Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan...
Transcript of Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan...
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
43
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS
Lintas Kabupaten1
Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro2
ABSTRAK
Penelitian Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten dirancang untuk
mengidenfikasi lembaga/institusi yang terlibat dalam pengelolaan DAS lintas
kabupaten, mengkaji tupoksi lembaga/institusi terkait, mengkaji peraturan
perundangan yang terkait pengelolaan DAS, mengkaji sistem perencanaan
pengelolaan DAS lintas kabupaten. Hasil kajian berupa data dan informasi digunakan
sebagai bahan untuk memformulasi sistem kelembagaan pengelolaan DAS yang
fungsional yang dapat diterima semua pihak. Pengumpulan data primer
menggunakan teknik purposive sampling. Responden adalah para pemangku
kebijakan di semua institusi yang terlibat baik di lembaga eselon II, III, dan IV serta
tokoh kunci NGO yang konsern dengan pengelolaan DAS. Teknik wawancara adalah
deep interview (wawancara mendalam) menggunakan kuesioner dan tape recorder.
Jumlah responden sebanyak 42 pejabat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk
lembaga yang paling sesuai untuk diterapkan dalam pengelolaan DAS terpadu adalah
bentuk kelembagaan kombinasi Polycentric dengan Monocentric. Bentuk
kelembagaan kombinasi Polycentric dengan Monocentric adalah kelembagaan
bersama (colaborative) seperti forum DAS atau LKPDAS (Lembaga Koordinasi
Pengelolaan DAS) tingkat Provinsi. Anggota lembaga ini adalah pimpinan instansi di
daerah/SKPD. Lembaga ini bersifat non struktural dan bertanggung jawab langsung
ke Gubernur sebagai pemegang otoritas kebijakan. Forum DAS/LK-PDAS berfungsi
sebagai wadah komunikasi, konsultasi dan koordinasi antar para pihak terkait untuk
membantu Gubernur merumuskan kebijakan pengelolaan DAS di lintas kabupaten.
Kata kunci: Kelembagaan, DAS .
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana diketahui bahwa batas Daerah Aliran Sungai (DAS) dan
batas administrasi pemerintahan tidak selalu kompatibel. Oleh karena DAS
merupakan kesatuan sistem alami dari hulu, tengah sampai daerah hilirnya
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan
Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014
2 Balai Penelitian Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas, Kec. Mapanget, Kota
Manado Telp. 0431-3666683
44| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
yang tidak dibatasi oleh wilayah administrasi pemerintahan. Untuk itu
diperlukan tindakan kolektif semua pengguna sumberdaya untuk mengelola
proses hidrologis agar memperoleh produktivitas maksimum seluruh sistem
DAS. Dengan demikian kesepakatan antar stake holders tentang peraturan
akses sumber daya, alokasi, dan kontrol menjadi hal yang sangat penting
dalam pengelolaan DAS (Steins dan Edwards 1999a dalam Kerr, 2007).
Pada tataran inilah institusi atau lembaga pengelola DAS menjadi
prasyarat utama dalam mencapai tujuan pengelolaan DAS. Oleh sebab itu
penelitian ini menjadi penting untuk mengkaji kelembagaan yang tepat agar
tujuan pengelolaan DAS bisa terwujud. Mengingat hingga sekarang belum
ada institusi yang menjadi pemegang otoritas dalam pengelolaan DAS baik
di tingkat kabupaten, tingkat provinsi dan tingkat nasional.
Payung hukum pengelolaan DAS sesungguhnya sudah ada terutama
setelah terbitnya PP No. 37 tahun 2012. Pemerintah Daerah juga sudah
mulai menindak lanjuti peraturan tersebut dengan menerbitkan Perda yang
mendukung pengelolaan DAS. Juga sudah terbentuk Forum DAS di hampir
seluruh provinsi di Indonesia yang surat keputusannya ditandatangani oleh
Gubernur di masing-masing provinsi. Namun faktanya hingga sekarang
payung hukum tersebut berserta turunannya belum terimplementasi secara
riil di lapangan. Program pengelolaan DAS terpadu baru sampai pada produk
peraturan perundangannya dan belum sampai pada tahap implementasi
sesuai dengan maksud peraturan perundangan tersebut. Implementasi
pengelolaan DAS selama ini masih dilaksakanakan secara parsial dan bersifat
sektoral. Belum mengacu pada prinsip pengelolaan DAS yaitu “one river
one plan one management” dan KISS (Koordinasi, Integrasi,
Sinkronisasasi dan Sinergitas) diantara pemangku kepentingan. Oleh karena
itu penelitian ini akan mengkaji lebih jauh akar masalah penyebab sulitnya
implementasi pengelolaan DAS terpadu dari sisi perspekftif kelembagaan
birokrasi.
B. Tujuan dan Sasaran
Tujuan penyelenggaraan penelitian adalah untuk memperoleh sistem
kelembagaan pengelolaan Daerah Tangkapan Air (DTA) yang selaras dengan
sistem pemerintahan otonomi daerah berdasarkan hierarki sistem
pengelolaan DAS yang meliputi wilayah lintas provinsi.
Sasaran yang dibidik dalam penelitian ini adalah menemukan suatu
sistem kelembagaan pengelolaan DAS lintas provinsi.
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
45
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian Sistem kelembagaan pengelolaan DAS dilaksanakan mulai
dari tahun 2012 s/d 2013. Sedangkan lokasi penelitian dilaksanakan sesuai
dengan lokus penelitian yaitu di DAS Tondano di Provinsi Sulawesi Utara dan
DAS Limboto di Provinsi Gorontalo dengan sasaran pada instansi pemerintah
tingkat propinsi dan LSM tingkat provinsi serta Forum DAS dan DSDA tingkat
kabupaten.
B. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian survey. Teknik pengumpulan data
primer adalah wawancara secara mendalam (deep interview) dengan
menggunakan kuesioner dan perekam suara. Sedangkan teknik
pengumpulan data sekunder adalah menghimpun data-data yang relevan
dari instansi/institusi yang terlibat dalam pengelolaan DAS baik dengan cara
mengkopi maupun dengan cara mencatat langsung.
Data primer yang menyangkut pandangan, saran, usul dan pendapat
mengenai struktur kelembagaan, mekanisme kerja kelembagaan, sistem
pendanaan, sistem koodinasi dan payung hukum/legalitas kelembagaan
dalam rangka mendapatkan suatu konsep kelembagaan yang baik untuk
mencapai kelembagaan pengelolaan DAS terpadu dalam wilayah kabupaten
dominan. Data sekunder yang dikumpulkan dari instansi responden adalah
struktur organisasi, AD/ART, TUPOKSI, program dan rencana kegiatan/aksi,
PERDA, SK Gubernur, laporan kegiatan SKPD dan UPT Pusat, serta data
statistik Kabupaten Dalam Angka, Provinsi Dalam Angka dll.
Teknik analisis yang digunakan adalah analisis isi (contents analysis)
khususnya untuk data sekunder. Contents analysis menyangkut Peraturan
perundang-undangan, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan
Perencanaan Pengelolaan DAS terpadu. Teknik analisis lain yang digunakan
adalah analisis stakeholder (stkeholder analysis) untuk keperluan
mengetahui sejauh mana tingkat kepentingan dan wewenang tiap institusi
dalam pengelolaan DAS. Untuk menganalisis data primer mengenai
preferensi responden digunakan analisis sebab-akibat terutama soal masalah
kelembagaan DAS terpadu hubungannya dengan peraturan yang relevan di
era desentralisasi.
46| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
III. HASIL PENELITIAN
A. Institusi Pengelola DAS
Kelembagaan merupakan unsur utama dalam pengelolaan DAS terpadu,
karena tanpa kelembagaan maka semua program dan kegiatan pengelolaan
DAS tidak bisa berjalan dengan efektif dan optimal. Oleh karena itu
Kementerian kehutanan memprakarsai embrio kelembagaan DAS terpadu.
Sejak tahun 2003 Departemen Kehutanan (Dephut) cq. Dirjen RLPS, cq.
BPDAS terus mensosialisasikan kelembagan DAS terpadu dan membentuk
secara sistematis mulai dari pusat, provinsi sampai ke kabupaten. Hasilnya
adalah terbentuknya Forum-forum DAS yang meliputi hampir seluruh
provinsi di Indonesia. Dalam perkembangannya, mulai tahun 2010 sampai
sekarang ini oleh Kementerian Kehutanan cq. Dirjen Bina Pengelolaan DAS
dan Perhutanan Sosial cq. BPDAS telah menginisiasi lagi lembaga koordinasi
pengelolaan DAS terpadu yang disebut LK-PDAS baik di tingkat nasional,
provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota.
Hasil penelusuran ke semua instansi di tingkat kabupaten diperoleh
stakeholder pengelola DAS. Penentuan stakeholder pengelola DAS di tingkat
kabupaten didasarkan pada tupoksi dan program kerja yang berhubungan
dengan pengelolaan DAS. Berdasarkan hasil analisis tupoksi dan program
kerja instansi pemerintah maka dapat diklasifikasikan institusi pengelola DAS
kedalam dua kategori yaitu stakeholder utama dan stakeholder penunjang.
Stakeholder utama adalah institusi teknis yang tupoksinya dan program
kerjanya sangat erat dan berhubungan langsung dengan kegiatan di lapang.
Sedangkan stakeholder penunjang adalah institusi yang non teknis yang
tupoksi dan program kerjanya berhubungan dengan pengelolaan DAS tapi
tidak melakukan secara intens kegiatan di lapang.
Berikut ini adalah stakeholder utama dan penunjang dalam pengelolaan
DAS.
Tabel 1. Stakeholder Pengelolaan DAS Tondano dan DAS Limboto
No. Provinsi Staheholder Utama Stakeholder Penunjang
1 Sulawesi Utara 1. BPDAS Tondano
2. Forum DAS
3. Dinas Kehutanan
4. BWS-1 Manado
5. Bappeda Provinsi
6. BLH
7. Dinas Pertanian, Perkebunan
1. BALITBANGDA
2. BPN
3. PLN
4. PDAM
5. Perguruan Tinggi
(UNSRAT, dll)
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
47
No. Provinsi Staheholder Utama Stakeholder Penunjang
dan peternakan
8. Dinas Kelautan dan
perikanan
9. Dinas PU Provinsi
10. Dinas Pariwisata
2 Gorontalo 1. BPDAS Tondano
2. Forum DAS
3. Dishuttamben
4. BWS-2 Gorontalo
5. BLH
6. Bappeda Provinsi
7. Dinas Pertanian Tanaman
Pangan dan Perkebunan
8. Dinas peternakan dan
perikanan
9. Dinas PU Provinsi
10. Dinas Pariwisata
1. BAPPPEDA/BALIHRIS
TI
2. BPN
3. PLN
4. PDAM
5. Perguruan Tinggi
(UNG, UG)
B. Analisis Stakeholder
Analisis stakeholder dilakukan untuk mengetahui minat/kepentingan
dan peranan masing-masing stakeholder dan wewenang mereka dalam
pengelolaan DAS. Keberhasilan dari penanganan suatu masalah yang
kompleks dan terkait dengan banyak pihak, bergantung pada pemahaman
yang jelas pada minat dan hubungan antar stakeholder (pihak terkait). Ada
delapan teknik analisis stakeholder menurut Bryson (2003), diantaranya
adalah teknik Power versus Interest Grids yang digunakan pada penelitian
ini. Analisis ini dimulai dengan menyusun stakeholder pada matrix dua kali
dua menurut Interest (minat) stakeholder terhadap suatu masalah dan
Power (kewenangan) stakeholder dalam mempengaruhi masalah tersebut.
Interest adalah minat atau kepentingan stakeholder terhadap
pengelolaan DAS. Hal ini bisa dilihat dari tupoksi masing-masing instansi.
Power adalah kekuasaan/wewenang stakeholder untuk mempengaruhi atau
membuat kebijakan maupun peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
pengelolaan DAS. Berikut ini disajikan matriks analisis stakeholder pengelola
DAS.
48| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
A. Subject
- Forum DAS/LK-PDAS**
- LSM dan masyarakat yang
peduli terhadap
pengelolaan DAS*
- Akademisi/Perguruan
Tinggi**
B. Players
- BPDAS*
- BWSS I dan II*
- Dishut Kabupaten*
- Dinas PU Kabupaten*
- Dinas Pertanian dan
perkebunan**
- Dinas Perikanan dan
pariwisata**
- Balitbangda**
- BPLH/BLH Kab**
D. Crowd
- Masyarakat umum
C. Contest setter
-Bappeda/Bappelitbangda**
Power
Keterangan : * = sangat penting ** = penting
Gambar 1. Matriks analisis stakeholder (kedudukan stakeholder dalam
pengelolaan DAS)
Gambar 1 menunjukkan bahwa kuadran subjek merupakan kelompok
stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi namun memiliki kewenangan
dan pengaruh yang rendah terhadap pengelolaan DAS. Kelompok
stakeholder ini terdiri dari individu atau kelompok yang memiliki kegiatan
pelestarian lingkungan, pengambil manfaat dari sumberdaya alam dalam
DAS, akan tetapi stakeholder ini tidak memiliki kewenangaan dalam
pengambilan keputusan ataupun perencanaan dalam kebijakan program
pengelolaan DAS. Kelompok masyarakat menjadi salah satu stakeholder
kunci yang memiliki kepentingan terhadap kelestarian sumberdaya alam
karena mereka mendapatkan manfaat langsung dari kelestarian DAS,
Namun secara kewenangan mereka memiliki kekuatan rendah dalam
menentukan kebijakan pengelolaan DAS terpadu. Selain itu keberadaan
forum DAS baik Forum DAS Limboto maupun Tondano dianggap tidak
mempunyai kewenangan dan pengaruh yang besar dalam kegiatan
pengelolaan DAS karena forum ini hanya sebatas tempat bertukar pikiran
dan diskusi yang tidak didukung oleh payung hukum yang jelas. Yang
Inte
rest
High
Low High
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
49
termasuk kedalam subyek dalam pengelolaan DAS ini adalah Forum DAS
dan Masyarakat yang peduli terhadap pengelolaan DAS serta akademisi.
Kuadran players merupakan kelompok stakeholder yang memiliki
tingkat minat/kepentingan dan kewenangan yang tinggi dalam mewujudkan
keberhasilan pengelolaan DAS. Pemerintah pusat dan pemerintah provinsi
memiliki otoritas yang tinggi dalam perumusan kebijakan, perencanaan serta
penganggaran dalam pengelolaan. Selain itu stakeholder tersebut juga
memiliki peran mengorganisir, mengkoordinasikan serta mensinkronkan
program kegiatan dalam pengelolaan DAS. Stakeholder yang termasuk
dalam kategori players antara lain :
a. BPDAS Bone-Bolango/ Tondano
b. Dinas Kehutanan Provinsi
c. Dinas Kehutanan Kabupaten.
d. Dinas Pertanian
e. BLH
f. Balitbangpedalda
g. Dinas PU Prop/Kab
Stakeholder yang masuk dalam kuadran contest setter memiliki
minat/kepentingan yang rendah dengan pengaruh yang tinggi dalam proses
penentuan kebijakan. Tingkat pengaruh yang tinggi terkait dengan
terselenggaranya perencanaan pembangunan di daerah, memiliki
minat/kepentingan yang rendah karena dalam perencanaan belum
mendorong secara optimal pengelolaan DAS terpadu. Selain itu, pengaruh
yang tinggi karena perguruan tinggi melakukan penelitian, melakukan
ekspose hasil penelitian yang dapat mempengaruhi pengambil kebijakan.
a. Bappeda Provinsi
b. Universitas/Perguruna Tinggi
c. Bappppeda Kabupaten
Sedangkan stakeholder yang masuk dalam kuadran crowd memiliki
pengaruh yang rendah dan kepentingan yang rendah pula. Dengan adanya
stakeholder yang masuk dalam crowd ini menghambat terwujudnya
pengelolaan.
C. Sistem Pendanaan Kelembagaan Pengelolaan DAS Terpadu
Pada akhirnya keterpaduan pengelolaan DAS akan jelas terlihat bila
program dan perencanaan pengelolaan DAS terpadu dapat
diimplementasikan ditingkat tapak. Untuk keperluan tersebut dukungan
penganggaran merupakan kebutuhan mutlak. Dari uraian latarbelakang di
50| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
atas telah dikemukakan bahwa salah satu kendala tidak berjalannya konsep
pengelolaan DAS terpadu adalah dukungan dana yang tidak jelas. Oleh
karena itu diperlukan kajian untuk menyusun sistem pendanaan yang tepat
sebagai motor penggerak kelembagaan pengelolaan DAS terpadu.
Berdasarkan ketersediaan dana, maka hampir dipastikan bahwa untuk
kepentingan teknis pengelolaan DAS Tondano, kabupaten minahasa sangat
tergantung dengan bantuan pendanaan dari pemerintah provinsi maupun
pemerintah pusat dan luar negeri. Sebab anggaran daerah yang bersumber
dari DAU, 70-80 % hanya habis untuk pembiayaan belanja pegawai.
Berdasarkan hal itu, dengan memandang DAS Tondano dan DAS
Limboto sebagai DAS Strategis nasional dengan Danau Tondano dan Danau
Limboto didalamnya maka pemerintah pusat berkewajiban memberikan
perhatian yang serius terhadap upaya pelestarian DAS khususnya di hulu.
Yang berjalan selama ini adalah; program pembantuan pemerintah pusat
terhadap upaya pelestarian DAS langsung dilaksanakan oleh instansi terkait
dengan Kementerian pemberi program dan tentunya akan mengikuti
standard dan kriteria yang ditetapkan oleh Kementerian yang bersangkutan
karena pertanggungjawabannya pun kepada Kementerian bersangkutan.
Yang menjadi permasalahan adalah karena kadang-kadang program
pembantuan tersebut tidak sinkron dengan program pembangunan yang
disusun oleh pemerintah daerah.
Bila memandang DAS Tondano dan DAS Limboto berdasarkan letak
administrasinya serta peran DAS Tondano bagi pembangunan Sulawesi
utara dan DAS Limboto di Gorontalo, maka pemerintah provinsi bertanggung
jawab penuh dan berkewajiban memberikan perhatian bagi penyelamatan
DAS Tondano dan DAS Limboto. Yang dirasakan oleh pemerintah Kabupaten
Minahasa dan Kabupaten Gorontalo adalah bahwa pemerintah provinsi
belum ada perhatian khusus dan terkesan membiarkan tanggung jawab
pelestarian DAS bahkan hasil retribusi dari PLN dan PDAM serta perusahaan
air minum lainnya yang langsung maupun tidak langsung menggunakan
sumberdaya air DAS Tondano tidak jelas pembagian dan peruntukannya.
Padahal kewenangan pemungutan retribusi ditangani oleh pemerintah
provinsi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan SKPD di tingkat kabupaten
bahwa mekanisme pendanaan dalam rangka pengelolaan DAS yang
memungkinkan bisa dilaksanakan sekarang ini adalah sebagai berikut:
- Menggunakan skema DIPA di masing-masing SKPD teknis yang
bersumber dari APBD. Kendala yang dihadapi dengan cara ini adalah
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
51
bahwa dana APBD sangat terbatas sedang program prioritas daerah
sangat banyak khususnya untuk sektor infrastruktur, pertanian,
kesehatan dan pendidikan.
- Anggaran tugas pembantuan dari pusat/kementerian berupa DAK
(Dana Aloksi Khusus). Skema ini bagi daerah sangat memungkinkan
karena disamping bisa mengeleminir keterbatasan dana daerah juga
koordinasi pusat dan daerah bisa terjalin dengan baik. Hal ini sudah
dibuktikan dalam implementasi GERHAN di lapangan. Kelemahan
skema ini hanya melibatkan kementerian tertentu saja dan SKPD
tertentu saja. Belum melibatkan semua pemangku di dalam DAS.
- Anggaran dari UPT Kementerian seperti dana dari Kemenhut cq.
BPDAS; dari Kemen. PU cq. BWS; dana dari Kemeneg. Lingkungan
Hidup, cq BLH. SKPD siap memfasilitasi dan membantu di daerah.
- Anggaran dari lembaga donor dan pihak ketiga.
Menurut pandangan dan pendapat pimpinan SKPD bahwa yang paling
penting adalah sumber dananya jelas dulu, baru membahas siapa, berbuat
apa, dimana, kapan, bagimana dalam suatu DAS tertentu. Bila ini semua
jelas maka tentu KISS dalam konsep pengelolaan terpadu dengan sendirinya
akan terwujud karena KISS merupakan dampak dari berjalannya kegiatan
kolaboratif.
D. Keterkaitan RPDAS Terpadu dengan Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata
cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana
pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang
dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat
Pusat dan Daerah. Secara ringkas sistem perencanaan pembangunan
nasional berdasarkan UU no. 25 tahun 2004 adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Hierarki sistem perencanaan pembangunan nasional
No Tingkat Nasional Tingkat Daerah
(Provinsi dan
Kabupaten/ kota
Kementerian
dan
Lembaga
SKPD Periode
1 RPJP Nasional RPJP Daerah 20 tahun
2 RPJM Nasional RPJP Daerah Rentra-KL Rentra-
SKPD
5 tahun
3 RKP RKPD Renja-KL Renja-
SKPD
1 tahun
52| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Proses penyusunan RPJM Nasional/Daerah dan RKP/RKPD dilakukan
melalui urutan kegiatan sebagai berikut:
a. Penyiapan rancangan awal rencana pembangunan;
b. Penyiapan rancangan rencana kerja;
c. Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang)
d. Penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.
Adapun penyusun dan pengesahaan sistem perencanaan pembangunan
nasional seuai dengan UU no. 25 tahun 2004 adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Penyusun dan pengesahan perencanaan pembangunan nasional di
berbagai level pemerintahan
No Level
Pemerintahan
Jenis Perencanaan
(Periode)
Penyusun Penetapan/
Pengesahan
1 Nasional RPJP-Nas
(20 tahun)
Menteri/Kepala
Bappenas
Undang-undang
RPJM -Nas
(5 tahun)
sda PERPRES
RKP(1 tahun) sda PERPRES
2 Kementerian/
Lembaga (KL)
RENSTRA- KL
(5 tahun)
Menteri/kepala
lembaga
sektoral
Peraturan
Pimpinan
Kementerian/
Lembaga
RENJA - KL
(1 tahun)
sda Peraturan
Pimpinan
Kementerian/
Lembaga
3 Daerah
( Provinsi dan
Kebupaten/
kota)
RPJP-Daerah
(20 tahun)
Kepala
Bappeda
PERDA
RPJM-Daerah
(5 tahun)
sda Peraturan
Kepala Daerah
RKPD
( 1 tahun)
sda Peraturan
Kepala Daerah
4 SKPD (Provinsi
dan
Kabupaten/
Kota)
RENSTRA SKPD
(5 tahun)
Kepala SKPD Peraturan
Pimpinan SKPD
RENJA SKPD
(1 tahun)
sda Peraturan
Pimpinan SKPD
Setelah RKP ditetapkan dan disahkan maka RKP menjadi pedoman
Penyusunan RAPBN oleh DPR. Demikian pun dengan RKPD menjadi
pedoman penyusunan RAPBD oleh DPRD.
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
53
Berdasarkan hierarki, proses penyusunan dan penetapan rencana
pembangunan nasional bila dikaitkan dengan RPDAS terpadu maka hingga
saat ini belum masuk dalam sistem perencanaan pembangunan nasional.
Oleh karena itu bila RPDAS terpadu bisa diterapkan secara nasional maka
RPDAS tersebut harus masuk dalam sistem perencanaan pembangunan
nasional sebagaimana diatur dalam UU no. 25 tahun 2004 yang selama ini
dijalankan oleh pemerintah pusat dan daerah.
Sesungguhnya RPDAS terpadu dapat diakomodasi dalam sistem
perencanaan pembangunan nasional kerena dalam pasal 1 UU no. 25 tahun
2004 disebutkan bahwa Program Kewilayahan dan Lintas Wilayah adalah
sekumpulan rencana kerja terpadu antar-Kementerian/Lembaga dan Satuan
Kerja Perangkat Daerah mengenai suatu atau beberapa wilayah, daerah,
atau kawasan. Program kewilayahan dan lintas wilayah dimaksud sangat
sesuai dengan program pengelolaan DAS. Untuk itu maka hanya dibutuhkan
usaha berupa mekanisme pengaturannya agar RPDAS masuk dalam sistem
perencanaan pembangunan nasional karena perangkat peraturan
perundang-undangan memungkinkan untuk itu.
Untuk tingkat kabupaten/kota, RPDAS harus masuk dalam RPJP daerah,
RPJM daerah dan RKPD. Dengan demikian maka akan dapat dituangkan
dalam Renstra dan Renja SKPD agar bisa terimplementasi secara formal. Bila
hal ini sudah berjalan maka kendala mengenai RPDAS tidak diakomodir oleh
Pemda dan sumber pendanannya yang dialami selama ini dapat tereleminir.
E. Respon Pemda terhadap RPDAS Terpadu
Pertanyaan pokok yang perlu dijawab dalam analisis ini adalah
mengapa Pemda terkesan sulit mengadomodasi RPDAS terpadu yang telah
dibuat oleh kementerian kehutanan cq. BPDAS Tondano di Sulut dan BPDAS
Bonebolango di Gorontalo. Untuk menjawab pertanyaan ini peneliti
menggunakan pendekatan kajian peraturan perundangan yang berlaku dan
pendapat para pimpinan stakeholder pengelola DAS di Kabupaten Minahasa,
Bolmong, dan Kabupaten Gorontalo.
Bila ditinjau dari segi peraturan perundangan-undangan bahwa sistem
perencanaan pembangunan di daerah mengacu pada UU no. 25 tahun 2004.
Dengan demikian maka semua program pembangunan di daerah termasuk
mengenai program pengelolaan DAS terpadu seharusnya masuk dalam
proses penyusunan dan penetapan RPJP, RPJM, RPKD, Renstra dan Renja
SKPD. Namun dalam kenyataannya bahwa proses penyusunan RPDAS
terpadu ternyata terpisah dengan proses penyusunan rencana
54| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
pembangunan di daerah. Penyusunan RPDAS terpadu disusun oleh
Kementerian Kehutanan cq. BPDAS. Dengan demikian maka posisi pemda
dalam hal mengakomodasi RPDAS sangat sulit karena bila RPJP, RPJM,
RPKD, Renstra dan Renja SKPD telah ditetapkan sedangkan RPDAS hendak
masuk maka hal ini tidak memungkinkan.
Hal ini sangat terkait dengan alokasi pendanaan karena dalam UU no
25 tahun 2004 juga telah diatur bahwa bila RKPD telah ditetapkan dan
disahkan maka RKPD tersebut menjadi pedoman penyusunan RAPBD oleh
DPRD. Konsekuensinya bila RPDAS tidak masuk dalam RKPD maka tentu
tidak akan mendapat alokasi anggaran dari APBD. Dengan demikian maka
RPDAS tidak bisa dijalankan oleh SKPD dengan menggunakan APBD.
Hal inilah yang mengakibatkan sikap Pemda/SKPD terkesan sulit
mengadomodasi RPDAS terpadu. Dengan kondisi demikian sikap SKPD
hanya menunggu bila program dan kegiatan RPDAS terpadu dilengkapi
dengan dana dari inisiator itu sendiri, posisi SKPD siap membantu
mengimplementasikannya. Bila inisiator mengharapkan dana dari APBD
maka hal ini sulit terealisasi.
F. Alternatif Kelembagaan Pengelolaan DAS
Dalam menentukan dan mengembangkan bentuk kelembagaan
pengelolaan DAS, ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan.
Pertimbangan tersebut didasarkan pada kekuatan dan kelemahan yang ada
pada setiap bentuk kelembagaan tersebut (Kartodihadrjo, 2004). Secara
umum ada tiga bentuk kelembagaan yaitu (Yudono dan Iwanuddin, 2008):
a. Bentuk kelembagaan Polycentric, yaitu kelembagaan yang menganggap
individu sebagai dasar dari unit analisis. Otoritas yang dimiliki seseorang
itulah yang diartikulasikan kedalam tindakan. Tidak ada supremasi
otoritas, otoritas tergantung pada bagaimana mempertemukan
kepentingan dalam suatu struktur pengambilan keputusan antar pihak
(Kartodihardja, 2004). Kelebihan dari sebuah sistem polycentric yaitu
masing-masing wilayah dan masing-masing sektor berkedudukan setara,
salah satu ciri polycentric adalah mampu untuk menangani sistem yang
kompleks dan sistem biofisik yang dinamik. Kelemahan dari sistem
polycentric adalah belum adanya saling percaya baik secara hierarki,
maupun secara horizontal, lemahnya asas timbal balik, kurangnya arahan
sentral dan permasalahan yang terlalu kompleks.
b. Bentuk kelembagaan Monocentric; dalam kelembagaan ini otoritas
terpusat di satu titik, hubungan antar anggota tidak setara, tetapi
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
55
dibawah komando dari pusat. Kelebihan sistem ini adalah bersifat
sentralistik sehingga memungkinkan dilaksanakannya konsep one river,
one plan and multi management. Ada arahan yang jelas dari pusat.
Kelemahan kelembagaan Monocentric, antara lain pengelolaan DAS
hanya sampai pada tataran formal, kurang implementatif dan
mengurangi kewenangan wilayah administrasi, padahal yang diinginkan
adalah kerjasama dari mereka.
c. Bentuk kelembagaan gabungan Polycentric dan Monocentric;
kelembagaan ini merupakan kombinasi antara bentuk lembaga
Polycentric dengan Monocentric, artinya masing-masing pihak
mempunyai kedudukan yang setara, tetapi masih ada beberapa arahan
dari pusat, misalnya dalam hal kebijakan, penyusunan pola perencanaan
dan pedoman monitoring dan evaluasi.
Dari tiga bentuk kelembagaan yang disebutkan di atas maka bentuk
lembaga yang paling sesuai untuk diterapkan dalam pengelolaan DAS
terpadu adalah bentuk kelembagaan kombinasi Polycentric dengan
Monocentric. Bentuk kelembagaan kombinasi Polycentric dengan
Monocentric adalah kelembagaan bersama (colaborative), baik dengan
membentuk lembaga baru atau memanfaatkan kelembagaan yang sudah
ada. Bentuk kelembagaan bersama (dalam bentuk forum/badan koordinasi)
merupakan salah satu alternatif yang paling memungkinkan dalam
pembentukan kelembagaan pengelolaan DAS saat ini.
Secara faktual untuk mendapatkan suatu kelembagaan pengelolaan
DAS yang baik dan diakui oleh semua pihak tidak bisa instan. Lembaga
bukanlah blue print karena bersifat dinamis. Seiring dengan waktu maka
sambil jalan dengan kegiatan di lapang, lembaga yang mengawal kegiatan
tersebut akan mengalami proses penyempurnaan. Untuk itu lembaga
pengelolaan DAS terpadu dirancang agar bisa mengikat semua pemangku
DAS. Sebagai langkah awal perlu dibuat prototipe lembaga pengelolaan DAS
terpadu yang legitimate. Artinya bahwa perlu suatu “payung hukum” yang
mengikat semua pemangku berupa peraturan perundangan-undangan serta
turunannya sebagai pedoman dalam menjalankannya. Dengan demikian
maka kendala utama yang selama ini dirasakan soal koordinasi, integrasi,
sinkronisasi, sinergitas (KISS) yang lemah dan sulit terlaksana serta
dukungan dana yang tidak jelas bisa tereleminasi. Disamping itu slogan
“siabudiba” (siapa, berbuat apa, dimana, dan bilamana) dalam pengelolaan
56| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
DAS akan lebih jelas dan bisa terlaksana dengan baik. Prakondisi
pembentukan prototipe kelembagaan DAS terpadu adalah:
- Adanya peraturan perundangan-undangan serta turunannya sebagai
pedoman dalam menjalankannya yang bersifat mengikat semua
pemangku DAS
- Memanisme penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu harus link
dengan proses perencanaan di Pemda/SKPD sebagai bagian dari
pemangku DAS. Dengan demikian dihasilkan perencanaan yang dapat
dijalankan oleh semua pemangku, baik itu intansi pusat maupun instansi
daerah.
- Hal yang paling krusial adalah adanya dukungan dana yang jelas,
kontinu, legal dan akuntabel.
Bila prakondisi diatas sudah dilakukan maka berlanjut kepada
pembentukan Prototipe Kelembagaan DAS terpadu. Prototipe Kelembagaan
DAS terpadu bisa berjalan secara baik bila:
- Ada issu pokok yang menjadi prioritas penanganan
- Ada role of the game yang jelas
- Kualifikasi SDM yang memadai
- Ada sumber dana yang jelas, kontinu dan legal.
G. Strategi Pengelolaan DAS Lintas Daerah
Penggunaan SDA yang meliputi beberapa wilayah perlu diatur oleh
strategi pengelolaan DAS secara terpadu, menyeluruh, fleksibel, efisien, dan
berkeadilan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Dari uraian diatas
terlihat bahwa kapasitas untuk mengelola DAS secara berkelanjutan masih
lemah . Untuk itu diperlukan kegiatan peningkatan kapasitas (Capacity
building) yang sistematis secara terus menerus. Strategi yang dapat
ditempuh dalam peningkatan kapasitas dan untuk menghindari terjadinya
konflik antar wilayah adalah :
1. Membangun Kesepahaman dan Kesepakatan
Masing-masing daerah otonom perlu memahami mekanisme hidrologis
yang berjalan secara alami dalam penggunaan SDA lintas regional.
Mekanisme hidrologis menekankan adanya karakteristik
ketergantungan/interdependensi (interdependency) antar spasial.
Sebagai contoh terjadi penurunan penutupan lahan di bagian hulu DAS
dapat mengakibatkan terjadinya banjir saat musim hujan di bagian hilir, dan
meningkatnya buangan limbah di bagian hulu dapat menurunkan kualitas air
aliran sungai di hilirnya.
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
57
Masalah ketidakmerataan dan ketidakefisienan penggunaan alokasi SDA
yang mencakup kuantitas dan kualitasnya sering memicu timbulnya konflik
antar daerah. Daerah yang memiliki sumberdaya lebih dan cenderung
menguasainya secara eksklusif akan mengancam daerah-daerah lainnya
sepanjang DAS. Penguasaan secara eksklusif bersifat kaku akan memicu
terjadinya inefisiensi sumberdaya dan meningkatkan biaya pemakaian
sumberdaya serta memicu konflik.
Beragam aktifitas pembangunan yang dilakukan sepanjang DAS selalu
saling terkait, sehingga untuk menghindari terjadinya konflik dalam
pemanfaatan SDA perlu dibangun kesepakatan antar daerah otonom. Dasar
kesepakatan adalah komitmen bersama untuk membangun sistem
pengelolaan DAS yang berkelanjutan yang melandaskan setiap strategi pada
upaya untuk mencapai keseimbangan dan keserasian antara kepentingan
ekonomi, ekologis, dan sosial budaya. Komitmen bersama antar daerah
otonom adalah strategi awal yang perlu dilakukan untuk menyusun langkah-
langkah pengelolaan DAS. Salah satu faktor dari ketidakberhasilan
pengelolaan DAS selama ini adalah tidak dibangunnya komitmen bersama
antar daerah secara baik. Wujud dari komitmen bersama adalah munculnya
perhatian dan tanggung-jawab bersama terhadap kelestarian SDA pada
setiap unit kegiatan pembangunan di daerah masing-masing.
Proses untuk mencapai komitmen bersama dapat ditempuh dengan
melakukan negosiasi politik antar daerah yang didasarkan pada adanya
kepentingan bersama dalam memanfaatkan SDA, sehingga alokasi dan
distribusi SDA dapat ditetapkan secara adil.
Kerjasama antar daerah otonom dapat diwujudkan dengan membentuk
Badan Kerjasama antar Daerah (Pasal 87 ayat 2, UU No. 22/1999).
Keputusan bersama yang membebani masyarakat dan daerah harus
mendapat persetujuan DPRD masing-masing. Jika Kabupaten/Kota tidak
dapat melaksanakan kerjasama antar daerah, maka kewenangan
penyediaan pelayanan lintas kabupaten/kota dilaksanakan oleh Provinsi.
Apabila kerjasama antar Provinsi diperlukan maka kerjasama tersebut harus
dibawah koordinasi pemerintah pusat. Kewenangan provinsi juga mencakup
kewenangan yang tidak dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota karena dalam
pelaksanaannya dapat merugikan Kabupaten/Kota masing-masing. Jika
pelaksanaan kewenangan Kabupaten/Kota dapat menimbulkan konflik
kepentingan antar Kabupaten/Kota, maka Kabupaten dan Kota dapat
membuat kesepakatan agar kewenangan tersebut dilaksanakan oleh
Provinsi.
58| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
2. Membangun Sistem Legislasi yang Kuat
Kebijakan publik dalam aspek pengelolaan sumberdaya alam akan
memiliki kekuatan untuk mengendalikan perilaku masyarakat (publik)
apabila dikukuhkan oleh sistem legal (hukum) yang memadai. Legislasi
dalam pengelolaan DAS sangat diperlukan terutama dalam merancang dan
mendukung pelaksanaan kebijakan pengelolaan DAS. Beberapa peran
legislasi dalam menjamin pelaksanaan pengelolaan DAS yang baik adalah :
a. Adanya Undang-undang, keputusan presiden, atau produk hukum lainnya
yang dapat dijadikan dasar untuk membentuk institusi dan perangkat
organisasi yang dibutuhkan dalam mengimplementasikan pengelolaan
DAS berkelanjutan.
b. Untuk melegalisasi mandat yang diterima oleh institusi yang dibentuk dan
menjamin sahnya alokasi anggaran rutin yang diberikan oleh pemerintah
c. Untuk mengurangi aktivitas yang menimbulkan kerusakan lingkungan
dalam DAS dan “memaksa” publik untuk mentaati prinsip-prinsip
pengelolaan DAS berkelanjutan.
Legislasi lingkungan dapat mengatur perilaku manusia dalam
hubungannya dengan alokasi dan pemanfaatan sumberdaya alam, seperti
lahan, air, udara, mineral, hutan dan lanskap alam. Perilaku manusia dalam
memanfaatkan sumberdaya alam diberi pedoman agar tidak menimbulkan
degradasi sumberdaya alam dan lingkungan.
Legislasi memberikan kekuatan (power) dan kewenangan (authorities)
kepada pemerintah atau lembaga yang ditunjuk berdasarkan undang-
undang untuk melakukan pengaturan, penguasaan, pengusahaan,
pemeliharaan, perlindungan, rehabilitasi, pemberian sanksi, penyelesaian
konflik dan sebagainya, dalam mengatur hubungan manusia dengan
sumberdaya alam dan lingkungan untuk mewujudkan tujuan pengelolaan
sumberdaya alam yang dikehendaki (sustainable natural resources
development) Produk legal harus menempatkan prinsip keadilan dan
kemanfaatan sebagai pertimbangan dalam merumuskan kebijakan
pengelolaan DAS.
3. Meningkatkan Peranan Institusi Pengelolaan DAS.
Institusi atau kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks,
rumit, dan abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan
dan kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Institusi mengatur apa
yang dilarang untuk dikerjakan oleh individu atau dalam kondisi bagaimana
individu dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, institusi adalah
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
59
instrumen yang mengatur antar individu. Institusi sebagai modal dasar
masyarakat (social capital) dapat dipandang sebagai aset produktif yang
mendorong anggotanya untuk bekerjasama menurut aturan perilaku
tertentu yang disetujui bersama untuk meningkatkan produktifitas
anggotanya secara keseluruhan. Ikatan institusi masyarakat yang rusak
secara langsung akan menurunkan produktifitas masyarakat dan menjadi
faktor pendorong percepatan eksploitasi sumberdaya alam disekitarnya
(Kartodihardjo et al., 2000).
Perwujudan institusi masyarakat dapat diidentifikasi melalui sifat-sifat
kepemilikan (property rights) sumberdaya, batas-batas kewenangan
(jurisdiction boundary) masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya, dan
aturan-aturan perwakilan (rules of representation) dalam memanfaatkan
sumberdaya, apakah ditetapkan secara individu atau kelompok. Instansi
pemerintah merupakan institusi formal yang menjadi agen pembangunan
dan berperan sentral dalam menentukan perubahan-perubahan yang
diinginkan. Kinerja institusi sangat tergantung dari kapasitas dan kapabilitas
yang dimilikinya.
Penguatan institusi dalam pengelolaan DAS dibutuhkan untuk mencapai
tujuan-tujuan pengelolaan DAS. Kondisi institusi yang kuat merupakan
prasyarat penyelenggaraan pengelolaan DAS yang baik. Kinerja institusi
pengelolaan DAS di Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan
Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, bahkan Thailand.
Ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang masih tinggi dan
kurangnya kepedulian masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya alam
dan lingkungan merupakan indikator lemahnya institusi pengelolaan DAS di
Indonesia. Institusi pengelolaan DAS yang ada di Indonesia belum memiliki
peranan yang kuat terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat dalam DAS. Pengembangan kelembagaan masih bersifat
keproyekan, sehingga intervensi penguatan institusi hanya berjalan selama
proyek masih ada.
Instansi pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan DAS di Indonesia
sebagai institusi formal cukup beragam. Kendala yang sering dihadapi antara
lain adalah masalah koordinasi program; seringkali program yang sama atau
mirip diusulkan oleh instansi yang berbeda.
Duplikasi program akan menyebabkan ketidakefisienan anggaran
berupa pemborosan dan mark-up, ketidaksinambungan pembinaan program,
serta ketidakjelasan rentang kewenangan pengelolaan DAS. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa pengelolaan DAS di Indonesia belum menerapkan
60| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
prinsip strategi satu perencanaan (one plan strategy) dengan baik, sehingga
tingkat keberhasilan program pengelolaan DAS masih rendah. Prinsip one
river one plan belum diimplementasikan secara menyeluruh.
4. Meningkatkan Kualitas SDM
Kualitas sumberdaya manusia untuk pengelolaan SDA secara umum
masih rendah dan terdapat kesenjangan di seluruh daerah otonom.
Kemampuan petani, perencana pengelolaan DAS, pejabat yang
melaksanakan pengelolaan DAS masih sangat rendah untuk mengelola SDA
secara berkelanjutan dan menerapkan prinsip one river one plan.
Petani tidak mempunyai cukup pengetahuan tentang tindakan tepat
apa yang harus dia lakukan didalam usahataninya agar tidak terjadi
degradasi lahan yang dapat menurunkan produktivitas lahannya. Para
penyuluh pun tidak dibekali pengetahuan dan pedoman yang memadai
untuk membimbing petani dalam memilih dan menerapkan agroteknologi
atau teknik-teknik konservasi yang memadai. Pejabat yang berwenang
menentukan kebijakan pun tidak punya pemikiran dan konsep yang
menyeluruh (holistic) untuk mengelola SDA secara berkelanjutan dalam
suatu DAS.
Oleh sebab itu diperlukan program pelatihan yang sistematis secara
terus menerus untuk meningkatkan kapasitas individu/SDM dalam
pengelolaan SDA agar prinsip pembangunan berkelanjutan terlaksana
diseluruh DAS dan daerah otonom.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Bentuk kelembagaan yang paling sesuai dalam pengelolaan DAS lintas
kabupaten saat ini adalah kelembagaan kolaboratif baik itu berupa
Forum DAS atau Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS (LK-PDAS).
Anggota lembaga ini adalah pimpinan instansi di daerah/SKPD.
Lembaga ini bersifat non struktural dan bertanggung jawab langsung
ke Gubernur sebagai pemegang otoritas kebijakan. Forum DAS/LK-
PDAS berfungsi sebagai wadah komunikasi, konsultasi dan koordinasi
antar para pihak terkait untuk membantu Gubernur merumuskan
kebijakan pengelolaan DAS lintas kabupaten.
2. Forum/Lembaga Koordinasi DAS bukan lembaga eksekutif pengelolaan
DAS karena pelaksanaan pengelolaan DAS tetap dilakukan oleh
lembaga atau instansi teknis kementerian dan satuan kerja pemerintah
daerah (SKPD) sesuai kewenangan dan tupoksinya masing-masing.
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
61
3. Perencanaan pengelolaan DAS terpadu yang telah disusun harus masuk
dalam tahapan dan mekanisme penyusunan rencana pembangunan
nasional sesuai dengan UU. No.25 tahun 2004 yaitu melalui
MUSRENBANGDA.
4. Program pengelolaan DAS terpadu mau tidak mau harus masuk dalam
program pembangunan nasional jangka panjang dan menengah (RPJP
& RPJM) sehingga dapat dijalankan di level kabupaten maupun provinsi
(sikron dengan RKPD) dan disyahkan oleh pejabat yang berotoritas
tinggi agar mendapat legitimasi yang kuat dan dapat diikuti instansi
SKPD dan instansi vertikal kementerian teknis.
5. Optimalisasi peran dan fungsi Forum DAS atau LK-PDAS sangat
ditentukan oleh dukungan intansi pemerintah terutama soal kebijakan
dan pendanaannya.
6. Sumber perdanaan pengelolan DAS terpadu untuk SKPD adalah APBD
dan dana tugas pembantuan dari pusat berupa DAK serta pihak
ketiga/lembaga donor, sedangkan UPT kementerian bersumber dari
APBN.
7. Semua sumber pendanaan untuk pengelolaan DAS dikoordinasikan
melalui forum DAS atau LK-PDAS untuk mensinkronkan dengan
kegiatan agar prinsip one river, one plan, multi manajemen bisa
terealisasi.
8. Strategi pengelolaan DAS dalam era otonomi daerah harus dilakukan
melalui peningkatan kapasitas (capacity building) daerah yang meliputi
: (a) membangun kesepahaman dan kesepakatan antar daerah otonom
dalam pengelolaan SDA; (b) membangun sistem legislasi yang kuat;
dan (c) meningkatkan peranan institusi (kelembagaan) dalam
pengelolaan SDA dan (d) meningkatkan kapasitas SDM melalui
pelatihan (training).
B. Saran
1. Keterpaduan pengelolaan DAS akan jelas terlihat bila program dan
perencanaan pengelolaan DAS terpadu dapat diimplementasikan
ditingkat tapak. Untuk itu dukungan penganggaran yang jelas dan
kontinyu dari institusi yang terlibat merupakan kebutuhan mutlak
sebagai motor penggerak kelembagaan pengelolaan DAS terpadu.
2. Perlu ada suatu pilot project implementasi pengelolaan DAS terpadu
dimana dalam satu DAS prioritas tertentu semua unsur terkait terlibat
melaksanakan kegiatan pengelolaan DAS secara bersama-sama sesuai
62| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
dengan tupoksi dan rencana kerjanya dalam satu bingkai rencana untuk
membuktikan sejauh mana keterpaduan seperti dalam konsep
pengelolaan DAS terpadu dapat diwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bryson, J,M. 2003. ”what to do when stakeholder matter; a guide to stakeholder identification and analysis techniques. University of minnoseta
Kementerian Kehutanan. 2000. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Ditjen RLPS Dit. RLKT.
Kementerian Kehutanan –a. 2001. Eksekuitf. Data Strategis Kehutanan. Badan
Planologi Kehutanan. Jakarta.
Kementerian Kehutanan –b. 2001. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. DitJen. RLPS. Dit. RLKT. Jakarta.
Kementerian Kehutanan dan Perkebunan RI. 2000. Pedoman Survey Sosial Ekonomi Kehutanan Indonesia (PSSEKI). P2SE. Bogor
Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, H.S. Pasaribu, U. Sudadi, dan N. Nuryantono. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS danKonservasi Tanah. K3SB. Bogor.
Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, dan U. Sudadi. 2004. Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai: Konsep dan Pengantar Analisis Kebijakan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Kerr, John. 2007. “Watershed management; Lessons from common property theory”. International Journal of The Commons 1(1):89-109. publisher: Igitur Utrecht Publishing & Archiving Services For IASC.
Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri; Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Menteri Pekerjaan Umum, No.19 tahun 1984 – No.059/Kpts-II/1984 – No.124/Kpts/1984 tanggal 4 April 1984, tentang Penanganan Konservasi Tanah dalam Rangka Pengamanan Daerah Aliran Sungai Prioritas.
Yudono, H. dan Iwanuddin. 2008. Kelembagaan dan nilai air DAS: Mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai saat ini (Pengalaman dari Sub DAS Mararin, DAS Saddang, Tana Toraja). Prosiding Penelitian Puslit Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.