ini menunjukkan bahwa antropologi sastra

memiliki relevansi dengan sastra yang bercorak lokal. Menurut Ratna (2009: 353)

antropologi sastra cenderung memusatkan perhatiannya pada masyarakat kuno. Karya

sastra dengan masalah mitos, bahasa dengan kata-kata arkhais banyak digunakan

sebagai objek kajian antropologi sastra.

PENUTUP

Dalam kurun waktu satu abad, perkembangan teori sastra dapat dikatakan sangat

pesat. Hal ini juga dipengaruhi adanya kontribusi teori-teori dari disiplin ilmu lain.

Pergerakan-pergerakan kaum-kaum yang menolak tradisi strukturalis merupakan akibat

utama berkembangnya teori-teori sastra.

Perbedaan pendapat tentang teori sastra tidak pernah akan ada akhirnya, dan

memang seharusnya tidak perlu diakhiri. Dengan munculnya teori-teori

pascastrukturalis tidak berarti bahwa teori strukturalis tidak relevan lagi dan harus

ditinggalkan. Banyak penelitian sastra yang menggabungkan dua teori yang berbeda

masa ini sehingga dapat menciptakan karya penelitian yang lebih mendalam. Teori-teori

sastra yang ada sekarang dapat mengalami perkembangan apabila para peneliti sastra

membutkan teori-teori sastra yang lebih relevan untuk karya sastra di masa mendatang.

9

Page 10: Strukturalisme Dan Pascastrukturalisme

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. 1973. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: P3B Dekdikbud.

Endraswara, Suwardi. 2008a. Metodologi Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo.

_________. 2008b. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo.

Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press.

Nuryatin, Agus. 2005. Formalisme Rusia: Mengolah Fakta dalam Fiksi. Semarang: Rumah Indonesia.

_________. 2006. “Teori Sastra I”. Modul. FBS, Unnes.

Ratna, Nyoma Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_________. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Selden, Raman. 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Diterjemahkan oleh Rachmat Djoko Pradopo. Yogyakarta: UGM Press.

Sugihastuti. 2005. Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka.

Todorov, Tzvetan. 1985. Tata Sastra. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

10