STRATEGI PENGEMBANGAN SEKTOR PARIWISATA ...repository.ub.ac.id/1788/1/Deddy Hasan.pdfv RINGKASAN...
Transcript of STRATEGI PENGEMBANGAN SEKTOR PARIWISATA ...repository.ub.ac.id/1788/1/Deddy Hasan.pdfv RINGKASAN...
STRATEGI PENGEMBANGAN SEKTOR PARIWISATA DALAM MENINGKATKAN
PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN PONOROGO
(Studi Pada Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo dan Objek Wisata Telaga Ngebel)
SKRIPSI
Diajukan untuk menempuh ujian sarjana pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
DEDDY HASANNIM. 105030104111013
UNIVERSITAS BRAWIJAYAFAKULTAS ILMU ADMINISTRASIJURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK
MALANG2017
i
MottoSelalu percaya bahwa manusia di ciptakan dengan kemampuannya masing
masing. Jujur , berani, dan saling menhargai sesama serta senantiasa
mengharap ridho ALLAH SWT
ii
iii
TANDA PENGESAHAN
Telah dipertahankan di depan Majelis Penguji Skripsi Fakultas
Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, pada :
Hari : Kamis
Tanggal : 27 Juli 2017
Jam : 11.00 12.00 WIB
Skripsi Atas Nama : Deddy Hasan
Judul : Strategi Pengembangan Sektor Pariwisata
Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
Kabupaten Ponorogo (Studi Pada Dinas
Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga
Kabupaten Ponorogo dan Objek Wisata Telaga
Ngebel)
Dan Dinyatakan LULUS
MAJELIS PENGUJI
Ketua
Dr. Hermawan S.IP, M.Si NIP. 19720405 200312 1 001
Anggota
Drs. Abdul Wachid M.AP NIP. 19561209 198703 1 008
Anggota
Dr. Mochammad Makmur, MSNIP. 19511028 1980032 1 002
Anggota
Nana Abdul Azis S.AP M.APNIP. 198407 13201504 1004
iv
v
RINGKASAN
Deddy Hasan, 2017, Strategi Pengembangan Sektor Pariwisata Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Ponorogo ( Studi Pada Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo dan Objek Wisata Telaga Ngebel), Ketua Komisi Pembimbing Utama : Dr. Hermawan, S.IP , M.Si dan Anggota Komisi Pembimbing : Drs. Abdul Wachid, M.AP.
Sesuai dengan semangat otonomi daerah yang memberikan hak dan wewenang kepada daerah otonom untuk mengelola sendiri pemerintahan setempat. Untuk mencapai tujuan dari otonomi daerah maka pemerintah daerah harus jeli dalam melihat potensi dan menjadikan potensi tersebut sebagai unggulan yang dapat dikembangkan menjadi basis perekonomian daerah. Pemerintah Kabupaten Ponorogo memiliki objek wisata telaga ngebel sebagai tempat wisata unggulan di Kabupaten Ponorogo oleh sebab itu penulis ingin mengetahui strategi dalam pengembangan objek wisata telaga ngebel dalam upaya meningkatkan pendapatan asli daerah.
Dalam Penelitian ini metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang terfokus pada bentuk – bentuk strategi pengembangan objek wisata telaga ngebel dalam perspektif entrepreneurial government dan faktor pendukung dan penghambat yang berpengaruh dalam pengembangan objek wisata telaga ngebel. Lokasi dan situs penelitian yaitu berlokasi di Kabupaten Ponorogo dan situs penelitiannya di Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo dan objek wisata telaga ngebel. Jenis dan sumber data yang digunakan yaitu sumber data primer dan sekunder. Analisis data yang digunakan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Berdasarkan Hasil Penelitian yang telah dilakukan diobjek wisata telaga ngebel dan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo dalam upayanya mengembangkan objek wisata telaga ngebel adalah dengan pembangunan sarana dan prasarana serta mengembangkan potensi wisata yang ada sehingga bisa meningkatkan minat wisatawan untuk berkunjung. faktor pendukungnya adalah lokasi wisata serta adanya website yang informatif kemudian ada juga faktor penghambatnya yaitu ketersedian lahan untuk menambahkan fasilitas disekitar objek wisata telaga ngebel.
Saran yang diberikan yaitu Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda Dan Olahraga Kabupaten Ponorogo harus mampu melihat peluang dan mampu mengelola objek wisata telaga ngebel. Selain itu sarana dan prasarana seperti aksesibilitas dan juga akomodasi harus senantiasa di tingkatkan dan harus segera mengatasi hambatan dan juga menambahkan fasilitas sehingga objek wisata telaga ngebel bisa lebih berkembang dan bisa menambah pendapatan daerah Kabupaten Ponorogo.
Kata Kunci : Pengembangan, Pariwisata, Telaga Ngebel
vi
SUMMARY
Deddy Hasan, 2017, The Strategy of the development of the tourism sector in increasing income of native areas in Ponorogo. (Study on Culture Tourism Agency of Youth and Sports Ponorogo and Ngebel Lake Tourism Object). Head of Main Advisory Committee : Dr. Hermawan S.IP M.Si and Advisor Committee member : Drs Abdul Wachid, M.AP.
In accordance with the spirit of regional autonomy which gives the autonomous regions the right and authority to manage their own local government. To achieve the goal of autonomous region then local governments must be observant in looking at potential and makes the potential to be potential leading that could be developed into base of regional economy. Ponorogo district government has a tourist attraction ngebel lake as a leading tourist in the district Ponorogo therefore the authors want to know the strategy in the development of tourism object ngebel lake in effort to increase local revenue.
This study used descriptive method by using a qualitative approach which focused on the shape of development strategy of ngebel lake tourism object in the perspective of entrepreneurial government and supporting factors and obstacles that influence the development of tourism object ngebel lake. Location and research sites are located in Ponorogo District and research sites in the Departement of Culture Tourism Youth and Sports Ponorogo Regency and Tourism object Ngebel Lake. Types and source of data used in this study are primary and secondary data sources. Analysis of data reduction, data presentation and drawing conclusion.
Based on the result of research that has been done in ngebel lake tourism object and tourism culture department of youth and sports disctrict Ponorogo in its efforts to develop a tourist attraction Ngebel Lake is by development of facilities and infrastructure and develop the existing potential so as to increase the interest of tourists to visit. The supporting factor is the location of tourism as well as the existence of an informative website than there are also inhibiting factors that are the availability of land to add facilities around the tourist attraction in Ngebel Lake.
The suggestion given is The Tourism Culture Youth And Sports Ponorogo Distict should be able to see the opportunities and able to manage the attraction of ngebel lake. Other than that facilities and infrastrucutur such as accessibility and accommodation should always be upgraded and must immediately overcome obstacle and also add facilities so ngebel lake tourism object can be more developed and can increase local revenue.
Keyword : Development, Tourism, Telaga Ngebel
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Allhamdulillahirrobi’alamin penulis ucapkan rasa syukur kepada Allah
SWT yang telah memberikan rahmat dan rezki-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul Strategi Pengembangan Sektor Pariwisata
Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Ponorogo (Studi Pada
Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda Dan Olahraga Kabupaten Ponorogo Dan
Objek Wisata Telaga Ngebel) Sholawat serta salam tak lupa selalu tertuju kepada
Nabi Muhammad SAW, pemimpin umat manusia. Skripsi ini merupakan tugas
akhir yang diajukan untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana
Ilmu Administrasi Publik pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Malang.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud
tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. Bambang Supriyono, M.S. selaku Dekan Fakultas Ilmu
Administrasi Universitas Brawijaya Malang.
2. Bapak Dr. Choirul Saleh, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya Malang.
3. Ibu Dra Lely Indah Minarti, Msi selaku Ketua Prodi Administrasi Publik
4. Bapak Dr. Hermawan, S.IP , M.SI selaku pembimbing satu dan Bapak Drs.
Abdul Wahid, M.AP selaku pembimbing dua yang telah meluangkan waktu
dan memberikan masukan serta arahannya dengan sabar di saat bimbingan.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya atas Ilmu
yang diberikan selama ini.
6. Seluruh pegawai dan staff Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
7. Kepala Dinas dan Seluruh pegawai Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda
dan Olahraga Kabupaten Ponorogo, teristimewa Bapak Edy Darwanto serta
Ibu Fadila Nur Aini, dan serta warga Ponorogo, dan wisatawan atas
bantuannya dalam penelitian ini.
viii
8. Kedua orang tua, Ayahku Edy Riyanto dan Ibuku Siti Sariningsih, dengan
doa yang tiada henti, tenaga, dan pikiran, airmata yang telah di korbankan
demi kehidupan anak – anaknya.
9. Kepada saudaraku satu – satunya Rivaldy Hasan,
10. Semua pihak yang yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini..
Demi kesempurnaan skripsi ini, saran dan kritik yang sifatnya membangun
sangat penulis harapkan. Semoga karya skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat
memberikan sumbangan yang berarti bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Malang, 20 Juni 2016
Deddy Hasan
ix
DAFTAR ISI
MOTTO ........................................................................................................... iTANDA PERSETUJUAN SKRIPSI ............................................................. iiTANDA PENGESAHAN SKRIPSI .............................................................. iiiPERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ............................................... ivRINGKASAN.................................................................................................. vSUMMARY ..................................................................................................... viKATA PENGANTAR .................................................................................... viiDAFTAR ISI .................................................................................................. ixDAFTAR TABEL ........................................................................................... xiiDAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiiiDAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xivBAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................. 1B. Rumusan Masalah ....................................................................... 6C. Tujuan Penelitian......................................................................... 6D. Kontribusi Penelitian ................................................................... 7E. Sistematika Penelitian ................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 10A. Administrasi Publik ..................................................................... 10B. Desentralisasi dan Otonomi Daerah............................................ 13
1. Otonomi Daerah..................................................................... 132. Pendapatan Asli Daerah......................................................... 15
C. Konsep Entrepreneurial Government.......................... ................ 161. Konsep Entrepreneurial Government dalam Perspektif
Administrasi Publik…………………………………………. 162. Reinventing Government…………………………………… 203. Strategi Menuju Entrepreneurial Government…………….... 26
D. Pariwisata .................................................................................... 351. Pengertian Pariwisata.............................................................. 352. Undang- undang pariwisata ................................................... 373. Jenis-jenis Pariwisata.............................................................. 384. Bentuk - bentuk Pariwisata ..................................................... 405. Komponen – komponen Pariwisata ........................................ 416. Peranan Pariwisata………………………………………….. 457. Peranan Pemerintah dalam Industri Pariwisata ...................... 48
E. Strategi ........................................................................................ 501. Strategi Pengembangan .......................................................... 502. Konsep Strategi Pengembangan Pariwisata............................ 543. Langkah – Langkah Pokok Strategi Pengembangan………... 55
x
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................. 57A. Jenis Penelitian ............................................................................ 57B. Fokus Penelitian .......................................................................... 59C. Lokasi dan Situs Penelitian ......................................................... 61D. Sumber dan Jenis Data ................................................................ 61E. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 63F. Teknik Analisis Data ................................................................... 64
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 68A. Gambaran Umum Kabupaten Ponorogo..................................... 68
1. Letak Geografis dan Topografi Kabupaten Ponorogo…….... 682. Sejarah Pemerintahan Kabupaten Ponorogo…................... ... 693. Visi dan Misi Kabupaten Ponorogo………………………... 70
B. Gambaran Umum Situs Penelitian .............................................. 721. Visi dan Misi Disbudparpora................................................. 722. Tugas Pokok dan Fungsi Disbudparpora…………………... 733. Pejabat dalam Struktur Organisasi......................................... 74
C. Penyajian Data Fokus................................................................. 751. Bentuk-bentuk Strategi Pengembangan
Pariwisata Kabupaten Ponorogo Menggunakan Perspektif Entrepreneurial Government dengan didasarkan padaLima Strategi Mewujudkan Pemerintahan Wirausaha. Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah....................... 75a. Strategi inti ......................................................................... 76 b. Strategi Konsekuensi.......................................................... 79c. Strategi Pelangaan............................................................. 81d. Strategi Kontrol................................................................. 85e. Strategi Budaya................................................................. 88
2. Faktor Pendukung dan Penghambat yangMempengaruhi Jalannya PengembanganPariwisata Telaga Ngebel ....................................................... 91 a. Faktor Pendukung .............................................................. 921) Lokasi Wisata Strategis
dan Adanya Transportasi Umum. ...................................... 92 2) Website Pemerintah Yang Informatif ................................ 93b. Faktor penghambat............................................................. 951) Kurangnya Kesiapan Akses Jalan..................................... 952) Keterbatasan Fasilitas Karena Kurangnya Lahan............. 97
xi
D. Pembahasan ............................................................................. 981. Strategi Pengembangan Pariwisata Kabupaten Ponorogo
menggunakan perspektif Entrepreneurial Government yang di dasarkan pada lima strategi mewujudkan pemerintahan wirausaha untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. ........ 99a. Strategi Inti......................................................................... 101b. Strategi Konsekuensi.......................................................... 104c. Strategi Pelanggan.............................................................. 107d. Strategi Kontrol.................................................................. 110e. Strategi Budaya .................................................................. 112
2. Faktor Pendukung dan Penghambat yang mempengaruhi jalannya pengembangan pariwisata telaga ngebel ................. 115a. Faktor Pendukung .............................................................. 115i. Lokasi Wisata Strategis
dan Adanya Transportasi Umum ....................................... 115ii. Website Pemerintah yang informatif ................................. 116b. Faktor Penghambat ............................................................ 1171) Kurangya Kesiapan Akses Jalan ........................................ 1172) Keterbatasan Fasilitas Karena Kurangnya Lahan .............. 118
BAB V PENUTUP ..................................................................................... 120
a. Kesimpulan ..................................................................... 120b. Saran ................................................................................ 123
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Pejabat dalam Struktur Organisasi Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo
70
Tabel 4.2 Data Pengunjung Tahun 2013- 2015 80
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Branding Ethinc Art Of Java 74
Gambar 4.2 Tampilan Berita Gebyar Reog Telaga Ngebel 90
Gambar 4.3
Gerakan Sadar Wisata dan Aksi Sapta Pesona Wisata 90
Gambar 4.4 Pentas Reyog Telaga Ngebel 91
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Melaksanakan PenelitianLampiran 2 Pedoman Wawancara
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan dengan peraturan perundang-
undangan yang ada dalam Undang - Undang NO. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Sesuai dengan semangat otonomi daerah, maka pemerintah daerah dituntut
untuk mampu berinovasi, bersifat kompetitif, berwawasan jauh, dan tanggap
terhadap perubahan. Pemerintahan yang demikianlah yang diharapkan mampu
menciptakan birokrasi yang baik dan mampu menghasilkan kebijakan-kebijakan
yang lebih berdaya guna, dan dapat memenuhi kewajiban pelaksanaan
pembangunan agar dapat mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bagi
2
masyarakat dan daerahnya. Menurut Mardiasmo (2002:14) salah satu indikasi
keberhasilan daerah otonom adalah kemampuan daerah tersebut dalam
memperkuat basis perekonomiannya dengan mencari alternatif sumber
pembiayaan pembangunan secara mandiri.
Untuk mencapai tujuan dari otonomi daerah diatas, implikasinya daerah
harus jeli dalam melihat potensi dan menjadikan potensi tersebut sebagai potensi
unggulan yang dapat dikembangkan sebagai basis perekonomian daerah.
Kemudian perlu adanya keselarasan antara kebijakan pengembangan wilayah
dengan identifikasi potensi wilayah agar kebijakan yang dibuat dapat menjadikan
daerah sebagai wilayah yang tepat bagi pertumbuhan dan perkembangan investasi
dan industri yang ditekankan atas potensi unggulan yang dimiliki daerah. Dengan
landasan tersebut maka daerah harus memiliki dimensi peningkatan sumber daya
manusia, sehingga dapat memberikan pelayanan yang tepat kepada masyarakat,
mampu mengelola investasi, dan mampu mengelola sumber-sumber daya yang
dimiliki daerah secara berkelanjutan..
Pada dasarnya banyak sektor yang bisa dikembangkan untuk menjadi basis
perekonomian di daerah. Salah satu sektor yang bisa dikembangkan oleh
pemerintah daerah di Indonesia adalah sektor pariwisata. Pariwisata dipilih karena
daerah-daerah di Indonesia kaya akan keberagaman potensi alam dan kekayaan
budaya yang bisa dimanfaatkan dan dikembangkan ke dalam bingkai
kepariwisataan. Pariwisata menurut J. Spillane (1991:21) perjalanan dari satu
tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perseorangan maupun
kelompok, sebagai usaha mencari keserasian atau keseimbangan dan kebahagiaan
3
dengan lingkungan hidup. Secara lebih mendasar Suwantoro (2004:37)
menjelaskan alasan untuk memilih pariwisata karena pariwisata merupakan sektor
yang bersifat multi sektoral dan multi-effects sebab mampu memunculkan
perluasan kesempatan kerja/usaha, meningkatkan penerimaan pajak dan retribusi
daerah, dan mendorong peningkatan investasi. Sehingga pentingnya pariwisata
dikembangkan oleh daerah karena pariwisata dapat menjadi sektor alternatif
dalam peningkatan ekonomi masyarakat dan mampu menjadi sumber pendapatan
asli daerah (PAD).
Sektor pendapatan daerah memegang peranan yang sangat penting, karena
melalui sektor ini dapat dilihat sejauh mana suatu daerah dapat membiayai
kegiatan pemerintah dan pembangunan daerah sebagaimana menurut Abdul
Halim (2004 : 94) Pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh
daerah dari sumber – sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut
berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan peundang-undangan yang
berlaku. Pendapatan asli daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber
dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan hasil
daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang
bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali
pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai mewujudkan asas
desentralisasi berdasarkan Undang - Undang no 23 tahun 2014.
Dengan meningkatnya persaingan dan tren globalisasi, dinamika dan
perkembangan pariwisata semakin intensif, dan manajemen strategis untuk
memastikan operasi bisnis yang efisien dan efektif (sumber daya manajemen,
4
sistem informasi manajemen, mempertahankan dan mengembangkan hubungan
dengan turis, memperluas dan pengembangan bisnis pariwisata, mengelola untuk
proyek-proyek pariwisata baru dan inovatif). Oleh karena itu pentingnya
manajemen strategis dan operasional. Tanpa kedua bagian tersebut akan semakin
sulit untuk mencapai pengembangan komponen pariwisata menurut Zanina
(2011:70).
Dalam dunia pengembangan pariwisata, tak terbantahkan untuk
perencanaan strategis pariwisata, terutama untuk mendefinisikan dan adanya
strategi pembangunan untuk pariwisata. Pelaksanaan pembangunan Strategi untuk
pariwisata ditentukan oleh fungsi manajemen strategis dalam pariwisata menurut
Zanina Kirovska (2011:69). Manajemen strategis adalah proses proaktif mencapai
kompatibilitas jangka panjang dari bidang yang sesuai di lingkungan pariwisata.
Manajemen ini adalah cara yang menguntungkan bagi pelaksanaan prioritas
tujuan pembangunan di bidang pariwisata, yang ditetapkan oleh perekonomian
nasional, yang dipengaruhi oleh pengembangan pariwisata. Manajemen strategis
pada dasarnya memiliki semua fitur yang diperlukan yang menjanjikan efisiensi
dan efektivitas dalam mencapai tujuan pembangunan di bidang pariwisata
menurut Zanina (2011:69).
Strategi dari pemerintah dalam pengembangan pariwisata menjadi penting
dikarenakan pariwisata berkaitan dengan aspek-aspek kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah. Pemerintah mempunyai otoritas dalam pengaturan, dan penyediaan
berbagai infrastruktur yang terkait dengan kebutuhan pariwisata. Selain itu,
pemerintah bertanggung jawab dalam menentukan arah yang dituju dalam
5
perkembangan wisata. Kebijakan yang ditempuh pemerintah akan menjadi
panduan bagi stakeholder yang lain dalam memainkan perannya masing-masing
dalam pengembangan pariwisata.
Strategi pada prinsipnya berkaitan dengan persoalan kebijakan
pelaksanaan, penentuan tujuan yang hendak dicapai, dan penentuan cara-cara atau
metode penggunaan sarana-prasarana. Menurut Suryono (2004 : 80) Strategi
selalu berkaitan dengan 3 hal yaitu tujuan, sarana, dan cara. Oleh karena itu,
strategi juga harus didukung oleh kemampuan untuk mengantisipasi kesempatan
yang ada. Dalam melaksanakan fungsi dan peranannya dalam pengembangan
pariwisata daerah, pemerintah daerah harus melakukan berbagai upaya dalam
pengembangan sarana dan prasarana pariwisata.
Reinventing Government di perlukan dalam melakukan perubahan pada
tata kelola administrasi publik karena seperti definisi dari Reinventing
Government yaitu transformasi system dan organisasi pemerintah secara
fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektifitas, efesiensi,
dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai
dengan mengubah tujuan, system insentif, pertanggungjawaban, struktur
kekuasaan dan budaya sistem dan organisasi pemerintahan.
Wisata Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo merupakan sektor wisata
yang sebenarnya sangat berpotensi untuk meningkatkan pendapatan asli daerah di
Kabupaten Ponorogo sedangkan saat ini Wisata Telaga Ngebel banyak di
kunjungi hanya saat-saat tertentu atau musiman karena adanya adat larungan, dan
saat tidak musimnya maka tempat Wisata Telaga Ngebel tidak banyak di kunjungi
6
oleh masyarakat. Data yang di peroleh dari Bisnis.com seperti yang di ungkapkan
oleh Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten
Ponorogo yaitu Bapak Sapto jatmiko. PAD yang berhasil diserap selama sehari
pelaksanaan tradisi “Larungan” menyumbang 20% dari total target PAD 2015.
Jumlah itu dihitung berdasarkan volume kunjungan wisatawan yang terpantau dari
pembelian retribusi masuk Objek Wisata Telaga Ngebel. Oleh sebab itu penulis
tertarik untuk membahas tentang Strategi Pengembangan Sektor Pariwisata
Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Ponorogo
khususnya pada Objek Wisata Telaga Ngebel.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah strategi pengembangan sektor pariwisata Telaga Ngebel dalam
meningkatkan pendapatan asli daerah Kabupaten Ponorogo?
2. Apa sajakah faktor pendukung dan faktor penghambat dalam pengembangan
pariwisata Telaga Ngebel ?
C. Tujuan Penilitian
1. Meninjau strategi dan upaya yang diambil oleh Dinas Kebudayaan Pariwisata
Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo dalam pengembangan sektor
pariwisata telaga ngebel dan kemudian mengkaji kesesuaian strategi
pengembangan pariwisata Telaga Ngebel dalam meningkatkan Pendapatan
Daerah.
2. Mengetahui dan mengkaji apa sajakah yang menjadi faktor pendukung dan
penghambat dalam strategi dan upaya pengembangan pariwisata Telaga Ngebel
di Kabupaten Ponorogo.
7
D. Kontribusi Penelitian
1. Manfaat Akademis
a. Sebagai bahan kajian dalam studi Ilmu Administrasi Publik khususnya
bidang kebijakan pembangunan bidang pariwisata.
b. Sebagai bekal wawasan dan belajar menganalisa cara dalam membangun
sektor pariwisata.
c. Sebagai sumbangan referensi dan sumbangan informasi komparatif bagi
peneliti lain yang berkaitan dengan strategi pengembangan pariwisata.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap
Pemerintah Kabupaten Ponorogo dalam pengembangan bidang pariwisata
terutama mengenai meningkatkan pendapatan asli daerah.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menginsipirasi pemerintah kota-kota lainnya
di Indonesia dalam pembuatan kebijakan pembangunan khususnya di
bidang pariwisata.
E. Sistematika Penelitian
Skripsi ini ditulis menjadi lima bab yang merupakan penjabaran penelitian
secara sistematis antara satu bab dengan lainnya. Adapun secara garis besar dapat
diringkas di dalam sistematika pembahasan sebagai berikut:
8
BAB I : PENDAHULUAN
Mengemukakan latar belakang potensi pariwisata daerah sehingga
penulis menjadikan wisata telaga ngebel sebagai konsen penilitian
untuk meningkatkan pendapatan asli daerah sehingga dapat ditarik
rumusan masalah, tujuan, manfaat dan kontribusi penelitan.
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
Menyajikan teori-teori dari pakar-pakar yang berhubungan dengan
judul sehingga dapat dijadikan sebagai bahan analisa penelitian dan
memperkuat hasil penelitian.
BAB III : METODE PENELITIAN
Memaparkan jenis penelitian yang digunakan yaitunya penelitian
deskriptif kualitatif, pemilihan fokus, lokasi dan situs penelitian,
sumber dan jenis data, teknik pengumpulan dan analisis data.
BAB IV : PEMBAHASAN
Menyajikan pengolahan bahan dan data-data setelah melakukan
penelitian di Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga
Kabupaten Ponorogo yang dilakukan secara intensif dalam waktu
tertentu dan analisis hasil penelitian yang ditemukan di Objek Wisata
Telaga Ngebel dengan menggunakan teori yang relefan sesuai kajian
teori.
BAB V : PENUTUP
Berisikan kesimpulan keseluruhan bab yang merupakan pokok
pemikiran dari semua isi penelitian serta menyajikan masukan berupa
9
rekomendasi atau saran berdasarkan penelitian yang dilakukan di
Objek Wisata Telaga Ngebel.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Administrasi Publik
Administration can be defined as the acitivities of groups cooperating to
accomplish common goals menurut Herbert A. Simon dalam syafiie (2013:3).
Jadi menurut Herbert A.Simon administrasi dapat dirumuskan sebagai
kegiatan-kegiatan kelompok kerja sama untuk mencapai tujuan-tujuan
bersama. Administrasi merupakan suatu fenomena sosial, yaitu perwujudan
tertentu didalam masyarakat modern menurut Prajudi Atmosudirjo dalam
syafiie (2013:4) Eksistensi administrasi ini berkaitan dengan organisasi. Jadi
barang siapa hendak mengetahui adanya administrasi dalam masyarakat ia
harus mencari terlebih dahulu suatu organisasi yang masih hidup, di situ
terdapat administrasi.
Administrasi adalah keseluruhan proses pelaksanaan dari keputusan –
keputusan yang telah diambil dan pelaksanaan itu pada umumnya dilakukan
oleh dua orang manusia atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan sebelumnya penjelasan Sondang P.Siagian dalam syafiie (2013:5).
Sejalan dengan penjelasan tersebut sehingga dapat di tarik kesimpulan menurut
Hadari Nawawi dalam syafiie (2013:5) bahwa administrasi pada prinsipnya
mempunyai pengertian yang sama yaitu antara lain:
10
11
a. Kerja sama,
b. Banyak orang, dan
c. Untuk mencapai tujuan bersama
Pengertian tersebut diatas dimaksudkan sebagai administrasi dalam arti
luas, sedangkan pengertian dalam arti sempit adalah administrasi sebagaimana
yang sering kita lakukan sehari-hari yaitu tata usaha. Administrasi Publik dapat
diartikan sebagai administrasi pemerintahan yang dilakukan oleh aparat
pemerintah untuk kepentingan masyarakat. Pemahaman seperti ini hakikatnya
merupakan jiwa dari ilmu administrasi Negara yang sejak pertama kali
dikembangkan dan yang tujuan eksistensinya untuk melayani kepentingan
masyarakat pada umumnya (Wilson, 1978). Kemudian menurut John
M.Pffifner dan Robert V. Presthus dalam Syafiie (2013:31) mendefinisikan
administrasi publik adalah sebagai berikut:
1. Public administration involves the implementation of public policy
which has been determine by representive political bodies.
2. Public administration may be defined as the coordination of individual
amd group efforts to carry out public policy. It mainly occupied with
the daily work of governments.
3. In sum, public administration is a process concerned with carrying out
public policies, encompassing innumerable skills and techniques large
number of people.
Administrasi Publik memang mempunyai banyak penjelasan kemudian
menurut Pffiner dan Presthus antara lain sebagai berikut:
12
1. Administrasi Publik meliputi implementasi kebijaksanaan pemerintah
yang telah ditetapkan oleh badan-badan perwakilan politik.
2. Administrasi Publik dapat didefinisikan sebagai koordinasi usaha-
usaha perorangan dan kelompok untuk melaksankan kebijaksanaan
pemerintah. Hal ini terutama meliputi pekerjaan sehari-hari
pemerintah.
3. Secara Ringkas, Administrasi Publik adalah sesuatu proses yang
bersangkutan dengan pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan
pemerintah, pengarahan kecakapan dan teknik-teknik yang tidak
terhingga jumlahnya, memberikan arah dan maksud terhadap usaha
sejumlah orang.
Administrasi publik adalah adminstrasi dari Negara sebagai organisasi,
dan administrasi yang mengejar tujuan – tujuan yang bersifat kenegaraan
Menurut Prajudi Atmosudirjo dalam syafiie (2013:32). Kemudiaan Gerald E
Caiden dalam syafiie (2013:33) memberikan patokan bahwa untuk menentukan
apakah suatu organisasi tersebut termasuk pemerintah adalah dengan melihat
tiga hal, yaitu organisasinya dibentuk dengan peraturan pemerintah,
karyawannya disebut pegawai negeri, dan pembiayaannya berasal dari uang
rakyat.
Public Administrasi atau administrasi publik memiliki 7 hal khusus yaitu
tidak dapat dielakkan (unavoidable), senantiasa mengharapkan ketaatan (except
obedience), mempunyai prioritas (has priority), mempunyai pengecualiam (has
exceptional), puncak pemimpin politik (top management political), sulit diukur
13
(difficult to measure) sehingga kita terlalu banyak mengharapkan dari
administrasi publik ini (more is expected of public administration).
B. Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Asas Desentralisasi adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah
urusan pemerintahan dari Pemerintahan Pusat ke pemerintah daerah tingkat
yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah itu. Dengan
demikian, prakarsa, wewenang , dan tanggung jawab mengenai urusan –
urusan yang diserahkan tadi sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah itu,
baik mengenai politik kebijaksanaan, perencanaan, dan pelaksanaanya maupun
mengenai segi – segi pembiayaannya. Perangkat pelaksanaannya adalah
perangkat daerah sendiri menurut Kansil ( 2008 : 3). Menurut Undang –
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, Desentralisasi
diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga dengan adanya
desentralisasi ini hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
berubah sifatnya dari mekanisme yang mengutamakan struktur pemerintahan
menjadi hubungan yang mengutamakan faktor pengawasan.
1. Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kebebasan
14
itu terletak pada yang demikian itu berarti bahwa penguasa yang lebih tinggi
tidak boleh ikut campur sama sekali didalamnya. Dalam Hubungan ini perlu
diperhatikan bahwa Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan oleh sebab
tidak mungkin pula ada negara didalam negara. Dengan demikian maka negara
atau Pemerintahan Pusatlah yang mempunyai ketentutuan tentang batas-batas
otonom, baik dengan cara positif ataupun negatif.
Pelaksanaan Otonomi daerah selain berdasarkan pada acuan hukum, juga
sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara
memberikan daerah kewenangan yang lebih luas,lebih nyata dan bertanggung
jawab terutama dalam mengatur,memanfaatkan dan menggali sumber-sumber
potensi yang ada didaerah masing-masing. Dasar Hukum otonomi daerah
terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kemudian dipertegas dengan Undang – undang No.23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
Pelaksanaan Otonomi Daerah merupakan titik fokus yang penting dalam
rangka memperbaiki kesejahteraan rakyat.Pengembangan suatu daerah dapat
disesuaikan oleh pemerintah daerah dengan potensi dan kekhasan daerah
masing-masing. Ini merupakan kesempatan yang baik bagi pemerintah daerah
untuk membuktikan kemampuanya dalam melaksankan kewenangan yang
menjadi hak daerah. Maju atau tidaknya suatu daerah tergantung kemampuan
dan kemauan daerah untuk meningkatkan potensinya. Pemerintah daerah bebas
bekreasi dan berekspresi dalam membangun daerahnya tentu saja dengan tidak
melanggar ketentuan perundang-undangan.
15
Tujuan adanya Otonomi daerah adalah peningkatan pelayanan masyarakat
yang lebih baik, pengembangan kehidupan demokrasi., keadilan nasional,
pemerataan wilayah daerah , mendorong pemberdayaan masyarakat daerah ,
dan menumbuhkan prakarsa dan kreativitas meningkatkan peran serta
masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
2. Pendapatan Asli Daerah(PAD)
Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari
sumber- sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan peundang – undangan yang berlaku
menurut Abdul Halim (2004:94) . Sektor pendapatan daerah memegang
peranan yang penting karena melalui sektor ini dapat dilihat sejauh mana
daerah dapat membiayai kegiatan pemerintah dan pembangunan daerah.
Tata Cara pengelolaan Pendapatan Asli Daerah Berdasarkan Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah, pendapatan asli daerah sebagai pendapatan yang
diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Maka dalam melaksanakan fungsi dan
peranannya, pemerintah daerah harus mempunyai sumber-sumber yang dapat
mendukung jalannya pelaksanaan otonomi daerah. Sumber-sumber penerimaan
pendapatan daerah menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
perimbangan keuangan daerah adalah pendapatan asli daerah (PAD), dana
perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah.
16
Bagi pemerintah daerah, pengembangan bidang pariwisata merupakan
suatu hal yang perlu dilakukan karna banyak manfaat yang bisa diperoleh dari
kegiatan pariwisata, selain menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan dan
meratakan pendapatan masyarakat serta memperkenalkan seni budaya daerah
yang tak kalah penting adalah dapat memberikan kontribusi bagi pendapatan
asli daerah (PAD), melalui surat kemampuan usaha penunjang (SKUP),
penerimaan pajak dan retribusi. Menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2014
Pendapatan Asli Daerah berasal dari :
1. Hasil pajak daerah
2. Hasil retribusi daerah
3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan
4. Penerimaan dari dinas dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
5. Proporsi sumber pendapatan asli daerah terhadap total penerimaan
pendapatan dapat digunakan sebagai alat untuk mengetahui perkembangan
dan struktur ekonomi suatu wilayah dalam menentukan arah pembangunan.
C. Konsep Entrepreneurial Government
1. Konsep Entrepreneurial Government dalam Adminitrasi Publik
Pengertian administrasi secara konseptual adalah serangkaian kegiatan
kerjasama yang dilakukan manusia atau sekelompok orang sehingga tercapai
tujuan yang diinginkan. Liang Gie dalam Indradi (2009:9) menjelaskan bahwa
administrasi adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok
17
orang dalam bentuk kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Kemudian
penjelasan Hebert A Simon dalam Indradi (2009:9) “Administration can be
defined as the activities of groups cooperating to accomplish common goals
(Administrasi dapat dirumuskan sebagai kegiatan-kegiatan kelompok
kerjasama untuk mencapai tujuan-tujuan bersama)”. Oleh sebab itu sejalan
dengan tiga pengertian diatas, maka secara sederhana administrasi dapat
diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama untuk
mencapai tujuan bersama.
Pada implementasinya menurut Trecker dalam Keban (2004:2) bahwa
kegiatan administrasi akan terus berlangsung selama masih ada tujuan yang
ingin dicapai oleh manusia. Selanjutnya perkembangan administrasi dalam
konsep negara diartikan sebagai manajemen dan organisasi daripada manusia-
manusia dan peralatannya guna mencapai tujuan pemerintah (Syafiie 1993:26).
Tujuan-tujuan yang hendak dicapai administrasi dalam konsep negara
seyogyanya adalah tujuan yang memiliki orientasi pada usaha-usaha yang
mendorong kepada perubahan-perubahan kearah keadaan yang lebih baik
untuk masyarakat kedepannya.
Administrasi publik dijelaskan Ranney dalam (Djajadiningrat, 2005:34)
dengan membuat contoh mengenai apa saja yang harus dilakukan oleh
administrasi publik, Ranney membuat beberapa daftar yang berkaitan dengan
adinistrasi publik, yaitu: protection of person and property, development and
conservation of natural resources, health and sanitation, publik assistance and
social services, and education (menjaga masyarakat dan properti,
18
mengembangkan dan melindungi sumber-sumber alam, kesehatan dan
kebersihan, bantuan dan fasilitas sosial, dan pendidikan). Dapat disimpulkan
dari penjelasan Ranney diatas bahwa kegiatan administrasi publik bersifat
dinamis dan akan terus dilakukan selama masyarakat masih membutuhkan
pelayanan dari negara.
Sesuai dengan pendapat Ranney, penjelasan administrasi publik menurut
Nugroho (2012:148-150) bahwa pada era globalisasi pengelolaan negara bagi
administrasi publik dituntut untuk bagaimana organisasi pemerintahan hadir
tidak sekedar untuk mengikuti tugas-tugas rutin, namun bagaimana organisasi
pemerintahan mengkreasikan nilai bagi masyarakat atau bangsa tempatnya
berada. Di era globalisasi dan kondisi persaingan yang hampir dapat dikatakan
tanpa terkendali baik dari sisi ruang, waktu, maupun “sang pengendali“ sendiri,
tugas negara bukan lagi bersifat rutin, reguler, atau tata usaha, melainkan
membangun keunggulan kompetitif nasional. Output administrsi negara bukan
saja sesuatu yang mengatur kehidupan bersama warganya, namun untuk
membangun kemampuan organisasi dalam lingkup nasional untuk menjadi
organisasi-organisasi yang mampu bersaing dengan kapasitas global.
Pada perkembangan paradigma administrasi publik, pemikiran Hood yang
dikutip oleh Muhammad (2008:xv) bahwa konsep New Public Management
dalam administrasi publik muncul untuk memperbarui birokrasi dan
menyesuaikannya dengan perkembangan di bidang teknologi khususnya
teknologi informasi dan globalisasi ekonomi yang sangat mengurangi peran
negara dan makin menonjolkan peran-peran dunia usaha. Konsep New Public
19
Management hadir untuk mencoba memperbarui mekanisme pengelolaan
birokrasi publik yang dikenal sangat hirarkis, lamban, dan tidak efisien dengan
mengadopsi prinsip-prinsip yang diterapkan pada manajemen bisnis. Merespon
persoalan tersebut, beberapa pemikir kemudian mengajukan gagasan mereka,
seperti: managerialism (Pollit, 1993), new public management (Hood, 1989),
market-based public administration (Lan, Zhioying & Rosenbloom, 1992), dan
post-bureaucratic paradigm (Barzelay, 1992). Kemudian muncul pemikiran
Osborne dan Gaebler (1992) tentang entrepreneurial government yang ditulis
dalam buku mereka, yaitu Reinventing Government (Muhammad, 2008:1-6).
Konsep entrepreneurial government yang diperkenalkan oleh Osborne dan
Gaebler dalam reinventing government dijelaskan sebagai konsep
mewirausahakan birokrasi pemerintahan dengan mendasarkan pada sistem
wirausaha, yakni menciptakan organisasi-organisasi dan sistem publik yang
terbiasa untuk memperbarui, memperbaiki kualitasnya tanpa harus memperoleh
dorongan dari luar. Pada konsep entrepreneurial government, spirit-spirit
entrepreneurial atau semangat kewirausahaan harus ditanamkan dalam
organisasi pemerintahan yang berguna agar pemerintah siap menghadapi
tantangan-tantangan yang mungkin tidak dapat diantisipasi dan mampu
memperbaiki keefektifannya di masa mendatang, yaitu ketika lingkungan
organisasi mengalami perubahan (Rosidi dan Fajriani, 2013:vii-xv).
Berdasarkan penjelasan tentang entrepreneurial government,
entrepreneurial government merupakan bagian dari paradigma New Public
Management dan Reinventing Government yang merupakan kritik untuk
20
memperbaiki birokrasi. Gagasan entrepreneurial government lahir sebagai
upaya untuk melakukan pembaruan di birokrasi pemerintah. Entrepreneurial
government menuntut organisasi pemerintahan untuk berupaya dan bekerja
keras dalam meningkatkan keefektifan birokrasi, menjadi organisasi yang
produktif, mampu merespon perubahan dan melihat peluang, mampu
memaksimumkan pendayagunaan sumberdaya, berwawasan masa depan dan
sistemik. Kinerja seperti inilah yang kemudian dikenal dengan upaya
mewirausahakan birokrasi pemerintah (entrepreneurial goverment).
2. Reinventing Government
Lahirnya konsep reinventing goverment (Osborn dan Gaebler, 1992)
dalam administrasi publik merupakan pergerakan untuk melakukan perubahan
dalam memperbarui birokrasi untuk membuat pemerintahan yang lebih efektif,
efisien, transparan, dan mampu untuk beradaptasai dan berinovasi. Menurut
Muhammad (2008: 15) latar belakang lahirnya konsep reinventing goverment
didasari oleh keinginan untuk memperbaharui birokrasi dan menyesuaikannya
dengan perkembangan di bidang teknologi khususnya teknologi informasi dan
ekonomi khusunya globalisasi yang sangat mengurangi peran negara dan
makin menonjolkan peran-peran dunia usaha, dan menonjolnya persaingan.
Kemudian arti dari “reinventing” menurut David Osborne dan Peter
Plasrtik (1997:17):
“Reinventing adalah transformasi sistem dan organisasi secara fundamental guna menciptakan peningkatakan dramatis dalam efektifitas, efesiensi, dan mampuan melakukan inovasi. Transformasi ini tercapai dengan mengubah tujuan, sistem insentif, pertanggungjawaban, sruktur kekuasaan, budaya, sistem dan organisasi pemerintahan. Pembaharuan adalah dengan penggantian sistem yang bersifat wirausaha. Pembaharuan dengan kata lain
21
membuat pemerintah siap untuk menghadapi tantangan-tantangan dalam hal pelayanan terhadap masyarakat, menciptakan organisasi-organisasi yang mampu memperbaiki efektifitas dan efisiensi pada saat sekarang dan di masa yang akan datang”.
Pada penjelasan Osborne dan Peter Plasrtik tentang reinventing, ada empat
poin penting yang menjadi dasar dalam penciptaan kembali pemerintahan,
yaitu peningkatan efektivitas, efisiensi, kemampuan untuk berinovasi, dan
kemampuan untuk beradaptasi. Kemudian menurut Hood (1995) seperti yang
dikutip oleh Muhammad (2008:4), penjelasan tentang konsep reinventing
government dijelaskan sebagai berikut:
“Pada doktrin NPM dan reinventing goverment, pemerintah dianjurkan untuk meninggalkan paradigma administrasi tradisional yang cendrung menguta-makan sistem dan prosedur, dan menggantikannya dengan orientasi pada kinerja atau hasil kerja. Pemerintah juga dianjurkan untuk melepaskan diri dari birokrasi dengan mendorong organisasi dan pegawai agar lebih fleksibel, dan menetapkan tujuan serta target organisasi secara lebih jelas sehingga memungkinkan pengukuran hasil. Disamping itu, pemerintah diharapkan menerapkan sistem desentralisasi, memberi perhatian pada pasar, melibatkan sektor swasta, dan melakukan privatisasi”.
Kemudian Muhammad (2008:4) menjelaskan, bahwa dalam mewujudkan
reinventing government harus ada upaya untuk mentransformasikan
entrepreneurial spirit/jiwa kewirausahaan karena dalam masa dimana sumber
daya publik semakin langka, maka pemerintah harus berubah dari bureucratic
model ke entrepreneurial model. Selanjutnya gambaran pemerintahan
wirausaha/entrepreneurial dari buku Reinventing Government - How The
Entrepreneurial Spirit Is Transforming in Public Sector yang ditulis David
Osborne dan Ted Gaebler, dapat diuraikan ke dalam 10 prinsip sebagai berikut:
1. Pemerintahan Katalis
22
Kata pemerintahan (government) berasal dari sebuah kata Yunani yang
berarti “mengarahkan”. Tugas pemerintah adalah mengarahkan, bukan
mengayuh perahu. Pemerintah wirausaha memfokuskan diri pada pemberian
arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta
dan/atau sektor ketiga (lembaga swadaya masyarakat dan nonprofit lainnya).
Dimana upaya pemerintah dalam mengarahkan membutuhkan orang yang
mampu melihat seluruh visi dan kemungkinan serta mampu menyimbangi
berbagai tuntutan yang saling bersaing untuk mendapatkan sumber daya.
Upaya mengayuh membutuhkan orang yang secara sungguh-sungguh
memfokuskan pada suatu misi dan melakukannnya dengan baik. (Osborne
dan Geabler, 1995:41).
2. Pemerintahan milik masyarakat
Pemerintah milik masyarakat artinya mengalihkan wewenang kontrol yang
dimiliki pemerintah ke tangan masyarakat. Masyarakat diberdayakan
sehingga mampu mengontrol pelayanan yang diberikan oleh birokrasi.
Pemerintah memberikan wewenang kepada (memberdayakan) masyarakat
sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya
sendiri (self-help community). Dengan adanya kontrol dari masyarakat,
pegawai negeri akan memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli, dan
lebih kreatif dalam memecahkan masalah (Osborne dan Geabler, 1995:60).
3. Pemerintahan yang kompetitif
Menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan. Dalam pemberian
peningkatan mutu pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, maka
23
harus dilahirkan kompetisi dalam pemberian layanan berdasarkan kinerja
dan harga. Pemerintah wirausaha berusaha menciptakan kompetisi karena
kompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus
meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan
publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.
Mereka memahami kompetisi adalah kekuatan fundamental untuk memaksa
badan pemerintah untuk melakukan perbaikan. Dengan kompetisi maka
akan memaksa pemerintah untuk merespon segala kubutuhan pelanggannya
(Osborne dan Geabler, 1995:95).
4. Pemerintahan berorientasi misi
Pemerintah yang digerakkan oleh misi maka akan lebih efisien daripada
organisasi yang digerakkan oleh peraturan. Pemerintah berorientasi misi
melakukan deregulasi internal, menghapus banyak peraturan internal dan
secara radikal menyederhanakan sistem administratif. Mereka mensyaratkan
setiap badan pemerintah untuk mendapatkan misi yang jelas, kemudian
memberi kebebasan manajer untuk menemukan cara terbaik mewujudkan
misi tersebut, dalam batas-batas legal (Osborne dan Geabler, 1995:133).
5. Pemerintahan berorientasi pada hasil
Pemerintah yang resault oriented mengubah fokus dari input menjadi
akuntabilitas pada keluaran atau hasil. Mereka mengukur kinerja badan
publik, menetapkan target, memberi imbalan kepada badan-badan yang
mencapai atau melebihi target, dan menggunakan anggaran untuk
24
mengungkapkan tingkat kinerja yang diharapkan dalam bentuk besarnya
anggaran (Osborne dan Geabler, 1995:159).
6. Pemerintahan berorientasi pelanggan
Memenuhi tingkat kepuasan dari masyarakat sebagai pelanggan. Pelayanan
masyarakat harus berdasarkan pada kebutuhan riil, dalam arti apa yang
diminta masyarakat. Oleh karenanya instansi pemerintah harus responsif
terhadap perubahan kebutuhan dan selera konsumen, sehingga perlu
penetapan strandar pelayanan kepada pelanggan. Pemerintah perlu
meredesain organisasi mereka untuk memberikan nilai maksimum kepada
para pelanggannya. Dengan cara seperti ini, tidak berarti bahwa pemerintah
tidak bertanggung jawab pada dewan legislatif, tetapi sebaliknya
menciptakan sistem pertangungjawaban ganda (dual accountability) kepada
legislatif dan masyarakat (Osborne dan Geabler, 1995:191).
7. Pemerintahan wirausaha
Pemerintahan wirausaha adalah pemerintahan mampu menciptakan
pendapatan dan tidak sekedar membelanjakan. Pemerintah wirausaha
memfokuskan energinya bukan hanya membelanjakan uang (melakukan
pengeluaran anggaran) melainkan menghasilkan uang. Pendapatan atas
investasi dan dapat menggunakan insentif seperti dana usaha (swadana),
sekaligus partisipasi pihak swasta perlu ditingkatkan sehingga dapat
meringankan beban pemerintah (Osborne dan Geabler, 1995: 234-235).
8. Pemerintahan antisipatif
25
Pemerintahan antisipatif adalah pemerintahan yang berupaya mencegah
daripada mengobati. Pemerintah wirausaha tidak reaktif tetapi proaktif.
Pemerintah tidak hanya mencoba untuk mencegah masalah, tetapi juga
berupaya keras untuk mengantisipasi masa depan melalui perencanaan
strategisnya. Pemerintah lebih baik mencegah masalah daripada hanya
menyelesaikan masalah setelah masalah muncul. Dalam hal ini Pemerintah
harus bersikap proaktif, menggunakan perencanaan strategis untuk
menciptakan visi masa depan (Osborne dan Geabler, 1995:249-263).
9. Pemerintahan desentralisasi
From Hierarchy to Participation and Teamwork (Dari hierarki menuju
partisipasi dan tim kerja). Dengan melihat beberapa tantangan dari
masyarakat, perkembangan teknologi sudah sangat maju, kebutuhan
masyarakat dan bisnis semakin kompleks, staf banyak yang berpendidikan
tinggi, maka pemerintah perlu untuk menurunkan wewenang melalui
organisasi, dengan mendorong mereka yang berurusan langsung dengan
pelanggan untuk lebih banyak membuat keputusan (pengambilan keputusan
bergeser kepada masyarakat, asosiasi, pelanggan, LSM). Tujuannya, yaitu
untuk memudahkan partisipasi masyarakat, serta terciptanya suasana kerja
tim (Osborne dan Geabler, 1995:281).
10. Pemerintahan berorientasi pasar
Mendongkrak perubahan melalui mekanisme pasar, mengadakan perubahan
dengan mekanisme pasar (sistem insentif) dan bukan dengan mekanisme
administratif (sistem prosedur dan pemaksaan). Pemerintah wirausaha
26
menggunakan mekanisme pasar, tidak memerintah dan mengawasi, tetapi
mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar tidak merugikan
masyarakat (Osborne dan Geabler, 1995:311).
Berdasarkan penjelasan diatas, bentuk peranan pemerintah dalam
reinventing government adalah pemerintah memfokuskan pada katalisasi
stakeholder (pemerintah, swasta, dan lembaga sukarela), mendorong kompetisi
antar pemberi jasa, memberi wewenang kepada warga untuk mengukur kinerja
perwakilannya dengan berfokus pada output bukan input, dan digerakkan oleh
misi/tujuan bukan oleh peraturan, menempatkan masyarakat sebagai klien
(pelanggan), dan pemerintahan yang mampu memperoleh pendapatan bukan
membelanjakan. Menurut Mardiasmo (2002:13) penerapan konsep reinventing
government membutuhkan arah yang jelas dan political will yang kuat dari
pemerintah dan dukungan masyarakat. Selain itu, yang terpenting adalah
adanya perubahan pola pikir dan mentalitas baru di tubuh birokrasi pemerintah
itu sendiri karena sebaik apapun konsep yang ditawarkan jika semangat dan
mentalitas penyelenggara pemerintahan masih menggunakan paradigma lama,
konsep tersebut hanya akan menjadi slogan kosong tanpa membawa perubahan
apa-apa.
3. Strategi Menuju Entrepreneurial Government
Osborne dan Plastrik (1997:32) mejelaskan bahwa strategi dalam
pemerintahan berguna sebagai instrumen yang membantu badan-badan atau
organisasi untuk menentukan misi, sasaran, dan target kerja. Strategi
dibutuhkan oleh organisasi untuk menjaga kelangsungan dan eksistensi dari
27
organisasi itu sendiri. Untuk menjaga kelangsungan organisasi maka Osborne
dan Plastrik (1997:45-55) mengembangkan lima strategi agar organisasi dapat
beradaptasi dengan perubahan, karena pada era teknologi informasi dan
meningkatnya arus globalisasi yang penuh dengan persaingan sistem-sistem
harus bisa mempertahankan kelangsungannya pada saat lingkungan berubah.
Lima strategi menuju pemerintahan wirausaha yang ditulis oleh David
Osborne dan Peter Plastrik (1997) dalam bukunya Banishing Bureaucracy: The
Five Strategies for Reinventing Government menjelaskan petunjuk atau
panduan bagi pemikir politik untuk melakukan pembaruan pada organisasi
pemerintah. Dalam bukunya Osborne dan Gaebler menguraikan bagaimana
karakteristik pemerintahan yang bersifat wirausaha, dan bagaimana mereka
bertindak. Pengaplikasian model bisnis ke dalam sistem pemerintahan
dibandingkan dengan cara pencapaian yang ditetapkan oleh sektor bisnis, yaitu
bagaimana organisasi bisnis memiliki misi yang jelas, tahu bagaimana
mengukur kinerja, menghadapi persaingan, mengalami dampak paling nyata
dari kinerja mereka, dan bertanggung jawab kepada pelanggan mereka
(Osborne dan Plastrik,1997:14).
Melalui lima strategi yang dikembangkan oleh Osborne dan Plastrik, maka
organisasi akan diberi kemampuan untuk lebih adaptif dan dapat menyusun
kemampuan dalam melakukan pembaruan dalam merubah DNA birokrasi yang
buruk. Dengan penerapan lima sistem pendongkrak pada organisasi
pemerintahan yang telah dirumuskan oleh Osborne dan Plastrik, maka akan
muncul kemampuan dan prilaku baru dalam organisasi pemerintah. Lima
28
bagian fundamental yang dibahas Osborne dan Plastrik yang dapat merubah
DNA pemerintahan tersebut adalah sistem tujuan, sistem insentif, sistem
pertanggungjawaban, struktur kekuasaan, dan budaya. Kemudian untuk tiap
pendongkrak tersebut dirumuskan kembali oleh Osborne dan Plastik ke dalam
lima strategi yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut:
1. Strategi Inti
Osborne dan Plastrik (1997:45) menjelaskan bagian kritis dari
organisasi adalah bagian untuk menentukan tujuan dari organisasi
pemerintah. Jika suatu organisasi tidak jelas tujuannya atau punya tujuan
ganda dan saling bertentangan, maka organisasi itu tidak akan bisa
mencapai kinerja yang tinggi. Strategi inti menghapus, memisahkan dan
membersihkan fungsi-fungsi pemerintah yang tidak sesuai dan tidak sejalan
dengan tujuannya. Tujuan dari strategi inti adalah untuk membantu setiap
organisasi pemerintah untuk dapat memusatkan pada satu tujuan, dan
strategi inti bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pemerintah untuk
mengarahkan dengan menciptakan strategi baru. Dengan kata lain, sebuah
organisasi publik akan mampu bekerja secara efektif jika ia mempunyai
tujuan yang spesifik.
Pada strategi inti pemerintah berfokus pada pengarahan, bukan pada
produksi pelayanan. Pemerintah dioptimalkan peranannya pada fungsi
fasilitator daripada langsung melakukan semua kegiatan operasional.
Metode-metode yang digunakan dalam strategi inti antara lain kontrak
keluar, regulasi kegiatan dengan sektor swasta, insentif atau disentif pajak,
29
waralaba, subsidi, persuasi, dan kemitraan pemerintah-swasta (Osborne dan
Plastrik, 1997:100-102). Pemerintah harus menyediakan beragam pelayanan
publik, tetapi tidak harus terlibat secara langsung pada prosesnya.
Pemerintah berfokus pada pemberian arahan, sedangkan pelayanan publik
diserahkan kepada swasta atau pihak ketiga. Tanpa menggunakan strategi
inti, Osborne dan Plastrik berpendapat efisiensi yang belakangan banyak
didengungkan akan sulit bisa diwujudkan. Di luar itu, strategi inti terutama
berkaitan dengan usaha-usaha memperbaiki fungsi pengarahan (steering)
dari organisasi pemerintah (Osborne dan Plastrik, 1997:101).
2. Strategi Konsekuensi
Strategi konsekuensi pada penjelasan Osborne dan Plastrik (1997:45)
merupakan bagian penting kedua untuk melakukan pembaruan pada
organisasi pemerintah. Strategi konsekuensi menerangkan bahwa terdapat
konsekuensi yang diterapkan kepada pegawai atas kinerja yang dihasilkan.
Osborne dan Plastrik menerangkan bahwa dongkrak perubahan dalam
organisasi pemerintahan adalah dengan memberlakukan sistem insentif
kepada para pegawai. Osborne dan Plastrik menjadikan insentif sebagai alat
untuk memotifasi para pegawainya agar menciptakan kinerja yang unggul
dan berdaya saing.
Birokrasi memberikan para pegawainya insentif yang kuat untuk
mengikuti peraturan-peraturan, dan sekaligus mematuhinya. Pada model
birokrasi lama, para pegawai atau karyawan memperoleh gaji yang sama
terlepas dari yang mereka hasilkan. Dalam rangka reinventing government,
30
seperti diungkapkan oleh Osborne dan Plastrik, mengubah insentif adalah
penting dengan cara menciptakan konsekuensi-konsekuensi bagi kinerja.
Jika perlu, organisasi-organisasi publik perlu ditempatkan dalam dunia
usaha (market place), dan membuat organisasi tergantung pada
konsumennya untuk memperoleh penghasilan.
Namun, jika pemberian insentif tidak atau belum layak untuk
dilakukan, maka perlu dibuat kontrak atau perjanjian guna menciptakan
persaingan antara organisasi-organisasi publik dan swasta (atau persaingan
antar organisasi publik). Hal ini karena pasar dan persaingan menciptakan
insentif-insentif yang jauh lebih kuat sehingga organisasi publik terdorong
untuk memberikan perbaikan-perbaikan kinerja yang lebih besar. Insentif
dan persaingan ini dapat mempunyai bentuk yang beragam, seperti
tunjangan kesehatan, kenaikan gaji, atau memberikan penghargaan bagi
organisasi-organisasi publik yang mempunyai kinerja yang lebih tinggi.
Pendekatan yang digunakan dalam strategi konsekuensi adalah persaingan
yang terkendali dengan menerapkan mekanisme pasar sebagai pendorong
berjalannya kompetisi dan konsekuensinya ditentukan oleh masyarakat.
Strategi ini menggunakan standar, pengukuran kinerja dan imbalan serta
penalti untuk memotivasi organisasi pemerintah. Bila sesuai, maka
penerapan strategi konsekuensi akam membuat pendapatan organisasi akan
bergantung pada apa yang mereka kerjakan, oleh sebab itu organisasi harus
berhasil di pasar agar selalu bisa memperoleh pendapatan (Osborne dan
Plastrik, 1997:131).
31
3. Strategi Pelanggan
Strategi pelanggan pada penjelasan Osborne dan Plastrik (1997:46)
merupakan bagian fundamental ketiga dalam pembaruan organisasi
pemerintah yang memusatkan perhatian pada akuntabilitas kepada
pelanggan. Osborne dan Plastrik (1997:169) menekankan pentingnya
organisasi pemerintah untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan
kebutuhan pelanggan. Pembahasan strategi pelangaan Osborne dan Plastrik
dimaksudkan untuk membantu organisasi pemerintahan memahami
pertanggungjawaban kepada pelanggan sebagai daya dorong pembaruan,
dan untuk menghasilkan organisasi yang lebih inovatif dan lebih
entrepreneurial (Osborne dan Plastrik,1997:174). Osborne dan Plastrik
(1997:175) juga menjelaskan bahwa organisasi publik haruslah
menempatkan pelanggan sebagai pengarah, dan mampu untuk merespon
keinginan pelanggan.
Dalam strategi pelanggan fokus dipusatkan pada akuntabilitas
(pertanggungjawaban) dengan membuat jaminan mutu pelayanan. Strategi
ini dijalankan dengan memfokuskan pada pertanggungjawaban kegiatan-
kegiatan pada pengguna jasa atau masyarakat. Berbeda dengan birokrasi
lama, dalam birokrasi model baru, tanggung jawab para pelaksana birokrasi
publik hendaknya ditempatkan pada masyarakat, atau dalam konteks ini
dianggap sebagai pelanggan. Dengan demikian, tanggung jawab tidak lagi
semata-mata ditempatkan pada pejabat birokratis di atasnya, tetapi lebih
didiversifikan kepada publik yang lebih luas.
32
Model pertanggungjawaban diharapkan dapat meningkatkan tekanan
terhadap organisasi-organisasi publik untuk memperbaiki kinerja ataupun
pengelolaan sumber-sumber organisasi. Selanjutnya, dengan memberikan
pertanggungjawaban kepada masyarakat/ konsumen, akan dapat mencip-
takan informasi, yaitu tentang kepuasan para konsumen terhadap hasil-hasil
dan pelayanan pemerintahan tertentu. Dengan kata lain, bertanggung jawab
kepada para konsumen berarti bahwa organisasi-organisasi publik harus
mempunyai sasaran yang harus dicapai, yaitu meningkatkan kepuasan
konsumen (customers satisfaction).
4. Strategi Kontrol
Strategi kontrol sesuai dengan yang dijelaskan oleh Osborne dan Plastrik
(1997:48) merupakan strategi yang mendorong pemimpin untuk lebih
memberikan wewenang kepada pejabat atau karyawan di bawahnya untuk
mengambil keputusan, menanggapi pelanggan, dan memecahkan masalah.
Strategi kontrol kadang menggeser kendali dari organisasi pemerintah ke
organisasi atau ke kelompok masyarakat. Pada strategi kontrol, eksekutif
telah memberi tahu apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh
dilakukan, dan kemudian mengecek apakah perintah atau larangan tersebut
dipatuhi (Osborne dan Plastrik, 1997:202). Osborne dan Plastrik
beranggapan bahwa dengan pendistribusian kewenangan diharapkan akan
muncul daya imajinasi, inisiatif serta kreativitas yang sangat bermanfaat
bagi peningkatan kualitas masing-masing personel maupun kemajuan
organisasi.
33
Strategi kontrol menentukan di mana letak kekuasaan membuat
keputusan itu diberikan. Dalam sistem birokrasi lama, sebagian besar
kekuasaan tetap berada di dekat puncak hierarkhi. Dengan kata lain,
wewenang tertinggi untuk membuat keputusan berada pada puncak
hierarkhi. Perkembangan birokrasi modern yang semakin kompleks telah
membuat organisasi menjadi tidak efektif. Hal ini karena proses
pengambilan keputusan harus melalui jenjang hierakhi yang panjang
sehingga membuat proses pengambilan keputusan cenderung lamban, dan
jika hal ini dipaksakan, maka jika dilewati akan membawa dampak
terjadinya bureaucracy barierrs. Pada akhirnya, secara keseluruhan, sistem
kinerja birokrasi dalam menangani masalah dan memberikan pelayanan
kepada masyarakat akan berlangsung lamban karena bawahan tidak diberi
ruang yang cukup untuk mengambil inisiatif dalam memecahkan masalah.
Lebih lanjut, dalam model birokrasi lama, para pengelola atau manajer
mempunyai pilihan-pilihan yang terbatas, dan keleluasan atau fleksibilitas
mereka dihimpit oleh ketentuan-ketentuan anggaran yang terinci, peraturan-
peraturan perorangan, sistem pengadaan (procurement systems), praktek-
praktek audit, dan sebagainya. Karyawan hampir tidak mempunyai
kekuasaan untuk membuat keputusan. Akibatnya, organisasi-organisasi
pemerintah lebih menanggapi perintah-perintah baru dibandingkan dengan
situasi yang berubah atau kebutuhan-kebutuhan pelanggan. Oleh karena itu,
adalah penting mendesentralisasikan pembuatan keputusan kepada pejabat-
pejabat dan karyawan atau pegawai birokrasi di bawahnya karena hal ini
34
akan mendorong timbulnya rasa tanggung jawab dikalangan para pegawai
birokrasi, dan dalam konteks yang luas mendorong keterlibatan masyarakat
dalam proses implementasi kebijakan (Osborne dan Plastrik, 1997:201-216).
5. Strategi budaya (the culture strategy)
Strategi budaya oleh Osborne dan Plastrik merupakan strategi
pelengkap setelah keempat strategi dilaksanakan oleh seorang pembaru atau
pemimpin. Perubahan yang telah diciptakan oleh empat strategi utama akan
tetap goyah sebelum menjadi budaya organisasi. Budaya organisasi yang
baik akan menghasilkan kinerja organisasi yang baik, apabila kinerja
organisasi rendah maka tujuan dan target yang telah ditetapkan tidak akan
tercapai (Osborne dan Plastrik, 1997:257). Menurut Osborne dan Plastrik
(1997:244-246) dengan menetapkan visi dan misi secara jelas, maka
seseorang dapat melihat tentang kejadian yang diinginkan di masa depan
sehingga akan lebih mudah untuk mencapai tujuan.
Strategi ini menentukan budaya organisasi publik yang menyangkut
nilai, norma, tingkah laku, dan harapan-harapan para karyawan. Budaya ini
akan dibentuk secara kuat oleh tujuan organisasi, insentif, sistem
pertanggungjawaban, dan struktur kekuasaan organisasi. Dengan kata lain,
mengubah tujuan, insentif, sistem pertanggungan jawab, dan struktur
kekuasaan organisasi akan mengubah budaya. Pendekatan yang digunakan
dalam strategi budaya adalah untuk membentuk kembali budaya baru
dengan membentuk kebiasaan, perasaan dan pikiran organisasi. Osborne dan
Plastrik (1997:275) menjelaskan bahwa untuk merubah paradigma
35
organisasi, maka organisasi perlu menciptakan sense of mission dengan
menggunakan proses partisipasi untuk mengembangkan sebuah pernyataan
misi, sehingga bisa memberi pemahaman bersama tentang tujuan dasar
organisasi. Inti dari strategi budaya adalah penghentian kebiasaan yang tidak
kondusif yang mengganggu kinerja.
D. Pariwisata
1. Pengertian Pariwisata
Pariwisata adalah wujud dari keinginan orang untuk memuaskan atau
membahagiakan diri (pleasure), kegiatan menghabiskan uang, dan kegiatan
untuk menghabiskan waktu luang (laisure), sehingga pariwisata dewasa ini
dikenal sebagai mega bisinis menurut Pitana dan Diarta (2009:32). Secara
lebih spesifik Kodyat yang dikutip Agustini (2012:8) menjelaskan pariwisata
sebagai perjalanan dari suatu tempat ketempat lain, bersifat sementara,
dilakukan perorangan atau kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan
atau keserasian dan kebahagian dengan lingkungan dalam dimensi sosial,
budaya, alam dan ilmu. Sementara pengertian lain dari pariwisata adalah salah
satu jenis industri baru yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi
yang cepat dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan,
standart hidup serta menstimulasi sektor-sektor produktivitas lainnya (Wahab
dalam Agustini 2012:8). Seseorang dapat melakukan perjalanan dengan
berbagai cara karena alasan yang berbeda-beda pula. Suatu perjalanan dapat
dianggap sebagai perjalanan wisata apabila memenuhi tiga persyaratan yang di
perlukan, yaitu:
36
1. Harus bersifat sementara.
2. Harus bersifat sukarela (voluntary) dalam arti tidak terjadi karena
dipaksa.
3. Tidak bekerja yang sifatnya menghasilkan upah atau bayaran.
Pariwisata memberikan batasan yang tegas dan sama pada
pengertian pariwisata dengan memasukkan berbagai macam aspek Menurut
Profesor Hunziker dan Profesor Kraff dari swiss dalam J.Spillane (1991:22)
sebagai berikut:
“Tourism is the total relationship and phenomena linked with the stay of a
foreigner at a locality, provided that they do not settle there to exercise a
major, permanen or temporary remunerated activity” atau “Pariwisata adalah
total hubungan dan fenomena terkait dengan orang asing yang tinggal di daerah
, asalkan mereka tidak menetap disana untuk pekerjaan yang di bayar untuk
tetap maupun sementara”
Berdasarkan pengertian - pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa pariwisata adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain dan
bersifat sementara yang dilakukan secara perorangan atau kelompok untuk
mendapatkan kenikmatan, mencari kesenangan, penghiburan, atau mengetahui
sesuatu, dan mencari keserasian dengan lingkungan hidup, budaya, alam dan
ilmu yang didukung oleh berbagai fasilitas dan layanan yang disediakan oleh
masyarakat, pengusaha, dan pemerintah.
37
2. Undang – Undang Tentang Pariwisata
Bahwa keadaan Alam , flora, dan fauna sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa. Serta peninggalan purbakala,peninggalan sejarah dan seni dan
budaya yang di miliki Indonesia merupakan sumberdaya dan juga modal
pembangunan kepariwisataan untuk peningkatan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat di Indonesia oleh sebab itu di buatlah Undang –
Undang Republik Indonesia nomor 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata yang
menjelaskan bahwa :
1. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan
rekreasi, pengembangan pribadi ,atau mempelajari keunikan daya tarik
wisata yang di kunjungi dalam jangka waktu sementara.
2. Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata.
3. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung
berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh
4. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan
pariwisata dan bersifat multidimensi yang muncul sebagai wujud
kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan
masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah
daerah, dan pengusaha.
5. Daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan,
keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam,
budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan
kunjungan wisatawan.
6. Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya di sebut destinasi parwisata
adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah
administrative yang didalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas
38
umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling
terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan.
7. Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan atau jasa
bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan wisata.
8. Pengusaha pariwisata adalah orang atau sekelompok orang yang
melakukan kegiatan usaha pariwisata.
9. Industri pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait
dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan
kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata.
10. Kawasan strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi
utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata
yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek seperti
pertumbuhan ekonomi, social dan budaya, pemberdayaan sumberdaya
alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.
11. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku
yang harus dimiliki, dan dikuasai oleh pekerja pariwisata untuk
mengembangkan profesionalitas kerja.
12. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat kepada usaha dan pekerja
pariwisata untuk mendukung peningkatan mutu produk pariwisata,
pelayanan, dan pengelolaan kepariwisataan.
13. Pemerintah Pusat, selanjutnya di sebut pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
14. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota dan perangkat
daerah sebagai unsure penyelenggara pemerintahan daerah.
15. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang
kepariwisataan
39
3. Jenis - jenis Pariwisata
Perbedaan motivasi mendorong setiap orang untuk menentukan jenis
obyek tujuan wisata yang akan dikunjungi. Variasi dari motif-motif tersebut
mendorong suatu negara atau daerah untuk menyajikan jenis obyek wisata
yang sekiranya mampu dan mempunyai kesempatan untuk dikembangkan di
negara atau daerah tersebut. Perbedaan potensi wisata yang dimiliki setiap
negara atau daerah dapat dibedakan dengan bagaimana cara pemerintah untuk
mengenali dan menggali potensi wisata yang ada agar pemerintah dapat
mempersiapkan fasilitas guna mendukung pengembangan jenis obyek
pariwisata yang dipilih.
Motif tujuan perjalanan, Spillane (1991:29) membagi jenis pariwisata
sebagai berikut:
a. Priwisata untuk menikmati perjalanan (pleasure tourism)
Bentuk pariwisata ini dilakukan oleh orang-orang yang meninggalkan
tempat tinggalnya untuk berlibur, melihat sesuatu yang baru, untuk
menikmati keindahan alam.
b. Pariwisata untuk rekreasi (recreation tourism)
Jenis pariwisata ini dilakukan oleh orang-orang yang mengkehendaki
pemanfaatan hari-hari liburnya untuk beristirahat, memulihkan kembali
kesegaran jasmani dan rohaninya.
c. Pariwisata untuk kebudayaan (cultural tourism)
Pariwisata yang didorong oleh rangkaian motivasi untuk mempelajari adat
istiadat, kelembagaan, dan cara hidup rakyat lokal, dengan mengunjungi
monumen-monumen, pusat kesenian, pusat-pusat keagamaan, dan festival-
festival rakyat.
d. Pariwisata untuk olahraga (sport tourism)
40
Pariwisata untuk menyaksikan peristiwa-peristiwa olahraga besar, seperti
kejuaraan ski, kejuaraan tinju atau berwisata untuk mempraktekkan keahlian
diri sendiri seperti berkuda, berburu, memancing, dan lain-lain.
e. Pariwisata untuk urusan usaha dagang (business tourism)
f. Pariwisata untuk berkonvensi (convention tourism)
Pariwisata yang terlaksana dengan menyediakan tempat-tempat pertemuan.
Menyiapkan ruang konferensi dengan mendirikan bangunan-bangunan yang
dilengkapi fasilitas moderen untuk menjamin keefisienan konferensi.
Beragamnya jenis-jenis pariwisata berdasarkan motifnya mendorong setiap
negara atau pemerintah untuk menyiapkan obyek wisata yang sesuai dengan
motif-motif tersebut. Berdasarkan perkembangan dan pesatnya pengembangan
industri pariwisata di Indonesia maka ketersediaan jenis-jenis obyek wisata
semakin beragam. Masing-masing obyek wisata memiliki keunikan, keindahan,
dan nilai berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan
manusia
4. Bentuk – bentuk Pariwisata
Setelah membicarakan dasar pemikiran tentang konsep dan definisi
pariwisata serta jenis – jenis pariwisata maka untuk mendapatkan gambaran
yang lebih jelas tentang industri pariwisata maka di bagi sebagai berikut
menurut nyoman ( 1990 : 34) :
(1) Menurut asal wisatawan
Pertama – pertama perlu diketahui apakah asal wisatawan dari dalam atau
dari luar negeri. Jika wisatawan hanya pindah tempat sementara di dalam
lingkungan wilayah negerinya sendiri selama ia mengadakan perjalanan,
maka dinamakan pariwisata domestik, sedangkan kalau wisatawan datang
dari luar negeri berarti dinamakan pariwisata internasional.
41
(2) Menurut akibatnya terhadap neraca pembayaran
Kedatangan wisatawan dari luar negeri adalah membawa mata uang asing.
Pemasukan valuta asing ini berarti membawa efek positif terhadap neraca
pembayaran luar negeri suatu negara yang dikunjungi wisatawan ini
disebut pawisata aktif.
(3) Menurut jangka waktu
Kedatangan seorang wisatawan disuatu tempat atau negara diperhitungkan
pula menurut waktu lamanya ia tinggal di tempat atau negara yang
bersangkutan. Hal ini menimbulkan istilah-istilah pariwisata jangka
pendek dan pariwisata jangka panjang, yang mana tergantung kepada
ketentuan – ketentuan yang diberlakukan oleh suatu negara.
(4) Menurut jumlah wisatawan
Perbedaan ini diperhitungkan atas jumlahnya wisatawan yang datang,
apakah sang wisatawan datang sendiri atau dalam suatu rombongan. Maka
timbullah istilah – istilah pariwisata tunggal dan pariwisata rombongan.
(5) Menurut alat angkut yang dipergunakan
Dilihat dari segi penggunaan alat pengangkutan yangh dipergunakan oleh
sang wisatawan, maka kategori ini dapat dibagi menjadi pariwisata udara,
pariwisata laut, pariwisata kereta api dan pariwisata mobil, tergantung
wisatawan tersebut tiba dengan kendaraan tersebut.
Dilihat dari keadaan sehari – hari, kiranya pembagian kategori bentuk –
bentuk pariwista tersebut dan istilah-istilahnya tersebut terlihat hanya bersifat
teknis. Namun demikian dari segi ekonomi, hal ini sangat penting dan perlu
sebab klarifikasi ini menentukan sistem statistic perpajakan dan perhitungan
pendapatan industri pariwisata.
5. Komponen-komponen Wisata
Komponen wisata menurut Inskeep seperti yang dikutip dalam Unga
(2011:23) menerangkan bahwa untuk mewujudkan sistem pariwisata yang
42
diinginkan, maka diperlukan beberapa komponen pariwisata. Dalam
pengembangan pariwisata terdapat beberapa komponen wisata yang selalu ada
dan merupakan komponen dasar dari wisata. Komponen-komponen tersebut
saling berinteraksi satu sama lain. Pengelompokan komponen-komponen
pariwisata oleh Inskeep, adalah sebagai berikut:
a. Atraksi dan kegiatan-kegiatan wisata. Kegiatan-kegiatan wisata yang
dimaksud berupa semua hal yang berhubungan dengan lingkungan alami,
kebudayaan, keunikan suatu daerah dan kegiatan-kegiatan lain yang
berhubungan dengan kegiatan wisata yang menarik wisatawan untuk
mengunjungi sebuah obyek wisata.
b. Akomodasi. Akomodasi yang dimaksud adalah berbagai macam hotel dan
berbagai jenis fasilitas lain yang berhubungan dengan pelayanan untuk para
wisatawan yang berniat untuk bermalam selama perjalanan wisata yang
mereka lakukan.
c. Fasilitas dan pelayanan wisata. Fasilitas dan pelayanan wisata yang
dimaksud adalah semua fasilitas yang dibutuhkan dalam perencanaan
kawasan wisata. Fasilitas tersebut termasuk tour and travel operations
(disebut juga pelayanan penyambutan). Fasilitas tersebut misalnya, restoran
dan berbagai jenis tempat makan lainnya, toko-toko untuk menjual hasil
kerajinan tangan, cinderamata, toko-toko khusus, toko kelontong, dan
fasilitas perbankan.
d. Fasilitas dan pelayanan transportasi. Meliputi transportasi akses dari dan
menuju kawasan wisata, transportasi internal yang menghubungkan atraksi
43
utama kawasan wisata dan kawasan pembangunan, termasuk semua jenis
fasilitas dan pelayanan yang berhubungan dengan transportasi darat, air, dan
udara.
e. Infrastruktur lain. Infrastruktur yang dimaksud adalah penyediaan air bersih,
listrik, drainase, saluran air kotor, telekomunikasi (seperti telepon, telegram,
telex, faksimili, dan radio).
f. Elemen kelembagaan. Kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan
yang diperlukan untuk membangun dan mengelola kegiatan wisata,
termasuk perencanaan tenaga kerja dan program pendidikan dan pelatihan;
menyusun strategi marketing dan program promosi; menstrukturisasi
organisasi wisata sektor umum dan swasta; peraturan dan perundangan yang
berhubungan dengan wisata; menentukan kebijakan penanaman modal bagi
sektor publik dan swasta; mengendalikan program ekonomi, lingkungan,
dan sosial kebudayaan.
Komponen Wisata menerangkan bahwa untuk dapat mengembangkan
suatu kawasan menjadi kawasan pariwisata ada lima unsur yang harus
dipenuhi, menurut Spillane (1991:89) diantaranya:
a) Attractions
Dalam konteks pengembangan pariwisata, maka atraksi yang dimaksud
adalah ketersedian sarana hiburan, penginapan dan dalam konteks
agrowisata, atraksi yang dimaksud adalah, hamparan kebun/lahan pertanian,
keindahan alam, keindahan taman, budaya petani tersebut serta segala
sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas pertanian tersebut.
b) Facilities
Fasilitas yang diperlukan mungkin penambahan sarana umum, jasa
angkutan, jasa penginapan, telekomunikasi, dan restoran.
44
c) Infrastructure
Infrastruktur yang dimaksud dalam bentuk sistem pengairan, jaringan
komunikasi, fasilitas kesehatan, terminal pengangkutan, sumber listrik dan
energi, system pembuangan kotoran/pembungan air, jalan raya dan system
keamanan.
d) Transportation
Ketersediaan transportasi umum, system keamanan penumpang, system
informasi perjalanan, kepastian tariff, peta kota/obyek wisata.
e) Hospitality
Keramahtamahanr masyarakat terutama pada pemberian jasa-jasa yang
disediakan oleh masyarakat.
Komponen Wisata merupakan komponen yang terpenting dalam industri
pariwisata. Menurut Raharso (2008:5), juga menambahkan bahwa salah satu
komponen wisata adalah keramahtamahan, karena pariwisata merupakan
industri hospitality, sehingga penilaian pariwisata tidak hanya dinilai pada
produk fisiknya saja, tapi juga pada aspek kenyamanan secara psikologis, yaitu
bagaimana keramahtamahan dalam memberikan pelayanan, serta etika dan
perilaku yang baik kepada wisatawan. Sejalan dengan tiga pendapat diatas
Yoeti (2005:168) juga menerangkan unsur-unsur yang dapat menentukan
keberhasilan sebagai daerah tujuan wisata diantaranya (a) Atraksi wisata
(attraction) yang meliputi atraksi alam dan buatan; (b) Kemudahan akses
(access) seperti ketersediaan transportasi lokal, baik darat, laut maupun udara,
serta sarana dan prasarana pendukungnya; (c) Kenyamanan (amenities) seperti
kualitas akomodasi, ketersediaan restoran, jasa keuangan, dan keamanan; dan
(d) Jasa pendukung yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta (anciliary
45
service) termasuk di dalamnya peraturan dan perundang-undangan tentang
kepariwisataan”.
6. Peranan Pariwisata
Pariwisata merupakan industri perdagangan jasa yang memiliki
mekanisme pengaturan yang kompleks karena sektor pariwisata memiliki
kaitan yang erat dengan berbagai sektor lainnya. Sektor-sektor yang terlibat
dalam kompleksitas pergerakan pariwisata adalah mencakup sektor
transportasi, penginapan, restoran, pemandu wisata, budaya dan berbagai
sektor lainnya yang dapat mendukung kegiatan wisata. Sesuai dengan pendapat
Buckley dalam Fikri (2013:11) yang mengatakan bahwa pembangunan
pariwisata berperan dalam aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Di sektor
ekonomi, pariwisata berkontribusi dalam menambah devisa negara dari
kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) dan Produk Domestik Bruto
(PDB) beserta komponen-komponennya. Dalam aspek sosial, pariwisata
berfungsi untuk menyerap tenaga kerja, apresiasi seni, tradisi, budaya, dan jati
diri bangsa.
Ditinjau dari aspek lingkungan, pariwisata dalam bentuk ekowisata dapat
mengangkat produk dan jasa wisata berupa kekayaan dan keunikan alam, serta
menjadi alat yang efektif bagi pelestarian lingkungan alam dan seni budaya
tradisional. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
pariwisata merupakan suatu sektor yang berkaitan dengan sektor-sektor
produktivitas lainnya, pariwisata membutuhkan kerjasama dan keterkaitan
46
dengan bidang usaha lain yang dapat mendukung kegiatan wisata. Pariwisata
mampu memberikan pengaruh pada pencapaian pertumbuhan ekonomi,
kesejahteraan, peningkatan kualitas kehidupan, kualitas sosial dan peningkatan
intelektualitas di masyarakat.
Pembangunan Pariwisata akan mampu memberikan keuntungan sekaligus
menekan biaya sosial ekonomi. Menurut Unga (2011:45) menerangkan bahwa
pembangunan pariwisata berpengaruh terhadap peranan pariwisata karena bagi
pemerintah pembangunan pariwisata akan dapat menyerap tenaga kerja,
menjadi sumber pendapatan daerah, dan menjadi sumber peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Keterangan yang diberikan oleh Unga (2011:45)
tersebut, dirinci sebagai berikut:
a. Penyerapan tenaga kerja
Salah satu keuntungan pariwisata adalah menciptakan kesempatan kerja.
Industri pariwisata merupakan kegiatan mata rantai yang sangat panjang,
sehingga membuka kesempatan kerja bagi masyarakat. Dengan demikian
dapat menambah pemasukan/pendapatan masyarakat setempat dengan
menjual barang dan jasa. Banyak individu menggantungkan hidupnya dari
sektor pariwisata. Pariwisata merupakan sektor yang tidak bisa berdiri
sendiri tetapi memerlukan dukungan dari sektor lain. Baik sektor pariwisata
maupun sektor-sektor lain yang berhubungan dengan sektor pariwisata tidak
dapat dipungkiri merupakan lapangan kerja yang menyerap banyak tenaga
kerja. Industri pariwisata memberikan peluang kesempatan kerja, seperti di
bidang transportasi, akomodasi, pelayanan makanan dan minuman, travel,
47
dan sebagainya. Bidang-bidang tersebut membutuhkan banyak sumberdaya
manusia yang secara langsung bermuara pada penyerapan tenaga kerja.
b. Sumber pendapatan daerah
Pemerintah memperoleh pendapatan dari sektor pariwisata dari beberapa
cara. Sumbangan pendapatan terbesar dari pariwisata bersumber dari
pengenaan pajak. Misalnya, pengenaan pajak hotel dan restoran yang
merupakan bagian dari keuntungan usaha pariwisata hotel dan restoran
tersebut. Sumber lain bisa berupa usaha pariwisata yang dimiliki oleh
pemerintah daerah sendiri. Pemerintah daerah juga mengenakan pajak
secara langsung kepada wisatawan jika mereka melakukan transaksi yang
tergolong kena pajak. Biasanya dikenal sebagai service tax, yang umumnya
sebesar 10% untuk transaksi di hotel dan restoran. Pajak ini berbeda dari
pajak yang sumbernya dari keuntungan hotel dan restoran yang diberikan
sebelumnya.
c. Sumber peningkatan kesejahteraan masyarakat
Pengeluaran dari wisatawan secara langsung ataupun tidak langsung
merupakan sumber pendapatan. Jumlah wisatawan yang banyak merupakan
pasar bagi produk lokal. Masyarakat secara perorangan dapat memperoleh
penghasilan jika mereka bekerja dan mendapat upah dari pekerjaan tersebut.
Pekerjaan di sektor pariwisata sangat beragam, seperti pengusaha
pariwisata, karyawan hotel dan restoran, karyawan agen perjalanan,
penyedia jasa transportasi, pemandu wisata, penyedia souvenir, atraksi
wisata, pemandu wisata, dan seterusnya. Pekerjaan-pekerjaan tersebut
48
merupakan sumber pendapatan perorangan yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lokal.
7. Peranan Pemerintah dalam Industri Pariwisata
Secara garis besar peranan pemerintah dalam mengembangkan pariwisata
adalah sebagai pelaksana pembangunan yang bertanggung jawab pada
penyediaan infrastruktur, memperluas berbagai bentuk fasilitas, kegiatan
koordinasi antara aparatur pemerintah dengan pihak swasta, pengaturan dan
promosi umum. Selain bertanggung jawab atas pembangunan, pemerintah juga
berperan sebagai fasilitator agar kegiatan pariwisata yang dilakukan oleh
swasta dapat berkembang lebih pesat. Peran fasilitator disini dapat diartikan
sebagai peran untuk maenciptakan iklim yang nyaman agar para pelaku
kegiatan pariwisata dapat berkembang secara baik.
Pemerintah mempunyai peran dalam menentukan kebijakan pariwisata.
Menurut World Trade Organization dalam (Pitana dan Diarta 2009:113),
Pemerintah bertanggung jawab terhadap beberapa hal berikut:
a. Membangun kerangka (framework) operasional dimana sektor publik dan
swasta tetrlibat dalam menggerakkan denyut pariwisata.
b. Menyediakan dan memfasilitasi kebutuhan legislasi, regulasi, dan kontrol
yang diterapkan dalam pariwisata, perlindungan lingkungan, pelestarian
budaya serta warisan budaya.
c. Menyediakan dan membangun infrastruktur transportasi darat, laut, dan
udara dengan kelengkapan sarana komunikasinya.
d. Membangun dan memfasilitasi peningktan kualitas sumber daya manusia
dengan menjamin pendidikan dan pelatihan yang profesional untuik
menyuplai kebutuhan tenaga kerja di sektor pariwisata.
49
e. Menerjemahkan kebijakan pariwisata yang disusun ke dalam rencana
kongkret yang mungkin termasuk di dalamnya: (a) evaluasi kekayaan aset
pariwisata, alam, dan budaya serta mekanisme perlindungan dan
pelestariannya; (b) identifikasi dan kategori produk pariwisata yang
mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif; (c) menentukan
persyaratan dan ketentuan penyediaan infrastruktur dan suprastruktur yang
dibutuhkan yang akan berdampak pada perfomance pariwisata; (d)
mengelaborasi program untuk pembiayaan dalam aktivitas pariwisata, baik
untuk sektor publik maupun swasta.
Kesuksesan dalam pembangunan pariwisata diperlukan pemahaman yang
baik dari sisi pemerintah selaku regulator maupun dari sisi pengusaha selaku
pelaku bisnis. Pemerintah tentu harus memperhatikan dan memastikan bahwa
pembangunan pariwisata akan mampu memberikan keuntungan sekaligus
maupun menekan biaya sosial ekonomi dampak lingkungan sekecil mungkin.
Di sisi lain pebisnis yang lebih terfokus dan berorientasi keuntungan tentu
tidak bisa seenaknya melakukan segalanya untuk mencapai keuntungan, tetapi
harus menyesuaikan dengan kebijakan dan regulasi dari pemerintah.
Pada pengembangannya, pemerintah harus menitikberatkan pada peranan
pariwisata terhadap kesejahteraan sosial, penggunaan tanah, perlindungan
terhadap lingkungan sosial dan alam, serta pada pelestarian tradisi dan
kebudayaan. Sesuai dengan pendapat Selo Soemarjan dalam Spillane
(1991:133) yang menyatakan bahwa:
“Pengembangan pariwisata harus merupakan pengembangan yang
berencana secara menyeluruh, sehingga dapat diperoleh manfaat yang
optimal bagi masyarakat, baik dari segi ekonomi, sosial, dan kultural.
Perencanaan tersebut harus mengintegrasikan pembangunan pariwisata ke
50
dalam suatu program pembangunan ekonomi, fisik, dan sosial dari suatu
negara. Rencana tersebut harus mampu memberikan kerangka kerja
kebijaksanaan pemerintah, untuk mendorong dan mengendalikan
pengembangan pariwisata”.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, peranan
pemerintah dalam pengembangan pariwisata harus mampu menciptakan
kerangka kebijakan yang dapat mendorong dan mengendalikan pengembangan
pariwisata. Produk hukum yang dihasilkan pemerintah haruslah produk hukum
yang bisa mendukung semua pihak yang terlibat dalam pengembangan
pariwisata karna pariwisata sama halnya dengan pembangunan pada umumnya.
Keberhasilan pembangunan pariwisata bergantung pada keterpaduan antar
sektor dan wilayah-wilayah pengembangan terkait serta keterlibatan pihak-
pihak tertentu. Sehingga keberhasilan dalam pengembangan kepariwisataan
juga merupakan potret dari kinerja pemerintah dengan sektor-sektor yang
terkait.
E. Strategi
1. Strategi Pengembangan
Pengembangan pariwisata mempunyai strategi. Strategi merupakan suatu
proses penentuan nilai pilihan dan pembuatan keputusan dalam pemanfaatan
sumber daya yang menimbulkan suatu komitmen bagi organisasi yang
bersangkutan kepada tindakan-tindakan yang mengarah pada masa depan
Marpaung (2000:52). Sedangkan Chandler dalam Rangkuti (2002:7)
mengartikan strategi sebagai suatu rencana dasar yang luas dari suatu tindakan
organisasi untuk mencapai suatu tujuan. Strategi merupakan alat untuk
51
mencapai tujuan perusahaan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang,
program tindak lanjut serta prioritas alokasi sumber daya. Strategi dalam
pemerintahan biasanya diuraikan ke dalam arah kebijakan, program, dan
kegiatan prioritas yang akan diimplementasikan dalam periode tertentu.
Strategi merupakan salah satu hal yang diperlukan dalam pengembangan
pariwisata. Strategi dalam pemerintahan dieksekusi ke dalam bentuk
kebijakan-kebijakan, yang dioperasionalkan dalam bentuk program-program
yang didetailkan dalam proyek-proyek dan implementasinya dalam bentuk
“produk” atau kegiatan menurut Nugroho (2012:678). Kejelasan tujuan
menjadi pegangan oleh pemerintah terhadap bagaimana cara pemerintah
bekerja dan capaian apa yang harus dipenuhi oleh Pemerintah. Sementara itu
pengembangan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005:538) merupakan suatu
proses, cara, perbuatan menjadikan sesuatu menjadi lebih baik, maju, sempurna
dan berguna. Pengembangan merupakan suatu proses/aktivitas memajukan
sesuatu yang dianggap perlu untuk ditata sedemikian rupa dengan
meremajakan atau memelihara yang sudah berkembang agar menjadi lebih
menarik dan berkembang.
Maka dengan pengertian diatas, strategi pengembangan dapat diartikan
sebagai cara atau pilihan-pilihan yang akan digunakan untuk menciptakan
kemajuan dan penyempurnaan atas suatu sumber daya agar lebih menghasilkan
produk yang lebih menarik. Kemudian demi menunjang strategi yang ada di
atas ditambahkan pula analisis strategi SWOT yang adalah akronim untuk
kekuatan (strenghts), kelemahan (weakness), Peluang (opportunities), dan
52
Ancaman (threats) dari lingkungan eksternal. Menurut Jogiyanto (2005:46)
SWOT di gunakan untuk menilai kekuatan – kekuatan dan kelemahan –
kelemahan dari sumber-sumberdaya yang dimiliki dan kesempatan –
kesempatan eksternal dan tantangan – tantangan yang dihadapi.
Semua Organisasi memiliki kekuatan dan kelemahan dalam area
fungsional bisnis. Tidak ada organisasi yang sama kuatnya atau lemahnya
dalam semua area bisnis menurut David (Fred R. David, 2008 :8). Kekuatan
atau kelemahan internal, digabungkan dengan peluang atau ancaman dari
eksternal dan pernyataan misi yang jelas, menjadi dasar untuk penetapan tujuan
dan strategi. Tujuan dan strategi ditetapkan dengan maksud memanfaatkan
kekuatan internal dan mengatasi kelemahan.
Penjelasan SWOT menurut David (Fred R, 2005 :47) yaitu :
1. Kekuatan (Strenghts)
Kekuatan adalah sumberdaya, ketrampilan, atau keungulan – keungulan
lain yang berhubungan dengan para pesaing perusahan dan kebutuhan pasar
yang dapat dilayani oleh perusahaan yang diharapkan dapat dilayani.
Kekuatan adalah kompetisi khusus yang memberikan keunggulan
kompetitif bagi perusahaan dipasar.
2. Kelemahan (Weakness)
Kelemahan adalah keterbatasan atau kekurangan dalam sumberdaya,
ketrampilan, dan kapabilitas yang secara efektif menghambat kinerja
perusahaan. Keterbatasan tersebut dapat berupa fasilitas, sumberdaya
53
keuangan, kemampuan manajemen dan ketrampilan pemasaran dapat
merupakan sumber dari kelemahan perusahaan.
3. Peluang (Opportunities)
Peluang adalah situasi penting yang mengguntungkan dalam lingkungan
perusahaan. Kecenderungan – kecenderungan penting merupakan salah
satu sumber peluang seperti perubahan teknologi dan meningkatnya
hubungan antara perusahaan dengan pembeli atau pemasok merupakan
gambaran peluang bagi perusahaan.
4. Ancaman (Threats)
Ancaman adalah situasi penting yang tidak menguntungkan dalam
lingkungan perusahaan. Ancaman merupakan penganggu utama bagi posisi
sekarang atau yang diinginkan perusahaan. Adanya peratuaran – peraturan
baru merupakan ancaman bagi kesuksesannya.
Kemudian selain ke 4 hal tersebut Fungsi SWOT menurut Ferrel
dan Harline (2005) adalah untuk mendapatkan informasi dari analisis
situasi dan memisahkannya dalam pokok persoalan internal (kekuatan dan
kelemahan) dan pokok persoalan eksternal (peluang dan ancaman).
Analisis SWOT tersebut akan menjelaskan apakah informasi tersebut
berindikasi sesuatu yang akan membantu perusahaan mencapai tujuannya
atau memberikan indikasi bahwa terdapat rintangan yang harus dihadapi
atau diminimalkan untuk memenuhi pemasukan yang diinginkan. Analisis
SWOT dapat digunakan dengan berbagai cara untuk meningkatkan analisis
dalam usaha penetapan strategi. Umumnya yang sering digunakan adalah
54
sebagai kerangka atau panduan sistematis dalam diskusi untuk membahas
kondisi alternative dasar yang mungkin menjadi pertimbangan perusahaan.
2. Konsep Strategi Pengembangan Pariwisata
Sesuai dengan pengertian strategi pengembangan, maka dalam konteks
pariwisata dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan dengan tujuan
memajukan, memperbaiki, dan meningkatkan kondisi kepariwisataan suatu
obyek dan daya tarik wisata sehingga mampu menjadi mapan dan ramai untuk
dikunjungi oleh wisatawan serta mampu memberikan suatu manfaat baik bagi
masyarakat di sekitar obyek dan daya tarik dan lebih lanjut akan menjadi
pemasukan bagi pemerintah. Adapun tujuan dari strategi pengembangan
pariwisata adalah untuk mencapai keunggulan bersaing dalam upaya pencapaian
tujuan pariwisata dengan membuat dan memperbaiki program-program yang akan
dilaksanakan. Akheurst dalam (Pitana dan Diarta, 2009:107) menjabarkan
strategi untuk pengembangan pariwisata adalah dengan menetapkan tujuan dan
pedoman sebagai dasar untuk bertindak, dengan mengidetifikasi dan
menetapkan tujuan, memilih prioritas, menempatkan posisi dalam konteks
masyarakat, membangun koordinasi dengan pemerintah nasional, organisasi
wisata nasional, pemerintah daerah, dan sektor swasta untuk melaksanaan
kesepakatan program-program, mengidentifikasi masalah, dan untuk
mengawasi dan mengevaluasi program-program tersebut.
Pengembangan pariwisata harus melibatkan tiga sektor, yaitu Business
Sector, Nonprofit Sector dan Governmental Sector menurut Gunn (1994:5-9)
dan semakin baik pemahaman dan keterlibatan tiga sektor tersebut maka
55
pengembangan pariwisata akan semakin baik. Business Sector adalah sektor
usaha yang menyediakan segala keperluan wisatawan seperti jasa transportasi,
perhotelan, makanan dan minuman, laundry, hiburan dan sebagainya.
Nonprofit Sector merupakan organisasi seperti organisasi pemuda, organisasi
profesi, etnis yang tidak berorientasi pada keuntungan (non-profit
organisation) namun memiliki peran dan perhatian besar terhadap
pengembangan pariwisata. Governmental Sector adalah sektor yang berperan
untuk mengeluarkan dan menerapkan Undang-Undang dan peraturan. Dalam
bidang pariwisata sektor pemerintah memiliki banyak peran penting selain
pada pembuatan regulasi.
3. Langkah- Langkah Pokok Strategi Pengembangan
Langkah-Langkah Pokok kepariwisataan sebagai pengembangan strategi
menurut Suwantoro (2004:55) seperti berikut:
a. Dalam jangka pendek dititikberatkan pada nilai efektif yang di
dapat atau optimasi, terutama untuk mempertajam dan
memantapkan citra kepariwisataan, meningkatkan mutu
tenagakerja, meningkatkan mutu pengelolaan, memanfaatkan
produk yang ada, memperbesar saham dari pasar pariwisata yang
telah ada.
b. Dalam jangka menengah dititikberatkan pada konsolidasi, terutama
dalam memantapkan kepariwisataan dengan mengkonsollidasikan
kemampuan pengelolaan, mengembangkan dan diversifikasi
produk, mengembangkan jumlah dan mutu tenaga kerja.
56
c. Dalam jangka panjang dititik-beratkan pada pengembangan dan
penyebaran dalam pengembangan kemampuan pengelolaan,
pengembangan dan penyebaran produk dan pelayanan,
pengembangan pasar pariwisata baru, pengembangan mutu dan
jumlah tenaga kerja.
57
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data
dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian
dilakukan dengan ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris, dan sistematis,
kemudian hasilnya dapat dipakai untuk memahami, memecahkan, dan
mengantisipasi masalah. Rasional berarti kegiatan penelitian itu dilakukan
dengan cara-cara yang masuk akal, sehingga dimengerti oleh akal manusia.
Empiris berarti cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati oleh indra manusia.
Sistematis artinya proses yang digunakan dalam penelitian itu menggunakan
langkah-langkah tertentu yang bersifat logis.
Jenis penelitian dapat dibedakan menjadi dua, yaitu metode kuantitatif dan
kualitatif. Sugiyono (2008:12) mengatakan bahwa metode penelitian kuantitatif
dapat diartikan sebagai metode penilitian yang berdasarkan filsafat positivisme,
digunakan untuk meniliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan
data menggunakan instrumen penilitian, analisis data bersifat statistik, dengan
tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Filsafat positivisme
memandang reslitas/gejala/fenomena itu dapat diklasifikasikan, relatif tetap,
konkrit, teramati, terukur, dan hubungan gejala sebab akibat.
Metode penilitian kualitatif sering disebut metode penilitian naturalistik
karena penilitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah. Metode kualitatif
58
dilandasi oleh filsafat postpostivisme yang memandang realitas sosial sebagai
sesuatu yang holistik/utuh, kompleks, dinamis, penuh makna, dan hubungan
gejala bersifat interaktif. Penilitian kualitatif lebih menekankan pada makna,
makna adalah data yang sebenarnya, data yang pasti yang merupakan suatu
nilai dibalik data yang tampak.
Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati menurut Bodgan dalam Moleong (2001:3). Selanjutnya
penelitian deskriptif menurut Singarimbun dan Effendi (1989:4),
“Dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial
tertentu yang mengembangkan konsep dan menghimpun fakta, tetapi tidak
melakukan pengujian hipotesis”.
Karakteristik penelitian kualitatif berdasarkan pendapat Bogdan dan
Biklen dalam Wahab (2012) adalah sebagai berikut:
1. Qualitative research has natural setting as the direct source of data and researcher is the key instrument. (Dilakukan pada kondisi alamaiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen), langsung ke sumber data dan peneliti adalah instrumen kunci).
2. Qualitative research is descriptive. The data collected is in the form of words of picture rather than number. (Penelitian kualitatif lebih bersifat deskriptif. Data yang terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar, sehingga tidak menekankan pada angka).
3. Qualitative research is concerned with process rather than simply with outcomes or products) . (Penelitian kualitatif lebih menekankan pada proses daripada produk atau outcome.
4. Qualitative research tend to analyze their data inductively. (Penelitian kualitatif melakukan analisis data secara induktif).
5. “Meaning”is of essential to the qualitative approach (penelitian kualitatif lebih menekankan makna (data dibalik yang teramati)).
59
Metode yang dipakai di dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif
kualitatif. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat diambil pengertian
bahwa penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif adalah penelitian
yang dilakukan dengan cara membaca, mengobservasi, dan yang kemudian
menginterpretasikan hasil dari membaca dan observasi tersebut dalam
rangkaian kata-kata ke dalam bentuk tulisan yang sistematis. Peneliti dalam
penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan secara faktual dan akurat
mengenai fenomena dengan fakta-fakta yang terjadi di lapangan yang berkaitan
dengan strategi pengembangan pariwisata telaga ngebel dalam perspektif
peningkatan pendapatan asli daerah.
B. Fokus Penelitian
Fokus penilitian membantu agar peneliti memiliki pusat perhatian dari apa
yang hendak diteliti sehingga memudahkan peneliti dalam menentukan batasan
untuk mencari data yang ada di lapangan agar suatu masalah maupun obyek
yang diteliti tidak melebar dan terlalu luas. Luasnya masalah di dalam
penelitian kualitatif maka perlu adanya fokus penilitian yang berisikan pokok
masalah yang masih bersifat umum dengan menimbang tingkat kepentingan,
urgensi dan fisibilitas masalah yang akan dipecahkan, selain faktor
keterbatasan tenaga, dana dan waktu. Sugiyono (2008:207).
Beberapa alternatif untuk menetapkan fokus penilitian yang dielaskan oleh
Spradley dalam Faisal (1988) diantaranya:
1. Menetapkan fokus pada permasalahan yang disarankan informan.
2. Menetapkan fokus berdasarkan domain-domain tertentu.
60
3. Menetapkan fokus yang memiliki nilai temuan untuk pengembangan iptek.
4. Menetapkan fokus berdasarkan permasalahan yang terkait dengan teori-teori
yang telah ada.
Untuk mempertajam penelitian, maka fokus yang diambil dalam
penelitian ini dirangkum dalam beberapa domain.
1. Strategi Pengembangan Pariwisata Telaga Ngebel untuk meningkatkan
pendapatan asli daerah Kabupaten Ponorogo menurut Osborne dan Plastrik
dalam 5 Strategi menuju pemerintahan wirausaha :
a. Strategi inti;
b. Strategi konsekuensi;
c. Strategi pelanggan;
d. Strategi kontrol;
e. Strategi budaya;
2. Faktor – Faktor yang mempengaruhi pengembangan pariwisata telaga
ngebel dengan melakukan identifikasi terhadap fenonema dan kondisi
yang terjadi di lapangan.
a. Faktor pendukung :
1. Lokasi yang cukup dekat dari pusat kota.
2. Terdapat kendaraan umum yang bisa mengantar dari kota menuju
tempat wisata.
3. Banyak penginapan/ hotel disekitar tempat wisata untuk para
wisatawan dari luar kota.
61
b. Faktor penghambat :
1. Prasarana atau jalan menuju tempat wisata yang berlubang atau
rusak.
2. Kurangnya faslilitas yang dapat di gunakan di tempat wisata.
3. Kurangnya kesadaran pemerintah dan warga dalam menjaga
kebersihan di sekitar lokasi wisata.
4. Kurangnya penataan lokasi warung dan pedagang yang
menganggu pemandangan wisata telaga ngebel
C. Lokasi dan Situs Penelitian
Lokasi penelitian merupakan tempat peneliti menggambarkan kejadian
yang sebenarnya dari objek yang diteliti dan untuk memperoleh data serta
informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat peneliti.
Lokasi penelitian ini adalah di Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur.
Sedangkan situs penilitiannya adalah Objek Wisata Telaga Ngebel dan Dinas
Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo, sebagai
dinas yang berwenang dalam menerbitkan peraturan, instruksi, dan bantuan
teknik dalam membangun sektor pariwisata serta badan yang
bertanggungjawab atas pengembangan dan pembinaan wilayah kepariwisataan
di Kabupaten Ponorogo.
D. Sumber dan Jenis Data
Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana saja data diperoleh.
Menurut Arikunto (2002:107), Sesuai dengan penggolongannya sumber data
62
yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi data primer dan
sekunder. Adapun pengertian data primer dan sekunder yaitu:
1. Data primer adalah data yang diambil langsung dari peneliti kepada
sumbernya, tanpa ada perantara. Sumber data yang dimaksud dapat berupa
benda-benda, situs, atau manusia. Selain itu peneliti dapat memperoleh data
ini langsung melalui alat instrumen lain. Misalnya observasi langsung
terhadap subjek atau social setting yang diteliti.
2. Data sekunder adalah data yang diambil secara tidak langsung dari
sumbernya. Data sekunder biasanya diambil melalui dokumen-dokumen,
karya tulis orang lain, surat kabar cetak maupun elektronik, majalah, jurnal
ilmiah, dan lain sebagainya.
Dalam penelitian ini, data primer diperoleh dari observasi dan wawancara
dengan petugas dari instansi yang terlibat di dalam pelaksanaan pengembangan
bidang pariwisata yakni Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga
Kabupaten Ponorogo, wisatawan, dan pelaku usaha wisata. Untuk data
sekunder di dalam penelitian ini didapatkan dari buku-buku yang relevan
dengan penelitian, dokumen-dokumen tentang pengembangan pariwisata di
Kabupaten Ponorogo, informasi dari media masa baik cetak maupun
elektronik, jurnal ilmiah yang terkait, serta dokumen-dokumen yang terkait
dengan penilitian.
63
E. Teknik Pengumpulan Data
Dasar paling utama dalam penilitian adalah bagaimana mendapatkan data,
karena itu perlu adanya teknik pengumpulan data yang baik guna mendapatkan
data yang dibutuhkan dan sesuai standar data yang ditetapkan. Teknik-teknik
dalam pengumpulan data dalam penelitian ini antara lain:
1. Observasi
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengamatan terhadap
strategi pengembangan pariwisata yang dilakukan pemerintah Kabupaten
Ponorogo melalui instansi terkait yaitu Dinas Kebudayaan Pariwisata
Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo dan menggabungkannya dengan
fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
2. Wawancara (interview)
Wawancara dilakukan dengan beberapa pihak seperti staf-staf Dinas
Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo dan
masyarakat serta para wisatawan yang sedang berkunjung di Objek wisata
telaga ngebel, dan pelaku usaha wisata.
3. Dokumentasi
Dokumentasi dilakukan dengan cara mengumpulkan dan memanfaatkan
data-data yang sudah tersedia, literatur yang terkait dengan penelitian baik
itu buku, catatan harian, jurnal, dokumen, dokumentasi foto, video, file-file
yang sudah ada dan literatur lainnya yang dianggap penting.
64
F. Teknik Analisis Data
Penelitian dengan teknik analisis data deskriptif bertujuan untuk
menggambarkan, menjelaskan, dan menguraikan secara mendetail dan
sistematis tentang keadaan yang sebenarnya, kemudian akan ditarik suatu
kesimpulan, dan pada akhirnya dapat menjawab masalah yang diangkat dalam
perumusan masalah. Analisis data sangat penting karena dengan melakukan
analisis data, maka data dapat digunakan untuk memecahkan masalah
penelitian dan mencapai tujuan akhir penelitian. Pada penelitian kualitatif,
peneliti ditantang untuk mencari model analisis data yang cocok untuk
dikembangkan dalam judul penelitian. Bogdan dikutip dari Sugiyono (2008:88)
menjelaskan bahwa:
“Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sitematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan
lain, sehingga dapat mudah difahami, dan temuannya dapat diinformasikan
kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data,
menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam
pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat
kesimpulan yang dapat diceriterakan kepada orang lain).”
Peniliti dapat menggambarkan makna yang valid dan dapat dipercaya dari
fenomena yang dijelaskan. Pada penilitian ini analisis data yang digunakan
adalah analis data Miles, M. B., & Huberman. Dalam analisis data model
Miles, M. B., & Huberman (2013:92) dijelaskan bahwa melalui penilitian data
65
kualitatif maka dapat dicari sumber data yang jelas, kemudian dapat
dikembangkan kedalam alur kronologis, dan kemudian mencari hubungan
sebab-akibat, sehingga dapat ditarik sebuah penjelasan. Analisi kualitatif
didasarkan pada observasi, wawancara, dan dokumen.
Miles, M. B., & Huberman menjelaskan bahwa kegiatan pengumpulan
data biasanya dilakukan dalam jangka waktu yang berkelanjutan. Data yang
didapat tidak bisa segera dianalisis, melainkan dilakukan pengelohan dan data
yang didapat diperluas, dan kemudian barulah hasil penilitian tersebut dapat
ditulis sesuai dengan konsep pemikiran kita. Miles, M. B., & Huberman,
berpendapat bahwa kata-kata yang dipilih untuk menggambarkan data yang
kita lihat dan dengar di lapangan tidak pernah bisa benar-benar menjadi
"obyektif", tetapi cendrung akan mengikuti penafsiran peniliti. Selain itu, fakta
bahwa data tersebut biasanya dikumpulkan selama periode yang berkelanjutan
memberikan kepercayaan lebih lanjut bahwa kita benar-benar memahami apa
yang sedang terjadi.
Untuk memperkuat analisis data kualitatif Miles, M. B., & Huberman
(2013:31-33) merumuskan tiga komponen kegiatan untuk memperoleh hasil
penilitian. Tiga komponen kegiatan tersebut diantaranya; (1) data
condensation, (2) data display, dan (3) conclusion drawing/verification.
Penjelasan dari masing-masing komponen secara lebih mendalam dijabarkan
sebagai berikut:
66
1. Data Condensation
Data Condensation mengacu pada proses pemilihan fokus, menyeder-
hanakan, mengabstraksi, transformasi data “kasar” yang didapatkan dari
catatan yang di dapat di lapangan, dan mengumpulkan data yang muncul
catatan tertulis tentang fakta di lapangan, wawancara, dokumen, dan bahan-
bahan empiris lainnya. Dengan komponen condensation, maka akan
membuat data lebih kuat. Dari data yng diperoleh peniliti akan menseleksi
data yang akan dipilih, dan kemudian menulis ringkasan, menandai,
membangun tema, mengelompokkan berdasarkan kategori, dan menulis
analisis. Jadi data condensation adalah bentuk analisis yang mempertajam
fokus, membuang data yang tidak sesuai, dan mengatur data sedemikian
rupa sehingga "akhir" kesimpulan bisa ditarik dan diverifikasi. Data
kondensasi bukanlah sesuatu yang terpisah dari analisis, tapi adalah bagian
dari analisis.
2. Data Display
Aktivitas utama kedua dalam kegiatan analisis adalah menyajikan data. Data
yang ditampilkan harus terorganisir, sehingga dengan melihat tampilan akan
dapat membantu untuk memahami apa yang terjadi. Penyajian data dapat
ditampilkan berupa naratif, maupun disingkat menjadi bentuk grafik, tabel,
phie chard. Miles, M. B., & Huberman, menganjurkan untuk menyajikan
data secara sistematis, jelas, sesuai, dan yang terpenting adalah “You know
what you display”.
67
3. Drawing and Verifying Conclusions
Aliran ketiga kegiatan analisis adalah menarik dan memastikan kesimpulan.
Kesimpulan juga diverifikasi sebagai analis hasil. Verifikasi telah melewati
tahap pemikiran dari analisis sehingga dapat menjadi kesimpulan yang tidak
rumit, atau panjang. Kesimpulan diinterpertasikan sesuai dengan data dan
kajian yang diperoleh selama proses penilitian.
Ketiga tahap aktivitas analisis data tersebut digambarkan seperti berikut ini:
Gambar 1. Components of Data Analysis: Interactive Model
Sumber: Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1994). Qualitative data
analysis: An expanded sourcebook (Sage Publications, 2013:33)
68
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Kabupaten Ponorogo
1. Letak Geografis dan Topografi Kabupaten Ponorogo
Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa
Timur yang memiliki luas daerah sebesar 1.371,78 km2. Secara administratif
Kabupaten Ponorogo terdiri atas 21 kecamatan dan 279 desa dan 26 kelurahan.
Kabupaten Ponorogo berada pada ketinggian antara 92 sampai 2.563 meter dari
permukaan laut yang di bagi menjadi 2 sub area, yaitu area dataran tinggi yang
meliputi kecamatan Ngrayun, Sooko, Pulung, dan Ngebel sisanya merupakan
area dataran rendah. Kabupaten Ponorogo memiliki iklim tropis yang
mengalami dua musim, kemarau dan penghujan. Suhu di Kabupaten Ponorogo
sepanjang tahun relative sama dengan suhu rata-rata tertinggi 32,2 `C dan suhu
rata-rata terendah 2,3`9 C.
Secara administratif batas-batas Kabupaten Ponorogo adalah sebagai
berikut:
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pacitan dan Kabupaten
Trenggalek
- Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pacitan dan Kabupaten
Wonogiri (Provinsi Jawa Tengah)
- Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten
Trenggalek, dan;
69
- Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Madiun, Kabupaten Magetan
dan Kabupaten Nganjuk.
2. Sejarah Pemerintah Kabupaten Ponorogo
Sejarah berdirinya Kabupaten Ponorogo menurut Babad Ponorogo
(Purwowidjoyo, 1997) setelah Raden Katong sampai di Wilayah Wengker, lalu
memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman. Melalui situasi dan
kondisi yang penuh dengan hambatan, tantangan, yang datang silih berganti,
Raden Katong, Selo Aji, dan Ki Ageng Mirah beserta pengikutnya terus
berupaya mendirikan pemukiman. Untuk mencapau tujuan tersebut Raden
Katong melakukan pendekatan kekeluargaan dengan Ki Ageng Kutu dan
seluruh pendukungnya dan akhirnya Bathoro katong (Raden Katong) dapat
mendirikan kadipaten Ponorogo pada akhir abad XV dan ia menjadi Adipati
yang pertama.
Kadipaten Ponorogo berdiri pada tanggal 11 Agustus 1496 Masehi,
inilah tanggal yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten
Ponorogo. Penetapan tanggal ini merupakan kajian mendalam atas dasar bukti
peninggalan benda – benda purbakala di daerah Ponorogo dan sekitarnya, juga
mengacu pada buku Hand book of Oriental History, sehingga dapat di temukan
hari wisuda Bathoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo. Bathoro
Katong adalah pendiri Kadipaten Ponorogo yang selanjutnya berkembang
menjadi Kabupaten Ponorogo. Menurut buku Babad Ponorogo karya
Poerwowdjojo (1997). Di ceritakan, bahwa asal-usul nama Ponorogo bermula
dari kesepakatan dalam musyawarah bersama Raden Bathoro Katong, Kyai
70
Mirah, Selo aji dan Joyodipo pada hari jum’at saat bulan purnama, bertempat
di tanah lapang dekat sebuah gumuk (wilayah katong sekarang). Di dalam
musyawarah tersebut disepakati bahwa kota yang akan didirikan dinamakan
“Pramana Raga” yang akhirnya lama- kelamaan berubah menjadi Ponorogo.
3 . Visi dan Misi Kabupaten Ponorogo
a. Visi Kabupaten Ponorogo
Visi merupakan pandangan jauh kedepan, ke arah mana dan
bagaimana suatu organisasi akan dibawa dan berkarya agar tetap
konsisten, eksis, antisipasif, inovatif, serta produktif. Dalam masa periode
pemerintahan 2016 – 2021 maka Visi Kabupaten Ponorogo adalah
“Ponorogo Berbenah Menuju Ponorogo Yang Lebih Maju, Berbudaya,
Dan Religius”.
b. Misi Kabupaten Ponorogo
Misi adalah sesuatu yang harus diemban atau dilaksanakan oleh
organisasi sesuai dengan visi yang telah ditetapkan, agar tujuan organisasi
dapat terlaksana dan berhasil dengan baik. Adapun misi yang telah
ditetapkan oleh pemerintah dalam masa periode pemerintahan 2016 –
2021 meliputi :
1) Terbentuknya Budaya keteladanan pemimpin yang efektif, guna
mengembangkan manajemen pemerintahan daerah yang amanah,
tanggap dan berkemampuan andal memcahkan masalah rakyat.
71
2) Terkelolanya seluruh sumber daya daerah menjadi lebih berdayaguna,
unggul, produktif, berkelanjutan, serta bermanfaat luas secara ekonomi
dan sosial.
3) Terwujudnya pengelolaan infrastruktur strategis secara professional,
agar memiliki daya dukung yang kokoh untuk menyokong
produktivitas masyarakat, kemajuan wilayah, serta peningkatan
kesejahteraan umum.
4) Terbangunnya sistem pertanian modern, sebagai basis pengembangan
modal ekonomi kerakyatan yang berdaya saing tangguh, memicu
investasi dan industry, serta berperan menjadi lokomotif penggerak
perekonomian daerah.
5) Penataan kawasan yang nyaman untuk semua, dengan ketersediaan
ruang public yang memadai, berwawasan kelestarian lingkungan,
sekaligus upaya mempercepat pengurangan ketimpangan antara
wilayah pedesaan dengan perkotaan.
6) Terbangunnya prinsip kemandirian dalam upaya pemberdayaan
masyarakat miskin, pengangguran, serta perluasan kesempatan kerja.
7) Meningkatnya peran aktif Pemerintah Daerah dalam memajukan
sistem pelayanan pendidikan dan kesehatan masyarakat, guna
mendorong kualitas sumber daya manusia yang hebat dan bertaqwa.
72
B. Gambaran Umum Situs Penelitian
1. Visi dan Misi Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga
Kabupaten Ponorogo
Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten
Ponorogo merupakan unit pelaksana teknis bertugas merencanakan,
merumuskan kebijakan, membina administrasi, mengkoordinasikan,
mengendalikan serta mengevaluasi penyelenggaraan program. Dan Visi
Dinas dalam periode 2016 – 2021 adalah “Terwujudnya Masyarakat
Ponorogo Yang Berbudaya Serta Terwujudnya Kabupaten Ponorogo
Sebagai Daerah Tujuan Wisata Unggulan Di Jawa Timur” Demi
mewujudkan visi tersebut, adapun misi yang disusun adalah sebagai
berikut:
a. Mewujudkan Masyarakat Kabupaten Ponorogo yang berbudaya dalam
rangka memperkuat jati diri dan kepribadian masyarakat dan bangsa.
b. Mengembangkan dan Mendayagunakan sumber daya kebudayaan dan
pariwisata secara sistematis, berkesinambungan, berwawasan budaya
dan lingkungan dalam rangka peningkatan pembangunan ekonomi
masyarakat.
c. Meningkatkan profesionalisme pengelolaan pariwisata dan
kebudayaan melalui peningkatan kualitas kelembagaan, manajemen,
dan sumberdaya manusia.
d. Mewujudkan pemuda dan olahraga yang produktif, prestiatif dan
inovatif dan mandiri.
73
2. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan
Olahraga Kabupaten Ponorogo
Sesuai dengan Peraturan Bupati Ponorogo Nomor 63 Tahun 2008
tentang Penjabaran Tugas dan Fungsi Dinas Kebudayaan, Pariwisata,
Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo, Disbudparpora merupakan
salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Kabupaten
Ponorogo yang bertanggung jawab mengurus persoalan kebudayaan,
pariwisata, pemuda dan olahraga kabupaten Ponorogo. Adapun struktur
organisasi dan tata kerja bagian-bagian pada Dinas Kebudayaan,
Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo adalah sebagai
berikut:
a. Kepala Dinas
Bertugas memimpin, mengkoordinasikan, melaksanakan, mengawasi, dan
mengendalikan serta memberikan pembinaan administrasi di bidang
Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga.
b. Sekretariat
Bertugas melaksanakan koordinasi penyusunan program, evaluasi dan
pelaporan, administrasi umum, administrasi kepegawaian, keuangan,
perlengkapan dan rumah tangga Dinas.
c. Bidang Kebudayaan
Bertugas mengumpulkan bahan pembiayaan, pemantauan, pelakasanaan
perizinan dan koordinasi di bidang kebudayaan.
74
d. Bidang Pengembangan Pariwisata
Bertugas mengumpulkan bahan pembinaan, pengembangan dan pemantauan
obyek dan daya tarik wisata, atraksi dan hiburan wisata, serta pemberdayaan
masayarakat pelaku pariwisata.
e. Bidang Jasa dan Sarana Wisata
Bertugas menyiapkan bahan pembinaan, perizinan, melaksanakan
pengembangan usaha jasa dan sarana wisata serta usaha dibidang makanan
dan minuman, hotel / penginapan dan bar yang mendukung pariwisata.
f. Bidang Pemuda dan Olahraga
Bertugas mengumpulkan bahan, koordinasi, pelaksanaan dan pembinaan
program/ kegiatan di bidang kepemudaan dan olahraga.
3. Pejabat dalam Struktur Organisasi
No Nama Pegawai Jabatan1 Drh. H.Sapto Jadmiko Kepala Dinas2 Drs. Hari Subagjo ST, MM Sekretaris3 Hera Zuana, SE, M.Si Sub Bagian Penyusunan Program 4 Sri Sulis Sedyaningsih, S.Sos Sub Bagian Keuangan5 Joko Susilo, SE Sub Bagian Umum & Kepegawaian6 Ir. Mahmud Budihartono, M.Si Bidang Pengembangan Pariwisata7 Drs. Hadi Soenarto, M.Si Bidang Pemuda dan Olahraga8 Susilo Tri Mulyanto, S.Sos, M.AP Bidang Atraksi Wisata dan Hiburan9 Bambang Wibisono S.Sn Bidang Kebudayaan10 Siti Hanifah, S.STP , Msi Bidang Jasa dan Sarana Wisata11 Farida nuraini S,Sos MM Seksi Promosi dan Pemasaran Wisata12 Hj. Soesiana Tities Soebijati SH, MM Seksi Usaha Jasa dan Sarana Wisata13 Edy Darwanto, ST Seksi Objek dan Daya Tarik Wisata14 Kristin Dwi Rohmayanti, SH Seksi Seni dan Budaya15 H. Purnomo, S.Sos Seksi Atraksi Wisata dan Hiburan16 Drs. Sugeng Priyatmoko Seksi Sejarah dan Nilai – nilai Tradisional17 Drs. Jumaro, M.Si Seksi Rumah Makan, Minuman Hotel ,
75
Penginapan dan Bar18 Drs. Nanang Karbela Seksi Kepemudaan19 Yahya Ahyani, S. Sos, M. Si Seksi Olahraga
Tabel 4.1
C. Penyajian Data Fokus
1. Bentuk - bentuk Strategi Pengembangan Pariwisata Objek Wisata Telaga
Ngebel menggunakan Perspektif Entrepreneurial Government dengan
Lima Strategi Mewujudkan Pemerintahan Wirausaha untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Ponorogo
Lima strategi mewujudkan pemerintahan wirausaha oleh Osborne dan
Plastrik dalam bukunya yang berjudul Banishing Bureaucracy merupakan
pemikiran tentang cara untuk melakukan pembaharuan pada birokrasi
pemerintah dengan mentransformasi organisasi dan sistem birokrasi menjadi
organisasi dan sistem yang bersifat wirausaha. Aplikasi lima strategi, menuju
pemerintahan wirausaha oleh Osborne dan Plastrik, dijadikan sebagai levers of
change (dongkrak perubahan) pada seluruh aspek pemerintahan agar organisasi
pemerintah lebih stabil dalam menghadapi persaingan dan perubahan (Osborne
dan Plastrik, 1997:43). Lima pendongkrak utama yang digagas oleh Osborne
dan Plastrik untuk pembaruan organisasi pemerintah, yaitu: purpose (tujuan),
incentives (insentif), accountability (pertanggunjawaban), power (kekuasaan),
dan culture (budaya). Lima pendongkrak perubahan pada organisasi peme-
rintahan tersebut kemudian oleh Osborne dan Plastrik dikelompokkan menjadi
lima strategi utama untuk mewujudkan pemerintahan wirausaha, yaitu strategi
inti, strategi konsekuensi, strategi pelanggan, strategi kontrol, dan strategi
budaya. Adapun pembahasan lima strategi mewujudkan pemerintahan
76
wirausaha tersebut akan diperspektifkan ke dalam strategi pengembangan
pariwisata Kabupaten Ponorogo khususnya di Objek Wisata Telaga Ngebel
untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah yang dibahas sebagai berikut:
a. Strategi Inti
Identifikasi strategi inti dalam pengembangan pariwisata Telaga Ngebel
ditinjau berdasarkan aspek kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan
sektor pariwisata. Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Ponorogo menjadi penting karena akan sangat berperan dalam membantu
proses pengembangan pariwisata dan dapat menentukan berhasil atau tidaknya
pengembangan sektor pariwisata khususnya objek wisata telaga ngebel.
Berdasarkan Aspek Kebijakan, terdapat beberapa kebijakan dari Dinas
Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo yang di lakukan untuk
meningkatkan pengembangan pariwisata di telaga ngebel salah satunya yaitu
dengan mengadakan event atau acara di hari libur tertentu untuk menarik minat
para pengunjung untuk datang ke Objek Wisata Telaga Ngebel. Hal ini Sesuai
dengan hasil wawancara dengan Bapak Edy Darwanto yaitu Bidang Objek dan
Daya Tarik wisata Dinas Pariwisata Pemuda Dan Olahraga Kabupaten
Ponorogo sebagai berikut :
“ Strategi yang pertama adalah menambahkan fasilitas - fasilitas atau sarana pendukung Objek wisata telaga ngebel misalnya sarana bermain anak - anak , wahana mainan anak -anak , dan perahu speedboat. Untuk mengembangkan potensi kita pemerintah bekerja sama dengan pihak ketiga untuk mengadakan event - event di hari - hari libur tertentu untuk meningkatkan kunjungan wisatawan.Kedua dengan promosi dengan media lokal elektronik dan non elektronik. Kebijakan pemerintah juga dipengaruhi anggaran pemerintah daerah untuk mengembangkan objek wisata” (hasil wawancara 27 januari 2017 pukul 10.00 WIB di Kantor DISBUDPARPORA Kabupaten Ponorogo)
77
Kebijakan pemerintah dalam mengembangkan objek wisata di pengaruhi
oleh Anggaran Pemerintah Daerah dan oleh karena itu untuk membantu
pengembangan dalam objek wisata di butuhkan kerjasama dengan pihak Swasta.
Strategi yang di terapkan oleh Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan
Olahraga Kabupaten Ponorogo untuk mengembangkan potensi wisata Telaga
Ngebel selain menambahkan fasilitas – fasilitas yang tersedia juga membuat
kerjasama dengan pihak swasta dalam mengadakan event atau acara maupun
membuat fasilitas baru yang di bisa di gunakan oleh pengunjung. Hal ini sesuai
dengan hasil wawancara dengan Bapak Edy Darwanto mengenai adanya
kerjasama dengan pihak swasta sebagai berikut :
“ Ada kerjasama pemerintah dengan swasta terutama untuk wahana - wahana di isi oleh masyarakat sekitar telaga ngebel sehingga adanya masyarakat menyediakan fasilitas dan sarana di harapkan dapat meningkatkan perekonomian di sekitar tempat wisata telaga ngebel. Untuk swasta lainnya biasanya berkerjasama dengan EO ( event organizer) untuk melaksanakan event di telaga ngebel dan segala kegiatan di lakukan swasta dan pemerintah hanya memantau biaya retribusi masuk untuk meningkatkan PAD “(hasil wawancara 27 januari 2017 pukul 10.00 WIB di Kantor DISBUDPARPORA Kabupaten Ponorogo)
Kemudian selain kedua hal tersebut berdasarkan data sekunder yang di
ambil dari web resmi pariwisata ponorogo. Pemerintah membuat kebijakan city
branding yaitu “Ponorogo ethnic art of java “ sebagai tag line Ponorogo
memberikan makna bahwa Ponorogo mempunyai keunikan tersendiri
dibandingkan kota lain yaitu khususnya dibidang seni dan budaya. Di mana
Reyog sudah menjadi ikon Ponorogo yang sudah menjadi budaya nasional dan
78
menjadi kebanggaan tidak hanya masyarakat Ponorogo akan tetapi juga bangsa
Indonesia.
Gambar 4.1
Di lihat dari logo Branding yang dibuat tersebut bentuk logo yang
menyambung dari huruf N, O, dan R diharapkan semua elemen masyarakat
Ponorogo bisa menjadi satu visi dan misi untuk Ponorogo yang lebih baik.
Kemudian bentuk dari huruf O yang sedemikian rupa sehingga bentuk tersebut
bisa mewakili Reyog budaya dan kearifan lokal. Kontur bentuk Reyog yang jelas
itu adalah ikon Ponorogo dan diharapkan menjadi Branding Ponorogo yang
mewakili semua aspek seni budaya dan pariwisata Ponorogo, Bentuk tumbuhan
yang menggambarkan kesuburan dan perkembangan diharapkan bisa menjadi
semangat untuk menjadi untuk maju dan berkembang sehingga bisa mencapai visi
misi dan tujuan bersama. Selain itu city branding tersebut menggambarkan
Ponorogo yang dinamis, simple, luwes , ramah dan sebagai alat pemasaran wisata.
Berdasarkan penjelasan wawancara dan pengolahan data sekunder, dapat
dijelasakan bahwa strategi yang di terapkan Pemerintah dalam Hal ini Dinas
Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga dalam mengembangkan objek
wisata telaga ngebel adalah dengan mengembangkan potensi yang sudah tersedia
79
di objek wisata telaga ngebel yaitu seperti keindahan danaunya serta
menambahkan fasilitas seperti perahu boat dan aneka kebudayaan lokal agar
pengunjung tertarik untuk berkunjung dan juga pemerintah bekerjasama dengan
pihak swasta untuk membuat acara atau event agar menarik wisatawan untuk
berkunjung ke objek wisata telaga ngebel.
b. Strategi Konsekuensi
Strategi Konsekuensi dalam strategi pengembangan pariwisata kabupaten
Ponorogo, dilakukan melalui peran Disbudparpora Kabupaten Ponorogo dalam
upaya pengembangan kapasitas sumber daya manusia pariwisata. Perlu diketahui
bahwa, penilaian pariwisata bukan hanya dinilai dari produk fisik saja tetapi juga
pada aspek kenyamanan wisatawan secara psikologis, yaitu bagaimana
keramahtamahan dalam memberikan pelayanan, serta etika dan perilaku yang baik
kepada wisatawan. Dalam upaya membentuk sumber daya manusia yang unggul,
maka Disbudparpora Kabupaten Ponorogo dalam lingkup eksternal membentuk
kelompok sadar wisata (Pokdarwis) di setiap desa dan kelurahan. Khususnya di
Kecamatan Ngebel sebagai lokasi potensi wisata objek wisata telaga ngebel.
Pokdarwis merupakan lembaga yang beranggotakan masyarakat yang tinggal
disekitar lingkungan objek wisata. Anggota pokdarwis sendiri mayoritas
merupakan masyarakat yang memiliki usaha atau yang berkerja dalam bidang
pelayanan pariwisata, seperti petani, tukang ojek, peternak ikan, pelaku usaha
wisata, hingga kalangan pemuda. Selain dengan dibuatnya Pokdarwis pemerintah
daerah juga melakukan pembinaan terhadap pelaku wisata terutama kepada rumah
makan, pendagang , pedagang kaki lima dan perhotelan hal ini sesuai dengan
80
langkah pemerintah untuk mendukung berkembangnya kegiatan ekonomi di
sekitar di objek wisata telaga ngebel seperti yang disampaikan oleh bapak Edy
Darwanto sebagai berikut :
“Langkah pemerintah untuk mendukung berkembangnya perkembangan ekonomi disekitar objek wisata telaga ngebel adalah dengan melakukan pembinaan terhadap pelaku wisata terutama rumah makan, pedagang kaki lima dan hotel. Pembinaan dalam satu tahun 2 kali dan di samping itu melakukan monitoring PKL , hotel dan rumah makan terutama masalah kebersihan di sekitar objek wisata telaga ngebel” (hasil wawancara 27 januari 2017 pukul 10.00 WIB di Kantor DISBUDPARPORA Kabupaten Ponorogo)
Pemerintah daerah dalam hal ini dinas kebudayaan pariwisata pemuda dan
olahraga yang berwenang dalam hal menangani berkembangnya pariwisata
ditelaga ngebel melakukan beberapa langkah atau peran seperti yang di
ungkapkan oleh bapak Edy Darwanto sebagai berikut:
“Peran pemerintah dalam pengembangan atau pemberdayaan kapasitas Sumberdaya manusia disekitar kawasan objek wisata telaga ngebel biasanya melakukan pelatihan – pelatihan bekerjasama dengan dinas pariwisata provinsi ada pelatihan khusus pengusaha hotel dan juga PKL untuk mendongkrak Sumberdaya manusia di sekitar wisata, ada 8 desa di sekitar telaga ngebel dan di buat POKDARWIS (kelompok sadar wisata) tujuannya untuk mengangkat perekonomian atau kepedulian masyarakat sekitar telaga ngebel untuk mengembangkan objek wisata di sekitarnya.” (hasil wawancara 27 januari 2017 pukul 10.00 WIB di Kantor DISBUDPARPORA Kabupaten Ponorogo).
Agenda Kegiatan Pokdarwis yang diberikan oleh Disbudparpora
kabupaten Ponorogo yaitu pengelolaan hotel, pelatihan ojek wisata, pelatihan
PKL (Pedagang Kaki Lima) dan pelatihan untuk pengrajin cindera mata. Selain
hal tersebut Pemerintah dalam hal ini dinas kebudayaan pariwisata pemuda dan
olahraga juga melakukan pelatihan dan pembinaan terhadap masyarakat sekitar
81
sebagai penyedia dan pelayanan pariwisata di Telaga Ngebel seperti yang di
ungkapkan oleh bapak Edy Darwanto sebagai berikut:
“Ada Pelatihan dan namanya Pelatihan Pemandu wisata biasanya kita melakukan pelatihan di bulan November dan biasanya orientasi lapangannya studi banding ke daerah luar ponorogo yang geografisnya hampir sama dengan ponorogo. Terakhir ke banjarnegara , dieng dan malang ke ponco kusumo tujuannya yaitu untuk bagaimana tata cara untuk melayani para wisatawan di telaga ngebel baik kode etiknya , cara penyambutannya, cara penyampainnya sehingga para wisatawan betah dan kembali berkunjung ke telaga ngebel, intinya tentang pelayanan publik” (hasil wawancara 27 januari 2017 pukul 10.00 WIB di Kantor DISBUDPARPORA Kabupaten Ponorogo)
Maka berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa untuk
sekarang dan kedepannya fokus dari Pemerintah Kabupaten Ponorogo dalam hal
ini dinas kebudayaan pariwisata pemuda dan olahraga tidak saja berfokus pada
pembangunan fisik akan tetapi juga pada pembangunan sumberdaya manusia
pariwisata terutama pemberdayaan masyarakat hal ini terlihat bagaimana
pemerintah berusaha mengembangkan dan membuat masyarakat sekitar tempat
wisata terlibat terhadap perekonomian disekitar telaga ngebel sehingga bisa
meningkatkan sumberdaya manusia disekitarnya.
c. Strategi Pelanggan
Strategi pelanggan dalam pengembangan pariwisata apabila
diidentifikasikan akan terkait dengan akuntabilitas organisasi Pemerintah
Kabupaten Ponorogo terhadap pemenuhan kebutuhan wisatawan serta masyarakat
Kabupaten Ponorogo sendiri khususnya di objek wisata telaga ngebel. Karena
dalam industri pariwisata, wisatawan dan masyarakat Kabupaten Ponorogo secara
keseluruhan adalah merupakan pelanggan dari pemerintah. Faktor wisatawan
82
tidak bisa diabaikan karena kepuasan wisatawan menjadi salah satu tolak ukur
dalam keberhasilan pengembangan pariwisata, faktor masyarakat juga tidak bisa
diabaikan karena masyarakat Kabupaten Ponorogo khususnya masyarakat
disekitar telaga ngebel juga berhak untuk menikmati wisata di telaga ngebel.
Untuk itu pemerintah perlu berkomitmen agar segala kebutuhan wisatawan dapat
terpenuhi, tanpa mengurangi hak masyarakat kabupaten Ponorogo khususnya
masyarakat sekitar telaga ngebel supaya terjadi kesinambungan antara apa yang
diinginkan wisatawan dan masyarakat dan apa yang diberikan oleh organisasi dan
pemerintah.
Demi menciptakan kepuasan wisatawan maka perlu disiapkan sarana dan
prasarana pariwisata yang menunjang segala komponen pariwisata. Salah satu
sarana yang penting untuk mendukung kepuasan wisatawan adalah kelancaran
transportasi. Hal ini dianggap penting karena sarana transportasi merupakan faktor
yang berkaitan dengan kelancaran arus masuk dan keluarnya wisatawan ke Objek
wisata telaga ngebel. Jika terjadi jalan berlubang hal ini bisa menjadi penghambat
bagi wisatawan yang akan berkunjung ke objek wisata telaga ngebel dan itu akan
mengurangi kenyamanan wisatawan. Terkait dengan kondisi prasarana
transportasi di sekitar Objek wisata telaga ngebel. Pendapat saudari Krisnia Rima,
Pengunjung objek wisata telaga ngebel adalah sebagai berikut:
“ Telaga ngebel adalah salah satu objek wisata andalan di Ponorogo dan juga terhitung lumayan dekat dengan daerah kota, selain dekat dengan kota telaga ngebel juga cocok untuk semua kalangan baik anak muda, tua maupun anak – anak akan tetapi jalan akses ke telaga ngebel ini sudah banyak yang berlubang sehingga ketika berkendara kesini harus hati- hati dan memperhatikan jalan agar tidak terjatuh apalagi memang jalan yang berkelok- kelok karena ngebel berada di daerah pegunungan” ( 5 Februari 2017 lokasi di Telaga Ngebel)
83
Berhubungan dengan kondisi sarana transportasi ke Objek Wisata Ngebel
tersebut teman saudari Krisnia Rima yaitu Rosa Gasella juga menambahkan
sebagai berikut:
“ Telaga Ngebel ini sebenarnya sudah cukup bagus, selain telaganya yang masih alami dan ada fasilitas yang tersedia seperti perahu boat walaupun sebenarnya fasilitasnya masih bisa ditambah lagi dan ada banyak rumah makan dan ada banyak penginapan untuk wisatawan yang ingin menginap disini akan tetapi menurut saya kekurangannya yaitu akses jalannya yang banyak berlubang jadi kalau mau ke telaga ngebel harus lebih hati- hati lagi di jalan” ( 5 Februari 2017 lokasi di Telaga Ngebel)
Selain masalah sarana dan prasarana masalah lainnya yaitu masih kurang
banyak fasilitas yang tersedia untuk lebih lagi menarik pelanggan walaupun sudah
ada beberapa alat permainanan buatan dan juga perahu boat untuk mengarungi
telaga ngebel ada beberapa spot yang sebenarnya bisa lebih lagi dikembangkan
akan tetapi terkait kendala hak kepemilikan pernyataan tersebut sesuai dengan apa
yang di ungkapkan oleh bapak edy darwanto sebagai berikut :
“Ketersediaan fasilitas – fasilitas di objek telaga ngebel memang sangat minim sekali karena geografis di telaga ngebel itu 75% milik perhutani dan kedepannya akan melakukan MOU dengan perhutani dan membicarakan masalah lahan untuk dipakai untuk menambah fasilitas” (hasil wawancara 27 januari 2017 pukul 10.00 WIB di Kantor DISBUDPARPORA Kabupaten Ponorogo)
Selain hal tersebut akan tetapi ada beberapa hal yang bisa membuat
wisatawan tetap ingin berkunjung ke telaga ngebel yaitu karena biasanya terdapat
beberapa atraksi wisata Reyog dan acara – acara yang secara rutin dilakukan oleh
dinas dan berkerjasama dengan masyarakat sekitar hal ini sesuai dengan
pernyataan bapak edy darwanto sebagai berikut :
84
“ Strategi Pemerintah Untuk menarik pelanggan atau wisatawan di objek wisata telaga ngebel Biasanya mengadakan event – event disekitar telaga ngebel terutama hari libur, tahun baru dan hari raya dan program dari dinas setiap sebulan sekali mengadakan hiburan Reyog di sekitar tempat wisata untuk memperdayakan budaya lokal dan sanggar – sanggar yang ada di sekitar telaga ngebel” (hasil wawancara 27 januari 2017 pukul 10.00 WIB di Kantor DISBUDPARPORA Kabupaten Ponorogo)
Akan tetapi meskipun seperti itu data Pelanggan atau wisatawan yang
berkunjung ke Telaga Ngebel terus bertambah setiap tahunnya sesuai dengan data
dari Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga sebagai berikut :
Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015
131.447 147.012 172.541
Tabel 4.2
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa masing – masing
aspek dalam pemenuhan sarana dan prasarana wisata memiliki keunggulan dan
kelemahan. Aspek keunggulan sarana dan prasarana wisata objek telaga ngebel
terlihat pada atraksi wisatanya yang beragam dan menarik dan tingkat
ketersediaan akomodasi penginapan yang cukup banyak. Kemudian kelemahan
dalam pemenuhan kebutuhan wisatawan dan masyarakat adalah pada aksebilitas
lalu lintas terutama kerusakan jalan apalagi pada musim hujan akan lebih
berbahaya karena lubang tergenang air dan juga pada beberapa potensi wisata
yang tidak dikembangkan karena terhalang izin dan hak milik yang bukan
wewenang dinas terkait.
85
D. Strategi Kontrol
Identifikasi strategi kontrol dalam pengembangan pariwisata Telaga
Ngebel berdasarkan distribusi peran dan kewenangan masing – masing
stakeholder yang terlibat di dalam pengelolaan pariwisata. Berdasarkan Peraturan
Bupati Ponorogo Nomor 63 Tahun 2008 tentang Penjabaran Tugas dan Fungsi
Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo,
Disbudparpora merupakan salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
Pemerintah Kabupaten Ponorogo yang bertanggung jawab mengurus persoalan
kebudayaan, pariwisata, pemuda dan olahraga Kabupaten Ponorogo. Terkait
fungsi dan tugas Disbudparpora didalam pengembangan Pariwisata. Ibu farida
nuraini bagian promosi dan pemasaran pariwisata menjelaskan bahwa peran
Disbudparpora adalah sebagai fasilisator , pengawas, dan pemberi rekomendasi
serta memberikan promosi objek wisata telaga ngebel. Sedangkan untuk setiap
pengelolalaan usaha pariwisata, diserahkan sepenuhnya kepada pihak pengelola
atau pengembang. Kemudian penjelasan diatas diperkuat oleh keterangan yang
diberikan oleh bapak Edy Darwanto sebagai berikut :
“Kita hanya menjadi fasilisator dan pengawasan dalam pembangunan usaha wisata. Swasta diberi kebebasan dalam mengelola dan mengembangkan objek wisata tetapi harus memperhatikan batasan – batasan yang sudah ada dalam sapta pesona” (hasil wawancara 27 januari 2017 pukul 10.00 WIB di Kantor DISBUDPARPORA Kabupaten Ponorogo).Kemudian pada keterangan berikutnya beliau menjelaskan jenis
kewenangan yang di miliki dan fungsi dan tugas dinas dalam mengelola objek
wisata telaga ngebel, berikut ini :
86
“ Fungsi dan Tugas dinas sudah sesuai yaitu memungut retribusi masuk objek wisata telaga ngebel yang sesuai dengan PERDA yaitu dewasa Rp 6000 dan anak – anak Rp. 3000 dan juga kita bekerja sama dengan pihak swasta dalam mengembangkan usaha dan objek wisata telaga ngebel dengan memberikan perizinan dan kebebasan dalam mengelola dan mengembakan objek wisata yang penting sesuai dengan sapta pesona wisata” (hasil wawancara 27 januari 2017 pukul 10.00 WIB di Kantor DISBUDPARPORA Kabupaten Ponorogo).
Sama dengan kondisi kontrol Disbudparpora dalam pengelolaan objek
wisata milik swasta, pada pengelolaan jenis wisata yang dikelola oleh masyarakat,
kontrol Disbudparpora juga terbatas pada pembinaan dan pengawasan. Seperti
Desa Wisata, Disbudparpora memiliki peran dalam proses pembinaan, penentuan
tarif, evaluasi, dan pengawasan. Pada Desa Wisata pengelolaan dilakukan oleh
masyarakat bersama – sama dengan pemerintah. Namun, pemberi pelayanan
secara langsung tetap dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat. Hal ini sesuai
dengan pernyataan bapak Kepala Disbudparpora Ponorogo bapak Sapto Djatmiko
kepada Radar Madiun tentang pengelolaan wisata ke desa sebagai berikut :
“ Konsep Pariwisata kedepan mengarah kemandirian jadi semua dikelola sepenuhnya oleh desa setempat, konsep desa wisata masing – masing berjalan secara mandiri. Mulai perawatan fisik, konsep promosi, hingga pengembangan. Semua retribusi sepenuhnya menjadi pendapatan asli desa, Pemerintah tidak ikut ambil bagian dan sehingga perkembangan wisata tergantung desa tersebut, Pemerintah hanya memberikan stimulant dan sumberdaya manusia yang dibutuhkan “ ( 20 juli 2016 )
Selain hal tersebut bapak Edy Darwanto menambahkan bahwa Pemerintah
dalam pengawasan terhadap pihak swasta dalam pengembangan produknya adalah
sebagai berikut :
“Kerjasama dengan bidang – bidang lain di dinas pariwisata terutama bidang sarana dan jasa usaha wisata dimana bidang tersebut membidangi masalah rumah makan , café dan hotel. Dan untuk mengembangkan produknya biasanya pemerintah melakukan monitoring setiap sebulan sekali dan biasanya mengadakan memacu rumah makan di ponorogo
87
untuk mengadakan lomba makanan khas ponorogo untuk memacu produknya. (hasil wawancara 27 januari 2017 pukul 10.00 WIB di Kantor DISBUDPARPORA Kabupaten Ponorogo).
Kemudian sesuai dengan hasil data lapangan pada pengelolaan Desa
Wisata ditemukan bahwa beberapa poin kegiatan yang dilakukan Disbudparpora
sebagai berikut :
a. Peran pemerintah dalam program desa wisata diwakili oleh dinas
kebudayaan pariwisata pemuda dan olahraga sebagai induk dari
penyelenggaraan pariwisata, mempunyai aturan main yang harus dipenuhi
dalam penyelenggaraan desa wisata misalnya dalam pembuatan media
promosi, brosur – brosur yang dibuat oleh semua desa wisata wajib
mencantumkan nama serta logo Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda
dan Olahraga Kabupaten Ponorogo.
b. Warga dan Disbudparpora sama – sama mengambil bagian dalam
menentukan harga dan mengawal proses pelaksanaan.
c. Dalam pelaksanaan program desa wisata, dinas kebudayaan pariwisata
pemuda dan olahraga hanya berperan sebagai pembina dan pengawas.
Peran dalam pengelolaan desa wisata sepenuhnya dilaksanakan oleh
pengurus desa wisata.
d. Dinas kebudayaan pariwisata pemuda dan olahraga sebagai institusi
pemertintah yang berkaitan langsung dengan desa wisata juga memberikan
bantuan modal alokasi dana APBD kepada Desa Wisata.
88
Maka berdasarkan penjabaran mengenai fungsi dan kewenangan masing –
masing stakeholder pariwisata, yaitu Disbudparpora, pihak swasta, dan
masyarakat ditemukan bahwa setiap stakeholder memiliki peran dan kewenangan
masing – masing dalam pelaksanaan pariwisata. Dinas Kebudayaan Pariwisata
Pemuda dan Olahrga Kabupaten Ponorogo sebagai pihak yang mewakili
pemerintah untuk mengurusi persoalan pariwisata sama – sama mempunyai peran
dalam tahap perencanaan dan pengawasan baik pada jenis wisata yang dikelola
oleh swasta maupun masyarakat. Kontrol pemerintah sebagai pengawas dan
fasilisator dan pemerintah hanya mendapatkan pajak dari pengembang atau pihak
swasta. Dengan demikian pembangunan dan pengelolaan oleh swasta dilakukan
untuk meningkatkan kerja dan juga dapat memperbesar manfaat yang dimiliki
daerah dan mengurangi Anggaran Pembelanjaan Belanja Daerah ( APBD) dalam
biaya pembangunan.
E. Strategi Budaya
Stratengi Budaya dalam pengembangan pariwisata Kabupaten Ponorogo
khususnya dalam pengembangan objek wisata telaga ngebel diidentifikasi dengan
menitikberatkan kepada proses yang dijalankan oleh pemerintah kota dan
Disbudparpora Kabupaten Ponorogo agar program pengembangan pariwisata
yang sudah dilakukan tetap terus berjalan. Seperti yang dijelaskan bahwa strategi
budaya ditujukan untuk membentuk dan menimbulkan komitmen pada pribadi
untuk tetap melaksakan empat strategi yang sebelumnya agar birokrat dan
karyawan selalu meningkatkan kinerja. Maka pada penjelasannya Pemkot dan
Disbudparpora Kabupaten Ponorogo dalam menjaga kesinambungan pelaksanaan
89
program pengembangan pariwisata secara rutin melakukan koordinasi. Seperti
yang di katakana oleh bapak edy darwanto sebagai berikut :
“ Pelaku pengelola objek wisata khususnya yang dikelola oleh Pemerintah daerah selalu berkoordinasi dengan dinas pariwisata dan dinas pariwisata provinsi Serta pengelola wisata serta penduduk sekitar selalu berkoordinasi dengan dinas terkait dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan “(hasil wawancara 27 januari 2017 pukul 10.00 WIB di Kantor DISBUDPARPORA Kabupaten Ponorogo).
Terkait langkah yang diambil dalam menjaga kesinambungan aparatur
pemerintah dalam pembangunan pariwisata di Kabupaten Ponorogo dan
Bagaimana cara cara pemerintah untuk menjaga komitmen dan kontinuitas
pengembangan pariwisata di objek wisata telaga ngebel bapak edy darwanto
mengatakan sebagai berikut :
“Untuk menjaga komitmen dan kontinuitas yang utama berkaitan dengan Pemerintah daerah yang pertama adalah anggaran. Karena anggaran pemerintah daerah sangat berhubungan untuk pengembangan objek wisata karena pengembangan objek wisata banyak kebutuhan yang di perlukan untuk pengembangan yang terutama yaitu infrastruktur dan sarana pendukung di dalamnya. Wisatawan untuk menikmati objek wisata infrastruktur harus bagus padahal infrastrukur diperlukan APBD yang besar untuk pelebaran jalan. Untuk pengembangan objek wisata telaga ngebel tidak bisa di bebankan sepenuhnya kepada dinas pariwisata karena banyak dinas terkait terutama dinas pekerjaan umum dan karena ada telaga jadi ada dinas perikanan, dinas pertanian dan indakop untuk memfasilitasi UKM , pedagang dan PKL untuk pelatihan dan juga BAPEDDA dan juga bidang perekonomian sehingga untuk mengembangkan objek wisata tidak hanya dinas pariwisata dan harus kerjasama sebagai satuan kerja sama pemerintah daerah.” (hasil wawancara 27 januari 2017 pukul 10.00 WIB di Kantor DISBUDPARPORA Kabupaten Ponorogo).
Sesuai dengan keterangan dua data wawancara diatas bahwa rapat bersama
antar SKPD dan stakeholder pariwisata rutin dilaksanakan untuk menjaga
kesinambungan pembangunan pariwisata. Pada setiap aparatur pemerintah
Kabupaten Ponorogo ditanamkan komitmen untuk mewujudkan visi
90
pembangunan Kabupaten Ponorogo khususnya objek wisata telaga ngebel.
Dengan menjaga komitmen, maka kesinambungan penciptaan visi Kabupaten
Ponorogo dapat terus dilakukan. Seperti yang dijelaskan pada strategi inti tentang
branding Kota Ponorogo yaitu Ethnic art of java sebagai cara untuk membangun
sektor pariwisata dan menjaga agar hal itu tetap berjalan.
Kemudian seperti halnya menjaga kesinambungan pariwisata,
Kementerian Pariwisata Republik Indonesia bekerja sama dengan Disbudparpora
mengadakan gerakan sadar wisata dan sapta pesona di telaga ngebel. Acara ini
diikuti oleh 200 orang dari unsur pelaku wisata di Kabupaten Ponorogo mulai dari
dinas terkait, pengusaha , perhotelan , homestay , pengrajin, pemilik rumah
makan, duta wisata, pengelola desa wisata , paguyuban perahu boat telaga ngebel
dan pedagang (PKL) . Hal ini di sampaikan oleh Kepala Subid Internalisasi dan
Pengembangan Sadar Wisata, Kementrian Pariwisata RI, Arum Damarintyas,
S.Sos sebagai berikut :
“ Tujuan dari kegiatan sadar wisata dan sapta pesona ini adalah untuk mendukung program pemerintah yang menargetkan kunjungan 20 juta wisatawan mancanegara dan dan 275 juta wisatawan nusantara di tahun 2019 mendatang. Untuk merealisasikan target tersebut masyarakat khususnya para pelaku wisata harus disiapkan menjadi tuan rumah yang baik. Di mulai dari hal – hal kecil, seperti membuang sampah ditempatnya, menjaga keamanan dan kenyamanan wisatawan. Kemudian bersikap ramah, murah senyum dan lainnya. Dengan gerakan ini diharapkan para pelaku wisata mulai sadar akan pesona wisata. Mereka harus menjadikan sapta pesona sebagai budaya. “ ( web resmi dinas pariwisata ponorogo ) .
Hal tersebut juga diamini oleh Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten
Ponorogo yaitu Bapak Drh. H. Sapto Djatmiko TR, MM sebagai berikut :
91
“ Kami menyambut baik gerakan sadar wisata dan sapta pesona ini dan Kami berharap gerakan ini menjadi budaya dan gaya hidup masyarakat terutama para pelaku wisata khususnya yang ada di di Telaga Ngebel ini, karena Telaga Ngebel mempunyai potensi yang luar biasa” ( web resmi dinas pariwisata ponorogo ) .
Dari penjelasan dan data sekunder yang ditemukan terungkap bahwa untuk
menjaga kesinambungan pengembangan pariwisata khususnya di Objek Wisata
Telaga Ngebel diperlukan untuk menjaga agar Ponorogo khususnya Wisata
Telaga Ngebel tetap menjadi tujuan wisata bagi setiap wisatawa. Pariwisata
merupakan industri yang berhubungan dengan pemenuhan minat pengunjung,
oleh sebab itu segala aspek yang telah dijalankan layak untuk ditingkatkan dan
diperbaiki oleh pemerintah. Berkembangnya pariwisata tidak bisa dilakukan
sendiri oleh satu institusi, karena pariwisata merupakan pembangunan yang lintas
sektoral dan lintas wilayah. Oleh sebab itu untuk membangun pariwisata akan
melibatkan banyak pihak yang masing – masingnya mempunyai kewenangan dan
peran sendiri – sendiri. Untuk itu Pemerintah harus rajin dalam menjaring aspirasi
dari setiap stakeholder yang terlibat dalam pengembangan pariwisata.
1. Faktor Pendukung dan Penghambat yang Mempengaruhi Jalannya
Pengembangan Pariwisata di Objek Wisata Telaga Ngebel
Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh dalam pengembangan Objek
wisata Telaga Ngebel baik itu yang mendorong maupun yang mengahambat
terciptanya keberhasilan pengembangan pariwisata itu sendiri. Kemunculan faktor
pendukung dan penghambat akan sangat berpengaruh pada kinerja pengembangan
potensi pariwisata disuatu daerah. Seiring berjalannya upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten Ponorogo dalam pengembangan pariwisata maka terdapat
92
beberapa faktor yang lebih dominan. Faktor – faktor yang menjadi pendukung dan
penghambat jalannya pengembangan pariwisata di Kabupaten Ponorogo dapat
diindentifikasi sebagai berikut :
a. Faktor Pendukung
1) Lokasi Wisata Strategis dan Adanya Transportasi Umum
Lokasi objek wisata telaga ngebel berada di kaki Gunung Wilis Ponorogo atau
tepatnya berada di Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo sekitar 30km dari
pusat Kecamatan Kota Ponorogo. Lokasi yang dekat dengan pusat kota atau
sekitar 45menit dengan kendaraan bemotor merupakan salah satu faktor
pendukung untuk berkembangnya pariwisata ditelaga ngebel. Hal ini sesuai
dengan pernyataan dari saudara Akbar Manggala tentang lokasi wisata telaga
ngebel dan kendaraan transportasi sebagai berikut :
“ Telaga ngebel ini lokasinya cukup dekat dari kota sehingga kita para pengunjung yang ingin datang kesini tidak terlalu menghabiskan banyak waktu dan juga kendaraan transportasi kesini juga ada Bis jadi apabila pengenjung dari luar kota dan tidak membawa kendaraan pribadi mereka bisa ke sini ( Telaga Ngebel ) naik bis dari Terminal Seloaji “( 5 Februari 2017 lokasi di Telaga Ngebel)
Pernyataan dari saudara Akbar tersebut sesuai dengan data sekunder yaitu
dinas perhubungan Kabupaten Ponorogo membuka trayek bis pada bulan februari
tahun 2016 dan sekarang sudah berjalan kurang lebih satu tahun. Sosialisasi
dilaksanakan di 6 kecamatan yang dilewati bis perintis yaitu Kecamatan
Ponorogo, Kecamatan Babadan, Kecamatan Jenangan, Kecamatan Ngebel,
Kecamatan Sukorejo, dan Kecamatan Sampung. Jam Pemberangkatan Ponorogo –
93
Ngebel setiap jam 06.00 WIB begitu pula arah sebaliknya dengan tarif
penumpang umum Rp 9000. Per orang dan pelajar Rp. 4500. Per orang.
2) Website Pemerintah yang Informatif
Setelah faktor lokasi dan adanya transportasi umum faktor pendukung
lainnya adalah upaya memberikan pelayanan terbaik melalui website Pemerintah
Daerah sangat di butuhkan oleh masyarakat guna mendapatkan informasi yang
resmi. Penginformasian lewat website akan memudahkan masyarakat dalam
memperoleh informasi karena lebih cepat, lebih mudah, dan menjangkau seluruh
keberadaan masyarakat. Pelayanan bukan hanya untuk keperluan pelayanan
publik masyarakat setempat tetapi juga kepada masyarkat luar daerah, maupun
masyarakat internasional. Sehingga pelayanan informasi wisata melalui sarana
informasi website dibutuhkan untuk mempercepat proses pencarian informasi oleh
wisatawan. Pendapat tentang sarana informasi wisata di Kabupaten Ponorogo
menurut saudara Akbar sebagai berikut :
“ Informasi di situs resmi cukup baik dan bisa memberikan update apa saja acara atau event yang akan berlangsung dan cukup bagus dalam memberikan informasi sehingga para wisatawan yang akan berkunjung bisa mengetahui kapan ada acara atau event tersebut” ( 5 Februari 2017 lokasi di Telaga Ngebel)
Adanya situs web resmi khusus pariwisata yaitu Pariwisata.Ponorogo.go.id
dalam situs web resmi milik pemerintah tersebut beberapa informasi tentang profil
dinas pariwisata, struktur organisasinya serta lokasi dinas pariwisata selain hal –
hal tentang profil dinas pariwisata di web tersebut juga terdapat berita terbaru
tentang hal – hal pariwisata dan juga event atau acara yang akan berlangsung di
Kabupaten Ponorogo. Tampilan Website sebagai berikut :
94
Gambar 4.2. Tampilan NewsGebyar Reyog Telaga Ngebel
Sumber : www.Pariwisata.Ponorogo.go.id
Gambar 4.3 Tampilan Berita Tentang Gerakadan Sadar Wisata dan Aksi Sapta Pesona
Sumber : www.Pariwisata.Ponorogo.go.id
95
Gambar 4.4 Tentang Jadwal Event atau Acara yang akan berlangsungSumber : www.Pariwisata.Ponorogo.go.id
Pada tampilan gambar 4.2, gambar 4.3, dan gambar 4.4 terlihat bahwa
isi konten website yang dikelola oleh Disbudparpora Kabupaten Ponorogo berisi
informasi – informasi yang menarik dan memberika informasi terbaru dan up to
date terhadap perkembangan pariwisa di Kabupaten Ponorogo. Tentu dengan
dukungan dari akses media, terutama penyediaan website dengan tampilan bagus
serta informatif seperti diatas akan memberikan pengetahuan bagi wisatawan
sebelum melakukan kunjungan. Keunggulan sarana website ini harus benar –
benar di maksimalkan agar para wisatawan yang berada jauh dari lokasi bisa
melihat informasi tersebut dengan baik dan akan tertarik untuk berkunjung ke
tempat wisata tersebut.
b. Faktor Penghambat
1) Kurangnya Kesiapan Akses Jalan menuju Telaga Ngebel
Berdasarkan Kondisi jalan menuju objek wisata Telaga Ngebel saat ini,
beberapa pihak atau masyarkat menilai bahwa kondisi jalan ke Telaga Ngebel
96
sudah layak dan perlu untuk diperbaiki. Karena kondisi akses jalan utama untuk
menuju Telaga Ngebel sudah banyak yang rusak dan perlu adanya perbaikan
karena apabila dibiarkan akan berakibat terhadap wisatawan karena jalan
berlubang di tambah kondisi jalan yang berkelok – kelok karena merupakan
daerah pegunungan bisa mengakibatkan kecelakaan belum lagi banyaknya
kendaraan bermuatan yang lewat.
Hal tersebut berkaitan dengan hasil wawancara dengan salah satu
pengunjung yaitu Rosa sebagai berikut :
“ Akses jalan menuju ngebel ini perlu diperbaiki karena ketika kita dalam perjalanan ke telaga ngebel banyak jalan yang berlubang sehingga beberapa kali kita hampir terjatuh”`
Sementara itu saudari Krisnia Rima teman dari Rosa menambahkan
sebagai berikut :
“ Sebenarnya lokasi telaga ngebel ini tidak terlalu jauh dari kecamatan kota ponorogo akan tetapi akan terasa sedikit jauh dan pengunjung di daerah kota agak malas untuk berwisata ke telaga ngebel adalah karena banyak jalan yang berlubang sehingga membuat para wisatawan harus pelan – pelan ketika di jalan sehingga cukup menghabiskan banyak waktu.
Kurang siapnya akses jalan menuju objek wisata telaga ngebel tersebut
cukup berpengaruh dan menjadi faktor penghambat wisatawan yang akan
berkunjung ke Telaga Ngebel. Berdasarkan temuan dan hasil wawancara diatas,
maka salah satu kendala pariwisa di Telaga Ngebel adalah kurang siapnya akses
jalan yang kemudian menghambat wisatawan untuk segera sampai ke tempat
tujuan dan bahkan membatalkan kunjungannya karena hal tersebut. Namun
Pemkab Ponorogo dan sejumlah SKPD masih berupaya untuk berkoordinasi
dengan Pemprov Jatim untuk menemukan solusi untuk hal tersebut.
97
2) Keterbatasan Fasilitas Karena Kurangnya Lahan
Upaya Pemerintah Kabupaten Ponorogo untuk menambahkan fasilitas
atau mengembangkan fasilitas yang ada di telaga ngebel terbatas oleh
ketersediaan lahan karena sebenarnya banyak potensi wisata Telaga Ngebel yang
bisa di kembangkan seperti air terjun dan juga sumber air panas akan tetapi hal
tersebut urung dilakukan karena lahan tersebut atau akses jalan menuju lahan
tersebut bukan milik dinas pariwisata, lahan tersebut ada yang di miliki oleh
masyarakat sekitar dan adapula yang dimiliki oleh perhutani hal tersebut sejalan
dengan apa yang disampaikan oleh ibu farida bagian Bagian Promosi dan
Pemasaran sebagai berikut :
“ Pihak pengelola dalam mengembangkan Obyek Wisata Telaga Ngebel ini belum maksimal, sejauh ini belum maksimal belum begitu maksimal karena ada beberapa hal. Pertama lahan pengelolaan dari telaga ngebel itu tidak murni milik pemerintah tapi ada lagi ada lahan dari desa, masyarakat dan perhutani.” (Kantor Dinas pariwisata 19 Desember 2016 )
Jadi menurut hasil wawancara diatas bisa di ambil keterangan bahwa
pihak pengelola dalam hal ini bagian promosi dan pemasaran pariwisata juga
merasa belum maksimal dalam mengembangkan pariwisata karena masih
terkendala beberapa hal.
Pernyataan tersebut juga ditambahkan oleh bapak edy darwanto sebagai
berikut :
“Ketersediaan fasilitas – fasilitas di objek telaga ngebel memang sangat minim sekali karena geografis di telaga ngebel itu 75% milik perhutani dan kedepannya akan melakukan MOU dengan perhutani dan membicarakan masalah lahan untuk dipakai untuk menambah fasilitas” (hasil wawancara 27 januari 2017 pukul 10.00 WIB di Kantor DISBUDPARPORA Kabupaten Ponorogo)
98
Berdasarkan dari dua wawancara diatas menunjukkan bahwa ketersediaan
fasilitas di telaga ngebel masih kurang karena hal tersebut dipengaruhi oleh
ketersediaan lahan untuk menambahkan fasilitas – fasilitas di sekitar telaga ngebel
akan tetapi dari informasi wawancara yang diperoleh hal tersebut akan di carikan
solusi salah satunya dengan melakukan MOU dengan perhutani dan bekerja sama
dengan masyarakat agar bisa menambahkan fasilitas dan mengembangkan objek
wisata Telaga Ngebel.
D. PEMBAHASAN
Berdasarkan penyajian data diatas, pada tahap Pembahasan ini akan
dilakukan dengan menyusun secara sistematis hasil penelitian dilapangan yang
telah dilakukan, Sesuai dengan yang dikatakan oleh Bogdan dalam Sugiyono
(2008:88) yang menyatakan bahwa analisis data merupakan proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh sehingga mudah untuk dipahami
orang lain. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data deskriptif yang
bertujuan untuk menjelaskan, menggambarkan, menguraikan secara mendetail dan
sistematis tentang keadaan yang sebenarnya, yang kemudian akan di tarik suatu
kesimpulan dan pada akhirnya dapat menjawab masalah yang diangkat dalam
perumusan masalah. Berikut ini peneliti akan menjabarkan dan memaparkan
anilisis data yang sesuai dengan fokus penelitian seacara berurutan :
99
1. Strategi Pengembangan Pariwisata Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo
Menggunakan Perspektif Entrepreneurial Government dengan didasarkan
pada Lima Strategi Mewujudkan Pemerintahan Wirausaha.
Sesuai dengan asas desentralisasi yang menyatakan penyerahan
sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat ke pemerintaha daerah.
Dengan demikian prakarsa, wewenang, dan tanggung jawab mengenai urusan –
urusan yang diserahkan tadi sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah
daerah. Tujuan adanya otonomi daerah adalah peningkatan pelayanan
masyarakat yang lebih baik, pengembangan kehidupan demokrasi., keadilan
nasional, pemerataan wilayah daerah , mendorong pemberdayaan masyarakat
daerah , dan menumbuhkan prakarsa dan kreativitas meningkatkan peran serta
masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Sejalan dengan semangat otonomi daerah tersebut maka pemerintah
daerah diharapkan mampu memanfaatkan segala potensi baik sumberdaya alam
maupun sumberdaya manusia sebagai aset dalam meningkatkan ekonomi
daerah. Sejalan dengan pengharapan tersebut dibutuhkan sistem birokrasi
daerah yang lebih responsive. Antisipatif dan memiliki pembagian kerja yang
jauh lebih jelas, efektif dan efisien.
Dengan perkembangan paradigma administrasi publik maka terdapat
satu paradigma baru yang digagas oleh Osborne dan Gaebler ( 1992). Melalui
konsep Reinventing Government Osborne dan Gaebler mencoba memberikan
semangat kewirausahaan (Entrepreneurial spirit) pada sektor publik.
Reinventing Government menuntut organisasi pemerintahan untuk berusaha dan
100
bekerja keras dalam meningkatkan kefektifan birokrasi menjadi organisasi yang
produktif, mampu merespon perubahan dan melihat peluang, mampu
memaksimalkan pendayagunaan sumberdaya dan berwawasan ke depan dan
sistematik. Osborne dan Gaebler menganggap bahwa dengan adanya semangat
kewirausahaan yang melekat dalam organisasi pemerintah atau publik akan
mampu menjawab berbagai tantangan yang muncul dimasa mendatang.
Berkaitan dengan pemilihan pengembangan pariwisata dikarenakan
pariwisata merupakan salah satu jenis pemanfaatan sumberdaya yang erat
kaitannya dengan kegiatan dan peraturan – peraturan yang dibuat oleh
pemerintah. Dalam sektor pariwisata pemerintah mempunyai peran yang
berkaitan dengan otoritas dan pengaturan. Sebagai penyedia berbagai
infrastruktur yang berkaitan dengan kebutuhan pariwisata. Selain iu pariwisata
menurut Soemardjan (1977:58) merupakan salah satu sektor pembangunan yang
dapat memacu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dan dianggap sebagai suatu
aset strategis untuk mendukung dan mendorong pembangunan – pembangunan
pada wilayah tertentu yang mempunyai potensi wisata. Oleh karena itu untuk
membangun pariwisata yang berkualitas dibutuhkan ketersediaan dari
sumberdaya manusia, sumber dana yang memadai serta kebijakan dan
dukungan sarana prasarana dari pemerintah yang memprioritaskan bidang
pariwisata.
Seiring dengan pencapaian dan peran Pemerintah Kabupaten Ponorogo
dalam menggambarkan sektor pariwisata telaga ngebel maka pada penelitian ini
akan dijelaskan bentuk dan strategi pengembangan objek wisata telaga ngebel
101
dalam pandangan perspektif Entrepreneurial Government. Untuk memperoleh
gambaran yang jelas dalam langkah – langkah yang telah diambil oleh Pemerintah
Kabupaten Ponorogo dalam pengembangan pariwisata maka pada pembahasannya
akan dibagi berdasarkan lima strategi mewujudkan pemerintahan wirausaha
Osborne dan Plastrik. Sesuai dengan fokus yang telah ditetapkan, pembahasan
tentang Bentuk dan Strategi Pengembangan Pariwisata Telaga Ngebel Ponorogo
dalam perspektif Entrepreneurial Government dibahas sebagai berikut:
a. Strategi Inti
Jika suatu organisasi tidak jelas tujuannya atau punya tujuan ganda dan
saling bertentangan, maka organisasi itu tidak akan bisa mencapai kinerja yang
tinggi. Menurut Osborne dan Plastrik (1997:45) Strategi inti menghapus,
memisahkan dan membersihkan fungsi-fungsi pemerintah yang tidak sesuai dan
tidak sejalan dengan tujuannya. Tujuan dari strategi inti adalah untuk membantu
setiap organisasi pemerintah untuk dapat memusatkan pada satu tujuan, dan
strategi inti bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pemerintah untuk
mengarahkan dengan menciptakan strategi baru. Dengan kata lain, sebuah
organisasi publik akan mampu bekerja secara efektif jika ia mempunyai tujuan
yang spesifik.
Berdasarkan identifikasi strategi inti dalam pengembangan pariwisata
Telaga Ngebel ditinjau berdasarkan aspek kebijakan yang berkaitan dengan
pengembangan sektor pariwisata. Kebijakan pemerintah sangat penting karena
membantu proses pengembangan pariwisata dan dapat menentukan berhasil atau
tidaknya pengembangan sektor pariwisata khususnya di objek wisata telaga
102
ngebel. Berdasarkan penjelasan bapak Edy Darwanto bidang objek dan daya tarik
wisata Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga strategi yang pertama
adalah menambahkan fasilitas – fasilitas atau sarana prasarana pendukung objek
wisata telaga ngebel misalnya sarana bermain, wahana mainan dan perahu
speedboat. Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan Suwantoro
(1997:19) bahwa daya tarik wisata yang disebut juga objek wisata merupakan
potensi untuk mendorong kehadiran wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata.
Sedangkan menurut UU no 9 tahun 1990 bab III Pasal IV tentang kepariwisataan
menjelasakan perbedaan antara objek dan daya tarik wisata adalah:
1. Objek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang berwujud
dalam alam serta flora dan faunanya. Seperti : Pemandangan alam,
panorama indah, hutan rimba dengan pertumbuhan hutan tropis serta
binatang – binatang langka.
2. Objek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum,
peninggalan purbakala, seni budaya, pertanian, air, petualangan. Taman
rekreasi dan tempat hiburan lainnya.
3. Sasaran wisata minat khusus. Seperti : Berburu, mendaki gunung, gua,
industry dan kerajinan, tempat perbelanjaan, sungai air deras, tempat –
tempat ibadah, tempat ziarah, dan lain – lain.
4. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata,
termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha – usaha
yang terkait dibidang tersebut.
103
Berdasarkan penjelasan tersebut bahwa objek dan daya tarik wisata yang
berwujud sumber daya alam, sejarah, maupun segala urusan yang berhubungan
dengan bidang pariwisata dapat dijadikan sebagai objek dan daya tarik wisata,
dalam pengembangan objek dan daya tarik wisata perlu dipertimbangkan hal – hal
yang berkaitan dengan usaha pengembangan tersebut. Kemudian hal tersebut
sesuai dengan Visi dan Misi Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga
Kabupaten Ponorogo yaitu Terwujudnya Masyarakat Ponorogo Yang Berbudaya
Serta Terwujudnya Kabupaten Ponorogo Sebagai Daerah Tujuan Wisata
Unggulan Di Jawa Timur.
Kebijakan Pemerintah untuk mengembangkan Objek wisata juga di
pengaruhi oleh anggaran pemerintah oleh sebab itu pemerintah juga bekerja sama
dengan pihak swasta untuk mengembangkan objek wisata disekitar Telaga
Ngebel. Selain bekerja sama dalam hal mengembangkan objek wisata Telaga
Ngebel kerjasama dengan pihak swasta juga menambahkan fasilitas – fasilitas
yang tersedia juga mengadakan event – event atau acara maupun membuat
fasilitas baru yang dibisa digunakan untuk oleh Pengunjung dan kemudian dengan
adanya fasilitas baru dan event – event pastinya akan menambah pengunjung di
objek wisata Telaga Ngebel dan akan berpengaruh terhadap Pendapatan Asli
Daerah Kabupaten Ponorogo. Pada Pemerintahan wirausaha Osborne dan Gaebler
(1995:234-235) memang pemerintahan haruslah memfokuskan energinya tidak
saja untuk membelanjakan anggaran akan tetapi juga menghasilkan pendapatan
dengan melibatkan investasi dan partisipasi pihak swasta sehingga dapat
meringankan beban pembiayaan pemerintah. Namun investasi tersebut tetap harus
104
dalam pengawasan pemerintah sehingga tidak merusak tatanan lingkungan dan
tidak hanya membuat kaya sang investor akan tetapi juga harus memberdayakan
masyarakat di sekitar objek wisata.
Kemudian selain kedua hal tersebut berdasarkan data sekunder Pemerintah
juga membuat kebijakan City Branding yaitu “Ponorogo Ethinc Art Of Java”
sebagai tagline ini mempunyai arti atau makna bahwa Kabupaten Ponorogo
mempunyai keunikan tersendiri dibandingkan kota lain yaitu khususnya dibidang
seni dan budaya. Dimana REYOG sudah menjadi ikon Ponorogo dan sudah
menjadi budaya nasional dan menjadi kebanggan tidak hanya masyarakat
Kabupaten Ponorogo akan tetapi juga Bangsa Indonesia. Dengan Branding
tersebut memang fokus pembangunan Kabupaten Ponorogo sudah diarahkan
menjadi kota seni dan budaya sehingga bisa membuat masyarkat atau wisatawan
berkunjung melihat pertunjukan seni dan budaya yang ada di kabupaten
Ponorogo.
b. Strategi Konsekuensi
Strategi konsekuensi merupakan hal penting kedua untuk melakukan
pembaruan pada organisasi pemerintah. Menurut Osborne dan Plastrik (1997:45)
Strategi Konsekuensi menerangkan bahwa terdapat konsekuensi yang diterapkan
kepada pegawai atas kinerja yang dihasilkan. Osborne dan Plastrik menjadikan
insentif sebagai alat untuk memotivasi pegawai agar menciptakan kinerja yang
unggul dan berdaya saing. Osborne dan Plastrik juga menambahkan bahwa
dongkrak perubahan dalam organisasi pemerintahan adalah dengan
memberlakukan sistem intensif kepada para pegawai.
105
Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo
sebagai dinas yang bertugas untuk mengurusi persoalan pariwisata tentu memliki
posisi yang sangat strategis dalam kerangka pembangunan sumberdaya manusia
di objek wisata telaga ngebel. Potensi wisata telaga ngebel tentu perlu
dimanfaatkan secara professional untuk kepentingan seluruh masyarakat disekitar
objek wisata telaga ngebel. Sesuai dengan penjelasan bapak Edy Darwanto seksi
objek dan daya tarik wisata Disbudparpora Kabupaten Ponorogo dalam upaya
membentuk sumberdaya manusia yang unggul maka Disbudparpora dalam
lingkup eksternal membentuk kelompok sadar wisata (Pokdarwis) di Kecamatan
Ngebel sebagai lokasi potensi wisata objek wisata telaga ngebel.
Kelompok sadar wisata (Pokdarwis) adalah wadah yang diciptakan untuk
pemberdayaan masyarakat disekitar objek wisata, sehingga masyarkat tidak hanya
menjadi penonton atas kegiatan pariwisata tetapi juga ikut terlibat dan
berpartisipasi dalam kegiatan pariwisata dan mampu mengambil manfaat atas
kegiatan wisata yang berkembang disekitar mereka. Anggota pokdarwis mayoritas
merupakan masyarakat yang memiliki usaha atau bekerja dalam pelayanan
pariwisata dan hal yang terkait dengan perekonomian disekitar tempat wisata.
Selain dibuatnya Pokdarwis Disbudparpora juga melakukan pembinaan terhadap
pelaku wisata terutama kepada rumah makan, pendagang , pedagang kaki lima
dan perhotelan hal ini sesuai dengan langkah pemerintah untuk mendukung
berkembangnya kegiatan ekonomi di sekitar di objek wisata telaga ngebel.
Dinas Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo
memberikan pelatihan kepada setiap anggota pokdarwis agar mampu ikut serta
106
dalam proses pembangunan pariwisata. Pemberian pelatihan akan disesuaikan
dengan bidang usaha pariwisata yang ditekuni oleh masyarakat, seperti pelatihan
ojek wisata, pelatihan PKL ( Pedagang Kaki Lima) , pelatihan untuk pengrajin
cindera mata, pelatihan bagi seniman serta pelatihan dalam pengelolaan homestay
atau perhotelan. Pembinaan tersebut dilakukan dua kali dalam setahun selain
pembinaan tersebut Disbudparpora juga melakukan monitoring atau pengawasan
terhadap PKL, hotel, dan rumah makan terutama soal kebersihan disekitar objek
wisata telaga ngebel.
Seperti yang di ungkapkan Bapak Edy Darwanto bahwa dalam
memberikan pelatihan - pelatihan dalam upaya mengembangkan kapasitas
sumberdaya manusia disekitar objek wisata biasanya Disbudparpora juga
bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Provinsi khusus untuk pengusaha hotel dan
juga PKL tujuannya adalah untuk mengembangkan dan mendongkrak sumberdaya
manusia disekitar objek wisata. Melalui Pokdarwis inilah Disbudparpora
menanamkan pemahaman terhadap masyarakat yang menjadi pelaku usaha wisata
bahwa ramai atau tidaknya kunjungan wisatawan ke tempat wisata yang mereka
kelola bergantung kepada kualitas pelayanan yang mereka berikan kepada
pengunjung atau wisatawan. Selain pokdarwis Disbudparpora juga memberikan
pelatihan pemandu wisata dan biasanya melakukan study banding ke daerah luar
Kabupaten Ponorogo yang memiliki geografis yang hampir sama tujuannya
adalah agar pemandu wisata tau tata cara melayani para wisatawan dengan baik
bagaimana membuat pengunjung nyaman dan betah dan akhirnya mereka akan
berkunjung kembali.
107
Pemberdayaan dan pelatihan diberikan agar masyarakat disekitar objek
wisata telaga ngebel mampu menjadi tuan rumah atau pelayan yang baik terhadap
pengunjung atau wisatawan. Dengan kemampuan pengelolaan yang baik, maka
akan membantu masyarakat dalam mengatur dan mengembangkan usaha mereka
sehingga perkembangan di objek wisata telaga ngebel dapat di rasakan juga oleh
masayrakat sekitar. Dengan adanya pemberdayaan dan pelatihan kepada pelaku
wisata disekitar objek wisata telaga ngebel menurut penulis sesuai dengan
kebiasaan organisasi swasta. Dimana sumberdaya manusia yang bergerak
dibidang pelayanan biasanya diberikan pelatihan agar pegawai menjadi handal
karena service atau pelayanan adalah nilai jual bagi perusahaan. Hal ini juga
sesuai dengan Raharso (2008:5) bahwa industri pariwisata merupakan industri
hospitality, penilaian pariwisata bukan hanya dinilai dari produk fisiknya saja
akan tetapi juga pada aspek kenyamanan secara psikologis dan bagaimana
keramah – tamahan dalam memberikan pelayanan serta etika dan perilaku yang
baik kepada wisatawan.
c. Strategi Pelanggan
Strategi pelanggan merupakana bagian fundamental ketiga dalam
pembaruan organisasi pemerintah yang memusatkan perhatian pada akuntabilitas
kepada pelanggan menurut Osborne dan Plastrik (1997:46) . Osborne dan Plastrik
(1997:169) juga menekankan pentingnya organisasi pemerintah untuk
menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Pembahasan
strategi pelangaan Osborne dan Plastrik dimaksudkan untuk membantu organisasi
pemerintahan memahami pertanggungjawaban kepada pelanggan sebagai daya
108
dorong pembaruan, dan untuk menghasilkan organisasi yang lebih inovatif dan
lebih entrepreneurial (Osborne dan Plastrik,1997:174).
Pengertian pelanggan dalam industri pariwisata adalah wisatawan atau
orang yang sedang melakukan wisata. Oleh sebab itu, menurut Raharso (2008:2)
faktor wisatawan tidak bisa diabaikan karena kepuasan wisatawan menjadi salah
satu tolak ukur dalam keberhasilan pengembangan pariwisata. Untuk itu
pemerintah perlu berkomitmen agar segala kebutuhan wisatawan dapat terpenuhi,
supaya terjadi kesinambungan antara apa yang diinginkan wisatawan dengan apa
yang diberikan oleh organisasi. Seperti halnya dengan pendapat Spillane
(1991:29) yang menyatakan bahwa perjalanan wisata didasari oleh motif-motif
yang berbeda, untuk itu perlu sekiranya negara untuk menyediakan motif-motif
pariwisata tersebut. Seperti halnya yang di terangakan dalam temuan data
penelitian bahwa Pemerintah Kabupaten Ponorogo memiliki budaya REYOG
sebagai salah satu atraksi wisata yang menarik pengunjung untuk datang ke
Kabupaten Ponorogo. Apalagi di objek wisata telaga ngebel biasanya diadakan
event – event dan juga setiap sebulan sekali diadakan pertunjukan REYOG untuk
memberdayakan budaya lokal dan juga untuk menarik pengunjung untuk datang
ke objek wisata telaga ngebel.
Selain hal tersebut berdasarkan penjelasan salah satu wisatawan yang
berkujunung ke telaga ngebel yaitu Krisnia rima mengatakan bahwa Objek wisata
telaga ngebel sudah memenuhi kebutuhan setiap kalangan karena objek wisata
telaga ngebel cocok untuk kalangan muda, orangtua dan bahkan anak – anak.
Begitu juga keterangan dari Rosa Gasela teman dari Krisnia rima juga
109
mengatakan bahwa telaga ngebel sudah cukup bagus dan ada fasilitas yang cukup
memadai serta banyak rumah makan dan penginapan untuk para wisatawan yang
berkunjung.
Berdasarkan keterangan dan temuan data lapangan bahwa setiap
pemenuhan sarana dan prasarana pariwisata di objek wisata telaga ngebel masing
– masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Saat ini daerah objek wisata telaga
ngebel sudah memiliki keunggulan dalam kelengkapan sarana pariwisata seperti
jumlah penginapan yang banyak, rumah makan dan kelengkapan akan atraksi
wisata yang memang dibutuhkan oleh wisatawan. Sementara dalam pemenuhan
prasarana wisata terutama pada ketersediaan akses jalan yang memadai masih
memiliki kekurangan karena akses jalan menuju telaga ngebel masih banyak yang
rusak dan berlubang dan hal tersebut tentunya akan mengurangi niat wisatawan
untuk berkkunjung dan juga menggangu kenyamanan wisatawan yang berkunjung
ke objek wisata telaga ngebel.
Melalui konsep entrepreneurial government bahwa pemerintah memang
diharuskan untuk selalu menyiapkan sarana dan prasarana yang baik bagi
masyarakatnya. Kegiatan pemerintah digerakkan oleh kebutuhan masyarakat,
sehingga masyarakat bagi Osborne dan Plastrik diibaratkan sebagai pelanggan
yang harus dipenuhi tingkat kebutuhannya. Pelayanan masyarakat harus
berdasarkan pada kebutuhan riil, dalam arti apa yang diminta masyarakat. Oleh
karenanya instansi pemerintah harus responsif terhadap perubahan kebutuhan dan
selera konsumen (Osborne dan Gaebler, 1995:191). Osborne dan Plastrik
(1997:175) menjelaskan bahwa organisasi publik haruslah menempatkan
110
pelanggan sebagai pengarah, dan mampu untuk merespon keinginan pelanggan.
Sementara dalam strategi pelanggan Osborne dan Plastrik menekankan bahwa
membaca keinginan pelanggan adalah kunci keberhasilan.
d. Strategi Kontrol
Strategi yang mendorong pemimpin untuk lebih memberikan wewenang
kepada pejabat atau karyawan yang ada dibawahnya untuk mengambil keputusan,
menanggapi pelanggan dan memecahkan masalah itu merupakan strategi kontrol
menurut Osborne dan Plastrik (1997:48). Strategi kontrol kadang menggeser
kendali dari organisasi pemerintah ke organisasi atau ke kelompok masyarakat.
Pada strategi kontrol, eksekutif telah memberi tahu apa yang boleh dilakukan dan
apa yang tidak boleh dilakukan, dan kemudian mengecek apakah perintah atau
larangan tersebut dipatuhi (Osborne dan Plastrik, 1997:202). Osborne dan Plastrik
beranggapan bahwa dengan pendistribusian kewenangan diharapkan akan muncul
daya imajinasi, inisiatif serta kreativitas yang sangat bermanfaat bagi peningkatan
kualitas masing-masing personel maupun kemajuan organisasi.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka pembahasan strategi kontrol pada
strategi pengembangan objek wisata telaga ngebel di fokuskan pada distribusi
peran dan kewenangan masing – masing stakeholder yang terlibat dalam
pengembangan objek wisata telaga ngebel. Berdasarkan Peraturan Bupati
Ponorogo Nomor 63 Tahun 2008 tentang Penjabaran Tugas dan Fungsi Dinas
Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo,
Disbudparpora merupakan salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
111
Pemerintah Kabupaten Ponorogo yang bertanggung jawab mengurus persoalan
kebudayaan, pariwisata, pemuda dan olahraga Kabupaten Ponorogo.
Terkait dengan distribusi kewenangan Ibu Farida Nuraini Bagian Promosi
Dan Pemasaran Pariwisata menjelaskan bahwa peran Disbudparpora adalah
sebagai fasilisator , pengawas, dan pemberi rekomendasi serta memberikan
promosi objek wisata telaga ngebel. Sedangkan untuk setiap pengelolalaan usaha
pariwisata, diserahkan sepenuhnya kepada pihak pengelola atau pengembang.
Pihak swasta atau masyarkat berhak mengelola dan menjalankan secara teknis
usaha mereka akan tetapi harus sesuai dengan ketentuan dan aturan yang telah
dibuat oleh Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda Dan Olahraga Kabupaten
Ponorogo.
Kemudian seperti yang dijelaskan oleh Bapak Edy Darwan seksi objek dan
daya tarik wisata Kabupaten Ponorogo bahwa Fungsi dan Tugas Disbudparpora
sudah sesuai yaitu memungut retribusi masuk objek wisata telaga ngebel yang
sesuai dengan PERDA yaitu dewasa Rp. 6000 dan anak – anak Rp. 3000 dan juga
pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta dalam mengembangkan usaha dan
objek wisata telaga ngebel dengan memberikan perizinan dan kebebasan dalam
mengelola dan mengembakan objek wisata yang penting sesuai dengan sapta
pesona wisata.
Berdasarkan temuan data yang dijelaskan diatas, bahwa Pemerintah
Kabupaten Ponorogo mendistribusikan kewenangannya kepada Disbudparpora
untuk merumuskan kebijakan, membina administrasi dan teknis, mengkoor-
dinasikan, mengendalikan, serta mengevaluasi penyelenggaraan program dan
112
kegiatan di bidang pariwisata dan kebudayaan. Kemudian Disbudparpora
menyerahkan sepenuhnya proses pelaksanaan pemberian layanan kepada pihak
pengelola, yakni masyarakat atau swasta. Kontrol pemerintah sebagai fasilitator
tentu akan memberikan ruang sepenuhnya kepada swasta dan masyarakat untuk
bekerja sesuai dengan ketentuan mereka, namun pemerintah sebelumnya juga
harus memperhatikan dan memastikan bahwa pembangunan pariwisata oleh
swasta atau masyarakat telah disesuaikan dengan kebijakan dan regulasi yang
telah ditetapkan.
Pendistribusian kewenangan kepada lini pelaksana seperti yang diterapkan
oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo akan membuat penyelesaian masalah cepat
terselesaikan karena ditangani oleh lembaga yang paling dekat dengan masalah.
Selain itu pengelolaan yang melibatkan peran serta masyarakat akan
memunculkan dampak preservasi atau rasa ikut memiliki terhadap objek yang
dimaksud. Mekanisme yang berjalan pada strategi kontrol membenarkan untuk
mendistribusikan kewenangan kepada lini pelaksana, karena akan lebih
mengifisiensikan organisasi. Dengan mendistribusikan kewenangan maka akan
tercipta komitmen untuk mewujudkan sasaran kerja yang telah ditetapkan oleh
organisasi (Osborne dan Plastrik, 1997:201-216).
e. Strategi Budaya
Strategi pelengkap setelah keempat strategi dilaksanakan oleh pemimpin
kemudian strategi budaya melengkapi. Perubahan yang telah diciptakan oleh
empat strategi utama akan tetap goyah sebelum menjadi budaya organisasi.
Budaya organisasi yang baik akan menghasilkan kinerja yang baik, apabila
113
kinerja organisasi rendah maka tujuan dan target yang telah di tetapkan tidak akan
tercapai (Osborne dan Plastrik,1997: 257) . Menurut Osborne dan Plastrik dengan
menetapkan visi dan misi yang jelas maka seseorang akan dapat melihat tentang
kejadian yang diinginkan dimasa depan sehingga akan lebih mudah untuk
mencapai tujuan.
Dalam menjaga kesinambungan strategi budaya dalam pengembangan
pariwisata ditelaga ngebel di dasarkan pada proses yang dijalankan oleh
Disbudparpora agar program yang telah dilakukan bisa terus berjalan.
Berdasarkan penjelasan Bapak Edy Darwanto bidang objek dan daya tarik wisata
bahwa pelaku pengelola objek wisata khususnya yang dikelola oleh Pemerintah
daerah selalu berkoordinasi dengan dinas pariwisata dan dinas pariwisata provinsi
Serta pengelola wisata serta penduduk sekitar selalu berkoordinasi dengan dinas
terkait dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan.
Terkait langkah yang diambil dalam menjaga kesinambungan aparatur
pemerintah dalam pembangunan pariwisata di Kabupaten Ponorogo dan
Bagaimana cara cara pemerintah untuk menjaga komitmen dan kontinuitas
pengembangan pariwisata di objek wisata telaga ngebel bapak edy darwanto
mengatakan Untuk menjaga komitmen dan kontinuitas yang utama berkaitan
dengan Pemerintah daerah yang pertama adalah anggaran. Karena anggaran
pemerintah daerah sangat berhubungan untuk pengembangan objek wisata karena
pengembangan objek wisata banyak kebutuhan yang di perlukan untuk
pengembangan yang terutama yaitu infrastruktur dan sarana pendukung di
dalamnya. Wisatawan untuk menikmati objek wisata infrastruktur harus bagus
114
padahal infrastrukur diperlukan APBD yang besar untuk pelebaran jalan. Untuk
pengembangan objek wisata telaga ngebel tidak bisa di bebankan sepenuhnya
kepada dinas pariwisata karena banyak dinas terkait terutama dinas pekerjaan
umum dan karena ada telaga jadi ada dinas perikanan, dinas pertanian dan
indakop untuk memfasilitasi UKM , pedagang dan PKL untuk pelatihan dan juga
BAPEDDA dan juga bidang perekonomian sehingga untuk mengembangkan
objek wisata tidak hanya dinas pariwisata dan harus kerjasama sebagai satuan
kerja sama pemerintah daerah.
Dari penjelasan diatas maka upaya Disbudparpora tersebut dalam menjaga
kontuinitas dan kesinambungan kerja yang telah dilakukan harus bekerja sama
dengan dinas terkait lainnya agar menjaga dan bisa mengembangkan lagi sektor
pariwisata. Apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo
tersebut dalam rangka menjaga kontinuitas pengembangan pariwisata menurut
hemat penulis cukup menjadi bukti bahwa sistem kerja birokrasi Kabupaten
Ponorogo dapat diandalkan. Bagaimana pemerintah mampu menginisiasi
program, men-jalankannya hingga menjadikannya sebagai program yang dapat
berkesinambungan. Namun, sebenarnya inisiasi keputusan harus diambil dari
bawah, yaitu dari masyarakat, bukan hanya sebatas pada komitmen aparatur.
Karena aparatur pemerintah dalam Entrepreneurial Government memiliki
tanggung jawab sepenuhnya kepada masyarakat bukan pemimpin/atasan. Program
pendampingan kepada masyarakat, harus menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi
masyarakat, sehingga daya dukung terhadap program pemerintah yang diperoleh
115
dari masyarakat merupakan sebuah ciri keberhasilan dari keputusan yang dibuat
oleh pemerintah.
2. Faktor Pendukung dan Penghambat yang Mempengaruhi Jalannya
Pengembangan Pariwisata Objek Wisata Telaga Ngebel
Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh di dalam pengembangan
pariwisata baik itu yang mendorong maupun yang menghambat terciptanya
keberhasilan pengembangan pariwisata itu sendiri. Kemunculan faktor
pendukung dan penghambat akan sangat berpengaruh pada kinerja
pengembangan potensi pariwisata di suatu daerah. Seiring berjalannya upaya
yang dilakukan Disbudparpora dalam perkembangan pariwisata maka terdapat
beberapa faktor yang muncul lebih dominan ketika pengembangan pariwisata
tersebut dilakukan. Pembahasan faktor-faktor yang menjadi pendukung dan
penghambat jalannya pengembangan pariwisata di objek wisata telaga ngebel
dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a. Faktor Pendukung
1) Lokasi wisata yang strategis dan adanya transportasi umum
Lokasi objek wisata telaga ngebel berada di kaki Gunung Wilis Ponorogo
atau tepatnya berada di Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo sekitar
30km dari pusat Kecamatan Kota Ponorogo. Lokasi yang dekat dengan
pusat kota atau sekitar 45menit dengan kendaraan bemotor merupakan
salah satu faktor pendukung untuk berkembangnya pariwisata ditelaga
ngebel. Karena jarak yang lumayan dekat dan Telaga Ngebel merupakan
salah satu tempat wisata di Ponorogo yang bisa di akses dengan
116
Kendaraan Umum. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan
pengunjung saudara Akbar Telaga ngebel ini lokasinya cukup dekat dari
kota sehingga kita para pengunjung yang ingin datang kesini tidak terlalu
menghabiskan banyak waktu dan juga kendaraan transportasi kesini juga
ada Bis jadi apabila pengenjung dari luar kota dan tidak membawa
kendaraan pribadi mereka bisa ke sini. Hal tersebut menegaskan bahwa
kedua faktor tersebut menjadi faktor pendukung pengembangan
pariwisata di telaga ngebel.
2) Website Pemerintah yang Informatif
Setelah faktor lokasi dan adanya transportasi umum faktor
pendukung lainnya adalah upaya memberikan pelayanan terbaik melalui
website Pemerintah Daerah sangat di butuhkan oleh masyarakat guna
mendapatkan informasi yang resmi. Penginformasian lewat website akan
memudahkan masyarakat dalam memperoleh informasi karena lebih
cepat, lebih mudah, dan menjangkau seluruh keberadaan masyarakat.
Pelayanan bukan hanya untuk keperluan pelayanan publik masyarakat
setempat tetapi juga kepada masyarkat luar daerah, maupun masyarakat
internasional. Sehingga pelayanan informasi wisata melalui sarana
informasi website dibutuhkan untuk mempercepat proses pencarian
informasi oleh wisatawan. Hal tersebut tentunya memudahkan wisatawan
untuk mendapatkan informasi terbaru di Objek wisata telaga ngebel
sehingga bisa menambah keinginan pengunjung atau wisatawan untuk
datang ke Objek wisata telaga ngebel sehingga hal tersebut bisa di
117
kategorikan faktor pendukung berkembangnya pariwisata di telaga
ngebel.
b. Faktor Penghambat
1) Kurangnya Kesiapan Akses Jalan Menuju Iwisata Telaga Ngebel.
Berdasarkan Kondisi jalan menuju objek wisata Telaga Ngebel saat
ini, beberapa pihak atau masyarkat menilai bahwa kondisi jalan ke Telaga
Ngebel sudah layak dan perlu untuk diperbaiki. Karena kondisi akses
jalan utama untuk menuju Telaga Ngebel sudah banyak yang rusak dan
perlu adanya perbaikan karena apabila dibiarkan akan berakibat terhadap
wisatawan karena jalan berlubang di tambah kondisi jalan yang berkelok
– kelok karena merupakan daerah pegunungan bisa mengakibatkan
kecelakaan belum lagi banyaknya kendaraan bermuatan yang lewat.
Akses jalan adalah faktor vital dari pengembangan pariwisata,
karena merupakan sarana yang yang dapat menghubungkan daerah wisata
atau objek wisata dengan keberadaan asal para wisatawan. Kemacetan
yang terjadi membuat mood wisatawan berkurang, sehingga menganggu
kenyamanan wisatawan dalam berwisata. Sesuai dengan pendapat Yoeti
(1985:186) yang berpendapat bahwa untuk dapat membuat wisatawan
betah untuk melakukan wisata maka pengembangan sarana dan prasarana
wisata harus dilaksanakan sebaik mungkin, karena jika dapat membuat
wisatawan betah maka akan menyedot banyak pengunjung yang kelak
akan berguna untuk peningkatan ekonomi baik untuk komunitas di sekitar
obyek wisata tersebut maupun bagi pemerintah daerah.
118
Kurang siapnya akses jalan menuju objek wisata telaga ngebel
tersebut cukup berpengaruh dan menjadi faktor penghambat wisatawan
yang akan berkunjung ke Telaga Ngebel. Berdasarkan temuan dan hasil
wawancara diatas, maka salah satu kendala pariwisa di Telaga Ngebel
adalah kurang siapnya akses jalan yang kemudian menghambat
wisatawan untuk segera sampai ke tempat tujuan dan bahkan
membatalkan kunjungannya karena hal tersebut. Namun Pemerintah
kabupaten Ponorogo masih berupaya untuk berkoordinasi dengan
Pemprov Jatim untuk menemukan solusi untuk hal tersebut.
2) Keterbatasnya Fasilitas Karena Kurangnya Lahan
Salah satu upaya pemerintah dalam menambahkan fasilitas atau
pengembangan lahan terkendala oleh keterbatasan ketersedian lahan
karena lahan disekitar telaga ngebel bukan milik Disbudparpora melainkan
milik perhutani dan masyarkat sekitar sehingga pengembangang dan
penambahan fasilitas urung dilakukan hal ini seperti yang di ungkapkan
Bapak Edy Darwanto bidang objek dan daya tarik wisata sebagai berikut
Ketersediaan fasilitas – fasilitas di objek telaga ngebel memang sangat
minim sekali karena geografis di telaga ngebel itu 75% milik perhutani
dan kedepannya akan melakukan MOU dengan perhutani dan
membicarakan masalah lahan untuk dipakai untuk menambah fasilitas. Hal
tersebut juga ditambahkan oleh Ibu farida Nuraini Bagian Promosi dan
Pemasaran sebagai berikut pihak pengelola dalam mengembangkan
Obyek Wisata Telaga Ngebel ini belum maksimal, sejauh ini belum
119
maksimal belum begitu maksimal karena ada beberapa hal. Pertama lahan
pengelolaan dari telaga ngebel itu tidak murni milik pemerintah tapi ada
lagi ada lahan dari desa, masyarakat dan perhutani. Beradasarkan dua
wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa hal tersebut menjadi faktor
penghambat pengembangan pariwisata di objek wisata telaga ngebel dan
hal tersebut akan di carikan solusi salah satunya yaitu dengan melakukan
MOU dengan perhutani dan bekerja sama dengan masyarakat agar bisa
menambahkan fasilitas dan mengembangkan objek wisata Telaga Ngebel.
120
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan bentuk-bentuk strategi pengembangan pariwisata telaga ngebel
yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo sudah terdapat
kesesuaian dengan beberapa cakupan yang diterangkan dalam konsep
Entrepreneurial Government, dan tentu masih terdapat kekurangan karena
pembangunan tidak terlepas dari pihak yang pro dan kontra. Kesesuaian hal-hal
tersebut dapat ditinjau pada hasil berikut:
a. Strategi inti, dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa ciri kebijakan
pemerintah akan memberikan corak tersendiri terhadap pola pembangunan
di suatu wilayah. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Ponorogo yang terfokus
pada pembangunan pariwisata dan pemberian kemudahan investasi seperti
yang di ungkapkan oleh bapak edy darwanto seksi daya tarik objek wisata
sehingga hal tersebut memberikan dampak signifikan terhadap
pembangunan di objek wisata telaga ngebel.
b. Strategi konsekuensi, melihat kondisi objek wisata telaga ngebel sekarang
ini, maka Pemerintah Kabupaten Ponorogo harus seimbang dalam
melakukan pembangunan, yaitu tidak hanya pembangunan fisik, tetapi juga
pada tatanan pembangunan sumberdaya manusia agar pembangunan di
objek wisata telaga ngebel bisa seimbang dan lebih maju lagi.
121
c. Strategi pelanggan, mendasarkan pengembangan pariwisata terhadap
keinginan wisatawan, maka Pemerintah Kabupaten Ponorogo berkeinginan
untuk terus bisa mengikuti trend wisata yang sedang berkembang, sehingga
pariwisata telaga ngebel tetap diminati dan tidak ditinggalkan oleh
wisatawan. Oleh karena itu Pemerintah Kabupaten Ponorogo berniat
menambah fasilitas – fasilitas baru untuk menarik minat pelanggan untuk
datang ke objek wisata telaga ngebel.
d. Strategi kontrol, Pemerintah Kabupaten Ponorogo memberikan kelonggaran
kepada pihak non-pemerintah, masyarakat atau pihak swasta dalam
mengambil peran pada pengembangan pariwisata. Dengan mekanisme
kerjasama seperti ini, maka kontrol pemerintah harus kuat agar tidak mudah
disetir oleh sektor swasta. Namun dengan cara demikian, akan memberikan
ruang sepenuhnya kepada swasta atau masyarakat sebagai pengelola untuk
berinovasi, dan berkreasi untuk bekerja sesuai dengan ketentuan mereka
karena sifat dari usaha mereka adalah untuk mendapatkan profit. Hal
tersebut sangat bagus karena dengan keleluasaan pemerintah kepada swasta
dapat membuat swasta berkembang dan membuat inovasi baru untuk
mengembangkan objek wisata telaga ngebel, asalkan masih sesuai dengan
batasan – batasan yang diberikan oleh pemerintah Kabupaten Ponorogo.
e. Dan pada strategi budaya, dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan
menggunakan proses partisipasi dalam merumuskan visi maka diperoleh
pemahaman dan komitmen bersama dari setiap aparatur untuk mencapai
tujuan dari visi tersebut sehingga kesinambungan antar aparatur tetap terjaga
122
dan dinas kebudayaan pariwisata pemuda dan olahraga bekerjsama dengan
dinas lain yang terkait dengan pariwisata agar bersama – sama memajukan
pariwisata khususnya di objek wisata telaga ngebel.
2. Faktor Pendukung dari keterlaksanaan pengembangan objek wisata telaga
ngebel adalah lokasi wisata dan pesona alamnya, lokasi objek wisata telaga
ngebel yang berada di kaki Gunung Wilis Ponorogo dan berada di
kecamatan Ngebel yang berjarak sekitar 30km dari kecamatan Kota
Ponorogo merupakan salah satu faktor pendukung berkembangnya objek
wisata telaga ngebel dan juga karena objek wisata telaga ngebel merupakan
salah satu tempat wisata di Ponorogo yang bisa diakses menggunakan
kendaraan umum. Sehingga apabila ada pengunjung dari luar kota yang
tidak memiliki kendaraan pribadi bisa naik bus untuk menuju objek wisata
telaga ngebel selain hal tersebut hal lain yang mendukung berkembangnya
objek wisata telaga ngebel adalah peran pemerintah dalam membuat website
yang informatif tentang pariwisata di Kabupaten Ponorogo khususnya di
objek wisata telaga ngebel karena dengan adanya website yang informatif
memudahkan masyarakat dalam memperoleh informasi tentang pariwisata.
Karena dengan adanya website semua masyarkat bisa mengetahui hal baru
apa saja yang ada di objek wisata telaga ngebel dan hal tersebut bisa di
akses oleh semua masyarakat.
3. Faktor penghambat dalam pengembangan objek wisata telaga ngebel adalah
kurangnya kesiapan akses jalan menuju lokasi wisata telaga ngebel karena
bahwa kondisi jalan menuju objek wisata telaga ngebel sudah perlu
123
dilakukan perbaikan karena kondisi akses jalan utama sangat banyak dilalui
kendaraan dan sudah banyak yang rusak dan apabila dibiarkan akan
semakin parah dan bisa berbahaya untuk para wisatawan karena jalan yang
berlubang ditambah lagi kondisi jalan yang berkelok – kelok karena objek
telaga ngebel berada di daerah pegunungan. Akses jalan merupakan fakor
vital karena merupakan sarana yang dapat menghubungkan daerah wisata
atau objek wisata dengan keberadaan asal para wisatawan. Selain hal
tersebut hal lain yang mengahambat pengembangan pariwisata di objek
telaga ngebel adalah keterbatasan fasilitas karena kurangnya lahan. Salah
satu upaya pemerintah Kabupaten Ponorogo dalam menambahkan fasilitas
atau sarana diobjek wisata telaga ngebel terbentur oleh ketersediaan lahan
karena lahan yang ada atau yang ingin dikembangkan adalah tanah milik
masyarakat maupun tanah milik perhutani sehingga Dinas kebudayaan
pariwisata pemuda dan olahraga tidak bisa mengembangkan fasilitas begitu
saja dan harus melakukan pembicaraan dengan pihak – pihak terkait dan
apabila harus membeli tanah dari masyarakat hambatan kedua adalah
terbatasanya anggaran dari pemerintah Kabupaten Ponorogo.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan – kesimpulan terkait penelitan strategi
pengembangan sektor pariwisata telaga ngebel sebagai upaya peningkatan
pendapatan asli daerah yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan Pariwisata
Pemuda Dan Olahraga Kabupaten Ponorogo maka peneliti mengemukakan saran
– saran sebagai berikut :
124
1. Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda Dan Olahraga Kabupaten
Ponorogo harus mampu membaca peluang dan mampu mengelola
objek wisata telaga ngebel. Selain itu sarana dan prasarana seperti
aksesbilitas dan juga akomodasi harus senantiasa di tingkatkan.
2. Peningkatan promosi dan pemasaran harus terus dilakukan untuk lebih
memperkenalkan objek wisata telaga ngebel sebagai salah satu wisata
unggulan di Kabupaten Ponorogo.
3. Lebih meningkatkan kerjasama antara pemerintah Kabupaten
Ponorogo dengan swasta dan masyarkat sehingga dengan adanya
kerjasama yang baik nantinya diharapkan pengembangan pariwisata
yang dilakukan tidak hanya mensejahterakan masyarakat akan tetapi
juga untuk saling menjaga lingkungan di objek wisata telaga ngebel.
4. Pengembangan pariwisata di objek wisata telaga ngebel jangan sampai
mengabaikan faktor lingkungan. Jadi tidak hanya berkembang seacara
ekonomi tetapi juga tetap terjaga kelestarian alamnya.
5. Pemerintah Kabupaten Ponorogo harus membuat regulasi dan kontrol
yang baik agar besarnya andil swasta dalam pengembangan pariwisata
di objek wisata telaga ngebel tidak merugikan kepentingan bersama,
yaitu terutama kepentingan masyarakat, pemerintah, dan swasta itu
sendiri.
6. Privatisasi pariwisata dengan memberikan aset lahan kepada swasta
sebagai developer dan pengelola objek wisata sebelumnya harus
disetuji oleh warga disekitar lokasi pembangunan, pemerintah tidak
125
boleh menganbil keputusan secara sepihak, dan harus menghormati
keputusan warga.
7. Pemerintah Kabupaten Ponorogo harus segera memperbaiki akses
jalan menuju objek wisata telaga ngebel agar membuat pengunjung
merasa nyaman dalam perjalanan dan akan berkunjung lagi ke objek
wisata telaga ngebel.
8. Para pelaku usaha wisata dan pemerintah harus terus menerus untuk
mencari terobosan dan inisiatif baru agar pariwisata yang telah
dikembangkan tetap mampu bersaing dalam kondisi yang serba
kompetisi seperti sekarang ini.
9. Perlu adanya peningkatan kualitas sumberdaya manusia pariwisata
yang memadai dengan meningkatkan ketrampilan dengan mengikuti
pelatihan.
10. Lebih sering melakukan event – event di sekitar objek wisata telaga
ngebel sehingga bisa menarik minat pengunjung untuk datang ke objek
wisata telaga ngebel.
11. Segera melakukan MOU dengan dinas terkait seperti Dinas Pekerjaan
Umum dan Perhutani agar bisa segera menambahkan fasilitas yang ada
agar tidak terbentur hak kepemilikan.
12. Menambahkan petugas – petugas kebersihan dan menambahkan
tempat – tempat sampah di lokasi wisata agar tetap menjaga
kebersihan dan kelestarian alam disekitar objek wisata telaga ngebel.
126
DAFTAR PUSTAKA
Agustini, Fauzia. 2012. Tinjauan Tentang Kebijakan Pemerintah Daerah Terkait Pengembangan Kepariwisataan. Laporan Akhir: Badan Penilitian dan Pengembangan Kepariwisataan Sumatra Utara
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta
David Fred R, 2006. Manajemen Strategis. Jakarta : Salemba Empat
Djajadiningrat, S.T. 2005. Sustainable Future: Menggagas Warisan Peradaban Bagi Anak Cucu. Jakarta: ICSD
Faisal, Sanapiah. 1988. Ilmu-Ilmu Sosial Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Fikri, Hanik M. 2013. Pengelolaan Berkelanjutan Wisata Alam Air Panas Cangar. Tesis pada Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang: Dipublikasikan.
Gunn, C.A 1994. Tourism Planning. Washington: Taylor and Francis.
Indradi, Sjamsiar S. 2009. Dasar-Dasar dan Teori Administrasi Publik. Malang: Indonesia Print Malang.
Jogiyanto, 2005. Sistem Informasi Strategik Untuk Keunggulan Kompetitif.
Yogyakarta : Andi Offset
Keban, Yeremias T. 2004. Enam Dimensi Strategi Administrasi Publik Konsep, Teori, dan Isu. Yogyakarta: Gava Media.
Kuncoro, Mudrajad. 2001. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Yogyakarta: Erlangga.
Kuntjoro, dorodatun. 1989 . Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang. Jakarta : LP3ES
Kirovska, Zanina. 2011. Strategic management within the tourism and the world globalization. UTMS Journal of Economics 2 (1): 69–76.
Lupiyoadi, R. dan H. Bakir, 1992. Disain struktur yang mendukung kewirausahaan organisasi. Man dan Usaha, Ind 07
Marpaung, Happy. 2000. Pengantar Pariwisata. Bandung: Penerbit Alfabeta
Mardiasmo, 2002, Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah. Artikel, Yogyakarta.
Miles, Matthew B Dan Huberman, Maichael A. 2013. Qualitative Data Analysis. United States of America. Sage Publications.
Moleong. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Rosda.
Muhammad, Fadel. 2008. Reinventing Local Government: Pengalaman Dari Daerah. Jakarta: Kompas Gramedia
Niode, Y Idris. 2012. Pengaruh Kompensasi terhadap Implementasi Entrepreneurial Government dan Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah(Studi pada Pemerintah Daerah Provinsi Gorontalo). Jurnal Ekonomi Unhas, 10(4): 832-841
Nugroho, Riant. 2012. Public Policy. Jakarta: Gramedia Jakarta
Osborne, D., dan Gaebler, T. 1992. Reinventing Government: How The Entrepreneurial Spirit Is Transforming The Public Sector. Diterjemahkan oleh Abdul Rosyid, ed.2. Jakarta: PPM
Osborne, D., dan Plastrik. P. 1997. Banishing Bereaucracy: The Fife Strategies For Reinventing Government. Diterjemahkan oleh Abdul Rosyid. Jakarta: PPM
Pitana, I Gede., dan Diarta, S Ketut. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit ANDI
Rangkuti, Freddy. 2002. Analisis Swot Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Raharso, Sri. 2008. “Kepuasan dan Loyalitas di Industri Pariwisata”, diakses pada tanggal 7 Juni 2015 dari https://sriraharso.wordpress.com/kepuasan-dan-loyalitas-di-industri-pariwisata/
Rosidi, Abidarin dan Fajriani, Anggraini. 2013. Reinventing Goverment. Yogyakarta: Penerbit ANDI
Singarimbun, Masri., dan Sofian, Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES
Siagian, P Sondang . 2014. Administrasi Pembangunan . Jakarta : Bumi Aksara
Syafiie, et all. 1993. Pengantar Ilmu Administrasi Publik. Jakarta: Bumi Aksara
Syafiie, inu kencana. 2013. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia. Jakarta: Bumi akasara
Spillane, J James. 1991. Ekonomi Pariwisata. Yogyakarta: Kanisius
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Bandung
Suwantoro, Gamal. 2004. Dasar-Dasar Pariwisata. Yogyakarta: Andi Publishing
Thoha, Miftah. 2008. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Tohopi, Rustam. 2012. Governance Entrepreneurial (Increasing Revenue Agency In Original Financial District Province gorontalo). Artikel, Univesitas Negeri Gorontalo
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. “Tentang Pemerintahan Daerah”, diakses tanggal 1 Maret 2015 dari http://www.dpr.go.id/dokjdih/uu/uu2004/ UU_2004_32.pdf
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009. “Tentang Kepariwisataan”, diakses tanggal 5 Maret 2014 dari http://www.dpr.go.id/dokjdih/uu/uu2009/UU _2009_10.pdf
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004. “Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah”, diakses tanggal 1 Maret 2015 dari http://www.dpr.go.id/dokjdih/uu/uu2004/UU_2004_33.pdf
Unga, Kartini. La Ode. 2011. Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Kepulauan Banda. Tesis pada Program Megister Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Universitas Hasanuddin, Makasar: Dipublikasikan
Wahab, Abdul Solichin. 2010. Analisis Kebijakan: dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara
Wilopo. 2006. “Institusionalisasi Kewirausahaan Dalam Birokrasi Pemerintah Daerah”, diakses pada tanggal 4 Mei 2014 dari http://semiloka-wirausaha.blogspot.com
Website Resmi Kabupaten Ponorogo http://ponorogo.go.id
Website Resmi Dinas pariwisata Kabupaten Ponorogo http://pariwisata.ponorogo.go.id
Website Info seputar Ponorogo http://www.setenpo.com
Website Resmi Radar Madiun http://www.radarmadiun.co.id
Yoeti, Okta A. 2005. Anatomi Pariwisata. Bandung: Angkasa