STRUKTUR KOMUNITAS GASTROPODA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN …repository.ub.ac.id/7924/1/MUHKLAS SHAH...
Transcript of STRUKTUR KOMUNITAS GASTROPODA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN …repository.ub.ac.id/7924/1/MUHKLAS SHAH...
STRUKTUR KOMUNITAS GASTROPODA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DI PANTAI BANJARWATI PACIRAN LAMONGAN, JAWA TIMUR
SKRIPSI
Oleh :
MUHKLAS SHAH WINARNO
NIM. 135080101111096
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
STRUKTUR KOMUNITAS GASTROPODA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DI PANTAI BANJARWATI PACIRAN LAMONGAN, JAWA TIMUR
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya
Oleh:
MUHKLAS SHAH WINARNO
NIM. 135080101111096
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
c
d
IDENTITAS TIM PENGUJI
Judul : STRUKTUR KOMUNITAS GASTROPODA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DI PANTAI BANJARWATI PACIRAN LAMONGAN, JAWA TIMUR.
Nama Mahasiswa : MUHKLAS SHAH WINARNO
NIM : 1350801011110096
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
PENGUJI PEMBIMBING:
Pembimbing 1 : PROF. DR. IR. ENDANG YULI H., MS
Pembimbing 2 : NANIK RETNO BUWONO, S.PI., MP
PENGUJI BUKAN PEMBIMBING:
Dosen Penguji 1 : DR. ASUS MAIZAR S. H., S.PI., MP
Dosen Penguji 2 : PROF. DR. IR. DIANA ARFIATI, MS
Tanggal Ujian : 21 Desember 2017
e
PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi dengan judul “Struktur
Komunitas Gastropoda Pada Ekosistem Padang Lamun Di Pantai Banjarwati
Paciran Lamongan, Jawa Timur.” yang saya tulis ini benar-benar merupakan
hasil karya saya sendiri dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat
karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali
yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka
Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil
penjiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut, sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Malang, 21 Desember 2017
Mahasiswa
Muhhklas Shah Winarno NIM. 135080101111096
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat
dan ridho-Nya Laporan Skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar. Penulis
menyadari bahwa laporan ini tidak akan tersusun dengan baik tanpa adanya
bantuan dari pihak-pihak terkait. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya
saya sampaikan kepada:
1. Rektor dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas
Brawijaya yang telas memberikan kesempatan belajar.
2. Prof. Dr. Ir. Endang Yuli H., MS selaku dosen pembimbing skripsi I yang
telah meluangkan waktu, senantiasa mengarahkan dan memberikan
semangat kepada penulis. Ibu Nanik Retno Buwono, S.Pi, MP selaku
dosen pembimbing skripsi 2 yang telah meluangkan waktu, memberikan
saran dan motivasi kepada penulis.
3. Kedua orang tua tersayang. Bapak Salam Riyanto dan Ibu Sunarmi yang
selalu memberikan semangat, doa, kasih sayang dan dukungan Moril tak
henti-henti dari awal sampai saat ini dan kakakku Edika Syah Riyanto
serta keluarga besarku yang ada di rumah juga ikut tiada henti
memberikan semangat serta Do’anya.
4. Rekan-rekan para pejuang skripsi sehidup semati yaitu Penghuni
Kontrakan Cendana, Andy Ferry P, Ferbian yoyok, Dicky Nurdiasyah
yang banyak membantu terlaksananya penelitian penulis.
5. Temen temen ngopi bareng, Boni, Putri, Hafit, Ivan, Faisal, Cahya,
Manda, Echi, Hafis, Samsul yang juga ikut berpartisipasi membantu
terselesainya laporan penulis berupa dukungan dan motivasinya.
vii
6. Rekan rekan seperjuangan satu dosen pembimbing yang sangat
berperan selama proses bimbingan mulai dari bimbingan proposal sampai
bimbingan laporan, baik yang telah memberikan info ataupun saran serta
motivasinya untuk penulis.
7. Temen temen MSP 2013 semua yang sedikit banyak turut membantu
baik berupa saran, dukungan, maupun motivasinya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian dan laporan skripsi.
h
RINGKASAN
Muhklas Shah Winarno. Struktur Komunitas Gastropoda Pada Ekosistem
Padang Lamun Di Pantai Banjarwati Paciran Lamongan, Jawa Timur. (dibawah
Bimbingan Prof, Dr. Ir. Endang Yuli H., MS dan Nanik Retno Buwono, S.Pi,
MP).
Pantai Paciran merupakan pantai yang letaknya strategis dimana terdapat
2 pelabuhan perikanan yaitu Pelabuhan Brondong dan Pelabuhan Pasar Kranji.
Banyak aktivitas nelayan yang dilakukan pada wilayah tersebut yang secara
tidak sadar akan mempengaruhi kondisi perairan sehingga berdampak pada
ekosistem padang lamun. Terganggunya ekosistem padang lamun juga akan
berdampak pada struktur komunitas yang hidup di ekosistem tersebut salah
satunya komunitas gastropda. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai
Juli 2017, tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan kondisi parameter fisika
dan kimia perairan pantai Banjarwati Paciran Lamongan dan menganalisis
struktur komunitas gastropoda, indeks keseragaman dan spesies yang
mendominasi pada ekosistem padang lamun di pantai tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode survei mengenai studi komunitas
gastropoda di ekosistem lamun, analisis suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut,
bahan organik tanah, tekstur tanah. Pengambilan sampel menggunakan metode
transek pada 3 stasiun pengamatan. Pada setiap stasiun dibagi menjadi 3 sub
stasiun yang untuk penentuan stasiun yang didasarkan pada pemanfaatan tata
guna lahan.
Hasil identifikasi ditemukan 7 spesies gastropoda dengan kelimpahan
rata-rata pada 3 stasiun berkisar 84-119,3 ind/m2 nilai tersebut tergolong rendah.
Nilai keseragaman berkisar 0,41-0,52 hasil tersebut dikategorikan keseragaman
sedang dan spesies yang mendominasi adalah jenis Cerithium granosum
dengan presentase 35%-46%. Pengukuran parameter kualitas air menunjukan
hasil yang optimal bagi struktur komunitas gastropda di pantai Banjarwati dengan
hasil yang didapat yaitu suhu dengan kisaran 310C–32,70C, kekeruhan 1,48
NTU-1,93 NTU, pH 7,7–7,9, Salinitas 310/00-31,30/00, Oksigen terlarut 5,3 mg/L–
5,8 mg/L. Untuk kualitas tanah tergolong kurang otimal bagi kehidupan
organisme gastropoda karena tipe substrat di dominasi pasir dan kandungan
bahan organik yang rendah berkisar 0%-0,09%.
Pengukuran parameter kualitas air di pantai Banjarwati menunjukkan
hasil yang optimal bagi kehidupan gastropoda tetapi untuk kualitas tanah sendiri
masih kurang baik untuk menunjang kehidupan organisme gatropoda. Perlu
adanya tindakan konservasi terhadap ekosistem lamun supaya keberadaan
organisme gastropoda tetap lestari.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SAW yang telah melimpahkan segala
nikmat NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi yang berjudul
“Struktur Komunitas Gastropoda Pada Ekosistem Padang Lamun Di Pantai
Banjarwati Paciran Lamongan, Jawa Timur”, penyusunan laporan skripsi ini
merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana perikanan
fakultas perikanan dan ilmu kelautan universitas Brawijaya Malang.
Laporan skripsi ini masih sangat jauh dari kata sempurna, dengan segala
kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki oleh penulis, oleh karena itu penulis
memiliki harapan besar untuk kritik serta saran yang membangun demi
terwujudnya pencapaian hasil yang lebih baik dan sempurna kelak dikemudian
hari, akhir kata semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan
Malang, 21 Desember 2017
Muhklas Shah Winarno
j
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 3 1.3 Tujuan .................................................................................................... 5 1.4 Kegunaan .............................................................................................. 5 1.5 Tempat dan Waktu ................................................................................. 5
2.TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Padang Lamun ...................................................................................... 6 2.2 Morfologi Lamun ................................................................................... 6 2.3 Jenis dan ciri-ciri lamun ......................................................................... 8 2.4 Ekosistem Padang Lamun ..................................................................... 10 2.5 Struktur Ekosistem Padang Lamun ....................................................... 11 2.6 Kelas Moluska ....................................................................................... 12
2.7.1 Biologi Moluska ........................................................................... 12 2.7.2 Kelas dan Ciri-ciri Moluska .......................................................... 13
2.7 Komunitas Gastropoda .......................................................................... 17 2.8 Asosiasi Gastropda Dengan Lamun ...................................................... 18 2.9 Adaptasi Terhadap Lingkungan ............................................................. 19 2.10 Manfaat Gastropoda ............................................................................ 20 2.11.Parameter Kualitas Air......................................................................... 21
2.11.1 Substrat Dasar .......................................................................... 21 2.11.2 Kekeruhan ................................................................................. 21 2.11.3 Suhu .......................................................................................... 21 2.11.4 Ph .............................................................................................. 22 2.11.5 Salinitas ..................................................................................... 22 2.11.6 Oksigen Terlarut (DO) ............................................................... 23
3. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1 Materi Penelitian ................................................................................... 24 3.2 Alat dan Bahan ...................................................................................... 24 3.3 Metode Penelitian.................................................................................. 24
3.3.1 Data Primer ................................................................................. 25 3.3.2 Data Sekunder ............................................................................ 25
3.4 Pengambilan Data Sampel .................................................................... 25 3.4.1 Pengambilan Sampel gastropoda ................................................ 25 3.4.2 Pengambilan Sampel Sedimen .................................................... 28
3.5 Prosedur Analisis Kualitas Air ............................................................... 28 3.5.1 Suhu ............................................................................................ 28 3.5.2 Salinitas ....................................................................................... 29 3.5.3 pH ............................................................................................... 29
k
3.5.4 Kekeruhan ................................................................................... 29 3.5.5 Oksigen Terlarut (DO) ................................................................. 30
3.6 Kualitas Tanah ...................................................................................... 30 3.6.1 Bahan Organik Tanah ................................................................. 30 3.6.2 Tekstur Tanah ............................................................................. 31
3.7 Perhitungan Indeks Biologi .................................................................... 31 3.7.1 Kelimpahan gastropoda ............................................................... 32 3.7.2 Indeks Kelimpahan Relatif ........................................................... 32 3.7.3 Indeks Keseragaman (E) ............................................................. 32
4.HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ......................................................... 33 4.2 Deskripsi stasiun Penelitian ................................................................... 34
4.2.1 Stasiun 1 ..................................................................................... 34 4.2.2 Stasiun 2 ..................................................................................... 35 4.2.3 Stasiun 3 ..................................................................................... 35
4.3 Gastropoda ........................................................................................... 36 4.3.1 Gastropoda Yang Ditemukan....................................................... 36 4.3.2 Indeks Kelimpahan ...................................................................... 42 4.3.3 Indeks Kelimpahan Relatif ........................................................... 44 4.3.4 Indeks Keseragaman ................................................................... 45 4.3.5 Spesies yang Mendominasi ......................................................... 46
4.4 Parameter Fisika dan Kimia .................................................................. 47 4.4.1 Suhu ............................................................................................ 47 4.4.2 Kekeruhan ................................................................................... 49 4.4.3 Derajad Keasaman (pH) .............................................................. 50 4.4.4 Salinitas ....................................................................................... 52 4.4.5 Oksigen Terlarut (DO) ................................................................. 53
4.5 Kualitas Tanah ...................................................................................... 54 4.5.1 Tekstur Tanah ............................................................................. 54 4.5.2 Bahan Organik Tanah ................................................................. 56
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 58 5.2 Saran .................................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 60
LAMPIRAN ...................................................................................................... 68
l
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Komposisi spesies gastropoda pada lokasi penelitian ............................ 41 2. Kelimpahan jenis gastropoda pada lokasi penelitian .............................. 43 3. Tipe Substrat Pada Lokasi Penelitian..................................................... 55
m
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Bagan alir permasalahan ............................................................................ 04 2. Morfologi umum lamun ............................................................................... 07 3. Enhalus acoroides ...................................................................................... 09 4. Cymodocea rotundata ................................................................................. 09 5. Thalassia hemprichii ................................................................................... 10 6. Morfologi luar tubuh “chiton” ....................................................................... 13 7. Morfologi tubuh scaphopoda ....................................................................... 14 8. Morfologi tubuh cephalopoda ...................................................................... 15 9. Morfologi Bivalvia ........................................................................................ 16 10. Struktur dan karakter tipikal cangkang gastropoda ................................... 17 11. Penentuan Lokasi Penelitian di Pantai Paciran ......................................... 26 12. Penempatan transek ................................................................................. 27 13. Tipe substrat berdasarkan segitiga millar .................................................. 31 14. Stasiun 1 ................................................................................................... 34 15. Stasiun 2 ................................................................................................... 35 16. Stasiun 3 ................................................................................................... 36 17. Diagram Indeks kelimpahan relatif ........................................................... 44 18. Grafik Indeks Keseragaman ...................................................................... 46 19. Grafik Suhu Rata-rata Pada Setiap Stasiun .............................................. 48 20. Grafik kekeruhan Pada Setiap Stasiun ..................................................... 49 21. Grafik pH Rata-rata Pada Setiap Stasiun .................................................. 51 22. Grafik Salinitas Rata-rata Pada setiap Stasiun .......................................... 52 23. Grafik Oksigen Terlarut Pada Setian Stasiun ............................................ 53
n
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Fungsi Alat dan Bahan .............................................................................. 69 2. Hasil Pengukuran Kualitas Air ................................................................... 70 3. Hasil Analisa Sampel Air ........................................................................... 71 4. Hasil Analisa Sampel Tanah ..................................................................... 72 5. Hasil Identifikasi Moluska .......................................................................... 73 6. Perhitungan kelimpahan relatif .................................................................. 75 7. Data hasil perhitungan Kelimpahan Relatif ............................................... 77 8. Perhitungan keseragaman ........................................................................ 78 9. Data hasil perhitungan Indeks Keseragaman (E) ...................................... 79 10. Dokumentasi Penelitian .......................................................................... 80
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lamun adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya
meyesuaikan diri untuk hidup terbenam di dalam air laut. Lamun hidup di
perairan dangkal yang agak berpasir dan sering pula dijumpai pada terumbu
karang. Kadang-kadang lamun membentuk komunitas yang lebat hingga
merupakan padang lamun (seagrass bed) yang cukup luas (Nontji, 1987).
Menurut Kiswara (2010), luas padang lamun di Indonesia diperkirakan
sekitar 30.000 km2 yang dihuni oleh 16 spesies lamun, 2 famili dan 12 genus dari
55 spesies yang terdapat di dunia. Lebih dari 55% produksi perikanan berasal
dari wilayah pesisir, terutama dari ekosistem yang sangat subur seperti terumbu
karang (coral reefs), hutan bakau (mangrove), padang lamun (seagrass beds),
laguna, dan estuari. Potensi lain yang tidak kalah pentingnya adalah jasa
transportasi laut, industri maritim, wisata bahari, industri alternatif, dan obat–
obatan.
Diantara semua sumberdaya laut yang potensinya cukup baik untuk di
manfaatkan adalah lamun, karena lamun mempunyai tingkat produktivitas primer
yang tinggi dibandingkan mangrove dan terumbu karang. Menurut Nybakken
(1988), biomassa padang lamun secara kasar berjumlah 700 gbk/m2, sedangkan
produktifitasnya adalah 700 gC/m2/hari. Oleh karenanya padang lamun
merupakan lingkungan laut dengan produktivitas tinggi.
Tingginya produktivitas primer pada padang lamun maka banyak juga
biota laut yang hidup kawasan ini baik itu untuk tempat berlindung atau untuk
mencari makanan salah satunya yaitu organisme gastropoda. Menurut Fitriyani
et al. (2013), gastropoda adalah hewan bertubuh lunak dan tidak bersegmen,
2
dilindungi cangkang yang mengandung kalsium, pada umumnya menjalani hidup
menetap dan sebagian besar hidup di laut. Gastropoda dalam ekosistem
mempunyai peran yang penting baik dari segi ekologi terutama berperan di
dalam siklus rantai makanan, sebagai bioindikator lingkungan, dan mempunyai
nilai ekonomis. Menurut Hitalessy (2015) dalam Indrawan et al. (2016), kelas
Gastropoda merupakan makrozoobentos epifauna yang memanfaatkan lamun
secara langsung sebagai tempat berlindung dari kecepatan arus yang kuat dan
predator.
Padang lamun mempunyai peran penting bagi ekosistem laut khusunya
pada laut dangkal. Pentingnya peran padang lamun di ekosistem laut dangkal
tidak menjamin ekosistem ini tetap terjaga, diperkirakan kerusakan padang
lamun di Indonesia telah mencapai 30–40%. Sekitar 60% padang lamun di
perairan pesisir Pulau Jawa telah mengalami gangguan berupa kerusakan dan
pengurangan luas yang diduga akibat pengaruh aktivitas manusia (Fortes, 1994
dalam Nontji, 2009). Salah satunya yaitu di pesisir pantai Paciran Lamongan
Jawa Timur.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Solihat (2017), nilai rata-rata
persentase penutupan lamun jenis Enhalus acoroides yaitu 35,1% dimana nilai
tersebut tergolong kurang kaya/kurang sehat. Nilai rata-rata persentase
penutupan lamun jenis Cymodocea rotundata yaitu 36,2% dimana nilai tersebut
juga tergolong kurang kaya/kurang sehat. Sedangkan nilai rata-rata persentase
penutupan lamun jenis Thalassia hemprichii yaitu 28,6% dimana nilai tersebut
tergolong dalam kategori yang miskin. Berdasarkan hasil tersebut, dapat
dikatakan bahwa sumberdaya lamun di pesisir Banjarwati kurang baik.
Keadaan tersebut disebabkan banyaknya aktivitas manusia di sekitar
pantai Paciran, karena Pantai Paciran sendiri terletak diantara 2 pelabuhan
perikanan yaitu Pelambuhan Brondong dan Pelabuhan Pasar Kranji. Letak pantai
3
yang strategis dapat mempengaruhi kondisi perairan seperti pengecatan kapal,
pembuangan limbah kapal, bongkar muat kapal dan lain-lain. Kondisi perairan
yang tercemar akan berdampak pada kerusakan pada ekosistem padang lamun
di pantai Paciran. Rusaknya ekosistem padang lamun maka juga berdampak
pada keanekaragaman organisme yang hidup di kawasan padang lamun.
Keberadaan organisme gastropda di kawasan perairan pantai Paciran
Lamongan Jawa Timur saat ini belum terdapat data informasi terbaru yang
berkaitan dengan keberadaan organisme gastropoda yang ada di padang lamun
di pantai Paciran. Selain itu organisme gastropoda memiliki habitat hidup relatif
menetap, pergerakan terbatas, hidup didalam dan didasar perairan sangat baik
digunakan sebagai indikator biologis suatu perairan. Sehingga ini sangat penting
untuk diketahui data distribusi dan biogeografi organisme gastropoda di pantai
Paciran. Diharapkan dari data penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi
dan data evaluasi bagi pihak pengelola atau masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Kondisi lingkungan perairan baik dari dalam maupun dari luar perairan itu
sendiri dapat berpengaruhi terhadap habitat dan kelangsungan hidup organisme
perairan salah satunya organisme gastropoda yang selanjutnya juga akan
mempengaruhi struktur komunitas gastropoda, sehingga kebutuhan untuk
mengkaji komunitas gastropoda pada ekosistem lamun di pantai Paciran amatlah
sangat penting dilakukan untuk mendapatkan keterkaitan, khususnya antara
organisme gastropoda dengan habitatnya.
Selain itu penambahan parameter fisika dan kimia juga ikut
mempengaruhi terjadinya populasi organisme gastropoda dan perubahan
perubahan struktur komunitasnya. Permasalahanya adalah bagaimana keadaan
kualitas air khususnya parameter fisika dan kimia di Pantai Paciran, kemudian
4
struktur komunitas gastropoda apa saja yang ada di Pantai Paciran Lamongan,
Jawa Timur.
Gambar 1. Bagan alir permasalahan
Keterangan:
A. Aktivitas manusia yang terdapat di pantai Paciran seperti pelayaran, bongkar
muat kapal, limbah rumah tangga, dan hatchery dan lain-lain dapat
mempengaruhi lingkungan perairan seperti kondisi kualitas air baik itu fisika
atau kimia.
B. Pengaruh terhadap kodisi kualitas air meliputi perubahan fisika (suhu dan
salinitas) dan perubahan kimia (pH dan oksigen terlarut) secara langsung
dapat mempengaruhi struktur komunitas gastropda.
C. Keberadaan komunitas gastropoda di kawasan pesisir desa Banjarwati
dapat di jadikan pedoman dalam pengelolaan ekosistem pesisir dan juga
sebagai evaluasi kegiatan masyarakat yang dapat merugikan ekosistem dari
gastropoda itu sendiri.
Aktivitas
masyarakat di
pantai Paciran
(pelayaran
atau
penangkapan
ikan, bongkar
muat kapal,
pelabuhan
,pengecetan
kapal, dan lain-
lain).
Lingkungan perairan
(Kualitas air; fisika
dan kimia).
Struktur
komunitas
gastropoda
A B
C
5
1.3 Tujuan
Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan kondisi parameter fisika dan kimia perairan Pantai Paciran,
Lamogan.
2. Menganalisis struktur komunitas gastropda, indeks keseragaman dan
spesies yang mendominasi.
1.4 Kegunaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi
tentang komunitas gastropoda untuk kepentingan ilmu pengetahuan serta
masukan bagi pemerintah daerah untuk mengelola wilayah pesisir berwawasan
lingkungan dan berkelanjutan.
1.5 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2017 bertempat di
Pantai Paciran desa Banjarwati, Lamongan, Jawa Timur. Analisis kualitas air
dilakukan di laboratorium Pengujian dan Kalibrasi Baristand Industri, Surabaya.
Sedangkan analisis bahan organik tanah dan tekstur tanah dilakukan di
laboratorium UPT Pengembangan Agribisnis Tanaman Pangan dan Holtikultura
Bedali, Lawang.
6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Padang Lamun
Padang lamun (seagrass bed) adalah tumbuhan berbunga
(angiospermae) yang tumbuh berkembang baik di lingkungan perairan laut
dangkal perairan tropis dan ugahari, yang dapat membentuk kelompok–
kelompok kecil sampai berupa padang yang sangat luas. Padang lamun dapat
berbentuk vegetasi tunggal yang disusun oleh satu jenis lamun atau vegetasi
campuran yang disusun mulia dari 2–12 jenis lamun yang tumbuh (Kiswara,
1999).
Menurut Romimohtarto dan Juwana (2001), lamun (seagrass) adalah
satu-satunya tumbuh-tumbuhan berbunga yang terdapat di lingkungan laut.
Seperti halnya rumput di darat, mereka mempunyai tunas berdaun yang tegak
dan tangkai-tangkai yang merayap efektif untuk berkembangbiak dan
mempunyai akar dan sistem internal untuk mengangkut gas dan zat-zat hara.
Padang lamun merupakan ekosistem perairan dangkal yang kompleks,
memiliki produktivitas hayati yang tinggi. Oleh karena itu padang lamun
merupakan sumberdaya laut yang penting baik secara ekologis maupun secara
ekonomis (Rashed et al., 1994).
2.2 Morfologi Lamun
Berbeda dengan rumput laut (seaweeds), lamun memiliki akar sejati,
daun dan pembuluh internal yang merupakan sistem yang menyalurkan nutrien,
air dan gas (Kawaroe, 2009). Lamun memiliki bentuk tanaman yang sama seperti
halnya rumput di daratan, yang mempunyai bagian-bagian tanaman seperti
rimpang yang menjalar, tunas tegak, seludang/pelepah daun, helaian daun,
7
bunga dan buah. Lamun memiliki perbedaan yang sangat nyata dalam struktur
akarnya, yang sering dipakai dalam pembeda jenis (Kiswara 2004).
Lamun ada yang memiliki daun tunggal atau daun majemuk. Daun lamun
memiliki kutikula tipis yang tidak berstomata. Epidermis daun memiliki dinding
luar yang menempel tetapi tidak erlignin dan mengandung banyak khloroplas
sehingga menjadi tempat utama berlangsungnya fotosintesis. Pada sebagian
jenis lamun memiliki khlorenkim tanpa tannin seperti pada Enhalus dan
Thalassodendron sedangkan epidermis pada tanaman yang lain memiliki
khlorenkim dan tannin seperti pada Syringodium, Halodule, Cymodocea,
Thalassia dan Halophyla. Sel-sel mesofil berdinding tipis memiliki vakuola dan
hanya sedikit memiliki kloroplast. Di dalam lapisan mesofil terdapat ruang udara
atau lacuna untuk melepaskan sebagian oksigen hasil fotosintesis (Tomascik et
al., 1997).
Gambar 2. Morfologi umum lamun (Mckenzie dan Yoshida, 2009)
Tubuh lamun terdiri atas akar, batang dan daun, menghasilkan bunga,
buah dan biji. Akar muncul dengan berbagai adaptasi khusus untuk menghadapi
lingkungan perairan antara lain adanya aerenkim dan sel epidermis tipis yang
tidak berlignin. Stele pada akar semua jenis lamun dikelilingi oleh endodermis
floem berkembang baik tetapi xilem kurang berkembang (Lanyon, 1986).
8
2.3 jenis dan ciri-ciri lamun
Perairan Asia Tenggara memiliki lamun yang relatif beragam terdiri atas
16 jenis dan 7 marga. Perairan Indonesia dipastikan memiliki 12 dari 16 jenis itu.
3 dari 12 jenis menyebar di wilayah timur Indonesia, Halophyla spinulosa hanya
tercatat di kepulauan Riau, Anyer, Baluran Utara, dan Irian jaya, dan H. decipiens
hanya tercatat di Teluk Jakarta, Teluk Moti (Sumbawa) dan kepulauan aru. Jenis-
jenis lamun yang memiliki sebaran terluas adalah Thalassia hempricii dan
Enhalus acoroides (Tomascik et al., 1997).
Menurut Den Hartog (1970) dan Menez et al. (1983) dalam Wirawan,
(2014) menuliskan klasifikasi lamun sebagai berikut
Devisi : Anthophyta Subkelas: Monocotyledoneae Ordo: Helobiae Famili: Hydrocharitaceae Genus: Enhalus Spesies: Enhalus acoroides Genus: Halophila Spesies: Halophila decipiens
Halophila ovalis Halophila spinulosa
Halophila minor Genus: Thalassia Spesies: Thalassia hemprichii Famili: Potamogetonaceae Genus: Cymodocea Spesies: Cymodocea rotundata Cymodocea serrulata Genus: Halodule Spesies: Halodule pinifolia Halodule uninervis Genus: Syringodium Spesies: Syringodium isoetifilium Genus: Thalasodendron Spesies: Thallasodendron ciliatum
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Solihat (2017), ada tiga
spesies tanaman lamun yang ditemukan pada pesisir Banjarwati Paciran
Lamongan, Jawa Timur yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata dan
Thalassia hemprichii.
9
1. Enhalus acoroides
Menurut Waycott et al., (2004) dalam Gosari dan Abdul, (2012),
menyatakan morfologi Enhalus acoroides berupa tumbuhan tegap dengan daun
yang panjang, permukaan bagian atas yang halus dan bagian bawah bertulang
ramping. Struktur bunga yang besar muncul dari pangkal daun. Hal ini
mendukung kemampuan Enhalus acoroides untuk bertahan hidup.
Gambar 3. Enhalus acoroides (Kurnia et al., 2015).
2. Cymodocea rotundata
Ciri-ciri morfologi dari Cymodocea rotundata adalah memiliki tepi daun
halus atau licin, tidak bergerigi, tulang daun sejajar, akar pada tiap nodusnya
terdiri dari 2-3 helai, akar tidak bercabang, dan tidak mempunyai rambut akar.
Selain itu tiap nodusnya hanya terdapat satu tegakan (Nybakken, 1998, dalam
Wirawan, 2014).
Gambar 4. Cymodocea rotundata (Kurnia et al., 2015).
10
3. Thalassia hemprichii
Thalassia hemprichii memiliki daun tunggal yang tidak lengkap;
tersusun atas vagina (pelepah daun) dan lamina (helaian daun), tidak
memiliki tangkai daun. Bangun daunnya memanjang menyerupai pita dan
sering melengkung ke samping. Panjang daun 8 –11 cm dan lebar daun ±0,6
cm. Tidak terdapat ligula pada pertemuan antara helai dan pelepah daun.
Ujung daun umumnya membundar, di dalam daun terdapat 10–14 vena yang
membujur (Supriati, 2009).
Gambar 5. Thalassia hemprichii (Kurnia et al., 2015).
2.4 Ekosistem Padang Lamun
Ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai
kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta Saling
berinteraksi antara habitat lain. Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau
lebih system lingkungan (ekosistem) dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir
dapat bersifat alami ataupun buatan (man-made). Ekosistem alami yang terdapat
di wilayah pesisir antara lain: terumbu karang (Coral reefs), hutan mangrove,
padang lamun, pantai berpasir (Sandy beach) dan estuary (Rasyid, 2001).
11
Ekosistem padang lamun merupakan habitat (tempat hidup) berbagai
biota bernilai ekonomi tinggi, seperti ikan, tripang, kima, siput, dan sebagainya.
Sebagai habitat biota laut, kawasan ini merupakan salah satu sumber pangan
dan obat-obatan penting bagi kehidupan umat manusia. Padang lamun juga
merupakan tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground),
tempat mencari makan (feeding ground), dan daerah pembesaran (rearing
ground) bagi berbagai biota (Kordi, 2011).
Peran lain – lain adalah menjadi benteng pertahanan (barier) ekosistem
terumbu karang dari ancaman pendangkalan (sedimentasi) yang berasal dari
daratan. Walaupun demikian, padang lamun merupakan ekosistem yang rentan.
Berbagai aktivitas manusia dan industri memberikan dampak negatif terhadap
ekosistem padang lamun baik secara langsung maupun tidak, seperti
pembersihan atau pemanenan lamun yang dilakukan untuk tujuan tertentu,
masuknya sedimen atau limbah dari daratan, dan pencemaran minyak.
Kerusakan juga dapat ditimbulkan oleh baling-baling perahu atau jangkar kapal,
hal ini merupakan penyebab yang sangat umum dijumpai di berbagai pantai
(Regebregt, 2015).
2.5 Struktur Ekosistem Padang Lamun
Lamun memiliki fungsi yang sangat penting bagi ekologi laut terluar yang
dekat garis pantai. Lamun juga berfungsi sebagai produsen utama, tempat
tinggal dan penyedia makanan bagi kelompok ikan, penyu serta inverterbrata.
Selain itu, lamun juga memiliki beberapa fungsi lainya itu sebagai area pemijahan
dan habitat epifit bagi ketiga hewan tersebut (Helgmeier dan Zidorn 2010).
Menurut (Rugebergt, 2015), padang lamun merupakan tempat
pertumbuhan bagi ikan-ikan komersial, seperti udang (Penaeus sp.), beberapa
jenis kerang yang harganya mahal seperti lola (Trocus niloticus) dan batu laga
12
(Turbomo muratus), serta ikan baronang (Siganus sp.). Jenis-jenis hewan
vetebrata besar seperti penyu hijau (Chelonia mydas) dan dugong (Dugong
dugon) juga memanfaatkan lamun sebagai bahan makanannya.
Komunitas lamun yang nampaknya seragam dengan satu atau dua jenis
spesies dominan, pada kenyataannya merupakan ekosistem dengan komunitas
yang komplek, karena terdiri dari berbagai jenis organisme epifit, epizoik,
makrozoobentos, epifauna, infauna, larva udang yang saling berasosiasi satu
dengan lainnya. Sebagai sumber makanan utama bagi hewan makrozoobentos
(bivalve), epifauna, infauna dan berbagai jenis ikan demersal, mikrofitobentos
memainkan peranan yang sangat penting dan berarti dalam ekosistem padang
lamun (Barranguet et al., 1997).
2.6 Kelas Moluska
2.6.1 Biologi Moluska
Komunitas makrozoobentik laut umumnya terdiri atas empat kelompok
utama yakni Mollusca, Annelida (Polychaeta), Crustacea dan Echinodermata dan
kelompok lain yang terdiri atas berbagai filum kecil lainnya seperti Sipunculida,
Cnidaria dan Nemertea (Lumingas, 1990).
Moluska berasal dari bahasa Romawi yaitu molis yang berarti lunak.
Moluska merupakan binatang yang berdaging dan tidak bertulang, ada yang
dilindungi cangkang dan ada pula yang tidak dilindungi cangkang. Bentuk
cangkang bermacam-macam, ada yang bercangkang tunggal (Gastropoda),
bercangkang berganda (Bivalvia), berbentuk tanduk (Scaphoda), berlapis-lapis
seperti susunan genting (Polyplacophora) dan yang bercangkang di dalam tubuh,
misalnya Loligo sp. (Dharma, 1988).
Menurut Sulistijo et al. (1980) dalam Yuniati (2012), di Indonesia sendiri
terdapat 3400 jenis moluska dan diperkirakan lebih dari 20 jenis bernilai
ekonomis, dan diantaranya telah dapat di budidayakan yang sebagian besar
13
masuk kedalam jenis bivalvia. Berdasarkan dari bidang simetri, kaki, cangkok,
mantel, insang dan system syaraf mollusca dibagi menjadi 5 kelas, yaitu
Amphineura, Scaphopoda, Cephalopoda, pelecyphoda, dan Gastropoda
(Rusyana, 2011).
2.6.2 Kelas dan Ciri-ciri Moluska
a. Kelas Amphineura
Chiton termasuk salah satu anggota moluska yang dianggap primitif.
Umumnya oval dan memipih. Bagian tengah tubuh sebelah atas ditutupi oleh 8
buah lempengan plat yang keras (mirip cangkang kura-kura), tersusun logitudinal
secara tumpang tindih. Mulut terletak di ujung anterior pada tubuh bagian bawah,
sedangkan anusnya terletak di bagian posterior. Kepala tidak jelas terlihat
letaknya karena tertutup oleh cangkang. Dibagian ventral terdapat otot
memanjang yang berfungsi sebagai kaki. Panjang tubuh chiton bervariasi antara
3 mm sampai 300 mm. Misalnya Lepodipleurus intermedius memiliki tubuh
sepanjang 4 mm–5 mm (Yonge & Thompson, 1976). Morfologi chiton dapat
dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Morfologi luar tubuh “chiton” (WEEB et al., 1978).
b. Kelas Scaphopoda
DORSAL
14
Meskipun tidak jarang didapat, mereka tidak dikenal oleh sebagian
masyarakat. Biasanya berukuran kecil, hidupnya dalam pasir atau berlumpur,
terpendam dibawah permukaan dan umumnya disebut keong gigi. Bentuk
cangkangnya seperti gigi ular yang tipis dan panjang. Cangkangnya bianya
meruncing dan ujung depan sedikit melengkung ke belakang. Sehingga disebut
cangkang gasing (tusk shell) yang bagian dalamnya berongga. Dibagian kedua
ujungnya terbuka, dimana salah satunya memiliki ukuran yang lebih besar dari
yang lainnya. Hewan ini masuk dalam hewan yang primitif karena tidak memliki
jantung, insang, mata dan tentakel. Namun memiliki cangkang, radula dan
mantel sebagai pembentukan cangkang (Romimohtarto dan juwana, 2001).
Morfologi tubuh scaphopoda dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Morfologi tubuh scaphopoda (Google image, 2007).
c. Kelas Cephalopoda
Kata Cephalopoda, dalam bahasa Latin terdiri dari dua kata chepale:
kepala, dan podos: kaki, yang artinya berkaki di kepala. Kelas Chepalopoda ini
dibagi dalam empat golongan besar yaitu cumi-cumi, sotong, gurita, dan suen
chiu (argonauta). Cumi-cumi memiliki 10 tentakel yang terdiri dari 2 tentakel
panjang dan 8 tentakel yang lebih pendek (Nontji, 2000 dalam Maryam et al.,
2012).
15
Kelas Cephalopoda adalah kelompok tertinggi tingkat evolusinya di antara
Phylum Mollusca. Tubuh simetri bilateral, dan sistem saraf yang berkembang
baik terpusatkan di kepala. Mereka mempunyai pandangan mata yang sangat
bagus, berenang dengan cepat, menunjukkan emosi, berubah warna dengan
cepat menggunakan kromatofor, dan dapat merayap di dasar atau berenang
atau didasar perairan (Maryam et al., 2012). Morfologi tubuh cephalopoda dapat
dilihat pada gambar 8.
Gambar 8. Morfologi tubuh cephalopoda (Maryam et al., 2012).
Keterangan gambar : 1. Lengan / jari-jari kiri IV pada hectocotylize
2. Kelompok tentakel
3. Cincin pengisap pada lengan/jari-jari III
4. Cincin pengisap pada kelompok tentakel
5. Batok sotong (pens)
6. Bentuk punggung sotong jenis Sepioteuthis lessoniana
d. Pelecyphoda atau bivalvia
Kerang-kerangan termasuk kelas bivalvia, yang secara khas memiliki dua
bagian cangkang, yang keduanya kurang lebih simetris. Kelas ini dalam
perkembangannya dilaporkan memiliki 30.000 jenis. Kerang dikenal juga sebagai
umbo, dapat dikenali sebagai punuk besar pada bagian anterior dan dorsal
16
masing-masing cangkang kerang. Kedua bagian cangkang kerang dihubungkan
dibagian dorsal dengan suatu ligamentum yang terdiri atas tensilium dan
resilium. Keduanya bekerjasama dalam proses membuka dan menutupnya
kedua sisi kerang (Kellog dan Fautin, 2004). Morfologi Bivalvia dapat dilihat pada
Gambar 9.
Gambar 9. Morfologi bivalvia (Franc, 1960).
e. Kelas Gastropoda
Gastropoda merupakan anggota moluska yang sebagian besar
bercangkang. Cangkang berasal dari materi organik dan inorganic, didominasi
oleh kalsium karbonat (CaCO3). Cangkang bersifat terpilin secara spiral
(memutar ke kiri ataupun ke kanan), dan dapat digunakan untuk menentukan
identitas sampai pada level klasifikasi tertentu (Dharma, 1998).
Secara tipikal cangkang gastropoda mempunyai bentuk umum spiral
piramid. Strukutr piramid tersebut mempunyai badan utama yang dikenal sebagai
body whorl, dan spiral lanjutan menuju apeks (apex), dikenal sebagai whorl unit.
Gais spiral menuju apeks dikenal sebagai spire. Pada cangkang terdapat ruang
berisi individu yang bermuara melalui aperlure. Aperture tersebut pada beberapa
jenis tertentu tertutup oleh pelindung operculum. Pada aperture terdapat struktur
17
saluran yang dikenal sebagai siphonal canal. Pada irisan membujur cangkang,
terlihat sumbu utama yang dikenal sebagai collumella, struktur tersebut berfungsi
sebagai tempat tubuh lunak memilin (Pechenik, 1991). Adapun skematis struktur
tipikal gastropoda dan karakternya disajikan Gambar 10.
Gambar 10. Struktur dan karakter tipikal cangkang gastropoda (Pechenik, 1991).
2.7 Komunitas Gastropoda
Kelas Gastropoda merupakan kelas terbesar dari Filum Mollusca.
Setidaknya dari 80.000 jenis dari anggota kelas Gastropoda, sekitar 1500 jenis
diantaranya terdapat di Indonesia dan sekitarnya (Nontji, 2002). Gastropoda
merupakan kelas yang mempunyai anggota terbanyak dan merupakan kelas
yang paling sukses karena menguasai berbagai habitat yang bervariasi (Barnes,
1987).
Menurut Syari (2005), Gastropoda, Bivalvia dan Cephalopoda merupakan
kelas moluska yang dominan. Gastropoda merupakan kelompok yang paling
beragam dan spesiesnya diperkirakan mencapai 74.000 spesies, diikuti oleh
Bivalvia sekitar 31.000 spesies dan Cephalopoda sekitar 550 spesies. Pada
umumnya Gastropoda hidup di laut, meskipun banyak juga yang ditemukan di
perairan tawar dan di daratan.
18
Gastropoda merupakan kelas yang terpenting dari fulum moluska, karena
sebagian diantaranya merupakan sumber protein dan bernilai ekonomis tinggi.
Kelas gastropoda terdiri dari tiga sub kelas yaitu sub kelas prosobranchs,
opistobranchs dan pulmonates. Sub kelas prosobranchs dikelompokkan menjadi
tiga ordo yakni Archeogastropoda, Mesogastropoda dan Neogastropoda (Robert
et al., 1982). Kelompok Archeogastropoda memiliki bepictinate (terdiri atas dua
baris insang) dan terbanyak adalah kelompok limpet laut, cangkang kerucut dan
nerites dan biasanya pemakan lapisan alga. Mesogastropoda yang memiliki juga
dua baris insang, terbanyak adlah siput pemangsa (Littorine dan strombus) dan
pemakan deposit (deposite feeder). Neogastropoda adalah kelompok spesialis
pemangsa antara lain kelompok Muricidae, Buccinidae, Neticidae, Turridae dan
Conidae (cone shell) (Hadijah, 2000).
2.8 Asosiasi Gastropoda Dengan Lamun
Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya,
dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Pada ekosistem ini hidup
beraneka ragam biota laut seperti ikan, Krustasea, Moluska (Pinna sp.,
Lambissp., dan Strombus sp.), Echinodermata (Holothuria sp., Synapta sp.,
Diadema sp.,Arcbaster sp., Linckia sp.) dan cacing ( Polichaeta) (Bengen, 2001).
Kelompok Makrofauna yang dominan diperairan pesisir meliputi empat
kelompok taksonomi yaitu filum annelida, filum molluska dan filum
echinodermata. Kelompok organisme Makrofauna sering digunakan sebagai
indikator suatu perairan. Hal ini disebabkan oleh karena organisme tersebut tidak
memiliki kemampuan bermigrasi bila kondisi perairan berubah dan mudah
tertangkap yang selanjutnya dapat dipisahkan dalam beberapa kelompok
(Hawkes, 1997).
19
Menurut Hitalessy et al. (2015), salah satu kelompok fauna yang
umumnya ditemukan di perairan pesisir khususnya di daerah padang lamun dan
hidup berasosiasi adalah gastropoda, baik yang hidup sebagai epifauna
(merayap dipermukaan) maupun infauna (membenamkan diri di dalam sedimen).
Dalam rantai makanan, gastropoda epifauna merupakan komponen yang
memanfaatkan biomassa epifit di daun lamun. Sedangkan gastropoda infauna
menjadi komponen yang memanfaatkan serasah di permukaan sedimen.
Beberapa jenis Moluska menggunakan daun lamun sebagai tempat untuk
menaruh telur. Selain itu, bahan organik berupa destritus pada kawasan padang
lamun, menjadi sumber makanan utama bagi oganisme destritus feeder seperti
Gastropoda (Syari, 2005). Menurut Kusnadi et al.(2009), gastropoda merupakan
salah satu fauna laut dari kelas moluska yang berasosiasi dengan padang
lamun, karena secara ekologi gastropoda menjadi komponen penting
dalamrantai makanan di padang lamun yang hidupnya infaunadiatas substrat
sedimen maupun menempel pada daun lamun.
2.9 Adaptasi Terhadap Lingkungan
Keanekaragaman hayati merupakan sumberdaya alam yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan hidup manusia. Keanekaragaman hayati
juga menjadi penentu kestabilan ekosistem. Organisme, populasi, komunitas dan
ekosistem merupakan sebagian dari tingkatan organisasi makhluk hidup,
sehingga jenis dan sifat organisme, populasi dan komunitas akan mempengaruhi
tipe dan karakteristik suatu ekosistem hutan (Indriyanto, 2005).
Moluska termasuk hewan yang sangat berhasil menyesuaikan diri untuk
hidup di beberapa tempat dan cuaca. Ada yang hidup di hutan bakau, di laut
yang sangat dalam, menempel pada substrat karang, di atas pasir,
membenamkan dirinya dalam pasir, di atas tanah berlumpur dan ada yang hidup
20
di darat (Dharma, 1988). Gastropoda merupakan salah satu moluska yang
banyak ditemukan di berbagai substrat, hal ini diduga karena Gastropoda
memiliki kemampuan adaptasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas yang
lain baik di substrat yang keras maupun lunak (Turra and Denadai, 2006).
Bivalvia, Geloina erosa dan G. expansa, kadang-kadang mengeluarkan
lembaran organik tipis di bagian dalam cangkang. Pembentukan lembaran
merupakan respon terhadap kerusakan cangkang di lingkungan mangrove yang
asam, lembaran organik hanya terdapat pada spesimen-spesimen yang sudah
mengalami kerusakan cangkang yang luas (Isaji, 1993, 1995).
2.10 Manfaat Gastropoda
Keanekaragaman hayati baik langsung atau tidak, berperan dalam
kehidupan manusia baik dalam bentuk sandang, pangan, papan, obat-obatan,
wahana wisata dan pengembangan ilmu pengetahuan. Peran tak kalah penting
lagi adalah dalam mengatur proses ekologi sistem penyangga kehidupan
termasuk penghasil oksigen, pencegahan pencemaran udara dan air, mencegah
banjir dan longsor, penunjang keseimbangan hubungan mangsa dan pemangsa
dalam bentuk pengendalian hama alami (Utomo, 2006).
Moluska memiliki kemampuan beradaptasi yang cukup tinggi pada
berbagai habitat, dapat mengakumulasi logam berat tanpa mengalami kematian
dan berperan sebagai indikator lingkungan (Cappenberg et al .,2006). Moluska
memiliki beberapa manfaat bagi manusia diantaranya sebagai sumber protein,
bahan pakan ternak, bahan industri, dan perhiasan bahan pupuk serta untuk
obat-obatan (Dibyowati, 2009).
2.11 Parameter Kualitas Air
Kehidupan Mollusca bentik secara umum dipengaruhi oleh kualitas
perairannya, antara lain jenis substrat tempat hidup, kekeruhan, pH, suhu,
21
salinitas, kandungan oksigen terlarut dan polutan (Norse & Crowder 2005;
Nybakken, 1992).
2.11.1 Substrat Dasar
MenurutNybakken (1988), substrat dasar merupakan salah satu faktor
ekologis utama yang mempengaruhi struktur komunitas makrobenthos.
Penyebaran makrobenthos dapat dengan jelas berkorelasi dengan tipe substrat.
Makrobenthos yang mempunyai sifat penggali pemakan deposit cenderung
melimpah pada sedimen lumpur dan sedimen lunak yang merupakan daerah
yang mengandung bahan organik yang tinggi.
2.11.2 Kekeruhan
Menurut EPA (1999), kekeruhan secara umum mengganggu biota
dikarenakan akan menghalangi masuknya sinar matahari bagi kebutuhan
fotosistesis fitoplankton, menurunkan kesediaan oksgen terlarut, memicu
sedimentasi penyebab pendangkalan, mengganggu pandangan visual hewan,
mempengaruhi perilaku dan sistem makan (termasuk interaksi biota) dan
pernafasan hewan. Disamping itu juga menyebabkan merebaknya patogen dan
predator. Pada kondisi kekeruhan yang tinggi, maka pengaruh di atas akan
semakin nyata yaitu menimbulkan gangguan-gangguan; antara lain penurunan
kualitas air, penyumbatan insang, penimbunan telur dan larva, dan kematian
karena sebab primer ataupun sekunder (EPA, 1999; Hargreaves, 1999).
2.11.3 Suhu
Perubahan suhu akan berpengaruh terhadap pola kehidupan organisme
perairan. Pengaruh suhu yang utama adalah mengontrol penyebaran hewan dan
tumbuhan. Suhu juga memberi pengaruh langsung terhadap aktivitas organisme
seperti pertumbuhan maupun metabolismenya, bahkan dapat menyebabkan
kematian organisme (Odum 1993).
22
Hutabarat dan Evans (1985) menjelaskan tentang daerah intertidal yang
sangat berbahaya karena suhunya yang tinggi akibat pemanasan dari sinar
matahari. Hal ini yang paling sering adalah resiko kemungkinan besarnya
kehilangan air tubuh yang basah dan sifatnya cepat kehilangan air akibat
penguapan.
2.11.4 pH
Nilai derajat keasaman (pH) dapat mempengaruhi spesiasi senyawa
kimia dan toksisitas dari unsur-unsur renik yang terdapat di perairan, sebagai
contoh H2S yang bersifat toksik banyak ditemui diperairan tercemar dan perairan
dengan nilai pH rendah. Selain itu, pH juga mempengaruhi nilai Oksigen, fosfat,
nitrogen dan nutrien lainnya (Dojildo &Best, 1992).
Sebagian besar biota akuatik menyukai nilai pH berkisar antara 5,0-9,0
hal ini menunjukkan adanya kelimpahan dari organisme makrozoobenthos,
dimana sebagian besar organisme dasar perairan seperti polychaeta, moluska
dan bivalvia memiliki tingkat asosiasi terhadap derajat keasaman yang berbeda-
beda (Hawkes, 1978).
2.11.5 Salinitas
Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme benthos baik
secara horizontal, maupun vertikal. Secara tidak langsung mengakibatkan
adanya perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem. (Odum, 1983).
Menurut Marpaung (2013), Perubahan salinitas akan memengaruhi
keseimbangan di dalam tubuh organisme melalui perubahan berat jenis air dan
perubahan tekanan osmosis. Semakin tinggi salinitas, semakin besar tekanan
osmosisnya sehingga organisme harus memiliki kemampuan beradaptasi
terhadap perubahan salinitas sampai batas tertentu melalui mekanisme
osmoregulasi.
23
2.11.6 Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen adalah gas yang amat penting bagi hewan, perubahan
kandungan oksigen terlarut di lingkungan sangat berpengaruh terhadap hewan
air, salah satunya adalah organisme makrozoobenthos. Kebutuhan oksigen
bervariasi tergantung oleh jenis stadia dan aktivitasnya. Kandungan oksigen
terlarut mempengaruhi jumlah dan jenis makrozoobentos diperairan. Semakin
tinggi kadar oksigen maka jumlah bentos semakin besar (Syamsurizal, 2011).
24
3. MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian
Materi peneletian ini mengenai studi komunitas gastropoda di ekosistem
lamun, pantai Paciran Lamongan serta analisis kualitas air yaitu suhu,
kekeruhan, kecepatan arus, salinitas, pH, DO dan kualitas tanah yaitu bahan
organik tanah, tekstur tanah.
3.2 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
parameter fisika perairan, yaitu suhu. Parameter kimia perairan, yaitu oksigen
terlarut, salinitas, dan pH. Parameter fisika-kimia substrat yaitu tekstur tanah dan
bahan organik tanah. Sedangkan parameter biologi yaitu moluska. Alat-alat yang
digunakan beserta fungsinya dapat dilihat pada (Lampiran 1).
3.3 Metode Panelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan metode deskriptif. Menurut Surachmad (1975), metode deskriptif
tertuju pada pemecahan masalah yang ada di masa sekarang. Metode
penyelidikan deskriptif merupakan istilah umum yang mencakup berbagai teknik
deskriptif, diantaranya adalah penyelidikan yang menuturkan, menganalisa dan
mengklasifikasi. Pelaksanaan metode-metode deskriptif tidak hanya sampai pada
pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan interpretasi
tentang arti data itu. Oleh karena itu, dapat terjadi sebuah penyelidikan deskriptif
membandingkan persamaan dan perbedaan fenomena tertentu.
Kemudian untuk teknik pengambilan data meliputi data primer dan data
sekunder. Data dilakukan dengan cara observasi lapangan dan dokumentasi,
sedangkan data sekunder diperoleh dari studi literatur.
25
3.3.1 Data Primer
Data primer (primary data) yaitu data yang dikumpulkan sendiri oleh
perorangan/suatu organisasi secara langsung dari objek yang diteliti dan untuk
kepentingan studi yang bersangkutan yang dapat berupa interview, observasi
(Situmorang et al., 2010).
1. Observasi
Observasi yaitu pengumpulan data secara langsung dari objek penelitian
melalui pengamatan, dicatat dan direduksi kemudian disajikan secara sistematis
untuk menggambarkan objek yang diteliti yang terkait dengan masalah-masalah
dalam penelitian (Musfiqon, 2012).
2. Dokumentasi
Dokumentasi adalah cara pengumpulan data melalui pencatatan dan
menyelediki terhadap dokumen-dokumen yang sudah ada pada objek penelitian
yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang akan diteliti (Nawawi,
1996).
3.3.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh/dikumpulkan dan disatukan
oleh studi-studi sebelumnya atau yang diterbitkan oleh berbagai instansi lainnya
berupa literature serta referensi yang ada kesamaan dengan penelitian ini (Musa,
2013). Data sekunder dalam penelitian ini didapatkan dari pihak lembaga
maupun masyarakat yang terkait, laporan, jurnal, pustaka-pustaka, buku, skripsi
serta situs internet.
3.4 Pengambilan Data Sampel
3.4.1 Pengambilan Sampel Gastropoda
Penentuan lokasi dimulai dengan melakukan survei lapangan terlebih
dahulu di daerah pesisir Pantai Paciran Desa Banjarwati Lamongan, Jawa Timur
26
untuk mengetahui kondisi lokasi penelitian. Lokasi pengambilan sampel pada
pantai Paciran terdiri dari 3 stasiun. Menurut Hitalessy et al. (2015), agar
representatif dan mewakili tiap keadaan sekitar lokasi penelitian, maka
pengambilan sampel gastropoda dilakukan pada 3 stasiun didasarkan atas
perbedaan tata guna lahan serta pengaruh lingkungan tiap stasiun terhadap
komunitas gastropoda. Setiap stasiun dibagi lagi menjadi tiga sub stasiun. Hal
tersebut dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dalam menganalisis
asosiasi gastropoda dengan tumbuhan lamun. Peta lokasi pengambilan sampel
dapat dilihat pada gambar 11.
Gambar 11. Penentuan Lokasi Penelitian di Pantai Paciran
Stasiun 1: Terletak dengan bengkel kapal dan muara Stasiun 2: terletak dengan pemukiman penduduk Stasiun 3: Terletak dengan Hachery
Pengambilan sampel organisme dilakukan pada saat air laut dalam
keadaan surut dengan menggunakan metode transek. Pertama tarik garis lurus
daerah pasang tertinggi sampai pasang terendah. Diletakkan kuadran dengan
kerangka berukuran 50 x 50cm2. Pada setiap stasiun terdapat 3 plot ditarik tegak
lurus menuju laut. Pengambilan sampel dilakukan pada saat surut terendah.
27
Jarak antar transek ±100 meter atau disesuaikan dengan penggunaan lahan,
sedangkan jarak antar plot atau petak pengamatan adalah ±50 meter atau
disesuaikan dengan kondisi lamun. Fungsi penggunaan transek dalam penelitian
ini bertujuan untuk mendapatkan data kuantitatif sampel gastropoda pada
ekosistem lamun. Penempatan transek pada setiap stasiun dapat dilihat pada
gambar 12.
Gambar 12. Penempatan transek
Setiap stasiun terdapat sebanyak 3 buah plot yang diambil secara acak
yaitu bagian tengah pada transek terlebih dahulu kemudian kesudut-sudut yang
lainnya seperti sudut kanan atas, kiri atas dan sudut kanan bawah, kiri bawah.
Pengambilan sampel organisme diambil pada tumbuhan lamun dan permukaan
sedimen. Setelah itu sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik 1 kg dan
setiap stasiun dipisahkan menggunakan kertas label. Kemudian sampel
diidentifikasi menggunakan buku identifikasi (FAO, 1998). Untuk ukuran sampel
gastropoda yang di ambil sendiri berkisar 0,5-5 cm.
3.4.2 Pengambilan Sampel Sedimen
Prosedur pengambilan sampel sedimen yaitu pertama dengan cara
menyiapkan alat dan bahan terlebih dahulu. Sebelumnya permukaan tanah yang
±100m
Garis Pantai
Surut Terendah
Garis
Transek
kuadran
±50m
28
akan di ambil dibersihkan dari vegetasi yang tumbuh diatasnya. Adapun
pengambilan sampel sedimen yaitu dengan cara mengambil sedimen
menggunakan pipa paralon sepanjang 20 cm. Pipa tersebut dimasukkan ke
dalam tanah kurang lebih hingga kedalaman 20 cm dari permukaan substrat dan
dilakukan di dalam transek. Setelah sampel sedimen terambil pisahkan sampel
dengan organisme yang ada di dalam sedimen. Selanjutnya sampel sedimen
dimasukkan kedalam kantong plastik 1 kg dan ditali serta diberi label masing-
masing sampel supaya tidak tertukar. Setelah semua sedimen pada setiap
stasiun dan plot yang diamati sudah dimasukkan ke dalam kantong plastik
berlabel, kemudian sampel diamati tekstur dan bahan organiknya di laboratorium.
3.5 Prosedur Analisis Kualitas Air
Kualitas air merupakan hal yang paling penting yang dapat menentukan
kondisi suatu perairan dan berpengaruh pula terhadap komunitas gastropoda
yang hidup didalamnya. Kualitas air yang diamati yaitu suhu, salinitas, pH, DO,
kekeruhan, kecepatan arus.
3.5.1 Suhu
Menurut Kiwol (2008), pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan
thermometer batang (thermometer Hg). Adapun prosedur pengukurannya
adalah:
- Memasukkan thermometer batang ke dalam sedimen atau air.
- Menunggu 3 sampai 5 menit.
- Mengangkat thermometer dan melihat secara teliti berapa suhu pada air
atau sedimen.
- Mencatat angka yang tertera pada skala tersebut dalam satuan derajat
Celcius (oC).
29
- Menutup bagian atas thermometer saat pengukuran untuk menghindari
pengaruh sinar matahari secara langsung.
3.5.2 Salinitas
Pengukuran salinitas diukur dengan menggunakan refraktometer, prinsip
kerjanya yaitu membuka penutup gelasnya, membersihkan dengan tissue
menetesi dengan sampel air (satu tetes), menutup kembali. Mengarahkan
refraktometer ke arah datangnya cahaya. Membaca salinitas sampel air melalui
teropongnya. Mencatat angka yang ditunjukan oleh garis batas biru dan putih
dalam lingkaran (angka salinitas sampel air) catat hasilnya (Trialfhianty, 2011).
3.5.3 pH
Menurut Suprapto (2011), pengukuran pH yaitu mengkalibrasi pH meter
ke dalam perairan dan dilakukan dengan menggunakan larutan aquades untuk
menetralkan pH pada probe pH meter. Langkah berikutnya masukkan pH meter
ke dalam perairan kurang lebih selama 2 menit disertai dengan menekan tombol
hold sampai menunjukkan angka yang stabil pada display pH meter tersebut.
Pengukuran pH perairan pada penelitian ini menggunakan pH meter digital.
3.5.4 Kekeruhan
Cara kerja yaitu mengambil sampel air dari botol plastik sebanyak 10 ml
lalu dituangkan ke dalam tabung reaksi yang akan dimasukkan ke dalam alat
turbidimeter. Alat turbidimeter dikalibrasikan terlebih dahulu dengan tujuan
menjamin tingkat ketelitian dalam pengukuran. Ditekan tombol on/off untuk
menghidupkan alat, ditunggu hingga layar menyala dan tertera “Rd”. Sampel
dimasukkan ke dalam botol sampel kemudian ditutup lalu read ditekan dan
ditunggu hingga muncul nilai pada layar, nilai tersebut merupakan nilai
kekeruhan sampel (Parera et al., 2013). Pengukuran kekeruhan pada penelitian
ini menggunakan Turbidimeter HACH 2100 AN.
30
3.5.5 Oksigen Terlarut (DO)
Salah satu cara untuk mengukur kadar oksigen terlarut dalam perairan
dengan menggunakan DO meter. Hal pertama yang harus dilakukan dalam
pengukuran oksigen terlarut menggunakan DO meter adalah mengkalibrasi DO
meter tersebut di perairan yang ingin diukur. Tekan tombol panah atas dan
bawah pada DO meter lakukan secara bersamaan dan lepaskan secara
bersamaan, lalu tekan tombol mode hingga terlihat persen oksigen pada DO
meter. Selanjutnya jika DO meter selesai dikalibrasi lakukan pengukuran oksigen
terlarut dengan memasukkan nilai probe DO meter ke dalam perairan dan tunggu
beberapa saat sampai nilai oksigen terlarut terlihat pada DO meter (Suprapto,
2011).
3.6 Kualitas Tanah
3.6.1 Bahan Organik Tanah
Menurut Riniatsih dan Widianingsih (2007), sedimen dengan berat basah
(A gram) dikeringkan dengan oven pada suhu 90 0C selama 12 jam, kemudian
sediment tersebut ditimbang sehingga didapatkan berat konstan (B gram).
Selanjutnya sampel sedimen tersebut dioven dengan tanur pada suhu 500 0C
selama 3 jam. Setelah itu sedimen didinginkan dalam desicator agar tidak terjadi
penyerapan unsur air oleh sedimen yang telah kering. Setelah dingin sedimen
tersebut ditimbang sampai beratnya konstan (C gram). Nilai presentase
kandungan bahan organik sedimen didapatkan dengan formula:
3.6.2 Tekstur Tanah
Tekstur tanah dianalisis berdasarkan perbandingan pasir, liat, dan debu
pada Segitiga millar dapat dilihat pada gambar 13.
Kandungan bahan organik (%) = ((A-B) / C) x 100%)
31
Gambar 13. Tipe substrat berdasarkan segitiga millar. (Hardjowieno dan Widiatmaka, 2007)
Menurut Ramadhani dan Ahmad (2014), berikut ini adalah langkah-
langkah penentuan tekstur substrat yaitu :
1. Menentukan komposisi dari masing-masing fraksi substrat. Misalnya, fraksi
pasir 45%,debu 30% dan liat 25%.
2. Menarik garis lurus pada sisi persentase pasir dititik 45% sejajar dengan sisi
persentase debu, kemudian ditarik garis lurus pada sisi persentase debu di
titik 30% sejajar dengan sisi persentase liat, dan tarik garis lurus pada sisi
persentase liat 25% sejajar dengan sisi persentase pasir.
3. Titik perpotongan ketiga garis tersebut akan menentukan tipe substrat yang
dianalisis, misalnya dalam hal ini adalah lempung liat.
3.7 Perhitungan Indeks Biologi
Data yang diperoleh selanjutnya dilakukan analisis data dengan
menggunakan rumus sebagai berikut.
3.7.1 Kelimpahan Gastropoda
Menurut Romimohtarto dan Juwana (2007), kelimpahan adalah jumlah
individu per satuan luas atau per satuan volume. Rumus yang digunakan adalah:
32
𝐊𝐞𝐥𝐢𝐦𝐩𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐑𝐞𝐥𝐚𝐭𝐢𝐟 (𝐑𝐃𝐢) = 𝐧𝐢
𝐍× 𝟏𝟎𝟎%
Keterangan:
Di = Kelimpahan individu jenis ke-i ni = Jumlah individu jenis ke-i A = Luas kotak pengambilan contoh.
3.7.2 Indeks Kelimpahan Relatif (RDi)
Kelimpahan relatif dihitung menggunakan rumus Cox dalam
Romimohtarto dan Juwana (2007).
Keterangan:
RDi = Kelimpahan Relatif ni = Jumlah Individu Setiap Jenis N = Jumlah Seluruh Individu
3.7.4 Indeks Keseragaman (E)
Indeks keseragaman menunjukkan merata atau tidaknya pola sebaran
jenis suatu spesies. Adapun rumus untuk menghitung indeks keseragaman
menurut Odum (1998) dalam Yuliana et al. (2012), adalah:
Keterangan:
E = Indeks Keseragaman H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener H’ max = Indeks Keanekaragaman Maksimum (3,3219 Log S, dimana S= Jumlah jenis
𝐊𝐞𝐥𝐢𝐦𝐩𝐚𝐡𝐚𝐧(𝑫𝒊) = 𝒏𝒊
𝑨
E=𝑯′
𝑯′ 𝒎𝒂𝒙
33
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Lamongan merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Jawa
Timur.Secara astronomis Kabupaten Lamongan terletak pada posisi 6° 51’54”
sampai dengan 7° 23’ 6” Lintang Selatan dan diantara garis bujur timur 122° 4’ 4”
sampai 122° 33’ 12”. Secara geografis Kabupaten Lamongan berbatasan
langsung dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Gresik di timur, Kabupaten
Mojokerto dan Kabupaten Jombang di selatan, serta Kabupaten Bojonegoro dan
Kabupaten Tuban di sebelah barat. Kabupaten Lamongan memiliki luas wilayah
kurang lebih 1.812,8 km² atau ± 3.78% dari luas wilayah Propinsi Jawa Timur,
dengan panjang garis pantai sepanjang 47 km. Luas wilayah perairan laut
Kabupaten Lamongan adalah seluas 902,4 km2, apabila dihitung 12 mil dari
pinggir pantai.
Kecamatan Paciran merupakan salah satu kecamatan yang ada di
Wilayah Kabupaten Lamongan yang berada di belahan Utara Ibu Kota
Kabupaten Lamongan dengan jarak ± 43 km. Dimana terdiri dari 16 desa 1
Kelurahan, 34 Dusun, 95 RW, 379 RT. Luas wilayah kecamatan Paciran 61.304
Km2 terletak pada ketinggian 2 m di atas permukaan air laut.
Banjarwati merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Paciran,
Kabupaten Lamongan.Jumlah penduduk diperkirakan sebanyak 5,991 jiwa,
dimana terdiri dari 2.987 jiwa penduduk laki-laki dan 3.004 jiwa adalah penduduk
perempuan yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai
nelayan. Hal ini dikarenakan Banjarwati merupakan salah satu dari desa Paciran
yang secara langsung berbatasan dengan Laut Jawa.
34
4.2 Diskripsi Stasiun Pengamatan
Pada penelitian ini wilayah pengamatan di bagi menjadi 3 stasiun dimana
letak tiap stasiun berdasarkan tata guna lahan yaitu pada stasiun 1 terletak di
wilayah dekat bengkel kapal nelayan dan muara sungai, sedangkan stasiun 2
terletak di wilayah dekat dengan pemukiman penduduk dan stasiun 3 terletak di
wilayah berdekatan dengan Hachery penduduk sekitar dengan jarak antar
stasiun kurang lebih 100m. Adapun pemilihan ketiga stasiun pengamatan di
pesisir pantai Banjarwati adalah sebagai berikut:
4.2.1 Stasiun 1
Stasiun 1 terletak di bagian dekat dengan muara sungai dan bengkel
kapal. Di Stasiun ini banyak di jumpai aktivitas nelayan melakukan perbaikan
kapal dan sebagai tempat lalu lalang kapal nelayan yang hendak merapat ke
dermaga ataupun kapal nelayan yang hendak menangkap ikan ke laut. Stasiun
ini ditemukan 3 spesies lamun yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata
dan Thalassia hemprichii dengan tipe substrat yaitu pasir berlempung. Lokasi
pengambilan sampel stasiun 1 dapat dilaha pada gambar 14.
Gambar 14. Stasiun 1
35
4.2.2 Stasiun 2
Stasiun ini terletak di area tengah lokasi penelitian yaitu dekat dengan
pemukiman penduduk. Area ini banyak aktivitas masyarakat seperti bongkar
muat kapal, kativitas perikanan, sebagai tempat bersandar kapal nelayan dan di
area ini tempat pembuangan limbah domestik dari masyarakat setempat seperti
sampah plastik, deterjen dan sebagainya karena di daerah ini dekat dengan
pemukiman penduduk. Di area ini juga ditemukan 3 jenis lamun yaitu Enhalus
acoroides, Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii dengan jenis substrat
lebih dominan pasir. Lokasi pengambilan sampel stasiun 2 dapat dilahat pada
gambar 15.
Gambar 15. Stasiun 2
4.2.3 Stasiun 3
Stasiun 3 terletak di area selatan pantai yang juga dtemukan 3 spesies
lamun diantaranya yaitu Enhalus acoroides, Cyomodocea rotundata dan
Thalassia hemprichii di sepanjang pasang surut air laut. Di area ini dekat dengan
Hachery penduduk setempat dan terkadang juga digunakan sebagai tempat
bersandar kapal nelayan. Di daerah ini memiliki daratan yang cukup tinggi dan
terdapat tumpukan karang laut. Tipe sustrat di stasiun 3 termasuk pasir dan pada
36
bagian tengah sampai ke tubir berbatu dan berkrikil. Lokasi pengambilan sampel
stsasin 3 dapat dilihat pada gambar 16
Gambar 16. Stasiun 3
4.3 Gastropoda
4.3.1 Gastropoda yang ditemukan
Menurut Tomascik et al.(1997), gastropoda (keong) adalah salah satu
kelas dari Moluska yang diketahui berasosiasi dengan baik terhadap ekosistem
lamun. Komunitas Gastropoda merupakan komponen yang penting dalam rantai
makanan di padang lamun, dimana Gastropoda merupakan hewan dasar
pemakan detritus (detritus feeder) dan serasah dari daun lamun yang jatuh dan
mensirkulasi zat-zat yang tersuspensi di dalam air guna mendapatkan makanan.
Hasil identifikasi pada pantai Banjarwati secara keseluruhan ditemukan 7
spesies gastropoda yaitu: Cantharus undosus, Pyrene scripta, Nassarius
dorsatus, Cerithideopsilla alata, Telescopium telescopium, Nerita polita,
Cerithium granosum yang diperoleh dari 9 titik pengamatan. Adapun ciri-ciri dari
7 spesies gastropoda yang ditemukan yaitu:
1) Cantharus undosus
Cantharus undosus adalah jenis gastropoda yang termasuk dalam family
Buccinidae. Memiliki ciri-ciri panjang 1-3 cm, berwarna coklat kehitaman, ukuran
cangkang menengah dan berbentuk oval, tebal, memiliki arah putaran cangkang
37
destral (berputar kearah kanan), permukaan body whorl kasar, memiliki apex
yang agak runcing. Gatropda ini pada tumbuhan lamun dapat ditemukan di daun
lamun.
. Carpenter dan Niem (1998: 560), menyatakan bahwa Gastropoda ini
memiliki ukuran cangkang sedang, spire bentuk kerucut, aperture bentuk oval,
siphonal canal relative lebih pendek, spina pendek pada whorl, membentuk axial
cords ke arah apex. Warna permukaan cangkang coklat capucino dan aperture
berwarna coklat terang.
2) Pyrene scripta
Gastropoda ini memiliki bentuk ukuran cangkang kecil, tebal, berbentuk
oval dan memiliki arah putaran cangkang destral (berputar kearah kanan).
Bentuk apex tumpul, permukaan body whorl halus, spire berbentuk cembung,
Aparture berbentuk oval dan Shiponal canal memanjang dan sedikit menonjol.
Warna cangkang kuning sedikit kecoklatan, Aperture berwarna putih dan
columella kuning kecoklatan. Habitatnya banyak ditemukan di atas substrat, di
batang, daun dan di akar tumbuhan lamun.
Menurut Karyanto et at. (2004), familia tersebut menunjukkan modifikasi
cangkang relatif ekstrim. Pada familia tersebut unit whorl dan garis spire
mereduksi, bahkan absen pada cangkang yang tererosi. Body whorl sangat
besar dan mendominasi. Cangkang pada familia tersebut juga dicirikan oleh
bentuk apertura memanjang seperti bibir, sehingga mengesankan struktur
setangkup. Bentuk cangkang unik tersebut sering menyebabkan kesalahan
identifikasi, dengan menempatkan gastropoda tersebut ke dalam bivalvia
(kerang-kerang).
3) Nassarius dorsatus
Gastropoda ini memiliki ciri-ciri panjang 5 cm, ukuran cangkang yang
relatif besar, tebal, cambung dan spire berbentuk kerucut. Memiliki arah putaran
38
cangkang dekstral (berputar ke arah kanan), warna permukaan cangkang abu-
abu kekuningan. Opercullum berbentuk oval, berwarna putih. Suture tidak terlalu
dalam, bentuk apek runcing. Gastropoda ini termasuk dalm famili nassiidae,
habitatnya ditemukan di atas substrat dan dekat dengan akar lamun.
Sphaerassiminea miniata dan Nassarius dorsatus, kedua jenis
gastropoda tersebut, berturut-turut termasuk dalam familia assiminiidae dan
nassariidae. Kedua jenis gastropoda mangrove tersebut mempunyai cangkang
tipikal atau sama, tanpa adanya variasi yang berarti. Sphaerassiminea miniata
mudah dikenali dari ukurannya, warnanya dan perilakunya sebagai gastropoda
infauna. Secara morfologis jenis tersebut memiliki bentuk cangkang umum pada
familia assiminiidae. Sedikit modifikasi bentuk terlihat pada ukurannya yang kecil
(±4 mm), dan bentuknya yang relatif bulat . Nassarius dorsatus, mempunyai
proporsi cangkang yang relative memanjang (Karyanto et al., 2004).
4) Cerithideopsilla alata
Gastropda ini memiliki ciri-ciri ukuran panjnag cangkang 1-3 cm.
Berbentuk kerucut dan apex meruncing. Arah putaran cangkang destral (berputar
ke arah kanan). Cangkang berwarna cokelat kehitaman, tipis dan tidak
transparan. Whorl berbentuk sedikit cembung, suture terlihat jelas meskepin tidak
terlalu dalam. Aperture relatif sempit, berbentuk oval, spire tinggi dan ukurannya
semakin bertambah secara reguler. Biasanya gastropoda ini ditemukan pada
akar, batang dan daun lamun. Gastropoda ini termasuk dalam famili potamididae.
Arbi (2014: 44-45) menyatakan bahwa Gastropoda ini cangkang
berukuran sedang dengan banyak whorl dan berbentuk kerucut. Arah putaran
cangkang dekstral (berputar ke arah kanan), tipis dan tidak transparan.
Cangkang berwarna cokelat gelap kehitaman. Tiga buah rusuk spiral berjajar dan
saling berpotongan dengan rusuk aksial pada masing-masing whorl.
39
5) Telescopium telescopium
Gastropoda ini memiliki ciri-ciri ukuran panjang 1-3 cm, cangkang
berbentuk kerucut dan apex meruncing. Memiliki putaran cangkang dekstral
(berputar ke arah kanan). Cankang berwarna cokelat, apex tidak terlalu tajam
dan biasanya terkikis. Body whorl juga relatif rata dan memiliki ukuran
seperempat kali panjang total panjang. Cangkang tidak terlalu tebal, suture tidak
terlalu jelas. Habitat asli gastropoda ini pada ekosistem mangrove dan gastopoda
ini masuk dalam famili potamididae.
Gastropoda ini memiliki cangkang berukuran besar, tebal dan tidak
transparan. Cangkang berbentuk kerucut memanjang dan memiliki putaran
cangkang dekstral (berputar ke arah kanan). Cangkang berwarna cokelat gelap
pada bagian dasar dan semakin terang pada bagian semakin ke arah apex. Apex
tidak tajam dan biasanya terkikis, spire tinggi dan ukurannya semakin bertambah
secara reguler. Body whorl juga relatif rata dan memiliki ukuran seperempat kali
panjang total cangkang. Suture dangkal, seringkali tertutup oleh lapisan kerak
maupun alga. Aperture berbentuk quadrangular dan terletak pada bagian dasar
dari akhiran saluran siphon. Peristome berbentuk seperti kurva, tidak tajam dan
tidak kontinyu, bibir apertural saling berdekatan tapi tidak menebal dan melebar.
Dua buah garis tumbuh spiral yang menebal ditunjukkan pada bagian dasar bibir
apertural. Columella tebal, membelit dan berwarna cokelat. Operculum melingkar
dengan nusleus terletak di tengah dan memiliki banyak whorl yang terpusat.
Habitatnya ditemukan dalam substrat berlumpur di ekosistem mangrove,
menampakkan bagian ujung spire di atas permukaan substrat. Daerah yang
terdapat muara sungai dengan substrat berlumpur yang ditumbuhi oleh vegetasi
mangrove juga merupakan habitat yang cukup ideal bagi keong ini. Keong ini
jarang ditemukan pada substrat berpasir atau substrat lain yang relatif kasar.
40
Secara umum, keong ini lebih memilih habitat air payau dengan salinitas tinggi
(Arbi, 2014:21-22).
6) Nerite polita
Gastropoda ini memiliki ciri-ciri ukuran panjang cangkang 1-3 cm. Whorl
menggelung dan pendek, Aperture berbentuk oval dan siphonal canal membulat.
Arah putaran cangkang dekstral (berputar ke arah kanan), cangkang berwarna
abu-abu kehitaman dan memiliki corak tertentu. Gastropoda ini biasanya
menempel pada batang dan daun lamun. Gastropoda ini termasuk dalam famili
Neritidae.
Gastropoda ini memiliki bentuk ukuran cangkang kecil, spire berjumlah
banyak cembung, whorl menggelung pendek dan memiliki arah putaran
cangkang dekstral (berputar ke arah kanan). Aperture berbentuk oval dan
siphonal canal membulat. Warna cangkang coklat dengan garis berwarna hitam
pada setiap garis spiral, outer lip berwarna putih dan columella kuning. Ukuran
Panjang cangkang 3,88-1,51 cm dan lebar cangkang 2,97-1,31 cm. Habitatnya
ditemukan di batang dan di akar tumbuhan mangrove. Tan dan Clements (2008:
483-484) menyatakan bahwa Gastropoda ini memiliki banyak whorl yang
menggelung. Aperture berbentuk oval agak memanjang. Warnanya relatif
konstan keabu-abuan hingga coklat dengan hitam terlihat pada setiap garis
spiral. Columella bergerigi berwarna kuning, outer lip.
7) Cerithium granosum
Gastropoda ini memiliki ciri-ciri panjang berkisara antara 3-4 cm, memiliki
warna cangkang cokelat kekuningan. Cangkang tipis tetapi tidak transparan
transparan, memiliki bentuk kerucut dengan apex yang meruncing. Arah putaran
cangkang dekstral (berputar ke arah kanan), permukaan cangkang agak kasar .
aperture berbentuk oval. Gastropda ini banyak ditemukan batang dan daun laun.
Habitatnya pada substrat berpasir, gastropda in termasuk dalam famili Ceritidae.
41
Arbi (2014: 33-34) menyatakan bahwa Gastropoda ini memiliki cangkang
berbentuk kerucut panjang, tebal dan pada bagian luarnya terdapat ornamen
berupa rusuk-rusuk spiral dan aksial. Jumlah whorl 7-8 buah dan selalu
mengalami kerusakan atau terkikis bagian puncak cangkang, terutama terlihat
jelas pada usia dewasa. Semua whorl berbentuk cembung dan memiliki suture
agak dalam. Warna cangkang cokelat, atau cokelat keunguan pudar, dengan
warna yang lebih gelap pada bagian dibawah suture. Aperture lebar, berbentuk
membulat atau persegi empat dengan sudut-sudut yang menebal dan melebar.
Operculum multispiral, dengan nucleus terletak di pusat dan garis-garis
pertumbuhan terpusat. Habitatnya hidup di daerah pasang-surut, Hasil
pengamatan dapat dilihat pada tabel 1. Kemudian gambar dan klasifikasi
moluska yang ditemukan dapat dilihat pada Lampiran 5.
Tabel 1. Komposisi spesies gastropoda pada lokasi penelitian.
No
Family
Spesies
Stasiun
1 2 3
1 2 3 1 2 3 1 2 3
1 Buccinidae Cantharus Undosus
- - + - - - + - -
2 Columbellidae Pyrene Scripta
+ + + + + + + + +
3 Nassariidae Nassarius dorsatus
+ + - - - - - + -
4 Potamididae Cerithideopsilla alata
+ + + + + + + + +
5 Potamididae Telescopium telescopium
+ + + - + + + + +
6 Neritidae Nerita polita + - + - - - + - +
7 Cerithiidae Cerithiun granosum
+ + + + + + + + +
Jumlah spesies per plot 6 5 6 3 4 4 6 5 5
Jumlah spesies per stasiun 7 4 7
Sumber: Data Hasil Penelitian Keterangan: (+)= Ditemukan Moluska (-) = Tidak Ditemukan Moluska
42
Berdasarkan tabel 1 bisa dilihat pada stasiun 2 ditemukan 4 jenis
gastropoda sedangkan pada stasiun 1 dan stasiun 3 ditemukan 7 jenis
gastropoda. Sedikitnya jenis gastropoda yang ditemukan pada stasiun 2
disebabkan letaknya yang berdekatan dengan pemukiman banyak aktivitas
penduduk yang dilakukan didaerah tersebut. Hal ini bisa berpengaruh terhadap
kondisi lingkungan perairan seperti parameter fisika dan kimia kemudian
berpengaruh terhadap komposisi gastopoda. Menurut Metungun et al. (2011),
pada ekosistem padang lamun kelimpahan gastropoda sangat penting
pengaruhnya dalam struktur rantai makanan. Hewan ini bersifat menetap pada
dasar perairan dan sebagian membenamkan diri dalam pasir berlumpur. Oleh
karena itu, adanya perubahan lingkungan akibat eksplorasi yang berlebihan
dapat mengganggu keseimbangan ekosistem, dimana hewan berperan sebagai
makanan bagi organisme lain. Kelimpahan organisme ini sangat ditentukan oleh
faktor-faktor lingkungan. Dalam hidupnya hewan ini membutuhkan suatu
lingkungan pendukung yang sesuai dengan sifat biologinya.
Hutabarat dan Evans (1995) menyatakan bahwa suhu di perairan
merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan organisme di dalamnya,
karena suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakkan.
Secara ekologis perubahan suhu menyebabkan perbedaan komposisi dan
kelimpahan bivalvia dan gastropoda.
4.3.2 Indeks Kelimpahan
Rata-rata kelimpahan jenis gastropoda pada stasiun 1 sebesar 119,3
ind/m2, pada stasiun 2 sebesar 84 ind/m2, dan pada stasiun 3 sebesar 114
ind/m2. Adapun jumlah kelimpahan gastropoda yang di dapat dari hasil penelitian
dapat dilihat pada Tabel 2.
43
Tabel 2. Kelimpahan jenis gastropoda pada lokasi penelitian
Moluska
Kelimpahan jenis rata-rata (ind/m2)
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
1 2 3 1 2 3 1 2 3
Cantharus Undosus
- - 6 - - - 5 - -
Pyrene Scripta 26 30 16 20 18 25 28 29 20
Nassarius dorsatus 5 4 - - - - - 7 -
Cerithideopsilla alata
31 27 48 22 25 15 25 31 35
Telescopium telescopium
6 6 9 - 6 5 12 10 8
Nerita polita 7 - 4 - - - 5 - 6
Cerithiun granosum
45 54 34 38 43 35 44 30 47
Jumlah 120 121 117 80 92 80 119 107 116
Rata-rata 3 stasiun 119,3 84 114
Berdasarkan table 2 menunjukkan bahwa hasil perhitungan kelimpahan
gastropda pada stasiun 1 memiliki nilai rata-rata kelimpahan tertinggi yaitu
sebesar 119,3 ind/m2 dan nilai kelimpahan terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu
sebesar 84 ind/m2. Rendahnya nilai kelimpahan pada stasiun 2 kemungkinan
disebabkan karena pada stasiun ini kepadatan lamunnya cukup rendah dan juga
lokasinya yang berdekatan dengan pemukiman penduduk dimana banyak
aktivitas nelayan sehingga berdampak terhadap rendahnya kelimpahan
gastropoda. Menurut Dahuri (2003), Jumlah spesies yang menghuni estuaria
jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan
tawar ataupun laut. Jumlah spesies yang sedikit itu disebabkan oleh terjadinya
fluktuasi besar kondisi lingkungan, terutama salinitas dan suhu pada saat terjadi
pasang dan surut. Dengan demikian beberapa spesies organisme yang dijumpai
di estuaria merupakan spesies yang telah mampu beradaptasi terhadap kondisi
lingkungan.
Hasil penilitian diketahui bahwa kelimpahan organisme gastropda pada
pantai Banjarwati berkisar antara 84-119,3 ind/m2. Jika dibandingkan dengan
hasil penelitian di tempat lain, hasil penilitian gastropoda di padang lamun di
44
pantai Banjarwati Paciran Lamongan termasuk rendah. Penelitian yang dilakukan
Latuconsina et al. (2013), di teluk Kotania kelimpahan organisme epifauna
berkisar 97-421 ind/m2. Kemudian penelitian Prakoso et al. (2015), di Pulau
Pahawang Lampung didapatkan kelimpahan gastropoda berkisar antara 356-482
ind/m2. Selanjutnya penelitian yang dilakukan Setyawati et al. (2014), di Pulau
Panjang dan Teluk Awur Jepara diperoleh nilai kelimpahan gastropoda berkisar
antara 162-241 ind/m2.
4.3.3 Indeks Kelimpahan Relatif
Hasil dari perhitungan kelimpahan relatif yang didapatkan pada setiap
stasiun di pantai Banjarwati Pairan, Lamongan ditampilkan pada gambar 17
sedangkan untuk perhitungan dan hasil perhitungan kelimpahan relatif setiap
stasiun dapat dilihat pada lampiran 7 dan 8.
Gambar 17. Grafik indeks kelimpahan relatif
Keterangan: 1: stasiun 1 dekat dengan bengkel kapal dan muara 2: stasiun 2 dekat dengan pemukiman penduduk 3: stasiun 3 dekat dengan Hachery
Berdasarkan gambar 17 jenis Cerithiun granosum memiliki presentase
kelimpahan relatif tertinggi pada setiap stasiun dengan presentase stassiun 1
sebesar 37%, stasiun 2 sebesar 46% dan stasiun 3 sebesar 35% dari seluruh
jenis gastropoda yang ditemukan. Tingginya nilai kelimpahan relatif Cerithiun
45
granosum kemungkinan disebabkan karena tipe substrat pantai Banjarwati yang
berpasir. Sesuai pernyataan Syaffitri (2003). bahwa jenis gastropoda pada kelas
Cerithidae merupakan jenis yang paling banyak dijumpai serta jenis yang
memiliki penyebaran paling luas di ekosistem perairan. Jenis ini adalah kelompok
asli penghuni ekosistem perairan laut dan memiliki kehidupan pada substrat pasir
hingga lumpur serta memiliki kelimpahan yang cukup tinggi.
Tingginya nilai kelimpahan relatif Cerithium granosum kemungkinan juga
disebabkan karena kesesuian kondisi perairan. Menurut Toro dan Sukarjo,
(1989) dalam Pratiwi et al. (1997), kehadiran yang melimpah pada suatu lokasi
mencerminkan kelayakan tempat tersebut untuk kehidupan jenis tertentu dan
secara ekologis sangat mendukung perkembangan dan tingkah laku dari jenis
tersebut.
4.3.4 Indeks Keseragaman
Hasil perhitungan nilai indeks keseragaman pada penelitian di pantai
Banjarwati Paciran, Lamongan pada stiap stasiun ditunjukkan pada gambar 18.
Untuk perhitungan dan hasil perhitugan indeks keseragaman dapat dilihat pada
lampiran 9 dan 10.
Gambar 18. Grafik Indeks Keseragaman
Keterangan: 1: stasiun 1 dekat dengan bengkel kapal dan muara 2: stasiun 2 dekat dengan pemukiman penduduk 3: stasiun 3 dekat dengan Hachery
46
Berdasarkan hasil perhitungan nilai keseragaman jenis pada setiap
stasiun berkisar antara 0,41-0,52. Hasil tersebut menunjukkan tingkat
keseragaman jenis tergolong sedang. Sesuai pernyataan Syari (2005), indeks
keseragaman berkisar antara 0-1. Bila indeks keseragaman kurang dari 0,4
maka ekosistem tersebut berada dalam kondisi tertekan dan mempunyai
keseragaman rendah. Jika indeks keseragaman antara 0,4 sampai 0,6 maka
ekosistem tersebut pada kondisi kurang stabil dan mempunyai keseragaman
sedang. Jika indeks keseragaman lebih dari 0,6 maka ekosistem tersebut dalam
kondisi stabil dan mempunyai keseragaman tinggi. Menurut Brower & Zar (1977),
kestabilan suatu komunitas dapat digambarkan dengan tinggi rendahnya nilai
keseragaman jenis (E) yang didapat. Kondisi dikatakan stabil bila memiliki nilai
keseragaman jenis mendekati 1. Semakin kecil nilai E mengindikasikan bahwa
penyebaran jenis tidak merata sedangkan semakin besar nilai E maka
penyebaran jenis ralatif merata.
4.3.5 Spesies yang Dominan
Berdasarkan hasil perhitungan kelimpahan dan presentase kelimpahan
relatif jenis Cerithium granosum mendominasi pada semua stasiun dimana jenis
ini memiliki jumlah dan presentase tertinggi dibandingkan jenis gastropoda yang
lainnya. Dominannya jenis Cerithium granosum kemunkinan disebabkan kondisi
dari ekosistem lamun yang sudah mengalami penurunan. Menurut Cappenberg
dan Panggabean (2005), menyatakan terjadinya dominasi dipengaruhi juga oleh
keberadaan lamun dan karang yang dapat berfungsi sebagai tempat berlindung
dan mencari makan, bila keberadaan vegetasi tersebut mulai menyusut atau
sedikit, maka hanya jenis-jenis tertentu yang dapat bertahan. Menurut Metungun
et al. (2011) kepadatan lamun yang tinggi memungkinkan epifauna untuk
mendapatkan tempat perlindungan dan mampu memberikan ketersediaan
47
berbagai sumber makanan dan stabilitas lingkungan yang tersebut dapat
menenangkan arus dan gelombang menyebabkan perairan sekitar menjadi lebih
tenang sehingga partikel mineral maupun organik yang tersisa di perairan
dengan mudah mengendap didaerah padang lamun, menjadikan padang lamun
merupakan lingkungan yang sangat baik untuk kehidupan epifauna.
Tingginya kelimpahan Cerithium granosum kesesuaian kondisi
lingkungan perairan baik itu fisika maupun kimia. Salah satunya sesuainya
keadaan substrat dasar bagi jenis Cerithium granosum dimana pada penelitian
ini hasil analisa tipe substrat pantai Banjarwati adalah lempung berpasir dengan
tekstur pasir medominasi dibandingakan terkstur yang lainnya. Menurut Syaffitri
(2003), bahwa jenis gastropoda pada kelas Cerithidae merupakan jenis yang
paling banyak dijumpai serta jenis yang memiliki penyebaran paling luas di
ekosistem perairan. Jenis ini adalah kelompok asli penghuni ekosistem perairan
laut dan memiliki kehidupan pada substrat pasir hingga lumpur serta memiliki
kelimpahan yang cukup tinggi. Nybakken (1992), menyatakan bahwa substrat
dasar merupakan salah satu faktor ekologis utama yang mempengaruhi struktur
komunitas hewan makrobentos, selain itu parameter perairan seperti salinitas
mempengaruhi penyebaran hewan makrobentos karena setiap organisme laut
dapat bertoleransi terhadap perubahan salinitas yang relatif kecil dan perlahan.
4.4 Parameter Fisika dan Kimia
4.4.1 Suhu
Suhu yang diperoleh pada penelitian di pantai Paciran pada stasiun 1 di
dapatkan nilai rata-rata sebesar 32,70C, kemudian pada stasiun 2 didapatkan
nilai rata-rata sebesar 320C dan pada stasiun 3 diperoleh nilai rata-rata sebesar
310C. Adapun grafik suhu rata-rata yang diperoleh pada setiap stasiun
pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 19.
48
Gambar 19. Grafik Suhu Rata-rata Pada Setiap Stasiun
Keterangan: 1: stasiun 1 dekat dengan bengkel kapal dan muara 2: stasiun 2 dekat dengan pemukiman penduduk 3: stasiun 3 dekat dengan Hachery
Berdasarkan pengukuran bahwa kisaran suhu yang didapat dalam
penelitian antara 31-32,70C. Kisaran tersebut masih terbilang optimum bagi
kehidupan organisme. Menurut Fredriksen et al. (2010), di wilayah tropis, lamun
dapat tumbuh optimah di suhu berkisar antara 28–300C. Suhu menjadi salah satu
faktor penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme
serta mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangan organisme.
Sedangkan menurut Hitalessy et al. (2015), suhu di habitat gastropoda berkisar
antara 280C–340C, kisaran suhu yang melebihi batas toleransi dapat
menyebabkan penurunan aktivitas metabolisme dan bahkan kematian pada
gastropoda. Dengan demikian dari kisaran suhu yang di peroleh maka suhu pada
ekosistem lamun di pesisir Lamongan berada dalam kisaran suhu optimal bagi
kehidupan organisme epifauna dan spesies lamun.
Suhu tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 32,70C, sedangkan suhu
terendah terdapat pada stasiun 3 yaitu 310C. Tingginya suhu pada stasiun 1
dikarenakan terletak dekat dengan muara sungai yang mengalir pada waktu air
surut melalui aliran sungai membawa air tawar dari daratan yang mempengaruhi
suhu di laut. Menurut Ilahude dan Liasaputra dalam Ratnawati, (1998), pada
49
umumnya kondisi perairan pantai lebih tinggi dari pada di lepas pantai, karena
pengaruh daratan melalui kontak langsung antara kedua media tersebut maupun
sungai atau aliran air lain yang membawa run-off dan material daratan lain
menuju laut.
4.4.2 Kekeruhan
Kekeruhan yang diperoleh pada penelitian di pantai Banjarwati Paciran,
Lamongan pada stasiun 1 didapatkan nilai sebesar 1,65 NTU, kemudian pada
stasiun 2 diperoleh nilai sebesar 1,93 NTU dan pada stasiun 3 didapatkan nilai
sebesar 1,48 NTU. Adapun grafik hasil pengukuran kekeruhan pada setiap
stasiun dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20. Grafik kekeruhan Pada Setiap Stasiun
Keterangan: 1: stasiun 1 dekat dengan bengkel kapal dan muara 2: stasiun 2 dekat dengan pemukiman penduduk 3: stasiun 3 dekat dengan Hachery
Berdasarkan hasil pengukuran didapatkan nilai kekeruhan berkisar antara
1,48 NTU-1,93NTU. Hasil tersebut masih berada dalam optimal bagi kehidupan
organisme karena masih di bawah kisaran 5 NTU. Sesuai dengan pernyataan
Sari dan Ledhyane (2015), baku mutu kualitas air laut untuk biota laut untuk
parameter kekeruhan adalah <5 NTU. Kekeruhan pada perairan lebih banyak
disebabkan oleh bahan tersuspensi yang berupa koloid dan partikel-partikel
halus. Bahan buangan industri yang berbentuk padat kalau tidak dapat larut
50
sempurna akan mengendap dan yang dapat larut sebagian akan menjadi koloid
(Wardhana, 2001).
Kemudian bisa dilihat nilai kekeruhan tertinggi terdapat pada stasiun 2
yaitu sebesar 1,93 NTU. Tingginya nilai kekeruhan di wilayah ini kemungkinan
disebabkan karena letaknya yang berdekatan dengan pemukiman penduduk,
dimana di wilayah ini banyak ditemukan sampah yang berasal dari buangan
masyarakat setempat yang kemudian berpengaruh terhadap nilai kekeruhan.
Menurut Tantowi (2002), kekeruhan erat sekali hubungannya dengan kadar zat
tersuspensi dalam air tersebut. Zat tersuspensi yang ada dalam air terdiri dari
berbagai macam zat, seperti pasir halus, liat dan lumpur alami yang merupakan
bahan-bahan anorganik atau dapat pula berupa bahan-bahan organik yang
melayang-layang dalam air. Bahan-bahan organik yang merupakan zat
tersuspensi yang terdiri dari berbagai jenis senyawa seperti selulosa, lemak,
protein yang melayang-layang dalam air atau dapat juga berupa mikroorganisme
seperti bakteri, algae, dan sebagainya. Bahan-bahan organik ini berasal dari
sumber-sumber juga berasal dari buangan kegiatan manusia seperti kegiatan
industri, pertanian, pertambangan, atau kegiatan rumah tangga. Kekeruhan
memang disebabkan karena adanya zat tersuspensi dalam air, namun karena
zat-zat tersuspensi yang ada dalam air terdiri dari berbagai macam zat yang
bentuk dan berat jenisnya berbeda-beda maka kekeruhan tidak selalu sebanding
dengan kadar zat tersuspensi. .
4.4.3 Derajat Keasaman (pH)
Hasil pengukuran pH pada penelitian di pantai Paciran Lamongan di
peroleh nilai rata-rata pada stasiun 1 sebesar 7,9, kemudian pada stasiun 2
sebesar 7,7 dan pada stasiun 3 sebesar 7,8. Adapun grafik hasil pengukuran pH
pada setiap stasiun dapat dilihat gambar 21.
51
Gambar 21. Grafik pH Rata-rata Pada Setiap Stasiun
Keterangan: 1: stasiun 1 dekat dengan bengkel kapal dan muara 2: stasiun 2 dekat dengan pemukiman penduduk 3: stasiun 3 dekat dengan Hachery
pH yang didapatkan pada semua stasiun berkisar antara 7,7-7,9, kisaran
konsentrasi pH di pantai Paciran masih termasuk normal untuk kehidupan
ekosistem lamun dan organisme. Berdasarkan keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/2004, bahwa kisaran pH normal perairan
yang dapat menopang kehidupan organisme perairan adalah 7-8,50 (MNLH
2004). Batas toleransi organisme terhadap pH sangat bervariasi dan pada
umumnya sebagian besar dari biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan
menyukai pH sekitar 7-8.50. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimia
dalam perairan dan juga akan memberi pengaruh terhadap keanekaragaman
komunitas biologi perairan. pH 6-6.50 menyebabkan keanekaragaman bentos
akan sedikit menurun (Novotny dan Olem 1994 dalam Effendi 2003).
Berdasarkan hasil pengukuran pH tertinggi terdapat pada stasiun 3 dan
pH terendah terdapat pada stasiun 2. Nilai pH yang rendah pada stasiun 2 ini
kemungkinan disebabkan pengaruh dari buangan limbah rumah tangga. Hal ini
dikarenakan stasiun 2 terletak di daerah yang dekat dengan pemukiman
penduduk. Menurut Mahida (1986), limbah buangan industri dan rumah tangga
dapat mempengaruhi nilai pH perairan. Nilai pH dapat mempengaruhi spesiasi
52
senyawa kimia dan toksisitas dari unsur-unsur renik yang terdapat di perairan,
sebagai contoh H2S yang bersifat toksik banyak ditemui di perairan tercemar dan
perairan dengan nilai pH rendah.
4.4.4 Salinitas
Hasil pengukuran salinitas pada penelitian di pantai Paciran di peroleh
nilai rata-rata pada stasiun 1 sebesar 31 0/00, pada stasiun 2 sebesar 31,30/00,
kemudian pada stasiun 3 sebesar 31,3 0/00. Adapun grafik hasil pengukuran
salinitas pada penelitian dapat dilihat pada gambar 22.
Gambar 22. Grafik Salinitas Rata-rata Pada setiap Stasiun
Keterangan: 1: stasiun 1 dekat dengan bengkel kapal dan muara 2: stasiun 2 dekat dengan pemukiman penduduk 3: stasiun 3 dekat dengan Hachery
Berdasarkan hasil pengukuran yang didapatkan nilai salinitas setiap
stasiun berkisar 31-31,30/00. Dimana hasil pengukuran pada stasiun 3 dan
stasiun 3 sama tetapi hasil tersebut masih dikategorikan optimal bagi kehidupan
ekosistem lamun dan organisme. Sesuai dengan pernyataan Supriharyono
(2009), secara umum salinitas optimal untuk pertumbuhan lamun 25-35‰.
Kisaran optimal salinitas bagi pertumbuhan gastropoda adalah 28–34 ‰
(Nybakken, 1992).
Kemudian perbedaan nilai salinitas pada stasiun 1 dengan stasiun yang
lainnya kemungkinan disebabkan karena lokasinya yang dekat dengan muara
53
sungai. Menurut King dalam Sukari (1998), menyatakan bahwa di perairan
terbuka, semakin tinggi air tawar yang masuk melalui sungai maka salinitasnya
semakin rendah. Menurut Gilanders (2006) dan Herkul dan Kotta (2009),
penurunan salinitas akan akan menurunkan kemampuan lamun dalam
melakukann fotosintesis. Salinitas juga berpengaruh terhadap biomassa,
produktivitas primer, kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih.
4.4.5 Oksigen Terlarut (DO)
Hasil pengukuran DO pada penelitian di pantai Banjarwati Paciran
Lamongan diperoleh nilai rata-rata DO pada stasiun 1 sebesar 5,3 mg/L, pada
stasiun 2 sebesar 5,4 mg/L sedangkan pada stasiun 3 sebesar 5,8 mg/L. Adapun
grafik hasil pengukuran DO hasil penelitian dapat dilihat pada gambar 23.
Gambar 23. Grafik Oksigen Terlarut Pada Setian Stasiun
Keterangan: 1: stasiun 1 dekat dengan bengkel kapal dan muara 2: stasiun 2 dekat dengan pemukiman penduduk 3: stasiun 3 dekat dengan Hachery
Berdasarkan hasil pengukuran yang di peroleh nilai DO pada setiap
stasiun berkisar antara 5,3-5,8 mg/L. Dimana kandungan oksigen terlarut
tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 5,8 mg/L, sedangkan yang terendah
terdapat pada stasiun 1 yaitu 5,3 mg/L. Rendahnya kandungan oksigen pada
stasiun 1 kemungkinan disebabkan suhu pada wilayah ini cukup tinggi yang
menyebabkan meningkatnya metabolisme pada organisme dan kebutuhan
5.35.4
5.8
5.05.15.25.35.45.55.65.75.85.9
1 2 3
Oksig
en
Terl
aru
t
Stasiun
Rata-rata
54
organisme akan oksigen juga akan tinggi sehingga menyebabkan kadar oksigen
pada perairan akan menurun. Sesuai pernyataan (Reid, 1961; Welch, 1980),
bahwa kecenderungan menurunnya oksigen terlarut di perairan ini sangat
dipengaruhi oleh meningkatnya bahan-bahan organik yang masuk ke perairan
disamping faktor-faktor lainnya diantaranya kenaikan suhu, salinitas, respirasi,
adanya lapisan di atas permukaan air, senyawa yang mudah teroksidasi dan
tekanan atmosfir.
Kemudian kisaran kandungan oksigen terlarut pada perairan Banjarwati
masih berada pada kisaran normal bagi kehidupan organisme. Menurut Effendi
(2003), kandungan oksigen terlarut dibawah 2 mg/L dapat menyebabkan
kematian bagi organisme. Kandungan DO yang optimum untuk moluska bentik
adalah 4.50-6.60 mg/L. Sedangkan menurut Chitramvong dan Sukhant (1981)
dalam Trinorida (1998), standar oksigen terlarut untuk perairan yang
mengandung sebesar 5 mg/L dan untuk mendukung kehidupan biologi secara
normal air harus cukup mengadung oksigen terlarut sebesar 5-7 mg/L
menunjukkan bahwa perairan yang bersangkutan dalam keadaan baik. Sedang
bila oksigen terlarut kurang dari 4 mg/L menunjukkan bahwa perairan itu
kelebihan bahan-bahan organik.
4.5 Kualitas Tanah
4.5.1 Tekstur Tanah
Substrat merupakan komponen penting yang menentukan kehidupan,
keanekaragaman, dan komposisi jenis moluska yang hidup didalamnya. Hasil
analisa pada laboratorium tekstur tanah yang didapat dari penelitian ini adalah
lempung berpasir. Adapun hasil rata-rata nilai tekstur tanah dapat dilihat pada
Tabel 3.
55
Tabel 3.Tipe Substrat Pada Lokasi Penelitian
Stasiun
Tekstur Tipe substrat Pasir % Debu % Liat %
1 81,9 10,5 7,6 Lempung berpasir 2 88,5 4,4 7,06 Lempung Berpasir 3 82,2 10,2 8 Lempung berpasir
Keterangan: 1: stasiun 1 dekat dengan bengkel kapal dan muara 2: stasiun 2 dekat dengan pemukiman penduduk 3: stasiun 3 dekat dengan Hachery
Berdasarkan hasil diperoleh dari semua stasiun merupakan kelas tekstur
berpasir karena presentase pasir pada hasil setiap stasiun lebih tinggi dari
tekstur yang lainnya. Menurut Nybakken (1992) dalam Irawan (2008), tipe
substrat berpasir dibagi menjadi dua, yaitu tipe substrat berpasir halus dan tipe
substrat berpasir kasar. Tipe substrat berpasir kasar memiliki laju pertukaran air
yang cepat dan kandungan bahan organik yang rendah, sehingga oksigen yang
terlarut selalu tersedia, proses dekomposisi di substrat dapat berlangsung secara
aerob serta terhindar dari keadaan toksit. Sementara itu tipe substat berpasir
halus kurang baik untuk pertumbuhan organisme karena memiliki pertukaran air
yang lambat dan dapat menyebabkan keadaan anoksik sehingga proses
dekomposisi yang berlangsung disubstrat pada keadaan anaerob dapat
menimbulkan bau serta perairan yang tercemar. Sedangkan menurut Ramli
(1989), substrat berupa lumpur biasanya mengandung sedikit oksigen dan
karena itu organisme yang hidup didalamnya harus dapat beradaptasi pada
keadaan ini.
Presentase pasir yang tinggi pada setiap stasiun yaitu pada stasiun I
sebesar 81,9 %, pada stasiun II 88,5 % dan pada stasiun III 82,2 % masih
dikategorikan baik untuk ekosistem lamun dan organisme. Menurut Newmaster
et al. (2011), menyatakan bahwa lamun menyukai substrat berlumpur, berpasir,
tanah liat, ataupun substrat dengan patahan karang serta pada celah celah batu,
56
sehingga tidak heran lamun juga masih dapat ditemukan di ekosistem karang
maupun mangrove. Tipe substrat berpasir memudahkan molusca untuk
mendapatkan suplai nutrisi dan air yang diperlukan untuk kelangsungan
hidupnya. Tipe substrat berpasir akan memudahkan molusca untuk menyaring
makanan. Tipe substrat berpasir ini sangat cocok untuk molusca terutama untuk
kelas gastropoda dan bivalvae (Nybakken, 1988).
4.5.2 Bahan Organik Tanah
Bahan organik merupakan salah satu bagian penyusun sedimen atau
substrat dasar perairan, Bahan organik tersebut merupakan timbunan sisa-sisa
organisme perairan yang telah mati (Buckman dan Brady, 1982).Dari analisa
tanah di Laboratorium UPT Pengembangan Agribisnis Tanaman Pangan dan
Hortikultura Badali Lawang, Malang. Adapun hasil analisa dapat dilihat pada
lampiran 4.
Hasil analisa bahan organik tanah dari masing masing stasiun didapatkan
rata-rata yaitu pada stasiun 1 sebesar 0,08%, pada stasiun 2 sebesar 0,02% dan
pada stasiun 3 sebesar 0,00%. Rendahnya kandungan bahan organik pada
setiap stasiun dikarenakan tipe substrat pada pantai Banjarwati Paciran,
Lamongan didominasi pasir sehingga kandungan bahan organiknya sangat
rendah. Sesuai pernyataan Soepardi (1989) dalam Ukkas (2009), sedimen pasir
kasar umumnya memiliki jumlah bahan organik yang sedikit dibandingkan jenis
sedimen yang halus, karena sedimen pasir kasar kurang memiliki kemampuan
untuk mengikat bahan organik yang lebih banyak. Sebaliknya, jenis sedimen
halus memiliki kemampuan cukup besar untuk mengikat bahan organik. Karena
bahan organik sedimen memerlukan proses aerasi. Standar bahan organik total
yang diperbolehkan agar organisme dapat hidup berkisar 0,68-17ppm. Menurut
Ardi (2002), bahwa sedimen berpasir memiliki kandungan bahan organik lebih
57
sedikit dibandingkan sedimen lumpur, karena dasar perairan berlumpur
cenderung mengakumulasi bahan organik yang terbawa oleh aliran air, dimana
tekstur dan ukuran partikel yang halus memudahkan terserapnya bahan organik.
Sedikitnya kandungan bahan organik pada lokasi penelitian berdampak
terhadap nilai kelimpahan, dimana pada penelitian ini kategori kelimpahan
organisme gastropoda tergolong rendah. Menurut Mosbahi et al. (2016), bahwa
kelimpahan gastropoda di pengaruhi oleh kandungan bahan organik serta tipe
substrat yang ada di suatu perairan. Didukung oleh kajian oleh Pratiwi (2017),
bahwa korelasi positif kelimpahan organisme gastropoda mengarah kepada
kandungan bahan organik total (BOT) serta kandungan nutrien di perairan.
58
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Hasil pengukuran kualitas air pada pantai Banjarwati menurut Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup KEP No.51/MENLH/I/2004 tentang kriteria
baku mutu air laut untuk biota laut, bahwa kondisi perairan pesisir pantai
Banjarwati masih tergolong optimal bagi kehidupan organisme
gastropoda. Untuk substrat pantai Banjarwati di dominasi oleh pasir,
kandungan bahan organik tanah tergolong rendah berkisar 0,00%-0,08%
sehingga kualitas tanah tergolong kurang baik untuk organisme
gastropoda.
2. Hasil analisa struktur komunitas gastropoda yang ditemukan 7 jenis
gastropda pada pantai Banjarwati diataranya Cantharus undosus, Pyrene
scripta, Nassarius dorsatus, Cerithideopsilla alata, Telescopium
telescopium, Nerita polita, Cerithium granosum. Untuk nilai kelimpahan
tergolong rendah, indeks keseragaman tergolong sedang dan spesies
gastropoda yang mendominasi adalah jenis Cerithium granosum.
5.2 Saran
Hasil kelimpahan gastropoda pada pesisir Banjarwati tergolong rendah,
untuk itu perlu adanya usaha pengelolaan yang berkelanjutan atau tindakan
konservasi untuk ekosistem lamun, yaitu memberikan sosialisasi kepada
masyarakat dengan mengurangi aktivitas berlebih di daerah tersebut dan ikut
serta memilihara kelestarian ekosistem padang lamun. Supaya struktur
komunitas gastropoda di kawasan pantai Banjarwati Paciran, Lamongan tetap
lestari.
59
DAFTAR PUSTAKA
Ardi, 2002. Standard Methods for The Examination of Water and Waste Water. 18th. Washington.
Arbi, U.Y. 2014. Taksonomi dan Filogeni Keong Famili Potamididae (Gastropoda: Mollusca) di Indonesia Berdasarkan Karakter Morfologi. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ayyakkannu,K., C. Raghunathan and T.Rajkumar, 1991. Socio economic profiles of fisherman communities from the Southeast coast of India. Journal Phuket Marine. BiologicalCenter Special Publication No.9:49-55.
Barnes, K. S. K & K. H. Mann. 1994. Fundamental of Aquatic Ecology. London : Blackwell Scientific Publication.
Barranguet, C., M.R. Plante-Curry and E. Alivon. 1996. Microphytobenthos production in the Gulf of Fos, French Mediterranean Coast. -Hydrobiologia 333: 181-193.
Bengen, D. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaanya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB.
Buckman, H.D. & N.C. Brady. 1982. The Natural and Properties of Soil. The macmilan Company, New York.
Cappenberd, H.AW., Panggabean, M.G. 2005. Moluska di perairan gugus Pulau Pari, kempulauan seribu, teluk Jakarta. J oldi. 37: 69-80.
Cappenberg, H.A.W., Aziz, A. dan Aswandy, I. 2006. Komunitas Moluska di
Perairan Teluk Gilimanuk, Bali Barat.Oseanologidan Limnologi di Indonesia 40: 53-64.
Carpenter, K.E. dan Niem, V.H. 1998. FAO Species Identification Guidie for Fishery Purposes. The Living Marine Resources of the Wastern Central Pacific Volume 2. Cephalopods, Crustaceans, Holothurians, and Sharks. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.
Den Hartog. C. 1970. The Seagrasses Of The World. North Holland Publisher, Amsterdam.
Dewiyanti, I. 2004. Struktur Komunitas Moluska (Gastropoda dan Bivalvia) Serta Asosiasinya Pada Ekosistem Mangrove Dikawasan Pantai Ulee-Lheue, Banda Aceh, NAD. Program Studi Ilmu Kelautan. FPIK.Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Dharma, B. 1988.Siput dan Kerang Indonesia. Penerbit PT. Sarana Graha,Jakarta.
Dibyowati, L. 2009. Keanekaragaman Moluska (Bivalvia dan Gastropoda) di Sepanjang Pantai Carita, Pandeglang, Banten.Skripsi.Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Bogor.
60
Dojildo, J.R., and G.A. Best. 1992. Chemistry of Water and Water Pollution. Ellis Horwood Limited. New York.
EPA, 1999, EPA Guidance Manual. Importance Turbidity Provision, Google http : // www.epa.gov.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya Lingkungan Perairan.Kanisius. Yogyakarta.
Fadli N, Setiawan I, Fadhilah N. 2012. Keragaman makrozoobenthos di perairan Kuala Gigieng Kabupaten Aceh Besar. J Depik 1:45-52.
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 1998. p. 1046-1128. In: Carpenter KE, Niem VH (eds). FAO species identification guide for fishery purposes, the living marine resource of the Western Central Pasific, vol 2: cephalopods, crustaceans, holothurians, and sharks. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations.Hogarth, P.J. 2007. The Biology of Mangrove. Oxford University Press. Inc. New York. 77-115.
Ferianita, FM. 2007. Metode Sampling Bioekologi. PT Bumi Aksara. Yogyakarta.
Fredriksen, S., A. de Backer , C. Bostrom, & H. Christie. 2010. Infauna from Zostera marina L. meadows in Norway. Differences in Vegetated and Unvegetated Areas.Mar. Biol. Res. 6: 189-200.
Gilanders, B.M. 2006. Seagrasses, Fish, and Fisheries. In: Larkum, A.W.D., Orth, R.J., Duarte, C.M. (Eds.), Seagrasses: Biology, Ecology, and Conservation. Springer, The Netherland, 503-536pp.
Gosari. B. A. J Dan Abdur. H. 2012. Studi Kerapatan Dan Penutupan Jenis Lamun Di Kepulauan Spermonde. ISNN: 0853-4489. Vol. 22 (3).
Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. UGM Press, Yogyakarta.
Hargreaves, JA., 1999, Control of Cly Turbidity in Ponds, Google http : //www. aquanic.org
Hartini.H.,I.W.A., Joko.W. 2012. Struktur Komunitas Makrozoobentos Pada Tiga Muara Sungai Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Di Pesisir Pantai Ampenan Dan Pantai Tanjung Karang Kota Mataram Lombok.ISSN: 1907-5626. 7(2): 116-125.
Hawkes, H. A. 1979. Biological Indicators of Water Quality.A Wiley-Interscience Publication. New York.
Hawkes, H. A., 1978 River Zonation and Classification in River Ecology, ed. By. B. A. Whitten. Blackwell Scientific Publication. Oxford.
Helglmeier A, Zidorn C. 2010. Secondary metabolites of Posidonia oceanica (Posidoniaceae). Journal Biochemical Systematic and Ecology 38:964-970.
Hendrawan. I. G., Devi. U dan I. P. R. F. M. 2016. Karakteristik total padatan tersuspensi (total suspended solid) dan kekeruhan (turbidity) secara vertikal di perairan teluk benoa, bali. Journal of marine and aquatic sciences. 2: 29-33.
61
Herfina. 2014. Hubungan Kelimpahan Epifauna yang Berasosiasi dengan Lamun pada Tingkat Kerapatan Lamun yang Berbeda di Pantai Pulau Panjang Jepara. Universitas Diponegoro. Semarang.
Herkul, K., & Kotta, J. 2009. Effects of Eelgrass (Zostera marina) Canopy Removal and Sediment Addition on Sediment Charac teristics and Benthic Communities in the Northern Baltic Sea.Mar. Ecol. 30:74-82.
Hitalessy, R. B., Amin, S. L dan Endang, Y. H. 2015. Struktur Komunitas Dan Asosiasi Gastropoda Dengan Tumbuhan Lamun di Perairan Pesisir Lamongan Jawa Timur.ISSN: 2087-3522. Vol. 06 No. 01.
Hutabarat dan Evans., 1985. Pengantar Oseanografi. UI Press. Jakarta.Hutabarat, S dan Evans, S. M. 1995. PengantarOseanografi. Universitas Indonesia Press.Jakarta. 123-124pp.
Hutchinson, G. E. 1993. The Zoobenthos. Y. H. Edmondson [ed.]. John Wiley & Sons, Inc., New York, 944 p.
Hutomo M. 1986. Ekosistem Lamun. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Hutomo, M., W. Kiswara And M.H. Azkab 1988. The Status Of SeagrassEcosystems In Indonesia : Resources, Problems, Research And Management.Paper Presented At Seagram I, Manila 17-22 January 1988 : 24Pp.
Indrawan, G. S., Deny, S. Y., dan Devy, U. 2016. Asosiasi Makrozoobentos Pada Padang Lamun DI Pantai Merta Segara SANUR, BALI. ISSN : 1410-5292. 20 (1): 11-16.
Indriyanto. 2005. Ekologi Hutan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Isaji, S. 1993. Formation of Organic Sheets in the Inner Shell Layer of Geloina (Bivalvia: Corbiculidae): An Adaptive Response to Shell Dissolution. Veliger 36 (2) : 166-173.
Isaji, S.1995. Defensive Strategies Against Shell Dissolution in BivalvesInhabiting Acidic Environments: The case of Geloina (Corbiculidae) in Mangrove Swamps. Veliger 38 (3) : 235-246.
Kartawinata, K. S., S. Adisoemarto,. Soemihardjo, and I. G. M. Tantra. 1979. Status Pengetahuan Hutan Bakau di Indonesia. Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove 1, Hal: 21-39.
Karyanto, P., Maridi, Meti, I. 2004. Variasi cankang Gastropoda Ekosistem Mangrove Cilacap Sebagai Alternatif Sumber Pembelajaran Moluska; Gastropoda. ISSN 1693-265X. Vol 1(1): 1-6.
Kawaroe M. 2009. Perspektif lamun sebagai blue carbon sink di laut. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional 1 Pengelolaan Ekosistem Lamun
Perubahan.
Kellog,D., Fautin,D.G., 2004. Jurnal Kerang: Classis Bivalvia, Animal Diversity.
62
Kiswara, W. 1999.Struktur Komunitas Padang Lamundi Perairan Sumatera Utara, Hlm. 154-166. Prosiding Seminar Kelautan Sumatera Kedua.Padang, 6-7 Agustus 1999.
Kiswara W. 2004.Kondisi Padang Lamun (seagrass) di Teluk Banten 1998 2001.Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Kiwol, C. B. D. J. 2008. Analisis Logam Berat Merkuri (Hg) pada Gastropoda Lumpur dan Air Di teluk Amurang Kabupaten Minahasa Selatan. Chem Prog. I (2) : 71-77.
Kordi, K.M.G.H. 2011. Ekosistem Lamun (Seagrass). Jakarta: Rineka Cipta.
Kusnadi, A., U.E. Hernawan dan T.Triandiza. 2009. Molusca padang lamun kepulauan Kei Kecil. LIPI Press. Jakarta. 187 p.
Lanyon, J. 1986. Guide to the identification of seagrasses in the Great BarrierReef region, Special PublicationSeries (3), Great Barrier Reef MarinePark Authority, Queensland,Australia, hlm. 1, 5-8, 43.
Latuconsina, H., Madehusen, S dan La, D. 2013. Asosiasi Gastrpoda Pada Habitat Lamun Berbeda Di Perairan Pulau Osi Teluk Kotania Kabupaten Seram Barat. Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan). Vol. 23 (2).
Lumingas, L. J. L., (1990). Les structures trophiquesau sein de la macrofaune des sédiments, Rapport du DEA, Fac. des Science et Technique, Univ. de Bretagne Occidentale, Brest.
Mahida, U.N. 1986. Pencemaran dan Pemanfaatan Limbah Industri. RajawaliPress, Jakarta.
Marpaung, A. A. F. 2013. Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Ekosistem Mangrove Silvofishery Dan Mangrove Alami Kawasan Ekowisata Pantai Boe Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar.Skripsi.Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanuddin .Makassar.
Maryam, S., Elof, M. K., dan Isrojaty, J. P. 2012. Pengaruh perbedaan pancing jigs beradium dan berlampu terhadap hasil tangkapan sotong di perairan pantai Sario Tumpaan Kota Manado.Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap. Universitas Sam Ratulangi. Manado. 1(1): 18-21.
McKenzie LJ & Yoshida RL. 2009. Seagrass-Watch : Proceding of workshop for monitoring seagrass habitats in Indonesia. The Nature Conservancy, Coral Triangel Center, Sanur Bali. 9th May 2009. Seagrass-Watch HQ, Caims. 56pp.
Metungun, J., Juliana., Mariana. Y. B. 2011. Kelimpaha Gastropoda Pada Habitat Lamun Di Perairan Teluk Un Maluku Tenggara. Proseding Seminar Nasional. Program Studi Budidaya Perairan, Politeknik Perikanan Negeri Tual.
MNLH. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tentang Baku MutuAir laut. KEP No-51/MNLH/I/2004. 8 April 2004. Jakarta.
63
Mosbahi. N, Jean-Philippe Pezy, Jean-Claude Dauvin, Lassad Neifar. 2016. Spatial and Temporal Structures of the Macrozoobenthos from the Intertidal Zone of the Kneiss Islands (Central Mediterranean Sea). Of Marine Science. 6(1). 223-237.
Musa, S. H. 2013. Evaluasi Sistem Pengendalian Manajemen Untuk Meningkatkan Kinerja Manajer Penjualan Pada Pt. Hasjrat Abadi Manado.ISSN 2303-1174.Vol.1 No.4 Hal.1790-1798.
Musfiqon, 2012. Musfiqon. 2012. Pengembangan Media dan Sumber Media Pembelajaran. PT. Prestasi Pustakaraya : Jakarta.
Nainggolan, P. 2011. Distribusi Spasial dan Pengelolaan Lamun (Seagrass) Di Teluk Bakau, Kepulauan Riau.Skripsi, IPB. Bogor.
Nasria, R., Salwiyah, dan Nur,I. 2016. Perbandingan Kepadatan dan Keanekaragaman Perifiton Pada Substrat Buatan Yang Berbeda Di Perairan Air Terjun Tinonggoli (Nanga-nanga) Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan. 2(1): 71-78.
Nawawi, H. 1996. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada Universitas
Pres. Yogyakarta. Halaman 63.
Newmaster AF, Berg KJ, Ragupathy S, PalanisamyM, Sambandan K, Newmaster SG. 2011. Localknowladge and conservation of seagrass in theTamil Nadu State of India. Journal of Ethnobiologyand Ethnomedicine. 7: 37.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djamatan. Jakarta. Nontji. A. 2009. Rehabilitasi Ekosistem Lamun dalam Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir. Lokakarya Nasional I Penelolaan Ekosistem Lamun. 18 November 2009. Jakarta, Indonesia.
Norse, E.A. and L.B. Crowder, 2005, Marine Conservation Biology, Island
PressWashington, 470 pages.
Nybakken, J. W. 1988. Biologi-Laut; Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkanoleh H.M. Eidman Koesbiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukardjo. P.t. Gramedia. Jakarta. 443 hal.
Nybakken, J.W., 1992, Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis (alih bahasa : M.Eidmen, Koesbiono, D.G. Bengen, M. Hutomo & S. Sukardjo) Cetakakn II PT Gramedia Jakarta.
Odum, E.P. 1983. Basic Ecology. Saunders College Publishing, New York.
Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Diterjemahkan dari Fundamental of Ecology oleh T. Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta..
Oksana, M, I., M, U. H. 2012. Pengaruh Alih Fungsi Lahan Hutan Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Terhadapsifat Kimia Tanah. Jurnal Agroteknologi. Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Dan Peternakan Uin Sultan Syarif Kasim. Riau. Vol. 3 No.1: 29-34.
Pechenik, J.A. 1991. Biology of the Invertebrate. WCB Publisher. USA.
64
Prakoso, K., Supriharyono, Ruswahyuni. 2015. Kelimpahan Epifauna Di Subsrat Dasar dan Daun Lamun Dengan Kerapatan Yang Berbeda Di Pulau Pahawang Provinsi Lampung. ejournal. Vol. 04(3): 117-122.
Pratiwi, R., I. Al Hakim, I.Aswandy, S.A. Genisa dan Mujiono. 1997. Komunitas Fauna Epibentik Padang Lamun di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Inventarisasi dan Evaluasi Potensi Laut Pesisir II. Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta. 11pp.
Pratiwi, I. 2017. Karakteristik Parameter Fisika Kimia Pada Berbagai Aktivitas Antropogenik Hubungannya Dengan Gastropoda Di Perairan Pantai Kota Makassar. [Skripsi]. Universitas Hasanuddin.
Putro, S. P. 2014. Metode Sampling Penelitian Makrobenthos dan Aplikasinya.Yogyakarta (ID):Graha Ilmu.
Ramadhani, S. F., dan Ahmad, M. 2014. Hubungan Panjang Bobot Dan Kondisi Ekologi Ikan Gelodok (Periophthalmus Chrysospilos Bleeker, 1852) Di Pantai Bali Desa Mesjid Lama Kecamatan Talawi Kabupaten Batu Bara Provinsi Sumatera Utara. SKRIPSI.Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ramli, D. 1989. Ekologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rashed, M. A., L. Long, W. J. McKenzie, L. J. Roder, C. A. Roelofs, A. J. Coles and R.G. Coles. 1995. Port of Karumbu.Seagrass Monitoring Baseline Surveys.EcoPorts onograph Series Num. 4.
Ratnawati. 1998. Analisis bakteriologik pada kerang hijau dan sampel air di sekitar perairan muara kamal. Fakultas perikanan. Institute pertanian bogor. Skripsi. 54 hal
Regebregt, M. J. 2015. Ekosistem Lamun Di Kawasan Pesisir Kecamatan Kei Besar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara, Propinsi Maluku, Indonesia.Widyariset.UPT Loka Konservasi Biota Laut Tual LIPI. Maluku Tenggara. 1(1):79-86.
Reid, G. K 1961. Ecology of Inland Water and Estuaries. Reynold Publishing Co., New York.
Romimohtarto, K. dan S. Juwana. 2001. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Penerbit Djambatan. Jakarta. 540 hlm.
Riniatsih, I. dan Widianingsih. 2007. Kelimpahan Dan Pola Sebaran Kerang-Kerangan (Bivalve) Di Ekosistem Padang Lamun, Perairan Jepara. ISSN 0853 7291. Vol. 12 (1): 53-58.
Ruswahyuni. 2008. Hubungan antara Kelimpahan Meiofauna dengan Tingkatan Kerapatan Lamun yang Berbeda di Pantai Pulau Panjang Jepara. Universitas Diponegoro. Semarang
Rusyana, A. 2011.Zoologi Invertebrata (Teori dan Praktik).Bandung. Penerbit Alfabeta.
65
Sari. S. H. J Dan Ledhyane. I. H. 2015. Kelayakan Kualitas Perairan Sekitar Mangrove Center Tuban Untuk Aplikasi Alat Pengumpul Kerang Hijau (Perna Viridis L.). Research Journal Of Life Science. Vol. 02 No. 01.
Setyaboma, D. B., Supriharyono, Ruswahyuni. 2015. Pengaruh Jarak Pantai dan Tipe Substrat Dasar Perairan Terhadap Kelimpahan dan Jenis Epifauna di Perairan Pulau Panjang Sebelah Barat dan Selatan Jepara. Diponegoro Journal Of MaquaresManagement Of Aquatic Resources.Vol. 4 No. 3: 20-28.
Setyawati, Y., Subiyanto, Ruswahyuni. 2014. Hubungan Antara Kelimpahan Epifauna Dasar Dengan Tingkatan Kerapatan Lamun Yang Berbeda Di Pulau Panjang dan Teluk Awur Jepara. ejournal. Vol. 03(4): 235-242.
Setyobudiandi, I. 1997. Makrozoobentos. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Siregar, B. P., 1997. Struktur Sebaran Spasial dan Asosiasi Komunitas Makrozoobentos pada Ekosistem Padang Lamun di Perairan TelukBanten, Jawa Barat. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor.
Situmorang, S. H., I. Muda, Dalimunthe, D. M. J., Fadli dan Syarief, F. 2010. Analisis data : untuk riset manajemen dan bisnis. USU Press. Medan.
Soegiarto, A. 1978. Rumput Laut (Algae). Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI,
Jakarta.
Solihat, W. D. 2017. Struktur Komunitas Lamun Di Pesisir Desa Banjarwati, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Skripsi. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya. Malang.
Suprapto. 2011. Metode Analisis Parameter Kualitas Air Untuk Budidaya Udang. Shrimp Club Indonesia.
Supriati, R. 2009. Sea Grasses Diversity And Distribution In Intertidal Area Of Teluk Sepang Selebar Region The City Of Bengkulu. KOnsevasi Hayati. Vol. 05 No.01: 74-80.
Supriharyono. 2000. Pelestarian Dan Pengelolaan Sumbeerdaya Alam Di Wilayah Pesisir Dan Laut Tropis. Pt. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Susilo. Y. S. B., Norma. A., Mauritz. L. T Dan Heni. S. 2007. Rona Awal Makrobentos Di Perairan Tapak PLTN Muria.Jurnal Pengembangan Energi Nuklir. Vol. 97 No. 1
Syaffitri E. 2003. Struktur Komunitas Gastropoda (Molusca) Di Hutan Mangrove Muara Sungai Donan Kawasan BKPH Rawa Timur, KPH Banyumas Cilacap, Jawa Tengah. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.
Syamsulrizal.2011. Studi Beberapa Indeks Komunitas Makrozoobenthos Di Hutan Mangrove Kelurahan Coppo Kabupaten Barru.Skripsi.Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanuddin.Makassar.
66
Syari, I. A. 2005. Asosiasi Gastropoda Di Ekosistem Padang Lamun Perairan Pulau LeparProvinsi Kepulauan Bangka Belitung.SKRIPSI.Fakultas Perikanan Dan Ilmu KelautanInstitut Pertanian Bogor. Bogor.
T., A.J. Mah, A. Nontji, dan M.K. Moosa, 1997, The ecology ofIndonesian seas, The ecology ofIndonesia series, Vol. VIII, Part 2,Periplus editions (HK) Ltd., Singapore,hlm. 829-830, 833-834, 836-837, 842, 844, 849, 860-861.
Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji and M. K. Moosa. 1997. The Ecology of Indonesian Seas, Part I. The Ecology of Indonesia Series, Volume VII. Periplus Editions, Singapore, 642 p.
Trialfhianty, T. I. 2011. Kondisi Perairan Laut Pantai Sundak Dan Pantai Ngandong Gunung Kidul.09/286337/PN/11826. Manajemen Sumberdaya Perikanan.
Trinorida. Y.B. 1998. Preferensi Habitat Gastropoda Di Hulu Sungai Serayu. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Biologi UGM
Turra, A. and M. R. Denadai. 2006. Microhabitat Use By TwoRocky Shore Gastropods In An Intertidal Sandy SubstrateWith Rocky Fragments. Brazil. Journal Biology, 351-355.
Ukkas, M. 2009. Kajian Aspek Bioekologi Vegetasi Mangrove Alami dan Hasil Rehabilitasi di Kecamatan Keera Kab Wajo Sulawesi Selatan. Hibah Penelitian. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Utomo. B. 2006. Ekologi Benih. USU Press, Medan. Karya ilmiah.
Wally, Y. 2003. Asosiasi Epifauan (Gastropoda) Pada Ekosistem Mengrove di Muara Sungai Bengawan Solo Ujung Pangkah Gresik, Jawa Timur. Program Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Skripsi.
Wardhana, W.A. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan (Edisi revisi). Penerbit Andi. Yogyakarta.
Waycott, M., K. McMahon, J. Mellors, A. Calladine, and D. Kleine, 2004.A Guide to Tropical Seagrasses of the Indo- West Pacific. James Cook University, Townsville Queensland Australia.
WEEB, J.E.; J.A., WALLWORK and J.H., ELGOOD 1978. Guide to invertebrates animal. The Macmilan Press Ltd,. Hong-kong : 305 pp.
Welch, E. B 1980. Ecological Effects of Waste Water.Cambridge University Press, Cambridge: p. 337.
Wirawan. A. A. 2014. Tingkah Kelangsungan Hidup Lamun Yang Ditransplantasi Secara Multispesies Di Pulau Barranglompo.Skipsi.Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar.Makassar.
Yonge, C. M. dan Thompson, T. E. 1976.Living marine molluscs. William Collins and Sons & Co, London.
67
Yuniati, N. 2012.Keanekaragaman dan Distribusi Bivalvia dan Gastropoda (Moluska) Di Pesisir Glayem Juntiyuat, Indramayu, Jawa barat. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Yunitawati., Sunarto dan Z. Hasan. 2012. Hubungan Antara Karakteristik Substrat Dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Sungai Cantigi, Kabupaten Indramayu. Jurnal Perikanan dan Kelautan 3(3): 221-227.